PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Dossi Rahdumi Anatia. F34102044. Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Di bawah bimbingan Muslich dan Khaswar Syamsu. 2007.
RINGKASAN Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan industri, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Kebanyakan plastik yang dipakai adalah plastik sintetis yang berasal dari minyak bumi, yang sifatnya tidak terbarukan. Sampah plastik ini sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan bahan plastik baru dari bahan baku yang terbarukan yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel. PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu poliester degradabel yang paling menjanjikan. PHA dapat dihasilkan melalui proses kultivasi menggunakan bakteri Ralstonia Eutropha. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Penggunaan hidrolisat pati sagu dalam produksi bertujuan untuk mereduksi biaya bahan baku produksi PHA dan memberikan nilai tambah kepada sagu Indonesia (51.3 % dari luas areal sagu didunia). PHA dari hidrolisat pati sagu dapat dibuat bioplastik dengan teknik solution casting menggunakan pelarut. Diperlukan pelarut yang sesuai agar PHA dapat berikatan baik dengan pemlastis dalam pembuatan film bioplastik. Perlakuan yang diberikan dalam pelarutan film bioplastik ini adalah perlakuan jenis pelarut, (kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida), perbandingan PHA-pelarut (1:10, 1:20, dan 1:30) dan suhu pelarutan (suhu kamar (25 0C) dan suhu 500 C). Analisa kinerja pelarut bioplastik dan pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kondisi pelarutan yang sesuai. Analisa kinerja pelarut bioplastik dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan Nilai absorbansi terendah didapatkan pada pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50o C yaitu sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Semakin rendah nilai absorbansi maka semakin baik kelarutan PHA didalam pelarut tersebut karena absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA yang terlarut didalam larutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut, suhu, blok, dan interaksi antara jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi larutan PHA. Hasil pengukuran kekeruhan menunjukkan nilai kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 50 0 C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 490 FTU untuk ulangan pertama dan 552 FTU untuk ulangan kedua, sedangkan nilai kekeruhan yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHA-pelarut
1:30 yaitu sebesar 38 FTUpada ulangan pertama sedangkan untuk ulangan kedua bernilai 39 FTU. Analisis keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara suhu dengan perbandingan PHApelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa peningkatan nilai viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHApelarut 1:30 pada suhu ruang yaitu 0.06 Cp (ulangan pertama) dan 0.09 Cp (ulangan kedua), sedangkan peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu 500C sebesar 0.384 Cp (ulangan pertama) dan 0.537 Cp (ulangan kedua). Peningkatan nilai viskositas disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut. Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Nilai swelling index larutan PHA pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu 50 0C dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 menunjukkan nilai swelling index yang terbesar jika dibandingkan dengan semua perlakuan yang diujikan yaitu sebesar 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua) sedangkan nilai swelling index yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata nilai swelling index. Berdasarkan hasil pengamatan fisik yang dilakukan, dari semua sampel yang diujikan, hanya sampel yang menggunakan pelarut kloroform yang dapat membentuk lembaran setelah dilakukan proses pelarutan. Blanko (PHB komersial) membentuk lembaran hanya pada perlakuan pelarut kloroform pada suhu 50 0C sedangkan pelarutan pada suhu ruang tidak menghasilkan lembaran.
DOSSI RAHDUMI ANATIA. F34102044. The Effect of Temperature Solvent Types and Solvent Ratio on Dissolve of Bioplastic from PHA (Poly-βhydroksialkanoates ) Produced by Ralstonia Eutropha Using Hydrolyzed Sago Starch. Supervised by Muslich and Khaswar Syamsu. 2007.
SUMMARY The reasons of using conventional plastics or often called plastics in many purposes in houseware and heavily entrenched in many industries are of its tough, light in weight and have more stable chemical structure. Most of conventional plastics are synthetic polymer is made from mineral-oil. These subtances made from unrenewable things that hard to be broken down into other substances by activities of naturally occuring microorganism. In fact, the conventional plastics has taken seriously environmental problem. The solutions are recycling, conducting technology of plastic degradation and the interesting solutions found in the developing biopolymers made from biorenewable resources, degraded in natural environments, and these called biodegradable polymers. PHA (Poly-β-hydroksialkanoate) is one of degradable polyesters that prominent to develop in the future. Substance of PHA can be produced through cultivation process of Ralstonia Eutropha bacteria. Substance of PHA has characteristics : high in strength, hard and can be used in several directions by adjusting on its composition. The objective of this research using material hidrolyzed sago starch was to reduce the cost of production PHA substance, all at once giving added value for Indonesian sago production that reachs 51.2% of production worlwide. In the case of PHA produced using hidrolysed sago starch, it can be made bioplastic using solution techniques, with the help of the kind of solvent. Of course, this procedure needs the right kind of solvent, including its concentration, to ensure PHA substances associated well to plasticizer to perform bioplastic film. The treatment on dissociate bioplastic film in this research are three types of solvent (chloroform, acetic acid glacial and dimetiformamide), three kind of ratio of concentration PHA-solvent (1:10, 1:20, 1:30) and two degree of celcius temperature (25oC (room temperature) and 50o C). This research then was completed with several analyse such analyse of performance of dissociation (i.e. absorbans test, turbidity test, viscosity test and swelling index test) and physical observation. The optimum value of abosorbans was obtained by chloroform at ratio of concentration of PHA-chloroform 1:30 run at temperature of 50 oC, valued as 0.375 on first repeating treatment, and as 0.25 on the second repeating treatment. This parameter values show that dissolved PHA in the solvent better with decrease in the values, because absorbans values describe model of dispersion and depend on the size of particle of PHA dissolved in the solvent. ANAVA Test showed that solvent, ratio of concentration PHA-solvent, temperature, block and the interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of absorbans of PHA dilution.
Turbidity test showed that the highest value obtained on the combination treatment of acetic acid on concentration of 1:10, run at temperature of 50 oC, that valued as 490 FTU on first repeating treatment, and valued as 552 FTU on the second repeating treatment. While the lowest value was on combination treatment of chloroform at ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at room temperature, valued as 38 FTU on the first repeating treatment and valued as 39 FTU on the second repeating treatment. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the value of Turbidity. ANAVA test showed that block, types of solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the increment of the value of viscosity. The lowest increment of value had obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-solvent 1:30, run at room temperature, that valued as 0.06Cp (first repeating treatment) and as 0.09 Cp (second repeating treatment), while the highest increment of value had obtained on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-solvent 1:10, run at temperature of 50oC, valued as 0.384 Cp (first repeating treatment) and as 0.537 Cp (on second repeating treatment). The changing size and formation of polymer dissolved in the solvent are considered as increased viscosity level. The ratio/swelling index is the ratio of swelling volume of polymer become such kind of gelatin, balanced with pure-solvent (Gordon, 1963). The Swelling index of PHA dilution on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at temperature of 50o C as the optimum value compared with another combination treatment, that valued as 115.197 (on first repeating treatment) and as 132.28 (second repeating treatment). The lowest value obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-dimetilformamide 1:10, run at room temperature. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent and interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of swellingindex. Based on physical observation on tested sample, the result refering to chloroform is considered to perform layer again after treatment. Blanko sample (commercial pure PHA) perform the layer only on the treatment using chloroform that conduct at temperature of 50° C, while other combination treatment conducted at room temperature was failed to produce thin film.
BIODATA RINGKAS
Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma
(Perhimpunan
Mahasiswa
dan
Masyarakat
Bojonegoro
Bogor)
kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI. Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
Dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1984 di Bojonegoro – Jawa Timur
Tanggal lulus :
Februari 2007
Ir. Muslich, MSi
Dr. Ir. Khaswar Syamsu,MSc
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
BIODATA RINGKAS
Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma
(Perhimpunan
Mahasiswa
dan
Masyarakat
Bojonegoro
Bogor)
kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI. Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1 B. TUJUAN .............................................................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4 A. PATI SAGU ......................................................................................... 4 B. HIDROLISAT PATI SAGU ................................................................ 5 C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkonoates) ....................................................... 7 D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) ........................................................... 8 E. Ralstonia eutropha ............................................................................... 10 F. PROSES PRODUKSI PHA ................................................................. 12 G. PROSES HILIR PHA ......................................................................... 14 H. PELARUT BIOPLASTIK ................................................................. 15 1. Kloroform.......................................................................................... 18 2. Asam Asetat Glasial .......................................................................... 19 3. Dimetilformamida ............................................................................. 20 III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 23 A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 23 1. Bahan ............................................................................................ 23 2. Alat ................................................................................................ 23 B. METODE PENELITIAN .................................................................... 24 1. Tahapan Penelitian ......................................................................... 24 a. Menentukan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan PHA ......................................................................... 25 b. Menentukan Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan ...................... 26
v
c.
Menentukan Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan Lembaran PHA ...................................................................... 26
2. Prosedur Penelitian ........................................................................ 27 a. Pembuatan Bahan Baku (PHA) .................................................. 27 b. Pembuatan Larutan Bioplastik ................................................... 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 35 A. MENENTUKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELARUTAN PHA ............................................................................ 29 a. Absorbansi (Optical Density) ..................................................... 32 b. Kekeruhan (Turbidimetry) ......................................................... 34 c. Viskositas ................................................................................... 36 d. Swelling Index ............................................................................ 38 B. INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR PERLAKUAN ............................ 40 a. Absorbansi (Optical Density) ..................................................... 40 b. Kekeruhan (Turbidimetry) ......................................................... 42 c. Viskositas ................................................................................... 44 d. Swelling Index ............................................................................ 46 C. MENENTUKAN PENGARUH PERLAKUAN DALAM PEMBENTUKAN LEMBARAN PHA ............................................... 47 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 54 A. KESIMPULAN .................................................................................... 54 B. SARAN ................................................................................................ 55 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 57 LAMPIRAN .................................................................................................... 63
vi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Karakter fisik PHA dan pebandingannya dengan bahan plastik lainnya ................................................................................... 9 Tabel 2. Nilai parameter kelarutan pada beberapa pelarut ............................... 17 Tabel 3. Sifat-sifat fisik kimia kloroform ........................................................ 19 Tabel 4. Sifat fisik dan kimia asam asetat glasial ............................................ 20 Tabel 5. Sifat fisik dan kimia dimetilformamida ............................................. 21 Tabel 6 . Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan kloroform ........................ 48 Tabel 7. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial............ 50 Tabel 8. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida ............ 51 Tabel 9. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni.................................... 52
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Tanaman sagu ............................................................................. 4
Gambar 2.
Granula pati sagu ........................................................................ 5
Gambar 3.
Proses hidrolisis pati menjadi glukosa ........................................ 6
Gambar 4.
Struktur kimia PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991) ................. 7
Gambar 5.
Struktur kimia molekul PHB (Laferty et al., 1988) .................... 9
Gambar 6.
Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha ............................... 11
Gambar 7.
Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001) ....... 13
Gambar 8.
Struktur kimia kloroform ........................................................... 18
Gambar 9.
Struktur kimia asam asetat .......................................................... 20
Gambar 10. Struktur kimia dimetilformamida................................................ 21 Gambar 11. Diagram alir tahapan penelitian .................................................. 24 Gambar 12. Rangkaian alat proses pelarutan bioplastik ................................. 28 Gambar 13. Diagram alir prosedur penelitian ................................................. 28 Gambar 14. Reaksi polimer dan pelarut dan reaksi penambahan pemlastis...................................................................................... 30 Gambar 15. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai absorbansi ........................... 33 Gambar 16. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan .......................... 35 Gambar 17. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas ....... 37 Gambar 18. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai swelling index .................. 39 Gambar 19. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai absorbansi .............................................................. 40
viii
Gambar 20. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai absorbansi .............................................................. 41 Gambar 21. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan ............................................................. 42 Gambar 22. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan ......................................... 43 Gambar 23. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas .................... 44 Gambar 24. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap peningkatan nilai viskositas........................................... 45 Gambar 25. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap nilai indeks swelling ..................................................... 46 Gambar 26. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai indeks swelling ...................................................... 47 Gambar 27. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan kloroform .................................................................................... 49 Gambar 28. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan asam asetat glasial ....................................................................... 50 Gambar 29. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan dimetilformamida ........................................................................ 52 Gambar 30. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHB blanko .................... 53
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba ... 63 Lampiran 2. Kelarutan PHA dalam berbagai pelarut ...................................... 64 Lampiran 3. Prosedur pembuatan bahan baku (PHA) ..................................... 65 Lampiran 4. Analisa kelarutan PHA ................................................................ 72 Lampiran 5. Data nilai pengujian kelarutan pada blanko ............................... 74 Lampiran 6. Data nilai absorbansi .................................................................. 75 Lampiran 7. Hasil analisis keragaman absorbansi ........................................... 77 Lampiran 8. Hasil uji lanjut nilai absorbansi .................................................. 78 Lampiran 9. Data nilai kekeruhan .................................................................... 79 Lampiran 10. Hasil analisis keragaman kekeruhan.......................................... 81 Lampiran 11. Hasil uji lanjut nilai kekeruhan ................................................. 82 Lampiran 12. Data nilai viskositas .................................................................. 83 Lampiran 13. Hasil analisis keragaman viskositas ......................................... 85 Lampiran 14. Hasil uji lanjut nilai viskositas.................................................. 86 Lampiran 15 . Data swelling index hasil analisa pelarut .................................. 88 Lampiran 16. Hasil analisis keragaman uji swelling index ............................. 91 Lampiran 17. Hasil uji lanjut nilai swelling index .......................................... 92
x
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Disisi lain, plastik menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius karena sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan beberapa melalui pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan plastik biodegradabel. PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu jenis plastik biodegradabel yang paling menjanjikan. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Poliester ini juga resisten terhadap kelembaban dan memiliki permeabilitas oksigen yang sangat rendah (Van Wegen et al., 1998). Poliester-poliester PHA dapat didegradasi secara biologis dan kompatibel untuk kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang jahit pada operasi bedah sampai bahan-bahan kemasan. Meskipun PHA menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk berbagai aplikasi namun secara komersial masih menghadapi kendala ekonomi. Nilai jual produk plastik PHA yaitu $ 16/kg yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai jual produk plastik berbasis petrokimia yang hanya sekitar $ 1/kg. Penurunan biaya produksi dapat diupayakan melalui pengembangan strain-strain bakteri, substrat kultivasi yang lebih murah, proses kultivasi yang lebih efisien dan proses recovery yang lebih ekonomis. Sagu merupakan salah satu alternatif bahan baku murah dan terbaharukan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan hidrolisat patinya, karena kandungan glukosa yang cukup besar dalam sagu serta kemudahan untuk mengekstrak patinya. Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Produksi pati sagu di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 6.333,88 ton dan meningkat menjadi 13.883,12 ton pada
tahun 2001 (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Cadangan pati sagu tiap tahunnya diperkirakan hanya 0,05 – 1 % yang dimanfaatkan untuk ekspor, 10 % sebagai bahan baku makanan tradisional dan 89 % beum termanfaatkan dengan baik (Wiyono et al., 1990). Menurut penelitian Atifah (2006) tentang pemanfaatan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon pada produksi bioplastik poli(3-hidroksialkanoat) oleh Ralstonia eutropha, PHA yang dihasilkan dengan substrat pati sagu termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) karena memiliki kemiripan titik leleh, gugus fungsional dan hasil metanolisis dengan PHB murni. PHB merupakan bahan termoplastik dengan banyak karakteristik menarik, salah satunya adalah kemiripannya dengan polipropilen. Permintaan pasar akan bahan termoplastik yang bersifat biodegradable ini juga sangat besar (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Kekurangan PHB sebagai bioplastik adalah bersifat rapuh dan kaku (Kim et al, 1994). Penggunaan bahan tambahan seperti pemlastis pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis tidak dapat dicampurkan begitu saja dengan PHB, diperlukan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai agar PHB dengan pemlastis dapat bercampur dengan baik (Allcock dan Lampe, 1981). PHB merupakan jenis polimer. Polimer memiliki molekul yang berbeda dengan molekul kebanyakan senyawa, karena memiliki rantai fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang terbagi ke dalam segmen kinetik yang bergerak translasional sangat lambat jika dibandingkan dengan molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), oleh karena itu pelarutan PHB dalam pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) (Pine et al., 1988). PHB dapat larut dalam beberapa pelarut organik (Lafferty et al. didalam Rehm and Reid, 1988). Kloroform, dimetilformamida dan asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang (Durrans dan Davies, 1988). Ketiga pelarut ini memiliki kelarutan yang tinggi dalam
2
PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) didapatkan pelarut terbaik adalah kloroform dengan perbandingan pelarut dan PHA 4:1, pelarut lain yang diujikan adalah aseton dan diklorometana. Wijanarko (2003) menyarankan adanya perlakuan suhu untuk menentukan kelarutan yang terbaik pada suhu diatas suhu ruang. Proses kimia dapat berjalan lebih cepat dengan naiknya suhu proses.
B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengaruh perlakuan suhu, jenis dan perbandingan PHA-pelarut terhadap kelarutan PHA. Selain itu juga untuk mendapatkan interaksi jenis pelarut dan kondisi pelarutan
(perbandingan
PHA-pelarut
dan
suhu)
yang
sesuai
bagi
pembentukan film bioplastik yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat pati sagu.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PATI SAGU Sagu adalah tanaman berbiji tunggal (monokotil) yang berasal dari keluarga Palmae, marga Metroxylon, Ordo Spadiciflorae (Gambar 1). Keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi ini berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata Metra yang berarti batang atau empulur dan xylon yang berarti xylem. (Flach, 1997)
Gambar 1. Tanaman sagu Potensi pemanfaatan sagu di Indonesia sangat besar. Saat ini setidaknya ada hutan sagu 1,25 juta hektare (Ha) di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semi budidaya di kepulauan Riau, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan tersebut merupakan lahan sagu terbesar di dunia. Sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif bagi masyarakat Indonesia karena sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektare (Ha), jauh melebihi beras atau jagung. Kadar pati kering dalam sagu diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton (Humas, 2006). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin
selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1997). Pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman sagu dengan bantuan air.
Tahapan proses pengolahan pati sagu secara
tradisional meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan pengemasan
(Haryanto
dan
Pangloli,
1992).
Menurut
Abner
dan
Miftahorrahman (2002), secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat dihasilkan 100-600 kg pati sagu kering. Rendemen untuk pengolahan yang ideal adalah 15 %. Pati sagu merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20-60 μm dan suhu gelatinisasinya berkisar antara 60-72 0C (Knigt, 1969). Gambar granula pati sagu dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Granula pati sagu (Winarno, 1997) B. HIDROLISAT PATI SAGU Sirup glukosa (hidrolisat pati) adalah nama dagang dari larutan hidrolisis pati, larutan ini merupakan cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisa pati dengan cara kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pati menjadi molekul glukosa dapat dilihat pada Gambar 3.
5
(C6H10O5)n pati
+ n H2O
Katalis, panas
(C6H12O6)n Glukosa
Gambar 3. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa(Winarno, 1997) Hidrolisis pati secara kimiawi dengan menggunakan asam lebih mudah dilakukan dibandingkan secara enzimatis. Peralatan yang diperlukan juga tidak terlalu rumit. Namun timbul beberapa masalah, seperti peralatan yang digunakan harus tahan korosi dan DE (dextrose equivalent) yang dihasilkan lebih rendah dibanding hidrolisis secara enzimatis (Berghmans, 1981). Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih spesifik prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian murah, dihasilkan lebih sedikit produk samping dan abu serta kerusakan warna yang dapat diminimalkan (Norman di dalam Birch et al., 1981). Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri atas tiga tahapan dalam mengkonversi pati yaitu : gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari larutan pati yang disebabkan adanya kenaikan suhu (di atas 55oC), likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas enzim α-amilase yang memecah ikatan α-(1,4)-glikosidik di bagian dalam rantai polisakarida secara acak menghasilkan oligosakarida yang mengandung 6-7 maltosa (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984). Proses selanjutnya adalah sakarifikasi. Sakarifikasi merupakan proses hidrolisis oligosakarida (hasil dari tahap likuifikasi) lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa (Chaplin dan Bucle, 1990). Sakarifikasi dengan enzim amiloglukosidase (AMG) selanjutnya akan memutuskan rantai molekul maltosa menjadi glukosa bebas. Tidak seperti likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984). Menurut penelitian Akyuni (2004) tentang pemanfaatan sagu untuk membuat sirup glukosa menyatakan bahwa produksi hidrolisat pati sagu
6
secara enzimatis memiliki nilai DE tertinggi (50,83) pada tahap likuifikasi diperoleh dengan waktu proses selama 210 menit dan pada konsentrasi αamilase 1,75 U/g pati, pH hasil proses likuifikasi ditepatkan menjadi 4-4,5 sebelum dilanjutkan ke proses sakarifikasi. Pada tahap sakarifikasi, nilai DE tertinggi (98,99) diperoleh pada konsentrasi amiloglukosidase 0,3 U/g pati dan waktu sakarifikasi 48 jam. C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) adalah suatu famili poliester thermoplastis bermolekul tinggi yang terbentuk secara alami atau melalui cara bioteknologi khusus (Utz et al., 1991). PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) dan kopolimer Poly-β-Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate (PHB-coPHV) merupakan dua tipe famili PHA yang paling banyak diteliti secara intensif dan telah banyak dijumpai di pasaran. PHA alami mengandung sekelompok n-alkil. Struktur PHA dapat dilihat pada Gambar 4. R
PHA rantai pendek R = H, CH3, CH2CH3
O
O
O n
PHA rantai menengah R = (CH2)2CH3–(CH2)8CH3
Gambar 4. Struktur kimia PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991) Berbeda dengan plastik konvensional yang dibuat dari bahan berbasis petrokimia, PHA dibuat dari bahan baku tumbuhan yang dapat diperbarui yang digunakan sebagai substrat fermentasi (Yoshida et al., 1996). PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) terakumulasi di dalam bakteri sebagai hasil ketidakseimbangan nutrisi yang terjadi saat kelebihan karbon dan energi. PHA memiliki sifat termoplastik dan elastomer tergantung dari komposisi monomernya dan dapat terdegradasi secara sempurna. PHA dibentuk dalam sitoplasma sel, bentuknya dapat berupa granula dan kristal. Granula tersebut mengandung PHA depolimerase yang terdapat dalam membran protein atau pada sitoplasma yang menyebabkan terjadinya
7
degradasi polimer. PHA memiliki karakteristik kimia dan fisik yang dibutuhkan bagi penggunaannya sebagai termoplastik komersial. Polimer ini dapat digunakan lebih lanjut melalui pencetakan larutan maupun pelelehan untuk
membentuk
serat,
film,
plastik
fleksibel,
dan
plastik
rigid
(Timmins et al., 1993). Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988) PHA memiliki densitas yang berkisar antara 1.171 dan 1.260 g.cm-3. Nilai densitas yang lebih rendah berhubungan dengan densitas amorf, sedangkan nilai densitas yang lebih tinggi berkenaan dengan densitas kristalin. Titik leleh PHA bervariasi dan biasanya berada diantara 157 dan 188oC. PHA memiliki karakteristik thermoplastik dan dapat diekstrusi dan/atau diberi penekanan. PHA telah dibuktikan bersifat biodegradabel dalam lingkungan mikrobial aktif baik aerobik maupun anaerobik seperti pada limbah kompos aerobik dan anaerobik, sediman estuarin, tanah, air sungai, dan air laut (Krupp dan Jewel, 1992; Page et al., 1992; Doi et al., 1991). PHA dapat digunakan sebagai benang jahit pada operasi medis, peralatan rekaman karena sifat piezoelektrik yang baik, substitusi untuk poliester sintetis pada pembuatan serat dan sebagai bahan kemasan. Selain itu PHA dapat juga ditenun menyerupai wool katun sehingga cocok digunakan sebagai popok bayi (Crueger dan Crueger, 1984). D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) Poly-β-Hydroxybutyrate (PHB) sebagai salah satu jenis PHA merupakan suatu polimer linier dan di bawah kondisi normal merupakan komponen yang relatif tidak reaktif. PHB dengan
kopolimer Poly-β-
Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate (PHB-co-PHV) memiliki sifat-sifat termoplastik yang baik. PHB sering dibandingkan dengan polipropilen karena sifat fisiknya yang serupa. Perbedaannya adalah bahwa PHB sangat rapuh untuk beberapa penggunaan, dengan rasio elastisitas hampir dua kelas lebih rendah dibandingkan
dengan
polipropilen.
Perbandingan sifat-sifat kimia PHB dan polipropilen dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia polipropilen (PP) dan poly-β-hydroxybutyrate (PHB) PARAMETER
PP
PHB
171-186
171-182
-15
5-10
Kristalinitas (%)
65-70
65-80
Densitas (gcm-3)
0,905-0,94
1,23-1,5
2,2-7,0
1-8
Distribusi Bobot Molekul
5-12
2.2-3.0
Modulus Kelenturan (Gpa)
1,7
3,5-4,0
Kekuatan Tarik (Mpa)
39
40
Pemanjangan Hingga Putus (%)
400
6-8
Buruk
Baik
Baik
Buruk
1700
45
Titik Cair, Tm (oC) Suhu Transisi Kaca, Tg (oC)
Bobot Molekul, (Mw (x105)
Retensi Terhadap Ultraviolet Retensi Terhadap Pelarut 3
-2
-1 -1
Permeabilitas Oksigen (cm m atm d ) Sumber : Timmins et al., (1993)
Kopolimer PHB-co-PHV lebih fleksibel sehingga lebih disukai untuk beberapa
penggunaan
(Poirier
et
al.,1995
seperti
dikutip
oleh
Ayorinde et al., 1998). Sperling dan Carraher di dalam Kroschwitz (1990) menambahkan bahwa dengan kandungan komonomer yang rendah polimer tersebut menyerupai polivinilklorida yang tidak plastis, sedangkan dengan kandungan monomer yang cukup polimer ini memiliki sifat seperti polipropilen. Struktur kimia molekul PHB dapat dilihat pada Gambar 5. CH3 | CH
O
O || C
O
CH2
n Gambar 5. Struktur kimia molekul PHB (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid 1988)
9
Pada konsentrasi yang tinggi dengan menurunnya kristalinitas, maka polimer ini lunak dan liat seperti polietilen. Meskipun PHB lebih rapuh dan lebih sensitif terhadap pelarut dibandingkan dengan
poliester komersial,
namun PHB memiliki resistansi yang lebih besar terhadap radiasi ultraviolet dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan Crueger di dalam Brock, 1984). Ketahanan kimia PHB terhadap minyak sangat baik dan polimer tersebut juga bersifat tahan terhadap cairan dan impermeable (Kemmis, 1993). Penggunaan PHB memberikan keuntungan dari sisi pertimbangan lingkungan karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis. Dawes dan Sutherland (1976) menyatakan bahwa PHB merupakan polimer linier. Degradasinya memerlukan aktivitas proteolitik yang diikuti dengan hidrolisis oleh PHB depolimerase menjadi dimer dan selanjutnya dipecah menjadi monomer-monomer. Menurut Hrabak (1992), PHB mempunyai karakteristik mirip polipropilen dengan tiga keunikan, yaitu termoplastik, 100% tahan air, dan 100% biodegradable. Lindsay (1992) dan Holmes di dalam Bassett (1988) menambahkan bahwa PHB mempunyai beberapa karakteristik yang banyak diinginkan seperti ketahanan terhadap uap air dan tidak larut di air. Karakter inilah yang membedakan PHB dengan biodegradable plastik yang lain. PHB juga mempunyai impermeabilitas yang baik terhadap oksigen. E. Ralstonia eutropha Menurut Ishizaki dan Tanaka (1991) Ralstonia eutropha merupakan bakteri
kemoautotrof
fakultatif
yang
dapat
mengakumulasi
poli-β-
hydroksyalkanoates (PHA) sebagai cadangan energi dalam kondisi kultur yang mengandung sedikit mineral atau oksigen. Genus Ralstonia eutropha berbentuk batang, batang bulat atau bulat dengan diameter 0,5-1,0 mikrometer dan panjang 0,5-2,6 mikrometer. Ralstonia eutropha memiliki flagel berbentuk peritrichous dan bersifat aerob obligat.
10
Gambar 6. Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha (www.metabolix.com, 2006) Ralstonia eutropha termasuk dalam bakteri gram negatif yang mampu mengakumulasi PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) sebagai cadangan energi di bawah kondisi kultur yang mengandung sedikit mineral atau oksigen (Ishizaki dan Tanaka, 1991). Akumulasi PHA terjadi setelah kondisi
keterbatasan
oksigen terjadi. Bobot kering sel dan perolehan PHA lebih tinggi pada kondisi keterbatasan oksigen dibandingkan kondisi keterbatasan amonium. Kemmish (1993) mengatakan bahwa Ralstonia eutropha mampu mengakumulasi hingga 80 % polimer dalam berat kering sel. Klem di dalam Robinson et al. (1999) menyatakan berdasarkan kajian sekuens dan hibridisasi 16S RNA, Alcaligenes eutrophus sekarang dikelompokkan ke dalam genus
Ralstonia
dengan nama baru Ralstonia
eutropha. Pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung tiga jenis gen yang diperlukan untuk sintesa PHB, yaitu phaA, phbB, dan phbC. PhbA (yaitu ketothiolase) bergabung dengan dua molekul asetil-KoA untuk menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi D-βhidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-CoA yang membutuhkan NADPH). Molekul D-β-hidroksibutiril-KoA membentuk unit monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (yaitu suatu PHB sintetase). Pada lingkungan yang kaya, PHB secara enzimatis didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan dimineralisasi menjadi karbondioksida. Degradasi dimulai oleh dipolimerase
11
yang dikode sebagai gen phbZ. Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh R. eutropha dari karbohidrat secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Babel et al. di dalam Scheper (2001) menyatakan bahwa meskipun faktor-faktor pembatas (ammonium, oksigen, fosfat, sulfat, K+, Mg2+ atau Fe2+) memiliki peran dan pengaruh fisiologis yang berbeda, namun secara kualitatif bakteri merespon pembatasan-pembatasan tersebut dalam bentuk yang hampir sama. Konsentrasi intraseluler asetil-KoA yang tinggi akan menunjang sintesis asetoasetil-KoA, sementara itu ekivalen pereduksi (reducing equivalent) harus ada untuk menarik asetoasetil-KoA yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan. Secara umum, pasokan nutrisi yang tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis PHB. Ketika siklus TCA dihambat maka laju pelepasan 2/H/ (melalui siklus TCA) dan jumlah 2/H/ yang tersedia menurun. Jika siklus TCA terhenti maka reaksi sebelum siklus TCA harus menyediakan 2/H/ yang dibutuhkan untuk mereduksi asetoasetil-KoA menjadi 3-hidroksibutiril-KoA. Dengan demikian, jika ditambahkan glukosa maka siklus TCA tertunda dan sintesis PHB terjadi (Babel et al. di dalam Scheper, 2001). F. PROSES PRODUKSI PHA Proses produksi PHA secara umum terdiri dari dua tahap utama, yaitu kultivasi dan isolasi PHA. Tahap kultivasi merupakan tahap pertumbuhan biomas sel dan akumulasi biopolimer PHA. Setelah kultivasi berakhir, dilakukan pemanenan biomassa dan biopolimer yang diikuti dengan tahap isolasi biopolimer. Pemisahan biopolimer dapat dilakukan dengan pelarut (solvent based) maupun tanpa pelarut (non-solvent-based). Pemisahan tanpa pelarut pada dasarnya adalah proses melarutkan biomassa non-PHA, diikuti dengan sentrifugasi atau ultrafiltrasi. Pemisahan dengan pelarut merupakan proses ekstraksi PHA dengan pelarut, diikuti dengan presipitasi dengan air/metanol (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001). Tinjauan umum proses produksi PHA lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 7.
12
KULTIVASI TAHAP 1
PRODUKSI BIOMASSAA Perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang
KULTIVASI TAHAP 2
AKUMULASI POLIMER PHA Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas
PEMANENAN
ISOLASI
Tanpa Pelarut Dengan Pelarut • Pelarutan biomassa non- • Ekstraksi PHA dengan PHA pelarut • Sentrifugasi / ultrafiltrasi • Presipitasi dengan metanol /air Gambar 7. Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001).
Secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch (curah), fed-batch (terumpani) maupun kontinyu (sinambung).
Sistem fed-batch
banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA didalam sel. Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed-batch, densitas biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci menurun dan hampir habis. Level substrat pembatas yang rendah tersebut dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi secara konstan (Nielsen dan Villadsen di dalam Rehm et al., 1993). Terkait dengan penggunaan glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha, beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama kultivasi fed-batch untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal bagi akumulasi PHB (Lee dan Choi di dalam Babel dan Steinbuthchell, 2001). Menurut Atifah (2006), hidrolisat pati sagu dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA baik pada kultivasi batch (curah) maupun pada kultivasi fed-batch. Akan tetapi, kultivasi fed-batch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu adalah yang paling efektif diterapkan untuk meningkatkan konsentrasi PHA dan rendemen PHA
13
di dalam sel meskipun tidak efektif untuk meningkatkan konsentrasi sel. Konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel dapat meningkat lebih dari dua kali lipat (3,72 g/L atau 76,54% dari bobot kering sel) dibandingkan dengan hasil kultivasi batch (1,44 g/L atau 32,65% dari bobot kering sel) pada kondisi karbon berlebih dengan indikasi nutrisi pembatas berupa magnesium, sulfat, nitrogen dan fosfat. Ralstonia eutropha tumbuh paling baik pada konsentrasi gula awal 30 g/L dengan laju pertumbuhan spesifik maksimal 0,108/jam dan rendemen molekuler (Yx/s) sebesar 0,227 g sel/g gula. G. PROSES HILIR PHA Ketika tahapan kultivasi telah selesai, sel yang mengandung PHA harus dipisahkan dari media kultivasi dengan berbagai prosedur konvensional seperti sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi. Sel selanjutnya dipecah agar polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001). Hal ini senada dengan Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988), proses pemisahan biomassa yang mengandung PHA biasa dilakukan dengan cara sentrifugasi atau flokulasi dan sentrifugasi, kemudian tahap selanjutnya adalah pemisahan PHB/PHAs dari biomassa. Pemisahan PHA/PHB dari biomassanya dapat dilakukan dengan ekstraksi pelarut, proses digest dengan sodium hipoklorit dan proses digest secara enzimatis (Lee, 1996). Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform, metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan) namun proses tersebut membutuhkan pelarut dalam jumlah besar (Lee, 1996). Beberapa metode lain juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah bahan-bahan sel non-PHA secara bertahap.
Meskipun efektif, sodium
hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001). Lee et al. (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama satu jam pada suhu 30oC dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%. Apabila waktu pemecahan (digestion) diperpanjang hingga lima jam maka kemurnian PHB
14
meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu murah dan ramah lingkungan, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan selama proses ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB. PHA diketahui dapat larut dalam kloroform (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988) dan cara ini telah lama digunakan untuk mengekstrak PHA dari biomassa mikrobial. Larutan PHA-kloroform dipanaskan pada suhu 40oC selama 20 jam. PHA-kloroform selanjutnya disaring dengan kertas saring whatman 40 untuk memisahkan ampas dan larutan PHA-kloroform. Kloroform diuapkan pada ruang asam sehingga PHA yang tersisa membentuk suatu lapisan PHA kering yang lebih murni. H. PELARUT BIOPLASTIK Mellan (1950) menjelaskan bahwa pelarut dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok polar dan non polar. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa non polar untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa kovalen polar atau senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan perkataan lain, sejenis melarutkan sejenis (Keenan et al., 1984). Perbedaan dari kedua kelompok tersebut adalah potensial elektrik. Kelompok non polar tidak memiliki potensial elektrik pada molekulnya, sedangkan kelompok polar memiliki potensial elektrik pada molekulnya. Pelarut yang memiliki gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar, misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non polar. Senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar, misalnya air (Mellan,1950) . Terdapat berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai mengandung atom yang sangat elektronegatif, seperti oksigen, maka efek induktif (dorongan elektron dalam ikatan kovalen menuju elektron yang lebih elektronegatif) menyebabkan rantai terpolarkan. Oleh karenanya tarikan dipoldipol terjadi dan bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai tetangganya. Gugus polar pada satu rantai mengimbas dipol pada rantai
15
tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya tarik antara dipol-imbasan dan dipol tetap disebut gaya imbas (gaya induksi) dan biasanya kecil. Jenis gaya ini dikenal dengan gaya London atau gaya dispersi. Elektron pada suatu saat tertentu dalam atom, tidak tersebar secara setangkup diseputar intinya, karena lebih banyak elektron berada pada suatu sisi daripada sisi yang lainnya. Akibatnya terjadi dipol sementara, dengan cara yang sama dipol sementara terjadi pada rantai polimer dan mengimbas dipol pada rantai tetangganya, menghasilkan tarikan antar rantai. Untuk rantai polimer yang mempunyai dipol, gaya tarik atau gaya Van Der Waals, dan sebagian besar disebabkan oleh gaya London (Cowd didalam Clark, 1991). Gaya Van Der Waals tersusun dari beberapa gaya tarik antar molekul. Gaya-gaya tersebut adalah gaya orientasi, gaya induksi
dan gaya
dispersi/London. Apabila molekul-molekul yang membentuk kristal molekuler mempunyai momen dipol dan molekul-molekul mempunyai orientasi yang tepat, maka akan terjadi gaya tarik dipol-dipol. Gaya yang timbul disebut gaya orientasi. Gaya tarik molekul atau atom non polar dengan molekul polar cukup besar karena adanya induksi kepada molekul atau atom yang non polar. Gaya tarik yang terjadi disebut gaya induksi, sedangkan molekul-molekul polar seperti gas mulia tidak mempunyai dipol, molekulnya
simetris, adanya
perpindahan sedikit dari kedudukan inti dan elektron dalam molekul, menyebabkan terjadinya dipol pada molekul lain akibat induksi, hingga terjadi gaya tarik, yang disebut gaya tarik dispersi (Sukardjo, 1989). Tarikan antar-rantai jenis lainnya yang penting adalah akibat ikatan hidrogen yang dapat dipandang sebagai suatu bentuk khas antar aksi dipoldipol. Ketika atom hidrogen terikat pada atom yang sangat elektronegatif, maka inti hidrogen hampa akan elektron pelindung sebab awan pasangan elektron tertarik pada atom yang lebih elektronegatif (efek imbas). Inti hidrogen kemudian membentuk ujung yang positif dipol kuat dan mencari daerah kerapatan elektron tinggi misalnya atom elektronegatif (mempunyai muatan) yang terbentuk pada rantai tetangganya. Hasilnya adalah tarik menarik antar rantai yang kuat.
16
Cairan dapat menjadi pelarut yang baik bagi suatu polimer apabila molekul-molekul dari cairan tersebut menyerupai unit-unit struktural polimer secara kimia dan fisik (Allcock dan Lampe, 1981). Sedang menurut Rabek (1983), pelarut polimer yang baik adalah pelarut yang memiliki parameter kelarutan sama atau mirip dengan parameter kelarutan polimer yang akan dilarutkan. Parameter kelarutan itu adalah gaya dispersi, kapasitas ikatan hidrogen serta polaritas dan interaksi induksi. Parameter kelarutan ketiga pelarut dapat dilihat pada Tabel 2 . Tabel 2. Nilai parameter kelarutan pada beberapa pelarut* Gaya
Kapasitas Ikatan
Polaritas dan
Dispersi
Hidrogen
Interaksi Induksi
Kloroform
8,65
1,5
2,8
Asam asetat
7,1
3,9
6,6
Dimetilformamida
8,52
6,7
5,5
Pelarut
*) Rabek, 1983 Suatu pelarut yang ideal ditandai oleh kemampuannya untuk melarutkan sejumlah polimer dalam selang temperatur yang dibatasi oleh temperatur kristalisasi larutan atau temperatur pengadukan yang rendah dan pada temperatur dimana tekanan uap larutan sebesar 1 torr (1 torr = 1/760 atm = 133,322 N m-2 (SI)). Pada prakteknya pelarut polimer ideal seperti itu tidak ada.
Suatu
bahan
yang
bersifat
non-pelarut
ditandai
dengan
ketidakmampuannya untuk melarutkan polimer pada temperatur berapapun di bawah tekanan atmosfer (Rabek,1983). Allock dan Lampe (1981) menjelaskan bahwa pelarut yang baik bersifat mudah menguap sehingga akan menguap dengan laju penguapan yang sesuai pada suhu ruangan atau sedikit di atas suhu ruang. Pelarut ini juga tidak terlalu volatil sehingga tidak akan menguap terlalu cepat dan membentuk gelembung atau endapan semikristalin. Penguapan yang terlalu cepat dalam pembuatan film dapat menyebabkan pendinginan film sehingga menyebabkan terjadinya penarikan atau kondensasi air dan udara.
17
Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991). Kelarutan PHB dalam beberapa pelarut dapat dilihat pada Lampiran 2. 1. Kloroform (CHCl3) Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3), merupakan pelarut aprotik yaitu pelarut yang molekul-molekulnya tidak ikut serta dalam kesetimbangan yang melibatkan proton, memiliki tetapan dielektrik sebesar 4,81 (Rivai, 1995). Kloroform sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun
mudah
menguap,
memiliki
stuktur
molekul
tetrahedral
3
(Anonim , 2005).
Gambar 8. Struktur kimia kloroform (Anonim3, 2005) Kloroform merupakan cairan dengan berat molekul tinggi, tidak berwarna, berbau harum, dan sangat toksik. Senyawa ini bersifat toksik dan narkotik, sehingga tidak digunakan secara luas sebagai pelarut. Cairan ini juga bersifat stabil dengan titik didih rendah (Mellan, 1950). Kloroform juga memiliki daya larut yang sangat tinggi dan telah dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan khusus seperti pelarut lemak, minyak, lilin, alkaloid dan lain-lain. Kloroform digunakan sebagai pelarut yang umum pada industri lemak, gum, minyak, parafin/lilin, plastik dan polimer (Anonim3, 2005). Kloroform dapat larut dengan semua hidrokarbon terhalogenasi dan dengan sebagian besar pelarut lainnya. Sifat fisika dan kimia kloroform dapat dilihat pada Tabel 3.
18
Tabel 3. Sifat-sifat fisik kimia kloroform* Parameter Berat Molekul
Nilai 119,3
Titik Didih
60-62 oC
Titik Beku
-63,5 oC
Gravitasi Spesifik
1,499 (15 oC)
Panas Spesifik
0,233 Cal/g atau B.t.u/lb/oF 59,1 Cal/g 106,4 B.t.u/lb
Kalor Laten Penguapan
5,63 millipoise (20 oC) Viskositas *) Mellan (1950)
5,10 millipoise (30 oC)
2. Asam Asetat Glasial (CH3COOH) Asam asetat glasial merupakan larutan yang mengandung 99.5 % asam asetat (methane carboxylic acid atau ethanoic acid). Termasuk dalam golongan senyawaan asam karboksilat. Jernih, asam organik yang tidak berwarna, memiliki bau yang khas seperti cuka, digunakan sebagai pelarut dalam industri karet, plastik, serat asetat, obat-obatan, dan fotografi. Asam asetat glasial mendidih pada suhu 118°C, dan memiliki densitas sebesar 1.049 g/mL pada 25°C. mudah terbakar pada titik nyala api 39°C. Asam asetat larut pada semua perbandingan dalam air, etil alkohol, dan dietil eter dengan ikatan hidrogen, bersifat sangat korosif (Anonim1, 2005). Asam asetat glasial juga digunakan untuk sintesis anhidrat asam asetat, ester, garam, zat warna, zat wangi, bahan farmasi, plastik, serat buatan, selulosa dan sebagai penambah makanan. Asam asetat glasial ini bersifat racun, berbahaya dan termasuk bahan yang korosif. Cairan dan uapnya dapat menyebabkan luka bakar yang hebat pada seluruh jaringan tubuh manusia, jika tertelan dapat menyebabkan kerusakan yang fatal, dan jika terhirup berbahaya bagi paru-paru dan gigi, bersifat mudah terbakar baik dalam bentuk cairan ataupun uapnya (Anonim2, 2005).
19
CH3
C
Gambar 9. Struktur kimia asam asetat (Anonim1, 2005) Asam asetat adalah pelarut yang polar, sama seperti etanol dan air dengan konstanta dielektrik sebesar 6,2. Seperti halnya pelarut kloroform dan hexana, asam asetat glasial tidak hanya melarutkan senyawa-senyawa polar seperti gula dan garam organik, tetapi juga dapat melarutkan senyawa non-polar seperti minyak dan elemen lain (polimer). Hal ini memungkinkan asam asetat menjadi pelarut yang dapat dipakai secara luas oleh industri (Anonim1, 2005). Tabel 4. Sifat fisik dan kimia asam asetat glasial* Sifat fisik/kimia Penampakan Bau Kelarutan Densitas pH Titik didih Titik lebur Molaritas *) Anonim1, 2005
Nilai jernih/bening,tak berwarna Kuat, seperti cuka Sangat larut (berbagai perbandingan) 1,05 kg/L 2,4 (1.0M solution) 118 0 C (244F) 16,6 0 C (63F) 60,05 g/mol
3. Dimetilformamida (HCON(CH3)2 Dimetilformamida merupakan gugus alkil dari formamida, termasuk golongan amida yang merupakan turunan asam karboksilat, gugus –OH diganti dengan –NH2 atau amoniak dan satu H diganti dengan asil. Pada suhu kamar berbentuk cairan yang jernih, larut dalam air dan pelarut organik pada umumnya. Dimetilformamida termasuk pelarut yang sering digunakan dalam reaksi kimia, dalam keadaan murni tidak berbau,
20
namun DMF yang terdegdradasi karena penanganan teknik memiliki bau amis yang berasal dari pengotor dimetilamina (Anonim4, 2006).
CH3
CH3 Gambar 10. Struktur kimia dimetilformamida (Anonim4, 2006) Dimetilformamida adalah pelarut polar yang aprotik dengan titik didih yang tinggi, larut dalam pelarut organik yang lain yaitu alkohol, eter, aseton, benzene dan kloroform. Disintesa dari asam formiat dan dimetilamin. DMF tidak stabil dalam basa kuat seperti NaOH atau asam kuat seperti HCl atau H2SO4 dan akan kembali ke dalam bentuk asam formiat dan dimetilamnia, terutama pada suhu tinggi. Digunakan sebagai pelarut dalam produksi serat akrilik , plastik, obat-obatan, pestisida, kulit sintetis, serat dan film (Howard, 1993; Gescher, 1993). Dimetilformamida dapat menembus hampir semua jenis plastik dan membuat plastik mengembang. Sifat fisika dan kimia dimetilformamida dapat dilihat pada Tabel 5. Dimetilformamida dapat menyebabkan kanker manusia (bersifat karsinogenik), itu juga menyebabkan cacat pada janin. Pada beberapa sektor industri wanita dilarang bekerja dengan DMF (Farquharson et al., 1983). Tabel 5. Sifat fisik dan kimia dimetilformamida* Sifat fisik/kimia Bobot Molekul
Penampakan Densitas, fase Titik lebur Titik didih Konstanta dielektrik Indeks polaritas Titik nyala
*) Anonim4, 2006
Nilai 73,09 g/mol Cairan jernih 0,944 g/cm³, cairan -61 °C (212 K) 153 °C (426 K) 36,7 6,4 58 °C
21
Air Pati sagu
Menurut penelitian Wijanarko (2003) pelarut terbaik adalah kloroform dengan nilai absorbansi 0.04 + 0.01 dan nilai swelling index sebesar 5.28 + 2.82. Hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan viskositas larutan PHA. Waktu pencampuran PHA setelah jam ke-48 menunjukkan fasa dan homogenitas larutan yang tidak signifikan dilihat dari pengamatan visual.
22
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan film bioplastik adalah poli-β-hidroksialkanoates (PHA) hasil kultivasi aerob bakteri Ralstonia eutropha dengan substrat hidrolisat pati sagu. Proses kultivasi tersebut menggunakan strain bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Celular Bioscience, The University of Tokyo. Sumber karbon yang digunakan dalam substrat kultivasi adalah hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp) yang dipersiapkan melalui hidrolisis enzimatis pati sagu dengan enzim αamilase dan amiloglukosidase. Bahan-bahan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah nutrien broth, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4 0,1 M, FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H20, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O, buffer tris-hidroklorida, NaOH, dan NH4OH. Bahan yang digunakan untuk analisa kinerja pelarut bioplastik adalah PHA, PHB murni, kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida. 2. Alat Alat-alat utama yang digunakan untuk kultivasi PHA adalah shaking waterbath, termometer, autoklaf, pH meter, bioreaktor 10 liter, sentrifuse kecepatan tinggi, homogenizer, desikator, dan clean bench. Peralatan yang digunakan untuk analisa pelarut adalah neraca analitik, termometer, pendingin tegak, water bath, magnetic stirer, toples kecil,
stirer,
pipet
mikro,
pompa
vakum,
corong
pemisah,
spektrofotometer CECIL seri 2000, spektrofotometer DR 2000 dan viskosimeter.
B. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini dibagi menjadi tahapan penelitian dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkah-langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan prosedur penelitian merupakan urutan kegiatan dan tata cara teknis tentang penelitian yang dikerjakan. 1. Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu (a) Menentukan faktorfaktor yang mempengaruhi kelarutan PHA, (b) Menentukan interaksi faktor-faktor perlakuan dan (c) Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.
Mulai
Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA
Menentukan interaksi faktor-faktor perlakuan
Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA
Selesai
Gambar 11. Diagram alir tahapan penelitian
24
a. Menentukan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan PHA Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA dalam pelarut organik meliputi jenis pelarut, perbandingan pelarut-PHA dan suhu Hal ini didasarkan pada pernyataan Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Identifikasi pengaruh perlakuan dilakukan dengan analisis ANOVA mengggunakan rancangan percobaan acak blok faktorial 3x2x3 dengan ulangan/replikasi sebagai bloknya. Variabel respon dalam penelitian ini adalah nilai absorbansi, kekeruhan, viskositas dan indeks swelling. Masing-masing perlakuan yang dimaksud adalah : A. Jenis pelarut yang digunakan A1 = kloroform A2 = asam asetat glasial A3 = dimetilformamida B. Suhu B1 = suhu kamar (25oC) B2 = 500 C C. Perbandingan PHA dengan pelarut C1 = 1:10 C2 = 1:20 C3 = 1:30 Model umum rancangan percobaan adalah sebagai berikut : Yijkl = μ + Ai + Bj + Ck + Dl + (AB)ij+ (AC)ik+ (BC)jk + (ABC) ijk + ε l(ijk)
Nilai pengamatan untuk pengaruh perlakuan A (jenis Yijkl
=
pelarut) taraf ke-i, perlakuan B (Suhu) taraf ke-j, dengan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) taraf ke-k pada blok ke-l (l=1,2)
25
μ
=
Rata-rata sebenarnya
Ai
=
Pengaruh taraf ke-i perlakuan A (jenis pelarut)
Bj
=
Pengaruh taraf ke-j perlakuan B (suhu)
Ck
=
Dl
=
Pengaruh taraf ke-k perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) Pengaruh blok taraf ke-l Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A
(AB)ij
=
(jenis pelarut) pada taraf ke-i dengan perlakuan B (suhu) pada taraf ke-j Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A
(AC)ik
=
(jenis pelarut) pada taraf ke-i dengan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) pada taraf ke-k Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan B
(BC)jk
=
(suhu) pada taraf ke-j
dengan perlakuan C
(perbandingan PHA-pelarut) pada taraf ke-k Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A (ABC)ijk
=
(jenis pelarut) pada taraf ke-i, perlakuan B (suhu) pada taraf ke-j dan perlakuan C (perbandingan PHApelarut) pada taraf ke-k
εl(ijk)
=
Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-l dalam kombinasi perlakuan (ijk)
b. Menentukan Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan Pengkajian interaksi faktor-faktor perlakuan dilakukan dengan cara menguji lanjut analisis ragam hasil tahapan penentuan faktorfaktor yang mempengaruhi kelarutan PHA . Uji lanjut menggunakan metode LSR. c. Menentukan Pengaruh Lembaran PHA.
Perlakuan
Dalam
Pembentukan
Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA dilakukan dengan mengkaji mekanisme pembentukan lembaran
26
pada polimer dan kaitannya dengan variabel respon pada perlakuan penelitian. Pengamatan fisik setelah pelarutan juga dilakukan untuk mengamati
jenis
pelarut
dan
kondisi
pelarutan
yang
dapat
menghasilkan lembaran setelah terjadinya proses pelarutan.
2. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini ada dua tahapan. Tahap pertama adalah pembuatan bahan baku bioplastik untuk menghasilkan PHA dan tahap yang kedua adalah tahap penelitian utama yaitu analisa kinerja pelarut bioplastik. (a) Pembuatan Bahan Baku (PHA) Pembuatan bahan baku bertujuan untuk memperoleh PHA sebagai bahan utama pembuatan film bioplastik. Pembuatan bahan baku terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat, produksi PHA secara fed batch, dan proses hilir PHA. Proses pembuatan bahan baku selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
(b) Pembuatan Larutan Bioplastik (Allcock dan Lampe, 1981; Laffety et al. di dalam Rehm and Reid, 1988; Rabek 1983) Larutan bioplastik dibuat melalui proses pencampuran antara PHA dan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida. Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut, oleh karena itu penelitian ini menggunakan konsentrasi dibawah 20 bagian pelarut dan diatas 20 bagian pelarut, jadi perbandingan PHA-pelarut yang digunakan adalah 1:10, 1:20 dan 1:30. Perlakuan suhu dilakukan pada suhu ruang dan suhu 500C. Lama pelarutan adalah 4 jam, sesuai dengan penelitian Sugiarti, R. (2003) dan Akmaliah, P. (2003) mengenai pembuatan film bioplastik dengan menggunakan substrat hidrolisat minyak sawit. Rangkaian alat untuk proses pelarutan bioplastik dapat dilihat pada Gambar 12.
27
Gambar 12. Rangkaian alat proses pelarutan bioplastik (A) Suhu kamar (25o C), (B) Suhu 500C Analisa kelarutan PHA dilakukan dengan pengujian karakteristik larutan bioplastik yang meliputi sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan PHA. Prosedur selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Diagram prosedur penelitian adalah seperti pada Gambar 13. Mulai
Pembuatan bahan baku : a. Persiapan substrat Pembuatan hidrolisat pati sagu Persiapan kultur dan media kultivasi b. Produksi PHA secara fed batch c. Proses hilir
Pelarutan PHA dengan berbagai perlakuan Analisa Kelarutan PHA (Absorbansi, kekeruhan, viskositas dan index swelling, pengamatan fisik)
Selesai Gambar 13. Diagram prosedur penelitian
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELARUTAN PHA Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lainnya dalam larutan tersebut. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) tentang pengaruh pelarut bioplastik yang menyarankan untuk menggunakan perlakuan suhu, maka pada penelitian ini pencampuran dilakukan pada suhu kamar (25oC) dan suhu 500C. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi yang terjadi. Apabila terjadi peningkatan suhu, beberapa polimer terurai akibat kehilangan monomernya satu per satu (Cowd di dalam Clark, 1991). Polimer yang terurai monomernya akan lebih mudah direaksikan dengan senyawa lain. Pelarut yang digunakan dalam analisa ini merupakan pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam produksi biopolimer. Menurut Lafferty et al. didalam Rehm and Reid (1988), kelarutan PHB dalam beberapa pelarut, menunjukkan kelarutan tinggi pada pelarut kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida (Lampiran 2). Pelarut PHA adalah aseton, benzena, butil asetat, butil propionat, kloroform, 1,2-dikloroethana, dietilformamida, dimetil karbonat, dimetil sulfoxida, dimetilformamida, etil asetat, metil asetat, asam asetat
glasial,
1,1,2,2-tetrakloroethana,
1,1,2-trikloroethana,
1,2,3-
trikloropropana, toluena, dan xilena (Noda, 1998). Durrans dan Davies (1988) juga menyatakan hal yang sama bahwa kloroform, dimetilformamida dan asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang. Mekanisme pelarutan polimer dalam suatu pelarut yang sesuai didahului dengan meregangnya rantai polimer pada suatu dimensi mekanik. Hasil peregangan ini adalah terurainya ikatan sambung silang yang ada di dalam polimer. Lalu pelarut masuk ke dalam jaringan polimer, sehingga volumenya naik secara isotropicaly (sama ke setiap arah). Pelarut meningkatkan
pemisahan ikatan sambung silang dalam polimer dengan
menggunakan simetri bola (ke segala arah, semua vektor dengan panjang faktor konstan), sehingga semua gaya dorong menjadi seimbang dan menyebabkan imbibisi pelarut dalam polimer (Gordon, 1963). Proses ini diilustrasikan seperti pada Gambar 14. Setelah pelarut berimbibisi ke dalam molekul PHA, maka rantai PHA menjadi lebih meregang. Ketika pemlastis ditambahkan, maka pemlastis tersebut akan mudah untuk tersisip di antara rantai-rantai PHA.
Polimer
Polimer + Pelarut
Gambar 14. (a). Reaksi antara polimer dan pelarut (b) Reaksi penambahan pemlastis pada polimer (Spink dan Waychoff, 1958) Polimer memiliki molekul yang berbeda dengan molekul kebanyakan senyawa, karena memiliki rantai fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang terbagi ke dalam segmen kinetik yang bergerak translasional sangat lambat jika dibandingkan dengan molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), oleh karena itu pelarutan PHA dalam pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) (Pine et al., 1988). Terdapat berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai polimer berinteraksi dengan molekul pelarut sesuai maka akan terdapat kecenderungan ujung positif suatu dipol menuju ke arah ujung negatif dipol yang lain. Pada rantai polimer sendiri, bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya ini disebut gaya van der waals (gaya orientasi) dan biasanya kecil.
30
Polimer larut sempurna atau menggembung oleh pelarut tertentu. Jika polimer itu larut, maka dengan menambahkan lebih banyak polimer, proses kelarutannya mungkin terjadi lebih lambat atau bahkan dicegah oleh kekentalan larutan yang semakin tinggi, bukan karena tercapainya keadaan jenuh. Beberapa kaidah umum dapat diterapkan untuk menjelaskan kerumitan tadi. Kaidah “pelarut melarutkan senyawa sejenisnya”, sehingga polimer dan pelarut yang sama strukturnya akan mendorong terjadinya pelarutan, misalnya polimer polar akan cenderung larut pada pelarut polar. Kelarutan polimer berkurang dengan bertambahnya massa molekul. Jika suatu polimer dapat larut dalam pelarut yang cocok dan kemudian ditambahkan bukan pelarut (atau jika larutan polimer dituangkan ke dalam bukan pelarut yang jumlahnya berlebihan), maka polimer akan mengendap (Cowd di dalam Clark, 1991). PHA telah dibuktikan bersifat biodegradabel dalam lingkungan mikrobial aktif baik aerobik maupun anaerobik, seperti pada limbah kompos aerobik dan anaerobik, sediman estuarin, tanah, air sungai, dan air laut (Krupp dan Jewel, 1992; Page et al., 1992; Doi et al., 1991). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi biodegradasi suatu polimer adalah geometri molekuler ikatan rantai panjang (berkaitan dengan panjang rantai polimer atau bobot molekulnya), kompleksibilitas struktur polimer (berkaitan dengan kerumitan struktur polimer seperti adanya rantai cabang, rantai rangkap, amorf, dan kristalin) dan sifat hidrofilik polimer (kelarutan dalam air) (Andrady, 2000). Pelarut tidak mengakibatkan berubahnya geometri molekuler ataupun struktur rantai PHA karena fungsi pelarut adalah untuk meregangkan ikatan antar monomer PHA sehingga pemlastis dapat lebih mudah berikatan dengan PHA, setelah itu pelarut dapat dipisahkan dari PHA dengan cara evaporasi. Oleh karena itu, pelarutan PHA tidak mempengaruhi efektifitas biodegdradasi PHA di alam. Hal ini tentunya berbeda dengan penambahan pemlastis dalam PHA yang mempengaruhi biodegradasi PHA di alam, karena menurut Cuq (1997), penambahan pemlastis pada bahan polimer mengakibatkan terjadinya modifikasi pada susunan tiga dimensi molekul, menaikkan mobilitas rantai, menurunkan gaya tarik intermolekul dan Tg (suhu
31
peralihan dari bentuk kaca ke karet (rubber) untuk polimer amorf atau peralihan dari kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin) bahan amorf. Penentuan jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk pembuatan film biopolimer dengan bahan dasar PHA merupakan hal yang sangat penting. Jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk PHA akan menghasilkan lembaran PHA tanpa penambahan pemlastis. Analisa kelarutan bioplastik PHA dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan PHA. a. Absorbansi (Optical Density) Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer, dengan panjang gelombang yang sesuai untuk absorbansi cahaya yang maksimal oleh PHA. Rabek (1983) menjelaskan bahwa aktivitas optik pada larutan biopolimer terdiri dari rotasi cahaya yang terpolarisasi secara liniear di sekitar sumbu perputaran cahaya. Hal ini terjadi ketika cahaya melewati sejumlah polimer dalam keadaan cair atau terlarut. Absorbsi sinar ultraviolet dan radiasi elektromagnetik cahaya tampak oleh rantai utama polimer mengakibatkan transisi di antara tingkat energi elektronik dari makromolekul, hasilnya merupakan spektrum absorbsi elektron. Dasar dari spektroskopi adalah interaksi dari radiasi dengan bahan dari panjang gelombang yang sangat pendek sampai sangat tinggi. Tidak semua zat dapat menyerap energi radiasi dari sinar, tetapi hanya jika energi tersebut dibutuhkan oleh zat untuk mengadakan perubahan kimia molekul. Jadi, hanya sinar yang mempunyai energi atau panjang gelombang tertentu yang diserap oleh molekul (Winarno, 1973). Panjang gelombang yang sesuai untuk absorbsi cahaya yang maksimal oleh PHA yaitu pada 575 nm (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Rabek (1983) menjelaskan bahwa absorbansi juga berkaitan dengan penyebaran cahaya di dalam larutan biopolimer. Penyebaran cahaya pada media yang homogen ditunjukkan dengan nilai absorbansi
32
yang rendah, sedangkan pada media yang tidak homogen ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang tinggi dimana cahaya tersebut disebarkan ke semua arah. Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi terhadap pelarut, karena pelarut mampu meregangkan rantai ikatan molekul PHA sehingga terdispersi secara merata di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, nilai absorbansi yang besar menunjukkan kelarutan PHA yang rendah, karena pelarut tidak mampu memisahkan ikatan antar molekul PHA, hal ini mengakibatkan PHA tidak terdispersi secara merata. Data nilai absorbansi dapat dilihat pada Lampiran 6. Gambar 15 menunjukkan histogram hubungan jenis dan perbandingan PHA-pelarut serta suhu pelarutan dengan nilai absorbansi
Nilai Absorbansi
larutan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50
kloroform
kmr
50
asam asetat glasial
kmr
50
dimetil formamide
Gambar 15. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHApelarut dan suhu dengan nilai absorbansi Dari histogram pada Gambar 15 terlihat bahwa dengan semakin banyak pelarut yang digunakan maka semakin kecil pula nilai absorbansi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa peningkatan absorbansi cahaya berhubungan dengan konsentrasi. Semakin besar konsentrasi pelarut maka nilai absorbansi semakin kecil, begitu pula sebaliknya, apabila konsentrasi pelarut kecil maka nilai absorbansi juga
33
semakin besar karena adanya peningkatan hamburan cahaya. Data tabel (Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai absorbansi yang paling rendah adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHApelarut 1:30 dan suhu pelarutan 50oC yang memiliki nilai absorbansi sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Ini berarti bahwa PHA dapat larut dengan baik pada pelarut kloroform. Nilai absorbansi yang paling tinggi adalah pada perlakuan pelarut asam asetat glasial dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 dan suhu pelarutan 500C, yaitu 87.8125 (ulangan pertama) dan 44,125 (ulangan kedua). PHA dalam asam asetat tidak terdispersi secara merata. Oleh karena itu, dibutuhkan sampai 125 kali pengenceran sehingga didapatkan pembacaan nilai absorbansi yang baik, yaitu antara 0.2 sampai 0.8. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi larutan PHA. b. Kekeruhan (Turbidimetry) Kekeruhan berhubungan dengan konsentrasi zat yang diukur dan intensitas sorotan cahaya yang melewati larutan (Anonim7, 2006). Apabila seberkas sinar ditembuskan ke dalam cairan yang tidak homogen, sebagian sinar dihamburkan. Hal ini disebabkan kerapatan cairan yang tidak seragam. Peningkatan hamburan dapat dihubungkan dengan konsentrasi dan massa molekul zat terlarut (Cowd di dalam Clark, 1991) . Pengukuran kekeruhan pada prinsipnya hampir sama dengan pengukuran absorbansi larutan. Pengukuran berdasarkan pada sistem deteksi optik dari partikel yang sangat kecil yang tersuspensi dalam pelarut. Sorotan cahaya akan mengirimkan gelombang cahaya yang lalu dipencar-pencarkan sesuai dengan sudut dari kekeruhan. Semakin keruh suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang diserap. Larutan yang memiliki nilai kekeruhan yang besar menunjukkan kelarutan PHA yang rendah pada larutan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya cahaya yang diserap oleh partikel PHA yang terdispersi di dalam larutan.
34
Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif dengan pengujian nilai absorbansi. Pada penelitian ini didapatkan histogram seperti Gambar 16 yang menunjukkan hasil nilai kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 500C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 552 FTU pada ulangan pertama dan 490 FTU pada ulangan yang kedua. Nilai kekeruhan yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 yaitu sebesar 39 FTU (ulangan pertama) dan 38 FTU (ulangan kedua). Hasil lengkap pengujian kekeruhan dapat dilihat pada Lampiran 9.
Nilai Kekeruhan
600 500 400 300 200 100 0 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50
kloroform
kmr
50
asam asetat glasial
kmr
50
dimetil formamide
Gambar 16. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHApelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan Analisis keragaman (Lampiran 10) menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHApelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan dan interaksi suhu dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan.
35
c. Viskositas Viskositas larutan polimer cenderung berkurang dengan turunnya konsentrasi dan dengan naiknya suhu. Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian pada polimer yang mengandung gugus terionkan seperti gugus asam karboksilat. Pada konsentrasi diatas 1%, rantai-rantai dalam larutan dapat bertindihan dan akibat gaya tolak menolak antar muatan sejenis pada rantai yang berdampingan, serta pengionan tak sempurna yang mungkin terjadi, maka rantai tidak memanjang terlalu banyak (Cowd di dalam Clark, 1991). Menurut Allcock dan Lampe (1991), peningkatan viskositas yang tinggi diduga disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut. Pada penelitian didapatkan hasil analisis ragam (Lampiran 12) bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi
antara
jenis
pelarut
dengan
perbandingan
PHA-pelarut
memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas pelarut biopolimer. Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan PHA. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe (1981) bahwa besarnya peningkatan viskositas dari larutan berbeda-beda nilainya relatif sesuai jenis pelarut yang digunakan. Histogram peningkatan nilai viskositas (Gambar 17) menunjukkan bahwa kenaikan viskositas tertinggi terjadi pada PHA yang dilarutkan pada perbandingan PHA-pelarut 1:10. Apabila dilihat lebih cermat didapatkan data bahwa nilai peningkatan viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut asam asetat glasial pada suhu kamar sebesar 0.06 Cp untuk ulangan pertama dan 0.09 Cp pada ulangan kedua, sedangkan yang memiliki peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform 1:10 pada suhu 500 C yang memiliki peningkatan nilai 0.384 Cp pada ulangan pertama dan 0.537 Cp untuk ulangan kedua. Viskositas merupakan hasil dari pergeseran fluida sehingga kekentalan
36
dapat dukur dengan mengukur geseran atau gaya geserannya (shear force). Fluida dengan viskositas rendah gaya gesernya akan rendah (Srivastava,
Peningktan Viscositas
1989). 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50
kloroform
kmr
50
kmr
asam asetat glasial
50
dimetil formamide
Gambar 17. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHApelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas Pada pelarutan dengan menggunakan PHB blanko dapat dilihat pada Lampiran 5, bahwa kenaikan viskositas yang terjadi sangat besar ketika PHB blanko dilarutkan pada kloroform dengan suhu 50oC. Peningkatan nilai viskositas ini menandakan pelarut dapat melakukan imbibisi dan meningkatnya pembentukan rantai PHB yang membelit satu sama lain yang membentuk ikatan seperti gulungan (Gordon, 1963). Peningkatan suhu akan menyebabkan rantai molekul PHB menjadi terpisah lebih jauh dan
meregang (Cowd
di dalam Clark,
1991),
sehingga molekul pelarut dapat melakukan proses imbibisi ke dalam molekul PHB blanko dengan baik. Indikator pengujian viskositas digunakan untuk mengetahui interaksi pelarutan. Apabila nilai viskositas sebelum dan sesudah pelarutan sama saja atau berbeda tidak terlalu besar, proses pelarutan tidak terjadi atau terjadi namun kelarutannya sangat rendah. Hal tersebut seperti yang diutarakan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa salah satu ciri polimer (biopolimer) adalah menghasilkan larutan yang jauh lebih kental daripada pelarut murninya.
37
d. Swelling Index Kemampuan suatu polimer untuk menyerap pelarut dan mengalami pengembangan volume tertentu merupakan fenomena yang umum. Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Menurut Rabek (1983), apabila suatu jenis biopolimer dilarutkan dalam cairan pelarut yang sesuai bagi polimer tersebut, larutan tersebut akan mengalami pengembangan (swelling) pada suatu tingkatan tertentu tergantung pada interaksi antara biopolimer terlarut dengan pelarutnya. Fenomena suatu polimer menyerap pelarut dan mengalami pengembangan saat pelarutan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama, polimer “mengambil” atau menyerap pelarut dan mengembang menjadi suatu gel (swelling). Tahap pertama tersebut terjadi pada semua polimer linear, bercabang, amorf, dan berikatan silang. Tahap kedua pelarutan terdiri dari pemecahan gel untuk menghasilkan larutan molekul polimer sebenarnya di dalam pelarut yang diberikan (Allcock dan Lampe, 1981). Larutan PHA dengan pelarut kloroform memberikan nilai indeks swelling yang paling tinggi, yaitu perlakuan kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500C yang bernilai 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua). Hasil ini sejalan dengan pendapat Pruett (1988) yang menyatakan bahwa polipropilen yang memiliki sifat menyerupai PHA memberikan nilai swelling yang tinggi terhadap pelarut kloroform. Nilai indeks swelling terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar sebesar 0.2823 untuk ulangan pertama dan 0.4116 untuk ulangan yang kedua. Histogram nilai indeks swelling dapat dilihat pada Gambar 18.
38
Nilai Indeks Swelling
140 120 100 80 60 40 20 0 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr kloroform
50
kmr
50
asam asetat glasial
kmr
50
dimetil formamide
Gambar 18. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHApelarut dan suhu dengan nilai swelling index Nilai indeks swelling yang besar pada kloroform menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut kloroform dibandingkan kedua pelarut lainnya. Menurut Allcock dan Lampe (1981) penyerapan pelarut oleh polimer ini disebabkan rantai polimer berada dalam gerakan yang lentur pada suhu ruangan, sehingga molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi polimer dan memisahkan molekul-molekul besar. Pada akhirnya, polimer akan larut, kecuali apabila terdapat ikatan silang. Rantai ikatan silang dapat memberikan pembatas pada tingkat kemampuan rantai untuk memisah dan akhirnya menghambat terjadinya swelling. Data nilai indeks swelling dapat dilihat pada Lampiran 15. Analisis ragam pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHApelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai swelling index. Perlakuan jenis pelarut berpengaruh terhadap nilai swelling index sesuai dengan hasil penelitian Wijanarko (2003), yang menyatakan bahwa jenis pelarut mempengaruhi nilai swelling index larutan PHA hidrolisat minyak sawit.
39
B. INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR PERLAKUAN a. Absorbansi (Optical Density) Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pelarut dan suhu berpengaruh nyata terhadap pengukuran absorbansi. Interaksi antara jenis pelarut dan suhu kemudian diuji lanjut (Lampiran 8), sehingga menghasilkan grafik seperti pada Gambar 19. Grafik menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial dan dimetilformamida cenderung meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang cenderung menurun dengan peningkatan suhu.
Rata-rata Nilai Absorbansi
140 120 100 Kloroform
80
Asam asetat glasial 60
Dimetilformamida
40 20 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 19. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai absorbansi Menurut Hildebrand (1970), nilai absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA terlarut di dalam larutan. Peningkatan suhu menyebabkan partikel PHA dalam asam asetat glasial dan dimetilformamida menjadi bergerak acak. Partikel ini menyebarkan cahaya ke segala arah dan menyebabkan naiknya nilai absorbansi. Pada pelarut kloroform, dengan meningkatnya suhu menyebabkan kelarutan PHA dalam kloroform meningkat, molekul PHA terdispersi secara merata
40
di dalam pelarut, karena ukuran partikel yang sangat kecil menyebabkan pembacaan nilai absorbansi menjadi turun. Kelarutan
PHA
yang
baik
adalah
pada
perlakuan
yang
menghasilkan nilai absorbansi terkecil, karena absorbansi yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Hasil uji lanjut (Lampiran 8) pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa nilai absorbansi terkecil terdapat pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut 1:30 (Gambar 20), yang memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Cowd
di dalam Clark (1991) yang mengatakan bahwa peningkatan
hamburan cahaya berhubungan dengan konsentrasi dan massa molekul zat terlarut. Semakin besar konsentrasi pelarut, maka hamburan cahaya akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya, jika konsentrasi pelarut kecil maka hamburan cahaya akan semakin besar. Hal ini ditandai dengan besarnya nilai absorbansi.
Rata-rata nilai absorbansi
30 25 20 15 10 5 0 1:10
1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Gambar 20. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai absorbansi
41
b. Kekeruhan (Turbidimetry) Pada analisis ragam, diketahui bahwa interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan pada tingkat kepercayaan 99%, kemudian dilakukan uji lanjut dengan menggunakan metode LSR. Uji lanjut (Lampiran 11) interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan terjadinya browning (pencoklatan) terhadap molekul PHA akibat panas. Hal tersebut mengakibatkan warna larutan menjadi lebih gelap dan akan mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan. Warna yang lebih gelap akan menyerap gelombang cahaya, sehingga pembacaan nilai kekeruhan akan semakin besar (Anonim8, 2006). Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan dapat dilihat pada Gambar 21. Pada grafik terlihat bahwa perlakuan kloroform dengan menggunakan suhu kamar memiliki nilai kekeruhan terkecil yang berbeda nyata dengan interaksi jenis pelarut dan suhu lainnya setelah diuji lanjut.
Nilai rata2 Kekeruhan
1400 1200 1000 Kloroform
800
As asetat glasial 600
Dimetilformamida
400 200 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 21. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan
42
Analisis ragam juga menunjukkan bahwa interaksi suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai kekeruhan PHA. Gambar 22 memperlihatkan hubungan antara suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut, nilai kekeruhan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut. Perlakuan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan karena semakin keruh suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang diserap (Anonim8, 2006), akibatnya pembacaan nilai kekeruhan juga semakin besar. Perlakuan terbaik adalah perlakuan yang menghasilkan nilai kekeruhan terkecil, karena nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Perlakuan yang menghasilkan nilai kekeruhan terkecil pada grafik adalah pada perlakuan suhu kamar dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30.
Nilai Rata2 Kekeruhan
1200 1000 800 Suhu kamar
600
Suhu 50
400 200 0 1:10
1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Gambar 22. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan
43
c. Viskositas Uji lanjut (Lampiran 14) dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jenis pelarut dengan konsentrasi yang memberikan pengaruh nyata terhadap
peningkatan
nilai
viskositas.
Grafik
pada
Gambar
23
menunjukkan bahwa sejalan dengan meningkatnya konsentrasi, nilai viskositas semakin turun. Hal ini disebabkan pada saat larutan diencerkan, PHA dalam pelarut menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pelarut yang ada disekitarnya, inilah yang menyebabkan turunnya gaya geser fluida dan pembacaan nilai viskositas juga menjadi turun.
Rata2 Peningkatan nilai viskositas
0.8 0.7 0.6 0.5
Kloroform
0.4
As asetat glasial
0.3
Dimetilformamida
0.2 0.1 0 1:10
1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Gambar 23. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas Dari analisis ragam pada Lampiran 13, interaksi antara perlakuan jenis pelarut dan suhu mempengaruhi peningkatan nilai viskositas. Uji lanjut yang dilakukan pada interaksi ini, disajikan pada Lampiran 14. Gambar 24 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu pelarutan maka nilai viskositas ketiga pelarut juga menjadi ikut naik. Pada umumnya, nilai viskositas larutan turun dengan bertambahnya suhu pelarutan sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe (1981). Namun Cowd di dalam Clark (1991) menyatakan bahwa pada larutan polimer terjadi perbedaan atau terdapat sifat anomali yaitu dengan naiknya suhu,
44
kekentalan larutan turun seperti yang diharapkan, akan tetapi pada suhu yang lebih tinggi, kekentalan mulai meningkat lagi. Hal tersebut terjadi karena ada rantai PHA yang membelit secara acak yang mengakibatkan peningkatan kekentalan.
Rata2 peningkatan nilai viskositas
1.2 1 0.8
Kloroform
0.6
As asetat glasial Dimetilformamida
0.4 0.2 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 24. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap peningkatan nilai viskositas Fenomena peningkatan nilai viskositas pada kenaikan suhu dapat dijelaskan sebagai berikut, ketika PHA hidrolisat pati sagu dilarutkan pada suhu ruang, gaya Gaya Van der Waals yang dibutuhkan pelarut untuk meregangkan ikatan polimer dalam PHA tidak lebih besar dari gaya ikat antar molekul PHA akibatnya pelarut belum banyak yang berimbibisi ke dalam PHA, nilai viskositas yang terbaca juga cenderung lebih kecil. Ketika suhu naik, rantai molekul PHA menjadi terpisah lebih berjauhan dan meregang (Cowd di dalam Clark, 1991), pelarut dapat lebih mudah berimbibisi dalam molekul PHA dan menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik.
45
d. Swelling Index Uji lanjut (Lampiran 17) dilakukan untuk melihat sejauh mana interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu mempengaruhi nilai swelling index. Gambar 25 menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu, maka nilai indeks swelling akan cenderung mengalami kenaikan. Pruett (1988) menyatakan bahwa untuk mendapatkan nilai swelling yang lebih tinggi, dibutuhkan suhu pelarutan yang lebih tinggi melalui proses annealing atau pemanasan. Peningkatan suhu membuat molekul-molekul pelarut dapat lebih mudah memasuki kisi-kisi PHA dan menyebabkan PHA mengalami pengembangan/swelling. Nilai indeks swelling tertinggi pada grafik ditunjukkan oleh perlakuan kloroform dengan suhu pelarutan sebesar 50oC.
Nilai rata2 indeks swelling
250 200 Kloroform
150
As asetat glasial 100
Dimetilformamida
50 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 25. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap nilai indeks swelling Perlakuan terbaik dalam pengukuran swelling index ini adalah perlakuan yang menghasilkan nilai swelling index terbesar, karena nilai swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut. Hasil uji lanjut (Lampiran 17) pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa nilai indeks swelling terbesar terdapat pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut 1:30 (Gambar 26), yang memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan
46
perlakuan yang lain. Kenaikan nilai indeks swelling ini disebabkan pada saat larutan diencerkan (konsentrasi bertambah), rantai polimer menjadi terpisah lebih berjauhan (Cowd
di dalam Clark, 1991). Hal ini
memungkinkan molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi PHA, menyebabkan PHA mengembang (swelling) dengan lebih baik pula.
Nilai rata2 indeks swelling
40 35 30 25 20 15 10 5 0 1:10
1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Gambar 26. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai indeks swelling C. PENGARUH PERLAKUAN DALAM PEMBENTUKAN LEMBARAN PHA. PHA dengan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai menghasilkan larutan yang homogen (Allcock dan Lampe, 1981). Larutan bioplastik yang homogen berarti pelarut dapat melakukan imbibisi dengan baik, yang terlihat secara fisik sebagai larutan yang memiliki viskositas yang tinggi dibandingkan dengan viskositas pelarut murni (Cowd di dalam Clark, 1991) dan dapat membentuk lembaran bioplastik. Pembentukan lembaran bioplastik terjadi karena interaksi fisik antara PHA dengan pelarut. Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988), molekul PHA mengadsorpsi pelarut membentuk belitan yang acak dan molekul PHA menjadi mengembang dengan volume yang besar. Pembesaran partikel terjadi terus menerus sehingga molekul PHA bersinggungan dan membelit/melingkari satu sama lain. Hal tersebut mengakibatkan seluruh
47
sistem menjadi tetap dan kaku sehingga terbentuklah lembaran (Anonim5, 2006). Pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kemampuan PHA membentuk lembaran kembali setelah pelarutan. Hal ini penting untuk diketahui, karena untuk menghasilkan film bioplastik dibutuhkan PHA yang dapat membentuk lembaran setelah pelarutan tanpa adanya penambahan pemlastis. Dari semua sampel yang dianalisa hanya PHA yang dilarutkan dalam kloroform saja yang dapat membentuk lembaran dalam semua perlakuan suhu. Hal ini dikarenakan PHA (non polar) dapat larut dalam kloroform (non polar) dengan baik dan membentuk larutan yang homogen sesuai dengan pernyataan Keenan et al. (1984) terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa non polar untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa kovalen polar atau senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan perkataan lain, sejenis melarutkan sejenis. PHA dalam kloroform dapat terdispersi dengan baik, rantai PHA akan meregang dengan molekul kloroform berada disekitarnya, rantai-rantai PHA ini akan saling membelit satu sama lain dan membesar karena kloroform berimbibisi ke dalam molekulnya (Gordon, 1963). Ketika kloroform di uapkan, molekul PHA saling bersinggungan dan membentuk belitan antar rantai yang satu dengan yang lain sehingga terbentuk lembaran. Hasil pengamatan fisik untuk perlakuan dengan menggunakan pelarut kloroform disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 . Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan kloroform Konsentrasi
Suhu kamar (25o C)
Suhu 50o C
1:10
Terbentuk lembaran , tidak rata dan tebal
Terbentuk lembaran, tebal dan tidak rata
1:20
Terbentuk lembaran , tidak rata dalam cetakan, yang tebal baik, yang tipis rapuh, bentuk mirip kertas
Terbentuk lembaran tidak rata ketebalannya
1:30
Terbentuk lembaran, baik, rapuh, seperti PHA awal, bentuk rata
Terbentuk lembaran permukaan rata
48
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang membentuk lembaran yang paling baik teksturnya dan rata ketebalannya adalah perlakuan pelarut kloroform yang memiliki perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500C. Penampakan PHA setelah dilarutkan pada kloroform dapat dilihat pada Gambar 27.
Keterangan : (A) 1:10 suhu kamar (25 oC) (B) 1:20 suhu kamar (25 oC) (C) 1:30 suhu kamar (25 oC)
(D) 1:10 suhu 500 C (E) 1:20 suhu 500 C (F) 1:30 suhu 500 C
Gambar 27. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan kloroform PHA yang dilarutkan dalam perlakuan pelarut asam asetat glasial, tidak ada yang dapat menghasilkan lembaran. Semua sampel hanya membentuk butiran halus (seperti pasir) dan PHA berwarna lebih pucat dari awal pelarutan, karena asam asetat glasial mendegradasi warna PHA (awal berwarna coklat muda, akhir berwarna putih tulang). Interaksi dipol pada ujung rantai PHA dengan gugus aktif asam asetat glasial (OH) tidak terjadi interaksi kimia yang baik, sehingga larutan yang terbentuk pun hanya berupa suspensi dengan partikel-partikel kecil PHA yang menyebar. Nilai viskositas larutan juga menunjukkan kenaikan dibanding dengan nilai viskositas pelarut murni, manun kenaikannya tidak terlalu besar, secara fisik juga kekentalan PHA dalam asam saetat glasial tidak begitu terlihat. Karena kenaikan viskositas yang kecil pada larutan suspensi menyebabkan belitan atau lilitan dari rantai PHA tidak dapat menjangkau antar molekul yang satu dengan yang
49
lain (Gordon, 1963), akibatnya tidak terjadi tumpang tindih molekul PHA yang pada akhirnya tidak terbentuk lembaran bioplastik seperti yang diharapkan. Dari hasil pengamatan, perlakuan suhu dan perbandingan PHApelarut tidak mempengaruhi penampakan fisik PHA setelah pelarutan, kecuali butiran PHA menjadi lebih halus. Hasil pelarutan dengan asam asetat glasial disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial
1:20
Suhu kamar (25o C) Suhu 500C Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti berbutir kasar seperti pasir tepung Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti tepung berbutir kasar
1:30
Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran, butiran seperti tepung butiran sedikit kasar
Konsentrasi 1:10
Penampakan fisik PHA setelah pelarutan dengan asam asetat glasial dapat dilihat pada Gambar 28.
Keterangan : (A) 1:10 suhu kamar (B) 1:20 suhu kamar (C) 1:30 suhu kamar
(D) 1:10 suhu 500 C (E) 1:20 suhu 500 C (F) 1:30 suhu 500 C
Gambar 28. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan asam asetat glasial
50
Pelarutan
PHA
dengan
menggunakan
dimetilformamida
tidak
menghasilkan bentuk lembaran untuk semua unit percobaan yang dilakukan, sama seperti pada perlakuan dengan menggunakan asam asetat glasial. Hal ini dikarenakan molekul PHA dalam pelarut dimetilformamida tidak membentuk interaksi dipol-dipol yang baik dengan kondisi perlakuan yang diberikan, dimetilfornamida tidak dapat berimbibisi dengan baik dalam molekul PHA (suspensi partikel-partikel kecil), sehingga rantai PHA yang membelit satu sama lain hanya mencapai radius yang tidak sampai mengakibatkan rantainya saling bertindih dan melingkar satu sama lain dan lembaran bioplastik pun tidak terbentuk. Kemungkinan kondisi pelarutan yang berbeda (misalkan dengan melarutkan dalam tekanan inert, suhu yang lebih besar dari 1000C) akan menghasilkan interaksi dipol yang baik ini karena menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988) dimetilformamida memiliki kelarutan yang tinggi dalam PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida
1:10
Suhu kamar (25o C) Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar
Suhu 500C Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus
1:20
Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar
Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus
Tidak terbentuk lembaran, butiran kasar
Tidak terbentuk lembaran, butiran halus
Konsentrasi
1:30
PHA setelah pelarutan menghasilkan serpihan-serpihan PHA yang ukurannya lebih besar dibandingkan ketika dilarutkan dalam asam asetat glasial. Perlakuan suhu mempengaruhi hasil pengamatan fisik, sehingga didapatkan serpihan yang ukurannya lebih kecil dari perlakuan pada suhu ruang. Penampakan fisik PHA setelah dilarutkan dalam dimetilformamida dapat dilihat pada Gambar 29.
51
Keterangan : (A) 1:10 suhu kamar (B) 1:20 suhu kamar (C) 1:30 suhu kamar
(D) 1:10 suhu 500 C (E) 1:20 suhu 500 C (F) 1:30 suhu 500 C
Gambar 29. Foto hasil pengamatan dimetilformamida
fisik
pelarutan
PHA
dengan
Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko (PHB murni) dari Sigma aldrich. Hasil penelitian menunjukkan, dari semua unit percobaan, hanya sampel yang dilarutkan dalam kloroform dengan menggunakan suhu 500 C saja yang dapat membentuk lembaran. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni dalam beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 9. Penampakan fisik hasil pelarutan PHB murni dengan pelarut dapat dilihat pada Gambar 30. Tabel 9. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni Pelarut Kloroform
Asam asetat glasial
Dimetilformamida
Suhu kamar (25o C) Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal (tepung) Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus (tepung) seperti PHB murni awal Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal
Suhu 500C Terbentuk, sangat halus dan rata ketebalannya
Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus (tepung) seperti PHB murni awal Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal
52
Keterangan : (A) Kloroform suhu kamar (B) Kloroform suhu 500 C (C) Asam asetat suhu kamar
(D) Asam asetat suhu 500 C (E) Dimetilformamida suhu kamar (F) Dimetilformamida suhu 500 C
Gambar 30. Foto Hasil Pengamatan Fisik Pelarutan PHB Blanko
PHA hidrolisat pati sagu mampu membentuk lembaran kembali pada berbagai perlakuan suhu baik pada suhu ruang (25oC) maupun suhu 500C. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, proses hilir PHA hidrolisat pati sagu menggunakan kloroform sebagai pelarut. Ekstraksi dengan pelarut tertentu dapat mengubah kekuatan dielektrik sistem pelarut dan zat yang terlarut (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Selain itu, ekstraksi pelarut juga dapat menurunkan kepolaran media (konstanta dielektrik) dan meningkatkan interaksi elektrostatik (Harrison, 1990). Turunnya konstanta dielektrik dan meningkatnya interaksi elektrostatik PHA hidrolisat pati sagu terhadap kloroform (akibat proses hilir), maka PHA dapat larut dengan baik dalam kloroform dengan berbagai perlakuan suhu.
53
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi terhadap pelarut. Meningkatnya suhu menyebabkan nilai absorbansi turun begitu pula ketika semakin banyak pelarut yang digunakan (meningkatnya perbandingan PHA-pelarut) maka semakin kecil pula nilai absorbansi. Namun interaksi antara jenis pelarut dan suhu menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial dan dimetilformamida cenderung meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang cenderung menurun dengan peningkatan suhu. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran partikel PHA terlarut di dalam masing-masing pelarut. Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif dengan pengujian nilai absorbansi. Nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Namun interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan terjadinya browning (pencoklatan) terhadap molekul PHA akibat panas. Interaksi suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai kekeruhan PHA, nilai kekeruhan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut, dan bertambah seiring dengan naiknya suhu. Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan PHA. Interaksi jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut
menunjukkan
bahwa sejalan dengan meningkatnya konsentrasi, nilai viskositas semakin turun. Interaksi antara perlakuan jenis pelarut dan suhu menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu pelarutan maka nilai viskositas ketiga pelarut juga
menjadi ikut naik. Hal ini disebabkan pelarut dapat lebih mudah berimbibisi dalam molekul PHA ketika suhu naik tidak terlalu tinggi dari suhu ruang dan menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik. Nilai swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut. Interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu, maka nilai indeks swelling mengalami kenaikan untuk semua jenis pelarut yang digunakan. Peningkatan perbandingan PHA-pelarut juga menyebabkan nilai indeks swelling mengalami kenaikan. Pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA, dari semua unit percobaan yang diujikan, didapatkan hanya PHA yang dilarutkan dalam pelarut kloroform saja yang dapat membentuk lembaran. Lembaran yang paling baik teksturnya dan rata ketebalannya, yaitu pada kondisi perbandingan konsentrasi 1:30 suhu 50 0C, sedangkan pelarutan PHA blanko yang hanya membentuk lembaran apabila dilarutkan pada kloroform dengan menggunakan suhu 500 C. Perlakuan yang sesuai yang dihasilkan dari analisa kelarutan PHA dan
pengamatan
fisik
adalah
perlakuan
pelarut
kloroform
dengan
0
perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50 C.
B. SARAN Peningkatan suhu menunjukkan pengaruh yang positif terhadap kelarutan PHA dalam pelarut organik. Dengan adanya peningkatan suhu diharapkan mampu mereduksi waktu pelarutan PHA. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui waktu pelarutan PHA yang sesuai sehingga didapatkan waktu proses pembuatan lembaran PHA yang lebih efisien. Selain itu disarankan pula untuk meneliti lebih lanjut tentang pengaruh kecepatan pengadukan terhadap pelarutan bioplastik. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa pelarut yang sesuai untuk melarutkan PHA dengan kondisi perlakuan yang diberikan adalah kloroform. Kloroform yang digunakan dalam penelitian adalah kloroform pure analisys
55
yang memiliki harga tinggi dan tidak mudah untuk memperolehnya sedangkan di toko-toko bahan kimia atau apotek dijual bebas jenis kloroform teknis yang memiliki harga jauh lebih murah dan kemudahan untuk mendapatkannya. Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kelarutan PHA dalam kloroform teknis untuk mengurangi biaya produksi film bioplastik PHA. Kloroform merupakan pelarut yang tidak digunakan secara luas karena sifat toksik dan narkotiknya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pelarut lain yang relatif lebih aman bagi kesehatan dan memiliki kemampuan yang baik dalam melarutkan PHA (selain pelarut yang telah digunakan pada penelitian ini). Ketiga pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut yang memiliki kelarutan tinggi terhadap PHA yang disebutkan pada banyak literatur, namun pada penelitian ini didapatkan hanya kloroform saja yang menunjukkan kelarutan yang baik terhadap PHA. Hal ini diduga karena kondisi perlakuan yang tidak sesuai untuk kedua pelarut yang diujikan, misalkan suhu yang kurang tinggi, pelarutan dalam tekanan inert, pH, kekuatan ionik, irradiasi cahaya, kecepatan pelarutan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kelarutan PHA. Disarankan untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang kondisi pelarutan yang sesuai untuk dua pelarut yang digunakan dalam penelitian ini (asam asetat glasial dan dimetilformamida).
56
DAFTAR PUSTAKA Abner, L dan Miftahorrahman. 2002. Keragaan Industri Sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No 1. Juni 2002 Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan α-Amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Allcock, H.R dan Lampe. F.W. 1981. Contemporary Polimer Chemistry. PrenticeHall, Inc. New Jersey. Andrandy, A.L. 2000. Assesment of Biodegdradability in Organic Polymers. In Hamid, S.H. (ed). Handbook of polymer degradation 2 nd ed, rev and expanded. Marcel Dekker, Inc., New York Anonim1. 2005. Acetic Acid. http://en.wikipedia.org/wiki/Acetic_acid. [15 Mei 2006] Anonim2. 2005. Appendix J: Chemichals Preparations. http://www.mallinckrodt baker. [15 Mei 2006] Anonim3. 2005. Chloroform. http://en.wikipedia.org/wiki/Chloroform. [30 November 2006] Anomim4. 2006. Dimethylformamide. www.wikipedia.org.wiki/Dimethylformamide. [ 19 Desember 2006] Anonim5. 2006. Gel Hidrokoloid. http://www.ebookpangan.com. [25 Desember 2006] Anonim6. 2006. Metabolix Core Technology. http://www.metabolix.com. [15 Mei 2006] Anonim7. 2006. Tanya Jawab. http://www.answers.com/topic/turbidimetry. [15 November 2006] Anonim8. 2006. Turbidimetry. www.aptec.diagnostics_turbidimetry. [15 November 2006] Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. Bogor: IPB Press ASTM. 1997. Annual Book of ASTM Standars. Vol 09.01. D. 3616.
Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Poli-(3-Hidroksialkanoat) Secara Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Atkinson, B dan F. Mavituna. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology Handbook. Second Edition. M Stockton Press. Now York. 1271 pages. Ayorinde, F.O., K.A. Saeed, E. Price, A. Morrow, W.E. Collins, F. Mclnnis, S.K. Pollack dan B. E. Eribo. 1998. Production of Poly-β-Hydroxybutirate from saponified Vernonia galamensis oil by Alcaligenes eutrophus. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology. (21):46-50. Babel W, Ackermann U dan Breuer. 2001. Physiology, regulation and limits of synthesis of poly(3HB). Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester : Advances in Biochemical Engineering / Biotechnology. Vol 71. Berlin: Springer-Verlag. Berghmans, E. 1981. Carbohydrate Simposium in Indonesia “Starch Hydrolisates Improved Sweeteners Obtained by The Use Enzyme”. Novo Industry AS. Novo Alle, Denmark. Byrom, D. 1990. Industrial production of copolymer from Alcaligenes eutrophus. Di dalam Novel Biodegradable Microbial Polymers, Dawes, E. A. (ed.), Kluwer Academic Publishers, The Netherlands, 113-117. Chaplin, M.F dan C. Bucle. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press, New York. Cowd. M. A. 1982. Polimer Chemistry. Di dalam Clark, J.G. (ed). 1982. Modern Chemistry background readers : John Murray (Publishers Ltd), London. Diterjemahkan Harry, F. 1991. Kimia Polimer. Penerbit : ITB. Bandung Crueger, W dan A. Crueger. 1984. Biotechnology : A Textbook of Industrial Microbiology (Traslated into English by C. Haessly and edited by T.D. Brock). Sinauer Associates, Inc. Sunderland and Science Tech, Inc. Madison. 308 pages; Ratledge, 1986. Cuq, B., N. Gontard, J.L. Cuq dan S. Gullbert . 1997. Selected Functional Properties of Fish Myofibrillar Protein Based Film as Affected by Hydrophilic Plasticicers. J. Agric. Food Chem 45 : 622-626 Dawes, I.W. dan I.W. Sutherland. 1976. Microial Psycology. Basic Microbiology. Volume 4. Blackwell Scientific Publications. Oxford. 185 pages. Day, R.A. dan A. L. Underwood. 1980. Quantitative Analysis, 4 th edition. Diterjemahkan R. Soendoro,drs, Widaningsih. W, dan Sri Rahadjeng (eds). 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi keenam. PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga. Jakarta.
58
Doi, Y., N. Kamiya, M . Sakurai, Y. Inoue dan R. Chujo. 1991. “Studies of Cocrystallization of PBV by Solid High Resolution 13 C NMR dan DSC, “ Macromolecules, 24: 2178-2182. Durrans, T.H., dan E.H. Davies. 1988. Solvent. Chapmann and Hall Ltd. London. Farquharson FG, Hall MH, and Fullerton WT. 1983. Poor obstetric outcome on three quality control laboratory workers. Lancet 1 (8831) : 983-984 [cited in U.S. EPA, 1994] Flach, M. 1997. Sago Palm. Ipgri. Rome-Italy. 75 p Fullbrook, P.D. 1984. The Enzyme Production of Glucose Syrups. In Dzieldzic, S. Z. dan M. W. Kearsley (eds.). Glucose Syrups: Science and Technology. Elsevier Applied Science Publisher, London. Furukawa, J. 2005. Physical Chemistry of Polymer Rheology. Kodansa, Springer. USA. Gescher A. 1993. Metabolism of N,N-dimethylformamide: key to understanding of its toxicity. Chem. Res. Toxicol. 6(3) : 245-251 Gordon, Manfred. 1963. High Polimers Structure and Physical Properties. AddisonWesley Publishing Company, Inc. London. Harrison, S.T. 1990. The extraction and purification of Poly-β-hydroxybutirate from Alcaligenes eutrophus. Di dalam Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Industrial Production of Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Coli: An Economic Analysis. Trans Chem E., Vol 76, Part A. pp. 417-426. Haryanto, B dan P. Pangloli. 1992. Yogyakarta.
Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius,
Hildebrand, J.H., J.M. Prausnitz dan R.L. Scott. 1970. Reguler and Related Solutions. Van Nonstrand, New York Holmes PA. 1988. Biologically produced PHA polymers and copolymers. Di dalam Bassett DC (ed). Developments in crystalline polymers, , Elsevier, London 2: pp. 1-65. Howard PH. (ed) 1993. Handbook of Environtmental Fate and Exposure Data of Organic Chemicals. Vol. IV:Solvent 2. Chelsea, MI: Lewish Publishers. Inc. Hrabak, O. 1992. Industrial Production of Poly-3-hydroxybutyrate. FEMS Microbiology Reviews. 103, 251-256. Humas. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. www.bppt.go.id. [13 November 2006]
59
Ishizaki, A dan K. Tanaka. 1991. Production of Poly-β-H ydroxybutyratiric Acid from Carbon Dioxide by Alcaligenes eutrophus ATCC 17697T. J. Ferm. Bioeng. 71 (4) : 254-257 Keenan, Kleinfelter, dan Wood. 1984. Kimia Untuk Universitas edisi keenam. Judul asli : General College Chemistry (Sixth Edition), Peterjemah Pudjaatmaka, A Hadyana. Penerbit Erlangga. Jakarta. Kemmish, D. 1993. ICI Bio Pruduct & Fine Chemicals, Biopolimer Group, Billingam. Cleveand. United Kingdom. Kessler B, Weisthuis R, Witholt B dan Eggink G. 2001. Production of Microbial Polyester: Fermentation and Downstream Processes. Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester: Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Kim, B.S., S.C. Lee, S.Y. Lee, H.N. Chang dan S.I. Woo. 1994. Production of Poly-3Hydroxybutiric Acid by Fed Batch Culture of Alcaligenes eutrophus with Glucose Concentration Control. Biotechnol. Bioeng. 43:892-898. Klem JK. 1999. Alcaligenes. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PP. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. 2000. London: Academic Press. Knigt, J. W. 1969. The Starch Industry. Pergamon Press, Oxford. Krupp, L. R. dan W.J. Jewel. 1992. Biodegradability of Modified Plasitic Films in Controlled Biological Environtments. Environtmental Sci. Technol., 26(1): 193198 Lafferty R.M., Brigitta Korsatko, Werner Korsatko. 1988. Microbial Production of Poly-β-Hydroxybutyrate Acid. Di dalam Rehm, H.J dan R.G. Reed (eds). Biotechnology. Vol. 6b. Weinheim VCH, Basel Graz University. Austria. Lee, S.Y. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49:1-14. Lee, S.Y. dan J. Choi. 2001. Production of Microbial Polyester by Fermentation of Recombinant Microorganism. In Babel, W dan A. Steinbuchel. Biopolyester: Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Lindsay K. 1992. ‘Truly degradable’ resins are now truly commercial. Modern Plastics 2: 62-64. Mark J, Ngai K, Graessley W, Mandelkern L, Samsulski E, Koenig J, dan Wignall G. 2004. Physical Properties of Polymers Third Edition. Cambridge University Press. USA. Mellan, I. 1950. Industrial Solvent. Reinhold Publiching Corporation. New York.
60
Nielsen J dan Villadsen J. 1993. Bioreactors: Description and Modeling. Di dalam : Rehm HJ, Reed G, Pühler A dan Stadler P, editor. Biotechnology. Bioprocessing. Ed ke-2 Vol 3. VCH, Weiheim. Noda, Isao. 1998. Solvent extraction of polyhydroxy-alkanoates from biomass facilitated by the use of marginal nonsolvent. United States Patent 5821299. Norman, B. E. 1981.New Development IN Starch Syrup Technology. Di dalam G.G . Birch, N. Blackebrough dan K.J. Parker (ed.). 1981. Enzymes and Food Processing. Applied Science Publ. Ltd., London. Page, W. J., K. Budwill dan P. M. Fedorack. 1992. Methanogenic Degradation of Poly(3-hydroxyalkanoates), Applied and Environmental Microbiology, 58(4): 1398-1401. Pine, S.H., J. B. Hendrickson, D.J. Cram, dan G.S. Hammand. 1980. Organic Chemistry Fourth Edition. Mc Graw-Hill, Inc. Diterjemahkan oleh Roehyanti, S. dan Sasanti W. 1988. Kimia Organik 2 (dala dua jilid). ITB : Bandung. Poirier, Y., Newrath C. dan Somerville C. 1995. production of PHA, a Family of Biodegradable Plastics and Elastomers in Bacteria and Plants. Biotechnology. 13 (Feb): 142-150. Pruett, K. M. 1988. Chemical Resistance for Elastomers. Compass Publications. California Rabek, J. F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry. Departement of Polymer Technology, The Royal Institute of Technology, Stockholm. Sweden. A. Wiley-Interscience Publication. Toronto. Rabek, J. F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry. Department of Polymer Technology, TheRoyal Institute of Technology, Stockholm. Sweden. Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Penerbit UI, Jakarta. Sperling, L.H. and C.E. Carraher.1990. Polymers from Renewable Sources. In: Kroschwitz, J.I. (executive ed.). Concise Encyclopedia of Polymer Science and Engineering. John Wiley & Sons. New York. 1341 pages. Spink, W. P dan W.F. Waychoff. Plasticizers. J. A. Kent (ed). 1958. Di dalam Modern Plastic Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New York. Srivastava, A.C. 1989. Instrumentation Technic. Diterjemahkan oleh Sutanto. Teknik Instrumentasi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Sugiarti, R. 2003. Pengaruh Konsentrasi Tributil Fosfat Terhadap Karakteristik Bioplastik dari Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh Ralstronia eutropha Dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
61
Sukardjo. Prof. Dr. 1989. Ikatan Kimia. Penerbit Rineka Cipta, Yogyakarta. Timmins, M. R., D.F. Gilmore, R.C. Fuller, dan R.W Lenz. 1993. Bacterial Polyesters and Their Biodegradation. University of Massachusetts. USA. Utz, H., M. Korn and D. Brune. 1991. Untersuchung zum Einsatz Biobbaubarer Kunststoffe im Verpackungsbereich. Bundesministerium fur Forschung und Technologie Forschungsbericht Nr. 01-ZV 8904. Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Industrial Production of Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Coli: An Economic Analysis. Trans Chem., Vol 76, Part A. pp. 417-426. Wijanarko,Q. 2003. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadapkarakteristik Biopolimer Yang Dihasilkan Oleh Alcaligenes eutrophus Pada Subtrat Hidrolisat Minyak Sawit . Skripsi . Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Winarno, F.G, Dedi Fardiaz, dan Srikandi Fardiaz. 1973. Spektroskopi. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA-1PB. Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wiyono, B., Toga S., dan Edward A.S. 1990. Percobaan Pendahuluan Pembuatan Sirup Berfruktosa Tingi dari Pati Sagu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8 (4) : 144145. Puslitbang Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Yoshida, T., Pornchai M., Reynaldo, E., Made S.P. dan M. Ismail A.K. 1996. Biotechnology for Sustainable Utilization of Biological Resources in the Tropics. Joint Seminar. 1996. International Center for Biotechnology. Osaka University. Japan.
62
Lampiran 1. Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba (Ralstonia eutropha, Azotobacter beijerinckii) (Lafferty et al. didalam Rehm and Reid (1988)
Metabolisme karbohidrat Jalur EMP, HM, ED CO2
Piruvat Siklus TCA
Asetil-SKoA X PhaA
CoASH
Asetasetil-SKoA
Suksinat Suksinil-SKoA NADH2 NAD
NADH2
^
Asetoasetat
PhaB
Y
NAD
] D(-)-β-hidroksibutiril-SKoA
D(-)-β-hidroksibutirat
Protein-AI
\
PhaC PhaZ
D(-)-β-hidroksibutiril-AI
Oligomer, trimer, dimer [
PhaZ
PhaC
Z
Poli-β-hidroksibutirat
Keterangan : X β-ketothiolase (β-ketoasilthiolase, asetoasetil-KoA, asetasetil-KoA thiolase) Y Asetasetil-KoA reduktase Z PHB polimerase (PHB sintetase) [ PHB hidrolase \ Dimer hidrolase ] β-hidroksibutirat dehidrogenase ^ Thiophorase (asetasetil-SKoA thiokinase; Asetoasetat-suksinil-KoA transferase) EMP : jalur glikolisis Embden-Meyerhof-Parnas HM : jalur Heksosa Monofosfat ED : jalur Entner-Doudoroff
Lampiran 2. Kelarutan PHA dalam berbagai pelarut (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988) Kelarutan Tinggi
Kelarutan Sedang
Tidak Terlarut
Asetat Anhidrida
Dioksan
Air
Kloroform
Oktanol
Metanol
Diklorometana
Toluen
Etanol
Dikloroasetat
Piridin
Propanol
Etilen karbonat
Sikloheksanol
Propilen karbonat
Karbontetraklorida
Trifluoroetanol
Asam mineral terlarut
Dimetil formamida
Alkalin hipoklorit
Etilaseto asetat
Dietileter
Triolein
Heksana
Asam Asetat
Benzena
Alkohol (lebih dari 3 atom-C)
Sikloheksanona
Sodium Hidroksida
Etil asetat Etilmetilketon Tetrahidrofuran Etilformiat Butil asetat Asam Valerat
64
Lampiran 3. Prosedur pembuatan bahan baku (PHA) a. Persiapan Substrat Tahap persiapan substrat meliputi proses pembuatan hidrolisat pati sagu secara enzimatis, persiapan kultur dan media kultivasi. i. Pembuatan hidrolisat pati sagu (Akyuni, 2004) Suspensi pati sagu dalam air 30% (b/v) diatur pH-nya 6-6,5 dengan penambahan CaCO3 kemudian digelatinisasi sempurna dengan cara pemanasan (70-80oC) dan mengaduknya hingga kental dan bening. Likuifikasi dilakukan dengan menambahkan α-amilase sebanyak 1,75 U/g pati ke dalam suspensi pati yang telah tergelatinisasi kemudian dipanaskan dan diaduk pada suhu 90-95oC selama 210 menit.
Hasil likuifikasi
selanjutnya disakarifikasi pada suhu 60oC, pH 4-4,5 selama 48 jam pada inkubator goyang 150 rpm dengan menambahkan amiloglukosidase (AMG) sebanyak 0,3 U/g pati, untuk menjernihkan warna, hidrolisat ditambah arang aktif (1-2 % bobot pati), dipanaskan 80oC selama satu jam lalu disaring vakum. Hidrolisat pati sagu tersebut telah siap digunakan sebagai sumber karbon kultivasi PHA dan sebelumnya dilakukan analisis total gula (metode Fenol Sulfat). Prosedur analisis total gula (Apriyantono et al.,1989) adalah sebagai berikut: Prinsip metode ini adalah bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna orange-kekuningan yang stabil. Penetapan sampel Untuk menetapkan total gula, sampel harus berupa cairan yang jernih. Sebanyak 2 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok. Selanjutnya ditambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan dalam penangas air selama 15 menit. Setelah dingin, absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Sampel
65
sebelumnya diencerkan dengan tingkat pengenceran yang sesuai sehingga dapat terbaca pada kisaran 20-80% absorban. Nilai ratarata absorbansi sampel hasil pengukuran dimasukkan ke persamaan kurva standar sehingga didapatkan nilai konsentrasi glukosa. Kurva standar untuk penentuan kadar total gula hidrolisat pati sagu dengan metode Fenol-Sulfat (Atifah, 2006). Absorbansi λ 490nm
Konsentrasi glukosa (μg/ml) 10 20 30 40 50 60
Kurva Standar Glukosa
0,235 ± 0,043 0,309 ± 0,052 0,475 ± 0,069 0,627 ± 0,071 0,762 ± 0,040 0,917 ± 0,048
Absorbansi 490 nm
1 y = 0,0141x + 0,0616 R2 = 0,9931
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
10
20
30
40
50
60
Konsentrasi glukosa (mikrogram/ml)
Diagram proses pembuatan hidrolisat pati sagu adalah sebagai berikut.
Pati sagu Air Suspensi pati 30% CaCO3 Set pH 6-6,5
Gelatinisasi Alfa Amilase 1,75 u/g Likuifikasi 90-95oC ~ 21 menit
positif HCl 0,2 N
Uji iod negatif Set pH 4-4,5
AMG 0,3 u/g Sakarifikasi 60oC, 48-60 jam, 150 rpm
Inaktivasi enzim 105oC ~ 5 menit Arang aktif 1-2% Pemanasan 80oC ~ 1 jam
Penyaringan vakum
Hidrolisat pati sagu
66
ii. Persiapan kultur dan media kultivasi (Atifah, 2006) Kultur R. eutropha dipelihara dalam bentuk kering-beku. Kultur disegarkan setiap dua minggu dengan menumbuhkannya pada media cair Nutrient Broth (inkubasi 34oC selama 24 jam). Formulasi media kultivasi per liter adalah X ml hidrolisat pati sagu dan Y gram (NH4)2HPO4 sedemikian sehingga rasio C/N awal 10:1 dengan asumsi bahwa konsentrasi karbon pada sirup glukosa pati sagu adalah 40% dari total gula dan konsentrasi N pada (NH4)2HPO4 adalah 21,21% komposisi media propagasi dan media kultivasi (Atifah, 2006) dapat dilihat pada Tabel 6. Larutan mikroelemen terdiri dari 2,78 g FeSO4.7H2O; 1,98 g MnCl2.4H2O; 2,81 g CoSO4.7H2O; 1,67 g CaCl2.2H2O; 0,17 g CuCl2.2H2O dan 0,29 g ZnSO4.7H2O yang dilarutkan dalam 1 liter HCl 1 N. Komposisi media propagasi dan media kultivasi (Atifah, 2006) adalah sebagai berikut : Propagasi II (90 ml) 9,608 ml 0,566 gr 0,522 gr 0,342 gr 0,9 ml 0,09 ml
Bahan Sirup (NH4)2HPO4 K2HPO4 KH2PO4 MgSO4 0.1 M Mikro Elemen
Media Propagasi III (900 ml) 96,085 ml 5,658 gr 5,22 gr 3,42 gr 9,0 ml 0,9 ml
Kultivasi (9000 ml) 960,854 ml 56,577 gr 52,2 gr 34,2 gr 90 ml 9 ml
Sebelum digunakan, media terlebih dahulu disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit (sumber karbon dan sumber nitrogen disterilisasi dalam wadah yang terpisah untuk menghindari reaksi pencoklatan). Media didiamkan beberapa saat setelah disterilisasi sehingga suhunya mencapai 25-30oC dan siap diinokulasi. Untuk keperluan kultivasi, terlebih dahulu dilakukan propagasi kultur dengan menumbuhkan kultur segar R. eutropha ke dalam media steril (10% v/v) pada inkubator goyang 150 rpm, suhu 34oC selama 24 jam.
Komposisi media propagasi disesuaikan dengan media yang
digunakan pada kultivasi, volume kultur propagasi 10% dari volume media kultivasi.
Kultur hasil propagasi selanjutnya diinokulasikan ke
dalam media kultivasi.
67
b. Produksi PHA secara Fed Batch Produksi PHA dengan cara kultivasi secara fed batch dengan Ralstonia eutropha dilakukan pada bioreaktor skala 10 liter. Strategi pengumpanan larutan stok dilakukan berdasarkan Byrom (1990). Pada saat mikroba diperkirakan memasuki fase pertumbuhan stasioner maka ke dalam bioreaktor diumpankan larutan stok dengan volume setara 20 gram gula per liter kultur atau sekitar 640,57 ml dengan kecepatan pengumpanan konstan 1.7 ml/menit. Kultivasi dilakukan pada suhu 34oC, agitasi 150 rpm, pH 7 dan aerasi 0,2 vvm. Proses kultivasi dilakukan selama 96 jam dengan pengumpanan pada jam ke-48.
Bioreaktor kapasitas 10 L yang digunakan dalam penelitian Diagram alir kultivasi PHA (Modifikasi Ayorinde et al., 1998 oleh Atifah, 2006) Kultur Ralstonia eutopha
Media Kultivasi
Sterilisasi (121oC, 15’)
Propagasi kultur dalam Nutrien broth steril
Inokulasi Ralstonia eutopha pada media kultivasi
Kultivasi (Suhu 34oC, agitasi 150 rpm, pH 7, aerasi 0,2 vvm, 96 jam, pengumpanan pada jam ke-48)
Cairan Kultivasi
68
c. Proses Hilir PHA (modifikasi Van Wegen et al., 1998 dan Williamson, D. H. Dan J. F. Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al., 1988) Setelah proses kultivasi selesai, cairan kultivasi disentrifugasi sebanyak empat tahap pada kecepatan 13000 rpm selama sepuluh menit. Sentrifugasi tahap pertama bertujuan untuk memisahkan biomassa dengan fase cair. Endapan yang diperoleh pada sentrifugasi pertama dibilas dengan aquades untuk pembersihan, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap kedua. Hasil bilasan ditambah NaOH 0,2 N kemudian dilakukan proses digest (pelumatan) selama satu jam untuk mengeluarkan PHA dari biomassa sel. Proses sentrifugasi ketiga dilakukan untuk memisahkan hasil digest (pelumatan)
dengan cairannya (NaOH). Hasil sentrifugasi ketiga dibilas
dengan aquades, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap keempat. Hasil sentrifugasi keempat diambil dan dimasukkan ke cawan petri, kemudian dioven pada suhu 40-60OC sampai kering dan bobotnya konstan. PHA merupakan serbuk kering hasil pengeringan pada oven. PHA kering selanjutnya dimurnikan dengan proses pelarutan pada kloroform pada suhu 500C. PHA diketahui dapat larut dalam kloroform (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988) dan cara ini telah lama digunakan untuk mengekstrak PHA dari biomassa mikrobial. Pelarutan ini dilakukan dengan memasang pendingin tegak (kondensor) pada erlenmeyer yang berisi PHA-kloroform, dipanaskan pada suhu 50oC selama 20 jam. Larutan PHA-kloroform selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 40 untuk memisahkan ampas dari larutan PHA-kloroform. PHA dipisahkan dari kloroform dengan cara menguapkan kloroform dalam ruang asam sehingga PHA yang tersisa membentuk suatu lapisan PHA kering yang lebih murni. Diagram alir proses hilir (Modifikasi Van Wegen et al., 1998 dan Williamson dan Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al.,1988) adalah seperti dibawah ini.
69
Cairan Kultivasi
Sentrifugasi (Tahap 1) (13000 rpm, 10’)
Supernatan
Presipitat Aquadest Sentrifugasi (Tahap 2) (13000 rpm, 10’)
Supernatan
Presipitat Lar. NaOH 2% Digest (60’)
Sentrifugasi (Tahap 3) (13000 rpm, 10’)
Supernatan
Presipitat Aquadest hangat Sentrifugasi (Tahap 4) (13000 rpm, 10’)
Supernatan
A
70
A
Presipitat
Pengeringan dengan oven (50oC, 24 jam)
Presipitat Kering
Ekstraksi dengan kloroform (Refluks, 20 jam, 50oC)
Penyaringan dengan Pompa Vakum (Whatman 40)
Sel Debris dan Pengotor lainnya
PHA+Kloroform
Penguapan Kloroform (suhu ruang)
Uap Kloroform
PHA
71
Lampiran 4. Analisa kelarutan PHA (Allcock dan Lampe, 1981; Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988; Rabek 1983) a. Absorbansi (Optical Density) (Modifikasi Allcock dan Lampe, 1981) Pengukuran absorbansi untuk mengetahui kinerja pelarut bioplastik dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer Cecil seri 2000 dan panjang gelombang yang digunakan adalah 575 nm (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid , 1988, Robert M., et al., 1988). Sampel diencerkan sampai 5, 25 dan 125 kali.
Spektrofotometer Cecil seri 2000 b. Kekeruhan (Rabek 1983) Pengukuran kekeruhan menggunakan Spektrofotometer jenis DR 2000. Sebenarnya pengukuran kekeruhan ini menggunakan prinsip yang sama dengan absorbansi. Hal ini dilakukan untuk mempertegas hasil dari absorbansi. Nilai kekeruhan seringkali dipengaruhi warna larutan, sehingga dapat diketahui intensitasnya. Satuan yang digunakan adalah FTU.
Spektrofotometer DR 2000
72
c. Viskositas (Modifikasi Allcock dan Lampe, 1981) Pengujian
viskositas
dilakukan
dengan
menggunakan
alat
viskosimeter Brookfield menggunakan spindel nomer dua dan kecepatan 60 rpm.
Viskosimeter Brookfield d. Indeks Swelling (ASTM D 3616-95, 1997; Allcock dan Lampe, 1981) Tiap sampel PHA dilarutkan dalam pelarut kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida di dalam stoples ulir kecil kemudian dicampur dengan menggunakan stirer selama 4 jam pada suhu 250C dan suhu 500C. Larutan PHA kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 40. Larutan yang telah disaring kemudian dikeringkan pada suhu kamar dengan dalam ruang asam sampai bobot konstan. Pengukuran bobot dilakukan pada larutan, kertas saring dan PHA untuk mengetahui bobot sebelum dan sesudah penyaringan. Indeks swelling diukur dengan rumus sebagai berikut. Indeks swelling = (E/D)
E = (F – G) D = (C - B) B = bobot kering PHA terlarut (g) C = bobot PHA sebelum perlakuan (g)
D = bobot kering PHA tidak terlarut (g) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g) F = bobot larutan PHA (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g)
73
Lampiran 5. Data nilai pengujian kelarutan pada blanko (PHB murni komersil) Pelarut
Pengujian
Kloroform
Suhu Kamar
Suhu 500C
Absorbansi
0.308
0.023
Kekeruhan
360
49
0.09
0.3000
11.46219
75.6805
Absorbansi
0.6630
0.6370
Kekeruhan
558
543
0.0150
0.1
Index Swelling
2.363249
2.4468
Absorbansi
0.16600
0.24300
Kekeruhan
327
344
0.05
0.2
0.8185
1.79535
Perubahan nilai Viscositas Index Swelling
Asam Asetat Glasial
Perubahan nilai Viscositas
Dimetilformamida
Perubahan nilai Viscositas Index Swelling Keterangan :
Viskositas kloroform 0.5 Cp Viskositas asam asetat glasial 0.9 Cp Viskositas dimetilformamida 0.5 Cp
74
Lampiran 6. Data nilai absorbansi 1. Kloroform
Ulangan 1
Ulangan 2
Perlakuan Suhu Kamar
Nilai Absorbansi 5 52 53 0.2366 0.0392 0.024 0.147 0.029 0.018 0.0690 0.0170 0.005 1
1:10 1:20 1:30
SUHU 500C
1:10 1:20 1:30
0.302 0.149 0.113
0.06 0.036 0.025
0.017 0.011 0.003
Suhu Kamar
1:10 1:20 1:30
0.128 0.064 0.051
0.028 0.019 0.013
0.009 0.006 0.003
SUHU 500C
1:10 0.17900 0.04000 0.01200 1:20 0.087 0.02 0.006 1:30 0.065 0.011 0.002
2. Asam Asetat Glasial
Ulangan 1
Perlakuan Suhu Kamar
0
Suhu 50 C
Ulangan 2
Suhu Kamar
Suhu 500C
1:10 1:20 1:30
Nilai Absorbansi 51 52 53 2.82 1.984 0.674 2.73 1.828 0.497 2.4700 1.1760 0.2785
1:10 2.86000 1.75450 0.70250 1:20 2.4100 1.2595 0.34200 1:30 2.24000 1.06500 0.27200 1:10 1:20 1:30
1.632 0.6785 0.1384
0.509 0.384 0.1115
0.112 0.067 0.028
1:10 2.44000 1.23800 0.35300 1:20 1.82 0.641 0.182 1:30 1.58 0.617 0.131
75
3. Dimetilformamida
Ulangan 1
Ulangan 2
Perlakuan Suhu Kamar
Nilai Absorbansi 5 52 53 1:10 1.165 0.5388 0.1176 1:20 1.424 0.321667 0.05 1:30 1.389333 0.257667 0.039 1
Suhu 500C
1:10 1:20 1:30
2.00000 1.5760 1.424
Suhu Kamar
1:10 1:20 1:30
0.639 0.314 0.228
Suhu 500C
1:10 1:20 1:30
1.84800 1.132 1.028
1.00400 0.26350 0.5830 0.1360 0.4875 0.1035 0.154 0.052 0.048
0.036 0.009 0.006
0.76400 0.20600 0.312 0.065 0.238 0.05
76
Lampiran 7. Hasil analisis keragaman nilai absorbansi Sumber keragaman A B C Blok A*B A*C B*C A*B*C Error Total S = 0.194339
DF 2 1 2 1 2 4 2 4 17 35
SS 13.0598 0.5769 1.9254 1.8083 0.8009 0.1617 0.0035 0.0409 0.642
R-Sq = 96.62%
MS 6.5299 0.5769 0.9627 1.8083 0.4004 0.0404 0.0018 0.0102 0.0378
F Hitung 172.9 15.28 25.49 47.88 10.6 1.07 0.05 0.27
P 0.000** 0.001** 0.000** 0.000** 0.001** 0.401 0.954 0.893
R-Sq(adj) = 93.05%
77
Lampiran 8. Hasil uji lanjut nilai absorbansi 1. Uji lanjut perlakuan C (Perbandingan PHA-pelarut) Perlakuan C1 C2 C3
Rata-rata 26.31875 14.46875 9.59375
Hasil analisis efek perlakuan : C1
LSR 2 3 0.056322 0.068418
C2
C3
Keterangan : C1 : perbandingan PHA-pelarut 1:10 C2 : perbandingan PHA-pelarut 1:20 C3 : perbandingan PHA-pelarut 1:30 2. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu) Perlakuan A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
RataLSR rata 2 3 4 5 6 4.0625 0.0563 0.0684 0.0760 0.0815 0.0854 3.1875 103.5313 123.9063 16.1 51.5
Hasil analisis efek perlakuan : A2B2 A2B1 A3B2 A3B1 A1B1 A1B2 Keterangan : A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC) A1B2 : kloroform, suhu 50 oC A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC) A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC
78
Lampiran 9. Data nilai kekeruhan 1. Kloroform Perlakuan Ulangan 1 Suhu Kamar
Ulangan 2
Nilai Kekeruhan (FTU Turbidimetry) 1:10 102 1:20 57 1:30 38
Suhu 500 C
1:10 1:20 1:30
101 80 68
Suhu Kamar
1:10 1:20 1:30
128 60 39
Suhu 500 C
1:10 1:20 1:30
106 66 53
2. Asam Asetat Glasial Perlakuan Ulangan 1 Suhu Kamar
Ulangan 2
Nilai Kekeruhan (FTU Turbidimetry) 1:10 496 1:20 238 1:30 148
Suhu 500 C
1:10 1:20 1:30
552 512 499
Suhu Kamar
1:10 1:20 1:30
311 205 100
Suhu 500 C
1:10 1:20 1:30
490 294 277
79
3. Dimetilformamida Perlakuan Ulangan 1 Suhu Kamar
Ulangan 2
Nilai Kekeruhan (FTU Turbidimetry) 1:10 187 1:20 53 1:30 47
Suhu 500 C
1:10 1:20 1:30
420 211 128
Suhu Kamar
1:10 1:20 1:30
118 62 31
Suhu 500 C
1:10 1:20 1:30
341 169 116
80
Lampiran 10. Hasil analisis keragaman nilai kekeruhan Sumber keragaman A B C Blok A*B A*C B*C A*B*C Error Total S = 0.0747593
DF 2 1 2 1 2 4 2 4 17 35
SS 2.51196 0.7078 1.01905 0.0682 0.23362 0.05957 0.08114 0.02266 0.09501
MS 1.25598 0.7078 0.50952 0.0682 0.11681 0.01489 0.04057 0.00566 0.00559
R-Sq = 98.02%
F Hitung 224.73 126.64 91.17 12.2 20.9 2.66 7.26 1.01
P 0.000** 0.000** 0.000** 0.003** 0.000** 0.068 0.005** 0.428
R-Sq(adj) = 95.92%
81
Lampiran 11. Hasil uji lanjut nilai kekeruhan 1. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu) Perlakuan Rata-rata 2 3 212 0.00832 0.0101 237 749 1312 255 692.5
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
LSR 4 5 0.0112 0.0120
6 0.0126
Hasil analisis efek perlakuan : A2B2 A2B1 A3B2 A1B2 A3B1 A1B1 Keterangan : A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC) A1B2 : kloroform, suhu 50 oC A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC) A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC 2. Uji lanjut interaksi antara perlakuan B (suhu) dengan C (perbandingan PHA-pelarut) Perlakuan Rata-rata 2 3 B1CI 671 0.00832 0.0101 B1C2 337.5 B1C3 207.5 B2C1 1005 B2C2 666 B2C3 570.5
LSR 4 0.0112
5 0.0120
6 0.0126
Hasil analisis efek perlakuan : B2C1 B1CI B2C2 B2C3 B1C2 B1C3 Keterangan : B1C1 B1C2 B1C3 B2C1 B2C2 B2C3
: suhu kamar (25 oC), perbandingan PHA-pelarut 1:10 : suhu kamar (25 oC), perbandingan PHA-pelarut 1:20 : suhu kamar (25 oC), perbandingan PHA-pelarut 1:30 : suhu 50oC, perbandingan PHA-pelarut 1:10 : suhu 50oC, perbandingan PHA-pelarut 1:20 : suhu 50oC, perbandingan PHA-pelarut 1:30
82
Lampiran 12. Data nilai viskositas 1. Kloroform Perlakuan Ulangan 1 Suhu kamar
Nilai Viscositas (Cp) Perubahan Nilai 1:10 0.65 0.15 1:20 0.605 0.105 1:30 0.57 0.07
Suhu 500C
1:10 1:20 1:30
0.884375 0.7825 0.72
0.384375 0.2825 0.22
Suhu kamar
1:10 1:20 1:30
0.665 0.613 0.6
0.165 0.113 0.1000
1:10 1:20 1:30
1.0375 0.825 0.771
0.5375 0.325 0.271
Ulangan 2
0
Suhu 50 C
Keterangan : Viskositas kloroform 0.5 Cp 2. Asam Asetat Glasial Perlakuan Ulangan 1 Suhu kamar
Nilai Viscositas (Cp) Perubahan Nilai 1:10 1.0875 0.1875 1:20 0.9900 0.0900 1:30 0.9600 0.0600
Suhu 500C
1:10 1:20 1:30
1.2750 1.0000 0.9800
0.3750 0.1000 0.0800
Suhu kamar
1:10 1:20 1:30
1.1438 1.0500 0.9800
0.2438 0.1500 0.0800
1:10 1:20 1:30
1.2875 1.1000 1.0000
0.3875 0.2000 0.1000
Ulangan 2
Suhu500C
Keterangan : Viskositas asam asetat glasial 0.9 Cp
83
3. Dimetilformamida
Perlakuan Ulangan 1 Suhu kamar
Nilai Viscositas (Cp) Perubahan Nilai 1:10 0.7750 0.275 1:20 0.6700 0.17 1:30 0.5600 0.06
Suhu 500C
1:10 1:20 1:30
0.8750 0.8500 0.6000
0.375 0.35 0.1000
Suhu kamar
1:10 1:20 1:30
0.8500 0.7000 0.5900
0.35 0.2 0.0900
1:10 1:20 1:30
0.9250 0.8000 0.7000
0.42500 0.3 0.2
Ulangan 2
Suhu500C
Keterangan : Viskositas asam asetat glasial 0.5 Cp
84
Lampiran 13. Analisis keragaman perubahan nilai viskositas Sumber keragaman A B C Blok A*B A*C B*C A*B*C Error Total S = 0.0668911
DF 2 1 2 1 2 4 2 4 17 35
SS 0.17334 0.6704 1.25074 0.11538 0.15815 0.15022 0.00123 0.03175 0.07607
MS 0.08667 0.6704 0.62537 0.11538 0.07908 0.03755 0.00062 0.00794 0.00447
R-Sq = 97.10%
F Hitung 19.37 149.83 139.77 25.79 17.67 8.39 0.14 1.77
P 0.000** 0.000** 0.000** 0.000** 0.000** 0.001** 0.872 0.181
R-Sq(adj) = 94.04%
Lampiran 14. Hasil uji lanjut nilai viskositas 1. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu)
85
Perlakuan A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Rata-rata
LSR 2 3 4 0.3515 0.0067 0.0081 0.009 1.010188 0.405625 0.62125 0.5725 0.875
5 6 0.0096 0.0101
Hasil analisis efek perlakuan : A1B2 A3B2 A2B2 A3B1 A2B1 A1B1 Keterangan : A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC) A1B2 : kloroform, suhu 50 oC A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC) A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC 2. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) LSR RataPerlakuan rata 2 3 4 5 6 7 8 9 A1C1 0.618438 0.007 0.008 0.009 0.010 0.010 0.011 0.011 0.011 A1C2 0.41275 A1C3 0.3305 A2C1 0.596875 A2C2 0.27 A2C3 0.16 A3C1 0.7125 A3C2 0.51 A3C3 0.225 Hasil analisis efek perlakuan : A3C1
A2C1 A1C1 A3C2 A1C2
A1C3 A2C2 A3C3 A2C3
Keterangan : A1C1 : kloroform, perbandingan PHA-pelarut 1:10 A1C2 : kloroform, perbandingan PHA-pelarut 1:20
86
A1C3 A2C1 A2C2 A2C3 A3C1 A3C2 A3C3
: kloroform, perbandingan PHA-pelarut 1:30 : asam asetat glasial, perbandingan PHA-pelarut 1:10 : asam asetat glasial, perbandingan PHA-pelarut 1:20 : asam asetat glasial, perbandingan PHA-pelarut 1:30 : dimetilformamida, perbandingan PHA-pelarut 1:10 : dimetilformamida, perbandingan PHA-pelarut 1:20 : dimetilformamida, perbandingan PHA-pelarut 1:30
87
Lampiran 15 . Data swelling index 1. Kloroform PERLAKUAN SUHU KAMAR ULANGAN 1
ULANGAN 2
1:10 1:20
B 0.0657 0.0763
C 0.1007 0.1001
D 0.035 0.0238
F G 42.2462 26.7755 40.5568 24.5944
E 15.4707 15.9624
Swelling Index 9.60913 26.82756
Pengenceran 46 X 25 X
1:30
0.0745
0.1001
0.0256
43.9357 22.3201
1.44104
56.29063
15 kali
SUHU 50
1:10 1:20 1:30
0.094 0.0874 0.0941
0.1088 0.1063 0.105
0.0148 0.0189 0.0109
34.7061 17.7165 0.41438 41.0536 24.5388 0.7864 47.9476 27.8573 1.255644
27.99868 41.6095 115.1967
41 X 21 X 16 X
SUHU KAMAR
1:10 1:20
0.0849 0.085
0.1002 0.1
0.0153 0.015
41.0133 19.4978 0.488989 44.198 25.5308 0.848509
31.96004 56.56727
44 X 22 X
1:30
0.089
0.1004
0.0114
46.742
33.4218 0.832513
73.02741
16 X
0.1011 0.1005 0.1011
0.01295 44.6084 18.6582 0.603493 0.0131 40.4904 23.6371 0.766059 0.0091 47.7448 28.4853 1.203719
46.60178 58.47779 132.2768
43 X 22 X 16 X
SUHU 50
1:10 0.08815 1:20 0.0874 1:30 0.092
E = (F - G) D = (C - B) B = bobot kering PHA terlarut (g)
C = bobot PHA sebelum perlakuan (g) D = bobot kering PHA tidak terlarut (g) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g)
F = bobot larutan PHA (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g) Indeks Swelling = (E/D)
88
2. Asam Asetat Glasial PERLAKUAN ULANGAN 1 SUHU KAMAR
ULANGAN 2
1:10 1:20 1:30
B 0.0136 0.0066 0.0013
C 0.1001 0.1007 0.1007
D 0.0865 0.0941 0.0994
F G 28.7817 23.7394 30.2553 26.5333 43.8400 37.8834
SUHU 50
1:10 1:20 1:30
0.0218 0.0401 0.0387
0.1005 0.1007 0.1
0.0787 0.0606 0.0613
SUHU KAMAR
1:10 1:20 1:30
0.0322 0.0062 0.0160
0.1009 0.1004 0.1008
SUHU 50
1:10 1:20 1:30
0.0417 0.0493 0.0579
0.1005 0.1000 0.1006
E = (F - G) D = (C - B) B = bobot kering PHA terlarut (g)
Swelling Index 1.9431 2.4721 3.7453
pengenceran 30 X 16 X 16 kali
26.1714 19.5323 0.221303 24.6599 21.3013 0.2099 45.6094 40.4114 0.324875
2.811986 3.4639 5.299755
26 X 16 X 16 X
0.0687 0.0942 0.0848
31.147 26.2795 0.187212 31.7594 25.0497 0.419356 41.2215 32.4623 0.5475
2.725059 4.451765 6.4558
30 X 16 X 16 X
0.0588 0.0507 0.0427
26.1714 19.5323 0.221303 34.0358 29.7584 0.2673 38.3096 33.1812 0.320525
3.763662 5.2729 7.50644
31 X 16 X 16 X
C = bobot PHA sebelum perlakuan (g) D = bobot kering PHA tidak terlarut (g) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g)
E 0.1681 0.2326 0.3723
F = bobot larutan PHA (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g Indeks Swelling = (E/D)
89
3. Dimetilformamida PERLAKUAN SUHU ULANGAN 1 KAMAR
ULANGAN 2
1:10 1:20
B 0.0149 0.026
C 0.1002 0.1003
D 0.0853 0.0743
F 25.39 27.399
G 24.6676 26.7755
E 0.02408 0.02494
Swelling Index 0.282298 0.335666
1:30
0.004
0.1002
0.0962
30.39
28.6676
0.10765
1.119023
16 kali
SUHU 50
1:10 1:20 1:30
0.0065 0.024 0.012
0.1005 0.1005 0.1005
0.094 0.0765 0.0885
27.902 26.3464 0.051853 28.7726 27.397 0.085975 41.4925 38.4481 0.190275
0.551631 1.123856 2.15
30 X 16 X 16 X
SUHU KAMAR
1:10 1:20
0.0075 0.0092
0.1055 0.1001
0.098 0.0909
27.1216 25.9922 0.040336 30.3042 29.251 0.065825
0.411589 0.724147
28 X 16 X
1:30
0.0263
0.11
0.0837
51.8671 50.3048 0.097644
1.166592
16 X
1:10 1:20 1:30
0.0251 0.0509 0.0269
0.1004 0.1004 0.1004
0.0753 0.0495 0.0735
29.2526 27.8977 0.048389 33.9432 32.6068 0.083525 46.959 43.7781 0.198806
0.64262 1.687374 2.704847
28 X 16 X 16 X
SUHU 50
E = (F - G) D = (C - B) B = bobot kering PHA terlarut (g)
C = bobot PHA sebelum perlakuan (g) D = bobot kering PHA tidak terlarut (g) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g)
pengenceran 30 X 16 X
F = bobot larutan PHA (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g Indeks Swelling = (E/D)
90
Lampiran 16. Hasil analisis keragaman nilai swelling index Sumber keragaman A B C Blok A*B A*C B*C A*B*C Error Total S = 0.0843401
DF 2 1 2 1 2 4 2 4 17 35
SS 18.3959 0.4818 1.3553 0.3109 0.0692 0.0833 0.0006 0.0478 0.1209 20.8658
MS 9.198 0.4818 0.6777 0.3109 0.0346 0.0208 0.0003 0.0119 0.0071
R-Sq = 99.42%
F Hitung 1293.07 67.73 95.27 43.7 4.86 2.93 0.05 1.68
P 0.000** 0.000** 0.000** 0.000** 0.021* 0.052 0.956 0.201
R-Sq(adj) = 98.81%
91
Lampiran 17. Hasil uji lanjut nilai swelling index 1. Uji lanjut perlakuan C (Perbandingan PHA-pelarut) Perlakuan
Rata-rata
C1 C2 C3
10.77513 16.91782 33.91161
LSR 2 0.010579
Hasil analisis efek perlakuan : C3 C2
3 0.012851
C1
Keterangan : C1 : perbandingan PHA-pelarut 1:10 C2 : perbandingan PHA-pelarut 1:20 C3 : perbandingan PHA-pelarut 1:30 3. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu) Perlakuan A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Rata-rata
LSR 2 3 4 5 127.141 0.0105 0.0129 0.0143 0.0153 211.0806 10.89657 14.05934 2.019658 4.430164
6 0.0160
Hasil analisis efek perlakuan : A1B2 A1B1 A2B2 A2B1 A3B2 A3B1 Keterangan : A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC) A1B2 : kloroform, suhu 50 oC A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC) A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC
92
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU Muslich1) Khaswar Syamsu 1) dan Dossi Rahdumi Anatia 1) 1)
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. ABSTRACT
Biodegradable plastic have become one of partial solutions of problem solving of disposal of plastic that take environmental serious problem confronting many countries. PHA is one of the most promising biodegradable plastics to make plastic utensils (Van Wegen et al., 1998). PHB is a thermoplastic, belonging to the family of polyhydroxyalkanoate PHAs. It has physical and mechanical properties comparable to those of isostatic polypropylene iPP. There is a large amount of demand for biodegradable plastic for using in industrial and medical applications (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). PHB has disadvantage: it has stiff and brittle (Kim et al, 1994). To prevent the degradation of chains in processing PHB, which can be reduced by addition of plasticizers. To ensure optimal mixing between PHB and the plasticizer, it need the right solvent and cultured conditions. The treatment of the dissolved bioplastic film are the kind of solvent (chloroform, acetat glacial acid dan dimetilformamide), comparation of PHA-solvent (1:10, 1:20, dan 1:30) and the degree of temperature (room temperature (25 0 C) and temperature of 500 C). Analytical procedure of dissociated of bioplastic and physical observation run to get the optimal condition of dissociated. Analytical procedure of dissociated of bioplastic was monitored by measuring the optical density (absorbans value), turbidity, viscosity and swelling index of the solvent. Keywords : bioplastic, PHA, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, chlroroform, dimetilformamide, acetic acid glacial, absorbans, turbidity , viscosity and swelling index PENDAHULUAN Plastik biodegradabel adalah salah satu alternatif pemecahan masalah sampah plastik.. PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu jenis plastik biodegradabel yang paling menjanjikan. Poliester-poliester PHA dapat didegradasi secara biologis dan kompatibel untuk kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang jahit pada operasi bedah sampai bahan-bahan kemasan (Van Wegen et al., 1998). Meskipun PHA menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk berbagai aplikasi namun secara komersial masih menghadapi kendala ekonomi. Nilai Penurunan biaya produksi dapat diupayakan melalui pengembangan strainstrain bakteri, substrat kultivasi yang lebih murah, proses kultivasi yang lebih efisien dan proses recovery yang lebih ekonomis. Sagu merupakan salah satu alternatif bahan baku murah dan terbaharukan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan hidrolisat patinya, karena kandungan glukosa yang cukup besar dalam sagu serta kemudahan untuk mengekstrak patinya. Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Produksi pati sagu di
Indonesia pada tahun 2000 mencapai 6.333,88 ton dan meningkat menjadi 13.883,12 ton pada tahun 2001 (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Cadangan pati sagu tiap tahunnya diperkirakan hanya 0,05–1% yang dimanfaatkan untuk ekspor, 10% sebagai bahan baku makanan tradisional dan 89% beum termanfaatkan dengan baik (Wiyono et al., 1990). Menurut penelitian Atifah (2006) tentang pemanfaatan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon pada produksi bioplastik poli(3hidroksialkanoat) oleh Ralstonia eutropha, PHA yang dihasilkan dengan substrat pati sagu termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) karena memiliki kemiripan titik leleh, gugus fungsional dan hasil metanolisis dengan PHB murni. PHB merupakan bahan termoplastik dengan banyak karakteristik menarik, salah satunya adalah kemiripannya dengan polipropilen (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Kekurangan PHB sebagai bioplastik adalah bersifat rapuh dan kaku (Kim et al., 1994). Penggunaan bahan tambahan seperti pemlastis pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis tidak dapat dicampurkan begitu saja dengan PHB, diperlukan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai agar PHB dengan pemlastis dapat
bercampur dengan baik (Allcock dan Lampe, 1981). Pelarutan PHB dalam pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) (Pine et al., 1988). PHB dapat larut dalam beberapa pelarut organik (Lafferty et al. didalam Rehm and Reid, 1988). Kloroform, dimetilformamida dan asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang (Durrans dan Davies, 1988). Ketiga pelarut ini memiliki kelarutan yang tinggi dalam PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) didapatkan pelarut terbaik adalah kloroform dengan perbandingan pelarut dan PHA 4:1, pelarut lain yang diujikan adalah aseton dan diklorometana. Wijanarko (2003) menyarankan adanya perlakuan suhu untuk menentukan kelarutan yang terbaik pada suhu diatas suhu ruang. Proses kimia dapat berjalan lebih cepat dengan naiknya suhu proses. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengaruh perlakuan suhu, jenis dan perbandingan PHA-pelarut terhadap kelarutan PHA. Selain itu juga untuk mendapatkan interaksi jenis pelarut dan kondisi pelarutan (perbandingan PHA-pelarut dan suhu) yang sesuai bagi pembentukan film bioplastik yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat pati
sagu. METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah PHA pati sagu, PHB murni dari Sigma-Aldrich, kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida. Sedangkan alat utama yang digunakan adalah bioreaktor skala 10 L, spektrofotometer Cecil series 2000, DR 2000 dan viskosimeter. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu (a) Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA, (b) Menentukan interaksi faktor-
faktor perlakuan dan (c) Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA. Prosedur penelitian ini ada dua tahapan. Tahap pertama adalah pembuatan bahan baku bioplastik untuk menghasilkan PHA dan tahap yang kedua adalah tahap penelitian utama yaitu analisa kinerja pelarut bioplastik. (a) Pembuatan Bahan Baku (PHA) Pembuatan bahan baku bertujuan untuk memperoleh PHA sebagai bahan utama pembuatan film bioplastik. Pembuatan bahan baku terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat (pembuatan hidrolisat pati sagu (Akyuni ,2004), produksi PHA secara fed batch (Atifah, 2004), dan proses hilir PHA. (b) Pembuatan Larutan Bioplastik (Allcock dan Lampe, 1981; Laffety et al. di dalam Rehm and Reid, 1988; Rabek 1983) Larutan bioplastik dibuat melalui proses pencampuran antara PHA dan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloroform, asam asetat glasial dan dimetylformamida. Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut, jadi perbandingan PHA-pelarut yang digunakan adalah 1:10, 1:20 dan 1:30. Perlakuan suhu dilakukan pada suhu ruang dan suhu 500C. Lama pelarutan adalah 4 jam, sesuai dengan penelitian Sugiarti, R. (2003) dan Akmaliah, P. (2003) mengenai pembuatan film bioplastik dengan menggunakan substrat hidrolisat minyak sawit. Analisa kelarutan PHA dilakukan dengan pengujian karakteristik larutan bioplastik yang meliputi sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan PHA HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan PHA Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lainnya dalam larutan tersebut. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Pelarut yang digunakan dalam analisa ini merupakan pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam produksi biopolimer. Menurut Lafferty et al. didalam Rehm and Reid (1988), kelarutan PHB dalam beberapa pelarut, menunjukkan
kelarutan tinggi pada pelarut kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida. Mekanisme pelarutan polimer dalam suatu pelarut yang sesuai didahului dengan meregangnya rantai polimer pada suatu dimensi mekanik. Hasil peregangan ini adalah terurainya ikatan sambung silang yang ada didalam polimer. Lalu pelarut masuk kedalam jaringan polimer, sehingga volumenya naik secara isotropicaly ( sama ke setiap arah ). Pelarut meningkatkan pemisahan ikatan sambung silang dalam polimer dengan menggunakan simetri bola (ke segala arah, semua vektor dengan panjang faktor konstan), sehingga semua gaya dorong menjadi seimbang dan menyebabkan imbibisi pelarut dalam polimer (Gordon, 1963). Proses ini diilustrasikan seperti pada Gambar 1 . Setelah pelarut berimbibisi ke dalam molekul PHA, maka rantai PHA menjadi lebih meregang. Ketika pemlastis ditambahkan, maka pemlastis tersebut akan mudah untuk tersisip di antara rantai-rantai PHA. .
Polimer + Pelarut
Gambar 1. (a). Reaksi antara polimer dan pelarut (b) Reaksi penambahan pemlastis pada polimer (Spink dan Waychoff, 1958) Polimer memiliki molekul yang berbeda dengan molekul kebanyakan senyawa, karena memiliki rantai fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang terbagi ke dalam segmen kinetik yang bergerak translasional sangat lambat jika dibandingkan dengan molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), oleh karena itu pelarutan PHA dalam pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) (Pine et al., 1988). Terdapat berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai polimer berinteraksi dengan molekul pelarut sesuai maka akan terdapat kecenderungan ujung positif suatu dipol menuju ke arah ujung negatif dipol yang lain. Pada rantai polimer sendiri, bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya ini disebut gaya van der waals (gaya orientasi) dan biasanya kecil. Penentuan jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk pembuatan film
biopolimer dengan bahan dasar PHA merupakan hal yang sangat penting. Jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk PHA akan menghasilkan lembaran PHA tanpa penambahan pemlastis. Analisa kelarutan bioplastik PHA dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan PHA. a.
Absorbansi (Optical Density) Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer, dengan panjang gelombang yang sesuai untuk absorbansi cahaya yang maksimal oleh PHA. Panjang gelombang yang sesuai untuk absorbsi cahaya yang maksimal oleh PHA yaitu pada 575 nm (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Rabek (1983) menjelaskan bahwa absorbansi juga berkaitan dengan penyebaran cahaya di dalam larutan biopolimer. Penyebaran cahaya pada media yang homogen ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang rendah, sedangkan pada media yang tidak homogen ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang tinggi dimana cahaya tersebut disebarkan ke semua arah. Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi terhadap pelarut, karena pelarut mampu meregangkan rantai ikatan molekul PHA sehingga terdispersi secara merata di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, nilai absorbansi yang besar menunjukkan kelarutan PHA yang rendah, karena pelarut tidak mampu memisahkan ikatan antar molekul PHA, hal ini mengakibatkan PHA tidak terdispersi secara merata. Dari histogram hubungan jenis dan perbandingan PHA-pelarut serta suhu pelarutan dengan nilai absorbansi larutan terlihat bahwa dengan semakin banyak pelarut yang digunakan maka semakin kecil pula nilai absorbansi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa peningkatan absorbansi cahaya berhubungan dengan konsentrasi. Semakin besar konsentrasi pelarut maka nilai absorbansi semakin kecil, begitu pula sebaliknya, apabila konsentrasi pelarut kecil maka nilai absorbansi juga semakin besar karena adanya peningkatan hamburan cahaya. Histogram menunjukkan bahwa nilai absorbansi yang paling rendah adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 dan suhu pelarutan 50oC yang memiliki nilai absorbansi sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Ini berarti bahwa PHA dapat larut dengan baik pada pelarut kloroform. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHApelarut dan interaksi antara jenis pelarut dengan
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan 600 Nilai Kekeruhan
Nilai Absorbansi
suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi larutan PHA.
500 400 300 200 100 0
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50
kloroform
kmr
50
asam asetat glasial
kmr
50
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50
kmr
50
kmr
50
dimetil formamide
kloroform
asam asetat glasial
dimetil formamide
Gambar 2. Histogram hubungan jenis dan perbandingan PHA-pelarut serta suhu pelarutan dengan nilai absorbansi larutan
Gambar 3. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan
b. Kekeruhan (Turbidimetry) Kekeruhan berhubungan dengan konsentrasi zat yang diukur dan intensitas sorotan cahaya yang melewati larutan (Anonim1, 2006). Apabila seberkas sinar ditembuskan ke dalam cairan yang tidak homogen, sebagian sinar dihamburkan. Hal ini disebabkan kerapatan cairan yang tidak seragam. Peningkatan hamburan dapat dihubungkan dengan konsentrasi dan massa molekul zat terlarut (Cowd di dalam Clark, 1991)
c. Viskositas
Pengukuran kekeruhan pada prinsipnya hampir sama dengan pengukuran absorbansi larutan. Pengukuran berdasarkan pada sistem deteksi optik dari partikel yang sangat kecil yang tersuspensi dalam pelarut. Sorotan cahaya akan mengirimkan gelombang cahaya yang lalu dipencar-pencarkan sesuai dengan sudut dari kekeruhan. Semakin keruh suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang diserap. Larutan yang memiliki nilai kekeruhan yang besar menunjukkan kelarutan PHA yang rendah pada larutan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya cahaya yang diserap oleh partikel PHA yang terdispersi di dalam larutan. Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif dengan pengujian nilai absorbansi. Pada penelitian ini didapatkan histogram yang menunjukkan hasil nilai kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 500C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 552 FTU pada ulangan pertama dan 490 FTU pada ulangan yang kedua. Nilai kekeruhan yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHApelarut 1:30 yaitu sebesar 39 FTU (ulangan pertama) dan 38 FTU (ulangan kedua). Analisis keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan dan interaksi suhu
Viskositas larutan polimer cenderung berkurang dengan turunnya konsentrasi dan dengan naiknya suhu. Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian pada polimer yang mengandung gugus terionkan seperti gugus asam karboksilat. Pada konsentrasi diatas 1%, rantairantai dalam larutan dapat bertindihan dan akibat gaya tolak menolak antar muatan sejenis pada rantai yang berdampingan, serta pengionan tak sempurna yang mungkin terjadi, maka rantai tidak memanjang terlalu banyak (Cowd di dalam Clark, 1991). Menurut Allcock dan Lampe (1991), peningkatan viskositas yang tinggi diduga disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut. Pada penelitian didapatkan hasil analisis ragam bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHApelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas pelarut biopolimer. Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan PHA. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe (1981) bahwa besarnya peningkatan viskositas dari larutan berbeda-beda nilainya relatif sesuai jenis pelarut yang digunakan. Histogram peningkatan nilai viskositas menunjukkan bahwa kenaikan viskositas tertinggi terjadi pada PHA yang dilarutkan pada perbandingan PHA-pelarut 1:10. Apabila dilihat lebih cermat didapatkan data bahwa nilai peningkatan viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut asam asetat glasial pada suhu kamar sebesar 0.06 Cp untuk ulangan pertama dan 0.09 Cp pada ulangan kedua, sedangkan yang
Peningktan Viscositas
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
adalah pada perlakuan pelarut dimetylformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar sebesar 0.2823 untuk ulangan pertama dan 0.4116 untuk ulangan yang kedua. 140 Nilai Indeks Swelling
memiliki peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform 1:10 pada suhu 500 C yang memiliki peningkatan nilai 0.384 Cp pada ulangan pertama dan 0.537 Cp untuk ulangan kedua. Viskositas merupakan hasil dari pergeseran fluida sehingga kekentalan dapat dukur dengan mengukur geseran atau gaya geserannya (shear force). Fluida dengan viskositas rendah gaya gesernya akan rendah (Srivastava, 1989).
120 100 80 60 40 20 0 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr kloroform
50
kmr
50
asam asetat glasial
kmr
50
dimetil formamide
Gambar 5. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai indeks swelling 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr
50
kloroform
kmr
50
asam asetat glasial
kmr
50
dimetil formamide
Gambar 4. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas
Indikator pengujian viskositas digunakan untuk mengetahui interaksi pelarutan. Apabila nilai viskositas sebelum dan sesudah pelarutan sama saja atau berbeda tidak terlalu besar, proses pelarutan tidak terjadi atau terjadi namun kelarutannya sangat rendah. Hal tersebut seperti yang diutarakan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa salah satu ciri polimer (biopolimer) adalah menghasilkan larutan yang jauh lebih kental daripada pelarut murninya. d. Swelling Index Kemampuan suatu polimer untuk menyerap pelarut dan mengalami pengembangan volume tertentu merupakan fenomena yang umum. Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Menurut Rabek (1983), apabila suatu jenis biopolimer dilarutkan dalam cairan pelarut yang sesuai bagi polimer tersebut, larutan tersebut akan mengalami pengembangan (swelling) pada suatu tingkatan tertentu tergantung pada interaksi antara biopolimer terlarut dengan pelarutnya. Larutan PHA dengan pelarut kloroform memberikan nilai indeks swelling yang paling tinggi, yaitu perlakuan kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500C yang bernilai 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua). Hasil ini sejalan dengan pendapat Pruett (1988) yang menyatakan bahwa polipropilen yang memiliki sifat menyerupai PHA memberikan nilai swelling yang tinggi terhadap pelarut kloroform. Nilai indeks swelling terkecil
Nilai indeks swelling yang besar pada kloroform menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut kloroform dibandingkan kedua pelarut lainnya. Menurut Allcock dan Lampe (1981) penyerapan pelarut oleh polimer ini disebabkan rantai polimer berada dalam gerakan yang lentur pada suhu ruangan, sehingga molekulmolekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi polimer dan memisahkan molekul-molekul besar. Pada akhirnya, polimer akan larut, kecuali apabila terdapat ikatan silang. Rantai ikatan silang dapat memberikan pembatas pada tingkat kemampuan rantai untuk memisah dan akhirnya menghambat terjadinya swelling. Analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai swelling index. Perlakuan jenis pelarut berpengaruh terhadap nilai swelling index sesuai dengan hasil penelitian Wijanarko (2003), yang menyatakan bahwa jenis pelarut mempengaruhi nilai swelling index larutan PHA hidrolisat minyak sawit. B. Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan a. Absorbansi (Optical Density) Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pelarut dan suhu berpengaruh nyata terhadap pengukuran absorbansi. Interaksi antara jenis pelarut dan suhu kemudian diuji lanjut sehingga menghasilkan grafik seperti dibawah ini. Grafik menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial dan dimetilformamida cenderung meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang cenderung menurun dengan peningkatan suhu.
120 100 Kloroform
80
Asam asetat glasial 60
Dimetilformamida
40 20 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 6. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai absorbansi
Menurut Hildebrand (1970), nilai absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA terlarut di dalam larutan. Peningkatan suhu menyebabkan partikel PHA dalam asam asetat glasial dan dimetilformamida menjadi bergerak acak. Partikel ini menyebarkan cahaya ke segala arah dan menyebabkan naiknya nilai absorbansi. Pada pelarut kloroform, dengan meningkatnya suhu menyebabkan kelarutan PHA dalam kloroform meningkat, molekul PHA terdispersi secara merata di dalam pelarut, karena ukuran partikel yang sangat kecil menyebabkan pembacaan nilai absorbansi menjadi turun. Kelarutan PHA yang baik adalah pada perlakuan yang menghasilkan nilai absorbansi terkecil, karena absorbansi yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Hasil uji lanjut (Gambar 7) pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa nilai absorbansi terkecil terdapat pada perlakuan perbandingan PHApelarut 1:30 yang memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Cowd di dalam Clark (1991) yang mengatakan bahwa peningkatan hamburan cahaya berhubungan dengan konsentrasi dan massa molekul zat terlarut. Semakin besar konsentrasi pelarut, maka hamburan cahaya akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya, jika konsentrasi pelarut kecil maka hamburan cahaya akan semakin besar. Hal ini ditandai dengan besarnya nilai absorbansi. Rata-rata nilai absorbansi
30 25 20 15 10 5 0 1:10
1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Gambar 7. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai absorbansi
b. Kekeruhan (Turbidimetry) Pada analisis ragam, diketahui bahwa interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan pada tingkat kepercayaan 99%, kemudian dilakukan uji lanjut dengan menggunakan metode LSR. Uji lanjut interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan terjadinya browning (pencoklatan) terhadap molekul PHA akibat panas. Hal tersebut mengakibatkan warna larutan menjadi lebih gelap dan akan mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan. Warna yang lebih gelap akan menyerap gelombang cahaya, sehingga pembacaan nilai kekeruhan akan semakin besar (Anonim1, 2006). Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan dapat dilihat pada Gambar 8. Pada grafik terlihat bahwa perlakuan kloroform dengan menggunakan suhu kamar memiliki nilai kekeruhan terkecil yang berbeda nyata dengan interaksi jenis pelarut dan suhu lainnya setelah diuji lanjut. 1400 Nilai rata2 Kekeruhan
Rata-rata Nilai Absorbansi
140
1200 1000 Kloroform
800
As asetat glasial 600
Dimetilformamida
400 200 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 8. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan
Analisis ragam juga menunjukkan bahwa interaksi suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai kekeruhan PHA. Gambar 9 memperlihatkan hubungan antara suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut, nilai kekeruhan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut. Perlakuan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan karena semakin keruh suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang diserap (Anonim1, 2006), akibatnya pembacaan nilai kekeruhan juga semakin besar. Perlakuan terbaik adalah perlakuan yang menghasilkan nilai kekeruhan terkecil, karena nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Perlakuan yang menghasilkan nilai kekeruhan terkecil pada grafik adalah pada
perlakuan suhu kamar dengan perbandingan PHApelarut 1:30. 1000 800 Suhu kamar
600
Suhu 50
400 200 0 1:10
1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Gambar 9. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan
c. Viskositas Dari analisis ragam, interaksi antara perlakuan jenis pelarut dan suhu mempengaruhi peningkatan nilai viskositas. Uji lanjut yang dilakukan pada interaksi ini, Gambar 10 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu pelarutan maka nilai viskositas ketiga pelarut juga menjadi ikut naik. Pada umumnya, nilai viskositas larutan turun dengan bertambahnya suhu pelarutan sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe (1981). Namun Cowd di dalam Clark (1991) menyatakan bahwa pada larutan polimer terjadi perbedaan atau terdapat sifat anomali yaitu dengan naiknya suhu, kekentalan larutan turun seperti yang diharapkan, akan tetapi pada suhu yang lebih tinggi, kekentalan mulai meningkat lagi. Hal tersebut terjadi karena ada rantai PHA yang membelit secara acak yang mengakibatkan peningkatan kekentalan. Rata2 peningkatan nilai viskositas
1.2 1 0.8
Kloroform
0.6
As asetat glasial Dimetilformamida
0.4 0.2 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 10. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas
Fenomena peningkatan nilai viskositas pada kenaikan suhu dapat dijelaskan sebagai berikut, ketika PHA hidrolisat pati sagu dilarutkan pada suhu ruang, gaya Gaya Van der Waals yang dibutuhkan pelarut untuk meregangkan ikatan polimer dalam PHA tidak lebih besar dari gaya ikat antar molekul PHA akibatnya pelarut belum banyak yang berimbibisi ke dalam PHA, nilai viskositas yang terbaca juga cenderung lebih kecil. Ketika suhu naik, rantai molekul PHA menjadi terpisah lebih berjauhan dan meregang
d. Indeks swelling Uji lanjut dilakukan untuk melihat sejauh mana interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu mempengaruhi nilai swelling index. Gambar 11 menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu, maka nilai indeks swelling akan cenderung mengalami kenaikan. Pruett (1988) menyatakan bahwa untuk mendapatkan nilai swelling yang lebih tinggi, dibutuhkan suhu pelarutan yang lebih tinggi melalui proses annealing atau pemanasan. Peningkatan suhu membuat molekul-molekul pelarut dapat lebih mudah memasuki kisi-kisi PHA dan menyebabkan PHA mengalami pengembangan /swelling. Nilai indeks swelling tertinggi pada grafik ditunjukkan oleh perlakuan kloroform dengan suhu pelarutan sebesar 50oC. 250 Nilai rata2 indeks swelling
Nilai Rata2 Kekeruhan
1200
(Cowd di dalam Clark, 1991), pelarut dapat lebih mudah berimbibisi dalam molekul PHA dan menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik.
200 Kloroform
150
As asetat glasial 100
Dimetilformamida
50 0 Suhu kamar
Suhu 50
Perlakuan Suhu
Gambar 11. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan terhadap nilai indeks swelling
Perlakuan terbaik dalam pengukuran swelling index ini adalah perlakuan yang menghasilkan nilai swelling index terbesar, karena nilai swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut. Hasil uji lanjut pada perlakuan perbandingan PHApelarut menunjukkan bahwa nilai indeks swelling terbesar terdapat pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut 1:30 (Gambar 12), yang memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kenaikan nilai indeks swelling ini disebabkan pada saat larutan diencerkan (konsentrasi bertambah), rantai polimer menjadi terpisah lebih berjauhan (Cowd di dalam Clark, 1991). Hal ini memungkinkan molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi PHA, menyebabkan PHA mengembang (swelling) dengan lebih baik pula.
Nilai rata2 indeks swelling
40 35 30 25 20 15 10 5 0 1:10
1:20
1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Gambar 12. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai indeks swelling
C.
Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan Lembaran PHA PHA dengan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai menghasilkan larutan yang homogen (Allcock dan Lampe, 1981). Larutan bioplastik yang homogen berarti pelarut dapat melakukan imbibisi dengan baik, yang terlihat secara fisik sebagai larutan yang memiliki viskositas yang tinggi dibandingkan dengan viskositas pelarut murni (Cowd di dalam Clark, 1991) dan dapat membentuk lembaran bioplastik. Pembentukan lembaran bioplastik terjadi karena interaksi fisik antara PHA dengan pelarut. Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988), molekul PHA mengadsorpsi pelarut membentuk belitan yang acak dan molekul PHA menjadi mengembang dengan volume yang besar. Pembesaran partikel terjadi terus menerus sehingga molekul PHA bersinggungan dan membelit/melingkari satu sama lain. Hal tersebut mengakibatkan seluruh sistem menjadi tetap dan kaku sehingga terbentuklah lembaran (Anonim2, 2006). Pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kemampuan PHA membentuk lembaran kembali setelah pelarutan. Hal ini penting untuk diketahui, karena untuk menghasilkan film bioplastik dibutuhkan PHA yang dapat membentuk lembaran setelah pelarutan tanpa adanya penambahan pemlastis. Dari semua sampel yang dianalisa hanya PHA yang dilarutkan dalam kloroform saja yang dapat membentuk lembaran dalam semua perlakuan suhu. Hal ini dikarenakan PHA (non polar) dapat larut dalam kloroform (non polar) dengan baik dan membentuk larutan yang homogen sesuai dengan pernyataan Keenan et al. (1984) terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa non polar untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa kovalen polar atau senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan perkataan lain, sejenis melarutkan sejenis. PHA dalam kloroform dapat terdispersi dengan baik, rantai PHA akan meregang dengan molekul kloroform berada disekitarnya, rantai-rantai PHA ini akan
saling membelit satu sama lain dan membesar karena kloroform berimbibisi ke dalam molekulnya (Gordon, 1963). Ketika kloroform di uapkan, molekul PHA saling bersinggungan dan membentuk belitan antar rantai yang satu dengan yang lain sehingga terbentuk lembaran. Hasil pengamatan fisik untuk perlakuan dengan menggunakan pelarut kloroform disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan kloroform Konsentrasi 1:10
1:20
1:30
Suhu kamar (25o C) Terbentuk lembaran , tidak rata dan tebal Terbentuk lembaran , tidak rata dalam cetakan, yang tebal bagus, yang tipis rapuh, bentuk mirip kertas Terbentuk lembaran, bagus, rapuh, seperti PHA awal, bentuk rata
Suhu 50o C Terbentuk lembaran, tebal dan tidak rata Terbentuk lembaran tidak rata ketebalannya
Terbentuk lembaran permukaan rata
PHA yang dilarutkan dalam perlakuan pelarut asam asetat glasial, tidak ada yang dapat menghasilkan lembaran. Semua sampel hanya membentuk butiran halus (seperti pasir) dan PHA berwarna lebih pucat dari awal pelarutan, karena asam asetat glasial mendegradasi warna PHA (awal berwarna coklat muda, akhir berwarna putih tulang). Interaksi dipol pada ujung rantai PHA dengan gugus aktif asam asetat glasial (OH) tidak terjadi interaksi kimia yang baik, sehingga larutan yang terbentuk pun hanya berupa suspensi dengan partikel-partikel kecil PHA yang menyebar. Nilai viskositas larutan juga menunjukkan kenaikan dibanding dengan nilai viskositas pelarut murni, manun kenaikannya tidak terlalu besar, secara fisik juga kekentalan PHA dalam asam saetat glasial tidak begitu terlihat. Karena kenaikan viskositas yang kecil pada larutan suspensi menyebabkan belitan atau lilitan dari rantai PHA tidak dapat menjangkau antar molekul yang satu dengan yang lain (Gordon, 1963), akibatnya tidak terjadi tumpang tindih molekul PHA yang pada akhirnya tidak terbentuk lembaran bioplastik seperti yang diharapkan. Dari hasil pengamatan, perlakuan suhu dan perbandingan PHA-pelarut tidak mempengaruhi penampakan fisik PHA setelah pelarutan, kecuali butiran PHA menjadi sedikit lebih halus. Hasil pelarutan dengan asam asetat glasial disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial Suhu kamar Konsentrasi Suhu 500C (25o C) 1:10
1:20
1:30
Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar tidak terbentuk lembaran, berbutir halus Tidak terbentuk lembaran, butiran seperti pasir
Tidak terbentuk lembaran, berbutir agak halus tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar Tidak terbentuk lembaran, butiran agak kasar
Pelarutan PHA dengan menggunakan dimetilformamida tidak menghasilkan bentuk lembaran untuk semua unit percobaan yang dilakukan, sama seperti pada perlakuan dengan menggunakan asam asetat glasial. Hal ini dikarenakan molekul PHA dalam pelarut dimetilformamida tidak membentuk interaksi dipol-dipol yang baik dengan kondisi perlakuan yang diberikan, dimetilfornamida tidak dapat berimbibisi dengan baik dalam molekul PHA (suspensi partikel-partikel kecil), sehingga rantai PHA yang membelit satu sama lain hanya mencapai radius yang tidak sampai mengakibatkan rantainya saling bertindih dan melingkar satu sama lain dan lembaran bioplastik pun tidak terbentuk. Kemungkinan kondisi pelarutan yang berbeda (misalkan dengan melarutkan dalam tekanan inert, suhu yang lebih besar dari 1000C) akan menghasilkan interaksi dipol yang baik ini karena menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988) dimetilformamida memiliki kelarutan yang tinggi dalam PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida Konsentrasi 1:10
1:20 1:30
Suhu kamar (25o C) Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar Tidak terbentuk lembaran, butiran kasar
Suhu 500C Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus Tidak terbentuk lembaran, butiran halus
PHA setelah pelarutan menghasilkan serpihan-serpihan PHA yang ukurannya lebih besar dibandingkan ketika dilarutkan dalam asam asetat glasial. Perlakuan suhu mempengaruhi hasil pengamatan fisik, sehingga didapatkan serpihan
yang ukurannya lebih kecil dari perlakuan pada disuhu ruang. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko (PHB murni) dari Sigma aldrich. Hasil penelitian menunjukkan, dari semua unit percobaan, hanya sampel yang dilarutkan pada kloroform dengan menggunakan suhu 500 C saja yang dapat membentuk lembaran. PHA hidrolisat pati sagu mampu membentuk lembaran kembali pada berbagai perlakuan suhu baik pada suhu ruang (25oC) maupun suhu 500C. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, proses hilir PHA hidrolisat pati sagu menggunakan kloroform sebagai pelarut. Ekstraksi dengan pelarut tertentu dapat mengubah kekuatan dielektrik sistem pelarut dan zat yang terlarut (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Selain itu, ekstraksi pelarut juga dapat menurunkan kepolaran media (konstanta dielektrik) dan meningkatkan interaksi elektrostatik (Harrison, 1990). Turunnya konstanta dielektrik dan meningkatnya interaksi elektrostatik PHA hidrolisat pati sagu terhadap kloroform (akibat proses hilir), maka PHA dapat larut dengan baik dalam kloroform dengan berbagai perlakuan suhu. Tabel 4. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni Pelarut Kloroform
Asam asetat glasial Dimetylfor mamida
Suhu kamar (25o C) Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal
Suhu 500C Terbentuk, sangat halus dan rata ketebalannya Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal
KESIMPULAN Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi terhadap pelarut. Meningkatnya suhu menyebabkan nilai absorbansi turun begitu pula ketika semakin banyak pelarut yang digunakan (meningkatnya perbandingan PHA-pelarut) maka semakin kecil pula nilai absorbansi. Namun interaksi antara jenis pelarut dan suhu menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial dan dimetilformamida cenderung meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut
kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang cenderung menurun dengan peningkatan suhu. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran partikel PHA terlarut di dalam masing-masing pelarut. Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif dengan pengujian nilai absorbansi. Nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Namun interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan terjadinya browning (pencoklatan) terhadap molekul PHA akibat panas. Interaksi suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai kekeruhan PHA, nilai kekeruhan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut, dan bertambah seiring dengan naiknya suhu. Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan PHA. Interaksi jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa sejalan dengan meningkatnya konsentrasi, nilai viskositas semakin turun. Interaksi antara perlakuan jenis pelarut dan suhu menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu pelarutan maka nilai viskositas ketiga pelarut juga menjadi ikut naik. Hal ini disebabkan pelarut dapat lebih mudah berimbibisi dalam molekul PHA ketika suhu naik tidak terlalu tinggi dari suhu ruang dan menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik. Nilai swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut. Interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu, maka nilai indeks swelling mengalami kenaikan untuk semua jenis pelarut yang digunakan. Peningkatan perbandingan PHApelarut juga menyebabkan nilai indeks swelling mengalami kenaikan. Pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA, dari semua unit percobaan yang diujikan, didapatkan hanya PHA yang dilarutkan dalam pelarut kloroform saja yang dapat membentuk lembaran. Lembaran yang paling baik teksturnya dan rata ketebalannya, yaitu pada kondisi perbandingan konsentrasi 1:30 suhu 50 0 C, sedangkan pelarutan PHA blanko yang hanya membentuk lembaran apabila dilarutkan pada kloroform dengan menggunakan suhu 500 C. Perlakuan yang sesuai yang dihasilkan dari analisa
kelarutan PHA dan pengamatan fisik adalah perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500 C. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui waktu pelarutan optimal sehingga didapatkan waktu proses yang lebih efisien, kelarutan PHA dalam kloroform teknis untuk mengurangi biaya produksi film bioplastik PHA, pelarut lain yang dapat melarutkan PHA selain ketiga pelarut yang telah digunakan pada penelitian ini dan pengaruh kecepatan pengadukan terhadap pelarutan bioplastik. DAFTAR PUSTAKA Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan α-Amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. PrenticeHall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632 Anonim1. 2006. Tanya Jawab. http://www.answers.com/topic/turbidimetry. [15 November 2006] Anonim2. 2006. Gel Hidrokoloid. http://www.ebookpangan.com. [25 Desember 2006] .Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Poli-(3-Hidroksialkanoat) Secara Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor. Cowd. M. A. 1982. Polimer Chemistry. Di dalam Clark, J.G. (ed). 1982. Modern Chemistry background readers : John Murray (Publishers Ltd), London. Diterjemahkan Harry, F. 1991. Kimia Polimer. Penerbit : ITB. Bandung Day, R.A. dan A. L. Underwood. 1980. Quantitative Analysis, 4 th edition. Diterjemahkan R. Soendoro,drs, Widaningsih. W, dan Sri Rahadjeng (eds). 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi keenam. PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga. Jakarta.
Durrans, T.H., dan E.H. Davies. 1988. Solvent. Chapmann and Hall Ltd. London. Furukawa, J. 2005. Physical Chemistry of Polymer Rheology. Kodansa, Springer. USA. Gordon, Manfred. 1963. High Polimers Structure and Physical Properties. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. London. Harrison, S.T. 1990. The extraction and purification of Poly-β-hydroxybutirate from Alcaligenes eutrophus. Di dalam Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Industrial Production of Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Coli: An Economic Analysis. Trans Chem E., Vol 76, Part A. pp. 417-426. Hildebrand, J.H., J.M. Prausnitz dan R.L. Scott. 1970. Reguler and Related Solutions. Van Nonstrand, New York Kim, B.S., S.C. Lee, S.Y. Lee, H.N. Chang dan S.I. Woo. 1994. Production of Poly-3Hydroxybutiric Acid by Fed Batch Culture of Alcaligenes eutrophus with Glucose Concentration Control. Biotechnol. Bioeng. 43:892-898. Lafferty RM, Korstko B dan Korsatko W. (1988). Microbial Production of Poly (3hydroxybutyric acid). In: Rehm H.J. and Reed G. eds. Biotechnology, Vol. 6. Verlagsgesellschaft, Weinheim, Germany. pp. 135-176. Lee,S.Y.1996.Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49:1-14. Mark J, Ngai K, Graessley W, Mandelkern L, Samsulski E, Koenig J, dan Wignall G. 2004. Physical Properties of Polymers Third Edition. Cambridge University Press. USA. Noda, Isao. 1998. Solvent extraction of polyhydroxy-alkanoates from biomass facilitated by the use of marginal nonsolvent. United States Patent 5821299. Pine, S.H., J. B. Hendrickson, D.J. Cram, dan G.S. Hammand. 1980. Organic Chemistry Fourth Edition. Mc Graw-Hill, Inc. Diterjemahkan oleh Roehyanti, S. dan Sasanti W. 1988. Kimia Organik 2 (dala dua jilid). ITB : Bandung. Pruett, K. M. 1988. Chemical Resistance for Elastomers. Compass Publications. California Rabek, J. F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry. Departement of Polymer Technology, The Royal Institute of Technology, Stockholm. Sweden. A. WileyInterscience Publication. Toronto. Spink, W. P dan W.F. Waychoff 1958/1959. Plasticizers. Di dalam Modern Plastic Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New York.
Srivastava, A.C. 1989. Instrumentation Technic. Diterjemahkan oleh Sutanto. Teknik Instrumentasi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Sugiarti, R. 2003. Pengaruh Konsentrasi Tributil Fosfat Terhadap Karakteristik Bioplastik dari Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh Ralstronia eutropha Dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukardjo. 1985. Ikatan Kimia. Rineka Cipta, Yogyakarta. Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Industrial Production of Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Coli: An Economic Analysis. Trans Chem., Vol 76, Part A. pp. 417-426.Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunnil P, Humprey AE, Lilly MD. 1978. Fermentation and Enzyme Technology. New York : John Willey and Sons. Wijanarko,Q. 2003. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadapkarakteristik Biopolimer Yang Dihasilkan Oleh Alcaligenes eutrophus Pada Subtrat Hidrolisat Minyak Sawit . Skripsi . Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
JURNAL SKRIPSI Sebagai satu syarat untuk melaksanakan sidang untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
JURNAL SKRIPSI Sebagai satu syarat untuk melaksanakan sidang untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
Bogor, 29 Desember 2006 Menyetujui,
Ir. Muslich, MSi Dosen Pembimbing I