ARTIKEL PENELITIAN PENERAPAN MODEL MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA DALAM MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS IV SD NEGERI No. 158/V LAMPISI
RUSMAIDA HARIANJA GJA12D113178
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI SEPTEMBER 2014
Penerapan Model Make A Match untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa dalam mata pelajaran Matematika di Kelas IV SD Negeri No. 158/V Lampisi RUSMAIDA HARIANJA ABSTRAK Hasil pembelajaran matematika di SD masih rendah, hal ini juga dapat dilihat pada hasil belajar Matematika Kompetensi Dasar Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana pada siswa kelas IV SD Negeri No. 158/V Lampisi Berdasarkan hasil belajar Matematika tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang bisa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 65 hanya 5 siswa dengan persentase 33,33% yang belum mencapai 10 siswa dengan persentase 66,67% . Sedangkan nilai yang diharapkan adalah rata-rata 65 ke atas. Hal ini dapat ditemukan bahwa penyebabnya antara lain pembelajaran di SD Negeri No. 158/V Lampisi: (1) Guru masih menggunakan Model ceramah dan penugasan, (2) Media pembelajaran masih konvensional, dan (3) Motivasi dan aktivitas siswa masih rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Meningkatan aktivitas belajar siswa kelas IV pada mata pelajaran Matematika dengan menerapkan Model Make A Match. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari 3 kali pertemuan satu kali pertemuan terdiri dari tahap-tahap, yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Tiap Siklus terdiri dari tiga pertemuan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri No. 158/V Lampisi sejumlah 17 orang siswa. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan menggunakan lembar observasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi kemudian diolah dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif, sedangkan untuk menganalisis data observasi, angket dan tes yang sudah diolah dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Kriteria keberhasilan dalam penelitian ini yaitu 80 % dari seluruh siswa kelas IV telah mencapai atau melebihi Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yaitu 65. Hasil penelitian menunjukkan pada kondisi awal siswa yang nilainya memenuhi KKM terdapat 6 siswa (35,2%). Siklus I menerapkan Model make a match terjadi peningkatan yaitu terdapat 7 siswa memenuhi KKM (41%).Pada siklus II terdapat 10 siswa memenuhi KKM (59%), Siklus III siswa yang nilainya memenuhi KKM terdapat 13 siswa (61,6%). Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan Model make a macth dapat meningkatkankan hasil dan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran matematika Kelas IV di SD Negeri No. 158/V Lampisi serta model pembelajaran ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pembelajaran Matematika.
PENDAHULUAN Hasil pembelajaran matematika di SD masih rendah, hal ini juga dapat dilihat pada hasil belajar Matematika Kompetensi Dasar Menentukan sifat-sifat bangun
ruang sederhana pada siswa kelas IV SD Negeri No. 158/V Lampisi pada semester satu tahun ajaran 2014/2015 dengan jumlah siswa 15 yang terdiri dari 8 siswa lakilaki dan 7 siswa perempuan dengan jumlah nilai 916, nilai rata-rata kelas 61.06, nilai tertinggi 73 nilai terendah 43. Berdasarkan hasil belajar Matematika tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang bisa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 65 hanya 5 siswa dengan persentase 33,33% yang belum mencapai 10 siswa dengan persentase 66,67% . Sedangkan nilai yang diharapkan adalah rata-rata 65 ke atas. Hal ini dapat ditemukan bahwa penyebabnya antara lain pembelajaran di SD Negeri No. 158/V Lampisi: (1) Guru masih menggunakan Model ceramah dan penugasan, (2) Media pembelajaran masih konvensional, dan (3) Motivasi dan aktivitas siswa masih rendah. Refleksi awal penyebab masalah itu didiskusikan bersama rekan-rekan guru di SD Negeri No. 158/V Lampisi dan hasilnya adalah menitik beratkan pada peningkatan aktivitas guru, aktivitas siswa dan hasil belajar. Aktivitas belajar yang rendah menyebabkan kurangnya pemahaman dalam penyerapan materi, dan kurangnya penyerapan berdampak pada rendahnya hasil belajar. Dari uraian kajian tersebut, diperlukan adanya perbaikan proses pembelajaran dalam aspek peningkatan motivasi siswa sehingga dari motivasi belajar yang tinggi, akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Alternatif dalam meningkatkan motivasi yang nantinya akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar adalah merubah Model pembelajaran yang menitik beratkan pada aktivitas siswa sebagai subyek belajar, salah satu pemecahan permasalahan adalah penerapan model pembelajaran kooperatif Make A Match. Model Make A Match atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa. Penerapan Model ini dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu soal dan kartu jawaban, sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Teknik ini dikembangkan oleh Lorna Curran dalam Lie (2010:55). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan kartu sambil belajar mengenai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Penerapan Model Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa Model ini dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang ada di tangan siswa, proses pembelajaran lebih menarik dan tampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan kartunya masingmasing. Hal ini merupakan suatu ciri dari pembelajaran seperti yang dikemukakan oleh Lie (2010:10) bahwa, pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menitik beratkan pada gotong royong dan kerja sama kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik (2004:116). Motivasi yang kuat erat hubungannya dengan peningkatan keaktifan siswa yang dapat dilakukan dengan Model pembelajaran tertentu, dan motivasi belajar dapat ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif. Apabila motivasi yang dimiliki oleh siswa diberi berbagai tantangan, akan tumbuh kegiatan kreatif. Penerapan Model ini dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja sama diantara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan.
Hal ini sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat pada siswa, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi, memiliki semangat mandiri, bekerja sama, dan kompetensi, menciptakan kondisi yang menyenangkan, mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar, karakteristik mata pelajaran. Berdasarkan uraian di atas model pembelajaran Make A Match merupakan salah satu cara yang dapat meningkatkan prestasi belajar Matematika, maka peneliti memilih judul “ Penerapan Model Make A Match untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran Matematika di Kelas IV SD Negeri No. 158/V Lampisi.” Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut Bagaimana Penerapan Model Make A Match dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran Matematika di kelas IV SD Negeri No. 158/V Lampisi? Penelitian ini bertujuan untuk meningkatan aktivitas belajar siswa kelas IV pada mata pelajaran Matematika dengan menerapkan Model Make A Match TINJAUAN PUSTAKA Sardiman (2007: 100) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Usman (2000:22) mengatakan bahwa aktivitas belajar adalah aktivitas jasmaniah dan rohaniah, yang meliputi aktivitas visual, aktivitas lisan, aktivitas mendengarkan, aktivitas gerak dan aktivitas menulis. Siberman (2000:1) mengemukakan bahwa paham belajar aktif memberikan gambaran tingkatan aktivitas belajar terhadap penguasaan materi yang dikuasainya, yaitu: apa yang saya dengar saya lupa ?, apa yang saya lihat saya ingat sedikit ?, apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan saya mulai paham ?, apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan sayamemperoleh pengetahuan dan keterampilan ?, apa yang saya ajarkan kepada orang lain saya kuasai ?. Djamarah (2000:67) mengemukakan bahwa belajar sambil melakukan aktivitas lebih banyak mendatangkan hasil bagi anak didik, sebab kesan yang didapatkan oleh anak didik lebih tahan lama tersimpan di dalam benak anak didik. Getrude. M. Whipple dalam Hamalik (2008: 173) menyatakan bahwa kegiatankegiatan murid sebagai berikut: Bekerja dengan alat-alat visual, Ekskursi dan trip, Mempelajari masalah-masalah, Mengapresiasi literatur, Ilustrasi dan konstruksi, Bekerja menyajikan informasi, Cek dan tes. Kegiatan belajar mengajar ditandai adanya interaksi antara guru dengan siswa. Interaksi dapat terjadi secara searah maupun terjadi secara timbal balik dari guru kepada siswa atau sebaliknya. Guru memiliki peran yang besar dalam rangka menentukan model interaksi atau kegiatan yang akan dipilih. Peran guru dalam melakukan kegiatan untuk memilih dan menentukan model interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa disebut mengajar. Sedangkan kegiatan siswa dalam melakukan kegiatan interaksi disebut belajar. Menurut Hamalik dalam bukunya Proses Belajar Mengajar Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Menurut pengertian ni belajar merupakan suatu proses , suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya engingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni
mengalami. hasil beljar bukan sutu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan. Belajar tidak akan pernah lepas dari manusia karena pada hakikatnya belajar dilakukan manusia sepanjang hayatnya atau sekurang kurangnya ia terus belajar meskipun sudah lulus sekolah. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang vital dalam usahanya untuk mempertahankan dan mengembangkan dirinya diera-globalisasi sekarang ini. Belajar adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan. Disini yang dipentingkan pendidikan intelektual. Kepada anak-anak diberikan bermacam-macam mata pelajaran untuk menambah pengetahuan yang dimilikinya, terutama dengan jalan menghafal. Belajar merupakan tindakan dan perilaku yang kompleks sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik bersifat eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami oleh siswanya itu sendiri, Syah (2013:87)) belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Sedangkan Wittig (dalam Muhibbinsyah 2013:89) berpendapat bahwa belajar perubahan yang relative menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisasi sebagai hasil pengalaman. Slameto (2010:2) mengemukakan belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar dikatakan berhasil manakala seseorang mampu mengulangi kembali materi yang telah dipelajarinya, maka belajar seperti ini disebut “rote learning”. Kemudian jika yang dipelajari mampu disampaikan dan diekspresikan dalam bahasa sendiri maka disebut “overlearning”. Pengertian belajar telah mengalami perkembangan secara evolusi, sejalan dengan perkembangan cara pandang dan pengalaman para ilmuwan. Pengertian belajar dapat didefinisikan sesuai dengan nilai filosofis yang dianut dan pengalaman para ilmuwan atau pakar itu sendiri dalam membelajarkan peserta didiknya. Hamalik (2010:37) belajar itu adalah perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya, belajar adalah proses mental yang terjadi didalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi adanya interaksi individu dengan lingkungan yang didasari. Belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang melalui pengalaman yang diulang-ulang yang bukan merupakan perkembangan respon pembawaan, bukan karena proses kematangan atau keadaan yang bersifat sementara. Secara umum Model mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Dihubungkan dengan belajar mengajar, Model bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan (Trianto, 2007;85). Banyak padanan kata “Model” dalam bahasa Inggris, dan yang dianggap relevan dengan ini adalah kata approach (pendekatan) dan procedure ( tahapan kegiatan). Model mengajar adalah tindakan guru melaksanakan rencana mengajar.Artinya, usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran ( tujuan, bahan, Model, dan alat, serta evaluasi) agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Nana Sudjana, 2011; 147). Dengan demikian Model mengajar pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu, yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien. Dengan perkataan lain Model mengajar adalah politik atau taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan/praktek mengajar di kelas. Politik atau taktik tersebut hendaknya mencerminkan langkah-langkah secara sistemik dan sistematik. Sistemik mengandung pengertian bahwa setiap komponen belajar mengajar saling berkaitan satu sama lain sehingga terorganisasikan secara terpadu dalam mencapai tujuan. Sedangkan sistematik mengandung pengertian bahwa langkah-langkah yang dilakukan guru pada waktu mengajar berurutan secara rapid an logis sehingga mendukung tercapainya tujuan. Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam melaksanakan Model mengajar: Pertama adalah tahapan mengajar, kedua adalah penggunaan model atau pendekatan mengajar dan ketiga penggunaan prinsip mengajar. (Nana Sudjana, 2011; 147). Berdasarkan pertimbangan arti-arti tersebut di atas, maka Model mengajar adalah sebagai sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Sebuah Model mengajar dapat dapat berlaku umum bagi semua guru bidang studi selama orientasi sasarannya sama, Dibandingkan dengan Model mengajar, Model mengajar sebenarnya masih relatif baru dalam dunia pengajaran . Ia baru mulai popular setelah Hilda Taba pada tahun 1960-an menjelaskan kiat-kiat khusus pengajaran kecakapan berpikir untuk anakanak (tardif, 1989). Model mengajar di atas tidak terlepas dari Model mengajar , karena merupakan kiat praktis yang dipakai guru untuk mengajarkan materi pelajaran tertentu dengan Model mengajar tertentu pula, seperti Model ceramah, Model ceramah plus, dan sebagainya (Muhibbinsyah, 2011;210). Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada anak untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang baru. Pendidik merancang tentang Model, materi, media, lingkungan belajar, tujuan serta kegiatan apa saja yang akan dilakukan untuk belajar bagi anak. Pembelajaran yang menyenangkan dan melibatkan keaktifan anak serta adanya permainan di dalamnya akan membuat proses belajar menjadi aktif dan tidak membosankan. Lebih dari itu, pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh anak akan bertahan lama dan membentuk konsep pada diri anak bahwa belajar adalah hal yang asyik dan menyenangkan. Menurut Gagne, Briggs, dan wagner dalam Udin Winataputra (2008: 23) pengertian pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan
terjadinya proses belajar pada siswa. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkingan belajar. Ciri utama dari pembelajaran adalah inisiasi, fasilitasi dan peningkatan proses belajar siswa. Sedangkan komponen – komponen pembelajaran adalah tujuan, materi, kegiatan dan evaluasi pembelajaran. Teknik model pembelajaran make a match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994: 54). Salah satu keunggulan tehnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Make-A Match (Lorna Curran 1994: 54) adalah salah satu permainan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban. 2. Setiap peseta didik mendapatkan satu kartu. 3. Tipe peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipengang. 4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban). 5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu akan diberi point. 6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya. 7. Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut diatas. 8. Kesimpulan/penutup. Pada penerapan Model make a match, diperoleh beberapa temuan bahwa Model make a match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang menitik beratkan pada gotong royong dan kerja sama kelompok.” adapun kelemahan dan keunggulan yang diuraikan adalah sebagai berikut: Kelebihan Model Make a Match adalah Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan, Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa, Mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar secara klasikal 87,50%, Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them move), Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis, Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa. Kekurangan Model Make a Match adalah diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan, Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran, Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai, Pada kelas yang gemuk (<30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali.
Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas di kiri kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa sebelum ‘pertunjukan’ dimulai. Pada dasarnya mengendalikan kelas itu tergantung bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan. Jadi Berdasarkan pada kegiatan belajar mengajar penggunaan Model make a match, siswa nampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan soal. Dengan Model pencarian kartu pasangan ini siswa dapat mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya dan menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama. Matematika merupakan alat untuk memberikan cara berpikir, menyusun pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti. Hudojo (2005) menyatakan, matematika sebagai suatu obyek abstrak, tentu saja sangat sulit dapat dicerna anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang mereka oleh Piaget, diklasifikasikan masih dalam tahap operasi konkret. Siswa SD belum mampu untuk berpikir formal maka dalam pembelajaran matematika sangat diharapkan bagi para pendidik mengaitkan proses belajar mengajar di SD dengan benda konkret. Heruman (2008) menyatakan dalam pembelajaran matematika SD, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas. Selanjut Heruman menambahkan bahwa dalam pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Sehingga diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful), siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together). Siswa Sekolah Dasar (SD) berada pada umur yang berkisar antara usia 7 hingga 12 tahun, pada tahap ini siswa masih berpikir pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret (Heruman, 2008). Siswa SD masih terikat dengan objek yang ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak menggunakan media sebagai alat bantu, dan penggunaan alat peraga. Karena dengan penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih cepat memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas dari dua hal yaitu hakikat matematika itu sendiri dan hakikat dari anak didik di SD. Suwangsih dan Tiurlina (2006) menyatakan ciri-ciri pembelajaran matematika SD yaitu: 1. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral Pendekatan spiral dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan di mana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya, topik sebelumnya merupakan prasyarat untuk topik baru, topik baru merupakan pendalaman dan perluasan dari topik sebelumnya. Konsep yang diberikan dimulai dengan benda-benda konkret kemudian konsep itu diajarkan kembali dengan bentuk pemahaman yang lebih
abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum digunakan dalam matematika. 2. Pembelajaran matematika bertahap Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit, selain pembelajaran matematika dimuali dari yang konkret, ke semi konkret, dan akhirnya kepada konsep abstrak. 3. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun karena sesuai tahap perkembangan siswa maka pada pembelajaran matematika di SD digunakan pendekatan induktif. 4. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya pertentangan antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar jika didasarkan kepada pernyataan-pernyataan sebelumnya yang telah diterima kebenarannya. Meskipun di SD pembelajaran matematika dilakukan dengan cara induktif tetapi pada jenjang selanjutnya generalisasi suatu konsep harus secara deduktif. 5. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna Pembelajaran matematika secara bermakna merupakan cara mengajarkan materi pelajaran yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan. Dalam belajar bermakna aturan-aturan, dalil-dalil tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya aturan-aturan, dalil-dalil ditemukan oleh siswa melalui contoh-contoh secara induktif di SD, kemudian dibuktikan secara deduktif pada jenjang selanjutnya. Tentunya dalam mengajarkan matematika di Sekolah Dasar tidak semudah dengan apa yang kita bayangkan, selain siswa yang pola pikirnya masih pada fase operasional konkret, juga kemampuan siswa juga sangat beragam. Hudojo (2005) menyatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajarkan matematika di tingkat sekolah dasar yaitu sebagai berikut: 1. Siswa Mengajar matematika untuk sebagian besar kelompok siswa berkemampuan sedang akan berbeda dengan mengajarkan matematika kepada sekelompok kecil anak-anak cerdas, sekelompok besar siswa tersebut perlu diperkenalkan matematika sebagai suatu aktivitas manusia, dekat dengan penggunaan sehari-hari yang diatur secara kreatif (oleh guru) agar kegiatan tersebut disesuaikan dengan topik matematika. Untuk siswa yang cerdas, mereka akan mudah mengasimilasi dan mengakomodasi teori matematika dan masalah-masalah yang tertera dalam buku teks. 2. Guru Ada dua orientasi guru dalam mengajar matematika di SD sebagai berikut: a. Keinginan guru mengarah ke kelas sebagai keseluruhan dan sedikit perhatian individu siswa baik reaksinya maupun kepribadian. Biasanya mereka membatasi dirinya ke materi matematika yang distrukturkan ke logika matematika. Mengajar matematika berarti mentranslasikan sedekat-dekatnya ke teori matematika yang sama sekali mengabaikan kesulitan yang dihadapi siswa.
b. Guru tidak terikat ketat dengan pola buku teks dalam mengajar matematika. Ia mengajar matematika dengan melihat lingkungan sekitar bersama-sama dengan siswa untuk mengeksplor lingkungan tersebut. Kegiatan matematika diatur sedekat-dekatnya dengan lingkungan siswa sehingga siswa terbiasa terhadap konsep-konsep matematika. 3. Alat Bantu Mengajar matematika di lingkungan SD, harus didahului dengan bendabenda konkret. Secara bertahap dengan bekerja dan mengobservasi, siswa dengan sadar menginterpretasikan pola matematika yang terdapat dalam benda konkret tersebut. Model konsep seyogianya dibentuk oleh siswa sendiri. Siswa menjadi “penemu” kecil. Siswa akan merasa senang bila mereka “menemukan”. 4. Proses Belajar Guru seyogianya menyusun materi matematika sedemikian hingga siswa dapat menjadi lebih aktif sesuai dengan tahap perkembangan mental, agar siswa mempunyai kesempatan maksimum untuk belajar. 5. Matematika Yang Disajikan Matematika yang disajikan seyogianya dalam bentuk bervariasi. Cara menyajikannya seyogianya dilandasi latar belakang yang realistik dari siswa. Dengan demikian aktivitas matematika menjadi sesuai dengan lingkungan para siswa. 6. Pengorganisasian Kelas Matematika seyogianya disajikan secara terorganisasikan, baik antara aktivitas belajarnya maupun didaktiknya. Bentuk pengorganisasian yang dimaksud antara lain adalah laboratorium matematika, kelompok siswa yang heterogen kemampuannya, instruksi langsung, diskusi kelas dan pengajaran individu. Semua itu dapat dipilih bergantung kepada situasi siswa yang pada dasarnya agar siswa belajar matematika. Dengan memperhatikan keenam hal di atas, sangat diharapkan pembelajaran matematika menyenangkan bagi siswa dan pembelajaran matematika menjadi efektif sehingga siswa tidak hanya mampu menghafal konsep-konsep matematika, tetapi juga harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, jadi sangat diharapkan dalam proses pembelajaran yang dipraktekkan guru juga melibatkan dan mengaktifkan siswa dalam proses menemukan konsep-konsep matematika. Sehingga pembelajaran matematika di sekolah dasar mampu mengembangkan kompetensi-kompetensi matematika seperti yang terdapat dalam kurikulum matematika. Pada kondisi awal peneliti belum menggunakan Model pelajaran Make-A Match, motivasi dan hasil belajar siswa pada pelajaran IPS masih rendah. Model pembelajaran Make A Match dapat membuat siswa bergairah, bersemangat, karena Model pembelajaran ini bersifat permainan. Setelah peneliti melakukan tindakan dengan menggunakan Model pembelajaran Make A Match ini ternyata motivasi dan hasil belajar siswa meningkat pada siklus I dan II. Berdasarkan uraikan yang telah diuraikan oleh peneliti pada kajian teori, pada hakekatnya kegiatan pembelajaran merupakan proses komunikasi antara guru dan siswa. Agar tidak menimbulkan suasana yang monoton sehingga tidak membuat siswa jenuh guru harus dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan komunikasi yang
memberikan kemudahan bagi siswa agar mampu menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Pada kenyataannya komunikasi dalam proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Guru menggunakan Model pembelajaran yang monoton yaitu ceramah. Hal tersebut dapat membuat siswa hanya menerima informasi saja tanpa adanya kegiatan praktek, sehingga membuat siswa menjadi cepat bosan dan mengantuk hal tersebut membuat materi yang disampaikan oleh guru tidak dapat diterima dengan sempurna. Siswa tidak memiliki kreatifitas, tidak mempunyai kesempatan berpartisipasi aktif dalam KBM sehingga prestasi belajar yang dihasilkan rendah. Keadaan seperti ini memerlukan suatu perbaikan, salah satu diantaranya yaitu dengan menerapkan Model pembelajaran yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas Kegiatan Belajar Mengajar. Oleh karena itu diharapkan guru sebagai fasilitator dapat menerapkan Model serta menggunakan Model dan media yang variatif dalam proses pembelajaran. Urntuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal tersebut, penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match diharapkan dapat memberikan manfaat dalam kegiatan pembelajaran. Diantaranya yaitu siswa mampu berfikir kreatif dan imajinatif, siswa lebih aktif baik dalam kegiatan belajar kelompok maupun belajar mandiri, memudahkan pemahaman siswa sehingga kualitas pembelajaran meningkat serta hasil belajar akan tercapai secara maksimal. Berdasarkan beberapa masalah diatas peneliti berusaha mencari pemecahan masalahnya yaitu menerapkan Model pembelajaran Make A Match untuk meningkatkan kualitas dan hasil belajar Matematika serta menjelaskan langkah-langkahnya. Jika diterapkan model Pembelajaran Make A Macth maka aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran Matematika akan meningkat. Meningkatnya aktivitas ini dapat dilihat dari keaktifan siswa selama proses belajar mengajar seperti terlihat dalam observasi yang dilakukan dalam hal : 1. Aktif dalam permainan kartu 2. Mencari pasangan kartunya sndiri tanpa bantuan teman/siswa lain 3. Kerja sama dalam kelompok 4. Tanggung jawab dalam permainan 5. Aktif dalam penyelesaian tugas permainan METODE PENELITIAN Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SD Negeri No. 158/V Lampisi Tanjung Jabung Barat Jambi. Subjek penelitian adalah siswa kelas IV pada semester I tahun pelajaran 2014/2015 dengan jumlah siswa 17 orang yang terdiri dari 11 orang siswa laki-laki dan 6 orang siswa perempuan. Penelitian dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip penelitian tindakan kelas dengan menggunakan siklus-siklus tindakan. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan bahasan penelitian tindakan dengan menggunakan model pembelajaran Make A Match, dengan skenario kerja yaitu memberikan kepada siswa tentang penelitian yang akan dilakukan serta teman sejawat yang bertindak sebagai pengamat dalam penelitian yang meliputi : Tujuan penelitian
Memperbaiki keterampilan bertanya pada bidang studi matematika dengan menggunakan model Make A Match. Menjelaskan tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa pada setiap siklus. Memberikan arahan pada teman sejawat cara mengisi lembar observasi Menetapkan tugas masing-masing pada pengamat. Pada tahap ini dilakukan pengamatan berdasarkan skenario yang telah disiapkan dan peneliti mencatat semua yang terjadi agar memperoleh data yang akurat demi memperbaiki pada siklus selanjutnya. Untuk mengumpulkan data penulis menyiapkan: 1.Lembar observasi yang di gunakan untuk mencatat hasil pengamatan tentang perilaku siswa dalam keaktifan, menjelaskan, bertanya, menjawab pertanyaan memberi pendapat. 2. Buku catatan harian yang di gunakan untuk mencatat semua tindakan belajar siswa seperti skors hasil belajar. Melakukan refleksi adalah mengingat, merenungkan, mencermati, sintesis, dan menganalisis kembali tindakan yang telah dilakukan sebagaimana yang telah di catat dalam observasi. Refleksi dalam penelitian tindakan kelas berusaha memahami proses masalah,persoalan dan kendala yang nyata dalam tindakan yang telah di lakukan selama proses pembelajaran.Agar refleksi di lakukan secara lebih bagus sebaiknya peneliti melakukan diskusi dengan pengamat melalui diskusi dengan pengamat dapat memberikan dasar bagi perbaikan rencana tindakan selanjutnya. Jika terdapat masalah dari proses refleksi, maka sudah seharusnya guru sebagai peneliti melakukan proses pengkajian ulang pada siklus berikutnya yang meliputi kegiatan rencana ulang,tindakan ulang dan observasi ulang sampai permasalahan tersebut dapat di atasi. Kriteria keberhasilan yang diterapkan berdasarkan model yang dilakukan melalui penelitian tindakan kelas dalam 3 siklus tindakan berhasil meningkatkan hasil belajar siswa dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : 1. Siswa yang memperoleh nilai di atas KKM sebesar 80% dari jumlah siswa 2. Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM ) yang ditetapkan pada mata pelajaran matematika siswa mencapai nilai 60 3. Adanya peningkatan Aktivitas yang terlihat dari hasil observasi HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Penerapan. Model Pembelajaran Kooperatif “Make A Match” Penerapan Model pembelajaran kooperatif “make a match” pada kompetensi dasar Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana dilaksanakan pada pembelajaran dalam setiap siklus, yaitu: siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 diterapkan untuk pembelajaran materi sifat-sifat bangun ruang sederhana. Dalam pembelajaran materi sifat-sifat bangun ruang sederhana dengan Penerapan Model pembelajaran kooperatif “make a match” mengantarkan peserta didik semakin baik hasil belajarnya karena mudah, tidak meyulitkan, menyenangkan dalam permainan dan tidak membosankan peserta didik, sehinga mereka dapat merespon materi pembelajaran dengan baik dan dapat memenuhi tujuan pembelajaran. 2. Aktivitas Belajar. Penerapan Model pembelajaran kooperatif “make a match” mengantarkan menjadikan aktivitas belajar peserta didik pada kompetens dasar Menentukan sifat-
sifat bangun ruang sederhana mengalami peningkatan. Hal ini dikarekan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu: a. Faktor Internal (yang berasal dari dalam) seperti: kesehatan, intelegensi dan bakat, minat dan motivasi, cara belajar serta pengetahuan tentang ilmu yang serumpun. b. Faktor Eksternal (yang berasal dari luar) yaitu: keluarga, sekolah/madrasah, masyarakat dan lingkungan. Dengan Model pembelajaran kooperatif “make a match” hasil belajar peserta didik kelas IV ssemester 1 SD Negeri No. 158/V Lampisi mengalami peningkatan, siklus 1 (62), Siklus 2 (68) dan siklus 3 (77)
BAB V SIMPULAN DAN SARAN Dengan menggunakan model Make A Match Aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran matematika kelas IV SD Negeri No. 158/V Lampisi meningkat. Agar proses pembelajaran seperti ini dapat terus berlangsung dan hasil belajar peserta didik dapat terus meningkat, maka pihak sekolah dan pendidik perlu melakukan: 1. Pendidik selalu membantu dan memotivasi peserta didik untuk terbiasa membuat fariasi dan inofasi dalam pembelajaran, agar paserta didik tidak bosan dalam pembelajaran, dan timbul rasa senang serta percaya diri, juga tidak malu dan takut dalam berinteraksi dengan sesama peserta didik 2. Pendidik harus memiliki sikap keterbukaan, kesediaan menerima kritik dan saran terhadap kelemahan-kelemahan dalam proses pembelajaran. 3. Pihak sekolah agar mendukung para pendidik untuk mengembangkan macammacam model pembelajaran dalam proses pembelajaran agar selalu ada peningkatan kualitas pembelajaran baik dalam proses maupun hasil belajar peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. . 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta. Dimyati, Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Kunandar. 2008. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Jakarta : PT. Grasindo. Muhibbinsyah. 2013. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Sagala, Syaiful, H. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta Indonesia. Sanjaya, Wina . 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sugiyono. 2009. Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung : CV. Alfabeta. Suprijono, Agus. 2010. Cooperatif Learning (teori dan aplikasi PAIKEM). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Surakhmad, W, 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito. 73 Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran (mengembangkan profesionalisme guru). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Wijaya, Dedi, 2009. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta : Indeks. Zain, Asman. 2002. Strategi belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.