PENGANGGURAN TERDIDIK : SEBAB DAN SOLUSINYA Su'ud MTs Negeri Surabaya II Email : su’
[email protected]
ABSTRACT: One of the "thousand and one kinds of" problems of the education that supposedly "confuse" The Education Planner is the high unemployment of the output of education. To overcome this problem the government implemented a program of link and match (and the equivalence relation) between the education and the workplace. But this system has not been effective to solve the unemployment problem. Therefore, one of the concepts that need to be considered is to foster entrepreneurial attitudes in education. ABSTRAK Satu diantara “seribu satu macam” problem dunia pendidikan yang konon “membotakkan” para Planner pendidikan adalah masih tingginya angka pengangguran dari out put pendidikan.Untuk mengatasi problem ini pemerintah menerapkan program link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Tetapi system ini belum efektif untuk mengatasi masalah pengangguran. Oleh karena itu salah satu konsep yang perlu menjadi pertimbangan adalah kebijakan menumbuhkan sikap kewirausahaan dalam pendidikan. Key Words: Educated Unemployments
Pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa, dan menjadi cermin kepribadian bangsanya. Bangsa yang maju selalu diawali dengan kesuksesan di bidang pendidikannya, sebab pendidikanlah yang mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang prinsipnya sebagai penggerak roda pemerintahan. Berbagai sinyalemen, dugaan, dan fakta menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Data Human Development Index (HDI) Tahun 1999 s.d. 2001 menempatkan Indonesia pada posisi 105 s.d. 109 di antara 109 negara, jauh di bawah tiga Negara
jiran Indonesia. Hasil survey Political an Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong menunjukkan bahwa di antara 12 negara yang disurvei, system dan mutu pendidikan Indonesia menempati urutan terakhir (12), dibawah Vietnam yang baru sembuh dari luka-luka perang ( Rasiyo , 2005 : 321) . Masalah pendidikan akan semakin memprihatinkan lagi apabila kita menyaksikan pengangguran sarjana yang kian bertambah panjang. Sebagai orang yang menyandang predikat agent of change, ternyata staminanya tidak “immune” terhadap virus pengangguran Berdasarkan data BPS, pada Februari 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk tingkat pendidikan Diploma dan Sarjana
61
62
Didaktika, Vol. 20, Nomor 1, September 2014
masing-masing 7,5 persen dan 6,95 persen. TPT pendidikan menengah masih tetap menempati posisi tertinggi, yaitu TPT Sekolah Menengah Atas sebesar 10,34 persen dan TPT Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 9,51 persen. Jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang, dengan TPT Februari 2012 sebesar 6,32 persen turun dari TPT Februari 2011 sebesar 6,80 persen. (http://www.jarrakonline.com) Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial akan berdampak serius. (1) Timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan. Belajar dari Amerika dan Jepang, jumlah lulusan perguruan tinggi (PT) di AS selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42%. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi, peningkatan jumlah kelulusan PT di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35% selama 19611971. (http://www.haluankepri.com) Meledaknya jumlah pengangguran terdidik jauh hari sudah diramalkan pakar pendidikan Ivan Illich (1972). Menurutnya, akan tiba masa pendidikan menjadi tidak berguna dihadapkan dengan kehidupan nyata. Padahal pendidikan sudah terlalu banyak menyerap biaya, tetapi hasilnya kurang optimal. Bahkan, hanya menghasilkan para pemalas yang tidak terampil, yang mengincar pekerjaan formal dan ringan. (http://www.dikti.go.id) MENGAPA TERJADI? Terjadinya pengangguran tenaga kerja
terdidik ini, memang banyak sekali variable penyebabnya. Namun bukan mustahil kalau salah satunya disebabkan tidak dimilikinya keterampilan untuk bekerja. Hal ini diakibatkan orientasi pendidikan di Indonesia lebih menonjolkan dimensi “kepintaran” (otak kiri) dari pada dimensi “kecerdasan” atau “ kecakapan” (otak kanan). Pendidikan yang terlalu berorientasi pada “kepintaran” akan membuat siswa lebih banyak mengingat dan menghafal dalam kegiatan belajar. Proses pembelajaran di sekolah kurang berbasis “life skill” atau kegunaan bagi kehidupan siswa sehari-hari, sehingga mereka cenderung akan menjadi kurang cerdas secara social, emosional, spiritual, bahkan secara intelektual. Di samping itu orientasi lembaga pendidikan tampaknya masih mengarah pada bagaimana lulusannya dapat mengisi formasi kerja yang sudah ada (pasif), dan belum banyak diungkap bagaimana pendidikan mampu mengikhtiarkan ilmu-ilmu baru, lapangan kerja baru dan sikap hidup baru (aktif). Orientasi seperti ini akan membawa konsekwensi pada : pertama, lembaga pendidikan akan menjadi pihak yang terkalahkan dalam pergumulannya dengan perubahan social termasuk dalam memenuhi kualitas tenaga kerja yang cakap dan terampil. Karena itu lembaga pendidikan senantiasa mendapatkan kritik tidak mampu melahirkan tenaga kerja siap pakai dan lebih dari itu dianggap kurang berhasil dalam mengembangkan fungsinya. Apalagi secara kuantitas pertumbuhan tenaga kerja melebihi peluang kerja yang ada. Kedua, lembaga pendidikan menjadi pasif dalam menyelenggarakan sistem pendidikannya dan bahkan keberadaannya
Su’ud : Pengangguran Terdidik : Sebab Dan Solusinya sangat bergantung pada permintaan kebutuhan tenaga kerja. Bahkan dalam mengamati dan mengantisipasi perubahan social pun menjadi sangat lamban dan ada kecenderungan mengalami ketertinggalan. Akibatnya seringkali suatu model lembaga pendidikan tertentu harus ditutup lantaran stock lulusan yang dihasilkan masih menumpuk atau dianggap sudah jenuh. PROBLEMA LINK AND MATCH Untuk menjembatani kesenjangan pendidikan dengan dunia kerja pemerintah di era Mendiknas Prof. DR. Wardiman Djojonegoro pernah mencanangkan program link and match (keterkaitan dan kesepadanan). Konsep link and match ini diharapkan menjadi “dewa penyelamat” atau “ obat mujarab”guna menyembuhkan penyakit pendidikan yang makin hari kian para. Missi akhir link and match adalah terhapusnya kesenjangan (gap) antara ilmu pengetahuan , keterampilan, dan keahlian yang dimiliki lulusan sekolah dengan persyaratan yang dipasang oleh dunia kerja dalam memperkerjakan lulusan suatu sekolah. Dengan begitu, frekwensi angka pengangguran minimal dapat ditekan. Tetapi kenyataan link and match antara pendidikan formal dengan dunia kerja sangat sukar diwujudkan. Hal ini disebabkan : Pertama, sampai saat ini tidak ada individu atau lembaga yang mampu menentukan jenis teknologi apa yang akan muncul di masa-masa mendatang. Kesulitan ini menyebabkan lembaga pendidikan tidak mampu merancang kurikulum untuk menyiapkan tenaga-tenaga siap pakai sesuai dengan jenis teknologi yang akan berkembang di kemudian hari. Ketika suatu kurikulum dirancang untuk menyiapkan tenaga siap pakai,
63
maka setelah peserta didik menjalani pendidikan, permintaan pasar kerja telah berubah. Kedua, ketidaksesuaian juga bersumber pada ketidakmampuan lapangan kerja memfungsikan sistem pelatihan secara optimal. Sistem pelatihan kerja belum merupakan bagian integral dari dunia industri. Selama ini perusahaan atau industri belum berfungsi sebagai training ground. Dunia industri masih belum memahami system pendidikan dan fungsinya dalam memasok tenaga kerja. Mungkin hal ini disebabkan ketidaksanggupan dunia industri mendirikan lembaga pelatihan dengan pertimbangan biaya penyelenggaraan sangat besar yang kurang sebanding dengan pertambahan produktivitasnya. ENTREPRENEURSHIP SEBAGAI SOLUSI Guna menekan kenaikan jumlah pengangguran terdidik, tidak ada pilihan bagi perguruan tinggi (PT) dan dunia pendidikan untuk mengubah paradigma. Jika semula lebih menekankan pada aspek kecerdasan konseptual (kognitif), kini harus dibarengi penanaman jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Pasalnya, berbagai penelitian menunjukkan keberhasilan mahasiswa bukan ditentukan kepandaian yang dipunyai, tetapi oleh faktor lainnya yang sangat penting. Singkatnya, tingkat kecerdasan hanya menyumbang sekitar 20%-30%, sementara jiwa kewirausahaan yang didukung kecerdasan sosial justru menyumbang 80% keberhasilan anak di kemudian hari. (http://www.dikti.go.id) Amerika dan Jepang merupakan pengalaman berharga yang patut dicontoh.
64 Kehebatan eknomi Amerika ternyata terkait erat dengan “jiwa-jiwa entrepreneur” dalam lembaga pendidikannya. Sikap inilah yang kemudian membawa negara Amerika menjadi bangsa yang besar, menjadi Negara adikuasa. Jepang setelah membuka diri dari ketertutupan yang lama, mulai mengikuti jejak Amerika. Belajar dari keberhasilan Amerika dan kemudian dipadu dengan nilai-nilai budaya yang kuat dari bangsa Jepang sendiri , kini kita saksikan kemajuan bangsa Jepang yang begitu mengagumkan. Bahkan dalam beberapa bidang malahan meninggalkan Amerika. Kehebatan entrepreneur spirit Amerika yang digabung watak pantang menyerah, kerja keras, dan disiplin yang kuat bangsa Jepang, telah memacu bangsa Jepang sebagai Negara terkuat di dunia. Bangsa Indonesia dewasa ini sedang giat-giatnya membangun dalam segala bidang. Supaya pembangunan itu dapat sukses, diperlukan manusia-manusia pekerja yang ulet dan rajin. Bangsa-bangsa lain tidak akan mungkin “mengamerikakan” atau “menjepangkan” orang Indonesia. Bangsa Indonesia sendirilah yang harus menggali dynamo mental untuk menjadi sikap mental wirausaha. Agar sikap mental kewirausahaan dapat tumbuh semarak dilingkungan pendidikan, maka ada beberapa hal yang perlu ditumbuhkan dalam ruang kelas (Suud : 2005), pertama, penumbuhan sikap kritis, yaitu sikap kritis peserta didik untuk dapat menganalisis permasalahan, dan lebih jauh mempertanyakannya. Menyususn pertanyaan secara kritis perlu terus ditumbuhkan. Kedua, penumbuhan sikap inovatis. Ketika peserta didik dapat menyusun pertanyaan
Didaktika, Vol. 20, Nomor 1, September 2014 pertanyaan dengan bagus, maka perlu ditindaklanjuti dengan penumbuhan sikap inovatif. Dalam artian setelah mempertanyakan sesuatu, peserta didik diajak untuk mencari alternative jalan keluarnya. Pembaharuan harus terus dipacu kemunculannya pada diri peserta didik. Dengan demikian imajinasi liar akan tumbuh dan menghasilkan berbagai kemungkinan yang bersifat spektakuler. Ketiga, penumbuhan sikap berani mencoba. Peserta didik yang sudah mampu bersikap kritis (mempertanyakan), bersikap inovatif (solusi pembaharuan), ajaklah untuk berbuat atau mencoba. Perhitungan secara kritis yang telah tumbuh dipergunakan sebagai pisau analisis rasional sehingga segala resiko yang mungkin terjadi sudah dapat terlebih dahulu diantisipasi. Upaya menumbuhkan kepekaan dan pemberdayaan pada masyarakat dalam pendidikan entrepreneurship dapat dilakukan melalui tiga alternative (Livia Yuliawati, . http://work-love-life.blogspot.com) Alternatif pertama adalah menggunakan project-based learning yang mempertemukan mahasiswa dengan berbagai persoalan nyata di masyarakat. Perjumpaan dengan persoalan di dunia nyata ini menstimulasi mahasiswa untuk peka membaca kebutuhan masyarakat. Mahasiswa belajar untuk peka melihat dunia nyata di masyarakat tidak hanya dari perspektif ekonomi (daya beli, preferensi barang/jasa, bisnis yang prospektif, dan lain-lain). Namun mereka juga berlatih melihat dari perspektif psikologi yaitu dengan peka membaca potensi (lifestyle, keunikan, kebiasaan) sumber daya yang dimiliki masyarakat tersebut, perubahan apa yang mungkin dilakukan, usaha entrepreneurship
Su’ud : Pengangguran Terdidik : Sebab Dan Solusinya yang akan dijalankan memberikan profit serta benefit apa saja pada masyarakat. Melalui alternatif ini, mahasiswa belajar peka dan memiliki motivasi dan etika yang baik dalam merancang proyek, baik berupa barang maupun jasa. Dalam proyek tersebut, mahasiswa perlu memperhatikan potensi dan masalah yang dimiliki masyarakat yang menjadi target pasar. Tidak hanya sekedar menjual produk dan untung, namun turut mempertimbangkan values, peningkatan kualitas hidup, dan upaya solusi bagi target pasar. Alternatif kedua adalah menstimulasi mahasiswa mengintegrasikan prinsip social entrepreneurship dalam bidang entrepreneurship yang lain. Alternatif ketiga adalah merancang program pertumbuhan pribadi mahasiswa yang berorientasi pada kepedulian dan pemberdayaan pada masyarakat. Alternatif ini adalah bentuk service learning dalam setting program nonakademik. Service learning adalah strategi belajar-mengajar yang mengintegrasikan pelayanan pada komunitas dengan petunjuk dan refleksi untuk memperkaya pengalaman belajar, tanggung jawab sebagai warga negara, dan memperkuat komunitas. Kita semua berharap agar pemimpin bangsa ini tanggap terhadap permasalahan pendidikan saat ini, dan mampu mengambil langka yang cerdas sehingga bisa membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang unggul dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
65
DAFTAR PUSTAKA Haris, Abdul. Problem Pengangguran Dan P e n d i d i k a n http://www.haluankepri.com/opini Livia Yuliawati. Menumbuhkan Kepekaan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam P e n d i d i k a n E n t re p re n e u r s h i p . http://work-love-life.blogspot.com M e n s i a s a t i p e n g a n g g u r a n B e rg e l a r. (http://www.dikti.go.id) Pengangguran Terdidik Perlu Perhatian Serius (http://www.jarrakonline.com) Rasiyo.2005. Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa : Pijar-Pijar Pemikiran Dan Ti n d a k a n . M a l a n g : P u s t a k a Kayutangan. Su’ud. Relevansi Pendidikan Dan Dunia Kerja. Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA) edisi 222 Maret 2005.