© 2012 Biro Penerbit Planologi Undip Volume 8 (4): 403‐411 Desember 2012
Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang Agung Krisindarto1
Diterima : 1 November 2012 Disetujui : 23 November 2012 ABSTRACT In the regional autonomy era, Semarang City’s Administration has put efforts towards independent development financing in its region, one of them through the management cycle of land as a regional asset. The Semarang City Administration is putting it in practice in accordance with the national regulation. However, several problems have started to occur, such as: unclear actual land ownership status and its legal standings, along with low revenue coming from this sector to the regional income. The study uses positivistic‐rationalistic approach through descriptive analysis, IPA analysis (Importance‐Performance Analysis), and regional financial independence ratio analysis. The study found that Semarang City Administration’s land asset management has several shortcomings, including: management weaknesses, and the absence of asset management optimizing strategy. The study recommends the following, in order to improve the regional finance independence, Semarang City Administration: (1) review of the existing land asset management cycle, and (2) establishment of asset optimizing strategic plan. Key words: asset, land asset management, importance‐performance analysis, financial independence. ABSTRAK Dalam era otonomi daerah, Pemerintah Kota Semarang berusaha menuju kemandirian dalam pembiayaan pembangunan di daerahnya sendiri salah satunya melalui siklus pengelolaan aset tanah sebagai kekayaan daerah. Pemerintah Kota Semarang berusaha melaksanakan usaha tersebut dengan berpedoman kepada peraturan‐peraturan yang berlaku. Namun demikian, beberapa permasalahan muncul meliputi: status kepemilikan aktual tanah dan legalitas status kepemilikannya, serta rendahnya kontribusi pendapatan dari sektor ini ke pendapatan asli daerah. Studi ini menggunakan pendekatan positivistik‐rasionalistik melalui analisis deskriptif, IPA (importance‐ performance analysis), dan analisis rasio kemandirian keuangan daerah. Studi ini menemukan bahwa pengelolaan aset tanah Pemerintah Kota Semarang memiliki beberapa kelemahan, antara lain: kelemahan manajerial, dan ketiadaan strategi optimasi aset. Studi ini merekomendasikan, bahwa untuk meningkatkan rasio kemandirian keuangan daerah, maka Pemerintah Kota Semarang perlu melakukan (1) review terhadap siklus pengelolaan aset tanah eksisting, dan (2) penyusunan rencana strategis optimasi aset. Kata kunci: aset, pengelolaan aset tanah, analisa kepentingan dan kinerja, kemandirian keuangan
1
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Timur, Jakarta Pusat Kontak Penulis :
[email protected]
© 2012 Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota
Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
JPWK 8 (4)
PENDAHULUAN Sejak adanya Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008, Pemerintah Pusat mendesentralisasikan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah. Salah satu dampak dari desentralisasi adalah adanya perubahan dalam pembagian alokasi keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perubahan pembagian alokasi keuangan dilaksanakan secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah hal ini sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan. Dampak lain dari adanya desentralisasi adalah Pemerintah Daerah memiliki kekuasaaan yang lebih luas dalam pengelolaan sumber‐sumber pendapatan daerah. (Oates 1995) dalam Setiaji dan Adi (2007) menjelaskan bahwa dengan adanya desentralisasi, Pemerintah Daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat mengingat ketergantungan semacam ini akan mengurangi kreatifitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien. Tanah adalah salah satu bentuk aset yang dimiliki Pemerintah Daerah. Peruntukan dari tanah milik Pemerintah Daerah ada yang digunakan untuk kepentingan umum, misalnya taman terbuka dan ada yang digunakan untuk fungsi pelaksanaan pemerintahan. Noorsyamsa (2007), menjelaskan bahwa aset milik daerah pada dasarnya memiliki dua fungsi yakni fungsi pelayanan dan fungsi budgeter. Fungsi pelayanan diartikan sebagai aset digunakan untuk memenuhi kebutuhan organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, sedangkan fungsi budgeter diartikan bahwa aset dapat menjadi sumber tambahan PAD melalui bentuk sewa, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah, dan bangun serah guna. Pemerintah Kota Semarang merupakan salah satu Pemerintah Daerah yang dituntut agar mampu melaksanakan otonomi daerah dengan sebaik‐baiknya. Dalam pelaksanaan pemerintahannya diketahui bahwa penerimaan pendapatan dari aset tanah Pada Pemerintah Kota Semarang pada Tahun 2010 dan Tahun 2011 jika dibandingkan dengan nilai Pendapatan Asli Daerah hanya sebesar 5,85% dan 4,42%. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pengelolaan aset tanah di Ethiopia melalui sistem land leasing. Penelitian yang dilakukan oleh Peterson, (2006) menunjukkan bahwa pemasukan dari aset tanah mencapai kurang lebih sebesar 20% hingga 45% dari total pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan aset khususnya tanah di Kota Semarang belum dilakukan secara optimal. Berdasarkan LHP BPK RI Nomor 56B/LHP/XVIII.SMG/05/2011 Tanggal 24 Mei 2011 diketahui bahwa pengelolaan aset tanah di Kota Semarang selama Tahun 2010 ternyata memilki beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain: terdapat aset tanah yang tidak diketahui keberadaannya namun masih diakui sebagai aset tanah, masih adanya tanah‐tanah yang tidak jelas status kepemilikannya, masih adanya aset tanah milik Pemerintah Kota yang belum bernilai atau tidak diketahui nilainya dan adanya tanah yang diakui milik Pemerintah Kota Semarang ternyata bukan milik Pemerintah Kota Semarang melainkan milik instansi pemerintah lain. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian yang dapat dilakukan terkait permasalahan tersebut adalah sebuah kajian mengenai Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang. 404
JPWK 8 (4) Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif‐kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui bagaimana mekanisme internal pengelolaan aset tanah di Kota Semarang dengan menggunakan analisa deskriptif dan pada saat perumusan simpulan terkait pengelolaan aset tanah. Sedangkan metode kuantitatif digunakan pada analisa pemahaman pelaku dari tingkat kinerja dan kepentingan dengan analisa skala pengukuran IPA (importance‐performance analysis) dan perhitungan tingkat rasio kemandirian daerah. Analisa IPA dalam penelitian ini menggunakan kuisioner tertutup dengan menggunakan teknik pembobotan atau skoring dengan rentang nilai 1‐5, dimana nilai 1 adalah skor terendah dan merupakan representasi atas jawaban sangat tidak setuju, sedangkan nilai 5 adalah skor tertinggi dan merupakan representasi atas jawaban sangat setuju. Hasil dari analisa IPA adalah diagram kartesius yang dibagi dalam 4 kuadran sebagaimana pada Gambar 1 berikut:
Kuadran I Concentrate Here
Extremely Important
Importance
Fair performance
Excelence performance
Slightly Importan
Kuadran III Low Priority
Kuadran II Keep Up The Good Work
Performance
Kuadran IV Possihle Overkill
Sumber : Martilla and James, 1977
GAMBAR 1 KUADRAN IPA
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan 2 cara yakni pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer menggunakan 2 cara yakni wawancara dan kuesioner. Wawancara digunakan pada tahap analisa siklus pengelolaan aset tanah, sedangkan kuesioner digunakan pada tahap analisa IPA. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah multi stage sampling. Tahap pertama menggunakan teknik purposive sampling dan pada tahap kedua menggunakan teknik stratified sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 54 responden yang dibagi dalam 3 tingkatan yakni manajer tingkat pertama, manajer menengah, dan manajer puncak. GAMBARAN UMUM WILAYAH Kota Semarang secara geografis terletak antara 6o50’ sampai 7o10’ LS dan 109o56’ sampai 110o35’ BT. Kota Semarang memilki luas wilayah sebesar 373,70 Km2. Terdiri dari tanah sawah seluas 39,56 Km2 (10,59%) dan 334,14 Km2 (89,41%) bukan sawah. Kota Semarang secara administratif terbagi ke dalam 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. 405
Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
JPWK 8 (4)
Batas‐batas wilayah Kota Semarang sebagai berikut : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Kabupaten Semarang Sebelah Barat : Kabupaten Kendal Sebelah Timur : Kabupaten Demak Pemerintah Kota Semarang selaku instansi pengelola aset/barang milik daerah telah telah menerbitkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah serta Peraturan Walikota No. 19A Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah Kota Semarang. Perda dan Perwali tersebut mengacu kepada Peraturan Perundang‐undangan yang berlaku yakni PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milk Daerah beserta peraturan perubahannya yakni PP No. 38 Tahun 2008 dan Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Jumlah aset tanah milik Pemerintah Kota Semarang sampai dengan Tahun 2010 adalah sebesar Rp 3.231.376.300.352,00 dan Tahun 2011 sebesar Rp 3.311.833.580.864,00 yang dikelola oleh 38 SKPD Pemerintah Kota Semarang dengan luas total aset mencapai ± 71.444.405,05 m2 dengan jumlah bidang tanah sebanyak ± 3151 bidang yang terdapat pada 38 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Gambar wilayah administratif Kota Semarang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Sumber: RTRW Kota Semarang 2011‐2031
GAMBAR 2 WILAYAH ADMINISTRATIF KOTA SEMARANG
KAJIAN TEORI Tanah merupakan tempat segala aktivitas manusia dan mahkluk hidup yang tinggal di daratan. Tanah sendiri dapat diartikan sebagai lahan. Tanah merupakan salah satu jenis aset yang dimiliki Pemerintah Kota Semarang. Aset adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi, atau individu (perorangan) (Siregar, 2004). 406
JPWK 8 (4) Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
Dalam melakukan pengelolaan aset diperlukan sebuah sistem yang memadai, salah satunya adalah manajemen aset. Witter,dkk (2003) menjelaskan bahwa manajemen aset adalah sebuah kumpulan alat dan cara atau skill yang dapat membantu manajer dalam proses pengambilan keputusan untuk dapat mewujudkan dalam proses pemeliharaan dan perbaikan atas aset dan dari segi investasi. Manajemen aset memiliki tahapan‐tahapan yang harus dilaksanakan agar aset dapat dikelola dengan baik. Menurut Siregar (2004) tahapan dalam manajemen aset ada 5 yakni (1) inventarisasi aset; (2) legal audit; (3) penilaian aset; (4) optimalisasi aset, dan (5) pengawasan dan pengendalian (sistem informasi manajemen aset). Aset tanah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan terhadap masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi daerah sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Halim ed (2001)). Rumus kemandirian keuangan daerah adalah sebagai berikut: Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rasio Kemandirian = Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi & Sumbangan Daerah Hasil perhitungan dari rasio kemandirian menunjukkan bagaimana pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Paul Harsey dan Kenneth Blanchard dalam Halim ed (2001) membagi pola hubungan ke dalam 4 tipe, yakni: 1. Pola hubungan instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah) 2. Pola hubungan konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi daerah. 3. Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. 4. Pola hubungan delegatif, campur tangan pemerintah pusat, sudah tidak ada karena daerah telah benar‐benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan otonomi daerah. Dalam pengelolaan aset tentunya ditemukan berbagai permasalahan. Noorsyamsa (2007), menyebutkan bahwa permasalahan dalam pengelolaan aset di daerah pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal yakni: (1) Belum ada inventarisasi seluruh aset yang ada; (2) Inefisiensi dalam pemanfaatan aset; (3) Landasan hukum yang belum terpadu dan menyeluruh; (4) Tersebarnya lokasi dan hak penguasaannya; (5) Koordinasi yang lemah; (6) Pengawasan yang lemah; (7) Beragam kepentingan dan distorsi lainnya; dan (8) Mudahnya terjadi penjarahan aset. Salah satu solusi terkait penyelesaian permasalahan dalam manajemen aset di daerah adalah melalui proses optimasi aset. Sutrisno (2004) menjelaskan bahwa optimasi aset merupakan sebuah proses dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki suatu aset. Siregar (2004), menjelaskan bahwa optimasi pengelolaan aset terdiri dari tiga hal yakni (1) Pemaksimalan ketersediaan aset; (2) Pemaksimalan penggunaan aset; dan (3) Meminimalisasikan biaya kepemilikan. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan optimasi aset. Optimasi aset disini berdasarkan kajian pustaka dan pemahaman penulis dapat dibedakan ke dalam beberapa tahapan yakni:
407
Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
JPWK 8 (4)
1. Tahap Inventarisasi Aset tanah milik Pemerintah Kota Semarang, termasuk inventarisasi atas permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan aset serta pensertifikatan atas semua tanah milik Pemerintah Kota Semarang. 2. Penilaian terhadap seluruh aset tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Semarang. 3. Penyusunan daftar aset milik Pemerintah Daerah yang berpotensi dan tidak berpotensi. 4. Penyusunan rencana strategis dan program yang dijalankan oleh Tim ataupun instansi/dinas terkait. 5. Penyusunan Peraturan Daerah yang mengatur tentang rencana strategis tentang optimasi aset milik Pemerintah Kota Semarang. ANALISIS PENGELOLAAN ASET TANAH MILIK PEMERINTAH KOTA SEMARANG Untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian, analisis dalam penelitian ini dibagi ke dalam 4 analisa yakni: (1) Analisa siklus pengelolaan aset tanah; (2) Analisis pemahaman pelaku pengelolaan aset tanah; (3) Analisis kontribusi aset tanah terhadap pendapatan Kota Semarang, dan (4) Pengelolaan Aset Tanah milik Pemerintah Kota Semarang. Analisis terkait siklus pengelolaan aset Pemerintah Kota Semarang dilakukan berdasarkan kajian dokumen terhadap tahapan dalam siklus manajemen aset di Pemerintah Kota Semarang dan wawancara dengan pengurus barang pada beberapa SKPD serta wawancara dengan Bagian Aset DPKAD selaku pembantu pengelola barang daerah. Siklus pengelolaan aset pada Pemerintah Kota Semarang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut: Perencanaan kebutuhan & Penganggaran
Tuntutan Ganti Rugi
Pengad aan
Pembiayaan
Penerimaan Penyimpanan & Penyaluran
Penatausa haan
Pembinaan, Pengawasan & Pengendalian
Pemindahtan ganan
Pemanfa atan
Penghap usan
Pengamanan & Pemeliharaan
Penilaian
Sumber : Perda No. 05 Tahun 2007 dan Perwali No. 19 A Tahun 2009
GAMBAR 3 SIKLUS PENGELOLAAN ASET PEMERINTAH KOTA SEMARANG
Hasil analisa yang telah dilakukan terhadap siklus pengelolaan aset diperoleh beberapa hal yang mempengaruhi kurang optimalnya kontribusi aset terhadap pendapatan Kota Semarang, antara lain: 1. Pelaksanaan pengelolaan tidak sesuai dengan kondisi ideal. Pelaksanaan pengelolaan yang tidak sesuai dengan kondisi ideal dikarenakan merupakan kelemahan dari segi kebijakan. Kebijakan disini dilaksanakan oleh manajer puncak dan manajer menengah dan manajer tingkat pertama hanya melaksanakan kebijakan dari manajer di atasnya. 2. Pelaksanaan tahap pemanfaatan yang belum optimal. Pemerintah Kota Semarang telah melakukan pemanfaatan aset dengan adanya empat bentuk pemanfaatan namun belum ada Perda maupun Perwali yang secara khusus mengatur tentang Optimasi Aset. 408
JPWK 8 (4) Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
3. Kelemahan dari segi pengurus barang Keengganan staf di masing‐masing SKPD untuk menjadi pengurus barang dan seringnya terjadi pergantian pengurus barang. 4. Kelemahan dari segi fungsi manajemen. Terdapat kekurangan dari segi planning dan organizing. Kelemahan dari segi planning dalam tahap siklus manajemen aset adalah tahap perencanaan kebutuhan dan pengganggaran, sedangkan dari segi organizing adalah pada tahap Tahap Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran, serta Tahap Pengamanan dan Pemeliharaan. Analisis yang kedua adalah analisis pemahaman pelaku pengelolaan aset. Analisis ini dilakukan untuk memahami bagaimana pemahaman masing‐masing pelaku pengelolaan aset atas pengelolaan aset yang dilakukan di Kota Semarang dengan menggunakan variabel berdasarkan siklus manajemen aset yang terdiri atas 5 tahap (Siregar, 2004) yakni: (1) inventarisasi aset; (2) legal audit; (3) penilaian aset; (4) optimalisasi aset, serta (5) pengawasan dan pengendalian (sistem informasi manajemen aset). Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum tidak terlalu terdapat perbedaan pemahaman antara manajer tingkat pertama, menengah, dan manajer puncak atas pernyataan dalam masing‐masing variabel. Perbedaan pemahaman antara manajer pelaksana (manajemen tingkat pertama dan manajemen menengah) dengan manajer puncak terjadi pada 3 pernyataan. Pada 2 pernyataan yakni: 1) terkait inventarisasi aset tanah yang dibantu oleh appraisal; 2) pemanfaatan aset di SKPD, menunjukkan bahwa manajemen pelaksana memilki pemahaman bahwa kedua hal tersebut tidak terlalu penting dan tidak dilaksanakan dengan optimal (Kuadran IV) sedangkan manajer puncak beranggapan bahwa kedua hal tersebut sangat penting dan kinerja manajemen pelaksana perlu ditingkatkan. Sedangkan pada pernyataan pengawasan dan pengendalian atas aset telah dilaksanakan dengan baik dan periodik, manajemen pelaksana telah melaksanakan dengan baik, namun pada manajer puncak hal tersebut tidak menjadi perhatian. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pemahaman 3 tingkatan manajer terhadap variabel optimalisasi aset dianggap tidak mempengaruhi kinerja atas pengelolaan aset dan dianggap tidak terlalu penting untuk dilaksanakan. Analisis yang ketiga adalah analisis kontribusi aset terhadap pendapatan Kota Semarang. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat sejauhmana kemampuan keuangan Pemerintah Kota Semarang dalam membiayai pembangunan di Kota Semarang dengan melihat potensi pendapatan asli daerah termasuk didalamnya pendapatan dari aset yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Semarang. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kemampuan keuangan daerah Pemerintah Kota Semarang pada tahun 2009 adalah sebesar 24,84% dan kemampuan keuangan Pemerintah Kota Semarang termasuk dalam kategori rendah sekali. Pola hubungan antara Pemerintah Kota Semarang dengan Pemerintah Pusat masih instruktif, dimana menurut pendapat Harsey dan Blanchard dalam Halim ed (2001) Pemerintah Kota Semarang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah. Namun pada tahun 2010 dan 2011 terdapat peningkatan rasio kemandirian menjadi 25,32% dan 34,03% sehingga ada peningkatan dari awalnya pola instruktif menjadi konsultatif. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa penerimaan dari pengelolaan aset pada tahun 2010 sudah mencapai 20,97% dari PAD, namun apabila dibandingkan dengan TPD sebesar 4,21%. Pada Tahun 2011 terdapat peningkatan penerimaan aset secara nilai dari sebesar Rp 68.794.652.330 menjadi Rp. 79.849.697.615. Namun peningkatan penerimaan tidak sebanding dengan peningkatan persentase terhadap PAD, dimana terjadi penurunan persentase dari 20,97% (tahun 2010) menjadi 15,31% (tahun 2011) dan penurunan persentase penerimaan aset terhadap TPD dimana dari 4,21% (tahun 2010) menjadi 3,89% (tahun 2011). Hal ini sesuai dengan pendapat 409
Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
JPWK 8 (4)
dari Halim ed, (2001) bahwa terdapat 4 permasalahan dalam pengelolaan keuangan dan pendapatan daerah antara lain: 1) masalah pemanfaatan sumber‐sumber pendapatan daerah; 2) masalah pengukuran potensi‐potensi sumber penerimaan daerah; 3) masalah penggalian dan pemungutan pajak daerah, serta 4) masalah pengadministrasian penerimaan daerah (sistem dan organisasi). Analisis yang keempat adalah pengelolaan aset tanah milik Pemerintah Kota Semarang. Analisis ini dilakukan dengan metode kuantitatif deskriptif yakni dengan menghubungkan analisa pada 3 (tiga) analisa sebelumnya yakni analisa siklus pengelolaan aset, analisa pemahaman pelaku, dan analisa kontribusi aset tanah terhadap pendapatan daerah. Hasil analisa menunjukkan bahwa penyebab utama belum optimalnya kontribusi aset terhadap pendapatan daerah Kota Semarang disebabkan oleh “Pelaksanaan dalam siklus pengelolaan aset Kota Semarang yang belum optimal”. Berdasarkan hasil analisa tersebut, maka diperlukan sebuah upaya untuk meningkatkan kinerja pelaku dan pengelolaan aset milik Pemerintah Kota Semarang. Upaya yang dapat dilakukan adalah optimasi aset. Hasil analisa dengan menggunakan langkah‐langkah optimasi aset menunjukkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pemerintah Kota Semarang telah menginventarisir semua tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Semarang dan diinput dalam sistem manajemen barang daerah atau SIMBADDA. 2. Pemerintah Kota Semarang telah melakukan penilaian terhadap aset tanah yang dimiliki dengan menggunakan penilai eksternal yakni Kantor Jasa Penilai Publik dan diinput dalam SIMBADDA. Namun data dari Bidang Aset DPKAD menunjukkan beberapa aset yang belum bernilai. Dari hasil informasi lebih lanjut diketahui bahwa aset tanah yang belum bernilai kebanyakan berupa taman‐taman publik yang berada di perumahan yang dibangun oleh pengembang real estate. 3. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki daftar aset tanah yang berpotensi dan aset tanah yang tidak berpotensi. 4. Pemerintah Kota Semarang telah menyusun Rencana Induk Pengembangan Perekonomian (RIPE). Salah satu strategi yang disusun dalam RIPE memuat tentang optimalisasi manajemen pengelolaan aset daerah yang diproritaskan pada tersedianya data aset yang akurat dan pengamanan aset daerah serta meningkatkan kerjasama pengelolaan aset 5. Pemerintah Kota Semarang belum memilki Perda yang khusus membahas tentang optimasi aset. Dari hasil analisa terkait langkah‐langkah yang telah dijalankan oleh Pemerintah Kota Semarang tentang optimasi aset, dapat diambil sebuah simpulan bahwa Pemerintah Kota Semarang belum menjalankan atau menyusun rencana khusus tentang optimasi aset. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa dapat diketahui diperoleh 2 permasalahan terkait belum optimalnya pengelolaan aset tanah di Kota Semarang yakni: 1. Pelaksanaan dalam siklus pengelolaan aset yang belum dilaksanakan secara optimal 2. Pemerintah Kota Semarang belum memiliki dan menjalankan strategi terkait optimasi aset 410
JPWK 8 (4) Krisindarto Pengelolaan Aset Tanah Milik Pemerintah Kota Semarang
DAFTAR PUSTAKA BPK RI, 2011. Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Semarang Tahun 2010 No. 56/LHP/XVIII.SMG/05/2012 Tanggal 24 Mei 2011. Semarang: BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah. Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Pertama. Yogyakarta : UPP AMP YKPN. Halim, A dan Damayanti, T. 2007. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah: Pengelolaan Keuangan Daerah Edisi Kedua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Martilla, John A. dan James, John C. 1977. Importance‐Performance Analysis. Journal of Marketing. Vol 41. , pp. 77‐79. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Peraturan Walikota Semarang Nomor 19A Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Peterson, G.E. 2006. “Land leasing and Land Sale as an Infrastructure‐Financing Option”. World Bank Policy Research Working Paper 4043. New York: World Bank. Peterson, G.E dan Kaganova,O. 2010. “Integrating Land Financing into Subnational Fiscal Management”. World Bank Policy Research Working Paper 5409. New York: World Bank. Siregar, Doli. D. 2004. Manajemen Aset. Jakarta: Gramedia. Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang‐Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang‐Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Witter.E., Bitter.J. and Kasprzak.C., 2003, “Asset Management and City Government”. Proceeding of the 2003 Mid‐Continent Transportation Research Symposium. Iowa State University.
411