PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI
EDWIN ISWELLA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Tungau Predator Eksotis dan Potensi Tungau Predator Lokal sebagai Agens Pengendali Hayati Tungau Hama pada Tanaman Stroberi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2015
Edwin Iswella NIM A351130394
RINGKASAN EDWIN ISWELLA. Pemanfaatan Tungau Predator Eksotis dan Potensi Tungau Predator Lokal sebagai Agens Pengendali Hayati Tungau Hama pada Tanaman Stroberi. Dibimbing oleh PUDJIANTO dan SUGENG SANTOSO. Tungau laba-laba merupakan hama penting dan merusak pada tanaman stroberi di Indonesia. Pengendalian tungau laba-laba menggunakan tungau predator famili Phytoseiidae telah banyak dilakukan di luar negeri. Sejak tahun 2009, satu spesies tungau predator eksotis, Phytoseiulus persimilis Athias Henriot (Acari: Phytoseiidae) telah digunakan untuk mengendalikan T. urticae pada tanaman stroberi di rumah kaca. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan menetap dan perkembangan populasi P. persimilis serta potensi tungau predator lokal N. longispinosus pada tanaman stroberi. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca PT Strawberindo Lestari, Cianjur, Jawa Barat serta Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan September 2014 sampai dengan Februari 2015. Penelitian yang dilakukan adalah pengamatan populasi tungau hama, tungau predator eksotis, dan tungau predator lokal di rumah kaca; pengamatan keberadaan tungau predator eksotis di luar rumah kaca dan uji kemampuan memangsa serta potensi kanibalisme tungau predator lokal di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tungau predator P. persimilis tidak ditemukan baik di dalam maupun di luar rumah kaca. Tungau predator yang ditemukan adalah N. longispinosus dengan populasi yang cenderung konstan selama 8 minggu pengamatan. Populasi T. urticae berfluktuasi dan semakin menurun di semua lokasi selama 8 minggu pengamatan. Pada uji kemampuan memangsa, rata-rata telur T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa imago betina predator adalah 14.15 1.87 dan 15.15 1.20 butir. Jumlah ini secara nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan telur yang dimangsa oleh deutonimfa predator. Rata-rata imago betina T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa deutonimfa predator adalah 1.05 0.32 dan 1.05 0.41 ekor. Hasil ini tidak berbeda nyata (P=0.486) dengan jumlah yang dimangsa oleh imago betina predator (1.95 0.32; 2.15 0.57 ekor). Rata-rata jumlah telur yang diletakkan imago betina N. longispinosus yang diberi mangsa berupa telur (2.00 0.39; 1.80 0.73 butir) secara nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding dengan yang diberi mangsa imago betina T. urticae dan T. kanzawai (0.90 0.13; 0.70 0.20 butir). Deutonimfa maupun imago betina N. longispinosus memiliki sifat kanibal. Ratarata predator yang dimangsa konspesifik baik pada perlakuan komposisi fase yang sama maupun komposisi fase campuran semakin meningkat dengan meningkatnya kerapatan predator. Pada saat kondisi tidak ada mangsa, imago betina N. longispinosus masih dapat menghasilkan telur. Rata-rata jumlah telur yang diletakkan imago betina N. longispinosus semakin meningkat dengan meningkatnya kerapatan predator. Kata kunci :
Neoseiulus longispinosus, Phytoseiulus persimilis, rumah kaca, Tetranychus urticae
SUMMARY EDWIN ISWELLA. The Use of Exotic Predatory Mite and the Potency of Native Predatory Mite as Biological Control Agent of Phytophagous Mite on Strawberry. Supervised by PUDJIANTO and SUGENG SANTOSO. The two-spotted spider mite (TSSM) is one of the most important pests on strawberry grown in fields and greenhouses in Indonesia. The control of the pest with predatory mites has been carried out in many countries for several decades. Since 2009, a species of exotic predatory mite, Phytoseiulus persimilis Athias Henriot (Acari: Phytoseiidae), has been introduced to Indonesia for the control of TSSM on strawberry grown in greenhouses. The objectives of this study were to investigate the establishment of the exotic predatory mites, and the potency of native predatory mites as biological control agent of TSSM. The research was conducted by observing the population of the exotic and native predatory mites inside and outside greenhouses. The predation rate and cannibalistic behavior of native predatory mite were also studied in laboratory. The results indicated that the exotic predatory mite, P. persimilis, was not found neither inside nor outside the greenhouses. A native species of predatory mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) was found. Predation rate of deutonymphs and adult of N. longispinosus on egg was higher than on adult female of T. urticae and T. kanzawai. Fecundity of N. longispinosus when fed with eggs of T. urticae and T. kanzawai was higher than with the female adults. Cannibalism was encountered in both the deutonymphs and the female adults of N. longispinosus when the prey was not available. Key words :
greenhouses, Neoseiulus longispinosus, Phytoseiulus persimilis, Tetranychus urticae
€ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN TUNGAU PREDATOR EKSOTIS DAN POTENSI TUNGAU PREDATOR LOKAL SEBAGAI AGENS PENGENDALI HAYATI TUNGAU HAMA PADA TANAMAN STROBERI
EDWIN ISWELLA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Retno Dyah Puspitarini, MS
Judul Tesis :
Nama NIM
: :
Pemanfaatan Tungau Predator Eksotis dan Potensi Tungau Predator Lokal sebagai Agens Pengendali Hayati Tungau Hama pada Tanaman Stroberi Edwin Iswella A 351130394
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini. Tema penelitian ini adalah pengendalian hayati, dengan judul Pemanfaatan Tungau Predator Eksotis dan Potensi Tungau Predator Lokal sebagai Agens Pengendali Hayati Tungau Hama pada Tanaman Stroberi. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Pudjianto, MSi dan Dr Ir Sugeng Santoso, MAgr selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi ilmu, saran, masukan dan bimbingannya selama proses penelitian dan penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Retno Dyah Puspitarini, MS sebagai penguji luar komisi atas saran dan masukannya. Terima kasih kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku Ketua Program Studi Fitopatologi atas arahan serta bimbingan selama perkuliahan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada segenap Pimpinan Pusat Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan PT Strawberindo Lestari yang telah mengizinkan dan menyediakan bahan serta tempat penelitian. Penghargaan penulis kepada Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr atas rekomendasinya saat penulis mendaftar ke Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dra Latifatul Ainy, MSi atas rekomendasi, dukungan dan nasehatnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswa S2 Entomologi dan Fitopatologi Badan Karantina Pertanian angkatan tahun 2013 atas persahabatan, dukungan dan bantuannya selama melaksanakan studi, teman-teman di Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga khususnya Pak Wawan Yuandi atas bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sumartono dan Bapak Asep di PT Strawberindo Lestari atas bantuannya. Terima kasih yang terdalam teruntuk istriku tercinta Kartika Candra Sari dan putriku tersayang Haura Sahda Nadhifa atas doa, dorongan dan dukungannya hingga penulis menyelesaikan studi. Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
Edwin Iswella
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Tungau Hama pada Tanaman Stroberi (Fragaria spp.) Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae) Taksonomi dan Morfologi Siklus Hidup Penyebaran Pengendalian Phytoseiulus persimilis Athias Henriot (Acari: Phytoseiidae) Taksonomi dan Morfologi Siklus Hidup Penyebaran Kefektifan Pemangsaan Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) Taksonomi dan Morfologi Siklus Hidup Penyebaran Kefektifan Pemangsaan Pengendalian Hayati BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Populasi Tungau Hama dan Tungau Predator di Dalam Rumah Kaca Keberadaan Tungau Predator Eksotis di Luar Rumah Kaca Tingkat Pemangsaan N. longispinosus Pemeliharaan N. longispinosus, T. urticae, dan T. kanzawai Kemampuan Memangsa N. longispinosus terhadap T. urticae, dan T. Kanzawai Pengaruh Fase Mangsa terhadap Tingkat Oviposisi N. longispinosus Potensi Kanibalisme N. longispinosus Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Tungau Predator Eksotis di dalam dan di luar Rumah Kaca Perkembangan Populasi Tungau Predator Lokal dan Tungau Hama di dalam Rumah Kaca
x x xi 1 1 2 2 3 3 3 3 4 4 4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 10 10 10 10 10 11 12 12 13 13 13 14 15 15 18
Kemampuan Memangsa N. longispinosus Pengaruh Fase Mangsa terhadap Tingkat Oviposisi N. longispinosus Potensi Kanibalisme N. longispinosus Tingkat Oviposisi N. longispinosus pada Uji Kanibalisme SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
21 23 24 26 27 28 31 41
DAFTAR TABEL
1 2 3
Jenis artopod fitofag dan predator yang ditemukan pada habitat di luar rumah kaca dan perkebunan stroberi Rata-rata telur dan imago betina T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa deutonimfa dan imago betina N. longispinosus Tingkat kanibalisme N. longispinosus pada komposisi fase sama dan campuran pada beberapa tingkat kerapatan
16 21 25
DAFTAR GAMBAR
1 2
3 4
5 6 7 8 9 10
11 12
Imago T. urticae dengan dua spot berwarna gelap pada bagian dorsal (Zhang 2003) Bagian dorsal P. persimilis yang memiliki 23 pasang seta dengan seta median j4–j6 dan s4 berukuran panjang (Gerson et al. 2003) Siklus hidup tungau predator P. persimilis (CABI 2007) Bagian dorsal N. longispinosus dengan 17 pasang seta, sebagian seta dorsal berukuran panjang kecuali seta j1 dan s5 (Zhang 2003) Blok pelepasan predator eksotis di dalam rumah kaca PT Strawberindo Lestari Titik pengambilan sampel di sekitar rumah kaca Titik pengambilan sampel di sekitar perkebunan stroberi Arena pemeliharaan N. longispinosus, T. urticae dan T. kanzawai pada cawan petri (A) dan pada tanaman ubi kayu (B) Arena percobaan uji kemampuan memangsa N. longispinosus Rata-rata populasi N. longispinosus dan T. urticae pada (A) blok pelepasan predator eksotis dan (B) blok tanpa pelepasan selama 8 minggu pengamatan Rata-rata ( SD) telur yang diletakkan oleh imago betina N. longispinosus pada saat diberi mangsa dengan fase berbeda Rata-rata ( SE) telur yang diletakkan oleh satu imago betina N.longispinosus pada uji kanibalisme
4
5 6
7 10 11 12 12 13
18 23 26
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5 6 7 8
9
Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% terhadap kemampuan memangsa N. longispinosus Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% pengaruh fase mangsa terhadap peletakan telur N. Longispinosus Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% terhadap potensi kanibalisme N. longispinosus pada komposisi fase sama Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% terhadap potensi kanibalisme N. longispinosus pada komposisi fase campuran Fase tungau predator N. longispinosus: A. Telur, B. Larva, C. Protonimfa, D. Deutonimfa, E. Imago betina, F. Imago jantan Beberapa perilaku tungau predator N. longispinosus : A. Predasi, B. Kanibalisme, C. Kopulasi Tungau fitofag yang ditemukan : A. Tetranychus kanzawai, B. Tetranychus urticae Predator tungau hama lain yang ditemukan : a. Oligota spp. pada ubi kayu, b. Larva Cecidomyiidae pada ubi kayu dan c. Larva Chrysopidae pada ubi kayu Artopoda fitofag lain yang ditemukan : A. Nimfa Empoasca spp. pada teh, B. Hyposidra talaca pada teh, C. Aphis spp. pada gulma D. Trips spp. pada stroberi, E. Paracoccus marginatus pada ubi kayu. F. Penacoccus manihoti pada ubi kayu
31
33
34
36 37 38 38
39
40
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tungau laba-laba, Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae), merupakan hama penting pada tanaman stroberi yang dibudidayakan di dalam rumah kaca dan di lapangan. Di Florida Amerika Serikat, kehilangan hasil akibat serangan tungau laba-laba pada tanaman stroberi dapat mencapai 50% (Strand 1994). Pengendalian tungau laba-laba tersebut umumnya dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan akarisida. Saat ini telah banyak dikembangkan teknik pengendalian hayati untuk mengendalikan hama tersebut, salah satunya dengan menggunakan agens hayati tungau predator famili Phytoseiidae. Tungau predator dari Famili Phytoseiidae telah diketahui sebagai musuh alami yang sangat penting bagi tungau laba-laba (Gotoh et al. 2003). Phytoseiidae umumnya hidup pada tanaman dan di permukaan tanah. Tungau predator tersebut umumnya memangsa tungau hama, serangga kecil, nematoda, cendawan, dan dapat juga memakan nektar serta eksudat tanaman (Zhang 2003). Tungau predator Famili Phytoseiidae telah dikenal sebagai tungau predator yang efektif dan paling banyak diteliti terkait dengan keefektifannya dalam mengendalikan tungau labalaba, tungau hama lain dan trips (Gerson et al. 2003). Tungau phytoseiid dapat bereproduksi sepanjang tahun pada daerah tropis dan subtropis serta di dalam rumah kaca pada daerah temperate (Zhang 2003). Famili Phytoseiidae terbagi dalam tiga subfamili yaitu Amblyseiinae, Typhlodrominae dan Phytoseiinae (Gerson et al. 2003). Spesies komersial yang banyak digunakan di rumah kaca adalah genus Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003). Phytoseiulus persimilis Athias Henriot (Acari: Phytoseiidae) merupakan tungau predator yang pertama kali digunakan dalam pengendalian hayati di rumah kaca secara komersial (CABI 2007). P. persimilis pertama kali diidentifikasi pada tanaman mawar yang dibudidayakan pada rumah kaca di Algeria pada tahun 1957 dan umumnya hidup pada iklim Mediterania (Zhang 2003 ; CABI 2007). Sejak itu, P. persimilis telah menyebar ke seluruh dunia dan telah sukses dikembangkan untuk pengendalian T. urticae pada tanaman mentimun, lada, tomat, stroberi dan bunga potong di dalam rumah kaca atau di lapangan (Zhang 2003). P. persimilis sangat aktif bergerak dan memangsa seluruh fase dari T. urticae, terutama fase telur serta sangat efektif dalam menekan populasi hama tersebut (White at al. 2012). P. persimilis termasuk dalam phytoseiid tipe I yang bersifat spesialis terhadap mangsa tungau laba-laba khususnya Tetranychus spp. (Gerson et al. 2003). Program pengendalian T. urticae menggunakan P. persimilis efektif selama beberapa dekade tanpa ditemukan keberadaan tungau predator di luar rumah kaca dan dampak yang merugikan bagi fauna asli pada iklim dingin di Eropa Barat (Van Lenteran et al. 2006). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Gerson et al. (2003), bahwa P. persimilis dapat mengendalikan tungau laba-laba pada berbagai tanaman pada daerah temperate dan subtropis, serta tidak dapat menetap pada flora asli. Menurut Gerson et al. (2003), populasi P. persimilis akan menurun
2
seiring dengan menurunnya populasi mangsa sehingga sangat disarankan untuk digunakan dalam program pengendalian augmentatif di rumah kaca. Sejak tahun 2009, satu spesies tungau predator eksotis, P. persimilis telah diintroduksi ke Indonesia dari Belanda untuk mengendalikan T. urticae pada tanaman stroberi di rumah kaca (Santoso 2014, komunikasi pribadi). Tungau predator tersebut telah dilepaskan pada pertanaman stroberi di dalam rumah kaca selama beberapa tahun terakhir hingga saat ini. Pengamatan terhadap kemampuan menetap dan perkembangan populasi tungau predator eksotis perlu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi program pengendalian hama. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi ketergantungan terhadap agens hayati eksotis, perlu dicari alternatif pengendalian dengan memanfaatkan agens hayati lokal. Pada beberapa tanaman budidaya, termasuk stroberi, terdapat beberapa musuh alami atau predator lokal. Salah satunya adalah tungau predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae). Di Indonesia N. longispinosus pertama kali dikenal dengan nama Thyplodromus longispinosus (Evans 1952). Di beberapa negara Neoseiulus (Amblyseius) spp. telah digunakan untuk pengendalian hayati T. urticae pada stroberi dan tanaman budidaya lainnya (Cross et al. 2001). Untuk itulah perlu dilakukan penelitian mengenai potensi tungau predator lokal tersebut sebagai agens hayati tungau laba-laba pada tanaman stroberi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan menetap tungau predator eksotis P. persimilis dan potensi tungau predator lokal N. longispinosus sebagai agens pengendali hayati T. urticae pada tanaman stroberi.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai keamanan tungau predator eksotis P. persimilis yang diintroduksi untuk mengendalikan T. urticae serta potensi pemanfaatan tungau predator lokal N. longispinosus dalam mengendalikan tungau laba-laba pada tanaman stroberi.
TINJAUAN PUSTAKA
Tungau Hama pada Tanaman Stroberi Stroberi merupakan tanaman buah berupa herba yang ditemukan pertama kali di Chile, Amerika Selatan. Salah satu spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria chiloensis menyebar ke berbagai negara di benua Amerika, Eropa dan Asia. Spesies lain, yaitu F. vesca lebih menyebar luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis stroberi ini pula yang pertama kali masuk dan dikembangkan di Indonesia (Gunawan 1996). Stroberi memiliki cukup banyak hama dari kelompok Arthopoda, Molusca dan Nematoda (Cross et al. 2001). Terdapat kurang lebih 90 spesies hama pada stroberi dan 10 spesies hama diantaranya sangat penting secara ekonomi. Hama tersebut diantaranya capsid bugs (Lygus rugulipennis Poppius (Hemiptera: Miridae), aphids, strawberry blossom weevil (Anthonomus rubi Herbst (Coleoptera: Curculionidae), vine weevil (Otiorhynchus sulcatus Fabricius (Coleoptera: Curculionidae), thrips, two-spotted spider mite (Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae), strawberry mite (Tarsonemus pallidus Zimmerman (Acari: Tarsonematidae) dan slugs (Cross et al. 2001). Sebagian hama bersifat polifag dan keberadaannya pada tanaman inang biasanya disertai dengan musuh alaminya. Tetranychus urticae merupakan tungau hama yang sangat penting dan menyebabkan kerugian cukup besar pada stroberi, seperti yang terjadi pada daerah dimana stroberi dibudidayakan dengan sistem produksi tahunan di California USA (Strand 1994). Menurut Zhang (2003), tungau laba-laba umum ditemui pada tanaman yang dibudidayakan di dalam rumah kaca. Populasi T. urticae yang tinggi pada daun stroberi dapat mengurangi kapasitas fotosintesis dan transpirasi sehingga menyebabkan menurunnya hasil panen buah. Kehilangan hasil dapat mencapai 25% dan dapat lebih tinggi jika serangan tungau hama dalam populasi tinggi terjadi pada awal musim tanam (Walsh et al. 1998). Serangan tungau hama ini pada suatu musim juga dapat menurunkan hasil panen pada musim tanam berikutnya. Tungau laba-laba hidup dan makan pada permukaan bawah daun. Pada saat musim panas aktivitas makan dan reproduksinya meningkat secara signifikan. Tungau laba-laba menjadi dorman saat cuaca dingin, dan imago betina berkembang menjadi berwarna kemerahan. Tungau lain yang menyerang stroberi adalah tungau T. pallidus yang biasa disebut strawberry mite atau cyclamen mite (Zhang 2003).
Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae) Taksonomi dan Morfologi Tetranychus urticae termasuk dalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, subkelas Acari, ordo Prostigmata, dan famili Tetranychidae. Telur berbentuk bulat dan transparan. Setelah berkembang telur akan berwarna kekuningan dan terdapat spot berwarna merah. Larva memiliki 3 pasang tungkai berwarna kekuningan atau kuning kehijauan setelah makan. Nimfa memiliki 4 pasang tungkai berwarna
4
kekuningan dengan bercak berwarna hitam. Imago betina berukuran 400-500 ‚m dan jantan berukuran lebih kecil (Zhang 2003). Tungau betina memiliki bercak berwarna hitam pada bagian dorsal (Gambar 1). Tungkai berwana kekuningan. Tungau jantan berukuran lebih kecil dibanding tungau betina dan berbentuk menyerupai segitiga (Gerson et al. 2003).
Gambar 1
Imago T. urticae dengan dua spot berwarna gelap pada bagian dorsal idiosoma (Zhang 2003)
Siklus Hidup Perkembangan hidup terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa dan imago. Lama waktu perkembangan dari telur hingga dewasa semakin menurun dengan meningkatnya suhu dan perkembangan dapat berlangsung kurang dari satu minggu pada saat suhu optimal (30-32ƒC). Pada suhu 15-8 ƒC, perkembangan berlangsung selama 16 hari. Perkembangan tungau jantan lebih cepat dibandingkan tungau betina (Zhang 2003). Penyebaran Tungau T. urticae bersifat kosmopolit dan umum berada pada tanaman yang dibudidayakan di rumah kaca di seluruh dunia. T. urticae merupakan spesies tungau laba-laba yang bersifat polifag dan dilaporkan telah menyerang lebih dari 150 tanaman inang yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tungau ini menyerang lebih dari 300 spesies tanaman di dalam rumah kaca (Zhang 2003). Pengendalian Pengendalian hayati T. urticae oleh tungau phytoseiid banyak dilakukan pada industri rumah kaca di Eropa, sebagian Asia dan Afrika, Australia dan Amerika Utara (Zhang 2003). Spesies yang umum digunakan yaitu P. persimilis, P. micropilis, Neoseiulus californicus, N. fallacis, N. longispinosus dan Galendromus occidentalis (Zhang 2003). Pengendalian kimia tungau laba-laba perlu untuk dipertimbangkan terkait dengan adanya perkembangan tingkat resistensi. Pengendalian kimia sangat tergantung pada tingkat resistensi tungau hama, tanaman budidaya, dan kondisi lingkungan serta ketersediaan akarisida
5
pada beberapa negara yang berbeda. Pengendalian secara kultur teknis dan fisik juga dapat digunakan untuk mengatasi tungau ini (Zhang 2003). Pengendalian kimia tungau laba-laba perlu untuk dipertimbangkan akibat perkembangan resistensi yang cepat dan penurunan jumlah akarisida yang terdaftar. Bahan kimia dan metode pengendaliannya sangat tergantung dari tingkat resistensi tungau, kondisi tanaman dan lingkungan, serta ketersediaan akarisida di negara yang berbeda (Zhang 2003).
Phytoseiulus persimilis Athias Henriot (Acari: Phytoseiidae) Taksonomi dan Morfologi Phytoseiulus persimilis termasuk dalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Mesostigmata, dan famili Phytoseiidae. Imago berwarna orange cerah dengan bentuk seperti buah pir dan memiliki tungkai panjang. Panjang imago 0.5 mm. Telur berbentuk oval dengan panjang 0.3 mm. Betina dapat memproduksi telur sebanyak 5 telur per hari. Imago pada bagian dorsal memiliki 23 pasang seta dengan seta median j4–j6 dan s4 berukuran panjang (Gerson et al. 2003) (Gambar 2). Stigmata terletak diantara koksa ke III dan ke IV (Gerson et al. 2003). Pada kondisi suhu, kelembapan, dan ketersediaan makanan yang optimal P. persimilis dapat menghasilkan 60 telur selama hidupnya (CABI 2007). Apabila tingkat ketersediaan mangsa tercukupi, predator dapat menghasilkan 78 telur selama 15 hari pada suhu 26 ƒC dan kelembapan nisbi 80% (Gerson et al. 2003).
Gambar 2
Bagian dorsal P. persimilis yang memiliki 23 pasang seta dengan seta median j4–j6 dan s4 berukuran panjang (Gerson et al. 2003)
Siklus Hidup Siklus hidup P. persimilis terdiri dari telur, larva, nimfa dan imago (Gambar 3). Perkembangan setiap fase dipengaruhi oleh suhu dan kelembapan. Siklus hidup predator berlangsung sangat cepat. Kebanyakan spesies dalam famili Phytoseiidae melengkapi siklus hidupnya dalam satu minggu sementara beberapa spesies dapat melengkapi siklus hidupnya hanya dalam 4 hari (Zhang 2003). Ratarata perkembangan sangat tergantung pada suhu. Pada suhu 15 ⁰C periode siklus hidup berkisar 25 hari tetapi pada suhu 30 ⁰C berkurang sekitar 5 hari (CABI
6
2007). Zhang (2003) menyatakan bahwa perkembangan P. persimilis dari telur hingga dewasa selama 3.6 hari untuk jantan dan 4.1 hari untuk betina pada suhu 26 ⁰C. Pada rumah kaca dengan suhu berfluktuasi diantara 11.5 dan 23.5 ⁰C dengan kelembapan nisbi berkisar 36-95%, perkembangan dari telur hingga dewasa berlangsung selama 11 hari, sementara masa praoviposisi betina selama 2.6 hari (Zhang 2003).
Deutonimfa Protonimfa Imago
Larva Telur Gambar 3
Siklus hidup tungau predator P. persimilis (CABI 2007)
Penyebaran Phytoseiulus persimilis merupakan tungau predator dengan kemampuan memangsa yang tinggi, hidup terutama pada daerah Mediterania (Zhang 2003). P. persimilis pertama kali masuk secara tidak sengaja ke Jerman dari Cile melalui importasi tanaman anggrek pada tahun 1958. Sejak itu tungau predator tersebut telah menyebar ke seluruh dunia dan telah sukses dikembangkan untuk pengendalian tungau laba-laba pada berbagai tanaman budidaya baik di lapangan dan di rumah kaca (Gerson et al. 2003; Zhang 2003; CABI 2007). Keefektifan Pemangsaan Phytoseiulus persimilis termasuk dalam tungau phytoseiid tipe I yang bersifat spesialis terhadap mangsa tungau laba-laba khususnya Tetranychus spp. (Gerson et al. 2003). Fase larva P. persimilis tidak makan, fase nimfa mengkonsumsi telur dan protonimfa tungau laba-laba sedangkan fase imago mengkonsumsi seluruh fase dari mangsa. Perkembangan yang cepat dari P. persimilis merupakan hal yang sangat efektif dalam pemangsaan tungau laba-laba. Tungau predator tersebut memiliki reproduksi yang lebih cepat dibandingkan dengan tungau hama. Imago berpindah dari satu tanaman ke tanaman lainnya melalui kontak fisik antara tanaman dan di sepanjang jaring tungau laba-laba. Imago betina dapat mengkonsumsi 5 ekor imago tungau labalaba atau 20 ekor larva dan telur dalam sehari. Pada kondisi suhu ideal (15-20 ⁰C) dan kelembapan nisbi (60-70%), pemangsaan berlangsung optimal (CABI 2007).
7
Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) Taksonomi dan Morfologi Tungau predator N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata. N. longispinosus sangat berhubungan dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika (Zhang 2003; Gerson et al. 2003). Telur berbentuk oval dan transparan. Pradewasa transparan sementara tungau dewasa berwarna kuning. Imago betina berukuran 350 ‚m. Bagian dorsal memiliki 17 pasang seta. Kecuali seta j1 dan s5, sebagian seta dorsal berukuran panjang dan berakhir pada seta selanjutnya (Zhang 2003) (Gambar 4).
Gambar 4
Bagian dorsal N. longispinosus dengan 17 pasang seta, sebagian seta dorsal berukuran panjang kecuali seta j1 dan s5 (Zhang 2003)
Siklus Hidup Siklus hidup N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa dan imago. Perkembangan fase pradewasa berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 ƒC (Zhang 2003). Fase telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005). Masa fase larva pada umumnya relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam. Lama fase nimfa biasanya berlangsung selama satu hari. Lama hidup tungau jantan lebih pendek dibandingkan tungau betina (Zhang 2003). Penyebaran Tungau predator N. longispinosus berasal dari Rusia, China dan Jepang menyebar ke Asia Tenggara menuju Australia dan Hawaii (Zhang 2003). Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa N. longispinosus lebih banyak ditemukan ke arah selatan yaitu di India, Cina bagian selatan, Taiwan, Filiphina, Malaysia, Indonesia dan New Zealand. Kefektifan Pemangsaan Imago N. longispinosus dapat memangsa 26.33 telur per hari dan meletakkan 2.92 telur per hari. Imago betina dapat meletakan telur sebanyak 27.5 telur selama 16.1 hari masa oviposisi, memangsa 11.7 larva, 9.3 nimfa atau 5.1 imago broad mite per hari. Fase larva N. longispinosus memangsa 3.8 larva dan
8
1.4 nimfa. Sementara protonimfa memangsa 9.2 larva, 7.9 nimfa dan 3.2 imago (Zhang 2003). N. longispinosus berasosiasi dan memangsa tungau yang menginfestasi bambu di China dan efisien dalam mengendalikan tungau hama tersebut pada suhu tinggi (30-35 ÄC) (Zhang et al. 1999).
Pengendalian Hayati Agens hayati adalah setiap organisme yang meliputi: spesies, sub spesies, varietas semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan, bakteri, virus, mikoplasma serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit/organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian dan berbagai keperluan lainnya. (Kepmentan Nomor 411 Tahun 1995). Agens hayati memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bila dibandingkan dengan sistem pengendalian lainnya, yaitu: selektivitas tinggi, ramah lingkungan, tersedia di alam, mampu berkembang serta menyebar sendiri atau dengan bantuan perantara, dan tidak menyebabkan resistensi hama (Sosromarsono & Untung 2000). Pada dasarnya agens hayati di bagi ke dalam 4 kelompok besar yaitu agens hayati predator, agens hayati parasitoid, patogen serangga (entomopatogen) dan agens hayati antagonis. Huffaker et al. (1971) menyebutkan bahwa empat karakteristik utama yang berkaitan dengan efesiensi dari parasit, predator, dan agens yang memiliki keunggulan tergantung pada a) kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan fisik, b) kapasitas pencarian mangsa dan pergerakannya, c) kemampuan peningkatan relatif dengan mangsa dan kemampuan memangsa, d) faktor dalam lainnya seperti, kesesuaian inang, spesifikasi inang, kemampuan membedakan, kemampuan untuk bertahan pada inang alternatif dan kebiasaan khusus yang membentuk hubungan antara kerapatan mangsa dengan persebaran pada inang dan populasinya sendiri. Agens hayati untuk berbagai keperluan tersebut seringkali harus diintroduksi dari luar negeri karena agen hayati yang diperlukan belum tersedia di Indonesia atau belum tersedia dalam jumlah yang mencukupi keperluan. Teknik pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid dan predator dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu, konservasi, introduksi, dan augmentasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut berbeda tetapi dalam pelaksanaannya sering digunakan secara bersamaan (Huffaker et al.1971). Pemasukan agens hayati ke wilayah Indonesia harus berpedoman kepada peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan Kepmentan Nomor 411 Tahun 1995 pemasukan agens hayati ke dalam wilayah Indonesia harus melalui proses pengujian terlebih dahulu agar kemurnian, efektifitas, dan keamanannya dapat dipertanggungjawabkan. Pemasukan agens hayati ke dalam wilayah Indonesia mengacu kepada “Pedoman Umum Pemasukan Agens Hayati ke dalam Wilayah Indonesia” sebagaimana ditetapkan oleh Ketua Komisi Agens Hayati Nomor 226/Kpts/OT.160/L/9/06 dan “Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengujian Agens Hayati” sebagaimana ditetapkan oleh Ketua Komisi Agens Hayati Nomor 466/Kpts/OT.160/L/II/2008. Petunjuk teknis pelaksanaan pengujian agens hayati merupakan standar operasional prosedur pengujian agens hayati yang wajib diikuti, untuk menjamin bahwa evaluasi dan keputusan yang diambil berkaitan
9
dengan otorisasi pemasukan agens hayati, baik dalam bentuk yang telah diformulasi maupun yang belum diformulasi, ke dalam wilayah Indonesia akan efektif, tidak berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan hewan, dan aman terhadap lingkungan. Izin pemasukan agens hayati dapat diberikan dalam bentuk keputusan Menteri Pertanian, sedangkan penolakan permohonan izin pemasukan agen hayati diberikan dalam bentuk surat penolakan. Izin hanya berlaku untuk jangka waktu enam bulan sejak tanggal penerbitannya dan dapat dipergunakan dalam satu kali pemasukan (Kepmentan No 411 Tahun 1995).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di rumah kaca PT Strawberindo Lestari, Cianjur, Jawa Barat dan Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan September 2014 sampai dengan Februari 2015.
Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan antara lain sampel daun stroberi, sampel tanaman lain (rapsberi, teh, ubi kayu dan gulma), kapas, busa, polybag ukuran 30 cm x 30 cm, cawan petri plastik, kotak plastik berukuran 35 cm x 27.5 cm x 6 cm, mikroskop stereo, mikroskop kompon, objek glass, lampu penerang, kantung plastik, kompas, kuas halus, perangkap (sticky trap), kaca pembesar, alat penghitung (counter) dan alat bantu lainnya.
Metode Penelitian Populasi Tungau Hama dan Tungau Predator di Dalam Rumah Kaca Pelepasan tungau predator eksotis P. persimilis dilakukan terakhir kali pada bulan April 2014. Pelepasan dilakukan pada beberapa blok di dalam rumah kaca (Gambar 5). Pengamatan populasi P. persimilis dan T. urticae dilakukan pada blok tanaman stroberi di dalam rumah kaca yang dilepaskan dengan P. persimilis dan blok tanpa pelepasan. Pada setiap blok pengamatan ditetapkan sebanyak 30 tanaman contoh secara acak sistematis. Pada setiap tanaman contoh diambil sebanyak 3 daun. Pengambilan sampel daun dilakukan setiap 1 minggu selama 8 minggu. Sampel dibawa ke laboratorium untuk diamati dan dihitung populasi tungau hama T. urticae , tungau predator eksotis P. persimilis dan tungau predator lokal.
Gambar 5
Blok pelepasan predator eksotis di dalam rumah kaca PT Strawberindo Lestari
11
Keberadaan Tungau Predator Eksotis di Luar Rumah Kaca Pengamatan dilakukan untuk mengetahui keberadaan, kemampuan menetap dan peluang penyebaran tungau predator eksotis di luar lingkungan rumah kaca. Agens hayati diketahui dapat menyebar secara aktif dan pasif. Penyebaran secara aktif dengan berjalan melewati jaring kasa rumah kaca. Penyebaran secara pasif agens hayati dapat melalui lalu lintas pekerja, alat, produk panen buah stroberi atau bagian tanaman lainnya pada saat pemeliharaan dan proses pemanenan di dalam rumah kaca tersebut. Pengambilan sampel tanaman dilakukan di dua tempat. Pengambilan sampel pertama dilakukan terhadap tanaman yang berada di sekitar rumah kaca. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Tanaman yang diambil sampelnya dapat berupa tanaman rapsberi, gulma atau tanaman lainnya. Pengambilan sampel tanaman di sekitar rumah kaca dilakukan mengikuti empat arah mata angin dengan jarak 5, 15 dan 30 meter dari rumah kaca (Gambar 6). Pada setiap arah mata angin diambil sebanyak tiga sampel tanaman. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap lokasi. Sampel tanaman selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diamati, dihitung dan diidentifikasi terhadap artopod yang ditemukan.
Gambar 6
Titik pengambilan sampel di sekitar rumah kaca
Pengambilan sampel selanjutnya dilakukan terhadap tanaman di sekitar perkebunan PT Strawberindo Lestari dilakukan pada jarak kurang lebih 200, 500, 1000 dan 2000 meter dari rumah kaca mengikuti arah jalan (Gambar 7). Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling terhadap tanaman yang berada di sekitar perkebunan stroberi. Sampel dapat berupa tanaman teh, ubi kayu, gulma dan tanaman lainnya. Pada setiap titik diambil sebanyak tiga sampel tanaman. Sampel tanaman selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diamati, dihitung dan diidentifikasi terhadap arthopod yang ditemukan. Pengambilan sampel tanaman dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap lokasi.
12
Gambar 7
Titik pengambilan sampel di sekitar perkebunan stroberi
Tingkat Pemangsaan N. longispinosus Pengujian bertujuan untuk mengetahui potensi pemangsaan tungau predator lokal N. longispinosus terhadap beberapa tungau hama. Dalam pengujian ini, digunakan tungau hama T. urticae dan T. kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) sebagai mangsa. Rata-rata suhu harian dan kelembapan nisbi di dalam laboratorium adalah 29 †C (27-31 †C) dan 59.9% (43-79%). Pemeliharaan N. longispinosus, T. urticae dan T. kanzawai. Tungau hama diambil dari pertanaman stroberi dan ubi kayu yang berada di sekitar perkebunan. Pemeliharaan dilakukan pada arena pemeliharaan cawan petri plastik (d = 6 cm) yang didalamnya diletakkan busa (d = 5.5 cm) (Gambar 8A). Di atas busa diletakkan kapas berukuran 5 cm x 4 cm. Busa dan kapas dijaga agar selalu basah dengan diberi air setiap hari. Di atas kapas diletakkan daun ubi kayu atau daun stroberi dengan luasan yang tidak melebihi luasan kapas dan dilakukan penggantian daun setiap tiga hari. Pemeliharaan T. urticae dan T. kanzawai juga dilakukan pada tanaman ubi kayu pada pot plastik yang diletakkan di dalam kotak kaca (Gambar 8B). A
B
Gambar 8
Arena pemeliharaan N. longispinosus, T. urticae dan T. kanzawai pada cawan petri (A) dan pada tanaman ubi kayu (B)
13
Tungau predator N. longispinosus didapatkan dari dalam rumah kaca. Tungau predator N. longispinosus dipelihara dengan mangsa T. kanzawai dan T. urticae pada daun ubi kayu atau stroberi. Tungau hama T. kanzawai dan T. urticae didapatkan dari pembiakan masal di laboratorium. Pada tiap cawan petri ditempatkan selembar daun ubi kayu atau stroberi. Tungau predator diinfestasikan pada daun yang telah berisi mangsa T. kanzawai dan T. urticae tersebut. Penggantian daun dilakukan setiap tiga hari. Kemampuan memangsa N. longispinosus terhadap T. urticae dan T. kanzawai. Predator yang diuji adalah fase deutonimfa dan imago betina N. longispinosus. Mangsa yang digunakan adalah fase telur dan imago betina T. urticae dan T. kanzawai. Pada arena percobaan diletakkan masing-masing 30 butir telur atau 10 ekor imago betina T. urticae dan T. kanzawai. Penyediaan mangsa telur dilakukan dengan cara meletakkan 10-15 imago betina T. urticae atau T. kanzawai pada daun stroberi berukuran 2 cm x 2 cm dalam cawan petri dan dibiarkan untuk meletakkan telur selama 24 jam, kemudian imago betina tungau disingkirkan. Pada arena percobaan berukuran 2 cm x 2 cm diletakkan masingmasing seekor deutonimfa atau imago betina N. longispinosus yang telah dilaparkan selama 6 jam (Gambar 8). Setelah 24 jam predator disingkirkan dan banyaknya telur dan imago betina T. urticae atau T. kanzawai yang dimangsa dihitung. Banyaknya imago betina yang dimangsa didasarkan dari jumlah bangkai yang dijumpai, sedangkan banyaknya telur yang dimangsa dihitung dari jumlah telur awal dikurangi dengan jumlah telur yang menetas menjadi larva. Pengujian diulang sebanyak lima kali. Pengaruh Fase Mangsa terhadap Tingkat Oviposisi N. longispinosus. Pengamatan dilakukan pada percobaan kemampuan pemangsaan imago betina N. longispinosus terhadap fase telur dan imago betina T. urticae dan T. kanzawai. Jumlah telur N. longispinosus yang diletakkan dihitung setelah 24 jam.
Gambar 9
Arena percobaan uji kemampuan memangsa N. longispinosus
Potensi Kanibalisme N. longispinosus Pengujian potensi kanibalisme terdiri dari dua tahap. Pengujian pertama dilakukan untuk mengetahui kanibalisme tungau predator pada komposisi mangsa fase yang sama. Fase predator yang digunakan adalah deutonimfa dan imago betina N. longispinosus dengan kerapatan 2, 4, 6, dan 8 ekor predator. Deutonimfa atau imago betina diletakkan dalam arena berukuran 2 cm x 2 cm secara terpisah. Predator dilaparkan selama 6 jam sebelum pengujian. Pengamatan perlakun terhadap potensi kanibalisme deutonimfa dan imago betina predator dilakukan 24
14
jam setelah perlakuan kemudian dengan mencatat jumlah predator yang dimangsa konspesifik. Jumlah telur predator yang diletakkan dihitung 24 jam setelah perlakuan. Pengujian diulang sebanyak lima kali. Pengujian selanjutnya dilakukan untuk mengetahui tingkat kanibalisme tungau predator pada komposisi fase campuran. Kerapatan predator yang diuji yaitu 2, 4, 6, dan 8 ekor predator. Deutonimfa dan imago betina dengan perbandingan 1:1 diletakkan pada arena yang sama dengan pengujian kemampuan memangsa. Predator dilaparkan terlebih dahulu selama 6 jam sebelum perlakuan. Pengamatan dilakukan 24 jam setelah perlakuan dengan mencatat jumlah predator yang dimangsa konspesifik. Seperti halnya pada pengujian komposisi fase yang sama, jumlah telur predator yang diletakkan juga dihitung setelah 24 jam. Pengujian diulang sebanyak lima kali.
Analisis Data Data pengamatan populasi tungau predator dan tungau hama di dalam dan di luar rumah kaca diolah dengan program Ms Excel 2007. Pengujian kemampuan memangsa menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan tiga faktor yaitu fase tungau predator, spesies tungau hama dan fase tungau hama, Pengujian potensi kanibalisme menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data hasil pengamatan diolah menggunakan ANOVA dengan program Minitab 16 dilanjutkan dengan Uji Tukey α = 0.05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan Tungau Predator Eksotis di dalam dan di luar Rumah Kaca Hasil pengamatan menunjukkan tungau predator eksotis P. persimilis tidak ditemukan di dalam rumah kaca. Berdasarkan informasi yang diperoleh pelepasan tungau predator P. persimilis di dalam rumah kaca, dilakukan terakhir kali pada bulan April tahun 2014. Rentang waktu yang cukup lama antara waktu pelepasan dengan waktu pengamatan ( 7 bulan), menyebabkan populasi P. persimilis menurun secara drastis sehingga tidak dapat bertahan. Biologi dan karakteristik P. persimilis merupakan faktor penting yang juga berpengaruh terhadap perkembangan populasinya. P. persimilis termasuk dalam phytoseiid tipe I yang bersifat spesialis terhadap mangsa tungau laba-laba khususnya Tetranychus spp. (Gerson et al. 2003; Zhang 2003). Tungau predator spesialis ini tidak mengkonsumsi makanan tambahan lain seperti nektar, tepung sari atau eksudat tanaman seperti halnya tungau predator generalis. Hal ini menyebabkan perkembangan populasi P. persimilis sangat bergantung pada perkembangan populasi mangsanya, sehingga saat populasi mangsa menurun maka populasi P. persimilis juga menurun. Hal tersebut merupakan salah satu keuntungan dari karakteristik agens hayati yang digunakan untuk pengendalian secara augmentatif. Dengan karakteristik tersebut, tungau predator eksotis tidak berpotensi untuk menjadi spesies invasif. Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa, populasi P. persimilis akan menurun seiring dengan menurunnya jumlah populasi mangsa sehingga sangat disarankan untuk digunakan dalam program pengendalian secara augmentatif di dalam rumah kaca. Tungau predator P. persimilis merupakan tungau predator yang telah dikenal luas dan umum digunakan untuk pengendalian hayati di rumah kaca karena karakteristiknya. Tungau predator tersebut memiliki kemampuan untuk menekan populasi tungau hama dengan cepat terutama apabila dilepas saat populasi hama tinggi, namun populasinya akan cepat menurun saat populasi hama rendah (Cross et al. 2001). Penggunaan tungau predator P. persimilis terlihat seperti pestisida sehingga sering disebut dengan living pesticide atau biopesticide karena dapat memberikan pengaruh yang sangat cepat tetapi hanya memiliki efek jangka pendek atau short term effect (Gerson et al. 2003). Menurut Cross et al. (2003), P. persimilis tidak dapat bertahan pada musim dingin sehingga harus dilepaskan pada setiap musim tanam. Untuk itulah pelepasannya harus dilakukan secara periodik untuk menjamin keberhasilan program pengendalian hayati tungau laba-laba di dalam rumah kaca. Menurut petunjuk penggunaan dari produsen agens hayati tersebut, pengaplikasian atau pelepasan P. persimilis harus dilakukan secara berkala atau periodik. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan karena program pengendalian hama menjadi kurang efisien ditinjau dari segi teknis dan ekonomis. Kemungkinan faktor lain yang menyebabkan tidak ditemukannya P. persimilis yaitu, kemungkinan adanya kompetisi interspesies dengan predator lokal salah satunya N. longispinosus atau artopod predator lainnya yang turut mempengaruhi populasi tungau predator eksotis tersebut.
16
Pengamatan terhadap keberadaan tungau predator eksotis P. persimilis di luar rumah kaca dilakukan pada lingkungan di sekitar rumah kaca dan perkebunan stroberi. Pengamatan dilakukan pada tanaman rapsberi, teh, ubi kayu dan berbagai jenis gulma seperti Ageratum conyzoides (L.) (Asterales: Asteraceae), Chromolaena odorata (L.) (Asterales: Asteraceae), Axonopus compressus (Sw.) (Poales: Poaceae), Boreria alata (Aubl.) (Gentianales: Rubiaceae), Digitaria adsendence (L.) (Poales: Poaceae), dan Paspalum conjugatum (L.) (Poales: Poaceae). Kelompok Artopoda fitofag yang ditemukan yaitu Aphis spp. (Hemiptera: Aphididae), Thrips spp. (Thysanoptera: Thripidae), Frankliniela intonsa (Thysanoptera: Thripidae), Hyposidra talaca (Lepidoptera: Geometridae), Olygonychus coffeae, T. kanzawai, T. urticae (Acari: Tetranychidae). Kelompok Artopoda predator yang ditemukan yaitu N. longispinosus (Acari: Phytoseiidae), Sterorus spp. (Coccinelidae: Coleoptera), larva Cecidomyiid (Diptera: Cecidomyidae), larva Chrysopid (Neuroptera: Chrysopidae), Formicid (Hymenoptera: Formicidae), dan Oligota spp. (Coleoptera: Staphylinidae) (Tabel 1). Beberapa diantara artopod predator tersebut, juga berperan sebagai predator tungau laba-laba yaitu N. longispinosus, larva Cecidomyiid, larva Chrysopid, dan Oligota spp. Tabel 1
Jenis artopod fitofag dan predator yang ditemukan pada habitat di luar rumah kaca dan perkebunan stroberi
JenisArtopoda
Ordo
Habitat
Famili
Rapsbery Teh
Ubi kayu
Gulma -
A. Predator Neoseiuluslongispinosus Acari
Phytoseiidae
Oligotaspp.
Coleoptera
Sterorusspp.
Coleoptera
Cecidomyid
Diptera
Cecidomyidae
Formicid
Hymenoptera Formicidae
Chrysopid
Neuroptera
Chrysopidae
-
Tetranychuskanzawai
Acari
Tetranychidae
Tetranychusurticae
Acari
Tetranychidae
Olygonychuscoffeae
Acari
Tetranychidae
Aphisspp.
Hemiptera
Aphididae
√
-
√
Staphylinidae
-
-
√
-
Coccinelidae
√
-
√
√
-
-
√
-
√
√
√
√
-
√
-
-
-
√
-
√
√
-
-
-
√
-
-
√
√
-
√
B. Fitofag
Tripsspp.
Thysanoptera Thripidae
√
-
√
-
Franklinielaintonsa
Thysanoptera
Thripidae
√
-
-
-
Hyposidratalaca
Lepidoptera
Geometridae
-
√
-
√
Tungau predator yang ditemukan pada sampel tanaman merupakan tungau predator lokal yaitu N. longispinosus. Tungau predator ini banyak ditemukan pada tanaman ubi kayu dan rapsberi di sekitar perkebunan stroberi. Pada tanaman ubi kayu tungau ditemukan berasosiasi dengan T. kanzawai sedangkan pada tanaman rapsberi ditemukan berasosiasi dengan T. urticae. Tungau hama T. kanzawai sangat intens ditemukan pada tanaman ubi kayu dengan populasi yang cukup tinggi. Sementara T. urticae ditemukan pada stroberi dan rapsberi. Menurut
17
Santoso (2015, komunikasi pribadi) tungau hama T. urticae umumnya berada pada tanaman yang dibudidayakan di dataran tinggi seperti krisan, mawar, dan stroberi, sementara T. kanzawai cenderung ditemukan pada tanaman budidaya dataran rendah seperti ubi kayu. N. longispinosus banyak ditemukan berasosiasi dengan T. kanzawai pada tanaman ubi kayu, hal ini dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan pembiakan masal atau rearing N. longispinosus menggunakan T. kanzawai sebagai alternatif mangsa selain T. urticae. Agens hayati memiliki peluang untuk keluar dari lingkungan pengujian. Salah satunya karena faktor kemampuan pemencaran dari agens hayati tersebut. Pemencaran agens hayati dapat terjadi secara aktif dan pasif. Menurut Jung (2005) tungau predator phytoseiid memiliki 2 mode penyebaran yaitu ambulatory dispersal dan aerial dispersal. Hasil penelitian Jung (2005) menunjukkan bahwa, tungau predator spesialis P. persimilis memiliki kemampuan bergerak (walking activity) dan aerial dispersal yang lebih tinggi dibandingkan tungau predator generalis Neoseiulus fallacis dan N. californicus. Menurut Hoy (2011) tungau predator P. persimilis memiliki tungkai yang panjang dan sangat aktif bergerak dan diketahui dapat bergerak (walking) dari daun ke daun, tanaman ke tanaman, dan dapat bergerak beberapa meter diatas tanah dari tanaman budidaya ke gulma atau sebaliknya. Beberapa tungau phytoseiid dan tetranychid juga memiliki kemampuan aerial dispersal. Hasil penelitian Hoy (2011) menunjukkan bahwa, Metaseilus occidentalis (Acari: Phytoseiidae) dan tungau laba-laba ditemukan terperangkap pada perangkap lekat (stick trap) yang berjarak 200 meter dari pertanaman anggrek. Untuk alasan inilah keamanan dari rumah kaca sangat diperlukan terutama jika digunakan untuk lingkungan pengujian agens hayati eksotis. Keamanan lingkungan pengujian merupakan hal penting dalam pengendalian hayati secara augmentatif di dalam rumah kaca. Hal ini bertujuan untuk mencegah agens hayati eksotis keluar dari lingkungan pengujian menjadi spesies invasif. Tidak ditemukannya P. persimilis di luar rumah kaca menunjukkan bahwa rumah kaca tersebut memiliki tingkat keamanan yang cukup baik dalam mencegah keluarnya tungau predator dari lingkungan pengujian. Menurut Van Lenteran et al. (2006), program pengendalian T. urticae menggunakan P. persimilis efektif selama beberapa dekade tanpa ditemukan keberadaan tungau predator tersebut di luar rumah kaca dan dampak yang merugikan bagi fauna asli pada iklim dingin di Eropa Barat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gerson et al. (2003), bahwa tungau predator P. persimilis dapat mengendalikan tungau laba-laba pada berbagai tanaman pada daerah temperate dan subtropis, serta tidak dapat menetap pada flora asli. Di beberapa negara terdapat beberapa kasus yang dilaporkan tentang kemampuan menetap tungau predator eksotik, namun hal tersebut sangat jarang terjadi. Walter et al. (2006) melaporkan bahwa, P. persimilis, A. californicus dan M. occidentalis dapat menetap pada beberapa lokasi setelah pelepasan predator secara augmentatif. Namun demikian, walaupun P. persimilis dapat menetap di Australia, tetapi predator tersebut tidak dapat masuk lebih jauh ke dalam hutan hujan (Walter et al. 2006).
18
Perkembangan Populasi Tungau Predator Lokal dan Tungau Hama di dalam Rumah Kaca Hasil pengamatan menunjukkan tidak ditemukan tungau predator eksotis P. persimilis di dalam rumah kaca dan hanya ditemukan tungau predator lokal N. longispinosus. Gambar 10 menunjukkan perkembangan populasi tungau predator lokal N. longispinosus dan tungau hama T. urticae pada blok pelepasan tungau predator eksotis dan blok tanpa pelepasan selama 8 minggu pengamatan. N. longispinosus
T. urticae
A
80 Rata-rata populasi (individu/daun)
70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu Pengamatan
N. longispinosus
T. urticae
B
Rata-rata populasi (individu/daun)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu Pengamatan
Gambar 10
Rata-rata populasi N. longispinosus dan T. urticae pada (A) blok pelepasan predator eksotis dan (B) blok tanpa pelepasan selama 8 minggu pengamatan
19
Pada blok pelepasan predator eksotis, populasi N. longispinosus cenderung semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10A). Rata-rata populasi N. longispinosus tertinggi pada minggu ke-3 yaitu sebanyak 5.47 individu per daun dan terendah pada minggu ke-8 sebanyak 0.23 individu per daun (Gambar 10A). Rata-rata N. longispinosus semakin meningkat hingga minggu ke-5 dan merupakan populasi tertinggi yaitu sebanyak 3.65 individu per daun. Populasi N. longispinosus terendah pada minggu ke-2 sebanyak 0.10 individu per daun (Gambar 10B). Populasi N. longispinosus kemudian menurun hingga minggu terakhir pengamatan (Gambar 10B). Tungau predator N. longispinosus termasuk dalam phytoseiid tipe II yang memangsa tidak hanya tungau laba-laba Tetranychus spp. tetapi juga spesies lain yang menghasilkan sedikit jaring dan mengkonsumsi nektar serta eksudat tanaman (Gerson et al. 2003). Hal ini diduga sebagai penyebab N. longispinosus dapat bertahan dengan baik karena mampu bertahan pada rentang makanan yang bervariasi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Cross et al. (2001) bahwa Neoseiulus spp. memiliki kemampuan untuk bertahan pada rentang makanan yang bervariasi sehingga mampu menjaga keseimbangan antara predator dan mangsanya dalam jangka waktu yang cukup lama dan beberapa spesies juga dapat mengendalikan tungau tarsonemid. N. longispinosus juga merupakan spesies asli atau lokal sehingga telah beradaptasi dengan lingkungannya. Strand (1994) menyatakan bahwa Neoseiulus californicus McGregor (Acari: Phytoseiidae) dapat bertahan dengan memakan nektar tetapi tidak dapat berkembang biak jika tidak ada tungau laba-laba sehingga jumlahnya tidak menurun drastis seperti P. persimilis ketika populasi tungau hama berkurang. Menurut Cross et al. (2001) tungau predator P. persimilis tetap menjadi predator yang efektif untuk mengendalikan T. urticae khususnya untuk stroberi yang dibudidayakan di dalam naungan yang terlindungi. Sehingga untuk pengendalian secara augmentatif agens hayati yang bersifat spesialis akan lebih cocok dibandingkan predator yang bersifat generalis. Sementara phytoseiid lainnya seperti Neoseiulus spp. menjadi alternatif terbaik untuk mengendalikan tungau laba-laba pada beberapa kondisi tertentu. N. longispinosus dianggap cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendali hayati T. urticae. Salah satu caranya dengan melakukan teknik konservasi terhadap tungau predator lokal tersebut. Teknik konservasi merupakan salah satu teknik pengendalian hayati dengan memanfaatkan keberadaan agens hayati lokal. Teknik konservasi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan tungau predator lokal N. longispinousus. Salah satunya dengan pemeliharaan jenis gulma yang berbunga sebagai pakan tambahan untuk N. longispinosus. Pengembangan tungau predator lokal N. longispinosus memiliki keuntungan yaitu lebih efisien dan ekonomis karena tidak perlu melakukan importasi. Pemeliharaan atau rearing untuk mencapai kuantitas produksi yang cukup digunakan untuk pengendalian hayati tungau laba-laba menjadi tantangan tersendiri. Menurut Alatawi et al. (2011), dalam program pengendalian hayati secara augmentatif, efisiensi predator dalam menemukan dan mengkonsumsi mangsa dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan termasuk distribusi dari mangsa. Untuk itulah pemantaun populasi hama untuk mengetahui populasi dan distribusi
20
mangsa sebelum predator eksotis dilepaskan menjadi sangat penting untuk keberhasilan program pengendalian hama secara augmentatif. Efektifitas dari tungau predator dalam menekan populasi tungau hama diduga dipengaruhi oleh musim. Hasil penelitian Mori & Saito (1979), menyatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat penekanan terhadap populasi T. urticae oleh P. persimilis dan Amblyseius longispinosus pada musim panas dan musim gugur di dalam rumah kaca. Tingkat penekanan populasi T. urticae pada musim gugur oleh 2 spesies phytoseiid tersebut lebih rendah dibandingkan pada musim panas dan diketahui bahwa P. persimilis berperan lebih efektif dibanding A. longispinosus pada musim gugur (Mori & Saito 1979). Hasil penelitian Mori & Saito (1979) juga menunjukkan bahwa kepadatan populasi T. urticae tertekan pada tingkat yang rendah oleh P. persimilis dan A. longispinosus yang diintroduksikan secara berkala. Hal tersebut diduga disebabkan oleh pengaruh musim yang berimplikasi terhadap dinamika populasi tungau hama dan musuh alaminya. Dengan adanya perkembangan populasi tungau hama akibat pengaruh musim menyebabkan populasi tungau predator ikut terpengaruh. Pada blok pelepasan predator eksotis, rata-rata populasi T. urticae cenderung semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10A). Populasi T. urticae tertinggi pada minggu ke-1 sebanyak 70.53 individu per daun, sementara populasi terendah pada minggu ke-8 sebanyak 6.83 individu per daun. Menurunnya populasi T. urticae diduga dipengaruhi oleh semakin meningkatnya umur tanaman dan musim. Pada blok yang dilepaskan dengan tungau predator eksotis P. persimilis umur tanaman stroberi mencapai ‰ 10 bulan. Umumnya pergantian tanaman stroberi dilakukan pada saat umur tanaman mencapai 1 tahun atau lebih. Populasi T. urticae akan menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Faktor lain yang mempengaruhi adalah waktu pengambilan sampel tanaman. Pengambilan sampel dilakukan menjelang musim hujan (NovemberDesember 2014). Pada musim hujan populasi tungau hama umumnya akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zhang (2003), bahwa pada saat musim kemarau aktivitas makan dan reproduksi T. urticae meningkat secara signifikan dan sebaliknya pada musim hujan aktivitas makan dan reproduksi akan menurun. Pada blok tanpa pelepasan, secara umum populasi T. urticae cenderung berfluktuasi dan semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10B). Populasi T. urticae menurun pada minggu ke-2 kemudian meningkat kembali pada minggu ke-3 yang merupakan populasi tertinggi sebanyak 71.70 individu per daun. Populasi T. urticae kemudian semakin menurun hingga pengamatan minggu terakhir (Gambar 10B). Populasi T. urticae terendah adalah pada minggu ke-8 sebanyak 0.94 individu per daun. Pada saat populasi T. urticae menurun secara drastis pada minggu ke-6 populasi N. longispinousus mencapai populasi tertinggi pada minggu ke-5 dan ke-6. Menurunnya populasi T. urticae diduga dipengaruhi dengan semakin meningkatnya umur tanaman dan musim saat pengambilan sampel. Pada blok tanpa pelepasan, umur tanaman stroberi mencapai ‰ 7 bulan atau lebih muda dibandingkan umur tanaman stroberi pada blok pelepasan. Sehingga bila dilihat populasi T. urticae pada blok tanpa pelepasan cenderung lebih tinggi pada setiap pengamatan dibanding pada blok yang dilepaskan kecuali pada minggu terakhir pengamatan. Faktor lain yang
21
mempengaruhi, diduga karena pada blok pelepasan predator eksotis P. persimilis, populasi T. urticae telah mengalami penekanan oleh predator eksotis tersebut. Praktek pengendalian kimiawi dan teknik budidaya yang dilakukan, diduga juga mempengaruhi perkembangan populasi tungau predator dan tungau hama di dalam rumah kaca. Selain pengendalian hayati, aplikasi akarisida juga masih dilakukan di dalam rumah kaca. Sehingga berpengaruh terhadap perkembangan populasi tungau hama T. urticae tersebut. Pemeliharaan dengan teknik pemangkasan (pruning) yaitu dengan menyingkirkan daun stroberi yang sudah tua atau kering, dapat mempengaruhi perkembangan populasi tungau hama dan tungau predator apabila daun yang disingkirkan tersebut terinfestasi oleh tungau hama.
Kemampuan Memangsa N. longispinosus Rata-rata pemangsaan tungau predator N. longispinosus terhadap tungau hama T. urticae tidak berbeda nyata dengan mangsa T. kanzawai (P=0.486), sementara rata-rata pemangsaan antara fase deutonimfa dan imago betina predator berbeda nyata (P<0.05) dan rata-rata pemangsaan terhadap fase telur dan imago betina hama berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 1). Rata-rata telur T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa imago betina predator sebanyak 14.15 1.87 butir dan 15.15 1.20 butir secara nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan telur yang dimangsa oleh deutonimfa predator (9.00 2.03 butir dan 9.15 1.14 butir telur) (Tabel 2). Rata-rata imago betina T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa deutonimfa predator (1.05 0.32; 1.05 0.41 ekor) tidak berbeda nyata dengan imago betina predator (1.95 0.32; 2.15 0.57 ekor) (Tabel 2). Tingkat pemangsaan terendah adalah pada fase deutonimfa predator yang memangsa 1.05 0.32 ekor dan 1.05 0.41 ekor imago betina T. urticae dan T. kanzawai. Rata-rata telur dan imago betina T. urticae dan T. kanzawai yang dimangsa deutonimfa dan imago betina N. longispinosus Jumlah fase yang dimangsa SDa Fase T. urticae T. kanzawai N.longispinosus Telur Imago betina Telur Imago betina Deutonimfa 9.00 2.03 b 1.05 0.32 c 9.15 1.14 b 1.05 0.41 c Imago betina 14.15 1.87 a 1.95 0.32 c 15.15 1.20 a 2.15 0.57 c
Tabel 2
a
Rata-ratayangdiikutioleh hurufyangsamatidakberbedanyatapadauji Tukeyα = 0.05
Tingkat pemangsaan N. longispinosus baik fase deutonimfa maupun fase imago betina terhadap mangsa berupa telur lebih tinggi dibandingkan mangsa berupa imago T. urticae dan T. kanzawai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Puspitarini (2005) yang menyatakan bahwa rata-rata telur Panonychus citri McGregor (Acari: Tetranychidae) yang dimangsa deutonimfa dan imago betina A. longispinosus secara nyata lebih tinggi dibandingkan nimfa P. citri. Fase imago betina A. longispinosus dapat memangsa 9.8 ‰ 2.50 sementara fase deutonimfa memangsa 4.00 ‰ 0.70 butir telur (Puspitarini 2005). Umumnya tungau phytoseiid lebih banyak mengkonsumsi telur dibanding larva, nimfa atau imago Tetranychidae (McMurty & Rodriguez 1987). Hasil penelitian Rachman (2011)
22
menunjukkan bahwa sebagian besar imago N. longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur T. kanzawai yang menunjukkan bahwa predator memiliki ketertarikan yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam fase telur. Tungau predator lebih banyak memangsa fase telur karena lebih mudah untuk memangsa telur dibandingkan fase imago yang aktif bergerak dan berkaitan dengan kandungan nutrisi fase mangsa. Mangsa pada fase nimfa dan imago aktif bergerak dan sering memberikan perlawanan sehingga untuk menangkap dan memangsanya diperlukan waktu dan energi yang lebih banyak (Huffacker et al. 1970). Mangsa yang berbeda menyediakan kandungan nutrisi yang berbeda pula (Hoy 2011). Fase telur diketahui memiliki kandungan protein yang tinggi (Sabelis 1985). Kandungan protein telur yang tinggi dibutuhkan oleh imago betina predator untuk pembentukan telur. Pemangsaan predator terhadap telur atau fase pradewasa dari mangsa sangat membantu dalam menekan perkembangan populasi hama. Tingkat pemangsaan juga ditentukan oleh faktor suhu (Rahman et al. 2012). Tingkat pemangsaaan A. longispinosus terhadap Aponycus corpuzae Rimando (Acari : Tetranychidae) dan Schizotetranychus nanjingensis Ma & Yuan (Acari : Tetranychidae) ditentukan oleh suhu (Zhang et al. 1998; Zhang et al. 1999). Tungau predator A. longispinosus efektif mengendalikan A. corpuzae pada rentang suhu 15 ƒC sampai 35 ƒC dan paling efektif pada suhu 25 ƒC (Zhang et al. 1998). Hasil penelitian Zhang et al. (1999) menunjukkan bahwa A. longispinosus efektif mengendalikan S. nanjingensis pada suhu 30-35 ƒC dan tetapi kurang efektif pada suhu 10-15 ƒC. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pemangsaan N. longispinosus lebih efektif pada suhu tinggi dibandingkan suhu rendah. Pada pengujian ini suhu rata-rata laboratorium adalah 29 ƒC dan dapat dianggap merupakan suhu yang optimal bagi N. longispinosus untuk memangsa T. urticae dan T. kanzawai. Efesiensi pemangsaan diduga juga terkait dengan efisiensi pencarian mangsa oleh predator. Menurut Huffaker (1971) predator melakukan pencarian mangsa secara acak sampai terjadi kontak dengan mangsa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Krips et al. (1999), bahwa Phytoseiulus persimilis melakukan pencarian mangsa secara acak. Sebagian besar tingkah laku pemangsa cenderung mencari mangsa yang mempunyai sifat berkelompok daripada mangsa yang sifatnya terpencar (Marchal et al. 1996). Pencarian mangsa oleh predator juga dipengaruhi oleh keadaan permukaan daun. Hasil penelitian Krips et al. (1999) menunjukkan bahwa efisiensi pencarian P. persimilis terhadap mangsanya pada Gerbera sp. dipengaruhi oleh kepadatan trikoma pada permukaan daun. Permukaan arena percobaan berupa daun stroberi diketahui memiliki trikoma yang cukup banyak, sehingga cukup mempengaruhi efisiensi pencarian mangsa. Luas dari arena percobaan dan kepadatan mangsa juga merupakan faktor yang mempengaruhi efisiensi pencarian mangsa oleh predator. Arena percobaan daun stroberi berukuran 2 cm x 2 cm. Pada arena percobaan yang berbeda luasan maka efesiensi predator dalam mencari mangsa akan berbeda juga. McMurty & Rodriguez (1987) menyatakan bahwa, tingkat kelaparan mempengaruhi rasio pertemuan dan penangkapan mangsa oleh predator. Krips et al. (1999) juga menyatakan bahwa rata-rata pemangsaan tergantung pada rata-rata pertemuan antara predator dengan mangsanya dan motivasi predator untuk
23
memangsa mangsa yang ditemuinya. Pada percobaan, tungau predator N. longispinosus telah dilaparkan selama 6 jam sebelum perlakuan. Perlakuan tersebut diduga dapat mempengaruhi tingkat pemangsaan tungau predator. Berdasarkan hasil pengujian, N. longispinosus memiliki tingkat pemangsaan yang sama atau tidak berbeda nyata (P=0.486) terhadap T. urticae dan T. kanzawai (Lampiran 1). Kedua mangsa tersebut masih tergolong dalam satu famili Tetranychidae sehingga tingkat pemangsaan N. longispinosus tidak berbeda. Berdasarkan hasil tersebut tungau hama T. kanzawai berpotensi digunakan untuk pembiakan atau rearing N. longispinosus sebagai mangsa selain T. urticae. Hal ini karena T. kanzawai cukup mudah ditemui dan dikembangbiakan pada tanaman ubi kayu sehingga lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan pengembangbiakan N. longispinosus dengan mangsa T. urticae pada tanaman stroberi.
Pengaruh Fase Mangsa terhadap Tingkat Oviposisi N. longispinosus
Rata-rata telur N. longipsinosus (butir/hari)
Gambar 11 menunjukkan rata-rata telur yang diletakkan imago betina N. longispinosus pada saat diberi mangsa dengan fase yang berbeda. Rata-rata telur yang diletakkan imago betina predator N. longispinosus pada saat diberikan mangsa telur secara nyata lebih tinggi (P<0.05) dibanding dengan saat diberi mangsa imago betina T. urticae dan T. kanzawai (Lampiran 2). Saat diberikan mangsa telur T. urticae dan T. kanzawai imago betina N. longispinosus meletakkan rata-rata 2.00 0.39 dan 1.80 0.73 butir telur, sedangkan saat diberikan mangsa imago betina T. urticae dan T. kanzawai predator hanya meletakkan 0.90 0.13 dan 0.70 0.20 butir telur per hari (Gambar 11). Umumnya phytoseiid dapat menghasilkan 2-4 telur perhari dengan total 20-50 telur per imago betina selama hidupnya (Hoy 2011). 2.5
a
Telur Imago
a
2 1.5 1
b
b
0.5 0
T. urticae
T. kanzawai Jenis mangsa
Gambar 11
Rata-rata ( SD) telur yang diletakkan oleh imago betina N. longispinosus pada saat diberi mangsa dengan fase berbeda
Hasil pengujian ini sesuai dengan hasil penelitian Oliviera et al. (2007) yang menunjukkan rata-rata oviposisi P. macropilis Banks (Acari: Phytoseidae) tertinggi saat diberikan mangsa telur dan kombinasi telur dan imago T. urticae.
24
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bruce-Oliver & Hoy (1990), bahwa imago betina M. occidentalis memproduksi lebih banyak telur saat diberi mangsa telur dibandingkan fase aktif (larva, nimfa dan imago). Diduga kandungan nutrisi pada telur sangat dibutuhkan dan penting bagi siklus hidup tungau predator terutama untuk pembentukan telur terutama pada masa praoviposisi dan oviposisi. Rata-rata oviposisi tungau predator juga ditentukan oleh faktor suhu. Rahman et al. (2012), menyatakan bahwa, rata-rata oviposisi N. longispinosus tergantung pada suhu dan kualitas mangsa. Rata-rata telur yang diletakkan N. longipsinosus lebih tinggi pada suhu 30 ƒC dibanding pada suhu 20 ƒC-25 ƒC saat diberikan mangsa Olygonychus coffeae (Rahman et al. 2013). Pada pengujian ini suhu rata-rata laboratorium adalah 29 †C dengan kisaran suhu 27 †C-31 †C. Suhu tersebut (29 †C) dianggap cukup optimal untuk oviposisi imago betina tungau predator. Jenis mangsa dan tingkat pemangsaan imago betina N. longispinosus terhadap telur dan imago betina T. urticae dan T. kanzawai (Tabel 2) sangat berkaitan dengan rata-rata telur yang diletakkan oleh imago betina N. longispinosus (Gambar 11). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sabelis & Janssen (1994) bahwa oviposisi sangat berhubungan dengan tingkat pemangsaan karena tungau predator phytoseiid mengalokasikan sebagian besar nutrisi makanan untuk produksi telur. Dari hasil pengujian, pada saat imago betina memangsa sebanyak 14.15 1.87 telur dan 1.95 0.32 imago betina T. urticae, imago betina mampu meletakkan telur berturut-turut sebanyak 2.00 butir dan 0.90 butir telur. Hasil ini menunjukkan imago betina predator rata-rata meletakkan 1 butir telur setiap 7.75 telur T. urticae yang dimangsa dan 0.90 butir telur setiap 1.95 ekor imago betina T. urticae yang dimangsa. Sementara saat memangsa sebanyak 15.15 1.20 butir telur dan 2.15 0.57 ekor imago betina T. kanzawai, imago betina N. longispinosus mampu meletakkan telur berturut-turut sebanyak 1.80 butir dan 0.70 butir telur. Hasil ini menunjukkan imago betina predator rata-rata meletakkan 0.9 butir telur setiap 7.57 telur T. kanzawai yang dimangsa dan 0.70 butir telur setiap 2.15 ekor imago betina T. urticae yang dimangsa. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Rahman et al. (2012) dan Zhang et al. (1998), bahwa imago betina N. longispinosus rata-rata meletakkan berturut-turut 1 telur setiap 1.62 tungau dan 1-1.5 telur setiap 1.3-2.5 hama yang dimangsa. Umumnya imago betina phytoseiid membutuhkan 20-25 telur tungau laba-laba per hari untuk mendepositkan seluruh bagian telur yang lengkap, sementara imago jantan dan pradewasa membutuhkan jumlah yang lebih sedikit (Hoy 2011).
Potensi Kanibalisme N. longispinosus Pada komposisi fase yang sama, rata-rata deutonimfa yang dimangsa deutonimfa lain tidak berbeda nyata (P<0.05) pada tiap kerapatan kecuali pada kerapatan 2 dan 6 ekor predator (Tabel 3). Rata-rata N. longispinosus yang dimangsa konspesifik pada fase deutonimfa tertinggi pada kerapatan 8 ekor sebesar 1.20 0.27 ekor dan terendah pada kerapatan 2 ekor predator sebesar 0.30 0.27 ekor (Tabel 3). Rata-rata imago betina predator yang dimangsa konspesifik tidak berbeda nyata pada tiap kerapatan kecuali pada kerapatan 2 dan
25
8 ekor predator (P<0.05) (Lampiran 3). Tingkat kanibalisme tertinggi pada kerapatan 8 ekor predator sebesar 1.10 0.41 ekor dan terendah adalah pada kerapatan 2 ekor dimana tidak ada imago betina yang dimangsa (Tabel 3). Tingkat kanibalisme N. longispinosus pada komposisi fase sama dan campuran pada beberapa tingkat kerapatan Jumlah predator yang dimangsa konspesifik (ekor) pada Kerapatan komposisi fase SDa predator Deutonimfa Imago betina Deutonimfa dan Imago betinab 2 0.30 0.27 bc 0.00 0.00 c 0.10 0.22 b 4 0.50 0.35 abc 0.30 0.27 bc 0.60 0.41 b 6 1.20 0.27 a 0.70 0.75 abc 1.70 0.44 a 8 1.00 0.50 ab 1.10 0.41 ab 1.70 0.44 a
Tabel 3
a b
Rata-rata pada kolomyang sama yang diikutioleh huruf yang sama tidak berbedanyatapada uji Tukey α = 0.05 Perbandinganjumlahantarfase campurandeutonimfadan imagobetina1 : 1
Pada komposisi fase campuran, rata-rata predator yang dimangsa predator lain pada kerapatan 2 dan 4 ekor predator berbeda nyata (P<0.05) dengan kerapatan 6 dan 8 ekor predator (Lampiran 4). Rata-rata predator N. longispinosus yang dimangsa jenisnya sendiri tertinggi pada kerapatan 6 dan 8 ekor sebesar 1.70 0.44 ekor dan terendah pada kerapatan 2 ekor predator sebesar 0.10 0.22 ekor (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku kanibalisme menjadi semakin tinggi atau intens terjadi dengan makin meningkatnya kerapatan predator dan kanibalisme dapat terjadi pada fase yang sama. Menurut Agarwala & Dixon (1992), umumnya kanibalisme terjadi pada predator fase akhir yang memangsa predator yang fasenya lebih awal. Pada pengujian ini, karena tidak ada pilihan maka tungau predator memangsa fase yang sama untuk dapat bertahan hidup. Fase deutonimfa dan imago betina N. longispinosus baik pada komposisi fase yang sama maupun fase berbeda memiliki potensi kanibalisme saat tidak tersedia mangsa. Pada saat jumlah mangsa tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi predator, maka predator akan memangsa predator lain dari jenisnya sendiri (kanibalisme). Hoy (2011) menyatakan bahwa P. persimilis dan M. occidentalis tidak memakan nektar atau eksudat tanaman dan bersifat kanibal terhadap telur atau pradewasa, atau memangsa spesies phytoseiid lainnya (intraguild predation) atau IGP. Hal yang sama dinyatakan oleh Momen & AbdelKhalek (2009), bahwa imago betina Euseius scutalis, Typhlodromus athiasae and T. swirskii (Acari : Phytoseiidae) memiliki potensi kanibalisme dan IGP. Yano (2005) menyatakan bahwa P. persimilis memiliki tingkat kanibalisme sesama jenis yang lebih tinggi dibandingkan perilaku IGP pada spesies phytoseiid lainnya. Rata-rata konsumsi T. exhila terhadap sesamanya lebih rendah dibandingkan dengan pemangsaan terhadap phytoseiid lainnya sementara T. phialatus mengkonsumsi jumlah yang sama antara kanibalisme sesamanya dan pemangsaan phytoseiid lainnya (Meszaros et al. 2007). Kanibalime pada spesies sendiri dan IGP pada spesies phytoseiid lainnya dapat menjadi keuntungan jika dapat membuat predator bertahan pada saat kondisi populasi mangsa yang rendah (Hoy 2011).
26
Pada peristiwa kanibalisme dan IGP, umumnya fase yang lebih dewasa memiliki tingkat pemangsaan yang lebih tinggi dibandingkan fase yang lebih muda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Momen (2010) bahwa N. barkeri dan T. negevi lebih banyak memangsa larva dibanding telur dan protonimfa kedua predator tersebut pada uji pemangsaan inter dan antarspesies. Hasil penelitian Momen & Abdel-Khalek (2009) menunjukan bahwa imago betina dari ketiga spesies phytoseiid E. scutalis, T. athiasae and T. swirskii memiliki rata-rata predasi yang lebih tinggi terhadap fase larva dibandingkan fase protonimfa.
Tingkat Oviposisi N. longispinosus pada Uji Kanibalisme Rata-rata telur yang diletakkan imago betina N. longispinosus semakin meningkat dengan meningkatnya kerapatan predator pada uji kanibalisme antara komposisi fase yang sama dan komposisi fase campuran (Gambar 12). Pada saat kondisi kepadatan mangsa yang rendah atau tidak ada mangsa, imago betina N. longispinosus masih dapat menghasilkan telur. Pada komposisi fase sama rata-rata telur tertinggi pada kerapatan 8 ekor predator sebanyak 2.10 0.41 butir dan terendah pada kerapatan 2 ekor predator sebanyak 1.50 0.35 butir. Pada komposisi fase berbeda rata-rata telur tertinggi pada kerapatan 8 ekor predator sebanyak 2.00 0.35 butir dan terendah pada kerapatan 2 ekor predator sebanyak 1.30 0.44 butir telur (Gambar 12).
Jumlah telur yang diletakkan N. longispinosus (butir/hari)
Komposisi sama
Komposisi campuran
2.5 2 1.5 1 0.5 0 2
Gambar 12
4 6 Kerapatan predator
8
Rata-rata ( SE) telur yang diletakkan oleh satu imago betina N.longispinosus pada uji kanibalisme
Pada saat tidak ada mangsa imago betina N. longispinosus masih dapat menghasilkan telur, diduga karena telah mendapat nutrisi dari pemangsaan sesama jenisnya (kanibalisme). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Momen (2010), yang menyatakan bahwa nutrisi yang didapatkan oleh N. barkeri (Acari: Phtyoseiidae) dari proses kanibalisme (larva atau nimfa) membuat predator dapat bereproduksi dan bertahan untuk beberapa waktu. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Meszaros et al. (2007) bahwa T. exhila dan T. phialatus dapat menghasilkan telur pada uji kanibalisme dan pemangsaan jenis phytoseiid lainnya (IGP).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Tungau predator eksotis P. persimilis diduga tidak dapat bertahan lama baik di dalam maupun di luar rumah kaca di Indonesia. Tungau predator yang ditemukan adalah spesies lokal N. longispinosus. Kemampuan memangsa N. longispinosus terhadap mangsa telur lebih tinggi dibandingkan mangsa imago betina T. urticae dan T. kanzawai. Rata-rata telur yang diletakkan oleh imago betina N. longispinosus lebih tinggi pada saat diberi mangsa telur dibandingkan mangsa imago betina T. urticae dan T. kanzawai. Baik fase deutonimfa maupun imago betina N. longispinosus memiliki sifat kanibalisme pada saat tidak tersedia mangsa.
Saran Perlu dilakukannya penelitian mengenai pengembangan metode pembiakan masal tungau predator lokal N. longispinosus.
DAFTAR PUSTAKA Agarwala BK, Dixon AFG. 1992. Laboratory study of cannibalism and interspecific predation in ladybird. Ecol Ento. 17: 303-309. Alatawi F, Nechols JR, Margolies DC, 2011. Spatial distribution of predators and prey affect biological control of twospotted spider mites by in greenhouses. Biological Control. 56 (2011) 36–42. doi:10.1016/j.biocontrol.2010.09.006. Bale J. 2005. Effects of temperature on the establishment of non native biocontrol agents: the predictive power of laboratory data. Di dalam: Hoddle SM, editor. Second International Symposium on Biological Control of Arthropods. [12-16 Sept 2005, Davos Switzerland]. West Virginia (US) : USDA Forrest Service. hlm 593-602. Bruce-Oliver SJ, Hoy MA. 1990. Effect of prey stage on life table attributes of a genetically manipulated strain of Metaseiulus occidentalis (Acari : Phytoseiidae). Exp Appl Acarol. 19 : 565- 572. [CABI] Central For Agricultural and Biosciences International. 2007. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. Wallingford (UK) : CAB International. 1 CD-ROM dengan penuntun di dalamnya. Cross JV, Easterbrook MA, Crook AM, Crook D, Fitzgerald JD, Innocenzi PJ, Jay CN, Solomon MG. 2001. Review: Natural Enemies and Biocontrol of Pests of Strawberry in Northern and Central Europe. Biocontrol Science and Technology. 11 : 165-216. doi: 10.1080 /09583150120035639. Drukker B, Janssen A, Ravensberg W, Sabelis MW. 1997. Improved control capacity of the mite predator Phytoseilus persimilis Athias Henriot (Acari : Phytoseiidae) on tomato. Exp & App Acarology. 21 : 507-518. Evans GO. 1952. A new typhlodromid mite predaceous on Tetranychus bimaculatus Harvey in Indonesia. Annals and Magazine of Natural History. 5: 413-416. Gerson U, Smiley RL, Ochoa R. 2003. Mites (Acari) for Pest Control. Oxford (UK) : Blackwell Science Ltd. Gotoh T, Nozawa M, Yamaguchi K. 2004. Prey consumption and functional response of three acarophagous species to eggs of the twospotted spider mite in laboratory. Applied Entomology and Zoology 39 (1): 97-105 [internet]. Tersedia pada : http/:www. odokon.ac.affrc.go.jp. Huffaker CB, Messenger PS, De Bach P. 1971. The natural enemy component in natural control and the theory of biological control. Di dalam : Huffaker CB, editor. Biological control. New York (US) : Plenum Press. hlm 16-62. Hoy MA. 2011. Agricultural Acarology : Introduction to Integrated Mite Management. New York (US) : CRC Press. Jung C. 2005. Some evidences of aerial dispersal of twospotted spider mites from an apple orchard into a soybean field. J Asia-Pacific Entomol [internet]. 8 (3): 279-283. Tersedia pada : www.entomology.or.kr. [Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1995. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 411 Tahun 1995 tentang Pemasukan Agens Hayati ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Jakarta (ID): Kementan. Krantz G. 1978. Manual of Acarology. Corvalis (US) : Oregon State University.
29
Krips OE, Kleijn PW, Willems PEL, Gols GJZ, Dicke M. 1999. Leaf hairs influence searching efficiency and predation rate of the predatory mite Phytoseiulus persimilis Athias-Henriot (Acari : Phytoseiidae). Di dalam: Bruin J, Van der Greest LPS, Sabelis MW, editor. Proceedings of the 3rd Symposium of the European Association of Acarologists ; Šmsterdam, 1-5 Juli 1996. London (UK) : Kluwer Academic Publishers. hlm 389-398. Marchal E, Josse E, Lebourges A. 1996. Predator and preys : an acoustic approach. Di dalam: Procceding of Acoustic, Seminar Akustikan 2 : Bandungan : 27-29 Mei 1996. Meszaros A, Tixier MS, Cheval B, Barbar Z, Kreiter S. 2007. Cannibalism and intraguild predation in Typhlodromus exhilaratus and T. phialatus (Acari: Phytoseiidae) under laboratory conditions. Exp Appl Acarol. 41:37–43. doi : 10.1007/s10493-006-9046-x. Momen FM. 2010. Intra and interspecific predation by Neoseiulus barkeri and Typhlodromus negevi (Acari : Phytoseiidae) on different life stages: predation rates and effects on reproduction and juvenile development. Acarina [internet]. 18 (1): 81–88. Tersedia pada : insect.ummz.lsa.umich.edu/pdf. Momen FM, Abdel-Khalek A. 2009. Cannibalism and intraguild predation in the phytoseiid mites Typhlodromips swirskii, Euseius scutalisand, Typhlodromus athiasae (Acari : Phytoseiidae). Acarina [internet]. 17 (2): 223–229. Tersedia pada : www. reaserchgate.net/profile/serge_kreiter. Mori H, Saito Y. 1979. Biological control of Tetranycus urticae Koch (Acari: Tetranychidae) populations by three species of phytoseiid mites (Acari: Phytoseiidae). Journal Faculty of Agriculture Hokaido Univ [internet]. 59(3): 303-311. Tersedia pada : http://hdl.handle.net/2115/12931. McMurty JA, Rodriguez JG. 1987. Nutritional ecology of phytoseiidae mites. Di dalam : Slansky F JR, Rodriguez JG, editor. Nutritional Ecology of Insect, Mites, Spiders, and Related Invertebrates. New York (US) : Jhon Wiley and Sons. hlm 609-644. Oliviera H, Janssen A, Pallini A, Venzon M, Fadini M, Duarte V. 2007. A phytoseiid predator from the tropics as potential biological control agent for the spider mite Tetranychus urticae Koch (Acari: Tetranychidae). Biological Control. 42 : 105-109. doi : 10.1016/j.biocontrol.2007.04.011. Puspitarini RD. 2005. Biologi dan ekologi tungau merah jeruk Panonychus citri (McGregor) (Acari: Tetranychiidae) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Rachman MNY. 2011. Biologi dan potensi predasi tungau predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada tungau hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Rahman VJ, Babu A, Roobakumar A, Perumalsamy K. 2012. Functional and numerical responses of the predatory mite, Neoseiulus longispinosus, to the red spider mite, Oligonychus coffeae, infesting tea. Journal of Insect Science, 12(125):1-12. doi: http://dx.doi.org/10.1673/031.012.12501.
30
Rahman VJ, Babu A, Roobakumar A, Perumalsamy K. 2013. Life table and predation of Neoseiulus longispinosus (Acari: Phytoseiidae) on Oligonychus coffeae (Acari : Tetranychidae) infesting tea. Exp Appl Acarol. 60:229–240. doi : 10.1007/s10493-012-9649-3. Sabelis MW. 1985. Predation on spider mites. Di dalam : Helle, W. & Sabelis, M.W. (editor). Spider Mites Their Biology, Natural Enemy and Control. Vol I. Amsterdam (NED) : Elsevier. hlm 103-127. Sosromarsono S, Untung K. 2000. Keanekaragaman hayati artropoda, predator, dan parasit di Indonesia dan pemanfaatannya. Di dalam: Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000. Strand LL. 1994. Integrated pest management of strawberries. University of California Statewide Integrated Pest Management Project, Division of Agriculture and Natural Resources Publication. hlm 3351. Van Lenteren JC, Bale J, Bigler F , Hokkanen HMT, Loomans AJM. 2006. Assessing risks of releasing exotic biological control agents of arthropod pests. Annu Rev Entomol [internet]. 51:609–34. doi:10.1146/annurev.ento.51.110104.151129. Walter DE, Azam GN, Waite G, Hargreaves J. 2006. Risk assessment of an exotic biocontrol agent : Phytoseiulus persimilis (Acari : Phytoseiidae) does not establish in rainforest in southeast Queensland. Aust J Ecol. 23: 587-592. White S, Clarkson J, Skirvin D, Napier R. 2012. Guidelines for the use of biological control agents vs chemical control for specific pests and diseases in novel greenhouse structures. Di dalam : Efficient Use Of Inputs In Protected Horticulture [internet]. Warwick (UK) : University of Warwick. Tersedia pada : http://www.syngenta.com/global/bioline/en/aboutus/pages/about-us.aspx. Yano E. 2005. Intraguild predation and interspecific competition among biological control agents in greenhouses. Di dalam: Hoddle SM, editor. Second International Symposium on Biological Control of Arthropods. [1216 Sept 2005, Davos Switzerland]. West Virginia (US) : USDA Forrest Service. hlm 523-530. Zhang YX, Zhang ZQ, Lin JZ, Liu QY. 1998. Predation of Amblyseius longispinosus (Acari: Phytoseiidae) on Aponychus corpuzae (Acari: Tetranychidae). Systematic and Applied Acarology. 3 : 53-58. Zhang YX, Zhang ZQ, Ji J, Lin JZ. 1999. Predation of Amblyseius longispinosus (Acari: Phytoseiidae) on Schizotetranychus nanjingensis (Acari: Tetranychidae), a spider mite injurious to bamboo in Fujian, China. Systematic & Applied Acarology. 4 : 63-68. Zhang ZQ. 2003. Mites of Greenhouses : Identification, Biology and Control. Walingford (UK): CABI Publishing.
LAMPIRAN Lampiran 1
Factor Predator Spesies hama Stadia hama
Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% terhadap kemampuan memangsa N. longispinosus Type fixed fixed fixed
Levels 2 2 2
Values Deutonimfa, Imago T kanzawai, T urticae Imago, Telur
Analysis of Variance for Respon, using Adjusted SS for Tests Source Predator Spesies hama Stadia hama Predator*Spesies hama Predator*Stadia hama Spesies hama*Stadia hama Predator*Spesies hama*Stadia hama Error Total
S = 1.17858
R-Sq = 96.50%
DF 1 1 1 1 1 1 1 32 39
Seq SS 108.08 1.14 1063.48 0.69 52.33 0.56 0.26 44.45 1270.99
Adj SS 108.08 1.14 1063.48 0.69 52.33 0.56 0.26 44.45
Adj MS 108.08 1.14 1063.48 0.69 52.33 0.56 0.26 1.39
F 77.81 0.82 765.61 0.50 37.67 0.41 0.19
P 0.000 0.372 0.000 0.486 0.000 0.529 0.666
R-Sq(adj) = 95.74%
Expected Mean Squares, using Adjusted SS Expected Mean Square Source for Each Term 1 Predator (8) + Q[1, 4 , 5 , 7] 2 Spesies hama (8) + Q[2, 4 , 6 , 7] 3 Stadia hama (8) + Q[3, 5 , 6 , 7] 4 Predator*Spesies hama (8) + Q[4, 7] 5 Predator*Stadia hama (8) + Q[5, 7] 6 Spesies hama*Stadia hama (8) + Q[6, 7] 7 Predator*Spesies hama*Stadia hama (8) + Q[7] 8 Error (8) Error Terms for Tests, using Adjusted SS 1 2 3 4 5 6 7
Source Predator Spesies hama Stadia hama Predator*Spesies hama Predator*Stadia hama Spesies hama*Stadia hama Predator*Spesies hama*Stadia hama
Error DF 32.00 32.00 32.00 32.00 32.00 32.00 32.00
Error MS 1.39 1.39 1.39 1.39 1.39 1.39 1.39
Synthesis of Error MS (8) (8) (8) (8) (8) (8) (8)
Variance Components, using Adjusted SS Estimated Source Value Error 1.389 Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence Predator N Mean Grouping Imago 20 8.3 A Deutonimfa 20 5.1 B Means that do not share a letter are significantly different.
32
Lampiran 1 (Lanjutan) Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence Spesies hama N Mean Grouping T kanzawai 20 6.9 A T urticae 20 6.5 A Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence Stadia hama N Mean Grouping Telur 20 11.9 A Imago 20 1.5 B Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence Predator Spesies hama N Mean Grouping Imago T kanzawai 10 8.6 A Imago T urticae 10 8.1 A Deutonimfa T kanzawai 10 5.1 B Deutonimfa T urticae 10 5.0 B Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence Stadia Predator hama N Mean Grouping Imago Telur 10 14.7 A Deutonimfa Telur 10 9.1 B Imago Imago 10 2.0 C Deutonimfa Imago 10 1.0 C Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence Stadia Spesies hama hama N Mean Grouping T kanzawai Telur 10 12.2 A T urticae Telur 10 11.6 A T kanzawai Imago 10 1.6 B T urticae Imago 10 1.5 B Means that do not share a letter are significantly different. Grouping Information Using Tukey Method and 95.0% Confidence Stadia Predator Spesies hama hama N Mean Grouping Imago T kanzawai Telur 5 15.2 A Imago T urticae Telur 5 14.2 A Deutonimfa T kanzawai Telur 5 9.1 B Deutonimfa T urticae Telur 5 9.0 B Imago T kanzawai Imago 5 2.1 C Imago T urticae Imago 5 2.0 C Deutonimfa T kanzawai Imago 5 1.0 C Deutonimfa T urticae Imago 5 1.0 C Means that do not share a letter are significantly different.
33
Lampiran 2
Source Perlakuan Error Total
DF 3 16 19
S = 0.3307
Level A B C D
N 5 5 5 5
Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% pengaruh fase mangsa terhadap peletakan telur N. longispinosus SS 7.300 1.750 9.050
MS 2.433 0.109
R-Sq = 80.66%
Mean 0.9000 2.0000 0.7000 2.0000
StDev 0.1369 0.3953 0.2092 0.4677
F 22.25
P 0.000
R-Sq(adj) = 77.04%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+------(-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) --+---------+---------+---------+------0.50 1.00 1.50 2.00
Pooled StDev = 0.3307 Grouping Information Using Tukey Method Perlakuan N Mean Grouping D 5 2.0000 A B 5 2.0000 A A 5 0.9000 B C 5 0.7000 B Means that do not share a letter are significantly different. Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of Perlakuan Individual confidence level = 98.87% Perlakuan = A subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper B 0.5010 1.1000 1.6990 C -0.7990 -0.2000 0.3990 D 0.5010 1.1000 1.6990
Perlakuan = B subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper C -1.8990 -1.3000 -0.7010 D -0.5990 0.0000 0.5990
Perlakuan = C subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper D 0.7010 1.3000 1.8990
--------+-------+--------+---------+ (-----*----) (-----*-----) (-----*----) --------+--------+-------+---------+ -1.0 0.0 1.0 2.0 -------+-------+--------+---------+ (-----*-----) (-----*-----) -------+-------+--------+---------+ -1.0 0.0 1.0 2.0
---------+---------+---------+-------+ (-----*----) ---------+---------+---------+-------+ -1.0 0.0 1.0 2.0
34
Lampiran 3
Source Perlakuan Error Total
DF 7 32 39
S = 0.4108
Level A B C D E F G H
N 5 5 5 5 5 5 5 5
Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% terhadap potensi kanibalisme N. longispinosus pada komposisi fase yang sama SS 6.594 5.400 11.994
MS 0.942 0.169
R-Sq = 54.98%
Mean 0.0000 0.3000 0.3000 0.5000 0.7000 1.2000 1.1000 1.0000
StDev 0.0000 0.2739 0.2739 0.3536 0.7583 0.2739 0.4183 0.5000
F 5.58
P 0.000
R-Sq(adj) = 45.13%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(------*------) (------*------) (------*------) (------*------) (------*------) (------*------) (------*------) (------*------) -------+---------+---------+---------+-0.00 0.50 1.00 1.50
Pooled StDev = 0.4108 Grouping Information Using Tukey Method Perlakuan N Mean Grouping F 5 1.2000 A G 5 1.1000 A B H 5 1.0000 A B E 5 0.7000 A B C D 5 0.5000 A B C C 5 0.3000 B C B 5 0.3000 B C A 5 0.0000 C Means that do not share a letter are significantly different. Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of Perlakuan Individual confidence level = 99.72% Perlakuan = A subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper B -0.5414 0.3000 1.1414 C -0.5414 0.3000 1.1414 D -0.3414 0.5000 1.3414 E -0.1414 0.7000 1.5414 F 0.3586 1.2000 2.0414 G 0.2586 1.1000 1.9414 H 0.1586 1.0000 1.8414
-------+---------+---------+-------+(-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*------) (-------*-------) (-------*-------) -------+---------+---------+-------+-1.0 0.0 1.0 2.0
35
Lampiran 3 (Lanjutan) Perlakuan = B subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper C -0.8414 0.0000 0.8414 D -0.6414 0.2000 1.0414 E -0.4414 0.4000 1.2414 F 0.0586 0.9000 1.7414 G -0.0414 0.8000 1.6414 H -0.1414 0.7000 1.5414
Perlakuan = C subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper D -0.6414 0.2000 1.0414 E -0.4414 0.4000 1.2414 F 0.0586 0.9000 1.7414 G -0.0414 0.8000 1.6414 H -0.1414 0.7000 1.5414
Perlakuan = D subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper E -0.6414 0.2000 1.0414 F -0.1414 0.7000 1.5414 G -0.2414 0.6000 1.4414 H -0.3414 0.5000 1.3414
Perlakuan = E subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper F -0.3414 0.5000 1.3414 G -0.4414 0.4000 1.2414 H -0.5414 0.3000 1.1414
Perlakuan = F subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper G -0.9414 -0.1000 0.7414 H -1.0414 -0.2000 0.6414
Perlakuan = G subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper H -0.9414 -0.1000 0.7414
-------+---------+---------+-------+(-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) -------+---------+---------+-------+-1.0 0.0 1.0 2.0 -------+---------+---------+-------+(-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) -------+---------+---------+-------+-1.0 0.0 1.0 2.0
-------+---------+---------+-------+(-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) -------+---------+---------+-------+-1.0 0.0 1.0 2.0
-------+---------+---------+-------+(-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) -------+---------+---------+-------+-1.0 0.0 1.0 2.0
-------+---------+---------+-------(-------*-------) (-------*-------) -------+--------+--------+--------+-1.0 0.0 1.0 2.0
-------+---------+---------+------+(-------*-------) -------+---------+---------+------+-1.0 0.0 1.0 2.0
36
Lampiran 4
Source Perlakuan Error Total
DF 3 16 19
S = 0.3953
Level A B C D
N 5 5 5 5
Hasil analisis ragam (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 95% terhadap potensi kanibalisme N. longispinosus pada komposisi fase campuran SS 9.737 2.500 12.237
MS 3.246 0.156
R-Sq = 79.57%
Mean 0.1000 0.6000 1.7000 1.7000
StDev 0.2236 0.4183 0.4472 0.4472
F 20.77
P 0.000
R-Sq(adj) = 75.74%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -----+---------+---------+---------+---(------*-----) (-----*-----) (-----*------) (-----*------) -----+---------+---------+---------+---0.00 0.60 1.20 1.80
Pooled StDev = 0.3953 Grouping Information Using Tukey Method Perlakuan N Mean Grouping D 5 1.7000 A C 5 1.7000 A B 5 0.6000 B A 5 0.1000 B Means that do not share a letter are significantly different. Tukey 95% Simultaneous Confidence Intervals All Pairwise Comparisons among Levels of Perlakuan Individual confidence level = 98.87% Perlakuan = A subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper B -0.2159 0.5000 1.2159 C 0.8841 1.6000 2.3159 D 0.8841 1.6000 2.3159
Perlakuan = B subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper C 0.3841 1.1000 1.8159 D 0.3841 1.1000 1.8159
Perlakuan = C subtracted from: Perlakuan Lower Center Upper D -0.7159 0.0000 0.7159
-----+---------+---------+---------+ (-----*-----) (-----*-----) (-----*-----) -----+---------+---------+---------+ -1.2 0.0 1.2 2.4 -----+---------+---------+---------+ (-----*-----) (-----*-----) -----+---------+---------+---------+ -1.2 0.0 1.2 2.4 -----+---------+---------+---------+ (-----*-----) -----+---------+---------+---------+ -1.2 0.0 1.2 2.4
37
A
B
0.3 mm
0.2 mm
C
D
0.2 mm
E
0.2 mm Lampiran 5
0.3 mm
F
0.2 mm Fase tungau predator N. longispinosus: A. Telur, B. Larva, C. Protonimfa, D. Deutonimfa, E. Imago betina, F. Imago jantan
38
A
B
0.2 mm
0.3 mm
C
♂
♀ 0.3 mm
Lampiran 6
Beberapa perilaku tungau predator N. longispinosus : A. Predasi, B. Kanibalisme, C. Kopulasi
A
B
0.2 mm
0.2 mm
Lampiran 7 Tungau fitofag yang ditemukan : A. Tetranychus kanzawai, B. Tetranychus urticae
39
A
B
0.5 mm
0.4 mm
C
Lampiran 8
Predator tungau hama lain yang ditemukan : a. Oligota spp. pada ubi kayu, b. Larva Cecidomyiid pada ubi kayu dan c. Larva Chrysopid pada ubi kayu
40
A
B
C
D
E
F
Lampiran 9
Artopoda fitofag lain yang ditemukan : A. Nimfa Empoasca spp. pada teh, B. Hyposidra talaca pada teh, C. Aphis spp. pada gulma D. Trips spp. pada gulma, E. Paracoccus marginatus pada ubi kayu. F. Penacoccus manihoti pada ubi kayu
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 22 Maret 1985 dari ayah bernama Enim Wilaatmana dan ibu bernama Nony Ningtias. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan SMU ditempuh di SMU Negeri 49 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian tahun 2009 sampai sekarang dan bekerja sebagai Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) Ahli Pertama di Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Bengkulu. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Entomologi pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian.