PEMILIHAN FASILITAS PENYEBERANGAN BERDASARKAN GAP KRITIS (STUDI KASUS JALAN DHARMAWANGSA, SURABAYA) SELECTION OF CROSSING FACILITIES BASED ON CRITICAL GAP (CASE STUDY DHARMAWANGSA STREET, SURABAYA) Edwin Hidayat Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum Jln. A.H. Nasution No. 264 Kotak Pos 2 Ujungberung, Bandung, Jawa Barat Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Pedestrians have a high risk to be hit by motor vehicle when they crossed the street, thus the choose of appropriate cross facilities are very important. An alternative for choosing cross facilities are by using the Critical Gap method. This method is used to measure the possibility of crossing the street safely. This study was started by gathering primary data for 4 hours at the traffic peak hours. From the calculation, the case of Dharmawangsa Street, Surabaya, showed that the critical gap is about 3,55 seconds. The observation from 07.00-11.00 a.m. showed that the possibilities of crossing the road respectively are: 45, 55, 56, and 60. Compared to the number pedestrians crossing the road, the research showed about 71, 24, 33, and 49 peoples. In this case, the possibility of crossing the street at 07.00-08.00 a.m. cannot be fulfilled. Meanwhile, the possibility to cross the street with safely at 08.00-11.00 a.m. can be fulfilled. Therefore, the use of midblock crosses is still relevant. Keywords: Pedestrian, Crosswalk, Critical gap, Cross facility ABSTRAK Pejalan kaki mempunyai risiko tinggi untuk ditabrak kendaraan bermotor saat menyeberang jalan, sehingga pemilihan jenis fasilitas penyeberangan sangat penting. Salah satu alternatif pemilihan fasilitas penyeberangan menggunakan metode Gap Kritis yang digunakan untuk mengukur peluang menyeberang jalan dengan aman. Penelitian diawali dengan pengambilan data selama 4 jam pada jam sibuk. Kemudian dari hasil perhitungan pada ruas Jalan Dharmawangsa, Surabaya, didapatkan gap kritis sebesar 3,55 detik. Berturut-turut dari pukul 07.00-11.00 peluang menyeberang adalah 45, 55, 56, dan 60 peluang. Dibandingkan dengan jumlah pejalan kaki berturut-turut dari pukul 07.00–11.00 adalah 71, 24, 33, dan 49. Sehingga diketahui peluang menyeberang jalan pada pukul 07.00-08.00 tidak dapat terpenuhi. Namun dari pukul 08.00-11.00 peluang menyeberang dengan aman dapat terpenuhi. Oleh karena itu, penyeberang sebidang masih dianggap relevan. Kata kunci: Pejalan kaki, Penyeberang jalan, Gap kritis, Fasilitas penyeberangan
PENDAHULUAN Berjalan kaki merupakan moda paling sederhana yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk beraktivitas. Namun, dewasa ini pejalan kaki terutama di daerah perkotaan kurang
mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Kebijakan yang diambil saat ini lebih berpihak pada pengguna kendaraan bermotor. Hal ini dapat dilihat di kota-kota besar banyak terdapat pelebaran jalan, pembangunan jalan layang, dll.
| 585
Disebutkan dalam UU nomor 22 tahun 20091 bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. Berjalan kaki merupakan moda yang lemah jika dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor, sehingga faktor keselamatan (safety) perlu ditingkatkan. Kecelakaan yang terjadi antara pejalan kaki dan kendaraan bermotor biasanya terjadi saat pejalan kaki menyeberang jalan bukan pada fasilitas penyeberangan atau saat pengemudi kendaraan bermotor terutama pengguna sepeda motor melaju dengan kecepatan yang tinggi, pejalan kaki yang tertabrak kendaraan dengan kecepatan lebih dari 64,4 km/jam mempunyai risiko 85% meninggal dunia.2 Pejalan kaki membutuhkan fasilitas penyeberangan yang berfungsi untuk melindungi pejalan kaki dari kendaraan bermotor karena sifat menyeberang merupakan kegiatan yang memotong secara melintang arus kendaraan di jalan sehingga mampu memberikan rasa aman baik bagi pejalan kaki maupun bagi pengendara. Menurut American Association of State and Highway Transportation Officials (AASHTO)3 fasilitas penyeberangan adalah bagian dari jalan raya yang berada di antara persimpangan atau di mana pun yang menunjukkan sebuah jalur permukaan yang digunakan oleh pejalan kaki untuk menyeberang, yang didukung dengan tekstur permukaan yang berbeda, atau warna yang berbeda. Pada dasarnya fasilitas penyeberangan pejalan kaki dibagi menjadi 2 yaitu penyeberangan sebidang dan penyeberangan tidak sebidang. Pemilihan jenis fasilitas penyeberangan secara teoretis sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia yaitu menggunakan Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di kawasan Perkotaan4 yaitu menggunakan parameter arus lalu lintas penyeberang jalan sepanjang 100 meter dengan satuan pejalan kaki/jam. Selain itu, arus kendaraan lalu lintas dua arah per jam dengan lama pengamatan 4 jam dengan satuan kendaraan/jam. Agah, HR5 berpendapat bahwa pemilihan jenis fasilitas penyeberangan seyogianya juga mempertimbangkan faktor pengambilan keputusan pejalan kaki untuk menyeberang jalan, yang terdiri dari faktor internal berupa umur,
586 | Widyariset, Vol. 15 No. 3,
Desember 2012: 585–592
jenis kelamin, kondisi mental, kondisi fisik, dan kebebasan untuk bermanuver. Kemudian faktor eksternal yaitu arus lalu-lintas, karakteristik proses pengambilan keputusan, karena logit model setiap individu dalam kebiasaannya mengambil alternatif terbaik dari kemungkinan memilih apakah tidak akan menyeberang, atau menyeberang tetapi pada gap kritis atau menyeberang tetapi aman yaitu saat semua lajur jalan sepi. Kebiasaan pejalan kaki saat menyeberang, saat tiba di kerb untuk menunggu menyeberang, pejalan kaki tersebut akan melihat kondisi lalu lintas, kemudian melihat apakah gap yang terjadi apakah lebih besar daripada gap kritis kemudian akan memutuskan apakah dapat menerima gap tersebut, jika yang terjadi adalah penolakan, pejalan kaki akan menunggu gap berikutnya yang dianggap layak. Proses ini berjalan terus-menerus sampai pejalan kaki bisa menerima gap yang kira-kira dapat diterima atau bahkan menyerah. Gap kritis setiap orang berbeda antara satu dan yang lain bergantung pada subjektivitas dan konsistensi pejalan kaki.6 Gap kritis terdiri dari dua bagian yang pertama adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyeberang dan yang kedua adalah margin keselamatan yang sering disebut dengan faktor agresif. Margin keselamatan berbeda antara waktu pejalan kaki menyeberang dan waktu dari kendaaraan yang mendekat pada jalur penyeberangan. Waktu penyeberangan ialah waktu yang dibutuhkan pejalan kaki untuk menyeberangi sebuah jalan. Lebar minimum gap rata-rata yang dapat diterima oleh setengah dari separuh pejalan kaki yang menyeberang secara aman disebut dengan Gap Kritis. Hal tersebut telah diteliti biasanya jarak Gap Kritis terdekat sedikit lebih pendek dibandingkan dari jarak terjauh.7 Kota Surabaya adalah salah satu kota besar di Indonesia, berdasarkan data Polwiltabes Surabaya8 dari November 2010–Februari 2011, terdapat 31 pejalan kaki di Surabaya meninggal dunia karena ditabrak mobil dan sepeda motor sewaktu menyeberang, 13 orang luka berat, dan 36 orang luka ringan. Pada tulisan ini akan dilakukan analisis jenis fasilitas penyeberang jalan yang tepat untuk diterapkan pada Jalan Dhramawangsa, Surabaya (Depan RSU Dr. Soetomo). Jalan Dharmawangsa
adalah salah satu jalan utama di Kota Surabaya, dan fasilitas penyeberangan yang sudah ada saat ini adalah penyeberangan sebidang berupa zebra cross (ZC). Analisis Gap Kritis metode grafis ditemukan oleh Raff dan Hart pada 1950, dan hal tersebut diuraikan oleh Nicholas J.G. dan Lester A.H.,9 tentang data gap ditolak dan gap diterima dilakukan dengan menggambarkan dua kurva kumulatif seperti dapat dilihat pada Gambar 1, garis yang menghubungkan panjangnya waktu gap yang diterima kurang dari t detik, dan gap yang ditolak lebih besar dari t. Persilangan dua kurva ini memberikan nilai t untuk gap kritis. Untuk mendapatkan nilai gap kritis yang lebih mendetail dari metode grafis, perlu dilaku-
kan perhitungan. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan perubahan jumlah gap yang diterima lebih kecil dari t detik (kolom 2 pada Tabel 1) untuk panjang gap berurutan, dengan perubahan jumlah gap yang ditolak lebih besar dari t detik (kolom 3 Tabel 1) untuk panjang gap berurutan. Panjang gap kritis berada di antara kedua panjang gap berurutan, dengan perbedaan antara kedua perubahan adalah minimal. Data yang diplotkan merupakan data gap ditolak dan gap diterima menggunakan persamaan:
Keterangan:
(1)
m = Jumlah gap yang diterima < t1,
Gambar 1. Kurva distribusi kumulatif untuk gap yang diterima dan yang ditolak9
Tabel 1. Contoh tabel untuk membuat kurva kumulatif gap diterima dan ditolak9 Waktu Gap (t detik)
Jumlah Gap yang Diterima (
Jumlah Gap yang Ditolak (> t detik)
0
0
116
1
2
103
2
12
66
3
32 = m
38 = r
4
57 = n
19 = p
5
84
6
6
116
0 Pemilihan Fasilitas Penyeberangan... | Edwin Hidayat | 587
r = Jumlah gap yang diterima > t1, n = Jumlah gap yang diterima < t2, p = Jumlah gap yang diterima > t2 antara t1 dan t2 = t1 + Δt Sementara untuk menghitung Frekuensi kemungkinan terjadinya peluang untuk menyeberang tiap satu jam didasarkan volume kendaraan (v) digunakan persamaan: Peluang (h ≥ t ) = ( V–1 ) e– λt (2) Asumsi dasar yang dibuat di dalam analisis di atas adalah bahwa kedatangan kendaraan pada jalan utama digambarkan dengan distribusi Poisson (e = 2,71828). Asumsi ini dapat diterima untuk arus lalu lintas yang bersifat rendah dan sedang, tetapi tidak dapat diterima untuk kondisi arus lalu lintas padat (macet).
METODE PENELITIAN Data yang dikumpulkan adalah data primer, pengumpulan data dilakukan dengan cara memasang kamera video yang ditempatkan pada ketinggian 7 meter di atas permukaan jalan dan merekam penyeberang jalan dan kendaraan yang lewat pada jam-jam sibuk di depan pintu masuk RSU
Gambar 2. Denah Pengambilan Data
588 | Widyariset, Vol. 15 No. 3,
Desember 2012: 585–592
Dr. Soetomo Surabaya pada pukul 07.00–11.00, waktu tersebut merupakan waktu paling ramai orang memeriksakan diri ke RSU Dr. Soetomo. Survei dilaksanakan pada Kamis 7 Juli 2011 dan variabel yang disurvei adalah volume lalu lintas, kendaraan yang lewat di ruas jalan Dr. Soetomo, yang diklasifikasi menjadi tiga, yang pertama mobil penumpang (MP) baik mobil pribadi maupun angkutan umum. Kemudian kendaraan berat (KB) terdiri dari bus dalam kota, mobil angkutan barang dll. dan sepeda motor (SM). Variabel yang lain adalah gap waktu, yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan kendaraan yang paling dekat dengan penyeberang jalan sampai pada fasilitas penyeberangan. Untuk mengukur gap waktu adalah saat penyeberang pertama kali melangkahkan kakinya di tempat penyeberangan diukur dengan waktu kendaraan yang paling depan terhadap penyeberang tersebut. Penyeberang jalan yang dihitung adalah pejalan kaki yang menyeberang jalan hanya di daerah pengamatan yaitu menyeberang di 5 meter sebelum ZC, menyeberang di ZC, dan menyeberang 5 meter sesudah ZC seperti terlihat pada Gambar 2. Data di kamera video tersebut kemudian dihitung hanya satu arah yaitu arah Tambang Boyo, kemudian diinput baik volume kendaraan maupun volume penyeberang jalan pada form
hasil survei sehingga dapat dikelompokkan setiap 5 menit, kemudian dikelompokkan lagi menjadi tiap 1 jam.
Dengan demikian, berdasarkan Tabel 3 perhitungan dilakukan dengan persamaan (1) diperoleh hasil Gap Kritis (t) sebesar 3,65 detik. Pada Tabel 4 ditampilkan perhitungan peluang menyeberang jalan pada setiap waktu pengamatan dan dengan menggunakan persamaan (2) dapat diketahui peluang menyeberang secara aman.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 2 ditampilkan volume lalu lintas dan penyeberang jalan. Dari Tabel 2 dapat dilihat hasil pengelompokan data berupa volume kendaraan yang diklasifikasikan menjadi per jenis kendaraan dan jumlah penyeberang jalan berdasarkan jenis kelamin serta dikelompokkan tiap 1 jam. Jumlah kendaraan pada pukul 07.00–08.00 mempunyai jumlah kendaraan yang paling banyak, begitu pula dengan jumlah penyeberang jalan mempunyai volume penyeberang yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pukul 08.00–11.00.
Selanjutnya dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada pukul 07.00-08.00 jumlah penyeberang jalan ada 71 orang dan peluang menyeberang ada 45 peluang, sehingga dapat diasumsikan terdapat 26 pejalan kaki yang menyeberang jalan dengan tidak aman. Untuk pukul 08.00–09.00 dapat diasumsikan sejumlah 24 penyeberang jalan dapat menyeberang dengan aman karena terdapat 55 peluang. Begitu pula pada pukul 09.00–10.00 dan pukul 10.00–11.00 jumlah peluang jalan lebih banyak daripada jumlah penyeberang jalan sehingga mereka dianggap dapat menyeberang dengan aman.
Pada Tabel 3, perhitungan gap kritis penyeberang dapat diketahui jumlah gap yang diterima dan gap yang ditolak serta jumlah gap pada posisi m, n, r, dan p (keterangan lihat Gambar 3). Tabel 2. Volume lalu lintas dan Penyeberang Jalan No.
Volume Lalu Lintas (Kendaraan)
Jumlah Penyeberang (Orang)
Waktu Survei
MP
KB
SM
Jumlah
Pria
Wanita
Jumlah
1
07.00–08.00
811
6
3.730
4.547
33
38
71
2
08.00–09.00
883
14
3.392
4.289
15
9
24
3
09.00–10.00
897
36
3.339
4.272
22
11
33
4
10.00–11.00
877
25
3.283
4.185
27
22
49
Tabel 3. Perhitungan Gap Kritis t (detik)
Jumlah Gap Diterima
Jumlah Gap Ditolak
0
0
151
1
5
139
2
m = 41
r = 101
3
n = 91
p = 58
4
106
33
5
120
29
6
123
27
7
128
23
8
140
8
9
143
8
10
150
0
11
151
0
Pemilihan Fasilitas Penyeberangan... | Edwin Hidayat | 589
Tabel 4. Perhitungan Peluang Menyeberang Jalan Pada Setiap Waktu Pengamatan No
Waktu Survey
Volume Kend
(t) Detik
e
(V-1) Kend
λ (Detik)
λ.t
e– λt
1
2
3
4
5
6 = 3-1 7 = 3/3600
8= 7*4
9 = 5-8
h>t (peluang) 10 = 6*9
Penyeberang
Peluang
11
12
1
07.00–08.00
4.547
3.65
2.71828
4.546
1.26
4.48
0.01129
45
71
Tidak Terpenuhi
2
08.00–09.00
4.289
3.65
2.71828
4.288
1.19
4.23
0.014561
55
24
Terpenuhi
3
09.00–10.00
4.272
3.65
2.71828
4.271
1.19
4.21
0.014807
56
33
Terpenuhi
4
10.00–11.00
4.185
3.65
2.71828
4.184
1.16
4.13
0.016133
60
49
Terpenuhi
Gambar 3. Kurva Gap Diterima dan Gap Ditolak Ket :
KESIMPULAN Penyeberangan sebidang masih dapat diterapkan pada ruas Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Hal ini disebabkan oleh peluang menyeberang tidak aman hanya pada pukul 07.00-08.00, dan volume kendaraan tinggi serta volume penyeberang jalan tinggi hanya pada jam sibuk pagi hari saat jam berangkat kerja dan pada hari kerja. Untuk lebih memberikan rasa aman, zebra cross yang sudah ada saat ini perlu ditambah ketinggiannya dari
590 | Widyariset, Vol. 15 No. 3,
Desember 2012: 585–592
permukaan jalan (raised crosswalk), atau penambahan pelican cross dapat dipertimbangkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Masno Ginting dari LIPI atas bimbingannya dalam penulisan KTI, serta kepada Ibu Natalia Tanan dan rekan teknisi dari PUSJATAN Kementerian PU atas data yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA Pemerintah Republik Indonesia, 2009, Undangundang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta. 2 Federal Highway Administration. 2002. Pedestrian Facilities Users Guide —Providing Safety and Mobility. Georgetown. 3 AASHTO, 2004. Guide for the Planning, Design, and Operation of Pedestrian Facilities. American Association of State and Highway Transportation Officials. 4 Kementerian Pekerjaan Umum. 1995. Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. NO.: 011/T/Bt/1995. Jakarta 5 Agah, Heddy R. 2009. Evaluation of Pedestrian Characteristics for Different Type of Facilities and its Uses; Case study in the area of Jakarta Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia 1
Brilon W., Koeniga R., Troutbeck R.J., 1999. Useful estimation procedures for Gap Kritiss. Transportation Research Part A 33:161-186. 7 TCRP and NCHRP, 2006. Improving Pedestrian Safety at Unsignalized Crossings. Transportation Research Board; Washington. 8 (http://kelanakota.suarasurabaya.net/?id=10d703 aab3390ca6ce8d7c8444833a67201074147 diakses 22 November 2011). 9 Nicholas J.G. dan Lester A.H., 2002. Traffic and Highway Engineering. Toronto: University of Virginia. 6
Pemilihan Fasilitas Penyeberangan... | Edwin Hidayat | 591
592 | Widyariset, Vol. 15 No. 3,
Desember 2012: 585–592