BAB IV PENUTUP KESIMPULAN Mengapa Nahdlatul Ulama yang notabene merupaka Ormas terbesar di Indonesia memiliki sikap yang berbeda dengan ormas Islam lainnya yang cenderung bersikap reaktif dan keras terhadap kasus-kasus penistaan agama Islam dalam Hubungan Internasional tahun 2006-2012? Dalam riset ini menemukan dua alas an utama mengapa Nahdlatul Ulama memiliki sikap yang berbeda. Alas an-alasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pandangan/Pemikiran yang berkembang di Nahdlatul Ulama Pandangan/Pemikiran yang berkembang di Nahdlatul Ulama menjadi alasan yang signifikan dalam menyikapi kasus penistaan agama Islam. NU selalu memiliki pemikiran yang “khas”, dengan berpijak pada dalil-dalil ushul fiqh, sekaligus tidak meninggalkan nilainilai cultural yang membentuk Islam Nusantara. Paham Ahlussunnah wal jama‟ah yang menjadi pedoman utama dalam gerak langkah dan pemikiran Ulama NU serta warga nahdliyin. Ahlussunnah wal jama‟ah sebagai manhaj al-fikr tidak mengenal kekerasan dan terorisme, namun mengutamakan serta mengedepankan toleransi dengan menegaskan rahmatan lil „alamin. 2. Prinsip Dasar Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama merupakan Organisasi masyarakat Islam yang dalam
memahami dan menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya
48
yaitu Al-Qur’an, As-sunnah, Al-ijma dan Al-qiyas dan mengikuti paham Ahlussunnah wal jama‟ah. Dalam bidang akidah, NU menganut paham Asy‟ariyah. Dengan paham Ahlussunnah wal jama‟ah, NU memiliki prinsip-prinsip dasar antara lain : a. Tasamuh (Toleransi) Prinsip tasamuh NU berupa kunjungan KH. Mustofa Bisri, atau yang biasa dikenal dengan Gus Mus, salah satu sesepuh PBNU, untuk bertemu para pemimpin negara di Uni Eropa untuk memperbaiki citra Islam, serta bertemu dengan Fleming Rose, pembuat kartun Nabi Muhammad yang beberapa waktu lalu menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Kunjungan
tersebut
mencerminkan
sikap
NU
yang
tasamuh, meski apa yang dimuliakan telah dinodai NU tetap mengedepankan berdialog dengan sang pembuat kartun Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dikarenakan NU selalu mengedepankan tabayyun dalam setiap permasalahan yang ada, terutama dalam mencuatnya kartun Nabi Muhammad SAW untuk kesekian kalinya. Tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi Gus Mus justru memilih dialog dua arah dengan pembuat kartun supaya menghasilkan pemahaman dua arah pula.
49
b. Tawazun (Seimbang dan Proporsional) Prinsip tawazun NU yakni akan dibuatnya film tandingan film Fitna untuk menjelaskan bahwa apa yang ada di Fitna itu tidak benar. Bahwa orang Islam itu ada yang keras, oke, tapi bukan Islam-nya. Sikap yang ditunjukan oleh NU tersebut mencerminkan prinsip tawazun yang berarti seimbang dan proporsional.
NU
dengan
caranya
yang
“khas”
menyeimbangkan sikap yang dilakukan oleh pembuat film “Fitna” yaitu dengan membuat karya yang sama, yaitu sebuah film sebagai bentuk sikap dan jawaban atas film tersebut bahwa isi cerita dari film tersebut tidak sejalan dengan apa yang umat Islam yakini. c. I‟tidal (Adil) Prinsip i‟tidal NU berupa sikap jejeg (tegak) NU dalam sikapnya terhadap kasus penistaan agama Islam. NU tetap berdiri tegak untuk tidak terhasut dan terprovokasi dengan adanya
kasus
tersebut.
Meskipun
memprotes
dan
mengecamnya NU teguh dengan prinsip I‟tidal nya, tidak goyah ke kiri maupun kanan. Seperti yang disampaikan oleh KH. Mustofa Bisri mengenai pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW di Koran Denmark, Jyllands-Posten. Menanggapi hal tersebut KH. Mustofa Bisri menyatakan bahwa
50
ummat Islam memang seharusnya marah, namun ”tidak boleh marah demi marah”. d. Tawasuth (Moderat) Prinsip tawasuth NU dalam menyikapi kasus film Innocence of Muslims bahwasanya dalam menyikapi kasus penistaan agama Islam yang terjadi pada tahun 2012, yaitu film Innocence of muslims tersebut, umat Islam harus menyikapinya dengan kepala dingin dan mengacu pada keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi penistaan seperti yang disampaikan oleh Ketua Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas’udi. Dengan begitu kita tidak mudah untuk terprovokasi oleh hal-hal sedemikian serta menghindari segala pendekatan maupun tindakan ekstrem. Dengan kedua alasan tersebut telah menjawab atas berbedanya sikap NU dalam menghadapi kasus-kasuk penistaan agama Islam. NU selalu berpegang pada prinsip-prinsipnya serta dalam menyikapi permasalahn NU yang selalu konsisten dengan paham Ahlussunnah wal jama‟ah nya, serta cara berpikir NU yang tradisional yang dekat dengan tradisi, budaya dan kearifan lokal tak lain untuk mempertahankan warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam serta terus melakukan perubahan yang lebih baik. NU dalam menyikapi kasus penistaan agama Islam memiliki tata kramanya, memprotes dan mengecamnya namun dengan control, karena apabila
51
NU bersikap keras dan tak terkendali seperti halnya ormas lainnya, maka radikalisme agama akan menemukan momentumnya. Dalam pandangan NU, melakukan dakwah Islam di dunia ini harus merangkul bukan memukul, hal tersebut sejalan dengan sikap-sikap NU dari dulu hingga sekarang. Dengan begitu, kepentingan nonmaterial NU yaitu norma wasathiyah (moderatisme) dan Tawazun dapat tercapai dan menjdikan Islam agama yang sejuk dan damai, bukan agama yang mengerikan.
52