PEMIKIRAN POLITIK ISLAM: ANTARA AUTORITAS DAN DEMOKRASI Haidar Bagir Universitas Paramadina Jakarta
Hubungan Islam dan politik adalah persoalan yang tidak habishabis dibicarakan. Pada kenyataannya, sejak kelahiran agama ini, dan segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, Islam memang terus bersentuhan dengan masalah-masalah politik. Bahkan yang melihat bahwa agama seharusnya dipisahkan dari politik, yakni urusan manusia yang bisa dibilang paling profan ini, tak juga dapat menyangkal kenyataan ini. Buku-buku sejarah Islam, sejak yang paling awal, dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa politik, sebagian cukup besar menyangkut berbagai kisah, bahkan intrik, perebutan kekuasaan yang tak jarang, melibatkan peperangan yang sengit. Risalah Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika menunjuk Malik Asytar untuk menjadi Gubernur Mesir, yang secara cukup mengejutkan merinci hubungan yang seharusnya antara penguasa dan warganya, bahkan disebut-sebut sebagai risalah politik Islam tertua dalam sejarah agama ini. Begitu sentralnya persoalan politik dalam sejarah pemikiran Islam ini sehingga dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pemikir Islam, tak terkecuali para filosof, selalu mengalokasikan bagian penting dalam penulisan pemikiran mereka untuk membahas persoalan politik ini. Sejarah pemikiran Islam bahkan mengenal pemikir-pemikir tertentu yang dapat disebut sebagai pemikir politik par excellence, termasuk di dalamnya Al-Mawardi ataupun Al-Farabi. 3
BAGIAN 1: FILSAFAT ISLAM, PLURALISME & DEMOKRASI
Sejarah Pemikiran Politik Islam Klasik Meskipun memiliki beberapa variasi yang akan kita singgung di bawah, pada intinya pemikiran politik Islam sepakat bahwa pemerintahan adalah sesuatu yang niscaya demi memungkinkan manusia bekerja sama untuk meraih tujuan hidupnya yang sejati. Yakni suatu kehidupan yang baik berdasar syariah yang, pada gilirannya, akan menghasilkan tempat yang baik di kehidupan akhirat Perdebatan biasanya hanya berkisar pada apakah keniscayaan menegakkan pemerintahan merupakan suatu kewajiban keagamaan ataukah suatu kebutuhan yang bersifat rasional. Kelompok seperti Mu’tazilah dan Khawarij, untuk alasan yang berbeda, berpendapat bahwa hal ini merupakan suatu kewajiban keagamaan. Sementara para pemikir yang lebih “ortodoks”, seperti Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, dan sebagainya, berpendapat bahwa hal ini bukan merupakan kewajiban keagamaan, melainkan suatu kebutuhan yang bersifat rasional belaka. Hal ini penting, mengingat ia akan menentukan cara-pandangnya atas sifat sakral atau profan kepemimpinan dan cara-cara pengelolaan suatu negara atau pemerintahan. Politik menjadi sentral karena, untuk bekerja sama demi meraih tujuan sejatinya itu, manusia perlu mengorganisasikan diri dalam sebuah negara, yang di dalamnya para penduduk bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Yang berpendapat bahwa menegakkan pemerintahan merupakan kewajiban syar’iy melihat kerjasama manusia dalam bentuk negara ini bersifat niscaya karena sedikitnya dua hal: Pertama, sebagai makhluk sosial manusia perlu bekerja sama untuk saling mendukung dalam menjalani kehidupan yang baik sesuai syariah. Jika tidak ada saling dukung ini, maka tidak akan tercipta lingkungan yang kondusif dan masyarakat pun sedikit-banyak akan terhalang dalam mencapai tujuan hidupnya dengan cara terbaik. Kedua, banyak di antara aturan-aturan syariah, seperti zakat, jihad, dan sebagainya, dalam pelaksanaannya melibatkan kegiatan yang bersifat kolektif. Ringkasnya, asosiasi manusia ini membutuhkan pemimpin atau pemerintahan yang bisa menjadikan upaya-upaya “menjalani kehidupan yang baik ber4
FILSAFAT ISLAM: HISTORISITAS DAN AKTUALITAS
dasarkan syariah” berlangsung sebaik mungkin. Pada gilirannya, karena syariah adalah sesuatu yang sentral, syarat seorang pemimpin haruslah, sebelum yang lain-lain, memahami tentang syariah yang baik dan akhlak yang baik. Baru, setelah itu, dibutuhkan syarat kafa’ah yang terkait dengan kapabilitas manajerial dan administratif serta akhlak yang mulia, sebagai syarat-umum-kepemimpinan lainnya. Inilah dasar imamah atau kepemimpinan religius yang, seperti akan kita lihat di bawah ini, menjadi suatu isu sentral dalam konsep politik dan kenegaraan Islam, baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah. Hal ini segera tampak ketika kita pelajari teori-teori politik dan kenegaraan yang dikembangkan oleh para pemikir politik Islam sepanjang sejarah. Keberadaan imam, khalifah, atau sultan merupakan isu sentral di dalamnya. Riset Lambton1 menyimpulkan bahwa dalam pemikiran para ahli hukum Sunni, termasuk Abu Yusuf, Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhr Al-Din Al-Razi, menyatakan seluruh otoritas dan kekuasaan dipusatkan pada sosok imam sebagai pemimpin kaum beriman, dan tidak ada otoritas atau kekuatan yang dianggap sah kecuali dilaksanakan sebagai hasil delegasi darinya, baik langsung maupun tidak. Bahkan, dengan bangkitnya Dinasti Abbasiyyah, imamah makin dilihat sebagai suatu pancaran dan delegasi dari otoritas Ilahi. Pada tingkat ini, pandangan Al-Baqillani dan Al-Baghdadi, dua orang teoretisi politik terpenting di kalangan Sunnisme klasik, ditolak. Pandangan ini menyatakan bahwa ummah sebagai sumber klaim kekuasaan imam. Sedangkan, pendapat Al-Juwaini, yang menunjuk pada lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd (secara harfiah, “orang-orang yang memiliki kemampuan sebagai pengikat dan pengurai”, yakni para ulama anggota dewan penasehat pemimpin tertinggi) digunakan sebagai sumber klaim pendukung pandangan kepemimpin politik sebagai otoritas sakral. Lebih jauh, penguasa pun kemudian disebut, antara lain oleh Ibn Taimiyah sebagai Bayangan Tuhan di bumi dan bahwa kedaulatannya merupakan refleksi 1
A.K.S. Lambton, State and Government in Medieval Islam: An Introduction to the Study of Islamic Political Theory, Oxford University Press, 1985, Bab 5 sampai dengan Bab 8. 5
BAGIAN 1: FILSAFAT ISLAM, PLURALISME & DEMOKRASI
kemahakuasaan Tuhan (meski pemikir ini tetap mempromosikan musyawarah dengan tetap memberikan hak tertinggi pengambilan keputusan kepada pemimpin). Akan tetapi, semua itu adalah konsep ideal yang mereka rumuskan secara a priori terhadap situasi dan kondisi politik pada masa itu. Antara lain, karena tantangan-tantangan praktis belum memberikan tekanan yang terlalu besar pada rumusan-rumusan politik mereka. Kenyataannya, ketika kemudian Kekhalifahan Abbasiyyah melemah dan mendapatkan tantangan dari kekhalifahankekhalifahan baru yang melepaskan diri darinya, para ahli hukum Sunni dihadapkan pada suatu situasi yang mengharuskan mereka mengambil sikap. Dari sinilah modifikasi-modifikasi terhadap teori imamah universal dimulai. Suatu dilema yang lebih serius muncul ketika Kekhalifahan Abbasiyyah kemudian sama sekali kehilangan kekuasaan efektifnya. Dalam mengatasi hal ini, Al-Mawardi justru menegaskan keniscayaan kepemimpinan imam dan, dengan demikian, memulihkan legitimasi Kekhalifahan Abbasiyyah. Di sisi lain, kekuasaan penguasa aktual, dalam hal ini Dinasti Saljuk Turki dan Buwaihiyyah, harus dilegitimasi pula. Peran ini kemudian diambil alih oleh Al-Ghazali. Ia memulai dengan menyatakan bahwa kekuasaan temporal dan spiritual bisa dipisahkan dan tidak harus berada pada suatu pusat kekuasaan tunggal. Ketika tidak ada imam yang mampu atau, pada kenyataannya, tidak mungkin mengemban kedua fungsi kekuasaan ini, suatu kerjasama bisa dikembangkan ketika salah satu bertindak sebagai penguasa spiritual sementara yang lainnya sebagai penguasa temporal de facto (sultan) dan ini merupakan alternatif yang sama sahnya. Untuk mengakomodasi dan memberikan legitimasi terhadap pemerintahan Saljuk pada masanya, Al-Ghazali berpendapat hingga sejauh mewajibkan ketaatan kepada sekadar suatu kekuatan militer sebagai pemimpin pemerintahan. Catatan: Jika Al-Ghazali cenderung mengedepankan ketidakpercayaan terhadap orang kebanyakan, pada Ibn Taimiyah justru muncul pertimbangan mengenai konsepsi masyarakat dan perlunya musyawarah. Artinya, meskipun tetap menggemakan sifap otokratik pemerintahan dan klaim ke-Ilahian penguasa, ia meng6
FILSAFAT ISLAM: HISTORISITAS DAN AKTUALITAS
haruskan penguasa untuk bermusyawarah dengan rakyatnya. Ketika akhirnya kekhalifahan benar-benar runtuh dan tidak lagi ada, para ulama Sunni mengambil langkah yang lebih radikal. Mereka pun memodifikasi teori politik dengan memungkinkan transfer kepemimpinan umat dari khalifah kepada sultan sebagai penguasa temporal. Selama sultan mengakui universalitas syariah, maka pemerintahan sultan adalah sah. Lebih jauh lagi, mereka melanjutkan langkah Al-Mawardi dan Al-Ghazali dalam melonggarkan syarat-syarat (ideal) seorang imam pemimpin umat. Umat, menurut perkembangan terbaru teori politik ini, bahkan tidak boleh memberontak kepada sultan meskipun ia memiliki akhlak yang buruk. Di sinilah, berbeda dengan Mu’tazilah dan Khawarij, tetapi sejalan dengan Syiah Zaidiyyah, para ahli hukum Sunni pun mengedepankan teori mengenai kemungkinan seorang yang bukan terbaik dalam hal pemenuhan persyaratan kepemimpinan (mafdhul) diperbolehkan dijadikan pemimpin jika situasi tidak memungkinkan orang yang terbaik (afdhal) untuk menempati jabatan tersebut. Kenyataannya, teori-teori yang dikembangkan secara praktis terus berubah bersama perubahan politik yang terjadi di dunia Islam. Kalau ini saja, mungkin tak ada yang terlalu aneh. Akan tetapi, kenyataannya perubahan itu begitu liberalnya sehingga praktis tak ada batas-batas yang bisa dilanggarnya, dari ujung ekstrem yang satu dalam spektrum pemikiran politik Sunni klasik, hingga ujung ekstrem lainnya. Yakni dari konsep khilafah sebagai kepemimpinan ideal yang menempatkan pemimpin, praktis sebagai orang yang dipilih oleh Allah dengan segala keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan umat kepada sekadar seorang yang berhasil merebut kekuasaan (berkat keunggulan militernya). (Kelak, akibat “kekecewaan” terhadap realitas kepemimpinan umat di sepanjang sejarah yang jauh dari ideal, ia dikembalikan kepada model ideal teosofis ala Al-Farabi—yang akan diurai secara ringkas setelah ini—dan/atau dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (Al-Khulafa’ Al-Rasyidun), kembali ditawarkan sebagai alternatif ). Pernyataan H.A.R. Gibb mengenai pemikiran politik Sunni di 7
BAGIAN 1: FILSAFAT ISLAM, PLURALISME & DEMOKRASI
bawah ini kiranya bisa mengikhtisarkan kenyataan-kenyataan yang diuraikan di atas. Setelah memperingatkan mengenai kesalahan banyak orang dalam melebih-lebihkan pengaruh founding fathers dalam sejarah pemikiran politik Sunni, ia menyatakan: “Di dalam masyarakat Sunni tak ada satu teori politik universal. Dasar utama pemikiran politik Sunni memustahilkan sembarang teori sebagai definitif atau final. Yang pasti di dalamnya adalah prinsip bahwa khilafah adalah suatu pemerintahan yang menjaga aturanaturan syariah dan menjamin penerapannya dalam praktik. Selama prinsip ini berjalan, boleh jadi terdapat perbedaan pendapat yang tak terbatas dalam hal penerapannya.” 2
Gibb mendapati bahwa pemikiran politik Muslim (Sunni) menolak untuk dibatasi oleh formula-formula lahiriah (outward formula). Sementara, Hamid Enayat,3 menunjukkan bahwa di kalangan Syi’ah—sebagaimana ditunjukkan dalam khazanah kepustakaandini mereka, khususnya dalam karya-karya Syaikh Thusi (w. 461 H/1068 M) dan Ibn Idris (w. 598 H/1202 M)—dianjurkan, bahkan diinstruksikan, untuk ber-bai’ah kepada sejenis penguasa yang disebutnya “penguasa yang saleh dan adil” (al-sulthan al-haqq al‘adil). Betapa pun mensyaratkan sifat kesalehan dan keadilan, tetap saja berbeda dengan imam. Memang, jika orang mau secara dingin mempelajari sejarah kaum Syi’ah, maka akan ia dapati juga adanya variasi-variasi pendapat mengenai sikap politik Syi’ah di masa ghaibah Imam di dalam tubuh Syi’ah sendiri. Ternyata, di sepanjang sejarah Syi’ah kita dapati situasi-situasi yang di dalamnya kaum Syi’ah, yang hampir selalu berada dalam posisi tertindas, bersikap akomodatif terhadap kekuasaan de facto. Namun, sebagaimana diamati oleh Gibb, ada perbedaan penting antara Syi’ah dan Sunnah dalam hal sikap akomodasionistik 2 Hamilton A.R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, Beacon Press, Boston, 1968, hal. 148. 3 Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Penerbit Pustaka, Bandung, 1988. 8
FILSAFAT ISLAM: HISTORISITAS DAN AKTUALITAS
kedua kelompok ini terhadap penguasa de facto yang dianggap tidak absah. Sementara Sunnah, sebagaimana diwakili oleh para teoretisi politik seperti Al-Mawardi, Al-Ghazali, dan Ibn Taimiyah, cenderung siap mengompromikan gagasan-gagasan politik Islam dengan kenyataan aktual, dan kemudian mengembangkan teori-teori politik yang sesuai dengan itu, kaum Syi’ah umumnya mengambil sikap sedemikian lebih sebagai program ad hoc yang tak pernah benarbenar berpengaruh terhadap kesatuan teori politik (the body of political theory) mereka. Imamah yang melibatkan pemimpin pilihan langsung Tuhan adalah prinsip kepemimpinan di kalangan mereka. (Bagi kaum Syi’ah, hal ini dipermudah dengan tersedianya ajaran taqiyyah yang memungkinkan mereka, jika perlu, menutup-nutupi keyakinan yang sebenarnya mereka anut seraya menyamarkan atau memodifikasikannya secara taktis dan temporer). Belakangan, sebagai hasil Revolusi Islam di Iran, telah ditawarkan suatu gagasan baru kepemimpinan Islam yang disebut dengan wilayah al-faqih atau kepemimpinan ulama (Akan diuraikan setelah ini). Filsafat Politik Islam Setiap pemaparan tentang filsafat politik Islam tidak bisa tidak harus berporos pada filsafat Al-Farabi, filosof politik Islam par excellence. Filsafat politik Al-Farabi—seperti diungkapkan oleh Ibrahim Madkur, seorang ahli filsafat terkemuka—mengandung pengertian-pengertian modern, bahkan kontemporer. Lebih dari itu, filosof-filosof muslim yang datang setelahnya terbukti tak banyak beranjak dari apa yang telah dikembangkan oleh Al-Farabi, seperti diakui sendiri oleh Ibn Sina, Al-Razi, Al-Thusi, maupun dari filosof dari lingkungan agama lain, seperti Maimonides dan Ibn Gabirol. Al-Farabi memulai filsafatnya tentang negara dengan menyatakan bahwa tidak setiap manusia mengetahui kebahagiaan sebagai tujuannya maupun sebagai tujuan setiap masyarakat tempat dia hidup. Lebih banyak lagi yang tak tahu bagaimana cara mencapai kebahagiaan ini. Sebagian, malah kebanyakan, manusia mem9
BAGIAN 1: FILSAFAT ISLAM, PLURALISME & DEMOKRASI
butuhkan guru dan pembimbing. Sebagian membutuhkan sedikit bimbingan, sedangkan sebagian lain membutuhkan banyak bimbingan. Lebih jauh dari itu, sekalipun seorang manusia mengetahui kebahagiaan dan cara mendapatkannya, entah tahu sendiri atau karena mendapat pengajaran dan bimbingan dari seorang guru, tidaklah berarti bahwa ia akan berbuat sesuai dengan pengetahuannya itu bila tidak ada stimulus dari luar dirinya. Jadi, ia membutuhkan seseorang yang akan membuatnya berbuat demikian. Di sisi lain, tidak setiap manusia mempunyai kapasitas untuk membimbing manusia lain atau—jika memang memiliki kapasitas seperti ini—kemampuan untuk menasihati manusia lain untuk berbuat sesuatu. Sebagian manusia memiliki banyak dari kedua kapasitas seperti itu, atau hanya salah satunya. Sedangkan sebagian lainnya memiliki sedikit, dan malah ada pula yang sama sekali tidak memiliki keduanya. Namun, ada manusia yang memiliki keduanya. Ada manusiamanusia yang tidak membutuhkan bimbingan dan nasihat, dan pada saat yang sama mempunyai kapasitas untuk memberikan bimbingan dan nasihat kepada manusia lain. Ada juga manusiamanusia yang membutuhkan bimbingan atau nasihat, dan pada saat yang sama memiliki kapasitas untuk memberikan bimbingan dan nasihat. Ada pula manusia yang membutuhkan setiap bimbingan dan nasihat, dan pada saat yang sama tak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk memberi nasihat dan bimbingan kepada manusia lain. Dalam hubungan ini, menurut al-Farabi, ada tiga golongan manusia, dalam hal kapasitasnya untuk memimpin, yaitu kapasitas untuk membimbing dan menasihati. Pertama, penguasa tertinggi atau penguasa mutlak; kedua, penguasa subordinat yang memimpin dan sekaligus dipimpin; dan ketiga, yang dikuasai sepenuhnya. Penguasa tertinggi, dengan demikian, adalah nabi atau imam yang merupakan pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan tindakan untuk masyarakatnya melalui wahyu Tuhan. Ringkas kata, mereka adalah orang yang—selain sempurna fisik, mental dan jiwanya—memiliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoretis dan praktis, yakni keahlian memerintah atau politik. 10
FILSAFAT ISLAM: HISTORISITAS DAN AKTUALITAS
Negara yang dipimpin oleh pemimpin seperti ini, oleh Al-Farabi, disebut sebagai Nergara Utama atau Negara Bajik (Al-Madinah Al-Fadhilah). Negara Utama dalah lawan dari Negara Jahil, yang di dalamnya termasuk “Negara Kebutuhan Dasar” (Al-Madinah Al-Dharuriyyah), “Negara Jahat” (Al-Madinah Al-Nadzalah), “Negara Rendah” (Al-Madinah Al-Khassah), “Negara Kehormatan (Timokratik), “Negara Despotik” (Al-Madinah Al-Taghallub), dan “Negara Demokratik” (Al-Madinah Al-Jama’iyyah). Tampak jelas bahwa filsafat politik Al-Farabi, sesungguhnya juga filsafat dan pemikiran politik Islam Abad Pertengahan hingga masa pramodern, lebih bersifat authoritarive, bahkan authoritarian—yakni, menekankan lebih kepada pemilik wewenang (authority)—ketimbang demokratis. (Hal ini tampaknya merupakan hasil pengaruh Plato dan Aristoteles, yang memang cenderung memandang rendah demokrasi, betapa pun Aristoteles tampak lebih terbuka terhadap demokrasi). Meskipun demikian, bagi Al-Farabi, Negara Demokratik adalah bentuk susunan pemerintahan yang paling berpeluang untuk menghasilkan Negara Utama. Meski bisa juga berisiko chaos, kebebasan dan heterogenitas yang dimiliki oleh para warga Negara Demokratik ini memungkinkan munculnya seorang pemimpin (imam) yang memiliki syarat-syarat untuk memimpin Negara Utama, di samping juga untuk terkumpulnya “sedikit demi sedikit” orang-orang utama. Mungkin tak berlebihan untuk menyatakan bahwa, menurut Al-Farabi, kota demokratik adalah perantara bagi lahirnya Negara Utama. Tampaknya Al-Farabi juga percaya bahwa pada dasarnya manusia—kalaupun hanya demi memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya belaka—pada akhirnya akan menyadari bahwa kesemuanya itu paling baik bisa diselenggarakan dengan menempatkan diri mereka dalam suatu Negara Utama. Pemikiran politik Negara Utama yang dikembangkan oleh Al-Farabi ini, belakangan mendapat kritikan dari Al-Jabiri. Menurutnya, teori Al-Farabi terlalu metafisis dan jauh dari kesan praktis dan “politis”. Al-Jabiri, yang memang berambisi melepas domain politik dari domain agama, tak pelak lagi, bukan saja menolak teori 11
BAGIAN 1: FILSAFAT ISLAM, PLURALISME & DEMOKRASI
politik Al-Farabi, namun juga menganggap pemikiran politik para teoretisi Sunni, seperti Al-Ghazali, yang ber-“ideologi kesultanan” (al-aidiyulujiya al-sulthaniyyah) sebagai strategi penguasa untuk membungkam rakyat. Kedua sistem politik semacam ini belum menawarkan konsep syura (musyawarah) yang bersifat demokratis (Tentunya, kritik ini tidak berlaku sepenuhnya terhadap konsep Negara Demokratik-nya Al-Farabi). Keduanya pun, bagi Al-Jabiri, lahir dari konsep “bawah sadar politik” (alla-syu’ur al-siyasi) dan “imajinasi sosial” (al-mikhyal al-ijtima’i) masyarakat Arab. Otoritas dalam Pemikiran dan Praktik Politik Islam Betapa pun tidak dapat gagal dalam menampak banyak variasi, siapa pun yang membaca uraian di atas tak sulit menyimpulkan bahwa, terlepas dari pandangan di sana-sini tentang kepentingan musyawarah, konsep negara dalam sejarah pemikiran politik Islam berporos pada adanya figur otoritas. Awal dan utamanya ada pada otoritas ulama atau faqih sebagai ahli hukum dalam semacam nomokrasi Islam, dan belakangan menoleransi penguasa temporalsekular biasa. Meski di masa belakangan kita mendapati adanya upaya-upaya untuk merujuk pemikiran politik dan kenegaraan Islam dengan demokrasi (liberal), mustahil orang percaya bahwa Islam tidak mempromosikan otoritas, baik itu disebut imam, ulu al-amri, ahl al-hall wa al-‘aqd, atau lain sebagainya. Di tataran praktik, kita mendapati adanya beberapa negara yang secara resmi menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, termasuk di dalamnya Saudi Arabia, Pakistan dan, belakangan Iran. Dalam kasus Pakistan, meski menyebut Islam sebagai dasar negara, pemerintahnya tampil tak ubahnya seperti negara sekular biasa. Saudi Arabia mudah disisikan karena masih menggunakan sistem kerajaan yang nyaris bersifat primitif. Republik Islam Iran (RII) barangkali dapat disebut sebagai telah mencoba secara serius untuk merujukkan tradisi pemikiran dengan konsep-konsep negara demokratis modern dengan memasukkan gagasan tentang republik dan trias politika serta institusi pemilu langsung). Di Iran diselenggarakan 3 pemilu, yakni untuk memilih ang12
FILSAFAT ISLAM: HISTORISITAS DAN AKTUALITAS
gota parlemen, presiden, dan pemilihan sekitar 80-an ulama senior anggota Dewan Ahli (Majles-i Khubregan) yang diberi wewenang memilih dan menghentikan wali faqih (juris-pemimpin). Selain memiliki wewenang keagamaan (spiritual), wali faqih secara formal-kenegaraan ia diberi, antara lain: kekuasaan untuk mengangkat otoritas yudisial tertinggi dan panglima angkatan bersenjata, kekuasaan untuk menyatakan perang dan damai, serta kekuasaan untuk memobilisasi angkatan bersenjata, dan kekuasaan untuk memecat presiden. Di luar itu, ada satu kekuasaan wali faqih yang secara organik memodifikasi sistem republik yang dianut, sebagai berikut: Dalam suatu sistem republik terdapat sebuah parlemen beranggotakan orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Lembaga ini adalah lembaga legislatif tertinggi negara yang tidak bertanggungjawab kepada siapa pun kecuali kepada rakyat. Dengan kata lain, lembaga ini bebas membuat legislasi dan hanya terikat pada aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh. Sementara, menurut penafsiran para pemimpin Revolusi Islam di Iran, sebagaimana dalam pemikiran politik Islam pada umumnya, sumber legislasi adalah syariah. Legislasi ekstra-syariah, kalaupun diterima, harus merupakan turunan atau pengembangan dari syariah, atau setidaknya tidak bertentangan dengannya. Untuk mengatasi persoalan ini, diperkenalkanlah suatu konsep yang biasa dikenal sebagai Dewan Wali (The Council of Guardianship), yang di Iran disebut Shuraye Negahban.4 Artinya, perundang-undangan yang sudah disetujui oleh parlemen baru menjadi sah hanya setelah diratifikasi oleh Dewan Wali. Dalam sistem politik di RII, setengah anggota dewan terdiri dari enam orang faqih yang dipilih oleh wali faqih. Sedangkan setengah anggota yang lain meliputi enam ahli di bidang hukum (non keagamaan) yang dipilih oleh parlemen. Penentuan apakah 4
Dewan Wali ini sama sekali bukan merupakan inovasi para pemimpin Iran. Dewan Wali yang sama, meski dengan peran yang tak persis sama, juga ditemui dalam banyak sistem di negara lain, termasuk di negara-negara maju. Sebagai contoh, Perancis dengan Dewan Konstitusi atau pun, dalam bentuk lain, Republik Federal Jerman dengan Mahkamah Perwalian Konstitusi, atau pun diberikannya wewenang sejenis pada Mahkamah Agung di AS, atau pun Mahkamah Konstitusi di Indonesia. 13
BAGIAN 1: FILSAFAT ISLAM, PLURALISME & DEMOKRASI
suatu perundang-undangan yang telah disahkan oleh parlemen sesuai dengan syari’ah Islam atau tidak, bergantung pada mayoritas faqih (saja) dalam Dewan Wali. Sementara penentuan apakah perundang-undangan tersebut sesuai dengan konstitusi atau tidak, memerlukan suara mayoritas dari semua anggota Dewan Ahli.5 Bagi sebagian orang, inilah suatu eksperimen yang bisa disebut sebagai “teodemokrasi”.6 Yakni, semacam demokrasi terpimpin yang melibatkan kepemimpinan seorang atau beberapa orang ulama ahli (hukum) agama. Bagaimana dengan Indonesia? Gagasan seperti wilayah al-faqih sudah pasti bukanlah alternatif yang bebas problem. Tapi setidaknya sudah ada upaya untuk merumuskan semacam pemecahan terhadap apa yang dianggap merupakan kelemahan sistem demokrasi. Tapi, demokrasi seperti ini, atau—mungkin sesungguhnya segala jenis “demokrasi terpimpin”—tentu membuka kemungkinan timbul masalah baru. Bukan hanya dalam hal persoalan peran agama dalam politik, atau sifatnya yang menentang fundamen demokrasi liberal (bahkan demokrasi liberal bukanlah satu-satunya alternatif yang sah), melainkan dalam potensinya untuk menjadikan demokrasi hanya tinggal nama oleh adanya pimpinan yang otoriter atau otokratik. Yang pasti, sehubungan dengan kita, Indonesia bukanlah sebuah negara agama. Eksperimen RII tak terbayangkan bisa dan perlu diterapkan di Indonesia. lalu, apa yang harus dilakukan? Di sisi lain, menerapkan demokrasi liberal juga bukan tanpa risiko, setidaknya untuk saat ini. Pemilu demokratis yang lalu dan yang sekarang sedang berlangsung (Pemilu 2014, ed.), menunjuk5 Fungsi lain Dewan Wali, setidaknya sejauh ini, adalah untuk memastikan bahwa partisipan pemilu memenuhi semua syarat perundangan yang memberi mereka hak untuk berpartisipasi, sebagaimana peran KPU di Indonesia. 6 Abul A’la al-Maududi, meski dengan rincian yang berbeda, juga pernah mengusulkan suatu gagasan hybrid semacam ini yang juga disebutnya sebagai teodemokrasi (Lihat, all., Sistem Politik Islam: Hukum dan Konstitusi, cet. I, Mizan, Bandung, 1990). 14
FILSAFAT ISLAM: HISTORISITAS DAN AKTUALITAS
kan kepada kita sedikitnya satu masalah besar demokrasi. Yakni dalam hal potensinya untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin yang bukan hanya tidak cakap, melainkan juga tak memiliki tanggung jawab kepemimpinan yang cukup. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang secara masif masih menjadi pandemi di kalangan para pemimpin dan anggota parlemen kita merupakan bukti yang amat nyata. Belum ada tanda-tanda bahwa caleg-caleg dalam pemilu sekarang akan lebih baik dari sebelumnya. Memang di antara berbagai kritik terhadap demokrasi liberal, inilah salah satu kelemahan demokrasi yang banyak disoroti oleh para ahli. Alm. Milton Friedman, ekonom terkemuka dunia, menyebutkan bahwa demokrasi bukanlah suatu mekanisme politik yang efisien. Hal ini disebabkan karena adanya sifat irasional yang cenderung dimiliki oleh para pemilih pada umumnya (Kita bisa menambahkan: apalagi di negara yang tingkat pendidikan rakyatnya belum cukup tinggi seperti di Indonesia). Orang banyak pada umumnya tak cukup terinformasi tentang banyak isu politis, khususnya terkait ekonomi. Mereka cenderung memiliki bias yang kuat terhadap hal-hal yang lebih mereka ketahui. Misalnya, anggota-anggota serikat buruh biasanya cenderung lebih (baca: hanya) tahu tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang perburuhan. Ke arah inilah mereka akan berjuang, seraya mengabaikan banyak kepentingan suatu masyarakat modern. Meski bukannya tanpa bantahan, pandangan seperti yang disampaikan Friedman lebih jauh diperkuat oleh koleganya, Bryan Caplan. Baginya, bukan hanya umumnya pemilih tidak rasonal dan kurang informasi, mereka adalah hakim yang buruk untuk menafsirkan dan menilai informasi terbatas yang mereka miliki. Salah satu varian argumentasi kontra demokrasi seperti ini lebih jauh berpendapat bahwa demokrasi membuka peluang besar bagi pengompromian pandangan akibat harus melibatkan pandangan-pandangan non-spesialis, betapa pun mereka sesungguhnya cukup terdidik, khususnya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sesunguhnya sangat sophisticated. Pandangan-pandangan seperti ini kiranya tak bisa diabaikan begitu saja karena pada kenyataannya inilah yang banyak terjadi, lebih-lebih di negara-negara yang belum terlalu maju. Inilah kiran15
BAGIAN 1: FILSAFAT ISLAM, PLURALISME & DEMOKRASI
ya yang menyebabkan orang mengulang-ulang adagium: “People get the government they deserve.” Atau juga: “Democracy is an evil we can not do without.” Di saat seperti ini, sesungguhnya amat sulit bagi orang untuk menolak demokrasi. Begitulah juga posisi penulis makalah ini. Karena, selain demokrasi, sesungguhnya tak ada alternatif lain yang memungkinkan kita memiliki pemerintah yang bebas, bersih, dan dapat memuaskan aspirasi sebanyak mungkin orang. Tapi, seperti juga kenyataan yang berkembang, demokrasi liberal bukanlah satu-satunya pilihan. Kenyataannya, ada juga alternatif terhadapnya, seperti gagasan demokrasi sosial, dan sebagainya. Kita di Indonesia tidak seharusnya merasa puas untuk menjadi konsumen dari gagasan demokrasi tertentu, seolah-olah wacana tentang itu sudah selesai. Apalagi demokrasi liberal Barat. Sudah seharusnya, sebagai suatu bangsa besar (yang tentu memiliki kemampuan berpikir sendiri), kita secara aktif terlibat dalam wacana demokrasi. Apalagi, di zaman post-modernistik ini, orang makin sadar tentang besarnya kemungkinan irelevansi grand narrative, apa saja, termasuk demokrasi. Indonesia adalah Indonesia, bukan Iran, tapi juga bukan Amerika. Apalagi, sesungguhnya, ketika merumuskan Pancasila, para founding fathers kita terlihat sudah secara visioner memiliki pandangan tentang perlunya demokrasi—disebut kerakyatan—untuk dipandu dengan “hikmah dan kebijaksanaan.” Hal seperti ini boleh jadi mensyaratkan perlunya demokrasi dipastikan untuk tidak menjadi liberal (baca: primitif ) sehingga justru tak dapat menghasilkan keputusan-keputusan politik bagi sebesar-besar kepentingan rakyat. Kita juga tak boleh terus-menerus dicekam trauma kegagalan “demokrasi terpimpin di zaman Soekarno.” Bukan saja kita selalu bisa belajar dari kegagalan, saya yakin bahwa gagasan itu pun sesungguhnya mengandung benih-benih kebijaksanaan yang bisa kita kembangkan lebih jauh. Ini tentu suatu kerja besar yang tak akan ada habisnya. Tapi, bukankah perjalanan seribu langkah selalu harus dimulai dari langkah pertama. Akhirnya, seperti apapun nanti demokrasi yang kita rumuskan, tak ada suatu mekanisme dalam kehidupan, termasuk politik, yang akan berjalan dengan 16
FILSAFAT ISLAM: HISTORISITAS DAN AKTUALITAS
baik—sebaik apa pun ia dirumuskan—tanpa dukungan masyarakat yang terdidik dengan baik. Maka, selain berwacana dan bereksperimen tentang politik dan demokrasi, hendaknya bangsa kita tidak pernah tersimpangkan sedetik pun dari kerja maha penting yang bisa dipastikan akan menentukan nasib kita sebagai sebuah bangsa, yaitu pendidikan. Bukan hanya pendidikan politik, yang seringkali malah dipluntir menjadi pembodohan atau caci-otak politik, melainkan pendidikan di bidang apa pun. Hanya dengan cara ini, negeri kita akan dapat memiliki, bukan hanya gagasan dan konsep politik dan demokrasi yang terbaik bagi masyarakat kita, melainkan juga mencapai segenap tujan pendiriannya. Yakni melahirkan manusia-manusia Indonesia seutuhnya dan mencapai kesejahteraan bagi segenap masyarakat Indonesia. Yes, people get the government they deserve. At the same time, we deserve a good, strong, clean and democratic government. •
17