Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL MELALUI DOLANAN ANAK: STUDI TENTANG DOLANAN ANAK ”SUDAMANDA” DALAM PESPEKTIF TEORI PENDIDIKAN JOHN DEWEY1
RR. Siti Murtiningsih Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Perkembangan teknologi berdampak penting bagi dunia pendidikan, terutama permainan anak. Seperti diungkap Johan Huizinga (1990), manusia adalah homo ludens, manusia yang bermain. Dalam permainan, manusia mengenali dunianya, dan menjadikan permainan sebagai media pedagogik yang efektif untuk transfer nilai, selain transfer pengetahuan. Permainan anak modern berbasis teknologi membawa persoalan pedagogik, di samping pengaruh positif dan negatif. Jenis permainan berteknologi digital misalnya Game Boy, Playstation 1-2-3, Nintendo, kini menggusur permainan anak lokal dan tradisonal. Penelitian Murtiningsih (2004), menemukan efek negatif permainan ini, seperti perilaku agresif, dan sikap a-sosial pada anak. Sementara itu penelitian Suyami, seorang peneliti naskah kuno permainan tradisional, menemukan bahwa di Jawa, hampir 90 persen dari 417 jenis permainan tradisional anak terancam punah, termasuk permainan tradisional anak ”sudamanda” sebagai permainan yang sangat terkenal pada masanya. Sebagai produk kebudayaan lokal, permainan anak tradisonal memuat aspek edukatif, terutama dimensi etik dan moral yang berbasiskan pada tata nilai lokal. Nilai-nilai pedagogis yang memcerminkan moralitas dan jati diri lokal ini kian langka digerus oleh globalisasi. Globalisasi telah mengakibatkan pergeseran dalam cara pergaulan tradisional, dan juga menyempitnya ruang publik, berdampak pada hilangnya ruang bermain sebagai media pendidikan anak. Penelitian ini bertujuan menelisik lebih jauh aspek pedagogis yang termuat pada permainan anak ”sudamanda” itu. Persoalan ini akan dikupas dimensi filsafat pendidikan dari perspektif multikultural, sebagaimana digagas filsuf pendidikan John Dewey, terutama dalam karyanya ”Experience and Education” (1961) dan ”Democracy and Education” (1916)”. Melalui paham progresivisme Dewey, akan dilihat bagaimana peran permainan anak tradisonal seperti ”sudamanda” itu bisa berperan menjadi alat tranfer nilai yang menyandingkan nilai budaya lokal dalam arus budaya global. Kata kunci : filsafat pendidikan, permainan anak, globalisasi, multikulturalisme, John Dewey
1
Makalah dipresentasikan pada Seminar Internasional Multikultural dan Globalisasi, 12-13 Desember 2012
153
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
1. Intisari Penelitian ini bermaksud mengidentifikasi tentang adanya aspek-aspek pedagogis dalam dolanan anak tradisional Jawa “Gebrak Gunung”. Kemudian diupayakan sebuah refleksi filosofis atas gambaran tersebut guna menemukan filsafat pendidikan yang berada dalam dolanan anak tersebut. Penelitian ini memakai analisis data dengan metode hermeneutika filosofis. Pada tahap pertama, mengumpulkan data dengan jalan menginventarisasi data empiris berupa jenis dolanan anak ”Sudahmanda”, dan artikel-artikel maupun bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan subjek yang diteliti. Jadi, objek material penelitian ini adalah dolanan anak tradisional Jawa ”Sudahmanda”. Pada tahap kedua, menganalisis data dengan melakukan refleksi filosofis terhadap nilai-nilai pendidikan yang diajarkan dari dolanan anak tersebut di atas guna menemukan filsafat pendidikannya. Hasil penelitian ini adalah: 1). Permainan anak tradisional “Sudahmanda” merupakan permainan anak tradisional yang sangat popular di Jawa pada jamannya. Permainan “Sudahmanda” merupakan permainan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki. 2). Permainan anak tradisional Jawa “Sudahmanda” memuat nilai-nilai pedagogis seperti nilai kecermatan, kepekaan sosial, kemampuan anak untuk menilai perbuatan baik dan buruk, menumbuhkan jiwa sportivitas, kreativitas, kompetisi, dan nilai strategi ekonomi. Permainan anak tradisional ini memperlihatkan dengan jernih adanya aspek pedagogis mengenai kecermatan, strategi ekonomi, dan semangat sportivitas. Dan, adanya nilai kepekaan social, kreativitas, dan semangat kompetisi. 3). Permainan anak tradisional “Sudahmanda” mengandung nilai-nilai pedagogis yang sejalan dengan filsafat pendidikan progresivisme. Filsafat pendidikan progresivisme mengatakan bahwa pendidikan akan efektif seandainya dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Belajar sambil bermain membuat anak didik merasa gembira, sehingga transfer pengetahuan dapat terjadi efektif tanpa anak didik merasa tertekan karenanya.
2. Pendahuluan 2.1. Latar Belakang Penelitian (Permasalahan) Perkembangan teknologi akibat tuntutan modernisasi-globalisasi tak pelak lagi memunculkan budaya asing. Akibat ini, contoh paling nyata adalah fenomena maraknya berbagai jenis dan macam jenis permainan anak-anak: game boy, playstation 1-2-3, nitindo, dan lain sebagainya. Akhirnya budaya lokal pun menjadi terpinggirkan. Menurut penelitian Murtiningsih (2004), permainan modern ini disamping berdampak positif, rupanya banyak pengaruh negatifnya, seperti misalnya anak menjadi agresif, dan lebih parah lagi yakni anak menjadi a-sosial. Padahal benar apa yang dikatakan Johan Huizinga (1990) dalam bukunya ”homo ludens”, dan juga pakar flokore indonesia James Dananjaya bahwa manusia merupakan homo ludens, bahkan binatang sekalipun juga bermain. Bermain menjadi penting karena ia menjadi media pedagogi yang efektif untuk transfer value, dan ini adalah inti pendidikan, disamping tentu saja sebagai sarana transfer knowledge.
154
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
Sementara itu, menarik memperhatikan hasil penelitian Suyami (peneliti naskah kuno permainan tradisional) yang menemukan bahwa di Jawa terdapat 417 jenis permainan tradisional anak, diantaranya hampir 90% seiring jaman, permainanpermainan itu sekarang sudah hampir punah. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa diantara jenis permainan anak tersebut, permainan “sudahmanda” adalah permainanpermainan yang paling terkenal pada massanya. Jenis-jenis permainan anak tradisional ini tentu saja memuat banyak nilai-nilai edukatif yang bisa dieksplorasi. Dan, nilai-nilai pedagogis yang mengajarkan tentang budi pekerti luhur sebagaimana tercermin melalui berbagai macam dolanan anak ini kiranya di era arus deras globalisasi sekarang ini menjadi sangat jarang ditemukan. Globalisasi telah mengakibatkan pergeseran dalam pergaulan masyarakat tradisional. Hal ini terlihat dari semakin menyempitnya ruang publik, ruang bermain sebagai media pendidikan anak-anak generasi bangsa. Disinilah kemudian penelitian ini memperoleh konteksnya, yakni untuk menelisik lebih jauh aspek-aspek pedagogis apa sajakah yang termuat di dalam jenis permainan anak ”sudahmanda” tersebut. Hal ini penting untuk menelisik lebih jauh filsafat pendidikan bagaimanakah kiranya yang tergambar di dalam permainan anak tradisional ”sudahmanda” tersebut? ”Sudahmanda” dipilih mewakili jenis permainan tradisional anak yang populer pada massanya sampai dengan sekarang. 2.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran adanya nilai-nilai pedagogis yang terkandung di dalam jenis dolanan anak ”sudahmanda”. Gambaran tersebut berguna untuk menelisik lebih jauh mengenai filsafat pendidikan yang tergambar di dalamnya. 2.3. Tinjauan Pustaka Dunia anak adalah dunia bermain, dunia permainan, demikian banyak pakar pendidikan berseru. Dunia permainan memberikan keleluasaan kepada anak untuk berekspresi tentang angan-angan dan cita-cita hidup. Di samping itu, dunia bermain bagi anak juga akan memberikan apresiasi yang merdeka tentang penghayatan kodrat sebagai anak yang penuh dengan keceriaan dan kegembiraan. Namun demikian, dunia itu sekarang sudah sangat jarang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai permainan masa lalu seperti congklak, bola bekel, cublak-cublak suweng, kuda bisik, gasingan, egrangan dan masih banyak lagi, kini sudah tergantikan dengan gameboy, playstation, mainan sejenis yang semuanya merupakan produk yang muncul akibat dari derasnya arus global. Nilai-nilai edukatif yang semestinya termuat di dalam lokal wisdom berupa dolanan anak tersebut pelan-pelan lenyap. Padahal, menurut Suyami dalam Kompas 18 April 2006), dengan dolanan anak yang notabene di dalamnya juga memuat langen cerita, merupakan media pembentukan karakter pribadi seseorang yang dapat ditanamkan sejak dini. Dan media yang paling efektif untuk itu adalah melalui pendidikan (Siti Murtiningsih, 2004;5). Pendidikan merupakan usaha manusia secara sadar dan terus menerus membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan kebudayaannya. Karena kita tahu bahwa manusia tidak dilahirkan dengan kepribadian modern namun menjadi demikian karena dibentuk oleh pengalaman semasa hidupnya. Pembentukan kepribadian modern itu berjalan dengan intensif jika seseorang hidup dalam lingkungan yang kondusif bagi terjadinya perubahan-perubahan (Zaeni Hasan; 1987) Proses pembentukan kepribadian itu berlangsung di dalam pendidikan. 155
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
Bangunan sosial ekonomi dalam tingkat perkembangan masyarakat modern dewasa ini yang didukung oleh ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi mensyaratkan adanya kemajuan penyelenggaraan dalam bidang pendidikan. Kemajuan pendidikan yang sangat pesat menjadikan bangsa yang terdidik dan berkualitas lebih percaya diri dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompetitif dan bersifat global. Pendidikan dengan demikian merupakan kunci masa depan. Pendidikan membekali masyarakat perangkat sikap, cara pandang, dan nilai-nilai yang relevan untuk masa mendatang (Myra Diarsi; 1989). Dan nilai-nilai edukatif yang mengajarkan tentang budi pekerti luhur dan kedewasaan sikap yang berlandaskan pada budaya adi luhung sebagaimana tercermin melalui berbagai macam dolanan anak, kiranya di era arus deras globalisasi sekarang ini menjadi sangat jarang ditemukan. Globalisasi telah mengakibatkan pergeseran dalam pergaulan masyarakat tradisional. Hal ini terlihat dari semakin menyempitnya ruang public, ruang bermain sebagai media pendidikan anakanak generasi bangsa. Padahal melalui permainan anak tradisional ini sebenarnya anak-anak Indonesia bisa belajar untuk merepresentasikan bagaimana bangsa Indonesia tengah bergulat dalam menemukan identitas dan mengalami keindonesiaan baru. Hal ini bias dilihat bahwa permanianan tradisional dapat dipastikan menggunakan bahasa daerah sehingga menunjukkan ciri budaya lokal yang kuat. Bahkan penggunaan bahasa daerah ini juga tidak mungkin diganti oleh bahasa lain karena dapat menghilangkan makna simbolis yang terkandung dalam permainan tersebut. Disamping itu, permainan anak-anak biasanya dilakukan pada usia dini, sehingga apa yang ada dalam permainan ini mudah diserap dan mengendap dengan kuat dalam bawah sadar seseorang. Dari sinilah terbangun jati diri seseorang, sebuah komunitas, sebuah suku bangsa, ataupun suatu bangsa. Sebagai salah satu unsur budaya, dolanan dan permainan tradisional memiliki fungsi positif dalam membangun identitas sosial. Namun demikian, perubahan masyarakat dan kebudayaan merupakan sebuah proses yang tidak dapat ditolak dan dihindari. Sementara itu gelombang masuknya unsur-unsur permainan asing ke Indonesia seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang mulai menjangkau daerah pedesaan memberi kontribusi pada makin surutnya permainan anak-anak tradisional di tengah kehidupan anak-anak dan keluarga Jawa. Sebuah riset yang dilakukan pada tahun 1997 di kalangan anak-anak sekolah di Bantul, sebagaimana dimuat di Kedaulatan Rakyat (26 Agustus 2006), menunjukkan bahwa dari 30 jenis permainan anak tradisional yang ada di Yogyakarta, hanya 13 jenis permainan saja yang masih dikenal. Selebihnya sudah tidak dikenal lagi, bahkan oleh para guru yang menjadi responden yang berusia sekitar 40 tahun. Fenomena ini meng asumsikan bahwa 13 jenis permainan yang masih dikenal itu pun tidak sepenuhnya tetap menjadi dolanan dan sering dimainkan anak-anak, seperti contohnya permainan anak dhakon. Dhakon adalah jenis permainan yang lahir dalam tradisi masyarakat agraris. Lubang-lubang berisi kecik yang terdapat pada papan dhakon memiliki nama khas, yaitu lumbung, sawah, ngacang, dan bera. Permainan ini mengajarkan bagaimana anak-anak perempuan di pedesaan harus pandai mengolah “sawah”, mengisi “lumbung”, bahkan “ngacang” atau nandur kacang. Saat ini, sudah tidak banyak anak-anak perempuan bermain dhakon. Padahal industri kerajinan dhakon mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Para pengrajin
156
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
kayu banyak memproduksi dhakon dalam berbagai ukuran dan ukiran. Pembelinya memang cukup banyak, bahkan tak sedikit buyer asing yang mengekspor dhakon ke luar negri. Hanya saja, dhakon ini tak lagi berfungsi sebagai dolanan, tetapi kini menjadi pendukung interior. Dhakon pun mengalami pergeseran status, dari permainan tradisional anak-anak petani menjadi instrumen pendukung interior kaum priyayi. Padahal, banyak pakar pendidikan mensinyalir bahwa di dalam berbagai macam dolanan anak masa lalu tersebut, sebenarnya sarat akan muatan nilai-nilai pedagogis. Dan berbagai macam dolanan anak tersebut di atas ternyata tidak hanya populer di Indonesia. Dolanan anak ”Congklak” atau ”Dakon” misalnya saja juga dikenal dengan nama ”Cangka” di Srilanka dan Tungkayon di Thailand. Sementara itu di tengah-tengah masyarakat kita, juga dikenal dolanan anak Bola Bekel yang sebenarnya berasal dari Asia dengan sebutan permainan ”Western Chess”. Permainan yang menggunakan enam buah biji dan sebuah bola ini sesungguhnya telah dimainkan dan dikenal sejak jaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Saat itu, biji permainan ini dibuat dari tulang jari domba. Selain itu, permainan ”Sudahmanda” atau Ciplek Gunung” atau ”Gebrak Gunung” juga telah dikenal hampir di seluruh dunia. Di tanah air, nama dolanan anak tersebut dikenal demikian karena ujung tempat permainannya yang mirip gunung. Permainan ini dilakukan dengan melempar pecahan genteng atau batu. Sedangkan jenis dolanan anak ”Kuda Bisik” barangkali merupakan satu diantara jenias dolanan anak yang sampai sekarang masih populer dibanding dengan jenis dolanan anak yang lainnya. Hal ini bisa dibuktikan salah satunya karena jenis dolanan anak ini sudah diadopsi menjadi sebuah permainan kuis di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia dan beberapa stasiun televisi di manca negara (www.liputan6.com tgl 27/09/04). Permainan ”kuda bisik” merupakan jenis dolanan anak yang mengandalkan daya hafal dan kekompakan tim dan menariknya permainan ini dapat dimainkan oleh kalangan dari beragam usia. Diantara berbagai jenis dolanan anak yang populer sebut saja Dakon dan Sudahmanda. Menurut Suyamii (Kompas tanggal 18 April 2006) permainan ini pernah menjadi favorit anak-anak usia dini. Permainan sederhana dengan memindahkan mata dakon secara merata ke dalam tiap wadah ini sangat sarat dengan strategi ekonomi. Permainan ini merangsang anak untuk menganalisis strategi permainan dengan mengumpulkan mata dakon sebanyak mungkin ke dalam wadah tabungan. Dolanan anak dakon ini sangat murah, praktis dan mudah untuk dimainkan. Anak-anak tidak harus memainkan dakon dengan alat, papan dakon dapat digambar di atas tanah dan mata dakon dapat diganti kerikil kecil. Dolanan anak ini bisa melatih kecerdasan anak sekaligus memberikan keceriaan. Hampir mirip dengan dakon, begitu pula dengan jenis permainan populer lainnya, yakni ”Sudahmanda”. Inilah permainan yang biasa disebut dengan ingkling, atau sudahmanda, atau gebrak gunung, atau one-leg jump atau hopscotch. Arti permainan ini adalah berjalan atau melompat dengan satu kaki. Seperti namanya, inti permainannya adalah melompat dengan satu kaki. Permainan ini biasanya dimainkan oleh 2 anak atau lebih. Bila jumlah pemain lebih dari 2 orang, permainan dimulai dengan hom pim pa untuk menentukan peserta yang lebih dulu bermain. Menarik memperhatikan beragam permainan anak tradisional tersebut. Sebagai metode belajar dengan kreasi menyenangkan pastilah sangat efektif bagi dunia anakanak. Dan, berkaca dari dolanan anak-anak yang mulai dilupakan oleh orang seiring
157
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
dengan hadirnya teknologi televisi maupun teknologi mutakhir lainnya dapatlah mewakili dari situasi ini. Belajar sambil bermain, seperti melalui dolanan anak-anak tradisional sebagaimana disinggung di atas, dengan demikian justru perlu dibangkitkan demi pendidikan anak-anak. Anak-anak dengan demikian akan merasa senang belajar, tanpa tersiksa untuk mengunyah dan memperoleh pengetahuan. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan anak di jaman yang serba modern ini tidaklah mudah. Di satu sisi jaman ini memberikan berbagai banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak-anak memperoleh fasilitas yang serba “canggih” dan “wah”. Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal nitindo, game-boy, playstation dan berbagai jenis permainan yang amat jauh dengan jaman “ aku si anak singkong”. Kemajuan yang demikian cepat juga ditengarai membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif melalui media masa dengan teknologi yang sulit untuk dihindari. Misalnya: pornografi, kekerasan, konsumerisme, takhayul, klenik dan kemusyrikan. Berbagai kenyataan modernitas dan ketersediaan tersebut faktanya tidak sulit bahkan setiap hari disediakan baik oleh keluarga, masyarakat dan juga dunia informasi. Maraknya dunia periklanan memaksa informasi beredar lebih mudah, lebih seronok dan juga lebih merangsang rasa ingin tahu, rasa ingin mencoba sebagai akibat “rayuan maut” publikasi yang memang dirancang secara apik oleh para ahli komunikasi dengan biaya yang mahal dan dengan dampak meluas dan mendalam. Dapat dikatakan informasi-informasi tersebut dapat lebih cepat hadir daripada sarapan pagi kita, atau lebih cepat disantap daripada nasehat orang tua. Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “perjuangan, nilai-nilai, kebiasaan” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari). Sebagian ahli menyebut bahwa pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak. Lingkungan kedua adalah lingkungan masyarakat, atau lingkungan pergaulan anak. Biasanya adalah teman-teman seusia di lingkungan terdekat. Tipikal secara umum anak-anak Indonesia merupakan anak “kampung” yang selalu punya kawan ”dolanan”. Berbeda dengan anak kota yang sudah sejak dini terasing dari pergaulan karena berada di lingkungan kompleks yang individualistik. Dengan demikian, sebenarnya masih banyak pengaruh positif yang dapat diserap oleh anak-anak dari kearifan budaya masyarakat Jawa, sebagaimana tercermin pada berbagai jenis ’dolanan anak tradisional’. Masalahnya adalah bagaimana mengelaborasi nilai-nilai tersebut agar cocok dengan nilai-nilai modernitas yang berkembang di jaman sekarang. Salah satu cara efektif untuk itu adalah melalui pendidikan. Proses pendidikan yang berpijak dari kearifan lokal seperti nilai-nilai yang terkandung dalam dolanan anak, kiranya menjadi alternatif segar untuk menyusun suatu model pendidikan yang berperspektif multikultural. Dan, pendidikan dikatakan berhasil jika ditopang oleh tiga faktor, yakni heriditas, keluarga dan lingkungan.
158
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
3. Kerangka Penelitian Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens (1991) menyebut manusia sebagai homo ludens atau makhluk bermain. Bermain merupakan faktor penting dalam diri manusia. Faktor bermain ini sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autensitas, dan aktualisasi manusia di dalam hidupnya. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, kenikmatan, dan kebebasan. Hal tersebut hanya akan tercapai dalam alam dan susana kemerdekaan. Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, dan gembira. Manusia dalam rangka pendewasaan dirinya tersebut selalu tidak pernah lepas dari dunia dan lingkungan hidupnya. Lingkungan kondusif memungkinkan manusia mencapai pemenuhan dirinya. Dengan demikian hanya melalui pendidikanlah manusia bisa mencapai ini semua. Pendidikan menyediakan sarana dan prasarana sebagai media bagi manusia untuk mengembangkan potensi dirinya. Selama ini dalam dunia pendidikan dikenal adanya dua kubu paham yang masih tetap dijadikan rujukan untuk melihat sukses tidaknya proses pendidikan. Paham pertama adalah nativisme dan naturalisme, sedangkan paham lainnya adalah empirisme dan konvergensi. Nativisme dan naturalisme merupakan paham tradisional yang menyatakan bahwa berhasil tidaknya proses pendidikan hanya akan ditentukan oleh faktor heriditas atau bakat manusia. Kemungkinan manusia yang memiliki potensi heriditas rendah maka akan tetap rendah meskipun hingga dewasa ia memperoleh pendidikan sekalipun. Potensi yang dimiliki seseorang sifatnya adalah kodrati sehingga seorang anak yang terlahir jahat maka akan tetap memiliki sifat jahat sampai dewasa. Sebaliknya bagi anak yang terlahir dengan bakat baik maka ia akan tetap menjadi baik ketika dewasa. Perkembangan kepribadian seseorang dengan demikian tinggal menunggu saja dari hasil perkembangan bakat yang muncul dari setiap individu. Sementara itu, paham empirisme dan konvergensi merupakan paham yang dikatakan sebagai paham modern dalam pendidikan. Empirisme misalnya beranggapan bahwa perkembangan pribadi seseorang tergantung kepada faktor dari dunia luar. Dunia luar yang dimaksud adalah lingkungan, baik lingkungan mati maupun hidup. Lingkungan hidup itu meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan, sedangkan lingkungan mati meliputi benda-benda mati. Setiap lingkungan memiliki situasi sendiri-sendiri, ada situasi ekonomi, sosial, kebudayaan, dan keagamaan. Dan, pendidikan dengan semua aktivitasnya juga merupakan salah satu lingkungan tersebut. Sedangkan konvergensi adalah paham pendidikan yang berpandangan bahwa pertumbuhan dan perkembangan seseorang itu merupakan hasil perpaduan pengaruh yang berasal dari dua sumber, yakni pembawaan (heriditas) dan lingkungan. Pendidikan supaya berhasil baik menyaratkan adanya lingkungan yang kondusif sebagai wahana berlangsungnya pendidikan. Lingkungan yang kondusif ini menjadi sine qua non bagi berlangsungnya pendidikan yang baik. Dan berhasil tidaknya proses pendidikan seseorang tergantung pada besar kecilnya pembawaan serta situasi lingkungan ini.
4. Cara Penelitian 4.1. Bahan atau Materi Penelitian Materi penelitian ini adalah jenis dolanan anak tradisional ”sudahmanda”. Data pendukung lain berupa data kepustakaan, meliputi buku-buku dan berbagai artikel tentang dolanan anak tradisional dan mengenai filsafat pendidikan.
159
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
4.2. Cara Penelitian Keseluruhan prosedur penelitian ini menempuh enam tahap yang secara garis besar sebagai berikut: a). b). c). d). e). f). g).
Membuat desain penelitian Pengumpulan data, meliputi studi pustaka dan observasi participan. Kategorisasi data Analisis data Evaluasi hasil Seminar penelitian Penulisan laporan
Jadi, pada tahap ini pada prinsipnya adalah tindakan pengumpulan data dan instrumentasi. Adapun teknik yang digunakan dalam tindakan ini meliputi diantaranya wawancara mendalam, observasi partisipan, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan sebagai langkah pendukung guna kesempurnaan dan kejelasan analisis terhadap data yang sudah diperoleh. 4.3. Analisis Hasil Data yang sudah diperoleh, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan filosofis melalui metode Hermeneutika Filosofis (Bakker,1990). Langkahlangkah metodis yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut: a). Langkah pertama: deskripsi status masalah, yaitu mensistemastisasikan data yang diperoleh melalui studi pustaka maupun yang didapat melalui observasi partisipan sebagaimana disebut dalam bahan penelitian. Pengolahan data yang terkumpul ini masih bersifat deskriptif dan belum filosofis. Data-data yang relefan dicari untuk disusun secara sintesis induktif. b). Langkah kedua: mencari filsafat tersembunyi, yaitu diselidiki konsep filsafat tersembunyi dalam kasus perilaku, sikap dan pandangan yang ditemukan dalam dolanan anak tradisional “sudahmanda”. Pada langkah ini belum dilakukan penilaian terhadap sikap dan perilaku objek penelitian. Filsafat yang muncul dikomparasikan dengan filsafat yang lain. c). Langkah ketiga: evaluasi kritis atas filsafat tersembunyi dengan melakukan refleksi kritis trehadap filsafat tersembunyi yang melatarbelakangi data. d). Langkah keempat: penyusunan konsepsi filosofis tandingan, dengan mengajukan konsep filosofis peneliti yang diasumsikan akan memberi jawaban atas persoalan yang muncul dengan memberikan perspektif yang lebih tepat dan menyeluruh. e). Langkah kelima: memberikan saran alternatif. f). Langkah keenam: penyimpulan hasil penelitian. Jadi pada tahap analisis terhadap data yang sudah diperoleh, akan dilakukan secara simultan dan jalin menjalin dengan proses pengamatan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar terlihat persamaan dan perbedaannya berkaitan dengan fenomenafenomena yang diamati. Persamaan dan perbedaan ini akan memudahkan langkah untuk mengklasifikasikan berbagai fenomena yang ditemukan untuk kemudian diadakan evaluasi secara kritis sebelum akhirnya ditarik sebuah kesimpulan darinya.
160
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
5. Pembahasan 5.1. Deskripsi Temuan Empiris: Sejumlah Fakta Tentang Aspek-aspek Pedagogis dalam Permainan Anak Tradisional ”Sudahmanda” Permainan ini biasa disebut dengan nama ingkling, atau sudahmanda, atau gebrak gunung, atau one-leg jump atau hopscotch. Arti permainan ini adalah berjalan atau melompat dengan satu kaki. Inti permainan ini adalah melompat dengan satu kaki. Sesuatu yang harus dilompati adalah kotak-kotak yang digambar di atas tanah atau lantai semen. Sebagai alatnya, digunakan gacuk, benda pipih yang dilemparkan ke setiap kotak dan harus dilompati pada saat bermain. Bahan gacuk bisa berupa kereweng (pecahan genteng) ataupun pecahan tegel. Lempar gacuk-nya dan melompatlah dengan satu kaki. Kelilingi setiap kotak dan miliki sawah sebanyak-banyaknya, agar lawan semakin tak kuasa melompatkan kakinya. Gacuk mesti dilempar ke semua kotak yang dibuat, mulai dari kotak pertama hingga kotak pertama lagi. Kotak yang berisi gacuk tidak boleh diinjak, dan harus dilompati. Gacuk lawan juga tidak boleh terinjak, kalau terinjak akan terkena aturan menginjak gacuk sehingga giliran pun berpindah ke peserta lain. Gacuk juga tidak boleh terlempar ke kotak yang salah atau jatuh pada garis antar kotak. Jika terjadi, giliran juga akan berpindah ke peserta lain. Setiap peserta berlomba untuk menjadi orang pertama yang berhasil melemparkan gacuk ke semua kotak. Siapa yang lebih dulu, dialah yang berhak membuat sawah pada kotak tertentu. Namun, sebelum membuat sawah, peserta harus ingkling mengelilingi kotak dengan gacuk yang ditaruh di telapak tangan atas, kemudian melemparkan gacuk ke kotak tertentu dengan membelakangi arena permainan. Kotak tempat jatuhnya gacuk itulah yang berhak dibuat sawah.
Permainan ini cukup beragam. Ada ingkling pesawat yang susunan kotaknya berbentuk pesawat, kemudian ingkling gunung dan ingkling kitiran (kincir angin) yang bentuknya mirip gunung dan kitiran. Satu lagi adalah ingkling saruk yang dimainkan
161
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
dengan susunan kotak ingkling pesawat namun gacuk-nya di-saruk (ditendang menggunakan ujung kaki). Permainan ini biasanya dimainkan oleh 2 anak atau lebih. Bila jumlah pemain lebih dari 2 orang, permainan dimulai dengan hom pim pa untuk menentukan peserta yang lebih dulu bermain. Jika peserta hanya 2 orang atau hanya tinggal 2 orang yang beradu menentukan giliran main, maka dilakukan ping sut. Biasanya, setiap anak tersebut hingga kadang bermain curang dengan membalikkan lagi telapak tangan atau mengganti jari yang diadu. (Sumber diambil dari "http://id.wikipedia.org/wiki") 5.2. Filsafat Tersembunyi dalam Permainan Anak Tradisional “Sudahmanda” Berikut ini akan dideskripsikan konsepsi dominan yang terdapat dalam gagasan permainan tradisional anak “congklak” dan “gebrak gunung”, sehingga dapat ditemukan filsafat tersembunyi yang bersemayam dalam jenis permainan tersebut. a). Melatih Kecermatan dan Melatih Kepekaan Sosial. Permainan tradisional biasanya selalu dilakukan secara berkelompok, tidak saja dakon, gebrak gunung, juga kuda bisik. Akibatnya akan membangkitkan rasa saling membutuhkan antar anak sehingga tumbuh saling menghargai b). Melatih Kemampuan Anak untuk Menilai mana yang baik dan tidak baik. Misalnya ada anak yang bermain curang pasti temen-temennya akan memberi hukuman moral dengan tidak mengikutkan anak yang curang dalam permainan. c). Menumbuhkan nilai sportivitas d). Menumbuhkan nilai kejujuran e). Menumbuhkan kreativitas 5.3. Filsafat Tandingan Atas Permainan Anak Tradisional ”Sudahmanda Gunung” Pada tahap ini dimaksudkan untuk mengadakan refleksi kritis perihal konsepsi filosofis yang melatarbelakangi permainan anak tradisional ”sudahmanda”. Berdasarkan deskripsi data, terlihat ada beberapa hal yang menyangkut penilaian terhadap gagasan dominan dari jenis-jenis permainan anak tradisional tersebut. Dari penilaian-penilaian tersebut, terdapat filsafat tersembunyi yang muncul. Adapun beberapa hal penting dari filsafat tersembunyi itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Metode belajar dengan kreasi menyenangkan sangat efektif bagi dunia anakanak. Seperti, permainan anak-anak tradisional atau dolanan anak yang mulai dilupakan orang seiring dengan hadirnya produk teknologi maju, sebagaimana terlihat maraknya jenis-jenis permainan anak modern seperti gameboy, nitendo, dan playstation. Belajar sambil bermain, seperti dalam dolanan ini, justru perlu dibangkitkan kembali demi pendidikan anak-anak. Anak lebih merasa sedang bermain daripada sedang belajar, sehingga pengetahuan bisa tertransfer ke subjek didik tanpa anak merasa tertekan. Menilik aspek-aspek pedagogis yang termuat di dalam permainan anak ”Sudahmanda” kiranya menjadi menarik untuk mencermati filsafat pendidikan progresivisme. Progresivisme merupakan paham pendidikan yang menekankan akan pentingnya pengalaman di dalam setiap prosesnya. Pendidikan akan berjalan sukses andaikan ia dilakukan dengan suasana yang menyenangkan. Dan itu dapat dilakukan dengan cara bermain. Bermain menjadi faktor penentu sukses tidaknya pendidikan dilakukan. Tokoh pendidikan modern yang sudah lama dikenal di seluruh dunia sebagai
162
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
sosok pejuang bidang pendidikan yang mengedepankan faktor bermain di dalam prosesnya adalah John Dewey. 5.3.1. Eksperimentalisme sebagai Dasar Filsafat Pendidikan Progresivisme Konsep pendidikan Dewey didasarkan pada filsafat eksperimentalisme (Gutek, 1988:90). Eksperimentalisme memandang berpikir dan bertindak merupakan satu kesatuan dari proses pengalaman yang terus mengalir. Berpikir dan bertindak tidak terpisah, berpikir tidaklah sempurna sampai ia diuji oleh pengalaman. Filsafat eksperimentalisme Dewey sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan Darwinian. Dewey sepakat dengan pandangan sosial Darwinian yang menyatakan bahwa peran sosial terpenting sekolah adalah mempersiapkan individu dalam suatu masyarakat yang kompetitif. Kemajuan terjadi pada saat seorang individu menemukan dan menyempurnakan cara baru untuk berkompetisi dalam lingkungan sosialnya. Bagi Dewey, manusia tinggal dalam suatu dunia yang serba tidak pasti, yang selalu mengandung ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Interaksi antara manusia dan lingkungannya membutuhkan adanya pengalaman. Kunci dari konsep pengalaman dalam eksperimentalisme Dewey adalah pemikiran atas interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Melalui interaksi dengan lingkungan, setiap kejadian menambah pengalaman, dan pada saat bertemu lagi dengan situasi problematik, maka pengalaman berguna sebagai petunjuknya. Dengan demikian dasar filsafat eksperimentalisme Dewey dalam pendidikan bahwa anak adalah suatu makhluk hidup yang memiliki keinginan dan dorongan untuk bertahan hidup, bahwa anak hidup dalam suatu lingkungan, bahwa anak adalah seorang individu aktif yang berinteraksi dengan lingkungannya, bahwa interaksi ini menimbulkan problem-problem yang terjadi pada saat masing-masing mencari kepuasan dari keinginan-keinginan mereka, dan bahwa belajar memecahkan masalah akan selalu diuji dalam interaksi dengan lingkungannya (Gutek, 1988:90). 5.3.2. Pendidikan Progresif = Pendidikan dengan Metode “Problem-Solving” Pendidikan dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang tiada ujung. Akibat dari situasi ini memunculkan adanya berbagai macam konsep dan pandangan yang tidak saja berbeda namun saling bertentangan. Secara tradisional konservatif , kita dapat melihat pendidikan yang berorientasi pada pendidik. Anak dalam hal ini diibaratkan sebagai bejana kosong, meminjam istilah Paulo Freire, yang selalu harus diisi dengan pengetahuan dari pendidik yang jauh dari pengalaman kesehariannya. Akibatnya pendidikan cenderung bersifat otoriter. Pandangan pendidikan semacam ini tidak memberikan partisipasi pada anak di dalam proses pendidikannya. Akibatnya anak tidak memiliki kebebasan untuk berkembang secara maksimal sesuai bakat dan kemampuannya. Di lain pihak, ada pandangan liberal yang menghendaki pendidikan sebagai suatu proses yang progresif. Proses progresif adalah proses rekonstruksi pengalaman secara terus menerus dimana pendidikan bertugas melatih kemampuan berpikir anak didik dengan memberikan rangsangan-rangsangan secara ilmiah dan eksperimentasi. Proses pendidikan dengan demikian diarahkan untuk mengembangkan kemampuan anak didik secara bebas dan optimal. Inilah yang disebut sebagai pandangan kaum progresivisme. Pendidikan bagi progresivisme, sesuai namanya , menekankan pada aspek progres yakni perubahan dan perkembangan alamiah demi suatu kemajuan 163
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
(Brubacher, 1978:330). Anak lahir memiliki bakat dan kemampuan tumbuh dan berkembang melalui pertolongan pendidikan yang progesif. John Dewey adalah tokoh pendidikan yang berpijak pada aras yang kedua, pendidikan progresif dengan metode problem solving. Tekanan pendidikan progresif terletak pada kegiatan aktif dan kreatif anak. Anak diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan seluruh potensinya. Ia diberi kebebasan untuk mengembangkan dirinya. Anak menjadi pusat seluruh proses pendidikan. Melalui kebebasannya, anak belajar untuk merekonstruksi terus menerus pengalaman-pengalaman hidupnya . Bertitik tolak dari pengalaman, Dewey mengembangkan sebuah pendidikan yang progresif. Bagi Dewey, pengalaman harus disikapi dengan cara ilmiah-eksperimen melalui laboratorium. Melalui pengalaman manusia selalu dalam proses interaktif dengan lingkungannya, dan dengan eksperimen manusia memberi sentuhan baru pada lingkungannya (Samawi, 1995:14). Pendidikan dengan demikian haruslah sebagai proses rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman-pengalaman, melalui mana seseorang akan dapat memperoleh makna dari pengalaman-pengalamannya sekaligus peluang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman berikutnya (Dewey, 1961:76). Konsep pengalaman, boleh jadi memang menjadi inti pandangan Dewey mengenai pendidikan. Kunci untuk memahami diri dan dunia atau lingkungan sekitar, bagi Dewey, tidak lain adalah pengalaman-pengalaman manusia sendiri. Itulah barangkali yang menjadi alasan mengapa istilah pengalaman selalu di temukan dalam berbagai artikel Dewey, tidak hanya dalam bukunya Experience and Education. Pendidikan harus mampu menciptakan suatu situasi dimana anak didik dapat menghadapi dan memecahkan masalah seperti halnya orang-orang yang berinteraksi dengan dunianya. 5.4. Evaluasi Kritis Terhadap Muatan Pedagogis dalam Permainan Anak Tradisional ”Congklak” dan ”Gebrak Gunung” Pada tahap ini dimaksudkan untuk mengadakan refleksi kritis perihal konsepsi filosofis yang ternyata secara tersembunyi melatarbelakangi permainan anak tradisional ”Sudahmanda”. Berdasarkan deskripsi data, terlihat ada beberapa hal yang menyangkut penilaian terhadap gagasan dominan dari permainan anak tradisional ”Sudahmanda”. Dari penilaian-penilaian tersebut, terdapat filsafat tersembunyi yang muncul. Adapun beberapa hal penting dari filsafat tersembunyi itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Menganalisis permainan ”Sudahmanda”, maka akan ditemui kentalnya nuansa konstruksi kebersamaan yang sifatnya komunal di dalamnya. Hal ini terlihat dari kuatnya karakter-karakter permainan ”Sudahmanda” yang selalu terlihat mengalir tanpa menggurui. Artinya, belajar yang dilakukan dalam situasi yang menggembirakan, situasi bermain, secara eksistensial selalu menentukan berhasil tidaknya proses tranfer knowledge maupun tranfer value dalam pendidikan. Sebagaimana diketahui bahwa permainan anak-anak tradisional merupakan salah satu simbol identitas kultural. Permainan anak-anak tradisional merupakan aset budaya yang dapat membantu melestarikan jati diri sebagai individu, komunitas, maupun bangsa. Pemahaman anak pada permainan akan memudahkan anak-anak mempelajari pengetahuan. Selain itu, spirit dan nilai sosial dalam permainan tradisional bisa diserap oleh anak-anak. Proses pembelajaran yang mengedepankan aspek bermain menjadi sangat penting di dalam proses pendidikan. Bermain sebagai media belajar menjadi sangat jelas dalam dolanan bocah. Pelajaran bersosialisasi, toleransi, dan 164
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
bekerja sama mengalir secara alami. Dengan bermain, dunia anak mendapat ruang untuk di ekspresikan. Anak-anak menjadi terbiasa menyelesaikan konflik dan terjadi peningkatan perubahan kemandirian pada diri anak-anak. Dalam permainan anak tradisional ”Sudahmanda” ini bisa dilihat bahwa anak-anak bisa bermain bersama, tetapi di dalamnya juga ada konflik. Hal tersebut merupakan proses alami yang melatih anakanak untuk bersosialisasi. Anak-anak dengan keluguannya masih bisa berebut permainan maupun beradu argumen jika dirasa ada yang curang. Bagi anak-anak, dunia bermain adalah ladang luas tempat persemaian ekspresi dan kreasi sehingga imajinasi anak-anak menjadi tumbuh. Meski terkesan naif, ekspresi anak-anak itu tetaplah otentik, tak terduga, bahkan terkadang penuh kejutan. Dunia dolanan ternyata memiliki lebih banyak manfaat daripada mainan anak-anak jaman sekarang. ”Sudahmanda” melatih kemampuan olah fisik, olah strategi, dan kejelian membaca situasi serta menciptakan sebuah kesempatan. ”Sudahmanda” juga melatih kemampuan berhitung dan kejelian mengatur strategi, disamping juga melatih kreatifitas, kesabaran serta keberanian. Namun demikian, di atas semua itu, ”Sudahmanda”, keduanya mengajarkan satu unsur penting, yakni kebersamaan.
6. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan Setelah mengadakan penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, permainan anak tradisional “Sudahmanda” merupakan permainan anak tradisional yang sangat popular di Jawa pada jamannya. Permainan “Sudahmanda” merupakan permainan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak perempuan dan lakilaki. Kedua, permainan anak tradisional Jawa “Sudahmanda” memuat nilai-nilai pedagogis seperti nilai kecermatan, kepekaan sosial, kemampuan anak untuk menilai mana yang baik dan tidak baik, menumbuhkan jiwa sportivitas, kreativitas, kompetisi, dan nilai strategi ekonomi. Permainan anak tradisional “Sudahmanda” memperlihatkan dengan jernih adanya aspek pedagogis mengenai kecermatan, strategi ekonomi, dan semangat sportivitas. Sementara itu, permainan anak tradisional sudahmanda menonjolkan adanya nilai kepekaan sosial, kreativitas, dan semangat kompetisi. Ketiga, permainan anak tradisional “Sudahmanda” mengandung nilai-nilai pedagogis yang sejalan dengan filsafat pendidikan progresivisme. Filsafat pendidikan progresivisme mengatakan bahwa pendidikan akan efektif seandainya dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Belajar sambil bermain akan membuat anak didik lebih merasa gembira daripada sedang belajar, sehingga transfer pengetahuan dapat terjadi efektif tanpa anak didik merasa tertekan karenanya. 6.2. Saran Saran dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk menemukan jalan yang terang terhadap pemecahan masalah yang dihadapi. Saran ini ditujukan kepada peneliti berikutnya yang berminat mengkaji lebih jauh persoalan permainan anak tradisional. Bagi para peneliti berikutnya yang sejenis, diharapkan untuk bisa lebih mengeksplorasi jenis-jenis permainan anak tradisional yang lain secara kronologis, dari
165
Prosiding Seminar Internasional Multikultural & Globalisasi 2012
jenis-jenis permainan yang ada di Jawa maupun di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia, sehingga akan terlihat hasil penelitian yang lebih lengkap dan komprehensif.
Daftar Pustaka Agger, Ben, (2003), Teori Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bakker, A., dan Charris Z.,A., (1990), Metode Penelitian Filsafat, Yogyakarta: PT. Kanisius. Brubacher, (1978), Modern Philosophy of Education, New York: Mc Graw-Hill. Dewey, John, (1961), Experience and Education, New York: Simon &Schuster Gutek, Gerald L., (1988), Philosophical and Ideological Perspectives on Education, , New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs Huizinga, Johan, (1990), Homo Ludens, Jakarta: LP3ES. Kneller, Douglas, (2003), Teori Sosial Radikal, Yogyakarta: Syarikat Indonesia. Mattews, Gareth B., (2003), Anak-anak pun Berfilsafat, Bandung: Mizan. Mayke S., Tedjasaputra, (2005), Bermain, Mainan, dan Permainan, Jakarta: Grasindo. Diarsi, Myra, (1989), “Bias Gender Pendidikan”, dalam Radar, seri 6-1989, Jakarta Sastrapratedja, M., (1982), “Dari Utopia ke Ideologi, dari Ideologi ke Aksi dan Refleksi”, dalam: PRISMA Nomor 1 Tahun 1982, Jakarta Murtiningsih, Siti, (2004), Pendidikan Alat Perlawanan, Yogyakarta: Resist Book. Hasan, Zaeni, (1987), Pendidikan dan Modernisasi Individu dalam Proses Pembentukan Manusia Pembangunan di Indonesia, Malang: IKIP Malang Press. Suyami, (2006), ”Nilai Budi Pekerti”, dalam Kompas 18 April 2006 Wikipedia. permainan tradisional.
www.liputan6.com, tanggal 27 September 2004 www.kedaulatanrakyat.co.id, tanggal 26 Agustus 2006
166