PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat kita sudah sejak lama mengenal tanaman obat. Saat ini prospek pengembangan produk tanaman obat semakin meningkat, hal ini sejalan dengan perkembangan industri obat modern dan obat tradisional yang juga terus meningkat. Kondisi ini turut dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat yang semakin tinggi mengenai manfaat tanaman sebagai obat. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan obat-obatan alami. Hal tersebut menuntut ketersediaan bahan baku bermutu dan berkelanjutan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil tanaman obat yang sangat potensial dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Menurut Djauhariya dan Hernani (2004), keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Kardono et al. (2003) menambahkan di hutan tropika Indonesia tumbuh sekitar 25.000 – 30.000 spesies tumbuhan berbunga dan diperkirakan sekitar 3.689 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat. Hal ini merupakan suatu peluang yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai produk herbal medicine maupun health food. Namun sampai saat ini baru sekitar 383 jenis tanaman obat yang sudah digunakan dalam industri obat tradisional. Pegagan merupakan salah satu tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia (2008) yang menyebutkan bahwa pegagan merupakan salah satu dari lima komoditi unggulan (jahe, temulawak, sambiloto, pegagan dan kencur) yang
sedang dikembangkan dan diteliti di Indonesia. Menurut De Padua et al. (1999) pegagan telah banyak dimanfaatkan sebagai sayuran/lalap di berbagai negara di Asia Tenggara, India dan Srilangka. Di Thailand, Kamboja, Laos dan Vietnam daun pegagan dibuat sebagai minuman jus yang ditambah sedikit gula untuk mengatasi rasa pahit. Masyarakat Sunda sudah sejak lama mengkonsumsi pegagan sebagai lalapan. Pegagan sering dianggap sebagai gulma yang kurang diperhatikan manfaatnya, padahal secara empiris pegagan mengandung sejumlah senyawa yang banyak digunakan sebagai bahan simplisia obat. Kandungan kimia yang sudah diketahui antara lain beberapa senyawa saponin termasuk asiatikosida (Matsuda, et al., 2001). Senyawa bioaktif asiatikosida dapat mempercepat proses penyembuhan
luka
dan
berguna
dalam
pengobatan
kusta
dan
TBC
(Mangas, et al., 2008). Pegagan (Centella asiatica (L.) Urb.) telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dalam bentuk bahan segar, kering maupun yang sudah dalam bentuk ramuan (jamu). Di Australia telah dibuat obat dengan nama “Gotu Cola” yang bermanfaat sebagai anti pikun dan juga sebagai anti stres. Secara empirik, pegagan bermanfaat sebagai penyembuh luka, radang, reumatik, asma, wasir, tuberkulosis, lepra, disentri, demam dan penambah nafsu makan. Di Cina, pegagan bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi darah, bahkan dianggap lebih bermanfaat
dibandingkan
Ginkgo
biloba
atau
ginseng
Untuk
mendukung
(Januwati dan Yusron, 2005). Sampai
saat
ini
pegagan
dipanen
dari
alam.
pengembangan pegagan skala luas perlu didukung dengan usaha budidaya. Sudah
saatnya pegagan dibudidayakan karena banyak jamu racikan yang mengandung herba pegagan. Kebutuhan pegagan mencapai 100 ton, salah satunya seperti PT. Sidomuncul yang kebutuhannya mencapai 2-3 ton per bulan. Komoditas pegagan, herba liar yang tumbuh di pekarangan, kebun, atau dibawah tegakan hutan, yang dibutuhkan pabrik lokal 25 ton per tahun hanya sanggup dipasok sebesar 4 ton per tahun. Tidak hanya tumbuhan liar yang masih diburu dari alam bebas, beberapa tanaman biofarmaka yang telah dibudidayakan pun banyak yang belum mampu memenuhi permintaan pasar domestik (Pusat Studi Biofarmaka IPB, 2005). Permasalahan dalam pengembangan produk yang berasal dari tanaman pada umumnya dan pegagan pada khususnya adalah tidak terjaminnya mutu dan pasokan. Kualitas bahan baku sangat bervariasi, hal ini dapat disebabkan oleh teknik budidaya yang dilakukan, seperti bagaimana dan kapan tanaman itu akan dipanen. Faktor yang menentukan tinggi rendahnya kuantitas dan kualitas produksi secara umum adalah penentuan umur panen yang tepat. Menurut Franklin et al. (1991) waktu panen yang tepat yaitu ketika suatu organ tanaman telah berkembang optimal. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2010) menyatakan waktu pemanenan yang tepat akan menghasilkan simplisia yang mengandung bahan berkhasiat yang optimal. Kandungan kimia dalam tumbuhan tidak sama sepanjang waktu. Kandungan kimia akan mencapai kadar optimum pada waktu tertentu. Untuk menjamin bahwa produk yang digunakan berkualitas tinggi dan mengandung komponen/bahan kimia yang tepat, perlu dilakukan penelitian teknik budidaya secara menyeluruh. Salah satunya yaitu kesesuaian lingkungan tumbuh seperti ketersediaan/kandungan fosfor di dalam tanah. Pupuk anorganik bertujuan
supaya akar tanaman mudah menyerap unsur hara untuk mendukung pertumbuhan awal yang baik dan optimal sehingga diharapkan perolehan produksi biomas yang tinggi. Menurut penelitian Noverita (2010) ada pengaruh fosfor terhadap pertumbuhan dan senyawa bioaktif pada tanaman pegagan. Senyawa fosfat yang kaya energi menjadi perantara transfer energi fosforilasi dalam proses pertumbuhan organ tanaman sebagai perantara dalam menghasilkan metabolit sekunder (Salisbury dan Ross, 1995). Peningkatan ketersediaan fosfor dapat diusahakan dengan pemberian pupuk P2O5. Ghulamahdi, dkk. (2007) menyatakan di dataran tinggi, pemberian fosfor menurunkan panjang tangkai bunga induk, meningkatkan nilai warna daun, bobot tangkai daun, sulur daun, bobot panen dan senyawa bioaktif asiatikosida. Bobot panen tertinggi diperoleh pada perlakuan 72 Kg P2O5/ha, sedangkan kandungan asiatikosida tertinggi diperoleh pada perlakuan 36 Kg P2O5/ha. Pegagan masih dikategorikan sebagai tumbuhan liar yang belum mengalami domestikasi menjadi tanaman budidaya, sehingga perlu dilakukan pengamatan awal mengenai perilaku tumbuh dari tanaman itu sendiri. Pengamatan mengenai perilaku tumbuh dari pegagan bertujuan agar dapat memberikan informasi yang lebih lanjut untuk perbaikan sistem budidaya pegagan yang baik dan benar. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui lebih jauh pengaruh umur panen dan pemberian fosfor terhadap pertumbuhan dan produksi pegagan. Dengan demikian dapat diketahui respon tanaman terhadap penentuan umur panen yang tepat dan pemberian dosis fosfor
yang sesuai untuk mengoptimalkan
pertumbuhan dan mendapatkan produksi
yang tinggi. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk dapat menentukan umur panen yang tepat dan dosis pemberian fosfor yang sesuai terhadap pertumbuhan dan produksi pegagan (Centella asiatica (L.) Urb.). Hipotesis Penelitian -
Ada pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan produksi pegagan (Centella asiatica (L.) Urb.) akibat perbedaan umur panen.
-
Ada pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan produksi pegagan (Centella asiatica (L.) Urb.) akibat perbedaan tingkat pemberian fosfor.
-
Ada pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan produksi pegagan (Centella asiatica (L.) Urb.) akibat interaksi umur panen dan pemberian fosfor.
Kegunaan Penelitian Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan untuk mendapatkan informasi tentang umur panen yang tepat dan dosis pemberian fosfor yang diharapkan mampu memberikan pertumbuhan dan produksi yang optimal dalam prospek pembudidayaan tanaman pegagan yang dapat diterapkan oleh masyarakat.