PEMETAAN RUMAH TRADISIONAL MELAYU RIAU Oleh : Sudarmin
[email protected] Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unilak Jalan Yos Sudarso km 8 Pekanbaru
Abstrak. Setiap daerah memiliki arsitektur tradisional yang khas, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di daerah tersebut. Demikian juga di daerah Riau yang dikenal dengan Tanah Melayu. Didaerah Riau terdapat tiga macam rumah tradisional yaitu; rumah atap lipat, rumah atap lontik dan rumah atap limas. Adanya tiga macam bentuk ini tidak lepas dari adat istiadat yang dijalankan oleh masyarakat Melayu Riau. Berdasarkan literatur, adat didaerah Riau berasal dari dua pucuk adat yaitu adat Perpatih dan Adat Ketemanggungan. Kenyataan dilapangan menunjukkan adat yang dianut oleh masyarakat berpengaruh juga pada bentuk rumah tradisional mereka. Disamping faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi bentuk arsitektur. Untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk arsitektur tersebut, dilakukan penellitian dengan mendatangi pusat-pusat permukiman tradisional yang ada di daerah Riau. Berdasarkan data yang ada, terlihat bahwa selain adat istiadat terdapat faktor pengaruh daerah yang bertetangga terhadap bentuk aritektur. Terlihat juga bahwa hampir seluruh permukiman tradisional berada di pinggir sungai. Oleh karena itu jika melihat pola perubahan bentuk arsitektur akan lebih jelas jika berdasarkan aliran sungai. Berdasarkan analisa secara kwalitatif, dapat dibuat sebuah peta tentang bentuk arsitektur Melayu pada tiap-tiap daerah. Karena terbatasnya waktu belum semua permukiman tradisional dapat masuk dalam peta. Beberapa tempat yang jauh belum bisa didapatkan data secara lengkap. Kecuali melalui data dari media internet yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Demikian juga hal yang dibahas terbatas pada bentuk arsitekturnya. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi landasan awal untuk penelitian lanjutan untuk menentukan kaitan adat istiadat dengan tata ruang ataupun melihat perkembangan atau morfologi arsitektur. Kebetulan bahwa pengumpulan data untuk penelitian ini telah dilakukan selama puluhan tahun sehingga ada kemungkinan data berupa rumah tinggal yang tercantum kini seudah tidak ada lagi.
1.
Pendahuluan Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki rumah tradisional. Rumah selain
berfungsi sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai simbol bagi satu kelompok atau suku. (Broadbent,1985) Demikian juga halnya dengan masyarakat melayu yang tinggal di Propinsi Riau. Masyarakat melayu memiliki tiga macam bentuk rumah tradisional (Effendy, 2002). Ketiganya dilihat dari keanekaan bentuk atapnya. Ada atap lipat kajang atau lipat pandan, ada atap lontik dan terakhir atap limas. Ketiga bentuk rumah tradisional ini tersebar tidak saja di Propinsi Riau saat ini, tetapi juga bentuk yang hampir sama terlihat di Semenanjung Malaysia dan di Sumatera Barat. Hal ini dapat dipahami karena ketiga daerah ini disamping berdekatan letaknya, juga memiliki sistem adat yang hampir sama. Beberapa sumber (Suwardi. MS, Lutfi, Mahdini) menyebutkan bahwa pucuk adat di ketiga daerah ini adalah adat Perpatih dan adat Ketemanggungan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kedua sistem adat ini membentuk tipologi rumah tradisonal yang berbeda pada masing-masing tempat di daerah Riau. Perbedaan tersebut terlihat pada elemenelemen arsitektur seperti atap, denah dan massa bangunan. Pada sisi lain, adat istiadat bukanlah semata-mata sebagai faktor pembentuk arsitektur rumah tradisional (Broadbent,1985). Ada faktor-faktor lain seperti iklim, sistem mata pencaharian, lokasi dan lain-lain. Bahkan di daerah melayu Riau, bentuk arsitektur ada yang ditentukan oleh penguasa kerajaan yang sedang berkuasa (Effendy,1993). Hamidy (2009) menyebutkan hal ini sebagai „adat yang diadatkan‟ atau adat yang ditentukan oleh penguasa. Salah satu bentuknya dalam arsitektur adalah arsitektur rumah limas. Daerah Riau pada masa lalu memiliki banyak kerajaan-kerajaan. Semua kerajaan-kerajaan ini berpusat di tepi sungai. Ada empat sungai besar tempat kerajaan- kerajaan berdiri. Sungai Rokan, Sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Indragiri atau Sungai Kuantan. Nama kerajaan-kerajaan yang ada biasanya sesuai dengan nama sungai. Tidaklah diketahui apakah nama sungai yang lebih dahulu ada atau nama kerajaan yang lebih dahulu. Hampir semua sungai-sungai yang ada berhulu
ke daerah pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Barat. Kecuali Sungai Siak. Setiap kerajaan menganut adat istiadat yang dipilih antara adat Perpatih atau adat Ketemanggungan. Kepercayaan tentang asal usul kedua adat ini, berbeda-beda pada tiap daerah. Daerah seperti Kuantan, Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Rokan Kiri mengakui bahwa adat yang mereka anut berasal dari Minangkabau. Sementara daerah-daerah pesisir Riau mengakui bahwa adat mereka telah dianut sejak masa Sriwijaya. Namun jika di daerah Minangkabau adat perpatih dipegang oleh suku Bodi Caniago dan adat Ketemanggungan dipegang oleh suku Koto Piliang (Jamal,1985) didaerah Riau hal ini dapat saja bercampur (Suwardi,1985). Di tiap-tiap daerah di Riau memiliki banyak suku walaupun mereka menganut salah satu dari dua adat di atas. Suku tersebut antara lain; melayu, patopang, domo, mandaihiliang juga piliang dan caniago. Penelitian ini tidaklah untuk membahas lebih jauh tentang adat istiadat perpatih dan ketemanggungan, tetapi untuk mengetahui tentang bentuk arsitektur yang dihasilkan pada beberapa daerah di Propinsi Riau berdasarkan sistem adat yang mereka anut. Dengan melihat satu tempat dan sistem adat yang dianutnya maka dapatlah dibuat suatu peta rumah tradisional melayu Riau. Karena keterbatasan waktu dan dana tidak semua daerah masuk dalam penelitian ini. Untuk dapat membuat sebuah peta utuh tentang rumah tradisional daerah Riau akan membutuhkan waktu yang lama karena luasnya wilayah Riau dan keanekaan tradisinya. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan titik awal untuk penelitian yang lebih luas dan komprehensif. 2.
Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk membuat sebuah peta (maping) yang dapat
memberi gambaran tentang bentuk arsitektur tradisioanl daerah Riau pada tiap-tiap tempat berdasarkan sistem adat yang dianut oleh masyarakat. Terutama pada bentuk atap yang paling mudah untuk diidentifikasi.
3.
Tinjauan Pustaka Broadbent mencetuskan enam fungsi yang dapat di emban oleh arsitektur,
untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang dituntut oleh bangunan. Yaitu : 1.
Environment filter. (modifier of the physical climate). Bangunan bisa mengontrol iklim. Bangunan berperan sebagai saringan atau filter antara lingkungan luar dengan kegiatan yang akan kita lakukan. Bangunan dapat membantu kita untuk membuat kondisi-kondisi agar kegiatan
dapat
dilakukan
dengan
menyenangkan
dan
dalam
kenyamanan. Kita bisa menentukan ruang-ruang mana yang harus dekat satu sama lain dan mana yang harus jauh. 2.
Container of activities. Bangunan sebagai wadah kegiatan-kegiatan yang menempatkannya pada tempat khusus dan tertentu.
3.
Capital investment (changer of land values). Dalam pengertian ini bangunan dapat memberikan nilai lebih pada tapak. Keduanya (lahan dan bangunan) dapat menjadi sumber investasi yang baik.
4.
Symbolic
function
(cultural
implication).
Dalam pengertian
ini
bangunan dapat memberikan nilai nilai simbolikal terutama pada bagunan-bangunan yang bersifat keagamaan ataupun bangunan yang berimplikasikan budaya. 5.
Behaviour modifier. Disini bangunan dapat mengarahkan pola perilaku pemakainya.
6.
Aesthetic function.(pursuit of delight). Pada pengertian ini bangunan akan menyenangkan bila bangunan tampak bagus dan cantik, sesuai dengan imajinasi yang fashionable sat ini, sesuai dengan azas-azas tertentu dan order visual dan lain-lain.
Antoniades (1996) menyebutkan hal-hal yang menjadi perhatian bagi arsitek untuk sebuah penelitian sejarah adalah :
Kegiatan analisis dalam bentuk : 1
Study dokumen deskriptif tentang existing dari preseden. (denah, tampak, potongan) yang dibuat melalui riset arkeologi, atau gambar arsitektural terukur.
2
Study tentang karakteristik regional (klimat, material, keutamaan regional ).
3
Study tentang struktur dan metoda konstruksi.
4
Study tentang kerangka struktur sosial. (Sejarah kebudayaan, lifestyle, dan peradaban selama periode pembangunan serta perbandingan terhadap artefak sejenis dari wilayah lain dan periode lain ).
5
Pencarian atau penelitian untuk “obscure”, mythos dan symbolic sepanjang dengan perhatian untuk nilai-nilai intangible atau era kapan dikerjakannya preseden utama. (momen atau contoh vernacular )
6
Konsep space antara interior dan eksterior.
Kegiatan sintesis dalam bentuk : 7
Interpretasi tentang preseden dengan titik perhatian terhadap preseden sejenis pada masanya, dan sejenis atau analog terhadap bangunan-bangunan sekarang.
8
Dukungan hypotesis tentang perluasan dari yang sejenis atau analog antara periode study dan sekarang.
9
Thesis yang mendukung validitas atau adopsi dari study preseden sebagai sebuah perluasan dari sejarah untuk solusi kebutuhan sekarang.
Arsitektur tradisional daerah Riau memiliki bentuk khas yang dapat dilihat pada bentuk atapnya. Ada tiga macam bentuk atap yaitu, atap lontik, atap lipat dan atap limas. Atap ini selain berfungsi sebagai pengatur iklim didalam rumah juga memiliki simbiol symbol adat 4.
Metode Penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode kwalitatif berdasarkan pendekatan
rasionalistik (Muhadjir, 1992) dengan paradigma arsitektural. Dalam hal ini pertamatama dilakukan kajian budaya yang melatar belakangi kesamaan maupun perbedaan arsitektural. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap bentuk arsitektur vernakular tiaptiap tempat. Pilihan kepada obyek ini karena obyek ini adalah unsur pembentuk utama lingkungan binaan berdasarkan adat masing- masing daerah. Penelitian
dilakukan
dengan
studi pustaka terlebih dahulu,
kemudian
dilakukan studi lapangan dengan melakukan pengumpulan data, mengambarkan, wawancara tidak terstruktur selanjutnya dilakukan klasifikasi, kategorisasi untuk mendapatkan makna terhadap bentuk dengan cara interprestasi. Karena terbatas waktu, penelitian dilakukan pada bentuk atap saja. Hal ini juga karena atap merupakan identitas yang paling mudah terlihat. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap obyek ini dengan analisis dan sintesis dalam bentuk naratif. Dalam hal ini analisis dilakukan berdasarkan ilmu arsitektur. Hasil sintesis berupa kesimpulan dari hasil penelitian. 5.
Pembahasan. Kondisi Eksisting Daerah Riau. Secara geografis daerah Propinsi Riau dialiri oleh empat sungai besar yaitu Sungai Rokan pada bagian paling utara kemudian menyusul keselatannya adalah Sungai Siak, Kampar dan Indragiri. Hulu sungai-sungai ini umumnya berada didaerah Sumatera Barat dan Muaranya adalah Selat Malaka.
Pada daerah aliran sungai-sungai ini muncul permukiman dengan bentuk rumah tradisional yang berbeda. Perbedaan ini terlihat nyata pada bentuk atap yang ada. Salah satu upaya untuk mempertahankan tradisi adalah dengan tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan bentuk-bentuk arsitektur Melayu. Jika kita mentafsirkan masyarakat berbudaya Melayu di Riau sebagai ikan, maka arsitektur adalah airnya. Air dapat berupa air asin, tawar atau payau. Ikan hanya dapat hidup pada satu jenis air saja. Apakah asin, tawar atau payau. Begitu juga budaya Melayu hanya akan tetap bertahan hidup dalam suatu lingkungan, yaitu pada lingkungan dengan arsitektur Melayu. Provinsi Riau terletak di
pantai Timur Pulau Sumatra yang berisikan
wilayah perairan dan daratan. Pekanbaru, merupakan ibu kota provinsi dan terletak di bagian timur pegunungan Bukit Barisan. Kota besar ini telah menjadi ibukota provinsi
sejak tahun 1959, menggantikan ibu kota yang terdahulu,
yakni
Tanjungpinang di pulau Bintan (Ghalib,2006). Riau mempunyai suatu posisi strategis, yang tidak hanya dalam kaitan dengan kedekatan nya ke pusat turisme internasional di Asia Selatan dan Asia Timur, seperti Singapura, Bangkok, dan Hongkong, tetapi juga dalam kaitan dengan tempat nya di dalam
lintasan pelayaran internasional yang sibuk yaitu Selat Malaka yang
menghubungkan Lautan Hindia dan Laut China Selatan dan Laut Lautan Teduh. Saat ini Riau telah menjadi dua propinsi, yaitu Propinsi Riau dan Propinsi Kepulauan Riau. Propinsi Kepulauan Riau dengan ibukotanya Tanjung Pinang di Pulau Bintan. Jika Propinsi Riau yang mencakup Riau daratan, berorientasi ke sungai, maka Kepulauan Riau berorientasi ke lautan. Perbedaan orientasi ini terlihat dalam penentuan mata pencaharian. Walaupun berbeda propinsi, tetapi karena pada masa lalu adalah merupakan suatu daerah dibawah kekuasaan raja-raja melayu, maka perbedaan tersebut hanya terasa dari segi administrasi pemerintahan saja. Baik Propinsi Riau, maupun Kepulauan Riau adalah dua daerah yang dihuni oleh masyarakat Melayu. Bahkan
dengan Malaysia selalu disebut dengan negeri serumpun. Sedangkan dengan daerah Sumatera Barat disebut dengan negeri serantau. Kondisi Geografis. Secara geografis, Riau berada pada posisi antara 1 45‟ garis lintang utara atau antara 100
o
o
03‟ dan 109
15‟ garis lintang selatan dan 4 o
o
19‟ garis bujur barat. Adapun
batas-batas Provinsi Riau adalah sebagai berikut:
Utara
:
Selat Malaka
Selatan
:
Provinsi Jambi dan Selat Berhala
Timur
:
Propinsi Kepulauan Riau.
Barat
:
Provinsi Sumatra Barat dan Provinsi Sumatra Utara
Gambar 1. Peta Propinsi Riau.
Propisi Riau di masa lalu, merupakan daerah yang paling luas di Sumatra. Setelah menjadi dua propinsi, Propinsi Riau kini memiliki km 2 , yang
terdiri dari 83,965.60 km
2
area
seluas 101,823.60
(82.46%) daratan dan 17,858.00 km
2
(17.54%) daerah perairan (data Dinas Pariwisata Propinsi Riau). Riau beriklim tropis basah dengan temperatur udara rata-rata di Pekanbaru tahun 2003 adalah suhu maksimum di siang hari antara 27.4
o
Celcius dan temperatur minimum dimalam hari 23.2 o Celcius.
Celcius sampai 32.5
o
Pantai timur Propinsi Riau merupakan daerah rawa yang ditumbuhi hutan bakau. Jenis tanah yang ada adalah tanah gambut. Tanah gambut ini cukup dalam dan jika terbakar pada musim kemarau akan sulit untuk memadamkannya. Pada musim kemarau tahun 2014, terjadi kebakaran hutan pada tanah gambut ynag menimbulkan kabut asap tebal menutupi hampir seluruh Riau selama tiga bulan. Peta Adat Daerah Riau. Menurut Mahdini (2003), adat Melayu pada awalnya mengacu pada adat yang
dipergunakan di negeri Tumasik
atau Singapura,
Bintan dan Melaka.
Selanjutnya menurut Mahdini, terdapat beberapa tempat di Riau dengan adat yang dipengaruhi oleh Adat Tumenggung. Diantaranya adalah Riau Lingga, Semenanjung Malaysia, Pesisir Pulau Sumatera dan Daerah Kepulauan Riau. Adat ini berdasarkan kebiasaan dan kelaziman yang bersifat otokratis. Prinsip umum adat ini disusun oleh seseorang yang berasal dari kerajaan Melayu Palembang dan diadopsi oleh raja-raja Melayu. Sementara adat yang berlaku didaerah Riau Daratan banyak dipengaruhi oleh adat Perpatih yang berasal dari Minangkabau. Terombo Melayu menyebutkan bahwa pengaruh adat Tumenggong adalah di daerah pantai di bawah Bandar Rokan. Adapun di daerah pedalaman, di atas Bandar Rokan, merupakan pengaruh adat Perpatih. (Mahdini, 2003) Tentang daerah aliran Sungai Kuantan Suwardi MS (1985) menyebutkan bahwa daerah ini memiliki dua kerajaan yang berpengaruh yaitu Kuantan dan Indragiri. Daerah Kuantan dikenal juga sebagai daerah rantau Minangkabau. Di Rantau Kuantan ini terdapat tiga federasi yaitu : a.
Empat Koto Di Atas, terdiri dari negeri-negeri Sumpurago, Lubuk Ambacang, Koto Tuo dan Sungai Pinang. Federasi ini dikepalai oleh seorang “orang gedang” bergelar Datuk Patih yang berkedudukan di Lubuk Ambacang.
b.
Lima
Koto
di Tengah,
terdiri dari negeri-negeri Kari,
Taluk
Simandolak, Siberakun dan Sibuaya. Federasi ini dikepalai oleh Datuk Bendaro Lelo Budi yang bertempat di Kari. c.
Empat Koto di Hilir, yaitu Pangean, Baserah, Inuman dan Cerenti. Dikepalai oleh Datuk Ketemanggungan yang bertempat tinggal di Inuman.
(Suwardi, M.S.) Menurut Suwardi, MS (1985): “Ketiga federasi ini mengadakan federasi lagi yaitu konfederasi Rantau Kuantan atau Rantau Nan Kurang Esa Dua Puluh, karena selain dari 13 negeri yang tergabung dalam ketiga federasi itu, masih ada negerinegeri lainnya yang turut dalam federasi itu. Empat buah negeri itu ialah Teluk Ingin, Toar, Gunung dan Lubuk Terontang membentuk satu federasi pula yaitu Empat Koto Gunung atau Empat Koto di Mudik dibawah payung Datuk Bendaro. Sebutan Empat Koto di Mudik pun menyatakan pertalian dengan Empat Koto di Tengah. Sebuah negeri lagi, Lubuk Jambi disebut Gajah Tunggal karena tidak memasuki suatu federasi selain dari konfederasi Rantau Nan Kurang Esa Dua Puluh. Dengan demikian jumlahnya ada dua puluh sedangkan satu negeri lagi adalah Padang Terap yang sekarang masuk daerah Sumatera Barat.” Timbulnya pertikaian faham antara Datuk Ketemenggungan dengan Datuk Perpatih
dan
Datuk
Bandaro
Lelo,
mengakibatkan
Datuk
Ketemenggungan
meninggalkan federasi Rantau Kuantan dan menghilir ke daerah Indragiri. Hal ini kemudian menurunkan Datuk Tumenggung raja di Rantau kerajaan Indragiri. Mengenai pembagian adat didaerah Rokan dan Kampar di sebutkan oleh Mahdini (2003) dengan adanya pantun yang hidup di masyarakat Rokan dan Kampar seperti yang tercantum dibawah ini. Pembagian daerah pengaruh Adat Tumenggong dan Adat Perpatih tersebut dilakukan. Maka turutlah Dato’ Seri Maharaja Diraja. Membawa Penghulu yang dua silai, Ia itu Dato’ Temenggong dan Dato’ Perpatih Nan Sebatang.
Turun ke Laut ke Bandar Rokan. Tempat perahu yang bersusun-susun, Tempat galah yang bersileng-seli, Tempat goyang yang berliengkang-lingkong, Di situlah pembagian Dato’ Temenggong dengan Dato’ Perpatih Nan Sebatang. Menghilir ke Kampar Kiri dan menghulu ke Kampar Kanan. Menghilir ke Kampar Kiri, Itulah pembagian Dato’ Temenggong Bendahara kayo. Kemudian menghulu ke Kampar Kanan, Maka negeri itu terpulanglah kepada dato’ Perpatih Nan Sebatang. (Mahdini,2003) Pada daerah sepanjang sungai Siak terdapat dua kerajaan, yaitu kerajaan Petapahan dan Kerajaan Gasib
yang kemudian menjadi Siak Sri Indrapura
(Arsyad,1986). Daerah Petapahan dihuni banyak suku. Diantaranya suku Piliang dari Minangkabau. Adanya suku Piliang ini menunjukkan adat yang ada termasuk pada adat Ketumenggungan. Demikian juga dengan Siak Sri Indrapura yang mengikuti adat Ketumenggungan. Meskipun antara adat Perpatih dan Ketumanggungan terdapat perbedaan, dimana
adat
Ketemanggungan
bersifat
patrilineal dan
matrilineal, namun keduanya dianggap serumpun.
adat
Perpatih bersifat
Sementara itu, bila dihubungkan
dengan adat Melayu yang ada di pantai Timur Sumatera dan Kepulauan Riau dengan adat yang ada di Semenanjung Malaya, maka keduanya memilki akar yang sama. Adat ini kemudian dengan berbagai bentuk perubahan melalui kerajaan Budha Palembang, dikembangkan oleh kerajaan Melaka-Palembang yang menguasai daerah-daerah Melayu, selanjutnya diwarisi oleh Kesultanan Johor Riau. (Mahdini, 2003) Adat yang dilakukan terus menerus menjadi tradisi pada suatu daerah. Reid (2002) menyebutkan bahwa tahun antara 1400 – 1600 masehi adalah masa dimana masyarakat Nusantara menemukan bentuk yang saat ini disebut sebagai „tradisional‟. Adapun adat yang berlaku di daerah Riau adalah : 1.
Daerah Aliran Sungai Rokan.
Daerah Rokan Kanan mengikuti adat Tumenggung, Rokan Kiri menganut
adat
Perpatih sementara Rokan Hilir mengikuti adat
Tumenggung. 2.
Daerah Aliran Sungai Siak. Daerah Petapahan mengikuti adat Tumenggung, Siak Sri Indrapura juga mengikuti adat Tumenggung.
3.
Daerah aliran Sungai Kampar. Daerah Kampar Kanan mengikuti adat Perpatih, sementara Rokan Kiri mengikuti adat Tumenggung. Pelalawan mengikuti adat Tumenggung.
4.
Daerah Aliran Sungai Kuantan atau Indragiri. Daerah Kuantan Mudik mengikuti adat
mengikuti adat Perpatih. Kuantan Hilir
Tumenggung.
Sementara
Indragiri ke
hilir juga
mengikuti adat Tumenggung. Peta Rumah Tradisional.
Tumenggung Perpatih Tumenggung
Tumenggung Perpatih
Tumenggung
Perpatih Gambar 2. Peta adat Daerah Riau.
Hasil pengamatan di lapangan terlihat tipologi bentuk arsitektur yang khas berdasarkan peta adat yang dibuat diatas. Adapun bentuk-bentuk tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan adat dan lokasinya adalah :
1.
Daerah Aliran Sungai Rokan.
-
Daerah Rokan Kiri memilki bentuk arsitektur rumah tradisional atap lontik dengan banyak variasi. Tiap-tiap sub suku memiliki bentuk arsitektur rumah tradisional tersendiri.
-
Daerah Rokan Kanan memiliki bentuk rumah atap lipat pada masa lalu, tetapi lambat laun menjadi rumah atap limas.
-
Daerah Rokan Hilir memiliki bentuk rumah atap lipat dan atap limas.
-
Penduduk suku Sakai yang hidup di daerah Rokan Hilir memakai rumah dengan atap lipat.
2.
Daerah Aliran Sungai Siak.
-
Daerah Petapahan memiliki bentuk rumah atap lontik dengan bentuk kecil dan sedikit ornamen.
-
Daerah Siak Sri Indrapura yang merupakan pusat kerajaan memiliki bentuk rumah atap lipat dan atap limas. Sementara Istana Assyaherah Hasyimiyah
memiliki bentuk
bergaya
kolonial dengan tambahan
kubah pada masa lalu. Sementara Istana Melintang yang kini sudah tidak ada memakai atap lipat dengan banyak ornamen. -
Daerah
Bengkalis
yang
merupakan
pusat pemerintahan kolonial
Belanda memiliki rumah tradisional atap limas. -
Penduduk suku Sakai di daerah sekitar Sungai Siak memakai bentuk atap lipat pada rumah tinggalnya.
3.
Daerah Aliran Sungai Kampar.
-
Daerah Kampar Kanan memiliki rumah tradisional dengan atap lontik. Bentuk masa bangunan kecil dengan banyak hiasan ornamen. Bentuk rumah lontik didapati sampai ke daerah Danau Bingkuang dan daerah Teratak Buluh. Hanya saja rumah lontik di daerah ini tidak memiliki
banyak ornamen sedangkan bentuk denahnya sama dengan di daerah hulu sungai Kampar Kanan. -
Daerah Kampar Kiri memiliki bentuk rumah tradisional dengan berbagai macam bentuk. Ada lontik dengan sedikit ornamen, ada atap lipat dan ada atap limas. Istana Kerajaan Kampar Kiri memiliki bentuk atap limas dengan tambahan kubah diatasnya.
-
Daerah Pelalawan memiliki bentuk rumah atap lipat dan limas. Duplikat Istana Kerajaan Pelalawan menggunakan bentuk atap limas.
-
Penduduk suku Petalangan atau Talang Mamak menggunakan bentuk atap lipat yang sederhana pada rumah tinggalnya.
4.
Daerah Aliran Sungai Kuantan dan Indragiri.
-
Daerah Kuantan Mudik memakai bentuk rumah dengan atap lontik. Berbeda dengan daerah Kampar, Rumah tradisional disini bentuknya lebih panjang. Kecuali pada beberapa rumah dengan bentuk hampir sama dengan rumah lontik Kampar, tetapi dengan sedikit ornamen.
-
Pada beberapa tempat di Kuantan Mudik dan Kuantan Tengah terlihat rumah dengan bentuk persis seperti rumah Minangkabau.
-
Daerah Kuantan Hilir memiliki bentuk rumah dengan atap lipat. Sedangkan pola denahnya terlihat sama dengan rumah atap lontik.
-
Daerah Indragiri dengan Rengat sebagai pusat kerajaan terlihat lebih banyak menggunakan atap limas. Istana kerajaan juga menggunakan atap limas.
-
Daerah Indragiri Hilir banyak menggunakan atap lipat.
-
Suku laut yang bermukim di muara sungai Indragiri memiliki bentuk rumah dengan atap lipat.
Gambar 3. Peta rumah adat Daerah sungai rokan provinsi Riau
Gambar 4. Peta rumah adat Daerah sungai siak provinsi Riau
Gambar 5. Peta rumah adat Daerah sungai kampar provinsi Riau
Gambar 6. Peta rumah adat Daerah sungai kuantan-indragiri provinsi Riau
Kesimpulan. Berdasarakan pembahasan yang telah dibuat diatas didapat kesimpulan sebagai berikut : 1.
Rumah tradisional Melayu pada daerah perbatasan dengan Sumatera Barat berbentuk atap limas. Tetapi tiap-tiap daerah memiliki bentuk atap limas yang berlainan. Sedangkan dari sisi adat masyarakat umumnya menganut adat Perpatih.
2.
Pengecualian terdapat pada rumah tradisional daerah Kampar Kiri yang menganut adat Ketumenggungan tetapi menggunakan rumah dengan atap lontik.
3.
Pada daerah pesisir dan daerah pulau rumah, tradisional menggunakan atap lipat. Kecuali pada tempat yang berdekatan dengan pusat kekuasaan terlihat menggunakan atap limas.
4.
Pada
daerah
Ketumenggungan
peralihan rumah
antara
adat
tradisional yang
Perpatih ada
dengan
adat
memiliki berbagai
variasi atap. Saran. 1.
Perlu adanya penelitian lanjutan yang mengkaji kaitan antara bentuk atap dengan denah bangunan dan elemen arsitektur lainnya.
2.
Perlu adanya penelitian lanjutan yang mengkaji pola morfologi bentuk bangunan dari masa ke masa.
3.
Penelitian lanjutan tersebut harus segera dilakukan karena semakin cepatnya
petumbuhan
daerah
yang
menghancurkan
arsitektur
tradisional yang ada. Daftar Pustaka. Antoniades, Anthohy, C., 1996, “Poetic Arcitecture”, Van Nostrand Reinhold Co. New York USA.
Arsyad, Hasyim, K.H., 1986, “Sejarah Bekas Kerajaan Petapahan”, Tanpa Nama Penerbit, Pekanbaru. Broadbent, Geoffrey, 1985, “Design in Architecture”, Van Nostrand Reinhold Co. New York. USA. Effendi, Tenas, 1993, “Falsafah Arsitektur Riau”, Pemerintah Daerah Propinsi Riau, Pekanbaru. Effendi, Tenas, 2002, “Sekilas Tentang Bangunan Tradisional Melayu Riau”, Kertas Kerja Penataran Strata I Ikatan Arsitek Indonesia Riau, Pekanbaru. Ghalib, Wan, 2006, “Dari Kebatinan Senapelan Ke Bandaraya Pekanbaru – Menelisik Jejak Sejarah Kota Pekanbaru 1784 – 2005”, Pemda Pekanbaru dan Yayasan Alif, Pekanbaru. Hamidy, U.U., 2009, “Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau”, Bilik Kreatif Press, Pekanbaru. Jamal, Mid. Drs., 1985, “Menyigi Tambo Alam Minangkabau”, C.V. Tropic, Bukittinggi. Mahdini, 2003, “Islam dan Kebudayaan Melayu”, Daulat Riau, Pekanbaru. Muhadjir, Noeng, Prof. DR., 1992, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, Penerbit Rake Sarasin, Yogyakarta. Nasir, Abd. Halim, 1985, “Pengenalan Rumah Tradisional Melayu Semenanjung Malaysia”, Loyal Press Ltd Bhd, Malaysia. Luthfi, Mukhtar, Drs., 1977, “Sejarah Riau”, Percetakan Riau, Pekanbaru. Proyek Media Kebudayaan, 1984, “Album Arsitektur Tradisional”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Reid, Anthony., 2002, “Sejarah Modern Awal”, Buku Antar bangsa untuk Grolier International, Jakarta. Suwardi, MS. Drs., 1985, “Pacu Jalur dan Upacara Pelengkapnya”, Proyek Media Kebudayaan, Jakarta.