Antologi, Vol... No..., Juni 2015
PENERAPAN MODEL PROBLEM POSING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR Iis Nuraeni1, Solihin Ichas H2, Nono Harsono3 Program Studi PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru
[email protected] Abstrak: Penerapan Model Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa kelas IV SD pada pembelajaran IPS. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas IV Sekolah Dasar dengan menggunakan model Problem Posing pada pembelajaran IPS. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas model John Elliot. Penelitian ini terdiri dari 3 siklus, dan setiap siklus terdapat 3 tindakan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi, lembar wawancara, lembar catatan lapangan, lembar penilaian berpikir kritis, tes hasil belajar, dan dokumentasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SDN Hegarmanah 1 dengan jumlah siswa 37 orang, maka diperoleh data penelitian berupa nilai kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. Dari data yang telah terkumpul selama penelitian diperoleh hasil yang meningkat pada setiap siklusnya. Adapun nilai rata-rata berpikir kritis siswa pada siklus I adalah 42,56 dengan kategori rendah, pada siklus II adalah 68,24 dengan kategori sedang, dan pada siklus III adalah 80,40 dengan kategori tinggi. Selain itu, hasil belajar siswa juga mengalami peningkatan setiap siklusnya. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I adalah 68,66, pada siklus II adalah 74,70, dan pada siklus III adalah 89,09. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan model Problem Posing dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil belajar siswa pada pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Kata Kunci: Model Problem Posing, Berpikir Kritis
____________________________________ Mahasiswa PGSD UPI Kampus Cibiru, NIM 1103869 2) Dosen Pembimbing I, Penulis Penanggung Jawab 3) Dosen Pembimbing II, Penulis Penanggung Jawab 1)
1
Iis Nureni1, Solihin Ichas H2, Nono Harsono3 Penerapan Model Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
THE APPLICATION OF PROBLEM POSING MODEL TO INCREASE THE ABILITY OF CRITICAL THINKING STUDENTS AT SOCIAL STUDIES IN ELEMENTARY SCHOOL Iis Nuraeni1, Solihin Ichas H2, Nono Harsono3 Program Studi PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru
[email protected] Abstract: The Application of Problem Posing Model to Increase The Ability of Critical Thinking Students at Social Studies in Elementary School. This research is motivated by the lack of critical thinking skills in 4th grade social studies learning. The purpose of this study is to determine the increase in critical thinking skills Elementary School 4th grade students using the model of Problem Posing in social studies learning. The method used in this research is the method of action research model of John Elliot. This study consisted of three cycles and each cycle there are three actions. The instrument used in this study are the observation sheets, questionnaires, field record sheet, sheets critical thinking ability, achievement test, and documentation. Based on research conducted by researchers at SDN Hegarmanah 1 with 37 students, the research data obtained in the form of value critical thinking skills and student learning outcomes. From the data that has been collected during the research the result is increased at each cycle. The average value of critical thinking of students in the first cycle is 42.56 with a low category, the second cycle is 68.24 with the medium category, and the third cycle is 80.40 with the high category. In addition, student learning outcomes also increased each cycle. The average value of student learning outcomes in the first cycle is 68.66, the second cycle is 74.70, and the third cycle is 89.09. It can be concluded that the implementation of Problem Posing Model can improve students' critical thinking skills and student learning outcomes in social studies learning in elementary school. Keywords: Problem Posing Model, Critical Thinking
____________________________________ Mahasiswa PGSD UPI Kampus Cibiru, NIM 1103869 2) Dosen Pembimbing I, Penulis Penanggung Jawab 3) Dosen Pembimbing II, Penulis Penanggung Jawab 1)
2
Antologi, Vol... No..., Juni 2015
Sejalan dengan perkembangan zaman, teknologi pun semakin berkembang dan manusia dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang semakin kompleks. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut salah satunya yaitu melalui pendidikan. Baik pendidikan yang berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Karena pada hakikatnya pendidikan merupakan suatu proses atau usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk merubah perilaku seseorang ke arah yang lebih maju. Yakni mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa sesuai dengan esensi yang terkandung dalam UUSPN No. 20 Tahun 2003. (Sukardjo & Ukim, 2009) IPS adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah dasar. Tujan IPS sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yakni untuk mengarahkan peserta didik menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab serta warga dunia yang cinta damai. (Depdiknas, 2007). Namun dalam pelaksanaannya, pendidikan di Indonesia saat ini masih belum maksimal. Permasalahan yang sering muncul dalam dunia pendidikan adalah lemahnya kemampuan siswa dalam berpikir untuk bisa menyelesaikan masalah. Pada pembelajaran IPS, kemampuan berpikir kritis siswa masih perlu ditingkatkan. Sebagian besar siswa menganggap pelajaran IPS sebagai mata pelajaran hafalan, sehingga ketika mengikuti pembelajaran IPS siswa hanya mendengarkan, mencatat dan menghafalkan materi yang disampaikan guru. Hal ini dikarenakan pembelajaran kurang mengembangkan kemampuan siswa dalam bertanya dan mengemukakan pendapat serta kemampuan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan seharihari siswa. Guru belum menerapkan sepenuhnya model belajar inovatif dan masih menggunakan model belajar
3
konvensional, sehingga perkembangan kemampuan siswa dalam mengatasi persoalan atau permasalahan menjadi terhambat. Melihat kondisi pendidikan IPS yang telah dipaparkan di atas, guru seharusnya melibatkan siswa dalam proses kegiatan belajar sehingga terciptanya suasana belajar yang bermakna. Bedasarkan hal tersebut, guru harus menggunakan model yang cocok agar dapat mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran IPS. Problem posing merupakan salah satu model dari sekian banyak model yang dapat membantu guru untuk mengaktifkan siswa pada saat belajar dalam kelas. Problem posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk mengajukan masalahmasalah yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian, yakni “Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas IV Sekolah Dasar dengan menggunakan model Problem Posing pada pembelajaran IPS?” Adapun tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas IV Sekolah Dasar dengan menggunakan model Problem Posing pada pembelajaran IPS. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatian pada aktivitas kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan. Melalui IPS, siswa diajarkan mengenai nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pengertian IPS menurut Kosasih Djahiri (Gunawan, 2011, hlm. 27), “IPS adalah ilmu yang memadukan sejumlah konsep pilihan dari
Iis Nureni1, Solihin Ichas H2, Nono Harsono3 Penerapan Model Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar cabang-cabang ilmu sosial dan ilmu lainnya kemudian diolah berdasarkan prinsip pendidikan dan didaktik untuk dijadikan program pengajaran pada tingkat persekolahan.” Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial adalah suatu ilmu yang merupakan gabungan dari cabang-cabang ilmu sosial seperti ekonomi, geografi, sosiologi dan sejarah. Ilmu pengetahuan sosial sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Jadi pembelajaran IPS merupakan suatu proses atau upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mendidik serta mengembangkan kemampuan dan keterampilan sosial siswa. IPS tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari siswa untuk memenuhi kebutuhan serta memecahkan persoalanpersoalan di lingkungan sekitar. Adapun Pendidikan IPS bertujuan untuk membantu tumbuhnya kemampuan berpikir sosial pada peserta didik, mengembangkan pengetahuan serta pemahaman terhadap kondisi sosial masyarakat dalam rangka membantu menciptakan warga negara yang baik (a good citizenship) sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006, tujuan pembelajaran IPS di tingkat Sekolah Dasar adalah sebagai berikut: a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan social. c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Robert Ennis (Susanto, 2013, hlm. 121) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah “suatu berpikir dengan tujuan membuat keputusan masuk akal tentang apa yang diyakini atau dilakukan.” Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisis, menyeleksi, dan mengevaluasi serta mampu mengemukakan alasan yang jelas terhadap sesuatu sehingga mampu mengambil keputusan atas apa yang dilakukannya. Pada saat belajar anak tidak hanya dituntut untuk mampu mendengarkan, mengetahui dan menghafalkan materi yang diajarkan guru, melainkan siswa harus mampu merusmuskan permasalahan yang disajikan serta mampu merumuskan solusi dari masalah tersebut. Siswa mampu mengkritisi segala hal yang ada di lingkungan sekitar dengan mengemukakan alasan yang logis. Ennis (Susanto, 2013, hlm. 125) yang mengemukakan lima indikator dalam berpikir kritis, yaitu: a. Memberikan penjelasan sederhana, yang meliputi; (a) memfokuskan pertanyaan, (b) menganalisis pertanyaan, (c) bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan b. Membangun keterampilan dasar; (a) mempertimbangkan kredibilitas sumber, (b) mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi c. Menyimpulkan; (a) mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, (b) membuat dan mempertimbangkan nilai pertimbangan d. Membuat penjelasan lanjut; (a) mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definidsi, (b) mengidentifikasi asumsi
4
Antologi, Vol... No..., Juni 2015
e. Strategi dan taktik ; (a) menentukan tindakan, (b) berinteraksi dengan orang. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPS, penulis melakukan pembelajaran dengan menggunakan model problem posing. Problem posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk mengajukan masalahmasalah yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Model ini mulai dikembangkan pada tahun 1997 oleh Lyn D. English. Awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran Matematika, selanjutnya model ini dikembangkan pula pada mata pelajaran lain. Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris. “problem berarti masalah atau soal dan posing berasal dari to pose yang berarti mengajukan, membentuk”. Adapun menurut Rusman, problem posing merujuk pada strategi yang menekankan kepada pemikiran berpikir kritis demi tujuan pembelajaran. (Rusman, 2012, hlm. 276). Melalui model ini diharapkan siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran. anak dipancing untuk menggali pengetahuan baru untuk dihubungkan dengan pengetahuan lama yang telah ia miliki sehingga wawasan siswa menjadi lebih bertambah. Adapun tahapan model problem posing adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan situasi/informasi, siswa diberikan pengetahuan awal mengenai materi yang akan dipelajari. 2. Mendefinisikan masalah, siswa dituntut untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, selain itu siswa juga dituntut untuk menjelaskan kembali penjelasan yang disampaikan oleh guru. 3. Menampilkan masalah, siswa membuat pertanyaan sesuai dengan lembar problem posing yang telah diberikan guru. Pada tahap ini siswa dituntut untuk berfikir terhadap objek
5
atau materi yang harus diselesaikannya dan menjadikan siswa lebih aktif dalam mencari pengetahuannya sendiri, sehingga mampu memunculkan petanyaanpertanyaan yang relevan. 4. Mendiskusikan masalah, siswa diharapkan lebih aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri, sehingga pemahaman akan materi dapat berkembang dengan baik. 5. Tahap mendiskusikan alternatif pemecahan maslah, siswa mempresentasikan hasil diskusi dengan kelompoknya ke depan kelas. Pada proses diskusi kelas ini siswa belajar untuk mengungkapkan pendapatnya dan bisa menghargai pendapat teman yang lain. Adapun kelebihan dari model problem posing adalah: 1. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran 2. Meningkatkan minat siswa untuk belajar 3. Meningkatkan kemampuan bertanya 4. Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah Sedangkan kelemahan atau kekurangan dari model pembelajaran problem posing yaitu membutuhkan waktu yang lama serta persiapan yang matang dari guru untuk menyajikan informasi kepada siswa. Teori belajar yang mendukung model problem posing adalah teori belajar kontruktivisme, dimana siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar mereka benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ideide. (Trianto, 2012, hlm 74). Adapun teori belajar tersebut diantaranya:
Iis Nureni1, Solihin Ichas H2, Nono Harsono3 Penerapan Model Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar a. Teori Vygotsky Menurut Vygotsky (Trianto, 2012, hlm. 76), “pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugastugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas tersebut berada dalam zone proximal development, yaitu perkembangan sedikit di atas perkembangan seseorang saat ini.” Jadi pada saat pembelajaran, guru tidak sepenuhnya mentransfer informasi atau menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didik, melainkan peserta didiklah yang harus menemukan sendiri konsep pembelajaran, menemukan gagasan/ide-ide baru untuk merumuskan masalah serta menyelesaikan masalah. Ide-ide/gagasan baru tersebut diperoleh melalui pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya dan diperoleh melalui interaksi peserta didik dengan teman lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibrahim dan Nur (dalam Rusman, 2012, hlm. 244), Vygotsky meyakini bahwa “interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.” b. David Ausubel Ausubel (Rusman, 2012, hlm.244) membedakan antara belajar bermakna (meaningfull learning) dengan belajar menghafal (rote learning). “belajar bermakna adalah proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang telah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal diperlukan bila seseorang memperoleh informasi dalam pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahuinya.” Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran, pembelajaran seyogyanya mampu mengaitkan informasi atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa
dengan pengetahuan baru yang diterima di sekolah. Sehingga belajar tidak hanya sebatas menghafal saja, melainkan terjadi pembelajaran yang bermakna dan tujuan pembelajaran tercapai dengan baik. c. Jerome S. Brunner Dahar (Rusman, 2012, hlm. 244) mengemukakan bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik, berusaha sendiri mencari pemecahan masalah serta didukung oleh pengetahuan yang menyertainya, serta menghasilkan pengetahuan yang benarbenar bermakana. Pada saat anak merumuskan masalah sendiri maka anak akan berusaha mencari solusi dari permasalahan yang telah dirumuskannya. Dan ketika anak mampu memecahkan permasalahan tersebut maka akan ada kebanggaan tersendiri dalam diri anak sehingga anak termotivasi untuk aktif belajar. Menurut Brunner (Gunawan, hlm. 56), perkembangan kemampuan belajar (intelektual) siswa ada tiga tahapan berfikir yang dialami oleh seseorang, yaitu: enactive, iconic dan simbolik. 1. Tahap enative, terjadi pada masa kanak-kanak apa yang dipelajari, diteliti, atau pun diketahui hanya sebatas ingatan. 2. Tahap iconic anak sudah dapat mengembangkan kemampuan berfikir yang lebih jauh. 3. Tahap simbolik, siswa sudah mampu berfikir abstrak, symbol-simbol bahasa, matematika, atau pun disiplin ilmu lainnya sudah dapat mereka pahami sebagai mana mestinya. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research. Alasan peneliti memilih metode PTK karena tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk meningkatkan
6
Antologi, Vol... No..., Juni 2015
kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa dengan cara mengkaji masalah serta memperbaiki proses pembelajaran. Kemmis & Taggart (Sumadayo, 2013, hlm 19) mengemukakan bahwa PTK merupakan suatu bentuk penelitian reflektif diri yang dilakukan dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik, pendidikan dan sosial, serta pemahaman mereka mengenai praktik ini dan terhadap siswa tempat dilakukannya praktik ini. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah PTK model Elliot. Alasannya karena dalam pelaksanaannya model ini lebih rinci jika dibandingkan dengan model Kurt Lewin dan model Kemmis-Mc Taggart. Dikatakan demikian, karena di dalam setiap siklus terdiri dari beberapa tindakan. Dalam penelitian ini terdiri dari tiga siklus. Setiap siklus dalam penelitian dilakukan tiga tindakan, sehingga total keseluruhan tindakan berjumlah sembilan tindakan. Jadi kesempatan peneliti untuk memecahkan masalah dan meningkatkan kualitas pembelajaran dalam PTK menjadi lebih banyak dan kemungkinan tercapainya tujuan pembelajaran dapat terlaksana dengan baik. Ada beberapa tahapan dalam model Elliot. Tahapan tersebut diantaranya penentuan ide awal, temuan analisis, perencanaan, implementasi, monitoring implementasi dan efeknya, dan penjelasan kegagalan implementasi (refleksi). Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh peneliti akan dilaksanakan di SDN Hegarmanah 1 Kecamatan Cikancung Kabupaten Bandung. Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas IV dengan jumlah siswa keseluruhan berjumlah 37 siswa, yang terdiri dari 22 siswa laki-laki, dan 15 siswa perempuan. Alasan peneliti memilih SDN Hegarmanah 1 sebagai tempat penelitian dikarenakan dikarenakan letak sekolah
7
yang sangat strategis, jarak sekolah tidak begitu jauh dari tempat tinggal peneliti. Selain untuk menghemat waktu, tenaga dan hal lainnya yang sudah dipertimbangkan oleh peneliti, dari hasil observasi yang peneliti lakukan ternyata kemampuan bertanya siswa masih rendah sehingga kemampuan berpikir kritis siswa masih perlu ditingkatkan. TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. TEMUAN Penelitian tindakan kelas ini dilakukan di kelas IV SDN Hegarmanah I Kecamatan Cikancung Kabupaten Bandung dimulai dari tanggal 20 April 2015 sampai dengan tanggal 09 Mei 2015. Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh peneliti, kegiatan penelitian ini dilakukan dengan tiga siklus, dimana pada setiap siklus terdapat 3 tindakan. Pada pelaksanaannya peneliti mengemukakan segala temuan yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Adapun temuan-temuan tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Siklus 1 Berdasarkan temuan yang diperoleh peneliti, ada beberapa temuan yang sangat esensial. Salah satunya yaitu pada tahap mendefinisikan masalah, siswa belum mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru dan belum berani mengemukakan pendapat. Siswa juga belum mampu merumuskan pertanyaan dan memecahkan masalah dengan baik. Hal ini dikarenakan pengetahuan awal siswa mengenai materi yang akan diajarkan pada saat itu masih kurang, sehingga siswa kebingungan dalam menjawab dan mengemukakan pendapatnya. Selain masalah tersebut, rasa percaya diri siswa juga masih kurang. Siswa masih malu-malu dalam mengemukakan pendapatnya di depan umum. Temuan lain yang diperoleh peneliti adalah siswa belum mampu
Iis Nureni1, Solihin Ichas H2, Nono Harsono3 Penerapan Model Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar bekerja sama secara berkelompok. Hal ini dikarenakan siswa tidak terbiasa belajar secara berkelompok sehingga individualisme dari masing-masing siswa masih terlihat. Selain hal tersebut, rasa saling menghargai antar sesama teman juga masih kurang. Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh oleh peneliti dari catatan lapangan tindakan 1, tindakan 2 dan tindakan 3, nilai rata-rata yang diperoleh untuk kemampuan berpikir kritis siswa adalah 42,56 dengan kategori rendah, sedangkan rata-rata yang diperoleh dari hasil belajar siswa adalah 69,09. Hal ini dikarenakan siswa belum terbiasa belajar dengan gaya seperti itu, sehingga pada saat pembelajaran, hanya sebagian kecil saja yang sudah mampu berpikir kritis dan memperoleh hasil di atas KKM. 2. Siklus II Berdasarkan temuan yang diperoleh peneliti, ada beberapa temuan yang sangat esensial. Meskipun tidak terlalu signifikan, pada siklus II ini sudah mulai terlihat adanya peningkatan dari siklus sebelumnya. Salah satunya yaitu siswa sudah mulai berani mengemukakan pendapatnya. Namun masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, diantaranya yaitu pada tahap mendefinisikan masalah, siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru secara serempak. Ini dikarenakan siswa tidak terbiasa mengacungkan tangan terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari guru sehingga siswa rebutan dalam menjawab pertanyaan. Kemudian jawaban yang diberikan oleh siswa masih kurang tepat. Hal ini dikarenakan siswa belum mampu memahami pertanyaan yang diajukan. Temuan selanjutnya yaitu kemampuan siswa dalam bekerja sama dengan kelompok masih kurang. Individualisme dari masing-masing siswa masih saja terlihat. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan memahami soal juga masih perlu
ditingkatkan. Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh oleh peneliti dari catatan lapangan pada siklus II, nilai rata-rata yang diperoleh untuk kemampuan berpikir kritis siswa adalah 68,24 dengan kategori sedang, sedangkan rata-rata yang diperoleh dari hasil belajar siswa adalah 74,81. Hal ini menunjukan bahwa adanya peningkatan dari hasil evaluasi siklus sebelumnya, yaitu dari nilai rata-rata siswa 60,09 menjadi 74,81. Siswa sudah banyak yang memperoleh nilai di atas KKM. 3. Siklus III Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh peneliti pada siklus III, sebagian besar siswa sudah mampu mengemukakan pendapatnya dengan baik. Baik dalam bertanya, menjawab pertanyaan maupun dalam mengemukakan alternatif pemecahan masalah. Pada tahap mendeskripsikan informasi/situasi, siswa terlihat antusias dan menyimak penjelasan yang disampaikan oleh guru dengan seksama. Pada tahap mendefinisikan masalah, siswa mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru dengan tertib. Jika pada siklus I dan II hanya sebagian kecil saja yang sudah berani berbicara di depan umum, pada siklus III hampir seluruh siswa sudah mulai percaya diri dan berani mengemukakan pendapat. Meskipun masih ada beberapa siswa yang terlihat masih malu-malu pada saat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Temuan lainnya adalah pada tahap menampilkan masalah, siswa juga sudah mampu membuat pertanyaan pada lembar problem posing I dengan baik. Struktur bahasa yang digunakan sudah baik dan pertanyaan yang diajukan juga sudah memenuhi kriteria berpikir kritis. Pada tahap mendiskusikan alternatif pemecahan masalah, suasana diskusi dalam kelas menjadi hidup karena sebagian besar siswa terlibat aktif dalam
8
Antologi, Vol... No..., Juni 2015
diskusi. Siswa sudah mampu menjelaskan penyebab, dampak dan cara menanggulangi masalah sosial yang ada di lingkungan sekitar dengan benar. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan dan sudah mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil berpikir kritis dan hasil evaluasi siswa yang sudah mencapai KKM. B. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh oleh peneliti menunjukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model Problem Posing pada pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil belajar siswa. Hal ini menunjukan bahwa adanya perubahan pada diri siswa. Karena pada hakikatnya belajar menghendaki adanya perubahan ke arah yang lebih baik. sejalan dengan pengertian belajar menurut pandangan Skinner (Dimyati & Mujiono, 2009, hlm. 9) bahwa “belajar adalah suatu perilaku.” Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Adapun peningkatan siswa baik kemampuan berpikir kritis maupun hasil belajar digambarkan pada grafik di bawah ini. 100 80 60 40 20 0
Nilai Ratarata berpikir Kritis
Gambar 1. Grafik Nilai Rata-rata Berpikir Kritis Siswa Kelas IV
9
100 80 60 40 20 0
Nilai Ratarata Hasil Belajar Siswa Kelas IV
Gambar 2. Grafik Nilai Rata-rata Hasil Belajar Siswa Kelas IV Berdasarkan pemaparan keberhasilan di atas, ada beberapa hal yang menjadikan proses pembelajaran itu berhasil, diantaranya yaitu pada setiap siklusnya, proses pembelajaran yang dilakukan menuntut siswa untuk belajar secara aktif, pada tahap awal siswa dituntut untuk menggali atau menemukan pengetahuan baru yang akan dipelajari, kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan baru yang dimiliki oleh siswa. Misalnya melalui pengamatan gambar, artikel atau objek nyata yang ada di lingkungan sekitar, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Hal ini sejalan dengan teori belajar yang dikemukakan oleh David Ausubel tentang belajar bermakna, dan teori belajar menurut Dahar (Rusman, 2012, hlm. 244) yang mengemukakan bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik, berusaha sendiri mencari pemecahan masalah serta didukung oleh pengetahuan yang menyertainya, serta menghasilkan pengetahuan yang benarbenar bermakana. Selain belajar penemuan, anak juga diajarkan untuk bekerja secara berkelompok, karena pada hakikatnya, belajar dengan cara berkelompok akan lebih mudah, lebih ringan dan akan banyak menghasilkan ide baru sehingga menambah wawasan baru bagi siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat vygotsky, bahwa “interaksi sosial dengan teman lain memacu
Iis Nureni1, Solihin Ichas H2, Nono Harsono3 Penerapan Model Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.” Setelah melakukan penelitian dengan menggunakan model problem posing, siswa menjadi lebih terbiasa untuk berpikir secara kritis, mulai dari belajar merumuskan permasalahan serta mencari solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Sesuai dengan pendapat Suryosubroto yang mengemukakan bahwa “pada ranah kognitif, Problem Posing dipandang sebagai pendekatan dapat memotivasi peserta didik untuk berpikir kritis serta mampu memperkaya pengalaman-pengalaman belajar, sehingga pada akhirnya meningkatkan hasil belajar peserta didik.” Maka penilitian yang telah dilaksanakan dengan judul “Penerapan Model Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar” dapat dikatakan berhasil karena nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil belajar siswa mengalami peningkatan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan yang telah dipaparkan oleh peneliti mengenai penerapan model Problem Posing untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPS di kelas IV SDN Hegarmanah I Kecamatan Cikancung Kabupaten Bandung, khususnya pada materi masalah sosial maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPS di kelas IV SDN Hegarmanah I Kecamatan Cikancung Kabupaten Bandung, khususnya pada materi masalah sosial dengan menggunakan model Problem Posing mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Adapun nilai rata-rata berpikir kritis siswa pada siklus I sebesar 45,71, kemudian mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 68,24, dan mengalami peningkatan lagi pada siklus III menjadi 80,40.
DAFTAR PUSTAKA Astutik, S. (2012). Penerapan model pembelajaran problem posing untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan prestasi belajar fisika siswa kelas x-5 sma brawijaya smart school malang pada pokok bahasan glb dan glbb. Jurnal : Penelitian tindakan kelas, hlm. 1-10. Dimyati & Mujiono. (2009). Belajar dan pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Gunawan. R. (2011). Pendidikan IPS Filosofi, konsep dan Aplikasi. Bandung: Alfabeta Rusman. (2012). Model-model pembelajaran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Solihatin, E & Raharjo. (2007). Cooperative learning analisis model pembelajaran IPS. Jakarta : Bumi Aksara. Sumadayo, S. (2013). PTK. Yogyakarta: Graha Ilmu. Susanto, Ahmad. (2013). Teori belajar dan pembelajaran di sekolah dasar. Jakarta : Kharisma Putra Pratama. Trianto. (2012). Model pembelajaran terpadu. Jakarta : Bumi Aksara.
10