Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 38-43
PENGARUH PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS VIII SMPN 8 PADANG Junita Amalia1), Hendra Syarifuddin2), dan Nilawasti ZA3) 1
) FMIPA UNP : email:
[email protected] 2,3 )Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP Abstract
Problem solving is one of expected abilities to be developed in mathematics learning. The observation result at grade VIII SMPN 8 Padang indicates that students had low problem solving ability. In order to solve this problem, a research took place which was aimed to see the problem solving ability by using problem based learning model. Type of this research was quasi experiment with Static Group Design. Population were four class of students in grade VIII at SMPN 8 Padang for 2013/2014 academic year. Sampling held randomly. Data were collected through problem solving ability test. Data of problem solving ability test analyzed by using the Mann-Whitney U test. This research indicated that the student’s problem solving ability who learn by using problem based learning model is better than conventional learning. Keywords– problem solving ability, problem based learning, conventional learning. PENDAHULUAN Pembelajaran matematika merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertianpengertian itu. Dalam pembelajaran matematika, siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek. Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan informasi misalnya melalui persamaan-persamaan dan model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soalsoal cerita atau soal-soal uraian. Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas VIII SMPN 8 Padang pada bulan September 2013, siswa– siswa terlihat antusias dalam mengikuti proses pembelajaran matematika. Namun pembelajaran masih cenderung monoton karena pada beberapa kali pertemuan guru menggunakan metode yang sama yaitu metode diskusi kelompok dan peran guru sebagai fasilitator kurang berjalan dengan baik. Guru hendaknya menggiring siswa agar dapat mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan permasalahan yang diajukan/dihadapi dalam mengkonstruksi pengetahuan. Namun di sisi lain, guru telah berusaha aktif untuk memaksimalkan kegiatan pembelajaran matematika dengan membentuk diskusi kelompok yang bertujuan untuk membantu siswa aktif pada kegiatan pembelajaran. Selain itu, guru juga memfasilitasi siswa dengan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Untuk memperkuat dugaan peneliti, sebanyak 24 siswa dari salah satu lokal di kelas VIII SMPN 8 Padang diberikan dua buah soal yang memuat indikator pemecahan masalah. Soal pemecahan masalah yang diberikan sebagai berikut.
1. Pada sebidang tanah yang berbentuk persegi panjang dibuat sebuah kolam berbentuk lingkaran. Jari-jari kolam adalah meter, lebar tanah sama dengan diameter kolam dan panjang tanah 2 kali lebar tanah. Tanah yang tidak dibuat kolam akan ditanami rumput jepang, dengan harga rumput jepang Rp25.000,00/m2. Jika x= 2, hitung biaya yang dibutuhkan untuk membeli rumput jepang! 2. Jika , hitunglah nilai dari . Sebanyak 19 dari 24 siswa tidak dapat menjawab nomor 1 dengan benar dan tidak ada seorangpun siswa yang mampu menjawab soal nomor 2 dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa belum bisa menyelesaikan soal pemecahan masalah dengan baik. Hasil jawaban siswa untuk soal nomor 1 menunjukkan siswa tampak sudah menunjukkan pemahaman pada masalah karena sudah mampu mengumpulkan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah. Namun strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah belum tepat. Untuk menyelesaikan soal nomor 2 siswa seharusnya menggunakan strategi kerja mundur yaitu memulai memecahkan masalah dari apa yang ditanyakan soal lalu melakukan manipulasi aljabar, sehingga menemukan solusi yang tepat. Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa masih rendah. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa menyelesaikan soal pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan dengan membiasakan siswa menghadapi soal pemecahan masalah. Soal pemecahan masalah tidak langsung tergambar penyelesaiannya tetapi membutuhkan strategi khusus untuk menemukan solusinya. Banyak siswa yang masih belum terbiasa dengan soal-soal pemecahan masalah. Siswa bisa menentukan apa yang diketahui dan ditanya dari soal, namun terkadang siswa sulit memahami informasi yang tersirat dari soal.
38
Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 38-43
Akibatnya mereka tidak mampu menentukan atau mengembangkan strategi penyelesaian yang tepat untuk menemukan solusi dari masalah tersebut. Hal ini menyebabkan siswa cenderung tidak percaya diri dalam menyelesaikan setiap soal yang diberikan oleh guru. Kemampuan pemecahan masalah siswa perlu untuk dikembangkan karena pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting. Salah satu tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan [3] adalah memecahkan masalah. Dalam pemecahan masalah siswa akan mendapatkan pengalaman menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan permasalah non-rutin. Namun pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah sulit untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, dibutuhkan model pembelajaran yang mendukung peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa dalam pembelajaran matematika. Salah satu pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah adalah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah berlandaskan pada tiga aliran pikiran utama yang berkembang pada abad dua puluh [5], yaitu: 1) pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya yang menyatakan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata; 2) pemikiran Jean Piaget yang mengatakan bahwa rasa ingin tahu (curiousity) pada anak akan memotivasinya untuk secara aktif menyelidiki dan membangun teori-teori terkait lingkungannya; 3) pemikiran Lev Vygotsky dengan Konstruktivismenya yang berpandangan bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Jadi pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu cara siswa belajar memecahkan masalah yang erat kaitannya dengan kehidupan nyata siswa. Dalam proses pembelajarannya, pembelajaran berbasis masalah memiliki lima tahap [1]. Pertama, tahap orientasi siswa terhadap masalah yang bertujuan untuk menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah. Kedua, tahap mengorganisasi siswa untuk belajar yang bertujuan membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Ketiga, tahap membimbing pengalaman individual/ kelompok yang bertujuan mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Keempat, tahap mengembangkan dan menyajikan hasil karya yang bertujuan membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Kelima, tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yang bertujuan membantu siswa untuk
melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan. Tahapantahapan dalam pembelajaran berbasis masalah tersebut diharapkan dapat membantu siswa dalam mengasah maupun meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, baik secara berkelompok maupun individual yang meliputi kemampuan memahami masalah, mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan, mengembangkan straegi pemecahan masalah dan menguji kesimpulan. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi. Rancangan penelitian yang digunakan adalah static group design sebagaimana terlihat pada Tabel 1. TABEL 1 RANCANGAN PENELITIAN STATIC GROUP DESIGN Kelas Treatment Tes Eksperimen X T Kontrol T Populasi dalam penelitian ini adalah empat lokal siswa kelas VIII SMPN 8 Padang yang terdaftar pada semester II tahun pelajaran 2013/2014. Dua kelas sampel dipilih secara acak. Setelah melakukan beberapa prosedur dalam penarikan sampel yang representatif, maka terpilihlah kelas VIIIA sebagai kelas eksperimen dan kelas VIIIB sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen diberikan perlakuan pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol diberikan perlakuan pembelajaran konvensional. Kedua kelas sampel diberikan tes kemampuan pemecahan masalah setelah diberi perlakuan. Hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa dianalisis menggunakan rubrik penskoran yang telah ditetapkan. Prosedur penelitian dibagi atas tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Instrumen yang dipakai pada penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah. Indikator kemampuan pemecahan masalah yang digunakan [2] adalah: 1) menunjukkan pemahaman masalah; 2) mengorganisai data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah; 3) mengembangkan strategi pemecahan masalah; 4) membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu kesimpulan. Materi yang diujikan berupa materi yang diberikan selama penelitian berlangsung, yaitu Teorem Pythagoras. Berdasarkan uji coba soal tes kemampuan pemecahan masalah diperoleh hasil bahwa 4 item soal tes kemampuan pemecahan masalah dapat digunakan dan 2 item soal tes kemampuan pemecahan masalah diperbaiki. Reliabilitas tes dikategorikan sedang. Teknik analisis data dalam pengujian hipotesis menggunakan rumus uji Mann-Whitney. Pengujian dilakukan untuk
39
Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 38-43
mengetahui apakah hipotesis penelitian yang diajukan diterima atau ditolak. HASIL DAN PEMBAHASAN Data kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh dari hasil tes kemampuan pemecahan masalah yang diperiksa dengan rubrik penskoran yang telah ditetapkan. Deskripsi hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 2. TABEL 2 DESKRIPSI HASIL TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS EKSPERIMEN DAN KELAS KONTROL Deskripsi Nilai Banyak Siswa Nilai Maksimum Nilai Minimum Nilai Rata-Rata Standar Deviasi
Kelas Eksperimen 23 100 69,12 91,11 9,19
Kelas Kontrol 24 83,82 23,53 57,48 14,26
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat rata-rata nilai siswa pada kedua kelas sampel. Rata-rata nilai siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai siswa pada kelas kontrol. Rata-rata nilai siswa pada kelas eksperimen adalah 91,11 dan rata-rata nilai siswa pada kelas kontrol adalah 57,48. Nilai maksimun siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan nilai maksimum siswa pada kelas kontrol. Nilai maksimum siswa pada kelas ekperimen adalah 100 dan nilai maksimum siswa pada kelas kontrol adalah 83,82. Nilai minimum siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan nilai siswa pada kelas kontrol. Nilai minimum siswa pada kelas eksperimen yaitu 69,12 dan nilai minimum siswa pada kelas kontrol yaitu 23,53. Standar deviasi kelas kontrol lebih tinggi dibandingkan standar deviasi kelas eksperimen. Standar deviasi kelas kontrol yaitu 14,26 dan standar deviasi kelas eksperimen yaitu 9,19. Hal ini menunjukkan bahwa nilai siswa pada kelas eksperimen lebih seragam dibandingkan nilai siswa kelas kontrol. Kemampuan siswa pada masing–masing indikator pemecahan masalah diberi skala sesuai dengan kriteria berdasarkan rubrik penilaian kemampuan pemecahan masalah.Deskripsi skor rata-rata tiap soal tes kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
TABEL 3
DESKRIPSI SKOR RATA-RATATES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS EKSPERIMEN DAN KELAS KONTROL Rata-Rata skor Rata-Rata skor Soal Nomor Kelas Kelas Kontrol Eksperimen 1 9,48 8,42 2 15,04 3,29 3 9,17 8,13 9,57 8,21 4 5 9,3 6,5 6 9,39 4,17 Analisis dilakukan terhadap data tes kemampuan pemecahan masalah siswa. Analisis ini bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian yang telah dirumuskan. Sebelum menguji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas terhadap data tes kemampuan pemecahan masalah siswa. Uji normalitas kelas sampel dilakukan dengan menggunakan uji Anderson Darling. Hasil uji normalitas kelas sampel menunjukkan bahwa data tes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas sampel tidak berdistribusi normal, sebab P-value yang diperoleh pada kelas eksperimen bernilai kecil dari 0,05 yaitu 0,006 dan P-value pada kelas kontrol adalah 0,553. Uji homogenitas tidak dilakukan karena data pada salah satu kelas sampel tidak berdistribusi normal. Persyaratan agar pengujian homogenitas dapat dilakukan ialah apabila kedua datanya telah terbukti berdistribusi normal [7]. Berdasarkan uji normalitas diketahui bahwa data tes kemampuan pemecahan masalah siswa kelas sampel tidak berdistribusi normal, maka untuk menguji hipotesis digunakan rumus uji Mann-Whitney U. Dari hasil uji hipotesis diperoleh nilai signifikansi (z) = 0,000 < (α) = 0,05 sehingga ditolak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran konvensional. Proses pembelajaran berbasis masalah lebih bermakna karena pembelajaran dimulai dari permasalahan yang bersifat nyata, sehingga siswa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pemecahan dari masalah yang diberikan. Hal ini juga sesuai dengan ungkapan [1] “Pembelajaran berbasis masalah diorganisaikan disekitar situasi kehidupan nyata autentik yang menghindari jawaban sederhana dan mengandung berbagai pemecahan yang bersaing”. Selain itu, melalui pembelajaran berbasis masalah siswa didorong untuk berpikir tingkat tinggi dan mengintegrasikan berbagai informasi yang dimilikinya dalam rangka menyelesaikan masalah yang diberikan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Moffit [4] bahwa pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran.
40
Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 38-43
Pembelajaran berbasis masalah mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan [1], pembelajaran berbasis masalah merangsang berpikir tingkat tinggi dalam sistuasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Ditegaskan pula oleh Arends bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan masalah yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembagkan kemandirian dan percaya diri [6]. Dari hasil pengolahan data tes kemampuan pemecahan masalah dapat dilihat bahwa penerapan pembelajaran berbasis masalah mengakibatkan kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen lebih baik dari pada kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas kontrol. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, siswa pada kelas eksperimen terlihat lebih aktif dibandingkan kelas kontrol karena diterapkannya pembelajaran berbasis masalah. Selama penelitian terlihat bahwa siswa memang melewati tahap-tahap pembelajaran berbasis masalah, seperti siswa dihadapkan pada masalah yang nyata maupun masalah yang disimulasikan. Kemudian dalam kelompok kecil siswa mengumpulkan informasi untuk menemukan strategi yang tepat guna menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tetapi pada saat bekerja pada kelompok kecil kegiatan diskusi belum berjalan secara maksimal dan ada sebagian kecil siswa yang kurang bersemangat mengerjakan LKS. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dipersentasikan di depan kelas untuk melakukan evaluasi terhadap hasil kerja kelompok. Siswa juga dituntut untuk aktif dalam menanggapi hasil diskusi yang disampaikan. Siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah sudah terbiasa dihadapkan pada masalah-masalah nyata yang erat kaitannya dengan kegiatan pemecahan masalah. Permasalahan-permasalahan ini dimuat di dalam LKS lalu siswa mendiskusikannya dalam kelompok kecil. Pada saat diskusi kelompok, siswa tampak bersemangat mengomentari pendapat teman sekelompok dan saling bertukar ide selama kegiatan diskusi berlangsung. Hal ini sesuai dengan pendapat [1] bahwa pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah menimbulkan lingkungan belajar yang demokratis dan terbuka untuk mengemukakan pendapat. Kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen dilatih melalui soal pemecahan masalah. Soal pemecahan masalah diberikan melalui LKS yang disediakan guru pada setiap pertemuan, yang sesuai dengan indikator pemecahan masalah. Indikator pemecahan masalah tersebut terdiri dari 4 indikator. Indikator-indikator tersebut menjadi tahap-tahap penyelesaian soal pemecahan masalah yang diberikan. Indikator pertama ialah menunjukkan pemahaman masalah yang menjadi tahap awal penyelesaian masalah, yaitu siswa mencoba untuk memahami permasalahan
terlebih dahulu. Indikator kedua yaitu mengorganisasikan data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah. Pada tahap ini siswa menemukan informasi yang tersirat dari soal sehingga dapat mengumpulkan informasi yang relevan. Indikator selanjutnya mengembangkan strategi pemecahan masalah yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Indikator terakhir adalah membuat serta menafsirkan model matematika dari suatu masalah. Siswa dituntut untuk menafsirkan hasil perhitungan yang telah dilakukan sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang lengkap. Tes kemampuan pemecahan masalah merupakan tes yang diberikan kepada siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk melihat kemampuan pemecahan masalah siswa. Soal tes tersebut memuat indikator-indikator pemecahan masalah matematika. Soal tes yang diberikan sebanyak 6 butir, setiap item soal yang diberikan memuat 4 indikator pemecahan masalah yang menjadi hirarki untuk menyelesaikan masalah matematika. Hasil tes kemampuan pemecahan masalah yang diperoleh siswa pada kelas kontrol dikategorikan rendah. Hal ini terlihat dari rata-rata skor tes kemampuan pemecahan masalah yang dicapai siswa dikelas kontrol adalah 39,08. Hal ini diduga disebabkan karena pembelajaran pemecahan masalah dikelas kontrol belum maksimal dengan pembelajaran konvensional. Selama proses pembelajaran, penggunaan soal-soal nyata yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah sangat minim. Adanya faktor ini menyebabkan kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki siswa pada kelas kontrol rendah. Berdasarkan hasil tes dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen setelah mendapat perlakuan pembelajaran berbasis masalah sudah maksimal. Berikut dipaparkan hasil jawaban siswa untuk setiap soal tes kemampuan pemecahan masalah siswa. Pada soal nomor 1 diberikan sebuah gambar hiasan dinding yang berbentuk segitiga siku-siku, diketahui panjang salah satu sisi siku-sikunya dan besar salah satu sudutnya. Siswa diminta untuk menentukan biaya total yang harus dibayar pelanggan untuk membuat ukiran pada 8 buah hiasan dinding. Jawaban yang diberikan siswa pada kelas eksperimen lebih baik dari pada jawaban siswa pada kelas kontrol. Jawaban siswa pada kelas eksperimen terlihat sebagian besar siswa memberikan jawaban yang benar dan lengkap, namun pada kelas kontrol hanya setengah dari siswa yang mampu memberikan jawaban yang benar dan lengkap. Pada kelas kontrol siswa sudah bisa memahami masalah yang diberikan serta mengorganisasi informasi yang relevan. Namun pada saat mengembangkan strategi pemecahan masalah, siswa melaksanakan prosedur yang kurang tepat sehingga mendapatkan hasil tidak benar. Soal nomor 2, tes kemampuan pemecahan masalah yang diberikan adalah menentukan panjang salah satu sisi pada segitiga dan menentukan luas segiempat tidak beraturan dengan memanfaakan sifat sudut istimewa pada segitiga dan perbandingan panjang sisi-sisinya. Siswa
41
Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 38-43
diminta untuk memahami permasalahan terlebih dahulu yaitu memahami gambar yang diberikan. Dari jawaban siswa pada kelas eksperimen terlihat, sebagian besar siswa dapat memahami apa informasi yang diberikan soal namun siswa menemui kesulitan dalam mengembangkan strategi pemecahan masalah yang tepat. Setengah dari siswa pada kelas eksperimen telah mampu mengembangkan strategi pemecahan masalah yang tepat, melaksanakan prosedur yang benar dan lengkap sehingga mendapatkan hasil yang benar serta bisa menuliskan kesimpulan yang sesuai dengan prosedur. Sedangkan pada kelas kontrol tidak ada siswa yang memberikan jawaban yang benar bahkan ada 4 siswa yang memilih untuk tidak menjawab soal nomor 2 ini. Berdasarkan jawaban siswa pada kelas kontrol terlihat siswa belum mampu memilih informasi yang relevan, sehingga salah dalam mengembangkan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, dan akibatnya hasil yang didapatkan salah. Soal nomor 3, tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa ialah menghitung biaya yang dibutuhkan untuk membeli renda dan menganalisis apakah uang yang dimiliki cukup untuk membeli renda yang dibutuhkan. Secara umum, siswa pada kelas eksperimen dan pada kelas kontrol memiliki kemampuan yang baik dalam memahami informasi yang ada pada soal sehingga dapat mengorganisasi informasi yang relevan serta mampu memilih strategi yang tepat. Namun pada saat menafsirkan hasil yang didapat siswa cenderung membuat kesimpulan yang kurang jelas dan tidak lengkap, sehingga hasil kerjanya menjadi kurang bermakna. Pada kelas eksperimen ada 16 siswa yang menjawab dengan benar dan lengkap, sementara itu pada kontrol ada 13 siswa yang menjawab dengan benar dan lengkap. Soal nomor 4, tes kemampuan pemecahan masalah yang diberikan ialah menghitung biaya yang dibutuhkan untuk membeli pinang hias yang akan ditanami dengan jarak 4 meter disekeliling sebuah taman. Sebagian besar siswa pada kelas eksperimen memiliki kemampuan yang baik dalam memahami informasi yang ada pada soal sehingga dapat mengorganisasi informasi yang relevan serta mampu memilih strategi yang tepat. Pada kelas kontrol hanya 11 siswa yang menjawab dengan tepat. Siswa salah menentukan banyaknya pohon yang diperlukan karena untuk menentukan banyak pohon diperlukan siswa harus menentukan keliling taman lalu membagi dengan jarak antar pohon. Soal nomor 5, tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa ialah menghitung biaya yang dibutuhkan untuk memupuki lahan perkebunan. Sebagian besar siswa pada kelas eksperimen memiliki kemampuan yang baik dalam memahami informasi yang ada pada soal sehingga dapat mengorganisasi informasi yang relevan serta mampu memilih strategi yang tepat. Namun pada saat menafsirkan hasil yang didapat siswa cenderung membuat kesimpulan yang kurang jelas dan tidak lengkap, sehingga hasil kerjanya menjadi kurang
bermakna. Pada kelas kontrol hanya 8 siswa yang menjawab dengan benar dan lengkap. Siswa salah menentukan banyaknya pupuk yang diperlukan untuk memupuki lahan perkebunan karena untuk menentukan banyak pupuk diperlukan siswa harus menentukan luas lahan perkebunan lalu mengali dengan banyaknya pupuk yang dibutuhkan untuk tiap meter perseginya. Soal nomor 6 untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa ialah menentukan diagonal ruang sebuah aula yang telah diketahui panjang dan tinggi aula serta volume udara didalam aula. Siswa pada kelas eksperimen memiliki kemampuan yang cukup baik dalam memahami informasi yang ada pada soal sehingga dapat memahami bahwa AF pada gambar merupakan diagonal ruang. Siswa juga mampu mengorganisasi informasi yang relevan serta mampu memilih strategi yang tepat untuk menentukan panjang diagonal ruang aula tersebut. Pada kelas kontrol hanya 2 orang siswa yang menjawab dengan benar dan 16 siswa menjawab tidak lengkap. Dari jawaban siswa terlihat siswa tidak memahami yang mana diagonal ruang meskipun sudah diberikan petunjuk pada soal, sehingga ia kesulitan untuk mengorganisasi informasi yang diberikan. Hal inilah yang menyebabkan siswa salah memilih strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Bahkan ada 6 siswa yang memilih untuk tidak menjawab soal nomor 6 ini. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan, kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas ekperimen berbeda dengan kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas kontrol. Secara keseluruhan kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yelmiati [8] menyatakan bahwa hasil belajar siswa dengan pembelajaran berbasis masalah sudah bisa dikategorikan baik. KESIMPULAN DAN SARAN Dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran konvensional. Jawaban yang diberikan siswa pada kelas eksperimen lebih baik dari pada jawaban yang diberikan siswa pada kelas kontrol. Terlihat jelas rata-rata nilai siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai siswa pada kelas kontrol. Rata-rata nilai siswa pada kelas eksperimen adalah 91,11 dan rata-rata nilai siswa pada kelas kontrol adalah 57,48. Terdapat beberapa hal yang disarankan, yaitu: 1. Pembelajaran berbasis masalah dapat dijadikan sebagai alternatif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan siswa untuk berpikir, mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengkomunikasikan ide-idenya,
42
Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 38-43
2.
3. 4.
5.
berdiskusi baik dalam kelompok maupun diskusi kelas sehingga pembelajaran lebih bermakna. Pembelajaran berbasis masalah memerlukan persiapan dan perencanaan pembelajaran yang lebih matang dan kompleks, baik dalam membuat instrumen pembelajaran maupun dalam penerapan. Dalam penerapan pembelajaran berbasis masalah, guru seharusnya dapat mengatur waktu secara efektif agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini masih terbatas pada kemampuan pemecahan masalah siswa. Oleh karena itu, diharapkan kepada rekan peneliti selanjutnya untuk dapat melanjutkan penelitian dengan variabel serta pokok bahasan lain. Bagi guru bidang studi matematika diharapkan dapat menerapkan pembelajaran berbasis masalah sebagai variasi dalam pembelajaran karena pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa.
REFERENSI [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]
Ibrahim, Muslimin dan Muhammad Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press. Iltavia. 2011. Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan RME MTS Diniah Puteri Padang Panjang. Tesis. Padang: UNP. Tidak diterbitkan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Mentri Pendidikan Nasional. Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Press. Supinah dan Titik Sutanti. (2010). Pembelajaran Berbasis Masalah Matematika di SD. Yogyakarta: P4TK. Trianto. 2009. Mendesaian Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. Yelmiati. 2011. Penerapan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan f Siswa Pada Pembelajaran Matematika Di Kelas Viii A Smpn 2 Padang Panjang Tahun Pelajaran 2010/2011. Padang: Skripsi pada Pendidikan Matematika UNP. Tidak diterbitkan.
43