PEMIKIRAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PERSPEKTIF PROF. ACHMADI ( Studi Historis 1944-2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh:
Ema Siti Rohyani NIM: 111 11 084 FAKULTAS TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
MOTTO
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
PERSEMBAHAN
Dengan penuh ketulusan hati dan segenap rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini saya persembahkan kepada : & Ayah, ibu, Adek tercinta yang senantiasa tak pernah berhenti memberikan cinta serta doanya selama ini. & Almukarom Romo KH. Muhammad Fatkhan beserta Ibu, Bapak Kyai Basith, Mbah Zu, Bapak Munajatdan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren ALIKHLAS Ungaran dan PONPES SALAFIYAH Salatiga yang dengan tulus ikhlas mendidikku dengan dasar-dasar keagamaan dan semangat spiritual yang dijadikan bekal hidup. & Buat Bapak Saerozi sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan & Buat Ibu Desi selaku mantu dari beliau bapak Achmadi, karena telah meminjamkan buku-buku beliau guna terselesaikannya penelitian ini. & Thank you very much “hubby”. Thank for your kindleness. I love you & Sahabat-sahabati PMII, Rekan-rekanita IPNU IPPNU, SEMA, DEMA, JQHdan temen-temen sekelas Dek Khuz, Nikmah, Nida, disebut satu persatu, senasib seperjuangan yang menyertaikudalammenimbailmu di IAIN Salatiga. & Buat anak-anak asuhku pipit, lita, kholis, azizah, noviana, askinna, semoga kalian sukses di Universitasnya masing-masing. & Buat Pak Khusein, terimakasih karena beliau, peneliti hafal Hymne IAIN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur yang telah melimpah rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Pemikiran Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Achmadi (Studi Historis 1944-2014)” Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratanguna memperoleh gelar kesarjanaan S1 Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, tidak akan mungkin penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku RektorIAIN Salatiga.
2.
Ibu Rukhayati, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga.
3.
Bapak Dr. Muh. Saerozi, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing, memberikan nasehat, arahan, serta masukan-masukan yang sangat membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini.
4.
Ayah dan ibu terkasih yang telah tulus dan ikhlas mencurahkan segalanya demi penulis serta adeku tercinta yang telah memberiku semangat.
5.
Seluruh dosen dan petugas administrasi Prodi Pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah dan penelitian berlangsung.
6.
Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
7.
Dan untuk IAIN Salatiga, kampus tercinta, thanks for all. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan pada umumnya. Amin ya robbal ’alamin
Salatiga, 28 Agustus 2015 Penulis
Ema Siti Rohyani NIM: 111 11084
ABSTRAK Rohyani, Ema Siti. 2015. Pemikiran Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Prof. Achmadi (Studi Historis tahun 1944-2014). Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Muh. Saerozi, M.Ag. Kata Kunci : Pendidikan Agama Islam, Perspektif Achmadi. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pendidikan agama Islam di Indonesia perspektif Prof. Achmadi. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana Posisi PAI dalam kerangka pendidikan nasional menurut Achmadi ? 2) bagaimana dasar dan tujuan PAI menurut Achmadi ? 3) bagaimana pandangan Achmadi mengenai pendekatan dalam PAI ? 4) bagaimana isi atau materi PAI menurut Achmadi ? 5) bagaimana relevansi PAI menurut Achmadi dengan konteks PAI sekarang ? Analisis ini menggunakan metode analisa isi. Yaitu menghimpun dan menganalisa dokumen-dokumen resmi, buku-buku, kemudian diklarifikasi sesuai dengan masalah yang dibahas dan dianalisa isinya. Karya-karya Prof. Achmadi baik berupa buku, disertasi, penelitian, artikel, koran, majalah, dan sebagainya dikumpulkan kemudian diadakan analisis yang terkait dengan pembahasan tersebut. Setelah semua data terkumpul, kemudian mendelegasikan pemikiran Prof. Achmadi kepada pendidikan agama Islam. Berdasarkan hasil analisis dapat dirumuskan bahwa posisi pendidikan agama Islam di Indonesia menjadi semakin terlihat dengan adanya UU mengenai Sisdiknas no 20 tahun 2003, sejalan dengan hal tersebut pendidikan agama Islam menurut Prof. Achmadi mencakup dasar dan tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahi. Pemikiran Prof. Achmadi seperti pendekatan fungsional, pendekatan humanis, pendekatan rasional kritis, pendekatan kultural dalam pendidikan agama Islam dapat dilakukan untuk memajukan pendidikan agama Islam di Indonesia dalam jangka panjang. Materi pendidikan agama Islam menurut Prof. Achmadi terdiri dari perenial knowlegde dan ilmu yang diperoleh. Pendidikan agama Islam menurut Prof. Achmadi dengan PAI sekarang ini sangat relevan, akan tetapi masih membutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai bentuk dari ideologi pendidikan yang berkembang sesuai dengan perubahan zaman yang tak terlepas dari nilai-nilai Islam sebagai pedoman dalam bertindak, mengamalkan nilai Islam mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan sebagainya. Setelah dikaji secara mendalam pemikiran-pemikiran Prof. Achmadi terkait dengan pendidikan agama Islam diharapkan dan diterapkan di dunia pendidikan agama Islam di Indonesia untuk kemajuan pendidikan agama Islam di Indonesia. Baik dalam konteks pendidikan di dalam kelas ataupun skala nasional.
DAFTAR ISI LEMBAR BERLOGO...........................................................................................i JUDUL..................................................................................................................ii DEKLARASI……………………………………………………..……….........iii PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................iv PENGESAHAN KELULUSAN..........................................................................v MOTTO…………………………........................................................................vi PERSEMBAHAN……………………..………………….…………..…..........vii KATA PENGANTAR.........................................................................................ix ABSTRAK...........................................................................................................xi DAFTAR ISI.......................................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................xiv BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………….……………..............1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................2 C. TujuanPenelitian...........................................................................................2 D. KegunaanPenelitian……...………...…………………...………….............3 E. MetodePenelitian..........................................................................................3 F. PenegasanIstilah...........................................................................................6
G. Sistematika Penulisan...................................................................................7 BAB II BIOGRAFI PROF. ACHMADI A. Biografi Prof. Achmadi................................................................................8 B. Karya Ide Besar Prof. Achmadi.................................................................11 BAB III PEMIKIRAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT PROF. ACHMADI A. Pengertian……………...............................................................................14 B. Posisi
Agama
Islam
dalam
kerangka
Pendidikan
Nasional
....................................................................................................................15 C. Posisi
Pendidikan
Agama
Islam
dalam
kerangka
Pendidikan
Nasional......................................................................................................17 D. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam..............................................32 E. Pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam.............................................41 F. Materi Pendidikan Agama Islam………….........……...............................48 BAB IV RELEVANSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT PROF. ACHMADI DENGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKARANG A. Relevansi Pendidikan Agama Islam Menurut Achmadi Dengan Pendidikan Agama
Islam
Sekarang
terkait
Isi
Pendidikan/
Materi
Pendidikan..................................................................................................62 B. Relevansi Pendidikan Agama Islam Menurut Achmadi Dengan Pendidikan Agama
Islam
Sekarang
terkait
Dasar
dan
Tujuan
PAI.............................................................................................................63
C. Relevansi Pendidikan Agama Islam Menurut Achmadi Dengan Pendidikan Agama Islam Sekarang terkait Posisi PAI di ranah Kerangka Pendidikan Nasional......................................................................................................64 D. Relevansi Pendidikan Agama Islam Menurut Achmadi Dengan Pendidikan Agama Islam Sekarang terkait Pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam...........................................................................................................68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................................73 B. Saran...........................................................................................................74 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS
DAFTAR LAMPIRAN 1. Daftar Pustaka 2. Riwayat hidup penulis 3. Nota pembimbing skripsi 4. Lembar konsultasi 5. Surat Keterangan Kegiatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang . Dalam situasi dunia yang semakin global seperti sekarang, manusia semakin dihadapkan kepada berbagai tantangan, di samping peluang dan kesempatan. Islam juga semakin dituntut peranannya untuk menjadi pemandu arah kehidupan manusia. Dalam konteks ini, pendidikan agama Islam tentu juga harapkan dapat memberikan jawaban terhadap masalah kehidupan umat Islam yang berada di dunia global tersebut. Secara normatif, pendidikan agama Islam mengandung nilai-nilai universal yang memberikan resep mujarab untuk solusi problem manusia. (Nata, 2010:433). Pendidikan agama Islam telah dipikirkan oleh beberapa kalangan pemikir, tetapi masih banyak masalah masalah yang belum terjawab. Di ranah ilmiah, sudah banyak literatur yang berbicara tentang pendidikan agama Islam di Indonesia dari berbagai pendekatan, Sebagai contoh: Amin Abdullah, Azumardi Azra, Noeng Muhadjir, Imam suprayogo, Abuddin Nata dan salah satunya adalah Prof. Achmadi. Prof. Achmadi sesuai dengan kiprah teoretik dan praktiknya di dunia pendidikan berkehendak untuk mewujudkan pendidikan agama Islam yang lebih dari sekedar masalah-masalah ubudiyah dan fiqhiyah semata. Ia juga ingin mendudukkan pendidikan Islam yang bukan sekedar memenuhi aspek normatif, tetapi juga historis. Pendidikan agama Islam
tidak hanya membahas tentang suatu ajaran-ajaran, tetapi membahas pula peristiwa dengan memperlihatkan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, pemikiran Prof. Achmadi tentang Pendidikan Agama Islam perlu dikaji lebih dalam. Pemikiran itu menjadi penting bukan hanya bagi muslim Jawa Tengah, tetapi juga nusantara. Dalam konteks ini, penulis
mengambil judul penelitian
pemikiran pendidikan agama Islam perspektif
Prof. Achmadi (1944-
2014).
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana
posisi
Pendidikan
Agama
Islam
dalam kerangka
pendidikan nasional menurut Prof. Achmadi? 2. Bagaimana pandangan Prof. Achmadi tentang dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam? 3. Bagaimana pandangan Prof. Achmadi tentang pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam? 4. Bagaimana pandangan Prof. Achmadi tentang materi Pendidikan Agama Islam? 5. Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan agama Islam Prof. Achmadi dengan konteks pendidikan Islam sekarang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai oleh penulis dalam kaitannya dengan judul penelitian ini antara lain : a. Untuk mengetahui tentang pendidikan agama Islam; dasar dan tujuan serta posisi dalam kerangka pendidikan nasional perspektif Prof. Achmadi b. Untuk mengetahui materi, dan pendekatan, pendidikan agama Islam menurut Prof. Achmadi c. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Prof. Achmadi dengan pendidikan agama Islam di era modern ini
D. Kegunaan Penelitian 1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan pemikiran pendidikan agama Islam. 2. Untuk menambah wawasan keilmuan penulis dalam memahami pemikiran Prof. Achmadi tentang pendidikan agama Islam.
E. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa metode antara lain sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini bersifat literatur (kepustakaan), sehingga penelitian ini menggunakan kajian terhadap buku-buku yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini, yaitu buku-buku Prof. Achmadi dan buku lain yang membahas tentang pendidikan agama Islam. Penelitian dilakukan dengan mencermati sumber-sumber tertentu,
mencari, menelaah buku-buku artikel atau lainnya yang berkaitan dengan Prof. Achmadi. Selain bersifat literatur penelitian ini termasuk jenis penelitian bibliografi, hampir sama dengan literatur yaitu dilakukan dengan mencari, menganalisis, membuat interpretasi, serta generalisasi dari fakta-fakta hasil pemikiran, ide-ide yang telah ditulis oleh pemikir dan ahli (Nazir, 1998:62). 2. Sumber Data Dalam
pengambilan
dan
pengumpulan
data
penelitian
menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Data berupa buku, artikel, dokumen dan lain sebagainya. Penelitian ini berisi kutipankutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan (Arikunto, 1987:135). Sedangkan data-data tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu primer dan sekunder. a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam peneliti ini. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku dan Artikel Prof. Achmadi. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah buku-buku, artikel, dan sumber lain berkaitan dengan penelitian ini. Di antara sum,ber tersebut adalah:
Metodologi Studi Islam karya Abuddin Nata,
Islam sebagai Ilmu; Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru karya Azumardi Azra, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional karya Tilaar, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme karya Abd Azis Albone, Metodologi Pendidikan Agama Islam karya Ramayulis, dan buku atau artikel tentang studi pendidikan Islam di dalam perkuliahan dan lain sebagainya. 3. Analisis Data Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa metode, yaitu: a. Metode Deskriptif Metode deskriptif yaitu “perumusan filsafat tersembunyi dideskripsikan sedemikian rupa sehingga terus menerus ada referensi pada masalah konkret sedetail-detailny” (Anton dan Achmadi, 1994:112). Peneliti melakukan analisis data dengan metode deskripsi, yaitu menggambarkan pemikiran-pemikiran Achmadi tentang materi yang terkait dengan penelitian. b. Metode Analisis Analisis data merupakan “cara penanganan terhadap obyek ilmiah dengan jalan memilih-milih antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru” (Sumargono, 1989:21). Data yang terkumpul selanjutnya penulis analisa dengan menggunakan teknik analisa data, dengan cara: 1. Kategorisasi
Kategorisasi adalah “upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan” (Moleong, 2011:288). Peneliti melakukan kategorisasi dengan cara memilah setiap data yang didapatkan, data dari dokumen atau buku-buku terkait. Kategorisasi dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menyatukan data-data tersebut. 2. Sintesisasi Sintesisasi merupakan “mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lain agar bertemu titik permasalahan” (Moleong, 2011:289). Data yang telah dikategorikan oleh peneliti kemudian dicari titik temu satu sama lainmdan kemudian disatukan dalam pembahasan yang sama sehingga menjadi sebuah penjelasan yang utuh.
F. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekaburan dalam penafsiran judul, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata dan istilah yang digunakan dalam judul skripsi ini. Adapun batasan istilah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pemikiran Pendidikan Agama Islam adalah “gagasan-gagasan tentang upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, mengimani, bertaqwa berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman (Ramayulis, 2010:21)
2. Prof. Achmadi adalah salah satu tokoh pendidikan di IAIN Salatiga dan Jateng. Lahir di Yogyakarta 4 Oktober 1944, bertempat tinggal di Jl. Cenderawasih Klaseman Salatiga, guru besar Ilmu Pendidikan Islam di IAIN Walisongo Semarang. Jadi dalam judul penelitian ini bertujuan untuk mendelegasikan pemikiran Prof. Achmadi terhadap pendidikan agama Islam.
G. Sistematika Penulisan Dalam rangka mempermudah penulisan skripsi, maka penulis membagi menjadi lima bab yang dijabarkan menjadi sub-sub bab yang utuh dan integral. Adapun sistematikanya sebagai berikut : BAB I
Pendahuluan; yang berisikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan. BAB II
Biografi Prof. Achmadi; yang memuat riwayat keluarga dan
pendidikan, pengabdian dan karya- karya intelektual. BAB III
Pemikiran Pendidikan Agama Islam Prof. Achmadi; yang
di dalamnya berisi pengertian, posisi Pendidikan Agama Islam dalam kerangka pendidikan nasional, pandangan Prof. Achmadi tentang dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam, pandangan Prof. Achmadi tentang pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam, pandangan Prof. Achmadi tentang materi Pendidikan Agama Islam. BAB IV
Relevansi Pemikiran Pendidikan Agama Islam Prof.
Achmadi dengan konteks pendidikan Islam kekinian
BAB V
Penutup; yang meliputi kesimpulan, saran dan kata
penutup.
BAB II BIOGRAFI PROF. ACHMADI A. Riwayat Keluarga dan Pendidikan
Dalam mengkaji pemikiran seseorang tentunya tidak cukup hanya mengetahui gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikirannya saja. Akan tetapi juga harus berusaha mengetahui latar belakang hidupnya, perjalanan intelektual dan pendidikannya. Dengan memahami biografi, dapat mengetahui bagaimana pola pikir seseorang terbentuk. Penulis dalam skripsi ini berupaya untuk memaparkan biografi Prof. Achmadi sehingga mampu menghasilkan suatu analisis dan kesimpulan yang komprehensif. Prof. Achmadi Lahir di Yogyakarta pada tanggal 4 Oktober 1944, saat berumur enam tahun dia memulai belajar, dimulai dari SD Muhammadiyyah Karangkajen Yogyakarta tahun 1957 sambil nyantri di Pondok Pesantren Krapyak yang diasuh oleh KH Abdul Kodir, dia kemudian melanjutkan pada Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Yogyakarta tahun 1963. tamat dari PGAN, dia melanjutkan studinya di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta (Munir, 2005:48). Dia di sela-sela kesibukannya juga aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Diantaranya pernah menjabat sebagai ketua pimpinan cabang Pemuda Muhammadiyyah Mergangsan Yogyakarta tahun 19631971 dan menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) DIY (1968-1971), di samping itu pengalaman dalam berorganisasi Achmadi diantaranya adalah : 1. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Salatiga (1981-1990) 2. Anggota pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah/ Ketua Majlis Tabligh, (1996-2014)
3. Ketua ICMI orsat Salatiga (1998 sampai 2014). 4. Anggota KAHMI kodya Salatiga sampai 2014 Pada tahun 1970 Achmadi menjadi sarjana lengkap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga pada kota yang sama setelah selasai menyelesaikan Strata I (SI) pada tahun 1973, dia menyelesaikan Post Graduate Course (PGC) Ilmu Pendidikan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1973. Pada tahun yang sama (1973), dia dipercaya menjabat sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Salatiga pada tahun 1973-1978, selain aktivitas tersebut dia juga menyelesaikan Studi Purna Sarjana (SPS) IAIN Sunan Kalijaga pada Juli 1976- Maret 1977. “Islamic Studies dan Penelitian Agama”, Leiden University 1 tahun (Agustus 1994 sampai Agustus 1995). Dia melanjutkan program doktoralnya IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta, pada tahun 2002 dia memperoleh gelar Doktornya. Pada tanggal 8 Januari 2005 dia memperoleh gelar Profesor dalam bidang Ilmu Pendidikan Islam (IPI). Nama istri Prof. Achmadi adalah Djandaroh, dia dianugrahi tiga putra yaitu Arif Djatmiko, S. Psy, Arif Bawana, S.E dan Arif Fajar Wibisono, Achmadi bertempat tinggal di Jl. Cenderawasih Klasemen No. 11 Salatiga telp. 0298.327098 HP 081.58846980. Sebelum meninggal dia berkantor di IAIN Walisongo, Jl. Walisongo 5 Semarang telp 024.761292, (wakil koordinator KOPERTAIS wilayah X Jawa Tengah). B. Pengabdian
Dia memulai karirnya menjadi asisten ahli pada (IIIe) dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dosen Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, Universitas Muhammadiyyah Solo, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sampai pada tahun 2014 dia masih aktif dalam kariernya (Munir, 2005:50). Di antara jabatan yang pernah Achmadi jabat adalah sebagai berikut: 1. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Salatiga 19791982 2. Wakil Rektor bidang Akademis IAIN Walisongo di Salatiga 1985-1993 (dua periode) 3. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Salatiga 19851993 (dua periode) 4. Pembantu Rektor IAIN Walisongo Semarang 1994-1997, merangkap PLH Rektor IAIN Walisongo 1996-1997 5. Wakil Koordinator Kopertais wilayah X jawa tengah 1998 sampai 2014.
C. Karya ide besar Prof. Achmadi
1. Karya ilmiah yang berupa Buku -
Ilmu Pendidikan, Sebuah Pengantar, CV Saudara, Salatiga, 1990
-
Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1993
-
Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah, dalam PBM Pendidikan Agama di Sekolah, Fak. Tarbiyah
-
Refleksi Pemikiran Muhammadiyah Sebuah Telaah Histories, dalam Reaktualisasi Tajdid Muhammadiyah, UMS, 1998
-
Reformasi Sistem Pendidikan Agama Islam dalam Era Reformasi: Telaah Filsafat, dalam Pendidikan Islam, Demokratisasi, dan Masyarakat Madani, Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2000
-
Islam Sebagai Alternatif Paradigma Ilmu Pendidikan, dalam Paradigma Pendidikan Pendidikan Islam, Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001
-
Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanis Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 2. Artikel Majalah / Jurnal
-
Pendidikan Integratif Wawasan ilmiah dan Agama dalam Pendidikan, Majalah "Attarbiyah", Fak Tarbiyah IAIN Walisongo di Salatiga 1992
-
Politik, Agama, dan Pendidikan Agama, Majalah “Attarbiyah” Fak. Tarbiyah. IAIN Walisongo di Salatiga, 1995
-
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Islam, Jurnal Wahana Akademika, Kopertais Wil X Jawa Tengah, 1998
-
Ali Syari’ati Pemikiran dan Cita-citanya dalam perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam,’ Teologia” Jurnal Ushuluddin Vol. 13, No.3, okt.2002 (Terakriditasi, SK. Dirjen Dikti No.69 / Dikti / kop.2000,21 Maret 2000)
-
Ideologisasi dan Transformasi Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah, UMS. Vol. 1. No.1, 2003
-
Studi Islam di Belanda, “ Ihya Ulum al-Din” Internasional journal (PPSIAIN Walisongo semarang) Vol. 5, Number 2, Dec. 2003, (terakriditasi, SK. Dirjen Dikti no: 34/Dikti/Kep/2003) 3. Makalah
-
Pengembangan Pendidikan Keagamaan: Sebuah Agenda masalah Dalam Era Postmodern, Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo di Salatiga 1996
-
Telaah Penyelenggaraan Pembaharuan Islam Muhammadiyah, PWM. Jateng. 1998
-
Kesiapan penyelengaraan Pendidikan dalam Disentralisasi Pendidikan, UKSW 2001
-
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, sebuah Bidang studi yang sarat beban, Dikdasmen PWM Jateng, 2001
-
Kepemimmpinan Visioner : Kerangka pemberdayaan Madrasah, Kopertais , 2001
-
Strategi Sosialisasi Pedoman Hidup Islami, PWM Jateng, 2001
-
Optimalisasi peranan Dewan Pendidikan Kota Salatiga dalam Prespektif Desentralisasi Pendidikan, semiloka Dewan Pendidikan Kota Salatiga 20 Januari 2003
-
Masa Depan Pendidikan Islam di Indonesia dalam Konstelasi Politik Global, seminar staimus, surakarta, 21 juni 2003 4. Penelitian
-
Sikap Remaja Terhadap Penyimpangan Seksual, Studi Kasus Siswa SLTA Salatiga, 1993
-
Studi Agama di Belanda, penelitian di Leidin Belanda, 1994 – 1995
-
Korelasi antara Hasil Tes Masuk Dengan Prestasi
-
Kerukunan Hidup Beragama di Daerah Perkotaan di Jawa Tengah, studi kasus di Salatiga.
-
Muhammadiyah Pasca Kemerdekaan, Pemikiran Keagamaan Dan Implikasinya Dalam Pendidikan, Penelitian disertasi, 1999-2002
-
Kompetensi lulusan PTAI/IAIN dalam prespektif masyarakat pengguna di Jawa tengah, proyek Ditjen Bagais dep. Agama 2003
-
Kesiapan Guru dalam pelaksanaan Kurikulum berbasis Kompetensi di Jawa ( kota-kota
Pendidikan: Malang, Semarang, Bandung dan
Yogyakarta). Proyek kerjasama Litbang Agama dan Diklat keagamaan Dep. Agama RI dan P3M STAIN Salatiga (Munir, 2005:51-54)
BAB III PEMIKIRAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROF. ACHMADI
A. Pengertian Pendidikan agama sangat penting dan strategis dalam rangka menanamkan nilai-nilai spiritual Islam, tetapi hal ini baru berupakan sebagian dari seluruh kerangka pendidikan Islam. Pengertian pendidikan agama Islam menurut Achmadi (1987:10) adalah “usaha yang lebih
khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagaman dan sumber daya insani agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam”. Implikasi dari pengertian ini adalah pendidikan agama Islam merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai jalur pengintegrasian wawasan Islam pada bidang-bidang studi yang lain. Implikasi lebih lanjut pendidikan agama harus sudah dilaksanakan sejak dini sebelum peserta didik memperoleh pendidikan atau pengajaran ilmu-ilmu yang lain. Pendidikan agama menurut Ibnu Khaldun lebih menitik beratkan pada pengajaran Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak. Dengan mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak maka akan dapat menumbuhkan perasaan keagamaan (Achmadi, 1987:11). B. Posisi Agama Islam dalam Kerangka Pendidikan Nasional Keputusan sistemik kehidupan keagamaan ialah sesuatu yang dirancang atau difungsikan dalam interpendensi untuk seluruh satuan termasuk subsatuannya. Para Proklamator pendiri Republik Indonesia telah membuat sistem kehidupan keagamaan dalam UUD 1945 dan dibuat berulang kali yaitu yang terdapat sebanyak dua kali dalam pembukaan, yaitu: 1. Alinea tiga “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” 2. Alinea empat “Negara Republik Indonesia yang .... berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa ....”
3. Dalam batang tubuh UUD 1945 juga disebut tiga kali sistem kehidupan keagamaan, yaitu: a. Pasal 9, tentang sumpah persiden/ wakil presiden menurut agama dengan diawali “Demi Allah” dst. b. Pasal 29 ayat 1: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. c. Pasal 29 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Achmadi, 1992:104). Selanjutnya sejak era pembangunan, keputusan sistem tersebut semakin dikukuhkan sebagai landasan idiil dan UUD 45 sebagai landasan konstitusional. Dalam penjelasan UUD 45 mengenai sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dijelaskan bahwa dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna kewajiban pemerintah dan para penyelenggara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral yang luhur. Untuk mewujudkan amanat dalam UUD 1945 itu, pemeliharaan budi pekerti kemanusiaan yang
luhur
tidak
dapat
dilepaskan
dari
usaha
membina
dan
mengembangkan kehidupan beragama bangsa Indonesia, bahkan hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama (Achmadi, 1992:105). Dalam membina dan mengembangkan kehidupan keagamaan, negara/ pemerintah tidak hanya menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Agama juga sekaligus menjamin, melindungi,
membina mengembangkan serta memberikan bimbingan dan pengarahan agar kehidupan beragama lebih berkembang, bergairah, dan bersemarak, serasi dengan kebijaksanaan pemerintah dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Para
politisi
awal
kemerdekaan
telah
mengoperasionalkan
keputusan sistemik kehidupan keagamaan dalam berbagai lembaga pemerintahan. Tampak jelas bahwa sejak awal Republik Proklamasi 1945 telah diupayakan pengintegrasian urusan keagamaan dalam pemerintahan Indonesia, seperti adanya Departemen Agama di samping departemen yang lain, Peradilan Agama di samping peradilan yang lain, peluang dan fasilitas
bagi
sekolah
agama
di
samping
sekolah
umum,
dan
diselenggarakannya pendidikan agama secara formal dalam sekolah umum. Kesemuanya itu merupakan operasionalisasi institusional dari keputusan sistemik kehidupan keagamaan. Departemen Agama sebagai institusi keagamaan tertinggi dalam organisasi pemerintahan memiliki tugas pokok yaitu menyelenggarakan sebagian dari tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang agama (Achmadi, 1992:106). Garis besar haluan negara (GBHN) sebagai landasan operasional pembangunan orde baru telah mengoperasionalkan keputusan sistemik keagamaan dalam bentuk sub-sub keputusan sistemik. Bila ditelusuri dari pola dasar ke pola umum Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) ke REPELITA dalam GBHN, dapat di jumpai rumusanrumusan yang mengoperasionalkan Pancasila dan UUD 1945. Di dalamnya termasuk pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama.
Tujuan pembangunan nasional juga menyebutkan harus mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Makna spiritual dalam bahasa adalah lawan dari profan atau sekular, ini berarti bahwa kemajuan yang diharapkan dari pembangunan bukan kemajuan yang berorientasi modern yang sekular, tetapi modern yang dijiwai oleh nilai-nilai Ilahi.
C. Posisi Pendidikan Agama Islam dalam Pendidikan Nasional Dalam modal dasar pembangunan disebutkan bahwa kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan tenaga penggerak yang tidak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi-aspirasi bangsa. Selanjutnya khusus pembangunan bidang agama dirumuskan dalam pola Umum Pembangunan Jangka Panjang orde baru sebagai berikut: Atas dasar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia harus benar-benar selaras dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan alam sekitarnya serta memiliki kemantapan keseimbangan dalam kehidupan lahiriah dan batiniah (Achmadi, 1992:106-107). Secara vertikal, seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional UU. RI. No. 2 Th 1989 (yang telah diganti dengan UU no. 20 th. 2003) pasal 4 disebutkan: Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan rumusan demikian jelas sekali pendidikan agama merupakan bagian pendidikan yang amat penting yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai, keimanan dan ketaqwaan. Hal ini berarti pula bahwa keberhasilan pendidikan nasional tidak dapat tercapai tanpa pendidikan agama, karena keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hanya dapat dicapai melalui pendidikan agama (Achmadi, 1992:107). Dalam pembahasan ini khusus ditujukan pada masalah pendidikan agama Islam, yang dalam operasionalisasi dapat digolongkan dalam:
1.
Pendidikan agama Islam pada lembaga pendidikan umum Pendidikan agama Islam sebenarnya sudah ada jauh sebelum kemerdekaan. Namun karena politik pendidikan pemerintah penjajah (Belanda), maka sekolah-sekolah negeri tidak diberikan pendidikan agama. Pemerintah kolonial tidak mencampuri urusan agama dan oleh karenanya tidak bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan agama penduduknya. Didorong oleh semangat kebangsaan yang dijiwai oleh ruhul Islam “Muhammadiyah” sebagai gerakan Islam merintis jalan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum yang diselenggarakannya. Setelah Indonesia merdeka para pemimpin dan perintis kemerdekaan menyadari betapa pentingnya agama diberikan di sekolah-sekolah.
Kedudukan pendidikan agama di sekolah umum dapat ditinjau dari segi keputusan-keputusan yuridis sebagai dasar hukumnya. Secara kronologik dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Keputusan Menteri Agama No. 1185/K.J. tgl. 20-11-1946 tentang penyempurnaan
organisasi
kementerian
agama,
dengan
mengadakan bagian C yang bertugas melaksanakan kewajibankewajiban, antara lain: 1) Urusan pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen. 2) Urusan pengangkatan guru agama. 3) Urusan pengawasan pelajaran agama. b. Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri PP dan K nomor: 1142/Bhg. A (pengajaran)/Nomor: 11285/KJ (Agama) tgl. 2 Desember 1946, tentang ketentuan adanya pelajaran agama di sekolah rakyat sejak kelas IV dan berlaku efektif mulai tgl. 1 Januari 1947. c. Undang-Undang Nomor 4/1950 jo. Nomor 12/1954 tentang DasarDasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah yang ada pada Bab XII pasal 20 dinyatakan: 1) Dalam sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran agama tersebut. 2) Cara penyelenggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. d. Peraturan
bersama
Menteri
Pendidikan,
Pengajaran
dan
Kebudayaan dan Menteri Agama No. 17678/Ka. Tgl. 16 Juli 1951 (pendidikan)/No. K.I/1980 tgl. 16 Juli 1951 (Agama) tentang pedoman penyelenggaraan pendidikan agama, yang merupakan realisasi dari pasal 20 UU No. 4/1950. Isi peraturan bersama tersebut antara lain: 1) Lamanya pendidikan agama; di SR (sekolah Rakyat) mulai kelas IV, dua jam setiap minggu. Untuk lingkungan istimewa sejak kelas I dan jam dapat sampai 4 jam setiap minggu. Untuk SMP dan SLA dua jam setiap minggu. 2) Pengangkatan dan Pembiayaan; guru diangkat, diberhentikan oleh Menteri Agama. Biaya pendidikan agama atas tanggung jawab Kementerian Agama. 3) Rencana pelajaran agama ditetapkan oleh Kementerian Agama sesudah disetujui oleh Kementerian PP dan K. 4) Pendidikan agama di sekolah partikelir; peraturan bersama itu berlaku pula bagi sekolah-sekolah partikelir apabila pengurus yang bersangkutan menghendakinya atau apabila orangtua murid-murid yang berjumlah sekurang-kurangnya 10 orang yang menganut suatu agama memintanya, dengan pengertian bahwa pendidikan agama dapat diberikan di luar gedung sekolah tersebut.
5) TAP
MPRS
No.
II/MPRS/1960,
menetapkan
bahwa
pendidikan agama diberikan di sekolah-sekolah sejak dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas/Perguruan Tinggi Negeri. 6) Ketetapan sebagaimana TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tetap berlaku sampai TAP-TAP MPR berikutnya, yang intinya terus diusahakan
upaya,
termasuk
pendidikan
agama
yang
dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari SD sampai Universitas negeri. 7) Dibakukannya Kurikulum Pendidikan Agama dalam UU. RI. No. 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional dan yang terakhir UU No. 20 th. 2003 tentang Sisdiknas (Achmadi, 1992:108). 2.
Perguruan Agama Islam Lingkup pendidikan agama Islam pada lembaga pendidikan atau perguruan agama meliputi Madrasah Diniyah, Raudhatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Pendidikan Guru Agama, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi Agama Islam baik negeri maupun swasta. Sebagian terbesar lembaga pendidikan agama berstatus swasta. Hanya 0,37% dari sekolah agama yang berstatus negeri dan hanya 4,5% dari murid-murid berada pada sekolah negeri. Ini berarti bahwa kehadiran sekolah-sekolah agama Islam berakar pada hasrat masyarakat sendiri (Achmadi, 1992:109).
Keberadaan perguruan-perguruan agama Islam memiliki latar belakang sejarah yang panjang sejak zaman penjajahan Belanda. Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang agamis yang mayoritas adalah umat Islam. Dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan peran ulama’ sangat dominan. Kaum ulama secara diam-diam melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda dengan menumbuhkan kondisi yang berlainan antara aspirasi kaum muslimin dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda. Kebijaksanaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan dengan membuka berbagai jenis sekolah untuk rakyat Indonesia, yang bertujuan secara formal memenuhi keperluan pemerintah dan onderneming terhadap tenaga kerja yang terdidik. Tetapi sebenarnya mengandung tujuan untuk menjauhkan pemuda-pemuda Indonesia dari masyarakat dan agama (Islam), dan sebaliknya mendekatkan kepada kebudayaan barat (Belanda). Kebijaksanaan pemerintah Belanda ini adalah berpedoman kepada “Etische Politiek”. Untuk mengimbangi kebijaksanaan pemerintah Belanda tersebut, maka
para
ulama’
memperkembangkan
mengadakan lembaga
usaha
pendidikan
penyempurnaan pesantren
dan
menjadi
Madrasah, di mana diajarkan ilmu pengetahuan umum di samping ilmu pengetahuan agama. Dengan demikian diharapkan akan lahir sekelompok ulama’ intelek yang mampu mengimbangi produk pendidikan Belanda tersebut. dalam pertumbuhan selanjutnya sistem
pendidikan madrasah berkembang sampai ke tingkat Perguruan Tinggi Agama Islam (Achmadi, 1992:110). Setelah
zaman
kemerdekaan,
kecenderungan
masyarakat
mendirikan madrasah tetap terus berlanjut walaupun dengan motivasi yang berbeda dengan apa yang dilakukan pada zaman penjajahan. Motivasi mendirikan madrasah pada zaman kemerdekaan adalah untuk mengisi kemerdekaan dan ikut berkiprah dalam pembangunan dengan tetap melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam. Dengan kenyataan bahwa perguruan agama Islam mayoritas berstatus swasta, ini berarti bahwa andil umat Islam dalam ikut mencerdaskan bangsa dan sekaligus meningkatkan ketaqwaan Tuhan Yang Maha Esa cukup besar. Oleh karena itu pantas apabila perhatian pemerintah dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan mutu perguruan agama Islam juga cukup besar. Dalam hal ini dapat kita lihat: 1) Pendidikan atau Perguruan Agama Tingkat Dasar dan Menengah Salah satu hal yang perlu dicatat mengenai perkembangan penyelenggaraan sekolah-sekolah agama adalah lahirnya Keppres No. 34 tahun 1974 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan serta Inpres No. 15 tahun 1974 tentang pelaksanaan Keppres tersebut, yang berisi sebagai berikut: a) Pembinaan pendidikan umum menjadi tanggung jawab Menteri P dan K sedang pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
b) Untuk melaksanakan Keppres No. 34 dan Inpres No. 15 tahun 1974
dengan
sebaik-baiknya
ada
kerja
sama
antara
Departemen P dan K, Departemen Negeri dan Departemen Agama. Sebagai pelaksanaan dari Keppres tersebut lahirlah Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri P dan K dan Menteri dalam Negeri tahun 1975 tentnag peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Maksud dan tujuan peningkatan mutu pendidikan pada madrasah adalah agar tingkat mata pelajaran umum dari madrasah dapat mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah-sekolah umum yang setingkat, sehingga hal tersebut dapat berimplikasi sebagai berikut: a) Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan Ijazah sekolah umum yang setingkat. b) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas. c) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Kebijakan semacam ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan agama Islam merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Adapun dalam pelaksanaannya sering mengalami berbagai hambatan dan kekurangan, itu masalah lain atau mungkin hanya sekedar masalah teknis (Achmadi, 1992:112). 2) Kelembagaan Pendidikan agama Islam Tingkat Tinggi
Berbicara tentang pendidikan agama Islam tingkat tinggi dewasa ini kiranya cukup representatif apabila berbicara mengenai Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Adapun perguruan Tinggi Agama Islam yang lain (swasta) hampir semuanya pada tahun 1992 menggunakan standart IAIN. Sedikit sejarah mengenai berdirinya IAIN adalah masyarakat Indonesia telah lama mencita-citakan adanya suatu perguruan tinggi Islam untuk menampung pemuda-pemuda dalam mendalami agama Islam. Cita-cita tersebut sebelumnya hanya dapat dicapai melalui pendidikan di Timur Tengah. Keinginan pemuda-pemuda timbul sebagai manifestasi kebutuhan masyarakat terhadap ahli agama Islam (ulama’) yang akan memimpin dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Untuk menampung keinginan masyarakat tersebut diadakan usaha mendirikan Pesantren Luhur oleh beberapa pemuka masyarakat yang diketuai oleh Dr. Satiman. Cita-cita pendirian Pesantren Luhur terus berkembang dan akhirnya menjelma dalam bentuk Sekolah Tinggi Islam (STI) pada bulan Juli 1945 di Jakarta. Karena
situasi
perjuangan
dalam
menegakkan
dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maka STI ikut hijrah ke Yogyakarta. Setelah ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, kemudian STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membuka tiga fakultas yaitu: Fakultas Ilmu
Agama,
Fakultas
Ekonomi,
dan
Fakultas
Hukum
dan
Kemasyarakatan (Achmadi, 1992:112-113). Berdasarkan peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950, didirikanlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang berasal dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia. Pendirian PTAIN ini merupakan anugerah pemerintah RI terhadap perjuangan umat Islam dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemudian di Jakarta didirikan pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan diintegrasikan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) berdasarkan peraturan Presiden No. 11 tahun 1960. Keberadaan IAIN tahun 1960 secara kuantitatif sejak berdirinya sampai sekarang telah berkembang menjadi 14 IAIN yang tersebar di seluruh Indonesia (pada tahun 1992). Untuk lebih memantapkan keberadaan IAIN sebagai perguruan tinggi negeri yang setara dengan perguruan tinggi lainnya pemerintah memandang perlu adanya dasar hukum yang lebih kokoh. Kalau pada awalnya berdirinya dasar hukum bagi keberadaan IAIN Peraturan Presiden, maka mulai tahun 1985 dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 33 th. 1985 tentang Pokok-pokok Organisasi Institut Agama Islam Negeri. Pokok-pokok Organisasi tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan penyelenggaraan dan pembinaan IAIN sebagai pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri. Dalam peraturan
pemerintah tersebut ditegaskan mengenai kedudukan dan tugas pokok IAIN yaitu kedudukan IAIN adalah unit organisasi di lingkungan Departemen Agama yang dipimpin oleh Rektor yang berada di bawah dan tanggung jawab langsung kepada Menteri Agama” (Pasal 2 ayat 2). Sedangkan tugas pokok IAIN adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di atas perguruan tingkat menengah yang berdasarkan kebudayaan dan kebangsaan Indonesia dan secara ilmiah memberikan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat di bidang ilmu pengetahuan agama Islam sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 3). Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 33 th. 1985 tersebut dimungkinkan kiprah IAIN semakin mantap dalam menekuni bidang tugasnya dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Hal tersebut dikarenakan IAIN memiliki posisi dan kesempatan yang sama dengan perguruan tinggi negeri lainnya. Dengan ini diharapkan pula mampu melahirkan intelektual yang bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam. Selama ini ada semacam kekhawatiran terhadap “disintegrasi” antara agama Islam (wahyu) dengan ilmu pengetahuan rasional. Hal tersebut mengakibatkan dikotomi sistem pendidikan Islam yang kemudian oleh para cendekiawan Islam (misalnya Raji’ AlFaruqi) harus diupayakan pengintegrasian kembali dengan langkah awal Islamisasi pengetahuan. Dari hal itu maka diharapkan
nantinya IAIN dapat menjembatani upaya besar dan luhur tersebut. karena (meminjam istilah Fazlur Rahman) justru pengembanpengemban ilmu pengetahuan keislamanlah yang harus memikul tanggung jawab utama untuk mengislamkan ilmu pengetahuan sekuler dengan upaya-upaya intelektual yang kreatif (Achmadi, 1992:114). 3) Pondok pesantren Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan penyebaran Islam telah lahir dan berkembang semenjak masa kedatangan Islam di Indonesia. Lazimnya pengertian pondok pesantren ialah lembaga pendidikan Islam dengan kyai sebagai tokoh sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya. Pendidikan yang diberikan di pondok pesantren adalah pendidikan agama dan akhlak (mental). Dalam bentuknya yang tradisional metode pengajarannya menggunakan metode waton atau sorogan dan bandongan. Dalam perkembangannya, sebagai akibat pengaruh sistem sekolah maka selanjutnya menggunakan bentuk madrasah dengan sistem klasikal. Walaupun sampai saat ini pondok pesantren sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan, namun pondok pesantren tetap memiliki ciri khusus yang berbeda dengan sekolah. Kekhususan pondok pesantren ialah memiliki ciri khusus, semacam kepribadian yang diwarnai oleh kharasteristik pribadi sang kyai, unsur-unsur pimpinan pesantren, bahkan juga aliran keagamaan tertentu yang dianut.
Dengan perkembangannya menjadi madrasah, Mukti Ali mengemukakan bahwa “Madrasah dalam pesantren adalah sistem pengajaran dan pendidikan agama yang paling baik.” Pernyataan demikian kiranya perlu diuji keabsahannya. Misalnya perlu ditinjau dari sudut apa hal yang dianggap paling baik, apakah karena ketundukannya pada kyai, taatnya menunaikan amalan-amalan ubudiyah, kezuhudannya, atau kemampuan membaca kitab kuning. Disini akan lebih realistis kalau dikatakan bahwa madrasah dalam pesantren memiliki kelebihan juga kekurangan sebagai sistem pendidikan agama. sehingga agar terhindar dari sikap memitoskan pesantren yang dapat menutup alternatif lain. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang jelas sejak beberapa tahun lalu sampai dewasa ini pemerintah cukup besar perhatian dan bantuannya kepada pondok pesantren. Hal ini karena pondok pesantren dinilai memiliki potensi dalam pembangunan (Achmadi, 1992:115). 3.
Pendidikan agama Islam dalam masyarakat Baik secara historis maupun sosiologis perkembangan Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh lembaga pendidikan dalam masyarakat terutama oleh pendidikan yang bersifat informal maupun non-formal dengan berbagai medianya, baik melalui komunikasi antara individu maupun secara kelompok. Di zaman modern ini media komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesanpesan agama semakin canggih, baik melalui media cetak seperti
koran, majalah dan berbagai penerbitan, juga melalui media elektronika seperti radio, TV dan film. Media tradisional yang masih tetap aktual adalah “Pengajian”. Pengajian dari berbagai kelompok; anak-anak, remaja dan dewasa yang dikelola oleh majelis ta’lim atau organisasi-organisasi Islam, bahkan secara resmi diselenggarakan oleh instansi pemerintah kelurahan sampai pusat. Selain itu, masjid sebagai salah satu pusat pendidikan Islam semakin banyak, hampir setiap kelurahan memiliki masjid. Oleh masyarakat masjid digunakan untuk beribadah dan untuk kegiatan pendidikan keagamaan lainnya. Semua yang tersebut diatas tumbuh berkembang sedemikian rupa atas dorongan dan prakarsa masyarakat sendiri. Ini berarti bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan agama sudah mengakar dan memasyarakat. 4. Pendidikan agama Islam dalam keluarga Asumsi bahwa keluarga atau orangtua sebagai pendidik pertama dan terutama akan tetap berlaku, selebihnya bagi pendidikan agama karena disanalah penanaman fondasi perasaan keagamaan dan nilainilai moralitas agama yang selanjutnya akan dikembangkan dan dikukuhkan melalui proses pendidikan selanjutnya. Karena Islam menekankan bahwa orang tualah yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan anak-anaknya termasuk pendidikan agamanya. Pada umumnya penanaman nilai-nilai agama bermula dari asuhan keluarga. Akan tetapi peranan lingkungan juga sangat berpengaruh. Dan
karena
pendidikan
itu
suatu
proses
bertahap
dan
berkesinambungan yang dimulai sejak kanak-kanak sampai dewasa bahkan sampai akhir hayat maka upaya mencipta keluarga favourable untuk pendidikan agama tidak boleh diabaikan (Achmadi, 1992:108118). Dengan adanya tanggapan positif tentang pendidikan agama Islam diranah Nasional menunjukkan bahwa pendidikan agama Islam merupakan suatu bidang ilmu yang perlu digarap dan dikembangkan baik oleh pemikir pendidikan Islam maupun para praktisi dalam menyongsong masa depan yang perlu diantisipasi sejak dini.
D. Pandangan Prof. Achmadi Tentang Dasar Dan Tujuan Pendidikan Agama Islam 1. Dasar Pendidikan Agama Islam Prof. Achmadi (1992:55) mengatakan bahwa pendidikan merupakan bagian sangat penting dari kehidupan dan, secara kodrati manusia adalah makhluk paedagogik. Maka dasar pendidikan yang dimaksud ialah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa dimana pendidikan itu berlaku. Karena yang dibicarakan pendidikan agama Islam maka pandangan hidup Islami atau pandangan hidup muslim yang pada hakekatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden, universal dan eternal (abadi). Berdasar pada nilai-nilai tersebut kedudukan ilmu pendidikan agama Islam sebagai ilmu yang normatif lebih dipertegas dan, karena
itu secara konseptual dapat dibedakan dengan ilmu pendidikan lain yang notabennya bukan berbasis Islam. Dasar pendidikan ialah pandangan yang mendasari seluruh aktivitas
pendidikan,
baik
dalam
rangka
penyusunan
teori,
perencanaan, maupun pelaksanaan pendidikan. Dalam hal ini adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa di mana pendidikan itu dilaksanakan. Oleh karena yang dibahas adalah pendidikan agama Islam, maka pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan ini adalah pandangan hidup yang Islami yang pada hakekatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden, universal dan abadi yang bersumber dari AlQur’an dan hadits yang shahih. Al-Qur’an dan Hadits mengandung banyak sekali nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan Islam. Diantara nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Hadits yang dipandang fundamental, esensial, dan dapat merangkum berbagai nilai yang lain. Sumber nilai dalam Islam ialah Al-Qur’an dan sunnah Rosul yang shahih. Karena banyaknya nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat di klarifikasi kedalam nilai dasar atau intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada dengan sendirinya bukan sebagai prasyarat atau alat bagi nilai yang lain. Mengingat begitu banyaknya nilai-nilai yang diajarkan oleh islam, maka perlu dipillih dan dibakukan nilai mana yang tergolong nilai
intrinsik, fundamental dan memiliki posisi paling tinggi. Nilai tersebut adalah tauhid atau lebih tepatnya iman tauhid (Achmadi, 1992:56). Dasar dasar pendidikan agama Islam antara lain: a. Tauhid Tauhid secara etimologi berarti pengakuan terhadap keesaan Allah.
Secara
teologik,
pengakuan
tersebut
mengandung
kesempurnaan kepercayaan kepada Allah dari dua segi, dari segi rububiyah dan segi uluhiyah. Tauhid rububiyah ialah pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta, Pemelihara, dan memiliki semua sifat kesempurnaan seperti dalam QS. Al-Ikhlas. Sedang tauhid uluhiyah ialah komitmen manusia kepada Allah sebagai satu-satunya Dzat yang dipuja dan disembah dan satu-satunya sumber nilai. Komitmen kepada Allah itu diwujudkan dalam sikap pasrah, tunduk dan patuh, sehingga seluruh amal perbuatan dan hidup mati seseorang bertauhid semata-mata hanya untuk Allah (Achmadi, 1987:77-78). Dalam disertasi Prof. Achmadi (1992:56) Formulasi tauhid yang paling singkat tetapi tegas ialah kalimah tayyibah “La ilaha illallah”, yang artinya tidak ada tuhan selain Allah. Kalimat tayyibah merupakan kalimat penegas dan pembebas bagi manusia dari segala pengkultusan dan penyembahan, penindasan dan perbudakan sesama makhluk/manusia dan menyadarkan manusia mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain. Tauhid sudah cukup bagi kehidupan umat manusia karena dalam pandangan
hidup Islam, tauhid merupakan fondasi bangunan ajaran Islam dan tauhid dinilai yang paling esensial dan sentral untuk seluruh gerak hidup Muslim. Begitu pula dengan pendidikan agama Islam dijiwai dengan norma-norma fundamental dan sekaligus dimotivasi dan diberi nilai tambah oleh kepentingan ‘ubudiyyah. b. Kemanusiaan Dasar-dasar pendidikan agama Islam lainnya yang merupakan penjabaran dari dasar tauhid, karena pada dasarnya seluruh nilai dalam Islam berpusat pada tauhid, yakni dasar kedua kemanusiaan yang merupakan pengakuan akan hakekat dan martabat manusia. Hak asasi seseorang harus dihargai dan dilindungi, untuk merealisasikan hak asasi tersebut tidak dibenarkan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain. Implikasinya dalam pendidikan adalah setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sam untuk memperoleh dan menyelenggarakan pendidikan. c. Kesatuan Umat Manusia Dasar yang ketiga yaitu kesatuan umat manusia. Banyak sekali Al-Qur’an menegaskan tentang kesatuan umat manusia. Bhineka tunggal ika yang pada dasarnya semua memiliki tujuan hidup untuk pengabdian kepada Allah. Dalam hubungannya dengan masalah global yang sedang marak sekarang ini seperti kejahatan dimana-mana, perang antar bangsa dan sebagainya maka Islam memberikan jalur penyelamat. Agama (Islam) tegak diatas kepercayaan kepada Dzat yang mutlak, yaitu Tuhan sebagai suatu
orde tertinggi dan homogin. Alam ini sendiri merupakan orde moral Dzat yang mutlak dan merupakan norma pokok dan ideal. Dalam perspektif inilah Islam tampil sebagai agama keyakinan dan keseimbangan. d. Tawazun Dan dasar keempat adalah tawazun atau keseimbangan, secara khusus prinsip keseimbangan terlihat pada penciptaan dari Allah terhadap alam. Prinsip keseimbangan yang harus diperjuangkan dalam kehidupan khususnya melalui pendidikan antara lain; keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat, keseimbangan kebutuhan jasmani dan rohani, kepentingan individu dan sosial, dan keseimbangan antara ilmu dan amal. e. Rahmatan Lil ‘alamin Dan dasar yang terakhir adalah rahmatan lil’alamin, dalam aktivitas
pendidikan
yang
salah
satu
sasarannya
adalah
pengembangan ilmu pengetahuan, Islam berpandangan bahwa apapun yang dikembangkan tidak terlepas dari nilai Ilahi (Achmadi, 1992:57-59).
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam Berbicara tentang dasar pendidikan maka menjadi satu kesatuan mengenai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah suatu perubahan yang diharapkan pada peserta didik setelah mengalami proses pendidikan baik dari tingkah laku individu dan kehidupan
pribadi maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu itu hidup. Tentu saja perubahan yang diinginkan ialah menuju ke arah perubahan yang lebih baik. Dalam Islam pun juga menganjurkan agar manusia mengubah diri jika menginginkan Allah mengubah nasibnya. Oleh karena itu usaha pendidikan dalam rangka mengubah dan mengembangkan manusia ke arah kesempurnaan keberadaannya dibimbing dan diarahkan sesuai dengan konsepsi Tuhan yang memiliki kebenaran dan kebaikan mutlak dan sesuai dengan fitarh manusia. Berdasarkan dari pengertian tujuan pendidikan diatas, maka tujuan pendidikan agama Islam menurut Achmadi dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tujuan tertinggi/terakhir, tujuan umum dan tujuan khusus. a. Tujuan tertingi/terakhir ini bersifat mutlak, yang sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah. Adapun tujuan tersebut adalah 1) Menjadi hamba Allah yang paling bertaqwa (beribadah kepada Allah)
dalam
hal
ini,
pendidikan
ditujukan
untuk
mengantarkan peserta didik yang senantiasa beribadah kepada Allah. Tentu saja ibadah dalam arti yang seluas-luasnya, tidak hanya ibadah yang bersifat ritual, untuk itu pendidikan Islam harus
mencakup
dua
hal;
pertama,
pendidikan
harus
memungkinkan manusia mengerti Tuhannya sedemikian rupa (ma’rifatullah), sehingga semua ibadahnya dilakukan dengan
penuh penghayatan akan keesaan dan kebesaran Allah. Kedua, pendidikan harus menggerakkan kemampuan-kemampuan manusia untuk memahami ilmu Allah yang tersirat dalam setiap
fenomena
di
alam
semesta,
menggali
untuk
dimanfaatkan dan menggunakan semua ciptaan Allah untuk mempertahankan iman dan menopang agama Allah. 2) Mengantarkan peserta didik menjadi Khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di bumi) yang mampu memakmurkan atau membudayakan alam sekitar dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidup. 3) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia atau di akhirat, baik individu maupun masyarakat. Dengan demikian tujuan pendidikan agama Islam tertinggi tersebut dapat
dicapai
dengan
ilmu
sebagaimana
ditegaskan
oleh
Rosulallah:
)من سلك طر يقا يلتمس فيه علما سهل هللا له طر يقا ايل اجلنه (رواه البخاري “Barang siapa meniti jalan untuk mencari ilmu dimudahkan oleh Allah jalan ke surga.” Kemudian dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah 11 disebutkan:
.. ير فع هللا الذ ين آ منو ا منكم والذ ين آو تو العلم د ر ا جا ت “..... Allah meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.” Tujuan tertinggi tersebut diyakini sebagai sesuatu yang ideal dan dapat memotivasi usaha pendidikan dan dapat menjadikan
aktivitas pendidikan menjadi lebih bermakna (Achmadi, 1992:63-65). b. Tujuan umum berbeda dengan tujuan tertinggi yang mengutamakan pendekatan filosofik, tujuan umum lebih bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik. Yang dimaksud dengan tujuan umum pendidikan disini adalah untuk mengaktualisasikan potensi atau sumber daya insani secara seimbang dan optimal. Dikatakan umum karena berlaku bagi siapapun tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan juga menyangkut diri peserta didik secara total. Dengan kemampuan mengaktualisasikan potensi dan sumber daya insani berarti peserta didik telah mampu merealisasikan diri (self realisation) atau kepribadian muslim. Self realisation sebagai tujuan pendidikan agama Islam yang ingin dicapai dan dapat dilihat dari tiga realitas: realitas subjektif yaitu nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits
yang
menimbulkan
kepribadian,
realitas
subjektif
mempunyai kapasitas akal, perasaan, kemampuan menangkap tanda-tanda ayat Allah, mengenal iman, taqwa, ihsan dan tawakkal, dan realitas objektif situasi dan kondisi dalam hidup sehari-hari yang secara konkret dihadapi oleh setiap orang. Realitas simbolik; mengarah
pada
pencapaian
pertumbuhan
keseimbangan
kepribadian intelektual, jiwa rasional, dan penghayatan lahir.
Realitas tersebut harus diiringi dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan Assunnah (Achmadi, 1992:66-68). c. Tujuan khusus menurut Achmadi (1992:70) adalah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/terakhir dan tujuan umum dalam pendidikan agama Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama masih berpijak pada kerangka tujuan tertinggi dan tujuan umum. Pengkhususan tujuan dapat didasarkan pada: 1) Kultur dan cita-cita suatu bangsa dimana pendidikan di selenggarakan. 2) Minat, bakat, dan kesanggupan peserta didik. 3) Tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu (mengikuti perkembangan zaman) Apapun yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan secara khusus tetap harus mengacu pada tujuan tertinggi/terakhir dan senantiasa dijiwai dengan akhlaqul karimah, karena pendidikan budi pekerti (akhlaq) adalah jiwa dari pendidikan agama Islam.
E. Pandangan Prof. Achmadi Tentang Pendekatan Dalam Pendidikan Agama Islam Pendekatan (approach) dalam bahasa inggris diartikan dengan come near (menghampiri) go to (jalan ke) way path (arti jalan) dalam pengertian ini approach berarti cara menghampiri atau mendatangi
sesuatu. Pendekatan bisa juga diartikan cara pandang terhadap sebuah objek persoalan, dimana cara pandang itu ialah cara pandang dalam konteks lebih luas (Ramayulis, 2010:129). Pendekatan adalah segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik untuk menunjang keefektifan keefisienan dalam proses pembelajaran materi tertentu. Dalam hal ini seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan merupakan pandangan falsafi terhadap subjek matter yang harus diajarkan, yang urutan selanjutnya melahirkan metode mengajar, dan dalam pelaksanaannya dijabarkan dalam bentuk teknik penyajian pembelajaran (Ramayulis, 2010:129). Dalam Studi Agama di Belanda (Achmadi, 1994) dibicarakan tentang pengembangan dan pendekatan agama Kristen yang merupakan pokok studi agama pada fakultas agama (teologi) di Belanda. Pengembangan dan pendekatan studi agama yang berproses sampai saat ini mendasari studi agama yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Studi agama di lingkungan Kristen pada awalnya hanya digarap oleh ilmu teologi dengan pokok kajian terbatas sekitar kitab suci (perjanjian lama dan baru). Setelah ilmu-ilmu sosial dan humaniora berkembang, maka studi agama juga berkembang dan lazimnya dikaitkan dengan humaniora. Dengan pendekatan interdisipliner berkembanglah
cabang-cabang ilmu agama seperti sejarah agama, sosiologi agama, psikologi agama dan perbandingan agama. Perubahan perspektif dalam kajian Islam Belanda adalah sesudah perang dunia ke II, Belanda mengalami kemunduran yang mencolok dalam hasil kajian Islam Indonesia. Salah satu sebabnya adalah dihapuskannya program kajian Indologi di universitas Leiden. Baru ada lagi setelah kajian Islam kontemporer menjadi pokok tesis teologi di Nijmegen oleh Karel A. Steenbrink (1974) dan tesis antropologi di Leiden oleh C. Van Dijk (1981) (Achmadi, 1994:59). Namun mulai tampak bangkitnya generasi baru teologi Protestan dan Katolik Roma yang memiliki minat ilmiah terhadap kajian Islam dan mulai menyingkirkan semua praduga dan stereotip lama. Diawali dengan Bijle Feld, dalam disertasinya di Utrecht tahun 1959, yang berjudul “Islam as A Post Christian Religion, A Study of The Teological Judgement of Islam, Especially in The Twentieth Century” (Islam sebagai agama pasca Kristen, sebuah kajian tentang penilaian teologis Islam, terutama abad kedua puluh). Bijlefeld, D. S. Attema seorang teolog reformis yang telah mempelajari bahasa Semit dan Islam di Leiden, menulis sebuah buku yang objektif dan ilmiah tentang Al-Qur’an dan ditujukan kepada khalayak pembaca yang lebih luas. Nama lain yang sejalan dengan Attema adalah A. Wessels dan F.L. Bakker. Dari pihak Katolik; J.J.A.M. Houben, seorang pakar Islam dan penggantinya J.R.T.M. Peters. Keduanya menulis
tentang teologi Mu’tazilah dan kajian Al-Qur’an. Juga Karel A. Steenbrink yang telah mengajar beberapa tahun di Indonesia. Singkatnya studi Islam di Belanda sesudah perang dunia ke II terjadi perubahan dan perkembangan orientasi studi Islam, yang pada dasarnya lebih objektif dibandingkan dengan sebelumnya. Jika sebelum perang dunia ke II diwarnai sikap negatif, kini sikap itu justru ditentang, atas dasar wawasan pluralisme agama dan koeksistensi agama-agama. Namun sikap negatif tersebut sampai sekarang belum sepenuhnya hilang karena masih banyak orang/ tokoh-tokoh masyarakat yang menampilkan sikap
negatifnya
terhadap
Islam
demi
kepentingan
partai
atau
kelompoknya (Achmadi, 1994: 59-60). Bidang-bidang baru studi Islam dan pendekatannya sekarang ini yang merupakan perhatian para sarjana Belanda dalam studi Islam adalah studi regional, terutama Timur Tengah, Mesir, Magribi dan kelompok muslim minoritas di Spanyol dan di Belanda sendiri. Ciri-ciri yang ditekankan dalam pendekatan studi Islam ini adalah: 1.
Penekanan pada kerjasama antara pengkaji dari berbagai disiplin dan menggunakan pendekatan interdisipliner.
2.
Mengutamakan kajian-kajian masalah kontemporer. Setelah melakukan penelitian “Studi Agama di Belanda” pada
tahun 1994, maka Achmadi merangkumkan beberapa pendekatan (dalam bukunya Ideologi Pendidikan Islam, tahun 2010) yang dapat digunakan dalam pendidikan agama Islam. Penekatan tersebut yaitu: 1. Pendekatan Humanis
Essensi pendekatan humanistik religius adalah mengajarkan keimanan tidak semata-mata merujuk teks kitab suci, tetapi melalui pengalaman hidup dengan menghadirkan Tuhan dalam mengatasi persoalan individu dan sosial. Menurut Brubacher, para pendidik agama yang humanis cenderung melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui pengalaman manusia. Seorang yang benar-benar beriman kepada Tuhan, ia menguji pengetahuan dan pemahamannya tentang Tuhan melalui pengalamannya sendiri. Seluruh potensi insaniyah-nya (intelektual dan spiritualnya) didayagunakan untuk memahami dan menghayati kehadiran Tuhan (Achmadi, 2010:202). Dalam mengajarkan keimanan misalnya dapat dilakukan dengan mengenal Asmaul Husna Tuhan, misalnya ar-Rahman dan ar-Rahim, dikaitkan dengan dengan pengalaman hidup pribadi. Betapa besar kasih sayang yang Tuhan berikan dan betapa luhur nilai kasih sayang dalam kehidupan bersama karena dapat mewujudkan perdamaian sebagaimana sejatinya makna Islam (damai). Pendekatan ini sama dengan kaidah psikologi agama tentang teori agama sebagai nilai dan pencarian arti hidup (Achmadi, 2010:203). Karena religiusitas banyak berkaitan dengan perasaan, seperti rasa tentram, damai, tenang, syahdu dan bahagia karena merasa dekat dengan Tuhan Yang Maha Kasih Sayang (ar-Rahman dan ar-Rahim), maka pendekatan rasa, atau pendekatan hati menjadi sangat penting. Esensi pendekatan hati adalah dimulai dari hati pendidik sendiri yaitu dengan keyakinan atas apa yang diajarkan dan ketulusan dalam
mengajarkannya. Seperti pepatah mengatakan “hanya api yang bisa menyalakan kayu, hanya kayu yang menyala yang dapat menyalakan kayu-kayu yang lain. Hanya yang haq yang bisa meyakinkan hati, hanya hati yang yakin yang bisa meyakinkan hati-hati yang lain.” (Achmadi, 2010:203-204). 2. Pendekatan Rasional Kritis Pendekatan humanistik tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan rasional. Rasionalitas keberagaman seseorang dapat diukur dari seberapa besar kadar penggunaan akal dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dalam ajaran agama ada unsur-unsur dogma yang harus dikerjakan secara sami’na waatho’na (diterima dan dilaksanakan tanpa kritik). Dengan payung dogma terkadang mendorong pendidikan agama dilakukan dengan taklid, penerimaan agama yang hanya didasarkan taklid dapat mengakibatkan split personality atau frustasi apabila berhadapan dengan perubahan sosial dan realita kehidupan yang bertentangan dengan pemahaman dan keyakinannya (Achmadi, 2010:204). Pendekatan rasionalis menurut Ramayulis dalam Metodologi Pendidikan
Agama
Islam,
adalah
suatu
pendekatan
yang
mempergunakan rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebesaran Allah. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah terletak pada akal, manusia mempunyai akal sedang makhluk lain tidak. Dengan kekuatan akalnya manusia dapat membedakan perbuatan yang
baik atau buruk serta dengan akal pula manusia dapat membuktikan dan membenarkan adanya Allah. Walaupun disadari keterbatasan akal untuk memikirkan dan memecahkan sesuatu tetapi diyakini pula bahwa dengan akal manusia dapat mencapai ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh karena itu sudah semestinya akal akal dijadikan alat untuk membuktikan kebenaran ajaran agama, dengan demikian keyakinan terhadap agama yang dianut semakin kokoh (2010:132). 3. Pendekatan Fungsional Pengertian fungsional adalah usaha memberikan materi agama yang menekankan kepada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari (Ramayulis, 2010:133). Seperti ciri dari keberagaman masyarakat modern adalah keberagaman yang fungsional karena salah satu ciri pemikiran modern ialah mengukur kebaikan sesuatu dari aspek fungsional secara riil bagi kehidupan. Sesuatu yang dianggap tidak fungsional lebih baik ditinggalkan. Pengajaran agama yang hanya terfokus pada doktrin-doktrin agama atau kaidah-kaidah agama tanpa menekankan pentingnya hikmah dibalik kaidah tersebut menjadikan agama tidak fungsional (Achmadi, 2010:207). Menurut Prof. Achmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam (2010:208), sesungguhnya seluruh ajaran Islam diyakini memiliki hikmah (fungsional) bagi kehidupan individu dan sosial karena ia adalah petunjuk dan pedoman hidup. Satu pendapat dengan Achmadi, Ramayulis mengatakan bahwa Ilmu agama yang dipelajari oleh peserta
didik disekolah bukan hanya sekedar melatih otak tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan peserta didik, baik individu maupun dalam kehidupan sosial (2010:133). Dengan pendekatan humanis, rasional kritis dan fungsional tersebut dimungkinkan pendidikan agama dapat memberikan ruang gerak bagi proses liberalisasi, humanisasi dan transendensi dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama. Itulah pendidikan Islam transformatif sebagai sebuah strategi pendidikan agama yang antisipatoris. Kedewasaan beragama yang dicapai melalui proses ini tidak perlu dikhawatirkan terjadi pendangkalan agama, tetapi justru akan tampil dalam perilaku keberagamaan yang arif dalam menghadapi perubahan dan pluralitas budaya (Achmadi, 2010:209). 4. Pendekatan Kultural Prof. Achmadi (2010:209-210) mengatakan, Pendidikan agama Islam dengan pendekatan kultural artinya pendidikan dilakukan tanpa menggunakan label Islam, akan tetapi lebih menekankan pada pengalaman nilai-nilai universal yang menjadi kebutuhan manusia yang berlaku di masyarakat. Kegiatan dapat dilakukan secara fleksibel, yang berupa Pertama, dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan tradisi masyarakat yang sudah berkembang sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, membudayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan dalam semua bidang kehidupan masyarakat sangat diperlukan sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan agama, meskipun tanpa label Islam.
Karena pada hakekatnya konsep dan pengalaman nilai luhur diajarkan oleh Islam.
F. Pandangan Prof. Achmadi Tentang Materi Pendidikan Agama Islam Tujuan pendidikan agama Islam sebagaimana telah dibicarakan terdahulu tidak akan tercapai tanpa adanya isi atau materi pendidikan yang dipilih dan diorganisasikan sedemikian rupa oleh pendidik. Dalam lembaga pendidikan formal atau semi formal pengorganisasian isi pendidikan sering disebut dengan kurikulum. Dalam lembaga informal seperti pendidikan dalam keluarga dan masyarakat tidak memerlukan pengorganisasian seperti di lembaga pendidikan formal, tetapi lebih ditekankan pada proses internalisasi dan transformasi nilai melalui interaksi edukatif antara orang tua dengan anak atau sesama anggota keluarga. Sebuah keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral akan memberikan landasan moral yang kokoh pada anak-anak yang sedang tumbuh berkembang. Kurikulum inti pendidikan agama Islam harus memuat materi yang dapat mengantarkan subjek didik ke tujuan pendidikan tertinggi atau terakhir yaitu: menguatkan keimanan dan beribadah kepada Allah, mampu berperan sebagai pemimpin dan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila seseorang memiliki kualitas tertentu, dengan variabel utama sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yaitu: manusia yang beriman, amal shalih, taqwa dan ulul albab. Oleh karena itu dengan mengacu pada kualitas manusia, isi pendidikan Islam
secara garis besar terdiri dari dua unsur pokok yaitu nilai-nilai moral yang terangkum dalam pendidikan akhlak dan ilmu pengetahuan (Achmadi, 2010:121-122). Sesungguhnya semua pendidikan mengakses kedua unsur pokok tersebut karena pada dasarnya pendidikan adalah kegiatan yang bersifat normatif dengan melakukan transfer atau internalisasi nilai dan ilmu pengetahuan. Yang membedakan pendidikan agama Islam dan pendidikan lainnya terletak pada landasan aksiologi dan epistimologinya, yang dalam Islam keduanya tidak dapat dipisahkan. Nilai diterima sebagai kebenaran atas dasar kesadaran (pertimbangan hati dan akal sehat) sedangkan pengembangan dan aplikasi ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nilai. Nilai berkaitan dengan masalah baik dan buruk. Tolak ukur kebenaran sebuah nilai dalam perspektif filsafat adalah aksiologi. Perbedaan pandangan tentang aksiologi akan membedakan ukuran baikburuknya sesuatu. Berdasarkan tinjauan aksiologi, nilai dapat dibagi menjadi nilai mutlak dan nilai relatif, nilai intrinsik (dasar) dan nilai instrumental. Nilai mutlak bersifat abadi, tidak mengalami perubahan dan tidak tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Nilai relatif tergantung kondisi dan situasi oleh karenanya selalu berubah. Nilai intrinsik ada dengan sendirinya dan tidak menjadi prasarat bagi nilai yang lain. Sebaliknya, nilai instrumental adanya berfungsi sebagai syarat bagi nilai intrinsik. Ilmu pengetahuan sebagai isi pendidikan agama Islam adalah ilmu yang telah digelar oleh Allah lewat ayat-ayat Nya (qouliyah dan kauniyah)
memang dipersiapkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi dorongan asasi manusia yaitu keingintahuan terhadap segala sesuatu. Menurut Ibnu Khaldun ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Secara teologis, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang merupakan implementasi fitrah keingintahuan itu pada hakekatnya proses identifikasi diri dengan asmaul husna “al-a’limu” (Allah yang maha tahu). Dengan identifikasi diri tersebut berarti manusia telah mempersiapkan dirinya untuk menunaikan amanah kekhalifahannya. Implikasi integrasi nilai dan ilmu pengetahuan, adalah keterpaduan antara pendidikan agama yang sarat nilai dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan lain sebagai muatan kurikulum pendidikan Islam. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu tidak ada yang dikotomis apalagi kontradiksi antara pengetahuan agama yang dianggap sarat nilai dengan ilmu pengetahuan umum yang menurut pandangan sekuler bebas nilai (Achmadi, 2010:127-129). Walaupun Islam mendorong kreativitas pemeluknya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, akan tetapi pada masa Nabi Muhammad saw, sampai masa dinasti umayah ilmu pengetahuan belum berkembang pesat. Pada masa Nabi pendidikan Islam masih terfokus pada usaha untuk memahamkan menanamkan prinsip-prinsip ajaran Islam (aqidah dan syariah) sebagai pedoman hidup yang waktu itu secara langsung telah dijawab dan diselesaikan oleh Nabi. Pada masa khulafaurrasyidin dan dinasti Umayah lebih banyak disibukkan dengan
pemecahan masalah politik dan perluasan wilayah Islam, sehingga belum sempat menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa pada masa-masa awal itu umat Islam belum memiliki patron ilmu pengetahuan. Baru setelah zaman Abbasiyah ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu berkembang. Perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dari perkenalan dengan budaya Helenisme, kemudian penerjemahan karyakarya klasik ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, Syiria, Sanskrit dan bahasa Pahlavi ke dalam bahasa Arab yang berlangsung dari tahun 750900 M., sejak masa Al-Mansyur (754-775), Harun Ar-Rasyid (786-809), dan sampai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833). Inilah abad penerjemahan sebagai upaya meletakkan dasar abadi pencerahan Islam kawasan Timur dan bertahan hingga melampaui abad ke sepuluh ke sebelas. Sejak itu berkembanglah ilmu pengetahuan Islam dalam berbagai disiplin, seperti ilmu-ilmu keagamaan, humaniora, dan ilmu kealaman. Itulah yang disebut masa kejayaan peradaban Islam (abad 8 sampai 11). Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi karena didukung oleh adanya atmosfer kebebasan berfikir tetapi tetap konsen pada agamanya, yang menumbuhkan semangat ijtihad dengan bertujuan untuk membela agamanya. Dari hasil identifikasi Fachruddin yang dikutip oleh Noeng Muhadjir, era ini disebut era kosmopolit di mana sosok umat Islam tampil komprehensif dengan kepribadian integratif dan inklusif, terbuka komunikasi keilmuan dari manapun asalnya. Karena madzhab teologi yang dominan pada kurun itu Mu’tazilah, yang menurut Harun Nasution
disebut madzhab rasionalisme Islam, maka tidak salah jika epistemologi yang digunakan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan dapat disebut teosentrisme-rasional (Achmadi, 2010:129-130). Namun setelah abad ke 11 sampai 13 mulai ada gejala kemunduran peradaban Islam secara perlahan-lahan sejak dominasi madzhab Mu’tazilah beralih ke madzhab Al-Asy’ariyah. Dengan madrasah Nidzamiyah yang berpusat di Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan, orientasi pengembangan ilmu pengetahuan juga berubah dari ilmu-ilmu kealaman ke ilmu-ilmu keagamaan. Dengan Al-Ghazali yang lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf, pengembangan ilmu pengetahuan lebih terfokus pada
ilmu-ilmu
keagamaan.
Dengan
menggunakan
epistemologi
teosentris-spiritual intuitif, ilmu-ilmu rasional-empiris yang sekarang disebut ilmu umum secara perlahan tapi pasti, akhirnya terpinggirkan. Berdasarkan penelitian disertasi Abdurrahman Mas’ud era Nidzamiyah merupakan akar sejarah berkembangnya dikotomi pendidikan agama Islam. Sedangkan menurut Noeng Muhadjir era Nidzamiyah bukan era keemasan, tetapi justru merupakan era eksklusif. Proses kemunduran peradaban Islam terus berlanjut dan benar-benar mengalami stagnasi setelah penghancuran total pusat peradaban Islam di Timur dengan jatuhnya Baghdad di tangan Hulagu Khan (1258) dan kejatuhan orangorang Muwahid di Spanyol (1268) di tangan tentara Salib. Namun di masa kemunduran sesungguhnya juga masih muncul ilmuan muslim yang orisinal yaitu Ibnu Khaldun (1332-1406) ahli teori sejarah, sebagai pengisi kekosongan intelektual Islam. Sejak dunia Islam memasuki masa
kemunduran yang panjang, yang diwarnai oleh suasana kebekuan ijtihad dan kemandekan ilmu pengetahuan. Pamor keilmuan beralih dari dunia Islam ke dunia Barat. Secara terus menerus dunia barat mampu mengembangkan IPTEKnya yang sekuler sampai sekarang dan dunia Islam berada di bawah dominasinya. Sejak itu pula apa yang disebut ilmu Islam hanya terbatas pada ilmu agama, sedang ilmu pengetahuan modern yang datang dari Barat dianggap ilmu pengetahuan sekuler. Dikotomi ilmu agama dan umum (sekuler) yang akar sejarahnya telah dimulai sejak era Nidzamiyah semakin eksplisit. Pada awal kebangkitan Islam muncul berbagai tanggapan terhadap ilmu pengetahuan modern, ada yang bersikap antagonis dan menolak, ada pula yang bersikap akomodatif dan menerima. Muhammad Abduh adalah salah seorang tokoh pembaharu yang menerima ilmu pengetahuan modern dengan mengintegrasikannya dalam kurikulum Al-Azhar. Di Indonesia model pengintegrasian ilmu pengetahuan umum dan agama seperti yang dilakukan Muhammad Abduh diikuti oleh K.H. Ahmad Dahlan pendiri Perserikatan Muhammadiyah (1912). Kemudian akhir abad XX, tepatnya dalam dua dekade terakhir ini berkembang upaya pengintegrasian ilmu pengetahuan umum dan agama dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh cendekiawan Muslim seperti Ismail Raji AlFaruqi, Naquib Al-Atas dan Sayyed Husein Nasr. Terlepas dari setuju atau tidak dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, namun semangatnya telah mendorong diselenggarakannya Konferensi Internasional Pendidikan
Islam pertama yang berlangsung di Mekkah bulan April 1977 (Achmadi, 2010:130-133). Dari uraian diatas, pokok pembahasan berikutnya adalah klasifikasi ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para tokoh dan dijelaskan secara lebih rinci dalam bukunya Prof. Achmadi pada bahasan “Isi Pendidikan agama Islam” yang berisi antara lain: 1. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Karena luasnya ilmu Allah, maka dalam proses pembelajaran perlu diklasifikasikan
dan
diatur
pentahapannya
dalam
kurikulum.
Klasifikasi ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan adalah hasil rumusan Konperensi Internasional Pendidikan Islam pertama di Mekah tahun 1977, yang membagi ilmu pengetahuan menjadi dua kategori: Pertama: Pengetahuan abadi (perenial knowledge) yang bersumber pada dan berdasarkan wahyu Ilahi yang diturunkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua: Pengetahuan yang diperoleh (acquired knowledge) termasuk ilmu-ilmu sosial, alam dan terapan yang rentan terhadap pertumbuhan kuantitatif dan pelipatgandaan. Variasi terbatas dan pinjaman lintas budaya dipertahankan sejauh sesuai dengan syari’ah sebagai sumber nilai (Achmadi, 1987:141). Kedua kategori tersebut digunakan untuk membedakan cara atau proses perolehannya. Yang pertama diperoleh secara langsung melalui wahyu Allah, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang mengandung nilai-nilai
kebenaran
mutlak
sebagai
pedoman
hidup
untuk
berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Ilmu pengetahuan perenial knowledge dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan dan penentuan keabsahan ilmu-ilmu empirik atau acquired knowledge. karena kebenaran dari perenial knowledge bersifat universal dan tidak mengalami perubahan. Sedangkan yang kedua diperoleh melalui kajian empirik terhadap fenomena yang ada pada diri manusia sendiri dan alam sekitar yang pada hakekatnya merupakan sunnah Allah yang tidak tertulis. Oleh karena itu ilmu ini selalu berubah dan berkembang, keabsahan penemuan yang terdahulu dapat dibatalkan oleh keabsahan penemuan berikutnya (Achmadi, 1992:78-79). Hubungan antara ilmu yang pertama dan kedua terletak pada landasan dan tujuannya, yaitu ibadah kepada Allah. Sedang dari segi fungsi, perenial knowledge bersifat memberikan landasan nilai. Dan untuk acquired knowledge adalah memperkaya penemuan-penemuan empirik yang berguna dalam mengatasi berbagai problema kehidupan manusia.
Terpadunya
kedua
fungsi
tersebut
dalam
proses
pengembangan ilmu dan aplikasi dalam kehidupan akan meningkatkan kualitas manusia dan dengan wawasan keilmuan demikian akan dapat dihindarkan terjadi dikotomi sistem pendidikan agama Islam (Achmadi, 1992:79-81) 2. Pengembangan dan Penjabaran Ilmu Pengetahuan a. Ilmu Pengetahuan Abadi yang Bersumber Al-Qur’an dan Sunnah
Secara esensial ilmu tidak mengalami perkembangan dan perubahan.
Tetapi
dalam
mengalami
perubahan
dan
penjabaran
dan
perkembangan
pemahamannya sesuai
dengan
perkembangan zaman. Secara garis besar menurut Achmadi (1992:81) isi dari kandungan ilmu pengetahuan perenial meliputi: 1) Aqidah Achmadi dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam 1 (1987:144) berpendapat bahwa Aqidah secara etimologi berarti credo, keyakinan hidup dan secara khusus berarti Iman yakni kepercayaan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Objek materi aqidah menurut Achmadi pembahasannya mengenai arkanul iman. Karena keimanan atau aqidah merupakan landasan paling utama bagi hidup dan kehidupan manusia yang akan memberikan motivasi dan pengendali aktivitas manusia. Dengan begitu harus ditanamkan nilai-nilai aqidah kepada peserta didik sejak dini. 2) Syari’ah Secara etimologi berarti jalan, dan secara terminologi berarti suatu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan antara manusia dengan dengan tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam. Menurut Yusuf Khumaini dalam perkuliahan Studi Keislaman II tahun 2012, syariah adalah hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal’alam. Syariah adalah bagaimana hubungan manusia dengan Allah dengan
cara melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti; sholat, puasa, dan lain-lain. Manusia dengan manusia itu sendiri dengan cara tolong menolong untuk perdamaian umum seperti; shodaqoh dan lain sebagainya, dan manusia dengan alam sekitar dengan cara menjaga dan memanfaat dengan baik segala sesuatu yang berada di alam. 3) Akhlak Akhlak adalah segala tuntunan dan ketentuan Allah yang membimbing watak, sikap, dan tingkah laku manusia agar bernilai luhur sesuai dengan fitrahnya. Secara rinci akhlak dalam Islam dibagi menjadi empat yaitu: akhlak manusia terhadap Allah, akhlak manusia terhadap diri sendiri, akhlak manusia terhadap sesama manusia, dan akhlak manusia terhadap alam (flora dan fauna). Syari’ah termasuk wilayah dari akhlak, sifat akhlak adalah hanya mengetuk hati nurani manusia untuk menentukan sikap dan perbuatan sesuai dengan bimbingan Ilahi. Hanya iman yang dapat memanggil hati nurani manusia untuk menerima dan melakukan ketentuan Allah secara ikhlas. Akhlak yang membentuk watak dan watak yang telah dijiwai oleh akhlak islami akan memperkokoh iman. Demikian hubungan timbal balik dari iman, akhlak dan watak yang merupakan
tugas
pendidikan
agama
mengembangkannya (Achmadi, 1987:147-148).
Islam
untuk
Sampai batas batas tertentu aqidah, syari’ah dan akhlak wajib dimiliki setiap orang Islam karena sikap dan tindakan seorang muslim sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari. b. Ilmu Pengetahuan yang Diperoleh Wilayah kajian ilmu ini meliputi diri manusia sendiri, sejarah dan alam semesta. Menjabaran ilmu ini menggunakan hasil rumusan konperensi Dunia Pertama tentang pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977 sebagai berikut: 1) Imajinatif (seni): seni dan arsitektur Islam; bahasa, sastra 2) Ilmu-ilmu
intelektual:
studi
sosial
(teoritik),
filsafat;
pendidikan ekonomi, sejarah, ilmu politik, peradaban Islam (termasuk paham-paham Islam tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial, perang dan damai), geografi, sosiologi, linguistik (Islamisasi bahasa), psikologi (dengan acuan khusus pada konsep Islam sebagaimana ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan dianalisa dan dijelaskan oleh pemikir-pemikir Muslim awal dan sufi-sufi besar); antropologi (sebagaiman dapat ditarik dalam Al-Qur’an dan Sunnah); 3) Ilmu-ilmu
alam:
(teoritik)
filsafat
ilmu
pengetahuan,
matematika, statistik, fisika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan, astronomi dan ilmu ruang dan sebagainya. 4) Ilmu terapan: rekayasa dan teknologi (sipil, mesin dan lain sebagainya); obat-obatan (tibb, aleopati, fauna), dan lain sebagainya.
5) Ilmu-ilmu praktis: perdagangan, administrasi umum dan sebgainya, ilmu kepustakaan, ilmu kerumahtanggaan, ilmu komunikasi (komunikasi massa, dan sebagainya).
BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROF. ACHMADI DENGAN KONTEKS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKARANG
Abad XII ini diperkirakan oleh Abd Aziz Albone (2009:42) mengalami transformasi dalam segala aspek kehidupan manusia. Proses transformasi itu dapat dirangkum dengan istilah globalisasi. Pengertian umum globalisasi merupakan yang baru masuk kajian dunia universal pada tahun 80-an, pertamatama merupakan suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Ronald Robertson dari University of Pittsburgh. Menurut Abd Aziz Albone dalam bukunya “Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif Multikulturalisme” pengaruh globalisasi telah melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Untuk itu timbul upaya menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan keragaman budaya di masyarakat. Ketika masyarakat Indonesia dilanda gelombang globalisasi di dalam dunia yang terbuka dan rata (flat) maka orang mulai berbincang dan membandingkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Membandingkannya dengan bangsa yang lain tidak terlepas dari ukuran atau standar yang digunakan dalam perbandingan itu. Ada yang mengambil ukuran modernisasi yang cenderung menggunakan standar kehidupan Barat, baik dalam produk barang industri maupun servis. Dunia pendidikan tidak terlepas dari goncangan arus standarisasi tersebut. kualitas
pendidikan Indonesia dianggap berada di bawah standar dengan menggunakan standar dengan epistema politik – kesatuan nasional, epistema sosial budaya – kohesi sosial dari suatu masyarakat, dan khususnya epistema paedagogis yaitu mengenai kepentingan peserta didik (Tilaar, 2012:x). Terkait dengan pendidikan agama Islam, secara umum tantangan yang dihadapi PAI di era global ini adalah bagaimana pendidikan Islam dapat mendidik dan menghasilkan siswa yang memiliki daya saing tinggi (qualified) atau justru “mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan yang penuh dengan kompetisi dalam berbagai sektor, baik sektor riil maupun moneter (Albone, 2009:45-46). Dalam relevansi pemikiran pendidikan agama Islam Prof. Achmadi dengan konteks pendidikan agama Islam sekarang, penulis membagi dalam beberapa sub-bahasan, antara lain: A. Relevansi Pemikiran Pendidikan Agama Islam Prof. Achmadi Dengan Konteks Pendidikan Agama Islam Sekarang Terkait Isi Pendidikan/ Materi Pendidikan Pemikiran
pendidikan
agama
Islam
yang
secara
eksplisit
membedakan dengan pemikiran lainnya. Mengenai manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan didasarkan atas pandangan Islam tentang konsep fitrah, dasar tujuan pendidikan didasarkan atas nilai-nilai Ilahiyah dan insaniyah, begitu pula mengenai isi pendidikan. Di dalam mengaplikasikan pemikiran Pendidikan Islam tidak harus mengubah paradigma ideologinya, cukup pada tataran strategi dengan melakukan interpretasi nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
B. Relevansi pemikiran pendidikan agama Islam Prof. Achmadi dengan konteks pendidikan agama Islam sekarang terkait Dasar dan Tujuan PAI. Di dalam Artikel Business Week 23-30 Agustus 1999 mengenai dua puluh satu trend perkembangan kehidupan manusia dalam abad 21, ada dua kecenderungan yang menarik perhatian. Pertama adalah peranan agama yang akan semakin relevan, dan kedua trend mengenai kemajuan ilmu dan teknologi yang akan mengubah wajah dan kehidupan manusia. Karen Penner penulis trend mengenai agama antara lain mengatakan “Religion place in providing solace, in mediating ethical disputes, or celebrating moments when a relationship to the unknowable to the unknowable
fills
worshippers
wth
humanity.”
Seterusnya
karen
mengatakan “Religion transcends the ebb and flow of human progress and events, absorbing knowledge the modern age bring and shrugging off its secularism.” Disini terlihat betapa agama akan muncul kembali sebagai pegangan
hidup
pengetahuan.salah
manusia satu
trend
di
tengah-tengah
kemajuan
ilmu
kemajuan
ilmu
pengetahuan
ialah
perkembangan “Artifical Intellegence” (AI) di mana komputer dewasa ini masih kurang kompleks dibandingkan dengan otak cacing tanah. Kecepatan komputer akan menjadi dobel setiap 18 bulan sampai tahun 2012, dan pada tahun 2030 kecepatan komputer telah sama dengan seribu otak manusia, sedangkan pada tahun 2050 kecepatannya menjadi sama dengan 1 milyar otak manusia. Di dalam tulisan ini berbicara mengenai pengembangan pendidikan Agama Islam. Para pakar pendidikan Agama Islam mempunyai gambaran yang belum jelas mengenai perkembangan
pendidikan Agama Islam tersebut. Umumnya mereka beranggapan bahwa pendidikan Agama Islam masih menghadapi hambatan yang besar, ialah sifatnya yang tertutup dan sangat ortodoks dan belum terbuka untuk kemajuan ilmu dan teknologi. Di pihak lain perubahan yang besar sedang terjadi di sekitar pendidikan Agama Islam yang mau tidak mau harus menghadapi dan mengharuskan mengubah diri agar pendidikan Agama Islam menjadi salah satu pendidikan alternatif di dunia Indonesia (Tilaar, 2000:146-145). C. Relevansi pemikiran pendidikan agama Islam Prof. Achmadi dengan konteks pendidikan agama Islam sekarang terkait Posisi PAI di ranah Kerangka Pendidikan Nasional. Menjadikan pendidikan Islam sebagai salah satu pendidikan alternatif
membutuhkan
paradigma-paradigma
baru
untuk
meningkatkannya, antara lain peningkatan manajemen pendidikan Islam. Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah yang panjang. Namun demikian, dirasakan pendidikan agama Islam tersisih dari sistem pendidikan nasional. SKB 3 Menteri 24 Maret 1975 yang tersohor itu berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan nasional. Pada waktu itu telah diidentifikasikan berbagai kelemahan pendidikan Islam seperti terlalu banyaknya mata pelajaran yang diarahkan, kualitas guru rendah, sarana pendidikan yang kurang, dan para peserta didik kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu. Hal ini berarti pendidikan Islam belum merupakan alternatif pendidikan modern.
Tersingkirnya pendidikan agama Islam dari mainstream pendidikan nasional, dapat mengakibatkan jatuhnya pendidikan Islam di dalam dua jenis dikotomi atau dualisme yang artifisial. Petama ialah dikotomi yang pendidikan yang sekuler dan pendidikan yang mempunyai ciri khas, dalam hal ini khas keislaman. Selanjutnya pendidikan agama Islam telah terperangkap dalam dualisme pengelolaan, antara pengelolaan pendidikan di bawah Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Kedua jenis dikotomi atau dualisme yang artifisial tersebut lebih memperparah pengembangan pendidikan agama Islam atau lebih memurukkan pendidikan agama Islam dari arus perkembangan masyarakat di sekitarnya. Keadaan ini membawa usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam di dalam suatu dilema yang cukup sulit. Pertama, adanya suatu keinginan yang besar untuk mengadakan modernisasi pendidikan agama Islam yang disebut oleh Malik Fadjar sebagai kekuatan yang pragmatis di dalam pendidikan agama Islam. Sedangkan yang kedua merupakan permintaan perubahan dari arus globalisasi yang tidak terbendung lagi. Di sini pendidikan agama Islam diminta memberikan suatu usaha yang ekstra cepat dan tepat untuk menanggulanginya karena kalau tidak demikian maka pendidikan Islam akan kembali pada ortodoksi dan tidak dapat mengikuti perubahan yang didambakan oleh masyarakat. Untuk menelaah masalah ini perlu adanya kajian tentang visi, misi pendidikan Islam di indonesia (Tilaar, 2000:147-148). Posisi Pendidikan agama Islam, dalam Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai undang-undang pertama yang mengatur pendidikan
nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan ataupun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama undang-undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. akan tetapi dalam UU Nomor 4 tahun 1950 tentang Pendidikan dan Pengajaran dalam BAB XII (TENTANG PENGAJARAN AGAMA DI SEKOLAH SEKOLAH NEGERI) Pasal 20 dinyatakan bahwa : 1. Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. Dengan hadirnya UU No 4 Tahun 1950 ini belum mencerminkan harapan rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Undang-undang ini masih menuai protes dari berbagai kalangan umat Islam. Yang pada akhirnya lahirlah undang-undang UUSPN No 2 Tahun 2003 yang intinya mengenai perubahan undang-undang ini adalah karena undang pendidikan keagamaan (PAI) dikesampingkan. Tidak dipungkiri bahwa undangundang tahun 1950 masih diwarnai dengan undang-undang kolonialisme. Menurut UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam BAB IV (SATUAN, JALUR dan JENIS PENDIDIKAN) Pasal
11
mengatakan
bahwa
Pendidikan
keagamaan
merupakan
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan (agama islam). Dan posisi pendidikan agama Islam diranah pendidikan Nasional semakin terlihat dengan munculnya UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Bagian Kesembilan (Pendidikan Keagamaan) Pasal 30 mengatakan bahwa : 1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dan pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang- undangan. 2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. 3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. 4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, dan pashbaja samanera dan bentuk lain yang sejenisnya. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (Hasbulloh, 2009:287). D. Relevansi pemikiran pendidikan agama Islam Prof. Achmadi dengan konteks pendidikan agama Islam sekarang terkait Pendekatan dalam PAI. Misi adalah perwujudan dari visi. Dengan demikian misi pendidikan agama Islam adalah mewujudkan nilai-nilai ke-Islaman di dalam
pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang di cita-citakan adalah manusia yang saleh dan produktif. Abad 21 menuntut kedua kualitas manusia semacam ini. Seperti yang dikemukakan masalah trend kehidupan abad 21, agama dan intelek akan saling bertemu. Manusia Indonesia yang di cita-citakan adalah manusia yang bertaqwa dan beriman sekaligus produktif dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peningkatan taraf hidupnya. Dengan misi ini pendidikan Islam menjadi pendidikan alternatif. Apabila pendidikan yang diselenggarakan oleh negara atau oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta lainnya cenderung untuk bersifat sekuler atau mempunyai ciri khas lainnya, maka pendidikan Islam tentunya ingin menonjolkan nilai-nilai keislaman. Inilah ciri khas dari pendidikan Islam sebagaimana dengan tepat dirumuskan oleh Sarkowi Suyuti. Menurut Sarkowi, yang disebut pendidikan Islam mempunyai tiga ciri khas, antar lain: a.
Suatu sistem pendidikan yang didirikan karena didorong oleh keinginan untuk menonjolkan nilai-nilai Islam.
b.
Suatu sistem yang mengajarkan ajaran Islam.
c.
Suatu sistem pendidikan Islam yang meliputi kedua hal tersebut. Dengan demikian, misi pendidikan Islam bukanlah sekedar untuk
menjadikan
pendidikan
Islam
sebagai
cagar
budaya
dengan
mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu, tetapi sebagai agent of change tanpa menghilangkan ciri khasnya yaitu ke-Islamannya. Dengan demikian pendidikan Islam akan responsif terhadap tuntutan masa depan,
yaitu bukan hanya mendidik peserta didik menjadi manusia yang saleh tetapi juga produktif (Tilaar, 2000:150-151). Malik Fadjar merumuskan pendidikan Islam dapat menjadi alternatif apabila pendidikan tersebut memenuhi empat tuntutan sebagai berikut: a. Kejelasan cita-cita dengan langkah-langkah yang operasional di dalam usaha mewujudkan cita-cita pendidikan Islam. b. Memberdayakan kelembagaan dengan menata kembali sistemnya. c. Meningkatkan dan memperbaiki manajemennya. d. Peningkatan mutu sumber daya manusianya. Sedangkan menurut Achmadi (2010:162-164), dalam menyongsong perkembangan zaman bahwa Perubahan sosial dan tatanan kehidupan yang mengiringi perjalanan sejarah kehidupan umat
manusia merupakan
sunnah Allah, sehingga tidak mungkin kita menghentikan perubahan itu. Akibat
semakin
berkembangnya
teknologi
informasi
mendorong
komunikasi dan interaksi antar budaya dan peradaban bangsa semakin intensif, maka globalisasi yang disertai dengan perubahan sosial secara massif merupakan arus sejarah yang tidak dapat dielakkan. Sehingga pendidikan harus menghadapi arus perubahan yang begiu cepat dan sulit diprediksi. Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasisonal dalam prespektif global mempunyai masalah yang tidak mungkin diselesaikan oleh sekelompok masyarakat. Baik kelompok etnis maupun agama tertentu, begitu pula oleh LSM maupun pemerintah. Problem utamanya adalah kualitas pendidikan rendah, sehingga menghasilkan pendidikan
kualitas SDM yang rendah pula, paling rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Rendahnya kualitas SDM mengimbas pada rendahnya karakter bangsa. Oleh karena itu, masalah pendidikan agama Islam menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, tidak memandang suku, ras dan agama. Menurut Prof. Achmadi, untuk mengatasi perkembangan zaman pendidikan agama Islam ditekankan pada: a. Peningkatan Kualitas SDM Mengingat rendahnya kualitas SDM bangsa Indonesia, maka dalam menghadapi perubahan sosial sebagai dampak globalisasi, agenda utama pendidikan ialah pengembangan dan peningkatan kualitas SDM baik ditinjau dari nilai ekonomis dan nilai insani. Nilai ekonomis adalah menjadikan manusia lebih produktif dan nilainya lebih tinggi secara ekonomis, yang diperoleh melalui penguasaan ilmu dan teknologi. Nilai insani sebagai nilai tambah budaya dan iman taqwa yang menjadikan manusia lebih harkat dan martabatnya kemanusiaan melalui pendidikan yang sinergis antara pendidika agama dan ilmu pendidikan non-agama (Achmadi, 2010:165). Nilai insani tercermin dalam watak bangsa. Oleh karenanya pembangunan watak bangsa menjadi sangat penting, bahkan melandasi pengembangan nilai ekonomis. Esensi pembangunan watak bangsa ialah peningkatan kesadaran tanggung jawab atas eksistensi bangsa. Akan tetapi kesadaran nasionalisme yang hanya terfokus pada eksistensi bangsa sendiri dan tidak memahami eksistensi bangsa-
bangsa lain tidak akan mampu memasuki sistem dunia atau masyarakat dunia dengan baik. Bagi umat Islam yang merupakan bagian integral bangsa Indonesia juga harus memahami eksistensi umat lain. Eksklusifitas internal umat Islam akan mengecilkan eksistensinya sendiri karena berarti tidak mampu memasuki dunia yang semakin plural. Oleh karenanya pendidikan watak bangsa perlu disinergikan antara kesadaran religiousitas umat Islam dalam konteks nasional, regional dan global. Dengan kesadaran semacam itu akan memotivasi peserta didik untuk lebih maju dalam rangka kompetisi secara sehat dengan bangsa-bangsa lain dan umat lain sesama anak bangsa (Achmadi, 2010:166) Dengan kualitas SDM seperti disebut di atas dimaksudkan agar peserta didik siap menghadapi tugas kehidupan masa depan, yang menurut Muchtar Buchori meliputi tiga tugas pokok yaitu: 1) Untuk dapat hidup. 2) Untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna. 3) Untuk turut memuliakan kehidupan. Tiga tugas pokok ini relevan dengan konsep realisasi diri sebagai tujuan pendidikan agama Islam. Dengan tercapainya ketiga tugas hidup itu berarti pendidikan mampu mengantarkan peserta didik yang dalam perspektif Islam menjadi hamba Allah yang dapat memainkan peranannya sebagai khalifatullah di bumi (Achmadi, 2010:166-168).
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pengertian dan penjelasan materi dalam bab-bab sebelumnya dapat penulis simpulkan bahwa menurut Prof. Achmadi, pengertian agama Islam adalah usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagaman dan sumber daya insani agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. 1. Posisi Pendidikan Agama Islam dalam kerangka pendidikan nasional Posisi pendidikan agama Islam dalam ranah nasinal adalah secara yuridis lembaga pendidikan Islam (keagamaan) semakin kokoh setelah terbit UU No. 2 th 1989 yang secara eksplisit menyebutkan pendidikan keagamaan termasuk dalam Sisdiknas (pasal 11 dan 39) hal ini dikuatkan dalam UU No. 20 th 2003, pasal 15, 17, 18, dan 30, dan 37. Dengan kekuatan hukum itu diharapkan kualitas pendidikan agama Islam semakin meningkat. Dikuatkan lagi dengan munculnya UU nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional
dalam
Bagian
Kesembilan
(Pendidikan Keagamaan) Pasal 30. Posisi pendidikan agama Islam diranah pendidikan Nasional semakin terlihat. 2. Pandangan Prof. Achmadi tentang dasar dan tujuan Pendidikan Agama Islam Dasar pendidikan agama Islam yaitu tauhid, kemanusiaan, kesatuan umat manusia, dan keseimbangan. Dan tujuan pendidikan agama
Islam menurut Achmadi terbagi menjadi 3; tujuan tertinggi, tujuan umum, dan tujuan khusus. 3. Pandangan Prof. Achmadi tentang pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pendidikan agama Islam menurut Achmadi, yaitu: pendekatan humanis, pendekatan rasional kritis, pendekatan fungsional, dan pendekatan kultural. 4. Pandangan Prof. Achmadi tentang materi Pendidikan Agama Islam Materi pendidikan agama Islam terbagi menjadi 2 yaitu; ilmu pengetahuan abadi yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah seperti: Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak. Ilmu pengetahuan yang diperoleh seperti: seni, ilmu intelektual, ilmu alam, ilmu terapan dan ilmu praktis. 5. Relevansi pemikiran pendidikan agama Islam Prof. Achmadi dengan konteks pendidikan Islam sekarang Relevansi pendidikan agama Islam sekarang dengan pemikiran Pendidikan Agama Islam menurut Achmadi secara normatif tidak perlu dilakukan perubahan karena diyakini memuat nilai-nilai transendental yang memiliki kebenaran mutlak. Akan tetapi dalam rangka menyusun strategi yang relevan dengan perubahan perlu di lakukan interpretasi nilainilai yang terkandung di dalamnya seperti peningkatan kualitas SDM.
B. Kritik Saran 1. Saran Berdasarkan temuan dalam penelitian ini ada beberapa hal yang dapat disarankan kepada Departemen Agama, antara lain: Peningkatan bobot akademis dan komitmen terhadap agama. Studi agama di Indonesia berkembang cukup pesat dengan berbagai pendekatan dan metodologi, oleh karena itu dalam mengembangkan dan memajukan studi Islam di Indonesia terutama di IAIN, pendekatan dan metodologinya perlu dikembangkan sesuai dengan standart ilmiah untuk memelihara dan meningkatkan bobot akademisnya, namun tetap memiliki komitmen terhadap agama dan tujuan pendidikan nasional. 2. Kritik Penelitian ini jauh dari sempurna. Dengan kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis mohon kritik dan sarannya demi kemajuan penelitian kami di masa mendatang. Atas perhatian dan kerjasama pembaca, penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi. 1987. Ilmu Pendidikan Islam. Salatiga: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Achmadi. 1992. Islam Paradigma Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta dan Semarang: Aditya Media dan BP IAIN Walisongo Press Achmadi. 1994. Studi Agama di Belanda. Leiden: Program IndonesianNetherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. Kedua (Edisi Revisi) Albone, Abd Aziz. 2009. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. Cet. Pertama Anton Baker, Achmadi Charis Zubair. 1994. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta: Rineka Cipta Hasbulloh. 2009. Dasar-dasar Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press. Edisi revisi. Khumaini, Yusuf. 2012. Studi Keislaman II. Perkuliahan. Salatiga: STAIN
Munir, Misbachul. 2005. Pendidikan Islam Transformatif Dalam Perspektif Prof. Achmadi. Skripsi. Semarang: UIN Walisongo Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nata, Abuddin. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghaha Indonesia Ramayulis. 2010. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Cet. Keenam Soemargono, Soegono. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahaya Tilaar. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta Tilaar. 2012. Standarisasi Pendidikan Nasional: suatu tinjauan kritis. Jakarta: Rineka Cipta
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ema Siti Rohyani
Tempat tanggal Lahir : Semarang, 26 April 1993 NIM
: 11111084
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Alamat Semarang
: Kebon Kliwon rt 04 rw 5, Bergas Kidul, Bergas,
Pendidikan SD
: SDN 04 Bergas lulus 2005
SMP
: SMP ALHUSAIN Magelang lulus 2008
SMA
: SMK Informatika NU Ungaran lulus 2011
Perguruan Tinggi
: IAIN Salatiga lulus 2015
Pengalaman Organisasi : 1. Devisi Kaligrafi Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz (JQH) Al-Furqon 2012/2013 2. Anggota Devisi Eksternal Senat Mahasiswa (SEMA) Institut 2013 3. Devisi Kaderisasi Komisariat Djoko Tingkir Kota Salatiga 2013 4. Advokasi Dewan Mahasiswa (DEMA) Institut 2014 5. Devisi Keagamaan Komisariat Djoko Tingkir Kota Salatiga 2014 – Sekarang
6. Bidang Kaderisasi Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) Kab. Semarang 2015
DAFTAR NILAI SKK Nama : EMA SITI ROHYANI
Jurusan
: Tarbiyah
NIM
: 11111084
Progdi
: PAI
P.A.
: Dra. Siti Farikhah, M. Pd.
No.
Jenis Kegiatan
1.
Sertifikat KKPI (Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi) oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan/ Vocational Education Development Center (PPPPTK/ VEDC) Malang dan SMK NU Ungaran
Pelaksanaan
Jabatan
Nilai
7 Mei 2011 berlaku sampai 3 tahun
Peserta
2
2
Orientasi Pengenalan Akademik 20-22 Agustus 2011 dan Kemahasiswaan (OPAK) oleh DEMA STAIN Salatiga
Peserta
3
3.
Achievement Motivation Training (AMT) “Membangun Mahasiswa Cerdas Emosi, Spiritual, dan Intelektual” oleh CEC & Ittaqo STAIN Salatiga
23 Agustus 2011
Peserta
2
4.
Orientasi Dasar Keislaman (ODK) “ menemukan muara sebagai mahasiswa rahmatan lil alamin” oleh STAIN Salatiga
24 Agustus 2011
Peserta
2
5.
Seminar Entrepreneurship dan Koprasi oleh KOPMA & KSEI STAIN Salatiga
25 Agustus 2011
Peserta
2
6.
USER EDUCATION (Pendidikan Pemakai) oleh UPT PERPUSTAKAAN STAIN Salatiga
19 September 2011
Peserta
2
7.
Bedah Buku “Super Teens Super Leader” oleh KAMMI
06 Oktober 2011
Peserta
2
8.
Seminar Regional “Negara Islam dalam Tinjauan Islam Indonesia dan NKRI” oleh IPNU Kab. Semarang dan PMII Kota Salatiga
22 November 2011
Peserta
4
9.
Penerimaan Anggota Baru (PAB) “Membangun Pribadi Islami dengan Nilai Qur’ani” oleh JQH STAIN Salatiga
02 Desember 2011
Peserta
2
10.
Seminar Pendidikan “Menuju Pendidikan Indonesia yang Ideal” oleh HMI
28 Desember 2011
Peserta
2
11.
Pelatihan Penggunaan Maktabah Syamilah & Pengetikan Arab Cepat (STAIN ARABY)
17 Maret 2012
Peserta
2
“Bahasa Arab Sebagai Penunjang Perkuliahan Mahasiswa” oleh Ittaqo STAIN Salatiga 12.
Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Djoko Tingkir Salatiga
23-25 Maret 2012
Peserta
2
13.
Public Hearing “Meningkatkan Kepekaan dan Transparansi Kinerja Lembaga Menuju Kampus yan Amanah” oleh Senat Mahasiswa (SEMA) STAIN Salatiga
27 Maret 2012
Peserta
2
14.
Comparison of English and Arabic “Aktualisasi Nilai Pendidikan Bahasa Arab dan Inggris Sebagai Upaya Memahami Keilmuan Mutakhir di Era Globalisasi” oleh CEC dan
13 April 2012
Peserta
2
Ittaqo STAIN Salatiga 15.
Bedah Buku “Sang Maha Segalanya Mencintai Maha Siswa” oleh HMI
14 Mei 2012
Peserta
2
16.
Seminar Nasional “Berpolitik untuk Kesejahteraan Indonesia, Reorientasi Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi” oleh Senat Mahasiswa (SEMA) STAIN Salatiga
15 Mei 2012
Peserta
8
17.
Seminar Nasional “Pendidikan Multikultural Sebagai Pilar Karakter Bangsa” oleh HMJ Tarbiyah STAIN Salatiga
29 Mei 2012
Peserta
8
18.
Bimbingan Belajar Menghadapi UAS SIBA Bahasa Inggris dan Bahasa Arab oleh CEC & Ittaqo
29 Juni 2012
Peserta
2
19.
Sarasehan Nasional “ Peran Mahasiswa dalam Realita dan Idealitas Bangsa” oleh DEMA STAIN Salatiga
01 Juli 2012
Peserta
8
20.
Pelatihan “Kiprah Mahasiswa dalam Menggerakkan Tradisi untuk Kejayaan Bangsa” oleh DPW Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa Jawa Tengah
15-16 Juli 2012
Peserta
2
21.
Dialog Publik dan Silaturahmi Nasional “Kemanakah Arah Kebijakan BBM? Mendorong Subsidi BBM untuk Rakyat” oleh PMII Kota Salatiga
10 November 2012
Panitia
3
22.
Seminar Regional “Selamatkan Temanggung dari Lingkaran HIV/AIDS” oleh Forum Mahasiswa Temanggung di
April 2013
Peserta
4
Salatiga (FORMATAS) 23.
Surat Keterangan (SK) 28 Agustus 2013 “Penguatan Rekonsiliasi Elemen Masyarakat dalam rangka Peningkatan Wawasan Kebangsaan” oleh Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah
Peserta
2
24.
Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Joko Tingkir Salatiga 2013
4-6 Oktober 2013
Panitia
3
25.
Temu Pramuka Penggalang Penegak (TPPP) 2 oleh RACANA STAIN Salatiga
06 Oktober 2013
Peserta
2
26.
Surat Keterangan (SK) Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) oleh JQH STAIN Salatiga
23 Oktober 2013
Panitia
3
27.
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) oleh JQH STAIN Salatiga
23 Oktober 2013
Panitia
3
28.
Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Dasar (PPMTD) “Menegaskan Kembali Kepeloporan Pers Mahasiswa di Tengah Era Globalisasi” oleh LPM Dinamika STAIN Salatiga
23 November 2013
Peserta
2
29.
Pelatihan Administrasi “Menciptakan Keseragaman dalam Management Administrasi dan Keuangan Demi Menuju Tertib Organisasi” oleh PMII Kota Salatiga
24 Januari 2014
Peserta
Sertifikat “POL TRACKING INDONESIA” oleh Komisi Pemilihan Umum Republik
Februari 2014
30.
2
Pelaksana
3
Indonesia 31.
SK Pengangkatan Pengurus Dewan Mahasiswa (DEMA) STAIN Salatiga masa bakti 2014
17 Februari 2014
Devisi Advokasi
4
32.
Dialog Interaktif & Edukatif “Diaspora Politik Indonesia di Tahun 2014, Memilih untuk Salatiga Hati Beriman” oleh Senat Mahasiswa (SEMA) STAIN Salatiga
01 April 2014
Peserta
2
33.
Tafsir Tematik “Konsep Pemimpin Ideal menurut AlQur’an” oleh JQH STAIN Salatiga
17 Mei 2014
Panitia
3
34.
Surat Keterangan (SK) “ Lulus Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ)” oleh Ketua Prodi Pendidikan Agama Islam STAIN Salatiga
22 Juli 2014
Peserta
2
35.
Surat Keterangan (SK) Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK)
18-19 Agustus 2014
Panitia
3
36.
Seminar Nasional “Peran Mahasiswa dalam Mengawal Masa Depan Indonesia Pasca PilPres 2014” oleh DEMA STAIN Salatiga
25 September 2014
Panitia
8
37.
Latihan Bela Negara bagi Mahasiswa PTN/PTS/APTISI seJATENG dan DIY
20-23 Oktober 2014
Peserta
2
20-23 Oktober 2014
Peserta
2
Oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Komando Daerah Militer IV/Diponegoro 38.
Surat Keterangan (SK) Kader Bela Negara Oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat Komando Daerah Militer IV/Diponegoro Gebyar Seni Qur’ani (GSQ) Umum Ke IV Se Jawa Tengah “Aktualisasi Makna dan Syiar AlQur’an sebagai Sumber Inspirasi” oleh JQH STAIN Salatiga
05 November 2014
40.
Seminar Nasional Enterpreneur oleh RACANA STAIN Salatiga
16 November 2014
Peserta
8
41.
Pendidikan Anggota Dasar (PAD) Al Khidmah Kampus Kota Salatiga
6-7 Desember 2014
Panitia
3
42.
Mujarrofadz (Musyawarah Jam’iyyatul Quro’ wal Huffadz) oleh JQH STAIN Salatiga
25 Desember 2014
Panitia
3
43.
Juara Harapan 2 “Contest Foto Fashion Hijab Kategori Hijab Kreatif” oleh AK-Management Fashion Hijab Palembang
Desember 2014
Pemenang
3
44.
Surat Keterangan (SK) “Lulus Ujian Komprehensif” oleh Kepala Unit Pengembangan Kompetensi Dasar Keislaman (UPKOMDAIS) STAIN Salatiga
27 Februari 2015
Peserta
2
39.
Peserta 4