PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS HUMANISME RELIGIUS (Studi Pemikiran Abdurrahman Mas’ud)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh: AHMAD MULTAZAM NIM: 113111097
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2015
i
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Judul
: PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS HUMANISME RELIGIUS (Studi Pemikiran Abdurrahman Mas’ud) Penulis : Ahmad Multazam NIM : 113111097
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konsep humanisme religius dalam pendidikan Islam menurut Abdurrahman Mas’ud. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: (1) Bagaimana konsep pendidikan Islam berbasis humanisme religius menurut Abdurrahman Mas’ud ? (2) Bagaimana relevansi humanisme religius dalam konteks pendidikan Islam masa kini ? Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan yang datanya diperoleh dari berbagai karya Abdurrahman Mas’ud yang berhubungan dengan humanisme religius dan wawancara secara langsung. Semua data penelitian dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif. Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Humanisme religius merupakan suatu cara pandang agama yang menempatkan manusia sebagai manusia dan suatu usaha humanisasi ilmu-ilmu dengan penuh keimanan yang disertai hubungan manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia atau hablun min Allah dan hablun min al-nas. Implementasi dalam pendidikan Islam menekankan aspek akal sehat, individualisme menuju kemandirian, semangat mencari ilmu, pendidikan pluralisme, lebih menekankan fungsi daripada simbol, dan keseimbangan antara pemberian penghargaan dan hukuman. (2) Dalam konteks pendidikan Islam masa kini, pendidikan Islam harus berorientasi pada pendidikan nondikotomik. Dengan tidak memisahkan dua dimensi ilmu yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Lembaga pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan ilmu agama saja tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum (sains dan teknologi). Dalam hal ini, lembaga pendidikan (tinggi) Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan salah satu bentuk implementasi dari pendidikan Islam nondikotomik.
vi
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SK menteri agama dan menteri pendidikan dan kebudayaan R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang (al-) disengaja secara konsisten supaya sesuai teks arabnya.
Huruf hijaiyah
Huruf latin
Huruf hijaiyah
Huruf latin
ا
a
ط
t}
ب
b
ظ
z}
ت
t
ع
‘
ث
s
غ
Gh
ج
j
ف
F
ح
h
ق
Q
خ
kh
ك
K
د
d
ل
L
ذ
dh
م
M
ر
r
ن
N
ز
z
و
W
س
s
ه
H
ش
sh
ء
A
ص
s}
ي
Y
ض
d}
vii
KATA PENGANTAR بسم اهلل الرمح ن الريمم Puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang senantiasa memberikan taufiq, hidayah serta inayah-Nya. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan pengikut-pengikutnya yang senantiasa setia mengikuti dan menegakkan syariatNya, amin ya rabbal ‘alamin. Alhamdulillah, atas izin dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS HUMANISME RELIGIUS (Studi Pemikiran Abdurrahman Mas’ud)” ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S.1) Pendidikan program studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Dengan selesainya penyusunan skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Dr. H. Darmu’in, M.Ag. yang telah memberikan izin penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi ini. 2. Dosen pembimbing I Dr. Ruswan, M.A. dan dosen pembimbing II Dr. Ahwan fanani, M.Ag. yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 3. Seluruh dosen, pegawai, dan seluruh civitas akademik di lingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. 4. Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D. yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu serta seluruh keluarga yang telah memberi semangat dan memperjuangkan segalanya kepada penulis demi suksesnya penulisan skripsi. 6. Teman-teman PAI C angkatan 2011 yang telah memberi warna dalam kehidupanku. 7. Teman-teman PPL SMPI AL-AZHAR 29 BSB Semarang yang selalu memberikan semangatnya. 8. Teman-teman KKN angkatan ke-64 Posko 02 Desa Menggoro Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung yang selalu semangat dalam menjalankan tugas. 9. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
viii
Kepada mereka semua, penulis tidak dapat memberikan apa-apa selain ucapan terima kasih yang tulus dengan diiringi do’a semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak guna perbaikan dan penyempurnaan pada penulisan berikutnya. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan wacana bagi dunia pendidikan Indonesia. Amin.
Semarang, Juni 2015 Penulis, Ahmad Multazam NIM. 113111097
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... PERNYATAAN KEASLIAN. ................................................................ PENGESAHAN……… .......................................................................... NOTA PEMBIMBING . ......................................................................... ABSTRAK ............................................................................................... TRANSLITERASI .................................................................................. KATA PENGANTAR ............................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR. .............................................................................. BAB I :
BAB II :
BAB III:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang............................................................. B. Rumusan Masalah ....................................................... C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................... D. Kajian Pustaka ............................................................. E. Metode Penelitian ........................................................ F. Sistematika Pembahasan ............................................. LANDASAN TEORI A. Teori humanisme 1. Pengertian humanisme ........................................... 2. Humanisme: Sekuler vis a vis Agama ................... 3. Konsep Pendidikan Humanis................................. B. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam ................................. 2. Landasan Pendidikan Islam ...................................... 3. Tujuan Pendidikan Islam ....................................... 4. Komponen Pendidikan Islam a. Pendidik ........................................................... b. Peserta Didik ................................................... c. Metode ............................................................. d. Kurikulum ........................................................ e. Evaluasi ...........................................................
Halaman i ii iii iv vi vii viii x xii
1 5 6 6 9 12
14 16 25 36 42
46 54 59 62 65 67
HUMANISME RELIGIUS MENURUT ABDURRAHMAN MAS’UD A. Mengenal Lebih Dekat Abdurrahman Mas’ud 1. Biografi .................................................................. 69 2. Latar Belakang Pendidikan.................................... 70 3. Karya-karya Ilmiah ................................................ 73 B. Humanisme Religius Menurut Abdurrahman Mas’ud 1. Konsep Humanisme Religius ................................ 79
x
2. Urgensi Humanisme Religius dalam Pendidikan Islam ............................................................................... 94 BAB IV:
ANALISIS HUMANISME RELIGIUS MENURUT ABDURRAHMAN MAS’UD A. Humanisme Religius Menurut Abdurrahman Mas’ud ................................................................................... 100 B. Relevansi Humanisme Religius dalam Konteks Pendidikan Islam Masa Kini 1. Pendidikan Islam Nondikotomik ........................... 108 2. Pengembangan Keilmuan di Lembaga Pendidikan Islam ............................................................................... 112
BAB V:
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................. 118 B. Saran ............................................................................ 119 C. Penutup ....................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN: PEDOMAN WAWANCARA RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1
Dialektika Humanisme Religius, 130.
Gambar 4.1
Skema Interconnected Entities, 176.
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia1 adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT.2 Manusia juga mempunyai pribadi yang unik. Keunikannya dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sama. Bahkan anak kembar sekalipun ternyata mempunyai kekhasan masing-masing, baik dalam bentuk fisik maupun psikisnya, setiap manusia memiliki potensi yang berbeda. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan usaha manusia dalam rangka mewujudkan sifat-sifat kemanusiaannya.3 Masalah pendidikan merupakan masalah pertama dan mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia karena pendidikan merupakan hakikat hidup manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama dengan proses berkembangnya hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuh kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa. Pendidikan sebagai sarana dalam usaha pengembangan sumber daya manusia mengarah kepada tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban.4 Sedemikian pentingnya pendidikan, terutama pendidikan agama Islam, maka wajar jika hakikat pendidikan merupakan proses humanisasi. Menurut 1 Dalam studi filsafat, manusia dianggap sebagai makhluk potensial yang menyimpan berbagai sumber daya dan kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengolah dan mengembangakan sesuatu yang dimilikinya. Kemampuan ini seyogianya dimengerti oleh setiap manusia, sehingga ia akan menjadi manusia yang kreativ dan aktif, dan jka manusia telah mencapai tahap kreativitas itu berarti ia telah mencapai hakikatnya sebagai makhluk potensial. Lihat Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm, 43
Mukni’ah, Materi Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 133 2
3 Mumpuniarti, “Perspektif Humanis Religius dalam Pendidikan Inklusif”, Jurnal Pendidikan Khusus, (Vol. III, No.2, November/2010), hlm. 18
Hayat, “Pendidikan Islam dalam Konsep Prophetic Intelligence”, Jurnal Pendidikan Islam, (Vol. II, No. 2, Desember/2013) hlm. 380 4
1
Malik Fadjar humanisasi berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis.5 Dengan demikian, individu-individu diharapkan dengan pendidikan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifah-Nya di bumi sebagaimana dalam ajaran Islam, dan menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara. Wina
Sanjaya
mendefinisikan
pendidikan
sebagai
usaha
sadar
mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral. Oleh karena itu, maka proses pendidikan bukan hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mencakup seluruh potensi yang dimiliki anak didik. Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya memberikan pengalaman belajar untuk dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa, melalui proses interaksi baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan lingkungan.6 Dengan demikian, pendidikan mengandung pengertian yang lebih luas dari pengajaran, dengan kata lain pengajaran itu hanyalah bagian dari pendidikan. Sebab pendidikan adalah bimbingan terhadap pribadi yang bersifat menyeluruh, perkembangan pribadi dengan segala macam aspeknya. Sedangkan pengajaran hanya berhubungan dengan penyampaian pengetahuan atau kecakapan.7 Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of value). Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. Malik Fadjar , “Pengantar” dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. v 5
6
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 178. 7
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), hlm. 8
2
Di sinilah urgennya pendidikan dalam pembentukan pribadi seseorang anak menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Hakikat pendidikan yang merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia terkadang tidak terwujud karena adanya perbedaan antara konsep dan pelaksanaan, atau justru terjadi proses dehumanisasi.8 Pendidikan yang mengutamakan harkat dan martabat manusia yang sedemikian mulia ini, masih saja harus menghadapi berbagai persoalan, bukan saja dalam aspek prosesnya namun juga perwujudan hasil dari pendidikan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan masih banyak kritikan terhadap dunia pendidikan. Bagi pandangan masyarakat, banyaknya kasus tawuran antar pelajar, kasus miras, pencurian, dan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar mengindikasikan bahwa pendidikan nilai-nilai kemanusiaan belum maksimal. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya bersifat humanis-religius dimana dalam pengembangan kehidupan (ilmu pengetahuan) tidak terlepas dari nilainilai keagamaan dan kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang harmonis diantara bermacammacam etnik, kelompok, sosial, dan daerah. Nilai keagamaan dan kebudayaan merupakan nilai inti bagi masyarakat yang dipandang sebagai dasar untuk mewujudkan cita-cita kehidupan yang bersatu, bertoleransi, berkeadilan, dan sejahtera. Nilai keagamaan bukan hanya dipandang sebagai nilai ritual yang sekedar digunakan untuk menjalankan upacara keagamaan dan tradisi, tetapi 8
Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua hal yang bersifat antagonistik. Dehumanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai proses pendidikan yang terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogykarta : Pustaka Pelajar & READ, 2002), hlm. 190-191. Selain itu, dehumanisasi bersifat dominasi yang ditandai dengan perampasan hak peserta didik. Lihat Paulo Freire, “ Pendidikan yang membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, dan Anarkis, terj. Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 434. Penyakit paling berbahaya dalam dunia modern adalah dehumanisasi, yakni manusia mengalami aleanasi diri sehingga dia lebih berfungsi mekanistis bagaikan robot (the danger of the past is that men become slaves while the danger of the future is they will become robots). Lihat Abdurrahaman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hal. 125
3
diharapkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan material, sosial, harga diri, intelektual, dan aktualisasi diri. Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kejahatan dan lain-lain, merupakan keadaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan. Oleh karenanya pemecahan masalah sosial tersebut harus menggunakan nilai keagamaan dan kemanusiaan sebagai dasar kearifan.9 Sementara itu bila kita lihat sejarah perkembangan peradaban Islam pada sejak kemunculannya hingga abad pertengahan, dunia Islam pernah menggapai suatu peradaban yang mengagumkan dan kemegahan ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga menjadi kiblat bagi dunia Barat maupun Timur. Pada waktu itu Islam telah mampu memproduksi banyak saintis dan filosof yang hebat di berbagai bidang keilmuwan, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Abu Hanifah yang ahli di bidang ilmu fiqih sedang dalam bidang fisafat seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Abu Zayid dan dalam bidang sains seperti Ibnu Hayym, alKhawarizmi, al-Razi dan al-Mas’udi.10 Namun setelah simtom dikotomik menimpa umat Islam pada abad ke-12, perkembangan berikutnya orientasi umat Islam lebih puas dengan pendalaman ilmu agama dengan supremasi fikih tanpa diimbangi cabang ilmu lain.11 Simtom dikotomik yang melanda pendidikan Islam pada taraf selanjutnya berakibat pada kehidupan umat Islam pada umumnya yaitu ketidakseimbangan antara hablun min Allah dan hablun min al-nas. Keberagamaan yang lebih menekankan kesalehan ritual namun miskin kesalehan sosial, sehingga berimplikasi pada realitas sosial yang dihiasi dengan budaya ritualistik tanpa adanya nilai-nilai spiritual yang berpihak
Sodiq A. Kuntoro, “Sketsa Pendidikan Humanis Religius”, Makalah Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, 05 April 2008 9
10
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm 13
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 5. 11
4
pada kemanusiaan.12 Kesalehan sosial yang menjadi bagian dari orientasi kehidupan beragama kini semakin jauh dari realitas orientasi masyarakat. Masalah ini berakar dari sebuah kenyataan dalam masyarakat bahwa konsep khalifah Allah masih kurang diperhatikan jika dibandingkan dengan konsep ‘abd Allah. Realitas inilah yang menyebabkan Prof. Abdurrahman Mas’ud menawarkan gagasan pemikirannya mengenai pentingnya sebuah paradigma baru dalam pendidikan Islam sebagai solusi atas realitas pendidikan Islam yang selama ini dirasakan masih jauh dari harapan yakni masih memisahkan dua hal yang seharusnya berjalan seiring Pendidikan Islam yang berorientasi illahiyyah dan insaniyah sebagai wujud pengembangan fitrah manusia yang berdasarkan nilai-nilai luhur Islam. Humanisme religius ini diharapkan mampu mengantarkan proses pendidikan menuju keseimbangan dua sisi potensi dalam diri manusia, baik sebagai ‘abd Allah maupun khalifah Allah serta mampu menyeimbangkan antara hablun min Allah dan hablun min alnas. Dari uraian di atas, maka menurut penulis perlu adanya kajian yang mendalam terhadap pemikiran Abdurrahman Mas’ud yang berkaitan tentang humanisme reigius, terutama aspek pendidikan yang dewasa ini masih mengalami banyak tantangan. Kajian tersebut akan dijabarkan dengan judul, PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS HUMANISME RELIGIUS (Studi Pemikiran
Abdurrahman
Mas’ud).
Kajian
ini
diharapkan
dapat
memperkaya khasanah keilmuan dalam kajian pendidikan Islam. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep pendidikan Islam berbasis humanisme
religius
menurut Abdurrahman Mas’ud 2. Bagaimana relevansi humanisme religius dalam konteks pendidikan Islam masa kini ?
Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius Sebagai paradigma Pendidikan Islam”, Jurnal Penelitian Walisongo, (Edisi 17/2011) 12
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam berbasis humanisme religius menurut Abdurrahman Mas’ud. b. Untuk mengetahui relevansi humanisme religius dalam konteks pendidikan Islam masa kini. 2. Manfaat Penelitian a. Memberikan wacana pemikiran bagi dunia pendidikan, khususnya
bagi dunia pendidikan Islam, yaitu tentang pemikiran humanisme religius. b. Memberikan kontribusi pemikiran positif sebagai upaya membantu
memecahkan masalah bagi dunia pendidikan Islam D. Kajian Pustaka Pertama, Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Suci Nurpratiwi (109011000240)13 Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 dengan judul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits”. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui: 1) Bagaimana konsep pendidik dan metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits. Adapun hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Seorang pendidik yang humanis harus dapat mengetahui dan memahami kondisi psikologis siswa, menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya, juga tegas terhadap siswa tanpa harus marah. Sedangkan metode pembelajaran yang humanis merupakan cara guru memberikan kebebasan kepada siswa dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Metode belajar humanis diantaranya yaitu metode simulasi, eksperimen, diskusi, gradual, pemberian reward, kontrak belajar, dan tanya jawab. Dalam metode pembelajaran yang humanis guru harus mengoptimalkan seluruh
Suci Nurpratiwi, “Konsep pendidikan humanis dalam perspektif hadits”, Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014) 13
6
kemampuan siswa agar dapat berpikir kritis dan mengembangkan kemampuannya dalam keterampilan dan sikap. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan akan pentingnya humanisme dalam pendidikan, yaitu mengedepankan pendekatan humanis dalam pengembangan potensi peserta didik. Maka akan tercipta suasana belajar mengajar yang kondusif, penuh kasih sayang, membebaskan dan demokratis. Sehingga dapat terwujudnya tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia Kedua, Penelitian tesis yang dilakukan oleh M. Mukhlis Fahruddin (06.221.595)14 tahun 2008 dengan judul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Al-Qur'an”, Program Studi Pendidikan Islam, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui: 1). Bagaimana konsep pendidikan humanis, 2). Bagaimana perspektif al-Qur'an tentang pendidikan humanis, dan 3). Bagaimana relevansi beserta implementasinya dalam Pendidikan Islam khususnya di Indonesia. Adapun hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsep pendidikan humanis merupakan sebuah proses penyadaran dan peningkatan terhadap harkat kemanusiaan serta potensi yang dimiliki manusia. Islam juga memandang bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah mengangkat derajat manusia kembali ke fitrahnya, sebagai makhluk yang mulia dan bermartabat, mempunyai potensi fitrah yang cenderung pada kebenaran dan kebaikan (hanif), bebas, merdeka dan sadar akan eksistensinya. Konsepsi tauhid al-Qur'an adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia, sehingga terbentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia (insan kamil), mempunyai sikap komitmen
pada
kebenaran,
kejujuran,
keadilan,
kesucian,
persamaan/kesetaraan, kebebasan, cinta dan kasih sayang sesama yang termanifestasikan dalam hidup sehari-hari (saleh individual dan sosial), terlebih di dalam proses pendidikan.
M. Mukhlis Fahruddin,“Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Al-Qur'an”, Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008) 14
7
Dalam
implementasinya
pendidik
juga
harus
menjadi
teladan,
mengedepankan cinta kasih dalam proses belajar mengajar, mampu memunculkan rasa empati, mampu memotivasi, menciptakan suasana belajar yang dialogis. Itulah pesan pendidikan humanis qur’ani. Ketiga,
Penelitian
skripsi
yang
dilakukan
oleh
Lin
Nurjanah
(083111066),15 Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 2012 dengan judul “Humanisasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Abdul Munir Mulkhan”. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui: 1) konsep humanisasi pendidikan Islam menurut Abdul Munir Mulkhan. Adapun Hasil penelitian menunjukkan beberapa pokok pemikiran pendidikan Abdul Munir Mulkhan, Pertama konsep humanisasi pendidikan yang dibangun Munir tidak dapat dilepaskan dari pemikirannya mengenai hakikat manusia. Karenanya, humanisasi pendidikan oleh Abdul Munir Mulkhan dimaknai sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif. Kedua, humanisasi pendidikan dapat dijalankan dengan bentuk demokratisasi pendidikan. Secara sistematis demokratisasi pendidikan Munir dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Kurikulum: materi dalam pendidikan Islam tidak lagi membedakan antara ilmu umum (sekuler) dan ilmu agama. Melainkan menjadikan keduanya secara integral. 2) Metode yang digunakan dalam pendidikan humanis adalah metode teladan, metode hikmah, metode diskusi, metode ceramah, metode perumpamaan da ibrah. 3) Evaluasi pendidikan humanis dalam pendidikan agama Islam haruslah menjadikan sistem evaluasi menyentuh pada 3 wilayah sekaligus, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. 4) Pendidik dalam pendidikan agama Islam memiliki fungsi dan peran sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motifator. 5) Peserta didik selalu dilibatkan dalam proses perencanaan belajar.
Lin Nurjanah, “Humanisasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Abdul Munir Mulkhan”, Skripsi Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo, (Semarang: UIN Walisongo, 2012) 15
8
Selain itu mereka mendapat pengakuan dan penghargaan atas kemampuan realitas budayanya, serta pemberian harapan tinggi terhadap keberhasilan peserta didik. Atas dasar ini diharapkan peserta didik akan menemukan makna atas proses belajarnya bagi perkembangan diri dan kehidupan kolektifnya. Demokratisasi pendidikan merupakan syarat mutlak bagi terbentuknya suasana dialogis dan humanis. Disarankan agar pendidikan mampu merealisasikan cita-citanya, maka diperlukan sebuah konsep atau kerangka pendidikan yang mampu mengembangkan potensi yang dimiliki manusia. Konsep tersebut adalah konsep humanisasi pendidikan. Dari beberapa penelitian di atas terdapat persamaan dengan penelitian yang peneliti kaji yaitu terkait dengan humanisme. Namun secara spesifik peneliti mengkaji tentang humanisme religius menurut Abdurrahman Mas’ud. Selain mengkaji tentang pemikiran Abdurrahman Mas’ud, penulis juga akan membahas terkait isu-isu seputar pendidikan Islam masa kini, tentunya yang relevan dengan konsep humanisme religius. E. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan library research (Penelitian kepustakaan) dengan pendekatan kualitatif, yaitu “Pendekatan yang dilakukan dengan pengolahan suatu data tanpa menggunakan hitungan (statistik), namun melalui pemaparan suatu pemikiran, pendapat para ahli atau fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat”.16 Menurut Sugiyono library research adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data serta informasi dengan bantuan buku-buku, pereodikal, naskah-naskah, catatan-catatan, kisah sejarah tertulis, dokumen, dan materi pustaka lainnya yang terdapat dalam koleksi perpustakaan. Di sini menuntut seorang penulis harus bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh data bukan “sebagaimana seharusnya” tetapi
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 1-3.
9
berdasarkan sebagaimana adanya yang dialami dan dipikirkan oleh partisan/sumber data.17 Dalam
penelitian
kepustakaan
ini
penulis
menggunakan
pendekatan historis faktual, yaitu pendekatan dengan mengemukakan historis faktual mengenai tokoh.18 Pemakaian pendekatan dengan berusaha membuat interpretasi secara sistematis dan hipotesis.19 Adapun fokus Penelitian pada skripsi ini yaitu konsep humanisme religius Abdurrahman Mas’ud dalam konteks pendidikan Islam 2. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi Dokumentasi dipakai penulis untuk menemukan data-data tentang konsep
Abdurrahman
Penggunaan
metode
Mas’ud
tentang
dokumentasi
humanisme
merupakan
metode
religius. dalam
memperoleh data yang bersumber dari buku-buku sebagai sumbersumber dan bahan utama dalam penulisan penelitian. Adapun sumber dokumentasi antara lain : 1) Sumber Primer Sumber Primer yang dimaksud adalah bahan utama yang dijadikan referensi, yaitu berupa buku karya Abdurrahman Mas’ud
diantaranya
Nondikotomik
Menggagas
(Humanisme
Religius
Format sebagai
Pendidikan Paradigma
Pendidikan Islam) yang diterbitkan oleh Gama Media pada bulan September tahun 2002, Menuju Paradigma Islam Humanis yang juga diterbitkan oleh Gama Media pada tahun 2003, Buku Pidato Pengukuhan Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.D Sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam 17
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 296. 18 Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61 19
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm.
134.
10
pada 20 Maret 2004 serta karya-karya beliau lainnya yang relevan. 2) Sumber Sekunder Sumber Sekunder yaitu sumber penunjang dalam pembahasan skripsi ini, yaitu literatur-literatur lain yang berkaitan dengan humanisme. b. Wawancara Metode wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan.20 Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur, artinya hanya memuat garis besarnya saja.21 Wawancara dilakukan dengan narasumber yaitu Abdurrahman Mas’ud 3. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, mengemukakan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.22 Dalam pandangan Spradley sebagaimana yang telah dikutip oleh Sugiyono menyatakan bahwa : “Analysis of any kind involve a way of thinking. It refers to the systematic examination of something to determine its parts, the relation among parts, and the relationship to the whole. Analysis is a search for patterns”. Analisis dalam penelitian jenis apapun, adalah merupakan cara berfikir. Hal itu berkaitan dengan
20
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andy Offset, 1994), hlm. 193.
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 183. 22
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian..., hlm. 248.
11
pengujian secara sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagian, hubungan antar bagian, dan hubungannya dengan keseluruhan.23 Untuk menganalisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
metode
analisis
deskriptif,
yaitu
usaha
untuk
mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.24 F. Sistematika Pembahasan Agar diperoleh pemahaman yang komprehensif skripsi ini disusun dalam lima bab. Adapun isinya sebagai berikut : Bab pertama, merupakan pendahuluan skripsi ini, di mana bab ini memuat landasan umum yang diperlukan dalam proses penelitian dan pembahasan. Landasan tersebut dituangkan dalam latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab kedua, dalam bab ini membahas tentang pengertian humanisme secara umum yaitu meliputi pengertian humanisme, humanisme sekuler vs agama, dan konsep pendidikan humanistik. Dan juga pendidikan Islam yang meliputi pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, dan landasan pendidikan Islam, komponen-komponen pendidikan Islam. Bab ketiga, dalam bab ini membahas tentang biografi Abdurrahman Mas’ud meliputi sketsa biografi, latar belakang pendidikan, dan karya-karya ilmiah. Selanjutnya yaitu konsep humanisme religius menurut Abdurrahman Mas’ud meliputi konsep humanisme religius dan urgensi humanisme religius dalam pendidikan Islam. Bab keempat, merupakan analisis pemikiran Abdurrahman Mas’ud, dalam bab ini berisi analisis tentang konsep humanisme religius dan relevansi humanisme religius dalam konteks pendidikan Islam masa kini.
23
Sugiyono, Metode Penelitian ..., hlm. 335.
24
Winarno Surachman. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, (Bandung: Tarsita, 1990) hlm. 139.
12
Bab kelima, merupakan bagian penutup yang meliputi kesimpulan, saransaran, dan kata penutup. []
13
BAB II TEORI HUMANISME DAN PENDIDIKAN ISLAM
G. Teori Humanisme 1. Pengertian Humanisme Secara etimologi humanisme berasal dari kata Latin “humanus” dan mempunyai akar kata “homo” yang berarti manusia. Humanus berarti “sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia.”25 Adapun secara terminologi, humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik-non fisik) secara penuh. Dengan kata lain, humanisme dapat diartikan sebagai suatu paham yang ingin mengangkat dan meningkatkan harkat martabat manusia ke tempat yang lebih tinggi, yang sudah selayaknya eksistensi manusia harus diakui dan selanjutnya di ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari makhluk lainnya.26 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah humanis mempunyai beberapa arti diantaranya : Kata “human” memiliki arti: (1). bersifat manusiawi, (2). berperikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Kata “humanis” memiliki arti: (1). orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik,berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, dan (2). penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting. Kata “humanisme” (humanism: Inggris) memiliki arti:(1). aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2). paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting, dan (3). Aliran zaman Renaissance yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar seluruh peradaban manusia. (4). kemanusiaan. Kata “humanistik” memiliki arti:pertumbuhan rasa kemanusiaan atau bersifat
25
A. Mangunhadjana, Isme-isme dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 93.
26
Moh Mukhlas, humanisme Pendidikan Islam Sebagai Praktik Antisipatoris”, Jurnal Cendekia, (Vol.5, No.2, Desember/2007), hlm. 278.
14
kemanusiaan. Adapun kata “humanisasi”, yang merupakan kata jadian, memiliki arti: pertumbuhan rasa perikemanusiaan; pemanusiaan.27 Nurcholish Madjid mendefinisikan humanisme sebagai sekumpulan gagasan, sikap dan kepercayaan yang didasarkan pada kemampuan diri manusia sebagai sumber penemuan nilai-nilai yang mutlak diperlukan untuk membina kehidupan.28 Dengan demikian, humanisme dapat diartikan sebagai cara pandang terhadap dunia yang menekankan pentingnya manusia beserta sifat dasar dan peran atau kedudukannya di dunia. Aspek kemanusiaan menurut Ali Syari’ati menjadi bagian yang penting dalam humanisme. Ali Syari’ati sendiri mengartikan humanisme sebagai aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimiliki manusia adalah keselamatan dan kesempurnaan. Kesadaran terpenting yang harus dibangun dalam diri manusia, dalam hal ini adalah kesadaran akan dirinya sendiri. Kesadaran ini akan menjadi bekal penting menentukan arah kehidupannya menuju keadaan yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan.29 Selanjutnya
Franzs
Magnis
Suseno
menyatakan
humanisme
merupakan keyakinan bahwa: “Saya memperlakukan setiap orang sebagai manusia. Saya tidak boleh menyakiti mereka dan selalu mengembangkan sikap terbuka terhadap mereka. Saya harus mengembangkan sikap ini hingga saya yakin bahwa orang-orang yang ada di sekeliling saya selalu diperlakukan adil, penuh perhatian dan kasih sayang.”30 Menurut Fred Edwords, “Humanism is a devotion to the humanities or literary culture”.31 Humanisme dapat diartikan sebagai kesetiaan 27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 512. 28
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998),
hlm. 185. Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, Terj. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 39. 29
30
Franzs Magnis Suseno, Humanisme Religius vs Humanisme Sekuler, terj. Dedi M. Siddiq, (Semarang: IAIN Walisongo bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007) , hlm. 210. Fred Edwords, “What Is Humanism”, http://americanhumanist.org/Humanism/What_is_Humanism, diakses selasa 3 Februari 2015. 31
15
kepada manusia atau kebudayaan. Benih-benih humanisme pada awalnya telah dikonsepkan oleh Islam. Namun, sebagai sebuah aliran filsafat, humanisme muncul pertama kali di dunia barat. Karena itu, pembahasan mengenai humanisme Islam tidak bisa dilepaskan dari konsep atau teori humanisme barat.32 Sementara dari sisi aliran filsafat, humanisme diartikan sebagai paham yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat tinggi, sentral dan penting baik dalam perenungan teoritis-filsafat maupun dalam praktis hidup seharihari.33 Humanisme dalam konteks filsafat, manusia dipandang sebagai ukuran bagi setiap penilaian, dan referensi utama dari setiap kejadian di dalam semesta ini. Salah satu asumsi yang melandasi pandangan filsafat ini adalah bahwa manusia pada prinsipnya adalah merupakan pusat dari realitas. Maka dalam paham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan di luar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam).34 2. Humanisme: Sekuler vis a vis Agama Istilah humanisme akan lebih mudah dipahami dengan meninjaunya dari dua sisi, yaitu sisi historis dan sisi-sisi aliran-aliran dalam filsafat. Dari sisi historis, huma-nisme berarti suatu gerakan intelektual dan 32
Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan Islam Plus Minus Sistem Pendidikan Pesantren, (Semarang: Walisongo Press, 2011), hlm. 34-35. Menurut George Makdisi, “… perjumpaan dengan dunia Islam telah membuka mata Negara-negara Eropa tentang kemajuan dan tingginya peradaban Islam. Hal itu, pada gilirannya melahirkan keinginan diantara sejumlah pemimpin Eropa untuk meniru atau meminjam beberapa aspek kebudayaan dunia Islam untuk diterapkan di Negara mereka. Ketika negara-negara Kristen ingin meminjam khasanah budaya dari Islam klasik, mereka memilih beberapa aspek yang dianggap paling mendesak dan paling dibutuhkan oleh Negara mereka. Lihat George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat, terj. A. Samsul Rizal dan Nurul Hidayah, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 484. 33 Suyatno, “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pendidikan Humanis Religious”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, (Vol. IX, No.1, Juni/2012), hlm. 30-31. 34
Zainal Abidin, Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 26.
16
kesusastraan yang awalnya muncul di Italia pada paro kedua abad ke-14 M.35 Era tersebut berawal dari daratan Italia sebagai pewaris kebudayaan Romawi. Pada masa itu, para bangsawan dan intelektual benar-benar menggali kembali kebudayaan Yunani Kuno, terutama melalui karya sastra ilmu pengetahuan dan filsafat. Guru dan murid pada masa itu tidak hanya berasal dari Italia. Mereka datang dari bangsa lain di Eropa. Para guru ini menggunakan kembali istilah Umanisti, istilah bagi kaum humanis yang mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan yang pertama kali dipakai pada masa Romawi Kuno. Lalu ilmu-ilmu kemanusiaan itu disebut Studia Humanitatis.36 Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Tokoh-tokoh yang sering disebut sebagai pelopor gerakan ini di antaranya Dante, Petrarca, Boccaceu, dan Michael Angelo. Ada dua babak perkembangan penting yang menandai bangkitnya minat untuk mempelajari karya-karya Yunani Klasik ini yakni sebagai berikut: 37 Pertama, terjemahan atas karya-karya Aristoteles mengenai logika dan penafsiran oleh Boethius, yang mewarnai institusi pendidikan baik di Italia maupun di negara Eropa. di Eropa Utara muncul sekolah-sekolah yang disebut sekolah katedral, yang merupakan pusat pendidikan dasar bagi para calon imam katolik. di sekolah ini diajarkan tujuh bidang liberal arts, termasuk tata bahasa dan membaca karya-karya Yunani Klasik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Menjelang akhir abad kesebelas, awal abad kedua belas dan seterusnya, ada pelbagai macam tulisan dalam 35
Gerakan ini sudah bertunas sekitar abad ke-9 dan ke-10, dalam masa dinasti Carolingian dan Ottonian yang berupaya menghidupkan kembali pembelajaran karya sastra, ilmu pengetahuan serta filsafat yunani Kuno dan Romawi. perumusan ini ulang ini bertujuan untuk mengembangkan kemanusiaan melawan kemerosotan peradaban dan kebodohan. Lihat Stafanus Djunatan, “Humanisme Renaisans”, dalam Bambang Sugihrto (ed.), humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 43. 36
Stafanus Djunatan, Humanisme Renaisans..., hlm 44.
Bartolomeus Samho, “Humanisme Yunani Klasik dan Abad Pertengahan”, dalam Bambang Sugihrto (ed.), humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 13-14. 37
17
bidang filsafat dan sains yang terbuka untuk umum, khususnya karyakarya Aristoteles yang ditulis dalam bahasa Arab (oleh Ibn Sina dan Ibn Rusyd) dan dalam bahasa Yunani yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kedua, munculnya institusi pendidikan tinggi yang baru, yang merupakan wujud perkembangan sekolah-sekolah skolastik dan katedral abad
pertengahan
yakni
Universitas
Bologna,38
Salerno,
Paris,
Mountpellier dan oxford. Hasil terjemahan Boethius yang tadinya jadi kajian para pemikir Barat di sekolah-sekolah monoastik dan katedral itu, lantas menjadi bahan kurikulum di universitas. Logika dan filsafat alam pun segera mendapat tempat baru untuk berkembang, yakni pada universitas-universitas yang baru muncul. sebenarnya kata “universitas” sendiri bermakna “perkumpulan ” atau “paguyuban”. Namun karena ada banyak bentuk perkumpulan pada abad pertengahan maka makna universitas itu secara perlahan dipersempit dan akhirnya secara eksklusif dipakai untuk menunjuk pada kelompok intelektual. Awalnya humanisme merupakan aliran sastra, budaya, pemikiran, dan pendidikan, kemudian mengalami perkembangan dan mulai menampakkan nuansa politiknya. Dengan kata lain, disadari atau tidak, humanisme telah menjalar ke semua aspek kemasyarakatan tersebut, seperti komunisme, utilitarianisme, spiritualisme, individualisme, eksistensialisme, liberalisme, hingga protestanismenya Martin Luther King (Kristen Protestan).39 Pada tahap selanjutnya humanisme berkembang menjadi neohumanisme yaitu pada abad 18 ketika para seniman, filsuf dan kaum 38
Universitas Bologna berdiri pada akhir abad kedua belas sebagai sekolah hukum, yang kemudian diikuti oleh fakultas arts yang didominasi oleh fakultas kedokteran. Universitas dengan dua fakultas ini kemudian menjadi model standar untuk berbagai universitas di Italia. Dengan demikian, di universitas-universitas Italia pada akhir abad pertengahan fakultas yang paling terkenal adalah fakultas hukum dan fakultas kedokteran yang berada di bawah fakultas arts. Lihat Thomas Hidya Tjaya, Humanisme dan Skolatisme: Sebuah Debat, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 22. Mahmud Rajabi, dalam Suci Nurpratiwi, “Konsep pendidikan humanis dalam perspektif hadits”, Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hlm. 10. 39
18
intelektual melirik kembali masa Yunani dan Romawi klasik. Konsep humanisme dipandang memiliki kesamaan dengan konsep Yunani kuno tentang bentuk tubuh dan pikiran yang harmonis. Dari permulaan abad ke19 dan seterusnya, humanisme dipandang sebagai perilaku sosial politik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga politik dan hukum yang sesuai ide tentang martabat kemanusiaan. Sejak saat itu, hak asasi manusia telah memasuki tahap etika politik modern.40 Abad yang yang kerap disebut zaman Romantik ini melahirkan begitu banyak revolusi di Eropa dan Amerika, antara lain adalah revolusi teknik, demografis,
religius
dan
ideologis.
Pelbagai
revolusi
itu
telah
mengakibatkan proses perpindahan bangsa-bangsa dan urbanisasi, yang pada gilirannya menciptakan lapisan-lapisan baru dalam masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat kian memperkecil peranan agama dalam hidup mereka. Lewat kontak dengan ilmu, kebudayaan, dan dunia luar manusia mulai mempersoalkan kepastian-kepastian religius tradisional. filsafat pun yang mengandalkan nalar manusia belaka, berkembang sangat pesat berbarengan dengan kemajuan-kemajuan tersebut. Sekian banyak aliran filsafat tumbuh dan berkembang, situasi ini menggambarkan bahwa terutama pada abad ke 19 eksplorasi dan penekanan pada kemampuan manusia dalam konteks sekulernya menjadi semakin kuat dan tak terhindarkan.41 Filsafat kemanusiaan dalam humanisme mengakui nilai dan harkat manusia dan menjadikannya sebagai dasar atau ukuran penilaian segala sesuatu.42 Filsafat humanisme mempunyai beberapa pandangan hidup yang berpusat pada kebutuhan dan ketertarikan manusia. Subkategori ini
40
Franzs Magnis Suseno, Humanisme Religius…, hlm. 210.
41 Johanes P. Wisok, “Humanisme Sekuler”, dalam Bambang Sugihrto (ed.), humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 89-90. 42
Nicola Abbagnano dalam Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan Islam Plus Minus Sistem Pendidikan Pesantren, (Semarang: Walisongo Press, 2011), hlm. 33.
19
termasuk humanisme Kristen43 dan humanisme modern. Lebih lanjut, humanisme modern terdiri atas humanisme sekuler dan agama (religius). Pemikiran humanisme di barat bersumber dari pemikiran Yunani dan Romawi kuno. Humanisme (Barat) muncul karena adanya rasionalisme sehingga melahirkan renaisans,44 yaitu gerakan kebangkitan kembali manusia dari keterkungkungan mitologi dan dogma. Semangat humanisme ini tumbuh dan berkembang sejalan dengan renaisans Eropa, akibat belenggu dogmatik Gereja yang mengalahkan rasionalisme dan kebebasan sains. Maka lahirnya renaisans yang berusaha mencerahkan kembali keagungan peradaban Yunani di Eropa pada saat itu berhadapan langsung dengan keyakinan Kristen yang telah melahirkan perseteruan antara pihak agamawan dan ilmuwan. Banyak teori ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan Gereja yang berimplikasi terhadap penjatuhan hukuman bagi saintis karena dianggap telah keluar dari pakem keyakinan Gereja. Tidak sedikit dari para intelektual yang berakhir di tiang gantungan.45 Abad pertengahan adalah “abad kegelapan” di mana otonomi, kreativitas, dan kemerdekaan berpikir manusia dibelenggu oleh kekuasaan gereja yang menyatakan bahwa hidup manusia telah 43
Humanisme kristen didefinisikan Webster dalam kamusnya yang berjudul Third New International Dictionary sebagai penganjur filsafat pemenuhan sendiri manusia dalam prinsipprinsip Kristen. Ini lebih berorientasi pada kepercayaan manusia yang sebagian besar merupakan produk pencerahan dan bagian dari apa yang membuat humanisme pencerahan. Lihat Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 130. 44 Renaisans dimaksudkan untuk membela manusia karena terjadinya kegelapan yang mengerikan akibat pemerintahan Gereja dengan Paus yang menggenggam tiga macam kekuasaan: politik, harta, iman. Kemunculan renaisans dengan sains dan kebebasannya diharapkan bisa melepaskan penindasan atas nama agama. Gerakan ini pada fase selanjutnya melahirkan Liberalisme dan pada tahap berikutnya memunculkan Kapitalisme yang pada akhirnya memunculkan Komunisme. Lihat Ali Syari’ati, Humanisme: Antara …, hlm. 119-121. Secara umum renaisans Barat telah memunculkan kesadaran bahwa zaman baru telah datang –kerap kali dipahami sebagai jalan kembali ke masa lalu yang gemilang—dan kata revival, renovation dan rebirth, dipergunakan untuk mengungkapkan kesan tersebut. Lihat Joel L. Kraimer, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan budaya pada Abad Pertengahan, terj. Asep Sefullah, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 24.
Zainal Abidin, “Konsep Humanis dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Tarbawiyah, (Vol.8, No.1, Januari/2011), hlm. 66. 45
20
digariskan oleh kekuatan Ilahi, dan akal budi manusia tidak akan pernah sampai pada misteri dan kekuatan tersebut. Pikiran manusia yang menyimpang dari dogma itu dianggap sesat dan karenanya harus dicegah serta dikendalikan. Dalam keadaan seperti itulah humanisme kemudian muncul.46 Kondisi itulah yang menjadi pemicu gerakan kebangkitan kembali semangat ilmu yang telah dirintis oleh para leluhur mereka di Yunani. Semangat renaisans Eropa telah melahirkan gerakan terhadap semangat rasionalisme terhadap esensi kemanusiaan. 47 Doktrin-doktrin heliosentris dari Phitagoras, karya-karya Archimedes, Flippocrates kemudian digali dan dikaji. Doktrin paling terkenal dari Phitagoras adalah alam semesta tertulis secara matematis dan karenanya diperlukan penguasaan atas matematika untuk bisa menguasainya. Atas dasar asumsi ini, kaum humanisme zaman renaisans kemudian mengajarkan bahwa “cara terbaik untuk menjelaskan gejala alam bukanlah dengan mengacu pada ajaran gereja, melainkan pada eksperimentasi dan perhitungan-perhitungan matematis”.48 Cita-cita renaisans adalah mengembalikan kedaulatan manusia yang selama berabad-abad dirampas oleh dewa dan mitologi untuk mengusai nasibnya sehingga kehidupan berpusat pada manusia bukan pada Tuhan. Humanisme Yunani berusaha mencapai jati diri manusia dengan cara membenci Tuhan dan mengingkari kekuasaan-Nya serta memutuskan hubungan dengan-Nya.49 Senada dengan hal tersebut, menurut Hasan Hanafi kebangkitan Eropa modern merupakan hasil revitalisasi kebudayaan Yunani.50 Ali syari’ati mengemukakan bahwa sumber
46
Zainal Abidin, Filsafat Manusia ..., hlm. 26-27.
47
Zainal Abidin, “Konsep Humanis ...”, hlm. 67.
48
Zainal Abidin, Filsafat Manusia..., hlm. 28-29.
49
Ali Syari’ati, Humanisme: Antara …, hlm. 42.
50
Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm 136.
21
pemikiran humanisme barat adalah mitologi Yunani sebagaimana tulisannya berikut: “Teori humanisme barat dibangun atas asas yang sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani kuno yang memandang bahwa, antara langit dan bumi, alam dewa-dewa dan alam manusia, terdapat pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai muncul kebencian dan kedengkian antara keduanya. Para dewa adalah kekuatan yang memusuhi manusia. Seluruh perbuatan dan kesadarannya ditegakkan atas kekuasaannya yang zalim terhadap manusia yang dibelenggu oleh kelemahan dan kebodohannya. Hal ini dilakukan karena dewa-dewa takut menghadapi ancaman kesadaran, kebebasan, kemerdekaan, dan kepemimpinan manusia.”51 Kaitannya dengan hal tersebut, Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, mengatakan: “…pandangan keagamaan…semakin ditinggalkan ketika muncul pemikiran bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu. Dewa-dewa hanya dianggap sebagai mitos karena sesungguhnya memang tidak ada. Pandangan antroposentrisme muncul sebagai pendobrak pandangan mitologis secara revolusioner. Pandangan antroposentrisme, atau yang sering juga disebut humanisme beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan, pada dewa-dewa, tapi pada manusia. Manusialah yang menentukan nasibnya sendiri… itu sebabnya dewa-dewa dan kitab-kitab suci tidak lagi diperlukan.”52 Humanisme sebagai sebuah aliran filsafat modern yang berkembang di Barat telah memosisikan manusia sebagai sentral segala aktifitas, dan semua implikasi kehidupan ditentukan sendiri oleh manusia dan tidak ada campur tangan Tuhan. Karena pada prinsipnya aliran humanisme di Barat tidak bisa dipisahkan dari aliran materialisme yang tidak mengakui halhal yang bersifat spiritual. Dengan begitu, eksistensi Tuhan sebagai bagian yang bersifat spiritual tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pengkajian filsafat Barat, termasuk aliran humanisme yang tumbuh dan berkembang di Barat terlihat sangat antroposentris.53 51
Ali Syari’ati, Humanisme: Antara …, hlm. 159-160.
52
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, ed. A.E Priyono, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 180. 53
Zainal Abidin, “Konsep Humanis ..., hlm. 66-67.
22
Humanisme
sekuler54
memandang
agama
tidak
mampu
menyelesaikan, atau bahkan menimbulkan masalah kemanusiaan karena terjebak pada aspek formalisme agama. Agama dianggap sebagai malapetaka bagi manusia sehingga humanisme terjauh dari dunia spiritual.55 Kritik paling ironis dialamatkan kepada humanisme yang lepas dari dimensi religius. apabila agama dilihat dari sudut pandang humanisme, maka akan menjadi agama yang humanis. Baik humanisme sekuler maupun humanisme religius secara umum memiliki pandangan yang sama dan memiliki prinsip yang sama, yaitu membela jati diri manusia. Humanisme religius dan humanisme sekuler secara efektif tidak sepakat hanya dalam definisi agama.56 Hakikat humanisme adalah menjunjung tinggi kemuliaan manusia, bukan merendahkannya menjadi manusia materialistis. Humanisme yang sesungguhnya (real humanism) hanya satu, yaitu humanisme yang menjadikan dimensi vertikal (kepercayaan kepada Tuhan) sebagai sandaran untuk memberikan jaminan nilai kemanusiaan.57 Ajaran agama menurut Boisard dalam L’Humanisme de l’Islam, mempengaruhi watak dan persepsi manusia yang selanjutnya
54
Istilah sekuler berasal dari bahasa latin saeculum yang mengandung makna ganda. “abad” dan “dunia”, maka sekularisme adalah cara pandang yang membatasi diri pada yang temporal dan duniawi saja. Pada awalnya sekularisme memang lebih merupakan suatu sistem etika yang berasaskan prinsip-prinsip moral yang tidak berpijak pada wahyu, bebas dari agama maupun urusan kepercayaan gaib. Sekularisme kadang juga dikaitkan dengan istilah “sekularisasi” yang memiliki tiga arti, yakni pertama merupakan suatu institusi keagamaan dan segala harta miliknya kepada kepemilikan dan penggunaan yang bersifat sekuler. Atau dalam hubungan dengan kekuasaan, sekularisasi berarti melepaskan sebuah negara dari kendali institusi dan tokoh agama. Kedua memberikan ciri dan sifat sekuler kepada seni atau ritual keagamaan, dan meletakkan moralitas berasas sekuler, bahkan memerikan pendidikan dengan mata pelajaran ilmiah sekuler belaka. Ketiga mengubah kedudukan tokoh agama menjadi kedudukan yang berfungsi sekuler , dalam perspektif ini sekularisasi bisa tampak pada pergeseran peran para tokoh agama tatkala situasi social politik tidak stabil. Lihat Johanes P. Wisok, “Humanisme Sekuler…”, hlm. 84-88 55
Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan…, hlm. 40.
56
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format …, hlm. 130-131.
57
Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan…, hlm. 74.
23
menentukan kedudukan dirinya, prioritas kebutuhan dan pembentukan kaidah hubungan dengan manusia lainnya.58 Saat ini, konsep humanisme tidak lagi dihubungkan dengan orangorang Eropa, yakni dengan Romawi dan Yunani kuno. Humanisme berkembang menjadi gerakan lintas budaya dan universal, dalam arti berbagai sikap dan kualitas etis dari lembaga-lembaga politik yang bertujuan membentengi martabat manusia.59 Dalam konteks Indonesia, landasan bagi terwujudnya masyarakat humanis sebagaimana tercantum dalam sila kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan jaminan kelembagaan yang membentengi HAM. Konsep HAM dimana ide pentingnya kembali pada kepercayaan agama monoteis yang menyatakan bahwa di mata Tuhan semua manusia memiliki kesamaan martabat. Tuhan telah memberi mereka posisi istimewa diantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Hal ini menyuarakan keyakinan fundamental bahwa manusia, disebabkan mereka manusia, tidak melihat pada gender, asal muasal, suku, pendidikan atau nasionalitas, dan tanpa memandang keyakinan agama dan politiknya memiliki hak untuk dihormati dalam integritas kemanusiaannya. Konsep ini sesuai dengan konsep HAM yang termaktub dalam deklarasi HAM PBB (the decraration of human rights) pada tahun 1948. Diantara hal-hal yang esensial dalam deklarasi HAM tersebut adalah pelarangan kekejaman dan kekerasan, perlindungan hukum secara penuh, perlindungan kebebasan beragama dan beropini dalam politik, dan pengakuan bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk melindungi kebutuhan-kebutuhan dasar dari semua anggota dalam komunitasnya.60 Dengan kata lain bahwa kekerasan, kekejaman, penjajahan, dan segala hal ditujukan untuk menyakiti manusia lain adalah bentuk penghinaan 58
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. M. Rasdiji, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 148. 59
Franzs Magnis Suseno, Humanisme Religius ... , hlm. 210.
60
Franzs Magnis Suseno, Humanisme Religius ... , hlm. 214-215.
24
terhadap Tuhan, karena tidak ada satu pun agama di dunia ini yang melegalkan segala bentuk kekerasan kepada manusia atau kelompok lain. 3. Konsep Pendidikan Humanis Teori pendidikan humanistik muncul pada tahun 1970-an bertolak dari
tiga
teori
filsafat,
yaitu:
pragmatisme,
progresivisme
dan
eksistensialisme. Ide utama pragmatisme dalam pendidikan adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja
mengubah
lingkungan.
Pendidikan
(sekolah)
merupakan
kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas masyarakat.61 Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan.62
Pragmatisme
juga
disebut
eksperimentalisme
dan
instrumentalisme merupakan reaksi terhadap revolusi industri pada akhir abad ke-20.63 Menurut Protagoras sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Pragmatisme menjadikan manusia sebagai tolok ukur bagi segala-galanya. Oleh paham ini manusia ditempatkan pada posisi sentral di dalam realitas, dan realitas selalu dikaitkan dengan tujuan dan praksis hidup manusia.64 Pragmatisme cenderung mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisik tradisional dan lebih banyak terarah pada hal –hal yang pragmatis dalam kehidupan. Pragmatisme lahir di tengah-tengah situasi Amerika yang dilanda berbagai problem terkait dengan kuat dan masifnya urbanisasi serta industrialisasi. Berakhirnya perang dunia I dengan korban sekitar 8,4 juta jiwa secara tidak langsung telah melahirkan dampak psikologis yang Musthofa Rahman, “Pemikiran Pendidikan Humanistik Dalam Islam”, Jurnal Kajian Islam, (Vol. III, No. 2, Agustus/2011), hlm. 162. 61
62
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, ( Bandung : Remaja Rosdakarya), hlm.190-191. 63
John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Free Press, 1966), hlm. 344.
64
Zainal Abidin, Filsafat Manusia ..., hlm. 29-30.
25
begitu meluas dan memicu terjadi berbagai perubahan-perubahan bangsa khususnya para filsuf dalam menyadari hidup dan kehidupan yang ada. Eropa abad pertengahan kehilangan utopia hidupnya mulai dari moralitas serta spiritual. Dalam kondisi seperti inilah pragmatisme kemudian lahir di Amerika. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles S. Pierce, William James, dan juga seorang pemikir yang cukup menonjol bernama George Herbert Mead.65 Dalam konteks pendidikan, pragmatisme memandang sekolah seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas masyarakat. Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dalam, bahkan menjadi faktor utama munculnya, teori/pemikiran humanisme dan progresivisme. Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah bahwa: a.
Peserta didik adalah subjek yang memiliki pengalaman. Dia adalah individu yang memiliki kecerdasan dan mampu menggunakannya untuk memecahkan masalah. Pengalaman sekolah merupakan bagian dari hidup, tidak sekedar sebagai persiapan untuk hidup. Cara seseorang belajar di sekolah tidaklah secara kualitatif berbeda dari caranya belajar dalam lingkungan kehidupan lainnya. Pengalaman dan tindakannya penuh dengan pemikiran reflektif. Gagasan hasil pemikirannya berkembang menjadi sarana untuk bisa hidup berhasil
b.
Guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya. Guru berperan menanamkan pengetahuan yang esensial bagi diri peserta didik. Tak seorang pun mengetahui kebutuhan orang lain di waktu yang akan datang, karena dunia selalu berubah. Guru adalah pendamping, penasehat, dan pemandu yang lebih berpengalaman bagi peserta didik dalam pengalaman pendidikan. Pengalamannya
65
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidkan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm 144-146.
26
menjadi dasar dalam menjalankan tugasnya, tetapi tidak boleh didasarkan pada kebutuhan guru. c.
Materi/ kurikulum harus sesuai kebutuhan siswa yang menekankan proses daripada materi. Materi pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan subjek peserta didik sehingga harus terbuka dan alamiah. Kurikulum tidak boleh menimbulkan permasalahan dan pengalaman yang menjadikan peserta didik tertekan. Bahan pembelajaran yang tersedia harus memuat teknik pemecahan masalah yang menarik bagi peserta didik dalam pengalaman hidup keseharian
d.
Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang berguna. Cara ini menekankan partisipasi dan pengalaman peserta didik dalam belajar. Ruang kelas tidak hanya sekolah, tapi juga semua tempat untuk belajar. Metode unggulan adalah metode proyek yang menekankan pengalaman nyata yang lebih memotivasi karena nilai intrinsik; dan lebih bermakna karena siswa terlibat langsung. Meski demikian kaum pragmatis tidak menolak sumber belajar lainnya.
e.
Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial. Lembaga pendidikan harus mengajarkan cara mengelola perubahan itu dengan sehat. Sekolah mengharuskan peserta didik belajar bagaimana belajar sehingga dapat beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Sekolah harus merupakan lingkungan belajar dan kehidupan yang demokratis, semua orang berpartisipasi dalam mengambil keputusan. Semua kebijakan dievaluasi dengan parameter konsekuensi sosial.66 Adapun
ide
progresivisme
yang
sangat
dipengaruhi
oleh
pragmatisme itu sangat menekankan adanya kebebasan aktualisasi diri bagi peserta didik supaya kreatif. Paham ini menekankan terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan anak. Anak harus aktif membangun pengalaman kehidupan. Belajar tidak hanya dari buku dan guru, tetapi
66
George R. Knight dalam Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan…, hlm. 81-82.
27
juga dari pengalaman kehidupan. Dasar orientasi teori progresivisme adalah perhatiannya terhadap anak sebagai peserta didik dalam pendidikan. John Dewey merupakan salah satu tokoh aliran progresivisme di Amerika, telah mengarang sebuah buku yang cukup terkenal di dunia pendidikan yang berjudul Democracy and Education , menstimulir bahwa pendidikan yang ditetapkan harus berdasarkan semangat keterbukaan dan demokrasi. Di samping itu pendidikan harus dapat dinikmati manusia secara universal karena pendidikan sudah menjadi bagian dari kebutuhan dasar manusia secara universal. John Dewey menekankan pentingnya proses belajar yang disertai dengan praktik nyata dalam konteks aplikasi pendidikan, adagium yang sangat terkenal dari teori ini adalah learning by doing. Istilah ini kemudian digunakan para teoretikus dan praktisi pendidikan di negara-negara berkembang dan negara maju di dunia.67 Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan progresivisme berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. Progresivisme pendidikan ini menjadi teori dominan dalam pendidikan Amerika dari dekade 1920-an hingga 1950-an.
68
adapun inti progresivisme dalam pendidikan adalah sebagai
berikut : 69 a. Proses pendidikan ditujukan untuk kepentingan anak. Kurikulum dan metode pengajaran berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif peserta didik. Anak itu memiliki keinginan alami untuk belajar dan menemukan sesuatu di lingkungannya. Keinginan dan 67
John Dewey, Democracy and ..., hlm. 254.
68 Suci Nurpratiwi, “Konsep pendidikan humanis dalam perspektif hadits”, Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hlm. 14. 69
George R. Knight dalam Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan …, hlm. 83-84.
28
kebutuhannya menjadikan anak tertarik mempelajari berbagai hal yang bisa memenuhi keinginannya. Pendidik dan peserta didik bekerja sama guna membantu anak. Ketertarikan anak harus dimanfaatkan untuk membantu belajar berbagai keterampilan yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhannya. b. Anak merupakan subjek pendidikan yang aktif. Anak bukan sekedar individu yang hanya bisa menerima informasi. Mereka itu dinamis yang memiliki keinginan belajar. Mereka akan selalu belajar kalau tidak dibuat frustasi akibat kehendak orang dewasa. Mendidik adalah memandu keaktifan dan memberikan arahan kepada peserta didik. c. Peran guru sebagai penasihat, pembimbing dan pemandu. Guru tidak boleh bersikap otoriter sebagai penyalur informasi tunggal. Guru memiliki
pengetahuan
dan pengalaman
yang lebih banyak
dibandingkan dengan peserta didik. Hal ini menempatkan guru sebagai penasihat dalam bidang ilmunya dan sebagai pengawal perjalanan hidup anak. Peran guru adalah membantu subjek didik dalam belajar bagaimana belajar sendiri sehingga menjadi orang dewasa yang mandiri dalam lingkungan yang berubah-ubah. d. Aktifitas kelas memfokuskan pada pemecahan masalah. Pengetahuan tidak datang melalui penerimaan informasi dari guru ke siswa. Pengetahuan adalah instrumen untuk mengelola pengalaman. Pembelajaran didasarkan pada manfaat bagi subjek didik. Mereka tidak hanya mempelajari fakta tapi juga cara berfikir dan menggunakan pemikirannya dalam dunia pengalaman. e. Sekolah merupakan miniatur masyarakat besar. Pendidikan dan belajar terus berlangsung dalam kehidupan seseorang. Subjek didik belajar
karena
kebutuhan
dan
keingintahuan
alamiah
dan
ketertarikannya. Dia belajar dari pengalaman keseharian di dalam sekolah sebagaimana belajar di luar sekolah. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri dan tidak berada pada dunia yang terpisah dari sekolah.
29
Pengaruh terakhir munculnya pendidikan humanistik adalah eksistensialisme
yang
pilar
utamanya
adalah
invidualisme.
Eksistensialisme termasuk filsafat yang masih muda, bahkan masih anakanak, karena eksistensialisme merupakan produk abad 20.70 Perhatian utama eksistensialisme, sesuai dengan namanya eksistensi, merupakan istilah yang diturunkan dari kosa kata latin existere, yang berarti lebih menonjolkan dari pada (stan out), muncul atau menjadi (become). Eksistensi dengan demikian berarti kemunculan; sebuah proses menjadi ada; atau menjadi; dari pada kondisi mengada (state of being).71 Menurut Jean Paul Sartre, eksistensialisme menempatkan manusia pada posisinya sebagai dirinya sendiri dan meletakkan keseluruhan tanggung jawab hidupnya sepenuhnya pada pundak manusia itu sendiri.72 Teori eksistensialisme lebih menekankan keunikan anak secara individual daripada progresivisme yang cenderung memahami anak dalam unit sosial. Anak sebagai individu yang unik. Pandangan tentang keunikan
individu
ini
mengantarkan
kalangan
humanis
untuk
menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu supaya menjadi manusia bebas dan bertanggung jawab dalam memilih. Kebebasan manusia merupakan tekanan para eksistensialis. Dengan kebebasan tersebut peserta didik akan dapat mengaktualisasikan potensinya secara maksimal.73 Adapun inti eksistensialisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut :
Mukhammad Abdulah, “Pengembangan Fitrah Manusia Menurut Eksistensialisme”, Jurnal Madania, (Ed.I, No.3, Maret/1999), hlm. 58. 70
71
Helen Graham, Psikologi Humanistik dalam Konteks Sosial, budaya, dan sejarah, terj. Achmad Chusairi dan Ilham Nur Alfian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 114. 72 Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 46.
Musthofa Rahman, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”, http://musthofarahman.wordpress.com/2012/11/18/percobaan.html, diakses Jum’at, 16 Januari 2015. 73
30
a. Realitas sebagai eksistensi. Eksistensi individu adalah dasar pandangan eksistensialisme tentang realitas. Tindakan manusia sehari-hari adalah proses perumusan esensinya. Melalui tindakannya, manusia merumuskan dirinya sehingga sampai pada kesadaran bahwa ia adalah apa yang ia pilih. Fokus realitas berada pada diri manusia sebagai individu. b. Guru adalah pribadi yang memiliki kemauan membantu peserta didik dalam mengeksplorasikan pikiran-pikirannya. Guru adalah fasilitator yang harus menghargai aspek- aspek
emosional dan
irasional individu sehingga harus serius mengarahkan peserta didik untuk memahami dirinya sendiri. c. Kurikulum harus terbuka bagi perubahan, karena konsep kebenaran itu berkembang dan berubah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas materi pembelajaran berdasarkan nilai atau manfaat. Dasar-dasar pendidikan tradisional (membaca, menulis, dan berhitung) untuk mengembangkan kreatifitas dan kemampuan peserta didik harus mempertimbangkan perkembangan
afektifnya. Apapun yang
bermakna bagi peserta didik bisa menjadi kurikulum. d. Metode pembelajaran berprinsip pada tiadanya pemaksaan dan bisa membantu peserta didik menemukan jati dirinya. Metode ini harus memberikan kebebasan. e. Tidak ada peserta didik yang sama sehingga kebutuhan mereka menjadi berbeda-beda. Bermasa guru, murid belajar dan berbagi peran untuk menemukan dan menjadi diri sendiri.74 Bagi kaum eksistensialis, perhatian utama pendidikan adalah membantu kedirian peserta didik untuk sampai pada realisasi yang lebih utuh sebagai individu yang memiliki kebebasan, bertanggung jawab, dan memiliki hak memilih. Aliran ini memberikan semangat dan sikap yang bisa diterapkan dalam kegiatan pendidikan. Pemikiran pendidikan ini
74
Nel Noddings, Phylosophy of Education, (Oxford: Westview, 1998), hlm. 74-77.
31
mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar. Apabila lingkungan baik (kondusif untuk belajar), maka anak akan terdorong untuk belajar sendiri. Karena itu, pendidikan harus menciptakan iklim
atau kondisi
yang kondusif untuk
belajar.
Ketidakmauan anak untuk belajar disebabkan oleh kesalahan lingkungan yang kurang mendukung untuk dapat berperan aktif. Konsep menjadi penopang terbentuknya pemikiran pendidikan humanistik. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa eksistensialisme adalah suatu humanisme, sehingga konsep ini menjadi penopang terbentuknya pemikiran pendidikan humanistik.75 Dalam istilah atau nama pendidikan humanistik, kata humanistik pada hakikatnya adalah kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan. Pendidikan humanistik sebagai sebuah teori pendidikan
dimaksudkan
sebagai
pendidikan
yang
menjadikan
humanisme sebagai pendekatan.76 Konsep pendidikan humanistik di Barat menuntut adanya kebebasan supaya harkat dan martabat manusia (peserta didik) terjamin. Kebebasan tidak akan terjadi manakala seorang peserta didik terisolasi oleh hal-hal di luar dirinya. Kebebasan dalam pendidikan humanistik di Barat tidak dibatasi oleh aturan atau nilai apa pun termasuk nilai-nilai dari ajaran agama. Kebebasan yang lepas dari kontrol ajaran agama (sekuler) memungkinkan terjadinya perbuatan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan atas nama kebebasan. Prinsip kebebasan dalam pendidikan inilah yang membedakannya dari konsep ajaran agama. Dalam humanisme religius, pendidikan diarahkan untuk menjadikan pendekatan kepada Tuhan melalui pengalaman manusia. Meski ada kesamaan dengan pendidikan sekuler, akan tetapi pendidikan keagamaan memiliki nilai 75
Musthofa Rahman, “Pemikiran Pendidikan …”, hlm. 164.
76
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 95.
32
tambah. Nilai tambah ini merupakan kelebihannya, yaitu sandaran pada nilai-nilai spiritual guna mewujudkan manusia yang sebenarnya seperti arah pendidikan humanistik dalam Islam.77 Kemerdekaan dalam batas pengabdian kepada Tuhan akan menetapkan nilai manusia sementara keluhuran manusia merupakan akibatnya secara tidak langsung. Hubungan antara manusia dengan Tuhan telah menjadikan manusia sadar kepada rasa persamaan sedangkan kualitas manusia yang paling tinggi adalah kemerdekaan dalam persamaan. Semua manusia adalah sama dengan semua makhluk Tuhan, kecuali bagi yang telah merdeka serta memilih untuk mengikuti wahyu Tuhan.78 Dengan demikian pendidikan humanistik bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yakni insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktual bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat. Manusia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya berupa keterpanggilan untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakat.79 Peran pendidikan humanis yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka
memanusiakan
manusia
menjadi
sangat
penting
dalam
memberikan pemaknaan yang mendalam terhadap basis keberagaman sebagai realitas sosial yang harus diterima oleh setiap manusia.80 Terdapat beberapa prinsip pendidikan humanis diantaranya sebagai berikut:
77
Musthofa Rahman, “Pemikiran Pendidikan …”, hlm. 166.
78
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam..., hlm. 110-111.
79
Baharuddin dan Moh Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 23. 80
Sagaf S. Pettalongi,“Islam Dan Pendidikan Humanis Dalam Resolusi Konflik Sosial”, Jurnal Cakrawala Pendidikan,(Th. XXXII, No. 2, Juni/2013), hlm. 173.
33
a. Tujuan belajar dirumuskan yang jelas. b. Partisipasi aktif peserta didik diwujudkan melalui kontrak belajar yang bersifat jelas, jujur, dan positif. c. Peserta didik didorong untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas inisiatif sendiri. d. Peserta didik dimotivasi untuk peka, berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri. e. Peserta didik didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan yang diinginkan, dan bertanggung jawab atas pilihannya. f. Pendidik menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik. g. Peserta didik diberi kesempatan untuk maju sesuai dengan kecepatan tiap individu, sementara peserta didik yang lambat diberi kesempatan untuk mengulangi dan mendalami kembali. h. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.81 Konsep utama dari pemikiran pendidikan humanistik menurut Mangunwijaya adalah “menghormati harkat dan martabat manusia”. Hal mendasar dalam pendidikan humanistik adalah keinginan untuk mewujudkan lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari kompetisi yang hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan takut gagal.”82
Nusyirwan, “Pengaruh Pendidikan Humanistik Terhadap Peningkatan Kemampuan Insya’ Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Stain Watampone”, Jurnal Dirkursus Islam, (Vol. I, No.3, Desember/2013), hlm. 404. Prinsip-prinsip pendidikan tradisional yang ditolak humanis adalah (1) guru yang otoriter, (2) metode pengajaran yang menekankan pada buku teks semata, (3) belajar pasif yang menekankan mengingat data atau informasi yang diberikan guru, (4) pendidikan yang membatasi pada ruang kelas sehingga terasing dari realita kehidupan sosial, (5) penggunaan hukuman fisik atau rasa takut sebagai bentuk pembangun disiplin. Lihat Agus Sutiyono, “Sketsa Pendidikan Humanis Religius”, Jurnal Insania, (Vol.14, No.2, MeiAgustus/2009), hlm. 3. 81
82
Y.B. Mangunwijaya, Mencari Visi Dasar Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
hlm. 160.
34
Dalam konteks Islam, pendidikan humanistik bersumber dari misi utama dari kerasulan Muhammad SAW yaitu memberikan rahmat dan kebaikan bagi seluruh semesta alam. Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). (Q.S. Saba’/34: 28).83 Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. al-Anbiya’/21: 107).84 Pemikiran pendidikan humanistik memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan Allah SWT dengan segala fitrahnya. Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi baik. 85 Hal tersebut menurut Malik Fajar ditandai dengan kepemilikan hak hidup dan hak asasi manusia.86 Konsep humanisme dalam praktik pendidikan Islam dirumuskan dalam beberapa agenda utama. Pertama, bahwa pendidikan yang dirancang hendaknya memperhatikan aspek pengembangan semua potensi yang dimiliki oleh manusia. Potensi yang dimiliki manusia harus diarahkan untuk kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Kedua, pendidikan harus memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan sejati dalam arti
hubungan antara murid dan guru harus didasarkan pada
hubungan saling menghargai dan saling menghormati sehingga proses pembelajaran bersifat kondusif. Ketiga,
pendidikan Islam harus
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya, (Medinah: Mujamma’ Khadim alHaramain al-Syarifain al-malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1413H), hlm. 68. 83
84
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 508.
85
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1995), hlm. 214. 86
A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 38.
35
mengutamakan kurikulum yang humanis dalam konteks aplikasi pendidikan Islam. Kurikulum dirancang berdasarkan potensi anak didik, baik potensi psikis maupun potensi fisiknya. Keempat, pendidikan Islam harus
menempatkan
semangat
egalitarianisme
dalam
proses
pembelajaran sehingga tercipta suasana demokratis dan emansipatif.87 H. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Secara etimologi, terdapat tiga kata dalam bahasa arab yang menunjukkan arti pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Menurut Mu'jam bahasa Arab sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, kata al-Tarbiyah memiliki tiga kebahasaan,88 yaitu: a. Rabba yarbu tarbiyah yang memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian 'ini di dasarkan atas Q.S. Al-Rum ayat 39.89 Artinya pendidikan merupakan proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. b. Rabba yurbi tarbiyah yang memiliki arti tumbuh (nasya’a) dan menjadi besar atau dewasa (tarara'a). Artinya pendidikan merupakan usaha untuk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. c. Rabba yarubbu tarbiyah yang memiliki arti memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Artinya pendidikan merupakan usaha untuk memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan
87
Zainal Abidin, “Konsep Humanis ...”, hlm. 77.
88 Abdul Mujib dan Yusuf Prenada Media, 2010), hlm. 10-11.
Mudzakkir,
89
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Lihat A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 647.
36
mengatur kehidupan peserta didik agar Ia dapat survice lebih baik dalam kehidupannya. Istilah tarbiyah yang berarti pendidikan, berasal dari kata “Rabba” yang berarti mendidik. Dalam al-Qur'an, kata ini digunakan dalam firman Allah sebagai berikut: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah; wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikaku waktu kecil” (Q.S. al-Isra/17: 24).90 Pada ayat lain Allah berfirman: ... "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Ali Imran/3:79).91 Tarbiyah juga diartikan sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani)92 kepada peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya.93 Istilah ta’lim merupakan mashdar yang berasal dari akar kata ‘Allama sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah
90
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 428.
91
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 89.
dengan
92
Istilah rabbani sering diterjemahkan dengan pendeta, rahib atau ahli agama. Namun dalam konteks Q.S. Ali Imran/3:79 rabbani lebih tepat diartikan orang-orang yang memiliki semangat tinggi dalam berketuhanan, yang memiliki sikap-sikap pribadi yang secara sungguhsungguh berusaha memahami Tuhan dan menaati-Nya. Hal ini mencakup kesadaran akhlak manusia dalam kiprah hidupnya di dunia ini . karena itu ada korelasi antara takwa, akhlak, dan pribadi luhur. Lihat Nurcholish Madjid, Islam doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Temprint, 1992), hlm. 45. 93
Muhammad Muntahihibun Nafis, 2011), hlm. 16.
37
Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras,
pendidikan, sedangkan ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran.94 Kata “allama” atau “ta’lim” yang terdapat di dalam al-Qur’an menurut alZajjaj berarti sebagai cara Tuhan mengajar Nabi-Nya,95 sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah 31: “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat lalu berfirman. Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu memang orang yang benar”. (Q.S. Al-Baqarah/2: 31)96 Pada ayat lain Allah berfirman: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-Alaq/96:1-5).97 Kata “allama” pada kedua ayat di atas mengandung pengertian “memberi tahu” atau memberi pengetahuan dan tidak mengandung arti pembinaan kepribadian. Adapun kata Ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “Addaba” yang berarti memberi adab, mendidik. Kata kerja addaba dapat diartikan mendidik yang lebih tertuju pada penyempurnaan akhlak budi pekerti. Menurut al-Attas kata addaba berarti pengetahuan untuk memelihara manusia dari salah pendapat, “adab is knowledge that
94
Abdul Mujibdan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan…, hlm. 18.
95
Djumransyah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam: Menggali Tradisi Meneguhkan Eksistensi, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 5. 96 97
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 14.. A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 1079.
38
preserves man from error of judgement”98 Adab dalam kehidupan sering diartikan sopan santun yang mencerminkan kepribadian. Istilah ini dalam kaitannya dengan pendidikan Islam telah dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang menyatakan bahwa istilah Ta’dib merupakan istilah yang dianggap tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Pengertian ini di dasarkan pada arti pendidikan yaitu meresapkan dan menanamkan adab pada manusia.99 Karena dari kata addaba itu mempunyai arti untuk mengatur pikiran dan jiwa, menambah pada baiknya kualitas dan lambang pikiran dan jiwa, melakukan pembenahan untuk memperbaiki kesalahan dalam bertindak, membenahi yang salah serta memelihara dan perlindungan dari tingkah laku yang tidak baik.100. Sebagaimana hadis Rasulullah berikut :
ى ى ثَََل ثَةٌ ََلُ ْم: صلى اهلل علمه وسلم َ َع ْ ن ىاِب بُْرَد ْة َع ْ ن اَبىْمه قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل رجل ىم ن اَ ْه ىل الْ ىكتَا ى: اَ ْجرا ىن ب اََم َ ن بىنَبىمِّ ىه َواََم َ ن ىِبُ َح َّم ٍد صلى اهلل علمه ْ ٌ َُ َ ى وسلم والْعب ُد الْمملُو ُك اذَا اََّدى ي َّق اهللى وي َّق موا لىم ىه ورجل َكا نَ ى ْ ُت عْنده َ ْ ْ َ َْ َ ٌ ُ ََ ْ َ َ َ َ ى َي َس َ ن تَ ْعلىْم َم َها ٌٌثَّ أ َْعتَ َق َها فَتَ َزَّو َج َها َّ َاََمةٌ ف ْ َي َس َ ن تَأْديْبَ َها َو َعلَّ َم َها فَأ ْ أدبَ َها فَأ 101 ) (اخرجه البخارى.فَلَهُ اَ ْجَر ىان “Dari Abu Burdah ra. Dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Ada tiga golongan manusia yang mendapat dua pahala sekaligus, yaitu: 1) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang percaya kapada Nabinya dan percaya pula kepada Nabi Muhammad SAW. 2) Hamba sahaya yang menunaikan hak Allah dan hak kepada majikannya, dan 3) laki-laki yang mempunyai hamba sahaya wanita dia mendidik adab atau akhlak dan ilmu pengetahuan sehingga pendidikannya menjadi baik, kemudian 98
Muhammad Naquib Al- Attas, The Concept Of education In Islam, (Kuala Lumpur: International Islamic University Malaysia, 1991), hlm. 27. 99
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djoyosuwarno, (Jakarta: Pustaka, 1981), hlm. 222. 100 Muhammad Naquib al-Atas, Aims and Objectives of Islam Education, (Jeddah:King Abdul Aziz University, 1979), hlm. 36. 101
Imam Zainanuddin Ahmad bin Abdul Lathif az Zabaidiy, Muhtashor Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1994), hlm. 35.
39
memerdekakannya lalu mengawininya.. Maka ketiga golongan orang tersebut mendapat dua pahala”. (HR. Bukhari).102 Lebih
lanjut
al-Attas
menilai
makna
tarbiyah
sebagai
pengembangan potensi lebih mencerminkan pengaruh konsep barat dalam istilah education, yakni pendidikan sebagai pengembangan individu dalam aspek fisik yang bersifat material sehingga tidak cocok untuk pendidikan Islam. Sebagaimana ungkapan al-Attas berikut: “Tarbiyah, in its present connotation, in my opinion a comparatively recent term, apparently coined by those who aligned themselves with modernist thought. It is meant to convey the meaning of Education without resources... the developing process refers to physical and material things.”103 Jika kita perhatikan kata “ta’lim” dalam proses pendidikan , maka perbedaan dengan “ta’lim” terletak pada penekanannya. “Ta’lim” penekanannya pada penyampaian ilmu pengetahuan yang benar kepada seseorang atau subjek didik. Sedangkan “tarbiyah” menekankan pada proses bimbingan agar anak didik memiliki potensi (fitrah) dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. Demikian pula ta’dib, penekanannya pada penggunaan ilmu yang benar dalam diri seseorang sehingga menimbulkan perbuatan dan tingkah laku yang baik.104 Secara sederhana istilah “pendidikan Islam” dapat dikatakan sebagai pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang dipahami, dikembangkan, dan diajarkan dalam nilainilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu, alQur’an dan as-Sunah. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam dapat
102
Al-Hafidh Syihab ad-Din Abi al-Fadlol al-Asqalani, Fath al-Bari Juz I, (Mesir : Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Awladih, 1959), hlm. 176. 103 Tarbiyah , dalam pengertian sekarang , menurut saya merupakan istilah yang relatif baru, tampaknya diciptakan oleh orang-orang dengan pemikiran modernis . Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa sumber… proses pengembangan mengacu pada hal-hal fisik dan materi. Lihat Muhammad Naquib Al- Attas, The Concept..., hlm. 28. 104
Djumransyah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam…,hlm. 8.
40
berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut.105 Menurut Zakiah Daradjat pendidikan Islam merupakan pendidikan melalui ajaran agama Islam yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai pandangan hidupnya (Way of Life) demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.106 Sedangkan hakikat Pendidikan Islam menurut Arifin adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara
sadar
mengarahkan
dan
membimbing pertumbuhan
dan
perkembangan fitrah anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.107 Muhammad Athiyah al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan maupun tulisan”.108 Pada
tanggal
31
Maret
sampai
dengan
8
April
1977,
diselenggarakan Konferensi Dunia Islam yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah. Dalam konferensi (yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University) tersebut, dibicarakan mengenai penggunaan ketiga istilah (tarbiyah, ta’lim, ta’dib) untuk
105
Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 29. 106
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan…, hlm. 17-18.
107 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 32. 108
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah (Al-Arabi: Dar al-Fikr,t.t),
hlm. 100.
41
pengertian pendidikan Islam. Salah satu hasil keputusannya telah dirumuskan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut: “The meaning of education in its totally in the context of Islam is inherent in the connotation of the term tarbiyah, ta’lim, and ta’dib taken together. What each of these terms conveys concerning man and his society and environment in relation to God is related to other, and together they represent the scope of education in Islam, both formal and non formal.” 109 Dari
beberapa
pengertian
pendidikan
Islam
yang
telah
dikemukakan oleh para tokoh tersebut menurut terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan”, bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai ajaran-ajaran Islam, maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. 2. Landasan Pendidikan Islam Landasan merupakan dasar pondasi tempat berpijak yang baik dalam setiap usaha dan kegiatan yang berteleologis (bertujuan). Oleh sebab itu, pendidikan islam yang dilaksanakan secara sadar harus mempunyai
landasan
agar
dalam
kegiatan
pendidikan
tersebut
mempunyai pijakan dalam semua kegiatan dan mempunyai perumusan tujuan pendidikan yang jelas.110 Adapun fungsi dari landasan dari pendidikan islam tersebut adalah seperti pondasi yang akan mengokohkan berdirinya suatu bangunan. Demikian juga dalam pendidikan islam, Dengan adanya landasan maka usaha yang dilakukan mempunyai dasar dan sumber keteguhan dan
109
Arti pendidikan yang sebenarnya dalam konteks Islam melekat pada istilah tarbiyah, ta'lim , dan ta'dib yang diambil secara bersama-sama. Dimana masing-masing istilah tersebut meyampaikan mengenai manusia dan masyarakat serta lingkungan dalam kaitannya dengan hubungan kepada Allah juga hubungan dengan lainnya, ketiga istilah tersebut merepresentasikan lingkup pendidikan dalam Islam, baik formal maupun non formal. Lihat Muhammad Muntahihibun Nafis, Ilmu Pendidikan..., hlm. 2-3. 110
Djumransyah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam…,hlm.45
42
keyakinan agar jalan menuju ke arah tertentu dapat tercapai dengan mudah. Menurut
Hasan
Langgulung,
landasan
pendidikan
Islam
mempunyai sumber yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ucapan para sahabat, kemaslahatan umat, adat, dan ijtihad.111 Secara harfiah al-Qur’an berarti bacaan atau yang dibaca. Hal ini sesuai dengan tujuan kehadirannya, antara lain agar menjadi bahan bacaan untuk dipahamai, dihayati dan diamalkan kandungannya. Adapun secara istilah al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya (Muhammad SAW) melalui perantara Malaikat Jibril yang disampaikan pada generasi berikutnya secara mutawatir (tidak diragukan), dianggap ibadah bagi orang yang membacanya, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.112 Al-Qur'an
adalah
sumber
kebenaran
dalam
Islam
yang
kebenarannya tidak diragukan lagi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 2: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah/2:2).113 M. Quraish Shihab mengklasifikasi tujuan pokok al-Qur'an yaitu: a. Petunjuk aqidah dan kepercayaan. b. Petunjuk mengenai akhlak. c. Petunjuk mengenal syari’at.114 Al-Qur’an juga diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk ke arah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan
111
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: alMa’arif, 1980), hlm. 35. 112
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm. 75. 113
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 8.
114
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 40.
43
dan petunjuk ke arah jalan yang diridhai Allah SWT.115 Sebagaimana firman Allah sebagai berikut: Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ( Muhammad) alQuran dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, kamu benar-benar membimbing (manusia) ke jalan yang lurus. (al-Syura/42:52.).116 As-Sunnah secara harfiah berarti jalan hidup yang dijalani atau dibiasakan, apakah jalan itu baik atau buruk, terpuji ataupun tercela. Adapun pengerian secara terminologi menurut para ahli hadis adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya.117 As-Sunnah dijadikan sumber kedua setelah al-Qur’an karena ia mencerminkan segala tingkah laku Rasulullah yang patut diikuti oleh setiap muslim. Sumber selanjutnya ialah ucapan sahabat, yang berhubungan dengan sejarah hidup sahabat-sahabat Nabi terutama Khulafa al-Rasyidin karena merekalah yang paling dekat dengan Rasulullah dan yang menyaksikan muncul dan berkembangnya agama Islam dari masa permulaan Islam. Mereka jualah yang mengalami pasang surutnya perjuangan dakwah Islam bersama Rasulullah. Oleh karena itu, uapan sahabat juga dijadikan sumber pendidikan Islam.118
115
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 154.
116
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 2005),
117
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan…, hlm. 77.
118
Djumransyah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam…,hlm. 63.
hlm. 701
44
Masalah kemaslahatan umat banyak mendapat perhatian dari para Ulama. Namun penekanan yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan adalah seperti yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Maslahah menurut beliau adalah menjaga tujuan agama pada manusia yang teriri dari lima perkara, yaitu menjaga agamanya,dirinya, akalnya, keturunannya, dan hartanya. Islam sebagai agama yang diturunkan ke dunia oleh Allah adalah untuk memberi kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkan kemudharatan bagi mereka. Oleh karena itu, kemaslahatan umat dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam karena termasuk hal-hal yang sesuai dengan hikmah Islam.119 Sedangkan adat merupakan segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi yang bersifat perkataan, perbuatan,atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.120 Selain al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai landasan utama, ijtihad juga dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam. Kata ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan. Menurut Abu Hamid Hakim ijtihad adalah upaya yang sunnguh-sungguh untuk memperoleh hukum syara’ berupa konsep yang operasional melalui metode istinbath dari al-qur’an dan as-Sunah
121
. Sedangkan menurut ulama ushul, ijtihad
adalah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.122 Dalam bidang pendidikan, ijtihad dilakukan sejalan dengan perkembangan zaman serta tuntutan manusia. Penggunaan dalil-dalil ijtihad dalam lapangan pendidikan ini pada dasarnya adalah pantulan dan 119
Djumransyah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam…,hlm. 64.
120
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, ter. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 149. 121 Haryanto-al-Fandi, Desain Pembelajaran (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 136. 122
yang
Demokratis dan
Humanis,
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, ter. Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 383.
45
cerminan fleksibilitas hukum Islam dalam semua bidang. Karena, dengan menggunakan dalil-dalil ijtihad inilah persoalan-persoalan pelik yang dihadapi dunia pendidikan saat ini dan masa depan akan memiliki tempat yang sesungguhnya dan damai.123 3. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan merupakan sasaran yang akan dicapai seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. Burhan Nurgiyantoro menyatakan sebagaimana dikutip oleh Achmad Suja’i bahwa kegiatan apapun agar tidak kehilangan arah dan pegangan harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan yang telah ditentukan itulah yang menjadi dasar orientasi atau acuan kegiatan yang ingin dicapai,124 tak terkecuali dengan pendidikan Islam. Pada dasarnya, tujuan pendidikan adalah serupa dengan tujuan penciptaan manusia yang barangkali lebih tepat disebut tujuan akhir (ultimate aim).125 Tujuan penciptaan manusia di alam ini adalah beribadah dan tunduk kepada Allah serta menjadi khalifah di muka bumi untuk untuk memakmurkannya dengan melaksanakan syari’at dan menaati Allah.126
Dalam konteks pendidikan, al-Toumy menyatakan
bahwa tujuan merupakan: “perubahan yang diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya baik pada tingkah laku dan kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup atau berada pada proses pendidikan dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi diantara profesi-profesi dalam masyarakat.” 127 Masih oleh Omar Mohammad Al-toumy Al-Syaibani, perubahan perubahan yang diinginkan tersebut terdapat tiga bidang asasi yaitu :
123
Baharuddin dan Moh Makin, Pendidikan Humanistik:..., hlm. 160.
124
Achmad Sudja’i, Pengembangan Kurikulum, (Semarang: Akfi Media, 2013), hlm. 69.
125
H.M. Ridlwan Nashir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 67. 126
H.M. Ridlwan Nashir, Mencari Tipologi ..., hlm. 68.
127
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam , terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.
46
a.
Tujuan Individu, yaitu berkaitan dengan individu-individu, pelajaran yang bertaut dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut. Perubahan yang diinginkan terletak pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.
b.
Tujuan Sosial, berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan , dengan tingkah laku masyarakat umumnya.
c.
Tujuan Professionil, berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai aktifitas.128 Seminar pendidikan Islam se-dunia pada tahun 1980 di Islamabad,
merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut : “Education aims the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore, cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects to word goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.”129 Menurut Athiyah al-Abrasyi, tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad sewaktu hidupnya yaitu pembentukan moral yang tinggi. Karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam tanpa mengabaikan jasmani, akal, dan ilmu praktis.130 Sedangkan Ahmad D. Marimba 128
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan…, hlm. 399.
129
Pendidikan bertujuan menyeimbangkan perkembangan kejiwaan seseorang melalui pelatihan intelektual, semangat, rasa percaya diri, perasaan dan fisik. Oleh karena itu pendidikan seharusnya mencukupi kebutuhan manusia di segala aspek dari spiritual,intelektual, imajinatif,fisik, ilmu pengetahuan, bahasa, baik secara individu maupun kelompok, dan motivasi dalam semua aspek ini untuk menjadikan kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Dan tujuan mendasar pendidikan terletak pada penerapan dan ketundukan penuh kepada Allh pada tingkat individu, kmunitas, dan manusia pada umumnya. Lihat H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 4. 130
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 90.
47
menyatakan bahwa tujuan akhir dari pendidikan terbentuknya
kepribadian
muslim.
Kepribadian
Islam
adalah
muslim
adalah
kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.131 Secara umum para ahli pendidikan merumuskan tujuan pendidikan Islam ke dalam tiga macam tujuan, yaitu sebagai berikut: a. Tujuan Akhir Konferensi dunia pertama tentang pendidikan Islam pada tahun 1977 berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah.132 Hal tersebut ditegaskan oleh al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Ridlwan Nashir
tentang tujuan
akhir
atau
al-adhaf
al-‘Ulya
adalah
kesempurnaan manusia yang bertujuan mencapai kedekatan diri kepada Allah, juga kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.133 Tujuan akhir dari pendidikan Islam ini dapat dipahami dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(Q.S. Ali Imran/3:102).134 Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah SWT inilah merupakan ujung dan akhir dari proses hidup dan ini merupakan isi kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan yang dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Insan kamil yang mati dalam keadaan
131 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al- Ma’arif, 1989), hlm. 23 132
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Firdaus, 1989), hlm. 2.
133
H.M. Ridlwan Nashir, Mencari Tipologi..., hlm. 68
134
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 92.
48
berserah diri kepada Allah inilah merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.135 b. Tujuan Umum Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan cara pengajaran atau dengan yang lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan seperti sikap, penampilan, tingkah laku, kebiasaan dan, pandangan. Bentuk Insan Kamil dengan pola takwa kepada Allah harus tergambar dalam pribadi seseorang. Tujuan umum pendidikan Islam harus sejajar dengan pandangan Islam pada manusia yaitu makhluk Allah yang mulia dengan akalnya, perasaannya, ilmunya, kebudayaannya, pantas menjadi khalifah Allah di bumi.136 Pendidikan Islam sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW. dimulai dari mengubah sikap dan pola pikir masyarakat, menjadikan masyarakat Islam menjadi masyarakat belajar. Berkembang menjadi masyarakat ilmu yaitu masyarakat yang mau dan mampu menghargai nilai-nilai
ilmiah,
yang
dapat
bertanggung
jawab
untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.137 Dalam hal ini Zakiah Darajat juga mengemukakan hal sama tentang tujuan umum pendidikan Islam, menurut Zakiah Darajat secara umum, tujuan pendidikan
Islam
adalah terbentuknya
kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi Insan Kamil dengan pola takwa. Insan Kamil merupakan manusia yang utuh, baik dari segi rohani dan jasmaninya, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT. Dari sini Zakiah Daradjat lebih mengedepankan bagaimana pendidikan Islam harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak, karena pada 135
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 67. 136
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan…,hlm. 64-65.
137
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 12.
49
dasarnya pendidikan anak itu merupakan tanggung jawab orang tuanya.138 Kualitas insan kamil, meskipun akan selalu merupakan idola (taraf sepenuhnya hanyalah Rasulullah yang mampu mencapainya), jelas bukan berkembang dari pribadi manusia yang terpecah (split of personality),
pribadi
yang
timpang
(materialistik
maupun
spiritualistik), amoral egosentrik, ataupun antroposentrik sebagaimana yang secara ironi masih banyak dihasilkan oleh sistem pendidikan sekarang. Kualitas lulusan pendidikan insan kamil niscaya akan merupakan perpaduan wajah-wajah Qurani sebagai berikut :139 1) Wajah kekeluargaan dan persaudaraan yang menumbuhkan sikap
egaliter (Q.S. 44: 11-13) 2) Wajah yang penuh kemuliaan sebagai makhluk yang berakal dan
dimuliakan (Q.S. 8:4; 16:70; 17:23; 25:72; 33:34; 49:13) 3) Wajah yang bercahaya yang menumbuhkan jalan terang bagi
lingkungannya (Q.S. 5:15; 6:122; 4:174) 4) Wajah yang kreatif yang menumbuhkan gagasan baru dan
bermanfaat bagi kemanusiaan (Q.S. 23:14) 5) Wajah monokotomis yang menumbuhkan integralisme sistem ke
dalam sistem insaniyah dan sistem kauniyah (Q.S. 2:25; 3:9; 4:135) 6) Wajah yang penuh keterbukaan dan menumbuhkan prestasi kerja
dan pengabdian mendahului prestise (Q.S. 6:132) 7) Wajah keseimbangan yang menumbuhkan kebijakan dan kearifan
dalam pengambilan keputusan (Q.S. 55:78) 8) Wajah kasih sayang yang menumbuhkan
karakter dan aksi
solidaritas dan sinergi (Q.S. 7:151; 21:107; 17:24; 30:21; 31:3)
138 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: Ruhama, 1993), hlm. 53. 139
Khiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 167-168.
50
9) Wajah altruistik yang menumbuhkan rasa kebersamaan dalam
mementingkan orang lain (Q.S. 59:9) 10) Wajah demokratis yang menumbuhkan rasa penghormatan dan
penghargaan terhadap persepsi yang berbeda (Q.S. 90:60; 59:7) 11) Wajah keadilan yang menumbuhkan persamaan hak serta
perolehan (Q.S. 5:8) 12) Wajah disiplin yang menumbuhkan keteraturan dan ketertiban
dalam kehidupan (Q.S. 2:218; 24:52; 59:18) 13) Wajah manusiawi yang menumbuhkan usaha menghindarkan diri
dari dominasi dan eksploitasi (Q.S. 2:256; 40:8-9) 14) Wajah penuh kesederhanaan yang menumbuhkan rasa dan karsa
menjauhkan diri dari pemborosan dan kemubaziran (Q.S. 2:165; 3:15; 7:131; 79:38) 15) Wajah yang intelektual atau terpelajar yang menumbuhkan daya
imajinasi dan daya cipta (Q.S. 58:11) 16) Wajah yang bernilai tambah (Q.S. 22:78; 53:39; 59:18)
c. Tujuan Khusus Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah perubahan-perubahan yang diingini yang bersifat cabang atau bagian yang termasuk di bawah tiap-tiap tujuan daripada tujuan – tujuan pendidikan umum.140 Tujuan
pendidikan
Islam
yang
bersifat
khusus
terkandung
fleksibilitas, maksudnya tujuan khusus ini dapat dirumuskan sesuai dengan keadaan zaman, tempat dan waktu namun tetap tidak bertentangan dengan tujuan yang lebih tinggi yaitu tujuan akhir atau tujuan umum.141 Kaitannya dengan kemungkinan perubahan dan penyesuaian tujuan khusus ini, menurut Achmadi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syar’i
140
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan…,, hlm. 422.
141
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 56.
51
memberikan rumusan faktor yang melandasi perlunya penyesuaian itu dilakukan:142 1) Kultur dan cita-cita suatu bangsa dimana pendidikan itu diselenggarakan 2) Minat, bakat, dan kesanggupan peserta didik. 3) Tuntutan siatuasi kondisi pada waktu tertentu. Mengingat pendidikan adalah proses hidup dan kehidupan umat manusia,
maka
tujuannya
pun
mengalami
perubahan
dan
perkembangan sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dalam hal ini, tujuan khusus sebagai pedoman operatif praksis dituntut untuk senantiasa siap memberi hasil guna baik bagi keperluan menciptakan dan mengembangkan ilmu-ilmu baru maupun membina sikap hidup kritis.143 Lebih lanjut tentang tujuan pendidikan dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu:144 a. Menjadikan hamba Allah yang bertakwa Pengabdian kepada Allah akan menjadikan manusia itu bertakwa (Q.S. al-Anbiya’/21:25),145 manusia paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang yang paling bertakwa (Q.S. al-Hujurat/49:13)146 dari sini jelaslah bahwa takwa tidaklah mungkin dicapai tanpa ibadah. Takwa mencakup segala nilai yang diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Nilai-nilai tersebut oleh Hasan 142
Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 27.
143
H.M. Ridlwan Nashir, Mencari Tipologi..., hlm. 63-64.
Mahfud Junaidi, “Konsep Tujuan Pendidikan”, dalam Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 199. 144
145
Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (Q.S. al-Anbiya’/21:25). Lihat A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan…, hlm. 498. 146
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49:13). Lihat A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan…, hlm. 847.
52
Langgulung sebagaimana dikutip oleh Mahfud Junaidi sebagi berikut:147 1) Nilai perseorangan 2) Nilai kekeluargaan 3) Nilai sosial 4) Nilai kenegaraan 5) Nilai keagamaan b. Mengantarkan anak didik menjadi khalifah Dalam al-Qur’an manusia menempati kedudukan yang istimewa , ia adalah khalifah di muka bumi sebagaimana firman Allah: ... Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Q.S. al-Baqarah/2:30).148 Manusia yang diangkat oleh Allah dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau ia dilengkapi dengan potensi yang membolehkannya berbuat demikian. al-Qur’an mengatakan bahwa ada beberapa ciri yang dimiliki manusia, pertama manusia memiliki fitrah (potensi) yang baik. Kedua kebutuhan-kebutuhan biologis yang menuntut kepuasan. Ketiga kebebasan kemauan yaitu kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri. Peranan pendidikan dalam hal ini adalah membina individu-individu yang akan bertindak sebagi khalifah, sehingga ia mampu melaksanakan amanat yang diberikan oleh Allah kepadanya.149
c. Memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat
147
Mahfud Junaidi, “Konsep...”, hlm. 199.
Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid I, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 74. 148
149
Mahfud Junaidi, “Konsep Tujuan...”, hlm. 200.
53
Sebagaimana dijelaskan pada uraian terdahulu yaitu tujuan akhir pendidikan adalah kesempurnaan manusia yang bertujuan mencapai kedekatan diri kepada Allah, juga kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Aspek keseimbangan sangat dijunjung tinggi dalam pendidikan Islam. Hal tersebut tercermin dalam firman Allah sebagai berikut: Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (Q.S. al-Baqarah/2:201)150 Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. al-Qashas/28:77)151 4. Komponen Pendidikan Islam a. Pendidik Pendidik (guru)152 merupakan elemen penting dalam pendidikan karena tanpa seorang guru, pendidikan tidak akan dapat berjalan dengan begitu baik dan maksimal. Pendidikan akan mengalami tujuan
150
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan…, hlm. 49.
151
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan…, hlm. 623.
152
Istilah pendidik dalam konteks pendidikan Islam sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mudarris, mursid. Disamping itu, istilah pendidik kadang kala disebut melalui gelarnya sepert istilah ustadz dan al-syaykh. Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan..., hlm. 87.
54
yang muram dan bias bahkan dapat dikatakan gagal apabila tidak adanya seorang guru.153 Marimba mendefinisikan pendidik sebagai orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan si terdidik.154 Sedangkan pendidik dalam Islam merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik.155 Pendidikan Islam menggunakan tanggung jawab sebagai dasar untuk menentukan pengertian pendidik, sebab pendidikan merupakan kewajiban agama, dan kewajiban hanya dipikul kepada orang yang telah dewasa. Kewajiban tersebut pertama-tama bersifat personal, dalam arti setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan dirinya sendiri, kemudian bersifat sosial dalam arti setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan orang lain.156 Dasar kewajiban tersebut adalah firman Allah sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. al-Tahrim/66:6).157 153 Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia ; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hlm. 155. 154
Ahmad D. Marimba, PengantarFilsafat..., hlm. 37.
155
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan..., 87.
156
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm. 165. Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 284. 157
55
Menurut
Abdurrahman
al-Nahlawi
dalam
bukunya
yang
berjudul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat menjelaskan
bahwa
keluarga
muslim
adalah
keluarga
yang
mendasarkan aktivitasnya kepada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syariat Islam, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, dapat dikatakan bahwa tujuan pembentukan keluarga yang menjadi tempat pendidikan anak adalah: 1) Mendirikan syariat Islam dalam segala permasalahan rumah tangga. 2) Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologi. 3) Mewujudkan Sunnah Rasulullah SAW dengan melahirkan anak-anak saleh sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadiran anak. 4) Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak. Naluri menyayangi anak adalah potensi
yang diciptakan bersamaan dengan
penciptaan manusia dan binatang. 5) Menjaga
fitrah
anak
agar
anak
tidak
melakukan
penyimpangan-penyimpangan.158 Dalam keluarga, anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan orang tuanyalah yang menjadi guru bagi anak-anaknya. Zakiyah Darajat membagi peranan guru sebagai berikut: 1) Guru sebagai pengajar 2) Guru sebagai pembimbing dan 3) Guru sebagi pemimpin. 159 Sedangkan Saiful Bahri Jamarah membagi peranan guru dalam pendidikan sebagai berikut :
158 Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 13-145. 159
Zakiyah Daradjat, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 265.
56
1)
Guru sebagai korektor, yakni guru harus bisa membedakan mana nilai baik dan mana nilai buruk
2)
Guru sebagi inspirator, artinya guru harus dapat memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar anak
3)
Guru sebagai informator, yakni guru harus memberikan informasi mengenai perkembangan IPTEK yang sesuai dengan materi pelajaran
4)
Guru sebagai organisator, artinya guru harus dapat mengelola kegiatan akademik
5)
Guru sebagai inisiator, artinya guru harus bisa menjadi pencetus ide-ide kemajuan pendidikan
6)
Guru sebagai fasilitator, artinya guru hendaknya menyediakan kemudahan-kemudahan kegiatan belajar siswa
7)
Guru sebagai pembimbing, hendaknya mampu membimbing siswa menjadi anak yang cakap, susila dan sebagainya
8)
Guru sebagai demonstrator, artinya guru harus memperagakan materi pelajaran agar dapat dipahami siswa, karena kemampuan siswa tidak sama
9)
Guru sebagai pengelola kelas, artinya guru harus bisa mengelola kelas dengan baik agar hasilnya juga baik.
10) Guru sebagai mediator, artinya guru hendaknya mengetahui berbagai bentuk media yang efektif bagi kelancaran edukatif 11) Guru sebagai supervisor, artinya guru hendaknya dapat membantu memperbaiki dan menilai kritis terhadap pengajaran 12) Guru sebagai evaluator artinya guru hendaknya bisa memberi nilai secara komprehensif terhadap siswa.160 Menurut Al-Ghazali yang dikutip oleh Bukhari Umar dijelaskan bahwa tugas pendidik dalam pendidikan Islam yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membimbing 160
Syaiful Bahri Jamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 43-48.
57
hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut: 1) Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta melakukan penilaian setelah program dilakukan. 2) Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah menciptakannya. 3) Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan diri sendiri, peserta didik, dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai
masalah
yang
menyangkut
upaya
pengarahan,
pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang telah dilakukan.161 Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembawa amanah ilahiyah untuk mencerdaskan kehidupan umat manusia dan mengarahkannya untuk senantiasa taat kepada Allah dan berakhlak mulia, maka seorang pendidik dituntut untuk memiliki persyaratan tertentu, baik yang berkaitan dengan kompetensi profesional, pedagogik, sosial maupun kepribadian.162 Dalam pandangan Zakiah Darajat, kompetensi sosial dan kepribadianlah yang paling utama yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Hal tersebut dikarenakan seorang pendidik yang mempunyai kepribadian yang baik dapat di evaluasi oleh semua pihak, apakah pendidik tersebut merupakan pendidik yang baik atau tidak, hal tersebut dapat dilihat dari kepribadiannya yang utuh baik meliputi tingkah laku atau tata bahasanya dalam melakukan pendidikan seharihari.163 161
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 88.
162
Untuk lebih jelasnya lihat undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
163
Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 16.
Dosen.
58
b. Peserta didik Dalam bahasa arab terdapat istilah yang bervariasi tentang peserta didik. Diantaranya Thalib, Muta’allim, dan Murid. Thalib berarti orang yang menuntut ilmu, muta’allim berarti orang yang belajar, sedangkan murid berarti orang yang berkehendak atau ingin tahu.164 Samsul Nizar menyebutkan deskripsi tentang hakikat peserta didik sebagaimana dikutip oleh Mujib diantaranya adalah: 1) Peserta didik bukan hanya miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode metode mengajar, materi yang diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan lain sebagainya. 2) Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodisasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh Peserta didik. Hal ini sangat beralasan, karena kadar kemampuan Peserta didik ditentukan oleh faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya. 3) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Diantara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu penting dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas kependidikannya dapat berjalan secara baik dan lancar. 4) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh
164
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan …, hlm. 103.
59
faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berbeda. Pemahaman tentang differensiasi individual Peserta didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan karena menyangkut bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut
dalam suasana dinamis,
tanpa harus
mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok. 5) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengasah daya intelektualitasnya melalui ilmu-ilmu rasional, dan daya rasa dapat
dilakukan melalui
pendidikan akhlak dan ibadah.
Pemahaman ini merupakan hal yang perlu agar proses pendidikan Islam memandang Peserta didik secara utuh, yakni tidak mengutamakan salah satu daya saja, tetapi semua daya dikembangkan dan diarahkan secara integral dan harmonis. 6) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas
pendidik
adalah
membantu
mengembangkan
dan
mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan
yang
diinginkan,
tanpa
melepaskan
tugas
kemanusiaannya, baik secara vertikal maupun horisontal.165 Al-Ghazali merumuskan beberapa kode etik yang harus diperhatikan dan dijalankan oleh peserta didik, di antaranya sebagai berikut:
Mujib, “Pendidikan Humanis dalam Islam”, Skripsi Program Studi Pendidikan Agama Islam, (Salatiga: STAIN Salatiga, 2011), hlm. 89-91. 165
60
1) Peserta didik harus belajar dengan niat ibadah dalam rangka
taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga dalam kehidupan seharihari peserta didik dituntut untuk selalu mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. Sesuai dengan firman Allah: Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”(Q.S. al- An’am/6: 162).166 2) Peserta didik harus mengurangi kecenderungan pada duniawi
dibandingkan masalah ukhrawi. Sesuai dengan firman Allah: Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan. (Q.S. ad-Dhuha/93: 4).167 3) Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan
kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. 4) Menjaga pikiran dari pertentangan yang timbul dari berbagai
aliran. 5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun
duniawi. 6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran
yang mudah menuju pelajaran yang sukar, atau dari ilmu fardhu ‘ain menuju ilmu fardhu kifayah. Sesuai dengan firman Allah: Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan), (Q.S. Al- Insyiqaq/84: 19).168 7) Belajar ilmu sampai tuntas kemudian beralih pada ilmu yang
lainnya. 166
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan…, hlm. 201
167
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan…, hlm. 900
168
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan…, hlm. 882.
61
8) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang di pelajari. 9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebulum masuk ilmu duniawi. 10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu
ilmu dapat bermanfa’at, membahagiakan, menyejahterakan serta member keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. 11) Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik 169
c. Metode Ahmad Tafsir mengartikan metode pendidikan sebagai segala cara yang digunakan dalam upaya mendidik.170 Secara definitif, alToumy mengartikan metode metode pendidikan sebagai segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan murid-muridnya, dan suasana alam sekitarnya dengan tujuan menolong murid-muridnya untuk mencapai proses belahar yang diinginkan dan proses perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Selanjutnya menolong mereka memperoleh maklumat, pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai yang diinginkan.171 Menurut al-Nahlawi metode-metode tersebut ialah sebagai berikut : 1) Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). 2) Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi
169
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan …, hlm. 106.
170
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), hlm. 131. 171
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan..., hlm. 553.
62
Dalam pendidikan Islam terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang studi) kisah sebagai metode pendidikan amat penting, dikatakan amat penting karena : a) Kisah selalu memikat, karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya b) Kisah Qur’ani Nabawi, dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu menampilkan kisah tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh c) Kisah Qur’ani mendidik perasaan keimanan dengan cara : d) Membangkitkan berbagai perasaan seperti khouf, ridlo dan cinta e) Mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak yaitu kesimpulan kisah f) Melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga terlibat secara emosional 3) Metode Amtsal (perumpamaan) Dalam hal ini guru memberikan contoh perumpamaan yang pengungkapannya tentu saja sama dengan metode kisah yaitu dengan ceramah atau membaca teks. Kelebihan
metode ini
adalah : a) Mempermudah siswa memahami konsep yang abstrak, karena perumpamaan mengambil benda konkrit seperti kelemahan orang. b) Dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersurat dalam perumpamaan. c) Bila menggunakan perumpamaan haruslah logis, mudah dipahami. d) Amtsal Qur’ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan. 4) Metode Teladan
63
Pendidik (guru) adalah contoh dari siswa, maka seorang pendidik harus dapat bertindak bijak (lebih efektif dan efisien), dan teladan yang baik adalah guru yang dapat mengikuti jejak Rasulullah SAW. 5) Metode Pembiasaan Pembiasaan
sebenarnya
mempunyai
inti
pengalaman,
kebiasaan yang dalam hal ini adalah berhubungan dengan kebaikan sehingga hal tersebut perlu diamalkan. 6) Metode Ibrah dan Mu’izah Ibrah atau I’tibar adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan dan dihadapi, dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun Mu’izah adalah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara memperjelaskan pahala atau ancamannya 7) Metode Targhib dan Tarhib Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan.172
Mendidik dengan targhib berarti menyampaikan
hal-hal yang menyenangkan kepada peserta didik agar ia mau melakukan sesuatu yang baik. Sedangkan mendidik dengan tarhib berarti menyampaikan sesuatu yang tidak menyenangkan agar peserta didik melakukan sesuatu guna mencegah hal tersebut atau agar peserta didik tidak melakukan hal yang buruk tadi.173 Islam memberi arahan dalam memberi hukuman terhadap anak atau peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:174 172
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan ..., hlm. 131-146.
173
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Aly, (Bandung: CV Diponegoro, 1999), hlm. 52-60. 174
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 18-22.
64
1) Tidak
menghukum
anak
ketika
marah,
karena
terbawa
emosional yang dipengaruhi nafsu setan. 2) Tidak menyakiti perasaan dan harga diri anak. 3) Tidak merendahkan derajat dan martabat yang dihukum. 4) Tidak menyakiti secara fisik. 5) Bertujuan mengubah perilaku yang tidak atau kurang baik. Menurut al-Abrasyi, metode pendidikan dan pengajaran dalam rangka pendidikan Islam sangat banyak terpengaruh oleh prinsipprinsip kebebasan dan demokrasi. Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar.175 d. Kurikulum Kata kurikulum dalam bahasa Arab berasal dari kata “manhaj” yang mempunyai arti jalan yang terang atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan. Menurut al-Toumy, dalam konteks pendidikan kurikulum merupakan jalan terang yang dilalui oleh pendidik dengan orang-orang yang dididik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka. 176 Pendidikan Islam dibangun atas dasar pemikiran yang Islami, bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia, serta diarahkan pada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah Islam. Pemikiran tersebut pada gilirannya akan melahirkan kurikulum yang khas. Kurikulum yang demikian, menurut pendapat al-Nahlawi sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly mengacu pada prinsipprinsip sebagai berikut : 1)
Sistem
dan
pengembangan
kurikulum
hendaknya
memperhatikan fitrah manusia, agar tetap berada dalam kesuciannya dan tidak menyimpang.
175
Abd Rahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 210. 176
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan..., hlm. 478.
65
2)
Kurikulum hendaknya mengacu pada pencapaian tujuan akhir pendidikan
Islam
sambil
memperhatikan
tujuan-tujuan
dibawahnya. 3)
Kurikulum perlu disusun secara bertahap mengikuti periodisasi perkembangan peserta didik.
4)
Kurikulum
hendaknya
memperhatikan kepentingan nyata
masyarakat seperti, kesehatan, keamanan, administrasi, dan pendidikan. Kurikulum hendaknya juga disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan seperti iklim dan kondisi alam yang memungkinkan adanya perbedaan pola kehidupan: agraris, industrial, komersial. 5)
Kurikulum hendaknya terstruktur dan terorganisasi secara integral. Hubungan antar bidang studi, bahan-bahan pokok dan jenjang pendidikan dijalin dengan satu “benang merah” yang mengacu pada tujuan akhir pendidikan Islam, serta bersumber pada satu dasar pandangan bahwa seluruh alam adalah milik Allah dan seluruh manusia adalah hamba-hamba-Nya yang hidup sesuai kehendak dan menurut syariat-Nya. Dengan prinsip ini segala peristiwa dan situasi kehidupan dibahas secara interdisipliner.
6)
Kurikulum hendaknya realistis. Artinya kurikulum dapat dilaksanakan sesuai dengan berbagai kemudahan yang dimiliki setiap negara yang melaksanakannya.
7)
Metode pendidikan yang merupakan salah satu komponen kurikulum hendaknya fleksibel. Artinya, metode pendidikan dapat disesuaikan dengan berbagai kondisi atau situasi lokal, serta perbedaan individual seperti bakat, minat dan kemampuan peserta didik.
8)
Kurikulum hendaknya efektif untuk mencapai tingkah laku dan emosi yang positif
66
9)
Kurikulum hendaknya memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik baik fisik, emosional, maupun intelektualnya.
10)
Kurikulum hendaknya memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliyah Islami yang mengejawantahkan segala rukun, syi’ar, dan etika Islam. Sepuluh prinsip kurikulum sebagaimana dikemukakan oleh al-
Nahlawi di atas tampak sudah meliput apa yang secara teknis disebut landasan kurikulum dan prinsip-prinsip umum kurikulum. Yang dimaksud dengan landasan kurikulum ialah landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya. Kemudian yang dimaksud dengan prinsip-prinsip umum kurikulum prinsip relevansi, prinsip fleksibilitas, prinsip kontinuitas, prinsip praktis dan efisiensi, dan prinsip efektivitas.177 e. Evaluasi Evaluasi merupakan akhir dari suatu pekerjaan. Dengan demikian, evaluasi pendidikan Islam merupakan kegiatan terakhir yang dilakukan pendidik untuk mengetahui seberapa jauh proses pendidikannya telah mencapai tujuan. Sehubungan dengan ini, secara sistematis Zuhairini, sebagaimana dikutip oleh Baharuddin dan Moh Makin mengatakan: “Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemampuan suatu pekerjaan dalam pendidikan islam”178 Dalam melaksanakan evaluasi, terdapat beberapa prinsip-prinsip evaluasi dalam pendidikan Islam yaitu:179 1)
Prinsip berkelanjutan Prinsip ini dimaksudkan bahwa evaluasi tidak hanya dilakukan sekali dalam satu jenjang pendidikan, setahun,
177
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan ..., hlm. 165.
178
Baharuddin dan Moh Makin, Pendidikan Humanistik..., hlm. 203.
179
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 56-57.
67
semester, catur wulan, atau sebulan. Akan tetapi harus dilakukan setiap saat. Dengan evaluasi secara kontinu ini perkembangan anak didik dapat terkontrol dengan baik. 2)
Prinsip universal Prinsip ini maksudnya adalah evaluasi hendaknya dilakukan untuk semua aspek sasaran pendidikan, aspek tersebut ialah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
3)
Prinsip keikhlasan Pendidik yang ikhlas dalam mengevaluasi terlihat dari sikapnya yang transparan dan obyektif. Pendidik tidak hanya mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan siswa, tetapi juga dapat menunjukkan jalan keluarnya. Pentingnya melakukan evaluasi dapat dicerna dari al-Qur’an, hal
ini dapat dicermati dalam proses tarbiyah pada figur Adam. Dari sini dapat dipahami bahwa setelah melaksanakan kegiatan pendidikan-Nya berupa mengajari Nabi Adam dengan nama-nama benda (Q.S. alBaqarah/2:31), Allah mengadakan evaluasi berupa perintah untuk menyebutkan nama-nama benda tadi. (Q.S. al-Baqarah/2:33). Oleh karena itu, pentingnya melakukan evaluasi dalam praktik pendidikan Islam pada konteks kekinian bisa berangkat dari paradigma ini.180 []
180
Baharuddin dan Moh Makin, Pendidikan Humanistik..., hlm. 203.
68
BAB III HUMANISME RELIGIUS MENURUT ABDURRAHMAN MAS’UD I. Mengenal Lebih Dekat Abdurrahman Mas’ud 4. Biografi Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D lahir di Desa Damaran Kecamatan Kota Kabupaten Kudus1 pada tanggal 16 April 1960. Ayah Abdurrahman bernama H. Mas'ud bin KH. Irsyad, merupakan seorang santri yang berkiprah di bidang tekstil yang sukses. Sedangkan Ibu Abdurrahman benama Hj. Chumaidah binti H. Amir Hadi.2 Memang Desa Damaran sebagai salah satu Desa di Kudus terkenal dengan iklim agama dan dagang, terutama tekstil. Selain itu, di Damaran juga masih sangat kental dengan budaya Kudus yang hidup dengan apa adanya dan hormat kepada Kiai. Sehingga apabila dilihat lari sosiohistoris, iklim Kudus banyak mempengaruhi pola pikir Abdurrahman yang memang sejak kecil sudah berkecimpung di dunia agama.3 Situasi dan tradisi lingkungan pesantren dimana Abdurrahman dilahirkan, berkaitan erat dengan lingkungan yang sudah padat dengan rumah-rumah penduduk. Selain itu, mayoritas mata pencaharian penduduk adalah pengusaha konveksi atau sejenis industri rumah tangga lain seperti bordir dan tenun tangan (non-mesin).4
1
Kabupaten Kudus adalah salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, terletak diantara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Pati serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o36’ dan 110o50’ Bujur Timur dan antara 6o51’ dan 7o16’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 22 km. Lihat Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus, Kudus Dalam Angka 2012/2013, (Kudus: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus dan BAPPEDA Kabupaten Kudus, 2012), hlm. 3 M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih Dekat Prof. H. Abdurrahman Mas'ud, M.A., Ph.D.”, dalam Abdurrahman Mas’ud, Buku Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam, 20 Maret 2004. 2
3
M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih…”, 20 Maret 2004.
Anonim, “Profil Kecamatan Kota Kabupaten Kudus”, http://mediaopsikudus.blogspot.com/2010/06/profil-kecamatan-kota-kabupaten-kudus.html, diakses 3 Mret 2015. 4
69
Dalam kondisi demikian, ayahnya tetap mempunyai komitmen agar Abdurrahman tidak tergiur dengan dunia kerja dulu, tetapi memiliki niat kuat belajar agama. Maka anaknya dilibatkan dalam kegiatan agama baca Al-Qur'an dan Al-Barjanji di Kauman Menara di bawah Jam'iyyah Nahhdlatul Athfal (NA). Lewat jam'iyyah ini ia dididik membaca AlQur'an dengan fasih dan dibekali cinta kepada Rasulullah dengan membaca sejarahnya yang ditulis Imam Al-Barzanji. Maka orang Jawa dengan mudah menyebut kegiatan ini dengan nama Berjanjenan.5 5. Latar Belakang Pendidikan Pendidikan formal pertama Abdurrahman Mas'ud dimulai pada usia enam tahun (1966). Selama dua tahun ia mengikuti pendidikan prasekolah di Raudlatul Athfal Banat NU Kerjasan Kudus. Setelah itu mulai tahun 1968 ia masuk di Madrasah Qudsiyah6 Kudus dari tingkat Shifir Awal. Di tingkat shifir ia mengikuti pendidikan selama dua tahun (shifir awal dan shifir sani). Setelah itu barulah pada tahun 1968 ia masuk Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, dan Aliyah hingga lulus tahun 1980. Jadi Abdurrahman belajar di Madrasah Qudsiyyah selama 12 bulan.7 Diantara guru Abdurrahman sewaktu di Qudsiyyah adalah: KH. Ma'ruf Asnawi, KH. Yahya Arif, KH. M. Sya'roni Ahmadi, KH. Ma'ruf Irsyad (paman Abdurrahman), K. Abdul Jalil dan lain-lain. Dari Qudsiyyah, Abdurrahman bersinggungan dengan dunia kitab kuning. Misalnya mengaji beberapa kitab; al-Tahri>r (fiqh), Ibn Aqi>l Syarah Alfiyyah Ibn Ma>lik (nahwu), ‘Uqu>d al-Juma>n (balaghah), Tuhfat alMuri>d (tauhid), Fara’id al-Saniyah (ahl as-sunnah wa al-jama>'ah), Faidh
5
M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih…”, 20 Maret 2004.
6
Madrasah Qudsiyyah didirikan oleh K.H.R. Asnawi pada tahun 1318 H. Pada mulanya madrasah ini mempunyai dua bagian, bagian Ibtidaiyyah dan bagian Tsanawiyah serta memberikan pelajaran agama 75% dan pendidian umum 25%. Kemudian sekarang ini pendidikan yang ada di madrasah Qudsiyyah sudah mulai imbang antara pendidikan agama dan pendidikan umum bahkan sudah mendirikan pendidikan Aliyah. Pada masa pendudukan jepang madrasah ini terpaksa di tutup dan baru dibuka kembali pada tahun 1950 M. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), hlm. 253-254. 7
M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih...”, 20 Maret 2004.
70
al-Asani (qira'ah sab'ah), ‘Ulum al-Qur'an dan lain-lain. Di Madrasah Qudsiyyah juga Abdurrahman dikenalkan dengan ilmu yang jarang diajarkan oleh sekolah lain, misalnya; Falaq (astronomi), ‘Aru>dh (ilmu tentang syi'ir arab) dan Qira'ah Sab'ah.8 Setelah selesai dari Qudsiyyah, ia bertandang ke Jakarta melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatulah (sekarang UIN) Fakultas Tarbiyah. Gelar “Drs” diperoleh pada tahun 1987. Pengalaman selama kuliah diantaranya, pernah mengikuti Workshop Non-Government Organization (NGO) di Philipina selama 2 bulan pada tahun 1986. Kemudian pada tahun 1990, atau tepatnya dua tahun sepeninggal ayahnya, Abdurrahman melanjutkan studi di Universitas California Los Angeles (UCLA) dan berhasil meraih gelar Master of Art (M.A) pada tahun 1992. Kemudian tahun 1997 gelar Doctor
of
Philosophy
(Ph.D),
pada
konsentrasi
studi
Islam
(interdepartemental studies) dengan beasiswa Fullbright.9 Selama kuliah tujuh tahun di Amerika, Abdurrahman banyak terlibat dalam kegiatan keagamaan. Dia diberi amanat sebagai penasehat kegiatan keagamaan Konsulat Jenderal RI Los Angeles California mulai tahun 1990 hingga 1997. Kegiatan disana meliputi pengajian, khutbah di beberapa kampus prestisius, menghadiri undangan tahlil, tarawih dan ceramah dari rumah ke rumah anggota muslim Indonesia sampai ke gedung KJRI Los Angeles, San Francisco, Houston dan Texas.10 Faktor sosio-historis Abdurrahman tidak hanya mempengaruhi komitmennya pada agama, tetapi juga menjadikan Abdurrahman sebagai seorang pemikir yang dapat memahami wacana tradisionalitas dan modernitas. Tradisi pesantren yang dibentuk di lingkungan keluarganya, telah berhasil dibela secara akademis. Hal ini terbukti bahwa dalam disertasinya yang ditulis dengan bahasa Inggris yang berjudul: The 8
M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih...”, 20 Maret 2004.
9
Abrurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara ; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta, Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 294 10
M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih...”, 20 Maret 2004.
71
Pesantren Architects and Their Socio Religious Teachings. Disamping faktor sosio-historis, pemikiran Abdurrahman juga dipengaruhi oleh faktor "sosio-politik", karena keterlibatannya dalam struktur organisasi seperti di PMII Cabang Ciputat Jakarta dan NU (LAKPESDAM di Jakarta) semenjak ia kuliah S1 di Jakarta.11 Organisasi
dan
jabatan
yang
pernah
diamanatkan
kepada
Abdurrahman diantaranya Ketua PMII Cabang Ciputat, Ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Los Angeles AS pada tahun 1992-1995, saat kuliah S3 di Amerika, editor OASE – sebuah bulletin keagamaan untuk komunitas muslim di Los Engeles pada tahun 19941996, menjadi pembimbing kegiatan pengajian komunitas muslim di Los Angeles.12 Sekembali dari Amerika, Abdurrahman diberi kepercayaan menjadi Wakil Direktur Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang pada tahun 1997-1999. Kemudian pada tahun 1999-2000 Abdurrahman diberi amanat menjadi Kepala Pusat Penelitian (PUSLIT) dan Direktur Walisongo Research Institut (WRI) IAIN Walisongo Semarang. Pada tahun yang sama ia dipercaya menjadi konsultan BEP (Basic Educational Project) dan SIMES (Semarang Institut for Muslim Educational Studies).13 Kemudian beliau juga diberi mandat untuk menjadi Direktur Program Pascasarjana di IAIN Walisongo Semarang (2001-2005), disamping menjabat sebagai Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah (20012004). Selain mengajar di Program Pascasarjana IAIN Semarang, Abdurrahman juga menjadi staf pengajar diberbagai universitas negeri maupun swasta terkemuka seperti Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Diponegoro Semarang, Program Pascasarjana UIN Sunan Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Gama Media, 2002), Hlm. 235 11
12
M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih...”, 20 Maret 2004.
Abdurrahman Mas’ud, “Menggagas Format…, hlm. 236.
13
72
Kalijaga
Yogyakarta,
Pascasarjana
Universitas
Islam
Indonesia
Yogyakarta dan Universitas Islam Malang di Jawa Timur. Pada tahun 2005- 2006 Abdurrahman diangkat menjadi Rektor UNSIQ Wonosobo Jawa Tengah.14 Sekarang Abdurrahman menjabat sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.15 6. Karya-karya Ilmiah Sebagai seorang guru besar Sejarah Peradaban Islam, Abdurrahman Mas'ud telah menghasilkan banyak karya-karya ilmiah. Karya-karyanya selain buku, masih banyak yang berbentuk artikel, hasil-hasil penelitian dan makalah. Abdurrahman Mas'ud telah mampu menyampaikan gagasan-gagasan
pemikirannya
dengan
diperkuat
hasil-hasil
penelitiannya sehingga menghasilkan tulisan-tulisan yang menjadi rujukan dalam studi pemikiran Islam. Buku karyanya yang pernah diterbitkan adalah :16 a. Pendidikan Islam: Demokratisasi dan masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 b. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam; Gama Media, Yogyakarta, September, 2002. c. Menuju Paradigma Islam Humanis; Gama Media, Yogyakarta, November, 2003. d. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi; LkiS, Yogyakarta, Februari, 2004. e. Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Aneka Ilmu, Semarang, 2004. Abrurrahman Mas’ud, Dari Haramain…, hlm. 294.
14
15 Prof. Abdurrahman Mas’ud diangkat sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI pada Jum`at, 17 Oktober 2014. Sebelum mendapat amanah memimpin Badan Litbang dan Diklat, beliau pernah menjabat sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Islam Dirjen Pendidikan Islam periode 2006-2007, selanjutnya Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan periode tahun 2007 s.d 2012 serta menjabat sebagai Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan periode 2012 s.d 2014. Lihat Balitbang Kementrian Agama RI, “Prof. Dr. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D. Nahkoda Baru Badan Litbang dan Diklat”, http://bdkbanjarmasin.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=102, diakses 14 Februari 2015. 16 Muntholia’ah, dkk, (ed.), Guru Besar…, hlm. 325.
73
f. Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Kencana Prenada, Jakarta, 2006. g. Budaya Damai Komunitas Pesantren, LP3ES, Jakarta, 2007.17 h. Kiyai Tanpa Pesantren, Potret Kiyai Kudus,
Gama Media
Yogyakarta, 2013.18 Sedangkan karya beliau dalam bentuk majalah, jurnal dan lainnya: a. The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo, (book review), JUSUR, UCLA, Januari 1993, hlm. 117-121. b. The Islamic Quest a Fascinating Account of Muslim Thirst for Knowledge, AL-TALIB, MSA UCLA, News Magazine, Maret 1993, hlm. 12-14. c. Ulama and Muslim Intellectual in Indonesia, Jentera Times, Majalah Bulanan Los Angeles, September 1996, hlm. 22-23. d. Nawawi al Bantani an Intellectual Master of the Pesantren Tradition, Studia Islamika 3, Jakarta November 1996, hlm. 181-114. e. Mahfudz al-Tirmizi an Intellectual Biography, Studia Islamika 3 no. 3, Jakarta November 1998, hlm. 106-118. f. Sunnism and Orthodoxy in the Eyes of Modern Scholars, dalam alJamiah a Jurnal of Islamic Studies, Yogyakarta, no. 61, Tahun 1998. g. The Da’wa Islamiyya in Medieval Java Indonesia, dalam Ihya’ Ulumiddin Interenational Semarang, No. 0I, Vol. I, Tahun 1999, hlm. 25-52. h. Pengajaran Kebudayaan Islam, dalam Chabib Thoha, Metodologi Pengajaran Agama, 1999.
Balitbang Kementrian Agama RI “Prof. Dr. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D. Nahkoda Baru Badan Litbang dan Diklat”, http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/berita/724prof-dr-abd-rahman-masud-phd-nahkoda-baru-badan-litbang-dan-diklat.html, diakses pada 15 Februari 2015 17
Balitbang Kementrian Agama RI “Prof. Dr. Abd. Rahman Mas’ud…”. diakses pada 15 Februari 2015 18
74
i. Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat Madani, dalam Isma’il SM., Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani, 2000. j. Pesantren dan Walisongo sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan, dalam Darori Amin, (ed) Islam dan Kebudayaan Jawa, 2000. k. Khalil Bangkalan an Intellectual Biography, dalam Ihya’ Ulumuddin International Journal Semarang, No. 02, Vol. 2, Tahun 2000, hlm. 157- 170. l. Sejarah dan Budaya Pesantren dan Tradisi Learning pada Era Pramadrasah, dalam Ismail SM. dkk. Dinamika Pesantren dan Madrasah, 2002. m. Dikotomi Ilmu Agama dan Nonagama: Kajian Sosiohistoris Pendidikan Islam, Penelitian dengan Bantuan dari DIP IAIN Tahun Anggaran 1999- 2000. n. Pesantren dan Walisongo; sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan, dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. IAIN Walisongo bekerjasama dengan Gama Media, Yogyakarta, 2000, (Editor) Drs. HM. Darori Amin, MA. o. Ulama and Muslim Intellectual in Indonesia, Jentera Times, Monthly Magazine in Los Angeles, September, 1996, hlm. 22-23. p. “Reward And Punishment In Islamic Education”, dalam Ihya’ Ulum al-Din International Jounal number 1, Vol.1., 2000, hlm.94, Pasca Sarjana IAINWalisongo Semarang. q. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, dalam Paradigma Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang, bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. r. “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam” dalam Jurnal Penelitian IAIN Walisongo Semarang, Edisi 17, tahun 2001. s. Etika Profesi dalam Menghadapi Perubahan Milenium, dalam Jurnal Bima Suci, No. II, hlm. 73-77, BAPPEDA, Tingkat Jawa Tengah., 2000.
75
t. Diskursus Pendidikan Islam liberal, dalam Jurnal Edukasi, Vol. I, Tahun X/Desember, 2002, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang. u. From Abd Allah to Khalifah Allah: Imagining a New Model of Indonesian Muslim Education, dalam Jurnal Edukasi, Vol. II, tahun XI/Januari 2004, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang. v. Etika Profesional dan Ruh Agama di Awal Milenium, Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Juli 2009, hlm 69-73 w. Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan, Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, November 2009. x. Nahdlatul Ulama’ and Muhammadiyah Two of Indonesia’s Muslim Giants: Tension Within Intimacy (Harmony), Jurnal Multikultural dan Multireligius, April-Juni 2010, hlm. 9-20.19 y. Religious Harmony, Problem, Practice, and Education, Berlin, 2006.20 z. Pesantren and Radicalization, Jakarta Post, 17 Mei 2013.21 Selain
beberapa
buku
dan
jurnal
yang
dihasilkan
dari
pemikirannya, Abdurrahman Mas'ud juga gemar menulis beberapa makalah yang disampaikan dalam berbagai seminar baik nasional maupun regional serta dalam lokakarya. Makalah-makalah tersebut antara lain:22 a. "Islam and Terrorism ", Diskusi Panel dengan Prof. Ron Lukens- Bull UNF, AS Oktober 2001. b. "Ramadan: Finding Common Ground Between Islamic and Western Values" VOA Washington DC., AS., 28 November 2001, disiarkan secara langsung oleh INDOSIAR Kamis pagi Indonesia.
19
Muntholia’ah, dkk, (ed.), Guru Besar…, hlm. 325
20 Balitbang Kementrian Agama RI “Prof. Dr. Abd. Rahman Mas’ud..., diakses 15 Februari 2015.
Balitbang Kementrian Agama RI “Prof. Dr. Abd. Rahman Mas’ud..., diakses 15 Februari 2015. 21
M. Rikza Chamami dan Eko Budi Utomo, “Mengenal Lebih...”, 20 Maret 2004
22
76
c. "The Concept of Khalifatullah in Islam," Seminar Round Table Discussion dengan para pakar, professor UNF AS, November2001. d. "Muslim Education before the Establishment of the Madrasa", Seminar Middle East Studies Association of North America (MESA) di North Carolina AS, tahun 11-14 September 1993. e. "Why the Pesantren in Indonesia Remains Unique and Stronger", disampaikan dalam Seminar Pattani Campus Thailand, 25-28 Juni 1998. f. "Pengembangan
Ilmu
ke-Islaman
di
IAIN:
Sejarah
dan
Problematikanya", dipresentasikan dalam Simposium Nasional IAIN Walisongo, 11 Juli 2003. g. "Muslim Scholarship: between Challenges and Prospects", Seminar San Francisco, AS, 3 Juni 1995. h. "Metodologi Pengajaran Agama & Aswaja", disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional "Pembaharuan Kurikulum PAI dan Aswaja", LP. Ma'arif, tgl 14-16 Juni 2000. i. “Tarekat dan Modernitas”, disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Tariqoh Mu’tabaroh” STAIN Pekalongan, Tanggal 27 Pebruari 2000. j. “Reposisi Pendidikan Islam”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Pendidikan Islam” STAIN Sunan Drajad Lamongan, Tanggal 27 Mei 2001. k. "Beberapa Catatan Profesi Teknologi Kejujuran", disampaikan dalam Seminar Nasional "Pengujian Teori Teknologi Kejuruan", Tanggal 1112 Maret 2001. l. "Gerakan-Gerakan Sosial Keagamaan dan Potensi Civil Society di Indonesia", disampaikan dalam "Loka Society di Indonesia", WRI Semarang, Tanggal 13-14 Juni 2000. m. "Model-Model Penelitian", disampaikan dalam "Pelatihan Penelitian, STAIN Pekalongan, Tanggal 24 Agustus 2000.
77
n. "Konteks Sosiologis Pendidikan Agama Islam", disampaikan dalam "Pelatihan Penelitian Metodologi Tarbiyah", STAIN Kudus, Tanggal 19-31 Juli 2003. o. "Transformasi Kebudayaan Masyarakat Kudus Menuju Terciptanya Civil Society", disampaikan dalam Seminar Sehari "Membangun Kebudayaan dan Peradaban Masyarakat Kudus", Cermin, Tanggal 8 April 2000. p. "Inklusifisme
dalam
Wacana
keislaman
dan
Kebangsaan",
disampaikan dalam "Lokakarya Pra Muktamar IPKB", Tanggal 2-3 Juli 2003. q. "Metode Da'wah Bil Hal", disampaikan dalam "Lokakarya Da'wah Reformasi Pembangunan, UNISSULA, Semarang, Tanggal 13 Juni 2000. r. "Tantangan dan Prospek jurusan K.l", disampaikan dalam Seminar Regional Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang" Tanggal 15 Pebruari 2000. s. "Perspektif Tentang Komunikasi Global", disampaikan dalam "Seminar Regional Perpustakaan UPT Perpustakaan" UNISSULA, Semarang Tanggal 17Mei 2001. t. "Pendidikan Seks dalam Islam", disampaikan dalam Seminar sehari "Pendidikan
Seks
dalam
Berbagai
Perspektif",
UNISSULA,
Semarang, Tanggal 20 Maret 2001. u. "Potret dan Peta Dunia Pesantren", disampaikan dalam "Lokakarya Kebijakan Pendidikan Nasional dan Pesantren" WRI, Tanggal 23- 25 Nopember 2000. b. "Metode Pendekatan dan Pengajaran PAl di PT Umum" disampaikan dalam "Semiloka Dosen Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum" Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang Tanggal 4 November 2000.
78
c. "Psikologi Kepemimpinan", disampaikan dalam "Training Of Trainer Pusat Study Wanita IAIN Walisongo Semarang" Tanggal 14-15 Agustus 2000. d. "Beberapa Potensi dan Watak Pesantren", disampaikan dalam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Tanggal 19 Januari 2000. e. "Upaya Preventif Penularan Violence Berbaju Agama", disampaikan dalam "Sarasehan Perdamaian", RIB ATH Pekalongan, Tanggal 26 Maret 2001. f. "Beberapa Catatan Sekitar Islamologi", disampaikan dalam "Diskusi Kelompok Ilmuwan Sejarah dan Peradaban Islam", IAIN Walisongo Tanggal 26 Juni 1999. g. "Revalitas Pendidikan Islam dalam Konteks Peradaban", disampaikan dalam "Diskusi Kelompok Ilmuwan Sejarah dan Peradaban Islam IAIN Walisongo Semarang" Tanggal 1 Februari 2000. h. "Cros-Culture Understanding", disampaikan dalam "Diskusi Dosen IAIN Walisongo Semarang", Tanggal 24 November 2000. J. Humanisme Religius Menurut Abdurrahman Mas’ud 1. Konsep Humanisme Religius Pada bab II sudah dijelaskan bahwa kultur humanisme merupakan tradisi rasional dan empirik yang mula-mula sebagian besar berasal dari Yunani dan Romawi Kuno (aliran filsafat), kemudian berkembang melalui sejarah Eropa (Italia pada paro kedua abad ke-14 M). Humanisme menjadi sebagian dasar pendekatan barat dalam pengetahuan, teori politik, etika, dan hukum. Secara umum, istilah humanisme dipahami sebagai suatu ajaran yang tidak menggantungkan diri pada doktrin-doktrin yang tidak memberikan kebebasan kepada individu. Doktrin-doktrin yang bersifat otoritatif sangat bertentangan dengan prinsip dasar humanisme, yang senantiasa memberikan kebebasan kepada setiap individu dalam menentukan pilihan hidup, baik dalam beragama, berpendapat maupun dalam menuntut
79
haknya, tetapi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan hak-hak orang lain tetap diperhatikan.23 Dalam perkembangan dunia saat ini, humanisme mempunyai dua kategori yaitu humanisme sekuler dan humanisme religius. Humanisme sekuler adalah salah satu hasil pencerahan rasionalisme abad ke-18, dan kebebasan pemikiran pada abad ke-19.Humanisme sekuler melakukan pemberontakan terhadap agama lebih disebabkan karena agama dianggap sering menimbulkan masalah dan tidak mampu mengadvokasi masalah kemanusiaan.24 Dalam konteks ini agama terjebak dalam hal yang bersifat formal. Berbeda dengan humanisme sekuler yang melakukan pemberontakan terhadap
agama,
humanisme
religius
justru
menganggap
aksi
Husma Amin, “Aktualisasi Humanisme Religius Menuju Humanisme Spiritual Dalam Bingkai Filsafat Agama”, Jurnal Substantia, (Vol. XV, No. 1, April/2013), hlm. 66 23
24
Pemberontakan seorang humanis sekuler terhadap nilai-nilai religius dapat dilihat dalam karangan kontroversial Salman Rusdie pada tanggal 13 februari 1989, yang berhubungan dengan novelnya yang berjudul “The Satanic Verses”: “ that there is an old, old conflict between the secular view of the world and the religious view of the world, and particularly between texts which claim to be divinely inspired and texts which are imaginatively inspired. . . . I distrust people who claim to know the whole truth and who seek to orchestrate the world in line with that one true truth. I think that's a very dangerous position in the world. It needs to be challenged. It needs to be challenged constantly in all sorts of ways, and that's what I tried to do.” Di sana ada sesuatu yang lama, konflik yang lama antara pandangan hidup sekuler dan agama, dan khususnya konflik antara teks yang diklaim sebagai inspirasi ilahiyyah dan yang terinspirasi secara imajinatif … saya tidak percaya kepada orang yang mengklaim seluruh kebenaran dan yang dicari untuk mengatur dunia dalam garis satu kebenaran hakiki. Saya pikir ini adalah posisi di dunia yang sangat berbahaya. Saya ingin menantang. Saya ingin menantang secara tetap dalam seluruh macam jalan, dan ini adalah apa yang telah saya coba untuk dikerjakan. Pada tanggal 2 Maret, 1989, dalam edisi New York Review, dia menerangkan di dalam ayat-ayat setan dia --“. . . tried to give a secular, humanist vision of the birth of a great world religion. For this, apparently, I should be A tried. . . . "Battle lines are being drawn today," one of my characters remarks. "Secular versus religious, the light verses the dark. Better you choose which side you are on." ….Saya mencoba untuk memberikan sebuah pandangan sekuler, humanis tentang kelahiran agama-agama besar di dunia, dalam hal ini., rupa-rupanya, saya akan mencoba ….”menarik garis perang.” Salah satu cirinya, saya berkata “ sekuler versus religius, gelap versus terang. Sebaiknya anda memutuskan mana yang anda pihak”. Lihat Fred Edwords, “What Is Humanism”, http://americanhumanist.org/Humanism/What_is_Humanism, diakses selasa 23 Februari 2015
80
kemanusiaannya merupakan bukti konsistensi terhadap ajaran agama. Perbedaan antara humanisme religius dan humanisme sekuler seharusnya dapat diatasi dengan menjadikan agama sebagai hal yang bersifat substansial dan fungsional Sesuai dengan cirinya yang antroposentris, humanisme sekuler mempertahankan prinsip bahwa manusia mampu mengatur dirinya. Humanisme sekuler yang melihat individu dan masyarakat atas dasar rasionalitas berupaya mendangkalkan dan mengaburkan pandangan yang sakral (desakralisasi), memisahkan agama dari kehidupan sosial, menafikan nilai-nilai spiritualitas dan menolak semua hal yang bersifat supranatural dan transenden.25 Sebaliknya, humanisme religius dengan cirinya yang teosentris, berupaya memberikan ruang bagi agama untuk dapat mempengaruhi kehidupan manusia dan melihat individu dan masyarakat berdasarkan pada nilai-nilai moral (etika) sebagaimana yang lazim terdapat dalam agama. Agama dianggap mampu membantu memberikan solusi atas problematika yang dihadapi manusia, bahkan menurut Nottingham sebagaimana dikutip oleh Masduki, bagi masyarakat religius, agama mempengaruhi sistem nilai secara mutlak dan menjadi dasar utama dalam integrasi sosial.26 Pada dasarnya humanisme religius dan sekuler memberi pandangan tentang keduniaan yang sama, juga mempunyai prinsip-prinsip dasar yang sama pula. Hal ini terbukti dengan adanya penandatanganan manifesto ke-1 pada tahun 1933 dan manifesto ke-2 pada tahun 1973.Humanisme agama (religius) merupakan keyakinan aksi yaitu menggunakan definisi agama secara fungsional. Dan fungsi agama
25 Masduki, “Humanisme Sekuler Versus Humanisme Religius (Kajian Tentang Landasan Filosofis dan Upaya menemukan Alternatif Melalui Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)”, Jurnal Toleransi, (Vol.III, No.1, Juni/2011), hlm.3 26
Masduki, “Humanisme Sekuler...”,hlm.3-4.
81
adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, baik personal maupun kelompok.27 Wacana humanisme religius dan humanisme sekuler sama-sama berangkat dari akal yang dimiliki manusia. Humanisme sekuler menganggap bahwa dengan akal tersebut manusia dapat memperoleh kebenaran. Sedangkan humanisme religius menganggap bahwa dalam mencapai kebenaran, akal bersifat probabilitas yaitu berpeluang salah. Oleh karena itu, akal membutuhkan wahyu/ petunjuk sebagai pelurus kesalahan tersebut.28 Dalam konteks Indonesia, humanisme religius secara spesifik memang belum pernah diwacanakan. Tapi menurut. Abdurrahman, Gerakan Islam Liberal merupakan contoh prototype humanisme yang berkembang di Indonesia. Selain itu, tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Tolhah Hassan, Johan Efendi, dan Muslim Abdurrahman bisa dikatakan sebagai bapak-bapak humanisme di Indonesia.29 Humanisme religius terumuskan dalam konsep manusia sebagai khalifatullah,30 sesuai dengan Q.S. al-Baqarah ayat 30: 27
Dalam esainya keyakinan seorang humanis (the faith of humanist), UU Menteri Kanneth Phifer mendeklarasikan; “Humanism teaches us that it is immoral to wait for God to act for us. We must act to stop the wars and the crimes and the brutality of this and future ages. We have powers of a remarkable kind. We have high degree of freedom in choosing what we will do. Humanism tell us that whatever our philosophy of the unuverse may be, ultimately the responsibility for the kind of world in wich we live rests with us”.Humanisme mengajari kita bahwa tidaklah bermoral menunggu Tuhan berbuat untuk kita. Kita harus beraksi untuk menghentikan perang-perang dan kriminalitas-kriminalitas serta kebrutalan pada masa yang akan datang. Kita mempunyai kekuatan semacam kekuatan yang luar biasa. Kita mempunyai kebebasan tingkat tinggi dalam memilih apa yang akan kita lakukan. Humanisme mengatakan pada kita apapun bidang filsafat alam kita, terutama tanggungjawab terhadap dunia tempat kita hidup dan tinggal bersama”. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format …, hlm. 131-132. 28
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format …, hlm. 134.
29 Munculnya Islam liberal merupakan historical necessary atau tuntutan dan kebutuhan sejarah yang tumbuh berkembang secara alami. Yakni sebuah dinamika yang lahir dari dialektika pergumulan Islam tradisional, fundamentalis, modern, serta konservatif. Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud pada 24 Januari 2015. 30 Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang berarti mengganti. Kata khalifah secara harfiah berarti pengganti. Di dalam bahasa Arab, kalimat “Allah menjadi khalifah bagimu” berarti Allah menjadi pengganti bagimu dari orang tuamu yang meninggal. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi berarti Allah menyerahkan pengelolaan dan pemakmuran bumi – bukan secara mutlak kepada manusia. Kedudukan manusia sebagai khalifah dalam dengan arti ini
82
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqarah/2: 30)31 Sebagai perantara Tuhan di muka bumi khalifah selalu berinteraksi secara bebas dengan persoalan-persoalan dunia. Dengan kata lain, individualisme dan liberalisme dalam Islam dapat dikembangkan dari gagasan tentang kekhalifahan manusia ini. Namun, tampaknya konsep khalifatullah belum terumuskan secara baik dalam komunitas muslim. Hal ini karena umat Islam bertendensi untuk menerapkan ideologi yang berpusat kepada Tuhan (God centered-theology) ketimbang teologi yang berpusat kepada manusia atau antroposentris (antropocentric theology).32
dinyatakan Allah dalam surat al-Baqarah/2:30 dimana Allah menjadikan Bani Adam sebagai khalifah di bumi. Di samping arti ini, kata khalifah juga berarti pemimpin negara atau kaum. Kata khalifah dalam arti pemimpin terdapat antara lain dalam surat Sad/38:26, dimana Allah mengangkat Nabi Daus a.s. sebagai khalifah di bumi yaitu Palestina untuk memimpin manusia menjadi adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Lihat Kementrian Agama Republik Indonesia, AlQur’an dan Tafsirnya Jilid I, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 74-75. Term khalifah, wakil, utusan, perwakilan dieksplorasi lebih jauh oleh M. Iqbal dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menurutnya dalam ayat ini Islam menekankan individualitas dan keunikan manusia. Konsekuensi dari keunikan manusia itu adalah tidak mungkin bagi individu untuk menanggung beban orang lain. Oleh karena itu, manusia hanya menanggung apa yang telah diperbuatnya sendiri. Tiga hal secara sempurna dijelas dalam al-Qur’an: (1) Manusia adalah pilihan Allah SWT, (2) Keberadaan manusia dengan segala kelebihannya dimaksudkan sebagai wakil Tuhan di muka bumi, (3) Bahwa manusia adalah pribadi yang bebas yang menanggung segala risiko atas perbuatannya. Lihat Abdurrahaman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 70 A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya, (Medinah: Mujamma’ Khadim alHaramain al-Syarifain al-malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1413H), hlm. 13 31
Abdurrahaman Mas’ud, Menuju Paradigma ...,hlm. 71
32
83
Dalam konteks ini, Abdurrahman berpandangan bahwa umat Islam seharusnya belajar dengan Barat bagaimana mereka mengembangkan dan merumuskan gagasan humanisme. Namun lebih lanjut beliau juga menjelaskan,“Ini tidak berarti Islam tidak memiliki konsep humanisme.”33 Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa dikalangan santri di Indonesia, misalnya, ide tentang hak asasi manusia sangat populer sebagaimana terumuskan dalam konsep al-Khamsah al-Dharuriyah (hakhak dasar yang lima) yang merupakan tujuan utama bagi diturunkannya agama, yaitu memelihara agama (hifz} al-di>n), memelihara jiwa (hifz} annafs), memelihara akal (hifz} al-‘aql),memelihara keturunan (hifz} alnasab), dan memelihara harta (hifz} al-ma>l). Jika melihat sejarah, sesungguhnya Islam memiliki bukti kuat bahwa humanisme memperoleh pijakan yang kuat dalam Islam. Dalam sejarah, humanisme tidak hanya berhubungan dengan kelompok Mu’tazilah. George Makdisi mencatat bahwa pada masa klasik, berbagai kelompok humanis cukup memainkan peran penting dalam sejarah Islam.34 Secara garis besar, sebagaimana dikutip Abdurrahman Mas’ud, Makdisi mengkategorikan kelompok humanis tersebut dalam dua kategori, yaitu profesional dan amatir. Kelompok pertama terdiri dari para duta besar, konselor, penegak hukum, pembicara, sastrawan, pengadilan, 33
Wacana tentang humanisme ini berkembang sangat subur di dunia Barat, tetapi di dunia Islam terjadi sebaliknya, bahkan mungkin terlupakan. Ada anggapan umum bahwa Islam terpisah dari konsep ini. Selain terbatasnya literatur-literatur Islam tentang masalah humanisme, indikasi lainnya adalah tidak adanya tempat bagi humanisme dalam Islam yang dimulai sejak runtuhnya paham Mu’tazilah pada abad 9 sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam. Padahal, akar-akar humanisme itu sendiri ada dan banyak ditemui dalam ajaran Islam. Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud pada 24 Januari 2015. Kata Mu’tazilah sendiri berasal dari kata I’tazala yang artinya menyisihkan diri. Orang-orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristolteles. Ilmu logika sangat menarik perhatiannya, karena menjunjung tinggi berfikir logis. Memang Mu’tazilah lebih mengutamakan akal pikiran, baru sesudah itu all-Qur’an al-Hadis. Hal ni berbeda dengan Ahl asSunnah yang mendahulukan al-Qur’an dan al-Hadis kemudian baru akal pikiran. Lihat Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam Teologi Islam: Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 166-167. 34
George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Chistian West ; With Special of Scolasticsm, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990), hlm. 232-233.
84
perdana menteri, dan sejarawan. Sementara itu, kelompok kedua adalah para peramal, astrolog, astronom, ahli kaligrafi, pedagang, dokter, dan notaris. Para humanis ini memiliki latar belakang keagamaan yang beragam, dari Mu’tazilah, Asy’ariyah, Hanafiyah sampai Malikiyyah.35 Demikianlah sekilas tentang humanisme religius, sedangkan secara definitif Abdurrahman mengatakan bahwa humanisme religus adalah “Suatu cara pandang agama yang menempatkan manusia sebagai manusia dan suatu usaha humanisasi ilmu-ilmu pengetahuan dengan penuh keimanan yang disertai hubungan manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia atau hablun min Allah dan hablun min al-nas.”36 Dalam konteks pendidikan, humanisme dimaknai sebagai proses pendidikan yang lebih memperkaitkan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius, abdullah dan khalifatullah, serta sebagai
individu
yang
diberi
kesempatan
oleh
Tuhan
untuk
mengembangkan potensi-potensinya. Dalam hal ini, humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ke-Tuhanan dan penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial.37 Menurut
pandangan
ini,
individu
selalu
dalam
proses
penyempurnaan diri. Proses ini hanya bermuara pada penguntungan diri sendiri dan tidak dapat berdampak apapun kepada Tuhan. Sebaliknya, individu yang memperkeruh diri juga merugikan diri sendiri dan tidak merugikan Tuhan sama sekali. Seperti ungkapan Abdurrahman Wahid bahwa Allah itu Maha Besar dan tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apapun yang diperbuat orang atas diri-Nya sama sekali tidak berpengaruh terhadap wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.38
35
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format .., hlm. 139-140.
Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Jurnal Penelitian Walisongo, (Edisi 17/2001), hlm 92. 36
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format .., hlm. 135.
37 38
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Jakarta: LKIS, 1999), hlm. 56
85
Ciri-ciri
pendidikan
Islam
yang
berparadigma
humanistik
dihasilkan dari upaya refleksi dan rekonstruksi sejarah Islam yang ada pada masa lima abad pertama dan dari nilai-nilai normatif Islam serta dalam tataran pendekatan dengan menawarkan enam aspek yaitu:39
a.
Common Sense Al-Qur’an menerangkan bahwa akal yang dimiliki manusia dalam posisi yang terhormat. Diantaranya Allah meninggikan derajat orang yang berilmu. Allah menciptakan manusia dengan akal dan kemampuan berfikir untuk memahami ajaran agama. Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah
39
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format .., hlm. 154
86
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11).40 Dengan akal sehat inilah manusia dijadikan khalifah di bumi. Dalam kaitannya dengan penggunaan akal sehat ini, Abdurrahman mengajak umat umat Islam untuk menggunakannya secara proporsional, artinya lebih mengutamakan fungsi telinga dan mata dari pada mulut dan tangan. Sementara itu, Abdurrahman juga berpendapat dalam konteks pendidikan di Indonesia, belum mengembangkan akal sehat bisa terlihat dari pola pendidikan yang lebih berorientasi pada “apa”, what oriented-education, dari pada “mengapa”, why oriented-education.41 b.
Individualisme menuju Kemandirian42 Maksud individualisme di sini sangat berbeda dengan arti individualisme yang diartikan sebagai
egoisme dan lebih
mementingkan diri sendiri, tetapi makna individualisme di sini adalah sesuai dengan pernyataan “sesungguhnya seorang pemuda adalah yang mengandalkan dirinya sendiri, bukanlah seorang pemuda yang membanggakan ayahnya”. Jadi individualisme di sini
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan ..., hlm. 910.
40 41
Why Oriented Education merupakan pendidikan yang berorientasi pada pertanyaan mengapa, yaitu pola pendidikan problem solving yang didefinisikan sebagai ”Putting what you knw and what you can do into Action” atau melaksanakan dan mengamalkan apa yang kita ketahui dan mampu untuk kita lakukan. Lihat Abdurrahman Mas’ud, “Reformasi Pendidikan Islam,”, dalam Ismail SM (ed.), Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 141. What oriented-educationmerupakan pola pertama lebih didominasi metode menghafal, memorization, jadi siswa harus menghafal sekian materi, dan menumpukkan materi. Dengan demikian ruang berfikir sangat sedikit apalagi menganalisa. Ini berarti bahwa hal-hal yang berhubungan dengan daya pikir kurang diminati baik oleh guru maupun murid. Lihat Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius...”, hlm. 6 42
Selama ini ada persepsi yang salah tentang konsep individualisme yang diartikan egoisme, selfish, ananiyyah, danlebih mementingkan diri sendiri. Alasan klasik yang biasa dikemukakan dikembangkan disini adalah karena individualisme itu konsep Barat, dimana kata aku selalu bersuara “I” dengan menggunakan huruf besar yang berarti besar egonya. Dengan demikian secara umum orang Timur berpandangan bahwa orang Barat adalah orang-orang yang egois, individualis, sesuai dengan “I” besar dan ideologi individualisme mereka yang terkenal. Wawancara dengan Prof. Abdurrahaman Mas’ud pada 24 Januari 2014.
87
menjadikan individu-individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri,
keluarganya
dengan
tanpa
menggantungkan
atau
mengandalkan orang lain. Self-reliance atau kemandirian adalah tujuan utama konsep individualisme. Dalam Islam, individualisme bukanlah sebuah larangan, jika penekanannya pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi. Bahwa semua anggota badan manusia akan dimintai pertanggung jawaban di depan sang pencipta. Tentu hal ini harus ditafsiri dengan tugas pendidikan dalam mengembangkan tanggung jawab pribadi, sosial, dan keagamaan.43 Pengembangan individu menjadi individu yang saleh, insan kamil dengan berbagai keterampilan dan kemampuan serta mandiri adalah tujuan pendidikan Islam. Individualisme dalam Islam memang harus dikembalikan pada ajaran dasar kesalehan yang sudah disinggung di atas. Kesalehan tentunya berangkat dari kesalehan pribadi kemudian berkembang pada kesalehan sosial dan lingkungan. Ajaran “jagalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka”,44 sebaiknya dihubungkan pula dengan
individualisme,
karena
jelas
mengandung
nuansa
responsibility. Ayat lain yang lebih tegas lagi adalah seseorang tidak
akan
menanggung
dosa
orang
lain.45Jadi
konsep
individualisme dalam Islam berangkat dari tanggung jawab dan 43
Pada hari ini kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan (Q.S. Yasin/36: 65). Lihat A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan ..., hlm. 713. 44
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Tahrim/66: 6). A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 951 45
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.". (Q.S. al-An’am/6:164). A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 217
88
tugas mulia individu, keluarga, masyarakat, dan negara secara luas, serta masyarakat internasional. Saleh saja memang tidak cukup, ia harus dilengkapi dengan jihad, yakni kemauan pribadi menggunakan segala kemampuannya untuk menegakkan keadilan, serta menciptakan kemaslahatan. Jihad
disini tidak berhubungan dengan peperangan, melainkan
jihad sebagai lawan kata qu`ud yang telah disyaratkan dalam alQur’an dan berati those who remain passive. Dengan demikian saleh dan Jihad dalam konsep individualisme Islam adalah pribadi yang beriman dan bertaqwa, dinamis, progresif, tanggap terhadap lingkungan, perubahan dan perkembangan.46 c.
Thirst of Knowledge (Semangat Mencari Ilmu) Islam adalah agama yang jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi khusus.47 Ajaran normatif mencari ilmu telah terbukti dalam sejarah Islam, khususnya abad ke-7 sampai 11 M.48 Lima
46
Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius...”, hlm. 98.
47 Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11). Lihat A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 910. 48
Kunci kehebatan perkembangan ilmu di dunia Islam dulu. Agaknya hal itu sangat berhubungan erat dengan keberhasilan umat Islam dalam memahami dan melaksanakan ajaranajaran Rasul secara konsisten. Dinamika umat Islam lima abad pertama (sejak munculnya Islam abad tujuh sampai sebelas M.) dalam melaksanakan ajaran Rasul mengenai "uthlub al-‘ilma", kegairahan mencari ilmu, benar-benar merata dari raja sampai rakyat jelata. 'Ulama dan ilmuwanilmuwan Islam mendapat perhatian khusus dari penguasa. Al-Kindi dengan nama lengkap Abu Yusuf ibn Ishaq filsuf Muslim pertama yang meninggal 870 M misalnya, memperoleh tugas mengajar privat putra-putra raja Abbasiyyah. Yang menarik tentang sejarah perkembangan ilmu dalam Islam adalah hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan non agama. Kedua disiplin ilmu ini ternyata saling melengkapi. Ilmu-ilmu agama secara kronologis historis berkembang terlebih dahulu dan mengisyaratkan bahwa manusia dan peradabannya harus dilandasi dengan bangunan keagamaan dan keimanan yang kokoh sebelum ilmu-ilmu yang lain mewarnai dirinya. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Buku Pengukuhan Guru Besar …, 20 Maret 2004. Dua Kerajaan Islam raksasa Kerajaan Umayyah dan Abbasiyyah, terkenal dalam sejarah sebagai “the patrons of knowledge” yakni sponsor ilmu pengetahuan. `Ulama dan ilmuwan-ilmuwan Islam mendapat perhatian khusus dari Raja. Bahkan di abad 16-pun, kerajaan Islam yang terkuat dan jaya dari abad 13 sampai 19, yakni the Ottoman Empire atau Kerajaan Usmaniyyah, yang menguasai tiga benua Asia, Afrika dan Eropa, terkenal sebagai the “patron of Arts” karena intensitasnya dalam
89
ayat pertama49 yang diwahyukan Allah bisa ditafsiri sebagai seruan penelitian bagi manusia yang dimulai dengan membaca, bukan hanya membaca dalam arti konvensional, tetapi juga membaca alam semesta dengan segala fenomenanya yang merupakan bukti atas Kekuasaan-Nya. Surat pertama yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW adalah satu seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti dalam sejarah mampu merubah peradaban manusia dari masa kegelapan moral-intelektual dan membawanya pada peradaban tinggi dibawah petunjuk Ilahi.50 Abdurrahman mengkritisi bahwa spirit of inquiry atau semangat meneliti dalam dunia pendidikan Islam telah hilang. Hal ini sangat kontras dengan dunia pendidikan Islam masa klasik dan juga berbeda dengan keadaan dunia Barat saat ini, dimana penelitian adalah satu kebanggaan ilmiah yang bukan hanya milik komunitas perguruan tinggi, tapi juga tradisi guru, dan masyarakat profesional secara luas.51 Memang dalam konsep humanisme religius, manusia merupakan makhluk curious
yang senantiasa
mengembangkan seni dalam berbagai bentuk. Wawancara dengan Prof. Abdurrahaman Mas’ud pada 24 Januari 2014 49
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-Alaq/96: 1-6). Lihat A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya..., hlm. 1079. Abdurrahman Mas’ud, “Reposisi Pendidikan Islam”, Seminar Pendidikan Islam, (Lamongan: STAI Sunan Drajat, 27 Mei 2001), hlm. 1 50
51
The spirit of inquiry yang paling mengesankan ada dalam sejarah Islam lima abad pertama. Imam Bukhori sebagai contoh yang menarik. Semangat menelitinya telah mengantarkan ilmuwan ini meninggalkan tanah kelahirannya, Bukhoro atau Transoxiana Soviet saat ini ke pusat Islam Baghdad. Dari Baghdad, talibul hadis ini menuju tanah suci Makkah-Madinah. Belum puas dengan koleksi Hadis yang diperoleh, Bukhari melanjutkan perjalanannya ke Mesir kemudian ke Damaskus. Setelah pusat-pusat peradaban Islam ini dilalui, pakar Hadis ini kembali ke tanah kelahirannya dengan mengumpulkan lebih dari 60.000 hadis. Rentang waktu perjalanan intelektual ini selama 16 tahun. Sampai di kampung halamannya, dia tidak berhenti melakukan kegiatan akademis. Diedit semua Hadis yang dikoleksi hingga berakhir 6000 yang ia nyatakan sebagai sahih dan menamakan kitabnya yang spektakuler itu dengan Sahih Bukhari yang bisa kita nikmati dewasa ini. Wawancara dengan Prof. Abdurrahaman Mas’ud pada 24 Januari 2014
90
memiliki rasa ingin tahu, apalagi jika makhluk itu adalah seorang ilmuwan.52 d.
Pendidikan Pluralisme53 Salah satu kesadaran yang berakar kuat dalam pandangan seorang Muslim adalah Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian umat manusia. Sejarah menunjukkan, pandangan ini melahirkan sikap sosial keagamaan yang unik di kalangan umat Islam terhadap agama-agama lain atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran. Itulah manifestasi konkret nilai-nilai madani yang terbukti pernah menjadi pilar tegaknya masyarakat kosmopolit, masyarakat madani, masa keemasan dunia Islam dan masa awal Islam dahulu.54 Menurut
Abdurrahman
bahwa
pluralisme
perlu
untuk
dikembangkan lebih dalam lagi. Beliau mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis agamis yang menjunjung tinggi dan terikat dengan nilai-nilai luhur agama dan budaya sehingga agama dan multikultural merupakan aspek penting dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.55 Allah SWT telah berfirman di dalam al-Qur’an sebagai berikut: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius...”, hlm. 99.
52 53
Diantara isu yang mendapat perhatian cukup besar dan dominan sepanjang zaman adalah isu keberagaman atau pluralisme agama. Isu ini merupakan fenomena yang hadir di tengah keanekaragaman klaim kebenaran absolut antar agama yang saling berseberangan. Lihat Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2007), hlm. 1 Mahmud Arif “Pendidikan Agama Islam yang Inklusif-Multikulturalisme dalam Bingkai Keislaman dan Keindonesiaan”, Jurnal al-Fikr, (Vol. XV, No. 2 2011), hlm. 159-160 54
55
Abdurrahaman Mas’ud, Menuju Paradigma …, hlm. 166
91
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49:13).56 Di sini pluralisme tidak hanya mengakui kemajemukan, tetapi juga terlibat aktif dalam mengisi makna kemajemukan dan kedamaian, serta ikut memecahkan persoalan sosial secara bersama-sama dan bertanggung jawab. Ajaran Islam yang humanis sebagaimana dipaparkan oleh Abdurrahman Mas’ud di atas merupakan paradigma utama untuk mendasari upaya membangun visi bersama di tengah kemajemukan. Abdurrahman Mas’ud juga menjelaskan bahwa: “Kemajemukan agama di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius, karena hal ini sangat potensial memicu konflik bahkan salah satu titik rawan yang memunculkan ancaman disintegrasi bangsa. Program kerukunan antar umat beragama yang selama ini dijalankan tampaknya masih sebatas wacana intelektual dan wacana politis para elit agama dan penguasa. Pentingnya kerukunan umat beragama belum mampu menyentuh kesadaran kolektif masyarakat dan sebatas wacana formal. Indikatornya adalah masih rentannya masyarakat agama terhadap isu-isu agama dan SARA serta masih maraknya konflik-konflik yang melibatkan sentimen agama.”.57 e.
Kontekstualisme Lebih Mementingkan Fungsi dari Simbol Dalam ajaran Islam, esensi dan fungsi tentu tidak dikalahkan oleh segala bentuk simbolisme. Jika kehidupan masyarakat lebih cenderung dengan simbol-simbol yang demikian lekat hingga mengalahkan fungsi simbol itu sendiri, maka akan menyebabkan masyarakat lebih berorientasi ke belakang dari pada ke depan. Bentuk kecenderungan itu terealisasi pada kehidupan masyarakat yang lebih mementingkan mitos daripada etos.58
56 57
A. Soenarjo (ed.), al-Qur’an dan…, hlm. 847. Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud pada 24 Januari 2014
58 Kaitannya dengan hal ini, Prof. Abdurrahman memberikan contoh mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tidak mampu berbicara bahasa Arab dan Inggris, sementara mereka telah mempelajari bahasa ini sejak usia dini. Jawaban yang paling mudah adalah karena mereka lebih banyak mendalami tata bahasa (struktur, nahwu sharaf) seumur-umur dari pada mempelajari
92
f.
Keseimbangan antara Reward and Punishment.59 Istilah reward dan punishment dalam dunia pendidikan bukanlah istilah baru. Dua kasus ini biasanya dihubungkan dari pembahasan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thomedike.60 Menurut Abdurrahman, bentuk pendidikan yang mengedepankan punishment, sebagaimana kebanyakan berlaku di Indonesia merupakan warisan dari pada penjajah yang muncul jauh setelah zaman Walisongo.61 Prinsip kasih sayang merupakan ekspresi dari reward memang sudah seharusnya diterapkan dalam pendidikan Islam, terlebih dewasa ini dimana materialisme sering mengalahkan prinsipprinsip keagamaan. Ternyata Walisongo yang pengaruh pendidikan mereka terlembagakan dewasa ini dalam bentuk pesantren, juga menekankan pendidikan kasih sayang. Pesan mereka: “Sayangi, hormati dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian, hingga mereka bisa menjalankan syari`at
fungsi bahasa itu sendiri, padahal prinsip bahasa mengatakan: languange is a set of habits and means of communication. (bahasa adalah seperangkat kebiasaan dan alat komunikasi). Bagaimana mereka mampu berbahasa asing sementara mereka tidak pernah membiasakan dan tidak pernah menggunakan bahasa tersebut sebagai alat komunikasi. Singkatnya pola fikir fungsi memang masih belum populer di Indonesia. Lihat Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius ...”, hlm. 101. 59
Dalam konteks pendidikan, pluralisme merupakan suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok batas atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusian” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan. Lihat Ahmad Multazam, “Model Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme”, http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/03/model-pendidikanislam-berbasis.html, diakses 3 Maret 2014. Pada masyarakat kosmopolitan yang sarat dengan pengaruh-pengaruh vandalisme dimana kecenderungan untuk membandel selalu ada, dalam hal ini metode sanksi tetap diperlukan dengan kadar yang sesuai untuk menekan kecenderungan vandalisme atau membandel. Namun perlu kita ketahui bahwa metode sanksi atau tindakan keras bukanlah merupakan faktor pendorong pengembangan potensi, tetapi ia tetap diperlukan untuk mencegah tindakan membandel. Lihat Murtadha Mutahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad Bahrudin, (Jakarta: Sadra Press, 2011), hlm. 41. 60
Fatah Syukur NC, Metodik Media, 2009), hlm. 209
Khusus Pendidikan Agama Islam, (Semarang: AKFI
61
Abdurrahman Mas’ud, “Model Pendidikan Islam Walisongo”, Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa Dewaruci, (No. 2, Desember/1999), hlm. 78
93
Islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan sedikitpun.”62 2. Urgensi Humanisme Religius dalam Pendidikan Islam Humanisme religius63 merupakan suatu cara pandang agama yang menempatkan manusia sebagai manusia dan suatu usaha humanisasi ilmuilmu pengetahuan dengan penuh keimanan yang disertai hubungan manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia atau hablun min Allah dan hablun min al-nas.64 Dalam konteks pendidikan, Humanisme religius mengandung dua konsep pendidikan yang ingin diintegrasikan yaitu pendidikan humanis dan pendidikan religius. Pengintegrasian dua konsep pendidikan ini dengan tujuan untuk dapat membangun sistem pendidikan yang
dapat
mengintegrasikan
dari
keduanya
atau
mengurangi
kelemahannya.65 Kemerdekaan individu dalam pendidikan humanis dibatasi oleh nilai-nilai Islam. Nilai Islam tersebut diharapkan menjadi pendorong perwujudan nilai-nilai kemanusiaan.
62
Sejauh pengamatan dan pengalaman Prof. Abdurrahman selama tujuh tahun di Amerika, prinsip reward lebih diutamakan dalam pendidikan Barat. Namun demikian, bukan berarti punishment ditiadakan sama sekali. Di Amerika juga belum pernah terdengar tindakan semena-mena oleh guru atau hukuman secara fisik yang dikakukan guru SD terhadap anak didik baik di dalam maupun luar kelas. Hukuman yang paling berat adalah tidak boleh masuk sekolah sehari karena melanggar tata tertib sekolah secara berulang-ulang. Lihat Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius...”, hlm. 102. 63 Humanisme dalam Islam tidak mengenal sekulerisme karena tidak ada sekulerisme dalam Islam. Dengan demikian pembahasan humanisme dalam Islam dengan sendirinya adalah humanisme religius. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format..., hlm. 139. Kata “religius/Islami” dalam istilah tersebut tidak untuk mendikotomikannya dari jenis pendidikan lain, meskipun dengan sendirinya memasuki wilayah perbedaan antara keduanya. Lafal “religius/Islami” hanya untuk menegaskan bahwa kajian didasarkan pada nilai-nilai atau ajaran Islam. Lihat Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan Islam Plus Minus Sistem Pendidikan Pesantren, (Semarang: Walisongo Press, 2011), hlm. 93
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format .., hlm. 191. Muhammad Asad dalam the message of Qur’an sebagaimana dikutip oleh Prof. Abdurrahman mengartikan hablun sebagai bond atau connectedness keterhubungan atau pertalian. Ini berarti manusia tidak bisa dilepaskan jati dirinya keterhubungan dengan Tuhan dan manusia. Keterikatannya dengan yang di atas dan di bawah ini adalah sebuah keniscayaan. Keterpisahan dengan salah satu bentuk hubungan ini hanya akan menghilangkan atau mengurangi status individu sebagai insan kamil atau ahsanu taqwin. Lihat Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius ...”, hlm.92. 64
Suyatno, “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pendidikan Humanis Religious”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, (Vol. IX, No.1, Juni/2012), hlm. 30 65
94
Menurut.
Abdurrahman
Mas’ud
urgensi
humanisme
religius
diperkenalkan karena beberapa alasan yang merupakan motif dan paradigma lama yang sampai saat ini masih menjadi fenomena sosial, diantaranya yaitu : a. Keberagamaan yang cenderung menekankan hubungan vertikal dan kesemarakan ritual. .66 b. Kesalehan sosial yang masih jauh dari orientasi masyarakat. c. Potensi peserta didik belum dikembangkan secara proporsional pendidikan belum berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia atau belum individual oriented.. d. Kemandirian anak didik dan tanggung jawab (responsibility) masih jauh dalam pencapaian dunia pendidikan Islam. Praktik kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif beribadah ke Gereja, Masjid, Klenteng, Vihara tidak secara otomatis menjadi manusia religius, yaitu orang yang mampu menerjemahkan nilainilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Atau dalam bahasa agama dapat dirumuskan demikian, apakah orang yang saleh ritual (rajin melakukan ibadah ritual) dengan sendirinya tercermin dalam saleh sosial (berpikir, bersikap, dan berperilaku senafas dengan nilai-nilai religius). Tanpa berpikir panjang, dengan melihat praktik kehidupan orang-orang di sekeliling kita dan situasi bangsa Indonesia pada umumnya, dapat ditarik hipotesis bahwa kontradiksi kesalehan ritual dan kesalehan sosial begitu nyata dan terang benderang. Betapa banyak orang-orang yang begitu tekun beribadah, tetapi pada saat bersamaan tidak sungkansungkan untuk berbuat jahat terhadap sesama manusia.67
66
Selama tiga dekade terakhir, ajaran hablun min al-nas (human relation) tidak populer. Sebaliknya ajaran hablun min Allah pada dasarnya adalah wajah utama keberagamaan Muslim Indonesia yang hampir-hampir tidak berhubungan (nothing to do with hablun minannas). Kesemarakan beragama mengalahkan kekhusyukan beragama. Religiusitas masih mementingkan simbol dari pada makna. Wawancara dengan Prof. Abdurrahaman Mas’ud pada 24 Januari 2014 Mohamad Ali, “Cahaya Humanis Religius Dibalik Praksis Pendidikan Kyai Ahmad Dahlan”, Jurnal Tajdida, (Vol. X, No. 1, Juni/2012), hlm. 27 67
95
Implikasi dari keberagaman pola ini adalah realitas sosial yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur yang bernuansa agama tetapi miskin dalam nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Sentimen keberagamaan tinggi tatkala dihubungkan dengan persoalan yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi tumpul tatkala persoalan yang dihadapi adalah persoalan kemanusiaan, seperti korupsi, ketidakadilan, dan lain-lain.68 Orang yang beribadah haji akan sia-sia karena lupa akan esensi pengorbanan dalam Islam, orang yang melakukan shalat, puasa, zakat, juga akan sia-sia karena mengabaikan ajaran hak asasi manusia dan pengorbanan dalam Islam. Pendek kata, orang-orang “saleh” akan masuk neraka karena dosa-dosa sosial mereka. Begitu juga orang yang melakukan shalat, zakat, puasa tetapi tersenyum ketika orang lain sedang menderita.69 Tampaknya empat hal yang dikemukakan di atas cenderung lebih melihat pada kondisi sosial masyarakat Islam, terutama kaitannya hablun min Allah dengan hablun min al-nas. Secara spesifik dalam konteks pendidikan
Islam,
urgensi
humanisme
religius
Abdurrahman
dilatarbelakangi oleh masalah tipikal dunia pendidikan Islam yaitu: a. Dikotomi keilmuan yang sudah menyejarah70 b. Hilangnya the spirit of inquiry yang termasuk di dalamnya memudarnya tradisi, penelitian empiris, membaca, dan menulis. c. Certificate oriented. 68
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format .., hlm. 144-145
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format .., hlm. 141
69 70
Inti dari dikotomi ilmu tidak terletak pada konteks perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum karena pada dasarnya keduanya memang berbeda. Tapi dalam konteks ini adalah membedakan (dikotomis) antar kedua, artinya lebih mementingkan yang satu dari pada yang lainnya atau bahkan menganggap salah satu diantaranya tidak penting. Perlu diketahui bahwa selain ilmu agama umat Islam juga membutuhkan ilmu-ilmu umum seperti sains dan teknologi karena kemajuan suatu peradaban dapat dilihat dari perkembangan IPTEKnya, sejarah perkembangan peradaban Islam sangat ditandai dengan hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan non-agama. Kedua disiplin ilmu ini ternyata saling melengkapi. Ilmu-ilmu agama berkembang terlebih dahulu dan sungguh mengisyaratkan bahwa manusia dan peradabannya harus dilandasi dengan bangunan keagamaan dan keimanan yang kokoh sebelum ilmu-ilmu yang lain mewarnai dirinya. Wawancara dengan Prof Abdurrahman Mas’ud pada 24 Januari 2015.
96
d. Tidak mengacu pada problem solving. e. Common sense yang terlupakan sehingga kreativitas dalam pembelajaran tidak menonjol. f. Akhlak terbatas pada persoalan moralitas dosa, halal-haram, sehingga akhlak sosial (social ethics) terlupakan.71 Dari ke enam masalah dunia pendidikan Islam di atas, poin pertama yaitu dikotomi ilmu merupakan aspek paling menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dalam pandangan umat Islam ada kecenderungan dikotomis bahkan polaris yang telah menyejarah
antara ilmu agama dan ilmu
umum. Menurut Abdurrahman, setelah symptom dikotomi ini menimpa umat Islam di abad 12, perkembangan berikutnya adalah orientasi umat Islam yang lebih puas pada pendalaman ilmu agama dengan supremasi fikih tanpa diimbangi dengan cabang-cabang ilmu lain yang luas sebagaimana prestasi mengesankan yang pernah diraih di masa-masa sebelumnya.72 Di sini terlihat secara jelas bagaimana kemunduran peradaban (cultural decline) mulai menghinggapi dunia Islam. Tokoh pemikir Islam abad tersebut, al-Ghazali (meninggal 1111 M.), mengkatagorikan sains dan teknologi sebagai fardlu kifayah bagi Muslim untuk menguasainya. Al-Ghazali menilainya sebagai bagian dari `ulum almahmudah: ilmu-ilmu yang terpuja. Tapi yang berkembang dalam masyarakat pada masa-masa berikutnya adalah kecenderungan menjauhi atau bahkan alergi terhadap ilmu fardlu kifayah ini. Sebagai tonggak sejarah Madrasah Nizamiyah,73 tempat al-Ghazali mengajar selama 25 tahun dan model Madrasah klasik di abad 1l yang
71
Wawancara dengan Prof. Abdurrahman Mas’ud pada 24 Januari 2015.
72
Abdurrahman Mas’ud, “ReposisiPendidikan…”, hlm. 5.
73
Madrasah Nizamiyah terletak di dekat sungai Dijlah di tengah-tengah pasar Salasah di Baghdad. Mulai dibangun pada tahun 457 H/ 1065 M dan selesai pada tahun 459 H. Tujuan utama dibangun madrasah Nizamiyah adalah mengajarkan hukum mazhab Syafi’i dengan penekanan pada pengajaran teologi dan fikih. Dengan berdasar tujuan-tujuan ini, meskipun kurikulum Madrasah Nizamiyah tidak diketahui secara jelas, tapi dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilmu syari’ah diajarkan dan diprioritaskan sedang ilmu-ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan.
97
sangat populer, terbukti sama sekali tidak menawarkan ilmu-ilmu nonagama.74 Model madrasah ini juga diikuti oleh madrasah-madrasah lain di masa mendatang dibawah pemerintahan Mamluk dan Usmaniyyah. Dengan demikian dikotomi yang berkembang dan masih terasa hingga kini di dunia Islam pada dasarnya bisa dilacak akar historisnya. Asumsi umum bahwa dikotomi dalam Islamic learning hanyalah produk penjajah atau pengaruh sekularisme dunia Barat agaknya cukup terlambat dan ahistoris. Menurut Ismail Faruqi sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman yaitu bila persoalan-persoalan pendidikan Islam ini kita tempatkan dalam konteks peradaban Islam, maka akar-akar masalah tersebut merupakan krisis yang disebabkan oleh: a. The backwardness of the Ummah (kemunduran umat) b. The weakness of the Ummah (kelemahan umat) c. The intellectual stagnation of the Ummah (stagnasi pemikiran umat) d. The absence of ijtihad in the Ummah (absennya ijtihad umat) e. The absence of cultural progress in the Ummah (absennya kemajuan kultural umat) Lihat Unun Roudlotul Janah, “Madrasah Nizamiyah: Studi Historis Kebangkitan Keilmuan Sunni”, Jurnal Cendekia, (Vol.IV, No.2, Deember/2006), hlm. 18. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prof. Azyumardi Azra, bahwa madrasah ini mempunyai komitmen berpegang pada doktrin Asy’ariyah dalam kalam dan ajaran Syafi’i dalam fikih. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), hlm. Fakta-fakta yang mendukung pernyataan ini adalah pertama tidak ada seorang pun diantara ahli sejarah yang mengatakan bahwa materi pelajaran terdapat ilmu umum, kedua guru-guru yang mengajar merupakan ulama-ulama syari’ah, ketiga pendiri madrasah ini bukanlah pembela ilmu filsafat, keempat zaman berdirinya madrasah ini merupakan zaman penindasan ilmu filsafat dan para filosof. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hlm. 75. 74
Menurut Prof. Abdurrahman, secara historis penyebab dikotomik itu memang sangat kompleks yang meliputi sikap mental umat yang dikotomis waktu itu di dalam ataupun di luar institusi pendidikan serta tribalisme baru berupa fanatisme mazhab yang berlebihan. Dua sikap ini telah berpengaruh terhadap pola pandang umat Islam waktu itu tentang pendidikan dan cara pandang ilmu pengetahuan. Pengaruh Nizamiyah dan guru besarnya al-Ghazali demikian kuat sehingga mampu menembus ruang dan waktu, kiranya mudah bagi kita untuk mengambinghitamkan mereka atas segala dosa pendikotomian. Sekali lagi labelling atau stereotyping ini tidak memiliki evidensi sejarah. Pendikotomian bukanlah beban individu atau kelompok, melainkan beban sistem pendidikan Islam sejak akhir abad ke 11. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format .., hlm. 122-125
98
f. The Ummah's losing touch with the basic norms of Islamic civilization. (tercabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam).75 Perlu kiranya kita menyimak pernyataan Albert Einstein, seorang ilmuwan yang terkenal pada abad 20 dengan teori relativitasnya yang berbunyi “agama tanpa ilmu buta, dan ilmu tanpa agama lumpuh”.76 Sebuah pernyataan yang cukup sederhana dan simpel, tetapi mempunyai makna yang begitu dalam. Hubungan agama dan sains ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa dipisahkan. Di samping itu, bila dikaji menurut “fitrah” manusia agama dan sains maka kedua hal ini pada hakikatnya sama-sama berasal dari Tuhan. Agama sebagai dasar-dasar petunjuk Tuhan untuk dipatuhi dan diamalkan dalam hidup dan sistem kehidupan manusia. Sedangkan sains diperolehnya melalui abilitas dan kapasitas atau potensi manusia yang dibawanya sejak lahir. []
75
Abdurrahman Mas’ud, “Reposisi Pendidikan…”, hlm. 5.
76
Maksudin, Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 3-4.
99
BAB IV ANALISIS HUMANISME RELIGIUS MENURUT ABDURRAHMAN MAS’UD A. Humanisme Religius Menurut Abdurrahman Mas’ud Pada pembahasan bab III penulis sudah menjelaskan tentang sejarah humanisme religius dan pemikiran humanisme religius Abdurrahman dalam pendidikan Islam. Secara garis besar dapat terlihat bahwa latar belakang wacana humanisme Abdurrahman berangkat dari dua hal, yakni kondisi sosial umat Islam (dalam hal ini lebih menyoroti masyarakat Indonesia), dan kondisi pendidikan Islam pada umumnya.1 Menarik untuk disimak bahwa, ketika sesorang aktif beribadah ternyata tidak secara otomatis menjadi manusiareligius, artinya orang tersebut belum mampu menerjemahkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Atau dalam bahasa yang lebih mudah terjadi ketimpangan antara hablun min Allahdan hablun min al-nas (kontradiksi kesalehan ritual dan kesalehan sosial.) Dalam konteks pendidikan, secara khusus Abdurrahman menempatkan “dikotomi ilmu” sebagai alasan mendasar yang telah menyejarah dan terlembaga dalam dunia pendidikan Islam. Dikotomi ini telah menyebabkan runtuhnya kejayaan umat Islam yang sebelumnya sangat identik dengan kemegahan ilmu pengetahuan. Madrasah Nizamiyah dan Sang Guru Besar alGhazali disalahpahami sebagai biang keladi pendikotomian. Secara tegas Abdurrahman mengatakan bahwa labelling terhadap al-Ghazali tidak memilki dapat dibenarkan, pendikotomian bukan kesalahan individu atau kelompok, melainkan beban sistem pendidikan Islam sejak akhir abad ke 11 M.2 Oleh sebab itu, untuk mengatasi berbagai permasalahan umat Islam baik dalam hal sosial maupun pendidikan, Abdurrahman menawarkan konsep humanisme religius dengan lima aspek yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan Islam yaitu meliputi Common Sense, Individualisme menuju 1
Untuk lebih jelasnya baca bab III.
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Gama Media, 2002), hlm. 122-125 2
100
Kemandirian, Thirst of Knowledge, Pendidikan Pluralisme, Kontekstualisme Lebih Mementingkan Fungsi dari Simbol, dan Keseimbangan antara Reward and Punishment. Diharapkan enam aspek tersebut dapat mengatasi berbagai permasalahan umat Islam pada umumnya dan dunia pendidikan pada khususnya. Akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain, seperti malaikat. Selain itu, ini merupakan alasan dijadikannya manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Individualisme dimaknai sebagai bagian dari responsibility (tanggung jawab) dan kemandirian. Tanggung jawab tentu berangkat dari tanggung jawab individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bahkan dunia internasional. Konsep humanisme religius terumuskan dalam konsep manusia sebagai khalifah Allah. Oleh karena itu, humanisme dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari konsep hablun min al-nas. Manusia sebagai agen Tuhan di bumi (khalifah Allah) memiliki seperangkat tanggung jawab. Dalam konteks ini, yang paling penting adalah tanggung jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan. Abdurrahman selalu mengingatkan bahwa wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah yaitu surat al-Alaq merupakan salah satu pencerahan intelektual. Perlu adanya perenungan surat al-Alaq tersebut yang menekankan pentingnya kegiatan membaca dalam proses belajar mengajar. Qalam atau pena adalah simbol abadi sekaligus alat transfer ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban. Tanpa pena, transfer ilmu tidak akan pernah terjadi dari satu generasi ke generasi yang lain. Rasulullah dengan ajaran-ajarannya telah diikuti oleh ulama-ulama besar dan ilmuwam-ilmuwan muslim dari berbagai disiplin ilmu mencakup filsafat, kedokteran, falaq, geografi, matematika, fisika, kimia, sastra, sosiologi, sejarah, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang kita lihat dalam sejarah, yang terjadi adalah dunia pendidikan Islam penuh dengan vitalitas: berhasil memahami, menyerap, menstransfer, serta melaksanakan ajaran-ajaran Rasulullah secara konsisten, dinamis, dan kreatif. Yakni sebuah euphoria kegairahan mencari ilmu, dalam
101
rangka implementasi ajaran “Uthlub al-`ilma”, benar-benar merata dari raja sampai rakyat jelata.3 1. Aspek Pendidik Dari sekian banyak kompenen pendidikan, pendidik merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan. Secara konvensional, pendidik paling tidak harus mempunyai tiga kualifikasi dasar yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang. Namun dalam konteks humanisme religius, menurut Abdurrahman justru kasih sayang yang sesungguhnya harus ditempatkan pada posisi pertama. Guru atau “dosen” harus mengajar berlandaskan cinta kepada sesama umat manusia tanpa memandang status sosial, ekonomi, agama, bangsa, dan lain sebaginya. Misi utama guru adalah enlightening ‘mencerdaskan bangsa’ (bukan sebaliknya, membodohi masyarakat). Lebih tegas lagi beliau mengatakan “guru tidak dibenarkan memandang peserta
didik
sebelah mata, tidak sepenuh hati, atau bahkan memandang remeh kemampuan peserta didik”4 Dalam Islam, seorang pendidik mempunyai tugas dan peran yang amat mulia.
Secara
umum,
tugas
pendidik
adalah
mendidik.
Dalam
operasionalisasinya, mendidik merupakan rangkaian proses mengajar, memberikan
dorongan,
memuji,
menghukum,
memberi
contoh,
membiasakan, dan lain sebagainya. Batasan ini memberi arti bahwa tugas pendidik
bukan
hanya
sekedar
mengajar
sebagaimana
pendapat
kebanyakan orang. Di samping itu, pendidik juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh
3
Seperti yang penulis jelaskan pada bab III, yaitu dua Kerajaan Islam raksasa, Umayyah dan Abbasiyyah, terkenal dalam sejarah sebagai “the patrons of knowledge” yakni sponsor ilmu pengetahuan. Sedangkan the Ottoman Empire atau kerajaan Usmaniyyah, yang menguasai tiga benua Asia, Afrika dan Eropa, terkenal sebagai the “patron of Arts” karena intensitasnya dalam mengembangkan seni dalam berbagai bentuk. 4
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format ... hlm. 194-195.
102
potensi peserta didik dapat teraktualisasi secara baik dan dinamis.5 Dengan demikian, sikap dan tingkah laku seorang pendidik ditujukan agar peserta didik dapat menjadi insan kamil, yakni sempurna dalam kacamata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama.6 Pendidik humanis dalam sejarah Indonesia dapat dilihat dari sosok Walisongo, yakni mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah “Sayangi, hormati, dan jagalah anak didimu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian, hingga mereka bisa menjalankan syariat Islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan.”7 Secara teknis pendidik harus melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Guru hendaknya bertindak sebagai suri tauladan bagi kehidupan sosial akademis murid, baik di dalam maupun di luar kelas. Guru harus memberikan contoh komitmen dan dinamika diri dalam kegiatankegiatan akademis dan sosial keagamaan, seperti membaca (baik diperpustakaan maupun di tempat lain), berdiskusi, meneliti, menulis yang tercermin dalam ucapan dan tingkah laku sehari-hari. b. Guru harus menunjukkan sikap kasih sayang kepada murid, antusias dan ikhlas mendengar atau menjawab pertanyaan, serta menjauhkan sikap emosional dan feodal, seperti cepat marah dan tersinggung karena pertanyaan murid sering disalahartikan sebagai mengurangi wibawa. c. Guru hendaknya memperlakukan murid sebagai subjek dan mitra belajar, bukan objek. Pendidikan yang menekankan belajar mandiri, kemampuan membaca, berfikir kritis, perlu ditingkatkan secara konsisten dalam proses belajar-mengajar. Sudah saatnya guru
5 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988), hlm. 86-97. 6
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format..., hlm. 197.
Abdurrahman Mas’ud, “Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, Jurnal Penelitian Walisongo, (Edisi 17/2001), hlm. 102. 7
103
mengupayakan iklim dialogis atau interaktif di kelas (terhadap anak didik). d. Guru hendaknya bertindak sebagai fasilitator, promotor of learning yang lebih mengutamakan bimbingan, menumbuhkan kreatifitas murid, serta interaktif dan komunikatif dengan murid. Sebagai pembimbing yang arif, guru hendaknya memanfaatkan interaksi dengan murid sebagai proses peningkatan diri melalui feedback konstruktif dari murid, baik secara langsung maupun tidak langsung.8 Dengan demikian, di samping sebagai uswah khasanah, posisi pendidik juga sebagai fasilitator, motivator, dan sekaligus mitra bagi peserta didik. 2. Aspek Peserta Didik Murid merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan
potensi
yang
dimilikinya,
serta
membimbingnya
menuju kedewasaan. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim disebutkan enam prasyarat bagi pencari ilmu, yaitu modal, semangat, waktu memadai, petunjuk guru, kesabaran, dan kecerdasan. Enam prasyarat populer ini dikutip oleh al-Zarnuji pada abad ke 13 M, meskipun abad pertengahan dikenal sebagai abad kemunduran umat islam. Selama ini banyak pihak yang menganggap “kuno” syarat-syarat kontroversial
mencari ilmu
tersebut.
Padahal
kritik
yang hanya
melontarkan kata “kuno” tanpa pembahasan dan argumen yang mendalam hanya terjebak pada logika yang bias atau apriori. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bahwa murid merupakan cermin dari keberhasilan sebuah pendidikan. Sehingga dengan segenap potensi yang dimiliki, diharapkan murid dapat belajar memanusiakan dirinya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan dengan bijak dan cerdas.
8
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format..., hlm. 202.
104
3. Aspek Metode Dalam pembahasan kali ini, penulis tidak membahas secara teknis mengenai metode pendidikan karena pada dasarnya tidak ada metode yang paling sempurna dalam pendidikan. Kaitannya dengan hal tersebut, metode disini tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar dalam proses pembelajaran, melainkan dipandang sebagai upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan.9 Menurut Abdurrahman, salah satu pepatah yang berbunyi “Berilah kail jangan beri ikan” masih berlaku hingga kini. Pepatah tersebut juga sesuai dengan pepatah Barat “If you give a man fish you feed him a day, but if you teach him how to fish you feed him for a life.” Jika anda memberi ikan kepada seseorang, berarti anda memberinya makan sehari. Tapi jika nada mengajarinya cara memancing, berarti anda memberinya makan seumur hidupnya. Lebih lanjut abdurrahman mengatakan bahwa “metode dalam paradigma baru harus menekankan pengembangan kreatifitas, penajaman hati nurani, dan religiusitas siswa serta meningkatkan kepekaan sosialnya”. Kunci pengembangan metode humanisme religius adalah sejauh mana guru memahami, mendekati, dan mengembangkan siswa sebagai individu yang memiliki potensi sebagai makhluk Allah yang didesain sebagai ahsanu taqwin10 4. Aspek Materi Dalam konteks humanisme religius, materi harus mampu menunjukkan identitas diri (self identy) peserta didik, sebagai insan yang toleran, cinta ilmu, memiliki moralitas tinggi dan konsisten. Kaitannya dengan hal ini,
9
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format..., hlm. 197.
10
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format..., hlm. 202.
105
Abdurrahman memberi contoh dalam pengajaran Aswaja11 yaitu materi strategis yang menjadi ideological foundation bagi kaum santri dan mayotitas muslim Indonesia. Disini pengajaran Aswaja tidak boleh hanya di bawah bayang-bayang Imam Syafi’i dan al-Ghazali saja, karena hal tersebut akan membuat peserta didik berpandangan sempit. Perlu adanya kajian terhadap tokoh seperti al-Mas’udi, al-Thabari, Ibn khaldun, Ibn Taimiyah, dan lain sebagainya. Bahkan lebih lanjut Abdurrahman berpandangan perlunya perbandingan mazhab supaya peserta didik mempunyai pandangan yang luas. Materi ibarat ruh pendidikan yang akan disublimasikan kepada peserta didik sebagai kekuatan perubah daya nalar (kognitif), yang diharapkan mampu berpengaruh pada domain pendidikan yang lainnya yaitu aspek afektif dan psikomotorik 5. Aspek Evaluasi Evaluasi merupakan subsistem yang penting dalam sistem pendidikan, karena evaluasi mencerminkan seberapa jauh perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Sekaligus sebagai sarana pendidik untuk mengetahui titik lemah kegiatan belajar-mangajar sehingga lebih mudah untuk dicari jalan keluar untuk berubah menjadi lebih baik ke depan.12 Dalam perspektif pendidikan humanis, evaluasi haruslah didasarkan pada bukti yang baik dan memadai, serta dilakukan dengan cara yang adil, obyektif dan komprehensif. Evaluasi yang adil tidak dipengaruhi faktor keakraban, menyeluruh dan memiliki kriteria jelas. Dalam konteks evaluasi ini, Abdurrahman menyoroti bagaimana selama ini evaluasi hanya berjalan satu arah, yakni hanya peserta didik saja. Hal tersebut lebih dikarenakan masalah kultural yang tidak memberi
11 Aswaja dalam pembahasan kali ini merupakan kaum santri. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 107. 12
Haryanto-al-Fandi, Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 265.
106
kesempatan pada peserta didik untuk memberi input balik terhadap pendidik. 13 Dalam konsep humanisme religius, baik pendidik maupun peserta didik dipandang sebagai entitas individual yang memiliki tanggung jawab vertikal dan horisontal. Dengan pandangan ini, ada semacam dorongan bagi setiap individu untuk meningkatkan kualitas pribadi agar siap dievaluasi setiap saat. Islam mengajarkan bahwa setiap individu harus merasa ada yang memonitor setiap saat, sehingga akan membentuk insan yang bertaqwa setiap saat, di mana saja dan kapan saja. 6. Aspek Tujuan Proses pendidikan Islam berjalan sesuai dengan jalur yang telah digariskan agama Islam dalam arti yang luas, yakni sebagai agama bagi kehidupan di dunia dan akhirat serta agama yang meliputi segala persoalan hidup, berbagai hajat individu, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Dalam konteks humanisme religius, terdapat dua hubungan yang harus seimbang yaitu hablun min Allah dan hablun min al-nas. Begitupun dalam hal pendidikan, manusia di satu sisi sebagai ‘abd Allah dan di sisi lain juga sebagai khalifah Allah. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam haruslah sesuai dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri yaitu untuk beribadah kepada Allah, menjadi hamba Allah yang bertakwa . Namun di sisi yang lain juga harus dapat memainkan peran sebagai khalifah Allah, yaitu mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Dengan kata lain tujuan pendidikan Islam dalam konteks humanisme religius adalah untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.
13
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format..., hlm. 212.
107
B. Relevansi Humanisme Religius dalam Konteks Pendidikan Islam Masa Kini 1. Pendidikan Islam Nondikotomik14 Dalam ajaran Islam, salah satu dimensi yang strategis yang mendapatkan perhatian adalah ilmu pengetahuan. Bukti responsi Islam ini dapat terbaca sejak awal diturunkannya al-Qur’an yang memerintahkan setiap manusia untuk peduli pada ilmu pengetahuan. Ayat yang merujuk perintah “membaca” merupakan kunci pembuka yang menuntun dan menuntut setiap manusia untuk mencari dan mencintai ilmu pengetahuan.15 Sejatinya, agama dan ilmu pengetahuan bagi manusia merupakan kebutuhan asasi.16 Artinya, kedua hal ini merupakan kebutuhan pokok bagi
14
Sejarah ideal peradaban Islam empat abad pertama tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan umum. Memang Islam merupakan agama universal yang melampui suku, kebangsaan, atas nama tauhid, oneness of God. Islam juga tidak mendikotomikan diri dengan agama yang diajarkan Ibrahim, Musa, dan Isa. Surat al-Isra' yang menyebutkan dua masjid, “Min al-Masjid al-Haram ila al-Masjid al-Aqsa” mempunyai implikasi nondikotomis dan menekankan kesinambungan. Dalam bahasa Moh Asad: The juxtaposition of these two sacred temples is meant to show that the qur'an does not inaugerate a "new" religion but represents a continuation and the ultimate development of the same divine message which was preached by the prophets of old. Penyebutan kombinasi dua tempat suci ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Qur'an tidak menyambut agama "baru" tapi kombinasi itu mewakili kesinambungan dan perkembangan akhir risalah ketuhanan yang sama dida’wahkan oleh nabi-nabi sebelumnya. Lihat Abdurrahman Mas‟ud, Buku Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam, 20 Maret 2004. 15
Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 37. 16
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi tiga bagian. Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, ilmu-ilmu ini tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, ilmu ramalan. Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, jenis ilmu ini dibagi menjadi dua, yaitu wajib ain dan wajib kifayah, yang termasuk kategori ilmu wajib ain untuk dipelajari ini mencakup ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya sedangkan ilmu yang termasuk fardhu kifayah mencakup ilmu keselamatan, kedokteran, hitung, dan lain-lain. Ketiga, ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan akan tercela jika dipelajari secara mendalam, karena akan menyebabkan kekacauan antara keyakinan dan keraguan serta membawa kekafiran, ilmu kategori ini mencakup filsafat, ilmu, logika dan lain-lain. Berbeda dengan AlGhazali, Ibn Arabi berpendapat bahwa ilmu terdiri dari ilmu tentang Tuhan, ilmu tentang dunia yang akan datang, ilmu tentang dunia ini, ilmu tentang penciptaan serta pemeliharaan dunia, maka segala urusan manusia akan selalu berada “di tangan-Nya” di mana pun dia berada dan manusia pun sadar akan diri dan segala perbuatannya. Masih menurutnya, bahwa ilmu adalah sifat Tuhan yang meliputi segala sesuatu, sehingga ia merupakan karunia Tuhan yang paling besar. Sebagai karunia yang paling besar, ilmu merupakan tuntutan di samping agama bagi manusia dalam mengabdikan dirinya sebagai khalifah di dunia. Dengan demikian, manusia dituntut memaknai hukum-hukum Allah yang kemudian diambil manfaatnya untuk membangun dunia ini. Namun begitu bahwa ilmu yang dijadikan pegangan tidak bisa lepas begitu saja dari agama karena agama
108
hidup dan sistem kehidupan manusia. Agama bagi manusia sebagai pedoman, petunjuk, kepercayaan, dan keyakinan bagi pemeluknya untuk hidup sesuai dengan fitrah manusia yang dibawa sejak lahir. Eksistensi ilmu pengetahuan bagi agama berfungsi sebagai pengukuh dan penguat agama bagi pemeluknya, karena dengan ilmu pengetahuan mampu mengungkap rahasia-rahasia alam semesta dan seisinya, sehingga akan
menambah
khidmat
dan
khusyuk
dalam
beribadah
dan
bermu’amalah.17 Lebih lanjut ilmu pengetahuan bermanfaat untuk mendapatkan kedamaian hidup secara individual dan secara kolektif bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan bahkan dalam ikut mewujudkan ketertiban dunia. Berbeda dengan ilmu dari Barat yang bersifat sekuler, yakni memutus hubungan apapun dengan Sang Pencipta, Islam justru melihat benda-benda alam termasuk manusia tidaklah berdiri sendiri. Dia bukanlah ada karena dia ada dengan sendirinya. Tetapi dia ada karena diadakan, dia adalah bagian dari grand design yang diadakan oleh Sang Maha Pencipta.18
merupakan puncak dari pencapaian, sedangkan ilmu adalah alat atau jalan dari pencapaian tersebut. Agama tidak mengadakan perubahan dan memang bukan alat pembaruan, melainkan ilmulah yang mengadakan perubahan dan menjadi alat pembaruan. Dari sini tampak jelas bahwa tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu. Agama dan ilmu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, karena ketika kita membiarkannya berjalan terpisah, hal itu merupakan malapetaka bagi manusia itu sendiri.Lihat Ahmad Multazam “Paradigma Integrasi Keilmuan Islam dan Sains di Abad Ke-21”, http://multazameinstein.blogspot.com/2015/02/paradigma-integrasi-keilmuan-islam-an.html, diakses 19 Maret 2015 17
Maksudin, Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 2. 18
Pemikiran transendental seperti ini absen dalam ilmu modern Barat, sehingga ontologinya bersifat sekuler dan final. Karenanya, dia tidak memilki spirit dan tidak pula bertujuan serta mempunyai sasaran yang jelas kecuali melihat bahwa obyek benda-benda alam itu adalah sesuatu yang harus dikuasai dan ditundukkan. Ilmu pengetahuan harus dibersihkan dari nilai-nilai, apalagi yang bersumber dari agama. Karena etika tidak dibawa serta, maka orang boleh memanfaatkan ilmu dan hasil penemuan ilmu itu untuk tujuan apa saja, baik yang bermanfaat maupun yang merusak sekalipun. Oleh karena itu, bertambah tinggi ilmu, bertambah pintar manusia, maka bertambah tinggi pula potensi manusia untuk melakukan kegiatan yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Lihat Mochtar Naim, “Epistimologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Sosial dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan Kembali Ilmuilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 76-77.
109
Dengan kata lain, agama dan sains bagi manusia akan memperkukuh dan memperkuat hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan-nya. Jika merujuk al-Qur’an yang juga sebagai sumber utama dalam pendidikan Islam, menurut Quraish Shihab, al-qur’an menggunakan kata ‘ilm sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan (QS. al-Bagarah:2/31-32).19 Kata ‘ilm yang disebut sebanyak 854 kali tersebut menunjukkan bahwa IPTEK merupakan modal besar dan istimewa bagi manusia, bangsa, dan Negara untuk menggapai kemajuan dan pencerahan dalam hidupnya. Berbagai tokoh sekaliber alGhazali, Ibn Sina, Ibn Khaldun, dan lainnya, adalah cermin sosok yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai jalan menuju kemajuan dalam hidupnya. Sebagai tantangan di era global, bagaimana mengintegrasikan agama dan sains bagi umat manusia sehingga terwujud hubungan sinergis, sistematis, dan fungsional bagi keduanya. Agama tidak menjadikan pemeluknya menjauhi sains dan demikian juga sains bagi saintis tidak meninggalkan agama. Oleh karena itu, agama dan sains tidak banyak bermanfaat jika diperselisihkan atau bahkan dipertentangkan, karena pada hakikatnya, dua hal ini sama-sama berasal dari Tuhan. Ini sesuai dengan dasar pengetahuan termasuk sains dalam Islam yaitu keyakinan yang kokoh tak tergoyahkan dari cara berfikir yang pertama dan utama bahwa Allah SWT berkuasa atas segala hal, termasuk pengetahuan berasal dari satu-satunya sumber yakni Allah SWT.
19
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama bendabenda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."(QS. al-Bagarah:2/3132). Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 2005), hlm. 6.
110
Jadi, jelaslah kiranya bahwa sesungguhnya peran Islam dalam pengembangan IPTEK adalah memerikan wawasan dan dorongan yang aktif sebagaimana tampak pada ayat-ayat al-Qur’an. Wawasan dan dorongan inilah yang telah membangkitkan para ilmuwan muslim pada abad keemasan.20 Dorongan dari al-Qur’an maupun as-Sunnah telah mampu memunculkan peradaban Islam di era kejayaan. Selain mampu mencetak ulama/ filsuf besar seperti Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, al-Ghazali dan lain-lain, peradaban Islam juga mampu mencetak pionir ilmu pengetahuan seperti alKhawarizmi (bidang Matematika), Ibn al-Haytam (Fisika), al-Biruni (Fisika-Astronomi), dan Ibn Sina (Kedokteran). Sejarah Islam terdahulu telah mengingatkan bahwa segala bentuk dikotomi antara agama dan sains harus dihindari. Alam penuh dengan tandatanda, pesan-pesan Ilahi yang menunjukkan kehadiran kesatuan sistem global. Semakin jauh ilmuwan mendalami sains, dia akan memperoleh wisdom berupa philosphic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence. Iman tidak bertentangan dengan sains, konflik antara iman dan sains sesungguhnya hanya merupakan struggle antara dua kekuatan yang bertikai, yakni konservatif dengan progresif.21
20
Para sejarawan sering mengatakan bahwa puncak sejarah peradaban Islam berada pada empat abad pertama sejak munculnya Islam. Setelah abad itu nampak ada "cultural decline" kemunduran peradaban, yakni sewaktu fenomena dikotomi "Islamic knowledge" dan "non-Islamic knowledge" mulai menghinggapi umat Islam. Misalnya Madrasah Nizam al-Mulk yang hanya mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu-ilmu agama di paruh kedua abad 11, bisa dilihat sebagai kemajuan di bidang pendidikan agama, tapi di lain pihak bisa juga dilihat sebagai kemunduran Islamic civilization karena non-Islamic knowledge sudah tidak menjadi perhatian lagi dalam dunia pendidikan Islam. Lihat Abdurrahaman Mas‟ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm.193. Demikian juga kondisi dan posisi "ulama”. Sebelum abad 12 M, definisi ulama adalah makhluk multi atau bahkan transdisipliner yang mempercantik diri dengan berbagai disiplin ilmu, bisa dilihat dari sosok Hassan Basri di abad delapan sampai alGhazali di abad 11 M. Setelah abad 12 makna 'ulama mengalami penyempitan menjadi sosok yang memperkaya diri hanya dengan ilmu-ilmu agama khususnya ilmu fiqh. Pada periode ini dan seterusnya fiqh menjadi mahkota ilmu, juga induk ilmu mengasingkan jauh-jauh ilmu-ilmu lain. Lihat Abdurrahman Mas‟ud, Buku Pengukuhan...20 Maret 2004. 21
Kelompok konservatif merupakan kelompok yang bersifat tertutup, sedangkan kelompok progresif bersifat terbuka. Kelompok pertama sering memformalkan dan mendogmakan, dan kelompok kedua mendeformalkan dan mendedogmakan. Lihat Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format...hlm. 44-45.
111
Diharapkan
pada
abad ke XXI ini
wawasan tersebut
akan
membangkitkan kembali kejayaan umat Islam di bidang IPTEK. Kiranya kita cukup bersyukur bahwa di abad XX umat Islam telah mempunyai pakar-pakar seperti, Prof. Abdus Salam (dari Pakistan pemenang Nobel bidang Fisikan 2979), Prof. Ali Javan (dari MIT-Boston, salah satu pionir Fisika Laser), Dr. Mustapha Chahin, serta Prof. Ahmed Zewail (dari Mesir, pemenang Nobel bidang Kimia 1999). Mereka adalah pakar-pakar muslim abad ini yang concern
dengan umat Islam serta pengembangan ilmu
pengetahuan.22 Bukan tidak mungkin beberapa tahun atau dekade mendatang akan bermunculan imuwan-ilmuwan muslim seiring dengan adanya kesadaran pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan peradaban manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. 2. Pengembangan Keilmuan di Lembaga Pendidikan Islam Perkembangan dunia modern dan teknologi yang begitu pesat di abad ini, membuat arus informasi dapat tersebar ke seluruh dunia dalam waktu singkat dan seolah sudah tidak ada batas lagi antar negara di dunia.23 Hal Umar A. Janie, “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 112. Di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberi konstribusi yang cukup signifikan dalam kehidupan baru peradaban dunia Barat yang meliputi: (1). Sepanjang abad 12 dan sebagian abad 13, karya-karya Muslim dalam bidang filsafat, sains dan sebagainya telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin, khususnya dari Spain. Penerjemahan ini sungguh telah memperkaya kurikulum pendidikan dunia Barat, khususnya di North-west Eropa. (2). Muslim telah memberi sumbangan experimental mengenai metode-metode dan teori-teori sains ke dunia Barat. (3). Sistem notasi dan desimal Arab dalam waktu yang sama dikenalkan ke dunia Barat (4). Karya-karya dalam bentuk terjemah, khususnya dari lbnu Sina dalam bidang kesehatan, dipakai sebagai teks di lembagalembaga pendidikan tinggi sampai pertengahan abad 17. (5). Ilmuwan-ilmuwan Muslim dengan karya-karya mereka telah merangsang kebangkitan Eropa, memperkaya dengan kebudayaan Romawi kuno serta literatur klasik yang pada gilirannya melahirkan Renaissance. (6). Lembagalembaga pendidikan Islam yang telah didirikan jauh sebelum Eropa bangkit dalam bentuk ratusan madrasah-madrasah adalah pendulu-pendulu, forerunners, universitas-universitas college di Eropa. (7). Para ilmuwan Muslim berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi-Persi sewaktu Eropa dalam kegelapan. (8). Sarjana-sarjana Eropa belajar di pelbagai lembaga pendidikan tinggi dunia Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia Barat. (9). Ilmuwanilmuwan Muslim telah menyumbangkan pengetahuan tentang rumah sakit, sanitasi, serta makanan ke Eropa. Lihat Abdurrahman Mas‟ud, Buku Pengukuhan...20 Maret 2004. 22
23
Era globalisasi mempunyai ciri-ciri yang menonjol diantaranya: (1). Terjadi pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi, dari
112
tersebut tentu menimbulkan perubahan di era global ini, diantaranya dapat ditandai dengan munculnya berbagai organisasi-organisasi internasional seperti World Trade Organization (WTO), APEC, AFTA, OPEC, dan lain sebagainya. Tantangan di era globalisasi menuntut respon cepat dan tepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya ingin sekedar survice di tengah persaingan global yang semakin ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan sebuah keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi.24 Berbicara masalah pendidikan Islam tentu tidak dapat dilepaskan dari lembaga pendidikan (tinggi) Islam. Pendidikan tinggi Islam pada dasarnya merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Sebagai institusi sosial fungsi pendidikannya secara ideal menjadi fungsi budaya untuk melestarikan dan mengembangkan sistem nilai masyarakatnya. Sebagai suatu organisasi intelektual, ia menjadi centrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menyelenggarakan sebuah masyarakat yang beradab. Dalam fungsi itu Perguruan Tinggi Islam mempunyai kekuatan vital karena bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sulit dibayangkan, ilmu pengetahuan akan
arah keseimbangan kekuatan ke arah keseimbangan kepentingan. (2). Hubungan antar negara secara struktural berubah dari sifat ketergantungan ke arah saling tergantung, hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat terganutng kepada posisi tawar. (3). Batas-batas geografis hampir kehilangan arti operasionalnya. (4). Persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. (5). Terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak mengahrgai nilai dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak efisien. Lihat Syahrin Harahab, “IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pandang Pemikiran Islam”, dalam Syahrin Harahab (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta: IAIN Sumater Utara bekerjasama dengan PT. Tiara Wacana, 1998), hlm. 128-129. 24
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 99.
113
dapat dipertahankan dan dikembangkan tanpa adanya lembaga yang bergerak di bidang itu.25 Dalam konteks Indonesia, lembaga pendidikan tinggi Islam salah satunya adalah IAIN26. Islamic Studies di IAIN tentu secara historis tidak dipisahkan dari Islamic Studies yang lebih tua di Indonesia yakni pesantren. Sebagaimana dimaklumi, berbeda dengan tradisi keilmuan di IAIN , ilmuilmu yang dikembangkan di dunia pesantren secara umum hanya berorientasi pada ilmu keagamaan murni, dengan kurikulumnya yang dikenal dengan istilah kitab kuning.27 IAIN sebagai lembaga pendidikan dalam pandangan Abdurrahman seharusnya lebih diarahkan pada lembaga pengembangan keilmuan ketimbang lembaga dakwah Islamiyah.28 Walaupun sudah berdiri lebih dari setengah abad, lembaga pendidikan ini ternyata masih banyak mendapat kritik dari berbagai pihak (kritik tersebut justru berasal dari dalam IAIN sendiri), misalnya Abdul Djamil yang mengkritik bahwa keilmuan di IAIN bisa dikatakan lamban. Amin Abdullah juga mengkritik betapa asingnya tradisi filsafat ilmu. Bahkan Amin lebih tegas lagi menyatakan bahwa beliau ragu apakah dosen-dosen di lingkungan IAIN mampu memahami dasar-dasar keilmuan Islam dan pengembangannya. Menurut Abdurrahman, setidaknya ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk memecahkan persoalan-persoalan ini, yaitu sebagai berikut: a. Karena kemandegan ilmu di IAIN, maka harus ada upaya menjadikan penelitian sebagai budaya dan kebanggaan utama perguruan tinggi 25
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 584 – 585. 26
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1960 di Yogyakarta setelah menggabungkan dua lembaga pendidikan tinggi Islam kala itu yaitu PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang berkedudukan di Yogyakarta dengan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) yang berkedudukan di Jakarta. Lihat Haidar Daulay, “IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidikan Islam”, dalam dalam Syahrin Harahab (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta: IAIN Sumater Utara bekerjasama dengan PT. Tiara Wacana, 1998), hlm. 115. 27
Abdurrahaman Mas‟ud, Menuju Paradigma...hlm. 217.
28
Abdurrahaman Mas’ud, Menuju Paradigma...hlm. 218.
114
Islam yang mengarah pada research university. Meneliti sebagai kebutuhan dasar akademis bagi setiap dosen dan juga mahasiswa. Namun perlu dicatat bahwa hal tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya good will dan political will dari elit IAIN dan juga Kementrian Agama. b. Menciptakan iklim yang sehat bagi tumbuhnya dialog, renewal, dan gagasan-gagasan segar di lingkungan IAIN. c. Memperkaya modern scholarship dengan informasi dan pengetahuan tentang Islam Indonesia, dinamika kebudayaan lokal, dan tidak ketinggalan tradisi keilmuan Barat. d. Menghilangkan kesenjangan antara sesama dunia Islam juga antara muslim dan Western scholarship dengan titik tekan pada belajar bersama, networking, research, dan publikasi hasil studi dan penelitian orisinal. e. Melakukan profesionalisasi pusat-pusat kajian di lingkungan perguruan tinggi agama dalam rangka merespon globalisasi, otonomi daerah, dan future without shock. f. Mengintensifkan pengiriman dosen untuk studi lebih tinggi dengan pemilihan utama di universitas-universitas yang akrab dengan riset baik di dalam maupun luar negeri.29 Dari berbagai kritik dan masalah di IAIN, ada sebuah gagasan untuk merubah (konversi) lembaga tersebut menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Namun, yang perlu ditekankan disini adalah perubahan status tersebut bukan asal berubah, bukan sekedar ikut-ikutan, dan bukan hanya proyek fisik. Proyek tersebut merupakan proyek keilmuan, yaitu proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari oleh kesadaran futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu pengetahuan dan
29
Abdurrahaman Mas‟ud, Menuju Paradigma...hlm. 225-226
115
teknologi dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan zaman yang begitu cepat. Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud kesadaran umat islam yang tidak mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler sebagai dampak historis kebijakan kolonialisme Belanda Dalam pandangan Amin Abdullah proyek besar ini merupakan reintegrasi epistimologi keilmuan umum dan agama yang mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antara displin ilmu umu dan ilmu agama yang lebih erat. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan.30 Rancang bangun keilmuan baru era UIN kurang lebih sebagai berikut:
Skema di atas adalah proyek keilmuan yang diemban oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN. Tampak dalam skema bahwa masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri 30 Amin Abdullah, Islamic Studies...hlm. 399. Pendapat Amin tersebut sesuai dengan salah satu permasalahan di lingkungan IAIN yaitu dikotomi antara ilmu-ilmu ke-Islaman yang menjadi bidang pokok IAIN dan ilmu-ilmu non agama yang juga diajarkan di lembaga ini. Ilmu-ilmu keIslaman yang ada masih mempertahankan paradigma klasik sehingga kurangnya dimensi empiris dan sistematisasi yang komprehensif (lock of empiricism and systematization). Lihat Syamsul Anwar, “Ke Arah Epistimologi Integratif: Mencari Pengembangan Keilmuan dalam Rangka Pemekaran IAIN”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 46-47.
116
sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masingmasing berdiri sendiri, terpisah antara satu dengan yang lain. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak dengan kesediaan mengorbankan egoisme sektoral keilmuan, demi untuk menyongsong proyek keilmuan di era UIN.31 Untuk mewujudkan cita-cita sebuah Universitas Islam Negeri tersebut tentulah tidak semudah seperti konsep yang selama ini ditawarkan. Butuh kerjasama dari semua pihak terutama civitas akademika mulai mahasiswa, dosen, dan juga pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama sebagai pemegang otoritas pelaksana lembaga pendidikan Islam di Indonesia. []
31
Hadarah al-nash (budaya agama) memang tidak bisa lagi berdiri sendiri, terlepas sama sekali dengan hadarah al-ilm (budaya ilmu) dan juga tidak bisa terlepas dari hadarah al-falsafi dan juga sebaliknya. Hadarah al-ilm (budaya ilmu), yakni ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi akan tidak punya “karakter” yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipadu oleh hadarah al-falsafi (budaya etik-emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu, Hadarah al-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks) dalam kombinasinya dengan hadarah al-ilm(sains dan teknologi), tanpa mengenal humanities kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa ke arah radicalism-fundamentalism. Untuk itu diperlukan hadarah al-falsafi (etik yang bersifat transformatif-liberatif). Begitu juga hadarah al-falsafi (budaya filsafat) akan terasa kering jika tidak terkait isu-isu keagamaan. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies...hlm. 402-405.
117
BAB V PENUTUP A. Simpulan Setelah mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data yang diperoleh dari penelitian tentang “Pendidikan Islam Berbasis Humanisme Religius (Studi Pemikiran Abdurrahman Mas’ud)”. Maka dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Humanisme religius merupakan suatu cara pandang agama yang menempatkan manusia sebagai manusia dan suatu usaha humanisasi ilmuilmu dengan penuh keimanan yang disertai hubungan manusia dengan Allah SWT dan sesama manusia atau hablun min Allah dan hablun min alnas. Implementasi dalam pendidikan Islam menekankan aspek Common Sense (Akal Sehat), Individualisme Menuju Kemandirian, Thirst of Knowledge
(Semangat
Kontekstualisme
Lebih
Mencari
Ilmu),
Mementingkan
Pendidikan
Fungsi
dari
Pluralisme, Simbol,
dan
Keseimbangan antara Reward and Punishment. Secara konseptual, paradigma humanisme religius dalam kerangka implikasinya terhadap komponen-komponen pendidikan Islam menawarkan lima komponen inti, yaitu: aspek guru, aspek peserta didik, aspek materi, aspek evaluasi, dan aspek tujuan. Guru dalam menjalankan fungsinya harus dengan kasih sayang, selain itu guru juga merupakan teladan yang baik bagi kehidupan sosial akademis peserta didik. Sementara peserta didik dalam proses mencari ilmu memiliki prasyarat yaitu modal, semangat, waktu memadai, petunjuk guru, kesabaran, dan kecerdasan. Sedangkan materi ibarat ruh pendidikan untuk membentuk self identity peserta didik. Pada aspek metode lebih menekankan pada tuntutan cara berfikir paradigmatik yang menuntut suatu metode tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar dalam teaching learning process saja bagi seorang guru tetapi dibanding sebagai upaya perbaikan secara komprehensif dari seluruh elemen pendidikan. Selanjutnya aspek evaluasi, dalam konteks humanisme religius, evaluasi
118
tidak hanya guru yang mengevaluasi siswa namun siswa juga diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk mengevaluasi guru. Aspek terakhir yaitu tujuan, tujuan pendidikan dalam konteks humanisme religius adalah menjadikan hamba Allah yang bertakwa sekaligus sebagai khalifah Allah yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. 2. Dalam konteks pendidikan Islam masa kini, pendidikan Islam harus berorientasi pada pendidikan nondikotomik. Dengan tidak memisahkan dua dimensi ilmu yaitu ilmu agama dan ilmu umum serta dimensi wahyu dan akal yang tetap berjalan seiring dan terpadu. Untuk mewujudkan pendidikan nondikotomik maka lembaga pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan ilmu agama saja tetapi juga harus mengajarkan ilmu-ilmu umum (sains dan teknologi). Dalam hal ini, lembaga pendidikan (tinggi) Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan salah satu bentuk implementasi
dari pendidikan
Islam
nondikotomik,
terlepas
dari
kekurangan yang ada. Namun diharapkan dengan adanya lembaga ini setidaknya sudah dapat menggambarkan pendidikan Islam yang pada dasarnya tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. B. Saran Dari hasil penelitian yang disimpulkan berdasarkan pemikiran Abdurrahman Mas’ud, peneliti berusaha memberikan saran-saran sebagai motivasi dalam mewujudkan pendidikan Islam yang lebih baik. Khusus bagi guru (pendidik) dan peserta didik, yang merupakan subyek pendidikan dan obyek pendidikan harus mampu untuk memahami peran dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan nilai-nilai humanisme (kecerdasan sosial) dan nilai-nilai religius (kecerdasan transendental) dalam pendidikan Islam. Bagi mahasiswa pada umumnya dan dosen pada khususnya, seyogyanya bersemangat progresif dengan jiwa yang terisi oleh pengetahuan yang luas untuk melakukan penelitian-penelitian pendidikan. Dan membuat penelitian itu sebagai kebudayaan intelektual umat Islam.
119
Dengan hadirnya gagasan humanisme religius, umat Islam pada umumnya perlu membuka cakrawala berfikir dan cara pandang untuk tergugah gairahnya dalam rangka memperbaiki dan mencari solusi bersama dalam rangka memecahkan persoalan pendidikan Islam dewasa ini terutama dalam menghadapi era globalisasi dan kemajuan teknologi. Hendaknya semua elemen masyarakat termasuk pemerintah ikut serta berperan aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan didukung oleh aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya yang mendukung, maka terwujudnya tatanan pendidikan (Islam) yang bermutu dan berkualitas menjadi sebuah keniscayaan untuk diwujudkan bersama. C. Penutup Mengakhiri penulisan skripsi ini peneliti memanjatkan puji syukur yang tiada terkira kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun masih terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan yang berupa moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Teriring do’a semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi, dan kepada pembaca pada umumnya.[]
120
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abbagnano, Nicola dalam Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan Islam Plus Minus Sistem Pendidikan Pesantren, Semarang: Walisongo Press, 2011. Abdulah, Mukhammad, “Pengembangan Fitrah Manusia Eksistensialisme”, Jurnal Madania, Ed.I, No.3, Maret/1999.
Menurut
Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Abidin, Zainal, “Konsep Humanis dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Tarbawiyah, Vol.8, No.1, Januari/2011. , Filsafat Manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Ahmadi , Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam I, Bandung: Pustaka Setia, 1997. al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, al-Tarbiyah al-Islamiyah Fikr,t.t
Al-Arabi: Dar al-
, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. al-Asqalani, Al-Hafidh Syihab ad-Din Abi al-Fadlol, Fath al-Bari Juz I, Mesir : Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Awladih, 1959 al-Atas, Muhammad Naquib, Aims and Objectives of Islam Education, Jeddah:King Abdul Aziz University, 1979. , Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djoyosuwarno, Pustaka, 1981.
Jakarta:
, The Concept Of education In Islam, Kuala Lumpur: International Islamic University Malaysia, 1991. al-Fandi, Haryanto, Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis, Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2011. Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Firdaus, 1989. al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. , Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Aly, Bandung: CV Diponegoro, 1999
al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam , terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999. Anwar, Syamsul, “Ke Arah Epistimologi Integratif: Mencari Pengembangan Keilmuan dalam Rangka Pemekaran IAIN”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003 Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002 Arifin, H. M. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Aksara, 1995
Jakarta: Bumi
. Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjaun Teoritis dan Praksis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Assegaf, Abd Rahman, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, RajaGrafindo Persada, 2013.
Depok: PT.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004. az-Zabaidiy, Imam Zainanuddin Ahmad bin Abdul Lathif, Muhtashor Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1994. Baharuddin dan Moh Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011 Bekker, Anton dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990 Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, terj. M. Rasdiji, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Daradjat, Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung: Ruhama, 1993. , Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, , Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 1982 Daulay, Haidar, “IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidikan Islam”, dalam dalam Syahrin Harahab (ed.), Perguruan Tinggi
Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta: IAIN Sumater Utara bekerjasama dengan PT. Tiara Wacana, 1998. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 2005. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008 Dewey, John, Democracy and Education, New York: The Free Press, 1966. Djumransyah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam: Menggali Tradisi Meneguhkan Eksistensi, Malang: UIN Malang Press, 2007. Djunatan, Stafanus, “Humanisme Renaisans”, dalam Bambang Sugihrto (ed.), humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, Yogyakarta: Jalasutra, 2008. Edwords, Fred, “What Is Humanism”, http://americanhumanist.org/Humanism/What_is_Humanism, diakses selasa 3 Februari 2015. Fadjar , Malik, “Pengantar” dalam Imam Tholkah, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004. Fahruddin, M. Mukhlis, “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif AlQur'an”, Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008. Fajar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999. Freire, Paulo “ Pendidikan yang membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, dan Anarkis, terj. Omi Intan Naomi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 , Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogykarta : Pustaka Pelajar & READ, 2002 Graham, Helen, Psikologi Humanistik dalam Konteks Sosial, budaya, dan sejarah, terj. Achmad Chusairi dan Ilham Nur Alfian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andy Offset, 1994 Hanafi, Hasan, Oksidentalisme: Sikap kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori, Jakarta: Paramadina, 2000. Harahab, Syahrin, “IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pandang Pemikiran Islam”, dalam Syahrin Harahab (ed.), Perguruan
Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan PT. Tiara Wacana, 1998 Hayat, “Pendidikan Islam dalam Konsep Prophetic Intelligence”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 2, Desember/2013. HW, Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidkan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013 Jamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2000 Janie, Umar A. “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003 Junaidi, Mahfud, “Konsep Tujuan Pendidikan”, dalam Ismail SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2001. Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid I, Jakarta: Lentera Abadi, 2010 , Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III, Jakarta: Lentera Abadi, 2010 Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, ter. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press, 1996. Khiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Kraimer, Joel L. Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan budaya pada Abad Pertengahan, terj. Asep Sefullah, Bandung: Mizan, 2003. Kuntoro, Sodiq A., “Sketsa Pendidikan Humanis Religius”, Makalah Diskusi Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, 05 April 2008. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008 Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1980. , Pendidikan dan Peradaban Islam,
Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1995. , Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988. Madjid, Nurcholish, Islam doktrin dan Peradaban, Jakarta: Temprint, 1992.
, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998, Makdisi, George A. Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat, terj. A. Samsul Rizal dan Nurul Hidayah, Jakarta: Serambi, 2005 Maksudin, Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Mangunhadjana, A, Isme-isme dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997. Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Ma’arif, 1989.
Bandung: Al-
Abrurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara ; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2006. , Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Media, 2003. , “Model Pendidikan Islam Walisongo”, Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa Dewaruci, No. 2, Desember/1999. , “Humanisme Religius Sebagai paradigma Pendidikan Islam”, Jurnal Penelitian Walisongo, Edisi 17/2011. , Buku Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam, 20 Maret 2004. , Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002 , “Reposisi Pendidikan Islam”, Seminar Pendidikan Islam, Lamongan: STAI Sunan Drajat, 27 Mei 2001. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, 2009
Bandung: Remaja
Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009 Muchtar, Heri Jauhari , Fikih Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kuwalitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000. Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
Mujib, “Pendidikan Humanis dalam Islam”, Skripsi Program Studi Pendidikan Agama Islam, Salatiga: STAIN Salatiga, 2011 Mujib, Abdul dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010 Mukhlas, Moh, Humanisme Pendidikan Islam Sebagai Praktik Antisipatoris”, Jurnal Cendekia, Vol.5, No.2, Desember/2007. Mukni’ah, Materi Pendidikan Agama Islam, 2011
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Multazam , Ahmad, “Paradigma Integrasi Keilmuan Islam dan Sains di Abad Ke21”, http://multazam-einstein.blogspot.com/2015/02/paradigma-integrasikeilmuan-islam-dan.html, diakses 19 Maret 2015. Mumpuniarti, “Perspektif Humanis Religius dalam Pendidikan Inklusif”, Jurnal Pendidikan Khusus, Vol. III, No.2, November/2010 Murtadha Mutahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad Bahrudin, Jakarta: Sadra Press, 2011. Nafis, Muhammad Muntahihibun, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2011. Naim, Mochtar, “Epistimologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Sosial dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Jarot Wahyudi (ed.), Menyatukan Kembali Ilmuilmu Agama dan Umum: Upaya Mempersatukan Epistimologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003. Nashir, H.M. Ridlwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, 1997. , Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
Jakarta: Kencana Prenada Media,
2010. Nel Noddings, Phylosophy of Education, Oxford: Westview, 1998 Nurjanah, Lin, “Humanisasi Pendidikan Islam dalam Perspektif Abdul Munir Mulkhan”, Skripsi Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo, Semarang: UIN Walisongo, 2012.
Nurpratiwi, Suci, “Konsep pendidikan humanis dalam perspektif hadits”, Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2014. Nusyirwan, “Pengaruh Pendidikan Humanistik Terhadap Peningkatan Kemampuan Insya’ Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Stain Watampone”, Jurnal Dirkursus Islam, Vol. I, No.3, Desember/2013. Pettalongi, Sagaf S. “Islam Dan Pendidikan Humanis Dalam Resolusi Konflik Sosial”, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Th. XXXII, No. 2, Juni/2013.
Rahman, Musthofa, Humanisasi Pendidikan Islam Plus Minus Sistem Pendidikan Pesantren, Semarang: Walisongo Press, 2011 , “Pemikiran Pendidikan Humanistik Dalam Islam”, Kajian Islam, Vol. III, No. 2, Agustus/2011
Jurnal
Rahman, Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”, http://musthofarahman.wordpress.com/2012/11/18/percobaan.html, diakses Jum’at, 16 Januari 2015. Samho, Bartolomeus, “Humanisme Yunani Klasik dan Abad Pertengahan”, dalam Bambang Sugihrto (ed.), humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, Yogyakarta: Jalasutra, 2008 Sanjaya, Wina, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 Sartre, Jean Paul, Eksistensialisme dan Humanisme, Pelajar, 2002.
Yogyakarta: Pustaka
Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2000. Soenarjo , A, (ed.), al-Qur’an dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma’ Khadim al-Haramain al-Syarifain al-malik Fahd li Tiba’ah al-Mushaf al-Syarif, 1413 H. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Sudja’i, Achmad, Pengembangan Kurikulum, Semarang: Akfi Media, 2013. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2009. Suseno, Franzs Magnis, Humanisme Religius vs Humanisme Sekuler, terj. Dedi M. Siddiq, Semarang: IAIN Walisongo bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007. Sutiyono, Agus, “Sketsa Pendidikan Humanis Religius”, Jurnal Insania, Vol.14, No.2, Mei-Agustus/2009.
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: Aksara Baru, 1988 Suyatno, “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pendidikan Humanis Religious”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. IX, No.1, Juni/2012 Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005 Syari’ati, Ali, Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, Terj. Afif Muhammad Bandung: Pustaka Hidayah, 1996 Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, Bandung : Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Rosda Karya, 1992.
Bandung: Remaja
Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Tjaya, Thomas Hidya, Humanisme dan Skolatisme: Sebuah Debat, Yogyakarta: Kanisius, 2004 Umar, Bukhari, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010 Wisok, Johanes P. “Humanisme Sekuler”, dalam Bambang Sugihrto (ed.), humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan, Yogyakarta: Jalasutra, 2008. Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia ; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
PEDOMAN WAWANCARA
1. Mengapa konsep humanisme justru berasal dari Barat ? Apakah (Pendidikan) Islam tidak humanis ? Secara konseptual Islam sangatlah humanis, namun yang perlu ditekankan di sini ialah praktek dalam kehidupan sehari-hari. Dulu Islam humanis, masih ada mu’tazilah atau zaman Islam klasik di mana perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat. Oleh karena itu menurut saya, zaman Islam dulu kita ambil dan sekarang memang Barat yang lebih maju kita harus akui itu. Namun sekali lagi bukan berarti islam itu tidak humanis. 2. Terkait dikotomi ilmu, bukankah antara ilmu agama dan ilmu umum memang dua hal berbeda ? Memang berbeda, 2 hal yang awalnya berbeda namun tidak harus dibedakan. Selain ilmu agama, kita juga membutuhkan ilmu umum. Kalau “din” saja ya itu tadi namanya dikotomis, atau umum saja justru menjadi sekuler. Oleh karena itu diperlukan adanya lembaga pendidikan Islam seperti UIN atau Universitas Wahid Hasyim. 3. Salah satu aspek humanisme religius ialah individualisme, apa hal hal tersebut tidak bertentangan dengan Islam ? Tentu tidak bertentangan, Selama ini ada persepsi yang salah tentang konsep individualisme yang diartikan egoisme, selfish, ananiyyah, dan lebih mementingkan diri sendiri. Alasan klasik yang biasa dikemukakan disini adalah karena individualisme itu konsep Barat, dimana kata aku selalu bersuara “I” dengan menggunakan huruf besar yang berarti besar egonya. Dengan demikian secara umum orang Timur berpandangan bahwa orang Barat adalah orang-orang yang egois, individualis, sesuai dengan “I” besar dan ideologi individualisme mereka yang terkenal 4. Bagaimana salah satu contoh peristiwa yang menggambarkan humanisme Islam di masa lalu ! Dalam hal ini Imam Bukhori merupakan contoh yang menarik. Semangat menelitinya telah mengantarkan ilmuwan ini meninggalkan tanah kelahirannya, Bukhoro atau Transoxiana Soviet saat ini ke pusat Islam Baghdad. Dari Baghdad, talibul hadis ini menuju tanah suci Makkah-Madinah. Belum puas dengan koleksi Hadis yang diperoleh, Bukhari melanjutkan perjalanannya ke Mesir kemudian ke Damaskus. Setelah pusat-pusat peradaban Islam ini dilalui, pakar Hadis ini kembali ke tanah kelahirannya dengan mengumpulkan lebih dari 60.000 hadis. Rentang waktu perjalanan intelektual ini selama 16 tahun.
Sampai di kampung halamannya, dia tidak berhenti melakukan kegiatan akademis. Diedit semua Hadis yang dikoleksi hingga berakhir 6000 yang ia nyatakan sebagai sahih dan menamakan kitabnya yang spektakuler itu dengan Sahih Bukhari yang bisa kita nikmati dewasa ini.
Semarang, 24 Januari 2015
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri 1. Nama 2. TTL 3. NIM 4. Alamat Rumah 5. No HP 6. E-Mail
: Ahmad Multazam : Jepara, 05 Juni 1994 : 113111097 : Desa Karangrandu, Kec Pecangaan, Kab Jepara, Jawa Tengah : 085712458382 :
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. SDN Karangrandu I lulus tahun 2005 b. SMPN 1 Pecangaan lulus tahun 2008 c. SMAN 1 Pecangaan lulus tahun 2011 d. UIN Walisongo Semarang 2. Pendidikan Non Formal a. Madrasah Diniyah Awwaliyah Tamrinus Shibyan b. Madrasah Diniyah Wustho Tamrinus Shibyan
Semarang,
Mei 2015
Ahmad Multazam