PEMBIAYAAN PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA Laporan Kajian
KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS) - 2008 -
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia (Laporan Kajian) / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Edisi ke-1, Cetakan ke-1 xvi + 197 hal. 25 cm ISBN 987-979-3764-37-5
Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia (Laporan Kajian) Edisi Pertama Cetakan Pertama, April 2008
Tim Penulis Dedi M. Masykur Riyadi (Editor) Tuti Riyati (Ketua Pelaksana) Ade Kuswoyo (Pembiayaan) Gustomi Rudiyanto (Air Minum dan Sanitasi) Mahlil Ruby (Kesehatan) Maliki (Pendidikan, Kemiskinan) Nizhar Marizi (Target MDGs) Pungkas Bahjuri Ali (Kesehatan) Suharti (Pendidikan) Vivi Yulaswati (Kemiskinan)
Desain & Tata Letak R. Adi Nur Setiadi
PEMBIAYAAN PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA Laporan Kajian
Buku ini melaporkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2007. Kajian ini dilaksanakan sebagai bagian dari upaya, dan sekaligus untuk menunjukkan telah diupayakannya, pengarusutamaan tujuan pembangunan milenium (Millennium
Development
Goals
atau
MDGs)
dalam
pembangunan
Indonesia
yang
diselenggarakan dengan mengacu pada dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang dan jangka menengah yang telah disusun yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Laporan ini diharapkan dapat mendukung dan melengkapi kepustakaan yang telah ada mengenai MDGs di Indonesia, dan merupakan salahsatu sarana dalam upaya berkesinambungan untuk mencapai MDGs tersebut. Penghitungan prakiraan biaya yang diperlukan untuk mencapai MDGs telah banyak dilakukan dalam skala global, regional atau nasional. Dalam pembuatan prakiraan tersebut lazim digunakan pendekatan makro untuk menghitung kebutuhan pembiayaan nasional. Angka yang diperoleh digunakan sebagai dasar untuk melihat kemungkinan dan kapasitas pencapaian MDGs serta untuk mendorong peningkatan kapasitas negara berkembang agar mampu mencapai tujuan dimaksud dengan mendayagunakan dukungan dan kerjasama internasional. Kajian ini mencoba menelaah aspek pembiayaan yang diperlukan untuk mencapai MDGs di Indonesia berdasarkan kapasitas manajemen dan sumber daya nasional yang ada melalui berbagai pendekatan yang mungkin diterapkan. Kajian yang menghasilkan laporan ini dilaksanakan oleh sebuah tim lintas unit kerja di Kementerian Negara PPN/Bappenas. Dalam pelaksanaan kajian telah dilakukan proses diskusi, seminar, lokakarya, penyusunan dan pembahasan laporan oleh tim secara khusus atau dengan mengikutsertakan stakeholders terkait dari Kementerian/Lembaga dan dari luar pemerintah, khususnya dari Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Pendidikan Nasional.
- i -
Tim Pelaksana Kajian Penanggungjawab : Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi Tim Penyusun Rekomendasi Kebijakan (TPRK) Ketua
: Dra. Tuti Riyati, MA
Anggota
: Dr. Maliki, ST, MSIE Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS Dr. Vivi Yulaswati Ir. Suharti, MA Lenny N. Rosalin, SE, MA Ir. Nugroho Tri Utomo, MRP Ade Kuswoyo, Ssi Nizhar Marizi, STP, MSi Gustomi Rudiyanto, ST
Nara Sumber
: Dr. Ir. Bambang Widianto, MA Dr. Prasetijono Widjojo MJ Dr. Arum Atmawikarta, SKM, MPH Dr. Ir. Taufik Hanafi, MURP Ir. Basah Hernowo, MA Dr. dr. Mahlil Ruby, MKes
Kontributor Aktif
:
Ucapan terima kasih patut disampaikan kepada rekan-rekan dari Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan yang telah secara aktif berpartisipasi dalam pertemuan, diskusi, seminar dan konsinyasi dalam rangka pelaksanaan kajian ini. Ucapan terima kasih ini disampaikan khususnya kepada Saudara-saudara Bangkit Hutajulu, Budi Susetyo, Carmelia Basri, Eko Saputro, Eli W., Erna Mulati, Gemala Hatta, Hakimi, Kirana R., Lukman H., Sri Renani P. Astuti, dan Vivi V; serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
- ii -
KATA PENGANTAR Buku ini adalah laporan kajian Pembiayaan Pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang dilaksanakan dengan biaya APBN tahun 2007 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BAPPENAS. Kajian ini dilaksanakan oleh staf Kementerian Negara PPN/Bappenas dari berbagai Kedeputian dan Staf Ahli, sesuai dengan sifat MDGs yang lintasbidang dan lintassektor. Meskipun MDGs sudah dicanangkan sebagai kesepakatan global sejak tahun 2000, namun banyak hal terkait dengan upaya percepatan dan pembiayaan untuk mencapainya masih merupakan masalah yang dihadapi banyak negara. Dalam laporan mutakhir tentang MDGs dibahas antara lain tentang status pencapaian MDGs di suatu negara apakah mungkin dicapai atau dalam laju sesuai harapan (on-track), ataukah masih jauh dari harapan atau sangat mungkin tidak tercapai (off-track). Status dalam klasifikasi off-track tersebut nampaknya berkaitan erat dengan kendala strategis penempatan upaya pencapaian MDGs sebagai prioritas nasional, atau beratnya upaya untuk mencapai kondisi yang diharapkan karena permasalahan struktural dan operasional. Biaya dan anggaran yang tersedia adalah salah satu faktor dominan yang dihadapi banyak negara berkembang dalam menempatkan upaya pencapaian MDGs sebagai prioritas. Kajian makro untuk menghitung biaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan milenium sudah banyak dilakukan, namun belum banyak yang melakukan telaahan atau kajian kebutuhan dan situasi riil secara mikro di tingkat suatu negara. Kajian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi dan landasan kebijakan pembiayaan untuk mencapai MDGs di Indonesia. Kajian ini mencoba melihat pula apakah pendekatan pengarusutamaan upaya pencapaian MDGs juga telah didukung oleh pembiayaan yang sejalan dengan pengarusutamaan tersebut. Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat selain untuk dasar pertimbangan penganggaran juga untuk melengkapi laporan pencapaian MDGs yang sudah dua kali diterbitkan, terakhir pada tahun 2007. Kajian ini dapat terselenggara dan laporan ini dapat diterbitkan karena adanya dukungan penuh dari pimpinan dan staf Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Kemiskinan, Ketenagakerjaan, Usaha Kecil dan Menengah, Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Deputi Sarana dan Prasarana, Deputi Pendanaan Pembangunan, dan Staf Ahli Menteri Bidang Sumber Daya Manusia dan Kemiskinan. Staf Ahli Menteri Negara PPN Bidang Ekonomi dan Pembiayaan Pembangunan sebagai penanggungjawab kajian mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf tersebut di atas, khususnya kepada Saudara-saudara Tuti Riyati, Ade Kuswoyo, Maliki, Pungkas Bahjuri Ali, Suharti, Vivi Yulaswati, Gustomi, Nizhar Marizi, Nugroho Triutomo, Lenny NR, Mahlil Ruby sebagai nara sumber, dan para staf pendukung administrasi. Jakarta, Januari 2008. Penanggungjawab Kajian:
Dedi M. Masykur Riyadi
- iii -
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. iii DAFTAR ISI............................................................................................................................................... v DAFTAR TABEL ...................................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................xii DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ............................................................................................ xv BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang................................................................................................................. 1
1.2
Tujuan .............................................................................................................................. 2
1.3
Ruang Lingkup ............................................................................................................... 2
1.4
Sistematika Penulisan .................................................................................................... 3
TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM (Millennium Development Goals) DI INDONESIA......................................................................................................................... 7 2.1
Deklarasi Milenium ........................................................................................................ 7
2.2
Tujuan dan Target MDGs .............................................................................................. 8
2.3
Pencapaian MDGs di Indonesia.................................................................................... 9
2.4
MDGs dan RPJMN 2004-2009 ..................................................................................... 10
2.5
Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia................................................ 11
PEMBIAYAAN MDGs BIDANG PENDIDIKAN ............................................................. 15 3.1
Pendahuluan ................................................................................................................. 15 3.1.1 Latar Belakang............................................................................................... 15 3.1.2 Studi Pustaka................................................................................................. 16 3.1.3 Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan di Indonesia ............................... 21
3.2
Metodologi..................................................................................................................... 23 3.2.1 Perhitungan Jumlah Murid ......................................................................... 23 3.2.2 Pendekatan Mikro......................................................................................... 25 3.2.3 Pendekatan Makro........................................................................................ 36
3.3
Biaya yang Dibutuhkan ............................................................................................... 40 3.3.1 Metode Mikro................................................................................................ 40 3.3.2 Metode Makro ............................................................................................... 50 3.3.3 Strategi Pembiayaan ..................................................................................... 51
PEMBIAYAAN MDGs BIDANG KESEHATAN............................................................... 59 4.1
Pendahuluan ................................................................................................................. 59 4.1.1 Latar Belakang............................................................................................... 59 4.1.2 Pencapaian MDGs Bidang Kesehatan di Indonesia ................................. 61 4.1.3 Kondisi Pendanaan Kesehatan di Indonesia ............................................. 69
- v -
Daftar Isi
BAB 5
BAB 6
BAB 7
4.2
Metodologi .................................................................................................................... 76 4.2.1 Ruang Lingkup.............................................................................................. 76 4.2.2 Kerangka Pikir dan Alur Perhitungan Biaya ............................................ 77 4.2.3 Langkah Penghitungan Biaya ..................................................................... 83 4.2.4 Asumsi dan Keterbatasan ............................................................................ 86
4.3
Kebutuhan Biaya........................................................................................................... 88 4.3.1 Kebutuhan Kesehatan Utama...................................................................... 88 4.3.2 Rekapitulasi Kebutuhan Biaya MDGs Bidang Kesehatan ................... 121 4.3.3 Kebutuhan dan Kesenjangan Pembiayaan .............................................. 122
PEMBIAYAAN MDGs BIDANG AIR MINUM DAN SANITASI .............................. 129 5.1
Pendahuluan ............................................................................................................... 129 5.1.1 Latar Belakang............................................................................................. 129 5.1.2 Konsep Dasar dan Pencapaian Sasaran Air Minum dan Sanitasi ....... 130 5.1.3 Dampak Pelayanan..................................................................................... 131 5.1.4 Pencapaian Sasaran Air Minum dan Sanitasi Dasar .............................. 133
5.2
Metodologi .................................................................................................................. 135
5.3
Kebutuhan Biaya......................................................................................................... 137 5.3.1 Asumsi Perhitungan................................................................................... 137 5.3.2 Hasil Perhitungan ....................................................................................... 140
5.4
Strategi Pembiayaan................................................................................................... 151 5.4.1 Kebijakan Pendanaan Air Minum dan Sanitasi ...................................... 151 5.4.2 Kecenderungan Anggaran untuk Penyediaan Air Minum dan Sanitasi 2003-2005 ....................................................................................... 152
PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PROGRAM YANG TERINTEGRASI.................................................................................................................... 157 6.1
Pendahuluan ............................................................................................................... 157
6.2
Program Penanggulangan Kemiskinan ................................................................... 158 6.2.1 Pembangunan Pendidikan untuk Anak dari Keluarga Tidak Mampu ......................................................................................................... 158 6.2.2 Pembangunan Kesehatan untuk Keluarga Miskin................................. 161
6.3
Penanggulangan Kemiskinan Terintegrasi: Program Keluarga Harapan (PKH)............................................................................................................................ 162
6.4
Pembiayaan Program Keluarga Harapan (PKH) ................................................... 169
STRATEGI PEMBIAYAAN UNTUK PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA........................................................................................................................... 175 7.1
Pendahuluan ............................................................................................................... 175
7.2
Kebutuhan Pembiayaan............................................................................................. 176
- vi -
Daftar Isi
7.3
Strategi Pembiayaan................................................................................................... 177 7.3.1 Peningkatan Kapasitas Sumber Pembiayaan, Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dengan Upaya Pencapaian MDGs, serta Peningkatan Optimalisasi Belanja Negara .............................................. 178 7.3.2 Pembagian Peran Pemerintah – Non Pemerintah dan Peningkatan Peran Masyarakat/ Swasta......................................................................... 182 7.3.3 Peningkatan Kerjasama Pembangunan dan Pembiayaan Internasional ................................................................................................ 185
7.4
Strategi Khusus ........................................................................................................... 186 7.4.1 Bidang Pendidikan ..................................................................................... 186 7.4.2 Bidang Kesehatan ....................................................................................... 187 7.4.3 Bidang Air Minum dan Sanitasi Dasar .................................................... 189
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................ 191
- vii -
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Tujuan dan Target MDGs .............................................................................................. 8
Tabel 3.1
Ringkasan Beberapa Studi Perkiraan Pembiayaan Tambahan untuk Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan...................................................................... 17
Tabel 3.2
Contoh Studi Perhitungan Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan Di Beberapa Negara Terpilih dengan Beberapa Hasil Perhitungan............................ 18
Tabel 3.3
Asumsi yang Dipakai untuk Menghitung Pembiayaan MDGs.............................. 19
Tabel 3.4
Biaya Satuan (dalam Rupiah) Pendidikan Tingkat Sekolah Dasar Tahun 2008... 26
Tabel 3.5
Asumsi yang Dipakai dalam Perhitungan Pembiayaan Pencapaian MDGs ........ 31
Tabel 3.6
Proyeksi Jumlah Murid, Guru, Sekolah, dan Kelas Tingkat SD/MI yang Dibutuhkan untuk Mencapai Target MDGs Tahun 2015 ........................................ 34
Tabel 3.7
Proyeksi Jumlah Murid, Guru, Sekolah, dan Kelas Tingkat SMP/MTs yang Dibutuhkan untuk Mencapai Target MDGs Tahun 2015 ........................................ 35
Tabel 3.8
Rencana Skema Kenaikan Tunjangan Fungsional Berkaitan dengan Implementasi UU No. 14 2005 .................................................................................... 36
Tabel 3.9
Anggaran Sektor Pendidikan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat Tahun 2005 (Miliar Rupiah) ........................................................................................ 37
Tabel 3.10
Satuan Biaya Rata-Rata yang Digunakan untuk Perhitungan Pembiayaan, Harga Tahun 2008......................................................................................................... 38
Tabel 3.11
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Berlaku), 2008-2015 ................. 42
Tabel 3.12
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008), 2008-2015....... 43
Tabel 3.13
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, dalam Miliar Rupiah Harga Berlaku, 2008-2015 ..................... 44
Tabel 3.14
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008, 20082015................................................................................................................................. 45
Tabel 3.15
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Berlaku) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015 ............................................. 46
Tabel 3.16
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015................................. 47
Tabel 3.17
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, (dalam Miliar Rupiah Harga Berlaku) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015 ............................................. 48
- ix -
Daftar Tabel
Tabel 3.18
Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, (dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015 ............. 49
Tabel 3.19
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Biaya yang Dibutuhkan untuk Mencapai MDGs Bidang Pendidikan Metode Mikro................................................................. 50
Tabel 3.20
Hasil Perhitungan dana Untuk Mencapai MDGs Bidang Pendidikan Melalui Metode Makro (dalam Miliar Rupiah)....................................................................... 51
Tabel 3.21
Strategi Pembiayaan Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan (dalam Miliar Rupiah)........................................................................................................................... 52
Tabel Box.
Kelebihan Pendidikan Inklusif Dibandingkan dengan Jenis Pendidikan yang Lain ....................................................................................................................... 55
Tabel 4.1
Jenis dan Persentase Penggunaan Kontrasepsi di Indonesia Tahun 2004............. 66
Tabel 4.2
Peta Pembiayaan Kesehatan Indonesia 2003-2004 ................................................... 70
Tabel 4.3
Gambaran Belanja Kesehatan Indonesia dan Negara Asean Lainnya.................. 71
Tabel 4.4
Status Kesehatan Negara Asean Dibandingkan dengan Indonesia (Data 1997)................................................................................................................................ 71
Tabel 4.5
Alokasi Anggaran Departemen Kesehatan Tahun 2008 Menurut Program Untuk Belanja Tidak Mengikat ................................................................................... 72
Tabel 4.6
Anggaran Kesehatan Di Beberapa Kabupaten/Kota................................................ 73
Tabel 4.7
Beberapa Daerah yang Telah Mengalokasikan Anggaran Kesehatan Secara Efektif ............................................................................................................................. 75
Tabel 4.8
Paket Program dan Intervensi Kesehatan Anak....................................................... 79
Tabel 4.9
Paket Program dan Intervensi Kesehatan Ibu .......................................................... 80
Tabel 4.10
Paket Program dan Intervensi HIV/AIDS ................................................................. 81
Tabel 4.11
Paket Program dan Intervensi Malaria ...................................................................... 82
Tabel 4.12
Paket Program dan Intervensi TB............................................................................... 82
Tabel 4.13
Jumlah Kasus Asfiksia, BBLR, Infeksi dan Tetanus Neonatorum Menurut Tahun ............................................................................................................................. 89
Tabel 4.14
Biaya Rata-Rata Per Kasus Penanganan Bayi Penderita Asfiksia, BBLR, Infeksi dan Tetanus Neonatorum Menurut Tahun .................................................. 90
Tabel 4.15
Total Biaya Intervensi Langsung Pelayanan Neonatal Menurut Tahun ............... 90
Tabel 4.16
Kebutuhan Safety Box dan Target Cakupan Imunisasi Bayi Menurut Tahun....... 91
Tabel 4.17
Satuan Biaya Imunisasi Menurut Tahun ................................................................... 91
Tabel 4.18
Total Biaya Intervensi Langsung Pelayanan Imunisasi Tahun 2008-2015 ............ 92
Tabel 4.19
Jumlah Kasus yang Menjadi Fokus MTBS Menurut Tahun (Ribuan) ................... 93
Tabel 4.20
Biaya Rata-Rata Per Kasus (dalam Ribuan Rupiah)................................................. 93
Tabel 4.21
Total Biaya Intervensi Langsung Pelayanan MTBS (dalam Jutaan Rupiah)......... 94
Tabel 4.22
Total Biaya Langsung Pelayanan Kesehatan Anak Menurut Tahun ..................... 94
Tabel 4.23
Kebutuhan Biaya Pelatihan Tenaga Pelayanan Kesehatan Anak........................... 95
- x -
Daftar Tabel
Tabel 4.24
Kebutuhan Biaya untuk Penguatan Sistem Kesehatan............................................ 96
Tabel 4.25
Total Kebutuhan Biaya Untuk Penurunan Kematian Neonatal, Bayi dan Balita............................................................................................................................... 96
Tabel 4.26
Sasaran dan Cakupan Kesehatan Ibu......................................................................... 97
Tabel 4.27
Perhitungan Kebutuhan Biaya Pelayanan Langsung .............................................. 99
Tabel 4.28
Jumlah dan Jenis Tenaga Kesehatan yang Dilatih dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu .................................................................................................. 101
Tabel 4.29
Kebutuhan Biaya Tenaga Kesehatan Dalam Penurunan Angka Kematian Ibu . 101
Tabel 4.30
Satuan Biaya dan Jumlah Sarana dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu................................................................................................................................. 102
Tabel 4.31
Kebutuhan Biaya Untuk Peningkatan Infrastruktur Pelayanan Kesehatan Ibu................................................................................................................................. 102
Tabel 4.32
Kebutuhan Biaya Penguatan Sistem ........................................................................ 103
Tabel 4.33
Total Kebutuhan Biaya Pelayanan Kesehatan Ibu ................................................. 103
Tabel 4.34
Estimasi Prevalensi dan Kasus HIV Menurut Tahun ............................................ 104
Tabel 4.35
Kebutuhan Biaya Pelayanan Preventif Menurut Daerah Papua dan Selain Papua............................................................................................................................ 106
Tabel 4.36
Kebutuhan Biaya untuk Pengobatan Menurut Wilayah ...................................... 107
Tabel 4.37
Jenis dan jumlah tenaga yang perlu dilatih dalam penanggulangan HIV/AIDS..................................................................................................................... 108
Tabel 4.38
Kebutuhan Biaya Pelatihan Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga............... 108
Tabel 4.39
Kebutuhan biaya untuk infrastruktur program HIV/AIDS .................................. 109
Tabel 4.40
Kebutuhan Biaya Bagi Penguatan Sistem Penanggulangan HIV/AIDS.............. 109
Tabel 4.41
Total Biaya Pelayanan HIV/AIDS............................................................................. 110
Tabel 4.42
Estimasi Jumlah Kasus Malaria per Tahun ............................................................. 110
Tabel 4.43
Biaya Intervensi Langsung Preventif Penanggulangan Malaria .......................... 112
Tabel 4.44
Kebutuhan Biaya untuk Diagnosa............................................................................ 112
Tabel 4.45
Biaya Pengobatan Malaria Falsiparum, Malaria Vivax, Malaria Berat dan Penyediaan Obat oleh Kader..................................................................................... 113
Tabel 4.46
Kebutuhan Dana untuk Pedoman/Bahan Habis Pakai.......................................... 113
Tabel 4.47
Rekapitulasi Biaya Langsung Program Malaria ..................................................... 114
Tabel 4.48
Kebutuhan Biaya Pelatihan Tenaga Pengelola Malaria......................................... 114
Tabel 4.49
Kebutuhan Biaya untuk Infrastruktur Penanggulangan Malaria ........................ 115
Tabel 4.50
Biaya Penguatan Sistem............................................................................................. 115
Tabel 4.51
Rekapitulasi Kebutuhan Biaya Program Malaria ................................................... 115
Tabel 4.52
Kebutuhan Biaya Malaria Per Kapita....................................................................... 116
Tabel 4.53
Perkembangan Target Penemuan Kasus TB ........................................................... 117
Tabel 4.54
Total Biaya Intervensi Langsung Penanganan TB DOTS ...................................... 117
- xi -
Daftar Tabel
Tabel 4.55
Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan yang Dilatih TB DOTS .................................118
Tabel 4.56
Biaya Pelatihan Menurut Jenis Tenaga yang Menangani TB DOTS .....................118
Tabel 4.57
Kebutuhan Biaya TB Untuk Infrastruktur dan Penguatan Sistem........................119
Tabel 4.58
Rekapitulasi Total Kebutuhan Biaya TB DOTS .......................................................119
Tabel 4.59
Satuan Biaya dan Jumlah Kebutuhan Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga ...........................................................................................................................121
Tabel 4.60
Kebutuhan Biaya Pre-service Training (dalam Jutaan Rupiah) ...............................121
Tabel 4.61
Kebutuhan Biaya Total dalam Mencapai MDGs Menurut Tujuan .......................122
Tabel 4.62
Kebutuhan Biaya Menurut MDGs Menurut Kategori ............................................122
Tabel 4.63
Kesesuaian antara Intervensi yang dianggap cost effective oleh WHO Di bandingkan dengan Tujuan MDGs ...........................................................................123
Tabel 5.1
Dampak Pelayanan Air Minum dan Sanitasi Dasar ...............................................132
Tabel 5.2
Definisi Air Minum dan Sanitasi Dasar Terlindungi ..............................................137
Tabel 5.3
Biaya Investasi Awal Per Kapita................................................................................138
Tabel 5.4
Asumsi yang Digunakan untuk Menentukan Biaya Komposisi Operasional dan Pemeliharaan Tahunan .......................................................................................139
Tabel 5.5
Biaya Pemeliharaan Tahunan Per Kapita ................................................................140
Tabel 5.6
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Estimasi Pembiayaan Untuk Pencapaian Target MDGs Air Minum Per Tahun ........................................................................141
Tabel 5.7
Rekapitulasi Penghitungan Estimasi Pembiayaan Tahunan Sanitasi Dasar........147
Tabel 5.8
Ketidaksejalanan antara Reformasi Anggaran dengan Pendanaan Air Minum dan Sanitasi ....................................................................................................152
Tabel 6.1
Program Conditional Cash Transfers (CCT) di Beberapa Negara ............................164
Tabel 6.2
Persyaratan Peserta PKH Kesehatan.........................................................................168
Tabel 6.3
Skenario Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) ...........................................169
Tabel 6.4
Rencana Tahapan Cakupan Penerima PKH 2008-2015 (dalam Juta)*) ..................170
Tabel 7.1
Rekapitulasi Kebutuhan Pembiayaan Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan, Kesehatan, serta Air Minum dan Sanitasi Dasar (Miliar Rupiah).........................176
Tabel 7.2
Anggaran Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi Pendidikan, Kesehatan, serta Perumahan dan Fasilitas Umum (Miliar Rupiah)..........................................177
Tabel 7.3
Penerimaan Negara dan Hibah 2004-2008 (Miliar Rupiah) ...................................178
Tabel 7.4
Situasi Kesehatan Ibu dan Anak Menurut Provinsi................................................188
Tabel 7.5
Pengeluaran Rata-rata Tahunan dalam Pembangunan Sektor Air Minum .........189
- xii -
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1
Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan Dasar di Indonesia dan Proyeksinya Sampai Tahun 2015....................................................................................................... 22
Gambar 3.2
Jumlah Anak Usia Sekolah yang Terancam Tidak Dapat Bersekolah ................... 23
Gambar 3.3
Partisipasi Sekolah Tingkat SD/MI dan SMP/MTs Usia Tunggal .......................... 24
Gambar 3.4
Rata-rata Pertumbuhan Partisipasi Sekolah yang Diperlukan untuk Mencapai MDGs 2015 .................................................................................................. 25
Gambar 3.5
Rata-rata Pengeluaran Pendidikan per Bulan Menurut Jenis Pengeluaran per Umur Tunggal, 2005 .............................................................................................. 27
Gambar 3.6
Persentase Pekerja Anak dan Anak Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga ......... 29
Gambar 3.7
Bayaran per Bulan untuk Pekerja Swasta dan Kompensasi untuk Pekerja Bisnis Rumah Tangga Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005................................................................................................................................. 30
Gambar 4.1
Prevalensi Kekurangan Gizi pada Anak Balita di Indonesia Tahun 1989 2005................................................................................................................................. 62
Gambar 4.2
Kecenderungan Angka Kematian Neonatus, Bayi dan Balita ................................ 63
Gambar 4.3
Penyebab Kematian Utama Neonatal di Indonesia Tahun 2001 ............................ 64
Gambar 4.4
Kecenderungan Kematian Ibu sejak 1990 sampai 2002 dan Proyeksi 2015........... 65
Gambar 4.5
Penyebab Kematian Ibu (SKRT, 2001)........................................................................ 66
Gambar 4.6
Jumlah Kasus Baru dan Kumulatif Kasus AIDS (sampai dengan tahun 2006)................................................................................................................................ 67
Gambar 4.7
Prevalensi TB dengan Sputum Positif menurut Kawasan dan Nasional .............. 69
Gambar 4.8
Gambaran Belanja Kesehatan Indonesia Pra Krisis ................................................. 69
Gambar 4.9
Sumber Pembiayaan Kesehatan di Indonesia tahun 2004....................................... 70
Gambar 4.10
Jenis-Jenis Intervensi Penurunan Angka Kematian Anak yang Efektivitas Biaya (Cost Effective)...................................................................................................... 78
Gambar 4.12
Perhitungan Akhir Biaya Pencapaian MDGs Kesehatan......................................... 86
Gambar 4.13
Kebutuhan Biaya MDGs Kesehatan 2008-2015...................................................... 123
Gambar 4.14
Kebutuhan Pembiyaan MDGs 2008-2015 menurut Kategori............................... 124
Gambar. 4.15
Alokasi Anggaran Departemen Kesehatan 2006-2008 ........................................... 125
Gambar 5.1
Cakupan Pelayanan Air Minum............................................................................... 133
Gambar 5.2
Cakupan Pelayanan Sanitasi Dasar.......................................................................... 134
Gambar 5.3
Flowchart Penghitungan Pembiayaan MDGs untuk Air Minum dan Sanitasi Dasar .............................................................................................................. 137
Gambar 5.4
Cakupan Pelayanan Air Minum untuk Mencapai Target MDGs 2015................ 138
Gambar 5.5
Cakupan Pelayanan Sanitasi Dasar untuk Mencapai Target MDGs 2015........... 138
- xiii -
Daftar Gambar
Gambar 5.6
Cakupan Air Minum Menurut Pilihan Teknologi.................................................. 142
Gambar 5.7
Cakupan Air Minum Menurut Pilihan Teknologi di Perkotaan .......................... 142
Gambar 5.8
Cakupan Air Minum Menurut Pilihan Teknologi di Perdesaan .......................... 143
Gambar 5.9
Pembiayaan Tahunan Air Minum Menurut Desa-Kota ........................................ 143
Gambar 5.10
Biaya Operasional Tahunan untuk Air Minum...................................................... 144
Gambar 5.11
Biaya Pemeliharaan Tahunan untuk Air Minum ................................................... 144
Gambar 5.12
Total Biaya untuk Air Minum per Tahun................................................................ 145
Gambar 5.13
Proporsi Pembiayaan untuk Air Minum ................................................................. 145
Gambar 5.14
Cakupan Sanitasi Dasar Menurut Pilihan Teknologi............................................. 146
Gambar 5.15
Cakupan Sanitasi Dasar Menurut Pilihan Teknologi di Perkotaan ..................... 146
Gambar 5.16
Cakupan Sanitasi Dasar Menurut Pilihan Teknologi di Perdesaan..................... 148
Gambar 5.17
Pembiayaan Menurut Desa-Kota.............................................................................. 148
Gambar 5.18
Pembiayaan Operasional Sanitasi Dasar ................................................................. 149
Gambar 5.19.
Pembiayaan Pemeliharaan Sanitasi Dasar .............................................................. 149
Gambar 5.20
Jumlah Biaya Berdasarkan Komponen .................................................................... 150
Gambar 5.21
Proporsi Pembiayaan Berdasarkan Komponen Biaya ........................................... 150
Gambar 5.22
Alokasi Pembiayaan Air Minum dan Sanitasi Menurt Sub-Sektor di Tingkat Daerah............................................................................................................ 153
Gambar 5.23
Alokasi Pembiayaan Air Minum dan Sanitasi Menurut Jenis Kegiatan di Tingkat Daerah............................................................................................................ 153
Gambar 7.1
Perkembangan Realisasi Belanja Daerah................................................................. 182
Gambar 7.2
Proporsi Pembiayaan Kesehatan dari Pemerintah dan Non Pemerintah di Indonesia...................................................................................................................... 187
- xiv -
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN AKB
: Angka Kematian Bayi, yaitu kematian yang terjadi pada anak usia satu tahun ke bawah dengan satuan per 1.000 kelahiran hidup
AKBA
: Angka Kematian Anak Balita, yaitu kematian yang terjadi pada anak usia 0-5 tahun dengan satuan per 1.000 kelahiran hidup
AKI
: Angka Kematian Ibu, yaitu adalah jumlah kematian maternal yang terjadi dalam periode waktu tertentu per 100.000 kelahiran hidup pada periode waktu yang sama. Yang dimaksud dengan kematian maternal adalah kematian seorang wanita pada saat hamil, pada berapapun usia kehamilan tersebut, yang disebabkan oleh kehamilan atau 42 hari setelah persalinan
AMI
: Annual Malaria Rate (per 1.000 penduduk) TB
ANC
: Pelayanan antenatal care meliputi pelacakan ibu hamil, pelayanan antenatal care empat kali, imunisasi TT ibu hamil, pemberian tabel besi, penanganan ibu hamil kekurangan energi kronik, pemeriksaan Hb dan protein urin,
API
: Annual Parasite Rate (per 1.000 penduduk)
APK
: Angka Partisipasi Kasar, perbandingan jumlah penduduk yang terdaftar sekolah pada jenjang tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah tingkat tertentu (7-12 untuk SD/MI dan 13-15 untuk SMP/MTs)
APM
: Angka Partisipasi Murni, perbandingan jumlah anak sekolah dengan umur yang sesuai dengan tingkat sekolahnya terhadap jumlah penduduk usia sekolah tingkat tertentu (7-12 untuk SD/MI dan 13-15 untuk SMP/MTs)
ARV
: Anti Retroviral
Asfiksia (Neonatal) : Kondisi bayi yang tidak dapat bernapas spontan dan teratur segera waktu lahir ASI
: Air Susu Ibu
Askeskin
: Asuransi kesehatan bagi penduduk miskin
Balita
: Bawah lima tahun
BBLR
: Bayi dengan berat lahir rendah
Bidan di desa
: Tenaga bidan yang ditempatkan dan tinggal di sebuah desa
BKKBN
: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BPS
: Badan Pusat Statistik
BTA
: Bakteri Tahan Asam
Cat gut (hal 50)
: Jenis benang jahit bagian dalam luka
CDR
: Case Detection Rate
DBD
: Demam Berdarah Dengue
GAVI
: Global Alliance for Vaccines and Immunization
GFATM
: Global Fund for AIDS, Tuberculosis and Malaria
- xv -
Daftar Istilah dan Singkatan
Gizi buruk
: Bila berat badan menurut umur (BB/U) berada di bawah minus 3 standar deviasi (Z_score < -3) dari angka median berat badan baku WHO-NCHS
Gizi Kurang
: Bila berat badan menurut umur (BB/U) berada di antara minus 2 dan minus 3 standar deviasi (-3 Z_score < -2) dari angka median berat badan baku WHO-NCHS.
ISPA
: Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IUD
: Intra Uterine Device
Kekurangan Gizi
: Bayi di bawah usia 5 tahun (balita) berat badan menurut umur (BB/U) berada kurang dari -2 standar deviasi (-3 Z_score < -2) dari angka median berat badan baku WHO-NCHS.
Mistblower
: Alat pengembunan yang dapat digunakan untuk membunuh larva insektisida di tempat-tempat mengandung air.
Neonatus
: Bayi berusia 0-28 hari
PONED
: Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergency Dasar
PONEK
: Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergency Komprehensif
Poskesdes
: Pos Kesehatan Desa
Profilaksis
: Prophylaxis
Reagensia
: Bahan kimia yang berfungsi sebagai pereaksi dan atau katalisator serta fiksasi sediaan bagian dari tubuh (cairan dan jaringan tubuh)
Regimen
: Tatacara pengobatan
RPJMN
: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RS
: Rumah Sakit
SDKI
: Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
SDM
: Sumber Daya Manusia
SKRT
: Survey Kesehatan Rumah Tangga
Spraycan
: Alat penyemprot nyamuk pembunuh nyamuk
dewasa
yang
mengeluarkan
larutan
Spuit
: Alat suntik yang terdiri dari jarum dan tabung suntik
STD
: Sexually Transmitted Diseases
STI
: Sexually Transmitted Infections
Surveilens
: Pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap berbagai kondisi penyakit yang berpotensi wabah (kasus luar biasa) dengan tujua identifikasi kelompok risiko tinggi, cara penularan, dan pemutusan rantai penularan
TB DOTs
: Directly-Observed Treatment Short Course
UCI
: Universal Coverage of Immunization
UKM
: Upaya Kesehatan Masyasrakat
Wanita usia subur : Wanita pada masa reproduksi (usia 14-49 tahun)
- xvi -
Daftar Tabel
PENDAHULUAN
- xvii -
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
P
ada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Pembangunan Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam konteks inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs) sebagai kesepakatan bersama. MDGs mencakup delapan tujuan yaitu: (1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) Menurunkan kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; (7) Menjamin kelestarian lingkungan hidup; dan (8) Membangun kemitraan global untuk pembangunan. Pemerintah Indonesia selaku penandatangan Deklarasi Milenium, berkomitmen menjadikan MDGs sebagai salah satu acuan utama dalam penyusunan program pembangunan nasional, dan secara kontinyu melaporkan posisi pencapaian MDGs sampai dengan tahun 2015. Laporan pencapaian yang pertama telah dikeluarkan pada tahun 2004 yang memperlihatkan posisi pencapaian MDGs dari tahun 1990-2003. Dalam laporan MDGs yang pertama, disampaikan bahwa pencapaian MDGs di Indonesia bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan kerjasama semua pihak untuk melakukan upaya bersama untuk mencapai tujuan-tujuan MDGs. Selain itu, salah satu permasalahan yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian adalah pembiayaan untuk pencapaian MDGs. Upaya pencapaian MDGs memerlukan biaya yang sangat besar. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh UN Millennium Projects bahwa pencapaian target MDGs akan sulit dilakukan oleh negara miskin dan berkembang tanpa adanya peningkatan bantuan yang signifikan dari negara maju. Berdasarkan perkiraan dalam kajian tersebut, diperlukan adanya peningkatan besaran bantuan sebesar USD 50 miliar untuk membantu pencapaian MDGs di seluruh dunia. Oleh karena itu, komitmen penyaluran 0,7 persen dari Gross National Product (GNP) negara maju menjadi sangat penting untuk segera dilaksanakan. Upaya pencapaian MDGs di Indonesia masih cukup sulit mengingat masih adanya beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan Indonesia ke depan, yaitu: (i) masih rendahnya pertumbuhan ekonomi; (ii) masih rendahnya kualitas
1
Bab 1. Pendahuluan
sumber daya manusia; (iii) masih kurang menyatunya kegiatan perlindungan lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam sehingga sering melahirkan konflik kepentingan antara ekonomi sumber daya alam (pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan; (iv) masih lebarnya kesenjangan pembangunan antar daerah, seperti antara Jawa – luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) – Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota – desa; (v) belum pulihnya kualitas dan pelayanan infrastruktur dan masih tertundanya pembangunan infrastruktur baru; dan (vi) masih adanya potensi aksi separatisme dan konflik horizontal yang mengganggu kecepatan laju pembangunan dan berkurangnya kesenjangan. Dalam rangka menjawab tantangan pembangunan Indonesia pada periode 2004-2009, Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga agenda pembangunan jangka menengah yaitu: (i) menciptakan Indonesia yang aman dan damai, (ii) menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis, serta (iii) meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk agenda yang ketiga yang relevan dengan kajian ini, prioritas pembangunan dan kebijakan diarahkan pada penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran; peningkatan investasi; revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan; pembangunan perdesaan dan pengurangan ketimpangan antar wilayah; peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas; peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial; pembangunan kependudukan yang berkualitas; dan pembangunan infrastruktur. Untuk mengoptimalkan upaya pencapaian MDGs, Bappenas bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait melaksanakan kajian pembiayaan untuk MDGs di Indonesia pada tahun 2007.
1.2 Tujuan Tujuan pelaksanaan kajian adalah untuk menghitung kebutuhan pembiayaan untuk pencapaian MDGs serta menyusun rekomendasi kebijakan mengenai strategi pembiayaan untuk pencapaian MDGs di Indonesia sampai dengan tahun 2015.
1.3 Ruang Lingkup Pelaksanaan program pencapaian MDGs terdiri dari dua pendekatan yaitu melalui program yang dilaksanakan oleh masing-masing sektor, serta program terintegrasi. Program terintregasi memiliki ciri lintas sektoral yang bertujuan dalam menanggulangi kemiskinan. Dalam kajian ini dihitung kebutuhan pembiayaan untuk sektor pendidikan, kesehatan, serta air minum dan sanitasi. Selain itu akan dijabarkan secara ringkas mengenai salah satu program teritegrasi yang saat ini sedang dilaksanakan oleh pemeintah yaitu Program Keluarga Harapan (PKH). Latar belakang pemilihan sektor pendidikan, kesehatan, serta air minum dan sanitasi yang dibahas dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
2
Bab 1. Pendahuluan
1.
Indonesia masih menghadapi permasalahan dalam rendahnya kualitas sumber daya manusia utamanya terkait dengan pendidikan dan kesehatan, serta penyediaan air minum dan sanitasi;
2.
Ketersediaan data dibidang pendidikan, kesehatan, serta air minum dan sanitasi dasar cukup memadai untuk menjadi dasar perhitungan kebutuhan pembiayaan; dan
3.
Target dan indikator MDGs dalam ketiga bidang ini mempunyai ukuran pencapaian yang lebih jelas dan terukur dibandingkan dengan target MDGs yang lain sehingga mempermudah dalam perhitungan kebutuhan pembiayaannya.
4.
Kompleksitas tiga bidang yang dikaji tersebut dalam kaitannya dengan bidang lain relatif rendah sehingga kajian terhadap bidang dimaksud relatif bisa dilakukan secara mandiri terhadap bidang yang bersangkutan. Tujuan dan target penurunan kemiskinan merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji namun permasalahannya sangat kompleks dan terkait dengan banyak bidang/sektor sehingga tidak dilakukan kajian secara khusus dan mendalam terhadap bidang kemiskinan, tetapi hanya diulas yang berkenaan dengan pembiayaan program penanggulangan terintegrasi.
Namun demikian patut dicatat bahwa ketiga sektor tersebut di atas sudah mencakup lima dari delapan tujuan dalam MDGs. Adapun tujuan-tujuan yang lain seperti kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta lingkungan hidup akan memperkaya analisis setiap bidang tersebut di atas. Pencapaian bidang pendidikan juga di dalamnya terdapat penjabaran yang sangat terkait erat dengan aspek gender. Sedangkan tujuan kedelapan – Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan – akan menjadi salah satu pemicu (trigger) untuk mempercepat upaya pencapaian MDGs di Indonesia.
1.4 Sistematika Penulisan Laporan kajian ini terdiri atas 8 (delapan) bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan Bab ini menjelaskan tentang latar belakang perlunya dilaksanakanya kajian mengenai pembiayaan untuk pencapaian MDGs, tujuan kajian, ruang lingkup, dan sistematika penulisan laporan. Bab pendahuluan ini merupakan dasar dan pedoman dalam pelaksanaan kajian.
Bab 2
Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) Dalam bab ini, diuraikan penjelasan secara ringkas mengenai MDGs itu sendiri, keterkaitan MDGs dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, dan penjelasan secara singkat mengenai pentingnya suatu analisis mengenai aspek pembiayaan dalam rangka pencapaian MDGs di Indonesia.
3
Bab 1. Pendahuluan
4
Bab 3
Pembiayaan Bidang Pendidikan Bab ini menguraikan pembiayaan pencapaian MDGs di bidang pendidikan mulai dari bagian pendahuluan yang menjelaskan mengenai latar belakang bidang pendidikan, posisi pencapaian dan kajian pustaka. Kemudian dijelaskan pula mengenai metodologi yang digunakan untuk perhitungan, serta hasil penghitungan kebutuhan biayanya.
Bab 4
Pembiayaan Bidang Kesehatan Bab ini menguraikan pembiayaan pencapaian MDGs di bidang kesehatan yang terdiri dari bagian pendahuluan yang menjabarkan mengenai latar belakang, posisi pencapaian, dan kondisi pendanaan kesehatan di Indonesia. Penjabaran dilanjutkan dengan penjelasan mengenai metodologi perhitungan biaya serta hasil perhitungannya.
Bab 5
Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi Bab ini menguraikan pembiayaan pencapaian MDGs di bidang air minum dan sanitasi dasar yang terdiri dari pendahuluan yang melingkupi latar belakang, konsepsi dasar, dampak pelayanan dan posisi pencapaian sasaran air minum dan sanitasi pada saat ini. Bagian selanjutnya menjabarkan mengenai metodogi serta hasil perhitungan kebutuhan biayanya.
Bab 6
Penanggulangan Kemiskinan melalui Program Terintregasi Seperti dijelaskan dalam bagian ruang lingkup, bab ini menjelaskan secara ringkas mengenai program penanggulangan kemiskinan melalui program terintegrasi. Bab ini menjelaskan mengenai bagian pendahuluan, ringkasan program penanggulangan kemiskinan secara umum, dan penjabaran mengenai Program Keluarga Harapan (PKH). Namun demikian, penjabaran bab ini berbeda dengan bab yang lain yang menjelaskan mengenai pembiayaan bidang pendidikan, kesehatan dan air minum serta sanitasi. Bab ini tidak mencakup aspek pembiayaan secara detail, melainkan penjabaran mengenai dalam aspek programnya.
Bab 7
Strategi Pembiayaan untuk Mendukung Pencapaian MDGs Bab ini menguraikan secara ringkas mengenai hasil perhitungan kebutuhan pembiayaan untuk pencapaian MDGs dalam bidang pendidikan, kesehatan, air minum dan sanitasi serta menjabarkan strategi pembiayaannya secara umum.
TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM (MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS)
5
BAB 2
TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM (Millennium Development Goals) DI INDONESIA
2.1 Deklarasi Milenium
D
alam bulan September tahun 2000, Pemerintah Indonesia berpartisipasi dalam Millennium Summit di New York dan ikut menandatangani Millennium Declaration. Deklarasi ini menyetujui suatu himpunan tujuan-tujuan pembangunan yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). MDGs adalah sebuah agenda global, berisi delapan tujuan pembangunan yang saling berkaitan: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Sebagai pemerintah salah satu negara penanda tangan Deklarasi Milenium, Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan upaya untuk mencapai target MDGs dan memonitor perkembangan kemajuan pencapaiannya. Upaya pencapaian MDGs merupakan sebuah rangkaian proses jangka panjang dan berkesinambungan. Hal ini bukan merupakan hal yang mudah, terutama pada saat Indonesia masih berada dalam periode transisi memulihkan diri dari krisis multidimensional yang diawali dengan krisis ekonomi-moneter pada tahun 1997, menuju pemerintahan yang lebih demokratis dan melaksanakan reformasi di hampir seluruh bidang kehidupan. Meskipun demikian, pemerintah tetap optimistis untuk mencapai tujuan dan target MDGs tersebut. Hal ini membutuhkan banyak upaya dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan – dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dunia politik, dan institusi akademis – yang perlu bekerja sama. Sebagai salah satu manfaat, dan sekaligus tantangan, dengan menggunakan target dan indikator yang tertuang dalam MDGs, pembandingan kemajuan pencapaian hasil pembangunan antara Indonesia dengan negara-negara berkembang yang lain akan lebih mudah dilakukan. Kesepakatan MDGs juga memberikan peluang untuk meningkatkan kerja sama pembangunan antara negara-negara miskin dan berkembang dengan negara-negara maju. Hal ini juga sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lainnya yang telah
7
Bab 2. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals)
dikembangkan oleh berbagai lembaga, konferensi dan pertemuan PBB, termasuk mandat UN Habitat, Konferensi Dunia untuk Anak di New York tahun 1990, Konferensi Dunia mengenai Pendidikan untuk Semua di Jomtien tahun 1990, Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro tahun 1992, Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1995, dan Konferensi Dunia mengenai Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002. Di tingkat nasional, MDGs memiliki peranan yang penting dalam mengukur kemajuan pembangunan di sektor-sektor relevan. MDGs merupakan masukan dan pertimbangan yang penting untuk perencanaan pembangunan nasional Indonesia.
2.2 Tujuan dan Target MDGs Delapan tujuan MDGs telah dijabarkan ke dalam target-target yang dapat diukur dan progresnya dapat dipantau dan dilaporkan dengan menggunakan indikator-indikator yang dapat diverifikasi dan diperbandingkan secara internasional. Kepada setiap negara diberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan dan melakukan lokalisasi terhadap indikator-indikator tersebut. Tabel 2.1 Tujuan dan Target MDGs
Tujuan 1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan
Target 1. Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah $ 1 PPP per hari menjadi setengahnya antara 1990 – 2015. 2. Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015.
2. Pendidikan Dasar untuk Semua
3. Memastikan pada 2015 semua anak-anak di mana pun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
3. Mendorong Kesetaraan 4. Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan Gender dan Pemberdayaan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang Perempuan pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. 4. Menurunkan Angka Kematian Anak
5. Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990 dan 2015.
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu
6. Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 1990 dan 2015.
6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya
7. Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada 2015.
8
8. Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada 2015.
Bab 2. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals)
Tujuan 7. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Target 9. Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang. 10. Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. 11. Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.
8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan
12. Melakukan pembangunan lebih lanjut sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif. 13. Penanggulangan masalah pinjaman luar negeri melalui upaya nasional maupun internasional dalam rangka pengelolaan pinjaman luar negeri yang berkesinambungan dalam jangka panjang. 14. Bekerja sama dengan negara-negara berkembang dalam mengembangkan dan menerapkan strategi untuk menciptakan lapangan kerja yang layak dan produktif bagi penduduk usia muda. 15. Bekerja sama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
2.3 Pencapaian MDGs di Indonesia Untuk memonitor kemajuan pencapaiannya, pada bulan Februari 2004 Indonesia telah meluncurkan Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium yang pertama. Laporan pertama ini adalah hasil dari suatu proses partisipatoris seluruh kementerian dan institusi yang terkait, dikoordinasikan oleh Bappenas dan didukung oleh perwakilan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia. Laporan ini menyajikan kondisi Indonesia periode 1993 hingga 2003 dan berusaha menampilkan kecenderungan perkembangannya hingga tahun 2015. Dengan demikian laporan ini memberikan gambaran mengenai posisi Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi, dan tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan. Pada bulan September 2005, Indonesia menghadiri Sidang Umum PBB yang membahas mengenai progres pencapaian MDGs di seluruh dunia. Sebagai salah satu bahan untuk menghadiri sidang ini, Pemerintah menyusun MDGs Summary Report pada bulan Agustus 2005. MDGs Summary Report ini merupakan ringkasan laporan MDGs Indonesia yang pertama dengan tampilan yang lebih ringkas dan mudah dipahami sehingga lebih mudah dibaca (reader friendly) oleh masyarakat luas. Pada laporan ini data pada sebagian indikator
9
Bab 2. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals)
dimutakhirkan sesuai data yang tersedia dan juga diketengahkan pandangan Indonesia mengenai tujuan kedelapan yaitu Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan. Selanjutnya, pada tahun 2007 ini, Pemerintah Indonesia kembali meluncurkan Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Seperti laporan sebelumnya, dokumen ini juga dihasilkan oleh pemerintah dengan keterlibatan aktif semua pihak dalam penyusunannya. Dalam laporan itu dikemukakan bahwa pencapaian MDGs Indonesia sampai tahun 2007 menunjukkan perkembangan yang baik. Namun untuk beberapa target masih harus didorong dengan kerja keras semua pihak. Mengingat beragamnya kondisi Indonesia, dalam laporan ini, telah disajikan data secara ringkas mengenai kondisi pencapaian MDGs di seluruh provinsi sehingga mencerminkan kondisi yang lebih realistis mengenai pencapaian MDGs disetiap daerah di Indonesia. Dalam pemantauan dan pelaporan kemajuan pencapaian tujuan MDGs ini terdapat dua permasalahan yang dianggap perlu diantisipasi untuk penyusunan laporan berikutnya. Pertama, perlunya upaya pelembagaan mekanisme pendataan dengan akurasi dan objektivitas yang teruji. Pelembagaan pendataan ini terutama diperlukan pada indikator-indikator yang selama ini pengumpulan datanya masih bersifat ad-hoc dan sangat tergantung pada kegiatan berbantuan luar negeri seperti data emisi karbondioksida dan jumlah konsumsi bahan perusak ozon. Selain itu, kualitas data yang akurat dan terpercaya juga menjadi salah satu faktor penting yang menentukan kualitas laporan yang dihasilkan. Hal kedua adalah pengembangan kapasitas aparatur untuk memantau dan mengevaluasi sasaran MDGs serta menyusun rencana kerja yang sistematis dan terukur.
2.4 MDGs dan RPJMN 2004-2009 Sebagai komitmen bersama di tingkat internasional yang sekaligus dipandang penting secara nasional, MDGs perlu diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan nasional. Pada dasarnya, sebelum MDGs dideklarasikan, tujuan-tujuan MDGs telah menjadi tujuan pembangunan nasional, hanya saja belum memiliki target dan indikator yang jelas dan terinci. Dengan adanya MDGs, diharapkan upaya pencapaian tujuan-tujuan tersebut dapat dilakukan dengan lebih fokus dan menjadi sasaran utama pembangunan nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005, upaya-upaya untuk mencapai MDGs tidak disebutkan secara eksplisit serta tidak mempunyai target dan indikator yang sama persis dengan MDGs. Meskipun demikian, kegiatan-kegiatan pokok pada setiap program pembangunan nasional yang tersebar di berbagai sektor secara tidak langsung menjadi bagian dari upaya untuk mencapai tujuan MDGs. Bahkan dalam beberapa hal target RPJMN lebih ambisius dibandingkan dengan MDGs, antara lain misalnya dalam hal target penurunan angka kemiskinan, penurunan proporsi anak usia dibawah lima tahun (balita) kurang gizi, dan peningkatan angka partisipasi sekolah tingkat pendidikan dasar. Keterkaitan antara tujuan dan target MDGs dengan program dan kegiatan-kegiatan pokok RPJMN 2004-2009 dapat disimak di dalam lampiran dari dokumen ini.
10
Bab 2. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals)
Pemerintah dalam proses perencanaan yang dilakukannya terus menjadikan MDGs sebagai salah satu acuan utama dalam penyusunan rencana program pembangunan nasional baik yang tertuang dalam RPJMN untuk periode jangka menengah maupun setiap tahunnya dalam RKP. Pemerintah juga terus mensosialisasikan MDGs kepada semua pihak baik di tingkat pusat maupun di daerah. Hal ini sangat penting karena upaya pencapaian MDGs membutuhkan adanya dukungan dari semua pihak baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan komunitas internasional.
2.5 Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia Sebagaimana telah disinggung dalam bab 1, upaya pencapaian MDGs bukan merupakan hal yang mudah. Pemerintah dihadapkan pada kondisi kebutuhan investasi yang sangat besar dan belum tercukupi oleh sumber pendanaan dari dalam negeri. Meskipun anggaran defisit merupakan hal yang lazim, terdapat kecenderungan publik untuk membiayai pembangunan bertumpu kepada kemampuan sendiri. Dalam RPJMN 2004-2009 dinyatakan bahwa pada tahun 2008 defisit anggaran sudah tidak terjadi dan akan terjadi surplus pada tahun 2009. Namun demikian, berdasarkan kondisi saat ini defisit anggaran diperkirakan masih akan terjadi sampai dengan 2009. Pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata enam persen pada tahun 2004-2009 belum sepenuhnya mampu mendukung pengurangan kemiskinan nasional dan penyerapan tenaga kerja. Upaya tersebut perlu diteruskan dalam RPJMN periode berikutnya, yang sesuai pula dengan MDGs. Besarnya kebutuhan pencapaian MDGs di Indonesia sampai dengan tahun 2015 belum dapat dihitung secara rinci. Beberapa target dalam tujuan tertentu mempunyai indikator yang cukup sulit untuk dinilai pencapaiannya sehingga tidak dapat dihitung kebutuhan biayanya. Walaupun demikian, dengan mempertimbangkan kondisi saat ini dimana Indonesia masih banyak menghadapi banyak kendala terutama dalam hal kemiskinan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan kondisi infrastruktur yang berada dibawah kondisi kelayakan yang dibutuhkan, maka patut diduga bahwa untuk mencapai MDGs di Indonesia membutuhkan biaya yang sangat besar. Pembiayaan bidang pendidikan masih belum memenuhi syarat minimum 20 persen seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pembiayaan kesehatan pemerintah masih kurang dari satu persen dari PDB, masih berada jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu sebesar lima persen. Sebagai perbandingan, pendanaan kesehatan di Thailand sebesar lima persen dari GDP, Filipina dua persen, dan Malaysia tiga persen (Gani 2002). Demikian pula halnya dalam bidang air minum dan sanitasi yang juga membutuhkan biaya yang sangat besar, pada saat ini anggaran pembangunannya masih kurang dari 0,5 persen dari total belanja pemerintah. Kajian pembiayaan untuk pencapaian MDGs sangat penting dalam rangka mendukung pengerahan sumber daya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Skema pembiayaanpembiayaan perlu terus dikembangkan untuk mengoptimalkan upaya pencapaian MDGs.
11
13
BAB 3
PEMBIAYAAN MDGs BIDANG PENDIDIKAN
3.1 Pendahuluan 3.1.1
Latar Belakang
T
arget MDGs bidang pendidikan adalah menjamin bahwa semua anak dapat menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun pada tahun 2015. Karena target tersebut sejalan dengan program wajib belajar sembilan tahun yang menargetkan Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMP/MTs sekitar 95 persen pada tahun 2008 (RPJMN 2004-2009), aspek pembiayaan dalam pencapaian target MDGs tahun 2015 menjadi relevan untuk dikaji. Pertanyaan utama adalah (1) apakah target tersebut akan tercapai tanpa adanya pembiayaan khusus, atau (2) haruskah ada pembiayaan khusus untuk mencapai target tersebut, dan (3) bagaimana sebenarnya strategi pembiayaan yang paling tepat untuk mencapai target tersebut. Untuk mengetahui besarnya biaya yang diperlukan untuk mencapai MDGs bidang pendidikan, status pencapaian indikator pendidikan terakhir perlu untuk dicermati. Laporan MDGs yang dipublikasikan pada tahun 2004, 2005 dan 2007 mengupas secara mendalam mengenai pencapaian MDGs di semua sektor yang terkait termasuk sektor pendidikan. Status pencapaian pembangunan di sektor pendidikan tersebut diperlukan untuk mengevaluasi apakah program yang selama ini berjalan telah memadai untuk menarik anak-anak usia sekolah ke pendidikan dasar sembilan tahun. Perlu dilihat bahwa terjadinya kesenjangan partisipasi sekolah sebagian besar disebabkan oleh faktor ekonomi dan motivasi. Untuk dapat menarik anak-anak miskin yang tidak bersekolah, pemerintah bukan saja perlu untuk memberikan bantuan dalam bentuk beasiswa tetapi juga tunjangan untuk mengkompensasi hilangnya kesempatan bekerja anak-anak miskin tersebut. Selain itu, faktor yang penting untuk diperhatikan dan didorong adalah motivasi bersekolah. Anak dari keluarga miskin bukan saja tidak mampu untuk bersekolah tetapi juga sebagian besar dari mereka tidak memiliki atau sudah kehilangan motivasi untuk bersekolah. Untuk itu, advokasi mengenai pentingnya bersekolah terutama di kalangan keluarga miskin dinilai sangat perlu. Perlu dipertanyakan apakah perlu diadakan program khusus untuk menarik anak-anak bersekolah sehingga tujuan MDGs dapat tercapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Setelah adanya analisa strategi program, perhitungan pembiayaan dapat dilakukan berdasarkan strategi yang telah disepakati atau dipilih/ ditetapkan. Langkah
15
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
terakhir adalah analisa kelayakan (feasibility) pembiayaan untuk menelaah apakah dengan hasil perhitungan yang dilakukan skema pembiayaan yang dihasilkan tersebut akan layak, mungkin, dan mudah untuk dijalankan terutama dilihat dari aspek kemampuan pembiayaan pemerintah pusat dan daerah. Dari sisi politik dan strategi pembiayaan yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah bantuan/pinjaman khusus dari donor internasional akan dibutuhkan untuk menambah dana yang dapat disediakan oleh pemerintah. Kajian ini akan mencakup tiga aspek yaitu memberikan evaluasi kritis mengenai pencapaian target MDGs bidang pendidikan dibandingkan dengan target yang harus ditempuh pada tahun 2015, menghitung kebutuhan biaya yang diperlukan untuk pencapaian target MDGs tersebut, dan menganalisis aspek implikasi pembiayaannya. Untuk itu kajian ini mengambil salah satu indikator pendidikan yaitu angka partisipasi sekolah usia tunggal sebagai indikator pencapaian target MDGs tersebut. Diproyeksikan pada tahun 2015 semua anak usia sekolah pendidikan dasar sembilan tahun, kelompok usia 7-15 tahun, sudah bersekolah sehingga angka partisipasi sekolah kelompok usia tersebut mencapai 100 persen. Perhitungan pembiayaan di dalam kajian ini juga menyangkut aspek peningkatan kualitas pendidikan yang direfleksikan dalam bentuk peningkatan kualitas guru. Diproyeksikan sekitar 90 persen dari semua guru pada tahun 2015 sudah tersertifikasi. Untuk itu, diperlukan biaya investasi yang sangat besar selain biaya investasi pembangunan fasilitas pendidikan baru ataupun renovasi sekolah dan/ atau ruang kelas. Konsekuensi dari peningkatan kualitas guru tersebut adalah dari sisi kompensasi atau remunerasi guru yang perlu ditingkatkan. Menurut UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, setelah diakreditasi guru berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya sekitar satu juta rupiah sehingga komponen biaya operasional pun akan meningkat secara signifikan. Perhitungan pembiayaan pencapaian MDGs ini diharapkan dapat mengakomodasikan program-program yang telah dan akan berjalan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama.
3.1.2
Studi Pustaka
Keberhasilan pencapaian MDGs di bidang pendidikan di berbagai negara sangat beragam, termasuk di negara-negara Asia. Negara tetangga kita, Malaysia, termasuk negara dengan pencapaian partisipasi pendidikan yang tinggi. Pada tahun 2000, Malaysia sudah berhasil mencapai 99 persen partisipasi sekolah dasar, dan 97 persen dari anak-anak usia sekolah sudah dapat menyelesaikan 5 tahun pendidikan dasar. Angka melek huruf Malaysia sekitar 97% pada tahun yang sama. Meskipun terdapat kesenjangan yang lebar antarnegara bagian di Malaysia, perbedaan tersebut dinilai terus mengecil selama dua puluh tahun belakangan ini. Kesuksesan Malaysia tidak terlepas dari keberhasilan program pendidikan Malaysia yang sudah dimulai pada tahun 1970. Mereka secara konsisten memberikan perhatian pada pembangunan pendidikan dengan mengalokasikan dana sekitar 17 persen dari total pengeluaran pemerintahnya atau 5 persen dari total GDP untuk pendidikan. Beberapa program pendidikan Malaysia dianggap berhasil antara lain program kesehatan sekolah (1967), program pinjam buku (1975), program tambahan makanan anak (1976), dan program pemberian susu kepada anak (1983). Untuk memperluas akses sekolah di pedesaan dan mempermudah akses ke sekolah, pemerintah Malaysia juga membangun asrama untuk anak sekolah yang dimulai tahun 1972.
16
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Dari segi perhitungan pembiayaan pencapaian MDGs bidang pendidikan, beberapa organisasi internasional seperti Bank Dunia atau FastTrack Partnership Initiative, sudah banyak melakukan studi pembiayaan yang diperlukan untuk mencapai MDGs pada tahun 2015 seperti tercantum pada Tabel 3.1 dan Tabel 3.2. Perhitungan tersebut pada umumnya menggunakan data dari beberapa negara, terutama negara Afrika atau negara dengan pendapatan per kapita rendah lainnya. Sebagai contoh, FastTrack Partnership Initiative menghitung pembiayaan untuk mencapai Universal Primary Completion (UPC) di negara-negara pendapatan rendah dengan menggunakan skema pembiayaan pencapaian MDGs yang dapat diintegrasikan dengan anggaran pemerintah, anggaran sektoral, maupun pinjaman luar negeri. Tabel 3.1 Ringkasan Beberapa Studi Perkiraan Pembiayaan Tambahan untuk Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan
Study
Covering
Estimate of Additional Resources per year
Devarajan, et al.. "Goals for Development" (World Bank, April 2002)
Global primary education
$ 10 - 15 billion
Colclough (1993)
Primary Education Developing World
$ 5 - 6 billions
Lassibille and Navarro Gomez (1990)
Primary Education Developing World
$ 7.2 billion
"Achieving the MDGs in Africa… " (African Development Bank, June 2002
Sample of 30 African countries
$ 20 - 25 billion
Delamonica et al… (Unicef August 2001)
Global primary education
$ 9.1 billion
Naschold, "Aid and the MDGs" (ODI, Feb 2002)
Global primary education
$ 9 billion
Filmer, "Costing the Goal…" (World Bank, 2002)
Global primary education
$ 9 billion
Brossard and Gacougnalle, "Education Primaire Universelle: Combien?" (Unesco, 2001)
African primary education
$ 2.9 - 3.4 billion
Bruns et al.., A Change for Every Child (World Bank, 2003)
Low-income primary education
$ 9.7 billion ($ 3.7 billion of additional external aid)
Sumber: Clemens (2004)
Menurut hasil perhitungan tersebut, pencapaian MDGs bidang pendidikan akan menelan biaya tambahan sekitar USD 2 miliar per tahun, atau sekitar Rp 20 trilliun, sampai dengan USD 25 miliar (sekitar Rp 250 trilliun) per tahun per negara. Sementara itu, Devarajan (2002) dalam laporannya memperkirakan sekitar 103 juta murid di beberapa negara di Asia dan Afrika harus terdaftar di sekolah untuk mencapai UPC pada tahun 2015. Total kebutuhan biaya diperoleh dengan mengalikan jumlah murid tersebut dengan biaya rata-rata pendidikan
17
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
di negara berkembang atau median biaya per murid sekolah dasar per region, rata-rata biaya per murid yang dihitung per negara, rata-rata biaya per murid yang ditargetkan untuk setiap negara yaitu sekitar 13% dari GDP per kapita. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa biaya tambahan tersebut masing-masing sekitar USD 11.4 miliar, USD 14.9 miliar, USD 10.4 miliar, dan USD 27.6 miliar, tergantung biaya rata-rata yang dipakai. Perlu diperhatikan bahwa faktor pertumbuhan penduduk selama periode perhitungan (2000-2015) tidak dimasukkan dalam perhitungan. Sementara itu, hasil perhitungan Naschold (2002) dan Filmer (2002) dengan memakai sampel dari negara-negara yang hampir sama memberikan gambaran pembiayaan yang lebih kecil yaitu bahwa pencapaian MDGs akan memerlukan biaya tambahan sebesar USD 9 miliar per tahun. Selain karakteristik khusus per negara, seperti rasio murid terhadap guru, persentasi jumlah sekolah swasta, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan, yang menentukan hasil perhitungan yang bervariasi, perbedaan metodologi menyebabkan variasi yang besar terhadap besarnya hasil perhitungan tersebut (dari USD 5 miliar sampai USD 25 miliar). Tabel 3.2 Contoh Studi Perhitungan Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan di Beberapa Negara Terpilih dengan Beberapa Hasil Perhitungan Country Bangladesh
UN Millenium Project
Delamonica et al. (Unicef) (additional cost -not only ODA)
Bruns et al. (The World Bank)
Average 2000-2002 annual ODA to Basic Education US$ millions
1.167
68
84
54,60
Cambodia
143
3
23
23,05
Ghana
208
19
27
9,70
Tanzania
317
52
102
114,30
Uganda
222
24
87
53,40
Sumber: Gurria dan Gershberg (2005)
Hampir semua kajian menggunakan indikator partisipasi murni pendidikan dasar (100% NER) dengan variasi jumlah tahun pendidikan dasar. Asumsi yang dipakai antara lain adalah perbandingan murid terhadap guru yang disesuaikan menjadi 40:1 secara perlahan digunakan sampai tahun 2015, perubahan anggaran rutin komponen non-gaji menjadi 33 persen, dan angka mengulang menurun menjadi 10 persen yang diambil dari angka mengulang di negara-negara dengan pencapaian MDGs terbaik. Ringkasan asumsi-asumsi yang dipakai oleh beberapa studi pembiayaan MDGs terrangkum di dalam Tabel 3.3. Perhitungan pembiayaan pencapaian pendidikan untuk semua (Education for All, EFA) yang digunakan Delamonica, Mehrota, dan Vandermoortele (2001) menggunakan analisa partisipasi sekolah yang tidak secara eksplisit memperhitungkan angka mengulang. Mereka menargetkan angka partisipasi sekolah mencapai 100 persen pada tahun 2015 dengan asumsi bahwa pendapatan per kapita di negara-negara yang dipakai dalam analisa tidak berubah sampai tahun 2015 dan biaya untuk menarik murid-murid yang sedang tidak bersekolah adalah sama dengan biaya per murid yang sedang bersekolah. Delamonica et al (2001) menargetkan percepatan pertumbuhan partisipasi sekolah ‘artifisial’ selama 2000-2015 untuk
18
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
masing-masing negara. Angka partisipasi sekolah dihitung berdasarkan pertumbuhan partisipasi sekolah tersebut untuk mendapatkan angka jumlah murid per tahun sampai dengan tahun 2015 di setiap negara. Mereka memperkirakan terdapat sekitar 170 juta murid baru yang harus bersekolah pada tahun 2000 sampai 2015 untuk mencapai UPC. Biaya pendidikan per murid dihitung secara terpisah antara biaya rutin dan biaya investasi. Selain itu, Delamonica et al. (2001) memperhitungkan biaya peningkatan kualitas dengan cara peningkatan gaji guru dan biaya rutin lainnya sekitar 15 persen per tahun. Cara lain untuk memperhitungkan peningkatan kualitas pendidikan adalah dengan menekan angka perbandingan guru per murid di beberapa daerah yang diperkirakan sekitar USD 0,5 miliar. Dengan asumsi-asumsi yang dipakai tersebut, Delamonica et al. (2001) memperkirakan sekitar USD 9,1 miliar biaya rata-rata per tahun yang dibutuhkan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2015. Tabel 3.3 Asumsi yang Dipakai untuk Menghitung Pembiayaan MDGs Parameters and Assumptions
UNESCO Cost Study
Delamonica et al
Bruns et al.
Criterion for UPE
100% NER
100% NER
100% Completion Rate
Number of Countries
151
128
47 (extended to all low-income)
Studied Length of Primary span Actual
6 year
5 - 6 years
Assumtions for economic growth
None
Constant per capita income
5%
HIV / AIDS included
Partly
Partly
yes
Projection and Target Parameters
Pupil-teacher ratio
10% improvement
40 / 1
40 / 1
Percentage of non-salary costs in recurrent expenditures
None
15%
33%
Teacher Salaries
70% of 1997 levels
None
3.5 times GDP per capita
Repetition
None
None
10%
Private Enrollment
None
None
10%
Sumber: Gurria dan Gershberg (2005)
Angka mengulang mulai diperhitungkan dalam memperkirakan total biaya pencapaian MDGs oleh Brossard dan Gacougnolle (2001). Perkiraan jumlah penduduk dari PBB (UN) digunakan untuk memperkirakan jumlah anak sekolah sampai tahun 2015 sementara partisipasi sekolah pada tahun 1997 digunakan sebagai basis perhitungan. Glewwe (2005) menggunakan data 66 negara berpendapatan rendah dan 85 negara berpendapatan menengah menurut klasifikasi dari Bank Dunia yang melibatkan jumlah 5.2 miliar penduduk. Negara-negara tersebut diklasifikasikan berdasarkan kemajuan mereka dalam pencapaian universal primary school completion atau mencapai 95% primary completion rate. Tiga negara pendapatan rendah yaitu Azerbaijan, Vietnam, dan Zimbabwe dan 33 negara
19
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
berpendapatan menengah telah mencapai universal primary school completion pada tahun 2000. Terdapat sekitar 10 negara berpendapatan rendah dan 20 negara berpendapatan menengah tergolong on-track untuk mencapai universal primary school completion 95% atau lebih tinggi sekitar tahun 2015. Sementara itu, 67% penduduk dunia tergolong ‘moderately off-track’ dan 14% penduduk tergolong ‘seriously off-track’. Biaya yang dihitung Glewwe (2005) adalah kebutuhan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk mencapai target MDGs yang difokuskan pada negara-negara yang termasuk off-track. Biaya tersebut termasuk biaya operasional dan biaya investasi pendidikan yang selanjutnya jumlahnya dipakai sebagai total biaya per murid. Sebagai contoh, pengeluaran pemerintah di Asia Selatan untuk biaya sekolah dasar adalah sekitar USD 46 per murid. Di lain pihak, negara-negara di Asia Timur rata-rata mengeluarkan biaya sekitar USD 103 per murid. Negara yang on-track seperti Bangladesh mengeluarkan biaya sekitar USD 25 per murid yang relatif lebih rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran negara-negara off-track di Asia yaitu sekitar USD 49. Sementara itu, negara yang sudah mencapai UPC seperti Sri Lanka, dan Maldives mengeluarkan total biaya sekitar USD 80 per murid. Biaya pengeluaran rutin untuk gaji guru dan operasional lainnya merupakan biaya utama pendidikan dan menyangkut sekitar tiga perempat total pengeluaran pendidikan. Di negara-negara yang termasuk katagori off-track, biaya rutin gaji guru menghabiskan sekitar 80 persen dari total pengeluaran pendidikan. Secara rata-rata biaya tersebut mencakup sekitar 50 persen dari total biaya. Selain studi pembiayaan pencapaian MDGs yang khusus di bidang pendidikan, pembiayaan pencapaian MDGs sektor lain juga banyak dilakukan, terutama pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesehatan. Bruns et al. (2004) berpendapat bahwa sebagian pembiayaan MDGs dapat dipenuhi oleh pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan dan sebagian kecil saja akan dibiayai secara eksternal (foreign aid). Oleh karena itu, Bruns et al. (2004) mengingatkan bahwa hasil perhitungan pembiayaan MDGs tersebut mensyaratkan pertumbuhan ekonomi minimal 5%. Apabila pertumbuhan ekonomi berada di bawah 5%, pinjaman luar negeri akan sangat diperlukan. Bruns et al. (2004) menggunakan dua alternatif perhitungan; yaitu pertama, pembiayaan pengurangan tingkat kemiskinan dengan asumsi bahwa pengurangan tingkat kemiskinan akan meningkatkan pencapaian MDGs sektor lainnya. Alternatif kedua adalah menghitung pembiayaan di masing-masing sektor, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, yang diperkirakan akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pencapaiannya. Perhitungan pencapaian pendidikan sendiri, dengan mengalikan rata-rata biaya pendidikan per murid dan jumlah anak yang tidak di sekolah. Hasilnya adalah sebesar USD 10 miliar sampai USD 15 miliar yang bervariasi menurut negara maupun region. Apabila norma internasional dipakai, yaitu biaya pendidikan setidaknya harus di atas 13 persen dari GDP per kapita, MDGs bidang pendidikan akan memerlukan biaya sebesar USD 28 miliar. Perlu diingat bahwa biaya tersebut hanyalah untuk mempertahankan partisipasi sekolah, tapi tidak untuk meningkatkan partisipasi sekolah. Oleh karena itu, intervensi khusus untuk meningkatkan partisipasi sekolah perlu dilakukan.
20
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Filmer (2001) juga berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi sendiri akan meningkatkan partisipasi sekolah dan membantu pencapaian MDGs bidang pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai UPC di tahun 2015, negara-negara tersebut hanya membutuhkan sekitar 70% sampai 80% dari total perkiraaan kebutuhan pencapaian MDGs.
3.1.3
Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan di Indonesia
Berdasarkan laporan MDGs tahun 2007 pencapaian angka partisipasi murni (APM) jenjang SD/MI untuk anak usia 7-12 tahun adalah sekitar 93,54 persen berdasarkan data dari Departemen Pendidikan Nasional. Data tersebut sudah mencakup pendidikan nonformal. Sementara itu, angka APM pada jenjang pendidikan menengah pertama pada tahun yang sama telah mencapai 66,5 persen. Angka partisipasi murni (APM) adalah perbandingan jumlah murid dengan usia sekolah pada jenjang tertentu (7-12 tahun untuk SD/MI dan 13-15 tahun untuk SMP/MTs) dengan jumlah anak pada kelompok usia yang sama. Indikator APM menunjukkan berapa banyak anak usia tertentu telah bersekolah pada jenjang sekolah yang sesuai. Di satu pihak, APM dapat menggambarkan angka partisipasi sekolah pada usia tertentu dengan baik, namun di lain pihak APM tidak dapat memberikan gambaran berapa banyak murid sebenarnya yang telah bersekolah pada jenjang sekolah tertentu karena banyak anak berusia kurang dari 7 tahun atau lebih tua dari 12 tahun telah atau masih sekolah pada jenjang SD/MI. Demikian pula terdapat anak berusia 11-12 tahun telah duduk di SMP/MTs atau lebih tua dari 16 tahun masih duduk di SMP/MTs, atau berusia 15 tahun atau kurang tetapi telah duduk di SMA/SMK/MA. Untuk itu, angka partisipasi kasar atau APK dapat memberikan gambaran yang lebih jelas berapa banyak anak-anak usia sekolah yang termasuk early entry, late entry, atau berapa banyak murid yang mengulang kelas. APK jenjang SD/MI pada tahun 2006 mencapai sekitar 110,8 persen. Untuk jenjang SMP/MTs, APK pada tahun yang sama mencapai sekitar 88,68 persen. Berdasarkan Susenas tahun 2006, terdapat sekitar 2,6 persen anak berusia 7-12 tahun dan 15,9 persen anak usia 13-15 tahun belum pernah masuk sekolah. Sementara itu, terdapat sekitar 8,5 persen anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah lagi sesudah lulus SD/MI. Meskipun APM tidak dapat menggambarkan pencapaian pembangunan bidang pendidikan secara menyeluruh, APM masih dapat memberikan gambaran percepatan pencapaian pendidikan untuk semua. Untuk itu, Gambar 3.1 memperlihatkan dua skenario perkembangan APM sampai tahun 2015. Skenario pertama adalah interpolasi linear berdasarkan kecenderungan perkembangan APM masing-masing tingkat sekolah pada tahuntahun sebelumnya; skenario kedua adalah interpolasi linear berdasarkan target akhir pencapaian tingkat angka partisipasi sekolah murni (APM) pada tahun 2015 sebesar 100%, dalam hal ini percepatan pertumbuhan APM tiap tahun disesuaikan dengan tujuan akhir APM pada tahun 2015. Melalui ilustrasi ini terlihat bahwa pertumbuhan APM yang diperlukan untuk mencapai target MDGs pada tahun 2015 relatif lebih cepat dibandingkan dengan kecenderungan pertumbuhan APM yang ada pada kedua jenjang, terutama jenjang SMP/MTs. Dengan demikian, apabila tidak terdapat intervensi yang memadai, kesenjangan tersebut akan semakin lebar. Perbedaan antara APM hasil interpolasi dengan APM skenario MDGs
21
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
menunjukkan banyaknya anak usia sekolah yang berpotensi untuk tidak bersekolah yang cenderung semakin meningkat menurut tahun. Terdapat sekitar 3 juta orang anak usia sekolah yang diperkirakan tidak dapat bersekolah dalam jenjang pendidikan dasar sembilan tahun pada tahun 2015. Untuk mencapai APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs yang sesuai dengan skenario MDGs, diperlukan strategi khusus untuk membuat anak-anak tersebut mampu dan mau untuk bersekolah, seperti memberikan beasiswa, tunjangan sebagai kompensasi forgone-earnings atau kompensasi pengeluaran rumah tangga out-of-pocket untuk pendidikan, selain juga menyelenggarakan advokasi mengenai pentingnya bersekolah. Gambar 3.1 Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan Dasar di Indonesia dan Proyeksinya Sampai Tahun 2015
Interpolasi Linear APM SD/MI (2007-2015)
Interpolasi Linear APM SMP/MTs (2007-2015)
(Sumber: Depdiknas, BPS. Interpolasi adalah hasil perhitungan sendiri)
Sementara angka APM dan APK dapat memberikan ilustrasi mengenai pencapaian target MDGs, perhitungan pembiayaan untuk mencapai target tersebut pada tahun 2015 tidak dapat menggunakan indikator APM atau pun APK karena masalah akurasi. Penggunaan indikator APK dan APM untuk perhitungan pembiayaan MDGs ini dinilai kurang tepat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
22
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
1.
APM merupakan indikator partisipasi sekolah pada kelompok usia tertentu, sementara untuk menghitung pembiayaan secara lebih akurat dibutuhkan akurasi partisipasi sekolah untuk setiap usia.
2.
APK tidak memberikan kendala (constraint) usia yang diperlukan untuk pencapaian MDGs karena kajian ini hanya memfokuskan pada pencapaian pendidikan dasar sembilan tahun. Sementara itu, angka melek huruf tidak akan dipakai sebagai indikator dalam perhitungan pembiayaan. Gambar 3.2 Jumlah Anak Usia Sekolah yang Terancam Tidak Dapat Bersekolah
(Sumber: hasil perhitungan sendiri berdasarkan selisih kecenderungan APM sampai tahun 2006 yang diinterpolasikan sampai 2015 dengan kecenderungan APM yang harus terjadi untuk mencapai angka 100 persen pada tahun 2015)
Angka partisipasi sekolah per usia tunggal selain dapat memberikan gambaran jumlah murid per tahun per usia tunggal juga dapat memberikan batasan yang jelas mengenai cakupan perhitungan pembiayaan pencapaian MDGs.
3.2 Metodologi 3.2.1
Perhitungan Jumlah Murid
Perkiraan penduduk usia sekolah sampai tahun 2015 diambil dari perkiraan penduduk yang dilakukan oleh PBB dan data jumlah penduduk yang dipakai merupakan jumlah penduduk usia tunggal. Melalui perkiraan penduduk tersebut dihitung jumlah murid pada tahun-tahun mendatang. Perkiraan jumlah murid dari tahun 2008 sampai 2015 akan dijadikan basis perhitungan pembiayaan MDGs dengan menggunakan data partisipasi sekolah masing-masing usia baik SD/MI maupun SMP/MTs yang diambil dari hasil Susenas 2005. Profil angka partisipasi usia tunggal berdasarkan Susenas 2005 diperlihatkan pada Gambar 3.3.
23
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Gambar 3.3 Partisipasi Sekolah Tingkat SD/MI dan SMP/MTs Usia Tunggal 120%
100%
80%
60% 40%
20%
0% 5
6
7
Skenario MDG
8
9 SD/MI 2005
10
11
12
13
14
15
SMP/MTS 2005
(Sumber: Susenas 2005)
Angka partisipasi sekolah usia 8 sampai 11 tahun sudah sekitar dari 97 persen pada tahun 2005 dan seharusnya lebih tinggi pada tahun 2007. Namun, angka partisipasi sekolah dasar SD/MI anak umur 7 tahun dan umur 12 tahun hanya masing-masing sekitar 88% dan 74%. Sementara itu, angka partisipasi sekolah dasar SMP/MTs untuk anak usia 12 tahun telah mencapai sekitar 20% yang menjadikan angka partisipasi sekolah anak usia 12 tahun (tanpa melihat jenjang pendidikan mereka) adalah sekitar 94%. Oleh karena itu, permasalahan partisipasi sekolah kemungkinan terletak pada anak usia 7 tahun yang hanya 88% dari mereka terdaftar di sekolah dasar dan sebagian anak usia 7 tahun terlambat masuk sekolah dasar. Lebih jauh lagi, terdapat sekitar 35% dari anak usia 6 tahun bersekolah di SD/MI yang kemungkinan sebagian besar dari mereka telah masuk pendidikan usia dini. Dari angka partisipasi usia tunggal ini, anak usia 6 dan 7 tahun, anak usia peralihan SD/MI dan SMP/MTs, dan anak usia SMP/MTs harus mendapatkan perhatian yang lebih besar tanpa melupakan anak usia sekolah di pendidikan dasar lainnya, untuk memungkinkan pengalokasian biaya secara efisien dalam pencapaian target MDGs. Dari profil partisipasi sekolah usia tunggal tahun 2005 dan partisipasi sekolah berdasarkan skenario MDGs 2015 dapat diperkirakan percepatan pertumbuhan partisipasi sekolah setiap tahun untuk setiap anak usia sekolah pendidikan dasar sembilan tahun dengan menggabungkan jenjang SD/MI dan SMP/MTs. Pertumbuhan partisipasi sekolah yang diperlukan untuk mencapai target MDGs 2015 terlihat pada Gambar 3.4. Gambar tersebut menampilkan juga pertumbuhan partisipasi sekolah usia tunggal pada dua periode yang berbeda, yaitu rata-rata pada tahun 1993-2003 dan 2002-2003. Pertumbuhan partisipasi sekolah terlihat tinggi pada usia yang relatif muda, yaitu 6 dan 7 tahun, terutama pada tahun-tahun terakhir. Percepatan partisipasi sekolah juga terjadi pada kelompok usia 12-14 tahun pada
24
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
tahun 1993-2003. Rata-rata pertumbuhan partisipasi sekolah pada tahun 1993-2003 terlihat relatif tinggi dan mendekati pertumbuhan partisipasi sekolah yang diperlukan untuk mencapai target MDGs. Namun, tingginya rata-rata pertumbuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan partisipasi sekolah yang cepat yang terjadi sekitar awal tahun 1990an. Sementara itu, pertumbuhan partisipasi sekolah tersebut relatif lebih lambat pada tahun 2002-2003, terutama di usia 12-15 tahun. Usia tersebut, padahal, merupakan masa transisi dari SD/MI menuju SMP/MTs. Gambar 3.4 Rata-rata Pertumbuhan Partisipasi Sekolah yang Diperlukan untuk Mencapai MDGs 2015
.
Pertumbuhan Partisipasi Sekolah
0,07 1993-2003
0,06
Required
0,05
2002-2003
0,04 0,03 0,02 0,01 0 6
7
8
9 10 Umur
11
12
13
14
(Sumber: Susenas beberapa tahun)
Jumlah siswa sekolah tingkat dasar dihitung untuk setiap usia tunggal dari tahun 2008 sampai 2015 untuk memperkirakan jumlah biaya pendidikan yang diperlukan. Perkiraan jumlah siswa tersebut dipakai juga untuk memperkirakan jumlah guru, sekolah, dan ruang kelas yang diperlukan. Perlu diingatkan lagi bahwa perhitungan pembiayaan pencapaian target MDGs 2015 ini berdasarkan angka partisipasi sekolah usia tunggal karena penggunaaan usia tunggal cenderung akan memberikan perhitungan yang lebih akurat.
3.2.2
Pendekatan Mikro
Pendekatan pertama ini memakai satuan biaya (unit cost) yang dipakai oleh Ghozali et al. dalam Bappenas (2006) yang melaporkan hasil studi pendidikan gratis yang dilakukan oleh Staf Ahli SDM dan Kemiskinan, Bappenas. Studi tersebut menggunakan skema pembiayaan yang sama dengan pembiayaan pendidikan dalam APBN selama ini. Biaya pendidikan dibagi menjadi dua kategori utama yaitu biaya operasional dan biaya investasi. Ghozali dalam Bappenas (2006) membagi penggunaan biaya operasional menjadi biaya operasional guru dan biaya operasional bahan sekali habis. Sementara itu, biaya investasi juga dibagi menjadi dua jenis yaitu biaya investasi pengembangan guru dan investasi bangunan sekolah. Harga satuan
25
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
yang dipakai ditentukan terlebih dahulu dengan memperhitungkan kebutuhan nyata per murid, per guru, atau per unit sekolah (unit sekolah baru ataupun ruang kelas baru). Untuk itu, masing-masing komponen pembiayaan menggunakan harga satuan yang dipakai dalam laporan tersebut di atas. Tabel 3.4 Biaya Satuan (dalam Rupiah) Pendidikan Tingkat Sekolah Dasar Tahun 2008
Jenis Pengeluaran 1
B
C
SMP/MTs
Pendidik dan tenaga pendidik Professional
per guru
3.424.000
3.663.680
Belum professional
per guru
1.696.000
1.797.760
Professional
per orang
3.745.000
3.745.000
Belum professional
per orang
2.140.000
2.140.000
Penunjang
per orang
1.337.500
1.337.500
Kepala Sekolah
Biaya Investasi a.
b.
3
SD/MI
Biaya operasional a.
2
Satuan
Pendidik dan tenaga pendidik Pendidikan D4/S1
per guru
10.700.000
10.700.000
Pendidikan Profesi
per guru
10.700.000
10.700.000
Sertifikasi
per guru
2.000.000
2.000.000
Pembangunan gedung baru Unit Sekolah Baru
USB
1.938.692.882
2.840.124.523
Ruang Kelas Baru
RKB
85.451.085
88.917.350
Program Percepatan (Kelas 4,5,6) a.
Beasiswa
per siswa
40.000
50.000
b.
Kompensasi forgone earnings
per siswa
40.000
50.000
Keterangan:
Biaya satuan operasional dan investasi diambil dari Ghozali et al. dalam laporan kajian Bappenas (2006); satuan biaya untuk program percepatan diperkirakan dari Susenas (2005)
Tabel 3.4 menampilkan tabulasi biaya satuan tingkat sekolah SD/MI dan SMP/MTs untuk tahun 2008 yang diperoleh dari Ghozali et al. dalam laporan kajian Bappenas (2006). Sebagian dari satuan biaya tersebut memakai angka biaya per satuan guru, selain per satuan murid atau per satuan ruang kelas baru dan ruang sekolah baru. Tingkat inflasi yang akan dipakai adalah sekitar 6% tiap tahun. Penjelasan lebih lengkap mengenai perolehan angka satuan biaya tersebut secara rinci dikupas dalam Ghozali (2005) dan Ghozali et al. dalam laporan kajian Bappenas (2006).
26
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Komponen biaya operasional terdiri dari biaya gaji guru dan biaya bahan habis pakai. Gaji guru disesuaikan dengan status sertifikasi mereka. Berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 mengenai guru dan dosen ditetapkan mengenai tunjangan fungsional dan tunjangan profesi yang akan diberikan kepada guru. Tunjangan profesi akan diperoleh oleh guru yang telah memperoleh sertifikasi yang besarnya adalah satu kali dari gaji pokok guru yang diangkat oleh pemerintah daerah maupun pusat. Sementara itu, tunjangan fungsional akan diterimakan sebesar rata-rata Rp 234 ribu pada tahun 2006, yang besarnya meningkat setiap tahun sehingga menjadi sekitar Rp 500 ribu pada tahun 2009. Biaya operasional bahan habis pakai termasuk di dalamnya adalah alat tulis sekolah, bahan habis pakai, alat habis pakai, daya dan jasa, pemeliharaan sarana dan prasarana, pembinaan siswa, penggandaan soal, penilaian, rapat-rapat pengurus sekolah, dan perjalanan dinas. Biaya operasional ini menggunakan mekanisme dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang telah berjalan selama ini. Pada tahun 2007, pemerintah mengeluarkan sekitar Rp 11,8 triliun untuk 41,9 juta siswa SD/MI, SMP/MTs, dan pesantren salafiyah atau rata-rata sekitar Rp 283 ribu per siswa. Untuk perhitungan ini diasumsikan terjadi peningkatan biaya operasional dengan penambahan komponen-komponen operasional yang baru dan perbedaan biaya operasional tingkat SD/MI dan SMP/MTs dengan peningkatan harga karena faktor inflasi sebesar 6 persen setiap tahun. Pada tahun 2008 satuan biaya operasional bahan habis pakai adalah sekitar Rp 445 ribu dan Rp 636 ribu masing-masing untuk tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Gambar 3.5 Rata-rata Pengeluaran Pendidikan per Bulan Menurut Jenis Pengeluaran per Umur Tunggal, 2005
(Sumber: Susenas 2005, APBN 2005, Tabel Input/Output 2000 (perhitungan sendiri))
27
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Selain biaya operasional guru serta bahan habis pakai dan biaya investasi sarana dan prasarana, diperlukan program yang mampu menarik siswa, terutama siswa miskin, untuk bersekolah. Program tersebut dapat terdiri dari dua jenis kegiatan, yaitu: a. Beasiswa untuk keluarga miskin yang pada dasarnya merupakan pengganti pengeluaran out-of-pocket untuk pendidikan b. Beasiswa untuk kompensasi pendapatan yang hilang karena anak berhenti bekerja untuk mengikuti sekolah (forgone earnings). Komponen beasiswa dan kompensasi besarnya masing-masing Rp 40.000 dan Rp 50.000 untuk tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Dasar pemikiran pemberian beasiswa adalah untuk memberikan keringanan kepada keluarga miskin yang mengirimkan anaknya bersekolah. Pengeluaran rumah tangga per kapita atau per murid untuk pendidikan terlihat pada Gambar 3.5. Gambar tersebut memperlihatkan satuan biaya menurut umur dan biaya per kapita untuk pendidikan. Selain biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, rumah tangga juga harus mengeluarkan uang tunai untuk menyekolahkan anaknya (out-of-pocket). Selama ini pengeluaran out-of-pocket ini dirasakan masih sangat membebani orang tua berpenghasilan rendah untuk menyekolahkan anak. Pada tahun 2005 biaya pengeluaran pendidikan yang dikeluarkan oleh rumah tangga adalah sekitar 50 persen dari total pengeluaran pendidikan. Gambar yang sama juga memperlihatkan bahwa satuan biaya pendidikan untuk rumah tangga relatif lebih tinggi untuk anak yang lebih tua, atau jenjang yang lebih tinggi. Orang tua harus mengeluarkan sekitar Rp 100 ribu per bulan per anak sekolah usia 15 tahun. Biaya tersebut mencakup biaya iuran, pakaian sekolah, buku dan alat tulis menulis, dan biaya lainnya. Oleh karena beban pengeluaran out-of-pocket yang harus ditanggung keluarga miskin dalam menyekolahkan anak maka perlu adanya kompensasi misalnya berupa beasiswa atau conditional cash transfers untuk keluarga miskin. Dengan demikian beban keluarga miskin dapat berkurang dan orang tua maupun anaknya didorong untuk memiliki motivasi untuk bersekolah. Besarnya beasiswa sekarang ini yang diberikan kepada anak sekolah dari keluarga tidak mampu adalah sebesar Rp 300 ribu per tahun atau sekitar Rp 25 ribu per bulan. Melihat besarnya rata-rata pengeluaran out-of-pocket untuk pendidikan adalah sebesar Rp 50 ribu sampai dengan Rp 100 ribu per bulan per anak maka cukup beralasan apabila besarnya beasiswa tersebut dinaikkan sehingga mencakup pula komponen tunjangan kompensasi. Untuk itu dalam perhitungan ini ditetapkan besarnya beasiswa sebesar Rp 40 ribu dan Rp 50 ribu masing-masing untuk tingkat SD/MI (kelas 4,5, dan 6) dan tingkat SMP/MTs (kelas 1, 2, dan 3). Selain adanya biaya out-of-pocket yang harus dikeluarkan keluarga miskin yang menjadi beban mereka, mengirimkan anak ke sekolah berarti berkurangnya pemasukan pendapatan yang berasal dari hasil mempekerjakan anak. Karena keluarga miskin cenderung untuk mengirimkan anak ke lapangan kerja maka menyekolahkan anak berarti mengurangi pendapatan keluarga. Gambar 3.6 menggambarkan situasi perburuhan anak-anak pada tahun 2005. Terlihat bahwa tingginya opportunity cost anak miskin bersekolah termasuk kendala anak usia 13 tahun
28
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
ke atas untuk bersekolah. Sekitar lebih dari 5 persen anak laki-laki berusia 13 tahun harus bekerja penuh waktu dan lebih dari 15 persen anak perempuan berumur sama harus membantu pekerjaan rumah tangga atau sekitar 5 persen sampai 10 persen harus bekerja. Hal ini kemungkinan dapat menjelaskan tingginya angka putus sekolah pada usia tersebut. Gambar 3.6 Persentase Pekerja Anak dan Anak Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga Panel A: Semua pekerja
30% 25% 20% 15%
Laki-laki Perempuan
10% 5% 0% 10
11
12
13
14
15
Panel B: Anak-anak bekerja penuh 30% 25% 20%
Laki-laki
15%
Perempuan
10% 5% 0% 10
11
12
13
14
15
Panel C: Anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah tangga 30% 25% 20%
Laki-laki
15%
Perempuan
10% 5% 0% 10
11
12
13
14
15
(Sumber : Susenas 2005, BPS (perhitungan sendiri))
Besarnya opportunity cost bersekolah anak berusia 10 sampai 15 tahun tersebut digambarkan Gambar 3.7. Gambar tersebut memperlihatkan besarnya pendapatan anak-anak apabila mereka bekerja (rata-rata per pekerja) yang dibedakan menurut jenis pekerjaan, yaitu bekerja secara resmi di sebuah perusahaan atau bekerja di usaha keluarga. Untuk usia 15 tahun, pendapatan anak laki-laki adalah sekitar Rp 25 ribu per bulan apabila bekerja di
29
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
perusahaan. Sementara anak perempuan akan mendapatkan kompensasi relatif lebih banyak, yaitu sekitar Rp 50 ribu. Apabila anak tersebut bekerja di perusahaan keluarga, anak laki-laki berusia 15 tahun akan mendapatkan jumlah yang cenderung sama yaitu sekitar Rp 22 ribu. Sementara itu anak perempuan berusia sama mendapatkan hanya sekitar Rp 10 ribu. Opportunity cost anak bersekolah adalah penjumlahan dari pendapatan di kedua sektor tersebut karena jumlah masing-masing pendapatan tersebut sudah memperhitungkan tingkat kemungkinan anak pada usia tertentu untuk bekerja pada sektor formal dan informal. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diperlukan adanya kompensasi yang relatif sama dengan jumlah pendapatan anak-anak tersebut sehingga mereka dapat bersekolah tanpa harus mengurangi pendapatan keluarga. Besarnya biaya beasiswa dan kompensasi diasumsikan sama seperti yang tercantum pada Tabel 3.4, yaitu Rp 40 ribu untuk SD/MI dan Rp 50 ribu untuk SMP/MTs. Gambar 3.7 Bayaran per Bulan untuk Pekerja Swasta dan Kompensasi untuk Pekerja Bisnis Rumah Tangga Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 Panel A: Self-employed returns to labor by gender
Panel A: Earnings by gender 350,000
70,000
300,000
60,000 50,000
250,000 200,000
Male
40,000
Female
150,000
30,000
100,000
20,000
50,000
10,000
Female
-
10-14
15
10-14
16-20
Panel A: Earnings by place of residence 350,000
70,000
300,000
60,000
15
16-20
Panel A: Self-employed returns to labor by place of residence
50,000
250,000 200,000
Male
Rural
Rural
40,000
Urban
150,000
30,000
100,000
20,000
50,000
10,000
-
Urban
10-14
15
16-20
10-14
15
16-20
(Sumber: Susenas 2005, BPS (perhitungan sendiri))
Beberapa asumsi yang dipakai diringkas dalam Tabel 3.5 antara lain adalah: data guru dibagi menjadi dua jenis, yaitu profesional dan non-profesional. Guru non-profesional adalah guru yang belum mendapatkan atau lulus ujian sertifikasi. Jumlah guru yang tersertifikasi disesuaikan dengan target yang ditetapkan oleh Depdiknas yang menargetkan 100% guru tersertifikasi pada tahun 2014. Program pendidikan D4/S1 dan pendidikan profesi diberikan kepada 10% total guru yang ada pada tahun bersangkutan ditambah dengan guru baru untuk pendidikan profesi.
30
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Biaya operasional termasuk di dalamnya alat tulis sekolah, bahan dan alat habis pakai, pemeliharaan sarana dan prasarana, dan pembinaan siswa sebagai komponen yang paling besar. Sementara itu biaya untuk penggandaan soal dan penilaian, rapat-rapat pengurus sekolah, dan perjalanan dinas juga termasuk ke dalam biaya operasional yang dipakai sebagai acuan dengan nilai yang lebih kecil. Tabel 3.5 Asumsi yang Dipakai dalam Perhitungan Pembiayaan Pencapaian MDGs
Jenis Pengeluaran
Keterangan
1 Biaya operasional a. Pendidik dan tenaga pendidik Professional
Guru yang sudah lulus sertifikasi
Belum professional Guru yang belum mendapatkan sertifikat Pensiun
b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan
Jumlah guru pensiun sebesar 2% pada tahun 2008-2009, 3% untuk tahun 2010-2013, dan 5% untuk tahun 2014-2015. Persentasi berdasarkan data umur guru (kohort analisis) Alat tulis sekolah (19%), bahan dan alat habis pakai (18%), daya dan jasa (10%), pemeliharaan sarana dan prasarana (21%), pembinaan siswa (16%), penilaian dan penggadaan soal (8%), rapat-rapat pengurus sekolah (2%), dan perjalanan dinas (5.4%)
2 Biaya Investasi a. Pendidik dan tenaga pendidik Pendidikan D4/S1
Target 2015 semua guru sudah memiliki pendidikan setidaknya D4/S1, diasumsikan bahwa setiap tahun 10% dari semua guru yang berpendidikan kurang dari S1 mendapatkan pendidikan penyataraan
Pendidikan Profesi
Diasumsikan 10% dari guru non-profesional setiap tahun akan mendapatkan pendidikan profesi untuk mendapatkan sertifikat profesional
Sertifikasi
Jumlah guru yang tersertifikasi berdasarkan target Depdiknas yaitu 8.5% dari total guru tersertifikasi pada tahun 2008, 12.5% (2009), 20% (2010), 15% (2011), 15% (2012), 10% (2013), 10% (2014), dan 10% (2015)
b. Pembangunan gedung baru Unit Sekolah Baru
12 kelas per sekolah SD/MI dan 6 kelas per sekolah SMP/MTs
Ruang Kelas Baru
rata-rata 28 siswa/kelas untuk SD/MI dan 32 siswa/kelas untuk SMP/MTs
Rehabilitasi ruang kelas
Jadwal rehabilitasi ruang kelas SD/MI disesuaikan dengan program rehabilitasi dari Depdiknas yaitu 360219 kelas per tahun 2007 dan 203057 ruang kelas per tahun 2008, untuk tahun-tahun berikutnya (diasumsikan) dijadwalkan 20% dari ruang kelas yang ada direhabilitasi (jadwal rutin)
31
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Jenis Pengeluaran
Keterangan
3 Program Percepatan (Kelas 4,5,6 SD/MI dan 1,2,3 SMP/MTs) a. Beasiswa
Besarnya Rp. 40.000 untuk SD/MI dan Rp. 50,000 untuk SMP/MTs yang diberikan pada 10% murid SD/MI dan SMP/MTs yang dikategorikan miskin
b. Kompensasi forgone earnings
Besarnya Rp. 40.000 untuk SD/MI dan Rp. 50,000 untuk SMP/MTs yang diberikan pada 3% murid SD/MI dan 10% murid SMP/MTs
Untuk mengakomodasi jumlah siswa yang diperkirakan akan terus meningkat diperlukan ruang kelas baru atau unit sekolah baru. Sementara ini tidak ada pembangunan unit sekolah baru untuk tingkat SD/MI. Pembangunan unit sekolah baru akan diperlukan untuk tingkat SMP/MTs dengan asumsi terdapat 6 kelas untuk setiap SMP/MTs. Pembangunan unit sekolah baru diasumsikan dilengkapi dengan peralatan penunjang lainnya, seperti ruang guru, ruang kepala sekolah, ruang serba guna, perpustakaan, dsb. Dengan demikian, aspek peningkatan kualitas juga dipertimbangkan dalam perhitungan pembiayaan ini yaitu peningkatan kualitas pendidik dan juga kualitas sarana belajar mengajar. Oleh karena itu, dalam kajian ini diasumsikan jumlah murid per kelas mendekati ideal yaitu rata-rata sebanyak 32 siswa. Rehabilitasi ruang kelas diperlukan untuk semua tingkat sekolah. Jadual rehabilitasi SD/MI disesuaikan dengan jadual yang telah ditetapkan oleh Depdiknas dengan asumsi bahwa 20% dari ruang kelas akan direhabilitasi dimulai pada tahun 2009 dengan pertimbangan bahwa rehabilitasi ruang kelas dilakukan setiap 5 tahun sekali. Berdasarkan asumsi jumlah siswa per kelas dapat dihitung pula jumlah guru yang diperlukan, jumlah guru yang mendapatkan pendidikan sertifikasi, pendidikan profesi, dan pendidikan D4/S1. Selain itu, jumlah sekolah baru dan kelas baru dapat diperkirakan untuk menghitung nilai investasi bangunan per tahun. Hasil perkiraan jumlah murid, guru, dan ruang kelas yang diperlukan tercantum pada Tabel 3.6 dan Tabel 3.7 masing-masing untuk SD/MI dan SMP/MTs. Jumlah siswa SD/MI diperkirakan akan mengalami peningkatan sampai tahun 2014, dan pada tahun 2015 akan menurun sekitar kurang dari 10%. Sementara itu jumlah guru yang ada pada tahun 2007 yaitu sekitar 1.250.032 guru cukup memadai untuk memenuhi syarat perbandingan 28 murid untuk setiap guru. Menurut data yang ada perbandingan murid per guru bahkan sudah mencapai sekitar 23 murid/guru. Apabila pemenuhan tingkat kualitas pendidikan didasarkan pada kriteria perbandingan tersebut, maka diproyeksikan tidak akan ada rekrutmen guru sampai tahun 2014. Perkiraan tersebut telah termasuk guru yang pensiun yang diperkirakan berdasarkan analisa kohor (cohort). Jumlah guru yang pensiun mulai tahun 2013 diperkirakan berjumlah sekitar 5 persen dari jumlah total guru yang ada yang menyebabkan peningkatan kebutuhan guru pada tahun 2014 dan 2015 untuk memenuhi persyaratan 28 murid untuk setiap guru. Untuk itu, jumlah guru yang diperlukan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah murid. Hal ini disebabkan oleh perbandingan jumlah murid terhadap jumlah guru ditetapkan sekitar 25 setiap tahun. Perkiraan jumlah guru pensiun dilakukan melalui analisa
32
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
kohor data yang diperoleh dari Depdiknas. Jumlah guru yang diperlukan akan mengalami penurunan pada tahun yang sama, yaitu tahun 2014. Setiap tahun terdapat 10% dari total jumlah guru yang menjalani pendidikan D4/S1 dan pendidikan lainnya. Jumlah guru profesional diperkirakan masing-masing sekitar 27% dan 40% dari total guru SD/MI dan SMP/MTs pada tahun 2008. Melalui program peningkatan kualifikasi guru, yaitu pendidikan profesional dan sertifikasi, jumlah guru profesional akan menjadi sekitar 90% pada tahun 2015. Ruang kelas dan unit sekolah baru diperlukan untuk peningkatan partisipasi sekolah menuju 100% partisipasi sekolah pada tahun 2015. Tidak terdapat pembangunan sekolah baru untuk tingkat SD/MI, namun dialokasikan dana untuk rehabilitasi tingkat SD/MI sebanyak 10 persen dari total bangunan. Sehingga selama sepuluh tahun ke depan seluruh bangunan telah direhabilitasi. Sirkulasi rehabilitasi bangunan SD/MI yang sama akan dilakukan untuk setiap 10 tahun. Berlainan dengan jumlah murid SD/MI, jumlah murid SMP/MTs diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2015. Jumlah guru yang diperlukan juga menyesuaikan dengan jumlah murid yang bertambah dan cenderung untuk meningkat sampai tahun 2015. Sementara guru yang tersedia masih melebihi jumlah guru yang diperlukan, dengan asumsi bahwa terdapat satu guru untuk setiap 32 murid, maka rekruitmen guru baru perlu diadakan pada tahun 2014 dan 2015. Peningkatan profesionalisme guru SMP/MTs diberlakukan seperti guru SD/MI. Dalam pengembangan kualifikasi guru, diagendakan 100 persen guru akan mendapatkan sertifikasi pada tahun 2015. Biaya pengembangan kualifikasi guru akan termasuk dalam kategori investasi. Sementara pemerintah tidak akan membangun unit sekolah baru untuk tingkat SD/MI, telah diproyeksikan bahwa unit sekolah baru untuk tingkat SMP/MTs masih banyak diperlukan. Diperkirakan bahwa rata-rata sekitar 2300 gedung sekolah baru harus dibangun dari tahun 2008 sampai dengan 2015 untuk memenuhi target MDG bidang pendidikan atau kebijakan wajib belajar sembilan tahun. Program rehabilitasi kelas tingkat SMP/MTs dilakukan sama dengan rehabilitasi tingkat SD/MI yaitu sekitar 20 persen ruang kelas akan direhabilitasi secara periodik setiap lima tahun sekali. Peningkatan kesejahteraan guru menjadi perhatian utama pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui peningkatan insentif tenaga pendidikan dan kependidikan ini diharapkan adanya peningkatan kinerja mereka. Sistem remunerasi menurut Bappenas (2006) menempatkan guru profesional untuk mendapatkan upah yang hampir dua kali lipat dibandingkan guru yang belum profesional. Hal ini sesuai dengan UU No. 14 tahun 2005. Namun, keterbatasan kemampuan pembiayaan pemerintah menjadikan perubahan sistem remunerasi secara bertahap. Untuk menyesuaikan skema tersebut kami membuat skenario perhitungan pembiayaan pencapaian MDGs dengan mengikuti skema tersebut untuk remunerasi guru profesional sebagai skenario kedua. Selain menggunakan satuan biaya gaji guru yang tercantum di dalam Tabel 3.4 untuk mengakomodasikan keterbatasan anggaran pemerintah maka dihitung biaya yang dibutuhkan untuk mencapai MDGs dengan menggunakan skema kenaikan tunjangan fungsional yang sesuai dengan Tabel 3.8.
33
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.6 Proyeksi Jumlah Murid, Guru, Sekolah, dan Kelas Tingkat SD/MI yang Dibutuhkan untuk Mencapai Target MDGs Tahun 2015
Komponen Total Murid (dalam ribu)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
27.840
28.067
28.293
28.514
28.734
28.952
29.169
29.384
28
28
28
28
28
28
28
28
994.300
1.002.397
1.010.481
1.018.374
1.026.216
1.034.005
1.041.743
1.049.428
1.319.477
1.286.739
1.252.469
1.221.069
1.188.164
1.150.897
1.103.616
1.047.272
112.156
270.215
513.512
683.799
843.597
932.227
1.004.291
1.047.272
1.207.322
1.016.524
738.957
537.270
344.568
218.670
99.325
-
- Staf Penunjang
35.511
35.800
36.089
36.371
36.651
36.929
37.205
42.834
Guru Pensiun (2%, 3%, 5%)
32.738
34.270
31.400
32.905
37.267
47.281
56.344
63.887
Pendidikan D4/S1
91.875
91.875
91.875
91.875
91.875
91.875
91.875
91.875
Pendidikan Profesi
120.732
101.652
73.896
53.727
34.457
21.867
9.933
-
Sertifikasi
112.156
158.060
243.297
170.286
159.798
88.630
72.064
42.981
28
28
28
28
28
28
28
28
Jumlah ruang kelas yang diperlukan
994.300
1.002.397
1.010.481
1.018.374
1.026.216
1.034.005
1.041.743
1.199.347
Rehabilitasi ruang kelas
203.057
198.860
200.479
202.096
203.675
205.243
206.801
208.349
Ruang Kelas Baru (RKB)
-
-
-
-
-
-
-
-
Jumlah Unit Sekolah Baru (USB)
-
-
-
-
-
-
-
-
Perbandingan jumlah siswa terhadap guru Jumlah guru yang diperlukan Jumlah guru yang tersedia Jumlah guru yang direkruit setiap tahun - Professional - Non-professional
Jumlah siswa per kelas Jumlah Ruang kelas yang ada
(12 kelas per sekolah)
34
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.7 Proyeksi Jumlah Murid, Guru, Sekolah, dan Kelas Tingkat SMP/MTs yang Dibutuhkan untuk Mencapai Target MDGs Tahun 2015
Komponen
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
11.796
12.235
12.673
13.124
13.573
14.022
14.470
14.916
32
32
32
32
32
32
32
32
Jumlah guru yang diperlukan
368.614
382.359
396.041
410.118
424.166
438.184
452.172
466.131
Jumlah guru yang tersedia
654.655
641.562
622.315
603.645
585.536
567.970
539.571
512.593
-
-
-
-
-
-
-
-
55.646
134.728
255.149
338.041
415.731
460.056
491.010
512.593
599.009
506.834
367.166
265.604
169.805
107.914
48.561
-
- Staf Penunjang
61.436
63.727
66.007
68.353
70.694
73.031
75.362
77.688
Guru Pensiun (2%, 3%, 5%)
13.093
19.247
18.669
18.109
17.566
28.398
26.979
25.630
Pendidikan D4/S1
19.443
19.443
19.443
19.443
19.443
19.443
19.443
19.443
Total Murid (dalam ribu) Perbandingan jumlah siswa terhadap guru
Jumlah guru yang direkruit setiap tahun - Professional - Non-professional
Pendidikan Profesi
59.901
50.683
36.717
26.560
16.981
10.791
4.856
-
Sertifikasi
55.646
79.082
120.421
82.892
77.689
44.325
30.954
21.583
32
32
32
32
32
32
32
32
368.614
382.359
396.041
410.118
424.166
438.184
452.172
466.131
Rehabilitasi ruang kelas
70.961
73.723
76.472
79.208
82.024
84.833
87.637
90.434
Ruang Kelas Baru (RKB)
13.809
13.745
13.682
14.077
14.048
14.018
13.988
13.958
2.301
2.291
2.280
2.346
2.341
2.336
2.331
2.326
Jumlah siswa per kelas Jumlah ruang kelas yang diperlukan
Jumlah Unit Sekolah Baru (USB) (12 kelas per sekolah)
35
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.8 Rencana Skema Kenaikan Tunjangan Fungsional Berkaitan dengan Implementasi UU No. 14 2005
Gol.
Rencana Skema Kenaikan Tunjangan Fungsional (berkaitan dengan Implementasi UU NO. 14 2005) Rata-rata Gaji Tunjangan diterimaPokok Kependi- Diterima 2007 Diterima 2008 2009 kan dikan s.d.
diterimakan
II
1.299.550
186.000 1.485.550
286.000 1.585.550
436.000 1.735.550
500.000 1.799.550
III
1.590.150
227.000 1.817.150
327.000 1.917.150
477.000 2.067.150
541.000 2.131.150
IV
1.876.800
289.000 2.165.800
389.000 2.265.800
489.000 2.365.800
562.000 2.438.800
Ratarata
1.588.833
234.000 1.822.833
334.000 1.922.833
467.333 2.056.167
534.333 2.123.167
3.2.3
Pendekatan Makro
Devarajan (2002) dan Bruns (2004) memakai rata-rata biaya pendidikan per jenjang yang dihitung dari angka agregat dalam menghitung kebutuhan pembiayaan pencapaian MDGs di bidang pendidikan. Untuk itu, pendekatan kedua ini akan mengikuti pekerjaan yang telah dilakukan oleh Devarajan (2002) dan Bruns (2004) yang disesuaikan dengan kondisi pembiayaan sektor pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, biaya pendidikan dasar dikelompokkan sebagai berikut: 1. 2. 3.
4.
Biaya operasional untuk membayar gaji guru dan belanja bahan sekali habis. Biaya pembangunan sebagai biaya investasi baik investasi peningkatan kualifikasi guru maupun peningkatan kapasitas sarana dan prasarana sekolah. Biaya pendidikan gratis untuk keluarga miskin dalam bentuk bantuan biaya operasional sekolah yang tadinya merupakan biaya out-of-pocket rumah tangga untuk pendidikan. Biaya beasiswa untuk kompensasi forgone income yang disebabkan oleh putusnya pekerjaan anak karena bersekolah (child labor opportunity cost)
Angka yang menjadi patokan adalah anggaran pendidikan pada tahun 2005 seperti terlihat pada Tabel 3.9. Pengeluaran gaji guru dari pemerintah daerah harus diestimasi karena tidak ada data tersedia, sedangkan data gaji guru yang dibayarkan dari pemerintah pusat tercatat di Departemen Keuangan. Di dalam Tabel 3.9 dana untuk bahan habis pakai sudah termasuk biaya operasional, pemeliharaan, dan block grant untuk sekolah. Anggaran investasi termasuk di dalamnya adalah anggaran investasi untuk bangunan dan dana Alokasi Khusus (DAK) untuk daerah. Sementara ini biaya investasi untuk peningkatan guru masih belum termasuk di dalam penganggaran. Hal ini akan menyebabkan perbedaan hasil perhitungan dengan metode sebelumnya, yaitu metode mikro.
36
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.9 Anggaran Sektor Pendidikan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat Tahun 2005 (Miliar Rupiah) Komponen Pendidikan Pendidikan Dini Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Non-formal Pendidikan Dinas Pendidikan Tinggi
Gaji guru dan tunjangannya
Bahan habis pakai
Investasi bangunan dan DAK
Beasiswa dan kompensasi BBM
3.315,3
229,9
83,1
53,4
34.932,6
9.797,2
2.292,4
921,9
7.703,4
3.825,6
885,0
126,9
851,0
388,4
18,5
9,3
0,4
0,9
3.390,6
3.649,9
1.066,3
435,6
Pelayanan Bantuan terhadap Pendidikan
267,0
2.430,8
178,5
11,7
Litbang Pendidikan
105,2
113,0
7,2
0,4
Pendidikan Lainnya
26,4
45,5
8,6
Sumber:
Kompilasi dari Departemen Keuangan. Gaji guru termasuk termasuk gaji guru pusat dan gaji guru yang didaerahkan. Gaji guru yang didaerahkan diestimasi berdasarkan jumlah guru dan rata-rata gaji minimum. Bahan habis pakai hanya anggaran dari pusat
Berdasarkan anggaran agregat nasional tersebut dihitung satuan harga per program untuk memudahkan perhitungan apabila ada perubahan asumsi. Dengan perhitungan per program tersebut, kita dapat merubah asumsi dalam pembiayaan anggaran rutin ataupun anggaran investasi. Sebagai catatatan, metode perhitungan mikro memperhitungkan adanya perubahan remunerasi guru dan investasi guru melalui peningkatan kualifikasi mereka. Untuk itu, perhitungan dengan metode makro ini harus juga memperhitungkan perubahan remunerasi tersebut. Tabel 3.10 mencantumkan satuan biaya untuk kedua metodologi, makro dan mikro. Untuk metodologi makro perhitungan dilakukan dengan menggunakan tiga alternatif, yaitu; 1.
Alternatif perhitungan pertama adalah bahwa perubahan angka anggaran hanya disebabkan oleh tingkat inflasi (yaitu sebesar 6 persen) dan tidak ada faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan anggaran kecuali jumlah murid yang terus meningkat.
2.
Selain adanya perubahan angka anggaran karena tingkat inflasi dan jumlah murid yang meningkat, terjadi juga peningkatan remunerasi tenaga pendidik dan kependidikan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri dan penyesuaian besarnya biaya investasi baik komponen guru maupun non-guru. Untuk itu, diasumsikan peningkatan komponen remunerasi rata-rata sebesar 4,3 persen. Angka ini diambil dari peningkatan anggaran belanja operasional guru. Sementara itu, biaya investasi diasumsikan menurun sesuai dengan penurunan jumlah guru yang diharuskan mengikuti program sertifikasi. Biaya investasi komponen non-guru hanya dikonsentrasikan untuk pengalokasian investasi sekolah di tingkat SMP/MTs
37
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
3.
Peningkatan remunerasi tenaga pendidik dan kependidikan diasumsikan mengikuti skema kenaikan tunjangan fungsional yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan. Alternatif ini sejalan dengan alternatif kedua metode mikro yang telah didiskusikan sebelumnya. Skenario sesuai dengan skema kenaikan tunjangan fungsional yang telah ditetapkan oleh Depdiknas terhitung sekitar 0,5 persen dan biaya investasi menurun sekitar -0,035 persen.
Tabel 3.10 Satuan Biaya Rata-Rata yang Digunakan untuk Perhitungan Pembiayaan, Harga Tahun 2008 Jumlah Anggaran tahun 2005 (Miliar Rupiah)
Komponen Gaji pendidik dan tenaga kependidikan (pusat dan daerah)
34.933
Bahan habis pakai
6.849
Investasi (Operasional, Investasi bangunan, DAK)
5.240
Beasiswa dan Kompensasi BBM
Makro
Mikro
Asumsi 1
Asumsi 2
Asumsi 3
Asumsi 1
Asumsi 2
112.174
147.978
129.492
156.422
127.235
18.388
24.258
21.227
66.680
66.680
130.562
172.236
150.719
223.102
193.915
922
Total
47.944
Satuan biaya operasional guru maupun bahan habis pakai dan pembangunan dihitung dari total biaya rutin dan biaya pembangunan per jenjang sekolah dibagi dengan jumlah anak sekolah di setiap jenjang pada tahun 2005 yang sementara ini menjadi dasar perhitungan karena datanya relatif lebih lengkap;
cij =
Cij Pi
* gp
dimana i dan j adalah indeks jenjang pendidikan dan indeks jenis biaya pendidikan, Cij adalah biaya rutin atau biaya pembangunan untuk tiap jenjang pendidikan. Pi menunjukkan jumlah penduduk anak sekolah pada jenjang i. Faktor peningkatan produktifitas dibandingkan dengan tahun 2008 dinyatakan dengan gp. Apabila kita membandingkan satuan biaya metode makro dengan rata-rata satuan biaya yang diperoleh dari metode mikro seperti yang terlihat pada Tabel 3.13, satuan biaya mikro cenderung lebih besar dari satuan biaya makro. Hal ini karena metode mikro sudah mengakomodasikan faktor perubahan remunerasi terhadap perhitungan maka secara rata-rata satuan biaya metode mikro untuk operasional guru dan bahan habis pakai cenderung sedikit lebih besar dari satuan biaya metode mikro. Konsekuensinya adalah hasil perhitungan metode mikro untuk komponen operasional guru suatu saat akan lebih besar dari komponen operasional guru pada metode mikro. Satuan biaya komponen investasi metode makro terlihat jauh lebih kecil dibandingkan dengan satuan biaya komponen yang sama yang dihitung
38
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
dengan menggunakan metode mikro. Untuk itu digunakan asumsi peningkatan remunerasi sebesar 3,1 persen untuk perhitungan makro alternatif ke dua. Proyeksi jumlah murid, seperti yang dilakukan pada metodologi pertama, dihitung dari partisipasi sekolah kasar pendidikan dasar sembilan tahun per umur yang diperoleh dari Susenas 2005 dikalikan dengan jumlah penduduk per umur dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tingkat pertumbuhan partisipasi sekolah dihitung dengan mengambil dasar angka partisipasi sekolah pendidikan dasar pada tahun 2005 dan pencapaian partisipasi sekolah pendidikan dasar 100% pada tahun 2015. Total pembiayaan rutin dan pembangunan dihitung sebagai berikut:
) Cijt = Pit * cij * I t
di mana Cijt adalah total anggaran rutin atau pembangunan pada tahun t, Pit adalah proyeksi anak sekolah pada tahun t, cij adalah biaya satuan rutin atau pembangunan yang dihitung sebelumnya, dan It adalah price indeks hasil proyeksi pada tahun t. Sama halnya dengan metode mikro di atas, dengan metode makro ini juga dihitung besarnya jumlah beasiswa dan kompensasi pendapatan yang hilang untuk anak sekolah dari keluarga miskin. Perhitungan biaya bantuan untuk orang tua miskin dihitung secara sederhana sebagai berikut:
) Ffjt = Pit * h fj * I t * Rt
di mana Ffjt adalah biaya bantuan untuk orang tua miskin tahun t untuk anak umur f, hfj adalah rata-rata biaya satuan pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua atau besarnya beasiswa dan kompensasi yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp 40 ribu untuk tingkat SD/MI dan Rp 50 ribu untuk tingkat SMP/MTs, Rt adalah jumlah orang miskin pada tahun t. Jumlah relatif orang miskin diasumsikan konstan selama tahun 2008-2015, yaitu sebanyak 15% dari jumlah penduduk. Sementara itu, jumlah kebutuhan kompensasi pendapatan yang hilang (forgone income) tersebut dihitung sebagai berikut:
) ) S fjt = Pit * Y fj * I t * Lt
dimana Sfjt adalah jumlah biaya kompensasi yang diperlukan. Yfj adalah besarnya kompensasi, Lt adalah jumlah anak pekerja yang diperkirakan sebagai jumlah anak dari keluarga miskin. Total biaya selama 2008-2015 diperoleh dengan menjumlahkan semua komponen biaya untuk setiap tahun, seperti sebagai berikut;
) ) ⎞ ) ⎛ T2008− 2015 = ∑∑ ⎜ ∑ Cijt + Fft + S ft ⎟ t f ⎝ j ⎠, di mana T2008-2015 adalah total biaya selama period 2008-2015, Cijt adalah total anggaran rutin dan pembangunan pada tahun t, Fft adalah biaya bantuan untuk orang tua miskin tahun t dan Sft adalah biaya kompensasi.
39
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
3.3 Biaya yang Dibutuhkan 3.3.1
Metode Mikro
Anggaran biaya operasional terhitung hampir dua kali lipat dari anggaran investasi. Biaya operasional terdiri dari anggaran gaji guru dan biaya operasional, bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan. Komponen terbesar adalah anggaran gaji guru yang meningkat dengan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan biaya operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan. Hal ini adalah konsekuensi dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan juga sebagai konsekuensi pelaksanaan program sertifikasi guru. Guru yang telah memiliki sertifikat berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi yang merupakan peningkatan yang cukup substansial terhadap remunerasi mereka. Sementara itu tidak ada peningkatan biaya untuk bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan kecuali peningkatan nominal karena inflasi. Besarnya gaji guru SD/MI pada tahun 2008 diperkirakan sebesar Rp 29 triliun. Jumlah ini diperkirakan meningkat secara nominal sekitar dua kali lipat lebih pada tahun 2015 atau secara riil sekitar satu setengah kali lipatnya pada tahun yang sama. Hasil perhitungan dengan menggunakan metode mikro alternatif satu ini ditampilkan pada Tabel 3.11 dan Tabel 3.12 untuk tingkat SD/MI dan Tabel 3.13 dan Tabel 3.14 untuk SMP/MTs yang masing-masing tampilan adalah berdasarkan harga berlaku dan harga konstan dengan tahun 2008 sebagai acuan. Peningkatan remunerasi guru yang dilakukan secara bertahap memberikan pengaruh yang besar terhadap kebutuhan pembiayaan. Pada tahun 2015 kebutuhan remunerasi guru adalah sebesar Rp 43 triliun dari kebutuhan sekitar Rp. 28 triliun pada tahun 2008. Kebutuhan terlihat jauh berbeda, namun yang perlu dipertanyakan adalah apakah sistem bertahap akan secara efektif meningkatkan kinerja guru yang akhirnya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan secara menyeluruh. Sementara biaya operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan hanya sekitar Rp 12,4 triliun pada tahun 2008 dan secara nominal meningkat kurang dari dua kalinya atau secara riil tidak banyak mengalami peningkatan (Tabel 3.11 dan Tabel 3.12). Hal yang sama terjadi dengan biaya operasional tingkat SMP/MTs dimana biaya operasional tenaga pendidik dan tenaga kependidikan meningkat lebih pesat dibandingkan dengan biaya operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan. Secara total dibutuhkan biaya operasional sekitar Rp 63,7 triliun untuk tingkat SD/MI dan SMP/MTs pada tahun 2008 dan sekitar Rp 131 triliun pada tahun 2015. Untuk alternatif kedua, biaya operasional adalah sekitar Rp 61 triliun pada tahun 2008 dan sekitar Rp 96,5 triliun pada tahun 2015. Perbedaan kedua alternatif tersebut adalah sekitar Rp 35 triliun. Biaya investasi yang terdiri dari komponen investasi pendidik dan tenaga kependidikan dan biaya pembangunan gedung tingkat SD/MI sekitar Rp 19,6 triliun dan Rp 13,8 triliun untuk tingkat SMP/MTs pada tahun 2008. Komponen investasi tingkat SMP/MTs paling besar adalah biaya pembangunan gedung yang hampir mencapai 90 persen dari total komponen biaya investasi. Biaya investasi pendidik dan tenaga kependidikan untuk SD/MI
40
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
dan SMP/MTs cenderung turun karena diperkirakan beban untuk meningkatkan kualifikasi dan sertifikasi guru akan menurun sejak tahun 2010 sehubungan dengan berkurangnya guru tingkat SD/MI dan SMP/MTs yang belum mendapat sertifikat. Sebagai contoh biaya investasi untuk peningkatan kualifikasi dan sertifikasi guru pada tahun 2008 sekitar Rp 2,2 triliun untuk guru tingkat SD/MI dan hanya sekitar Rp 960 miliar untuk guru tingkat SMP/MTs. Sementara itu pada tahun 2015 biaya investasi guru tingkat SD/MI adalah sebesar sekitar Rp 1,6 triliun dan tingkat SMP/MTs sebesar Rp 378 miliar. Biaya tersebut menurun karena adanya semakin bertambahnya guru dengan kualifikasi sarjana dan guru baru guru baru yang diharuskan memiliki kualifikasi setidaknya sarjana. Sementara biaya operasional dan investasi merupakan komponen biaya pendidikan yang besar, program beasiswa dan kompensasi forgone income diproyeksikan akan membebani biaya pendidikan sebesar 5 persen setiap tahunnya. Meskipun biaya ini relatif kecil, komponen beasiswa dan kompensasi ini dianggap biaya yang paling penting dan strategis untuk dapat menarik anak-anak usia sekolah yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu.
41
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.11 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Berlaku), 2008-2015
Komponen Pembiayaan
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
1 Biaya operasional a. Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala Sekolah Penunjang
42.153 29.750 4.608 24.571 570
47.562 34.307 11.769 21.930 609
55.419 41.256 23.707 16.898 651
62.312 47.181 33.463 13.023 695
69.517 53.356 43.760 8.853 743
75.269 58.007 51.258 5.956 793
80.683 62.249 58.534 2.867 847
85.420 65.735 64.702 1.034
b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan
12.403
13.255
14.163
15.130
16.162
17.261
18.434
19.684
2 Biaya Investasi a. Pendidik dan tenaga kependidikan
19.641 2.290
20.542 2.530
21.788 2.540
22.829 2.261
24.082 2.110
25.336 1.866
26.817 1.750
28.377 1.607
774 1.292 224
1.042 1.153 335
1.105 888 547
1.171 685 406
1.241 465 403
1.316 313 237
1.394 151 204
1.478 129
b. Pembangunan gedung baru atau rehabilitasi Unit Sekolah Baru Rehabilitasi kelas lama
17.351
18.012
19.249
20.568
21.972
23.470
25.067
26.770
17.351
18.012
19.249
20.568
21.972
23.470
25.067
26.770
3 Program Percepatan (Kelas 4,5,6) a. Beasiswa b. Kompensasi forgone earnings (3% dari total murid - fokus kelas 4,5,6)
1.737,24 1.336,34 400,90
1.856,47 1.428,05 428,42
1.983,73 1.525,95 457,78
2.119,18 1.630,14 489,04
2.263,63 1.741,25 522,38
2.417,66 1.859,74 557,92
2.581,89 1.986,07 595,82
2.757,00 2.120,77 636,23
Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Sertifikasi
42
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.12 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008), 2008-2015
Komponen Pembiayaan 1 Biaya operasional a. Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala Sekolah Penunjang
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
42.153 29.750 4.608 24.571 570
44.870 32.365 11.103 20.688 575
49.323 36.718 21.099 15.039 579
52.318 39.614 28.096 10.935 584
55.064 42.263 34.662 7.013 588
56.245 43.346 38.303 4.450 593
56.878 43.883 41.264 2.021 597
56.809 43.718 43.030 687
12.403
12.504
12.605
12.704
12.802
12.899
12.995
13.091
2 Biaya Investasi a. Pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Pelatihan Sertifikasi
19.641 2.290 774 1.292 224
19.380 2.387 983 1.088 316
19.392 2.260 983 791 487
19.168 1.899 983 575 341
19.076 1.671 983 369 320
18.933 1.394 983 234 177
18.905 1.233 983 106 144
18.873 1.069 983 86
b. Pembangunan gedung baru atau rehabilitasi Unit Sekolah Baru Rehabilitasi kelas lama
17.351
16.993
17.131
17.269
17.404
17.538
17.671
17.804
17.351
16.993
17.131
17.269
17.404
17.538
17.671
17.804
1.737,24 1.336,34 400,90
1.751,39 1.347,22 404,17
1.765,51 1.358,09 407,43
1.779,30 1.368,70 410,61
1.793,00 1.379,23 413,77
1.806,61 1.389,70 416,91
1.820,13 1.400,10 420,03
1.833,56 1.410,43 423,13
b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan
3 Program Percepatan (Kelas 4,5,6) a. Beasiswa b. Kompensasi forgone earnings (3% dari total murid - fokus kelas 4,5,6)
43
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.13 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, dalam Miliar Rupiah Harga Berlaku, 2008-2015 Komponen Pembiayaan
TOTAL PENDIDIKAN DASAR Total Biaya Operasional (SD+SMP) Total Biaya Investasi (SD+SMP) Total Biaya Percepatan (SD+SMP)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
100.363,60 63.763 33.448 3.153
111.056,72 72.293 35.351 3.413
125.800,98 84.457 37.651 3.692
139.039,39 95.107 39.938 3.995
152.976,63 106.283 42.373 4.320
164.910,69 115.380 44.862 4.669
176.415,10 123.650 47.720 5.045
187.401,69 131.172 50.781 5.448
36.831,99
41.095,69
46.609,68
51.779,49
57.113,30
61.888,30
66.333,55
70.847,59
1. Biaya Operasional a. Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala sekolah (1 setiap sekolah) Penunjang ( 1 setiap sekolah) b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan
21.610 16.355 2.446 12.922 986
24.731 18.953 6.279 11.590 1.084
29.038 22.694 12.604 8.900 1.190
32.795 25.832 17.701 6.824 1.307
36.766 29.132 23.075 4.625 1.432
40.111 31.751 27.067 3.115 1.569
42.968 33.823 30.621 1.486 1.716
45.753 35.760 33.885 1.875
5.255
5.778
6.344
6.964
7.634
8.360
9.144
9.992
2. Biaya Investasi
13.806
14.808
15.863
17.109
18.291
19.526
20.903
22.404
960 208 641 111
963 221 575 168
946 234 441 271
784 248 338 197
688 263 229 196
552 278 155 119
457 295 74 88
378 313 65
12.846
13.845
14.917
16.325
17.603
18.974
20.446
22.026
6.536
6.897
7.277
7.936
8.395
8.880
9.393
9.935
Ruang Kelas Baru
6.310
6.949
7.640
8.388
9.208
10.094
11.054
12.091
3. Program Percepatan
1.415,48
1.556,35
1.708,77
1.875,68
2.056,32
2.251,73
2.463,03
2.691,41
a. Beasiswa
707,74
778,18
854,38
937,84
1.028,16
1.125,87
1.231,52
1.345,71
b. Kompensasi forgone earnings
707,74
778,18
854,38
937,84
1.028,16
1.125,87
1.231,52
1.345,71
TOTAL
a. Pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Sertifikasi b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan Unit Sekolah Baru
44
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.14 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008, 2008-2015 Komponen Pembiayaan TOTAL PENDIDIKAN DASAR Total Biaya Operasional (SD+SMP) Total Biaya Investasi (SD+SMP) Total Biaya Percepatan (SD+SMP) TOTAL 1 Biaya Operasional a. Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala sekolah (1 setiap sekolah) Penunjang ( 1 setiap sekolah) b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan 2 Biaya Investasi a. Pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Sertifikasi b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan Unit Sekolah Baru Ruang Kelas Baru 3 Program Percepatan a. Beasiswa b. Kompensasi forgone earnings
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
100.363,60 63.763 33.448 3.153
104.770,49 68.201 33.350 3.220
111.962,42 75.167 33.509 3.286
116.740,15 79.854 33.532 3.354
121.171,82 84.186 33.564 3.422
123.230,86 86.218 33.523 3.489
124.365,68 87.169 33.641 3.556
124.632,83 87.237 33.772 3.624
36.831,99
38.769,52
41.482,45
43.475,05
45.239,09
46.246,54
46.762,54
47.117,69
21.610
23.331
25.844
27.536
29.122
29.973
30.290
30.428
16.355 2.446 12.922 986
17.880 5.923 10.934 1.023
20.198 11.217 7.921 1.059
21.689 14.862 5.730 1.097
23.075 18.277 3.663 1.135
23.726 20.226 2.328 1.172
23.844 21.587 1.048 1.210
23.783 22.536 1.247
5.255
5.451
5.646
5.847
6.047
6.247
6.446
6.645
13.806
13.970
14.118
14.365
14.488
14.591
14.736
14.900
960 208 641 111
909 208 542 158
842 208 393 241
658 208 284 166
545 208 182 155
412 208 115 89
322 208 52 62
251 208 43
12.846
13.062
13.276
13.707
13.943
14.179
14.414
14.648
6.536 6.310
6.506 6.555
6.476 6.800
6.664 7.043
6.650 7.293
6.635 7.543
6.621 7.792
6.607 8.041
1.415,48
1.468,26
1.520,80
1.574,85
1.628,80
1.682,63
1.736,34
1.789,94
707,74 707,74
734,13 734,13
760,40 760,40
787,43 787,43
814,40 814,40
841,31 841,31
868,17 868,17
894,97 894,97 45
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.15 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Berlaku) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015
Komponen Pembiayaan 1. Biaya Operasional a.
Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala Sekolah Penunjang
b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan 2. Biaya Investasi a.
Pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Sertifikasi
b.
Pembangunan gedung baru atau rehabilitasi Unit Sekolah Baru Rehabilitasi kelas lama
3. Program Percepatan (Kelas 4,5,6) a.
Beasiswa
b.
Kompensasi forgone earnings (3% dari total murid - fokus kelas 4,5,6)
46
2008
2009
2010
40.469
43.482
28.066 2.925
2011
2012
2013
54.347
2014
57.499
2015
47.201
50.711
60.391
62.989
30.228
33.037
35.581
38.185
40.237
41.957
43.305
7.689
15.489
21.862
28.589
33.489
38.242
42.272
24.571
21.930
16.898
13.023
8.853
5.956
2.867
-
-
-
-
-
-
-
-
-
570
609
651
695
743
793
847
1.034
12.403
13.255
14.163
15.130
16.162
17.261
18.434
19.684
19.641
20.542
21.788
22.829
24.082
25.336
26.817
28.377
2.290
2.530
2.540
2.261
2.110
1.866
1.750
1.607
774
1.042
1.105
1.171
1.241
1.316
1.394
1.478
1.292
1.153
888
685
465
313
151
-
224
335
547
406
403
237
204
129
17.351
18.012
19.249
20.568
21.972
23.470
25.067
26.770
-
-
-
-
-
-
-
-
17.351
18.012
19.249
20.568
21.972
23.470
25.067
26.770
1.737,24
1.856,47
1.983,73
2.119,18
2.263,63
2.417,66
2.581,89
2.757,00
1.336,34
1.428,05
1.525,95
1.630,14
1.741,25
1.859,74
1.986,07
2.120,77
400,90
428,42
457,78
489,04
522,38
557,92
595,82
636,23
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.16 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SD/MI (dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015
Komponen Pembiayaan 1. Biaya Operasional a. Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala Sekolah Penunjang b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan 2. Biaya Investasi a. Pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Sertifikasi b.
Pembangunan gedung baru atau rehabilitasi Unit Sekolah Baru Rehabilitasi kelas lama
3. Program Percepatan (Kelas 4,5,6) a.
Beasiswa
b.
Kompensasi forgone earnings (3% dari total murid - fokus kelas 4,5,6)
2008
2009
2010
40.469
41.021
28.066
28.517
2.925
7.254
24.571
20.688
-
-
570
2011
42.008
2012
2013
2014
2015
42.578
43.048
42.967
42.573
41.892
29.403
29.874
30.246
30.068
29.578
28.800
13.785
18.356
22.646
25.025
26.959
28.113
15.039
10.935
7.013
4.450
2.021
-
-
-
-
-
-
-
575
579
584
588
593
597
687
12.403
12.504
12.605
12.704
12.802
12.899
12.995
13.091
19.641
19.380
19.392
19.168
19.076
18.933
18.905
18.873
2.290
2.387
2.260
1.899
1.671
1.394
1.233
1.069
774
983
983
983
983
983
983
983
1.292
1.088
791
575
369
234
106
-
224
316
487
341
320
177
144
86
17.351
16.993
17.131
17.269
17.404
17.538
17.671
17.804
-
-
-
-
-
-
-
-
17.351
16.993
17.131
17.269
17.404
17.538
17.671
17.804
1.737,24
1.751,39
1.765,51
1.779,30
1.793,00
1.806,61
1.820,13
1.833,56
1.336,34
1.347,22
1.358,09
1.368,70
1.379,23
1.389,70
1.400,10
1.410,43
400,90
404,17
407,43
410,61
413,77
416,91
420,03
423,13
47
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.17 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, (dalam Miliar Rupiah Harga Berlaku) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015
Komponen Pembiayaan
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
TOTAL PENDIDIKAN DASAR Total Biaya Operasional (SD+SMP) Total Biaya Investasi (SD+SMP) Total Biaya Percepatan (SD+SMP) TOTAL
97.752,47 61.152 33.448 3.153 35.904,54
104.706,27 65.943 35.351 3.413 38.825,12
113.024,41 71.681 37.651 3.692 42.051,65
121.037,70 77.105 39.938 3.995 45.378,33
129.461,85 82.769 42.373 4.320 48.768,69
137.352,50 87.821 44.862 4.669 52.099,92
145.049,23 92.284 47.720 5.045 55.259,76
152.717,33 96.488 50.781 5.448 58.593,40
1. Biaya operasional a. Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala sekolah (1 setiap sekolah) Penunjang ( 1 setiap sekolah)
20.683 15.428 1.519 12.922 986
22.460 16.682 4.008 11.590 1.084
24.480 18.136 8.046 8.900 1.190
26.394 19.430 11.299 6.824 1.307
28.422 20.787 14.730 4.625 1.432
30.322 21.963 17.279 3.115 1.569
31.894 22.749 19.548 1.486 1.716
33.498 23.506 21.631 1.875
5.255
5.778
6.344
6.964
7.634
8.360
9.144
9.992
13.806
14.808
15.863
17.109
18.291
19.526
20.903
22.404
960 208 641 111
963 221 575 168
946 234 441 271
784 248 338 197
688 263 229 196
552 278 155 119
457 295 74 88
378 313 65
12.846
13.845
14.917
16.325
17.603
18.974
20.446
22.026
6.536 6.310
6.897 6.949
7.277 7.640
7.936 8.388
8.395 9.208
8.880 10.094
9.393 11.054
9.935 12.091
1.415,48
1.556,35
1.708,77
1.875,68
2.056,32
2.251,73
2.463,03
2.691,41
a. Beasiswa
707,74
778,18
854,38
937,84
1.028,16
1.125,87
1.231,52
1.345,71
b. Kompensasi forgone earnings
707,74
778,18
854,38
937,84
1.028,16
1.125,87
1.231,52
1.345,71
b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan 2. Biaya Investasi a. Pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Sertifikasi b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan Unit Sekolah Baru Ruang Kelas Baru 3. Program Percepatan
48
2008
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.18 Perkiraan Pembiayaan Pencapaian Target MDGs Bidang Pendidikan Tingkat SMP/MTs, (dalam Miliar Rupiah dan Harga Konstan 2008) Mengikuti Skema Peningkatan Tunjangan Fungsional Guru, 2008-2015
Komponen Pembiayaan
2008
2009
TOTAL PENDIDIKAN DASAR Total Biaya Operasional (SD+SMP)
97.752,47 61.152
98.779,50 62.210
100.591,33 63.796
101.625,59 64.739
102.545,91 65.561
102.637,78 65.625
102.253,98 65.057
101.565,75 64.170
33.448
33.350
33.509
33.532
33.564
33.523
33.641
33.772
3.153
3.220
3.286
3.354
3.422
3.489
3.556
3.624
35.904,54
36.627,48
37.425,82
38.100,52
38.629,37
38.932,09
38.955,95
38.967,96
20.683 15.428 1.519 12.922 986
21.189 15.738 3.781 10.934 1.023
21.787 16.141 7.161 7.921 1.059
22.161 16.314 9.487 5.730 1.097
22.513 16.465 11.668 3.663 1.135
22.659 16.412 12.912 2.328 1.172
22.484 16.037 13.780 1.048 1.210
22.278 15.633 14.386 1.247
5.255
5.451
5.646
5.847
6.047
6.247
6.446
6.645
13.806 960 208 641 111
13.970 909 208 542 158
14.118 842 208 393 241
14.365 658 208 284 166
14.488 545 208 182 155
14.591 412 208 115 89
14.736 322 208 52 62
14.900 251 208 43
12.846
13.062
13.276
13.707
13.943
14.179
14.414
14.648
6.536 6.310
6.506 6.555
6.476 6.800
6.664 7.043
6.650 7.293
6.635 7.543
6.621 7.792
6.607 8.041
1.415,48 707,74 707,74
1.468,26 734,13 734,13
1.520,80 760,40 760,40
1.574,85 787,43 787,43
1.628,80 814,40 814,40
1.682,63 841,31 841,31
1.736,34 868,17 868,17
1.789,94 894,97 894,97
Total Biaya Investasi (SD+SMP) Total Biaya Percepatan (SD+SMP) TOTAL 1. Biaya operasional a. Pendidik dan tenaga kependidikan Professional Belum professional Kepala sekolah (1 setiap sekolah) Penunjang ( 1 setiap sekolah) b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan 2. Biaya Investasi a. Pendidik dan tenaga kependidikan Pendidikan D4/S1 Pendidikan Profesi Sertifikasi b. Biaya Operasional bahan dan alat habis pakai dan pemeliharaan Unit Sekolah Baru Ruang Kelas Baru 3. Program Percepatan a. Beasiswa b. Kompensasi forgone earnings
2010
2011
2012
2013
2014
2015
49
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Tabel 3.19 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Biaya yang Dibutuhkan untuk Mencapai MDGs Bidang Pendidikan Metode Mikro
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Perkembangan remunerasi guru sesuai dengan skema Bappenas (2006) Operasional
63.763
72.293
84.457
95.107
106.283
115.380
123.650
131.172
Investasi
33.448
35.351
37.651
39.938
42.373
44.862
47.720
50.781
Beasiswa
1.109
1.207
1.312
1.427
1.551
1.684
1.827
1.982
Kompensasi
2.044
2.206
2.380
2.568
2.769
2.986
3.218
3.466
100.364
111.057
125.801
139.039
152.977
164.911
176.415
187.402
Total
Perkembangan remunerasi guru sesuai dengan skema peningkatan tunjangan fungsional guru Operasional
61.152
65.943
71.681
77.105
82.769
87.821
92.284
96.488
Investasi
33.448
35.351
37.651
39.938
42.373
44.862
47.720
50.781
Beasiswa
1.109
1.207
1.312
1.427
1.551
1.684
1.827
1.982
Kompensasi
2.044
2.206
2.380
2.568
2.769
2.986
3.218
3.466
97.752
104.706
113.024
121.038
129.462
137.353
145.049
152.717
Total
3.3.2
Metode Makro
Perkiraan biaya pencapaian MDGs yang dihasilkan dengan perhitungan metode makro ini cenderung lebih kecil dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan metode sebelumnya. Perbedaan yang paling banyak adalah dari komponen biaya investasi. Komponen investasi pada metode perhitungan sebelumnya bisa mencapai Rp 28 triliun pada tahun 2008, dengan metode makro ini diperkirakan hanya sekitar Rp 5,7 triliun untuk alternatif pertama atau Rp 6,4 triliun untuk alternatif kedua. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya komponen investasi pengembangan kualifikasi guru pada tahun 2005 (tahun data anggaran yang dipakai sebagai benchmark). Oleh karena itu, biaya investasi yang dihasilkan cenderung sangat kecil. Biaya operasional yang mencakup biaya gaji pendidik dan tenaga kependidikan cenderung hampir sama pada tahun 2008 yaitu sekitar Rp 53 triliun sampai Rp 59 triliun. Bahkan untuk alternatif kedua biaya operasional cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional hasil perhitungan metode pertama tadi, yang secara total sangat berpengaruh terhadap besarnya kebutuhan biaya pencapaian MDGs tersebut (Tabel 3.20). Alternatif terakhir dengan menggunakan skema peningkatan remunerasi secara bertahap menghasilkan angka yang sama dengan alternatif kedua pada tahun 2008, tetapi perbedaan kebutuhan biaya operasional sangat tinggi pada tahun 2015 yaitu sekitar Rp 15 triliun. Total kebutuhan dengan menggunakan alternatif kedua ini adalah sekitar Rp 124 triliun. Perbedaannya sekitar Rp 30 triliun dengan alternatif kedua metode mikro. Penyebab utama perbedaan ini terutama oleh adanya investasi tenaga pendidik dan kependidikan dan juga program rehabilitasi gedung SD/MI dan SMP/MTs.
50
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Untuk diskusi selanjutnya, hasil perhitungan dengan menggunakan metode mikro alternatif kedua dengan menggunakan skema peningkatan remunerasi guru secara bertahap akan dipakai untuk analisis strategi pembiayaan pencapaian MDGs. Tabel 3.20 Hasil Perhitungan dana Untuk Mencapai MDGs Bidang Pendidikan Melalui Metode Makro (dalam Miliar Rupiah)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Makro tanpa ada skenario peningkatan biaya remunerasi dan investasi Operasional
53.354
57.506
61.961
66.755
71.898
77.412
83.326
89.665
Investasi
8.746
9.427
10.157
10.943
11.786
12.690
13.659
14.698
Kompensasi
1.386
1.515
1.626
1.745
1.872
2.008
2.155
2.312
Beasiswa
1.012
1.111
1.212
1.317
1.427
1.542
1.661
1.785
64.498
69.559
74.956
80.759
86.982
93.652
100.801
108.460
Total
Makro dengan peningkatan rumenarasi sebesar rata-rata 4,3% per tahun dan investasi sebesar rata-rata -0.2% per tahun Operasional
59.321
74.853
96.112
101.651
114.644
112.338
115.652
120.889
Investasi
7.440
7.948
9.252
10.105
11.162
12.141
13.771
15.546
Kompensasi
1.535
1.669
1.814
1.969
2.137
2.319
2.515
2.726
Beasiswa
1.112
1.219
1.335
1.461
1.598
1.745
1.905
2.077
69.409
85.689
108.513
115.186
129.540
128.543
133.842
141.238
Total
Makro dengan peningkatan biaya rumenarasi rata-rata 0,5% per tahun (bertahap sesuai dengan skema dari Depdiknas) dan investasi sebesar -0,035% Operasional Investasi
59.321
67.976
78.362
85.168
94.321
98.080
100.774
107.535
6.206
6.833
7.717
8.428
9.310
10.127
11.486
12.967
Kompensasi
1.386
1.535
1.669
1.814
1.969
2.137
2.319
2.515
Beasiswa
1.013
1.112
1.219
1.335
1.461
1.598
1.745
1.905
67.926
77.456
88.967
96.745
107.062
111.941
116.324
124.921
Total
3.3.3
Strategi Pembiayaan
Anggaran untuk pencapaian MDGs jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi anggaran bidang pendidikan tahun anggaran 2008 . Seperti yang diilustrasikan pada Tabel 3.21 diperlukan anggaran untuk biaya operasional, beasiswa, dan rehabilitasi maupun pembangunan infrastruktur sekolah sekitar Rp 50 triliun rupiah pada tahun 2008 untuk mengejar target MDGs pada tahun 2015. Pada TA 2008, anggaran pendidikan hanya dialokasikan sebanyak sekitar Rp 25 triliun yang masuk ke dalam sektor pendidikan dan sekitar Rp 7 triliun dalam DAK bidang pendidikan. dan, anggaran gaji guru dibutuhkan sebanyak Rp 46 triliun yang lebih besar sekitar Rp 11 triliun dibanding perkiraan anggaran gaji guru TA 2006. Oleh karena anggaran yang diperkirakan jauh lebih besar diperlukan strategi implementasi yang tepat untuk dapat memenuhi target tersebut.
51
Bab 3. Pembiayaan MDGs Bidang Pendidikan
Peningkatan anggaran yang terlalu tinggi dalam jangka waktu yang terlalu pendek dapat menyebabkan pemborosan anggaran karena selama ini efisiensi penyerapan dana di beberapa lembaga pemerintah termasuk lembaga pendidikan masih dinilai rendah. Rendahnya efisiensi tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem perencanaan dan kapasitas lembaga di pusat maupun di daerah untuk mengimplementasikan program yang ada. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas kelembagaan dan penguatan sistem perencanaan terutama di daerah menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sehingga memberikan transisi implementasi program dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Bab 7 menampilkan diskusi lebih mendalam mengenai strategi pembiayaan, baik untuk pencapaian MDGs secara menyeluruh maupun secara khusus untuk bidang pendidikan. Tabel 3.21 Strategi Pembiayaan Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan (dalam Miliar Rupiah)
NO
Komponen
RKP 2008 program Usulan penuntasan wajib Mekanisme belajar
1
Gaji guru
43.493
DAU
2
Investasi personil
3.250
Dekon
3
Operasional
17.659
BOS
4
Investasi non-personil
30.198
DAK
5
Beasiswa Total
52
Kebutuhan MDGs 2008
3.153 97.752
DAK 2008
Perkiraan DAU 35.520
25.467
7.015
25.467
7.015
Subsidi langsung 35.520
Pendidikan Inklusif (Inclusive Education): Meningkatkan pendidikan bagi anakanak dengan kecacatan dan keterbatasan/ masalah fisik. Anak usia sekolah baik laki-laki maupun perempuan dengan tidak memandang suku bangsa berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah. Demikian yang tertuang dalam UU No. 2 tahun 1989 Pasal 5 dan juga menjadi salah satu tujuan MDG bidang pendidikan. Berdasarkan laporan pencapaian MDG bidang pendidikan, kondisi saat ini, partisipasi sekolah pendidikan tingkat dasar untuk anak perempuan dan laki-laki untuk tingkat nasional tidaklah terpaut terlalu jauh. Perbedaan partisipasi sekolah antar grup etnis yang kemungkinannya akan berbanding lurus dengan partisipasi sekolah tingkat provinsi memperlihatkan bahwa provinsi di Indonesia bagian Timur terutama provinsi Papua masih ketinggalan di bandingkan dengan provinsi di bagian barat Indonesia baik tingkat SD/MI maupun SMP/MTs. Selain ketimpangan antara bagian barat dan timur Indonesia atau kelompok etnis, terdapat satu kelompok anak usia sekolah yang masih belum mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu kelompok anak-anak yang memiliki keterbatasan kemampuan fisik, seperti cacat kaki atau tangan, keterbatasan melihat atau mendengar, atau anak yang menderita autis. Menurut data Diknas pada tahun ajaran 2006/2007 sekitar 47.654 anak terdaftar di SDLB dan 11.016 anak terdaftar di SMPLB atau hanya sekitar 0,2 persen anak usia 7-12 tahun dan 0,1 persen anak usia 13-15 tahun yang masuk SLB. Sementara, dari Susenas 2005 diketahui bahwa terdapat sekitar 0,2 persen anak usia 6-15 tahun yang berhenti sekolah karena faktor keterbatasan fisik atau cacat. Melalui semangat MDG, perhatian terhadap anak-anak dengan kemampuan fisik yang terbatas tersebut diharapkan meningkat sehingga target sekolah wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun seratus persen tercapai pada waktunya. Keterbatasan anak cacat untuk bersekolah bukan hanya bergantung pada tingkat kecacatan mereka tetapi juga pada motivasi dan kesadaran orang tua akan pentingnya sekolah meskipun dengan kemampuan fisik yang terbatas. Sekolah luar biasa adalah sekolah yang diperuntukkan bagi anak cacat dimana sekolah biasa tidak dapat mengakomodasikan kebutuhan tersebut. Perbedaan kemampuan guru, instrumentasi pengajaran, dan kurikulum sekolah luar biasa membuatnya jelas berbeda dengan
53
BOX : Pendidikan Inklusif (Inclusive Education)
pendidikan biasa. Untuk itu, sekolah luar biasa memerlukan sumber daya manusia maupun modal yang sangat berbeda dengan sekolah umum. Menurut Depdiknas, terdapat sekitar 4.932 sekolah luar biasa jenis A (tunanetra) sampai G (tunaganda) dari jenjang TK sampai dengan SMA. Tingkat kecacatan anak menentukan apakah anak tersebut harus bersekolah di sekolah luar biasa atau masih bisa bersekolah di sekolah umum. Anak cacat yang bersekolah di sekolah luar biasa diusahakan untuk dapat mandiri sehingga apa yang diberikan di sekolah akan menjadi bekal baginya di kemudian hari. Sementara itu, anak dengan cacat ringan dan bersekolah di sekolah umum cenderung lebih mengalami banyak kendala karena keterbatasan fisik tersebut. Keterbatasan fisik seorang anak sering kali membuat anak tersebut, orang tua, murid yang lain, atau bahkan guru kelas sendiri tidak merasa nyaman. Fakta yang paling penting adalah bahwa mereka yang terdaftar di sekolah umum tidak dapat mengikuti pelajaran yang diberikan karena metode pengajaran dan instrumentasi yang dimiliki sekolah ditujukan untuk anak-anak yang relatif lebih normal. Anak-anak dengan keterbatasan fisik tersebut akan mengalami kesulitan mengikuti pendidikan yang diberikan di sekolah apabila tidak ada pelayanan khusus bagi mereka. Selain itu, anak dengan kondisi fisik yang terbatas akan mendapatkan tantangan dari teman-teman sebaya yang memiliki kondisi fisik yang baik. Sebagian anak dengan tingkat keterbatasan fisik masih dimungkinkan untuk belajar di sekolah umum apabila sekolah tersebut lebih fleksibel dalam mengakomodasikan kebutuhan mereka yang cenderung lebih ‘demanding’. Pendidikan inklusif berprinsip bahwa sekolah dapat mengakomodasikan kebutuhan khusus seorang anak tanpa harus merubah anak tersebut. Pendidikan inklusif ini mengintegrasikan anak-anak dengan kemampuan fisik terbatas (cacat ringan) ke dalam sekolah biasa dengan menyediakan fasilitas berupa infrastruktur yang sesuai atau tersedianya guru dengan keterampilan khusus. Secara luas, pendidikan inklusif mengakui keberagaman anak sekolah; bukan saja perbedaan dalam kemampuan fisik, tetapi juga dalam umur, jenis kelamin, kebudayaan, atau daya serap mereka. Secara ideal, pendidikan inklusif dapat mengakomodasikan keberagaman tersebut karena pada dasarnya semua anak dapat belajar dan berhak untuk mendapatkan pengajaran. Berbeda dengan sekolah terpadu (integrated schools), pendidikan inklusif tidak berusaha untuk merubah anak didik menjadi ‘normal’. Pendidikan inklusif membiarkan anak sesuai dengan aslinya tetapi sistem pengajarannya yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. Sekolah terintegrasi hanya dilakukan di sebagian sekolah yang terpilih, sementara pendidikan inklusif diharapkan dapat diaplikasikan hampir di semua sekolah. Dari sisi biaya, pendidikan inklusif ini sangat cost-effective dan relatif lebih murah dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya, yaitu sekolah luar biasa (paling mahal) dan sekolah terintegrasi. Seperti yang ditampilkan dalam Tabel 1, sekolah inklusif cenderung lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem yang lain (sekolah luar biasa maupun sekolah terintegrasi). Sistem sekolah yang fleksibel adalah sistem yang mengakui bahwa anak-anak yang datang ke sekolah memiliki kemampuan yang berbeda. Kemampuan tersebut tidak saja terbatas
54
BOX : Pendidikan Inklusif (Inclusive Education)
oleh kemampuan fisik mereka tetapi juga kemampuan intelejensia dan psikologi mereka. Pendidikan inklusif merupakan alternatif di mana sekolah memberikan kurikulum yang lebih child-centered atau child-focused. Tabel Box. Kelebihan Pendidikan Inklusif Dibandingkan dengan Jenis Pendidikan yang Lain
Pendidikan Khusus
Pendidikan Terintegrasi
Pendidikan Inklusif
Anak
Khusus
Diusahakan menjadi ‘normal’
Diterima apa adanya
Sekolah
Khusus
Sekolah umum tertentu
Semua sekolah umum
Kurikulum
Khusus
Subject centered
Child centered atau child focused
Guru
Guru khusus
Guru kelas, guru khusus dan spesialis
Guru kelas dibantu oleh stafnya
Efektifitas guru
Khusus untuk anak cacat
Tidak berubah; hanya dapat mengajar anak normal
Dapat mengikutsertakan semua anak-anak dalam proses pengajaran
Lingkungan
Terbatas
Tidak berubah
Lebih fleksibel
Biaya
Mahal
Sedikit lebih murah
Paling efektif
Keberlanjutan (Sustainability)
Tidak Tidak berkesinambungan Berkesinambungan berkesinambungan
Kesempatan
Terbatas
Pemenuhan hak Diakui bersekolah
Setengah-setengah
Sama untuk semua anak
Diakui sebagai hak tetapi Teraplikasikan dan tidak teraplikasikan teraktualisasikan
Sumber: UNESCO
Tujuan utama dari pendidikan inklusif adalah agar anak-anak dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya masih dapat mengikuti pelajaran di sekolah biasa apabila difasilitasi dengan baik. Pendidikan ini merupakan alternatif dari sekolah luar biasa yang menjadi trade mark pendidikan untuk anak-anak dengan keterbatasan fisik. Selama ini anak dengan cacat ringan cenderung untuk tereksklusifkan dalam pembelajaran di sekolah umum. Pendidikan inklusif, untuk itu, membantu anak dengan keterbatasan fisik untuk bersekolah di sekolah umum dan mampu mengikuti pelajaran secara baik. Pengadaan pendidikan inklusif ini akan memberikan dampak yang berbeda dibandingkan dengan pengadaan pendidikan sekolah khusus untuk anak-anak dengan keterbatasan fisik. Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang lebih luas kepada anak-anak tersebut untuk dapat berbaur dengan anak-anak usia sekolah lainnya yang dianggap lebih normal sehingga mereka tidak merasa dikucilkan dan mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan melalui proses mengajar-belajar yang sama.
55
BOX : Pendidikan Inklusif (Inclusive Education)
Dalam menghitung dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif sehingga dapat menarik anak-anak dengan keterbatasan fisik bersekolah diperlukan data prevalensi cacat atau keterbatasan fisik secara nasional atau provinsi. Hasil survei yang dilakukan oleh USAID di sejumlah provinsi di Indonesia (Jakarta, NAD, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah) menunjukkan bahwa sekitar 5 persen dari jumlah murid sekolah pendidikan dasar sembilan tahun atau sekitar 66.425 anak di DKI Jakarta memiliki keterbatasan fisik. Lebih dari 70 persen dari anak tersebut terdaftar di sekolah swasta. Sementara itu jumlah total anak yang memiliki keterbatasan fisik adalah sekitar 292 ribu anak, yang berarti lebih dari 70 persen anak tersebut tidak pernah masuk sekolah atau drop out. (Dari survei yang terpisah yang dilakukan oleh Indonesian Society for Special Needs Education (ISSNE) mencatat setidaknya sekitar 2,6 juta lebih anak yang berkebutuhan khusus. Sementara itu menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa terdapat sekitar 1,3 juta anak usia sekolah yang cacat dan hanya sekitar 2 persen yang masuk sekolah khusus untuk anak cacat.) Karena jumlah yang sedemikian besar, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus sehingga anak tersebut dapat bersekolah dengan mudah. Diperkirakan kebutuhan pembiayaan untuk pendidikan inklusif ini (terbatas untuk biaya operasional guru) adalah sekitar Rp 277 miliar untuk tahun 2008 atau membutuhkan sekitar Rp 2,8 triliun untuk jangka waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Hasil perhitungan tersebut berdasarkan satuan biaya yang dipakai oleh USAID dan Bank Dunia dalam laporan berjudul “Opportunities for Vulnerable Children (OVC): Strengthening efforts towards inclusive education in Jakarta, Indonesia”. Bagi setiap anak diperlukan sekitar 277 USD per tahun untuk sekitar 12 murid per satu guru. Sementara ini prevalensi anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik masih harus diperkirakan lebih akurat. Data tersebut kemungkinan dapat diperkirakan dari survey nasional atau survey khusus. Tidak semua anak-anak dengan keterbatasan fisik tersebut dapat mengikuti pendidikan inklusif. Anak-anak yang memiliki cacat yang kronis dan tidak dapat terakomodasikan dengan fasilitas standar pada pendidikan inklusif dapat disekolahkan di sekolah luar biasa yang dapat mengakomodasikan kebutuhan pendidikan yang lebih spesifik. Sementara ini tercatat sekitar 1.338 sekolah luar biasa dan hanya sekitar 12 ribu anak cacat yang dapat terakomodasikan di dalam sekolah luar biasa tersebut. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan inklusif diharapkan akan memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan sumber daya manusia, terutama anak-anak dengan keterbatasan fisik tersebut. Selain itu, kita juga dapat mencapai target MDG dengan tidak mengesampingkan kelompok tertentu.
56
Bab 4. Pembiayaan Bidang Kesehatan
BAB 4 PEMBIAYAAN BIDANG KESEHATAN
57
BAB 4
PEMBIAYAAN MDGs BIDANG KESEHATAN
4.1 Pendahuluan 4.1.1
Latar Belakang
K
esehatan merupakan salah satu tiang utama dalam usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terdapat tiga tujuan MDGs yang berhubungan langsung dengan sektor kesehatan dan dua tujuan yang dapat dikaitkan dengan sektor kesehatan. MDGs menargetkan pengurangan kematian anak, peningkatan kesehatan ibu dan pemberantasan penyakitpenyakit menular. Sementara itu, untuk menunjang hidup yang sehat MDGs juga memberikan penekanan yang sama pada aspek konsumsi pangan (tujuan 1), serta akses kepada air dan sanitasi (target tujuan 7). United Nations Development Program (UNDP) mengenalkan indikator kualitas sumber daya manusia dengan kesehatan sebagai salah satu kriteria. Indikator tersebut adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang dikembangkan pada tahun 1990-an. Indikator HDI tersebut meliputi umur harapan hidup (kesehatan), angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah (pendidikan), dan pendapatan per kapita (ekonomi). Dengan demikian, kesehatan merupakan indikator yang lebih mencerminkan pembangunan yang langsung menyentuh atau dirasakan manfaatnya oleh manusia atau rakyat suatu negara (Todaro, 2000) yang sebelumnya hanya terbatas pada konsep penghasilan. Kemiskinan tidak saja berarti rendahnya penghasilan tetapi mencakup juga berbagai keterbatasan kemampuan seseorang seperti rendahnya derajat kesehatan (WHO, 2003; Sen, 1999). Dengan demikian, kemiskinan juga memiliki makna keterbatasan dalam mengakses pelayanan kesehatan, gizi, dan sanitasi yang baik. Sementara itu, kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh pengeluaran langsung (out of pocket) dari rumah tangga yang menyebabkan rawannya rumah tangga di Indonesia untuk jatuh miskin. Kesehatan yang buruk mengakibatkan berkurangnya penghasilan seseorang yang akhirnya menyebabkan seseorang atau suatu rumah tangga jatuh miskin. Hal seperti ini disebut oleh van Damme (2004) sebagai introgenic poverty. Peningkatan kesehatan merupakan prasyarat untuk adanya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial (Sorkin, 1983). Konsep pembangunan MDGs meletakkan pentingnya kesehatan dalam model multidimensional pada pembangunan manusia yang berkesinambungan. Hal ini dapat dilihat pada komitmen pembangunan dan pengentasan
59
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
kemiskinan yang menempatkan kesehatan sebagai pendekatan pengentasan kemiskinan dimana tiga dari delapan tujuan, delapan dari 18 target, dan 18 dari 48 indikator berhubungan dengan kesehatan. Dalam berbagai publikasi, tujuan MDGs yang berhubungan dengan kesehatan disebut Tujuan Kesehatan Milenium (TKM) atau Millennium Health Goals (WHR, 2003). Goal 1: Mengentaskan kemiskinan dan kelaparan Target 2 : Penurunan setengah antara 1990 dan 2015 proporsi penduduk yang menderita kelaparan Indikator 4: Prevalensi balita berat badan rendah Indikator 5: Proporsi penduduk yang konsumsi di bawah tingkat energi minimum Goal 4: Menurunkan Kematian Anak Target 5 : Reduksi 2/3 dari kematian anak bawah lima tahun (balita) antara 1990 dan 2015 Indikator 13: Angka kematian balita Indikator 14: Angka kematian bayi (usia 0 – 12 bulan) Indikator 15: Proporsi anak usia 1 tahun yang mendapat imunisasi campak Goal 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Target 6: Menurunkan ¾ dari rasio kematian ibu antara 1990 dan 2015 Indikator 16: Angka kematian ibu Indikator 17: Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga terlatih Goal 6: Memberantas HIV/AIDS, Malaria dan penyakit lain Target 7: Dihentikannya penyebaran HIV/AIDS pada 2015 Indikator 18: Prevalensi HIV/AIDS wanita hamil usia 15 – 24 tahun Indikator 19: Angka penggunaan kondom terhadap angka prevalensi kontrasepsi Indikator 20: Jumlah anak yang yatim oleh HIV/AIDS Target 8: Dihentikannya penyebaran dan dikurangi insiden Malaria dan penyakit lainnya pada 2015 Indikator 21 : Prevalensi dan kematian akibat Malaria Indikator 22 : Proporsi populasi pada area risiko Malaria yang menggunakan pencegahan dan pengobatan Indikator 23 : Prevalensi dan kematian akibat Tuberkulosis Indikator 24 : Proporsi kasus tuberkulosis yang terdeteksi dan sembuh dibawah directly observed treatment short course (DOTS) Goal 7. Menjamin Lingkungan yang Berkesinambungan Target 9: Integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkesinambungan dalam kebijakan negara dan program dan dikurangi kehilangan sumberdaya lingkungan Indikator 29 : Proporsi penduduk menggunakan bahan bakar padat Target 10: Setengah pada 2015 proporsi penduduk tanpa akses air minum yang aman dan sanitasi dasar Goal 8: Pengembangan Kemitraan Global dalam pembangunan Target 17: Bekerjasama dengan perusahaan menyediakan obat esensial dan terjangkau pada negara berkembang Indikator 46 : Proporsi penduduk yang akses terhadap obat esensial dan sebagai dasar kesinambungan
60
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tujuan di dalam MDGs saling tergantung satu dengan yang lain. Penurunan penduduk miskin sebesar 50 persen (tujuan 1, target 1) tidak mungkin tercapai jika tidak diambil langkah peningkatan derajat kesehatan penduduk. Demikian juga tujuan-tujuan pembangunan kesehatan tidak akan tercapai kalau tujuan 3 (persamaan gender) dan pendidikan dasar (tujuan 2) tidak tercapai. Kesehatan juga tidak dapat terjaga dengan baik jika sumber daya alam dan lingkungan tidak dikelola secara berkesinambungan (tujuan 7). Oleh karena itu, pembangunan bidang kesehatan yang dihubungkan dengan MDGs bukanlah sesuatu yang terisolasi melainkan suatu agenda yang harus dilakukan secara bersamaan dengan agenda lainnya. Salah satu tantangan mencapai 2/3 penurunan angka kematian anak (Tujuan 4) membutuhkan intervensi penanganan penyebab utama kematian anak seperti malnutrisi, infeksi dan penyakit parasit. Tetapi efektifitas intervensi yang dimediasi oleh sistem penyelenggaraan pemerintah dan swasta ini tergantung pada kecukupan pembiayaan. Sementara itu, kemampuan pemerintah untuk membiayai usaha ini dipengaruhi oleh kebijakan nasional dan dukungan internasional. Melalui MDGs kita mengupayakan peningkatan kemajuan pembangunan pada sejumlah prioritas strategis pembangunan dapat dapat dianggap sebagai upaya percepatan dalam pencapaian pembangunan yang berkesinambungan, yang harus dikuti oleh komitmen yang kuat dan upaya sistematis dan konsisten. Pemerintah Indonesia sudah menunjukkan komitmen-komitmen yang tinggi terhadap MDGs dalam berbagai bentuk. Namun, komitmen tersebut perlu diperkuat dengan memfokuskan pada intervensi-intervensi yang efektif. Berbagai intervensi tersebut membutuhkan pembiayaan yang memadai. Pada sisi lain, informasi tentang jumlah pembiayaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan MDGs tersebut belum diketahui dengan jelas. Informasi tentang kebutuhan biaya yang diperlukan akan membantu seluruh pihak, khususnya pemerintah, dalam memobilisasi memobilisasi sumber daya baik dari dalam negeri (pemerintah, sektor usaha, sektor swasta dan masyarakat) maupun sumberdaya luar negeri. Berpijak pada kondisi di atas, dipandang perlu dilakukan kajian mengenai pembiayaan MDGs yang diharapkan dapat memberikan suatu rujukan bagi para pemangku kebijakan terutama yang berhubungan dengan pencapaian MDGs sehingga kebijakan dalam penganggaran, baik besaran maupun alokasi, lebih efektif dan efisien pada masa-masa mendatang.
4.1.2
Pencapaian MDGs Bidang Kesehatan di Indonesia
Secara umum, pencapaian MDGs bidang kesehatan di Indonesia cukup baik. Kematian bayi dan kematian balita dapat diturunkan dengan relatif cepat. Imunisasi pada anak secara umum juga menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Dengan perkembangan tersebut, kemungkinan besar, target MDGs untuk penurunan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita pada tahun 2015 akan dapat tercapai. Kematian ibu juga menunjukkan penurunan yang cukup berarti dalam satu dekade terakhir. Persalinan oleh tenaga kesehatan secara konsisten menunjukkan peningkatan. Walaupun begitu, diperlukan upaya yang lebih keras untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu untuk mencapai
61
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
target MDGs. Dalam hal pengendalian penyakit menular, upaya penanggulangan tuberkulosis (TB) telah berhasil menunjukkan hasil yang cukup signifikan antara lain dengan pencapaian target global dan nasional angka keberhasilan penyembuhan TB. Namun perkembangan penyakit HIV/AIDS dan malaria yang cukup mengkhawatirkan masih merupakan persoalan serius dan perlu mendapat penanganan khusus. 4.1.2.1
Tujuan 1 target 2:. Menurunkan Kekurangan Gizi Pada Anak Balita Menjadi Setengahnya Pada Tahun 2015
Kekurangan gizi pada anak balita erat hubungannya dengan kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan rendahnya akses ke pelayanan kesehatan. Kurang gizi pada masa kanakkanak menyebabkan tingginya risiko kematian, hambatan perkembangan kecerdasan (kemampuan kognitif) dan berpengaruh pula pada status kesehatan pada fase kehidupan selanjutnya. Kecukupan dan kualitas gizi merupakan landasan utama untuk perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup sekarang dan alih generasi. Gizi yang cukup dan seimbang pada wanita hamil dan menyusui juga penting agar anak-anak yang dilahirkan mempunyai perkembangan fisik dan mental yang baik. Jika pertumbuhan anak yang optimal, maka akselerasi pembangunan ekonomi akan berkesinambungan. Pada tahun 1989, prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sekitar 37,5 persen. Artinya dari 100 anak berusia antara 0-59 bulan, 37 anak di antaranya menderita kekurangan gizi. Hingga tahun 2000 prevalensi ini terus menurun hingga mencapai 24,7 persen. Namun kemudian angka ini kembali cenderung meningkat, dan pada tahun 2005 adalah menjadi 28 persen (Gambar 1.1), dengan 8,8 persen diantaranya mengalami gizi buruk. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menargetkan prevalensi kekurangan gizi balita pada tahun 2009 sebesar 20 persen, sedangkan tujuan MDGs pada tahun 2015 sebesar 15 persen. Dengan kondisi saat ini, untuk mencapai target MDGs, maka Indonesia harus mampu menurunkan kasus gizi kurang setiap tahun rata-rata 1,35 persen. Dengan melihat kecenderungan yang ada, sasaran RPJM dan MDGs tersebut akan sulit untuk dicapai tanpa upaya khusus. Oleh karena itu Indonesia harus berupaya keras untuk mempercepat penurunan kekurangan gizi pada balita. Gambar 4.1 Prevalensi Kekurangan Gizi pada Anak Balita di Indonesia Tahun 1989 - 2005 37,5
40 31,2
Persen
30
35,6 31,6
29,5
28,3 20,0
19,0
20 11,6
10
6,3
7,2
10,5
26,4 18,3 8,1
24,7 17,1 7,5
26,1 19,8
6,3
27,3 19,3 8,0
27,5 19,2 8,3
28,0 19,2 8,8
0 1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2005 Tahun Gizi Buruk
62
Gizi Kurang
Kekurangan Gizi
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Salah satu faktor utama penyebab kekurangan gizi adalah kurangnya asupan zat gizi yang cukup dan seimbang. Hal ini terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan pangan di tingkat rumah tangga sehingga mereka dapat mengkonsumsi kalori dan gizi secara cukup. Faktor lain adalah perilaku asuhan keluarga terhadap gizi balita, penyakit infeksi yang diderita secara berulang, dan lingkungan yang tidak sehat. Menurut WHO masalah gizi kurang pada balita merupakan penyebab pokok (underlying causes) yang mencapai sekitar 45 persen dari kematian balita. Selain itu permasalahan gizi juga ditentukan oleh penyebab tidak langsung yang terkait dengan tingkat rendahnya pendidikan masyarakat, kemiskinan dan masalah budaya. 4.1.2.2
Tujuan 4: Menurunkan Kematian Anak
Kematian anak balita (anak usia di bawah 5 tahun) menjadi penting karena mencakup lebih dari 90 persen kematian global anak-anak di bawah usia 18 tahun. Kematian balita merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat anak-anak hidup termasuk perawatan kesehatan mereka. Angka kematian balita sering digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang mudah atau rentan (vulnerable) terserang penyakit, karena data insiden dan prevalen penyakit (data morbiditas) sering tidak tersedia dengan baik. Gambar 4.2 Kecenderungan Angka Kematian Neonatus, Bayi dan Balita 120 100
97
80
Sasaran MDGs
68 60 46 35
40 29 20 0
32 23
20 1989
2002 Balita
Bayi
2015 Neonatus
Sumber: SDKI 1989 dan 2002-2003
Menurut SDKI, Angka Kematian Anak Balita (AKBA) pada tahun 1989 sebesar 97 per 1000 kelahiran hidup. AKBA kemudian terus menurun hingga mencapai 46 per 1000 kelahiran hidup (2002-2003). Gambar 4.2 menampilkan kecenderungan penurunan pada tahun 1990 ke 2002 terjadi dengan cukup tajam. Rata-rata penurunan AKBA pada dekade 1990-an adalah sebesar 7 persen (3,2 balita) per tahun, lebih tinggi dari dekade sebelumnya sebesar 4 persen per tahun. Pada tahun 2000 Indonesia telah mencapai target yang ditetapkan dalam World Summit for Children (WSC) yaitu 65 per 1.000 kelahiran hidup. Untuk pencapaian kematian balita 32 per 1000 kelahiran hidup pada 2015, Indonesia memerlukan penurunan AKBA sebesar 1,75 per tahun. Dengan perkembangan seperti ini, diperkirakan target MDGs sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup akan dapat dicapai dengan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan balita agar tidak terjadi kejadian-kejadian luar biasa yang merenggut nyawa balita. Untuk dapat menekan AKBA tersebut perlu dilakukan intervensi kepada penyebab kematian balita. Penyebab kematian balita antara lain adalah diare (19 persen), ISPA (37 persen), campak (7 persen), dan gizi buruk (54 persen) (SDKI, 2002) .
63
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Kematian bayi adalah kematian pada anak usia di bawah satu tahun. Angka Kematian Bayi (AKB) sangat relevan untuk merepresentasikan komponen AKBA. AKB juga menggambarkan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan di mana bayi tinggal. Pada tahun 1989 AKB di Indonesia sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini kemudian menurun dengan tajam dan hingga mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Pada tahun 2007 diproyeksikan AKB telah mencapai 29,4 per 1.000 kelahiran hidup (BPS, Bappenas dan UNFPA, 2005). Target AKB MDGs pada tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target RPJM sebesar 26 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Dengan kecenderungan yang ada, diperkirakan target ini dapat tercapai (Gambar 4.2). Diperkirakan sekitar 75 persen dari seluruh kematian anak terjadi pada bulan pertama kelahiran (neonatus). Menurut SDKI, penurunan kematian neonatus relatif lebih lambat dibandingkan dengan kematian bayi dan kematian anak balita. Pada SDKI 1989, kematian neonatus mencapai 29 per 1.000 kelahiran hidup dan menurun menjadi 20 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Oleh karena itu, penanganan bayi baru lahir yang memadai sangat penting dalam menurunkan angka kematian anak. Penyebab utama kematian neonatus adalah tetanus (10 persen), berat badan lahir rendah (BBLR) sebesar 28 persen, asfiksia 27 persen, dan infeksi 15 persen (Gambar 4.3) (SKRT, 2001). Upaya penting untuk menurunkan kematian neonatus antara lain adalah meningkatkan persalinan kepada petugas kesehatan terlatih dan pelayanan yang mampu menangani penyebab kematian neonatus. Gambar 4.3 Penyebab Kematian Utama Neonatal di Indonesia Tahun 2001 Tetanus, 10% Lainnya, 20% Bayi berat lahir rendah, 28% Infeksi, 15% Asfiksi, 27%
Angka kematian balita, bayi dan neonatus saling mempengaruhi yang dikenal dengan fenomena duapertiga yaitu: 1. 2. 3.
Kematian bayi baru lahir atau neonatal (0–28 hari) merupakan duapertiga dari kematian bayi. Kematian perinatal (0 – 7 hari) merupakan dua pertiga dari kematian bayi baru lahir. Kematian bayi (0 – 1 hari) merupakan duapertiga dari kematian perinatal
Bila kita perhatikan Gambar 4.2 di atas, kematian bayi (1 – 12 bulan) sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 dan kematian balita 46 per 1.000 kelahiran hidup dapat juga dikelompokkan dalam fenomena duapertiga di atas yaitu kematian bayi merupakan dua pertiga dari kematian balita. Oleh karena itu, intervensi dari pelayanan kesehatan anak harus secara komprehensif dan memiliki prioritas tertentu baik dari aspek usia sasaran maupun jenis intervensi
64
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Imunisasi merupakan suatu komponen utama dalam menurunkan kematian bayi dan balita. Status imunisasi menjadi sangat penting pada upaya penurunan kematian bayi dan balita karena imunisasi dapat menghindarkan anak dari penyakit dapat dicegah dengan imunisasi yaitu tetanus neonatorum, campak (komplikasinya pneumonia), pertusis dan difteria. Pemerintah negara-negara sedang berkembang biasanya membiayai imunisasi campak dan DPT (Dipteri, Pertusis, dan Tetanus) sebagai bagian dari paket dasar kesehatan. Dari sisi pendekatan program, imunisasi campak memberikan gambaran bahwa anak yang mendapatkan imunisasi campak telah mendapatkan imunisasi dasar lainnya. Imunisasi campak di Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Proporsi anak usia 12-23 tahun yang telah mendapatkan imunisasi campak yang pada tahun 1991 baru mencapai 57,5 persen, meningkat menjadi 71,6 persen pada tahun 2003 (SDKI 2002-2003). Sementara cakupan imunisasi campak pada balita meningkat dari 53,92 persen pada tahun 1995 menjadi 78,23 persen pada 2006 (Susenas 2006). 4.1.2.3
Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
Kematian ibu adalah jumlah ibu meninggal karena hamil, bersalin dan nifas (42 hari setelah bersalin). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia menurun dari 390 (SDKI 1994) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Penurunan ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya persalinan oleh tenaga kesehatan dari 46,13 persen (1995) menjadi 72,4 persen (2006). Meskipun diperkirakan AKI saat ini lebih rendah lagi, untuk dapat mencapai tujuan MDGs, perlu upaya yang lebih keras lagi. Pencapaian target MDGs sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup akan dapat terwujud hanya jika dilakukan upaya yang lebih intensif untuk mempercepat laju penurunannya. Gambar 4.4 Kecenderungan Kematian Ibu sejak 1990 sampai 2002 dan Proyeksi 2015 500 450
404
400
390
384 334 307
300
262
226 207
200
163 129 102
100 0 1980
1985
1990
1995
SKRT
2000 SDKI
2005 RPJM
2010 MDG
2015
102
2020
2025
2030
Proyeksi
Penurunan AKI pada periode 1990 - 1994 adalah sebesar 8 persen per tahun, pada tahun 1994 - 1997 sebesar 14 persen per tahun dan periode 1997 - 2002 sekitar 8 persen per tahun. Penurunan yang tinggi terjadi pada tahun 1994 ke 1997 antara lain karena adanya intensifikasi program bidan di desa. Namun, pada era desentralisasi, program bidan di desa kurang mendapat perhatian sehingga penurunan angka kematian menjadi sangat lambat. Bila
65
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
pemerintah ingin mengejar ketinggalan penurunan angka kematian ibu dengan asumsi AKI sama dengan 2002 maka penurunan AKI setiap tahun harus mencapai 26 ibu per 100.000 kelahiran hidup. Apabila asumsi AKI tahun 2007 sebesar 262, maka penurunan AKI setiap tahun mencapai 16 ibu per 100.000 kelahiran hidup. Dengan demikian, AKI merupakan salah satu tujuan MDGs yang sulit tercapai (off track) jika pemerintah tidak memfokuskan semua sumberdaya dan jenis intervensi dengan lebih efektif (Gambar 4.4). Gambar 4.5 Penyebab Kematian Ibu (SKRT, 2001) Trauma obstetric 5%
partus macet/ lama 5%
Emboli obstetric 3% Perdarahan 28 %
Abortus 5% Komplikasi puerperium 8%
Lain-lain 11% Eklamsia 11 %
Infeksi 24%
Kematian ibu dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan kesehatan selama kehamilan dan persalinan. Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (28 persen), infeksi (24 persen), eklamsia (11), komplikasi puerperium atau nifas (8 persen), partus macet/lama (5 persen), komplikasi abortus (5 persen) dan lainnya (11 persen) (Gambar 4.5). Tabel 4.1 Jenis dan Persentase Penggunaan Kontrasepsi di Indonesia Tahun 2004
Kontrasepsi modern memainkan peranan penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 1997, tingkat pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR) pada pasangan usia kawin 15-49 tahun hanya 57,4 persen, yang meningkat menjadi 60,3 persen pada tahun 2002-2003 (SDKI). Jenis kontrasepsi dan persentase penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 4.1
Jenis Kontrasepsi Pil Suntik Kondom pria Kondom wanita Alat Kontrasepsi dalam rahim/IUD Implan Sterilisasi pria Sterilisasi wanita
Penggunaan (%) 24,52 54,92 1,62 0,20 9,64 5,55 0,74 2,81
Sumber: Depkes, Profil Kesehatan Indonesia 2004, 2006
66
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
4.1.2.4
Tujuan 6: Menanggulangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya A.
HIV dan AIDS
Saat ini Indonesia menghadapi epidemi Human Immune Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang cukup serius. Walaupun prevalensi AIDS pada populasi umum masih cukup rendah, namun pada sub-populasi perilaku berisiko seperti pengguna narkotika dan psikotropik suntik (intravenous drug use/IDU) dan pekerja seks komersial telah melebihi 5 persen. Bahkan di Papua, HIV dan AIDS telah masuk pada populasi umum dengan prevalensi 2,4 persen (usia 15-49 tahun). Kasus HIV dan AIDS meningkat cukup tajam dari 276 kasus HIV dan 112 kasus AIDS (1995) menjadi 5.229 kasus HIV dan 8.139 kasus AIDS (2006). Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus AIDS, maka pada tahun 2007 AIDS telah dilaporkan di 32 provinsi. Hingga akhir September 2007, jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 10,384 kasus. Angka penggunaan kondom digunakan untuk memonitor perkembangan arah penghentian dan pengurangan penyebaran HIV/AIDS. Kondom juga merupakan metode yang efektif dalam pengurangan penyebaran HIV. Penggunaan kondom saat hubungan seksual dengan pekerja seks komersial pada tahun 2004 mencapai 59,7 persen, naik dari 41 persen pada tahun sebelumnya. Meskipun demikian, survei di tiga kota menunjukkan bahwa hanya 10 persen dari 7-10 juta pelanggan seks pria yang menggunakan kondom secara konsisten. Survey di Papua tahun 2006 menunjukkan bahwa penggunaan kondom dalam hubungan seks pada pekerja komersial juga sekitar 14,1 persen. Sementara itu, penggunaan kondom sebagai alat KB (contraceptive prevalence rate) pada wanita berstatus kawin pada tahun 2002-2003 sebesar 0,9 persen. Gambar 4.6 Jumlah Kasus Baru dan Kumulatif Kasus AIDS (sampai dengan tahun 2006)
Kasus AIDS di Indonesia
8.193
Jumlah Kasus
8000 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS yang dilaporkan Jumlah Kasus Baru AIDS yang dilaporkan
6000
5.320
4000 2.682
2000 607
5
0
12
7 5
1987
2
5
1989
17
15
1991
89
69
45
32 5
13
24
1993
826
1.171
2.638
2.873
1.487
352 112 154 198 258 255 219 345 316 94 23 42 44 60
1.195
20
1995
1997
1999
2001
2003
2005
Sumber: Depkes 2007
67
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Sebesar 65,8 persen wanita dan 79,4 persen pria usia 15-24 tahun telah mendengar tentang HIV dan AIDS. Pada wanita usia subur usia 15-49 tahun, sebagian besar (62,4 persen) telah mendengar HIV dan AIDS, tetapi hanya 20,7 persen di antaranya yang mengetahui bahwa menggunakan kondom setiap berhubungan seksual dapat mencegah penularan HIV (SDKI 2002-2003). B.
Malaria
Hampir separuh populasi Indonesia—sebanyak lebih dari 110 juta orang—tinggal di daerah endemik malaria, sebagian besar berada di bagian timur Indonesia di mana malaria merupakan penyakit endemik. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases). Diperkirakan saat ini terdapat 30 juta kasus malaria setiap tahunnya. Sejak tahun 1990, kasus malaria cenderung berfluktuasi dengan kecenderungan menurun dari tahun 1990 hingga tahun 1996, kemudian meningkat cukup tinggi pada tahun 2000. Sejak tahun 2000, kasus malaria cenderung mengalami penurunan hingga pada tahun 2005 mencapai 18,94 kasus per 1.000 penduduk (Annual Parasite Rate/API di Jawa dan Bali) dan 0,15 kasus per 1.000 penduduk (Annual Malaria Rate/AMI di luar Jawa dan Bali). Di antara anak di bawah lima tahun (balita) dengan gejala klinis malaria, hanya sekitar 4,4 persen yang menerima pengobatan malaria. Sementara balita yang menderita malaria umumnya hanya menerima obat untuk mengurangi demam (67,6 persen). Kurang lebih separuh dari kasus yang dilaporkan diperkirakan hanya didiagnosis berdasarkan gejala klinis tanpa dukungan konfirmasi laboratorium. C.
Tuberkulosis (TB)
Indonesia juga masih berada pada urutan ketiga terbesar penyumbang kasus tuberkulosis (TB) di dunia. Tahun 2005 prevalensiTB (all cases) nasional mencapai 262 per 100.000 penduduk dengan 533,000 kasus. Insidens bakteri tahan asam positif (smear sputum positive atau SS+) nasional pada tahun 2005 adalah 125 kasus per 100.000 penduduk. Gambar 4.7 di bawah ini menunjukkan prevalensi bakteri tahan asam positif tahun 1990 menurut kawasan Sumatera, Jawa Bali, Kawasan Indonesia Timur, dan nasional masing-masing menurun sebesar 35 persen, 54 persen, 28 persen, dan 42 persen. Angka kematian tuberkulosis (death rate) secara nasional pada tahun 2005 sebesar 41 per 100.000 penduduk Kinerja program TB Directly-Observed Treatment Short Course (DOTS) telah meningkat dengan baik. Angka penemuan kasus TB meningkat pesat dari 1 persen menjadi 76 persen (2006) dan angka keberhasilan pengobatan TB meningkat tajam dari 51 persen menjadi 91 persen (2005). Dengan kemajuan ini, Indonesia telah mencapai target global dan nasional sebesar 85 persen. Pada tahun 2003, sebanyak 87 persen penderita menyelesaikan pengobatan (pengobatan lengkap dan sembuh). Angka ini telah mencapai target global dan nasional sebesar 85 persen pada tahun 2000. Angka keberhasilan pengobatan ini pada tahun 2005 terus meningkat menjadi 91 persen.
68
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Gambar 4.7 Prevalensi TB dengan Sputum Positif menurut Kawasan dan Nasional 500
Prevalensi TB
SS+ per 100.000 penduduk
422 400
433 342
311 300
255
321 246
203 200
146
217 125
67
100 0 S umatra 1980
Jawa Bali 1990
2004
Kawasan Timur
Nasional
Indonesia
Sumber: Depkes 2007
4.1.3
Kondisi Pendanaan Kesehatan di Indonesia
4.1.3.1
Besaran Pembiayaan Kesehatan
Pada masa sebelum krisis, Gani (2003) melaporkan rata-rata dana kesehatan nasional adalah US$ 12/kapita/tahun atau sekitar 2,5 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Jumlah ini relatif lebih rendah dibandingkan negara Asean. Sebagai perbandingan, pendanaan kesehatan di Thailand sebesar US$ 73 atau 5 persen GDP, Filipina US$ 14 atau 2 persen GDP, dan Malaysia US$ 67 atau 3 persen GDP (Gani 2002). Dari jumlah US$ 12 tersebut, US $3,6 atau 30 persen berasal dari pemerintah, selebihnya 70 persen atau $8,4 berasal dari sumber-sumber non pemerintah (private source). Jika dirinci lagi maka sumber dana non-pemerintah tadi berasal dari pengeluaran langsung oleh rumah tangga atau out of pocket sebesar 75 persen, dari perusahaan swasta yaitu untuk biaya kesehatan karyawannya sebesar 19 persen, dan dari sistem asuransi kesehatan sebesar 6 persen. Secara sederhana besaran belanja kesehatan dapat dilihat pada Gambar 4.8. Setalah krisis, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Pemerintah yang antara lain ditandai 4 (33,3%) dengan meningkatnya Asuransi 0,5 Perusah Gross Domestic Product 1,5 aan 12 (GDP), serta membaiknya (Total 8 Rumah 2,5%GDP) Total Non-Pemerintah kehidupan politik dan (67,7%) 6 Tangga Pembiayaan kesejahteraan sosial secara keseluruhan, belanja Belanja Kesehatan per Kapita (dalam USD) kesehatan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Secara nominal anggaran kesehatan naik cukup tajam lebih Gambar 4.8 Gambaran Belanja Kesehatan Indonesia Pra Krisis
69
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
dari 100 persen dan persentase dana kesehatan terhadap GDP juga ikut naik. Proporsi pengeluaran pemerintah naik sempat mengalami penurunan, dan kemudian meningkat lagi mulai tahun 2002. Tabel 4.2 Peta Pembiayaan Kesehatan Indonesia 2003-2004 2002
2003
2004
Jumlah Penduduk
211.063.000
213.722.300
216.415.100
GDP (Miliar Rupiah)
1.619.062,4
1.794.663,4
2.032.824,9
Pembiayaan Kesehatan Total (Miliar Rp)
31.713,4
41.791,1
44.693,2
-
Pemerintah
12.280,8
16.370,6
17.002,8
-
Non Pemerintah
19.432,6
25.420,5
27.690,4
Total Pembiayaan sebagai % GDP
1,96%
2,33%
2,20%
- Pemerintah
38,72%
39,17%
38,04%
- Non Pemerintah
61,28%
60,83%
61,96%
7.670.991
8.397.174
9.393.175
150.256
195.539
206.516
10.320
8.876
8.441
$743,31
$946,05
$1.112,80
$14,56
$22,03
$24,47
GDP per kapita (Rp) Pembiayaan total per kapita (Rp) NilaiTukar USD ke rupiah GDP per kapita (USD) Pembiayaan Total perkapita (USD)
Total pengeluaran untuk kesehatan juga terus meningkat dari 31,7 trliyun rupiah pada tahun 2002 menjadi 44,7 triliun rupiah pada tahun 2004 (Tabel 4.2). Pada tahun-tahun tersebut, kenaikan pembiayaan kesehatan oleh pemerintah juga meningkat, namun tidak setinggi peningkatan pembiayaaan kesehatan non publik. Secara keseluruhan pengeluaran untuk kesehatan meningkat dari 1,96 persen dari GDP pada tahun 2002 menjadi 2,2 persen dari GDP pada tahun 2004. Walaupun demikian selama kurun waktu ini, proporsi pengeluaran publik untuk kesehatan terhadap GDP relatif tidak meningkat secara signifikan. Jika dilihat dari pengeluaran kesehatan per kapita, maka terjadi peningkatan secara konsisten dari tahun 2002 -2004 yaitu mencapai Rp 206.526 per kapita per tahun, atau meningkat hampir dua kali lipat dari masa sebelum krisis (Bappenas,2008). Gambar 4.9 Sumber Pembiayaan Kesehatan di Indonesia tahun 2004
70
Jika dilihat dari sumber (agen) pengeluaran kesehatan, maka pada tahun 2004, sebanyak 34 persen pengeluaran dilakukan oleh masyarakat (out of pocket expenditure), diikuti oleh pengeluaran pemerintah pusat sebesar 29 persen dan dana dari perusahaan sebesar 19 persen (Gambar 4.9). Pada masa 2006-2008 diperkirakan peran pembiayaan pemerintah terus meningkat dengan semakin meningkatnya anggaran pembangunan
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
untuk kesehatan, termasuk meningkatnya secara signifikan pembiayaan pemerintah untuk masyarakat miskin melalui upaya Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin). Tabel 4.3 Gambaran Belanja Kesehatan Indonesia dan Negara Asean Lainnya
Total belanja kesehatan terhadap GDP (USD)
Persentase belanja kesehatan pemerintah
Persentase belanja kesehetan non pemerintah
Negara
Belanja Kesehatan per kapita (USD)
Brunei Darussalam
430
3,5
78,2
21,8
32
12,0
17,1
82,9
Indonesia
26
3,2
36,0
64,0
Malaysia
149
3,8
53,8
46,2
Myanmar
315
2,2
18,5
81,5
28
2,9
39,1
60,9
Singapura
898
4,3
30,9
69,1
Thailand
90
4,4
69,7
30,3
Vietnam
23
5,2
29,3
70,8
Kamboja
Filipina
Sumber: WHO Report 2005
Pengeluaran pemerintah sampai dengan tahun 2004 masih didominasi oleh pengeluaran pemerintah pusat yang mencakup 79 persen biaya kesehatan pemerintah. Sedangkan pembiayaan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten masih sangat rendah yaitu masing-masing 5 persen dan 14 persen. Tabel berikut menunjukkan perbandingan belanja kesehatan Indonesia dengan negara-negara ASEAN. Total belanja kesehatan Indonesia menempati urutan nomor dua terbawah dari sembilan anggota ASEAN. Proporsi pembiayaan kesehatan yang berasal dari rumah tangga (RT) Indonesia menempati urutan ke 5 besar dari sembilan negara ASEAN tersebut. Tabel 4.4 Status Kesehatan Negara Asean Dibandingkan dengan Indonesia (Data 1997)
Negara
AKB
AKI
AKBA
GNP/Kapita (US $)
Thailand
26
44
30
1.960
Malaysia
8
39
9
3.400
Philippina
31
170
42
1.020
Myanmar
79
230
230
220
Indonesia
45
390
52
580
Vietnam
31
160
160
370
Sumber: Gani (2003) yang dikutip dari WHO Report 2000
Belanja kesehatan terlihat memiliki korelasi terhadap kinerja pembangunan kesehatan pada masa sebelum krisis dan sesudah krisis. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index bangsa Indonesia di bawah beberapa negara-negara ASEAN. Tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia masih rendah dibandingan negara-negara tetangga.
71
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Bandingkan dana kesehatan per kapita Indonesia dengan negara ASEAN pada Tabel 4.4 dengan beberapa indikator kesehatan (WHO, 2005 ; WHO 2004). Besaran biaya kesehatan yang direkomendasikan oleh badan dunia sebagai tanggung jawab pemerintah adalah sebesar US$ 35-40/kapita/tahun (WHO, 2001) atau setara dengan Rp 74,2 triliun pada jumlah penduduk 230 juta (estimasi penduduk tahun 2008) dengan kurs US$ 1 sebesar Rp 9.200. Besaran ini dialokasikan untuk jenis pelayanan/program kesehatan yang terbukti cost efective dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, bayi, anak, kesakitan, dan kurang gizi. Pada tahun 2008, kondisi pembiayaan kesehatan diperkirakan terus membaik dan proporsi pembiayaan publik diperkirakan meningkat karena meningkatnya alokasi anggaran khususnya di Departemen Kesehatan dan meningkatnya dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kesehatan. Tabel 4.5 menunjukkan besaran dan alokasi anggaran dari pagu indikatif Depkes tahun 2008. Tabel 4.5 Alokasi Anggaran Departemen Kesehatan Tahun 2008 Menurut Program Untuk Belanja Tidak Mengikat
No
Program
Jumlah Anggaran (Juta Rupiah)
1
Penerapan Kepemerintahan yang Baik
47.214
2
Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur negara
13.804
3
Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur
18.302
4
Lingkungan Sehat
248.931
5
Obat dan Perbekalan Kesehatan
633.028
6
Upaya Kesehatan Perorangan
7
Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
8
Upaya Kesehatan Masyarakat
7.924.061 134.682 1.700.109
9
Pencegahan dan pemberantasan Penyakit
442.912
10
Perbaikan Gizi Masyarakat
409.605
11
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
159.846
12
Sumber Daya Kesehatan
452.112
13
Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
678.598
14
Pendidikan Kedinasan
85.000 Jumlah
12.948.207
Sumber: Bappenas 2008
Dengan jumlah belanja mengikat sekitar Rp 4,2 triliun, maka anggaran Keseluruhan Depkes pada tahun 2008 adalah sebesar Rp 17,1 triliun (merupakan alokasi anggaran setelah adanya efisiensi 15 persen). Seandainya anggaran tersebut ditambahkan dengan rencana dana alokasi khusus bidang kesehatan tahun 2008 sekitar Rp 800 miliar, maka total dana Depkes tahun 2008 sebesar Rp 18 triliun atau sekitar 24 persen dari rekomendasi WHO tersebut. Dana kesehatan juga berada pada beberapa lembaga lain seperti BKKBN, BPOM, TNI/POLRI, dan lainnya yang diprediksi berjumlah sekitar Rp 4 triliun. Daerah diasumsikan
72
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
dapat memberikan kontribusi sebesar Rp 28 triliun (7 persen dari Rp 400 triliun). Dengan demikian total pendanaan bersumber pemerintah pada tahun 2008 menjadi Rp 46 triliun atau 62 persen dari rekomendasi WHO. Masih terdapat gap terhadap besaran rekomendasi WHO dengan alokasi yang ada sebesar Rp 28 triliun pada tahun 2008. Kondisi pendanaan tahun 2008 menghadapi kendala besar karena harga minyak yang melambung tinggi dan pengaruh perekonomian dunia menyebabkan penurunan penerimaan negara sebesar sekitar 15 persen. Dengan adanya perkembangan ini Pemerintah melakukan berbagai efisiensi dalam bentuk pemotongan anggaran kementerian dan lembaga sebesar 15 persen dalam rangka stabilitas anggaran negara tahun 2008. Permasalahannya adalah pemangkasan tersebut disamaratakan setiap departemen. Pengalaman tahun 2007 menunjukkan alokasi anggaran yang dipangkas adalah perjalanan dinas, pelatihan, dan kegiatan supervisi. Oleh karena itu, kebijakan ini diperkirakan berdampak buruk terhadap komitmen pencapaian MDGs. Tabel 4.6 Anggaran Kesehatan Di Beberapa Kabupaten/Kota
Kab/kota
Jumlah Penduduk
Anggaran APBD (miliar rupiah)
Anggaran Kesehatan (miliar rupiah) dari APBD
dari APBD & APBN
Persen Anggaran Kesehatan terhadap APBD
Anggaran Kesehatan per kapita (rupiah)
Kota Medan 1 Deli Serdang 2
2.060.000
NA
NA
105,8
-
51.379
1.539.697
NA
21,4
-
-
13.867
Kediri 3 Jember 4
1.492.479
709,7
12.,6
33,1
1.8%
8.409
2.231.793
981,0
54,5
87,8
5.6%
24.419
800.000
601.0
23,3
-
3.9%
29.155
Kota Malang 5 Bogor
4.107.437
1.271,6
165,4
-
13%
40.260
Sumedang 7
1.067.361
695,9
63,6
-
9.1%
59.544
Kota Bandung 6
2.270.970
1.375,2
77,4
-
5.6%
34.102
6
Aceh .Besar
299.510
Aceh Barat 9
-
128.000
449,5
46,4
-
10.3%
362.087
A. Jaya 8
73.000
426,7
25,5
-
6.0%
348.661
Kota Banda Aceh 6
212000
505,2
32,8
-
6.5%
154.904
Serang
5
Kab. Tangerang 5
1.834.514
887,2
55,4
-
6.2%
30.204
3.317.331
1.493,9
77,2
-
5.2' %
23.285
Keterangan: 1. Belum jelas termasuk RS/ Dinkes dan seluruh sumber
6. Termasuk Dinkes dan RS tapi belum jelas sumber dari pusat
2. dana dinkes saja tapi tidak ada data dari pusat/provinsi
7. Termasuk dinkes dan RS besumber APBD murni
3. Dinkes saja & seluruh sumber lain tanpa dana di RS
8. Dinkes 2007 termasuk RS
4. Tahun 2005 lengkap Dinkes dan RS dan sumber dana
9. Dinkes 2007 hanya dana langsung saja
5. Tahun 2007 data dinkes, data pusat/provinsitidak tersedia
* Langsung dikelola sektor kesehatan 65474874844
Salah satu kajian pendanaan kesehatan yang dilakukan di daerah binaan Health Services Project (HSP-USAID ) menunjukkan bahwa rata-rata proporsi anggaran kesehatan
73
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
terhadap APBD adalah 6 persen (Ruby, 2007). Daerah yang tinggi proporsinya adalah Kabupaten Bogor (13 persen), Aceh Barat (10 persen) dan Sumedang (9 persen). Menurut besarnya pengeluaran per kapita, Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Kota Banda Aceh termasuk yang tinggi. Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Jaya sudah mencapai batas besaran anjuran WHO di atas. Tingginya biaya kesehatan per kapita di Aceh antara lain disebabkan jumlah penduduk yang rendah dan banyaknya anggaran negara dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur dan pelayanan kesehatan di provinsi NAD pasca tsunami. Berbagai kajian juga menunjukkan bahwa sebagian besar daerah belum mendanai sektor kesehatan sebagaimana komitmen bupati/walikota se-Indonesia untuk mendanai kesehatan sebesar 15 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada era desentralisasi, di mana daerah mempunyai kewenangan yang cukup besar dalam urusan kesehatan, diharapkan pembiayaan oleh pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota dapat ditingkatkan. 4.1.3.2
Komitmen dan Kesenjangan terhadap Pembiayaan MDGs
Gambaran detail mengenai jumlah pembiayaan yang telah dialokasikan untuk program-program dalam rangka pencapaian tujuan MDGs belum diketahui. Untuk itu gambaran pembiayaan MDGs bidang kesehatan hanya dapat didentifikasi secara terbatas, khususnya pengeluaran publik untuk kesehatan yang dialokasikan oleh Departemen Kesehatan. Dalam hal ini dapat diketahui gambaran umum pembiayaan pemerintah pusat untuk program-program terkait dengan kesehatan ibu dan anak, HIV/AIDS, TB, dan malaria. Alokasi pendanaan untuk program-program ini dapat digunakan sebagai cerminan dari komitmen pemerintah untuk mencapai tujuan MDGs. Alokasi pelayanan langsung kesehatan anak untuk pelayanan kesehatan anak sekitar Rp 19 miliar, penyelenggaraan imunisasi dasar sekitar Rp 190 miliar, vaksin dan obat sekitar Rp 600 miliar, gizi anak sekitar Rp 300 miliar, diare dan Ispa sekitar Rp 6 miliar. Secara kasar anggaran pusat untuk pelayanan kesehatan anak adalah Rp 1,12 triliun. Alokasi anggaran pada pelayanan kesehatan ibu, HIV/AIDS, TB DOTs, dan malaria berturut-turut sekitar Rp 20 miliar, Rp 27,4 miliar, Rp 5 miliar, dan Rp 998. juta. Selain dari rupiah murni, pelayanan kesehatan tersebut lebih banyak didanai dari bantuan luar negeri. Misalnya, malaria dibiayai oleh Global Fund for AIDS, Tubercolosis and Malaria (GFATM) sekitar 23 juta dolar (Rp 211 miliar) untuk beberapa tahun. Demikian juga dengan TB DOTS yang dibiayai oleh GFATM sebesar Rp 121 miliar dan KNCV Rp 30 miliar pada tahun 2007. dana Askeskin yang berada pada DIPA Bina Yanmedik dan DIPA Bina Kesmas, Depkes pada tahun 2008 masing-masing sebesar Rp 4,5 triliun dan sekitar Rp 1 triliun diasumsikan digunakan untuk pelayanan ibu dan anak. Alokasi anggaran untuk kontrasepsi dari BKKBN sekitar Rp 300 miliar. Sedangkan dana dari bantuan dan pinjaman luar negeri sekitar Rp 1 triliun. Dengan melihat komposisi penganggaran tersebut, diperkirakan alokasi pusat untuk pembiayaan MDGs tahun 2008 adalah sekitar Rp 3,6 triliun yang terdiri dari kesehatan anak Rp 1,12 triliun, kesehatan ibu dan AIDS, Malaria dan TB Rp 151 miliar, Askeskin Rp 1 triliun, anggaran BKKBN Rp 300 miliar, dan pembiyaan dari luar negeri sebesar Rp 1 triliun.
74
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Alokasi dari dalam negeri Tabel 4.7 Beberapa Daerah yang Telah Mengalokasikan Anggaran Kesehatan Secara Efektif masih perlu dirinci lagi peruntukanya; apakah untuk Alokasi Anggaran 2007 Kabupaten/Kota pelayanan langsung, SDM, sarana (miliar rupiah) atau penguatan sistem. Banyak Kabupaten Bogor 66,4 daerah yang sebenarnya dapat Kabupaten Sumedang 23,1 mengalokasikan dananya dengan Kabupaten Aceh Jaya 15,6 baik, terutama untuk menunjang Kabupaten Aceh Barat 16,3 pencapaian sasaran-sasaran yang sejalan dengan MDGs. Pada daerahdaerah ini, besaran dan jenis pelayanan kesehatan sejalan dengan rekomendasi WHO untuk pelayanan yang efektif. Kabupaten Bogor, Sumedang, Aceh Jaya dan Aceh Barat merupakan daerah yang mengalokasikan dana kesehatan lebih besar baik secara proporsional terhadap APBD maupun per kapita dari beberapa daerah lain di daerah binaan HSP. Alokasi dana kesehatan pada kabupaten/kabupaten tersebut antara lain digunakan untuk pencegahan dan pemberantasan penyakit, perbaikan gizi, peningkatan keselamatan ibu melahirkan, pembangunan prasarana pelayanan kesehatan dasar, dan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin. Secara umum, alokasi anggaran kesehatan daerah kepada pelayanan langsung MDGs sekitar 10 - 20 persen dari anggaran langsung (di luar anggaran aparatur) kesehatan di Dinkes. Di Kabupaten Aceh Barat, yang diasumsikan sebagai pelayanan MDGs Bidang Kesehatan adalah Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, Program Upaya Kesehatan Masyarakat, Promosi Kesehatan, Perbaikan Gizi, dan Pencegahan Penyakit Menular yang dialokasikan sebesar Rp 1,8 miliar (meskipun dalam program-program tersebut ada kegiatan/pelayanan yang bukan spesifik MDGs Bidang Kesehatan). Aceh Barat hanya mengalokasikan untuk pelayanan langsung MDGs Bidang Kesehatan sekitar 10 persen. Bila diperhatikan daerah lain terlihat program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dialokasikan cukup tinggi tetapi rincian program UKM umumnya adalah untuk revitalisasi sistem kesehatan, pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik, dan peningkatan kesehatan masyarakat. Atas dasar kajian di atas dan beberapa kajian lain pendanaan kesehatan di daerah, maka diperkirakan dana daerah yang dialokasikan untuk MDGs Bidang Kesehatan sekitar Rp 1,7 triliun dengan asumsi: 1.
2. 3. 4.
Anggaran daerah pada tahun 2008 dari pusat sekitar Rp 350 triliun dan ditambah penghasilan daerah sekitar Rp 50 triliun sehingga total anggaran di daerah berjumlah sekitar Rp 400 triliun Sekitar Rp 28 triliun (7 persen dari total anggaran) dialokasikan untuk kesehatan Dari anggaran kesehatan tersebut, sekitar Rp 16,8 triliun (60 persen) digunakan untuk biaya aparatur (anggaran rutin) Dari Rp 11,2 triliun (40 persen dari anggaran kesehatan) yang digunakan untuk dana program, sekitar 15 persennya atau Rp 1,7 trilliun digunakan untuk pembiayaan MDGs bidang kesehatan.
75
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
4.2 Metodologi 4.2.1
Ruang Lingkup
Perhitungan kebutuhan pembiayaan untuk pencapaian target MDGs bidang kesehatan menggunakan pendekatan penilaian kebutuhan atau needs asessment. Yang dimaksud bidang kesehatan dalam perhitungan pembiayaan MDGs ini adalah pembiayaan untuk pencapaian Tujuan 4 Menurunkan Kematian Anak, Tujuan 5 Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Tujuan 6 Pengendalian HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya. Adapun tahap-tahap dari kajian tentang pembiayaan untuk ketiga Tujuan MDGs tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut: 1.
Evaluasi literatur mengenai pembiayaan MDGs sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan metode perhitungan pembiayaan yang paling mungkin untuk dilakukan. Beberapa referensi yang digunakan antara lain adalah kajian-kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UN Millennium Project. Selain itu dilakukan diskusi dengan para pakar, instansi dan lembaga terkait. Dengan mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan dan kepraktisan dalam penggunaannya, digunakan metode needs assessment.
2.
Pemilihan jenis intervensi dan target. Indikator dalam MDGs bidang kesehatan merupakan kombinasi antara indikator outcome dan indikator output. Penentuan jenis intervensi yang diperlukan untuk mencapai indikator output (misalnya cakupan imunisasi campak) relatif lebih mudah dibandingkan dengan indikator outcome (seperti angka kematian ibu). Dalam kajian ini intervensi yang akan dihitung biayanya adalah jenis intervensi yang langsung terkait dengan indikator. Sebagai contoh ketersediaan alat transportasi yang memadai sangat diperlukan agar ibu hamil yang mengalami komplikasi pada saat melahirkan dapat mencapai fasilitas kesehatan. Namun, karena ketersediaan jalan merupakan faktor yang tidak langsung, maka biaya untuk intervensi ini tidak dihitung. Pemilihan intervensi dilakukan dengan mengacu pada paket-paket intervensi tertentu. Untuk penurunan AKI mengacu pada program Making Pregnancy Safer, untuk penurunan kematian bayi dan balita antara lain menggunakan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MYBS) dan untuk penanggulangan HIV dan AIDS dengan mengacu pada model perhitungan yang disusun oleh USAID.
3.
Target untuk setiap jenis intervensi, diusahakan sedapat mungkin mengacu pada targettarget yang telah disepakati bersama baik secara internasional maupun nasional. Beberapa kesepakatan yang dijadikan acuan antara lain adalah dokumen MDGs, RPJMN, Renstra dan Indonesia Sehat 2010 serta Standar Pelayanan Minimum Bidang Kesehatan. Apabila dalam kondisi tertentu tidak terdapat kesepakatan yang dapat dijadikan acuan, maka target ditetapkan berdasarkan kondisi ideal, pengalaman pelaksanaan program selama ini atau perkiraan yang dipandang realistis. Selain itu perhitungan target tidak dilakukan secara linear. Jika pembiayaan terhadap intervensi dilakukan, maka diharapkan adanya perbaikan status kesehatan masyarakat. Dengan demikian, beban pembiayaan pada periode selanjutnya akan berkurang. Perubahan target karena adanya keberhasilan intervensi ini dihitung, misalnya keberhasilan upaya preventif penanggulangan malaria melalui kelambunisasi dan penyemprotan dapat menurunkan kasus malaria sebesar 30
76
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
persen pada tahun berikutnya. Penurunan kasus sebesar ini dalam tahun tertentu berarti dapat menurunkan kebutuhan pembiayaan untuk intervensi pada tahun berikutnya. 4.
Penentuan satuan biaya. Biaya per unit dari setiap intervensi dihitung secara rinci sebisa mungkin berdasarkan data standar yang ada. Jika tidak terdapat standar yang diperlukan maka satuan biaya di peroleh dari dokumen-dokumen perencanaan yang selama ini menjadi acuan baik di tingkat, nasional, departemen maupun unit pengelola program dan kajian. Sebagai contoh, satuan biaya imunisasi diperoleh dari kajian Finance Sustainability Plan tahun 2004. Jika sumber-sumber resmi tidak ada, maka satuan biaya dihitung berdasarkan pengalaman pelaksanaan program di lapangan pada tahun-tahun sebelumnya disesuaikan dengan perubahan harga (inflasi). Penyesuaian harga disesuaikan dengan tingkat inflasi yang mengacu pada dokumen RPJMN 2005-2009 yaitu sekitar 6 persen.
5.
Perhitungan kebutuhan biaya dilakukan dengan menggunakan satuan biaya dan besarnya permasalahan yang dilihat dari target intervensi tersebut. Dari paket-paket intervensi tersebut dapat dihitung kebutuhan biaya untuk pencapaian setiap tujuan. Dalam praktek perencanaan program, kadangkala agregasi kebutuhan dana untuk setiap tujuan MDGs tidak cukup operasional dan mudah dalam pelaksanaannya berkaitan dengan dokumen penganggaran. Untuk itu setiap perhitungan kebutuhan dilakukan kategorisasi intervensi menurut sifat produk (deliverable) misalnya untuk sarana, training, tenaga, obat dan lainlain. Kategorisasi ini dibuat untuk memudahkan dalam pemahaman mengenai struktur kebutuhan biaya.
6.
Sensitifitas. Hasil perhitungan satuan biaya serta perhitungan kebutuhan pada setiap tujuan perlu diuji sensitifitasnya oleh para pelaku program atau perencana program. Oleh karena itu dilakukan serial diskusi dan seminar untuk melihat kesahihan penghitungan pembiayaan MDGs pada setiap tahap pelaksanaan kajian.
7.
Strategi Pembiayaan. Perumusan strategi pembiayaan dilakukan dengan melihat kebutuhan dana untuk mencapai MDGs, dan membandingkannya dengan kecenderungan kondisi pembiayaan kesehatan saat ini. Dengan melihat kondisi politik, pemerintahan dan kehidupan sosial, dirumuskan beberapa alternatif untuk membiayai pencapaian MDGs hingga tahun 2015.
4.2.2
Kerangka Pikir dan Alur Perhitungan Biaya
Kajian ini menggunakan satuan biaya makro berdasarkan analisis yang dilakukan oleh tim Komite Kesehatan Makroekonomi (2001), Bank Dunia (1999), wawancara pakar, dan tim pelaksana program di Depkes RI dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kerangka pikir pada analisis biaya kesehatan dalam mencapai MDGs menunjukkan bahwa masalah kesehatan atau tujuan dari MDGs yang berhubungan dengan kesehatan sangat berhubungan satu dengan lainnya. Angka kematian ibu, bayi dan anak balita sangat dipengaruhi oleh status gizi (ibu, bayi dan balita) dan penyakit menular. Program-program atau kelompok intervensi tertentu memiliki tujuan untuk yang secara langsung dapat membantu pencapaian tujuan MDGs bidang kesehatan. Program Kesehatan Ibu dan Anak bertujuan menurunkan kematian ibu dan anak, Program Perbaikan
77
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Gizi bertujuan meningkatkan status gizi ibu dan anak sehingga dapat terhindar dari kesakitan dan kematian. Demikian juga dengan program-program pemberantasan penyakit menular bertujuan mengurangi kesakitan dan kematian akibat penyakit tersebut terutama yang menyerang ibu dan anak. Program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) bertujuan juga untuk menurunkan kematian dan kesakitan anak akibat beberapa penyakit menular. Setiap program tersebut memiliki jenis intervensi atau pelayanan yang dianggap efektif dan efisien dalam upaya pencegahan kesakitan dan kematian. 4.2.2.1
Menurunkan Kematian Anak
Analisa intervensi kesehatan anak dilakukan antara lain berdasarkan Integrated Managament of Childhood Illnesses (IMCI) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), imunisasi untuk penyakit-penyakit utama pada anak, dan pelayanan neonatus. MTBS menggunakan upaya pencegahan dan perawatan dengan target anak usia 0-5 tahun. Pelayanan neonatus menjadi sangat penting dalam konteks Indonesia karena dua pertiga kematian bayi terjadi pada saat anak berusia 0-28 hari (kematian neonatal). Sesuai dengan penyebab kematian neonatus sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, jenis intervensi tersebut mengikuti pola penyebab tersebut. Pemberian imunisasi TT 2 kali pada ibu hamil dapat mencegah kematian bayi baru lahir hampir 100 persen. Imunisasi lengkap pada bayi di bawah 2 tahun (UCI) dapat menurunkan kematian dari campak sebanyak 86 persen. Pemberian ASI segera segera setelah sebulan, tanpa makanan tambahan lainnya, dapat mencegah 22 persen bayi dari kematian akibat BBLR (Bayi dengan Berat Lahir Rendah). Gambar 4.10 Jenis-Jenis Intervensi Penurunan Angka Kematian Anak yang Efektivitas Biaya (Cost Effective) L a in - la i n
2 5 0 ,0 0 0
UCI P e n c e g a h a n M a l a ri a
2 0 0 ,0 0 0
M TBS
1 5 0 ,0 0 0
Cu ci T ang an ASI
1 0 0 ,0 0 0
E m e rg e n c y N e o n a ta l S k i lle d A tte n d a n c e
5 0 ,0 0 0
TT 2
0 4 6 /1 ,0 0 0
1 5 /1 ,0 0 0
An ak yang m e n in g g a l
Sumber: USAID-HSP, 2007
Persalinan dengan tenaga kesehatan (linakes) terlatih akan mampu melakukan resusitasi terhadap bayi menderita asfiksi, serta mencegah infeksi terjadi pada saat paska persalinan. Pada kunjungan neonatal (KN1), linakes terlatih dapat mengatasi infeksi pada bayi. Tindakan tersebut dapat mencegah 30 persen kematian bayi baru lahir karena asfiksi, serta 90 persen kematian karena infeksi.
78
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Kebiasaan cuci tangan dengan sabun dapat mencegah hingga 46 persen kasus diare pada balita, dan dapat mencegah 33 persen kematian karena diare. Pelaksanaan protokol Manajemen Terpadu Bayi Sakit (MTBS) dapat mencegah 60 persen kematian akibat diare, ispa, pneumonia, kurang gizi, dan sebagainya. Gizi Buruk berkaitan dengan 54 persen kematian balita. Balita dengan gizi buruk lebih rawan meninggal bila terkena diare, ISPA, campak, dan lainnya. Karena itu, program gizi juga penting. ASI eksklusif adalah salah satu intervensi gizi yang paling efektif, dan dapat menurunkan kematian balita yang terkait gizi buruk sebanyak 10 persen. Gambar 4.10 di atas meringkaskan beberapa jenis intervensi yang cost efective dalam penurunan angka kematian anak. Bila posisi angka kematian anak (balita) sebesar 46 per 1000 kelahiran atau sekitar 210 ribu kasus, intervensi-intervensi di atas tersebut dapat menurunkan jumlah kematian menjadi 10/1000 kelahiran hidup atau menjadi 60 ribu kasus kematian pada tahun 2015. Tabel 4.8 Paket Program dan Intervensi Kesehatan Anak
Paket Program
Deskripsi Intervensi/pelayanan
Pelayanan neonatus
Persalinan yang bersih, resusitasi bayi baru lahir, pencegahan dari hipotermia, perawatan Kangguru (kontak kulit ibu dan bayi segera baru lahir terutama pada kelahiran prematur), antibiotik untuk infeksi, pemberian air susu ibu eksklusif, pendidikan hygiene, dan intervensi neonatal.
Immunisasi
Polio, Dipteri, Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B.
MTBS
MTBS bertujuan mengurangi kematian, kesakitan, dan cacat dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. MTBS meliputi preventif dan kuratif yang diimplementasikan oleh keluarga dan masyarakat dengan fasilitasi-fasilitas kesehatan. Pelayanan kesehatan yang menjadi kegiatan MTBS adalah pengobatan penyakit ISPA, diare, malaria, campak, kurang gizi, pelayanan gizi (pemberian ASI, pemberian zat gizi mikro (zat besi, vitamin A, yodium) dan pengobatan cacing.
4.2.2.2
Meningkatkan Kesehatan Ibu
Paket program dan intervensi untuk meningkatkan kesehatan ibu difokuskan pada upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) sebagaimana tercantum pada Tabel 2.2. Kerangka startegi yang digunakan adalah Making Pregnancy Safer (MPS) yang telah dicanangkan sejak tahu 2001. MPS merupakan strategi sektor kesehatan secara terfokus pada meningkatkan kemampuan sistem kesehatan dalam menjamin penyediaan dan pemantapan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menanggulangi penyebab utama kematian dan kesakitan ibu dan bayi baru lahir. Perhitungan biaya intervensi untuk pencapaian Tujuan 5 pada kajian ini berdasarkan pada paket integrasi ibu dan anak (mother-baby package) yang dikembangkan oleh WHO termasuk di dalamnya kontrasepsi bagi wanita usia 15-49 tahun dan ibu nifas. Termasuk di dalamnya adalah penanganan aborsi yang aman dan konseling. Cakupan pelayanan antenatal
79
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
(kunjungan K4) ditetapkan setidaknya mencapai 90 persen. Dengan penyebab kematian yang sebagian besar disebabkan oleh perdarahan, eklamsia, partus lama, maka jika penanganan darurat persalinan dapat ditingkatkan sampai 80 persen diperkirakan dapat menyelamatkan ibu dari kematian sekitar 43 persen; dan penanganan aborsi dapat menyelamatkan 10 persen kematian ibu, serta tersedianya alat kontrasepsi yang mudah dijangkau dapat menurunkan kematian ibu menjadi dua pertiganya. Tabel 4.9 Paket Program dan Intervensi Kesehatan Ibu
Paket Program
Diskripsi Intervensi/pelayanan
Antenatal care (ANC)
Kunjungan tenaga kesehatan terlatih selama ibu hamil untuk mengawasi kesehatan ibu dan janin sehingga tetap baik. Pelayanan yang diberikan dalam ANC adalah pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan HB, pemberian tablet besi, imunisasi tetanus toksoid (TT), perbaikan gizi (bagi ibu yang kurang energi kronis (KEK) dan Kekurangan Energi Protein (KEP). Termasuk juga pengobatan malaria, dan penyakit lainnya (sexually transmitted diseases/STDs, HIV, dan lainnya).
Persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan bersih
Tersedianya bidan atau dokter yang terlatih dan mahir. Disamping perlu dilakukan promosi agar masyarakat bersedia melahirkan pada tenaga terlatih.
Penanganan Obstetri Neonatus Emergency Dasar/Komprehensif (PONED/PONEK)
Manajemen eklamsia, perdarahan, kesulitan persalinan, dan sepsis. Intervensi meliputi pemenuhan peralatan kelengkapan PONEK dan PONED dan training tenaga
Kontrasepsi dan keluarga berencana
Konseling dan penggunaan kontrasepsi (kondom pria/wanita, Depoprovera, intrauterine device/IUD, Norplant, oral kontrasepsi, sterilisasi wanita/pria)
Aborsi yang aman
Aborsi karena indikasi medis dilakukan dengan aman
Post Partum
Memberikan konseling (misalnya ASI ekslusif, gizi ibu) dan pemeriksaan resiko perdarahan post partum
Secara ringkas peran dari berbagai intervensi tersebut dalam memberi manfaat terhadap penurunan AKI adalah sebagai berikut: 1.
80
Pertolongan persalinan oleh tenaga terampil. Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah dengan kehadiran tenaga kesehatan terampil di saat persalinan. Gambar 4.11 di bawah ini menunjukkan bahwa makin tinggi proporsi persalinan oleh tenaga terampil makin rendah AKI. Bila proporsi persalinan oleh tenaga kesehatan terampil hanya 70 persen dan 95 persen maka AKI berturut-turut adalah sekitar 300/100.000 dan 100/100.000. Data ini menunjukkan bahwa kehadiran tenaga terlatih dan keterjangkauan ibu terhadap persalinan oleh tenaga terlatih ini merupakan jenis intervensi yang memiliki daya ungkit tinggi terhadap penurunan angka kematian ibu di Indonesia. Biaya merupakan hambatan utama bagi masyarakat untuk tidak menggunakan tenaga kesehatan pada persalinan.
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Selain biaya, distribusi tenaga kesehatan dan hambatan budaya merupakan penyebab hambatan keterjangkauan ibu terhadap persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih. 2.
Manajemen kala tiga yang baik oleh seorang tenaga kesehatan terlatih dapat mengurangi perdarahan ibu sebesar 60 persen.
Mengetahui tanda-tanda awal dari risiko tinggi oleh tenaga kesehatan terlatih dan merujuknya ke fasilitas kesehatan yang memadai baik pada tingkat pertama (Poned) maupun tingkat lanjutan (Ponek) dapat mengurangi kematian ibu karena infeksi, eklamsia, panggul sempit dan risiko lainnya antara 30 – 80 persen kematian ibu. 4.2.2.3
Penanggulangan HIV dan AIDS
Intervensi untuk pencegahan (preventif), perawatan (care) dan pengobatan (kuratif) HIV dan AIDS didasarkan pada kajian tentang unit cost oleh UNAIDS dan Depkes (2002) yang bertujuan untuk mengestimasi kebutuhan sumber daya untuk menghentikan penyebaran HIV dan AIDS (Tabel 4.10). Perhitungan kebutuhan pendanaan untuk HIV dan AIDS ini disusun sesuai dengan kerangka Rencana Strategis Penanggulangan AIDS 2007-2010. Akses pada pelayanan kesehatan reproduksi yang esensial untuk berbagai tujuan, terutama kematian anak dan ibu serta Tujuan MDGs untuk HIV/AIDS, menjadi indikator yang penting dalam pemberantasan HIV/AIDS. Dari berbagai cara kontrasepsi, hanya kondom yang efektif mencegah infeksi HIV. Pengaruh AIDS terhadap anak yatim diukur melalui rasio anak yatim yang bersekolah dan yang tidak yatim yang bersekolah. Tabel 4.10 Paket Program dan Intervensi HIV/AIDS
Paket Program
Diskripsi Intervensi/pelayanan
Preventif
Intervensi promosi difokuskan pada remaja Intervensi difokuskan pada pekerja seks dan langganannya Promosi kondom Peningkatan Manajemen infeksi yang ditularkan melalui seks Keamanan produk darah Pencegahan penularan dari ibu ke anak Kampanye oleh media massa Program harm reduction (akses jarum suntik bagi pecandu narkotika suntik) Promosi dan intervensi pada hubungan seksual sesama lelaki
Care
Palliative care, Dukungan terhadap anak yatim Bantuan biaya sekolah
Kuratif
Pengobatan dari infeksi Tes diagnostik HIV Pencegahan (profilaksis) melawan infeksi untuk pasien yang bersifat simtomatis Dukungan tinggi terhadap terapi antiretroviral dan laboratorium
Jika prevalensi anak yatim meningkat, berarti anak yatim menghadapi ketidakpastian masa depan yang tinggi. Karena anak yatim sering disertai dengan peningkatan kemiskinan,
81
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
anak yatim tersebut menghadapi pengurangan akses pada nutrisi yang cukup, pelayanan kesehatan dasar, perumahan dan pakaian. Mereka juga menjadi putus sekolah karena diskriminasi, tekanan emosional, ketidakmampuan membayar biaya sekolah, atau kebutuhan perawatan orang tua. 4.2.2.4
Penanggulangan Malaria
Penghitungan Tabel 4.11 Paket Program dan Intervensi Malaria pembiayaan MDGs untuk Paket Program Diskripsi Intervensi/pelayanan penanggulangan malaria Preventif Memberikan kelambu yang dilakukan berdasarkan mengandung insektisida (Insecticide inisiatif Roll Back Malaria Treated Nets) yang dilansir pada akhir Intervensi lingkungan (air dan 1998 oleh WHO, UNICEF, sanitasi) terutama kontrol vektor dan Bank Dunia dengan Kuratif Diagnostik (mikoroskopis dan tes paket preventif dan kuratif cepat) sebagaimana tercantum Terapi kombinasi artemisin pada Tabel 4.11. Terdapat Terapi malaria komplikasi (rumah empat intervensi utama sakit) dan tidak komplikasi (di untuk mengurangi beban komunitas) malaria, yaitu penggunaan kelambu yang diberikan insektisida, akses yang tepat pada pengobatan yang efektif, penyediaan obat antimalaria dan memperbaiki ramalan, pencegahan dan respon yang cepat pada epidemik malaria. 4.2.2.5
Penanggulangan Tuberkulosis
Intervensi yang digunakan pada kajian ini didasarkan pada strategi Directly-Observed Treatment Short Course (DOTS) yang telah direkomendasikan secara internasional (lihat Tabel 4.12). Lima komponen DOTS menurut WHO meliputi komitmen politik, mikroskopi, perawatan, obat-obatan dan monitoring (Stop TB Partnership, 2002). Strategi ini mensyaratkan diagnosis yang akurat dengan sputum-smear microscopy untuk pasien dengan gejala TB, regimen 6-8 bulan pengobatan bagi pasien dengan TB aktif dan DOTS dua bulan pertama regimen. Tabel 4.12 Paket Program dan Intervensi TB
Paket Program TB DOTS
82
Diskripsi Intervensi/pelayanan Komitmen politik Deteksi 70 persen kasus baru positif dahak BTA Pengobatan dan kesembuhan 85 persen dari kasus positif dahak BTA Promosi TB DOTS
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
4.2.2.6
Penyediaan Tenaga, Infrastruktur dan Penguatan Sistem Kesehatan
Upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat akan berhasil jika dilakukan dalam skala yang luas yang didukung oleh keseluruhan sub-sistem kesehatan. Dengan kata lain, diperlukan tenaga, infrastruktur, dan penguatan sistem kesehatan (health system strengthening). Segala intervensi spesifik untuk pencapaian tujuan MDGs harus didukung oleh sistem kesehatan yang kuat seperti tenaga kesehatan, baik administratif maupun tenaga pelayanan, sarana dan prasarana, dan perencanaan serta monitoring dan evaluasi yang memadai. Dalam kajian ini, tenaga kesehatan menjadi komponen penting yang terkait dengan pencapaian tujuan MDGs. Dalam konteks pembangunan kesehatan di Indonesia, masalah ketenagaan kesehatan memang cukup krusial dan keterbatasan tenaga menjadi salah satu penghambat utama pembangunan kesehatan. Untuk sarana dan prasarana yang terkait langsung telah diakomodasikan dalam masing-masing paket intervensi. Dalam hal ketenagaan, terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan. Pendekatan pertama adalah dengan menghitung kekurangan tenaga untuk mengisi fasilitas kesehatan sesuai dengan standar. Pendekatan kedua adalah menggunakan rasio kecukupan antar tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk. Pada kajian ini, kedua pendekatan digunakan. Pendekatan rasio digunakan untuk menghitung kebutuhan dokter dan perawat, sedangkan pendekatan fasilitas digunakan untuk tenaga lainnya. Untuk puskesmas, misalnya, diperlukan penambahan tenaga dokter agar seluruh puskesmas memiliki dokter, bidan di desa dihitung berdasarkan kebutuhan untuk setiap desa, dan tenaga dokter spesialis diupayakan untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit umum daerah tingkat kabupaten/kota. Dalam kajian ini, yang dimasukkan ke dalam komponen tenaga dalam setiap tujuan MDGs adalah biaya untuk pelatihan tenaga kesehatan, yaitu pelatihan program. Selain itu untuk juga dihitung biaya untuk pre-service (biaya pendidikan) tenaga baru yang akan direkrut. Dalam kajian ini komponen gaji belum dihitung.
4.2.3
Langkah Penghitungan Biaya
Sesuai dengan kerangka pikir yang telah disampaikan sebelumnya, perhitungan biaya kesehatan MDGs dilakukan dengan pendekatan needs assessment. Langkah untuk penghitungan biaya adalah: 1. 2. 3.
4. 5.
Mengidentifikasi jenis intervensi yang terkait erat dengan tujuan MDGs. Menentukan target/sasaran dari intervensi tersebut setiap tahun dalam periode 2008-2015. Menentukan satuan biaya untuk tiap intervensi dengan tahun 2007 sebagai dasar sampai tahun 2015. Perhitungan unit cost setiap tahun disesuaikan dengan estimasi inflasi dan akumulasi kasus atau prevalensi dari tahun-tahun sebelumnya. Menjumlahkan seluruh satuan biaya dalam 8 tahun sehingga diperoleh jumlah total biaya per tujuan. Menganalisis kemampuan pemerintah dalam membiayai program tersebut dilihat dari kecenderungan penganggaran kesehatan.
83
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Metode perhitungan satuan biaya dilakukan dengan dua cara. 1. Perhitungan satuan biaya menurut pengalaman para pelaksana program di pusat, provinsi dan kabupaten kota. 2. Memakai hasil analisis yang dilakukan berbagai penelitian oleh peneliti lain. Beberapa data yang diperlukan untuk mendukung kajian ini adalah: 1. Data demografi yang meliputi jumlah wanita usia subur, pasangan usia subur, kehamilan, persalinan, balita, dan sebagainya. Data yang tidak tersedia langsung seperti jumlah neonatus, akan diperkirakan dari data demografi tersebut. Sejauh mungkin datadata tersebut diperoleh dari proyeksi yang dilakukan oleh BPS (BPS, Bappenas dan UNFPA, 2006) 2.
Data epidemologi yang meliputi insiden/prevalensi gangguan selama masa hamil, komplikasi persalinan, penyakit menular seksual dan lainnya, diperoleh dari data-data survey. Jika tidak tersedia, maka digunakan data program yang diperoleh dari masingmasing unit yang bertanggung jawab di Departemen Kesehatan.
3.
Angka cakupan sekarang dan target untuk berbagai jenis intervensi. Angka cakupan dan target diperoleh dari data program serta mengacu pada target-target cakupan yang ingin dicapai.
4.
Informasi tentang obat dan bahan-bahan untuk masing-masing intervensi, diperoleh dari dokumen perencanaan dan anggaran di masing-masing unit yang bertanggung jawab di Depkes. Beberapa informasi tentang harga obat dan bahan diperkirakan langsung dari harga di pasaran.
5.
Data tentang ketenagaan termasuk jumlah, kebutuhan dan biaya untuk perekrutan, training dan gaji diperoleh dari unit-unit yang bertanggung jawab di Departemen Kesehatan.
Perhitungan biaya dilakukan dengan berdasarkan intervensi-nya sebagai berikut: 1.
84
melakukan
kategorisasi
pembiayaan
Biaya Intervensi Langsung. Pada komponen ini dilakukan identifikasi kebutuhan pembiayaan untuk obat, bahan, dan tenaga yang dibutuhkan untuk menyediakan intervensi untuk setiap kasus yang ditangani. Identifikasi juga dilakukan terhadap target populasi dari masing-masing intervensi (misalnya seluruh wanita hamil untuk ANC atau seluruh wanita usia subur atau pasangan usia subur untuk keluarga berencana). Dari target populasi dihitung target sasaran intervensi dengan mempertimbangkan cakupan intervensi. Dengan Penghitungan Biaya Intervensi Langsung: mengalikan satuan biaya Unit cost (A) = (obat) + (bahan) + (tenaga langsung) dengan target cakupan Jumlah sasaran (B) = (angka cakupan) x (populasi target) setiap tahun dapat Total Biaya =AxB diperoleh kebutuhan = (biaya per kasus ) x jumlah sasaran dana yang diperlukan untuk kasus/tujuan tertentu (biaya untuk ANC). Hal yang sama dilakukan untuk intervensi yang lain pada tujuan MDGs tertentu. Demikian dilakukan untuk semua intervensi langsung pada tujuan
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
2.
MDGs tertentu. Pada tahun berikutnya, cakupan atau prevalensi dihitung kembali dan disesuaikan dengan target yang ingin dicapai dengan memperhatikan keberhasilan penanganan pada tahun sebelumnya. Demikian juga dengan satuan biaya disesuaikan dengan perkembangan harga, yang pada kajian ini dihitung dengan tingkat inflasi tahunan. Hal itu dilakukan secara iteratif hingga tahun 2015 untuk mendapatkan estimasi kebutuhan pembiyaaan hingga tahun 2015. Sumber Daya Kesehatan. Komponen tenaga kesehatan meliputi jenis tenaga untuk berbagai jenis intervensi di atas, terutama untuk pelatihan.
3.
Infrastruktur. Kebutuhan biaya untuk infrastruktur adalah biaya yang secara langsung spesifik untuk penyelenggaraan intervensi langsung. Sementara infrastruktur umum dianggap diinvenstasikan pada program-program lainnya.
4.
Penguatan Sistem kesehatan. Langkah keempat adalah menghitung kebutuhan biaya untuk penyelenggaraan sistem kesehatan yang meliputi: 1) penguatan sistem manajemen (manajemen keuangan, manajemen kasus, manajemen program); 2) monitoring, evaluasi dan jaminan mutu; dan 3) pengembangan untuk riset dasar dan lainnya. Proporsi dari penguatan sistem ini secara umum diasumsikan sebesar 20 persen dari biaya intervensi langsung, kecuali penanganan malaria sebesar 37 persen.
5.
Biaya Total per Tujuan. Untuk memperoleh keseluruhan biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan maka dilakukan penjumlahan dari seluruh komponen pembiayaan di atas yaitu intervensi langsung, sumber daya, infrastruktur, dan penguatan sistem kesehatan. Persamaan untuk penghitungan:
U k = Ok + H k + Lk dimana: Uk = Ok = Hk = Lk =
wk = λk * N k
unit cost untuk intervensi/kasus k biaya obat intervensi/kasus k biaya bahan intervensi/kasus k biaya tenaga langsung intervensi/kasus k Wk = jumlah sasaran yang menjadi target intervensi/kasus k λk = angka cakupan intervensi/kasus k
6.
j =n k =m
ΤCt = ∑ ∑ w jt * U kit j =1 k =1
Nk = populasi target intervensi/kasus k TC = total biaya seluruh tujuan MDGs per tahun k = jenis intervensi dalam satu tujuan MDGs j = tujuan MDGs t = tahun intervensi (2008-2015)
Biaya Total MDGs Kesehatan. Selain biaya total untuk setiap intervensi, ditambahkan komponen biaya untuk penambahan tenaga kesehatan utama yaitu biaya pre-service training. Komponen ini perlu ditambahkan mengingat kebutuhan tenaga kesehatan secara keseluruhan di Indonesia masih cukup tinggi dan jika tidak terpenuhi akan menghambat pencapaian tujuan MDGs.
Secara ringkas, perhitungan biaya tersebut dapat disederhanakan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.12 di bawah ini.
85
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Gambar 4.12 Perhitungan Akhir Biaya Pencapaian MDGs Kesehatan
4.2.4
Asumsi dan Keterbatasan
1.
Pendekatan yang dilakukan dalam penghitungan pembiayan MDGs dalam kajian ini mengunakan pendekatan need assesment berdasarkan biaya individu intervensi (pendekatan mikro), bukan pendekatan makro dengan menggunakan perhitungan biaya agregat. Banyak studi yang dilakukan dengan pendekatan makro antara lain oleh Devarajan et.al (2002) dan banyak studi oleh Bank Dunia. Pendekatan makro biasanya tidak dapat memberikan petunjuk langsung kepada pada pengambil keputusan tentang bagaimana pembiayaan harus dialokasikan antar sektor, program dan kegiatan. Dengan pendekatan biaya individu, maka pengambil kebijakan bisa langsung dapat merujuk pada arah intervensi-intervensi yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Tentu saja pendekatan ini memerlukan upaya yang lebih keras dan waktu yang lebih panjang untuk dapat mengetahui detail intrevensi, satuan biaya, dan target yang perlu dicapai setiap tahunnya.
2.
Perhitungan pembiayaan dilakukan dengan berdasarkan pada target-target dan satuan biaya yang bersifat rata-rata nasional. Oleh karena itu untuk hasil dari perhitungan ini tidak dengan serta merta bisa langsung diadopsi untuk wilayah, propinsi atau kabupaten terntentu. Dalam banyak hal, satuan biaya bisa berbeda untuk setiap wilayah karena perbedaan regulasi dan kondisi geografis serta sosial ekonomi. Selain itu, jenis intervensi yang digunakan sebagai dasar perhitungan juga tidak bersifat mutlak harus ada. Sebagai contoh, pengasapan untuk pemberantasan nyamuk penyebab malaria bisa dimasukkan sebagai unit intervensi di daerah endemik, namun belum tentu perlu dilakukan untuk daerah yang tidak endemik malaria. Walaupun begitu, metodologi dan tahap-tahap penghitungan yang dilakukan dapat diadopsi untuk keperluan daerah yang kemudian menyesuaikan satuan biayanya masing-masing.
86
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
3.
Sinergisitas antar program dan intervensi. Dalam suatu sistem kesehatan, berbagai input kepada subsistem kesehatan dapat mempunyai dampak yang lebih luas, misalnya penyediaan air minum dan sanitasi yang layak berkontribusi secara positif terhadap penurunan angka kematian bayi. Oleh karena itu jika akses terhadap air minum dan sanitasi ditingkatkan, maka penurunan kematian bayi akan lebih cepat. Dalam hal ini kita melihat adanya sinergisitas antara MDGs Tujuan 4 dan MDGs Tujuan 7, artinya bisa jadi target-target yang telah ditetapkan dalam penghitungan Pembiayaan MDGs Tujuan 4 sebenarnya lebih rendah karena ada kontribusi dari sektor air bersih dan sanitasi. Dengan demikian akan terjadi apa yang disebut sebagai efisiensi, yaitu biaya yang tidak perlu dikeluarkan karena adanya pengurangan sasaran. Secara kualitatif, hubungan ini jelas tampak, namun sulit untuk dikonversikan secara kuantitatif. Dalam kajian ini, hubungan semacam ini dieksplorasi sejauh mungkin. Namun karena keterbatasan metode dan referensi maka hubungan sinergisitas tidak bisa sepenuhnya dieksplorasi
4.
Kemampuan Penyerapan (Absorbtive Capacity) anggaran sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya manusia, kemampuan manajemen, pemantauan dan evaluasi, sarana dan prasarana dan lain-lain untuk melaksanakan dan scale up intervensi-intervensi yang diperlukan guna mencapai tujuan MDGs. Kemampuan absorpsi ini penting karena merupakan salah satu prasyarat yang jika tidak dimiliki akan menghambat pencapaian MDGs, walaupun sumber daya keuangannya dilipatgandakan (World Bank 2003a). Dalam kajian ini diasumsikan bahwa apabila kebutuhan dana untuk setiap intervensi dipenuhi, maka pemerintah akan mampu menyerap dana tersebut dalam pelaksanaan program. Dengan demikian dianggap bahwa kapasitas sistem kesehatan berjalan cukup baik. Dalam kenyataan, hal ini mungkin tidak sepenuhnya benar. Dari berbagai pengalaman, pada umumnya kapasitas absorbsi sistem kesehatan tidak optimal. Jika hal ini terjadi, maka target yang ditetapkan akan terlalu tinggi dan alokasi yang melebihi kapasitas tadi menjadi suatu bentuk inefficiency. Yang lebih penting lagi adalah bahwa proyeksi atau target yang akan dicapai setiap tahunnya akan lebih rendah. Dalam kajian ini, kemampuan penyerapan diasumskikan akan terus meningkat. Asumsi ini cukup logis, karena melihat dari terus diterapkannya prinsip good governance, termasuk dalam hal reformasi perencanaan dan penganggaran yang jauh lebih baik, misalnya dana program APBN yang telah tersedia sejak awal tahun. Selain itu pada hampir setiap paket intervensi, peningkatan kapasitas petugas kesehatan juga menjadi salah satu komponen yang akan ditingkatkan melalaui pembiayaan
5.
Pembiayaaan publik versus non-publik. Pemerintah mempunyai tugas untuk memastikan bahwa target-target MDGs tercapai. Oleh karena itu dalam analisis dalam kajian ini lebih menggunakan pendekatan pembiayaan publik walaupun dalam penyampaian dan pembelanjaan (purchasing) dari pelayanan dapat dilaksanakan baik oleh sektor publik maupun non-publik. Penggunaan pendekatan pembiayaan publik ini digunakan karena status kesehatan yang rendah tercermin dari tingginya AKI, AKB, AKBA dan tingginya prevalensi penyakit menular merupakan hambatan dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah berkepentingan agar hambatan-
87
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
hambatan ini dapat dikurangi melalui pembiayaan publik. Masih tingginya kemiskinan dan masih rendahnya pendapatan perkapita penduduk menyebabkan penduduk terutama dari golongan miskin tidak mungkin memenuhi pembiayaan kesehatan yang diperlukan. Selain itu, hampir seluruh dari target-target MDGs untuk bidang kesehatan mempunyai eksternalitas yang tinggi, sehingga swasta akan sangat sulit untuk menyediakan pembiayaan sesuai tingkat kebutuhan.
4.3 Kebutuhan Biaya 4.3.1
Kebutuhan Kesehatan Utama
4.3.1.1
Tujuan 4: Menurunkan Kematian Anak
Sekitar dua per tiga kematian bayi terjadi pada saat bayi berumur 0-28 bulan (kematian neonatal) dan dua pertiga dari kematian bayi terjadi pada saat bayi berusia 0-1 hari (perinatal). Data SDKI menunjukkan bahwa penurunan kematian neonatal lebih lambat dibandingkan dengan kematian bayi. Dengan demikian fokus penurunan kematian bayi adalah mencegah kematian neonatal. Penyebab utama kematian bayi utama adalah asfiksia, BBLR, infeksi, dan tetanus. Intervensi untuk mengurangi penyebab kematian karena asfiksia dan infeksi adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian tenaga kesehatan yang membantu bersalin (Linakes) sehingga mampu melakukan resusitasi bayi yang menderita asfiksi. Pada kunjungan neonatal (KN1), linakes terlatih dapat mengatasi infeksi pada bayi paska persalinan. Tindakan tersebut dapat mencegah 30 persen kematian bayi baru lahir karena asfiksia dan 90 persen kematian karena infeksi. Bayi lahir dengan berat badan rendah menyebabkan 28 persen kematian bayi baru lahir. Intervensi yang sangat efektif adalah pemberian ASI segera selama sebulan, tanpa makanan tambahan lainnya. Tindakan ini dapat mencegah kematian bayi (BBLR) sebanyak 22 persen. Sementara penyebab kematian bayi karena tetanus sebesar 10 persen kematian bayi dapat dicegah dengan Imunisasi TT2 pada ibu hamil. Selain intervensi-intervensi tersebut, promosi perilaku hidup bersih (cuci tangan) dan lingkungan rumah yang sehat merupakan intervensi yang sangat efektif mengurangi kematian bayi. Penyebab utama kematian anak terutama karena ISPA, kurang gizi, diare, malaria, dan campak yang intervensinya dikelompokkan dalam program MTBS. Kebiasaan cuci tangan dengan sabun dapat mencegah hingga 46 persen kasus diare pada balita dan dapat mencegah 33 persen kematian karena diare. Immunisasi lengkap pada Bayi di bawah 2 tahun (Universal Coverage of Immunization atau UCI) dapat menurunkan kematian dari campak sebanyak 86 persen. Gizi buruk berkaitan dengan 54 persen kematian balita. Balita dengan gizi buruk lebih rawan meninggal bila terkena diare, ISPA, campak, dan lainnya. Karena itu, program gizi memiliki peran yang penting dalam menurunkan kematian anak. ASI eksklusif adalah salah satu intervensi gizi yang paling efektif dan dapat menurunkan kematian balita yang terkait gizi buruk sebanyak 10 persen. Peyakit parasit seperti penyakit cacing dapat meningkatkan risiko gizi buruk balita sehingga perlu diberikan intervensi obat cacing.
88
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Sumber data cakupan dan prevalensi berasal dari SKRT, BPS (Susenas) dan laporan tahunan dari Depkes. Untuk data tentang prevalensi penyakit yang belum tersedia, prevalensi prakirakan dengan digunakan asumsi-asumsi yang telah lebih dahulu dikonsultasikan dengan staf dari Sub Direktorat Anak Depkes dan para pakar. Demikian juga dengan harga obat yang dibutuhkan telah dikonsultasikan dengan Direktorat Pelayanan Farmasi. Di samping itu, perhitungan biaya sering dilakukan dalam bentuk paket karena data satuan biaya belum tersedia. Paket ini dirujuk dari paket tarif pelayanan penduduk miskin di rumah sakit. A. 1.
Pelayanan Langsung
Pelayanan Kesehatan Neonatus
Jenis intervensi yang dihitung dalam perhitungan ini adalah tindakan mengatasi asfiksia, BBLR, infeksi dan tetanus. Intervensi asfiksia lebih difokuskan pada pencegahan infeksi dan resusitasi neonatus asfiksia. Bentuk intervensi pada bayi BBLR berupa pencegahan infeksi, promosi ibu dan keluarga untuk pemberian ASI Eklusif yang memadai. Sementara intervensi infeksi adalah pengobatan neonatus dengan antibiotika dan jika perlu dirujuk ke fasilitas yang lebih baik. Demikian juga dengan penanganan tetanus neonatorum mulai pada tingkat puskesmas perawatan sampai rumah sakit. Tabel 4.13 Jumlah Kasus Asfiksia, BBLR, Infeksi dan Tetanus Neonatorum Menurut Tahun Jenis Pelayanan
Pencegahan (vit K & mata) Asfiksia
Tetanus
2010
2011
2012
2013
2014
2015
4.685.161 4.746.068 4.807.765 4.870.268 4.933.582 4.997.718 5.062.689 5.128.504 106.822
104.603
102.309
99.938
97.488
94.957
92.343
89.646
Sedang
20.029
19.613
19.183
18.738
18.279
17.804
17.314
16.809
6.676
6.538
6.394
6.246
6.093
5.935
5.771
5.603
Ringan
238.943
233.981
228.850
223.545
218.064
212.403
206.558
200.525
Sedang
39.355
41.291
40.385
39.449
38.482
37.483
36.451
35.387
2.811
2.753
2.692
2.630
2.565
2.499
2.430
2.359
Ringan
224.888
220.218
215.388
210.396
205.237
199.909
194.407
188.729
Sedang
42.166
41.291
40.385
39.449
38.482
37.483
36.451
35.387
Berat
14.055
13.764
13.462
13.150
12.827
12.494
12.150
11.796
7.028
6.882
6.731
6.575
6.414
6.247
6.075
5.898
Berat Infeksi/Sepsis
2009
Ringan
Berat BBLR
2008
Tahap awal perhitungan adalah menghitung jumlah neonatus yang sakit berdasarkan prevalensi rata-rata 15 persen pada tahun 2008. Kemudian prevalensi neonatus sakit menurun tiap tahun 0,5 persen. Perhitungan prevalensi asfiksia, BBLR, infeksi dan tetanus dihtung terhadap jumlah neonatus yang sakit tersebut dengan prevalensi berturut-turut adalah 19 persen, 40 persen, 40 persen dan 1 persen dari jumlah neonatus sakit. Proporsi kriteria ringan, sedang dan berat masing-masing adalah 80 persen, 15 persen dan 5 persen dari kasus yang sakit tersebut. Selain penurunan kasus, kemampuan penanganan kasus-kasus tersebut dengan
89
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
baik menyebabkan angka kematian neonatus dengan sendirinya akan turun. Tabel 4.13 menunjukkan jumlah sasaran dan jumlah kasus dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Selanjutnya. Tabel 4.14 menunjukkan satuan biaya menurut jenis intervensi setiap tahun setelah disesuaikan dengan inflasi sebesar 6 persen. Perhitungan satuan biaya ini didasarkan dari jumlah hari rawat yang dibutuhkan oleh neonatus dalam penanganan kondisi tersebut. Tabel 4.14 Biaya Rata-Rata Per Kasus Penanganan Bayi Penderita Asfiksia, BBLR, Infeksi dan Tetanus Neonatorum Menurut Tahun Jenis Pelayanan
2008
Pencegahan Asfiksia
Ringan
BBLR
2014
2015
1,0
1,1
1,1
1,2
1,3
1,3
1,4
1,5
150
159
169
179
189
201
213
226
Sedang
2.100
2.226
2.360
2.501
2.651
2.810
2.979
3.158
Berat
8.400
8.904
9.438
10.005
10.605
11.241
11.916
12.630
Ringan
75
80
84
89
95
100
106
113
Sedang
3.500
3.710
3.933
4.169
4.419
4.684
4.965
5.263
14.000
14.840
15.730
16.674
17.675
18.735
19.859
21.051
Berat Infeksi/Sepsis
Biaya per kasus (ribu rupiah) 2010 2011 2012 2013
2009
Ringan
200
212
225
238
252
268
284
301
Sedang
3.500
3.710
3.933
4.169
4.419
4.684
4.965
5.263
10.500
11.130
11.798
12.506
13.256
14.051
14.894
15.788
2.100
2.226
2.360
2.501
2.651
2.810
2.979
3.158
Berat Tetanus
Sesuai dengan jumlah sasaran dan satuan biaya setiap tahun maka total kebutuhan biaya untuk pelayanan neonatus seperti ditunjukkan tabel di bawah ini (dalam Jutaan Rupiah). Biaya jenis intervensi infeksi merupakan jenis biaya yang terbesar dalam pelayanan neonatal. Secara keseluruhan, kebutuhan biaya untuk pelayanan neonatal adalah Rp 670 miliar pada tahun 2008 dan Rp 860 miliar pada tahun 2015. Tabel 4.15 Total Biaya Intervensi Langsung Pelayanan Neonatal Menurut Tahun Biaya intervensi langsung (Juta Rupiah)
Jenis Pelayanan 2008
Pencegahan Asfiksia
BBLR
Infeksi/ Sepsis
5.031
2010
2011
2012
5.402
5.801
6.229
2013
6.688
2014
7.182
2015
7.711
Ringan
16.023
16.632
17.243
17.854
18.461
19.061
19.649
20.219
Sedang
42.061
43.659
45.263
46.867
48.461
50.035
51.578
53.075
Berat
56.081
58.212
60.351
62.490
64.615
66.714
68.770
70.767
Ringan
17.921
18.602
19.285
19.968
20.648
21.318
21.975
22.614
Sedang
137.744
153.189
158.819
164.446
170.039
175.562
180.974
186.230
Berat
39.355
40.850
42.352
43.852
45.344
46.817
48.260
49.661
Ringan
44.978
46.686
48.402
50.117
51.821
53.505
55.154
56.756
Sedang
147.583
153.189
158.819
164.446
170.039
175.562
180.974
186.230
Berat
147.583
153.189
158.819
164.446
170.039
175.562
180.974
186.230
Tetanus Total
90
4.685
2009
14.758
15.319
15.882
16.445
17.004
17.556
18.097
18.623
668.772
704.557
730.637
756.732
782.699
808.379
833.588
858.116
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
2.
Pelayanan Imunisasi
Pelayanan imunisasi yang direkomendasikan saat ini adalah untuk BCG, polio, DPT/HB, HB Uniject dan campak pada bayi. Jumlah sasaran, jumlah safety box, dan cakupan untuk pelayanan imunisasi menurut tahun ditunjukkan di dalam Tabel 4.16 di bawah ini. Selain itu, safety box merupakan tempat penyimpanan jarum suntik yang digunakan dalam imunisasi agar tidak digunakan berulang. Target cakupan imunisasi pada tahun 2008 kecuali untuk DPT masih di bawah 100 persen. Diharapkan cakupan 100 persen akan dicapai pada tahun 2009 untuk BCG dan tahun 2011 untuk DPT HB Uniject dan campak. Tabel 4.16 Kebutuhan Safety Box dan Target Cakupan Imunisasi Bayi Menurut Tahun Tahun
Jumlah Safety Box
Jumlah Sasaran (bayi)
BCG
Polio
DPT
HB Uniject
Campak
2008 2009
346.459 355.137
4.685.161 4.746.068
98 100
100 100
90 95
80 85
90 95
2010 2011
360.044 364.023
4.807.765 4.870.268
100 100
100 100
98 100
90 100
98 100
2012 2013
368.138 371.218
4.933.582 4.997.718
100 100
100 100
100 100
100 100
100 100
2014
373.755
5.062.689
100
100
100
100
100
2015
378.453
5.128.504
100
100
100
100
100
Target Cakupan (persen)
Tabel di bawah ini menunjukkan satuan biaya imunisasi per anak per tahun berdasarkan survei Finance Sustainability Plan oleh Depkes dan GAVI tahun 2004-2005. Satuan biaya 2008 dihitung berdasarkan satuan biaya pada tahun 2005 yang telah disesuaikan dengan inflasi tahun 2006 dan 2007. Biaya satuan operasional meliputi biaya rutin operasional dan biaya modal operasional. Biaya rutin operasional adalah transport petugas ke posyandu untuk melakukan sweeping atau petugas pusat, petugas provinsi dan petugas kabupaten/kota untuk melakukan pemantauan dan supervisi, pelayanan di fasilitas kesehatan, distribusi vaksin, pemeliharaan cold chain, pelatihan petugas, sosialisasi, manajemen program dan riset. Sementara biaya modal operasional antara lain adalah penggantian cold chain dan alat tranportasi. Tabel 4.17 Satuan Biaya Imunisasi Menurut Tahun Satuan Biaya per anak (rupiah)
Tahun
Biaya per safety box (rupiah)
BCG
Polio
DPT
HB Uniject
Campak
2008
8.000
17.485
46.977
73.008
29.011
17.062
2009
8.480
18.535
49.796
77.389
30.752
18.086
2010
8.989
19.647
52.784
82.032
32.597
19.171
2011
9.528
20.825
55.951
86.954
34.553
20.321
2012
10.100
22.075
59.308
92.171
36.626
21.540
2013
10.706
23.399
62.866
97.702
38.824
22.833
2014
11.348
24.803
66.638
103.564
41.153
24.203
2015
12.029
26.292
70.636
109.778
43.622
25.655
91
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Sedangkan biaya satuan safety box dihitung terpisah. Biaya satuan tersebut disesuaikan dengan inflasi rata-rata tiap tahun sebesar 6 persen. Secara rinci unit cost tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.17. Biaya imunisasi DPT merupakan jenis imunisasi yang biaya satuannya tertinggi. Campak merupakan jenis imunisasi yang biaya satuannya paling rendah di antara berbagai jenis imunisasi dasar. Berdasarkan data dari Tabel 4.16 dan Tabel 4.17 di atas maka kebutuhan total biaya imunisasi dapat dilihat pada Tabel 4.18. Biaya pelayanan imunisasi akan mengalami peningkatan hampir dua kali lipat pada tahun 2015 (Rp 792 miliar) dibandingkan kebutuhan pada 2008 (Rp 1,4 triliun). Peningkatan ini terjadi karena peningkatan jumlah sasaran dan terjadinya peningkatan biaya satuan akibat inflasi. Tabel 4.18 Total Biaya Intervensi Langsung Pelayanan Imunisasi Tahun 2008-2015 Biaya (Juta Rupiah) Tahun
3.
Safety Box
BCG
Polio
DPT
HB Uniject
Campak
Total
2008
2.772
80.284
220.096
307.850
108.738
71.945
791.685
2009
3.012
87.966
236.335
348.928
124.059
81.545
881.844
2010
3.236
94.456
253.771
386.503
141.048
90.326
969.341
2011
3.468
101.425
272.495
423.490
168.282
98.970
1.068.131
2012
3.718
108.909
292.600
454.735
180.698
106.272
1.146.931
2013
3.974
116.944
314.188
488.285
194.030
114.112
1.231.533
2014
4.241
125.572
337.368
524.311
208.346
122.532
1.322.370
2015
4.552
134.837
362.259
562.994
223.717
131.572
1.419.933
Pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Jenis pelayanan MTBS yang dihitung dalam kajian ini adalah pelayanan promosi kesehatan melalui posyandu, diare, ISPA pneumonia, malaria, campak, gizi kurang, pelayanan gizi (vitamin A, besi, mikronutrien) pengobatan parasit cacing, dan perawatan rujukan. Perhitungan sasaran dilakukan dengan menggunakan data dasar prevalensi tahun 2003 (SKRT 2003) kemudian disesuaikan dengan sasaran yang ingin dicapai. Sedangkan biaya satuan menggunakan data tahun 2007 dan untuk tahun berikutnya disesuaikan dengan inflasi. Sasaran promosi di posyandu ditingkatkan secara bertahap sejak tahun 2008 sehingga pada tahun 2015 semua posyandu (200 ribu unit) sudah memperoleh program revitalisasi posyandu. Prevalensi diare, ISPA, dan kurang gizi berat diasumsikan setiap tahun mengalami penurunan sebesar 0,5 persen. Sedangkan prevalensi campak diasumsikan tetap. Sedangkan prevalensi malaria dan TB diasumsikan turun sebesar 0,15 persen setiap tahun. Sementara target vitamin A, pengobatan cacing dan perawatan rujukan dianggap sama prevalensinya selama 8 tahun ke depan (Tabel 4.19). Biaya satuan diasumsikan sama kecuali inflasi sebesar 6 persen per tahun.
92
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.19 Jumlah Kasus yang Menjadi Fokus MTBS Menurut Tahun (dalam Ribuan Rupiah) Jenis Pelayanan
2008
Pomosi (poskesdes)
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
70
80
100
120
140
160
180
200
Diare +zinc 10 h
2.264
2.168
2.073
1.973
1.873
1.773
1.673
1.570
Ispa (pneumonia)
5.969
5.886
5.804
5.712
5.620
5.529
5.436
5.339
412
382
352
322
291
261
230
209
41
41
41
42
42
42
42
42
412
382
352
322
291
261
230
209
2.058
1.859
1.658
1.454
1.249
1.147
1.045
942
Malaria Campak'+3 dosis Vit A TB KEP + Vit A Pelayanan Gizi
-
-
-
-
-
-
-
-
Vitamin A
20.582
20.652
20.728
20.771
20.816
20.863
20.908
20.938
Besi
10.291
9.810
9.327
8.828
8.326
7.824
7.318
6.805
Mikronutrien Cacing (albendazol) DBD Perawatan Rujukan
2.058
2.065
2.073
2.077
2.082
2.086
2.091
2.094
20.582
20.652
20.728
20.771
20.816
20.863
20.908
20.938
82
58
40
28
20
14
10
7
112
107
103
98
94
90
87
83
Tabel 4.20 menunjukkan biaya rata-rata per kasus dari jenis pelayanan MTBS. Setiap tahun disesuaikan dengan inflasi rata-rata sebesar 6 persen per tahun. Tabel 4.20 Biaya Rata-Rata Per Kasus (dalam Ribuan Rupiah) Jenis Pelayanan
Pomosi (poskesdes) Diare +zinc 10 h
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
1.800
1.908
2.022
2.144
2.272
2.409
2.553
2.707
15
16
17
18
19
20
21
23 15
Ispa (pneumonia)
10
11
11
12
13
13
14
Malaria
34
36
38
40
43
45
48
51
campak'+3 dosis Vit A
15
16
17
18
19
20
21
23
122
130
137
146
154
164
173
184
1.620
1.717
1.820
1.929
2.045
2.168
2.298
2.436
-
-
-
-
-
-
-
-
0,40
0,42
0,45
0,48
0,50
0,54
0,57
0,60
9
10
10
11
11
12
13
14
27
29
30
32
34
36
38
41
2
2
2
2
3
3
3
3
600
636
674
715
757
803
851
902
4.800
5.088
5.393
5.717
6.060
6.423
6.809
7.217
TB KEP + Vit A Pelayanan Gizi Vitamin A Besi Mikronutrien Cacing (albendazol) DBD Perawatan Rujukan
Total kebutuhan biaya pelayanan MTBS dapat dilihat pada Tabel 4.21. Biaya MTBS ini dapat lebih ditekan lagi bila kasus-kasus tersebut atau prevalensinya menurun cukup tajam. Penurunan prevalensi ini sangat ditentukan oleh kondisi sanitasi dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, intervensi sanitasi yang cukup memadai terutama kepada keluarga miskin dapat menekan belanja untuk pengobatan MTBS. Sementara perubahan perilaku dapat dimulai dengan kegiatan promosi yang cukup memadai pula. Kebutuhan biaya pelayanan gizi merupakan komponen biaya yang proporsinya paling besar (76 persen) dari intervensi MTBS
93
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
pada tahun 2008, namun hanya 59 persen pada tahun 2015. Pada kajian ini, intervensi gizi diberikan kepada balita selama 6 bulan. Kebutuhan biaya intervensi MTBS pada tahun 2008 sebesar Rp 4,4 triliun pada tahun 2008 turun menjadi Rp 3,9 triliun pada tahun 2015. Tabel 4.21 Total Biaya Intervensi Langsung Pelayanan MTBS (dalam Jutaan Rupiah) Jenis Pelayanan
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
126.000
152.640
202.248
257.259
318.144
385.409
459.600
541.307
Diare +zinc 10 h
33.960
34.479
34.934
35.253
35.477
35.597
35.589
35.418
Ispa (pneumonia)
59.688
62.391
65.211
68.032
70.955
73.986
77.110
80.281
Malaria
13.996
13.770
13.461
13.037
12.509
11.866
11.092
10.704
617
657
699
742
788
838
890
944
50.298
49.486
48.378
46.854
44.955
42.644
39.863
38.469
Pomosi (poskesdes)
campak'+3 dosis Vit A TB KEP + Vit A
3.334.284 3.191.772 3.018.338 2.805.397 2.554.364 2.487.619 2.402.284 2.295.090
Pelayanan Gizi Vitamin A
-
-
-
-
-
-
-
-
8.233
8.757
9.316
9.896
10.512
11.168
11.863
12.593
Besi
92.619
93.586
94.323
94.626
94.606
94.228
93.422
92.087
Mikronutrien
55.571
59.107
62.882
66.795
70.955
75.382
80.076
85.003
Cacing (albendazol)
41.164
43.783
46.579
49.478
52.559
55.839
59.316
62.965
DBD
49.397
36.652
27.196
20.180
14.973
11.110
8.244
6.117
535.461
545.360
554.480
561.673
567.637
578.937
589.360
599.935
Perawatan Rujukan Total
4.401.289 4.292.438 4.178.046 4.029.223 3.848.434 3.864.622 3.868.710 3.860.913
Total pelayanan langsung kesehatan anak dapat diringkas pada Tabel 4.22. Pelayanan MTBS merupakan jenis pelayanan yang membutuhkan biaya terbesar dibandingkan pelayanan neonatus dan imunisasi. Pelayanan MTBS menyerap dana kesehatan anak 75 persen pada tahun 2008, dan turun menjadi 63 persen pada tahun 2015. Pelayanan gizi merupakan biaya yang terbesar pada pelayanan MTBS. Kebutuhan total biaya pada tahun 2008 untuk pelayanan langsung kesehatan anak adalah Rp 5,9 triliun. Sementara kebutuhan biaya untuk pelayanan langsung kesehatan anak pada tahun 2015 meningkat menjadi Rp 6,1 triliun atau meningkat 5 persen dibandingkan tahun 2008. Tabel 4.22 Total Biaya Langsung Pelayanan Kesehatan Anak Menurut Tahun Tahun
94
Biaya (Juta Rupiah) Neonatus
Imunisasi
MTBS
Total
2008
668.772
791.685
4.401.289
5.861.745
2009
704.557
881.844
4.292.438
5.878.839
2010
730.637
969.341
4.178.046
5.878.024
2011
756.732
1.068.131
4.029.223
5.854.086
2012
782.699
1.146.931
3.848.434
5.778.065
2013
808.379
1.231.533
3.864.622
5.904.534
2014
833.588
1.322.370
3.868.710
6.024.668
2015
858.116
1.419.933
3.860.913
6.138.961
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
B.
Sumber Daya Manusia
Biaya sumberdaya manusia yang dihitung di sini adalah biaya untuk pelatihan. Jenis tenaga yang dilatih meliputi dokter (umum dan ahli anak), bidan (yang bekerja pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten atau rumah sakit), perawat, dan tenaga gizi. Pelatihan perawat dan bidan diutamakan pada kemahiran resusitasi dan manajemen imunisasi. Penetapan jumlah tenaga berdasarkan asumsi sebagai berikut: 1.
Jumlah bidan baru pada tahun 2007 sebesar 15 ribu, yang direkrut menjadi bidan desa dan bidan di puskesmas perlu dilatih kembali berbagai hal yang berhubungan dengan program penurunan angka kematian ibu. Sementara untuk tahun-tahun berikutnya dilakukan pelatihan bagi bidan yang tidak mendapatkan pelatihan tiga tahun terakhir.
2.
Jumlah perawat diasumsikan berdasarkan jumlah rumah sakit (RS) pemerintah. Bagi setiap RS pemerintah diasumsikan dilatih 3 orang per tahun terutama yang bertugas di bagian yang berhubungan dengan perawatan ibu melahirkan. Kemudian kemampuan mereka dipelihara dengan dilatih kembali setiap 3 tahun.
3.
Tenaga gizi dipilih setiap tahun sebanyak 30 persen dari total puskesmas dan satu tenaga gizi tiap puskesmas yang dipilih sehingga setiap tiga tahun keahlian tenaga gizi dipelihara kembali dengan pelatihan ulang
4.
Satu dokter ahli anak akan dipilih dari 30 persen RS setiap tahun untuk dilatih.
5.
Pelatihan dokter umum bagi satu dokter umum dari 30 persen Puskesmas setiap tahun. Pelatihan ulangan setiap tiga tahun dilakukan untuk pemeliharaan keahlian.
6.
Kebutuhan dana untuk pelatihan bagi tenaga pelayanan neonatus dan MTBS menggunakan harga satuan tahun 2007, yaitu Rp 3 juta per pelatihan per orang dengan lama pelatihan 3 hari.
Tabel 4.23 menunjukkan perhitungan kebutuhan biaya pelatihan tenaga bidan, perawat, tenaga gizi dokter ahli anak, dan dokter umum untuk pelayanan neonatal dan MTBS. Kebutuhan tenaga bidan, perawat, gizi, ahli anak dan dokter umum yang dilatih berturut-turut adalah 10.000 orang; 1.851 orang; 2.300 orang; 205 orang; dan 2.300 orang. Jumlah yang dilatih sama setiap tahun, sedangkan yang berbeda hanyalah biaya satuan pelatihan karena disesuaikan dengan nilai prakiraan inflasi 6 persen per tahun. Tabel 4.23 Kebutuhan Biaya Pelatihan Tenaga Pelayanan Kesehatan Anak Biaya yang diperlukan (Juta Rupiah) Tahun Bidan
Perawat
Gizi
Ahli Anak
Dokter Umum
Total
2008
31.800
5.886
7.314
652
7.314
52.966
2009
33.708
6.239
7.753
691
7.753
56.144
2010
35.730
6.614
8.218
732
8.218
59.513
2011
37.874
7.011
8.711
776
8.711
63.083
2012
40.147
7.431
9.234
823
9.234
66.868
2013
42.556
7.877
9.788
872
9.788
70.881
2014
45.109
8.350
10.375
925
10.375
75.133
2015
47.815
8.851
10.998
980
10.998
79.641
95
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
C.
Sarana Kesehatan
Penghitungan sarana pelayanan kesehatan anak telah di hitung dalam sarana untuk pelayanan kesehatan ibu yaitu sarana PONED dan PONEK. Biaya sarana yang diperlukan untuk imunisasi juga telah dihitung dalam penghitungan biaya imunisasi dalam komponen biaya satuan pelayanan langsung.
D. Tabel 4.24 Kebutuhan Biaya untuk Penguatan Sistem Kesehatan
Tahun
Biaya penguatan sistem (Juta Rupiah)
2008
919.953
2009
910.105
2010
949.726
2011
990.391
2012
1.026.456
2013
1.063.220
2014
1.099.597
2015
1.130.896
Penguatan Sistem Kesehatan
Perhitungan biaya penguatan sistem kesehatan dilakukan dengan pendekatan makro yaitu 20 persen dari total biaya langsung. Biaya penguatan ini dapat diintegrasikan dengan penguatan sistem pada kesehatan ibu. Tabel 4.24 menunjukkan kebutuhan biaya untuk penguatan sistem. Biaya penguatan sistem ini digunakan untuk biaya manajemen (manajemen sumberdaya manusia, manajemen program, manajemen keuangan dan lainya), monitoring, evaluasi, quality assurance, pengembangan dan penelitian riset dasar dan operasional. E.
Total Biaya Kesehatan Anak
Kebutuhan biaya keseluruhan untuk penurunan kematian neonatal, bayi, dan balita pada tahun 2008 sebesar Rp 7 triliun atau 31.114 rupiah atau US $ 3,4 per kapita. Kebutuhan pada tahun 2015 adalah sebesar Rp 7,5 triliun atau naik sebesar 5 persen, sebaliknya dalam biaya per kapita terjadi penurunan (Tabel 4.25). Tabel 4.25 Total Kebutuhan Biaya Untuk Penurunan Kematian Neonatal, Bayi dan Balita
Tahun
Kebutuhan Biaya (Juta Rupiah) Langsung Tenaga Sistem
Biaya Perkapita Rupiah USD
2008 2009
5.861.745 5.878.839
52.966 56.144
1.172.349 1.175.768
7.087.060 7.110.750
31.114 30.831
3,38 3,35
2010 2011
5.878.024 5.854.086
59.513 63.083
1.175.605 1.170.817
7.113.142 7.087.986
30.466 29.992
3,31 3,26
2012 2013
5.778.065 5.904.534
66.868 70.881
1.155.613 1.180.907
7.000.546 7.156.322
29.270 29.570
3,18 3,21
2014 2015
6.024.668 6.138.961
75.133 79.641
1.204.934 1.227.792
7.304.735 7.446.395
29.838 30.078
3,24 3,27
Keterangan: USD 1 = Rp.9.200
96
Total
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
4.3.1.2
Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
Penghitungan pembiayaan untuk meningkatkan kesehatan ibu difokuskan pada upaya-upaya untuk menurunkan angka kematian ibu. Intervensi pelayanan kesehatan ibu ditujukan untuk mencegah dan menangani penyebab kematian ibu yang meliputi perdarahan, infeksi, komplikasi nifas, partus macet/lama, dan abortus. Kematian karena penyebab tersebut makin tinggi karena terjadi 3 terlambat yaitu terlambat deteksi dini risiko tinggi dan mengambil keputusan. terlambat mencapai fasilitas kesehatan. dan terlambat mendapat pertolongan di fasilitas kesehatan. Di samping tiga terlambat, terdapat juga 4 terlalu sehingga meningkatkan risiko kematian ibu yaitu terlalu banyak anak, terlalu muda, terlalu dekat jarak kelahiran sekarang dengan sebelumnya, dan terlalu tua untuk melahirkan. Tabel 4.26 Sasaran dan Cakupan Kesehatan Ibu Jenis Sasaran
Penduduk
Jumlah Sasaran Menurut Tahun (dalam ribuan) 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
227.779
230.633
233.477
236.331
239.174
242.014
244.815
247.572
Bumil
4.685
4.719
4.726
4.705
4.736
4.712
4.659
4.711
Bulin
4.472
4.504
4.511
4.491
4.520
4.498
4.447
4.497
Bufas
4.259
4.290
4.296
4.278
4.305
4.284
4.235
4.283
PUS
38.722
39.208
39.691
40.176
40.660
41.142
41.619
42.087
Penduduk Miskin
77.445
69.190
70.043
70.899
65.773
66.554
67.324
61.893
Bulin Miskin
1.472
1.351
1.353
1.347
1.243
1.237
1.223
1.124
Komplikasi
703
708
709
706
710
707
699
707
Perlu operasi
117
142
165
188
237
236
233
236
Bumil Malaria
47
47
47
47
47
47
47
47
703
708
709
471
474
471
466
471
Bumil Anemia
2.343
2.359
2.363
2.353
2.368
2.356
2.329
2.356
Target K1
4.353
4.436
4.489
4.517
4.594
4.618
4.612
4.711
Target K4
3.959
4.247
4.253
4.282
4.357
4.382
4.379
4.476
Target Pn
3.779
3.919
4.060
4.132
4.204
4.228
4.225
4.272
Target Pn di Fasilkes
2.281
2.522
2.752
2.919
3.164
3.328
3.469
3.598
Target KN
3.625
3.758
3.866
3.935
4.004
4.027
4.024
4.069
Target PK
492
531
567
579
597
608
615
671
Bumil KEK
Target PK RS
344
372
397
405
418
425
430
470
Target PK Pusk
148
159
170
174
179
182
184
201
Target PK tanpa Sc
471
503
532
543
554
558
566
622
21
28
35
35
43
49
49
49
23.621
24.701
25.799
26.918
28.055
29.211
30.382
31.565
2.645
2.939
3.248
3.512
3.573
4.017
4.013
4.272
Target Sc Target KB Target KB postpartum Alat kontrasepsi Imunisasi TT Malaria bumil dan nifas PMT Bumil KEK Pemberian Fe bumil
147
135
135
135
124
124
122
112
3.959
4.247
4.253
4.282
4.357
4.382
4.379
4.476
23
28
35
42
45
45
47
47
351
460
532
376
403
424
443
471
3.959
4.247
4.253
4.282
4.357
4.382
4.379
4.476
97
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Perhitungan biaya kesehatan ibu ini dikelompokkan dalam beberapa kelompok biaya. Intervensi langsung meliputi antenatal care (ANC), persalinan, nifas, dan keluarga berencana (kontrasepsi). Sementara penanganan aborsi merupakan bagian dari rujukan atau komplikasi kehamilan lainnya. Pelayanan PONED dan PONEK dimasukkan dalam pelayanan rujukan. Kelompok sumberdaya yang meliputi tenaga kesehatan, infrastruktur dan penguatan sistem kesehatan. Data-data dasar yang digunakan dalam perhitungan ini berasal dari BPS, Depkes (SKRT dan Profil kesehatan 2004). Namun banyak satuan biaya dari kesehatan ibu ini tidak tersedia sehingga tim menggunakan asumsi-asumsi berdasarkan konsultasi dengan penanggung jawab program kesehatan ibu di Depkes. Selain itu, tim juga menggunakan satuan biaya berdasarkan paket pelayanan kesehatan penduduk miskin (Askeskin). Data-data dasar yang berkaitan dengan jumlah penduduk diperoleh dari Proyeksi Penduduk (BPS, Bappenas, dan UNFPA (2006)) dan data sasaran diperoleh dari proyeksi dari Departemen Kesehatan yang juga diproyeksi dari data poyeksi penduduk. Rincian mengenai asumsi perhitungan sasaran dalam program peningkatan kesehatan ibu dapat dilihat pada Tabel 4.26.
A.
98
Pelayanan Langsung
1.
Antenatal care (ANC). Pelayanan antenatal care meliputi pelacakan ibu hamil, pelayanan antenatal care empat kali, imunisasi TT ibu hamil, pemberian tablet besi, penanganan ibu hamil kekurangan energi kronik, pemeriksaan Hb dan protein urin, penanganan malaria ibu hamil termasuk ibu yang dirawat, serta transportasi petugas ANC (outreach) dengan cakupan 10 persen dari target kunjungan pertama. Besarnya satuan biaya menggunakan tahun dasar 2007 yang kemudian disesuaikan dengan inflasi. Perhitungan satuan biaya ini sudah termasuk biaya insentif petugas.
2.
Persalinan. Biaya persalinan besarnya dua kali lipat dari pada biaya ANC (lihat tabel). Besarnya biaya persalinan karena persalinan banyak melakukan tindakantindakan sehingga biaya besar pengeluaran untuk bahan habis pakai, jasa/insentif petugas, dan lainya. Unit cost penanganan komplikasi merujuk kepada biaya rata-rata yang dikeluarkan dalam program Askeskin. Sementara biaya habis pakai meliputi pengeluaran untuk kasa, alkohol, betadin, oksitosin, cat gut, vitamin A, Vit K, tetes mata, sarung tangan spuit, dan klorin.
3.
Pelayanan Nifas. Jenis kegiatan utama dalam pelayanan nifas adalah kunjungan kepada ibu nifas untuk memeriksa kondisi rahim dan kesehatan anak. Kunjungan nifas ini sangat berguna dalam memotivasi ibu untuk memberikan ASI eksklusif, imunisasi, dan kebersihan (perilaku hidup bersih dan sehat). Komponen biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan nifas ini meliputi jasa, tranportasi petugas dan pelaporan.
4.
Keluarga Berencana. Pelayanan keluarga berencana meliputi pelayanan kontrasepsi dan non kontrasepsi. Pelayanan kontrasepsi meliputi pelayanan penggunaan berbagai alat kontrasepsi (pil, suntik, kondom, dan IUD) dan tindakan kontrasepsi lainnya. Perhitungan satuan biaya untuk pelayanan kontrasepsi terdiri dari biaya alat
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
kontrasepsi dan jasa tindakan medis. Perhitungan satuan biaya pada Tabel 4.27 di bawah ini merupakan satuan biaya rata-rata dari berbagai alat kontrasepsi termasuk biaya tindakan dan bahan habis pakai. Sasaran dalam program keluarga berencana ini dihitung hanya untuk penduduk miskin saja karena program keluarga berencana nasional sudah memasuki fase mandiri kecuali bagi penduduk miskin.
Tabel 4.27 Perhitungan Kebutuhan Biaya Pelayanan Langsung Jenis Pelayanan ANC
Satuan Biaya(Rp)
Kebutuhan Biaya (Juta Rupiah) 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Pelayanan Antenatal Pelacakan bumil Pemeriksaan Kehamilan Imunisasi TT Pemberian Fe Tes (kehamilan, Hb, Protein) Bumil KEK Malaria pada bumil Malaria yang dirawat Tranpor petugas ANC Jumlah
50.000 50.000 35.840 36.000 30.000 240.000 50.000 300.000 50.000
248.327 265.099 281.412 297.020 316.868 334.204 350.258 375.455 230.696 249.193 267.342 285.139 307.362 327.520 346.755 375.455 150.411 171.021 181.545 193.743 208.961 222.788 236.001 255.670 151.082 171.784 182.091 194.608 209.894 223.783 237.054 256.811 148.996 159.059 168.847 178.212 190.121 200.522 210.155 225.273 178.795 190.871 202.617 142.570 152.097 160.418 168.124 180.218 2.483 2.651 2.814 2.970 3.169 3.342 3.503 3.755 7.450 9.544 12.664 16.039 18.062 19.050 21.015 22.527 23.070 24.919 26.734 28.514 30.736 32.752 34.676 37.546 1.141.310 1.244.142 1.326.066 1.338.815 1.437.270 1.524.378 1.607.540 1.732.710
Pelayanan Persalinan Pertolongan Persalinan Bahan habis pakai Penanganan Komplikasi Penanganan caesar Tranpor Rujukan Jumlah
300.000 1.259.018 1.431.535 1.519.626 1.621.730 2.040.633 2.175.666 2.304.696 2.496.776 150.000 629.509 715.768 759.813 810.865 874.557 932.428 987.727 1.070.047 500.000 249.569 282.331 316.589 343.058 370.736 396.031 425.563 495.601 2.500.000 55.874 79.530 105.530 111.383 142.591 175.457 183.885 197.114 200.000 148.996 159.059 168.847 178.212 190.121 200.522 210.155 225.273 2.342.966 2.668.222 2.870.405 3.065.248 3.618.638 3.880.105 4.112.025 4.484.810
Pelayanan Nifas Kunjungan Nifas Tranport Jumlah
50.000 50.000
200.298 12.089 212.387
220.153 14.171 234.324
241.759 16.386 258.145
260.838 18.429 279.266
281.293 21.173 302.465
299.872 23.607 323.479
317.620 26.078 343.698
340.469 28.671 369.141
Pelayanan Keluarga Berancana Alat dan lainnya Jumlah
150.000 1.860.157 1.996.468 2.142.359 2.298.659 2.465.890 2.644.875 2.836.016 3.042.784 1.860.157 1.996.468 2.142.359 2.298.659 2.465.890 2.644.875 2.836.016 3.042.784
Jumlah untuk Pelayanan Langsung
5.556.820 6.143.156 6.596.974 6.981.989 7.824.263 8.372.837 8.899.280 9.629.445
Secara umum perhitungan biaya ini sama dengan kesehatan anak. Yang membedakan hanya biaya tenaga kesehatan digabungkan di kesehatan ibu. Perhitungan biaya satuan ini juga dilakukan dengan menggunakan rincian biaya dari seluruh biaya yang dikeluarkan (misalnya ANC) dan paket (misalnya persalinan). Kebutuhan biaya untuk pelayanan ANC (pelacakan ibu hamil (bumil), pemeriksaan kehamilan, pemberian imunisasi TT dan tablet besi, pemeriksaan laboratorium (kehamilan, HB, protein urin), pemberian gizi pada ibu hamil kurang energi dan protein, perawatan malaria dan tranportasi petugas, membutuhkan biaya pada tahun 2008 sebesar Rp 1,14 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp 1,7 triliun atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun 2008.
99
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Sedangkan kebutuhan untuk persalinan 2008 mencapai 2 kali biaya pelayanan ANC 2008. Selain itu, biaya persalinan tahun 2015 mencapai 2,5 kali biaya pelayanan ANC pada tahun yang sama. Kebutuhan biaya untuk pelayanan nifas hanya sebesar Rp 212 miliar pada tahun 2008 dan Rp 370 miliar pada tahun 2015. Kebutuhan pelayanan Keluarga Berencana melalui penggunaan kontrasepsi memerlukan biaya sebesar Rp 1,9 triliun pada tahun 2008 dan Rp 3 triliun pada tahun 2015. Kebutuhan biaya keseluruhan untuk pelayanan langsung kesehatan ibu adalah Rp 5,6 triliun pada tahun 2008 dan Rp 9,6 triliun pada tahun 2015. Kebutuhan biaya pada tahun 2015 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan kebutuhan biaya pada tahun 2015. Seluruh kebutuhan biaya pelayanan kesehatan ibu mengalami peningkatan karena secara umum terjadi peningkatan sasaran. Besarnya kenaikan dana ini sangat tergantung dari keberhasilan program keluarga berencana pada tahun 2008 sampai dengan 2010. Bila angka penggunaan kontrasepsi meningkat satu persen saja akan mampu menurunkan angka kehamilan dan kelahiran sampai ratusan ribu per tahun. B.
Sumber Daya Manusia
Biaya sumberdaya manusia yang dihitung di sini hanyalah biaya untuk pelatihan. Pelatihan diberikan kepada dokter umum, dokter spesialis kebidanan/kandungan, dan bidan baik yang bekerja di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten (rumah sakit). Penghitungan biaya pelatihan ini dilakukan berdasarkan asumsi sebagai berikut:
100
1.
Jumlah bidan baru pada tahun 2007 sebesar 15 ribu orang. Bidan desa dan bidan di puskesmas yang baru direkrut perlu dilatih kembali terutama tentang APN dan hal lain yang berhubungan dengan program penurunan angka kematian ibu. Sementara untuk tahun-tahun berikutnya, pelatihan dilakukan pada bidan yang tidak mendapatkan pelatihan tiga tahun terakhir.
2.
Jumlah perawat yang dilatih dihitung berdasarkan jumlah RS pemerintah. Dari setiap rumah sakit pemerintah, setiap tahun dilatih 3 perawat terutama yang bertugas di bagian yang berhubungan dengan perawatan ibu melahirkan. Pelatihan ini diulang setiap 3 tahun.
3.
Tenaga gizi yang dilatih adalah satu orang per puskesmas dari 30 persen dari total puskesmas. Setiap tiga tahun keahlian mereka dipelihara kembali dengan mendapatkan pelatihan ulang. Namun karena keterbatasan jumlah tenaga saat ini, maka jumlah yang dilatih hanya sebesar 1.500 tenaga gizi setiap tahunnya.
4.
Untuk tenaga analisis, setiap tahun dilatih satu analis dari 30 persen RS pemerintah dan. Analis yang bertugas di RS terutama yang berhubungan dengan tranfusi darah.
5.
Asumsi dokter ahli kebidanan dan kandungan juga mirip dengan dengan asumsi tenaga analis di mana setiap tahun dipilih 30 persen RS dan setiap RS yang terpilih satu dokter spesialis.
6.
Pelatihan dokter umum adalah dokter yang bertugas di Puskesmas di mana setiap tahun dipilih 30 persen puskesmas dan setiap puskesmas dipilih 1 orang dokter umum. Demikian juga dengan pemeliharaan keahlian mereka setiap 3 tahun.
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Sesuai asumsi-asumsi di atas, jumlah tenaga kesehatan yang dilatih dapat dilihat pada Tabel 4.28. Setiap tahun diasumsikan jumlah tenaga yang dilatih sama. Tenaga bidan merupakan tenaga yang paling besar dilatih setiap tahun karena tenaga bidan merupakan tenaga terdepan dalam upaya penurunan angka kematian ibu melalui ANC dan persalinan. Tabel 4.28 Jumlah dan Jenis Tenaga Kesehatan yang Dilatih dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu Jenis Tenaga
Bidan/bidan Desa
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
15.000
15.000
15.000
15.000
15.000
15.000
15.000
15.000
Perawat
1.950
1.950
1.950
1.950
1.950
1.950
1.950
1.950
Gizi
1.500
1.500
1.500
1.500
1.500
1.500
1.500
1.500
Analis Kesehatan
200
200
200
200
200
200
200
200
SpOG
200
200
200
200
200
200
200
200
2.000
2.000
2.000
2.000
2.000
2.000
2.000
2.000
Dokter umum
Sesuai dengan jumlah tenaga seperti tercantum pada Tabel 4.28, maka jumlah kebutuhan dana untuk pelatihan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.29. Biaya rata pelatihan asumsikan sebesar Rp 6 juta per orang untuk pelatihan selama 6 hari. Makin tinggi jumlah tenaga yang dilatih makin tinggi dana yang dibutuhkan. Tenaga bidan menyerap sekitar 70 persen dari seluruh biaya pelatihan karena merupakan komponen tenaga yang paling besar. Total kebutuhan dana pelatihan tenaga kesehatan dalam upaya penurunan angka kematian ibu adalah Rp 133 miliar pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 199 miliar pada tahun 2015. Tabel 4.29 Kebutuhan Biaya Tenaga Kesehatan Dalam Penurunan Angka Kematian Ibu Biaya yang diperlukan (Juta Rupiah)
Tahun Bidan
Perawat
Gizi
Analis
SpOG
Dokter Umum
Total
2008
95.400
12.402
9.540
1.272
1.272
12.720
132.606
2009
101.124
13.146
10.112
1.348
1.348
13.483
140.562
2010
107.191
13.935
10.719
1.429
1.429
14.292
148.996
2011
113.623
14.771
11.362
1.515
1.515
15.150
157.936
2012
120.440
15.657
12.044
1.606
1.606
16.059
167.412
2013
127.667
16.597
12.767
1.702
1.702
17.022
177.457
2014
135.327
17.592
13.533
1.804
1.804
18.044
188.104
2015
143.446
18.648
14.345
1.913
1.913
19.126
199.390
C.
Infrastruktur
Infrastruktur atau sarana yang perlu dilengkapi dalam pelayanan kesehatan ibu seperti bidan kit, pos kesehatan desa (poskesdes), penanganan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK), dan penanganan obstetri dan neonatal emergensi dasar (PONED). Jenis sarana untuk PONEK meliputi bank darah, alat seksio-sesaria, dan alat untuk perawatan anak. Sedangkan sarana PONED meliputi alat persalinan dan resusitasi bayi serta perawatan
101
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
neonatal setingkat puskesmas. Besarnya jumlah sarana dan alat pada tahun 2008 adalah sebagai upaya percepatan penurunan AKI dan untuk Poskesdes disesuaikan dengan jumlah Desa Siaga. Target rumah sakit PONEK adalah seluruh Rumah sakit milik pemerintah. dengan akselerasi yang tinggi di tahun-tahun awal. Demikian pula pengembangan Puskesmas PONED dilakukan dengan cepat pada tahun-tahun awal untuk mengejar target MPS sebesar 4 Puskesmas PONED per kabupaten/kota pada tahun 2010. Setelah itu pertambahan pengembangan Puskesmas PONED dilakukan secara bertahap hingga mencapai 50 persen dari seluruh Puskesmas yang ada saat ini. Target jumlah sarana dan alat yang akan disediakan sampai dengan tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4.30 Tabel 4.30 Satuan Biaya dan Jumlah Sarana dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu Satuan biaya (Juta Rupiah)
Jenis
Jumlah sarana yang diperlukan 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
165
190
24
24
24
24
24
24
RS PONEK
250
Unit Transfusi Darah
250
165
190
23
24
24
24
24
24
60
1.388
240
240
240
320
320
320
320
Bidan Kit
3
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
10.000
Poskesdes
30
27.000
20.000
23.000
Pusk Poned
Besaran kebutuhan biaya untuk sarana di atas sesuai dengan asumsi biaya satuan yang telah disesuaikan dengan inflasi dapat dilihat pada Tabel 4.31 di bawah ini. Kebutuhan paling besar untuk sarana ini terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 1 triliun, kemudian secara signifikan terjadi penurunan menjadi Rp 97 miliar pada tahun 2015. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan ini adalah pembangunan sarana poskesdes sejak tahun 2011 sampai 2015 sudah tidak terbangun lagi karena semua desa sudah terisi dengan sarana poskesdes. Skema ini bisa berubah sesuai dengan kondisi pendanaan pemerintah. Tabel 4.31 Kebutuhan Biaya Untuk Peningkatan Infrastruktur Pelayanan Kesehatan Ibu Tahun
102
Biaya (Juta Rupiah) RS PONEK
UTD Darah
Pusk Poned
Bidan Kit
Poskesdes
Total
2008
43.725
43.725
88.277
31.800
858.600
1.066.127
2009
53.371
53.371
16.180
33.708
674.160
830.790
2010
7.146
6.848
17.151
35.730
821.801
888.677
2011
7.575
7.575
18.180
37.874
-
71.204
2012
8.029
8.029
25.694
40.147
-
81.899
2013
8.511
8.511
27.236
42.556
-
86.813
2014
9.022
9.022
28.870
45.109
-
92.022
2015
9.563
9.563
30.602
47.815
-
97.544
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
D.
Penguatan Sistem Kesehatan
Tabel 4.32 menunjukkan kebutuhan biaya untuk penguatan sistem yang meliputi biaya pemberdayaan. manajemen (perencanaan, supervisi, monitoring, dan Tahun Biaya (Juta Rupiah) evaluasi) dan riset dengan asumsi sebesar 20 persen dari 2008 1.111.364 pelayanan langsung setelah disesuaikan dengan inflasi 6 2009 1.228.631 persen. Kebutuhan biaya penguatan sistem setiap tahun 2010 1.319.395 terjadi peningkatan sesuai dengan kebutuhan untuk 2011 1.396.398 melaksanakan pelayanan langsung. Besarnya asumsi 20 2012 1.564.853 2013 1.674.567 persen ini didasari kebutuhan tidak langsung untuk 2014 1.779.856 menunjang operasional dibutuhkan antara 20 - 35%. 2015 1.925.889 Berhubung pelayanan kesehatan ibu dan anak dapat diintegrasikan maka kebutuhan untuk penguatan sistem kesehatan ibu dapat dipenuhi sekitar 20%. Tabel 4.32 Kebutuhan Biaya Penguatan Sistem
E.
Rekapitulasi Kebutuhan Biaya Kesehatan Ibu
Kebutuhan keseluruhan biaya kesehatan ibu yang meliputi biaya langsung, pelatihan, sarana, dan penguatan sistem kesehatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Hasil pada Tabel 4.33 sudah disesuaikan dengan inflasi rata-rata 6% per tahun. Pada tahun 2008, pelayanan kesehatan ibu dalam upaya penurunan angka kematian ibu membutuhkan dana sebesar 7,9 triliun rupiah yang meliputi kebutuhan langsung Rp 5,6 triliun, tenaga Rp 133 miliar, infrastruktur Rp 1 triliun dan penguatan sistem Rp 1,1 triliun. Pada tahun 2015, total kebutuhan dana untuk pelayanan kesehatan ibu naik sebesar 51% menjadi Rp 11,9 triliun. Porsi pelayanan langsung menghabiskan biaya rata-rata sebesar 78% dari total kebutuhan dana. Porsi pelayanan langsung makin meningkat seiring dengan meningkatnya tahun pelaksanaan. Tabel 4.33 Total Kebutuhan Biaya Pelayanan Kesehatan Ibu Biaya (Juta Rupiah) Tahun
Langsung
Tenaga
Infrastruktur
Penguatan sistem
Total
Per Kapita Penduduk
2008
5.556.820
132.606
1.066.127
1.111.364
7.866.917
34.537
2009
6.143.156
140.562
830.790
1.228.631
8.343.140
36.175
2010
6.596.974
148.996
888.677
1.319.395
8.954.042
38.351
2011
6.981.989
157.936
71.204
1.396.398
8.607.526
36.421
2012
7.824.263
167.412
81.899
1.564.853
9.638.427
40.299
2013
8.372.837
177.457
86.813
1.674.567
10.311.675
42.608
2014
8.899.280
188.104
92.022
1.779.856
10.959.263
44.766
2015
9.629.445
199.390
97.544
1.925.889
11.852.268
47.874
103
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
4.3.1.3 4.3.1.3.1
Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya Penanggulangan HIV/AIDS
Perhitungan biaya HIV-AIDS didasarkan pada perhitungan biaya yang telah dilakukan oleh Depkes berdasarkan model yang dikembangkan oleh USAID dan The Future International Groups. Pada dasarnya penghitungan dilakukan dalam empat kelompok biaya yaitu pelayanan HIV-AIDS langsung, sumber daya manusia. infrastruktur (sarana kesehatan). dan penguatan sistem kesehatan. Tim juga menguraikan menurut jenis-jenis intervensi seperti yang direkomendasikan oleh UN Millennium Development Goals. Sebelum dilakukan perhitungan kebutuhan biaya diperkirakan data prevalensi dari HIV-AIDS. Tabel 4.34 di bawah ini menunjukkan prevalensi dan estimasi dari kasus HIV menurut tahun (Depkes 2007). Tabel 4.34 Estimasi Prevalensi dan Kasus HIV Menurut Tahun
Tahun
Prevalensi HIV dewasa (15 – 49 th)
Penduduk (15 – 49 th)
Estimasi Kasus HIV Dewasa (1549 th)
Prevalensi HIV Ibu Hamil (bumil)
Jumlah Bumil
Estimasi Kasus pada Bumil
Total Kasus
2008
0,23%
126.069.394
286.630
0,23%
4.685.416
10.652
297.282
2009
0,25%
128.419.257
325.628
0,25%
4.718.745
11.965
337.592
2010
0,28%
130.754.053
368.126
0,28%
4.725.583
13.304
381.430
2011
0,31%
133.654.600
416.319
0,31%
4.705.356
14.656
430.976
2012
0,34%
134.605.300
462.946
0,34%
4.735.651
16.287
479.232
2013
0,38%
135.508.600
514.389
0,38%
4.712.009
17.886
532.275
2014
0,42%
136.315.300
571.794
0,42%
4.658.828
19.542
591.335
2015
0,46%
137.041.200
634.741
0,46%
4.711.303
21.821
656.562
Dari estimasi tersebut terlihat kenaikan kasus yang terjadi setiap tahunnya. Dengan kenaikan kasus ini maka pencapaian tujuan dari MDGs yaitu menghentikan penyebaran atau menurunkan prevalensi merupakan sebuah tantangan yang sangat berat. Estimasi ini menunjukkan adanya peningkatan kasus sekitar 0,03 persen per tahun antara tahun 2008 sampai 2012. Sedangkan antara tahun 2012 sampai 2015 hanya meningkat 0,04 persen per tahun. Jika kita lihat jumlah kasus, pada tahun 2008 sekitar 297 ribu kasus dan pada tahun 2015 jumlah kasus menjadi 656 ribu kasus atau naik menjadi lebih dari 2 kali lipat. Kenaikan kasus ini terjadi karena akumulasi kasus dari tahun-tahun sebelumnya (kasus lama) dengan kasus baru. Penyakit HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan sehingga seluruh penderita HIV/AIDS tetap membutuhkan pelayanan kesehatan agar mereka dapat hidup dengan layak dan tidak menyebarkannya kepada orang lain. Bila tindakan preventif dilaksanakan dengan baik dan intensif yang ditandai dengan kebijakan dan pendanaan yang cukup maka prevalensi sesuai estimasi ini dapat dipertahankan bahkan bisa ditekan. Intervensi yang paling krusial pada pelayanan HIV/AIDS ini adalah mencegah munculnya penderita baru (insiden) dari HIV/AIDS.
104
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
A. 1.
Pelayanan langsung HIV dan AIDS
Preventif
Dalam hal penanganan HIV/AIDS di Indonesia terdapat sedikit perbedaaan intensitas antara wilayah Papua dan wilayah lainnya (non Papua). Dengan demikian tabel-tabel hasil perhitungan akan dibedakan menjadi Papua dan Non Papua. Sementara itu dalam hal kegiatan di daerah Papua dan non Papua tidak terdapat perbedaan yang berarti. Kegiatan preventif yang menjadi sasaran atau kelompok risiko dari perhitungan kajian ini adalah: 1) Pekerja seks (langsung dan tidak langsung) 2) Pelanggan pekerja seks 3) Hubungan seks sesama lelaki (gay dan waria) 4) Pengguna jarum suntik 5) Narapidana 6) Remaja 7) Pekerja sektor formal dan informal 8) Penderita penyakit kelamin yang ditularkan karena hubungan seks 9) Sukarela untuk tes dan konseling 10) Ibu hamil 11) Media massa 12) Keamanan alat darah 13) Profilaksis bagi yang terpapar 14) Pencegahan pada pekerja kesehatan Secara umum kebutuhan biaya pencegahan untuk berbagai kegiatan di atas dapat dilihat pada Tabel 4.35 Kebutuhan biaya antar wilayah tersebut ada perbedaan. Di daerah Papua banyak terserap dana untuk penanganan penyakit menular seksual (sexual transmission infection atau STI). Sementara di daerah lain banyak terserap untuk pencegahan pada kalangan remaja. Sedangkan biaya untuk STI di daerah lain merupakan kebutuhan biaya nomor tiga terkecil dari seluruh intervensi preventif. Selain itu, di daerah lain banyak terserap (nomor 2 terbesar) untuk intervensi pada pecandu narkotika suntik. Sedangkan di daerah Papua hampir tidak terdapat penularan HIV/AIDS karena penyalahgunaan narkotika. Perbedaan karakteristik penularan ini yang menyebabkan penanganan HIV/AIDS wilayah Papua dan daerah lain dibedakan perlakuannya (treatment). Kebutuhan total biaya untuk preventif daerah Papua pada tahun 2008 diperkirakan sebesar Rp 21 miliar dan tahun 2015 sebesar Rp 54 miliar atau naik sekitar 2,5 kali lipat. Sementara untuk daerah lain, pada tahun 2008 membutuhkan biaya sebesar Rp 1,1 triliun dan pada tahun 2015 sebesar Rp 4,5 triliun atau naik sekitar 4 kali lipat. Proporsi biaya pelayanan preventif daerah Papua sekitar 2 persen dan 1,2 persen dari total nasional pada tahun 2008 dan 2015.
105
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.35 Kebutuhan Biaya Pelayanan Preventif Menurut Daerah Papua dan Selain Papua Jenis intervensi PAPUA Pekerja Seks Langsung Pekerja seks tidak langtsung Pelanggan pekerja seks
Waria Narapidana Remaja Tempat kerja Kondom STI manajemen Konseling dan tes Ibu ke anak Media massa Keamanan darah Profilaksis Kemanan tenaga kesehatan
Biaya (Juta Rupiah) 2011 2012
2008
2009
2010
1.945
3.204
4.214
4.581
970
1.610
2.348
2.514
1.546
2.530
3.878
4.381
2013
2014
2015
4.965
5.299
5.647
5.999
2.598
2.764
2.936
3.110
4.892
5.408
5.928
6.463
266 35 1.289 1.856 280 5.306 4.945 563 746 745 4 448
409 79 1.741 2.145 520 7.628 6.635 824 821 762 4 573
558 127 2.088 2.444 841 9.951 7.799 1.109 903 778 4 703
534 136 2.132 2.414 1.133 9.951 7.802 1.133 993 795 4 717
554 146 2.176 2.541 1.467 9.951 9.612 1.157 1.092 811 4 732
573 155 2.220 2.667 1.845 9.951 11.449 1.180 1.202 828 4 747
591 165 2.265 2.794 2.267 9.951 13.314 1.205 1.322 844 4 762
611 175 2.309 2.925 2.737 9.951 15.217 1.229 1.454 861 4 777
20.945
29.484
37.743
39.220
42.698
46.292
49.993
53.821
38.728
65.751
103.700
119.281
135.744
154.219
174.884
197.953
27.814
45.269
69.108
96.206
109.899
125.390
142.862
162.559
88.289
131.535
181.035
220.090
259.368
302.866
350.766
403.479
116.103
176.804
250.143
316.296
369.267
428.256
493.628
566.038
16.758 206.875 28.676 229.835 74.549 2.291 163.358 1.498 19.019 63.045 365 37.941
22.036 295.838 55.812 424.341 89.711 3.233 260.619 1.936 25.200 66.828 387 40.217
28.115 430.884 70.200 467.663 106.769 4.309 372.189 2.394 26.712 70.837 411 42.630
31.454 482.342 82.520 734.217 121.253 5.040 457.550 254 33.978 75.088 435 45.188
34.460 528.714 96.246 787.633 134.710 5.399 536.522 273 36.016 79.593 461 47.899
37.721 578.984 111.515 844.803 149.390 5.782 623.942 295 38.177 84.368 489 50.773
41.234 633.119 128.479 905.855 165.304 6.188 720.208 313 40.468 89.431 518 53.819
45.027 691.519 147.300 995.556 182.573 6.619 826.130 332 42.896 94.796 549 57.048
Sub total non Papua
1.115.144
1.705.517
2.227.099
2.821.190
3.162.204
3.536.970
3.947.075
4.420.375
TOTAL NASIONAL
1.136.088
1.735.001
2.264.842
2.860.410
3.204.901
3.583.262
3.997.068
4.474.196
Sub total Papua SELAIN PAPUA Pekerja Seks Langsung Pekerja seks tidak langtsung Pelanggan pekerja seks Gay
Waria Narkotika suntik Narapidana Remaja Tempat kerja STI manajemen Konseling dan tes Ibu ke anak Media massa Keamanan darah Profilaksis Kemanan tenaga kesehatan
106
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
2. Kuratif Pelayanan kuratif yang diberikan pada pelayanan HIV dan AIDS adalah: 1) Perawatan rumah 2) Pengobatan paliatif 3) Pelayanan diagnostik 4) Pengobatan infeksi opportunistik 5) Pencegahan terhadap infeksi opportunistik 6) Tes laboratorium untuk pengobatan ARV 7) Pengobatan anti retroviral Karakteristik besaran biaya kuratif antara Papua dan Non Papua ada perbedaan juga seperti ditunjukkan pada Tabel 4.36. Berhubung kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi di Papua maka Papua banyak menyerap dana untuk pengobatan ARV. Proporsi biaya kuratif Papua terhadap biaya total nasional adalah 19 persen pada tahun 2008 dan 21 persen pada tahun 2015. Tabel 4.36 Kebutuhan Biaya untuk Pengobatan Menurut Wilayah No
Intervensi
2008
Biaya (Juta Rupiah) 2011 2012 2013
2009
2010
2014
2015
7.203
10.716
14.367
14.613
14.790
29
124
307
440
525
14.954
15.102
15.252
564
579
2.141
3.006
3.873
4.125
585
4.376
4.628
4.880
5.132
PAPUA
1
Perawatan rumah
2
Pengobatan paliatif
3
Pelayanan diagnostik
4
Pengobatan infeksi oportunistik
948
1.413
2.509
3.213
3.666
3.879
3.965
4.007
5
Pencegahan terhadap infeksi oportunistik
165
252
359
394
410
418
422
426
6
Tes laboratorium untuk pengobatan ARV
2.473
4.168
5.243
5.625
5.692
5.755
5.812
5.870
7
Pengobatan ARV
10.703
18.031
24.094
27.335
28.750
29.327
29.618
29.909
Total
23.661
37.711
50.751
55.745
58.212
59.524
60.379
61.181
64.162
99.166 136.339 141.327 145.837 149.195 152.627 156.115
SELAIN PAPUA
1
Perawatan rumah
2
Pengobatan paliatif
9
18
31
43
52
57
60
61
3
Pelayanan diagnostik
4
Pengobatan infeksi oportunistik
5
Pencegahan terhadap infeksi oportunistik
6
Tes laboratorium untuk pengobatan ARV
7
Pengobatan ARV
119.410 165.967 214.483 243.662 259.886 208.442 212.805 216.863
Total
218.994 310.807 407.693 451.356 476.333 430.744 440.042 448.563
TOTAL NASIONAL
706
940
1.183
1.209
1.236
1.301
1.366
1.431
10.301
10.786
11.795
16.137
19.399
21.371
22.421
22.977
1.781
2.366
3.049
3.453
3.673
3.799
3.880
3.959
22.625
31.564
40.813
45.525
46.250
46.579
46.883
47.157
242.655 348.518 458.444 507.101 534.545 490.268 500.421 509.744
107
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
B.
Sumber Daya Manusia
Pelatihan tenaga kesehatan yang meliputi dokter (dokter umum dan spesialis penyakit dalam), analis, bidan, perawat (pelayanan preventif dan kuratif), dan tenaga kesehatan masyarakat. Biaya satuan pelatihan per hari rata-rata Rp 1,5 juta selama 5 hari. Biaya satuan ini sudah termasuk biaya penyelenggaraan, honor narasumber, honor peserta (akomodasi. Transportasi, konsumsi, dan uang saku). Pelatihan bagi dokter spesialis dilakukan di luar kabupaten/kota, sedangkan dokter puskesmas dan tenaga lain dapat dilatih di tingkat kabupaten/kota. Tabel 4.37 di bawah ini menunjukkan jenis dan jumlah tenaga yang mendapat pelatihan HIV-AIDS menurut tahun. Jumlah tenaga ini disesuaikan dengan jumlah wilayah terjadinya penyebaran HIV–AIDS dan daerah yang memiliki risiko tinggi. Jumlah tenaga yang dilatih sama jumlahnya setiap tahun. Bidan dan perawat mendapat porsi yang besar dalam pelatihan ini mengingat mereka tenaga terdepan dalam pelayanan pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS Tabel 4.37 Jenis dan jumlah tenaga yang perlu dilatih dalam penanggulangan HIV/AIDS No
Jenis Tenaga
Jumlah yang perlu dilatih 2008
2009
2012
2013
2014
1
Bidan/bidan Desa
1.000
1.000
2010
1.000
2011
1.000
1.000
1.000
1.000
2015
1.000
2
Perawat
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
3
Analisi Kesehatan
200
200
200
200
200
200
200
200
4
Kesmas
200
200
200
200
200
200
200
200
5
Internist
200
200
200
200
200
200
200
200
6
Dokter umum
400
400
400
400
400
400
400
400
Tabel 4.38 menunjukkan jumlah biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelatihan tenaga kesehatan. Total dana yang dibutuhkan sebesar Rp 26 miliar pada tahun 2008 dan Rp 39 miliar pada tahun 2015. Kenaikan ini hanya karena faktor penyesuaian inflasi 6 persen. Tabel 4.38 Kebutuhan Biaya Pelatihan Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga Tahun
108
Biaya pelatihan (Juta Rupiah) Analis
Kesmas
Internist
Umum
Total
2008
7.500
Bidan
Perawat
7.500
1.500
1.500
5.000
3.000
26.000
2009
7.950
7.950
1.590
1.590
5.300
3.180
27.560
2010
8.427
8.427
1.685
1.685
5.618
3.371
29.214
2011
8.933
8.933
1.787
1.787
5.955
3.573
30.966
2012
9.469
9.469
1.894
1.894
6.312
3.787
32.824
2013
10.037
10.037
2.007
2.007
6.691
4.015
34.794
2014
10.639
10.639
2.128
2.128
7.093
4.256
36.881
2015
11.277
11.277
2.255
2.255
7.518
4.511
39.094
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
C.
Infrastruktur
Kebutuhan biaya infrastruktur dihitung dari kebutuhan alat diagnostik, ruang perawatan, dan ruang puskesmas. Tabel 4.39 menunjukan kebutuhan biaya untuk infrastruktur. Secara bertahap, kebutuhan infrastruktur seperti alat diagnostik, ruang perawatan semakin lama semkain menurun seiring. Tabel 4.39 Kebutuhan biaya untuk infrastruktur program HIV/AIDS Biaya (Juta Rupiah)
Jenis Sarana 2008
2009
Alat Diagnostik
10.000
Ruang rawatan
6.000
Ruang puskesmas Total
2010
2011
15.900
10.600
10.600
9.540
15.900
9.540
8.000
8.480
8.480
8.480
24.000
33.920
34.980
28.620
D.
2012
2013
2014
2015
10.600
10.600
10.600
10.000
15.900
15.900
6.360
6.000
8.480
8.480
8.480
8.000
34.980
34.980
25.440
24.000
Penguatan Sistem Kesehatan
Kegiatan dalam penguatan sistem kesehatan meliputi advokasi, manajemen dan administrasi program, riset dan surveilens, dan monitoring dan evaluasi. Total kebutuhan biaya untuk keseluruhan adalah Rp 359 miliar pada tahun 2008 dan Rp 1,1 triliun pada tahu 2015. Kenaikan biaya penguatan sistem hampir 4 kali lipat ini disebabkan peningkatan penanggulangan HIV/AIDS Tabel 4.40 Kebutuhan Biaya Bagi Penguatan Sistem Penanggulangan HIV/AIDS Jenis kegiatan
Biaya (Juta Rupiah) 2008
Advokasi
2009
2010
65.257
77.799
76.027
Manajemen dan administrasi
108.762
155.597
Riset dan surveilens
103.324
190.607
81.572 358.916
Monitoring dan evaluasi Total
E.
2011
2012
2013
2014
2015
91.182
96.528
101.842
107.145
113.268
190.066
227.956
241.320
254.604
267.862
283.170
285.100
341.934
361.980
381.906
401.793
424.755
136.148
190.066
227.956
241.320
254.604
267.862
283.170
560.150
741.259
889.029
941.147
992.955 1.044.663 1.104.362
Rekapitulasi kebutuhan biaya HIV AIDS.
Tabel 4.41 menunjukkan kebutuhan total dari pelayanan HIV/AIDS. Kelompok pembiayaan langsung untuk upaya preventif dan kuratif menyerap dana terbesar antara 75-80 persen dari total biaya. Di samping itu, total biaya meningkat sekitar 50 persen dari tahun 2008 ke 2009, sekitar 30 persen dari 2009 ke 2010, dan sekitar 23 persen dari tahun 2010 ke 2011, sedangkan peningkatan selanjutnya sampai tahun 2015 adalah rata-rata sebesar 10 persen.
109
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Peningkatan yang tinggi pada tahun 2009 disebabkan optimalisasi kegiatan yang lebih besar baik pada pelayanan preventif, kuratif, maupun penguatan sistem kesehatan yang terjadi setiap tahun. Oleh karena itu total biaya pada tahun 2015 menjadi 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2009. Tabel 4.41 Total Biaya Pelayanan HIV/AIDS Tahun
Preventif
Biaya yang diperlukan (Juta Rupiah) Sarana Penguatan Kuratif SDM Kesehatan Sistem
Total
Biaya per kapita USD rupiah (Rp 9.200)
2008
1.136.088
242.654
26.000
24.000
358.916
1.787.658
7.751
0,84
2009
1.735.001
348.516
27.560
33.920
560.150
2.705.147
11.586
1,26
2010
2.264.842
458.444
29.214
34.980
741.259
3.528.739
14.931
1,62
2011
2.860.410
507.059
30.966
28.620
889.029
4.316.084
18.046
1,96
2012
3.204.901
534.544
32.824
34.980
941.147
4.748.397
19.620
2,13
2013
3.583.262
594.068
34.794
34.980
992.955
5.240.059
21.404
2,33
2014
3.997.068
500.419
36.881
25.440
1.044.663
5.604.472
22.638
2,46
2015
4.474.196
509.744
39.094
24.000
1.104.362
6.151.396
24.847
2,70
Apabila penanganan program HIV-AIDS dengan memadai termasuk pendanaannya agar seluruh pelayanan dapat dilakukan dengan baik, maka kasus-kasus tersebut dapat ditekan dengan baik sehingga peningkatan anggaran pada tahun-tahun selanjutnya tidak melebihi dari nilai inflasi. Disinilah butuh komitmen yang konsisten yang diikuti dengan pengawasan dan pembinaan yang baik. 4.3.1.3.2
Penanggulangan Malaria
Program pemberantasan malaria berdasarkan Strategi Roll Back Malaria meliputi upaya-upaya preventif dan kuratif. Bentuk intervensi preventif adalah menggunakan kelambu yang telah diberikan insektisida, kontrol Tabel 4.42 Estimasi Jumlah Kasus vektor dan sanitasi. Khusus untuk Malaria per Tahun perhitungan kebutuhan peningkatan Prevalensi Jumlah kasus sanitasi tidak akan dimasukkan dalam Tahun malaria malaria perhitungan dalam bagian ini karena akan 2008 0,0205 4.727.970 dihitung pada bagian pencapaian tujuan ke 7 2009 0,0190 4.436.071 yaitu target air dan sanitasi dasar. Bentuk 2010 0,0175 4.135.798 intervensi kuratif berupa diagnosa, 2011 0,0160 3.826.789 pengobatan dengan kombinasi artemisin, 2012 0,0145 3.509.200 dan pengobatan komplikasi. Perhitungan 2013 0,0130 3.182.594 biaya program malaria juga sama dengan 2014 0,0115 2.847.083 program lainnya yang meliputi komponen 2015 0,0100 2.475.724 biaya pelayanan langsung, SDM, infrastruktur dan penguatan sistem kesehatan.
110
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan pembiayaan pengendalian malaria adalah sebagai berikut: 1.
Estimasi kasus malaria didasarkan pada prevalensi (kasus baru dan lama) malaria. Proyeksi yang dilakukan oleh Depkes (2007) menunjukkan bahwa prevalensi dan jumlah kasus malaria sejak tahun 2008 sampai 2015 seperti cenderung menurun dengan prevalensi malaria dari 205 kasus per 10.000 penduduk (2008) menjadi 100 kasus per 10.000 penduduk (2015). Dengan demikian pada tahun 2015 jumlah kasus diproyeksikan menurun sekitar 52 persen dari kondisi tahun 2008 (lihat Tabel 4.42). Penurunan prevalensi ini dapat terjadi dengan prasyarat dilaksanakannya program pemberantasan malaria yang memadai baik dari sisi biaya maupun dari sisi konsistensi jenis intervensinya. Namun sebenarnya jumlah kasus dapat ditekan menjadi jauh lebih rendah jika kegiatan preventif dilakukan dengan baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat. Keuntungan yang diperoleh akibat adanya pencegahan adalah turunnya kasus yang diasumsikan sebesar 30 persen setiap tahunnya. Dalam kajian ini asumsi penurunan 30 persen karena upaya promotif dan preventif tidak akan digunakan karena pengalaman selama ini menunjukkan bahwa upaya promotif dan preventif tidak dilakukan dengan optimal termasuk dalam dukungan pendanaannya.
2.
Kegiatan intervensi preventif dilaksanakan dengan intensif di daerah endemis.
3.
Satu kelambu dipakai untuk dua orang.
4.
Upah per hari untuk tenaga penyemprotan insektisida adalah Rp 100.000 dengan masa pakai alat penyemprot mencapai 3 tahun. A. 1.
Pelayanan Langsung
Preventif. Kegiatan preventif dalam program malaria meliputi kegiatan pengasapan, pemakaian kelambu yang mengandung zat insektisida, dan promosi kesehatan. Satuan biaya dihitung menurut jumlah rumah tangga yang kemudian dikonversikan menurut individu/kasus. Alasan utama pendekatan ini adalah rendahnya vektor dan orang yang terinfeksi parasit malaria sehingga akan memberikan manfaat terhadap rumah tangga di luar daerah endemis malaria. Biaya satuan satu unit kelambu sebesar Rp 90.000 dengan coverage diperkirakan 50 persen dari kasus dan insektisida sebesar Rp 45.000 per rumah tangga dengan biaya operasional sebesar Rp 21.000 per rumah tangga. Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4 orang. Rincian satuan biaya promosi tidak tersedia. Oleh karena itu biaya promosi diestimasikan sebesar 15 persen dari keseluruhan dana yang dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan di atas. Bentuk atau media kegiatan promosi bisa disesuaikan dengan kondisi daerah. Biaya ini dihitung untuk tahun dasar 2007 dan untuk tahun-tahun berikutnya disesuaikan dengan tingkat inflasi. Rincian kebutuhan biaya preventif dapat dilihat pada Tabel 4.43.
111
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.43 Biaya Intervensi Langsung Preventif Penanggulangan Malaria Tahun
Jumlah Kasus
2008 2009
Biaya (Juta Rupiah) Insektisida IRS
Operasional IRS
Kelambu
Promosi
Total
4.727.970
56.381
26.311
225.524
46.232
354.449
4.436.071
56.074
26.168
224.297
45.981
352.520
2010
4.135.798
55.415
25.860
221.661
45.441
348.377
2011
3.826.789
54.351
25.364
217.405
44.568
341.689
2012
3.509.200
52.831
24.655
211.325
43.322
332.132
2013
3.182.594
50.789
23.701
203.156
41.647
319.293
2014
2.847.083
48.161
22.475
192.643
39.492
302.771
2015
2.475.724
44.392
20.716
177.567
36.401
279.076
2.
Diagnosa. Satuan biaya diagnosa malaria terdiri dari biaya untuk reagensia dan biaya pemeriksa. Dalam perhitungan ini dilakukan dengan dua metode, yaitu menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) sebesar 60 persen dari jumlah kasus. Sedangkan sisanya (40 persen dari jumlah kasus) di diagnosa secara mikroskopis. Biaya dasar RDT pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 18.000 per kasus dan biaya diagnosa secara mikroskopis sebesar Rp 4.500 per kasus. Tabel 4.44 menunjukkan rincian dari kebutuhan biaya untuk diagnosa. Tabel 4.44 Kebutuhan Biaya untuk Diagnosa Tahun
Jumlah kasus
Biaya (Juta Rupiah)
Jumlah kasus
Biaya (Juta Rupiah)
Total Biaya (Juta Rupiah)
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
2.836.782 2.661.643 2.481.479 2.296.073 2.105.520 1.909.556 1.708.250 1.485.434
54.126 53.831 53.199 52.177 50.718 48.757 46.234 42.616
1.891.188 1.774.428 1.654.319 1.530.716 1.403.680 1.273.038 1.138.833 990.290
9.021 8.972 8.866 8.696 8.453 8.126 7.706 7.103
63.147 62.803 62.065 60.874 59.171 56.884 53.940 49.719
Rapid Diagnostic Test
3.
Mikroskopis
Pengobatan. Perhitungan pengobatan malaria meliputi pengobatan falsiparum, vivak, dan malaria berat. Dengan dasar perhitungan tahun 2007, besarnya biaya pengobatan falsiparum 1st line adalah sebesar Rp 33.090 dan falsiparum 2nd line adalah Rp 12.130. Biaya pengobatan malaria vivak 1st line Rp 1.320 dan 2nd line Rp 6.420. Sedangkan biaya pengobatan malaria berat di puskesmas, rumah Sakit dan berbasis masyarakat. masing-masing sebesar Rp 87.500. Rp 276.000 dan Rp 2.220 per kasus pada tahun 2007. Jumlah kasus malaria falsiparum (first line) adalah sebesar 50 persen dari seluruh kasus dan faciparum second line sebesar 10 persen dari kasus first line. Untuk malaria vivak, jumlah kasus (first line) adalah 50 persen dari seluruh kasus sedangkan kasus second line 10 persen. Pengobatan kasus malaria berat diasumsikan sebesar 10 persen
112
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
dari seluruh kasus malaria falciparum baik dilakukan di Puskesmas maupun rumah sakit dengan satuan biaya Rp 87.500 di Puskesmas dan Rp 276.000 di Rumah Sakit. Selain itu upaya pengobatan juga dilakukan oleh kader pada masyarakat dengan biaya yang diperlukan untuk obat kloroquin dan biaya trasnportasi dengan satuan biaya Rp 2.200 per kasus. Jumlah kasus pada yang ditangani oleh kader diperkirakan sebesar 30 persen dari seluruh kasus malaria. Rincian kebutuhan biaya dapat dilihat pada Tabel 4.45. Tabel 4.45 Biaya Pengobatan Malaria Falsiparum, Malaria Vivax, Malaria Berat dan Penyediaan Obat oleh Kader Tahun
4.
Falciparum Vivak Malaria Berat Pengobatan 1st Line 2nd Line 1st Line 2nd Line Rumah oleh Kader Puksemas (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) Sakit
Total
2008
82.918
3.040
3.308
4.022
21.926
69.161
3.338
184.375
2009
82.466
3.023
3.290
4.000
21.807
68.784
3.320
183.370
2010
81.497
2.987
3.251
3.953
21.550
67.976
3.281
181.214
2011
79.933
2.930
3.189
3.877
21.137
66.671
3.218
177.737
2012
77.697
2.848
3.099
3.769
20.545
64.806
3.128
172.764
2013
74.694
2.738
2.980
3.623
19.751
62.301
3.007
166.087
2014
70.828
2.596
2.825
3.435
18.729
59.077
2.851
157.490
2015
65.285
2.393
2.604
3.167
17.263
54.454
2.628
145.166
Bahan Habis Pakai. Bahan habis pakai yang dirasakan penting dalam hal ini adalah pengadaan buku pedoman tentang pengendalian malaria yang akan dijadikan rujukan di tingkat Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Jumlah yang diperlukan adalah sesuai dengan jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Sedangkan unit cost tahun 2007 untuk pedoman tersebut adalah Rp 15.000 per unit. Tabel 4.46 Kebutuhan Dana untuk Pedoman/Bahan Habis Pakai Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
5.
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Unit
Biaya (Juta Rp)
Unit
Biaya (Juta Rp)
7.600 7.800 7.900 8.000
136 157 178 203
22.000 22.100 22.200 22.300
370 419 472 533
Total biaya (Juta Rp)
507 575 651 736
Rekapitulasi biaya pelayanan langsung. Tabel 4.47 menunjukkan besaran dana malaria yang dibutuhkan untuk intervensi langsung yang terdiri dari biaya untuk pencegahan, diagnosa, pengobatan dan bahan habis pakai.
113
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.47 Rekapitulasi Biaya Langsung Program Malaria Biaya (Juta Rupiah)
Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Preventif
Diagnosa
Pengobatan
Habis pakai
Total
354.449 352.520 348.377 341.689 332.132 319.293 302.771 279.076
63.147 62.803 62.065 60.874 59.171 56.884 53.940 49.719
184.375 183.370 181.214 177.737 172.764 166.087 157.490 145.166
507 575 651 736
601.971 599.200 591.656 580.875 564.067 542.915 514.201 474.697
B.
Sumber Daya Manusia
Jenis tenaga yang diperkirakan membutuhkan pelatihan adalah dokter yang bertugas di puskesmas, petugas laboratorium, bidan desa di daerah endemis, dan perawat. Asumsi pelatihan ini adalah unit cost untuk setiap jenis tenaga sebesar Rp 6.000.000 per orang. Asumsi lain adalah jumlah tenaga yang dilatih setiap tahun adalah 900 tenaga laboratorium, 1.500 tenaga dokter, dan 2.100 orang tenaga bidan/perawat. Tabel 4.48 Kebutuhan Biaya Pelatihan Tenaga Pengelola Malaria Tahun
Biaya (Juta Rupiah) Dokter
Petugas lab
Bidan/perawat
Total
2008
9.540
5.724
13.356
28.620
2009
10.112
6.067
14.157
30.337
2010
10.719
6.431
15.007
32.157
2011
11.362
6.817
15.907
34.087
2012
12.044
7.226
16.862
36.132
2013
12.767
7.660
17.873
38.300
2014
13.533
8.120
18.946
40.598
2015
14.345
8.607
20.082
43.034
C.
Infrastruktur
Infrastruktur yang sangat perlu disediakan untuk program malaria adalah mikroskop, spraycan, dan mistblower. Pengadaan mikroskop diasumsikan disediakan setiap tahun dengan satuan biaya sebesar Rp 9 juta. Sementara sprayscan disediakan dua kali yaitu pada tahun 2008 dan 2012 dengan biaya Rp 4,5 juta per unit. Sedangkan pengadaan mistblower dilakukan pada tahun 2008, 2010, dan 2013 dengan unit cost Rp 9 juta (satuan biaya tahun 2007).
114
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.49 Kebutuhan Biaya untuk Infrastruktur Penanggulangan Malaria Mikroskop Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
D.
Jumlah (unit)
Biaya (Juta Rp)
500 500 500 500 1.000 1.000 1.000 1.000
4.770 5.056 5.360 5.681 12.044 12.767 13.533 14.345
Spraycan Jumlah (unit)
6.000 6.000 -
Mistblower
Biaya (Juta Rp)
Jumlah (unit)
Biaya (Juta Rp)
28.620 36.132 -
930 930 930 -
8.872 9.969 11.873 -
42.262 5.056 15.328 5.681 48.176 24.640 13.533 14.345
Penguatan Sistem Kesehatan
Penguatan sistem kesehatan malaria diasumsikan secara makro yaitu 37 persen dari intervensi langsung untuk biaya pengendalian program, monitoring, evaluasi, penjaminan mutu, dan riset dasar. Persentase ini relatif lebih besar dari program lainnya karena program pengendalian malaria seringkali perlu dilakukan di daerah yang terpencil yang memerlukan dana yang lebih besar. Tabel 4.50 menunjukkan kebutuhan dana untuk penguatan sistem kesehatan.
E.
Total Biaya (Juta Rp)
Tabel 4.50 Biaya Penguatan Sistem
Tahun
Biaya (Juta Rp)
2008
222.729
2009
221.704
2010
218.913
2011
214.924
2012
208.705
2013
200.879
2014
190.254
2015
175.638
Biaya Total Pengendalian Malaria
Kebutuhan total biaya pengendalian malaria merupakan penjumlahan dari biaya intervensi langsung, sumber daya manusia, infastruktur, dan penguatan sistem sebesar Rp 898 miliar pada tahun 2008 dan Rp 710 miliar pada tahun 2015. Tabel 4.51 Rekapitulasi Kebutuhan Biaya Program Malaria Biaya (Juta Rp) Tahun
Langsung
SDM
Infrastruktur
Penguatan Sistem
Total
2008
601.971
28.620
42.262
222.729
897.590
2009
599.200
30.337
5.056
221.704
858.306
2010
591.656
32.157
15.328
218.913
860.065
2011
580.875
34.087
5.681
214.924
837.578
2012
564.067
36.132
48.176
208.705
859.092
2013
542.915
38.300
24.640
200.879
808.746
2014
514.201
40.598
13.533
190.254
760.600
2015
474.697
43.034
14.345
175.638
709.728
115
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Dengan menggunakan data proyeksi jumlah penduduk maka dapat dihitung kebutuhan dana untuk program malaria per kapita per tahun. Data proyeksi penduduk berasal dari Proyeksi Penduduk Indonesia (BPS, Bappenas, dan UNFPA, 2006), sedangkan patokan nilai kurs digunakan satu dolar Amerika Serikat adalah Rp 9.200 (RPJMN 2004-2009) Tabel 4.52 Kebutuhan Biaya Malaria Per Kapita Biaya Per Kapita Penduduk Tahun
4.3.1.3.3
Biaya Per Kasus (Rp)
Rp
US Dolar (Rp 9.200/US $)
2008
3.941
0,43
189.847
2009
3.722
0,40
193.483
2010
3.684
0,40
207.956
2011
3.544
0,39
218.872
2012
3.592
0,39
244.811
2013
3.342
0,36
254.115
2014
3.107
0,34
267.151
2015
2.867
0,31
286.675
Penanggulangan Tuberkulosis
Perhitungan biaya untuk program TB DOTS secara garis besar dihitung berdasarkan perhitungan biaya langsung, tenaga, infrastruktur dan penguatan sistem kesehatan. Jenis biaya ini diidentifikasi dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI. Biaya langsung meliputi diagnostik di RS dan puskesmas, logistik (obat anti tuberkulosis dan non obat anti tuberkulosis), laboratorium, pengobatan TB dengan HIV, pengobatan TB bagi narapidana, pengobatan TB di tempat kerja, dan pengobatan TB bagi anak. Biaya untuk tenaga dihitung berdasarkan biaya yang diperlukan untuk pelatihan program. Sementara itu, biaya infrastruktur terdiri dari biaya pengadaan mikroskop dan kendaraan. Biaya penguatan sistem digunakan untuk advokasi dan sosialisasi, riset operasional, penemuan dan pengendalian kasus, dan surveilens. Asumsi-asumsi dalam perhitungan ini adalah sebagai berikut: 1. Kasus baru (incidence rate) penderita dengan bakteri tahan asam (BTA positif) diperkirakan menurun sebesar 4 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun secara linear sejak tahun 2005 (125 kasus per 100.000 penduduk). 2. Kasus kambuh diperkirakan sebesar 4,11 persen dari BTA positif. 3. Kasus BTA negatif diperkirakan sebesar 65 persen dari BTA positif 4. Kasus dengan EP diestimasikan sebesar 3,78 persen dari BTA positif 5. Kasus TB pada anak diperkirakan sebesar 15 persen dari BTA positif Berdasarkan asumsi tersebut maka perkembangan kasus TB tahun 2006 sampai 2015 diprakirakan adalah sebagai berikut:
116
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.53 Perkembangan Target Penemuan Kasus TB Tahun
IR
Jumlah Kasus
Target CDR
Target penemuan BTA Pos kasus
Rincian Target penemuan kasus Kambuh
BTA negative
EP
Anak
2007
100
424.114
75
318.086
169.294
6.958
110.041
6.399
25.394
2008
96
419.394
80
335.516
178.570
7.339
116.071
6.750
26.786
2009
92
409.958
85
348.464
185.462
7.622
120.550
7.010
27.819
2010
88
399.977
90
359.979
191.590
7.874
124.534
7.242
28.739
2011
84
387.904
90
349.114
185.808
7.637
120.775
7.024
27.871
2012
80
375.344
90
337.809
179.791
7.389
116.864
6.796
26.969
2013
76
361.925
90
325.733
173.364
7.125
112.686
6.553
26.005
2014
72
347.677
90
312.909
166.538
6.845
108.250
6.295
24.981
2015
68
332.630
90
299.367
159.331
6.549
103.565
6.023
23.900
Dengan menggunakan data epidemiologis TB seperti tersebut di atas maka perhitungan pembiayaan untuk setiap komponen adalah sebagai berikut: A.
Biaya Intervensi langsung
1.
Satuan biaya penemuan dan penanganan kasus sebesar Rp 236.040 per kasus. Unit cost ini adalah untuk kasus-kasus yang tidak membutuhkan perawatan khusus pada berbagai kasus (masyarakat umum, tahanan, dan anak).
2.
Satuan biaya penanganan kasus di RS sebesar Rp 721.500 dengan perkiraan kasus BTA yang ditangani di RS berkisar 30-35 persen dari seluruh kasus TB.
3.
Kebutuhan bahan habis pakai meliputi obat, bahan laboratorium, bahan cetakan, dan barang. Obat yang dihitung meliputi obat kombipak dan FDC. Kebutuhan laboratory supply termasuk reagensia, pot sputum, dan kaca sediaan. Kebutuhan untuk bahan cetakan termasuk formulir laporan, modul-modul pedoman, dan alat tulis menulis lainnya. Tabel 4.54 Total Biaya Intervensi Langsung Penanganan TB DOTS TB tanpa perawatan
Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jumlah Kasus
Biaya (Juta Rp)
335.516 348.464 359.979 349.114 337.809 325.733 312.909 299.367
83.947 92.418 101.199 104.034 106.706 109.064 111.057 112.626
TB dengan Perawatan Bahan Habis Pakai di Rumah Sakit Jumlah Biaya (Juta Obat (Juta Suplai lab Bahan cetakan Kasus Rp) Rp) (Juta Rp) (Juta Rp)
87.276 99.169 98.358 96.373 93.252 89.918 86.378 82.640
66.748 80.394 84.520 87.784 90.037 92.028 93.709 95.033
124.530 170.897 162.538 170.147 174.344 178.199 181.633 184.561
57.662 76.862 88.498 83.457 88.273 95.252 102.113 108.747
3.681 4.031 3.837 3.978 3.787 3.934 3.696 3.820
Total Intervensi Langsung (Juta Rp)
336.568 424.603 440.594 449.400 463.148 478.476 492.207 504.788
117
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
B.
Sumber Daya Manusia
Kebutuhan biaya untuk SDM pada program DOTS terutama untuk pelatihan. Jenis tenaga dan jumlah tenaga yang dilatih setiap tahun dapat dililhat pada Tabel 4.55. Tabel 4.55 Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan yang Dilatih TB DOTS Dokter Paramedis Petugas lab Pengelola UPK UPK UPK Program TB
Pelatihan Manajemen dan lanjutan TB Kepemimpinan (ACDA)
Jumlah
Jumlah peserta per batch
25
25
20
25
20
20
2008
3.721
3.811
1.413
50
20
80
9.095
2009
3.904
3.994
1.478
50
20
80
9.526
2010
2.836
2.904
1.076
50
20
80
6.967
2011
4.186
4.254
2.156
50
20
80
10.747
2012
3.849
3.984
1.498
50
20
80
9.481
2013
3.849
3.984
1.498
50
20
80
9.481
2014
3.511
3.624
1.357
50
20
80
8.642
2015
3.511
3.624
1.357
50
20
80
8.642
Besaran biaya pelatihan disesuaikan dengan jumlah tenaga yang akan dilatih sehingga jumlah biayapun akan mengikuti jumlah tenaga tersebut. Tabel 4.56 menunjukkan bahwa biaya pelatihan SDM TB DOTS tertinggi pada tahun 2011 dan 2015, dan terendah pada tahun 2010. Pemerintah selama ini sedang menggalakkan pelatihan tenaga kesehatan dalam rangka penanganan TB DOTS sehingga pada tahun 2010 diharapkan sudah mencapai pelatihan yang optimal. Kemudian pada tahun 2011, jumlah pelatihan kembali meningkat sebagai upaya refreshing bagi tenaga mendapat pelatihan lebih dari 3 tahun sebelumnya dan bagi tenaga pengelola TB DOTS baru. Tabel 4.56 Biaya Pelatihan Menurut Jenis Tenaga yang Menangani TB DOTS Biaya Pelatihan (Juta Rp) Dokter UPK
Petugas Pengelola Paramedis laboratorium Program UPK UPK TB
Pelatihan lanjutan TB (ACDA)
Manajemen dan Kepemimpinan
Total
Biaya per batch
65
65
63
289
605
67
2008
10.316
10.566
4.770
598
641
283
27.174
2009
11.471
11.736
5.290
634
680
300
30.111
2010
8.835
9.046
4.082
672
721
318
23.673
2011
13.823
14.046
8.669
712
764
337
38.352
2012
13.469
13.943
6.382
755
810
357
35.717
2013
14.280
14.780
6.765
800
858
379
37.862
2014
13.808
14.251
6.499
848
910
401
36.717
2015
14.636
15.106
6.889
899
964
426
38.920
118
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
C.
Infrastruktur
Komponen pembiayaan infrastruktur terdiri dari kebutuhan mikroskop dan kendaraan bermotor. Sementara infrastruktur gedung relatif sudah tersedia sehingga diasumsi tidak diperlukan tambahan ruangan. Kebutuhan mikroskop untuk diagnosa TB pada daerah non endemis malaria. Sedangkan untuk daerah Tabel 4.57 Kebutuhan Biaya TB Untuk endemis malaria.maka perhitungan kebutuhan Infrastruktur dan Penguatan Sistem pengadaan mikroskop telah dimasukkan ke Biaya (Juta Rp) dalam komponen infsrastruktur malaria. Tahun Mikroskop dan Penguatan Kebutuhan infrastruktur TB DOTS pada tahun kendaraan sistem kesehatan 2009 dan 2014 diasumsikan nol karena pada 2008 2.862 95.518 tahun tersebut dianggap sudah terlengkapi. 2009 90.909 Kebutuhan kembali dana pada tahun 2010 24.200 103.409 2011 10.000 98.876 berikutnya karena alat tersebut sudah habis 2012 10.000 90.843 masa pakainya. 2013
10.000
87.164
Dalam penguatan sistem untuk 2014 94.890 2015 900 95.518 pengendalian TB. Komponen perhitungan pegendalian TB adalah pengendalian TB sebagai penyakit oportunistik pada penderita HIV/AIDS, program penganggulangan TB di penjara dan tempat kerja, TB pada anak, dan komponen penelitian dan pengembangan. Jenis kegiatan yang dilakukan antara lain adalah kegiatan perencanan, pertemuan, supervisi, sosialiasi, advokasi, surveilens, operasional riset, kontrol kualitas, dan evaluasi. D.
Kebutuhan Total untuk Penanggulangan TB
Total kebutuhan biaya untuk pencapaian program TB DOTS dapat diringkaskan pada Tabel 4.58. Total biaya terlihat terjadi peningkatan sejak tahun 2008 (Rp 436 miliar) sampai tahun 2010 (Rp 501 miliar) karena terjadinya peningkatan biaya pada komponen sistem kesehatan dan atau infrastruktur. Setelah tahun 2010, total biaya TB DOTS terjadi penuruan kembali secara bertahap setiap tahunnya sehingga total biaya TB DOTS menjadi 404 miliar rupiah pada tahun 2015. Tabel 4.58 Rekapitulasi Total Kebutuhan Biaya TB DOTS Biaya yang diperlukan (Juta Rp) InfraSistem SDM struktur Kesehatan
Biaya per Biaya per Biaya Per kapita kapita Kasus (rupiah) (USD) (rupiah)
Tahun
Pelayanan langsung
2008
336.568
27.174
2.862
95.518
462.122
2.029
0,22
1.101.880
2009
424.603
30.111
0
90.909
545.624
2.366
0,26
1.330.927
2010
440.594
23.673
24.200
103.409
591.875
2.535
0,28
1.479.773
2011
449.400
38.352
10.000
98.876
596.628
2.525
0,27
1.538.082
2012
463.148
35.717
10.000
90.843
599.708
2.507
0,27
1.597.756
2013
478.476
37.862
10.000
87.164
613.502
2.535
0,28
1.695.108
2014
492.207
36.717
0
94.890
623.814
2.548
0,28
1.794.234
2015
504.788
38.920
900
98.358
642.966
2.597
0,28
1.932.977
Total
119
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Dari total biaya program TB DOTS sebagaimana ditunjukkan tabel tersebut maka jumlah keseluruhan biaya yang diperlukan untuk penanggulangan TB dari tahun 2008 hingga tahun 2015 adalah 4,67 triliun rupiah atau jika diperlukan 19.642 rupiah per kapita. Biaya yang diperlukan setiap tahunnya berkisar antara Rp 462 miliar hingga Rp 642 miliar atau sekitar Rp 2.500 per kapita per tahun. 4.3.1.4
Kebutuhan Tenaga Kesehatan Utama
Kebutuhan biaya untuk tenaga dibagi dua yaitu pre-service training dan in-service training. Pre-service training mencakup biaya pendidikan di perguruan tunggi bagi tenaga tersebut sebelum ditempatkan. Sementara itu, in-service training adalah pelatihan tambahan untuk tujuan tertentu dalam masa tugas tenaga kesehatan tersebut. Penghitungan in-service training dalam kajian ini dapat dilakukan dalam penghitungan kebutuhan masing-masing tujuan MDGs. Dalam bagian ini, penghitungan dilakukan untuk pre-service training tenagatenaga utama untuk mencapai MDGs. Tenaga yang terkait dengan upaya penurunan Angka Kematian Ibu dan Penurunan Kematian Anak adalah dokter spesialis obgyn, spesialis anak, spesialis anastesi, perawat dan bidan di desa. Kebutuhan dokter spesialis dihitung dari kekurangan jumlah dokter spesialis tersebut di rumah sakit pemerintah terutama rumah sakit umum kapubaten/kota dengan kebutuhan masing-masing sebanyak 330 spesialis obgyn, 314 spesialis anastesi, dan 186 spesialis anak. Menurut data yang ada, jumlah dokter dibandingkan dengan jumlah Puskesmas adalah rata-rata sebesar 1,86 di Indonesia yang dipandang sudah mencukupi. Sementara itu World Development Report 1993 merekomendasikan rasio dokter sebesar 0,1 sampai 0,2 per 1.000 penduduk atau 10 – 20 per 100.000 penduduk. Saat ini rasio tenaga dokter di Indonesia telah mencapai 18,72 per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan. 2005). Dengan demikian dengan pendekatan fasilitas maupun rasio, kebutuhan tenaga dokter umum di Indonesia sudah mencukupi sehingga tidak dimasukkan dalam perhitungan kebutuhan MDGs ini. Yang menjadi kendala adalah penyebarannya yang tidak merata. Kebutuhan tenaga bidan yang paling utama adalah untuk penempatan di desa (bidan di desa). Pada tahun 2006, jumlah desa telah mencapai 73,142. Sementara itu, jumlah total bidan (baik yang tinggal di desa maupun tidak) sebesar 43.360 bidan yang menyebabkan kekurangan sekitar 29.782 bidan. Sasaran rasio perawat per penduduk yang tercantum dalam Indonesia Sehat 2010 adalah sebanyak 117 per 100.000 penduduk atau sekitar 276.507 perawat. Sedangkan, pada tahun 2006 terdapat 54.052 perawat. Dengan demikian terdapat kekurangan 222.455 perawat. Dengan melihat pengalaman pengangkatan perawat selama ini, maka kemungkinan besar jumlah tersebut tidak dapat terpenuhi pada tahun 2010. Oleh karena itu dalam perhitungan ini. pengadaan perawat tersebut dilakukan sampai dengan tahun 2015. Target utama penyediaan tenaga gizi adalah ketersediaan satu tenaga gizi di setiap Puskesmas. Pada saat ini terdapat sekitar 3.000 tenaga gizi, sedangkan jumlah Puskesmas mencapai 7.669 (tahun 2005). Dengan demikian diperlukan sekitar 4.669 tenaga gizi. Selain itu diperlukan pula tambahan tenaga gizi untuk rumah sakit dan dinas kesehatan sebanyak
120
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
sekitar 4.000 tenaga gizi dan yang tersedia saat ini sekitar 1.000 tenaga gizi. Dalam penghitungan ini pemenuhan kebutuhan gizi sebanyak ini dilakukan sampai dengan tahun 2015. Tabel 4.59 Satuan Biaya dan Jumlah Kebutuhan Tenaga Kesehatan Menurut Jenis Tenaga Unit Cost 2007 (Juta Rp)
Spesialis Obgyn
Jumlah kebutuhan tenaga kesehatan 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
275
40
40
40
40
40
40
45
45
Spesialis Anak
275.5
35
39
40
40
40
40
40
40
Spesialis Anastesi
275.5
20
20
20
26
25
25
25
25
Bidan di Desa
30
3.750
3.750
3.750
3.750
3.750
3.750
3.750
3.750
Perawat (Puskesmas dan RS)
21
27.800
27.800
27.800
27.800
27.800
27.800
27.800
27.900
Tenaga Gizi Puskesmas
24
580
580
580
580
580
580
590
600
Tenaga Gizi RS dan Dinkes
24
375
375
375
375
375
375
375
375
Dengan memperkirakan satuan biaya untuk pendidikan (pre-service training) untuk tenaga-tenaga tersebut maka dapat dihitung kebutuhan untuk pelatihan tenaga utama dalam pencapaian MDGs sebagai berikut: Tabel 4.60 Kebutuhan Biaya Pre-service Training (dalam Jutaan Rupiah) Biaya (Juta Rupiah) Tahun Spesialis Spesialis Spesialis Obgyn Anak Anastesi
Bidan di Desa
Perawat Tenaga Gizi Tenaga Gizi (Puskesmas RS dan Puskesmas dan RS) Dinkes
Total
2008
11.681
10.221
5.841
119.250
618.828
14.755
9.540
790.116
2009
12.382
12.073
6.191
126.405
655.958
15.641
10.112
838.761
2010
13.125
13.125
6.562
133.989
695.315
16.579
10.719
889.415
2011
13.912
13.912
9.043
142.029
737.034
17.574
11.362
944.867
2012
14.747
14.747
9.217
150.550
781.256
18.628
12.044
1.001.190
2013
15.632
15.632
9.770
159.583
828.131
19.746
12.767
1.061.262
2014
18.641
16.570
10.356
169.158
877.819
21.291
13.533
1.127.369
2015
19.760
17.564
10.978
179.308
933.836
22.951
14.345
1.198.741
4.3.2
Rekapitulasi Kebutuhan Biaya MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.59 menunjukkan total kebutuhan biaya untuk mencapai MDGs untuk setiap tujuan MDGs. Pada tahun 2008, kebutuhan total biaya sebesar Rp 17,4 triliun, dan naik secara bertahap setiap tahun sekitar Rp 1,2 triliun sehingga total dana yang dibutuhkan untuk mencapai MDGs 2015 adalah Rp 27,4 triliun. Kebutuhan biaya perkapita untuk mencapai tujuan milenium pada tahun 2008 dan 2015 adalah Rp 76 ribu (USD 8,3) dan Rp 111 ribu (USD 12).
121
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Tabel 4.61 Kebutuhan Biaya Total dalam Mencapai MDGs Menurut Tujuan Kebutuhan Pembiayaan MDGs menurut Tujuan (Juta Rp) 2008 Tujuan 4 ; Menurunkan Kematian Anak Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Tujuan 6: Penanggulangan HIV/AIDS Tujuan 6: Penanggulangan Malaria Tujuan 6: Penanggulangan TB Tenaga Kesehatan Total
2009
2010
2011
2012
2013 7.156.322
2014
2015
7.087.060
7.110.750
7.113.142
7.087.986
7.000.546
7.304.735
7.446.395
7.866.917
8.343.140
8.954.042
8.607.526
9.638.427 10.311.675 10.959.263 11.852.268
1.787.658
2.705.147
3.528.739
4.316.084
4.748.397
5.240.059
5.604.472
6.151.396
897.590
858.306
860.065
837.578
859.092
808.746
760.600
709.728
462.122
545.624
591.875
596.628
599.708
613.502
623.814
642.966
790.116
838.761
889.415
944.867
1.001.190
1.061.262
1.127.369
1.198.741
18.891.464 20.401.728 21.937.277 22.390.669 23.847.360 25.191.565 26.380.253 28.001.494
Per kapita (rupiah) Per Kapita USD (Rp9.200/USD)
82.938
88.460
93.959
94.743
99.707
104.091
107.756
113.104
9.01
9.62
10.21
10.30
10.84
11.31
11.71
12.29
Kebutuhan dana untuk mencapai MDGs bidang kesehatan menurut kategori biaya menunjukkan intervensi langsung merupakan kategori biaya yang paling besar menyerap dana. Penguatan sistem merupakan kategori kedua yang terbanyak menyerap biaya (lihat Tabel 4.62). Indonesia membutuhkan dana sebesar 178,8 triliun rupiah selama 8 tahun ke depan untuk mencapai MDGs bidang kesehatan. Tabel 4.62 Kebutuhan Biaya Menurut MDGs Menurut Kategori Biaya (dalam Juta Rp) Tahun
Intervensi Langsung
SDM
Infrastruktur
Penguatan Sistem
Tenaga
Total
2008
13.735.847
267.366
1.135.251
2.960.876
790.116
18.889.456
2009
15.129.315
284.715
869.766
3.277.162
838.761
20.399.719
2010
16.230.534
293.552
963.185
3.558.580
889.415
21.935.267
2011
17.233.819
324.424
115.505
3.770.043
944.867
22.388.658
2012
18.368.988
338.954
175.056
3.961.160
1.001.190
23.845.348
2013
19.476.093
359.293
156.433
4.136.472
1.061.262
25.189.552
2014
20.427.844
377.434
130.995
4.314.596
1.127.369
26.378.239
2015
21.731.831
400.080
136.788
4.532.039
1.198.741
27.999.479
Total
142.334.270
2.645.819
3.682.978
30.510.930
7.851.721
187.025.719
4.3.3
Kebutuhan dan Kesenjangan Pembiayaan
Hasil kajian ini menununjukkan bahwa kebutuhan dana untuk membiayai MDGs pada tahun 2008 adalah sebesar Rp 18,9 triliun. Rekomendasi WHO (2001) untuk pendanaan kesehatan sebesar 35-40 dolar US per kapita per tahun untuk 11 program. Tabel 4.63 ini
122
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
membandingkan program rekomendasi WHO yang cost-effective dan program MDGs. Dari 11 program rekomendasi WHO tersebut, 8 program (73 persen) merupakan program MDGs. Artinya, program MDGs Bidang Kesehatan sudah merupakan program yang sangat costeffective untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Estimasi WHO (2001) Tabel 4.63 Kesesuaian antara Intervensi yang terhadap peningkatan kebutuhan dana Dianggap cost effective oleh WHO di bandingkan dengan Tujuan MDGs pencapaian MDGs Bidang Kesehatan pada tahun 2008 sebesar US$ Rekomendasi WHO MDGs 6,35/kapita/tahun (Rp 13,3 triliun). TB DOTS TB DOTS Sementara kebutuhan MDGs Bidang KIA KIA Kesehatan di Indonesia tahun 2008 KB KB MTBS MTBS sebesar 18,9 triliun, ketersediaan dana Pencegahan HIV Pencegahan HIV dari pusat sekitar Rp 3,6 triliun dan daerah Rp 1,7 triliun, maka total dana Terapi PMS Terapi PMS Imunisasi Imunisasi kesehatan MDGs Bidang Kesehatan Malaria Malaria yang teralokasikan saat ini ada sekitar UKS Rp 5,2 triliun. Program MDGs Bidang Pengawasan tembakau Kesehatan Indonesia masih ada gap Non Infeksi dan kecelakaan atau butuh scaling up sekitar Rp 12,7 triliun pada tahun 2008 (belum termasuk gaji tenaga kesehatan yang baru direkruit). Angka ini terus mengalami kenaikan sejalan dengan perkembangan epidemiologi, demografi dan inflasi hingga mencapai Rp 28 triliun pada tahun 2015 (Gambar 4.13). Namun, asumsi gap sebesar ini dijumpai bila pusat dan daerah mengalokasikan anggaran yang ada sesuai dengan jenis intervensi/pelayanan yang direkomendasi oleh WHO seperti menjadi dasar perhitungan biaya dalam kajian ini. Gambar 4.13 Kebutuhan Biaya MDGs Kesehatan 2008-2015
30
Trilyun Rupiah
25 18,89
20,40
21,94
22,39
2010
2011
23,85
25,19
26,38
28,00
20 15 10 5 0 2008
2009
2012
2013
2014
2015
123
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Jika diukur dengan biaya per kapita penduduk, maka biaya yang diperlukan setiap tahun terus meningkat. Namun peningkatan dari tahun ke tahun tidak begitu besar, terutama disebabkan oleh adanya keberhasilan penanganan penyakit pada tahun tertentu akan mengurangi beban penyakit pada tahun berikutnya. Kenaikan kebutuhan biaya per kapita ini lebih disebabkan oleh inflasi. Jika melihat kecenderungan perkembangan beban penyakit yang ada, pada tahun 2008, proporsi terbesar dana tersebut digunakan untuk meningkatkan kesehatan ibu (Rp 7,9 triliun), diikuti oleh kesehatan anak (Rp 5,6 triliun). Untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2015, proporsi terbesar terus dipimpin oleh kesehatan ibu dan disusul kemudian oleh kesehatan anak serta penyakit menular. Dalam perhitungan MDGs ini, pembiayaan dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu pelayanan langsung, kebutuhan sumber daya manusia (training), sarana dan prasarana (infrastruktur), penguatan sistem, dan pre-service training tenaga kesehatan. Kebutuhan biaya per kategori tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.14 berikut. Gambar 4.14 Kebutuhan Pembiyaan MDGs 2008-2015 menurut Kategori
160
142,3
Rp trilyun
120
80 29,1
40
7,9
3,7
2,6
Tenaga
Infrastruktur
SDM
0 Intervensi
Penguatan
Langsung
Sistem
Dari kelima kategori tersebut, secara kumulatif antara tahun 2008-2015, biaya paling besar (76 persen) adalah untuk intervensi langsung, 16,3 persen untuk penguatan sistem dan sisanya untuk ketenagaan (4,2 persen), infrastruktur (2,1 persen) dan sumber daya manusia (1,4 persen). Implikasi dari penghitungan per kategori ini adalah bahwa dalam proses perencanaan jenis belanja anggaran pemerintah untuk pencapaian MDGs harus lebih difokuskan pada intrevensi langsung, karena kategori ini yang membutuhkan biaya paling besar. Dari perhitungan biaya yang diperlukan untuk mendukung pencapaian MDGs dapat dilihat bahwa biaya yang diperlukan cukup besar dan hampir sama besarnya dengan seluruh anggaran APBN departemen Kesehatan (tidak termasuk dana Alokasi Khusus). Besaran alokasi APBN Departemen Kesehatan dapat dilihat pada Gambar 4.15.
124
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
Gambar. 4.15 Alokasi Anggaran Departemen Kesehatan 2006-2008
20
Rp Trilyun
16
17,12 15,06 13,52
12 8 4 0 2006
2007
2008
Pada tahun 2006 alokasi anggaran Departemen Kesehatan (pagu indikatif) sebesar Rp 13,52 triliun kemudian ditingkatkan menjadi Rp 15,06 triliun pada tahun 2007 dan menjadi 17,1 triliun (APBN-P) pada tahun 2008. Pada bab sebelumnya diperkirakan dana sektor kesehatan (Depkes), BKKBN, dan BPOM untuk pencapaian MDGs bidang kesehatan adalah sekitar Rp 3,6 triliun atau sekitar 21 persen dari total anggaran Depkes tahun 2008. dana dari pemerintah daerah diperkirakan sebesar Rp 1,7 triliun. Dengan demikian masih terdapat gap yang cukup besar yaitu Rp 13,6 triliun dari kebutuhan total MDGs Bidang Kesehatan pada tahun 2008 sebesar Rp 18,9 triliun. Dengan melihat jenis-jenis intervensi yang diperlukan untuk pembiayaan MDGs yaitu terkait dengan kematian anak, kematian bayi, kematian ibu, dan penyakit menular yang mempunyai eksternalitas sangat besar, wajar jika diasumsikan bila biaya pencapaian tersebut merupakan beban bagi sektor publik. Dengan demikian seluruh kesenjangan pembiayaan tersebut perlu ditanggung oleh pemerintah. Namun pada kenyataannya, peran serta swasta dan masyarakat juga cukup besar. Dari tahun 1996 hingga 2005, peran sektor swasta sekitar 70 persen dan pemerintah sekitar 30 persen. Oleh karena itu perlu juga dipikirkan strategi pembiayaan MDGs yang juga melibatkan swasta dan masyarakat. Selain itu, pengalaman menunjukan bahwa kemampuan keuangan pemerintah dalam pembanguann termasuk sektor kesehatan masih terbatas, sehingga wajar untuk melihat strategi pembiayaan yang efektif yang melibatkan sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selain itu beberapa strategi yang mungkin dapat kembangkan adalah dengan fokus pada daerah-daerah dengan jumlah penduduk tinggi dan kondisi pencapaian MDGs kesehatan yang tidak baik. Dengan demikian upaya yang dilakukan diharakan mempunyai daya ungkit yang tinggi bagi pencapaian tujuan MDGs. Selain itu upaya yang lebih keras perlu difokuskan pada tujuan MDGs yang pencapaiannya tidak menuju pada arah yang diinginkan yaitu penurunan kematian ibu, penanggulangan HIV/AIDS dan malaria.
125
Bab 4. Pembiayaan MDGs Bidang Kesehatan
127
BAB 5
PEMBIAYAAN MDGs BIDANG AIR MINUM DAN SANITASI
5.1 Pendahuluan 5.1.1
Latar Belakang
A
ir minum dan sanitasi dasar mempunyai peranan yang penting sebagai indikator kemiskinan terutama dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat. MDGs menempatkan terjaminnya persediaan air minum dan sanitasi ke dalam tujuan utama yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan 7 MDGs memastikan keberlanjutan lingkungan hidup yang mencakup tiga target yaitu memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber yang hilang (target ke-9). Pada tahun 2015 juga harus dipastikan pengurangan setengahnya persentase penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar (target ke 10). Sementara itu juga ditargetkan bahwa pada tahun 2020 kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh mencapai perbaikan yang nyata. Dengan tidak mengesampingkan peranan penting target bidang lingkungan lainnya, pembiayaan untuk penyediaan air minum dan sanitasi dasar menjadi fokus perhitungan pencapaian MDGs saat ini. Alasan-alasan yang melandasi pertimbangan ini adalah; 1.
Sebagai tahap awal dalam menghitung pembiayaan pencapaian target MDGs bidang lingkungan, target penyediaan air minum dan sanitasi relatif lebih mudah dikuantifikasi dibandingkan dengan 2 target lainnya, baik besaran capaian (indikator) maupun waktu (timeframe).
2.
Dari sisi konsep dan definisi, air minum dan sanitasi dasar tidak terlalu banyak kontroversi.
3.
Ketersediaan data historis penyediaan air minum dan sanitasi tersedia di hampir semua wilayah yang memungkinkan tinjauan yang cukup dalam baik secara nasional maupun perbandingan antar wilayah.
4.
Sebagai dasar pemerintah untuk mengambil kebijakan prioritas pembangunan maupun dari segi pendanaannya.
5.
Penyediaan air minum dan sanitasi mempunyai keterkaitan yang erat dengan tujuan MDGs di bidang kesehatan.
129
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
5.1.2
Konsep Dasar dan Pencapaian Sasaran Air Minum dan Sanitasi
Dalam penyediaan infrastruktur sektor air minum dan penyehatan lingkungan, kaidah-kaidah dasar yang harus dipenuhi adalah: a.
Kualitas Air minum yang berkualitas saat ini didefinisikan sebagai air yang memenuhi kondisi parametris yang telah ditetapkan pemerintah (Kepmenkes SK No.907/ Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum) melalui uji laboratoris sehingga air tersebut dinyatakan aman dan sehat. Kualitas fasilitas sanitasi harus memenuhi kaidah buangan air limbah rumah tangga di badan air (sungai dan air tanah) sesuai dengan peraturan pemerintah PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
b.
Kuantitas Setiap orang membutuhkan air untuk minum per hari sekitar 2-3 liter/hari sehingga memenuhi standar kesehatan yang telah dibuktikan keabsahannya. Selain itu untuk mendukung kegiatan lainnya seperti kegiatan memasak, mandi, buang air besar, serta perikehidupan lainnya, manusia membutuhkan sekitar 60 liter/orang/hari. Amanat jumlah kuantitas ini tertuang dalam PP No. 16 tahun 2004, disebutkan jumlah air minum per hari harus mampu mendukung tingkat kesehatan dan produktivitas masyarakat.
c.
Kontinuitas Air minum yang berkualitas serta pelayanan sanitasi dasar yang memadai diharapkan tersedia secara kontinyu, yaitu 1 hari-24 jam, 7 hari-seminggu, 365 hari-setahun. Artinya ketersediaan air minum ada pada tingkat kualitas dan kuantitas yang konsisten sepanjang waktu harian maupun tahunan tanpa terpengaruh musim, perbaikan pipa, maupun gangguan-gangguan lainnya. Hal ini demi menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
d.
Terjangkau (affordable) Pelayanan air minum dan sanitasi haruslah mampu dijangkau masyarakat. Sebab pada dasarnya, air minum adalah benda sosial non substitutif. Kualitas dan kuantitas pelayanan air minum untuk kebutuhan dasar, terjangkau baik harga, jarak tempuh, waktu tempuh, serta kemudahan mendapatkannya. Selain itu, dengan mekanisme harga, dapat dilakukan pembatasan pemakaian air minum.
e.
Kehandalan (reliable) Kualitas sarana dan prasarana air minum dan sanitasi dasar itu sendiri dapat dihandalkan dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi kebutuhan sesuai kuantitas dan kualitas air minum sesuai desain konstruksi yang direncanakan. Selain itu juga, infrastruktur tersebut mudah dalam mendapatkan suku cadang dan jasa pelayanan pemeliharaan jika ada kerusakan.
f.
Mudah penggunaannya (user friendly) Unsur terakhir dari suatu infrastruktur adalah memenuhi kaidah kemudahan dalam pemakaian. Infrastruktur harus sesuai dengan kemampuan dan perilaku masyarakat dalam menggunakan sarana-prasarana tersebut, dengan demikian dapat digunakan optimal sesuai tujuan pelayanan air minum dan sanitasi baik kualitas maupun kuantitas.
130
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Unsur-unsur di atas itulah sebenarnya yang menjadi bahan indikator dalam perencanaan, pembangunan, dan pengawasan air minum dan sanitasi. Dengan unsur di atas, gambaran potret air minum dan sanitasi dasar dapat ditangkap dengan utuh. Namun demikian ketersediaan data atas unsur tersebut di atas masih terbatas. Untuk itu, perlu dikembangkan indikator pendekatan sebagai acuan umum. Untuk memotret kondisi tersebut, dalam Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) Indonesia Tahun 2004 (Bappenas dan PBB, 2004) disebutkan tiga definisi pendekatan (proxy) air minum. Definisi ini lebih menjelaskan air dalam arti sumber air yang terlindungi (improved water source) dan dapat dirujuk sebagai sumber air untuk air minum. Sumber air minum pada dasarnya adalah sumber yang terlindungi yang mempertimbangkan konstruksi bangunannya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat. Jarak yang layak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja terdekat adalah lebih dari 10 meter. Sumber-sumber air tersebut meliputi air perpipaan, air pompa, air dari sumur atau mata air yang dilindungi, dan air hujan. (Bappenas. Laporan MDGs 2007. Jakarta. 2007) Air perpipaan, yaitu air dengan kualitas yang dapat diandalkan (reliable) dan lebih sehat dibandingkan dengan sumber air lainnya. Sementara itu, air dengan sumber yang tidak terlindungi adalah apabila sumber air tersebut berjarak kurang dari 10 meter dari tempat pembuangan tinja yang kemungkinan besar akan terkontaminasi limbah tinja. (Bappenas. Laporan MDGs 2007. Jakarta. 2007) Konsep dan definsi sanitasi dasar adalah proporsi rumah tangga yang menggunakan tangki septik/SPAL (Sistem Pembuangan Air Limbah) dan lubang tanah sebagai tempat terakhir pembuangan tinja. Yang disebut sebagai tangki septik adalah tempat pembuangan akhir yang berupa bak penampungan, biasanya terbuat dari pasangan bata/batu atau beton baik mempunyai bak resapan maupun tidak, termasuk disini daerah permukiman yang mempunyai SPAL terpadu yang dikelola oleh pemerintah kota. Sedangkan lubang tanah didefinisikan bila limbahnya dibuang ke dalam lubang tanah yang tidak diberi pembatas/tembok (tidak kedap air).
5.1.3
Dampak Pelayanan
Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, telah dicoba untuk menemukan buktibukti pengaruh air minum dan sanitasi terhadap kesehatan. Beberapa jenis penyakit bisa diklasifikasikan menurut jalur penularan sebagai berikut: (a) water-borne: kolera, tipus; (b)water-washed: trakoma; (c)water-based: schistosomiasis; (d)water-related vector borne: malaria, filariasis; (e)water-disperesed infections: legionellosis. Namun demikian, jalur penyakit yang diduga sangat dipengaruhi oleh kondisi cakupan air minum, sanitasi, dan higiene yang rendah adalah water-borne dan water washed. Penyakit melalui jalur water-borne dan water-washed ini seperti kolera, salmonellosis, shigellosis, amoebiasis, dan infeksi oleh protozoa dan virus lainnya. Penyakit ini ditularkan melalui jalur air, kontak personal, kontak binatang-manusia, dan makanan. Secara statistik, peningkatan pelayanan air minum dan sanitasi dasar akan berpengaruh pada:
131
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
• Penurunan angka kejadian (jumlah kejadian per tahun) • Penurunan angka kematian (jumlah kematian per tahun) Selain itu, ada keuntungan non-kesehatan lainnya akibat dari peningkatan pelayanan air minum dan sanitasi dasar. Secara umum, ditabulasikan sebagai berikut: Tabel 5.1 Dampak Pelayanan Air Minum dan Sanitasi Dasar Manfaat
Dampak Ekonomi Langsung Terkait Pencegahan Diare
Dampak Ekonomi Tak Dampak Non-Kesehatan Terkait Langsung Terkait Peningkatan Air Minum dan Peningkatan Kesehatan Sanitasi Dasar
Sektor Kesehatan
• Pengurangan belanja untuk perawatan penyakit diare
• Nilai penurunan • Pengelolaan sumber daya air kesehatan pekerja oleh yang lebih efektif karena sakit akibat diare
Pasien
• Pengurangan belanja untuk perawatan penyakit diare dan pengurangan biaya • Pengurangan belanja untuk transportasi dalam mendapatkan perawatan penyakit • Pengurangan waktu dalam mendapatkan perawatan penyakit
• Nilai dari hari kerja • Pengelolaan sumber daya air yang hilang. yang lebih efektif • Nilai dari kehilaganan waktu orang tua dalam perawatan anak • Nilai dari pencegahan kematian akibat penyakit.
• Menghemat waktu dalam mendapatkan air minum dan sanitasi dasar. • Minimalisasi peralatan kerja di tingkat rumah tangga • Terhindar dari sumber air yang mahal. • Peningkatan nilai permukiman. • Waktu luang untuk bermacam kegiatan.
Konsumen
Pertanian dan • Pengurangan belanja untuk Industri biaya karyawan yang sakit diare
• Pengurangan dampak produktivitas oleh penyakit pada karyawan
• Pengelolaan sumber daya air yang lebih efektif • Hemat waktu dan peningkatan pendapatan • Tata guna lahan
Sumber: WHO, 2004 (Guy Hutton and Laurence Haller. Evaluation of The Costs and Benefits of Water and Sanitation Improvements at The Global Level. WHO. Geneva. 2005.)
Sebagai ilustrasi, pada studi yang dilakukan WHO pada tahun 2004, setiap investasi USD 1 akan meningkatkan benefit antara USD 5-11 tergantung dari wilayah dan pilihan intervensi yang dilakukan. Namun demikian, nilai manfaat ini tidak serta-merta langsung didapatkan. Hal ini karena sifat benefit yang mengurangi belanja dan waktu kerja akibat sakit diare.
132
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
5.1.4
Pencapaian Sasaran Air Minum dan Sanitasi Dasar
Berdasarkan konsep dan definisi operasional tersebut, kondisi capaian saat ini adalah seperti ditunjukkan dalam tabel berikut dibawah. Saat ini pelayanan air minum terlindungi (total) baru mencapai 57,2 persen dan 18,4 persen pelayanan air perpipaan. Sementara itu pelayanan air minum terlindungi dan air perpipaan harus mencapai masing-masing 69,1 persen dan 57,4 persen untuk memenuhi target MDGs. Dengan demikian terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara target dan kondisi nyata pelayanan air perpipaan. Di lain pihak, pelayanan air minum terlindungi sudah hampir mencapai target yang telah ditetapkan. (Bappenas. Laporan MDGs 2007. Jakarta. 2007) Dibanding air minum, sekilas sanitasi dasar memperlihatkan kondisi yang jauh lebih cerah. Ilustrasi di bawah ini memperlihatkan bahwa terdapat sekitar 81,8 persen proporsi rumah tangga dengan akses fasilitas sanitasi layak di perkotaan dan 60 persen di pedesaan. Hal ini berarti bahwa target MDG sudah tercapai beberapa tahun yang lampau. Namun demikian, apabila dicermati kondisi kualitas prasarana yang ada maka angka akses terhadap prsarana yang layak akan turun secara signifikan. Tantangan berikutnya adalah meningkatkan pelayanan sanitasi di pedesaan yang pelayanannya cenderung jauh lebih rendah dibandingkan di perkotaan. Gambar 5.1 Cakupan Pelayanan Air Minum 80.0
Target MDG Pelayanan Air Terlindungi (Total) 2015
70.0
69.1
57.2
60.0 50.0
57.4
43.4 38.2
40.0 30.0
19.2
20.0
18.4
Target MDG Pelayanan Air Minum Perpipaan (Total) 2015
14.7
10.0
2015
2010
2005
2000
1995
1990
-
Pelayanan Air Minum Perpipaan (Total) Pelayanan Air Minum Terlindungi (Total) Target MDG Pelayanan Air Minum Perpipaan (Total) Target MDG Pelayanan Air Non-Perpipaan Terlindungi (Total)
Melihat kondisi dan target yang telah diuraikan, tantangan Penyediaan Air Minum, dapat dirangkum sebagai berikut: •
Cakupan pembangunan yang sangat besar. Sebaran penduduk yang tidak merata, serta beragamnya wilayah Indonesia (yang meliputi pantai-pegunungan-pedalaman-bantaran sungai-kota-desa), menjadi tantangan yang tidak mudah untuk diselesaikan terutama dalam hal akses pemeliharaan infrastruktur dan pilihan teknologi yang digunakan.
133
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
•
Keterbatasan sumber pendanaan. Kemampuan pendanaan dari sumber pemerintah yang terbatas.
•
Penurunan kualitas dan kuantitas sumber air baku. Hal ini disebabkan oleh perubahan tata guna lahan yang mengurangi daerah tutupan tanah sehingga menyebabkan daya dukung hutan terhadap sistem siklus air semakin menurun.
•
Jumlah kepadatan penduduk di kawasan perkotaan lebih tinggi.
•
Problema kemiskinan yang diderita penduduk turut menjadi penyebab rendahnya kemampuan penduduk untuk mengakses air minum yang layak.
•
Lemahnya kemampuan manajerial operator air minum. Gambar 5.2 Cakupan Pelayanan Sanitasi Dasar 90
69.3
70 60
Target MDG (Kota) 2015 78.8
81.8
80
Target MDG (Total) 2015 65.5
60.0
57.5
50 40 30 20
Target MDG (Desa) 2015 59.6
30.9 19.1
10
2015
2010
2005
2000
1995
1990
0
Proporsi rumah tangga dengan akses fasilitas sanitasi dasar (desa dan kota) (%) Proporsi rumah tangga dengan akses fasilitas sanitasi dasar (desa) (%) Proporsi rumah tangga dengan akses fasilitas sanitasi dasar (kota) (%)
Sedangkan permasalahan dan tantangan dalam penyediaan sanitasi dasar dapat dirumuskan sebagai berikut: • • • •
•
134
pengetahuan, yaitu masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai sanitasi dan dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, perilaku, yaitu perilaku masyarakat belum mendukung perilaku hidup bersih dan sehat ekonomi, yaitu keterbatasan kemampuan ekonomi masyarakat yang menyebabkan mereka tidak mampu sama sekali membeli atau membangun fasilitas sanitasi. kerangka kebijakan, yaitu masih rendahnya kepedulian dan wawasan pemerintah, politisi, bahkan dunia usaha terhadap persoalan sanitasi yang menyebabkan kebijakan sanitasi selalu berada dalam prioritas bawah, persepsi, yaitu persepsi keliru yang menyatakan bahwa persoalan sanitasi adalah persoalan individu bukan persoalan masyarakat padahal dengan melihat dampaknya maka sanitasi merupakan tanggungjawab bersama masyarakat bukan tanggungjawab individu,
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
• •
gender, yaitu adanya kesenjangan gender dalam proses pengambilan keputusan selalu menempatkan sanitasi pada urutan bawah dalam kebijakan publik, teknologi, yaitu beragamnya teknologi dalam sanitasi yang kadangkala menyebabkan munculnya ketidak-cocokkan antara kebutuhan masyarakat dengan yang disediakan oleh pemerintah, selain itu varian teknologi tertinggi (yang ideal) masih cukup mahal untuk diterapkan di Indonesia.
5.2 Metodologi Pertanyaan mendasar berikutnya adalah berapa besar pendanaan untuk mencapai target MDGs 2015 sektor air minum dan sanitasi dasar ini? Dalam kajian internasional, telah dilakukan sebanyak 11 laporan kebutuhan dana untuk mencapati target-10. Kisaran budget antara USD 10 miliar/tahun hingga USD 30 miliar/tahun. Apabila mempertimbangkan pelayanan sanitasi dasar dengan IPAL terpadu yang melayani setiap rumah tangga maka dibutuhkan biaya sekitar USD 80 triliun/tahun. Biaya ini juga termasuk pertimbangan pelestarian lingkungan dengan penerapan prinsip Manajemen Sumber Daya Air Terpadu dan Ekologis. (Jereme Toubkess. Costing MDG Target 10 on Water Supply and Sanitation: Comparative Analysis, Obstacles and Recommendations. World Water Council. Maret 2006) Beberapa hal yang menjadi kunci dalam estimasi pendanaan untuk target air minum dan sanitasi dasar ini adalah: 1.
Lingkup Pelayanan Air Minum dan Sanitasi Dasar
Apakah SPAL terpadu masuk ke dalam pertimbangan pelayanan sanitasi dasar menjadi perdebatan para pakar dan pemerhati kebijakan. Hal yang sama dengan infrastruktur waduk dan salurannya. Infrastruktur hulu ini menjadi hal pokok ketika menjawab ketersediaan air baku di perkotaan serta tantangan perubahan iklim dalam pola adaptasinya nanti. Penetapan kerangka waktu yang akan digunakan. Amanat dokumen MDGs tidak menyebutkan secara mendasar dari tahun berapa target dimulai. Beberapa berpendapat dari tahun 1990, sebagian lain dari tahun 2000. Hal yang patut menjadi dasar penghitungan ini adalah termasuk konsistensi ketersediaan data serta konsep dan definisi yang digunakan. Seperti terlihat pada grafik indikator sanitasi dasar, antara tahun 1994-1996 terjadi lompatan ekstrim sehingga mempengaruhi pengitungan pencapaian. Sehingga saat ini boleh dikatakan, pelayanan sanitasi dasar telah dicapai jika menggunakan tahun dasar 1990. Dugaan ‘kecurigaan’ sementara adalah pada tahun-tahun (1994-1996) ini terjadi perubahan konsep dan definisi sanitasi dasar dan/atau perubahan metodologi survei itu sendiri. Pada dasarnya, data dan informasi yang ada kurang menggambarkan kondisi sarana air minum dan sanitasi dasar yang ada pada saat ini. Data yang tersedia hanya menyangkut pendekatan indikator atas proporsi cakupan masyarakat (rumah tangga) terhadap sumber air untuk minum dan sanitasi dasar. Hal ini tidak cukup menggambarkan bagaimana kondisi sebenarnya kualitas air minum, efektifitas penggunaannya, kondisi fisik infrastrruktur, berapa jumlah pemakai, ketersediaan sepanjang waktu (hari, bulan, tahun). Sehingga sulit ditentukan
135
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
infrastruktur mana saja yang cukup direhabilitasi dan mana saja yang memang perlu konstruksi baru. Sebagai ilustrasi, pemahaman tangki septik oleh masyarakat adalah bak tampungan tinja di tiap rumah. Namun demikian, apakah kualitas dan desain konstruksi tangki septik tersebut terjamin sesuai standar? Hal ini tidak bisa dibuktikan dalam kerangka kuesinoer yang diajukan dalam Susenas BPS. 2.
Target Populasi yang Akan Dilayani.
Seiring perkembangan jaman, migrasi penduduk dari desa ke kota semakin besar. Selain itu, munculnya kota-kota baru juga mendorong jumlah penduduk di perkotaan. Hal lain yang patut jadi pertimbangan adalah kawasan sub-urban dimana kepadatan penduduk sudah menunjukkan perkotaan tapi pola permukiman masih cenderung perdesaan. Hal ini memicu timbulnya kawasan kumuh yang rentan penyakit dan perubahan lingkungan. Selain itu juga data yang tersedia saat ini kurang menggambarkan kondisi demografi lainnya seperti: pantaipegunungan, sungai-pedalaman, kepulauan-daratan, dimana sebenarnya faktor-faktor ini mempengaruhi pola penyediaan air minum dan sanitasi dasar. Dengan demikian, pendekatan tradisional desa-kota kurang bisa membidik problem real demografi. 3.
Tingkat Pelayanan
Target ini tidak memberikan informasi yang jelas mengenai tingkat pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat. Sehingga, pilihan teknologi akan bervariasi menurut lokasi, jaman, dan model proyek. Beberapa hal yang menjadi isu mengenai tingkat pelayanan adalah:
Tingkat standar pelayanan akan berubah mengikuti jaman dan tantangan yang akan berpengaruh pada skala investasi yang dibutuhkan. Tingkat pelayanan beragam menurut perdesaan dan perkotaan bahkan menurut daerah/wilayah masing-masing menurut kondisi sosial-ekonomi masyarakat, budaya dan norma, dan kelayakan pilihan teknologi.
4.
Penetapan Satuan Biaya Hal yang menjadi pertimbangan dalam penetapan satuan biaya ini adalah:
Ketersediaan sumber air. Tingkat inflasi Kedalaman tingkat pembiayaan yang meliputi operasional, pemeliharaan, penggantian atau recovery cost, transmisi, biaya penyelenggaraan kelembagaan (perencanaan, monitoring, dan perundangan), serta biaya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang perlu dijelaskan setiap komponennya.
Demikian hal-hal yang berpengaruh dalam estimasi pembiayaan MDGs sektor air minum dan sanitasi dasar. Komponen ini kemudian diterjemahkan dalam proses penghitungan nantinya. Secara umum, proses penghitungan MDGs sektor air minum dan sanitasi dasar diringkas dalam diagram berikut:
136
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Gambar 5.3 Flowchart Penghitungan Pembiayaan MDGs untuk Air Minum dan Sanitasi Dasar
Selanjutnya, beberapa hal yang menjadi asumsi dalam estimasi ini adalah sebagai berikut (Bappenas. Laporan MDGs 2007. Jakarta. 2007): Tabel 5.2 Definisi Air Minum dan Sanitasi Dasar Terlindungi
Intervensi
Terlindungi
Tak terlindungi
Air Minum
• • • • • •
Sambungan rumah Hidran umum Sumur bor Mata air/sumur gali terlindungi Penampung air hujan Desinfeksi di tingkat konsumen
• • • • •
Sanitasi Dasar
• • • •
SPAL Tangki septik Cubluk sederhana Cubluk berventilasi
• Jamban umum • Jamban terbuka
Sumur tak terlindung Mata air tak terlindung Pedagang air Air kemasan Air yang disediakan melalui truk
Sumber: Global Water Supply and Sanitation Report, WHO-UNICEF, tahun 2000
5.3 Kebutuhan Biaya 5.3.1
Asumsi Perhitungan
Target cakupan pelayanan air minum dan sanitasi dasar ini dihitung dari basis tahun 2000. Hal ini disebabkan pada data sanitasi dasar tahun 1994-1996 terjadi lonjakan cakupan hampir 2 kali lipat (dari 32% menjadi 55%). Beberapa dugaan sementara yang terjadi pada tahun ini adalah adanya perubahan konsep dan definisi dari sanitasi dasar, selain itu juga dimungkinkan perubahan metodologi dalam melakukan survei. Oleh karena itu, jika akan
137
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
digunakan basis tahun penghitungan tahun 1990, lonjakan cakupan pelayanan sanitasi harus dilakukan penyesuaian konsep dan definisi serta metodologi. Dengan konsep dan definisi operasional tersebut, berdasarkan data tahun 2000 (lihat Tabel 5.1 dan 5.2), diestimasikan rata-rata pertumbuhan untuk mencapai target pelayanan MDGs hingga tahun 2015 adalah sebagai berikut: Gambar 5.4 Cakupan Pelayanan Air Minum untuk Mencapai Target MDGs 2015 80.00 70.00 60.00
(%)
50.00
Total
40.00
Kota
30.00
Desa
20.00 10.00
20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15
0.00
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Sedangkan untuk kondisi capaian sanitasi dasar adalah sebagai berikut: Gambar 5.5 Cakupan Pelayanan Sanitasi Dasar untuk Mencapai Target MDGs 2015 90 80
Cakupan (%)
70 60 Total
50
Kota 40
Desa
30 20 10
20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15
0
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Tabel 5.3 Biaya Investasi Awal Per Kapita Subsektor
Biaya Investasi Awal per kapita (USD tahun 2000) Afrika
Air Minum Terlindungi Sambungan Rumah Hidran Umum
Sumur Bor Sumur Gali Air Hujan Disinfeksi pada pengguna
138
Asia
LA&C
102 31
92 64
144 41
23 21
17 22
55 48
49 0,13
34 0,094
36 0,273
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Biaya Investasi Awal per kapita (USD tahun 2000)
Subsektor
Afrika
Asia
LA&C
Sanitasi Dasar Terlindungi SPAL Kota SPAL Komunal
120 52
154 60
160 112
Tangki Septik Cubluk berventilasi Cubluk sederhana
115 57 39
104 50 26
160 52 60
Sumber: WHO, 2004 Keterangan: dalam penghitungan selanjutnya, biaya ini meningkat berdasar asumsi inflasi pertahun sebesar 6%.
Estimasi pembiayaan disini termasuk di dialamnya sumber daya yang dibutuhkan dalam penyediaan pelayananan dan merawatnya. Oleh karena itu, pembiayaan dibagi menurut 2 jenis, yaitu biaya investasi awal dan biaya pelayanan. Tabel 5.4 Asumsi yang Digunakan untuk Menentukan Biaya Komposisi Operasional dan Pemeliharaan Tahunan
Sub sektor
Umur bangunan (tahun)
Operasional, Perlindungan PHBS dalam % pemiliharaan, dan sumber air sbg % biaya tahunan pengawasan dalam % biaya tahunan (rentang) biaya tahunan (rentang) (rentang)
Air Minum Terlindungi
Sambungan Rumah*
40 (30-50)
30 (30-30)
-
10 (5-15)
Hidran Umum
20 (10-30)
5 (0-10)
-
10 (5-15)
Sumur Bor
20 (10-30)
5 (0-10)
-
5 (0-10)
Sumur Gali
20 (10-30)
5 (0-10)
-
5 (0-10)
Penangkap Air Hujan
20 (10-30)
10 (5-15)
-
0
SPAL Kota&Komunal**
40 (30-50)
30 (15-45)
5 (0-10)
-
Tangki Septik***
30 (20-40)
10 (0-10)
5 (0-10)
-
Cubluk Berventilasi****
20 (10-30)
5 (0-10)
5 (0-10)
-
Cubluk Sederhana
20 (10-30)
5 (0-10)
5 (0-10)
-
Sanitasi Terlindungi
Sumber: WHO, 2004 Keterangan: * = Biaya pengolahan air (60 liter/orang/hari), USD 0.30/M3 (Afrika dan Amerika Latin) dan USD 0.20/m3 (Asia) pengolahan dan distribusi ** = Biaya pengolahan air buangan SPAL kota, USD 0.15/M3 (rentang: USD 0.10 - 0.20), data WHO *** = Biaya pengolahan air buangan ke cubluk sekitar USD 2/kapital/tahun. Sedangkan untuk tangki septik sekitar USD 3/kapita/tahun **** = Biaya ini menurut tahun dasar 2000, selanjutnya diperhitungkan inflasi per tahun sekitar 6%
Yang termasuk biaya investasi awal disini adalah: perencanaan dan pengawasan kegiatan konstruksi, perangkat keras, konstruksi, proteksi sumber air, dan pelatihan awal
139
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
operator. Sedangkan biaya pelayanan adalah peralatan operasional, pemeliharaan perangkat keras dan penggantian suku cadang, pengurasan tangki septik dan cubluk, peraturan perundangan dan pengawasan terhadap kualitas air minum, perlindungan dan pemantauan kualitas sumber air bersih, pengolahan air minum serta distribusinya, serta aktivitas pendidikan PHBS sehubungan dengan air minum dan sanitasi dasar. Beberapa kesulitan ditemui terutama dalam penghitungan untuk biaya pelayanan karena kekurangan dalam sumber data. Nilai yang digunakan tersebut diambil dari asumsi dan beberapa sumber penelitan WHO dan Bank Dunia. Sedangkan tabel berikut merupakan biaya tahunan pelayanan per kapita untuk orang yang telah terlayani. Tabel 5.5 Biaya Pemeliharaan Tahunan Per Kapita Intervensi
Biaya tahuan perkapita untuk orang yang telah menerima akses pelayanan (USD tahun 2000) Afrika
Asia
Amerika Latin
Air Minum Terlindungi
Hidran Umum
2,4
4,95
Sumur Bor
1,7
1,26
3,17 4,07
Sumur Gali
1,55
1,63
3,55
Penampungan Air Hujan
3,62
2,51
2,66
Disinfeksi
0,33
0,26
0,58
12,75
9,95
15,29
8,34
5,97
9,06
Pengaturan air perpipaan (hardware &software) Pengaturan air perpipaan (software) Sanitasi Dasar Terlindungi
Tangki Septik
9,75
9,1
12,39
Cubluk berventilasi
6,21
5,7
5,84
Cubluk sederhana SPAL (hardware & software) SPAL (software)
4,88
3,92
6,44
10,03
11,95
13,38
4,84
5,28
6,46
Sumber: WHO, 2004 Keterangan: * = Biaya ini menurut tahun dasar 2000, selanjutnya diperhitungkan inflasi per tahun sekitar
6%
5.3.2
Hasil Perhitungan
Hasil yang didapatkan adalah estimasi biaya di Indonesia berdasarkan asumsi di atas adalah sebagai berikut: 5.3.2.1
Rekapitulasi Estimasi Pembiayaan Air Minum
Secara garis besar, hasil perhitungan estimasi pembiayaan untuk mencapai target MDGs tahun 2015 untuk air minum dapat dilihat pada Tabel 5.6 di bawah ini.
140
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Tabel 5.6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Estimasi Pembiayaan Untuk Pencapaian Target MDGs Air Minum Per Tahun 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Cakupan Pelayanan (%)
Jenis
60,02
61,68
63,35
65,02
66,69
68,36
70,03
71,70
Jenis Pelayanan (%) a. Sambungan Rumah
21,19
23,16
24,80
26,78
28,40
30,03
31,69
33,11
b. Hidran Umum
6,65
7,08
7,08
7,42
7,80
8,16
8,32
8,66
c. Sumur Bor Terlindungi
11,82
11,56
11,60
11,62
11,59
11,57
11,61
11,47
d. Sumur Gali Terlindungi
16,91
16,46
16,50
15,84
15,58
15,30
15,19
15,20
e. Penampung Air Hujan
3,45
3,42
3,37
3,36
3,33
3,30
3,27
3,26
229.442,60
232.634,50
233.477,40
239.018,20
242.210,10
245.401,90
248.593,80
253.572,40
137.700,86
143.499,70
147.916,91
155.416,99
161.535,51
167.760,51
174.090,24
181.811,41
5.692,28
5.798,84
4.417,22
7.500,08
6.118,52
6.225,01
6.329,72
7.721,17
Target Jumlah Penduduk Terlayani Total menurut Teknologi a. Sambungan Rumah (ribu jiwa) 48.613,05 53.886,98 b. Hidran Umum (ribu jiwa) 15.257,68 16.459,66 c. Sumur Bor Terlindungi (ribu jiwa) 27.113,57 26.898,64 d. Sumur Gali Terlindungi (ribu jiwa) 38.800,17 38.299,33 e. Penampung Air Hujan (ribu jiwa) 7.916,86 7.954,00 f. Total (ribu jiwa) 137.701,34 143.498,61
57.900,97 16.539,50 27.078,63 38.520,00 7.878,12 147.917,22
64.011,07 17.727,58 27.770,03 37.872,02 8.028,27 155.408,97
68.776,94 18.885,06 28.074,96 37.728,61 8.065,41 161.530,97
73.698,95 20.024,72 28.401,38 37.539,38 8.102,54 167.766,97
78.777,12 20.692,55 28.868,62 37.758,41 8.139,68 174.236,39
83.962,69 21.963,28 29.072,33 38.555,54 8.259,30 181.813,15
TOTAL PEMBIAYAAN (USD ribu) a. Investasi Awal
717.991,87
1.277.085,32
1.052.230,71
1.143.731,90
1.204.314,48
1.417.400,36
Penduduk a. Total (ribu jiwa)
b. Terlayani (ribu jiwa) c. Target Pelayanan pertahun (ribujiwa)
b. Operasional c. Pemeliharaan Total
696.855,35 445.885,07
520.559,38
583.904,60
679.619,90
772.602,01
875.587,68
985.024,22
1.111.897,03
1.078.244,75
1.239.968,63
1.387.308,76
1.597.483,30
1.800.770,58
2.025.725,58
2.271.330,68
2.550.787,68
2.220.985,17
2.736.919,71
2.689.205,23
3.554.188,53
3.625.603,30
4.045.045,17
4.460.669,37
5.080.085,07
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
141
976.391,70
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
Dalam perhitungan ini, investasi awal dalam pelayanan air minum mencakup biayabiaya untuk perencanaan dan pengawasan kegiatan konstruksi, perangkat keras, konstruksi, proteksi sumber air, dan pelatihan awal operator. Sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan dikategorikan sebagai biaya pelayanan yang mencakup biaya-biaya: peralatan operasional, pemeliharaan perangkat keras dan penggantian suku cadang, peraturan perundangan dan pengawasan terhadap kualitas air minum, perlindungan dan pemantauan kualitas sumber air bersih, pengolahan air minum serta distribusinya, serta aktivitas pendidikan PHBS sehubungan dengan air minum dan sanitasi dasar. Selanjutnya, deskripsi hasil penghitungan dapat dijelaskan pada gambar berikut: Gambar 5.6 Cakupan Air Minum Menurut Pilihan Teknologi 35
Cakupan (%)
30 25
Sambungan Rumah
20
Hidran Umum Sumur Bor Terlindungi
15
Sumur Gali Terlindungi Penampung Air Hujan
10 5 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Gambar 5.7 Cakupan Air Minum Menurut Pilihan Teknologi di Perkotaan 60
Cakupan (%)
50 Sambungan Rumah
40
Hidran Umum 30
Sumur Bor Terlindungi Sumur Gali Terlindungi
20
Penampung Air Hujan
10 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
142
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
Gambar 5.8 Cakupan Air Minum Menurut Pilihan Teknologi di Perdesaan
Cakupan (%)
25 20 Sambungan Rumah Hidran Umum
15
Sumur Bor Terlindungi 10
Sumur Gali Terlindungi Penampung Air Hujan
5 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Tiga grafik di atas menjelaskan mengenai rincian target dari Gambar 5.4 dan 5.5. Rincian tersebut mencakup pilihan-pilihan teknologi yang digunakan dalam instervensi peningkatan pelayanan air minum dan sanitasi dasar. Pada Gambar 5.7 terlihat bahwa untuk wilayah perkotaan bentuk pelayanan yang diprioritaskan adalah sambungan rumah (perpipaan). Hal ini mengingat bahwa lahan kota makin sempit dan semakin tidak memadai untuk penerapan teknologi lainnya seperti sumur. Selain itu juga, tingkat pencemaran air tanah di perkotaan juga semakin tinggi baik disebabkan oleh limbah domestik maupun industri. Sedangkan untuk wilayah perdesaan, bentuk layanan yang menjadi prioritas adalah hidran umum dan sumur gali terlindungi. Masyarakat perdesaan cenderung masih senang berkumpul dan bersosialisasi sehingga mereka lebih mudah menerima keberadaan fasilitas komunal seperti hidran umum dan keberadaan fasilitas ini juga akan memperkuat budaya tersebut. Selain itu, dengan jarak antar rumah yang cukup jauh, fasilitas hidran umum ini dapat memberikan efisiensi pelayanan. Gambar 5.9 Pembiayaan Tahunan Air Minum Menurut Desa-Kota 1.600.000 1.400.000
USD (ribu)
1.200.000 1.000.000 Desa
800.000
Kota
600.000 400.000 200.000 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
143
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Pada grafik di atas, investasi awal di perkotaan hampir 5-7 kali lipat dari perdesaan. Hal ini disebabkan karena prioritas pilihan teknologi pada kedua wilayah tersebut berbeda. Seperti telah diuraikan di atas, di perkotaan didorong untuk menggunakan perpipaan sedangkan di perdesaan didorong menggunakan hidran umum dan sumur gali terlindungi. Gambar 5.10 Biaya Operasional Tahunan untuk Air Minum 1.200.000
USD (ribu)
1.000.000 800.000 Desa
600.000
Kota
400.000 200.000 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Selanjutnya, biaya operasional yang meliputi biaya pengolahan air baku berkembang dari USD 445 juta pada tahun 2008 hingga USD 1,4 miliar. Gambar 5.11 Biaya Pemeliharaan Tahunan untuk Air Minum 3.000.000 2.500.000
USD (ribu)
2.000.000 Desa
1.500.000
Kota
1.000.000 500.000 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Grafik pada Gambar 5.11 menggambarkan biaya pemeliharaan sarana dan prasarana yang telah terbangun. Biaya ini berkisar antara USD 1,078 miliar pada tahun 2008 hingga USD 2,55 miliar pada tahun 2015.
144
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
Gambar 5.12 Total Biaya untuk Air Minum per Tahun 6.000.000
USD (ribu)
5.000.000 4.000.000 Pemeliharaan 3.000.000
Operasional Investasi Awal
2.000.000 1.000.000 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Dengan menggunakan pilihan-pilihan teknologi penyediaan air minum di atas (perpipaan, hidran umum dan sumur gali), diperoleh jumlah total biaya sekitar USD 2,2 miliar pada tahun 2008, yang kemudian meningkat hingga sebesar USD 5,08 miliar pada tahun 2015. Gambar 5.13 Proporsi Pembiayaan untuk Air Minum 100%
Proporsi (%)
80%
60%
Pemeliharaan Operasional Investasi Awal
40%
20%
0% 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Komponen biaya terbesar adalah komponen pemeliharaan yaitu sebesar rata-rata 45% per tahun. Hal ini bisa dipahami karena biaya ini mencakup biaya pemeliharaan untuk seluruh penduduk yang telah mendapatkan pelayanan air minum dan sanitasi dasar yang memenuhi syarat. Termasuk di dalamnya adalah biaya untuk perlindungan air baku serta berbagai kegiatan pemeliharaan yang bersifat in-kind (dalam bentuk barang atau jasa). Selanjutnya, ketika prinsip full cost recovery (pemulihan biaya) diterapkan, akan dapat ditentukan pembagian peran dan tanggung jawab dalam pembiayaan layanan air minum untuk pencapaian target MDGs. Misalnya, Pemerintah bertanggungjawab untuk menanggung investasi awal konstruksi sedangkan biaya pemeliharaan dan operasional ditanggung oleh masyarakat.
145
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
5.3.2.2
Rekapitulasi Pembiayaan Sanitasi Dasar
Pembiayaan sanitasi menghadapi permasalahan tersendiri, yaitu penggunaan definisi yang releven. Ketika IPAL diterapkan, instalasi ini tidak sekedar mengolah air limbah dari tinja tapi lebih luas dari pada itu yaitu air limbah dari aktivitas mandi, cuci, masak, bahkan industri kecil (rumah tangga). Oleh karena itu, penghitungan untuk pembiayaan akhirnya harus lebih detil secara teknis menyangkut timbulan BOD dan COD dari air limbah tersebut, tidak sekedar jumlah kuantitas air limbah. Namun demikian, untuk studi ini diasumsikan penghitungan untuk IPAL dianggap flat (tidak memandang timbulan kualitas) seperti pada penghitungan WHO, 2004. Dari Tabel 5.7, pada tahun 2015 diharapkan jumlah penduduk yang menikmati fasilitas sanitasi dasar sekitar 206,3 juta dari total penduduk Indonesia yaitu sekitar 253,6 juta jiwa. Hal ini sesuai target MDGs yaitu sekitar 81,35%. Berikut akan dijelaskan lebih detil mengenai komponen pembiayaan tiap wilayah. Gambar 5.14 Cakupan Sanitasi Dasar Menurut Pilihan Teknologi 60
Cakupan (%)
50 SPAL Kota
40
SPAL Komunal 30
Tangki Septik Cubluk Berventilasi
20
Cubluk Sederhana
10 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Target umum peningkatan pelayanan sanitasi dasar secara nasional adalah peningkatan penggunaan tangki septik di skala rumah tangga. Gambar 5.15 Cakupan Sanitasi Dasar Menurut Pilihan Teknologi di Perkotaan 70
Cakupan (%)
60 SPAL Kota
50
SPAL Komunal
40
Tangki Septik 30
Cubluk Berventilasi
20
Cubluk Sederhana
10 0 2008
2009
2010
2011 Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
146
2012
2013
2014
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
Tabel 5.7 Rekapitulasi Penghitungan Estimasi Pembiayaan Tahunan Sanitasi Dasar URAIAN
2008
Cakupan Pelayanan (%)
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
72.01
73.34
74.68
76.01
77.35
78.68
80.02
81.35
a. SPAL Kota
0,77
1,58
2,98
3,56
4,04
4,53
5,18
5,81
b. SPAL Komunal
2,26
2,66
3,38
3,80
4,17
4,49
4,87
5,42
Jenis Pelayanan
c. Tangki Septik
46,73
47,81
48,36
49,16
50,39
51,47
52,50
53,42
d. Cubluk Berventilasi
14,01
13,43
12,39
12,15
11,77
11,56
11,17
10,77
e. Cubluk Sederhana
8,23
7,86
7,56
7,35
6,99
6,64
6,30
5,93
a. Total (ribu jiwa)
229.442,60
232.634,50
233.477,40
239.018,20
242.210,10
245.401,90
248.593,80
253.572,40
b. Terlayani (ribu jiwa)
165.219,07
170.621,90
174.355,73
181.683,05
187.341,44
193.084,94
198.913,71
206.281,15
5.317,64
5.402,83
3.733,84
7.327,31
5.658,39
5.743,50
5.828,77
7.367,44
Penduduk
c. Target Pelayanan per tahun (ribu jiwa)
Target Jumlah Penduduk Terlayani Total menurut Teknologi
a. SPAL Kota
1.777,63
3.677,72
6.958,88
8.499,05
9.775,65
11.113,47
12.870,03
14.731,06
b. SPAL Komunal
5.181,40
6.183,63
7.901,67
9.093,67
10.090,44
11.019,83
12.099,66
13.741,24
107.225,24
111.215,86
112.911,47
117.493,03
122.039,72
126.296,33
130.503,64
135.448,26
d. Cubluk Berventilasi
c. Tangki Septik
32.153,10
31.253,88
28.936,52
29.029,67
28.503,56
28.356,82
27.778,37
27.313,63
e. Cubluk Sederhana
18.884,40
18.291,32
17.656,56
17.568,04
16.932,41
16.297,49
15.663,33
15.045,50
165.221,77
170.622,42
174.365,11
181.683,47
187.341,77
193.083,94
198.915,02
206.279,68
872.625,88
1.297.136,12
1.419.559,24
1.500.425,10
1.467.829,01
1.519.643,62
1.747.361,07
2.155.306,97
12.145,34
18.243,31
29.141,22
36.568,88
43.772,03
51.693,57
61.817,19
74.717,89
2.602.331,68
2.874.274,63
3.148.738,22
3.496.546,28
3.846.832,40
4.225.780,61
4.642.988,86
5.136.073,20
3.487.102,90
4.189.654,05
4.597.438,68
5.033.540,25
5.358.433,45
5.797.117,81
6.452.167,11
7.366.098,06
TOTAL
TOTAL PEMBIAYAAN (USD ribu)
a. Investasi Awal b. Operasional c. Pemeliharaan Total
Sumber: Hasil penghitungan Data Proyeksi Susenas BPS
147
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
Sedangkan khusus di perkotaan, masyarakat dikembangkan teknologi SPAL (Sistem Pengolahan Air Limbah) skala kota dan SPAL komunal (mencakup 80-100 kepala keluarga). SPAL kota diharapkan pada tahun 2015 mencapai 10% dari penduduk perkotaan (atau sekitar 14,7 juta jiwa). Gambar 5.16 Cakupan Sanitasi Dasar Menurut Pilihan Teknologi di Perdesaan 45 40 35
Cakupan (%)
30
SPAL Komunal
25 Tangki Septik
20 Cubluk Berventilasi
15 Cubluk Sederhana
10 5 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Pada wilayah perdesaan, pilihan teknologi yang dikembangkan adalah tangki septik dan mempertahankan penggunaan cubluk. Hal ini dengan asumsi bahwa lahan di perdesaan masih cukup luas. Namun demikian, perlu juga diantisipasi perkembangan sub-urbanisasi di wilayah perdesaan. Untuk itu, dikembangkan juga teknologi SPAL komunal untuk wilayah perdesaan yang sudah padat penduduk. Pada akhir tahun 2015 diharapkan komposisi SPAL komunal sekitar 6%, tangki septik sebesar 44,14%, cubluk berventilasi sekitar 16%, dan cubluk sederhana 10%. Gambar 5.17 Pembiayaan Menurut Desa-Kota 2.500.000
USD (ribu)
2.000.000 1500.000 Desa Kota 1.000.000 500.000
0 2008
2009
2010
2011 Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
148
2012
2013
2014
2015
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
Pembiayaan tahunan untuk investasi awal di perkotaan lebih besar dari perdesaan. Hal ini disebabkan antara lain pilihan teknologi yang digunakan. Di desa lebih cenderung penggunaan teknologi sanitasi dasar on-site, yaitu tangki septik dan cubluk. Investasi awal pada tahun 2008 sekitar USD 872 juta sedangkan tahun 2015 sekitar USD 2,15 miliar. Gambar 5.18 Pembiayaan Operasional Sanitasi Dasar 80.000 70.000
USD (ribu)
60.000 50.000 Desa
40.000
Kota
30.000 20.000 10.000 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS Gambar 5.19. Pembiayaan Pemeliharaan Sanitasi Dasar 3.500.000 3.000.000
USD (ribu)
2.500.000 2.000.000
Kota
1.500.000
Desa
1.000.000 500.000 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Pembiayaan operasional dan pemeliharaan tahunan antara desa dan kota dapat dilihat pada tabel di atas. Pada tahun 2008, biaya operasional mencapai USD 12,1 juta sedang pada tahun 2015 mencapai USD 74,7 juta. Sedangkan untuk pembiayaan pemeliharaan tahun 2008 sekitar USD 2,6 miliar selanjutnya menigkat per tahun hingga 2015 sebesar USD 5,1 miliar.
149
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Grafik berikut menjelaskan mengenai perbandingan antar komponen biaya: investasi awal, operasional, dan pemeliharaan. Biaya operasional untuk sanitasi dasar sangat kecil jika dibandingkan dengan yang lain. Hal ini mengingat bahwa biaya operasional untuk sanitasi dasar hanya meliputi teknologi SPAL kota dan SPAL komunal. Sedangkan untuk teknologi tangki septik dan cubluk relatif tidak membutuhkan biaya operasional, yang diperlukan hanya biaya pemeliharaan saja. Gambar 5.20 Jumlah Biaya Berdasarkan Komponen 8.000.000 7.000.000
USD (ribu)
6.000.000 5.000.000
Pemeliharaan
4.000.000
Operasional
3.000.000
Investasi Awal
2.000.000 1.000.000 0 2008
2009
2010
2012
2011
2013
2014
2015
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
Total pembiayaan untuk sanitasi dasar untuk mencapai target MDGs, berkisar dari tahun 2008 sebesar USD 3,5 miliar hingga pada tahun 2015 sekitar USD 7,4 miliar. Namun demikian, jika diterapkan prinsip full cost recovery pada pelayanan, maka pembiayaan untuk pemeiliharaan dan operasional dapat diserahkan kepada masayarakat. Selanjutnya, Pemerintah dapat fokus pada biaya investasi awal saja. Gambar 5.21 Proporsi Pembiayaan Berdasarkan Komponen Biaya 100%
Proporsi (%)
80%
60%
Pemeliharaan Operasional Investasi Awal
40%
20%
0% 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Sumber: Hasil Perhitungan Proyeksi Data Susenas BPS
150
2013
2014
2015
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
5.4
Strategi Pembiayaan
Pembiayaan air minum dan sanitasi dasar di Indonesia sekitar USD 5,7 miliar (Rp 52,4 triliun) pada tahun 2008 selanjutnya meningkat per tahun hingga mencapai USD 12,4 miliar (Rp 114,1 triliun) pada tahun 2015. Namun demikian, biaya ini meliputi seluruh komponen yaitu investasi awal dan biaya pelayanan. Jika menerapkan prinsip penyelenggaraan full cost recovery, dimana biaya pelayanan ditanggung oleh masyarakat, maka biaya investasi awal untuk air minum dan sanitasi dasar yang ditanggung Pemerintah adalah sekitar USD 1,6 miliar (Rp 14,7 triliun) pada tahun 2008 kemudian meningkat hingga tahun 2015 sekitar USD 3,6 miliar (Rp 33,12 triliun).
5.4.1
Kebijakan Pendanaan Air Minum dan Sanitasi
Pada tahun 2006, telah dicoba dilakukan studi mengenai profil pembiayaan publik sektor air minum dan sanitasi oleh proyek WASPOLA (Brian Smith & Jemima Sy. Kajian Pendanaan Publik untuk Air Minum dan Sanitasi di Indonesia. Jakarta. Desember 2006). Secara umum, hasil studi tersebut dapat disarikan dalam uraian-urain di bawah ini. Pendanaan publik untuk sektor ini berasal dari sumber-sumber berikut:
Alokasi anggaran pemerintah pusat untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah didelegasikan ke pemerintah daerah melalui dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan. Alokasi anggaran oleh pemerintah daerah, termasuk dana Alokasi Khusus – DAK. Pinjaman luar negeri yang diserahkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pinjaman oleh pemerintah daerah. Selama periode studi (2003-2005), tidak ada pinjaman untuk proyek air dan sanitasi. Sumber-sumber pendanaan lain yang dialokasikan dari APBN biasanya lebih bersifat ad hoc atau sementara seperti contohnya Anggaran Belanja Tambahan atau kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar. Sumber dana dari kalangan swasta melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Namun demikian, dana ini belum terpetakan potensinya secara jelas, terutama untuk sektor air minum dan sanitasi. Sumber dana dari masyarakat sendiri. Kebijakan nasional sendiri mengamantkan peran serta masyarakat ini untuk berkontribusi baik secara in-kind maupun in-cash.
Perkembangan kebijakan perencanaan dan penganggaran pada saat ini memberikan peluang bagi perencanaan dan pengawasan yang lebih bersifat sektoral. Reformasi pada saat ini menekankan pada anggaran yang terintegrasi dan berfokus pada kinerja, berdasarkan sudut pandang pembangunan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Proses baru ini menggunakan rencana jangka panjang dan menengah pada tingkat nasional dan daerah sebagai dasar bagi proposal anggaran tahunan. Kebijakan pada saat ini juga mempertimbangkan penggunaan kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, dengan plafon anggaran masa depan untuk pengguna anggaran.
151
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Tabel 5.8 Ketidaksejalanan antara Reformasi Anggaran dengan Pendanaan Air Minum dan Sanitasi
Pilar-Pilar Reformasi Anggaran
Pendanaan AMPL Saat Ini
Kesatuan anggaran sehingga semua dana menjadi akuntabel dan dapat diawasi
Berbagai kegiatan ‘off budget’, terutama dari sudut pandang pemerintah daerah yang memegang tanggungjawab utama AMPL
Penganggaran berdasarkan kinerja perlu untuk mendefinisikan hubungan antara input (alokasi) dengan output dan hasil untuk memastikan keefektifan anggaran
Pencapaian hasil AMPL atau ketidakberhasilannya tidak dapat dikaitkan secara mudah kepada badan tertentu karena sektor ini melibatkan berbagai tingkat pemerintahan dan berbagai badan. Tidak ada kontrak atau strategi yang mencakup keseluruhan sektor yang dapat dipergunakan untuk mengalokasikan tanggung jawab dan akuntabilitas pendanaan antar pelaku.
Kerangka kerja pengeluaran jangka Kebanyakan pendanaan bersifat tahunan dan bukan menengah (MTEF) untuk bertahun-tahun dan tidak ada MTEF untuk sektor ini. perencanaan dalam jangka yang lebih panjang dan realistis Kerangka kerja perencanaan dan anggaran pada saat ini tidak mendukung perencanaan yang mencakup keseluruhan sektor. Untuk sektor yang dipegang oleh satu otoritas yang sama, hal ini bukan merupakan masalah. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya, otoritas di bidang penyediaan AMPL mencakup banyak unit dan institusi.
5.4.2
Kecenderungan Anggaran untuk Penyediaan Air Minum dan Sanitasi 2003-2005
5.4.2.1
Investasi Daerah untuk Air Minum dan Sanitasi
Sebagai ilustrasi pembiayaan daerah untuk air minum dan sanitasi dasar, diambilkan dari studi di wilayah yang mendapatkan fasilatsi program WASPOLA. Program ini bertujuan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan air minum dan sanitasi serta mendampingi daerah dalam implementasi kebijakan tersebut. Rata-rata investasi daerah dalam sektor AMPL di Indonesia (penyediaan air, sanitasi, limbah padat dan saluran air) di lokasi WASPOLA tercatat meningkat dari tahun ke tahun.
152
Bab 5. Pembiayaan Bidang Air Minum dan Sanitasi
Gambar 5.22 Alokasi Pembiayaan Air Minum dan Sanitasi Menurt Sub-Sektor di Tingkat Daerah 45,000
40,000
35,000
30,000
25,000 IDR
Other WES Sanitation Water
20,000
15,000
10,000
5,000
0 2003
2004
2005
2003
Districts
2004
2005
2003
Provinces
2004
2005
Cities
Local Government Level
Kebanyakan alokasi anggaran AMPL daerah, sekitar 90%, diperuntukkan bagi investasi kapital. Hanya sejumlah kecil yang dialokasikan untuk bantuan teknis, sosialisasi, dan pembangunan kapasitas (lihat Gambar berikut).
Gambar 5.23 Alokasi Pembiayaan Air Minum dan Sanitasi Menurut Jenis Kegiatan di Tingkat Daerah
8%
Capital
0%
Technical Assistance
2%
Project Support and Maintenance Socialization and Capacity Building
90%
153
Bab 5. Pembiayaan MDGs Bidang Air Minum dan Sanitasi
Sekitar 50% dari alokasi anggaran AMPL propinsi dan kabupaten diperuntukkan bagi penyediaan air. Namun, pada anggaran kota, penyediaan air mendapatkan bagian yang lebih kecil; alokasi anggaran AMPL kota yang terbesar adalah untuk saluran air. Alokasi anggaran AMPL untuk limbah padat mendapatkan bagian kecil pada semua tingkat pemerintahan, yang terbesar hanya mencapai 5% dari anggaran kota. Sanitasi mendapatkan sekitar seperlima dari total alokasi anggaran untuk penyediaan air, namun perbandingan ini bervariasi pada setiap tingkat pemerintahan. 5.4.2.2
Investasi Nasional AMPL
Alokasi dari Departemen Pekerjaan Umum ke pemerintah daerah, baik secara nasional maupun bagi peserta WASPOLA, kebanyakan untuk sector air. Secara nasional, sanitasi hanya mendapat sekitar 15% dari total alokasi Departemen Pekerjaan Umum untuk penyediaan air. Sedangkan untuk daerah dampingan WASPOLA, sanitasi dialokasikan sekitar 10% dari jumlah ini. Dua 60% dari alokasi Departemen Pekerjaan Umum dianggarkan untuk investasi fisik dan hampir keseluruhan sisanya untuk bantuan teknis, yang meliputi studi optimalisasi sektor, rancangan teknik detail dan studi kelayakan yang terkait dengan investasi fisik. Departemen Kesehatan adalah departemen yang menyalurkan dana terbesar nomor dua untuk air dan sanitasi, namun jauh lebih sedikit dibandingkan Departemen Pekerjaan Umum. Dalam jangka waktu tiga tahun, alokasi anggaran umum Departemen Kesehatan untuk penyediaan air dan sanitasi hanya sebesar kurang dari satu persen dari jumlah yang dialokasikan oleh PU, dan alokasi dari Depkes terus menurun sepanjang jangka waktu studi. Di sisi lain, pendanaan Depkes untuk sanitasi melebihi kontribusi Departemen PU.
154
BAB 6 PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PROGRAM YANG TERINTEGRASI
155
BAB 6
PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PROGRAM YANG TERINTEGRASI
6.1 Pendahuluan
K
emiskinan sebagai salah satu komponen utama dalam tujuan MDGs dicantumkan dalam tujuan 1 yaitu menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga pada tahun 2015 menjadi setengah dari jumlahnya pada tahun 1990. Apabila garis kemiskinan adalah pendapatan per kapita sebesar USD 1 per hari, target MDGs tersebuit di Indonesia sudah lama terlampaui. Dengan indikator itu pada tahun 1990 terhitung 20,60 persen penduduk adalah penduduk miskin dan hanya berjumlah 7,54 persen pada tahun 2006. Sementara itu, apabila mengikuti standar kemiskinan nasional, jumlah penduduk miskin tahun 2006 dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1990 terlihat lebih tinggi. Untuk itu, target penurunan kemiskinan menurut standar nasional pada tahun 2015 menjadi setengahnya dari tahun 1990 merupakan tantangan yang berat . Pembahasan pada bagian ini akan difokuskan ke dalam isu kemiskinan dan bagaimana penanggulangan kemiskinan telah menjadi fokus utama pembangunan pemerintah. Berbeda dengan pembahasan pada bab-bab lainnya, sektor pendidikan, kesehatan, dan air minum dan sanitasi, bab ini hanya merupakan paparan program-program yang selama ini berjalan untuk menanggulangi kemiskinan dan tidak mencoba untuk menghitung kebutuhan biaya untuk mencapai totalitas target MDGs bidang kemiskinan. Beberapa pakar menyatakan bahwa pengurangan kemiskinan dapat terjadi dengan sendirinya apabila pertumbuhan ekonomi mencukupi. Tentu saja hal ini tergantung pada beberapa faktor; salah satu yang terpenting antara lain adalah elastisitas kemiskinan yang bergantung pada tingkat distribusi pendapatan dan garis kemiskinan. Selain itu pertumbuhan penduduk juga memegang peranan penting. Pengurangan kemiskinan akan terjadi apabila pertumbuhan penduduk diikuti oleh peningkatan pendapatan yang tumbuh lebih tinggi. Meskipun tidak terjadi perubahan distribusi pendapatan di dalam masyarakat, peningkatan pendapatan melalui pertumbuhan ekonomi dapat mengangkat orang-orang di bawah garis kemiskinan yang diasumsikan tidak berubah. Apabila argumentasi ini benar; maka untuk kasus Indonesia, dimana Gini Coefficient-nya sekitar 0,35 (yang menghasilkan elastisitas kemiskinan sekitar 0,5) dan pertumbuhan penduduk sekitar 1,4 persen pada tahun-tahun terakhir ini dibutuhkan hanya sekitar 3 persen pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi
157
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
tingkat kemiskinan. Sementara ini pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai lebih dari 5 persen namun tingkat kemiskinan hanya menurun sangat sedikit. Salah satu penyebab melesetnya perkiraan ini adalah bahwa asumsi tidak berubahnya distribusi pendapatan tidak dapat terpenuhi. Dengan kata lain, distribusi pendapatan semakin tidak merata yang terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Melihat tantangannya yang berat, pengurangan kemiskinan merupakan tugas yang tidak dapat dilihat hanya secara sektoral, karena merupakan pekerjaan lintassektor yang harus terintegrasi. Meskipun demikian, saat ini penanggulangan kemiskinan telah dilakukan melalui dua arus pendekatan utama yaitu; pertama adalah penanggulangan kemiskinan oleh masingmasing sektor yang berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan seperti pendidikan dan kesehatan. Program pendidikan yang menyentuh keluarga miskin berupa pemberian beasiswa bagi murid yang berasal dari keluarga miskin. Di bidang kesehatan, bagi keluarga miskin diberikan kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di puskesmas dan pelayanan kesehatan rujukan gratis di kelas tiga Rumah Sakit melalui program kartu sehat asuransi kesehatan bagi rakyat miskin (Askeskin). Kedua, selain program-program bernuansa kemiskinan yang dilakukan oleh masing-masing sektor atau departemen, program penanggulangan kemiskinan juga dilakukan secara terintegrasi dengan melihat dari sisi sisi kebutuhan mereka. Salah satu program yang masih berada dalam tahap uji coba adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Program penanggulangan kemiskinan ini melihat permasalahan kemiskinan secara lebih terintegrasi sehingga memiliki ciri lintas sektoral.
6.2 Program Penanggulangan Kemiskinan Hal yang membedakan program-program penanggulangan kemiskinan secara sektoral dan lintas sektoral adalah bahwa program sektoral cenderung berbentuk pemberian kemudahan dari sisi suplai, pelayanan atau penyaluran. Sementara itu, program kemiskinan lintas sektoral melalui Program Keluarga Harapan (PKH) menanggulangi permasalahan kemiskinan dengan memberdayakan penduduk miskin tersebut serta mendorong keluarga miskin untuk mendayagunakan pelayanan dasar yang tersedia secara maksimal. Pada intinya, program ini mencoba untuk memberikan dukungan dari sisi permintaan. Dalam program seperti ini penerima manfaat diharapkan aktif berpartisipasi untuk memperoleh, jika perlu mengejar, manfaat pelayanan yang tersedia bagi mereka. Tulisan ini mencoba untuk mengupas kedua aspek pembiayaan penanggulangan kemiskinan yang difokuskan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Kedua jalur pendanaan tersebut seperti yang telah disebutkan di atas adalah pembiayaan secara sektoral atau pembiayaan secara lintas sektor.
6.2.1
Pembangunan Pendidikan untuk Anak dari Keluarga Tidak Mampu
Pencapaian MDGs di bidang pendidikan harus difokuskan pada upaya untuk menarik anak-anak diluar sekolah untuk bersekolah dan mempertahankannya berada di sekolah. Percepatan peningkatan pertumbuhan partisipasi sekolah yang diperlukan untuk
158
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
mencapai pendidikan sembilan tahun cenderung lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan partisipasi sekolah yang terjadi saat ini. Sekitar 500 ribu anak diharuskan bersekolah pada tahun 2008 dan diproyeksikan terus meningkat setiap tahun sehingga tujuan MDG bidang pendidikan akan tercapai. Oleh karena itu diperlukan komitmen yang kuat untuk menarik anak-anak usia sekolah tersebut untuk bersekolah. Apabila tidak, maka pertumbuhan partisipasi sekolah tidak akan sesuai dengan yang diharapkan dan tidak akan sesuai dengan target MDGs. Kemiskinan masih menjadi kendala utama anak-anak tidak bersekolah. Kemiskinan menyebabkan beberapa hal sebagai berikut (yang diurutkan berdasarkan kemudahan relatif untuk menanganinya) pertama, kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mampu membiayai sekolah anak; kedua, kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mau melepaskan anak untuk bersekolah; ketiga, kemiskinan menyebabkan orang tua berpikir skeptis tentang pentingnya sekolah. Pembangunan sekolah di daerah miskin atau terpencil, pengupayaan pendidikan gratis bagi anak dari keluarga miskin, dan pemberian beasiswa adalah upaya-upaya yang meringankan beban biaya pendidikan sehingga anak-anak dari keluarga miskin dapat bersekolah. Pembangunan sekolah di daerah terpencil akan mengurangi beban transportasi dan opportunity cost bersekolah. Dengan berdirinya sekolah di sekitar tempat tinggal mereka, keluarga tidak mampu dapat mengurangi biaya transportasi yang harus dikeluarkan apabila anaknya bersekolah. Selain pembangunan sekolah, pendidikan gratis juga dapat menjadi program utama dalam mengentaskan pendidikan dasar anak selama sembilan tahun. Melalui pendidikan gratis maka anak dari keluarga miskin akan terbebas dari segala beban biaya sekolah. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang memberikan dana hibah kepada sekolah yang perhitungannya berbasis pada beban murid adalah salah satu upaya yang nyata dalam meningkatkan partisipasi sekolah di kalangan keluarga miskin. Terlepas dari hasil evaluasi mengenai efisiensi BOS terhadap pertambahan partisipasi sekolah dari kalangan anak miskin, program ini diharapkan akan dapat menarik anak miskin lebih banyak di kemudian hari. Dengan menyekolahkan anak, orang tua telah berkomitmen dalam menyiapkan dana untuk pengeluaran baik langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan sekolah. Terdapat korelasi yang positif antara program pembangunan sekolah dengan pengeluaran bukan pendidikan untuk anak (Maliki, 2007). Sebuah keluarga melihat rendahnya opportunity cost bersekolah apabila sekolah lebih dekat dengan tempat tinggal yang disebabkan oleh pembangunan sekolah oleh pemerintah ataupun swasta. Dengan menurunnya opportunity cost tersebut, orang tua memutuskan untuk mengirimkan anaknya ke sekolah. Konsekuensinya, mereka juga harus mengeluarkan uang pendidikan langsung, seperti iuran sekolah dan iuran lainnya, meskipun secara resmi tidak boleh ada lagi pungutan di sekolah. Pengeluaran langsung lainnya adalah pengeluaran untuk alat tulis menulis, buku pelajaran, seragam, dan lainnya. Sementara itu, dengan bersekolahnya anak, terdapat pengeluaran tidak langsung yang cenderung meningkat, seperti makan siang di sekolah, pakaian bebas yang cenderung dipakai apabila anaknya bermain dengan teman sekolahnya, dan sebagainya. Untuk itu, pengeluaran bukan makanan ataupun pengeluaran out-of-pocket orang tua akan memberikan beban tertentu terutama terhadap keluarga miskin.
159
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Program beasiswa ditujukan untuk mengurangi beban pengeluaran langsung mapun tidak langsung akibat bersekolah. Berdasarkan perhitungan pembiayaan pencapaian MDG bidang pendidikan yang akan dijabarkan pada bab berikut ini, besarnya biaya program beasiswa tersebut diperkirakan sebesar Rp 2 triliun yang mencakup anak SD/MI kelas 4, 5, dan 6 dan anak SMP/MTs kelas 1 sampai 3. Kebutuhan beasiswa untuk anak miskin akan terus meningkat untuk mempertahankan anak-anak miskin bersekolah karena setiap tahun jumlah target tambahan anak miskin yang harus bersekolah dan a jumlah mereka terus bertambah. Faktor kedua kendala anak dari keluarga miskin tidak bersekolah adalah ketidakmauan orang tua untuk melepas anaknya bersekolah. Caldwell (1976) dalam tulisannya yang menjadi pedoman teori fertilitas berargumentasi bahwa orang tua di negara berkembang menjadikan anaknya komoditas ekonomi dan investasi hari tua mereka. Terlepas dari kontroversi tentang kesahihan argumen tersebut, keluarga miskin cenderung untuk mengirimkan anak mereka menjadi pekerja buruh jika memungkinkan. Anak berusia di atas 10 tahun, bahkan lebih muda dari itu, sampai usia dewasa dapat berkontribusi secara finansial sebesar-besarnya sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 250 ribu tergantung pekerjaan dan umur mereka. Anak-anak dari keluarga petani atau pengusaha, cenderung menyuruh anaknya untuk bekerja daripada mengirimkan anaknya bersekolah karena faktor ekonomi. Oleh karena itu, dengan bersekolah, anak tersebut tidak dapat memberikan kontribusi lagi sehingga mereka kehilangan pendapatan yang cukup substansial. Apabila tidak terdapat kompensasi yang memadai, orang tua akan enggan melepaskan anaknya untuk bersekolah. Terlebih lagi, mereka yang berusia sekitar 10 sampai 15 tahun sangat rawan menjadi pekerja anak dan putus sekolah atau tidak bersekolah sama sekali. Untuk itu, perlu diberikan kompensasi terhadap keluarga miskin apabila mereka menyekolahkan anaknya. Besarnya kompensasi tersebut dapat disesuaikan dengan usia anak. Dengan memberikan kompensasi sekitar Rp 40 ribu untuk anak SD/MI dan 50 ribu untuk anak SMP/MI setiap bulan, (dan diasumsikan terdapat sekitar 15% anak dari keluarga miskin) diperkirakan diperlukan dana sekitar Rp 1 triliun pada tahun 2008, dan angka itu terus meningkat setiap tahunnya. Persepsi orang tua yang tidak memahami pentingnya pendidikan menjadi kendala utama mengentaskan partisipasi sekolah sembilan tahun. Selain orang tua yang mempunyai pikiran tersebut, banyak pula anak miskin yang malas untuk bersekolah. Tidak jelas apakah hal ini disebabkan karena skeptisime mereka mengenai ketidakmampuan mereka bersekolah baik secara finansial maupun kognitif atau mereka memang tidak melihat keuntungan bersekolah. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung lambat dan pertumbuhan pengangguran yang terus meningkat memperkuat pemikiran-pemikiran tersebut. Anak miskin dengan sekolah sekedarnya tidak dapat berkompetisi untuk mencari pekerjaan. Akhirnya mereka harus menerima pil pahit dengan menjadi penganggur. Melihat kejadian seperti itu, akhirnya mereka berpikir bahwa tidak ada gunanya sekolah karena nantinya pun tidak berguna dalam mencari pekerjaan. Permasalahan ini tidak dapat diselesaikan secara sepihak, karena melibatkan banyak pihak. Dari sisi sektor pendidikan, peningkatan mutu pendidikan menjadi sasaran utama dalam meningkatkan kualitas para lulusan sehingga di mana pun anak bersekolah, mereka berhak untuk mendapatkan kualitas pengajaran dan pelajaran yang sama. Hal ini akhirnya dapat memberikan keyakinan pada para pengguna tenaga kerja (produsen)
160
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
untuk menggunakan para lulusan tersebut. Di lain pihak, peningkatan kesempatan berusaha harus menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi. Kesempatan berusaha yang ditekankan pada kelompok miskin dengan program pemberdayaan. Program advokasi pentingnya pendidikan harus terus digalakkan terutama di daerah-daerah marjinal. Pembangunan pendidikan merupakan lini utama dalam peningkatan sumber daya manusia. Melalui pendidikan rantai ‘pewarisan’ kemiskinan dapat diputus dan memberikan pengharapan baru terhadap generasi yang akan datang. Sumber daya manusia yang berpendidikan tinggi memberikan eksternalitas positif yang tidak dapat dikuantifikasikan.
6.2.2
Pembangunan Kesehatan untuk Keluarga Miskin
Indikator pencapaian MDG bidang kesehatan sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Sebagai contoh, tujuan MDGs untuk menekan jumlah penduduk miskin dari tahun 1990 menjadi setengahnya pada tahun 2015 sangat dekat hubungannya dengan peningkatan status gizi dan konsumsi energi keluarga miskin. Angka kematian balita (AKABA) dan angka kematian bayi bawah satu tahun (AKB) merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal anak-anak termasuk perawatan kesehatan mereka. Penyebab utama kematian neonatus adalah penyakit infeksi (15%) maupun berat badan lahir rendah (BBLR sebesar 28%), dan juga asfiksia 27%. Untuk itu, program kesehatan banyak ditekankan pada peningkatan status gizi bayi dan anak-anak balita yang lebih banyak difokuskan pada orang-orang miskin. Melihat penyebab kematian bayi maupun balita tersebut pencegahan berupa pemberian masukan gizi tinggi akan membantu dalam mengurangi angka kematian. Selain itu pemberian imunisasi gratis bagi orang tidak mampu terus digalakkan. Negara-negara sedang berkembang biasanya membiayai imunisasi Campak dan DPT ( Dipteri, Pertusis dan Tetanus) sebagai bagian dari paket dasar kesehatan nasional. Campak merupakan penyebab utama kematian anak. Pendekatan program, imunisasi campak memberikan gambaran bahwa anak yang mendapatkan imunisasi campak telah mendapatkan imunisasi dasar lainnya. Indikator kesehatan selanjutnya adalah Angka Kematian Ibu (AKI) yang secara langsung berhubungan dengan kehamilan. Kematian dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan kesehatan selama kehamilan dan pesalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (28%), infeksi (24%), eklamsia (11), komplikasi nifas (8%), partus macet/lama ( 5%), abortus (5%) dan lainnya (11%). Program peningkatan gizi dan pemeriksaan teratur merupakan upaya pencegahan kematian ibu pada masa kehamilan maupun setelah melahirkan. Pelayanan gratis yang disediakan di puskesmas menitikberatkan pada orang yang tidak mampu. Peningkatan kasus dan kematian akibat penyakit menular, terutama malaria, disebabkan oleh menurunnya sistem kesehatan, peningkatan resistensi obat dan insektisida, perubahan pola cuaca secara periodik, kerusuhan sipil, migrasi, dan pemindahan penduduk. Sebagian besar penyebab kematian tersebut sangat berhubungan dengan tingkat kemiskinan atau sosial ekonomi seseorang. Untuk itu, upaya menurunkan tingkat kematian akibat penyakit malaria dengan mendistribusikan kelambu yang telah diberi insektisida, meningkatkan akses pelayanan kesehatan, dan menyediakan obat antimalaria dilakukan terutama kepada keluarga miskin.
161
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
6.3 Penanggulangan Kemiskinan Terintegrasi: Program Keluarga Harapan (PKH) Strategi pembiayaan bidang pendidikan dan kesehatan yang telah disebutkan di atas melihat dari sisi pengadaan, yaitu pengadaan gedung sekolah, peningkatan kualitas guru, pembiayaan sekolah gratis, dan sejenisnya yang cenderung menjadi tanggung jawab sektoral. Sementara beasiswa untuk orang miskin masih bisa dilihat sebagai upaya pembiayaan dari sisi suplai karena beasiswa tersebut diberikan untuk anak yang sudah ada di sekolah. Kemungkinan beasiswa tersebut berpengaruh terhadap keputusan orang tua untuk menyekolahkan anaknya yang belum bersekolah meskipun kemungkinannya kecil. Sementara itu, kompensasi forgone income dan advokasi mengenai pentingnya pendidikan termasuk program pembiayaan dengan pendekatan dari sisi permintaan. Pembangunan sektor pendidikan dari sisi permintaan adalah upaya peningkatan partisipasi sekolah dengan memperbaiki atau meningkatkan sisi permintaan terhadap pendidikan dari orang tua maupun anak sendiri. Program ini pada dasarnya adalah memberdayakan ‘empowerment’ orang tua sehingga mereka sadar dan mampu untuk menyekolahkan anaknya. Pengembangan sisi permintaan pada dasarnya mampu meningkatkan partisipasi sekolah dan frekuensi masuk sekolah, menurunkan mengulang kelas atau putus sekolah, dan akhirnya meningkatkan prestasi di sekolah. Ide dasarnya adalah memberikan insentif finansial kepada orang tua apabila mereka menyekolahkan anak. Program yang sedang dikembangkan adalah Bantuan Tunai Bersyarat atau lebih dikenal dengan Conditional Cash Transfers (CCT). Program ini telah terbukti efektif dalam mengatasi masalah kemiskinan terutama di negaranegara yang memiliki kemiskinan kronis. CCT adalah salah satu program intervensi pengentasan kemiskinan berbasis pemberian bantuan tunai. Program ini mengentaskan kemiskinan dengan mengidentifikasi secara tepat siapa dan di mana lokasi satu keluarga miskin. Selanjutnya intervensi diterapkan melalui persyaratan yang harus dipenuhi oleh rumah tangga agar rumah tangga tersebut dapat menerima bantuan tunai. Syarat ini pada umumnya terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, seperti misalnya menyekolahkan anak usia sekolah dan memeriksakan kesehatan anak balita dan ibu hamil atau menyusui. Jika si anak tidak masuk sekolah lebih dari batas yang telah ditetapkan atau ibu tidak memeriksakan balita atau kandungannya sesuai jadual yang ditetapkan, maka rumah tangga ybs tidak akan menerima bantuan tunai tersebut. Sejalan dengan pemenuhan persyaratan tersebut, si ibu juga harus menghadiri berbagai pertemuan kelompok dan kegiatan penyuluhan untuk perbaikan pola hidupnya. Karakteristik unik yang ditawarkan oleh CCT ini adalah rasa tanggung jawab dari sisi penerima transfer. Dengan mengaitkan syarat pemberian transfer tunai dengan partisipasi, misalnya di bidang pendidikan dan kesehatan, maka ini akan menimbulkan rasa tanggung jawab di sisi penerima bantuan, dalam jangka panjang. Dengan demikian program CCT ini mengeksploitasi komplementaritas antara kecukupan pendapatan, perbaikan pendidikan dan perbaikan status kesehatan secara bersama-sama.
162
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Beberapa program intervensi pengentasan kemiskinan dengan menggunakan CCT sebagai basisnya telah dibuat di beberapa negara di dunia ini. Program ini telah diaplikasikan di beberapa negara seperti Mexico dengan nama Progresa and Opportunidades, Brazil dengan nama Bolsa Familia, dan Nicaragua dengan program Red de Protección Social (RPS), Columbia dengan program Familias en Accion. Program Progresa and Opportunidades di Argentina dimulai pada tahun 1995 saat krisis ekonomi Meksiko. Tujuan dari Oportunidades adalah untuk meningkatkan kemampuan rumah tangga yang hidup dalam kondisi kemiskinan terparah. Caranya adalah dengan melakukan investasi pada mutu modal manusia. Target program ini pada tahun 2004 adalah 5 juta keluarga atau 18 persen dari total penduduk Meksiko. Intervensi dilakukan di sejumlah 86 ribu lokasi, yang sekitar 96 persennya ada di daerah perdesaan dengan penduduk kurang dari 2.500 orang. Keseluruhan intervensi ini berlokasi di sekitar 2.435 daerah setingkat kabupaten/kota di Indonesia. Program ini menghabiskan sekitar USD 2,5 juta (atau sekitar 0,3 persen dari GDP Meksiko) untuk tahun yang sama. Jenis intervensi meliputi transfer kepada anak-anak di kelas 3-9, transfer tunai dan in-kind untuk mendukung peralatan sekolah, paket kesehatan dasar untuk anggota keluarga, transfer tunai untuk pengeluaran keluarga, suplemen gizi untuk balita berumur 4-23 bulan dan anak gizi buruk berumur 2-5 tahun, dan perempuan hamil atau menyusui. Komponen pertama dari transfer tunai ini ialah transfer pendidikan. Nilai transfer meningkat berdasarkan jenjang pendidikan, dan nilainya lebih tinggi bagi anak perempuan di sekolah menengah. Di tahun 1999, nilai bantuan bulanan dimulai dari 80 pesos.1 Bantuan tunai diberikan kepada keluarga yang memiliki anak di bawah 18 tahun yang bersekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah. Bantuan diberikan hanya jika si anak hadir sedikitnya 85 persen di kelasnya setiap bulannya dan apabila tingkat ketidakhadirannya lebih dari 15 persen tanpa sebab yang jelas bantuan tunainya akan dihentikan. Nilai transfer pendidikan disesuaikan besarnya dengan nilai pendapatan yang mungkin didapatkan oleh si anak apabila ia bekerja, dan bukannya bersekolah. Karena itu nilai transfer ini akan bertambah tinggi sejalan dengan usia si anak. dan bantuan tunai untuk anak perempuan ditetapkan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Nilai transfer ini juga disesuaikan dengan inflasi, sehingga membuat nilai riilnya konstan. Komponen kedua ialah transfer makanan yang nilainya sebesar 125 pesos untuk setiap keluarga. Jumlah ini diberikan apabila keluarga yang bersangkutan secara reguler melakukan pemeriksaan kesehatan, dan juga workshop bulanan tentang nutrisi dan kebersihan. Selain itu, keluarga dengan anak di bawah tiga tahun menerima suplemen nutrisi bulanan (dalam bentuk in-kind). Secara umum, nilai transfer yang diterima satu keluarga adalah sekitar 20 persen dari total pengeluran konsumsi RT. Uang bantuan tersebut diberikan kepada ibu, dengan harapan dapat memberi dampak maksimal kepada anak. Nilai transfer juga disesuaikan dengan inflasi setiap enam bulan.
1
Di tahun 1999, nilai tukar ialah USD 1 = 10 peso
163
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Prosedur pemilihan bantuan dimulai dengan pemilihan daerah miskin. Setelah daerah miskin terpilih, dilaksanakan sensus di daerah tersebut untuk mengidentifikasi keluarga yang berhak mendapat bantuan. Seleksi akhir akan melibatkan komunitas. Metode seleksi yang seperti ini biasanya efisien, karena sensus hanya dilaksanakan di daerah yang telah terpilih sebagai miskin. Namun demikian metode seleksi ini memiliki kekurangan karena itu mampu mengidentifikasi kelompok miskin di daerah yang relatif lebih maju. Biasanya kelompok miskin yang ada di daerah yang lebih maju ini adalah kelompok yang relatif agak lebih kaya. Karena itu Skoufias et al (1999) menyatakan bahwa metode seleksi yang seperti ini berpotensi mengurangi tingkat kesenjangan kemiskinan atau tingkat keparahan kemiskinan, namun tidak terlalu efektif untuk mengurangi angka kemiskinan (headcount ratio). Tabel 6.1 Program Conditional Cash Transfers (CCT) di Beberapa Negara
Program Oportunidades (Mexico)
USD PPP per keluarga per bulan (rata-rata) Pendidikan 61,54
Bolsa Familia (Brazil) Familias en Accion (Colombia)
Total
Kesehatan/Nutrisi 21,44
64,29 53,21
Solidario (Chile)
31,38 22,11
PATH (Jamaica)
27,36
27,36
RPS (Nicaragua)
31,91
53,59
PRAF (Honduras)
22,49
31,30
Sumber: Rawling (2005)
Tabel 6.1 menunjukkan ringkasan program Conditional Cash Transfers di beberapa negara termasuk program Familias en Accion di Columbia. Program ini seperti programprogram lainnya juga memberikan penekanan pada partisipasi sekolah dan peningkatan pemakaian fasilitas kesehatan bagi orang miskin. Attanasio dan Mesnard (2005) membuat evaluasi atas program Familias en Accion ini. Hasilnya menunjukkan bahwa program ini memberi dampak positif kepada pengeluaran konsumsi total. Namun demikian besar dari dampak tersebut tidak sebesar yang dibayangkan sebelumnya. Program Familias en Accion ini juga terbukti memperbaiki kualitas komoditi yang dikonsumsi menjadi lebih kaya protein. Studi ini juga menunjukkan bahwa Familias en Accion berhasil membuat efek redistribusi yang menguntungkan anak, dan pada saat yang bersamaan tidak terdeteksi adanya perubahan signifikan pada konsumsi barang dewasa (seperti alkohol, rokok ataupun barang sandang dewasa). Attanasio et al (2004) menunjukkan bahwa program ini memiliki tingkat kebocoran yang dapat diterima. Sekitar 71 persen dari keluarga yang mengikuti program ini memang miskin pada saat tersebut. Namun, program ini memiliki masalah exclusion error, karena sulitnya menjangkau keluarga miskin yang berada di daerah pedalaman dan tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan. Skoufias dan Parker (2001) juga memberikan suatu justifikasi bahwa transfer tunai bersyarat dapat dilaksanakan, dengan menunjukkan interaksi antara transfer tunai, preferensi keluarga dan tingkat pendapatan (budget constraint). Syarat yang ditetapkan oleh program
164
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
akan mempengaruhi penggunaan waktu di keluarga. Program ini akan menyebabkan terjadinya income effect di tingkat rumah tangga di mana program ini diaplikasikan. Jika si anak membantu di ladang, maka keluarga tersebut sesungguhnya menerima tambahan pendapatan setara dengan nilai tenaga kerja si anak tersebut. Dengan pergi ke sekolah maka si anak tersebut tidak bisa membantu pekerjaan orang tuanya, dan karenanya pendapatan keluarga akan lebih rendah. Skoufias dan Parker (2001) berargumentasi bahwa akan ada suatu nilai transfer tertentu yang dapat memberi insentif bagi keluarga tersebut untuk mengirimkan anaknya ke sekolah. Syarat (conditionalities) memegang peranan penting pada program bantuan tunai bersyarat ini. Hal ini lah yang membedakan program ini dengan model bantuan tunai langsung yang tidak menaruh persyaratan apapun bagi penerimanya. Terkait dengan uraian di atas, potensi keuntungan dari memberi syarat mencakup hal-hal berikut2: 1.
Persyaratan tersebut dapat mendorong rumah tangga untuk melakukan investasi pada kualitas sumber daya manusia, khususnya bagi anaknya (dibandingkan jika tidak ada persyaratan). Dengan status kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, maka peluang generasi mendatang untuk keluar dari perangkap kemiskinan akan lebih besar.
2.
Persyaratan dapat dianggap menjadi semacam kontrak antara pemerintah dan rumah tangga. Dengan kontrak ini ada rasa tanggung jawab yang lebih besar di sisi rumah tangga untuk mengikuti program CCT tersebut.
3.
Persyaratan tersebut juga membuat kualitas layanan kesehatan dan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah menjadi lebih baik.
Sementara itu, potensi sisi negatif dari persyaratan tersebut adalah: Jika persyaratan dibuat terlalu kaku, maka kemungkinan besar penerapan persyaratan tersebut dapat mengeluarkan (excluding) kelompok yang paling membutuhkan intervensi pemerintah lewat CCT tersebut. Fleksibilitas di tingkat lokal dalam menentukan kriteria kelompok penerima bantuan sangatlah penting, terutama di negara yang tinggi variasi masyarakatnya seperti Indonesia. 1.
Diperlukan kegiatan pemantauan yang memadai untuk menjamin bahwa persyaratan tersebut dipenuhi. Kegiatan pemantauan harus dilaksanakan secara kontinyu dan inheren dengan program itu sendiri. Pemantauan eksternal bisa menjadi komplemen pemantauan internal. Kegiatan pemantauan pemenuhan persyaratan ini bisa sangat memakan sumber daya.
2.
Persyaratan malah menjauhkan rumah tangga dari ’pilihan’ konsumsinya. Hal ini dapat dipandang sebagai berlawanan dengan konsep transfer sosial yang memberi bobot lebih kepada pengentasan kemiskinan melalui partisipasi rumah tangga miskin dalam memilih apa yang terbaik bagi mereka.
2
Diambil dari Proceeding 3rd Conference on CCT in Turkey, June 2006
165
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Tentunya faktor-faktor positif dan negatif di atas tidak berlaku sama untuk seluruh negara yang mengimplementasikan CCT. Konteks lembaga sosial budaya lokal memegang peranan penting dalam menentukan faktor mana yang harus diperhatikan lebih serius. Bantuan tunai tidak saja memberikan nilai positif terhadap investasi manusia, tetapi juga mengundang kontroversi lainnya. Bantuan tunai semacam ini seringkali dianggap bukan sebagai jalan keluar berkelanjutan dari suatu intervensi pengentasan kemiskinan. Metode pengentasan kemiskinan ini sering dianggap menciptakan ketergantungan masyarakat kepada bantuan pemerintah. Transfer tunai tidak akan memberdayakan suatu keluarga untuk secara mandiri berusaha keluar dari status miskin. Kemandirian ini penting bagi keluarga tersebut jika ingin secara permanen keluar dari kemiskinan itu sendiri. Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, intervensi pengentasan kemiskinan yang paling cepat adalah dengan memberikan transfer tunai. Pemberian uang tunai kepada keluarga miskin secara langsung berdampak pada pendapatan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan (income effect). Untuk jangka yang lebih panjang, perbaikan kualitas kesehatan dan pendidikan anak-anak keluarga tersebut berdampak pada membaiknya kesempatan karena ”harga” atau price effect yang dimiliki dari anak-anak tersebut dan akhirnya juga berdampak pada masa depan yang semakin baik dari anak-anak tersebut (insurance effect). Intervensi transfer tunai dipandang lebih baik daripada alternatif lain seperti pemberian barang (in-kind transfer), pemberian voucher, atau perbaikan sisi penawaran layanan publik (DFID 2005). Dengan in-kind transfer, pemerintah menyalurkan barang kebutuhan kelompok masyarakat miskin secara massal. Hal ini akan menghambat perkembangan sektor usaha, sedemikian sehingga hanya menguntungkan bagi sektor usaha yang memproduksi sekelompok barang yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Beberapa kelompok tertentu akan berusaha menjadi penyalur komoditi yang telah ditetapkan tersebut. Penetapan jenis dan spesifikasi barang itu sendiri akan menjadi masalah karena hampir pasti sulit untuk memuaskan seluruh perbedaan keinginan dan selera rumah tangga. Hal ini akan sangat jelas terasa di Indonesia yang memiliki keragaman yang sangat tinggi. Voucher tidak luput dari kelemahan yang sama. Jika voucher dimaksudkan sebagai alat untuk mendapatkan sejumlah barang yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka jenis intervensi ini akan menghadapi masalah yang sama dengan in-kind transfer. Jika voucher disalurkan melalui jalur distribusi resmi, maka tidak akan menguntungkan bagi jalur distribusi lain yang tidak ditunjuk oleh pemerintah. Penunjukkannya itu sendiri akan menciptakan kesempatan lagi bagi pemerintah untuk menarik rente ekonomi dari kegiatan ini. Jikalau rente ini dapat ditarik, maka penanggung rente ini tidak lain nantinya adalah kelompok rumah tangga miskin yang akan menerima jumlah atau kualitas barang di bawah dari apa yang telah digariskan. Seperti telah diuraikan, manfaat yang bisa didapat dari penerapan CCT pada bidang pendidikan adalah mendorong keluarga miskin untuk melakukan investasi sumber daya manusia dari anak-anaknya, meningkatkan tingkat partisipasi sekolah. Sedangkan manfaat yang bisa diperoleh dari bidang kesehatan adalah meningkatkan kesehatan ibu dan anak dari masyarakat miskin. Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial, Pemerintah Indonesia mulai tahun 2007 akan melaksanakan CCT yang disebut sebagai Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini
166
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
bukan dimaksudkan sebagai kelanjutan program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang diberikan dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. PKH lebih dimaksudkan kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Untuk tahun 2007, PKH akan dilaksanakan pada beberapa daerah uji coba dengan sasaran sebanyak 500 ribu RTSM (rumah tangga sangat miskin). Tujuan uji coba ini adalah untuk menguji berbagai instrumen yang diperlukan dalam pelaksanaan PKH, seperti antara lain metode penentuan sasaran, verifikasi persyaratan, mekanisme pembayaran, dan pengaduan masyarakat. Pelaksanaan PKH di Indonesia diharapkan akan membantu penduduk termiskin, bagian masyarakat yang paling membutuhkan uluran tangan dari siapapun juga. Pelaksanaan PKH secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015 akan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs). Setidaknya terdapat 5 komponen MDGs yang secara tidak langsung akan terbantu oleh PKH, yaitu pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu melahirkan. RTSM (rumah tangga sangat miskin) yang terpilih sebagai peserta PKH berhak memperoleh bantuan uang tunai apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Bantuan tunai dibayarkan kepada peserta setiap tiga bulan melalui kantor Pos terdekat dan diterima langsung oleh ibu RTSM atau perempuan yang mengasuh anak. Bantuan PKH terdiri atas komponen pendidikan dan kesehatan: 1.
Bantuan PKH terkait Bidang Pendidikan
RTSM dengan anak-anak usia 6-15 tahun, dan anak usia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar dan atau buta aksara dapat sebagai penerima bantuan pendidikan. Apabila anak kelompok usia tersebut bekerja baik di sektor formal maupun informal, maka Ibu dari RTSM peserta PKH harus mengikutkan anak tersebut kedalam program persiapan pendidikan (seperti: rumah singgah, rumah perlindungan sosial anak (RPSA), panti sosial asuhan anak, dll) dan selanjutnya mendaftarkan anak tersebut ke satuan pendidikan formal dan non formal (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sanggar kegiatan belajar (SKB), dan PLS (Pendidikan Luar Sekolah) lainnya. Peserta PKH yang memiliki anak dengan kemampuan terbatas (tuna daksa, keterbelakangan mental, keterbatasan penyerapan dan sejenisnya) memiliki pengecualian dalam hal usia. Semua anak dari kelompok ini yang masih mengenyam pendidikan dasar tidak dibatasi rentang usianya jika peserta didik tersebut terdaftar di sekolah khusus (SLB) maupun sekolah umum yang menyediakan program khusus. Bantuan tunai PKH komponen pendidikan akan diberikan jika anak-anak dari keluarga peserta PKH terdaftar dan memenuhi komitmen pendidikan yang ditetapkan (yakni kehadiran di kelas/kelompok belajar). Komitmen yang harus dipenuhi berbasis tingkat kehadiran 85%. Bukti bahwa anak-anak telah memenuhi komitmen pendidikan tersebut harus diverifikasi oleh tenaga pendidik. Hal ini juga berlaku pada kegiatan yang ada di panti sosial dan institusi serupa yang menangani pekerja anak atau mereka yang membutuhkan program penyesuaian kembali ke bangku sekolah.
167
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Jenis lembaga pendidikan dasar yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak dari keluarga peserta PKH terdiri dari: lembaga pendidikan formal (SD/MI, SMP/ MTs, pesantren salafiyah) dan lembaga pendidikan non formal (Balai Pengembangan Kegiatan Belajar, Sanggar Kegiatan Belajar, dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) 2.
Bantuan PKH terkait Bidang Kesehatan
Komponen kesehatan PKH diberikan kepada RTSM dengan anak-anak usia 0-5 tahun dan atau ibu hamil/nifas jika anggota keluarga peserta PKH memeriksakan kesehatannya secara rutin ke pusat-puat layanan kesehatan. Bukti bahwa anggota keluarga peserta PKH telah memenuhi komitmen harus diverifikasi oleh petugas kesehatan. Di awal kepesertaan, RTSM didampingi pendamping PKH Kecamatan mencatatkan status kesehatan dan mendapat jadwal kunjungan rutin bagi setiap anggota keluarganya di Puskesmas terdekat. Kunjungan berikut sebagai pemenuhan komitmen dapat dilakukan pada puskesmas dan jaringannya. Untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan kunjungan puskesmas dalam waktu bersamaan, pendamping PKH akan melakukan koordinasi waktu kunjungan dengan petugas puskesmas dan Ketua Kelompok peserta PKH. Persyaratan peserta PKH dapat dilihat pada Tabel 6.2 berikut ini. Tabel 6.2 Persyaratan Peserta PKH Kesehatan Sasaran
Ibu Hamil
Ibu Melahirkan
Persyaratan (kewajiban peserta)
Melakukan pemeriksaan kehamilan (antenatal care) sebanyak 4 (empat) kali selama masa kehamilan Mendapat supplemen tablet Fe
Fasilitas Puskesmas, Pustu, Polindes, Pusling Dokter &/ Bidan Desa Bidan kit Tablet Fe
Proses kelahiran bayi harus ditolong oleh Puskesmas, Pustu, Polindes, Pusling tenaga kesehatan terlatih Dokter, Bidan Desa Bidan kit, obat-obatan dan bahan-bahan pelayanan kesehatan ibu dan bayu baru lahir
Ibu Nifas
Bayi usia 0-11 bulan
Ibu yang telah melahirkan harus melakukan pemeriksaan atau diperiksa kesehatannya setidaknya 2 kali sebelum bayi mencapai usia 28 hari Anak berusia dibawah 1 tahun harus diimunisasi lengkap dan ditimbang secara rutin setiap bulan.
Dokter &/ Bidan Desa Bidan kit, obat-obatan dan bahan-bahan pelayanan kesehatan ibu & bayi baru lahir Puskesmas, Pustu, Polindes, Pusling atau Posyandu Vaksin BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B Alat penyimpan vaksin: cold chain Alat penimbang bayi: Dacin dan sarung timbang Buku rekord penimbangan bayi (Kartu Menuju Sehat) Tenaga: Juru Imunisasi (jurim) seperti perawat, Bidan Desa dan Juru timbang bayi seperti kader kesehatan, Bidan Desa, dll
168
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Sasaran
Persyaratan (kewajiban peserta)
Bayi usia 6-11 bulan
Mendapat suplemen tabel Vitamin A
Anak usia 2-5 tahun
Anak berusia 2-5 tahun dimonitor tumbuh kembang dengan melakukan penimbangan secara rutin setiap 3 bulan di fasilitas kesehatan.
Fasilitas
Anak usia 5-6 tahun
Melakukan penimbangan secara rutin setiap 3 bulan sekali dan/atau mengikuti program pendidikan dan perawatan anak usia dini apabila tersedia di Posyandu.
Polindes, Pusling atau Posyandu Tablet Vitamin A BidanDesa, Kader Kesehatan Polindes, Pusling atau Posyandu Alat penimbang bayi Buku rekord penimbangan bayi (Kartu Menuju Sehat) Juru timbang bayi seperti kader kesehatan, bidan desa, dll Fisik: Polindes, Pusling atau Posyandu Tenaga: Bidan Desa, Kader Kesehatan Alat penimbang bayi & Buku rekord penimbangan bayi
6.4 Pembiayaan Program Keluarga Harapan (PKH) Komponen terbesar pembiayaan CCT adalah untuk bantuan tunai. Besaran bantuan Bantuan per RTM Skenario Bantuan tunai pada umumnya dihitung per tahun (Rp) berdasarkan besarnya kebutuhan Bantuan tetap 200.000 yang diperlukan di sisi rumah tangga (demand side). Berdasarkan Bantuan komponen pendidikan: pengalaman di berbagai negara, a. SD/MI 400.000 b. SMP/MTs 800.000 batas minimum dan maksimum besarnya bantuan yang efektif dan Bantuan komponen kesehatan: tidak menyebabkan ketergantungan a. Balita 800.000 rumah tangga terhadap bantuan b. Bumil/menyusui 800.000 adalah pada kisaran antara 15-25% Rata-rata bantuan per RTM 1.390.000 dari pendapatan rata2 rumah Bantuan minimum per RTM 600.000 tangga miskin per tahun. Sedangkan komponen pembiayaan Bantuan maksimum per RTM 2.200.000 lainnya adalah berbagai kegiatan pendukung implementasi CCT seperti survey sasaran penerima, pengelolaan data dan informasi (MIS), pelatihan pendampingan, sosialisasi, biaya operasional, dan sebagainya. Tabel 6.3 Skenario Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH)
Berdasarkan hal tersebut di atas dan ketersediaan dana yang ada, besarnya bantuan tunai PKH rata-rata adalah Rp. 1.390.000 per tahun, atau 16% dari rata-rata pendapatan RTM per tahun. Jumlah ini untuk jangka pendek diharapkan membantu meringankan beban pengeluaran RTSM khususnya untuk komponen pendidikan dan kesehatan. Rincian skenario bantuan PKH adalah sebagai berikut:
169
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Dengan skenario di atas, kombinasi jumlah anak penerima bantuan maksimum adalah 1 balita, 1 SD, 1 SMP; 1 balita, 3 SD; 1 SD, 2 SMP. Apabila kombinasi jumlah anak melebihi jumlah bantuan maksimum, seluruh anak harus tetap mengikuti ketentuan BTB, namun bantuan per anak diproporsionalkan. Prinsip pembiayaan PKH pada prinsipnya merupakan pelengkap complementary dari biaya yang dibutuhkan pada sisi penyedia layanan atau supply side yang telah dianggarkan pada sektor-sektor terkait. Biaya pelengkap ini diharapkan akan membantu RTSM membiayai indirect cost seperti antara lain transportasi, pembelian sepatu dan seragam, pembelian makanan bergizi dan sebagainya. Tabel 6.4 Rencana Tahapan Cakupan Penerima PKH 2008-2015 (dalam Juta)*)
Tahap
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahap I
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Exit
Tahap II
1,25
1,25
1,25
1,25
1,25
1,25
Exit
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
2,25
Exit
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
Tahap III Tahap IV Total Total Biaya (Rp triliun)
2014
2015
1,75
4,0
6,5
6,5
6,5
6,0
4,75
2,5
3,0
6,7
11,0
11,0
11,0
10,1
8,0
4,2
Keterangan: *) Kecuali diberikan keterangan terpisah
Beberapa asumsi yang digunakan dalam menghitung pembiayaan CCT antara lain adalah: 1)
2)
Jumlah target sasaran. Berdasarkan data Susenas 2005, jumlah rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memiliki anak usia 0-15 tahun di Indonesia diproyeksikan sebesar 6,5 juta RTSM. Apabila target tersebut dibagi setiap tahunnya hingga tahun 2015, atau sejalan pencapain MDGs, maka rincian cakupan RTSM yang dicakup setiap tahunnya adalah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.4. Besarnya bantuan tunai. Berdasarkan pelaksanan CCT di berbagai negara Amerika Latin, rata-rata bantuan tunai adalah sebesar Rp. 1.390.000/RTSM/tahun. Bila ditambahkan sekitar 20 persen biaya untuk kegiatan administrasi dan pendukung (survey, sosialisasi, pelatihan pendamping, dan sebagainya), maka rincian kebutuhan dana untuk CCT di Indonesia setiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 6.4.
Sisi suplai menyediakan beasiswa bagi murid yang sudah bersekolah sementara sisi permintaan menyediakan kompensasi bagi ’calon’ murid yang harus bersekolah karena mendapatkan bantuan tunai bersyarat. Kompensasi ‘forgone income’ yang tadinya dihitung dari sisi suplai sebenarnya sudah dipertimbangkan menjadi bagian dari bantuan tunai bersyarat. Besarnya kompensasi tersebut hampir sama besar dengan bantuan tunai bersyarat komponen bantuan tunai pendidikan.
170
Bab 6. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program yang Terintegrasi
Kedua jenis program tersebut pada dasarnya memiliki target yang serupa tetapi tidak sama. Kedua program tersebut menargetkan penduduk miskin dalam mendistribusian benefitnya. Namun, bantuan tunai bersyarat memfokuskan kepada anak dari keluarga miskin yang belum bersekolah. Di lain pihak, program beasiswa dan kompensasi ditujukan kepada anak dari keluarga miskin yang telah bersekolah sehingga program beasiswa dan kompensasi ini dapat mempertahankan mereka untuk tetap bersekolah. Sementara dengan pemberian bantuan tunai, anak yang tadinya tidak bersekolah menjadi bersekolah dan tetap akan bersekolah selama mereka menerima bantuan tersebut. Oleh karena itu, kedua program akan menjadi sangat berguna untuk meningkatkan pencapaian wajib belajar sembilan tahun.
171
BAB 7 STRATEGI PEMBIAYAAN UNTUK PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA
173
BAB 7
STRATEGI PEMBIAYAAN UNTUK PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA
7.1 Pendahuluan
P
emerintah Indonesia selaku salah satu penandatangan Deklarasi Milenium, mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pembiayaan bidang-bidang yang tercakup dalam MDGs agar pencapaiannya dapat dilakukan sesuai dengan target yang ditetapkan. MDGs meliputi tujuan sebagai berikut: (a) penanggulangan kemiskinan, (b) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (c) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (d) menurunkan kematian anak, (e) meningkatkan kesehatan ibu, (f) memberantas penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (g) pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan (h) membangun kemitraan global untuk pembangunan. Permasalahan pencapaian MDGs dari segi pembiayaan adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mencapai target MDGs sampai dengan 2015 sehingga tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh negara berkembang termasuk Indonesia karena kemampuan yang terbatas. Diperkirakan sampai dengan tahun 2009 pemerintah masih dihadapkan pada kondisi APBN yang defisit dengan beban pembayaran bunga dan pokok pinjaman pemerintah yang cukup tinggi setiap tahunnya. Pembayaran pinjaman pemerintah baik untuk pinjaman dalam negeri maupun luar negeri jumlahnya hampir 25-30 persen dari total pengeluaran negara. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang komprehensif dalam membiayai pencapaian MDGs ke depan, yang dimulai dengan perhitungan biaya yang dibutuhkan sampai dengan 2015. Perhitungan kebutuhan pembiayaan untuk pencapaian MDGs dilakukan dengan mempertimbangkan setiap target/indikator pencapaian, kondisi dan permasalahan yang masih dihadapi saat ini. Dengan adanya keterbatasan pendanaan, sangat penting adanya skala prioritas yang lebih tajam untuk pencapaian setiap target/indikator. Hasil analisis mengenai besarnya kebutuhan biaya untuk pencapaian MDGs juga sangat bermanfaat untuk menentukan strategi pengerahan sumberdaya (resource mobilization) dari seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung upaya pencapaian MDGs di Indonesia.
175
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
7.2
Kebutuhan Pembiayaan
Berdasarkan penjabaran pada bab-bab sebelumnya mengenai pendidikan, kesehatan, serta air minum dan sanitasi diketahui bahwa total kebutuhan pembiayaan untuk pencapaian MDGs bidang tersebut di atas adalah sebagai berikut: Tabel 7.1 Rekapitulasi Kebutuhan Pembiayaan Pencapaian MDGs Bidang Pendidikan, Kesehatan, serta Air Minum dan Sanitasi Dasar (Miliar Rupiah) No
Bidang
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Total
1 Pendidikan
97.752,0
104.706,0
113.024,0
121.038,0
129.462,0
137.353,0
145.049,0
152.717,0
1.001.101,0
2 Kesehatan
17.375,1
18.805,7
20.580,0
21.306,1
23.070,4
24.483,4
25.746,2
27.418,1
178.785,0
3 Air minum & Sanitasi Dasar
52.514,4
63.724,5
67.037,1
79.007,1
82.653,1
90.547,9
100.398,1
114.504,9
650.387,1
TOTAL
167.641,5
187.236,2
200.641,1
221.351,2
235.185,5
252.384,3
271.193,3
294.640,0
1.830.273,1
Dalam bidang pendidikan, pengalokasian dana dibagi menjadi empat komponen besar yaitu biaya rutin personil, rutin non-personil, investasi personil, dan investasi nonpersonil. Biaya rutin personil dialokasikan melalui anggaran dana Alokasi Umum (DAU), seperti yang telah diimplementasikan selama ini. Sementara itu, biaya rutin non-personil dapat dialokasikan melalui dana biaya operasional sekolah (BOS). Investasi pendidik dan tenaga kependidikan merupakan komponen yang relatif baru dalam rangka peningkatkan kualitas pendidikan. Sesuai dengan konsepnya, implementasi program investasi personil cenderung memiliki tingkat teknikalitasnya yang tinggi. Seperti yang telah didiskusikan di dalam bab pendidikan terdahulu besarnya kesenjangan (gap) antara keperluan pembiayaan MDGs tahun 2008 dan dana alokasi pendidikan pada tahun yang sama adalah sekitar Rp 30 triliun dengan komponen paling besar adalah komponen rutin guru dan investasi non-personil. Komponen guru mengalami kekurangan sekitar Rp 10 triliun yang disebabkan oleh adanya sistem insentif baru karena peningkatan kualifikasi guru dan program sertifikasi guru. Oleh karena pembayaran gaji guru merupakan tanggung jawab pemerintah dan juga merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, perlu diupayakan pengalokasian dana tersebut melalui sumber APBN melalui mekanisme yang berlaku. Dalam bidang kesehatan, perhitungan pembiayaan MDGs mencakup tujuan untuk menurunkan kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, penanggulangan HIV/AIDS, malaria dan TB. Hasil perhitungan kebutuhan pembiayaan memperlihatkan kebutuhan dana yang cukup besar dan relatif meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008 kebutuhan dan untuk MDG bidang kesehatan sekitar Rp 18,9 triliun, sedangkan menurut perkiraaan jumlah dana yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah baru mencapai Rp 5,2 triliun, atau terjadi kesenjangan sebesar Rp 13,7 triliun. Tentu saja kesenjangan sebesar ini tidak sepenuhnya harus disediakan pemerintah saja. Dengan demikian perlu adanya strategi pembiayaan yang khusus agar pencapaian MDG dapat berjalan lebih optimal.
176
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
Pembiayaan air minum dan sanitasi dasar di Indonesia sekitar USD 5,7 miliar (Rp 52,4 triliun) pada tahun 2008 selanjutnya meningkat per tahun hingga mencapai USD 12,4 miliar (Rp 114,1 triliun) pada tahun 2015. Namun demikian, biaya ini meliputi seluruh komponen yaitu investasi awal dan biaya pelayanan. Jika menerapkan prinsip penyelenggaraan full cost recovery, dimana biaya pelayanan ditanggung oleh masyarakat, maka biaya investasi awal untuk air minum dan sanitasi dasar yang ditanggung pemerintah adalah sekitar USD 1,6 miliar (Rp 14,7 triliun) pada tahun 2008 kemudian meningkat hingga pada tahun 2015 sebesar sekitar USD 3,6 miliar (Rp 33,12 triliun).
7.3 Strategi Pembiayaan Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya total kebutuhan biaya untuk pencapaian MDGs bidang pendidikan, kesehatan, serta air minum dan sanitasi sampai dengan 2015 adalah sangat besar yaitu sebesar Rp 1.830,3 triliun. Kebutuhan pembiayaan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kemampuan pemerintah yang ada saat ini. Sebagai gambaran, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005 dan 2006, RAPBN-P 2007 dan RAPBN 2008 profil dan rencana pengeluaran berdasarkan fungsi pendidikan, kesehatan, perumahan serta fasilitas umum dapat dilihat pada Tabel 7.2 dibawah ini. Tabel 7.2 Anggaran Pemerintah Pusat Berdasarkan Fungsi Pendidikan, Kesehatan, serta Perumahan dan Fasilitas Umum (Miliar Rupiah)
Fungsi
LKPP 2005
LKPP 2006
RAPBN-P 2007
RAPBN 2008
Pendidikan
29.307,9
45.303,9
52.445,8
61.409,7
Kesehatan
5.836,9
12.189,7
16.130,6
16.767,6
Perumahan dan Fasilitas Umum
4.216,5
5.457,2
9.560,5
13.481,7
Sumber: LKPP dan Nota Keuangan berbagai tahun, diolah
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa untuk tahun 2008 saja pembiayaan yang disediakan pemerintah untuk membiayai fungsi kesehatan dan pendidikan tidak mencukupi. Dalam bidang kesehatan, setidaknya terdapat kekurangan pembiayaan sebesar Rp. 13,7 triliun. Sedangkan dalam bidang pendidikan, pada tahun yang sama terdapat kesenjangan sebesar Rp 30 triliun. Dengan demikian, agar kebutuhan pembiayaan untuk pencapaian MDGs dapat terpenuhi maka diperlukan strategi untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan dalam pencapaian MDGs yang secara umum mencakup tiga hal sebagai berikut: 1. 2.
Peningkatan kapasitas pembiayaan, sinkronisasi kebijakan fiskal dengan upaya pencapaian MDGs, serta peningkatan optimalisasi pengeluaran/ belanja negara. Peningkatan peran masyarakat, kalangan dunia usaha, dan organisasi non pemerintah. Diperlukan adanya pembagian peran dan fungsi yang lebih jelas antara pemerintah
177
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
dengan stakeholder pembangunan yang lain agar dapat bersinergi untuk mencapai target MDGs. Peningkatan kerjasama pembangunan dan pembiayaan internasional untuk mendukung pencapaian MDGs di Indonesia
3.
7.3.1
Peningkatan Kapasitas Sumber Pembiayaan, Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dengan Upaya Pencapaian MDGs, serta Peningkatan Optimalisasi Belanja Negara
7.3.1.1
Peningkatan Kapasitas Sumber Pembiayaan
Konferensi mengenai pembiayaan pembangunan di Monterrey, Mexico pada bulan Maret 2002 menghasilkan konsensus (Monterrey Consensus on Financing for Development) yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan untuk mendukung pencapaian MDGs di dunia. Hasil konsensus tersebut antara lain adalah: (i) mobilisasi sumber pendanaan dalam negeri, (ii) peningkatan jumlah dana Official Development Assistance (ODA) yang disalurkan dari negara maju kepada negara miskin dan berkembang, (iii) meningkatkan penanaman modal/investasi asing, (iv) meningkatkan sistem perdagangan internasional agar lebih berkeadilan, (v) meningkatkan kerjasama keuangan internasional dan kerjasama teknik, dan (vi) memecahkan permasalahan dalam manajemen utang luar negeri termasuk untuk negara berpendapatan menengah dan negara yang sedang dalam masa transisi ekonomi. Dalam konteks Indonesia, salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan adalah dengan menggali potensi pemanfaatan penerimaan negara baik dari sumber pajak maupun non pajak. Tabel 7.3 Penerimaan Negara dan Hibah 2004-2008 (Miliar Rupiah) URAIAN
A.
PENERIMAAN NEGARA & HIBAH I. Pendapatan Negara 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri (1) Pajak Penghasilan - Migas - Non Migas (2) Pajak Pertambahan Nilai (3) PBB dan BPHTB (4) Cukai (5) Pajak Lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional (1) Bea Masuk (2) Pajak Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak a. Penerimaan SDA (1) Migas (2) Lainnya b. Penerimaan BUMN c. Lainnya II. Hibah
2004 2005 2006 2007 2008 REALISASI REALISASI REALISASI APBN-P APBN miliar Rp. % PDB miliar Rp. % PDB miliar Rp. % PDB miliar Rp. % PDB miliar Rp. % PDB 407.859,9 407.581,9 280.897,6 268.155,8 134.903,8 22.946,6 111.957,2 87.567,3 14.680,0 29.172,5 1.832,2 12.741,8 12.444,2 297,6
17,7 17,7 12,2 11,6 5,9 1,0 4,9 3,8 0,6 1,3 0,1 0,6 0,5 0,0
495.224,3 493.919,5 347.031,1 331.792,0 175.541,2 34.985,6 140.555,6 101.295,8 19.648,6 33.256,2 2.050,2 15.239,1 14.920,9 318,2
17,8 17,7 12,5 11,9 6,3 1,3 5,0 3,6 0,7 1,2 0,1 0,5 0,5 0,0
637.987,2 636.153,1 409.203,0 395.971,5 208.833,1 43.190,1 165.643,0 123.035,9 24.043,0 37.772,1 2.287,4 13.231,5 12.140,4 1.091,1
19,1 19,1 12,3 11,9 6,3 1,3 5,0 3,7 0,7 1,1 0,1 0,4 0,4 0,0
694.088,0 690.264,7 492.010,9 474.551,0 251.748,3 37.267,6 214.480,7 152.057,2 25.991,3 42.034,7 2.719,5 17.459,9 14.417,6 3.042,3
18,5 18,4 13,1 12,6 6,7 1,0 5,7 4,0 0,7 1,1 0,1 0,5 0,4 0,1
781.354,1 779.214,4 591.978,3 569.971,6 305.961,4 41.649,8 264.311,6 187.626,7 29.012,4 44.426,5 2.944,6 22.006,7 17.940,8 4.065,9
18,1 18,1 13,7 13,2 7,1 1,0 6,1 4,4 0,7 1,0 0,1 0,5 0,4 0,1
126.684,3 91.397,7 85.259,6 6.138,1 9.817,5 25.469,1
5,5 4,0 3,7 0,3 0,4 1,1
146.888,4 110.467,3 103.762,0 6.705,3 12.835,2 23.585,9
5,3 4,0 3,7 0,2 0,5 0,8
226.950,1 167.473,8 158.086,1 9.387,7 22.973,1 36.503,2
6,8 5,0 4,7 0,3 0,7 1,1
198.253,8 115.053,4 107.719,0 7.334,4 35.469,3 47.731,1
5,3 3,1 2,9 0,2 0,9 1,3
187.236,2 126.203,3 117.922,0 8.281,2 23.404,3 37.628,6
4,3 2,9 2,7 0,2 0,5 0,9
278,0
0,0
1.304,8
0,0
1.834,1
0,1
3.823,3
0,1
2.139,7
0,0
Sumber: LKPP dan Nota Keuangan, berbagai tahun, diolah
Penerimaan perpajakan masih menjadi sumber utama yang besaran proporsinya terhadap PDB diperkirakan sebesar 13,1 persen pada tahun 2007. Pemerintah pada saat ini
178
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
sedang melaksanakan reformasi dan perbaikan sistem pelayanan perpajakan serta bea dan cukai. Target penerimaan perpajakan pada tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 13,7 persen dari PDB. Pelayanan pajak serta bea dan cukai diharapkan akan semakin transparan dan profesional sehingga target pemerintah untuk meningkatkan cakupan wajib pajak dan meningkatkan kesadaran para wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya dapat terrealisasi dengan baik. Selain meningkatkan pendapatan dari perpajakan, pemerintah juga berupaya untuk terus meningkatkan kinerja ekspor non migas melalui berbagai kemudahan dalam mengurus perijinan ekspor dan pemberian modal kerja terutama bagi usaha kecil dan menengah. Dalam hal penerimaan hibah, selama ini besarannya dalam APBN belum mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Hibah luar negeri yang secara rill telah disalurkan ke Indonesia sebagian besar masih belum tercatat dalam dokumen anggaran sehingga belum diperhitungkan sebagai pendapatan resmi negara yang tercantum dalam APBN. Proyekproyek yang dibiayai hibah luar negeri sebagian besar masih bersifat off-budget. Hal ini disebabkan masih adanya perbedaan sistem administrasi keuangan antara pemerintah dan lembaga/negara pemberi hibah. Dalam rangka pembenahan manajemen pinjaman dan hibah luar negeri, pemerintah telah mewajibkan seluruh proyek yang dibiayai hibah luar negeri dicatat serta menggunakan prosedur APBN. 7.3.1.2
Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dengan upaya Pencapaian MDGs dan Peningkatan Optimalisasi Anggaran Belanja
Peningkatan sinkronisasi kebijakan fiskal dengan upaya pencapaian MDGs dan peningkatan optimalisasi anggaran belanja antara lain dapat dilaksanakan melalui upaya sebagai berikut: 1.
Defisit anggaran diperkirakan masih akan terjadi paling tidak sampai tahun 2009 sekitar 1,5 – 1,7 persen dari PDB. Hal ini di bawah target awal dari RPJMN 2004-2009, dimana diperkirakan pada 2009 APBN sudah berimbang antara penerimaan dan belanja negara. Kebutuhan pembiayaan pembangunan yang lebih besar dihadapkan pada kemampuan pembiayaan pemerintah yang belum mencukupi pada saat ini. Upaya percepatan pencapaian MDGs yang membutuhkan biaya yang sangat besar, akan mempunyai dampak pada besaran defisit. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan kebijakan dalam upaya pencapaian target MDGs karena akan berdampak kepada besaran defisit anggaran.
2.
Untuk lebih mendukung tercapainya hal tersebut di atas maka upaya pencapaian MDGs harus disertai dengan penajaman prioritas program dan target/sasaran serta peningkatan efisiensi dan efektivitas pada tingkat teknis pelaksanaan kegiatan.
3.
Penajaman prioritas program dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan sangat diperlukan mengingat kemampuan pendanaan yang sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan untuk pencapaian MDGs. Selain itu, pembangunan harus lebih diarahkan untuk membantu masyarakat miskin, serta pembangunan daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan agar kesenjangan tingkat pembangunan antar daerah tidak semakin besar. Hal ini dapat terlaksana apabila partisipasi masyarakat dalam proses
179
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
perencanaan pembangunan nasional lebih baik dan transparan. Forum musyawarah perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah perlu terus diperbaiki kualitas pelaksanaannya. Penyusunan perencanaan pembangunan harus didukung oleh sistem database yang komprehensif sehingga ketepatan target/sasaran dapat lebih baik di masa yang akan datang. Evaluasi terhadap pelaksanaan program yang berskala nasional untuk penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan masyarakat harus terus dilakukan agar tingkat efisiensinya semakin meningkat. Sinkronisasi dan harmonisasi antar program juga harus diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan program baik dalam hal substansi maupun lokasi dan target sasaran. 4.
Kebijakan pengurangan biaya subsidi BBM dapat meningkatkan ruang gerak fiskal dan pengalihan pengeluaran pada komponen belanja yang lain. Namun demikian pengurangan subsidi ini telah mengakibatkan meningkatnya harga BBM di dalam negeri. Supaya hal ini tidak semakin berdampak luas dan kontraproduktif bagi program penanggulangan kemiskinan, pengurangan subsidi harus diikuti oleh penambahan alokasi untuk pembiayaan program untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan percepatan pencapaian target MDGs. Sebagai contoh, pada tahun 2006 menurunnya subsidi sebesar 4% PDB antara lain dianggarkan untuk penambahan dana daerah sebesar 1,7 persen, belanja modal (0,7%), dan bantuan sosial (0,3%).
5.
Peningkatan tatakelola pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pada saat ini proses pengadaan barang dan jasa masih belum berjalan dengan optimal, sehingga ditengarai masih terjadi inefisiensi sekitar Rp. 20-30 triliun per tahun. Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah telah memberikan pedoman yang sangat detail sebagai bagian dari program reformasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pada bulan Desember 2007, Presiden telah menetapkan Peraturan Presiden No. 106 Tahun 2007 tentang Pembentukan Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik. Dengan adanya lembaga ini, diharapkan pelaksanaan pengadaan akan semakin optimal di masa yang akan datang dan inefisiensi dalam pelaksanaan pengadaan diharapkan akan semakin kecil sehingga anggaran belanja negara dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal.
6.
Dalam hal pemanfaatan pinjaman luar negeri sebagai bagian dari instrumen pembiayaan pembangunan nasional, masih terjadi inefisiensi yang cukup besar akibat tingkat penyerapan proyek yang masih rendah dan keterlambatan waktu pelaksanaan akibat adanya kendala teknis pada saat pelaksanaan proyek. Hal ini sangat merugikan karena berakibat pada penambahan akumulasi commitment fee. Dalam beberapa proyek, ownership pemerintah dalam hal ini. kementerian/lembaga masih kurang sehingga pihak pemberi pinjaman lebih besar pengaruhnya untuk menentukan susbtansi dan teknis pelaksanaan proyek (lender driven). Akibatnya pelaksanaan proyek kurang sesuai dengan prioritas program pembangunan dan kebutuhan nasional. Selain itu, pelaksanaan program masih ada yang tumpang tindih dan kurang sejalan dengan prosedur/mekanisme nasional. Berkaitan dengan hal-hal tersebut maka pemerintah perlu untuk terus melaksanakan:
180
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
7.
a.
Penyusunan strategi pinjaman yang mengetengahkan prioritas bidang, prinsip dan arah kebijakan, dan rencana pinjaman setiap tahun dalam kerangka perencanaan kegiatan dan anggaran jangka menengah. Rencana pinjaman disusun berdasarkan kondisi pinjaman on going dan kemampuan membayar kembali pinjaman;
b.
Komitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dilakukan secara konsisten baik dari segi proporsi terhadap PDB maupun secara nominal, kecuali ada kebijakan nasional dari pemerintah untuk mendayagunakan sumber pendanaan luar negeri secara proporsional untuk pencapaian MDGs;
c.
Perlu adanya analisis dan penyusunan rencana tindak untuk pengurangan beban pinjaman melalui mekanisme yang berlaku secara internasional misalnya melalui debt swap;
d.
Peningkatan ownership, kesesuaian dengan program pembangunan nasional, serta penggunaan prosedur nasional terutama dalam hal penarikan/ pencairan dana serta pengadaan barang dan jasa.
e.
Peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan proyek pinjaman luar negeri melalui peningkatan sistem persiapan proyek, transparansi dalam pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi;
Sistem penganggaran jangka menengah yang berbasis kinerja perlu terus dioptimalkan untuk mendukung pelaksanaan program secara berkelanjutan. Penganggaran berbasis kinerja merupakan pendekatan dalam sistem penganggaran yang menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran dari program/kegiatan dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya yang terbatas. Dibandingkan dengan sistem penganggaran konvensional yang berorientasi pada masukan (input based), penganggaran berbasis kinerja berorientasi pada keluaran dan hasil (output and outcome based). Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan penerapan anggaran berbasis kinerja perlu dilakukan upaya–upaya antara lain : a.
Meningkatkan sinkronisasi dan penajaman kegiatan dan program prioritas sehingga menjamin adanya keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran;
b.
Memperbaiki format RKAKL agar menjadi lebih informatif dalam mencerminkan penganggaran berbasis kinerja;
c.
Mendorong dan memfasilitasi seluruh kementerian/lembaga untuk menyusun standar biaya yang berbasis output dan/atau outcome;
d.
Menyempurnakan penerapan sistem akuntansi pemerintah yang lebih handal guna mendukung diterapkannya sistem keuangan yang terintegrasi;
e.
Meningkatkan koordinasi dengan semua pihak terkait dalam upaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penerapan anggaran berbasis kinerja.
181
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
7.3.2
Pembagian Peran Pemerintah – Non Pemerintah dan Peningkatan Peran Masyarakat/ Swasta
Pada saat Deklarasi Milenium ditandatangani pada tahun 2000, telah disadari bahwa target pencapaian MDGs di negara miskin dan berkembang bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan upaya bersama dari semua pihak baik secara nasional, regional dan global untuk bersinergi dalam upaya pencapaian MDGs di dunia. MDGs menjadi komitmen bersama untuk menuju dunia yang lebih baik. Hanya saja dalam implementasinya belum ada suatu sinergi yang sistematis dan berkelanjutan antara Pemerintah dan organisasi non pemerintah dalam mendukung upaya pencapaian MDGs di Indonesia. Peran masyarakat dan kalangan dunia usaha sangat besar dalam pelaksanaan pembangunan. Dilihat dari kemampuan belanja pemerintah, kontribusinya hanya sekitar 20 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB), sisanya merupakan kontribusi stakeholders pembangunan lain selain pemerintah. Dengan demikian pembagian peran antara pemerintah dan masyarakat/swasta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi pembiayaan untuk pencapaian MDGs di Indonesia. Lebih jauh lagi, optimalisasi peran ini tidak hanya untuk pemerintah dan non pemerintah saja, namun optimalisasi peran secara internal dalam pemerintah pun perlu ditingkatkan. 7.3.2.1
Pembagian Peran antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Semenjak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan selanjutnya berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah memegang peranan yang lebih besar dalam pelaksanaan pembangunan dibandingkan masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Pola pelaksanaan pembangunan yang sebelumnya dilaksanakan secara terpusat/sentralistik, baik secara program maupun anggaran, telah diturunkan kepada daerah. Gambar 7.1 Perkembangan Realisasi Belanja Daerah
Sumber: Departemen Keuangan
182
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
Pada saat ini tidak kurang dari 6,3-6,8 persen PDB pada tahun 2007 dan 2008 menjadi bagian untuk belanja daerah baik dalam bentuk dana perimbangan berupa dana bagi hasil, dana alokasi khusus, dan dana alokasi umum, maupun dana otonomi khusus dan penyesuaian. Peran pemerintah daerah dalam pencapaian MDGs sangat besar. Program-program pencapaian MDGs yang dilaksanakan secara nasional tidak mungkin akan berhasil jika tidak didukung oleh pemerintah daerah. Sebagai bagian dari upaya pencapaian MDGs, peran pemerintah daerah juga dapat bersifat komplementer terhadap program yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara nasional. Misalnya dalam hal penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah dapat menyusun dan melaksanakan program yang saling melengkapi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Dalam pelaksanaan program nasional tersebut, pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan masukan kepada pemerintah pusat mengenai pemilihan lokasi pelaksanaan program agar lebih tepat sasaran dan berperan optimal dalam mengurangi kesenjangan wilayah, dan berperan dalam mendukung pelaksanaan teknis program-program tersebut. Dalam rangka meningkatkan fungsi koordinasi dan pembagian peran dan fungsi kepemerintahan, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan adanya PP ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas koordinasi karena pembagian peran dan fungsi kepemerintahan menjadi lebih jelas. Sebagai ilustrasi dalam bidang pendidikan, PP No.38/2007 mengatur bahwa penyelenggaraan perencanaan, penyediaan biaya penyelenggaraan pendidikan, serta pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dasar merupakan urusan pemerintah daerah. Di bidang kesehatan, penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk dan pencegahan penyakit menular juga merupakan urusan pemerintah daerah. Selain permasalahan koordinasi dan pembagian peran dan fungsi kepemerintahan, kinerja fiskal dan pengelolaan keuangan derah merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah. 7.3.2.2
Peningkatan Peran Masyarakat, Swasta, dan Perguruan Tinggi
Paradigma pembangunan di dunia mengalami perubahan yang siginifikan pada saat ini dibandingkan 15-20 tahun yang lalu. Fungsi dan peran dari pemerintah serta lembaga pembiayaan internasional semakin diimbangi oleh peran serta masyarakat melalui organisasi masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha/swasta. Peran masyarakat dan swasta tidak lagi hanya mengawasi pelaksanaan pembangunan, melainkan ikut serta berperan aktif dalam pelaksanaannya. Isu-isu penanggulangan kemiskinan, lingkungan hidup, HIV/AIDS, terorisme dan good governance tidak lagi hanya menjadi perhatian dari pemerintah dan lembaga pembiayaan dan pembangunan internasional. Semua pihak sudah menyadari bahwa untuk membangun dunia yang lebih baik diperlukan partisipasi aktif, sinergi, dan kerja keras dari semua pihak.
183
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
Sebagai contoh, dalam rangka mendukung komitmen internasional dalam bidang human security dan MDGs, Sekjen PBB pada tahun 2000 telah mengajak sekitar 50 perusahaan internasional untuk bergabung, mendukung dan melibatkan diri dalam the Global Compact yang bertujuan untuk mempunyai prinsip dasar yang mencakup: Hak Asasi Manusia, tenaga kerja, dan pelestarian lingkungan hidup. Prinsip ini terus berkembang sehingga mencakup juga mengenai anti korupsi. The Global Compact selalu berupaya untuk berperan aktif dalam mendukung negara miskin dan berkembang dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pemberantasan penyakit menular, dan pelestarian lingkungan hidup, serta mengadvokasi negara maju untuk terus mengembangkan sistem dalam penyaluran bantuan. Peran Corparate Social Responsibility (CSR) terus dikembangkan dan diperluas pelaksanaannya. Di Indonesia, perusahaan nasional yang sudah terlibat secara aktif dalam UN Global Compact sudah sekitar 20 perusahaan antara lain Martha Tilaar, Mark Plus, dan the Body Shop Indonesia. Selain itu, hampir seluruh perusahaan nasional lainnya walaupun tidak tergabung secara resmi namun telah melaksanakan upayaupaya terkait dengan CSR dan dukungan nyata terhadap sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Apabila peran dan tanggung jawab sosial dari setiap perusahaan dapat dilaksanakan dengan memadai akan sangat membantu masyarakat sekitar perusahaan tersebut untuk dapat mandiri secara ekonomi dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar baik dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Agar konstribusi dari pihak swasta semakin besar dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah mempunyai kewajiban untuk terus membangun iklim investasi dan lingkungan berusaha yang menarik, insentif perpajakan, kemudahan perijinan, keamanan dan kepastian hukum. Hal yang paling penting dalam membangun hubungan yang sinergis antara pemerintah dan swasta adalah adanya pembagian peran yang jelas. Karena keterbatasan pendanaan pemerintah, pembangunan infrastruktur besar yang sudah marketable lebih bak dilaksanakan oleh swasta. Pemerintah hanya berperan dalam hal regulasi dan pengawasan pelaksanaannya. Demikian halnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Misalnya pembangunan sekolah, rumah sakit dan perumahan yang sudah dapat dikelola oleh swasta harus didorong dan difasilitasi oleh pemerintah. Namun demikian, pemerintah harus terus menjaga keseimbangan kepentingan umum dan komersil. Selain pihak swasta, perguruan tinggi dapat memainkan peranan yang signifikan untuk terus menghasilkan teknologi tepat guna dan berbiaya murah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perguruan tinggi dapat mendukung upaya pencapaian MDGs dengan ikut serta mensosialiasikan, advokasi dan kajian agar upaya pencapaian dapat dilaksanakan secara lebih efisien dan efektif.
184
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
7.3.3
Peningkatan Kerjasama Pembangunan dan Pembiayaan Internasional
Dari hasil analisis UN Millennium Project dikemukakan bahwa pencapaian MDGs di negara miskin dan berkembang sulit untuk dilakukan tanpa adanya peningkatan bantuan internasional yang signifikan. Oleh karena itu PBB dan banyak forum internasional lainnya selalu mendorong negara maju agar memenuhi komitmen untuk menyisihkan 0,7 persen dari Gross National Income (GNI) nya agar disalurkan kepada negara miskin dan berkembang dalam bentuk Official Development Assistance (ODA). Peningkatan penyaluran dana ODA akan memberikan manfaat jika disertai dengan peningkatan manajemen penyaluran dana ODA tersebut, baik secara internasional maupun lokal. Secara internasional Deklarasi Roma pada tahun 2003 dan Deklarasi Paris pada tahun 2005 telah memberikan arahan dalam hal peningkatan efektivitas dan efisiensi bantuan internasional (aid effectiveness). Deklarasi Paris menggaris bawahi upaya yang harus dilakukan baik oleh negara penerima maupun lembaga/negara donor dalam rangka aid effectiveness yaitu dalam hal: (i) ownership, (ii) kesesuaian dengan prioritas program pembangunan nasional, (iii) penggunaan prosedur nasional, (iv) harmonisasi program dan kegiatan yang dilaksanakan, dan (v) peningkatan sistem pertanggungjawaban. Agar bantuan internasional dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam pencapaian target MDGs di negara miskin dan berkembang, maka sistem penyaluran bantuan harus berlandaskan pada progres pencapaian MDGs di negara yang bersangkutan. Koordinasi penyusunan country strategy dan rencana program kerja harus berlandaskan pada prioritas program nasional terutama dalam mendukung upaya pencapaian MDGs. Masyarakat internasional juga dituntut untuk dapat menyusun sistem dan mekanisme pengurangan beban utang. Sebagian besar negara miskin dan berkembang mempunyai kewajiban pembayaran pinjaman pertahun yang cukup besar dibandingkan total pengeluaran/belanja negara yang bersangkutan. Pemerintah Indonesia setiap tahun mengalokasikan sekitar 20-25 persen dari total pengeluaran untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang. Hal tersebut sangat mempersempit ruang gerak fiskal dan memperkecil kemampuan pemerintah dalam membiayai sektor pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan dan sektor pembangunan lainnya. Skenario pengurangan beban utang yang saat ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah adalah debt swap. Indonesia sudah melakukan kerjasama debt swap dengan pemerintah Jerman di bidang pendidikan sebesar US$ 20 juta. Di masa yang akan datang diharapkan besarnya utang luar negeri pemerintah yang dapat di swap dapat lebih besar. Isu yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan debt swap dapat diusulkan terkait dengan pencapaian MDGs, misalnya dalam bidang kesehatan, pendidikan, penanggulangan kemiskinan, dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan (Debt for MDGs Swap, DMS).
185
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
7.4 Strategi Khusus Selain strategi pembiayaan secara umum yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, pada bagian ini akan diketengahkan strategi khusus terkait dengan bidang pendidikan, kesehatan, serta air minum dan sanitasi dasar sebagai berikut:
7.4.1
Bidang Pendidikan
Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan MDGs bidang pendidikan, kapasitas kelembagaan dan sistem perencanaan terutama di daerah harus ditingkatkan sehingga transisi implementasi program dari pemerintah pusat ke daerah menjadi lebih baik. Hal ini menjadi sangat penting untuk menjamin bahwa tambahan dana untuk bidang pendidikan dapat memberikan manfaat yang lebih optimal, efisien dan efektif. Dalam rangka pemanfaatan dana BOS, fleksibilitas penggunaannya sebaiknya ditingkatkan dengan memperluas kriteria komponen pembelanjaannya. Pihak sekolah juga perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam penggunaan dana tersebut yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi penggunaannya. Pendanaan investasi non-personil dapat dilakukan melalui mekanisme dana Alokasi Khusus (DAK) yang selama ini juga telah berjalan. Mekanisme DAK memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran daerah sesuai dengan prioritas nasional sehingga dapat memberikan inisiatif lokal yang akhirnya meningkatkan efisiensi baik dari segi efisiensi implementasi maupun efisiensi penggunaan hasil programnya. Oleh karena itu, mekanisme DAK ini perlu terus didukung karena berpotensi dalam meningkatkan kapasitas daerah dan efisiensi pencapaian tujuan MDGs. Kesenjangan dana investasi non personil dapat dipenuhi dengan cara membagi peran antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan/atau dengan pihak swasta. Sekolah swasta mempunyai peranan yang sangat penting untuk membantu mencapai MDGs tepat waktu, terutama dengan peranan swasta yang besar pada tingkat sekolah menengah pertama. Sampai saat ini, persentase sekolah swasta pada tingkat sekolah menengah pertama adalah sekitar 45 persen pada tahun 2005 (Depdiknas, 2005). Peranan sekolah swasta bukan saja dapat menampung pertumbuhan kebutuhan sekolah tingkat SMP/MTs yang disebabkan oleh program wajib belajar sembilan tahun. Tetapi juga, sekolah swasta dapat meningkatkan efisiensi proses belajar mengajar yang akhirnya dapat menurunkan tingkat drop out sekolah. Peranan swasta dapat mengurangi beban pembangunan dan rehabilitasi sekolah tingkat SMP/MTs. Untuk itu, perlu diingat bahwa peranan pemerintah dalam hal ini adalah sebagai pelindung, pembimbing, dan regulator yang dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Untuk meningkatkan pemerataan partisipasi sekolah secara nasional, perlu dipikirkan upaya untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Dengan berkembangnya sekolah swasta yang tentunya tidak akan gratis membuat terbatasnya akses sekolah anak dari keluarga miskin. Oleh karena itu, program pemerintah dapat ‘menitipkan’ anak dari keluarga miskin tapi tidak mampu untuk bersekolah ke sekolah swasta yang relatif mahal dengan memberikan biaya operasional yang sesuai dengan jumlah anak
186
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
yang dititipkan tersebut. Mekanisme BOS yang telah terbukti efisiensinya selama ini dapat dilanjutkan untuk digunakan secara lebih strategis dalam pembiayaan sekolah anak dari keluarga miskin.
7.4.2
Bidang Kesehatan
Pembagian peran antara pemerintah dan swasta mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung pencapaian tujuan MDGs bidang kesehatan di Indonesia. Gambar di bawah ini menjelaskan proporsi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah dan swasta di Indonesia. Gambar 7.2 Proporsi Pembiayaan Kesehatan dari Pemerintah dan Non Pemerintah di Indonesia
Pengeluaran
100% 75% Pemerintah (%)
Non Pemerintah (%)
50% 25% 0%
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Non Pemerintah (%)
71,5
70,0
72,1
69,6
73,7
66,9
66,3
68,4
65,8
65,3
Pemerintah (%)
28,5
30,0
27,9
30,4
26,3
33,1
33,7
31,6
34,2
34,7
Gambar di atas menunjukkan proporsi pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan non pemerintah sejak tahun 1996 sampai tahun 2005. Dari tahun 1996 hingga 2005, peran sektor non pemerintah (termasuk di dalamnya swasta dan masyarakat) sekitar 70 persen dan pemerintah sekitar 30 persen. Oleh karena itu perlu juga dipikirkan strategi pembiayaan MDGs yang juga melibatkan swasta dan masyarakat. Selain itu, pengalaman menunjukkan bahwa kemampuan keuangan pemerintah dalam pembangunan termasuk sektor kesehatan masih terbatas, sehingga wajar untuk melihat strategi pembiayaan yang efektif yang melibatkan sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dalam rangka percepatan pencapaian MDGs, pemerintah juga dapat lebih fokus pada daerah yang masih bermasalah dengan pencapaian MDGs dengan jumlah penduduk yang besar. Pemerintah pusat dan daerah perlu lebih memprioritaskan daerah yang berkontribusi besar menyumbang terhadap AKI, AKB dan penyakit-penyakit ATM. Pemerintah dapat hanya melakukan prioritas anggaran yang ada pada daerah tersebut. Tabel 7.4 di bawah menunjukkan beberapa daerah yang merupakan daerah yang bermasalah dengan kondisi kesehatan anak. Dengan melihat tabel ini , pemerintah dapat saja memfokuskan upaya yang lebih kuat pada daerah-daerah dengan kematian anak yang tinggi.
187
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
Tabel 7.4 Situasi Kesehatan Ibu dan Anak Menurut Provinsi
PROVINSI
AKN (SDKI 2002)
Angka kematian bayi (per 1000)
AKABA (SDKI 2002)
Kelahiran ditolong tenaga medis (%)
KN 2
Balita krg gizi (%)
Threshold untuk Fokus
>20
>35
>46
<80%
<70%
>26%
24 28 26 14 19 27 24 28
36,10 40,00 47,40 36,90 43,40 45,70 47,90 43,00 41,80
42 48 43 41 30 53 55 43
74,20 84,00 84,90 78,70 61,60 69,40 74,80 61,60 72,50
18 25 19 17 28 16 9 24 31 24 22
21,80 47,00 34,10 23,30 47,00 54,70 29,20 78,00 51,00 52,10 31,30
35 44 36 20 43 38 14 74 59 47 40
97,10 54,60 69,80 87,20 72,20 56,60 92,40 49,90 37,30 54,00 61,10
Kalimantan Selatan
23
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat
20 16 24 12 36 24
57,20 31,80 25,20 57,80 33,00 45,40 45,40
45 42 25 52 47 67 77
64,10 79,20 85,20 58,10 57,30 34,00 44,50
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau Dki Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
TOTAL
46,90 57,10 50,50
51,30 31,50 51,80
51,80
13,60
54,14 58,15 88,66 78,94 63,13 71,10 71,20 94,10 82,68 85,92 76,23 74,22 85,49 79,55 96,40 84,83 50,39 60,78 80,77 70,95 52,46 78,69 77,47 68,11 52,87 70,97
35,20 33,00 28,0 18,4 25,00 28,20 26,40 24,20 21,10 23,20 21,50 25,00 16,90 25,20 20,50 18,70 37,80 38,80 33,20 31,90 30,20 21,50 21,90 29,60 29,10 28,30 42,00 25,20 29,60 24,30 24,30
Sumber: Direktorat Anak, Kondisi 2006
Selain itu, pemerintah dapat menyusun skala prioritas melalui penyeleksian tujuan MDGs bidang kesehatan yang masih berada dalam kondisi off track. Strategi yang dapat ditempuh adalah memenuhi dengan cukup seluruh kebutuhan sumber daya bila ingin mengejar MDGs yang off track agar on track. Sedangkan terhadap program-program yang sudah on track hanya dilakukan peningkatan kualitas pelayanan saja.
188
Bab 7. Strategi Pembiayaan untuk Pencapaian MDGs di Indonesia
7.4.3
Bidang Air Minum dan Sanitasi Dasar
Secara historis Tabel 7.5 berikut ini memberikan sedikit gambaran mengenai kondisi air minum dan sanitasi dasar sebelum dan sesudah otonomi daerah. Tabel 7.5 Pengeluaran Rata-rata Tahunan dalam Pembangunan Sektor Air Minum
Tingkat Pemerintahan
Pusat
Rata-rata (1994-1997) (Miliar Rupiah)
Rata-rata (1998-2000) (Miliar Rupiah)
Rata-rata (2001-2001) (Miliar Rupiah)
Sebelum Reformasi
Setelah Reformasi
Era Desentralisasi
842,0
1.450,8
1.985,1
Provinsi
55,0
106,0
284,6
Kabupaten/Kota
29,0
53,8
335,5
926,0
1.610,5
2.605,3
0,23
0,4
0,64
Total % terhadap GDP
Sumber: Hasil analisa data Departemen Keuangan dan Sistem Informasi Keuangan Daerah
Dari Tabel 7.5 di atas, dalam era desentralisasi terjadi kenaikan 3 kali lipat pembiayaan air secara signifikan, terutama jika dilihat pada kenaikan prosentase terhadap GDP. Apabila dibandingkan dengan total pembiayaan air minum dan sanitasi dasar untuk mencapai MDGs yaitu sebesar Rp 14,7 triliun pada tahun 2008 seperti yang telah didiskusikan pada bab 6 sebelumnya, masih ada gap sekitar Rp 12 triliun dalam upaya pencapaian MDGs bidang air minum dan sanitasi. Namun demikian, yang perlu dicermati adalah bahwa pembiayaan di atas meliputi seluruh komponen air, yaitu konservasi sumber daya air, pengembangannya serta air minum. Data khusus untuk air minum sangat sedikit, apalagi untuk sub-sektor sanitasi sangat sulit diperoleh. Isu selanjutnya adalah peran kelembagaan. Saat ini beragam aktor dari berbagai institusi terlibat dalam kegiatan pembangunan di sektor ini. Pada tingkat pusat, lebih dari 20 direktorat dari 8 departemen/kementerian terlibat dalam urusan penyediaan air dan sanitasi, sementara pada tingkat lokal terdapat 9 unit yang berbeda, di mana setiap kabupaten/kota memiliki antara 2 sampai 4 unit. Beragamnya unit penanggungjawab dan pelaksana anggaran menimbulkan skema yang beragam dalam penyaluran dana, skala prioritas, dan besaran biaya. Prospek ini makin berisiko tinggi manakala hubungan antar lembaga pemerintah kurang terkoordinasi dengan baik. Kewenangan pusat adalah dalam hal pembuatan kebijakan, bantuan teknis, pembangunan kapasitas dan sosialisasi dan promosi kebijakan. Pada tingkat daerah, terlepas dari banyaknya pelaku, beberapa kewenangan masih belum memiliki kerangka kelembagaan yang jelas. Tantangan di bidang koordinasi dan kejelasan peran setiap institusi tidaklah ringan. Koordinasi yang lemah berpotensi menurunkan akuntabilitas institusi-institusi di tingkat daerah.
189
DAFTAR PUSTAKA Attanasio, Orazio & Alice Mesnard. “The impact of a conditional cash transfer programme on consumption in Columnbia” Institute for Fiscal Studies, June 2005. Attanasio, Orazio et al. “Baseline Report on the Evaluation of Familias en Acción”, IFS Reports, London, The Institute for Fiscal Studies, April. Available at http://www.ifs.org.uk/, 2004. Badan Pusat Statistik, Bappenas and UNDP. “Indonesia Human Development Report 2004, The Economics of Democracy Financing Human Development in Indonesia”. Jakarta, 2004: 9-21 Badan Pusat Statistik. “Statistik Kesehatan”. BPS, Jakarta, 2001: 1-20. Bappenas, Badan Pusat Statistik, dan UNFPA. “Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025”, BPS, 2005. Bappenas. “Laporan MDGs 2007”. Jakarta, 2007. Bappenas. “Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009”. Jakarta, 2005. Bappenas. “Studi Pendidikan Dasar Gratis.” Bappenas – the World Bank, Jakarta, 2007. Barrientos A, Hulme D, & Moore K. “Social protection for the poorest: taking a broader view.” Poverty in Focus, UNDP, June 2006. BPS. “Statistik Kesejahteraan Rakyat 2004”. Jakarta, 2005. Brossard, Mathieu dan Luc-Charles Gacougnolle. “Financing Primary Education for All: Yesterday, Today and Tomorrow.” UNESCO, Paris, 2001. Browne, Stephen dan Martin Maya. “Financing the MDGs: an analysis of Cameroon, Uganda, and Philippine”. UNDP, April 2003. Bruns, Barbara, Alain Mingat, Ramahatra Rakoomalala. “Achieving Universal Primary Education by 2015: A Chance for Every Child.” UNESCO, Paris, 2003. Caldes, N, David Coady, John A. Malucio. “The cost of poverty alleviation transfer programs: A comparative analysis of three programs in Latin America”, FCND Discussion Paper no. 174, IFPRI, February 2004. Caldwell, John C. “Towards a restatement of demographic transition theory,” Population and Development Review, vol. 2 (2-3), 1976:321-366. Castañeda T & Lindert K. Designing and implementing household targeting systems: lessons from Latin America and the United States. World Bank & DFID Manuscript, 2005. Chusnun P, Thabrany H dan Ruby M. ”Pendanaan Kesehatan oleh Perusahaan Swasta 2001”. PKEK FKM UI- Biro Keuangan Depkes RI, Jakarta, 2002: 1-80
191
Daftar Pustaka
Clemens, Michael. 2004. “The Long Walk to School: International Education Goals in Historical Perspective.” Working Paper 37, Center for Global Development. Coady D, Grosh M, and Hoddinott. “The targeting of transfers in developing countries: review of experiences and lessons”. 2004. Coady D, Raul Perez, & Hadid Vera-Llamas. “Evaluating the cost of poverty alleviation transfer program: An illustration based on PROGRESA (now OPORTUNIDADES) in Mexico”, Inter-American Development Bank, December 2005. Das, Jas, Quy-Toan Do, & Berk Olzer. “Conditional cash transfer and equity-efficiency debate”. World Bank WPS 3280, 200. David Evans. “Which Interventions Targeting the Health MDGs are Cost effective?, Reflection on BMJ Series Achieving MDGs for Health”, Department of Health Financing WHO, Geneva, 2005. De Janvry, Alan & Elisabeth Sadoulet. ”Conditional cash transfer programs: are they really magic bullet”, 2004. Delamonica, Enrique, Santosh Mehrotha dan Jan Vandermoortele. “Is EFA affordable? Estimating the Global Minimum Cost of ‘Education for All’.” Innocenti Working Paper No. 87 UNICEF, 2001. Departemen Kesehatan RI, Perhitungan Biaya Kesehatan MDG bidang Kesehatan Ibu, Anak, HIV-AIDS, TB, dan Malaria. Sheet Excel, Jakarta, 2007 Departemen Kesehatan RI, Kebijakan Anggaran Kesehatan 2008, Materi Rapat Kerja Menteri Kesehatan dengan Komisi IX DPR RI , Jakarta, 29 November 2007 Departemen Kesehatan RI, Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak, Litbangkes Depkes RI, 2003 Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) 2007, Sekretariat Jenderal Depkes RI, Jakarta, 2007 Departemen Kesehatan RI, Profil Kesehatan Indonesia 2004, Pusat Data Sekretariat Jenderal Depkes RI, Jakarta, 2006 Departemen Kesehatan RI, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457 tahun 2003 tentang Daftar Standar Pelayanan Minimal, Jakarta, 2003: 1-3 Departemen Kesehatan RI, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 56 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin, Jakarta, 2005: 1-11 Departemen Kesehatan RI. “Indonesia Sehat 2010”. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202 tahun 2003, Jakarta:1-5, 2003.
192
Daftar Pustaka
Deravajan, Shantayanan, Margaret J. Miller, dan Eric V. Swanson. “Goals for Development: History, Prosepects, and Costs.” World Bank Policy Research Working Paper 2819, 2002. DFID. “Social transfers and chronic poverty: emerging evidence and the challenge ahead.” DFID practice paper, October 2005. Donaldson C dan Gerard K, “Economic of Health Care Financing”. The Visible Hand; Macmilan Press LTD, London, 1993: 26-99, 143-162. Ensor T. “Estimating Equity of Health Care Finance in Brazil”, International Programme Centre for Health Economics University of York, York, 10th December 2002: 1-16. Feldstein P, “Health Care Economics”, 4th, Delmar Publisher Inc, California, 1993: 106-140. Filmer, Dion. “Costing the Goal of Universal Primary Education.” The World Bank, 2002. Folland S, Goodman AC, Stano M. “The Economics of Health and Health Care”. Upper Saddle River, New York, Vol.3, 2001: 141-163. François Bourguignon, Francisco H. G. Ferreira and Phillippe G. Leite. “Conditional Cash Transfers, Schooling and Child Labor: Micro-Simulating Bolsa Escola”, Unpublished manuscript, May 2003. Gani A. “Investasi SDM Sejak Dini, Materi Advokasi Kesehatan Daerah”. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan dan Kebijakan Kesehatan dan Uniceff, Jakarta, 2002 (a). Gani A. “Pembangunan Kesehatan, Otonomi Daerah dan Peranan Profesi dan Ilmu Kesehatan Masyarakat”, Kuliah Perdana, Program IKM Khusus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pekanbaru, 2001b: 1-11. Gani A. “Pemberdayaan Daerah Dalam Bidang Kesehatan, Materi yang disampaikan pada Konferensi Nasional Promosi Kesehatan”, Depkesos RI, Jakarta, 11-13 Juni 2001a:1-12. Gani A. “Perencanaan dan Penganggaran Kesehatan Terpadu”. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan dan Kebijakan Kesehatan dan Biro Perencanaan Depkes RI, Jakarta, 2002 (b). Gani A. “The Lost Generation dan Sistem Pendanaan Kesehatan dalam Era Desentralisasi”. Makalah Disampaikan pada Pertemuan Dewan Kerja Sama Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 7 Oktober 2003, 1-12. Ghozali, Abbas, dkk. “Laporan Akhir Penelitian Perhitungan Biaya Total Pendidikan Untuk Jenjang SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA.” Badan Pelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2005. Glewwe, Paul dan Meng Zhao. “Attaining Universal Primary Completion by 2015: How Much Will it Cost?.” University of Minnesota, 2005. Gurria, Martin dan Alec Ian Gershberg. “Costing the Education MDGs: A Review of the Leading Methodologies.” Fast Track Initiative Partnership, 2005.
193
Daftar Pustaka
HAPCO, “Millnnium Development Goals Needs Assessment on HIV/AIDS Programs of Ethiopia”, March 2005. Hicks, N. dan Q. Wodon. “Social protection for the poor in Latin America”. CEPAL Review, No. 73, LC/G.2130-P, Santiago, Chile, April, 2006. Holzmann, R. & O. Jorgensen. “Manejo social del riesgo: un nuevo marco conceptual para la protección social y más allá”, Working Paper, No. 0006, Washington, D.C., World Bank. Available at http://www1.worldbank.org.sp.safetynets/, 2000. Hutton, Guy and Laurence Haller. “Evaluation of The Costs and Benefits of Water and Sanitation Improvements at The Global Level”. WHO. Geneva. 2005. IFPRI (International Food Policy Research Institute). “Nicaragua Social Protection Network. Pilot Phase Evaluation System: Impact Evaluation”. Washington, D.C. Available at http://www.ifpri.org/, 2000. Jacobs P. “The Economics of Health and Medical Care”. Aspen Publication Vol 2nd, Maryland USA, 1987:35-85. Kirana P. “Upaya Pencapaian Target MDGs dalam Rangka Menurunkan Angka Kematian Balita, Disajikan pada:Pertemuan Penyusunan Instrumen Kajian Kebijakan dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Bidang Kesehatan”. Direktorat Bina Kesehatan Anak Depkes RI, 26 April 2007. Lilani Kumaranayake, Christoph Kurowski, dan Lesong Conteh, “Cost of scaling Up Priority Health Interventions in Low-income and selected Middle- Income Countries: Methodology and Estimates”. Commission on Macroeconomics and Health Paper Series WG5:18, October 2001. Maliki. “The effect of compulsory education on education and non-education transfers in Indonesia,” Working Paper, 2007. Maluccio J A & Flores R. “Impact evaluation of a conditional cash transfer program: the Nicaraguan red de protección social.” Research report 141 IFPRI, Washington DC, 2005. Mills A & Gilson L. “Ekonomi Kesehata Untuk Negara- Negara Sedang Berkembang Sebuah pengantar”. diterjemahkan oleh: Unit Analisa Kebijaksanaan dan ekonomi Kesehatan (AKEK) Biro Perencanaan Depkes, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 1990. Ministry of Health and Social Welfare United republic of Tanzania. “Mkukuta Based MDGs Costing for the Health Sub Sector”. Dar es Salaam, June 2006. Mossialos & Dixon A. “Funding Health Care: an Introduction, Chapter I Funding Health Care: Option for Europe”. WHO, Open University Press, Buckigham – Philadelphia, USA, 2002: 1-30. Naschold. 2002. “Aid and the MDGs.” ODI.
194
Daftar Pustaka
Nepal dan UNDP. “Millennium Development Goals Need Assessment for Nepal”. Government of Nepal, National Planning Commission, UNDP, 2006. Pablo Gottret and George Schieber. “Health Financing Revisited, a Practitioner’s Guide”. World Bank, 2007. Peabody JW dkk. “Policy and Health, Implication for Development in Asia”. Cambridge University Press, Rand, UK, 1999: 184-231. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan & Unicef Jakarta. ”Pembangunan Mansuia Sejak Dini”. Laporan Studi FKMUI, Jakarta, 2002. Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan. “Materi Pelatihan Advokasi Anggaran Kesehatan bagi Jejaring Koalisi untuk Indonesia Sehat”. FKMUI dan KuIS, 2005. Rawling, Laura B. “Overview of Conditional Cash Transfers and Social Funds.” Presentation, 2005. Robinson R. "User Charge for Health Care, Chapter 11, funding health care option for Europe, edited Mossialos E et al, open university press, Buckingham-Philadelphia, USA, 2002:161-183. Ruby, M. “Advokasi Anggaran Kesehatan Ibu dan Anak”. Health Services Project – USAID, Jakarta, 2007. Ruby, M. “Hubungan Belanja Kesehatan Katastropik terhadap Belanja Pendidikan, Protein, dan Pemiskinan Rumah Tangga di Indonesia”. Disertasi Doktoral, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Januari, 2007. Ruger JF, Jamison DT dan Bloom DE. “Health and the Economy”. In: International Public Health, Disease, Programs, System, and Policies, An Aspen Publication ®, New York, USA, 2001: (7)617-660. Sach JD. “Macroeconomics and Health: Investing in Health for Economic Development”. Report of the Commission on Macroeconomics and Health, WHO, Geneva, 2001a: 1114. Sachs JD dkk. “Millennium Development Goals Needs Assessments Country Case Studies of Bangladesh, Cambodia, Ghana, Tanzania and Uganda”. UN Millennium Project Working Paper Draft 17 January 2004. Sachs JD. “A New Global Consensus on Helping the Poorest of the Poor”. In: Annual World Bank Conference on Development Economics 2000, edited Pleskovic B & stern N, World Bank, Washington, USA, 2001b: 39-48.
195
Daftar Pustaka
Samuelson PA dan Nordhaus WD. “Mikro Ekonomi”. Edisi XIV, terjemahan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1992 (86 – 110). Sen, Amartya. “Development As Freedom”. Oxford University Press, 1999: 87-110 Skoufias, E., B. Davis and S. de la Vega. “An Addendum to the Final Report: An Evaluation of the Selection of Beneficiary Households in the Education, Health, and Nutrition Program (PROGRESA) of Mexico”. Washington, D.C., International Food Policy Research Institute (IFPRI). Available at http://www.ifpri.org/. 1999. Skoufias, Emmanuel & S. Parker. “Conditional Cash Transfers and Their Impact on Child Work and Schooling: Evidence from the Progresa Program in Mexico". FCND Discussion Paper, No. 123, Washington, D.C., International Food Policy Research Institute (IFPRI) Available at http://www.ifpri.org/, 2001. Smith, Brian dan Jemima Sy. “Kajian Pendanaan Publik untuk Air Minum dan Sanitasi di Indonesia”. Jakarta, Desember 2006. Soares, Fabio Veras, Sergei Soares, Marcelo Medeiros, dan Rafael Guerreiro Osorio (2006). “Cash transfer programmes in Brazil: Impacts on inequality and poverty” International Povery Center UNDP, June 2006. Sorkin AL. “Health Economics: An Introduction”. 2nd Ed, Lexington, USA, 1983. Spinaci, Sergio. “The MDGs and Their Relation to Health and development Policy”. Malaysia, WHO, 2004. Thabrany, Hasbullah (ed). “Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia”. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005: 69-187. Thabrany, Hasbullah dkk. “Comprehensive Review on JPKM to Develop a More Sustainable Health Insurance Scheme”. Proyek S3CB-Bappenas- Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Indonesia, Jakarta, 2000: 1-43. Todaro MP. “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Edisi Ketujuh, Jilid 1, Terjemahan: Munandar H, Erlangga, 2000:83-90 Toubkess, Jereme. “Costing MDG Target 10 on Water Supply and Sanitation: Comparative Analysis, Obstacles and Recommendations”. World Water Council. Maret 2006. Umbas, MF dkk. (ed). “Saatnya Merdeka dari Sakit, rekam Jejak PT. Askes (Persero) Menyelenggarakan Asuransi Kesehatan Rakyat Miskin”. Media BUMN, PT. Askes (Persero), Jakarta: 2006. UN Millennium Project. “Investing in Development a Practical Plan to Achieve the MDGs, Report to UN Secretary –General”. UK and USA, 2005. UN Millennium Project. “Malaria Needs Assessment Model , User Guide”. Draft v.1.0, 18 MDG Need Assessment Tool, 18 July 2005.
196
Daftar Pustaka
UN Millennium Project. “Module 4: Health Strategies, UNDP RBA Workshop on MDG Based National Development Strategies”. February-March 2006: 1-13. UN Millennium Project. “Module 8: Adapting Models for MDG Need Assessment, UNDP RBA Workshop on MDG Based National Development Strategies”. February-March 2006: 1-13. UN Millennium Project. “Reproductive Health Needs Assessment Model , User Guide”. Draft v.1.1, 18 MDG Need Assessment Tool, 18 July 2005. UN Millennium Project. “Scaling Up: Defining Interventions and Removing Constraints, MDGs for Health: What Will It Take to Accelerate Progress”. http://www.dcp2.org/pubs/DCP/9/Section/952, 2007. UN Millennium Project: Costing and Financing Additional Spending for the MDGs, MDGs for Health: What Will It Take to Accelerate Progress, http://www.dcp2.org/pubs/DCP/9/Section/982, 2007 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Van Damme W dkk. “Out of Pocket Expenditure and Debtin Poor Household; Evidence from Combodia, Tropical Medcine and International Health”. Vol 9 No.2, 2004: 273-280. Vergin H. “Constraint to Scale Up of Priority Interventions: Factoring and Quality of Governance and Policy Frame Work”. Commission on Macroeconomics and Health Paper Series WG5:22, December 2000. Villatoro, Pablo. “Conditional Cash Transfer Programmes: Experiences from Latin America”, Cepal Review, August 2005. WHO/UNICEF. “Joint Monitoring Programme for Water Supply and Sanitation. Global Water Supply and Sanitation Assessment 2000 Report”. New York. 2000. World Bank. “Human Development Report 2005”. Human Development Indicators, Washington, 2005. World Health Organization. “Health-Related MDGs 2005”. WHO Searo and WPR, 2005 World Health Organization. “Indicators for Monitoring the MDGs, Definitions, Rationale, Concepts, and Sources”. United Nations, Draft 11:07:2003. World Health Organization. “The World Health Report 2003,Shaping the Future”. Geneva, 2003: 23-37. World Health Organization. “The World Health Report 2004, Changing History”. Geneva, 2004: annex table 1. World Health Organization. “The World Health Report 2005, Make Every Mother and Child Count”. Geneva, 2005: 198-202. World Health Organization. “World Health Report 2000 Health System: Improving Performance”. Geneva, 2000: 23-46, 95-116.
197