66 Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, Vol. 8 No. 2, Juli 2013
PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL PADA PERTUMBUHAN EKONOMI DENGAN KESERASIAN BELANJA DAERAH SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI A.A.N.B. Dwirandra Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (UNUD), Bali, Indonesia e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh bukti empiris dampak Keserasian Belanja Daerah terhadap pengaruh Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi guna membuktikan adanya dugaan bahwa pengaruh desentralisasi fiskal tidak linear melainkan kontinjen terhadap pertumbuhan ekonomi. Data telah memenuhi uji asumsi klasik dan model fit. Berdasarkan teknik analisis regresi berganda dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal dan keserasian belanja daerah secara simultan dan parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya, keserasian belanja daerah mampu meningkatkan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dengan parameter PDRB tetapi tidak untuk parameter PDRB per kapita dan IPM. Kata kunci: desentralisasi, indeks, keserasian, pertumbuhan ekonomi
ABSTRACT This research aimed to get empirical evident of moderating impact of local expenditure properness to the influence of fiscal decentralization to economic growth in order to prove that the impact of fiscal desentralization was not linear but contingent to economic growth. Data had been tested and fulfill the classical assumption dan model fit test. Based on multiple regression, analyses concluded that local expenditure properness and fiscal decentralization influenced economic growth, partially and simultaneously. Further, local expenditure properness increased the influence of fiscal decentralization toward economic growth with parameter of PDRB but not for parameters of PDRB per capita and IPM. Keywords: decentralization, economic growth, index, properness
PENDAHULUAN Desentralisasi fiskal otonomi daerah bertujuan untuk menciptakan kemandirian daerah. Sidik (2002) menyatakan bahwa dalam era ini pemerintah daerah diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena kebijakan ini dibarengi dengan pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga dimungkinkan digali berbagai peluang sumber pendapatan lokal. Hasil penelitian Bappenas (2003), Adi (2006) menunjukkan adanya peningkatan PAD dalam era otonomi daerah. Peningkatan PAD ini akan berdampak pada perekonomian daerah (Prud’homme, 1995; Peterson,1996; Saragih, 2003). Namun kondisi sebaliknya bisa terjadi jika terjadi ekploitasi PAD pada publik tanpa dibarengi kuantitas dan kualitas layanan publik yang memadai, akibatnya produk yang seharusnya bisa dijual justru direspon secara negatif (Mardiasmo, 2002; Saragih, 2003).
Pemerintah daerah akan berinsisiatif untuk lebih menggali potensi – potensi daerah yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu (Tambunan, 2006). Namun, beberapa studi menemukan kemandirian daerah-daerah tersebut setelah otonomi daerah tidak meningkat bahkan dapat dikatakan menurun karena walaupun jumlah absolutnya meningkat tetapi persentase kenaikan PAD tidak lebih besar daripada prosentase kenaikan dari transfer dana perimbangan (Adi, 2006). Transfer dana antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya (Fisher, 1996) dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah (Nemec dan Wright, 1997). Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah selalu menuntut transfer yang lebih
A.A.N.B. Dwirandra, Pengaruh Desentralisasai Fiskal ....
besar lagi dari pusat (Shah, 1994), bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara lebih optimal (Oates, 1999). Keadaan tersebut juga ditemui pada kasus pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia (Mardiasmo, 2002). Jika Pemerintah Daerah menetapkan anggaran belanja pembangunan lebih besar dari pengeluaran rutin, maka kebijakan ekspansi anggaran daerah ini akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah (Saragih, 2003; Lin dan Liu, 2000; Adi, 2006). Namun, bila alokasi belanja modal bukan untuk pengembangan infrastruktur penunjang perekonomian maka diperoleh keserasian belanja daerah semu yang tentu tidak akan mendorong tingkat produktifitas penduduk. Kushaeni (2006) memetakan empat (4) kelemahan infrastruktur desentralisasi fiskal yang masih perlu mendapat perhatian serius, salah satunya adalah alokasi belanja pembangunan fasilitas umum (misalnya: terminal dan pasar) yang tidak terlalu mendesak, spesifikasi teknisnya tidak sesuai dan atau pemanfaatannya tidak optimum sehingga relevansinya dengan pertumbuhan ekonomi daerah sangat rendah. Penelitian ini dimotivasi oleh adanya dugaan bahwa desentralisasi fiskal yang diikuti dengan kenaikan PAD tidak serta merta akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemandirian keuangan daerah dan keserasian belanja daerah. Skema transfer dana perimbangan yang dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan infrastruktur fiskal antar daerah otonom namun kenyataannya tidak mampu meningkatkan kemandirian keuangan daerah sehingga diperkirakan ikut andil dalam menahan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan fakta ini sangat patut diduga bahwa teori Fiscal Federalism yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui desentralisasi fiskal nampak perlu diuji kebenarannya dan bilamana ternyata diperoleh hasil empiris yang signifikan maka layak dilakukan rekonstruksi atas pemikiran teori ini. Beberapa penelitian sejenis telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pertama, Halim dan Abdulah (2003) meneliti pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali tahun 2001-2002. Kedua, Hadi (2005) meneliti hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah, Studi Kasus pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali. Ketiga, Darwanto dan Yustikasari (2006 )
67
meneliti pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dam Dana Alokasi Umum terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Studi Kasus Kabupaten/Kota se-Jawa Bali tahun 2004-2005. Keempat, Harianto dan Adi (2006) meneliti hubungan antara DAU, Belanja Modal, PAD, dan PDRB Per Kapita. Berbeda dengan riset sebelumnya, penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh bukti empiris pengaruh desentralisasi fiskal terhadap ketiga proksi pertumbuhan ekonomi, yaitu: Indeks Pembangunan Manusia, disamping PDRB dan PDRB Per Kapita. Lebih lanjut, riset ini mencoba melihat dampak moderasi keserasian belanja daerah terhadap pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut: 1) Apakah Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah secara simultan dan parsial berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)? 2) Apakah Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah secara simultan dan parsial berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)? 3) Apakah Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah secara simultan dan parsial berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (IPM)? 4) Apakah tingginya Keserasian Belanja Daerah (KBD) meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)? 5) Apakah tingginya Keserasian Belanja Daerah (KBD) meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB Per Kapita)? 6) Apakah tingginya Keserasian Belanja Daerah (KBD) meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi (IPM)? Teori Pertumbuhan Neo Klasik dikembangkan oleh Robert Solow dan Trevor Swan sejak tahun 1950-an (Arsyad, 1992). Teori yang sejalan dengan pandangan ekonomi klasik menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (tenaga kerja, modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu. Ini berarti bahwa sampai di mana perekonomian akan berkembang tergantung pada pertambahan penduduk, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi.
68 Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, Vol. 8 No. 2, Juli 2013 Sementara, Evsey Domar dan R.F. Harrod (Arsyad, 1992) mengembangkan teori pertumbuhan ekonomi Harr od-Domar, menetapkan syarat agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan mantap, diantaranya: perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh, perekonomian terdiri dari dua sektor, besarnya tabungan masyarakat proporsional dengan besar nya pendapatan nasional, dan kecenderungan untuk menabung besarnya tetap seperti halnya rasio antara modal-output dan rasio pertambahan modal-output. Selanjutnya, teori pertumbuhan ekonomi modern dikembangkan oleh Kuznet pada tahun 1971 (Arsyad, 1992) yang mengemukakan enam ciri pertumbuhan ekonomi modern, yaitu: 1)Tingginya tingkat produk per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi, 2)Tingginya peningkatan produktivitas terutama produktivitas tenaga kerja, 3)Tingginya tingkat transformasi struktur ekonomi, 4)Tingginya tingkat struktur sosial dan idiologi, 5) Kecenderungan negara-negara yang ekonominya sudah maju untuk keliling dunia mencari pasaran dan sumber bahan baku, 6)Pertumbuhan ekonomi terbatas pada sepertiga populasi dunia. Keenam karakteristik pertumbuhan ekonomi tersebut sangat berhubungan dan saling memperkuat. Teori Fiscal Federalism yang dikembangan oleh Hayek (1945) dan Musgrave (1959) dalam Kushaeni (2006) dan Oates (1972) menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai dengan desentralisasi fiskal melalui otda (otonomi daerah). Dalam pandangan teori ini, terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan tentang dampak ekonomi dari desentralisasi, yakni menurut traditional theories (first generation theories) dan new perspective theories (second generation theories). Pandangan teori tradisional tentang fiscal federalism menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi untuk mendapatkan kemudahan informasi dari masyarakat. Dalam hal ini, terdapat dua gagasan yang mendasari keuntungan alokatif ini. Pertama, yaitu tentang penggunaan ’knowledge in society’ yang menurut Hayek (1945) dalam Kushaeni (2006) merupakan bentuk kemudahan pengambilan keputusan yang dapat dicapai karena penggunaan informasi yang efisien. Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai informasi yang lebih baik daripada pemerintah pusat tentang kondisi daerah masingmasing sehingga pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan tentang penyediaan
barang dan jasa publik daripada jika diserahkan ke pemerintah pusat. Desentralisasi juga memungkinkan adanya local experiment dengan melihat dan mempelajari pengalaman dari daerah lain sehingga bisa meniru keberhasilan dari daerah tersebut serta belajar dari pengalaman kegagalannya. Bentuk eksperimen seperti ini mengurangi biaya kegagalan dari sebuah sistem pemerintahan yang sentralistik, dikenal dengan “laboratory of federalism” Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tanggal 1 Januari 2001 lalu, telah terjadi pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat (Mardiasmo, 2002). Otonomi daerah tersebut juga termasuk di dalamnya desentralisasi fiskal yang mengharuskan daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi. Desentralisasi fiskal dilakukan pada saat daerah mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (Adi, 2006). Beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003). Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa walaupun infrastruktur desentralisasi fiskal belum memadai tetapi kebijakan ini telah cukup menstimulus pemerintah dareah menuju kemandirian daerah baik dalam administrasi pemerintahan maupun keuangan daerahnya. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dalam konteks keuangan, terlaksananya desentralisasi fiskal dapat diproksikan dengan pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten/kota, yang dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Keserasian keuangan daerah otonom direpresentasi dengan rasio Keserasian Belanja Daerah (KBD) yang menunjukkan proporsi alokasi Belanja Modal dibandingkan dengan Total Belanja Daerah (Halim, 2002).
A.A.N.B. Dwirandra, Pengaruh Desentralisasai Fiskal ....
KBD =
Belanja Modal x 100 % Belanja Daerah
(1)
Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa rasio Keserasian Belanja Daerah mengindikasikan besarnya alokasi Belanja Daerah untuk Belanja Modal. Semakin tinggi rasio ini dapat dikatakan keserasian belanja daerah semakin tinggi karena semakin tinggi rasio ini berarti semakin besar proporsi alokasi Belanja Daerah ke Belanja Modal, demikian sebaliknya, semakin rendah rasio ini berarti semakin rendah keserasian belanja daerah karena semakin kecil rasio ini berarti proporsi alokasi Belanja Daerah ke Belanja Modal semakin kecil. Penerapan otonomi daerah/desentralisasi fiskal bertujuan untuk kemandirian pemerintah daerah dalam pengelolaan rumah tangganya. Dalam penerapannya pemerintah pusat tidak lepas tangan secara penuh dan masih memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa dana perimbangan. Pemerintah daerah harus dapat menjalankan rumah tangganya secara mandiri dan dalam upaya peningkatan kemandirian ini, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pelayanan publiknya. Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin (Abimanyu, 2005). Dalam konteks pengukuran kinerja keuangan daerah otonom, Halim (2002) menyatakan bahwa Keserasian Belanja Daerah dicapai bila proporsi belanja modal lebih besar daripada belanja rutin. Pembangunan dalam sektor pelayanan kepada publik akan merangsang masyarakat untuk lebih aktif dan bergairah dalam bekerja karena ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Selain itu investor juga akan tertarik kepada daerah karena fasilitas yang diberikan oleh daerah. Dengan bertambahnya produktivitas masyarakat dan investor yang berada di daerah akan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), ini berarti bahwa Kemandirian Keuangan Daerah semakin meningkat. Kemandirian Keuangan Daerah ini akan mengakselerasi pertumbuhan sektor ekonomi dan publik sehingga dengan demikian akan meningkatkan tidak hanya PDRB dan PDRB Per Kapita, tetapi juga IPM. Dari gambaran ini, dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut : H1 : Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah (KBD) secara parsial dan simultan
69
berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi(PDRB). H2 : Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah (KBD) secara parsial dan simultan berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB Per Kapita). H3 : Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah (KBD) secara parsial dan simultan berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (IPM). Pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2004). Peningkatan pelayanan sektor publik secara berkelanjutan akan meningkatkan sarana dan prasarana publik, investasi pemerintah juga meliputi perbaikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sarana penunjang lainnya. Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan per tambahan penduduk. Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas sehingga mencakup semua pengeluaran yang sifatnya menaikkan produktivitas (Ismerdekaningsih dan Rahayu, 2002). Dengan adanya penambahan dan perbaikan kualitas infrastruktur oleh pemerintah daerah, diharapkan akan memacu pertumbuhan perekonomian di daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan merangsang meningkatnya pendapatan penduduk di daerah yang bersangkutan, seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk akan berdampak pada meningkatnya PDRB Per Kapita. Jika Pemerintah Daerah menetapkan Belanja Modal lebih besar dari pengeluaran rutin, maka kebijakan ekspansi anggaran daerah ini akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah (Saragih, 2003). Dalam penelitiannya, Lin dan Liu (2000) menyatakan bahwa pemerintah perlu untuk meningkatkan investasi modal guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Adi (2006) membuktikan bahwa belanja modal mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Alokasi belanja modal untuk pengembangan infrastruktur penunjang perekonomian, akan mendorong tingkat produktifitas penduduk. Pada gilirannya hal ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara umum yang tercermin dalam PDRB Per Kapita. Dari gambaran ini, dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut :
70 Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, Vol. 8 No. 2, Juli 2013 H4 : Tingginya Keserasian Belanja Daerah meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). H5 : Tingginya Keserasian Belanja Daerah meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi (PDRB Per Kapita). H6 : Tingginya Keserasian Belanja Daerah meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi (IPM). Berdasarkan hipotesis penelitian yang telah dikembangkan di atas maka dapat digambarkan model peneltian ini, seperti terlihat pada Gambar 1. METODE PENELITIAN Studi ini menggunakan variabel penelitian seperti variabel dependen, independen maupun moderasi, dengan rincian sebagai berikut: variabel dependen atau variabel terikat (Y), yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi, dengan proksi: PDRB, PDRB Per Kapita, dan IPM. Variabel independen (X1) adalah Desentralisasi Fiskal, dengan parameter Pendapatan Asli Daerah (PAD). Variabel moderasi, yaitu variabel yang memoderasi pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Variabel moderasi dalam penelitian ini adalah Variabel Keserasian Belanja Daerah/KBD (X1.X2) yang memoderasi pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi.
VAR. INDEPENDEN. (Desentralisasi Fiskal)
variabel bebas dan terikatnya. Lingkup analisis mencakup pengaruh secara simultan maupun parsial, dengan menggunakan bantuan piranti lunak Statistical Package for Social Science (SPSS) 15.0 for windows. Model regresi linear berganda dalam penelitian ini dapat diformulasi sebagai berikut : Yi = b0+b1X1+ b 2X2+ b 3X1X2+ 2) Dimana : Yi b0 b1 - b5 X1 X2 X1X2
Pertumbuhan Ekonomi Konstanta Koefisien regresi Desentralisasi Fiskal Keserasian Belanja Daerah (KBD) Interaksi Desentralisasi Fiskal dan KBD = error. Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan dua metode, yaitu: Uji F atau F-test untuk menguji ada tidaknya pengaruh simultan variabel-variabel independen terhadap variabel dependen sedangkan Uji t atau t-Test digunakan untuk menguji pengaruh parsial masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Rincian pengujiannya adalah arah pengaruh (positif atau negatif) dapat dilihat dari tanda koefisien beta. Signifikansi pengaruh akan dilihat dari P-Value pada tingkat signifikansi (α) = 0,05. Jika P-Value < 0,05 maka pengaruhnya signifikan. Jika P-Value > 0,05 maka pengaruhnya tidak signifikan. Intensitas pengaruh masing-masing variabel independen dapat dilihat dari besaran koefisien beta masing-masing
VARIABEL MODERASI
= = = = = =
VAR.DEPENDEN (PertumbuhanEkonomi) - PDRB - PDRB PerKapita - IPM (Y)
Kenaikan PAD (X1) Keserasian Belanja Daerah/KBD (X2) Gambar 1. Model Penelitian
A.A.N.B. Dwirandra, Pengaruh Desentralisasai Fiskal ....
variabel (X1, X2 ) sedangkan intensitas pengaruh variabel moderasi dapat dilihat dari besaran koefisien beta dari interaksi variabel (X1X2,). Sebelum model regresi linear berganda digunakan untuk meguji hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik agar model regresi yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil nantinya menghasilkan penaksir yang tidak bias linear terbaik (Best Linear Unbias Estimatior) sehingga hasil perhitungan dapat diinterpretasikan dengan efisien dan akurat. Pengujian asumsi klasik meliputi: uji normalitas, multikolinearitas, autokolerasi, dan heteroskedastisitas. Uji Normalitas Data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam model regresi berdistribusi normal. Pengujiannya dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov test dengan indikator nilai skewness dan kurtosis. Jika nilai statistik skewness dan kurtosis kurang dari atau sama dengan dua maka data berdistribusi normal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa data berdistribusi normal karena nilai statistik skewness dan kurtosis kurang dari dua. Uji Multikolinearitas dilakukan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel bebas. Model regresi linear yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabelvariabel bebas. Hasil uji Multikolinear itas menunjukkan bahwa tidak ada gejala multikoliniaritas antar variabel independen PAD, KBD, dan KKD karena nilai angka tolerances kurang dari 10% dan Variance Inflation Factor (VIF) kurang dari 10. Uji Autokolerasi dilakukan untuk menentukan apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya) melalui Uji Durbin-Watson-test. Deteksi ada tidaknya autokorelasi adalah d hitung > 2du = terjadi autokorelasi positif, d hitung < 2dl = terjadi autokorelasi negatif, dl < d hitung < du dan 4 – du < d hitung < 4 – dl = tidak dapat disimpulkan. Hasil pemrosesan data menunjukkan bahwa nilai DW masing-masing model regresi (1, 2, dan 3) adalah 1,375, 1,317, dan 1,123 lebih kecil dari 3,42 (atau lebih kecil dari 2 du / 3,44) untuk α = 5% dan k=2. Uji Heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan dengan pengamatan yang lain, dengan menggunakan metode Glejser (Gujarati, 1995). Apabila nilai koefisien regresi
71
UU Keuangan Negara RI No. 17 Tahun 2003 dalam Khusaini (2006) menyatakan bahwa Belanja Daerah menurut kelompok belanja terdiri dari Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, dan Belanja Modal. Belanja modal atau pembangunan (capital/investment expenditure) adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah asset). Pendapatan Asli Daerah (PAD) meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba Perusahaan Milik Daerah, Dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Keserasian Belanja Daerah, menurut Halim (2002), adalah rasio Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah. Semakin besar rasio ini semakin tinggi tingkat Keserasian Belanja Daerah. Rasio Keserasian Belanja Daerah diadopsi mengganti variabel Belanja Modal, yang digunakan peneliti terdahulu, dimaksudkan mereduksi pengaruh perbedaan tingkat harga dan atau tingkat biaya hidup antar kabupaten/ kota sehingga hasil studi akan lebih akurat. Penelitian ini menggunakan angka PDRB, PDRB Per Kapita, IPM yang dipublikasi oleh BPS Pusat, Bappeda propinsi maupun kabupaten/kota dan atau publikasi Indeks IPM, Gini ratio, dan Distribusi Pendapatan yang diterbitkan Pemprov dan BPS propinsi. Subjek penelitian ini adalah kabupaten/kota yang ada di Propinsi se-Jawa dan Bali dengan periode lima tahun amatan yaitu tahun 2003- 2007. Jenis data penelitian adalah data kuantitatif berupa pooling data dengan sumber data sekunder yang diperoleh melalui studi non-perilaku berupa dokumentasi laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah kabupaten/ kota se-Jawa dan Bali. Populasi dalam penelitian ini adalah pemerintahan kabupaten/kota di pulau Jawa dan Bali. Sampel penelitian adalah pemerintahan kabupaten/ kota yang ditentukan dengan metode purposive sampling yaitu penarikan sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian, dengan kirteria sebagai berikut: tersedianya informasi realisasi PAD, belanja rutin, belanja modal periode tahun 2007-2011. Tersedianya informasi PDRB, PDRB Per Kapita dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) untuk periode tahun 2007-2011. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi linear berganda yang sangat bermanfaat untuk mendeteksi pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, serta pengaruh variabel moderasi terhadap hubungan
72 Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, Vol. 8 No. 2, Juli 2013 dari masing-masing variabel bebas dalam model regresi tidak signifikan secara statistik, maka dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas. Hasil pengujian menunjukkan tidak ada gejala Heteroskedastisitas dalam ketiga model regresi linear yang diindikasikan nilai signifikansi (Sign t) > α = 0,05. Uji Model Fit dilakukan untuk melihat kelayakan dan kekuatan model regresi berganda untuk model regresi 1 (dengan parameter pertumbuhan ekonomi PDRB), model regresi 2 (dengan parameter pertumbuhan ekonomi PDRB Per Kapita), dan model regresi 3 (dengan parameter pertumbuhan ekonomi IPM) baik secara parsial mapun simultan. Hasil uji model fit menunjukkan bahwa keseluruhan model regresi (1, 2, dan 3) baik tanpa atau dengan interaksi variabel moderasi telah memenuhi kelayakan model yang diindikasikan nilai Sig. F. Change kurang dari α = 5%. Kemampuan masing-masing model dapat dijelaskan sebagai berikut. Adj. R2 untuk Model Regresi Berganda 1 (PDRB sebagai parameter Pertumbuhan Ekonomi) masing-masing adalah 45,9% untuk model tanpa interaksi; dan 46,5% dengan interaksi untuk PAD dan KBD. Adj. R2 untuk Model Regresi Berganda 1 (PDRBpkp sebagai parameter Pertumbuhan Ekonomi) masing-masing adalah 13,8% untuk model tanpa interaksi; dan 13,8% dengan interaksi PAD dan KBD. Adj. R2 untuk Model Regresi Berganda 1 (IPM sebagai parameter Pertumbuhan Ekonomi) masing-masing adalah 25,5% untuk model tanpa interaksi; dan 25,3% dengan interaksi untuk PAD dan KBD; Besarnya persentase Adj. R2 suatu model regresi menunjukkan besarnya kemampuan variabel independen dalam model menjelaskan perubahan variabel dependen. Semakin besar nilai Adj. R 2 semakin baik kemampuan model dan sebaliknya semakin kecil nilainya semakin jelek kemampuan model. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah amatan Pertumbuhan Ekonomi (PDRB, PDRBpkp, dan IPM) adalah PDRB 396 amatan, PDRBpkp 385 amatan, dan IPM 320 amatan. Sedangkan yang digunakan dalam model regresi adalah data dasar PAD, KBD, dan Pertumbuhan Ekonomi (PDRB, PDRBpkp, dan IPM) yang secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut: nilai PAD minimum Rp 7.962.248.000 dan maksimum Rp
92.300.000. Nilai KBD minimum 3,92 persen dan maksimum 85,01 persen. Nilai PDRB minimum Rp 515.250.000 dan maksimum Rp 1.549.347.000. Nilai PDRBpkp minimum Rp 2.132.160 dan maksimum Rp 14.829.190. Nilai IPM minimum 59 dan maksimum 77,80. Hasil uji regresi secara simultan untuk masing-masing model regresi sesuai dengan parameter pertumbuhan ekonomi, adalah sebagai berikut: untuk model regresi 1 (PDRB sebagai parameter pertumbuhan ekonomi) diperoleh nilai F-test 112,626 dan P-value 0,000 yang lebih kecil daripada α = 5%. Ini berarti bahwa variabel independen PAD dan KBD secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). Untuk model regresi 2 (PDRBpkp sebagai parameter pertumbuhan ekonomi) diperoleh nilai F-test 21,551 dengan P-value 0,000 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel independen PAD dan KBD secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRBpkp). Untuk model regresi 3 (IPM sebagai parameter pertumbuhan ekonomi) diperoleh nilai F-test 37,32 dan P-value 0,000 yang lebih kecil daripada α = 5%. Ini berarti bahwa variabel independen PAD dan KBD secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (IPM). Hasil uji regresi secara parsial untuk masingmasing model regresi sesuai dengan parameter pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut untuk variabel PAD, PDRB sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test 17,518 dan P-value 0,000 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel PAD secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). PDRBpkp sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test 2,267 dan P-value 0,000 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel PAD secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRBpkp). IPM sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test -4,676 dan Pvalue 0,000 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel PAD secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (IPM). Untuk variabel KBD, PDRB sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test 2,267 dan P-value 0,024 yang lebih kecil daripada α=5%.Ini berarti bahwa variabel independen KBD secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel .
A.A.N.B. Dwirandra, Pengaruh Desentralisasai Fiskal ....
Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). PDRBpkp sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test -4,364 dan P-value 0,000 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel independen KBD secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRBpkp). IPM sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test 0,293 dan P-value 0,770 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel independen KBD secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (IPM). Ini kemungkinan terjadi karena proyek modal yang direalisasikan kurang banyak menyentuh faktor-faktor pembentuk IPM misalnya fasilitas pendidikan dan publik lainnya. Hasil uji regresi secara parsial untuk masingmasing model regresi sesuai dengan parameter pertumbuhan ekonomi. PDRB sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test 2,283 dan P-value 0,023 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel independen PAD dan KBD berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). PDRBpkp sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test -1,059 dan P-value 0,290 yang lebih besar daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel independen PAD dan KBD tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRBpkp). IPM sebagai parameter pertumbuhan ekonomi, nilai t-test -0,340 dan P-value 0,734 yang lebih kecil daripada α=5%. Ini berarti bahwa variabel independen PAD dan KBD tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi (IPM). KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: desentralisasi fiskal dan keserasian belanja daerah secara simultan dan parsial berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PDRB per kapita). Desentralisasi Fiskal dan Keserasian Belanja Daerah berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi (IPM). Tingginya Keserasian Belanja Daerah meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi (PDRB). Tingginya Keserasian Belanja Daerah tidak meningkatkan
73
pengaruh positif Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi (PDRB Per Kapita). Tingginya Keserasian Belanja Daerah tidak meningkatkan pengaruh positif Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi (IPM). DAFTAR REFERENSI Abimanyu, Anggito. 2005. Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih. Bapekki Depkeu. Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada Kabupaten dan Kota Se Jawa Bali). Jurnal Studi Pembangunan KRITIS. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. ______________. 2006. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kabupaten dan Kota Se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang Bappenas. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Propinsi Dalam Era Otonomi Daerah: Tinjauan Atas Kinerja PAD dan Upaya yang dilakukan Daerah. Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. Darwanto dan Yustikasari. 2006. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dam Dana Alokasi Umum terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Studi Kasus Kabupaten/Kota seJawa Bali Tahun 2004-2005. Harianto dan Adi, Priyo Hadi. 2006. Hubungan antara DAU, Belanja Modal, PAD, dan PDRB Per Kapita. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Halim, Abdul. 2001. Analisis Diskripsi Pengaruh Fiskal Stress pada APBD Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah. KOMPAK. STIE YO. Yogyakarta. 127-146 Halim, Abdul dan Syukriy Abdullah. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Simposium Nasional Akuntansi VI, 1140-1159 Ismerdekaningsih, Herlina, SE & Endah Sri Rahayu,SE. 2002. Analisis Hubungan Penerimaan Pajak Terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia (Studi Tahun 1985-2000). ITB Central Library. Kuncoro, Mudrajat. Ph.D. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perekonomian, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga
74 Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, Vol. 8 No. 2, Juli 2013 Khusaini, Muhammad Dr. 2006. Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. BPFE Unibraw. Legrenzi, Gabriella & Costas Milas. 2001. Non-Linear and Asymmetric Adjustment The Local Revenue Expenditure Models: Some Evidence from The Italian Municipalities. University of Milan. Working Paper. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan Daerah. Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia. Sidik, Machfud. 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia). Jogyakarta. _____________. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Orasi Ilmiah. Tambunan, Tulus. 2006. Upaya-Upaya Meningkatkan Daya Saing Daerah. www.kardin-indonesia.or.id