PEMBELAJARAN BERBASIS SAINTIFIK DAN MULTIKULTURAL DALAM MENGHADAPI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) Dr. Lelya Hilda, M.Si1 Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan ABSTRACT Facing the Asean Economic Community, education is challenged have an active role. Education is the frontline in the form of qualified human resources, competitive, innovative and skilled. Implementation of the new curriculum in 2013 highly recommend the scholarly or scientific approach in which the student-centered learning. Multicultural education is very important for the integration of the nation because it is in line with Indonesian nationalism development efforts to address the challenges of time. The application of scientific learning and multicultural will create intelligent human resources, religion and nationalism, which has a caring attitude towards others. With an attitude that is so in the face of Asean Economic Community will be placed Indonesia as a frontline in the face of global competition. Keywords: MEA, scientific, multicultural PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang telah dimulai akhir tahun 2015, membuat Indonesia harus berbenah diri untuk menghadapi persaingan yang semakin luas dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali bidang pendidikan. Pendidikan pada saat ini seharusnya membentuk siswa yang dapat menghadapi era globalisasi, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, serta pengaruh dan imbas teknologi berbasis sains. Untuk menghadapi tantangan dalam Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) maka dibutuhkan peran pendidikan yang mampu melahirkan peserta didik yang berorientasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Iman dan Takwa (IMTAK) dan memiliki kemampuan dalam berbagai aspek, diantaranya adalah pendidik yang mampu memberi inspirasi kepada peserta didik untuk berpikir maju, inovatif dan memiliki jiwa kompetitif dalam berbagai sendi kehidupan dalam menghadapi era globalisasi dan persaingan. Seiring berjalannya waktu, pendidikan saat ini berpandangan bahwa siswa bukan hanya objek pendidikan, tetapi subjek pendidikan yang di dalamnya terdapat potensi-potensi alami yang siap dikembangkan. Pendidikan membentuk watak dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga menghasilkan kecerdasan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Saat ini, pembelajaran dalam pendidikan di Indonesia masih banyak berpusat pada guru (teacher center). Pada sistem pembelajaran model Teacher Centered 1
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan Sumatera Utara Indonesia,
[email protected]
Learning, guru lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan bentuk ceramah (lecturing). Pada saat mengikuti pembelajaran atau mendengarkan ceramah, siswa sebatas memahami sambil membuat catatan, bagi yang merasa memerlukannya (Sudjana, 2005;39). Pendekatan saintifik adalah konsep dasar yang mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari pemikiran tentang bagaimana metode pembelajaran diterapkan berdasarkan teori tertentu. Kemendikbud memberikan konsepsi tersendiri bahwa pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup komponen: mengamati, menanya, menalar, mencoba/mencipta, menyajikan/mengkomunikasikan (Masnun, 2016; 93-115). Saintifik disebut juga metode ilmiah yang merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Yang dimaksud ilmiah disini adalah metode pencarian (method of inquiry) yang harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Oleh karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Pendekatan saintifik merupakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach). Di dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik, peserta didik mengkonstruksi pengetahuan bagi dirinya. Bagi peserta didik, pengetahuan yang dimilikinya bersifat dinamis, berkembang dari sederhana menuju kompleks, dari ruang lingkup dirinya dan di sekitarnya menuju ruang lingkup yang lebih luas, dan dari yang bersifat konkrit menuju abstrak. Sebagai manusia yang sedang berkembang, peserta didik telah, sedang, dan/atau akan mengalami empat tahap perkembangan intelektual, yakni sensori motor, pra-operasional, operasional konkrit, dan operasional formal (Permendikbud nomor 81 A Tahun 2013). Kekayaan yang dimiliki Indonesia salah satunya adalah keragaman yang dimilikinya baik segi ras, agama, etnik maupun budaya (multikultural). Multikultural ini salah satu modal untuk dapat bersaing dikancah Internasional. Menghadapi MEA Indonesia harus mampu memanfaatkan keragaman sebagai sumber kekayaan dan modal untuk mengenalkan Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas beberapa komunitas budaya (pada umumnya etnik) yang memiliki beragam pemahaman yang khas tentang dunia, sistem nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat dan kebiasaan. Blum (2001;16) menyatakan bahwa multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri. Keanekaragaman yang ada pada bangsa Indonesia pada satu sisi dapat menjadi potensi integrasi tetapi disisi lain dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Permasalahanpermasalahan sering ditemui, misalnya kerusuhan yang disebabkan permasalahan agama,
perang antar kampung, tauran pelajar maupun perlakuan diskriminatif yang masih sering terjadi dalam masyarakat Indonesia merupakan benih-benih disintegrasi bangsa. Pendidikan dibutuhkan untuk mengenalkan keragaman di negeri ini. Ini dikarenakan pendidikan menyediakan ruang bagi penanaman dan pengimplementasian nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan bukan hanya sekedar transfer knowledge tetapi juga transfer of value. Transfer of value dimaksudkan untuk pewarisan nilai-nilai etis-religius-humanis dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (Fajar dan Makmur, 2015; 148-159). Konsep utama dari MEA adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan. Indonesia adalah salah satu negara sebagai pusat perdagangan bebas MEA, untuk itu pemerintah Indonesia perlu untuk melakukan persiapan, mulai dari persiapan infrastruktur sampai kepada persiapan dalam menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia yang terampil, inovatif dan professional. Untuk menciptakan SDM yang terampil, inovatif dan professional, tidak terlepas dari pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas merupakan harapan untuk menciptakan SDM yang terampil, inovatif dan professional. Persaingan tenaga kerja di dalam MEA akan sangat ketat, dimana di dalam dunia pasar bebas MEA, Indonesia akan dibanjiri oleh tenaga kerja dan pelaku usaha dari negara asing di kawasan ASEAN. Apa lagi ukuran SDM masyarakat Indonesia berada rata rata di bawah SDM masyarakat Warga Negara Asing kawasan ASEAN. Tanpa SDM yang terampil, inovatif dan professional yang di miliki oleh masyarakat Indonesia, maka dapat dipastikan Indonesia hanya akan menciptakan para tenaga kerja kasar, seperti buruh, dan pembantu rumah tangga yang sering dikirim sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Ninsiana (2016; 121-147) dalam nationmaster.com menyatakan era global dalam dunia pendidikan di Indonesia pada saat ini dan yang akan datang masih menghadapi tantangan yang semakin berat serta kompleks. Indonesia harus mampu bersaing dengan negaranegara lain baik dalam produk, pelayanan, maupun dalam penyiapan sumber daya manusia. Ada beberapa contoh sebagai tantangan Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi sumber daya manusia yaitu dengan kondisi nyata bahwa posisi Indonesia dalam peringkat daya saing bangsa di dunia internasional adalah nomor 102 tahun 2003 sedangkan tahun 2007 nomor 111 dengan skor 0.697 dari 106 negara Asia Afrika yang disurvei Human Development Indeks (HDI). Tugas pemerintah dan para pemangku kepentingan yang terkait ialah mempersiapkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing dengan memastikan pembangunan ekonomi linear dengan pembangunan manusia. Kualitas tenaga kerja yang tinggi akan hadir apabila kualitas pembangunan manusia Indonesia berdaya saing unggul. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, gizi, dan fasilitas publik lainnya akan menentukan kualitas manusia dan tenaga kerja Indonesia.
Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana peranan pendidikan kurikulum 2013 yang bersifat saintifik dan keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai negara multikultural dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). LANDASAN TEORI Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013 yang telah diterapkan oleh pemerintah di sekolah bertujuan untuk pembentukan sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga kreatif dan memiliki sikap yang baik/bijak. Lulusan seperti itu sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang dilaluinya. Oleh karena itu, akhirnya pemerintah mengeluarkan aturan terbaru tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah melalui Permendikbud nomor 65 tahun 2013 yang menegaskan bahwa proses pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah menggunakan pendekatan scientifik (scientific approach) sehingga diharapkan peserta didik menjadi lebih kreatif dan inovatif ke depannya. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik adalah pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung baik menggunakan observasi, eksperimen maupun cara yang lainnya, sehingga realitas yang akan berbicara sebagai informasi atau data yang diperoleh selain valid juga dapat dipertanggungjawabkan. Pendekatan saintifik diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan (Wieman, 2006; 19-26). Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum (Kemendikbud, 2013;208). Pembelajaran saintifik tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, namum proses pembelajaran dipandang sangat penting. Pendekatan saintifik dalam pembelajaran IPA dapat diterapkan melalui keterampilan proses. Keterampilan proses sains merupakan seperangkat keterampilan yang digunakan para ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah. Keterampilan proses perlu dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman langsung sebagai pengalaman pembelajaran (Rustaman, 2005; 13). Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik adalah pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung baik menggunakan observasi, eksperimen maupun cara yang lainnya, sehingga realitas yang akan berbicara sebagai informasi atau data yang diperoleh selain valid juga dapat dipertanggungjawabkan (Sujarwanta, 2012;75). Pembelajaran dengan pendekatan saintifik menuntut siswa harus dapat menggunakan metode-metode ilmiah yaitu menggali pengetahuan melalui mengamati, mengklasifikasi memprediksi, merancang, melaksanakan eksperimen mengkomunikasikan pengetahuannya kepada orang lain dengan menggunakan keterampilan berfikir, dan menggunakan sikap
ilmiah seperti ingin tahu, hati-hati, objektif, dan jujur. Kedua penalaran tersebut dapat digambarkan dalam siklus metode ilmiah oleh Shuttleworth yang dikutip Agus Sujawarta sebagai berikut (Kemendikbud, 2013;76):
Gambar 1. Siklus Metode Ilmiah Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran meliputi aktivitas mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Sehingga implementasi pendekatan saintifik akan dapat memberikan makna-makna berikut ini: 1. Meningkatkan rasa keingintahuan Pada pembelajaran IPA dapat difasilitasi melalui kegiatan penayangan video fenomena alam, diskusi bacaan, ataupun mengamati fakta dan masalah di sekitar. Fasilitasi ini dapat meningkatkan rasa ingin tahu peserta didik, karena ia akan bertanya tentang siapa(who), apa(what), dimana(Where), mengapa (Why), dan bagaimana (How) pada objek belajarnya. 2. Mengamati Mengamati objek belajar yang menarik sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu, sehingga pembelajaran bermakna tinggi. Mengamati merupakan kegiatan mengidentifikasi ciri-ciri objek tertentu dengan alat inderanya secara teliti, atau menggunakan alat atau bahan tertentu untuk mengamati objek dalam rangka pengumpulan data atau informasi. Pengamatan yang dilakukan hanya menggunakan indera disebut pengamatan kualitatif, sedangkan pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan alat ukur disebut pengamatan kuantitatif. Dalam pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan mengamati, sebaiknya dimunculkan kegiatan yang memungkinkan siswa mengunakan berbagai panca indranya untuk mencatat hasil pengamatan. 3. Menganalisis Peserta didik perlu dilatih dan dibiasakan melakukan analisas data sesuai tingkat kemampuannya.Anak perlu memahami caraanalisis kuantitatif ataupun analisis kualitatif. Perlu ada kesempatan pada anak didik untuk mereviu kembali hasil pengamatannya dan perlu pelatihan membuat pola-pola atau grafik.Anak didik perlu berlatih mengembangkan kemampuan menghubungkan vaiabel yang telah diperoleh dari pengamatan.dari data yang diperolehnya.
4. Mengkomunikasikan Pada pendekatan saintifik anak didik perlu mendapatkan kesempatan untuk mengkomunikasikan hasil yang telah diperolehnya. Komunikasi dapat berupa penyusunan pelaporan atau penyampaian hasil kegiatan (Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013, 2013;5-18). Pembelajaran Multikultural Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah masyarakat multikultural. Menurut Furnival dalam Daulay (2012;247), ciri utama masyarakat multikultur adalah orang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial budaya mereka terpisah dan tidak bergabung dalam suatu unit komunitas. Dalam masyarakat multikultural inilah proses komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang dari berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda agama, ras, etnik, atau sosial, ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan yang memperlakukan setiap siswa sama rata, tanpa memandang etnis, agama, suku dan lain-lain. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang mengakomodir keberagaman. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas beberapa komunitas budaya (pada umumnya etnik) yang memiliki beragam pemahaman yang khas tentang dunia, sistem nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat dan kebiasaan. Dalam pengertian yang lebih luas, komunitas budaya dalam konteks multikultural mencakup pula komunitas tertentu yang memiliki keanekaragaman kebiasaan budaya dan atau memiliki beberapa subkultur (kaum remaja, masyarakat urban, kaum homoseksual dan komunitas dengan gaya hidup alternatif lainnya). Pandangan yang menganggap bahwa masyarakat seharusnya menyambut keragaman budaya tersebut adalah suatu pandangan multikultural. Multikulturalisme dalam konteks pendidikan pada era reformasi saat ini, menjadi isu penting dalam upaya pembangunan masyarakat di Indonesia. Hal ini didasarkan beberapa alasan. Pertama, bahwa secara alami atau kodrati, manusia diciptakan Tuhan dalam keanekaragaman dan oleh karena itu pembangunan manusia harus memperhatikan keanekaragaman tersebut. Dalam konteks ke-Indonesia-an maka menjadi keniscayaan bahwa pembangunan manusia Indonesia harus didasarkan atas multikulturalisme mengingat kenyataan bahwa negeri ini berdiri di atas keanekaragaman. Kedua, bahwa ditengah terjadinya konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang melanda negeri ini. Dari banyak studi menyebutkan salah satu penyebab utama dari konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep multikulturalisme yang disebabkan karena kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan. Ditengah konflik-konflik kedaerahan sering terjadi seiring dengan ketiadaan pemahaman akan keberagaman atau multikultur. Akumulasi kurangnya kesadaran multikulturalisme ini, juga telah berdampak terhadap terhadap perilaku masyarakat yang kurang menghargai ide dan pendapat orang lain, sikap kurang menghargai mutu, karya dan prestasi orang lain, kurangnya kesetiakawanan sosial, tumbuhnya sikap egois, berkurang perasaan atau kepekaan sosial, dan lunturnya toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa (Primawati, 2013;82-92).
Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk saja, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002; 1). Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan ini terwujud apabila seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai sebuah kemestian yang tidak bisa diingkari ataupun ditolak, apalagi dimusnahkan. Persoalan yang kemudian muncul dalam masyarakat majemuk adalah konflik, yang dengan sendirinya bisa mengguncang tatanan sosial yang telah lama mengakar. Sehingga multikulturalisme sebenarnya merupakan buah perjalanan panjang intelektual manusia setelah berjumpa dan bergelut dengan berbagai konflik. Multikulturalisme adalah posisi intelektual yang menyatakan keberpihakannya pada pemaknaan terhadap persamaan, keadilan, dan kebersamaan untuk memperkecil ruang konflik yang destruksif (Mahfud, 2009;32). Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktek pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas. Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005;5). Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya. Pendidikan multikultural diharapkan dapat menyelesaikan persoalan konflik yang terjadi di masyarakat, atau paling tidak mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Selanjutnya pendidikan juga harus mampu memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi, metode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Jumlah penduduk Indonesia yang besar menjadi salah satu potensi pelaksanaan MEA 2015. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen dengan berbagai jenis suku, bahasa dan adat istiadat yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Indonesia mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup bagus, pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia
ketiga (4,5%) setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India. Ini akan menjadi modal yang penting untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia menuju MEA tahun 2015 (Siswaningsih, 2015; 5). Banyak tantangan yang harus dihadapi dalam menghadapi MEA ini,terlebih mengenai kesiapan sumber daya manusia. Setiap tahunnya, jumlah kelahiran manusia baru di Indonesia sebanyak 5 juta manusia. Sementara, jumlah siswa SD (Sekolah Dasar) mencapai 30 juta jiwa. Ada dua tantangan besar dalam pelaksanaan MEA 2015. Pertama, jurang horizontal antara negara dengan kelas ekonomi maju dan yang masih menengah dan maju. Kedua, jurang vertikal antara negara yang demokratis liberal dan masih otoriter. Bagaimana kita membangun komunitas kalau nilai-nilai yang menjadi pengikat berbeda dan taraf kehidupan berbeda? Yang dibutuhkan sekarang dalam menghadapi MEA adalah menyelesaikan pekerjaan rumah bersama-sama. Pemerintah perlu mensosialisasikan rencana aksi menghadapi tantangan regional. Kerjasama antar negara menjadi tak ada artinya bila masyarakat tak terlibat (Siswaningsih, 2015; 5). Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah bentuk integrasi ekonomi regional. Tujuan utama dari MEA 2015 adalah menjadikanaAsean sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang mana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas. MEA akan menjadi kesempatan yang baik buat Indonesia karena hambatan perdagangan akan berkurang, bahkan menjadi tidak ada. Walaupun dalam beberapa hal, Indonesia dinilai belum siap menghadapi MEA, karena daya saing ekonomi nasional dan daerah belum siap, keterbatasan infrastruktur dalam negeri juga menjadi masalah krusialdi masa mendatang. Namun demikian, Indonesia mesti menyiapkan diri dan terus berbenah menghadapi MEA 2015 karena pesaing negara ASEAN lainnya lebih kuat industri keuangannya ataupun dipandang dari sisi lainnya, Indonesia masih tertinggal. PEMBAHASAN Pembelajaran Saintifik dan Multikultural dalam Menghadapi MEA Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap kemajuan suatu bangsa. Banyak pendapat mengatakan bahwa kemajuan suatu negara dapat dilihat dari kemajuan pendidikannya. Dewasa ini yang masih menjadi pembicaraan hangat dalam masalah mutu pendidikan adalah prestasi belajar siswa dalam suatu bidang ilmu tertentu. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah bersama para ahli pendidikan berusaha untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan. Upaya pembaruan pendidikan telah banyak dilakukan pemerintah, diantaranya melalui seminar, lokakarya dan pelatihan-pelatihan dalam hal pemantapan materi pelajaran serta pendekatan pembelajaran untuk bidang studi tertentu misalnya pendidikan sains dan lain-lain. Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia seutuhnya yang telah melembaga dalam konteks budaya. Dalam konteks ini, pendidikan adalah yang melahirkan subyek sosial yang memiliki mandat memimpin dan mengelola sumber daya alam semesta menjadi bermanfaat bagi kemanusiaan. Untuk itu, manusia sudah semestinya melakukan integrasi dengan lingkungan dimana dia berada. Integrasi dengan lingkungan berbeda dengan adaptasi adalah ciri khas aktifitas manusia. Integrasi muncul dari kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan realitas, ditambah kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubahnya (Paul, 2001;3). Pendidikan memegang peranan penting dalam membangun sumber daya manusia yang kompetitif dan mampu bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu dalam menghadapi MEA, pendidikan harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil dalam menghadapai tantangan serta perubahan yang terjadi di dunia pendidikan, seperti menjamurnya lembaga pendidikan asing, standard dan orientasi pendidikan yang bertaraf internasional, serta menjamurnya pasar tenaga kerja yang akan dibanjiri oleh tenaga kerja asing. Setiap lembaga pendidikan juga mulai berbenah diri, dengan meningkatkan kualitas pendidikannya seperti penguasaan bahasa asing. Dalam menghadapi MEA saat ini memerlukan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia baik formal maupun informal atau mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten. Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Persiapan sumber daya manusia yang kompeten tersebut dapat dimulai dari peran dan kesiapan mahasiswa sebagai kaum intelektual muda bangsa sehingga nantinya mahasiswa yang akan menjadi calon tenaga kerja akan memiliki kualitas yang handal untuk mendukung partisipasi dalam MEA. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas melalui pendidikan formal yaitu dengan melibatkan perguruan tinggi dalam melakukan pengembangan diberbagai sektor yang akan meningkatkan daya saing. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal dalam menunjang pendidikan Indonesia harus berperan aktif dalam meningkatkan mutu dan kualitas mahasiswa serta lulusan yang nantinya akan menjadi calon tenaga kerja yang berkecimpung di pasar persaingan bebas. Yang menunjukkan tidak adanya lagi batas antara setiap negara, yang ada adalah yang lebih mampu maka dialah yang akan menguasai. Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia menghadapi MEA melalui pelaksanaan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 dibangun berdasarkan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang proses pembelajarannya menggunakan pendekatan saintifik. Tugas guru dalam pendekatan saintifik adalah mengarahkan proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksi terhadap konsep dan prinsip yang didapatkan siswa. Kurikulum 2013 dibangun berdasarkan budaya dan karakter bangsa Indonesia di mana proses pembelajaran untuk semua jenjang mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga tingkat Sekolah Menengah Atas menggunakan Pendekatan Saintifik. Istilah Pendekatan Saintifik dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 menjadi pembahasan yang menarik khususnya di kalangan para pendidik, sebab dalam proses pembelajarannya tidak hanya menekankan pada pembentukan kompetensi siswa, namun juga menekankan pada pembentukan karakter para peserta didik yang nantinya menjadi suatu perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahamannya terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual (Mulyasa, 2013; 65).
Pendekatan Saintifik memiliki langkah-langkah pembelajaran yang meliputi tindakan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (5M). Dalam melaksanakan proses-proses tersebut bantuan guru sangat diperlukan, karena pembelajarannya menggunakan pendekatan ilmiah dan inkuiri siswa berperan secara langsung baik secara individu maupun kelompok untuk menggali konsep dan prinsip. Selama kegiatan pembelajaran, langkah-langkah Pendekatan Saintifik ini tidak selalu bisa diaplikasikan secara prosedural sehingga dalam hal ini guru dituntut memiliki profesionalisme pendidik sehingga harus bisa mengkondisikan proses pembelajaran tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat yang nonilmiah. Tugas guru dalam Pendekatan Saintifik yaitu mengarahkan proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksi terhadap konsep dan prinsip yang didapatkan siswa. Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan peserta didik akan mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat prasangka, selalu optimis (Kemendikbud, 2013; 141). Pendekatan saintifik menyebabkan adanya perubahan proses pembelajaran dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu dan proses penilaian dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output. Penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik yang menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh (Sparringa, 2003; 17). Multikulturalisme merupakan sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompokkelompok etnik atau budaya (ethnic and culture groups) dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pendidikan multikultural dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Aly, 2005;3). Pendidikan multikultural tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman budaya, karena pendidikan multikultural dalam kerangka transformatif, menurut Nieto dalam Moeis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pengetahuan bukan sesuatu yang netral atau apolitis. Segala sesuatu yang terjadi dalam level kelembagaan memberi bekas lepada proses pembentukan pengetahauan siswa. Terhadap hal ini guru perlu menyadarinya secara utuh. 2. Siswa dididik melihat fenomena kehidupan yang serba beraneka ragam serta berbagai perspektif yang tercakup di dalamnya. 3. Pendidikan multikultural memberi nilai-nilai tinggi tentang keanekaragaman, berpikir kritis, refl ektif, dan kecakapan tindakan sosial. 4. Pendidikan multikultural adalah sebuah proses pemberdayaan siswa dan juga guru untuk mengambil tindakan-tindakan transformatif berdasarkan pemahaman yang benar tentang hak dan tanggung jawabnya. 5. Pendidikan multikultural bukan sekedar mengganti satu perspektif tentang kebenaran dengan perspektif lain, tetapi merefleksikan kebenaran itu atas dasar berbagai
perspektif yang bahkan saling bertentangan, sehingga dapat memahami realitas secara utuh. 6. Pendidikan multikultural memungkinkan siswa mengidealkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, supremasi hukum, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, tetapi juga mendidik siswa untuk menerima realita nilai tersebut secara kritis. 7. Pendidikaan multikultural dikembangkan berdasarkan sudut pandang dan pengalaman siswa, bukan dari budaya yang sudah mapan (Moeis, 2006). Pendidikan multikultural sangat tepat untuk membangun nasionalisme keindonesiaan pada era global, karena pendidikan multikultural memiliki nilai inti (core value) dalam perspektif lokal maupun global, yakni: (1) ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) tanggung jawab terhadap negara kesatuan, (3) penghargaan, pengakuan, dan penerimaan keragaman budaya, (4) menjunjung tinggi supremasi hukum, dan (5) penghargaan martabat manusia dan hak asasi yang universal (Yuwaydi, 1996;30). Yusuf Qardhawi dalam Fahmi Huwaydi mengemukakan “Perbedaan di antara manusia dalam ras, suku, dan agama, terjadi karena kehendak Allah swt. Dan orang muslim meyakini bahwa kehendak Allah itu tidak ada yang dapat menolak dan mengubahnya, sebagaimana Dia tidak berkehendak kecuali di dalamnya terdapat kebaikan dan hikmah (Yuwaydi, 1996;30). Lebih lanjut dijelaskan bahwa “…perbedaan itu merupakan tradisi manusia, dan ia terjadi atas kehendak Allah..”. dalam Al-Qur’an mempertegas hal itu dengan jelas dan terang. QS. Huud (11):118-119:“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesung-guhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. Ayat yang dikemukakan di atas menyimpulkan bahwa bahwa Allah Swt menghendaki kita untuk berbeda pendapat, karena adanya hikmah yang dimaksudkan-Nya. Dan hal ini tidak membuat kita heran atau ingkar. Yang jelas kita harus menerima kenyataan tersebut serta mengambil setiap kebaikan dari perbedaan itu. Pendidikan multikultural sangat jelas tergambar di kurikulum 2013 yang dapat dilihat pada kompetensi dasar yang diberikan pada setiap materi yang disampaikan : 1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. 2. Menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari. 3. Memiliki sikap terbuka, santun dan objekti (Hilda, 2014, 10). Lembaga pendidikan diharapkan dapat menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai.
Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa (Sapendy;88-110). Ketika pendidikan terlibat menyambut datangnya pasar tunggal Asean 2015, sejatinya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil, peka dan kritis. Terampil bekerja, peka permasalahan dan kritis dalam berperan. Ketiga kecakapan ini mutlak hadir dalam pasar tunggal Asean. Pasar tunggal tidak bisa dipahami dari aspek ekonomi saja, melainkan juga dari aspek non-ekonomi yaitu ideologi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Pemahaman ini perlu dibangun dan diinternalisasikan agar Indonesia menjadi negara yang mandiri dan bermartabat. Mandiri berarti bebas dari intervensi bangsa lain dalam menentukan arah kebijakannya, termasuk kebijakan mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya. Bermartabat berarti bekerjasama dengan bangsa lain tanpa harus kehilangan (karena menjual) harga diri. Ketika pendidikan terlibat menyambut datangnya pasar tunggal Asean 2015, sejatinya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil, peka dan kritis. Terampil bekerja, peka permasalahan dan kritis dalam berperan. Dalam menghadapi MEA bukan saja aspek ekonomi saja yang perlu diperhatikan, melainkan juga dari aspek non-ekonomi salah satunya bidang pendidikan. Pemahaman ini perlu dibangun dan diinternalisasikan agar Indonesia menjadi negara yang mandiri dan bermartabat. Mandiri berarti bebas dari intervensi bangsa lain dalam menentukan arah kebijakannya, termasuk kebijakan mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya. Bermartabat berarti bekerjasama dengan bangsa lain tanpa harus kehilangan (karena menjual) harga diri. Proses pendidikan ideal tak hanya mempersiapkan generasi bangsa mampu hidup hari ini, tapi mereka juga dibekali untuk hidup di masa depan. Sebab, tantangan di era global semakin kompleks. Seiring melesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kini masyarakat terus melakukan percepatan dalam berbagai aspek kehidupan. Keberhasilan kita masa lalu, belum tentu memiliki validitas untuk menangani persoalan pendidikan masa kini, apalagi yang akan datang. Penerapan pembelajaran saintifik dan multikulutal akan menciptakan sumber daya manusia yang cerdas, beragama dan nasionalisme, yang memiliki sikap kepeduliaan terhadap sesama. Dengan sikap yang ada maka dalam mengahadapi MEA akan bisa menempatkan Indonesia sebagai garda terdepan dalam menghadapi persaingan global. Karena Indonesia memiliki sumber daya manusia yang terlatih, kreatif dan inovatif. Maka untuk itu terus dikembangkan sikap-sikap yang dilahirkan dari pembelajaran saintifik dan sikap multikultural sebagai selah satu sumber kekayaan Indonesia. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
KESIMPULAN Tujuan pembelajaran saintifik pada kurikulum 2013, menciptakan manusia yang lebih kreatif, inovatif dan peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dengan pemikiran yang ilmiah, sedangkan multikultural pendidikan yang memberikan kebebasan, demokratis dilihat dari berbagai perbedaan ras, budaya dan agama. Dengan pendidikan saintifik dan multikultural diharapkan tercipta sumber daya manusia yang terampil, peka dan kritis sehingga dapat menghadap dunia global yang mulai tahun 2015 dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). RUJUKAN Aly, A. 2005. “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik” dalam Makalah Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman, Surakarta: Fak. Ekonomi UMS, Tanggal 8 Januari 2005. Blum, L. A. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural “. Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Daulay, P. 2015. Membangun Masyarakat Harmonis Berbasis Kearifan Lokal: Dari Keseragaman Menunju Keberagaman, Surabaya : FISIP UT- UPBJJ, 2012. Fajar, W. N. dan B. Makmur, 2015. “ Pelaksanaan Pendidikan Mltikultural di Sekolah (Studi Deskriptip di SMAN 1 Purwokerto), Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto,Sabtu, 26 September 2015. Hilda, L. 2014. “Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Pelajaran Sains (Telaah Kurikulum Teori dan Praktek Kurikulum 2013 di Padangsidimpuan)”. https://drive.google.com/file/d/0BzOC3q3qVco3Q0FUZldYbHFHbHc/view, 2014 Huwaydi, F. 1996. Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, Bandung: Mizan. Kemendikbud. 2013. Pendekatan scientific (ilmiah) dalam pembelajaran, Jakarta:Pusbangprodik. __________ 2013. Pendekatan, Jenis Dan Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: T.P. Liliweri, A. 2005. .Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural, Yogyakarta:LkiS. Mahfud, C. 2009. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Masnun, M. 2016. “Penerapan Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Tematik Terpadu”, Jurnal Al Ibtida, Vol. 3 No. 1, Juni 2016. Moeis, 2006. “Pendidikan Multikultural Transformatif dalam PIPS Sebuah Sarana Alternatif Menuju Masyarakat Madani”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPS, tanggal 5 Agustus 2006, Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Mulyasa, E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta: PT.Remaja Rosdakarya. Ninsiana, W. 2016. “Revolusi Mental Bidang Pendidikan Dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)”, Jurnal Tarbawi yah, Vol. 13, No.1, Edisi Januari - Juni 2016. Paul, F. 2001. Pendidikan Yang Membebaskan., Cet.I. Terjemahan Martin Eran, Jakarta: Media Lintas Batas. Pelatihan Pendampingan Kurikulum 2013. 2013. Pendekatan Saintifik, Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Primawati, L. 2013. “Pembelajaran Multikultural Melalui Melalui Pendidikan Multikultural Berbasis Nilai Kebangsaan”, Jurnal JUPIIS Vol 5 Nomor 2, Desember 2013. Rustaman, Y. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Cetakan 1. Malang: Universitas Negeri Malang. Sapendi, 2015. “Internalisasi Nilai-Nilai Multikultural dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, Jurnal Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak. Siswaningsih, D. 2015. “Peluang dan Tantangan Indonesia Pasar Bebas Asean”, Warta Ekspor, Edisi Januari 2015. Sparringa, D.T. 2003. Multikulturalisme dalam Multiperspektif di Indonesia, Surabaya: Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya. Sudjana, D. 2005. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung: Falah Production. Sujarwanta, A. 2012. “Mengkondisikan Pembelajaran IPA dengan Pendekatan Saintifik”. Jurnal Nuansa Kependidikan, Vol 16 Nomor.1, November 2012. Suparlan, P. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium Internasional ke-3, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002. Wieman, C. “Science Education for the 21st Century; A Scientific Approach to Science Education.” XX International Cofference on Atomic Physics, ICAP. American Institute of Physics: 978-7354-0367-3/06.