Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
PENGARUH BOBOT PADA METODE WEIGHTED FUZZY GOAL PROGRAMMING (WFGP) TERHADAP STRATEGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENENTUAN ALOKASI KUOTA SUPPLIER Annas Singgih Setiyoko Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya Email :
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai hasil proses kognitif yang mengarah pada pemilihan tujuan suatu tindakan diantara banyak alternatif. Pengambilan keputusan adalah komitmen berbagai sumber daya saat ini untuk mendapatkan hasil di masa depan. Karena melibatkan keputusan tentang harapan masa depan, maka pengambilan keputusan selalu melibatkan ketidakpastian (decision-making under uncertainty). Metode WFGP merupakan salah satu solusi yang ditawarkan untuk memecahkan solusi optimasi. Metode ini dikembangkan untuk mengakomodasi preferensi pengambil keputusan seperti halnya pada metode preemptive goal programming. Suatu keputusan fuzzy merupakan fuzzy set dari alternatif-alternatif yang dihasilkan dari interseksi antara goals dan constraints. Keputusan fuzzy yang mengakomodasi preferensi pengambil keputusan direpresentasikan dengan interseksi beberapa fuzzy goal yang dipangkatkan dengan bobot (level aspirasi atau preferensi pengambil keputusan). Metode pembobotan yang digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP). Perhitungan bobot dengan metode AHP akan menghasilkan bobot > 1 atau < 1. Bila nilai bobot semakin menjauh dari 1 maka nilai suatu goal yang lebih dipreferensikan akan semakin besar dan keputusan fuzzy akan berada pada goal yang tidak dipreferensikan. Pada kasus penentuan alokasi kuota untuk supplier maka supplier dengan parameter yang terkait dengan goal yang dipreferensikan mendapatkan perolehan alokasi yang semakin menurun. Kata kunci : pembobotan, AHP, keputusan fuzzy, alokasi supplier
PENDAHULUAN Penentuan alokasi yang diberikan kepada supplier memerlukan teknik pengambilan keputusan yang sesuai yang dapat mengakomodasi kepentingan pengambil keputusan dan kriteria yang dimiliki oleh supplier. Memilih supplier dengan benar merupakan keputusan krusial yang memiliki implikasi luas pada suatu rantai pasok. Penelitian yang berkaitan dengan pemilihan pemasok diantaranya dilakukan oleh Setiyoko dkk (2007) yang mengembangkan model dari Kumar dkk (2004) dengan menambahkan faktor business relationship sebagai fungsi objective untuk menyeleksi pemasok. Faktor business relationship terdiri dari kriteria-kriteria jaminan mutu, pengalaman, kondisi finansial dan komunikasi. Penilaian kriteria-kriteria tersebut menggunakan variabel linguistik, sehingga harus dikuantifikasi agar dapat dijadikan konstanta pada variabel keputusan. Penelitian yang berkaitan dengan pemilihan pemasok diantaranya dilakukan oleh Kumar dkk (2004) menggunakan pendekatan fuzzy goal programming. Ketidakpastian dalam menentukan target dinyatakan pada fuzzy goal, dengan fungsi kendala deterministik. Ketidakpastian dalam menentukan target dinyatakan pada fuzzy goal, dengan fungsi kendala deterministik. Çebi dan Bayraktar
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
(2003) menggunakan pendekatan AHP dan lexicographic goal programming (LGP). Min (1994) menggunakan pendekatan multi-attribute utility technique (MAUT). Barla (2003) menggunakan model matematika berbasiskan model seleksi multi atribut (multiatribute selection model, MSM). Youssef dkk (1996) menggunakan model multiattribute, cost-based, dan deterministik. Pendekatan model fuzzy goal programming (FGP) sebagai alat bantu pengambilan keputusan pada dasarnya disusun berdasarkan model multi objectives linear programming (MOLP). Perbedaan antara linear programming (LP) dengan goal programming (GP) adalah pada goal programming dicirikan dengan adanya nilai target (aspirasi capaian) disebelah kanan persamaan fungsi objectives (Ignizio, 1976; Zeleny, 1981). Untuk menjadi model goal programming, nilai target pada setiap fungsi objectives diperoleh dengan cara menyelesaikan setiap objectives sebagai single objective sedangkan objectives lainnya diabaikan. Deviasi level aspirasi diberikan secara subyektif untuk masing-masing goal. Setelah itu disusun formulasi crisp berdasarkan fungsi keanggotaan setiap objective dan diselesaikan dengan single objective linear programming untuk mendapatkan nilai variabel keputusan. Terlihat bahwa fuzzy goal programming tidak menunjukkan adanya preferensi pengambil keputusan yang menunjukkan tingkat kepentingan pengambil keputusan terhadap fungsi objectives seperti halnya pada preemptive goal programming. METODA Model LP untuk Seleksi Pemasok Memilih pemasok dan membagi perolehan alokasi kuota dengan mempertimbangkan faktor mutu, late delivery, harga, dan business relationship mengikuti persamaan yang dikembangkan oleh Setiyoko dkk (2007) sebagai berikut: 1. Maksimasi mutu r yang diperoleh dari pemasok ke i. n
Maksimalkan Z 1 ri ( x i )
(1)
i 1
2. Minimasi % late delivery l dari pemasok ke i. n
Minimalkan Z 2 l i ( x i )
(2)
i 1
3. Minimasi harga pembelian dari sejumlah pemasok ke i dengan harga penawaran c: n
Minimalkan Z 3 c i ( x i )
(3)
i 1
4. Business relationship. n
Maksimasi Z 4 ei ( x i )
(4)
i 1
Fungsi kendala yang dipertimbangkan adalah: 1. Total demand n
xi
D
(5)
i 1
2. Jumlah kapasitas pasokan maksimum rekanan. x i Qi max
(6)
3. Harga pengadaan berdasarkan owner estimate.
ci(xi) < coe . D 4. Jumlah minimum order yang disyaratkan oleh rekanan. x i Qi min
semua variabel > 0 dimana
xi ri
= variabel keputusan yang menunjukkan perolehan alokasi pemasok ke i, = persentase cacat material dari
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-19-2
(7) (8)
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
li coe ei D Qi max Qi min
pemasok ke i, = persentase material yang mengalami late delivery dari pemasok ke i, = harga owner estimate per satuan jumlah material. = skor business relationship pemasok ke i. = total demand. = kapasitas pasokan maksimum pemasok ke-i. = batas pembelian minimum yang disyaratkan pemasok ke-i.
Keputusan Fuzzy Bellman and Zadeh (1970) menyatakan bahwa suatu keputusan fuzzy merupakan fuzzy set dari alternatif-alternatif yang dihasilkan oleh interseksi antara goals/objectives dan constraints. Bila D adalah keputusan, G adalah fuzzy goals dan C adalah fuzzy constraints maka hubungan ketiganya adalah: D=GC (9) dan fungsi keanggotaan: D(x) = min[G(x), C(x)] (10) Keputusan optimal dapat diperoleh dengan: Dm(x) = max D(x) untuk x K (11) dimana K adalah sekumpulan nilai di X yang membuat nilai D mencapai nilai maksimum. Besarnya tingkat penerimaan keputusan fuzzy, baik yang bergerak ke batas bawah atau batas atas dari target, ditunjukkan oleh suatu fungsi keanggotaan sebagai berikut:
[ f i ( x )]
f i ( x ) f i min ~ min ~ , jika f i f i ( x ) f i min f i f i max f (x) ~ f i max i ~ , jika f i f i ( x ) f i max f i f i 0, lainnya
(12)
dimana: [ f i ( x )]
= tingkat keanggotaan dari capaian fungsi objectives = persamaan fungsi objectives f i (x ) ~ f i = fuzzy goal ke-i hasil single objective linear programming min = batas bawah deviasi fuzzy goal fi ke-i max = batas atas deviasi fuzzy goal fi ke-i
Pemecahan permasalahan optimasi fuzzy goal programming (fGP) adalah dengan mentransformasikan menjadi crisp goal programming (CGP) (Zimmermann,
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-19-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
2000). Persyaratan terjadinya proses transformasi adalah dengan mendapatkan fungsi keanggotaan fungsi objectives [ f i ( x )] dengan persamaan (18). Langkah pemecahan ini menggunakan pendekatan Tiwari dkk (1986, dalam Ciptomulyono dan DOU, 2000) dimana formulasi FGP dipecahkan untuk mendapatkan perlengkapan keputusan, dan kemudian memaksimasikannya. Bentuk umum persamaan CGP adalah: Max. (13) Sehingga memenuhi: < [ fi ( x )] (14) gj(xi) < aj, j = 1,2,…, J hk(xi) = bk, k = 1,2,…, K Pembobotan pada Fuzzy Goal Pembobotan ini menunjukkan level aspirasi pengambil keputusan terhadap alternatif goals. Keputusan fuzzy dengan goals terbobot menurut Yager (1978, dalam Zimmermann, 2000) dapat dituliskan sebagai berikut: ~ ~ ~ ~ (15) D G1w1 G2w2 Gmwm ~
dimana wj merupakan bobot fuzzy goal G ke j yang bisa diperoleh dengan metode AHP. ~ Dikarenakan pencapaian fuzzy goal G j dengan alternatif yang terpilih x ditunjukkan dengan suatu fungsi keanggotaan [ G j ( x )] , maka mengacu persamaan (10) keputusan fuzzy dengan goal terbobot w untuk goal ke i adalah nilai terendah dari keanggotaan fuzzy goal dipangkatkan bobot w. DISKUSI Penyelesaian model MOLP persamaan (1) sampai (8) dilakukan dengan single objective dimana objectives yang lain diabaikan. Setelah nilai setiap objectives (Z) diperoleh maka langkah berikutnya adalah menentukan deviasi dari setiap Z atau yang disebut dengan tingkat penerimaan keputusan fuzzy. Besarnya deviasi dapat diperoleh dari pengambil keputusan atau data lain yang relevan. Dengan adanya deviasi maka dapat digambarkan fungsi keanggotaan setiap objectives seperti pada gambar 1 dan menyusun persamaan 13 – 14 (CGP) berdasarkan persamaan 12. 1
0
fi min
~ fi
fi max
Gambar 1. Fungsi keanggotaan setiap objectives
Fungsi maksimasi untuk penyelesaian persamaan 13 merupakan penerjemahan dari persamaan 11, dimana keputusan optimal akan diperoleh dengan memaksimalkan nilai keanggotaan. Sedangkan persamaan 12 merupakan isi persamaan 14 untuk membentuk persamaan crisp yang berasal persamaan fuzzy. Bila dicermati persamaan 9, 10, dan 11 maka nilai keputusan fuzzy yang berupa nilai keanggotaan merupakan intersection antara goals dan constraints serta nilai keanggotaan tersebut diperoleh dari nilai keanggotaan minimum dari intersection antara goals dan constraints.
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-19-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
Pembobotan goals pada dasarnya dilakukan untuk mengakomodasi preferensi pengambil keputusan. Salah satu metode untuk membobotkan goals adalah menggunakan metode yang diusulkan oleh Yager seperti pada persamaan 14. Dimana keputusan merupakan hasil intersection diantara goals yang dipangkatkan dengan bobotnya. Salah satu metode pembobotan adalah menggunakan analytical hierarchy process (AHP). Suatu keputusan fuzzy pada dasarnya dilihat dari tingkat keanggotannya, maka keputusan fuzzy yang dibobot (weighted-fuzzy goal programming), berdasarkan persamaan 10 dan 14, merupakan nilai keanggotaan dipangkatkan bobot (w). Pembobotan yang dilakukan dengan metode AHP akan memiliki hasil: a. Bobot memiliki nilai > 1 b. Bobot memiliki nilai < 1 Mengingat bahwa nilai keanggotaan suatu goal < 1 maka nilai keanggotaan goal ke-i yang dibobot akan memiliki implikasi: 1. Bila bobot yang diperoleh semakin jauh lebih besar dari 1, maka nilai keanggotaan goal ke-i yang dipangkatkan dengan bobot akan memiliki hasil semakin mengecil (mendekati = 0). 2. Bila bobot yang diperoleh semakin jauh lebih kecil dari 1, maka nilai keanggotaan goal ke-i yang dipangkatkan dengan bobot akan memiliki hasil semakin besar (mendekati = 1). Berdasarkan 2 implikasi diatas maka preferensi pengambil keputusan terhadap suatu goal yang dinyatakan dengan bobot lebih tinggi akan membuat nilai goal tersebut lebih tinggi atau lebih rendah dari goals lainnya. Bila suatu goal yang lebih dipreferensikan memiliki nilai goal terbobot lebih tinggi dari nilai goals terbobot lainnya maka berdasarkan konsep persamaan 10 dan 14 keputusan fuzzy justru akan berada pada goal yang tidak dipreferensikan. Pada kasus penentuan alokasi kuota untuk supplier maka akan terjadi suatu anomali bahwa semakin besar preferensi pada suatu goal akan berakibat keputusan fuzzy akan semakin menjauh dari goal yang dipreferensikan atau keputusan fuzzy semakin bergeser mendekat pada goals yang lain. Karena keputusan fuzzy semakin menjauh dari goal yang dipreferensikan maka supplier dengan parameter yang terkait goal yang dipreferensikan mendapatkan perolehan alokasi yang semakin menurun. KESIMPULAN Penggunaan metode weighted - fuzzy goal programming (WFGP) ditujukan untuk mengakomodasi preferensi pengambil keputusan dengan cara memberikan bobot pada nilai keanggotaan goals. Metode pembobotan yang digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP). Perhitungan bobot dengan metode AHP akan menghasilkan bobot > 1 atau < 1. Bila nilai bobot semakin menjauh dari 1 maka nilai suatu goal yang lebih dipreferensikan akan semakin besar dan keputusan fuzzy akan berada pada goal yang tidak dipreferensikan. Pada kasus penentuan alokasi kuota untuk supplier maka supplier dengan parameter yang terkait dengan goal yang dipreferensikan mendapatkan perolehan alokasi yang semakin menurun. DAFTAR PUSTAKA Barla, Semra Birgün. (2003), A Case Study of Supplier Selection for Lean Supply by Using a Mathematical Model, Logistic Information Management, 16, 451-459. Bellman, R.E., and Zadeh L.A (1970), ‘Decision-Making in a Fuzzy Environment’ In: Fuzzy Sets and Applications: Selected Papers by L.A. Zadeh, (1987), eds: R.R.
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-19-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
Yager, S. Ovchinnikov, R.M. Tong, H.T. Nguyen., John Wiley & Sons, USA, pp 53-79. Buckley, J.J (1985), Ranking Alternatives Using Fuzzy Numbers, Fuzzy Sets and Systems, 15, 21-31. Çebi, Ferhan and Bayraktar, Demet. (2003), An Integrated Approach for Supplier Selection, Logistic Information Managemen, 16, pp.395-400. Ciptomulyono, U., and DOU, Henry (2000), Model Fuzzy Goal Programming untuk Penetapan Pembobotan Prioritas dalam Metode Proses Analisis Hirarkhis (AHP), Majalah IPTEK, 11, 19-29. Hsieh, Ting-Ya., Lu, Shih-Tong., Tzeng, Gwo-Hshiung. (2004), Fuzzy MCDM Approach for Planning and Design Tenders Selection in Public Office Building, International Journal of Project Management, (articel in press). Ignizio,James P. (1976), Goal Programming and Extensions, Lexington Books, Massachusetts. Kumar, Manoj., Vrat, Prem., Shankar, R. (2003), A Fuzzy Goal Programming Approach for Vendor Selection Problem in a Supply Chain, Computers & Industrial Engineering, 46, 69-85. Min, Hokey. (1993), International Supplier Selection: A Multi-attribute Utility Approach, International Journal of Phisical Distribution & Logistic Managemen, 5, 24-33. Saaty, T.L. (1988), Multiple Criteria Decision Making: The Analytic Hierarchy Process, 2nd edition, USA. Setiyoko, Annas Singgih., Ciptomulyono, Udisubakti., Gunarta, I Ketut (2007), Integrated Fuzzy AHP and Weighted-Fuzzy Goal Programming Approach to Solve Supplier Selection Problem With Subjective Factors, Majalah IPTEK, LPPM-ITS, Surabaya, pp 22-30 Tabucanon, Mario T. (1988), Multiple Criteria Decision Making in Industry, Elsevier, New York. Youssef, Mohamed A., Zairi, Mohammed., Mohanty, Birdu. (1996), Supplier Selection in an Advenced Manufacturing Technology Environment: An Optimization Model, Benchmarking for Quality Management & Technology, 3, 60-72. Zadeh L.A (1975), ‘The Concept of Linguistic Variable and its Application to Approximate Reasoning-I’ In: Fuzzy Sets and Applications: Selected Papers by L.A. Zadeh, (1987), eds: R.R. Yager, S. Ovchinnikov, R.M. Tong, H.T. Nguyen., John Wiley & Sons, USA, pp 219-269. Zimmermann, H.J. (2000), Fuzzy Set Theory-and its Application, 3rd edition, Kluwer Academic Publishers, USA. Zeleny, Milan (1981), Technical Note: The Pros and Cons of Goal Programming, Computer & Operation Research, 4, 357-35
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-19-6