Pemilihan Bahan Pembelajaran Kearifan Lokal Jawa PEMIKIRAN PEMBELAJARAN KEARIFAN LOKAL JAWA
Oleh Suwardi FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Makalah SEMINAR NASIONAL PEMBELAJARAN BUDAYA JAWA DI Rektorat UNY 8 September 2007
Pendahuluan Selama ini, ketika orang harus membicarakan kearifan lokal, maka kearifan lokal Jawa selalu dianggap penting untuk diajarkan. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri, mengingat kearifan lokal akan membangun kepribadian luhur siswa. Namun harus disadari bahwa kearifan lokal itu sendiri dalam kehidupan orang Jawa amat luas. Oleh sebab itu ketika seorang guru hendak mengintegrasikan kearifan lokal dalam pembelajaran tampak amat kesulitan dalam pemilihan bahan. Itulah sebabnya, pemilihan bahan akan menjadi amat sentral dalam pembicaraan ini. Keluasan bahan dan konsep kearifan lokal Jawa, telah menantang para guru dan siswa, dari taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi, agar mampu memilih yang sesuai dengan konteks masing-masing. Hal ini memang tidak mudah, namun juga tidak berarti tidak dapat dilakukan secara seksama. Pemilihan bahan yang cermat justru akan menarik dan akan tepat sasaran, atau setidaknya, tidak akan sia-sia. Pemilihan termaksud akan terkait dengan apa dan bagaimana kearifan lokal Jawa itu sendiri. Konsep dan atau pengertian kearifan lokal itu sendiri sebenarnya masih problematis. Ketika kearifan lokal Jawa itu pernah saya sampaikan pada sebagian guru Bahasa Jawa dan masyarakat umum, di Benteng Vredeburg 27-30 Agustus 2007 dalam rangka sosialisasi Konggres Bahasa Jawa IV (KBJ 4) yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih banyak guru yang memahaminya secara simpang siur. Para guru dan masyarakat umum, selalu berasumsi bahwa kearifan lokal itu hanya terbatas dalam ungkapan Jawa. Padahal, jika mau mencermati, sesungguhnya kearifan lokal yang layak diajarkan dapat menyelam ke berbagai hal. Kearifan lokal memang mengundang beberapa pertanyaan kritis, terutama dari para guru. Jika lokal bermakna etnis atau daerah, maka pengertiannya kurang jelas, karena etnis sendiri masih dapat dibagi menjadi lokal-lokal lain. Orang memahami lokal, bisa sebatas pada hal yang sempit secara georgafis. Katakan saja, keraifan lokal Jawa, berarti Jawa sebagai lokal etnis. Anehnya, kearifan yang "dipandang" lokal, sering ada yang mengglobal atau mondial. Hal ini sebenarnya tidak perlu dianggap repot. Toh, akhirnya yang mendunia pun akarnya lokal. Maksudnya, seluruhnya berasal dari jati din lokal. Jika begitu, lokal bisa juga, atau boleh-boleh saja, merujuk pada jati diri. Saya memandang, kearifan lokal juga-dari dan untuk selingkungnya. Namun, kebermaknaan yang lokal itu sering ditarik ke batas luas sehingga yang lokal menjadi bermuatan global. Atas dasar ini, saya menyimpulkan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan (kawicaksanan) yang berasal dari dan untuk lokal maupun mondial. Kearifan termaksud bersifat abadi. Kearifan itu tulus. Kearifan lokal, saya nyatakan sebagai gumpalan makna. Di dalamnya ada jaring jaring makna. Di dalamnya pula ada jutaan bahkan milyaran makna. Maka, kearifan lokal juga ibarat sumur, maknanya tak akan habis ditimba, di musim kemarau sekalipun. Dia, menurut hemat saya memiliki sifat open interpretation. Oleh sebab itu, sebuah kearifan lokal dapat ditafsir apa saja, menurut konteks dan kebutuhan. Kearifan lokal merujuk pada aspek daya nalar. Karena, kata arif berarti bijak. Bijak, memiliki daya nalar yang jernih. Orang bijak, adalah orang yang mampu berpikir dengan nalar sempuma. Sebagai misal, andai pemerintah mengadili pencuri ayam maupun koruptor milyaran secara adil, berarti pemerintah bijak
(arifl. Sebaliknya, jika pengadilan terkesan emban cindhe emban siladan (pilih kasih), berarti pemerintah tak arif. Dalam kearifan lokal terkandung local genius, bahkan tak diragukan lagi, local emotional. Begitulah pemikir yang menggunakan konsep "nalapadhanga". Suatu contoh, seorang A diminta mengisi kamar dengan apa saja sekehendaknya asalkan sampai memenui kamar itu. Karena A adalah pegawai bank, ia memenuhi kamar itu dengan uang ratusan ribu dan ditata miring. Dengan demikian A adalah orang tak bijak, karena instrumentalis. Kemudian, seorang B, yang karena merupakan petugas pengairan, ia mengisi kamar dengan air hingga penuh. Orang ini pun berarti kurang bijak, karena lebih materialis. Sementara itu, seorang C yang berprofesi dukun, memasang lampu 40 watt sehingga kamar itu terang karena penuh dengan cahaya. Mindset yang dibangun sang spiritualis ini cenderung menggunakan inteligensi spiritualis.. Apa pun yang mereka gunakan dalam mengambil kebijakan, sah-sah saja. Yang penting, efisiensi dan efektivitas harus menjadi pegangan seorang yang arif. Orang arif, memang wicaksana. Dalam bertindak, orang arif biasanya penuh pertimbangan. Hal ihwal kearifan ini, sebenarnya telah include dalam Budaya Jawa. Pijar-pijar kearifan lokal Jawa telah lekat di benak orang Jawa. Sayangnya, banyak pihak masih belum mau tahu tentang hal ini. Kearifan lokal Jawa sangat bermacam-macam. Sendi-sendi hidup orang Jawa, hampir semuanya berupa kearifan lokal. Tak sedikit orang Jawa yang memiliki bundhelan atau bothekan yang memuat kearifan lokal. Masalahnya, memang ada kearifan lokal yang semestinya ditinjau ulang, karena mungkin sudah tidak sesuai dengan jaman. Misalkan saja kearifan yang terungkap dalam peribahasa alon-alon waton klakon. Masih relevankah itu? Paling tidak, jika kurang relevan, tentu membutuhkan penafsiran kembali. Kecuali itu, masalahnya, adalah bahwa merasakah kita memiliki kearifan lokal yang demikian indah dan kaya itu. Jika ya, bagaimana implementasinya? Jangan-jangan implementasinya sekadar dilisankan atau ditulis sebagai prasasti hidup. Hal itu tentu sangat disayangkan. Tanpa adanya niat tulus untuk mengimplementasikan kearifan itu secara utuh dalam kehidupan, berarti merupakan hal yang sia-sia! Jadi sampah, bukan? Nyaris seperti `kotoran kuda' di aspal jalan raya. KEBIJAKAN STRATEGIS PEMBELAJARAN KEARIFAN LOKAL JAWA Dalam KBJ 4, masalah kebijakan kearifan lokal tidak dibicarakan. Jika dicermati, sebagian besar makalah cenderung ke arah value reflection, sehingga terjadi "arisan" nilai di arena kongres. Memang, debat nilai harus terjadi. Jadi, kalau hari ini rencana strategis (renstra) kearifan lokal harus dibuat, perenungan ulang atas nilai-nilai patut dilakukan. Lebih jauh lagi, ketika kearifan lokal harus diajarkan, tentu tidak bisa berdiri sendiri. Kearifan lokal akan lebih bijaksana apabila terintegrasi (include) pada materi lain dalam Bahasa Jawa Tentu saja, hal ini akan menuntut guru dan siswa untuk meraba mana yang tepat dalam pembelajaran. Tidak mungkin seluruh kearifan lokal harus diajarkan serta-merta. Yang paling bagus, menurut hemat saya, perlu mempertimbangkan dua hal dalam pemilihan kearifan lokal yang harus diajarkan. Pertama, kontekstualitas kearifan lokal itu sendiri. Konteks yang sesuai dengan keadaan siswa jauh lebih penting, meskipun hanya sederhana, agar mudah terserap. Kedua, menemukan kearifan lokal yang benar-benar mengakar dan membangun budi luhur dan budi pekerti luhur.
Dari KBJ 4, potret keputusan yang telah dirancang via makalah, harus terjadi. Biarlah. Namun ada beberapa `putusan' penting yang perlu dicermati, yaitu: 1. Sumber-sumher kearifan lokal yang ada dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa berupa antara lain: ungkapan, tuturan, ajaran, pepiridan, unenunen, dan lain-lain perlu diidentifikasi dan diintrepretasi. Dalam Bahasa dan Sastra Jawa banyak terkandung nilainilai luhur tentang: kejiwaan, kepercayaan, keyakinan dan spiritualitas (aspek Ketuhanan Yang Maha Esa); keber_ samaan, toleransi, rela berkorban, dan semangat mamayu hayuning sasama (aspek Kemanusiaan yang adil dan ber_ adab); semangat cinta tanah air, dan mamayu hayuning nusa bangsa (aspek Persatuan Indonesia); semangat rela berkorban, sepi ing pamrih rame ing gawe (aspek Kerakyatan); serta adil paramarta, sing sapa salah seleh (aspek Keadilan). Hasil identifikasi terhadap kearifan lokal yang ada perlu dikaji dan diintrepretasi agar menjadi sumber inspirasi untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan dalam rangka mewujudkan ketahanan budaya dan ketahanan bangsa. Masyarakat Jawa sebagai kelompok mayoritas memiliki peranan yang cukup besar dalam memberdayakan nilainilai dan kearifan lokalnya dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan makna Bhinneka Tunggal Ika. Kearifan lokal perlu diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui upaya-upaya nyata di berbagai aspek kehidupan. 2. Dalam aneka ragam kearifan lokal, masih banyak makna yang tersembunyi. Hal ini memerlukan penafsiran ulang yang kontekstual. 3. Untuk menggali, menginterpretasi, dan menggunakan kearifan .lokal Jawa dalam kehidupan amat tergantung pada political will orang Jawa. 4. Hasil pemaknaan sementara dipandang belum memenuhi tuntutan jaman dan keluasan pemakaian, khususnya dalam konteks bernegara. 5. Masih dibutuhkan strategi penyebaran muatan lokal agar lebih terpakai dalam kehidupan. Berasarkan lima hal tersebut, para guru perlu bekerja sama akrab dalam menentukan kearifan lokal Jawa mana yang cocok. Masing-masing siswa mungkin memiliki perbedaan pandangan, dan hal ini patut dihargai. Bagi sekolah yang berlatar belakang agama tertentu, kearifan lokal dapat diarahkan ke bidang agama masingmasing. Bagi sekolah umum, juga dapat dipilihkan kearifan lokal Jawa yang umum. Begitu seterusnya. Yang penting, materi kearifan yang dipilih telah dipertimbangan masak-masak, agar siswa tidak tersesat. BENTUK BENTUK KEARIFAN LOKAL JAWA Di bawah ini disajikan bentuk-bentuk kearifan lokal Jawa, yang dapat dijadikan pilihan bagi guru atau siswa. Bentuk-bentuk ini masih dapat berkembang lebih luas lagi, tergantung kepentingan. Sebenarnya ada 25 bentuk kearifan lokal Jawa yang teridentifikasi. Namun dengan pertimbangan integrasi, tidak semua ditampilkan. Dari hasil keputusan KBJ 4 di atas, tampaknya ada hal-hal yang perlu dicermati ketika dikaitkan dengan aspek pelestarian, aktualisasi, dan pengembangan kearifan lokal. Atas dasar semua itu, ada hal-hal yang perlu digarisbawahi: 1. Cakupan dan macam kearifan lokal Jawa begitu luas. Cakupannya terkait dengan sendi-sendi kehidupan orang Jawa. Macamnya tergantung pada asumsi-asumsi kritis orang Jawa untuk menamainya. 2. Nama sasmita. Artinya pemberian nama diri: Mugi Sugiarto, Santiyem Larasati, Ireng Merakati, dan lain-lain. Pepiridan, yaitu contoh-contoh peristiwa penting, jasa tokoh, kutipan serat (nuladha laku utama.... ). Contoh:
Hasta Brata (delapan sifat), Mehambeg mring kismo (meniru sifat bumi), Mehambeg mring warih (meniru sifat air), mehambeg mring samirana (meniru sifat angin), mehambeg mring candra (meniru sifat bulan), mehambeg mring surya (meniru sifat matahari), mehambeg mring samodra (meniru sifat samodra), mehambeg mring wukir (meniru sifat gunung),dan mehambeg mring dahana (meniru sifat angin). Unen-unen, yaitu ungkapan berisi wejangan. Misalnya: (a) nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, digembol ora mendhokol, diguwang ora kemrosak; (b) kali ilang kedhunge pasar ilang kemandhange; (c) desa mawa cara negara mawa tata, seje kulit seje anggit, seje sirah seje arah, seje rupa seje...; (d) kucing-kucing diraubi, kecing-kecing diraubi. Perintah halus, artinya _ ucap-ucap sinandi. Yakni ucapan wingit yang penuh teka-teki, seperti: (a) dupak bujang, esem bupati, semu pandhita, sasmita narendra; (b) wrangkaknaJsarungna. Nglulu, artinya larangan yang tersamar halus, clan kebalikan dari keadaan. Contoh: sing dhuwur,.... ;sing sero, ....; ra sah bali.... . 6. Cangkriman, adalah teka-teki yang harus ditebak maknanya. Cangkriman amat luas, antara lain cangkriman wayang. Misalnya: (a) ana kayu den tutuhi atemak mangke angrembaka; (b) ana wit kedhikih awoh kedhakah ana wit kedhakah awoh kedhikih, (c) kayu manik imandaya tlutuh kumalasari, (d) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu, (e) wit taun pang papat bregada pitu, slaga lima awoh loro. 8. Sekargendhing 9. Dolanan (mainan), misalnya: Dhoktri, Sar-sur petan, Cublak-cublak Suweng, Jamuran. Contoh: Dhoktri Dhoktri lengendha nagasari, ri, Riwul owal-awul jenang katul, tul, Tolen alen-alen jadah manten, ten, Titenana besuk gedhe dadi apa, pa, Podheng mbako enak mbako sedheng, dheng, Dhengkok eyak-eyok kaya kodhok. Sar-sur Kulonan sa~r-sur kulonan mak mak gemake retete tak undange retete taundange yen kecandhak kanggo gawe hadhih mesthi mati hadhih mesthi mati tak bedhile mimis wesi tong-tong-tong bleng Kulonan, Ktw. Ibu Pertiwi Ibu Pertiwi, Paring boga Ian sandhang kang murakabi, Peparing rejeki manungsa kang bekti, Bu Pertiwi bu Pertiwi, Sih sutresna ing sesami, Bu Pertiwi kang adil luhuring budi, ayo sungkem mring Ibu Pertiwi. Basa basuki, adalah mutiara kata indah yang memuat ajaran seperti ungkapan wujudnya. Contoh: Alam iki sejatiningguru. Maknanya adalah bahwa alam sesungguhnya merupakan guru sejati yang mewartakan kemahakuasaan, kemahaasil-ian, kemahamurahan, kemahaadilan Tuhan Yang Maha Esa. Makna tersebut diwujudkan dalam sikap dan perilaku selalu mencintai alam yang merupakan tempat hidup dan yang menghidupi seseorang secara ragawi.
• Budha budhi, Jawa Jawi, mata siji. Bermakna kesadaran bahwa keutamaan manusia adalah menggunakan akal budi, pengertian yang benar, dan mata batin dalam berbuat sesuatu. Makna tersebut diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang selalu didasari pikiran jernih dan hati bersih. Sikap dan perilaku tersebut diterapkan dalam hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Esa. Manungsa akeh kang padha bisa ngucap: "Gusti Allah asipat Ian asih" nanging manungsa akeh kang padha ketri-ketir; Ian melang-melang, ora jemjem, kepriya-kepriye !an sapepadhane, amarga anggone salingkuhan, anggorohake, nyeleki, ambebodho: kang asma Allah mau. sudnya digunakan sebagai tempat berpijak, digarap bisa menghasilkan dan dihormati, karena bisa memberikan sandang clan pangan). Yen ana anak sing ora hormat karo bumi niku, teng riki mboten manut paham kula, sebab kalih biyunge kedah sae Ian kedah ngajeni. (Mumfangati, dkk. 2004:25 dan 88) Tembang dolanan. Contoh: Aja sok gampang janji wong manis yen ta amung lamis, Becik aluwung prasaja nimas ora agawe gela, Tansah ngugemi tresnamu wingi jebul amung lamis, ` Knya ngenteni thukuling jamur ing mangsa ketiga, Aku iki prasasat lara tan antuk jampi, Mbok aja amung lamis kang uwis dadine banjur dhidhis Akeh tuladha kang dhemen cidra uripe rekasa, Milih sawiji endi kang suci tanggung bisa mukti. Saupama ana karsane kodrat agawe sangsarane 6umi ing kono lagi wongwong gelem ngucap : Gusti, kula nyuwun pitulang mangka sing mangkono iku mesthu bakal kelakon tumrap ing alam Ian tumrap siji-sijine kang tumitah urip. (Sumber: Serat Mursidajati, 2007) 10. Filosofi Samin. Contoh: Nandur pari thukul pari ngundhuh pari, nandur rawe thukul rawe ngundhuh rawe, ora bakal nandur pari thukul jagung ngundhuh rawe. Tanah niku nggih kados bumi niki, persasat ibune kula piyambak. Artinipun nggih dipun enciki, digarap saged ngasilake, diajeni, amargi maringi sandhang kalawan pangan (Tanah itu adalah bumi ini, diibaratkan sebagai ibu saya sendiri, mak Emplek-emplek ketepu Buka celuk : Plek emplek ketepu wong lanang goleka kayu, A la waya golek pisan ala waya golek pisan, O e o golek pisan o e 'golek pisan, Lamun golek wong lanang mbok aja menek, Ala waya menek pisan ala waya menek pisan, O e 'o menek pisan o e o menek pisan, Lamun menek wong lanang mbok aja dhuwur, Ala waya dhuwurpisan ala waya dhuwurpisan, O e o dhuwur pisan o e o dhuwur pisan, Lamun dhuwurwong lanang mbok aja mencit, Ala waya mencit pisan ala waya mencit pisan, O e o mencit pisan o e 'o mencit pisan, Lamun mencit wong lanang mbok aja tiba, Ala waya tiba pisan ala waya tiba pisan, O e o tiba pisan o e o tiba pisan, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah Dalam Kerangka Budaya Lamun tiba wong lanang mbok aja lara, Ala waya lara pisan ala waya lara pisan, O e 'o lara pisan o e o lara pisan, Lamun lara wong lanang mbok aja mati.
12. Isbat Contoh: Ana pandhita akarya wangsit Pindha kombang angisep ing tawang Susuh angin ngendi nggone Lawan galihing kangkung Wekasane langit jaladri Isine bumbung wang Lan ing gigiring punglu Tapaking kontulanglayang Manuk miber uluke ngungkuli langit Kusuma njrah ing tawang Ngambil banyu apikulan warih Amek geni sami adedamar Kodhok ngemu(i elenge Miwah kang banyu den kum Kang dahana murub kabesmi Bumi pinetak ingkang Pawana katiyub Tanggal pisan kapurnaman Yen anenun sonteg pisan anigasi Kuda ngrap ing pandengan Ana kayu apurwa sawiji, wit buwana epang keblat papat, agedhong mega tumembe, apradapa kukuwung, kembang lintang sagara langit, sami andaru kilat, woh surya Ian tengsu, asirat bun lawan udan, apupuncak akasa bungkah pratiwi, oyode bayu bajra. (Kidung Darmawedha, dhandhanggula, 1-3) 13. Pepali Contoh: Pepaliku ajinen mbrekati Tur slamet sarta kuwarasan Aja agawe angkuh Aja ladak Ian aja jail Aja ati serakah Lan aja celimutlan aja mburu aleman Aja ladak wong ladak pan gelis mati Lan aja ati ngiwa Poma-poma anak putu mami Aja sira mangeran busana Aja ngendelken pintere Aja angunggung laku Ing wong urip dipuntiteni Sugih basa sastra Katandha ing semu Semu becik semu ala Sayektine ana tingkah solah muni Katon amawa cahya (Pepali Ki Ageng Sela, pada 1 dan 6) Dari 13 bentuk kearifan lokal di atas, dapat dipilih mana yang sesuai dengan materi integratif. Pembelajaran integratif menanamkan, bukan mengindoktrinasi, kearifan lokal Jawa secara perlahan. Siswa akan merasakan keindahan clan keadiluhungan dari waktu ke waktu, tidak ada unsur paksaan. Lebih hebat lagi jika guru juga lebih pandai dalam membuat integrasi, sehingga muncul kisah--kisah lain yang menunjang. Dengan kata lain, bentuk kearifan lokal hanyalah barang, sehingga jika tanpa strategi khusus, sama halnya dengan bidang Bahasa Jawa lain. Oleh karena itu, media pun juga diperlukan agar siswa merasa tertarik mengikuti pembelajaran. Melalui integrasi, berarti materi Bahasa Jawa akan mencakup kearifan lokal yang handal clan manis. Siswa tidak akan lagi merasa terintimidasi dan dicekoki dengan nilai, melainkan secara sublimastik menerima nilai. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kearifan lokal Jawa memang memiliki cakupan amat luas. Kearifan lokal masih harus dipilih dan dipilah agar dapat diajarkan kepada siswa sesuai konteks. Pembelajaran kearifan lokal yang kontekstual akan menumbuhkan sikap kreatif dan budi luhur. Oleh karena itu,
dibutuhkan kemampuan memilih bahan atas dasar dua hal penting, yaitu aspek konteks dan budi luhur. Pembelajaran kearifan lokal seyogyanya dilaksanakan secara integratif dalam berbagai aspek materi Bahasa Jawa. Integrasi kearifan lokal itu akan merujuk pada konsep pembelajaran Bahasa Jawa berbasis budaya lokal. Dengan cara semacam ini diharapkan siswa tidak akan melupakan Budaya Jawa. Dalam diri siswa akan terbentuk budi luhur dan jiwa kreativitas. Selanjutnya kearifan lokal perlu ditampilkan ke dalam berbagai segmen kehidupan agar para siswa mudah mengenalnya. Segmen kehidupan boleh dikatakan sebagai media hidup yang strategis. Berkaitan dengan hal ini disarankan hal-hal sebagai berikut. 1. Mengadakan gerakan memasang kearifan lokal di pintu masuk sekolah. 2. Mencetak dalam kaos-kaos olah raga, kaos tari, kaos peringatan/panitia, apa saja. 3. Memasang kearifan lokal berupa pepethan dan kata-kata di ruang-ruang sekolah, kelas, dan kantor. 4. Penerbitan kearifan lokal dalam bentuk buku elit, diwujudkan dalam buku kenangan, dilengkapi gambar bagus. 5. Menampilkan kearifan lokal dalam acara televisi, seperti yang digagas Jogja TV (Sabdatama, Pocung), dan sebagainya. 6. Menjadikan kearifan lokal sebagai bahan ajar yang pragmatik, bukan dogmatik. Akhirnya harus dinyatakan bahwa pembelajaran kearifan lokal secara integratif, kontektual, bernilai budi luhur, patut disambut dengan antusias. Hal ini penting, mengingat kearifan lokal Jawa cepat atau lambat akan membangun jiwa siswa, agar lebih mampu menatap kecerahan di masa depan. Yang lebih urgen lagi, adalah pembelajaran kearifan lokal yang benar-benar sesuai dengan dunia siswa.*** DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi. 2003. Tradisi Lisan jawa. Yogyakarta: Narasi. . 2004. Budi PekertiJawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang. - 2007. "Jangka Tanah Jawa: Ngelmu Titen, Bencana, dan Mistik Kejawen", Makalah ceramah di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta: Yogya Semesta. No IN. Dharmamulya, Sukirman. 2004. Permainan Tradisional Jawa. Yogyakarta: Kepel. Istiasih. 2001. Himpunan Pitutur Luhur. Jakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan. Mumfangati, dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kab Blora Prop Jateng. Yogyakarta: Jarahnitra. Saprodjo, Gito. 2002. Primbon Cakepan Tembang Lengkap. Sukohardjo: Cenderawasih. Soembogo, Wibatsu Harianto. Solo: CV Buana Raya. . 2000. Kitab Primbon Buana Raya. 2000. Jangka Jaya Baya Sabda Gaib. Atassadhur Adammakna. Solo: CV Soerjahoedoyo, Soetardi. 1980. Pepali Ki Ageng Selo. Surabaya: CV Citra Jaya. Wibowo, dkk. 1993. Cangkriman. Yogyakarta: Jarahnitra. __________ 2006. Keputusan KBJ 4 "Kearifan Lokal". Semarang: Tim Perumus.