1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan waktu, kota mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertambahan penduduk, perubahan sosial-ekonomi dan budaya serta interaksi dengan kota-kota lain di sekitarnya. Secara fisik, perkembangan suatu kota dapat dicirikan dari penduduknya yang semakin bertambah padat, bangunan-bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun terutama pemukiman cenderung semakin luas, serta semakin lengkapnya fasilitas kota yang mendukung kegiatan sosial dan ekonomi kota (Branch, 1996 dalam Sobirin, 2001). Gempa dan tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 merupakan peristiwa bencana alam yang sangat dahsyat sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang menimpa pulau Sumatera di bagian pesisir utara dan barat. Bencana ini telah menghancurkan infrastruktur, perekonomian dan sosial masyarakat serta menelan korban manusia yang sangat besar. Salah satu wilayah yang mengalami kerusakan terparah adalah ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Kota Banda Aceh dengan penduduk berjumlah 230.774 jiwa (BPS, 2004) dan pasca bencana jumlah penduduk Kota Banda Aceh 178.380 jiwa (BPS, 2006). Peristiwa ini memberikan pelajaran/masukan di dalam perencanaan wilayah, bahwa mitigasi bencana semestinya sudah dipikirkan dan dikaji sehingga setiap bencana dapat diantisipasi secara dini dan diambil tindakan untuk mengurangi ancaman kematian dan kehancuran di kemudian hari ketika bencana alam terjadi. Mitigasi perlu dilakukan karena pada umumnya penduduk kembali membangun bangunan di atas lahan yang telah hancur akibat bencana, namun sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa bahaya/bencana tersebut sewaktu-waktu bisa terjadi lagi. Akibat bencana gempa dan tsunami kota Banda Aceh mengalami perubahan land use, migrasi penduduk dari kawasan pesisir dan dari daerah lain yang diikuti pula terjadi perubahan struktur pusat-pusat pelayanan, bergeser semakin menjauh dari pantai. Dampaknya adalah pergeseran aktivitas pembangunan kota Banda
2
Aceh yang mengarah ke wilayah selatan kota yang merupakan wilayah pinggiran atau sub urban. Yunus (1987) mengatakan bahwa salah satu tanda terjadinya pemekaran kota di daerah pinggiran kota adalah adanya gejala filtering up yaitu pergantian pemukiman-pemukiman lama dengan pemukiman-pemukiman baru yang kondisi ekonominya lebih baik. Selanjutnya Hammond, (1979) dalam Daldjoeni, (1987) mengemukakan bahwa tumbuhnya daerah pinggiran kota karena (1) Adanya peningkatan pelayanan transportasi kota yang memudahkan orang bertempat tinggal pada jarak yang jauh dari tempatnya bekerja; (2) Berpindahnya sebahagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian pinggiran kota dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan; serta (3) Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat.
1.2. Perumusan Masalah Struktur kota Banda Aceh sebelum bencana tsunami berpusat pada Mesjid Raya Baiturrahman dan Pasar Aceh yang menjadi pusat pemerintahan, budaya, agama serta pedagangan. Kemudian pada kawasan permukiman perkotaan terdapat permukiman dan pusat pelayanan baru. Kawasan ini dalam pemanfaatan ruang masih beragam. Seperti umumnya kota-kota di Indonesia, Banda Aceh pun tumbuh hampir tidak terencana dengan baik, dengan konsentrasi kepadatan di pusat kota, di sekitar mesjid Baiturrahman dan memanjang hampir linier mengikuti jalan utama yang relatif sejajar pantai dan melebar ke arah pantai Pengembangan kota Banda Aceh di masa mendatang, seharusnya struktur pusat kota dalam bentuk multi center dengan satu atau dua pusat kota dan didukung oleh beberapa sub pusat pengembangan. Pusat-pusat tersebut dihubungkan dengan jaringan jalan melingkar dengan utilitas lainya sehingga tuntutan terhadap pengembangan pusat-pusat pelayanan semakin dirasakan sangat dibutuhkan seiring dengan semakin pesatnya perkembangan kota di masa yang akan datang. Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka memberikan efesiensi dan efektifitas pelayanan. Dengan adanya pengembangan dan pembangunan fisik di bagian Selatan Kota Banda Aceh, sehingga adanya perluasan pembanguan wilayah kota menuju ke bagian pinggir kota (sub urban) menyebabkan terjadinya
3
perubahan penggunaan lahan. Adapun permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Bagaimana arahan penggunaan ruang/lahan sudah sesuai dengan Revisi Rencana Tata Ruang di kawasan sub urban kota; (2) Bagaimana sebaran sarana dan prasarana di kawasan sub urban kota dalam kaitannya dengan hirarki wilayah (3) Apa kebijakan pemerintah kota Banda Aceh dalam pengembangan wilayah di sub urban Kota.
1.3. Kerangka Pemikiran Salah satu tahapan dari penataan ruang adalah perencanaan, yang menghasilkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dokumen ini merupakan acuan yang sah dalam melaksanakan pembangunan/pemanfaatan ruang, sehingga penataan ruang merupakan acuan dalam menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan/pengembangan wilayah. Tujuan dari penataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktivitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi akhir tahun 2004 yang lalu telah menyebabkan tingkat kehancuran yang sangat tinggi di Kota Banda Aceh. Walaupun demikian, kota ini hingga saat kini pun masih memiliki peran, fungsi dan kedudukan yang strategis dalam konteks pelayanan regional. Akibat bencana yang terjadi tersebut, pergeseran penggunaan lahan yang terjadi pasca bencana cukup besar, terutama untuk kawasan permukiman.
Kawasan permukiman
bergeser ke kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah pinggiran Kota Banda Aceh.
Pada dokumen Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Banda Aceh tahun 2006 – 2016, arahan pola ruang wilayah dengan tegas mengarahkan pengembangan wilayah lebih ke arah Selatan Kota Banda Aceh, sementara wilayah Utara kota yang merupakan kawasan pesisir/pantai diarahkan juga untuk pengembangan pembangunan terbatas. Berdasarkan kecenderungan
4
yang terjadi di lapangan, kecenderungan perkembangan Kota Banda Aceh adalah ke sebelah Selatan kota. Dengan menggunalan analisis spasial dapat diketahui pemanfaatan lahan di kawasan sub urban Kota Banda Aceh. Potensi dari wilayah sub urban itu harus diketahui, yaitu dengan menggunakan kriteria penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan (permukiman, industri, perdagangan, jasa, pertanian dan lain-lain). Metode skalogram digunakan untuk mengetahui sebaran sarana-prasarana yang terdapat di kawasan sub urban kota Banda Aceh di dalam menentukan hirarki pusat aktivitas di masing-masing kecamatan penelitian. Metode pendekatan analisis hirarki proses (AHP) dilakukan untuk mengetahui kebijakan tata ruang, sehingga dapat dipilih alternatif dari arahan penentuan pengembangan wilayah di sub urban Kota Banda-Aceh.
Kerangka pemikiran dapat di lihat pada ( Gambar 1 ).
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
5
1.4. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui penggunaan lahan/ruang di kawasan sub urban Kota Banda Aceh 2. Mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas 3. Menentukan arah pengembangan wilayah Kota Banda Aceh
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta memberi masukan bagi pemerintah Kota Banda Aceh sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam pengembangan wilayah sub-urban kota Banda Aceh.