SKRIPSI
PEMANFAATAN TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) KLON BB00105.10 SEBAGAI BAHAN DASAR PRODUK OLAHAN KUKUS SERTA EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIKNYA
Oleh: ANNISYA NISVIATY F 24102006
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Annisya Nisviaty. F24102006. Pemanfaatan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon BB00105.10 sebagai Bahan Dasar Produk Olahan Kukus serta Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemiknya. Di bawah bimbingan Ir. Didah Nur Faridah, MSi. dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. (2006). RINGKASAN Kini, bahan pangan yang mulai banyak diminati oleh konsumen bukan hanya yang memiliki komposisi gizi yang baik, citarasa yang enak, penampakan yang menarik tetapi juga bersifat fungsional yakni bermanfaat bagi kesehatan. Dalam bentuk tepungnya, ubi jalar dapat dijadikan bahan dasar produk olahan sebagai pensubstitusi tepung terigu. Penelitian sebelumnya menunjukkan ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai aktivitas hipoglikemik tertinggi dibandingkan 7 varietas/klon ubi jalar lainnya karena didukung oleh pati resisten (3.80 % bk) dan protein (5.47 % bk) yang paling tinggi, daya cerna pati (51.40 %) yang rendah serta mempunyai amilosa (24.94 % bk) sedang. Nilai IG ubi jalar klon BB00105.10 yang dikukus, digoreng dan dipanggang berturut-turut 62, 47 dan 80. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk olahan kukus yaitu bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang memiliki mutu gizi baik dan indeks glikemik rendah sehingga diharapkan dapat menjadi pangan fungsional dan alternatif diet khususnya bagi penderita diabetes melitus dan obesitas. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung ubi jalar dan analisis sifat fisiko-kimianya. Penelitian lanjutan meliputi formulasi dan pembuatan produk olahan kukus, uji organoleptik produk (uji hedonik dan ranking), analisis sifat fisiko-kimia dan IG produk terbaik. Berdasarkan uji organoleptik didapatkan formula terbaik bolu kukus dengan komposisi: 80 g tepung terigu, 20 g tepung ubi jalar klon BB00105.10, 57 g telur, 80 g gula pasir, 4 g SP, 1 g GMS, 65 ml air dan 0.5 g pasta pandan. Bolu kukus tersebut memiliki kadar air 38.88 % (bb), abu 0.41 % (bb), lemak 1.45 % (bb), protein 4.93 % (bb), karbohidrat 54.33 % (bb), energi 250 Kkal, serat pangan larut 2.77 % (bb), serat pangan tidak larut 1.33 % (bb), serat pangan total 4.10 % (bb), amilosa 13.55 % (bb) dan daya cerna pati 28.48 %. Formula terbaik brownies kukus memiliki komposisi: 100 g tepung ubi jalar klon BB00105.10, 120 g telur, 80 g gula pasir, 2 g SP, 1.6 g GMS, 1 g baking powder, 40 g mentega, 40 g margarin, 20 g susu skim, 14 g coklat bubuk dan 80 g coklat blok. Brownies kukus tersebut memiliki kadar air 22.44 % (bb), abu 1.83 % (bb), lemak 18.77 % (bb), protein 5.24 % (bb), karbohidrat 51.71 % (bb), energi 397 Kkal, serat pangan larut 3.50 % (bb), serat pangan tidak larut 2.31 % (bb), serat pangan total 5.81 % (bb), amilosa 7.54 % (bb) dan daya cerna pati 21.05 %. Formula terbaik kue talam memiliki komposisi: 90 tepung ubi jalar klon BB00105.10, 5 g tepung beras, 5 g tapioka, 40 g gula pasir, 100 ml santan encer dan 95 ml air mendidih (lapisan 1), 4 g tepung beras, 2 g tapioka, 4 g maizena, 0.5 g garam dan 75 ml santan kental (lapisan 2). Kue talam tersebut memiliki kadar air 54.40 % (bb), abu 0.68 % (bb), lemak 4.45 % (bb), protein 1.48 % (bb), karbohidrat 38.98 % (bb), energi 202 Kkal, serat pangan larut 4.99 % (bb), serat pangan tidak larut 1.36 % (bb), serat pangan total 6.36 % (bb), amilosa 14.59 % (bb) dan daya cerna pati 40.82 %. Nilai IG bolu kukus dan brownies kukus ubi jalar berturut-turut 46±9 dan 29±9, sedangkan BG-nya berturut-turut 7 dan 4.
PEMANFAATAN TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) KLON BB00105.10 SEBAGAI BAHAN DASAR PRODUK OLAHAN KUKUS SERTA EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIKNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ANNISYA NISVIATY F 24102006
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PEMANFAATAN TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) KLON BB00105.10 SEBAGAI BAHAN DASAR PRODUK OLAHAN KUKUS SERTA EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIKNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh ANNISYA NISVIATY F 24102006
Dilahirkan pada tanggal 13 Mei 1984 Di Sumedang, Jawa Barat Tanggal Lulus : 13 November 2006 Menyetujui, Bogor, 24 November 2006
Ir. Didah Nur Faridah, MSi Dosen Pembimbing I
Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
Annisya Nisviaty. F24102006. Pemanfaatan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon BB00105.10 sebagai Bahan Dasar Produk Olahan Kukus serta Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemiknya. Di bawah bimbingan Ir. Didah Nur Faridah, MSi. dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. (2006). RINGKASAN Kini, bahan pangan yang mulai banyak diminati oleh konsumen bukan hanya yang memiliki komposisi gizi yang baik, citarasa yang enak, penampakan yang menarik tetapi juga bersifat fungsional yakni bermanfaat bagi kesehatan. Dalam bentuk tepungnya, ubi jalar dapat dijadikan bahan dasar produk olahan sebagai pensubstitusi tepung terigu. Penelitian sebelumnya menunjukkan ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai aktivitas hipoglikemik tertinggi dibandingkan 7 varietas/klon ubi jalar lainnya karena didukung oleh pati resisten (3.80 % bk) dan protein (5.47 % bk) yang paling tinggi, daya cerna pati (51.40 %) yang rendah serta mempunyai amilosa (24.94 % bk) sedang. Nilai IG ubi jalar klon BB00105.10 yang dikukus, digoreng dan dipanggang berturut-turut 62, 47 dan 80. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk olahan kukus yaitu bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang memiliki mutu gizi baik dan indeks glikemik rendah sehingga diharapkan dapat menjadi pangan fungsional dan alternatif diet khususnya bagi penderita diabetes melitus dan obesitas. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung ubi jalar dan analisis sifat fisiko-kimianya. Penelitian lanjutan meliputi formulasi dan pembuatan produk olahan kukus, uji organoleptik produk (uji hedonik dan ranking), analisis sifat fisiko-kimia dan IG produk terbaik. Berdasarkan uji organoleptik didapatkan formula terbaik bolu kukus dengan komposisi: 80 g tepung terigu, 20 g tepung ubi jalar klon BB00105.10, 57 g telur, 80 g gula pasir, 4 g SP, 1 g GMS, 65 ml air dan 0.5 g pasta pandan. Bolu kukus tersebut memiliki kadar air 38.88 % (bb), abu 0.41 % (bb), lemak 1.45 % (bb), protein 4.93 % (bb), karbohidrat 54.33 % (bb), energi 250 Kkal, serat pangan larut 2.77 % (bb), serat pangan tidak larut 1.33 % (bb), serat pangan total 4.10 % (bb), amilosa 13.55 % (bb) dan daya cerna pati 28.48 %. Formula terbaik brownies kukus memiliki komposisi: 100 g tepung ubi jalar klon BB00105.10, 120 g telur, 80 g gula pasir, 2 g SP, 1.6 g GMS, 1 g baking powder, 40 g mentega, 40 g margarin, 20 g susu skim, 14 g coklat bubuk dan 80 g coklat blok. Brownies kukus tersebut memiliki kadar air 22.44 % (bb), abu 1.83 % (bb), lemak 18.77 % (bb), protein 5.24 % (bb), karbohidrat 51.71 % (bb), energi 397 Kkal, serat pangan larut 3.50 % (bb), serat pangan tidak larut 2.31 % (bb), serat pangan total 5.81 % (bb), amilosa 7.54 % (bb) dan daya cerna pati 21.05 %. Formula terbaik kue talam memiliki komposisi: 90 tepung ubi jalar klon BB00105.10, 5 g tepung beras, 5 g tapioka, 40 g gula pasir, 100 ml santan encer dan 95 ml air mendidih (lapisan 1), 4 g tepung beras, 2 g tapioka, 4 g maizena, 0.5 g garam dan 75 ml santan kental (lapisan 2). Kue talam tersebut memiliki kadar air 54.40 % (bb), abu 0.68 % (bb), lemak 4.45 % (bb), protein 1.48 % (bb), karbohidrat 38.98 % (bb), energi 202 Kkal, serat pangan larut 4.99 % (bb), serat pangan tidak larut 1.36 % (bb), serat pangan total 6.36 % (bb), amilosa 14.59 % (bb) dan daya cerna pati 40.82 %. Nilai IG bolu kukus dan brownies kukus ubi jalar berturut-turut 46±9 dan 29±9, sedangkan BG-nya berturut-turut 7 dan 4.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Annisya Nisviaty. Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 13 Mei 1984. Penulis adalah anak pertama dari Bapak Ridwan Sumarna dan Ibu Ety Rosmiati. Penulis menempuh pendidikan di TK Murai Sejahtera (1989-1990), SDN Tegalkalong II (1990-1996), SLTPN 1 Sumedang (1996-1999), dan SMUN 1 Sumedang (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis pernah menjadi panitia dalam beberapa kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana FATETA dan BAUR 2004. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti seminar National Students’ Paper Competition on Food Issue (2003) dan IDF International Conference of FGW Student Forum for Milk and Milk Product (2005). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul “Pemanfaatan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon BB00105.10 sebagai Bahan Dasar Produk Olahan Kukus serta Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemiknya” di bawah bimbingan Ir. Didah Nur Faridah, MSi dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dengan bantuan dana dari program B.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, baik moral maupun material berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Keluargaku tercinta, Bapa, Mamah, Kakak dan Adikku tersayang yang selalu memberikan do’a, kasih sayang, nasehat, dan motivasi tiada henti. 2. Ibu Ir. Didah Nur Faridah, MSi dan Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing akademis yang selalu memberikan bimbingan, nasihat-nasihat, dan motivasi selama perkuliahan sampai penulisan skripsi. 3. Ibu Ir. Sri Widowati, M.App.Sc atas bimbingan, nasehat serta kesediaannya menjadi dosen penguji. 4. Program B yang telah mendanai penelitian ini. 5. Pihak Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Bogor dan CIP Bogor atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian. 6. Temanku “Tiga Srikandi”, Evrin dan Julia. Terima kasih atas bantuan, semangat dan hari-hari kebersamaan kita selama penelitian dan penyusunan skripsi. 7. Sahabatku, Mumus, Oga, Manggi, Eva, Novi, Chris, Inda dan Titing. Terima kasih atas nasehat, semangat, bantuan dan menjadikan hari-hari penulis di IPB lebih bermakna. 8. Teman-teman TPG 39, teman-teman golongan A khususnya kelompok A-2 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama praktikum, kuliah dan penelitian. 9. Bapak dan Ibu pustakawan di PAU, Fateta dan LSI yang telah membantu dalam pencarian literatur untuk penyusunan skripsi ini.
i
10. Laboran-laboran TPG khususnya pak Sobirin, pak Wahid, bu Rubiyah, teh Ida, dan pa Rozak serta para teknisi Pilot Plan dan SEAFAST PAU yang telah banyak membantu selama penelitian. 11. Teman-teman di Nerita, Ajeng, Lia, Midah, Tati, Uut, Nita, Yanti, Noe, Dara, Sita, Dian, Narti. Terima kasih telah mendengar cerita-cerita penulis, terima kasih juga atas bantuan, nasehat dan semangatnya. Kebersamaan kita takkan kulupakan dan; 12. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bogor, November 2006
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................. 1 B. TUJUAN ................................................................................................. 2 C. MANFAAT .............................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3 A. BOTANI UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) ......................................... 3 B. KOMPOSISI KIMIA UBI JALAR ........................................................... 5 C. TEPUNG UBI JALAR ............................................................................. 5 D. KARBOHIDRAT UBI JALAR ................................................................ 6 1. Pati....................................................................................................... 7 2. Pencernaan Pati .................................................................................. 8 3. Serat Pangan ........................................................................................ 9 E. INDEKS GLIKEMIK ............................................................................... 11 F. PENGUKUSAN........................................................................................ 15 1. Produk Olahan Kukus ......................................................................... 16 2. Bahan Penyusun Produk Olahan Kukus ............................................. 17 G. UJI ORGANOLEPTIK ............................................................................ 20 III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 22 A. BAHAN DAN ALAT .............................................................................. 22 B. METODE PENELITIAN ......................................................................... 22 1. Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 22 2. Penelitian Lanjutan ............................................................................ 23 C. METODE ANALISIS ............................................................................... 29 1. Analisis Sifat Fisik .............................................................................. 29 a. Densitas Kamba ............................................................................ 29 b. Densitas Padat ............................................................................... 29
iii
c. Kelarutan dalam Air ...................................................................... 29 d. Rendemen ...................................................................................... 30 e. Tekstur (Kekerasan) ...................................................................... 30 f. Amilograf ...................................................................................... 31 g. Warna ............................................................................................ 31 h. Aktivitas Air (Aw) ......................................................................... 32 2. Uji Organoleptik ................................................................................ 32 3. Analisis Sifat Kimia ............................................................................ 33 a. Proksimat ...................................................................................... 33 b. Nilai Energi ................................................................................... 35 c. Kadar Amilosa .............................................................................. 36 d. Kadar Serat Pangan ....................................................................... 37 e. Daya Cerna Pati In Vitro ............................................................... 38 4. Analisis Indeks Glikemik ................................................................... 39 D. RANCANGAN PERCOBAAN ................................................................ 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 42 A. PENELITIAN PENDAHULUAN ............................................................ 42 1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ................................ 42 2. Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ................................ 44 3. Sifat Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ............................... 49 B. PENELITIAN LANJUTAN .................................................................... 52 1. Formulasi dan Pembuatan Produk Olahan Kukus ............................. 52 2. Uji Organoleptik Produk Olahan Kukus ............................................ 55 3. Sifat Fisik Produk Olahan Kukus Terbaik ......................................... 60 4. Sifat Kimia Produk Olahan Kukus Terbaik ........................................ 62 5. Indeks Glikemik Produk Olahan Kukus Terbaik ............................... 72 V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 79 A. KESIMPULAN ........................................................................................ 79 B. SARAN .................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80 LAMPIRAN ...................................................................................................... 86
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Gizi Tepung Ubi Jalar ...................................................... 6 Tabel 2. Formulasi Bolu Kukus Ubi Jalar........................................................ 24 Tabel 3. Formulasi Brownies Kukus Ubi Jalar ................................................ 24 Tabel 4. Formulasi Kue Talam Ubi Jalar ........................................................ 25 Tabel 5. Hasil Analisis Fisik Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ................. 44 Tabel 6. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ................... 50 Tabel 7. Formula Produk pada Uji Organoleptik ............................................. 56 Tabel 8. Hasil Uji Statistik Produk Olahan Kukus Ubi Jalar .......................... 56 Tabel 9. Formulasi Terbaik Bolu Kukus dan Brownies Kukus Ubi Jalar ........ 59 Tabel 10. Formulasi Terbaik Kue Talam Ubi Jalar............................................ 60 Tabel 11. Setting Texture Analyzer Produk Olahan Kukus Terbaik .................. 62 Tabel 12. Komposisi Kimia Produk Olahan Kukus Terbaik ............................. 63 Tabel 13. Komposisi Gizi/Takaran Saji Produk Olahan Kukus Terbaik ........... 64 Tabel 14. Respon Kadar Glukosa Darah Panelis Setelah Mengkonsumsi Standar (Glukosa) dan Sampel (Bolu Kukus dan Brownies Kukus).. 74 Tabel 15. Perubahan Kadar Glukosa Darah Panelis Setelah Mengkonsumsi Standar (Glukosa) dan Sampel (Bolu Kukus dan Brownies Kukus).. 74 Tabel 16. Beban Glikemik Bolu Kukus dan Brownies Kukus Terbaik ............. 76
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 .... 23 Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Bolu Kukus Ubi Jalar ............................ 26 Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Brownies Kukus Ubi Jalar..................... 27 Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Kue Talam Ubi Jalar ............................. 28 Gambar 5. Tanaman Ubi Jalar (A) dan Ubi Jalar Klon BB00105.10 (B) ....... 42 Gambar 6. Mesin Penyawut (A); Mesin Peniris (B); Oven Pengering (C) dan Disc Mill (D) ........................................................................... 43 Gambar 7. Sawut Kering (A) dan Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 (B) ... 44 Gambar 8. Bolu Kukus Terbaik (A); Brownies Kukus Terbaik (B) dan Kue Talam Terbaik (C) .................................................................. 59 Gambar 9. Histogram Rendemen Produk Olahan Kukus Terbaik ................... 61 Gambar 10. Histogram Kekerasan Produk Olahan Kukus Terbaik ................... 61 Gambar 11. Histogram Kadar Amilosa Produk Olahan Kukus Terbaik ............ 68 Gambar 12. Histogram Kadar Serat Pangan Produk Olahan Kukus Terbaik ... 69 Gambar 13. Histogram Daya Cerna Pati Produk Olahan Kukus Terbaik .......... 71 Gambar 14. Grafik Perubahan Kadar Glukosa Darah Setelah Mengkonsumsi Bolu Kukus Ubi Jalar .................................................................... 75 Gambar 15. Grafik Perubahan Kadar Glukosa Darah Setelah Mengkonsumsi Brownies Kukus Ubi Jalar ............................................................. 75
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Penilaian Uji Organoleptik Produk Olahan Kukus ........ 87 Lampiran 2. Hasil Penilaian Organoleptik Hedonik dan Ranking Overall Bolu Kukus Ubi Jalar ....................................................... 88 Lampiran 3. Hasil Penilaian Organoleptik Hedonik dan Ranking Overall Brownies Kukus Ubi Jalar .............................................. 89 Lampiran 4. Hasil Penilaian Organoleptik Hedonik dan Ranking Overall Kue Talam Ubi Jalar ........................................................ 90 Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Hedonik dan Ranking Overall Bolu Kukus Ubi Jalar ....................................................... 91 Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam Hedonik dan Ranking Overall Brownies Kukus Ubi Jalar .............................................. 92 Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Hedonik dan Ranking Overall Kue Talam Ubi Jalar ....................................................... 93 Lampiran 8. Rekapitulasi Hasil Analisis Fisiko-Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ........................................................................ 94 Lampiran 9. Rekapitulasi Hasil Analisis Kimia Produk Olahan Kukus Ubi Jalar Terbaik .......................................................................... 95 Lampiran 10. Hasil Pengukuran Amilograf ........................................................ 96 Lampiran 11. Hasil Analisis Indeks Glikemik .................................................... 97
vii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. PENELITIAN PENDAHULUAN a. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) klon BB00105.10 diperoleh dari Kebun Percobaan Muara, CIP (International Potato Center), Bogor. Ubi jalar tersebut berumur ± 4 bulan. Ubi jalar klon BB00105.10 memiliki ciriciri antara lain berbentuk lonjong, kulit berwarna merah berbintik dan daging umbi berwarna oranye tua dengan berat rata-rata sekitar 350 gram. Persentase bagian umbi yang dapat dimakan (BDD) sekitar 83.74 % sisanya berupa kulit umbi dan bagian yang berulat. Tanaman ubi jalar dan ubi jalar klon BB00105.10 yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5a dan 5b.
(a) Gambar 5. (a) Tanaman Ubi Jalar;
(b) (b) Ubi Jalar Klon BB00105.10
Proses pembuatan tepung ubi jalar klon BB00105.10 menurut Widowati et al. (2002) adalah ubi jalar dipilih yang bebas dari hama penyakit (tidak berulat), dibersihkan tanahnya dengan air mengalir kemudian dikupas kulitnya dengan pisau dan direndam dalam ember plastik yang telah diisi air dengan penuh untuk menghindari kontak langsung dengan udara yang dapat mengakibatkan ubi jalar menjadi coklat. Selanjutnya, ubi jalar kupas disawut (diiris tipis-tipis) dengan mesin penyawut yang digerakkan dengan tenaga motor (Gambar 6a) dan direndam dalam ember plastik yang telah berisi larutan sodium-bisulfit 0.3 % selama ± satu jam. Perendaman bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan getah yang masih menempel pada sawut ubi jalar serta menghindari
42
terjadinya proses pencoklatan (browning). Untuk menghilangkan air hasil perendaman dilakukan penirisan dengan mesin peniris (Gambar 6b). Hasil penirisan sawut biasanya menggumpal sehingga harus diremahkan dengan tangan secara pelan-pelan dan merata. Peremahan dilakukan di atas rak kawat. Hasil penirisan dan peremahan sawut yang rata dan tipis akan mempercepat waktu pengeringan. Sawut ubi jalar memerlukan waktu pengeringan dengan oven pengering (Gambar 6c) selama ± 8 jam pada suhu 65ºC sampai kadar airnya sekitar 12-14 %. Apabila kadar air sawut masih tinggi, sawut tidak akan tahan disimpan dan menurunkan mutu tepung ubi jalar yang dihasilkan. Selanjutnya, sawut ubi jalar kering (Gambar 7a) digiling dengan disc mill (Gambar 6d) kemudian diayak dengan ayakan 80 mesh hingga didapat tepung ubi jalar yang halus (Gambar 7b).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6. (a) Mesin Penyawut; (c) Oven Pengering;
(b) Mesin Peniris; (d) Disc Mill
43
(a) Gambar 7. (a) Sawut Kering;
(b) (b) Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10
b. Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 Analisis sifat fisik yang dilakukan pada tepung ubi jalar klon BB00105.10 yaitu densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, warna, Aw, amilograf dan rendemen tepung yang dihasilkan. Hasil analisis sifat fisik tepung ubi jalar klon BB00105.10 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 8. Tabel 5. Hasil Analisis Fisik Tepung Ubi Jalar BB00.105.10 No 1
Parameter
Nilai
Densitas kamba (g/ml)
0.482
Densitas padat (g/ml)
0.647
2
Kelarutan dalam air (%)
19.71
3
Warna : L
63.50
a.
+ 5.50
b.
+ 7.40
ho
51.9-55.1
4 5
6
Aw
0.350
Suhu (oC)
29.6
Suhu awal gelatinisasi (oC)
75.3
Waktu awal gelatinisasi (menit)
30.2
Suhu puncak gelatinisasi (oC)
93.6
Waktu puncak gelatinisasi (menit)
42.4
Viskositas (BU)
535
Rendemen tepung (%)
28.46
44
1. Densitas Kamba dan Densitas Padat Densitas kamba dan densitas padat merupakan sifat fisik tepungtepungan
yang
penting
diketahui
terutama
dikaitkan
dengan
pengemasan, penyimpanan dan transportasi. Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu tanpa dipadatkan sedangkan densitas padat adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu dengan dipadatkan. Menurut Ainah (2004), densitas kamba dan densitas padat dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Ukuran bahan dari partikel menunjukkan porositas bahan yaitu jumlah rongga diantara partikel-partikel bahan. Tepung ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai nilai densitas kamba sebesar 0.482 g/ml dan densitas padat sebesar 0.647 g/ml (Tabel 5). Nilai densitas kamba tepung ubi jalar klon BB00105.10 lebih besar bila dibandingkan dengan tepung ubi jalar merah varietas Toquicita (0.38 g/ml) namun tidak jauh berbeda dengan nilai densitas kamba tepung terigu (0.48 g/ml) (Anwar et al., 1993). Nilai densitas kamba yang besar berarti untuk satuan berat yang sama akan membutuhkan ruang yang kecil atau tidak luas. Dengan demikian tepung ubi jalar klon BB00105.10 bersifat tidak terlalu kamba dan bisa menghemat kemasan dan ruang penyimpanan bila dikemas. 2. Kelarutan dalam Air Kelarutan dalam air akan mempengaruhi palatabilitas produk. Dengan adanya bahan terlarut dalam ludah maka rangsangan akan diterima oleh syaraf pencicip yang ada di permukaan lidah (Anwar et al., 1993). Kelarutan dalam air tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 19.71 % (Tabel 5) sedangkan menurut Anwar et al., (1993), kelarutan bahan dalam air dari tepung ubi jalar merah varietas Toquicita sebesar 30.02 % sedangkan tepung terigu sebesar 30.84 %. Rendahnya nilai kelarutan dalam air tepung ubi jalar klon BB00105.10 dapat disebabkan oleh rendahnya kandungan komponen-komponen yang
45
bersifat larut air seperti gula dan tingginya kandungan komponen yang tidak larut air seperti serat pangan tak larut dan pati resisten. Kadar gula tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 1.10 % (bk), sedangkan pati resistennya 3.80 % (bk) (Astawan dan Widowati, 2006). 3. Warna Warna adalah salah satu parameter yang dapat menentukan mutu produk. Penentuan warna pada tepung ubi jalar klon BB00105.10 dilakukan dengan menggunakan alat ”Minolta Chromameter CR-200”. Warna tepung ubi jalar dinyatakan dengan notasi Hunter menggunakan parameter L, a, b dan
o
Hue. Nilai L menunjukkan kecerahan
(brightness) dan mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Dimana semakin besar nilai L maka sampel akan berwarna semakin cerah. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Nilai 0Hue merupakan parameter kisaran warna dimana untuk warna kuning- kemerahan (yellow-red) memiliki kisaran 54-90. Nilai L, a, b tepung ubi jalar klon BB00105.10 berturut-turut yaitu 63.5, +5.50, +7.40 dan oHue tepung ubi jalar klon BB00105.10 berkisar 51.9-55.1 (Tabel 5). Hal ini berarti tepung ubi jalar klon BB00105.10 berwarna cerah kuning-kemerahan (yellow-red) yang disebabkan oleh kandungan pigmen karotenoid yang terkandung didalamnya. Menurut Ningrum (1999), kandungan betakaroten tepung ubi jalar merah dengan pengering oven sebesar 54.19 ppm. 4. Aktivitas Air (aw) Pengaruh aktivitas air (aw) sangat penting dalam menentukan masa simpan bahan pangan terutama tepung-tepungan. Aktivitas air
46
(aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Kandungan air suatu bahan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan sedangkan aktivitas air dapat digunakan untuk menjelaskan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan apabila terikat kuat dengan komponen bukan air maka akan lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993). Nilai aktivitas air (aw) tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 0.350 pada suhu 29.60C (Tabel 5) berarti termasuk dalam produk dengan aw rendah dengan demikian aktivitas mikrobiologis dapat dikurangi akan tetapi rentan akan terjadinya penyerapan air dari lingkungan. Bila dikemas dengan benar, tepung ubi jalar klon BB00105.10 bisa memiliki umur simpan yang relatif lama. 5. Amilograf Pengukuran amilograf tepung ubi jalar klon BB00105.10 dilakukan dengan menggunakan alat “Brabender Visko-Amilograf”. Dari pengukuran amilograf ini dapat diketahui suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, waktu awal gelatinisasi, waktu puncak gelatinisasi dan viskositas puncak sampel. Menurut Pomeranz (1991), sifat amilograf pati dipengaruhi oleh jenis pati, konsentrasi pati yang digunakan, suhu awal terjadinya gelatinisasi dan pH suspensi. Hasil pengukuran sifat amilograf tepung ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 10. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana penetrasi air di dalam granula pati menyebabkan granula membengkak secara luar biasa sehingga pecah dan membentuk masa yang viscous. Pada pengukuran sifat amilograf, suhu awal gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik. Suhu awal gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan sampai kurva mulai
47
naik dikalikan dengan kenaikan suhu (1.5°C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu puncak gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mencapai puncak atau suhu pada puncak maksimum viskositas yang dicapai. Suhu puncak gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan sampai kenaikan kurva mencapai puncak dikalikan dengan kenaikan suhu (1.5°C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi adalah 30°C. Waktu awal gelatinisasi tepung ubi jalar klon BB00105.10 yaitu 30.2 menit sehingga suhu awal gelatinisasinya adalah 75.3ºC. Waktu puncak gelatinisasi tepung ubi jalar klon BB00105.10 yaitu 42.4 menit sehingga suhu puncak gelatinisasinya adalah 93.6ºC (Tabel 5). Viskositas berhubungan langsung dengan suhu gelatinisasi. Semakin tinggi suhu gelatinisasi maka semakin lambat granula pati mengembang dan semakin lambat pula waktu viskositas tercapai (Winarno, 1988). Viskositas puncak tepung ubi jalar ditentukan dengan satuan brabender unit (BU) pada saat suhu gelatinisasi puncak tercapai. Viskositas puncak tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 535 BU (Tabel 5). Data hasil pengukuran amilograf tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran amilograf tepung ubi jalar yang dikemukakan oleh Suismono (2001). Menurut Suismono (2001), waktu awal gelatinisasi tepung ubi jalar yaitu 30 menit sehingga suhu awal gelatinisasinya adalah 75ºC dan waktu puncak gelatinisasinya yaitu 43 menit sehingga suhu puncak gelatinisasi tepung ubi jalar adalah 94.5ºC. Viskositas puncak tepung ubi jalar sebesar 490 BU. Dengan suhu awal gelatinisasi yang tidak terlalu tinggi dan suhu puncak gelatinisasi kurang dari 100oC, maka pada suhu pengukusan (100oC), diharapkan semua pati tepung ubi jalar telah tergelatinisasi sempurna.
48
6. Rendemen Pengukuran rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10 dihitung berdasarkan perbandingan berat tepung yang diperoleh terhadap berat ubi jalar tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 28.46 % (Tabel 5). Rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10 lebih besar dari rendemen tepung ubi jalar yang dikemukakan oleh Suismono (2001) sebesar 22.55 % dan rendemen tepung ubi jalar merah yang dikemukakan oleh Adijuwana (2005) sebesar 16.73 %. Nilai rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang lebih besar dapat disebabkan oleh tingginya kandungan bahan kering ubi jalar klon BB00105.10 dan rendahnya kandungan air ubi jalar segarnya. Namun demikian, rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10 hasil penelitian ini masih cukup rendah karena banyak faktor yang mempengaruhi. Adapun faktor penyebabnya antara lain adanya sawut basah yang tertinggal di mesin penyawut pada tahap penyawutan, adanya sawut basah yang tertinggal di mesin peniris pada penirisan, adanya sawut kering yang tercecer pada saat pengangkatan dari oven pengering dan banyaknya tepung yang tertinggal di disc mill pada tahap penepungan.
c. Sifat Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 Analisis sifat kimia yang dilakukan pada tepung ubi jalar klon BB00105.10 yaitu uji proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference)). Komposisi kimia tepung ubi jalar klon BB00105.10 dan tepung ubi jalar merah dapat dilihat pada Tabel 6 dan Lampiran 8. 1. Kadar Air Kadar air tepung ubi jalar dipengaruhi oleh beberapa faktor selama proses pengeringan, diantaranya suhu dan lama waktu pengeringan dan kadar air ubi jalar segarnya. Kadar air tepung ubi jalar
49
klon BB00105.10 sebesar 5.63 % (bb) (Tabel 6). Nilai ini lebih kecil daripada kadar air tepung ubi jalar merah yang dikemukakan Ningrum (1999) yaitu 8.12 % (bb) dan kadar air tepung terigu untuk bahan makanan yang disyaratkan oleh SNI 01-3751-1995 yaitu maksimal 14 % (bb) (Indrasti, 2004). Rendahnya kadar air tepung ubi jalar ini memberi keuntungan pada saat penyimpanan. Umur simpan tepung yang dihasilkan akan lebih lama bila dibandingkan dengan ubi jalar segarnya. Selain itu dengan semakin rendahnya kadar air maka konsentrasi komponenkomponen kering seperti protein, lemak dan karbohidrat akan lebih tinggi. Tabel 6. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 dan Tepung Ubi Jalar Merah Kandungan (%bb) Tepung ubi jalar klon BB0105.10
Tepung ubi jalar merah a
Air
5.63
8.12
Abu
1.86
2.38
Lemak
0.97
1.63
Protein
1.86
3.80
Komposisi
Karbohidrat
89.70 a Keterangan: = menurut Ningrum (1999)
84.04
2. Kadar Abu Kadar abu yang terdapat dalam suatu bahan pangan menunjukkan jumlah kandungan mineralnya. Mineral-mineral tersebut terdiri dari kalsium, natrium, klor, fosfor, belerang, magnesium, dan komponen lain dalam jumlah kecil (Indrasti, 2004). Kadar abu tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 1.86 % (bb) (Tabel 6). Nilai ini lebih kecil daripada kadar abu tepung ubi jalar merah yang dikemukakan Ningrum (1999) yaitu 2.38 % (bb) tapi jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kadar abu tepung terigu untuk bahan makanan yang disyaratkan oleh SNI 01-3751-1995 yaitu
50
maksimal 0.6 % (bb) (Indrasti, 2004). Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya kandungan mineral dalam tepung ubi jalar. Mineral-mineral yang terdapat dalam tepung ubi jalar per 100 g bahan adalah kalsium (152 mg), fosfor (150 mg) dan zat besi (2.4 mg) (Woolfe, 1999). 3. Kadar Lemak Lemak merupakan sumber energi bagi tubuh yang lebih efektif daripada karbohidrat dan protein. Satu gram lemak menghasilkan 9 Kkal energi sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 Kkal. Kadar lemak tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 0.97 % (bb) (Tabel 6). Nilai ini lebih kecil daripada kadar lemak tepung ubi jalar merah yang dikemukakan Ningrum (1999) yaitu 1.63 % (bb) dan kadar lemak tepung terigu yang dikemukakan oleh Ainah (2004) yaitu 1-2 % (bb). Kandungan lemak tepung ubi jalar klon BB0105.10 yang tergolong rendah lebih menguntungkan karena tidak mudah rusak (tengik) akibat reaksi oksidasi dan dapat disimpan dalam waktu lama. 4. Kadar Protein Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsurunsur C, H, O dan N. Fungsi utama protein adalah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein juga berfungsi sebagai zat pengatur proses metabolisme tubuh. Kadar protein tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 1.86 % (bb) (Tabel 6). Nilai ini lebih kecil daripada kadar protein tepung ubi jalar merah yang dikemukakan Ningrum (1999) yaitu 3.80 % (bb) dan kadar protein tepung terigu lunak yang dikemukakan oleh Ainah (2004) yaitu 7-13 % (bb). Kandungan protein tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang rendah membuatnya cocok dijadikan bahan baku pembuatan produk yang tidak membutuhkan pengembangan.
51
5. Kadar Karbohidrat Karbohidrat terdiri dari unsur C, H dan O. Dalam ilmu gizi karbohidrat terbagi menjadi karbohidrat sederhana (gula sederhana) dan karbohidrat kompleks (Almatsier, 2001). Karbohidrat pada tepung umumnya terdiri dari gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa dan pati. Perhitungan karbohidrat dalam tepung ubi jalar klon BB00105.10 dilakukan secara by difference. Kadar karbohidrat tepung ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 89.70 % (bb) (Tabel 6). Nilai ini lebih besar daripada kadar karbohidrat tepung ubi jalar merah yang dikemukakan Ningrum (1999) yaitu 84.04 % (bb) dan kadar karbohidrat terigu yaitu 77.30 % (bb) (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1993). Tingginya kandungan karbohidrat pada tepung ubi jalar klon BB00105.10 diharapkan dapat menjadi bahan pangan sumber karbohidrat yang murah.
2. PENELITIAN LANJUTAN a. Formulasi dan Pembuatan Produk Olahan Kukus Formulasi dan pembuatan produk olahan kukus yaitu bolu kukus, brownies kukus dan kue talam dilakukan dengan menggunakan tepung ubi jalar klon BB00105.10 dicampurkan dengan bahan-bahan lain penyusun produk tersebut dengan perbandingan tertentu secara trial and error dengan panduan beberapa literatur resep. Masing-masing produk dibuat enam formula berdasarkan dua variabel yaitu persentase jumlah gula yang digunakan terhadap total tepung dan perbandingan jumlah tepung ubi jalar klon BB00105.10 dengan tepung terigu yang digunakan (basis 100 g total tepung) untuk bolu kukus dan brownies kukus. Untuk kue talam, perbandingan jumlah tepung ubi jalar klon BB00105.10 dengan tepung beras dan tapioka yang digunakan (basis 100 g total tepung). Bahan-bahan yang dicampurkan dalam pembuatan bolu kukus adalah tepung terigu, tepung ubi jalar klon BB00105.10, telur, gula pasir, SP, GMS, air dan pasta pandan. Perbandingan tepung ubi jalar terhadap tepung
52
terigu yaitu 20:80, 30:70 dan 40:60, sedangkan jumlah gula adalah 70 % dan 80 %. Keenam formula bolu kukus dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 2 dan proses pembuatan bolu kukus ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 2. Konsentrasi tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang digunakan dalam pembuatan bolu kukus tidak dapat mencapai 100 % tapi hanya sampai 40 %. Penggunaan tepung ubi jalar yang melebihi 40 %, tidak dapat menghasilkan bolu kukus yang merekah dan mempunyai tekstur ringan seperti yang diinginkan, sehingga dalam formulasi konsentrasi tepung ubi jalar yang digunakan sebesar 20-40 %. Konsentrasi gula yang digunakan sebesar 70-80 % karena bila konsentrasinya dibawah 70 % maka bolu kukus yang dihasilkan kurang manis dan bila konsentrasinya diatas 80 % maka bolu kukus yang dihasilkan terlalu manis. Hal ini disebabkan tepung ubi jalar dapat mengurangi penggunaan gula sebesar 20 % dari formula yang menggunakan 100 % tepung terigu. Bahan-bahan yang dicampurkan dalam pembuatan brownies kukus adalah tepung terigu, tepung ubi jalar klon BB00105.10, telur, gula pasir, SP, GMS, baking powder, mentega, margarin, susu skim, coklat bubuk dan dark cooking chocolate (coklat blok). Perbandingan tepung ubi jalar terhadap tepung terigu yaitu 80:20, 90:10 dan 100:0, sedangkan jumlah gula adalah 80 % dan 100 %. Keenam formula brownies kukus dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3 dan proses pembuatan brownies ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 3. Dalam pembuatan brownies kukus, tepung ubi jalar bisa digunakan sampai 100 % karena brownies kukus tidak membutuhkan pengembangan gluten, sehingga dalam formulasi konsentrasi tepung ubi jalar yang digunakan sebesar 80-100 %. Konsentrasi gula maksimal yang digunakan sebesar 100 % karena tepung ubi jalar dapat mengurangi penggunaan gula sebesar 20 % dari formula yang menggunakan 100 % tepung terigu. Pemilihan konsentrasi gula minimal 80 % karena bila konsentrasinya dibawah 80 % maka brownies kukus yang dihasilkan kurang manis dan cenderung kering padahal hal itu tidak diinginkan.
53
Bahan-bahan yang dicampurkan dalam pembuatan kue talam adalah tepung ubi jalar klon BB00105.10, gula pasir, tepung beras, tapioka, maizena, garam, santan dan air. Perbandingan tepung ubi jalar terhadap tepung beras dan tapioka yaitu 50:50, 70:30 dan 90:10, sedangkan jumlah gula adalah 40 % dan 50 %. Keenam formula kue talam dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4 dan proses pembuatan kue talam dapat dilihat pada Gambar 4. Dalam pembuatan kue talam, tepung ubi jalar bisa digunakan sampai 90 % hanya saja dengan semakin banyaknya tepung ubi jalar yang digunakan maka semakin banyak pula air yang harus ditambahkan supaya tekstur kue talam yang dihasilkan tidak keras. Dalam formulasi, konsentrasi tepung ubi jalar yang digunakan sebesar 50 %, 70 % dan 90 %. Kenaikan 20 % dimaksudkan agar produk yang dihasilkan dapat dibedakan teksturnya. Konsentrasi gula yang digunakan sebesar 40-50 % karena bila konsentrasinya dibawah 40 % maka kue talam yang dihasilkan kurang manis dan bila konsentrasinya diatas 50 % maka kue talam yang dihasilkan terlalu manis. Dalam pembuatan bolu kukus dan brownies kukus digunakan tepung terigu lunak dengan merk “kunci biru” karena tepung terigu jenis ini memiliki kadar protein rendah (8-10 %) dan cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket sedangkan tepung terigu keras yang mengandung protein tinggi (13.5 %) akan menyebabkan tekstur produk (khususnya cake) menjadi keras dan penampakannya kasar (Matz, 1992). Demikian halnya dalam pembuatan kue talam, digunakan tepung beras, tapioka dan maizena untuk mendapatkan tekstur yang lunak dan kenyal karena menurut Pomeranz (1991), sifat pati salah satunya sebagai bahan pengental atau pembentuk gel dan pengikat air. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan pensubstitusi terigu pada bolu kukus dan brownies kukus serta pensubstitusi pure ubi jalar dalam pembuatan kue talam dan berfungsi sebagai pembentuk struktur jaringan dan kerangka kue. Disamping itu warna dan aroma dari tepung ubi jalar dapat menambah penerimaan produk.
54
Penggunaan leavening agent dan emulsifier pada produk olahan yang terbuat dari tepung ubi jalar berbeda dengan produk olahan yang terbuat dari tepung terigu. Jumlah leavening agent pada produk tepung ubi jalar lebih banyak dari produk tepung terigu karena pada tepung ubi jalar tidak terdapat protein gliadin dan glutenin yang dapat membentuk gluten. Gluten inilah yang menyebabkan produk yang terbuat dari tepung terigu lebih mengembang. Begitu pula dengan jumlah emulsifier yang ditambahkan lebih banyak dari produk tepung terigu untuk mendapatkan emulsi yang lebih stabil dan tekstur yang lebih lembut karena emulsifier dapat menghambat terjadinya retrogradasi pati sehingga tekstur cake tidak cepat mengeras.
b. Uji Organoleptik Produk Olahan Kukus Uji organoleptik yang dilakukan pada produk olahan kukus (bolu kukus, brownies kukus dan kue talam) bertujuan untuk mendapatkan satu formula terbaik yaitu formula yang paling disukai oleh panelis dari keenam formula yang diuji. Formula produk dapat dilihat pada Tabel 7. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik dan uji rangking. Pada penelitian ini digunakan uji hedonik dengan metode skoring untuk menilai kesukaan panelis terhadap produk secara keseluruhan (overall). Skor penilaian yang digunakan dalam uji hedonik ada 7 tingkat, dimana 7 = sangat suka dan 1 = sangat tidak suka. Pada penelitian ini juga dilakukan uji ranking untuk mengurutkan sampel berdasarkan tingkat kesukaan secara keseluruhan (overall). Ranking 1 menunjukkan produk yang paling disukai. Jumlah panelis dalam penelitian ini adalah 30 orang panelis tidak terlatih. Cara penyajian contoh adalah dengan mengurutkan sampel secara mendatar dari kiri ke kanan dan telah diberi kode tertentu. Panelis menuliskan hasil penilaiannya pada lembar quisioner. Lembar penilaian (quisioner) yang digunakan pada uji organoleptik produk olahan kukus ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 1.
55
Selanjutnya, data hasil organoleptik tersebut dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan untuk uji hedonik (uji rating) dan uji Friedman untuk uji ranking pada selang kepercayaan 95 %. Hasil penilaian panelis uji organoleptik produk olahan kukus dapat dilihat pada Lampiran 2 sampai dengan Lampiran 4, sedangkan hasil pengujian statistik organoleptik produk olahan kukus dapat dilihat pada Tabel 8 dan Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 7. Tabel 7. Formula Produk pada Uji Organoleptik Produk
Variabel
Bolu kukus Brownies kukus Kue talam
Jumlah bahan (per 100 g tepung) F1
F2
F3
F4
F5
F6
T
20
20
30
30
40
40
G
70
80
70
80
70
80
T
80
80
90
90
100
100
G
80
100
80
100
80
100
T
50
50
70
70
90
90
G 40 50 40 50 40 50 Keterangan: F1 = formula 1; F2 = formula 2; F3 = formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5; F6 = Formula 6; T = tepung ubi jalar klon BB00105.10 dan G = gula pasir Tabel 8. Hasil Uji Statistik Organoleptik Produk Olahan Kukus Perlakuan
Bolu kukus
Brownies kukus
Kue talam
Rating
Ranking
Rating
Ranking
Rating
Ranking
F1
4.43a
4.20a
5.20ab
3.97a
5.20a
3.37a
F2
5.63b
2.40b
5.47b
2.83b
4.80a
3.80b
F3
4.87a
3.50c
4.87a
4.30c
5.10a
3.03c
F4
4.97a
3.57d
5.60b
2.83d
5.30a
3.00d
F5
4.70a
4.17e
5.40b
3.50e
4.80a
4.10e
F6 5.03a 3.17f 5.23ab 3.57f 4.97a 3.70f Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5 %) Hasil analisis sidik ragam bolu kukus (Lampiran 5) menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada
56
selang kepercayaan 95 %. Uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa formula 1 tidak berbeda nyata dengan formula 3, 4, 5 dan 6 namun kelima formula tersebut berbeda nyata dengan formula 2. Tingkat kesukaan keseluruhan berkisar antara 4.43-5.63 (Tabel 8) atau netral sampai agak suka. Tingkat kesukaan panelis tertinggi adalah pada bolu kukus formula 2 yaitu 5.63. Hasil uji ranking (Lampiran 5) menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh nyata terhadap rataan ranking pada selang kepercayaan 95 %. Nilai rataannya berkisar 2.40-4.20 (Tabel 8). Formula 2 mempunyai rataan terendah diikuti dengan formula 6, 3, 4, 5, 1. Dengan demikian bolu kukus formula 2 paling disukai panelis. Bolu kukus formula 2 (20 % tepung ubi jalar, 80 % gula pasir) terpilih untuk dianalisis selanjutnya. Hal ini dikarenakan berdasarkan uji rating, skor kesukaan bolu kukus formula 2 paling tinggi dan berbeda nyata dengan kelima formula lainnya dan berdasarkan uji ranking paling disukai oleh panelis. Hasil analisis sidik ragam brownies kukus (Lampiran 6) menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada selang kepercayaan 95 %. Uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa formula 1 tidak berbeda nyata dengan formula 3 dan 6. Formula 2 tidak berbeda nyata dengan formula 4 dan 5. Formula 1, 3 dan 6 berbeda dengan formula 2, 4 dan 5. Tingkat kesukaaan keseluruhan berkisar antara 4.87-5.60 (Tabel 8) atau netral sampai agak suka. Tingkat kesukaan panelis tertinggi pada brownies kukus formula 4 yaitu 5.60. Hasil uji ranking (Lampiran 6) menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh nyata terhadap rataan ranking pada selang kepercayaan 95 %. Nilai rataannya berkisar 2.83-4.30 (Tabel 8). Formula 4 dan 2 mempunyai rataan terendah diikuti dengan formula 5, 6, 1, 3. Dengan demikian brownies kukus formula 4 dan formula 2 paling disukai panelis. Brownies kukus formula 5 (100 % tepung ubi jalar, 80 % gula pasir) dipilih untuk analisis selanjutnya. Walaupun menurut uji ranking brownies kukus formula 5 bukan yang paling disukai, jumlah tepung ubi
57
jalar yang digunakan paling banyak dan gula pasir yang digunakan paling sedikit serta berdasarkan uji rating tidak berbeda nyata dengan formula 4 dan formula 2 yang paling tinggi tingkat kesukaannya dan menggunakan lebih sedikit tepung ubi jalar dan lebih banyak gula pasir. Tepung ubi jalar dipilih yang jumlahnya paling tinggi dan gula dipilih yang jumlahnya paling rendah karena mempertimbangkan pengaruh keduanya terhadap nilai indeks glikemik produk. Hasil analisis sidik ragam kue talam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa formulasi tidak berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada selang kepercayaan 95 %. Tingkat kesukaaan keseluruhan berkisar antara 4.80-5.30 (Tabel 8) atau netral sampai agak suka. Tingkat kesukaan panelis tertinggi adalah pada kue talam formula 4 yaitu 5.30. Hasil uji ranking (Lampiran 7) menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh nyata terhadap rataan ranking pada selang kepercayaan 95 %. Nilai rataannya berkisar 3.00-4.10 (Tabel 8). Formula 4 mempunyai rataan terendah diikuti dengan formula 3, 1, 6, 2, 5. Dengan demikian kue talam formula 4 paling disukai panelis. Kue talam formula 5 (90 % tepung ubi jalar, 40 % gula pasir) dipilih untuk analisis selanjutnya. Walaupun menurut uji ranking kue talam formula 5 bukan yang paling disukai, jumlah tepung ubi jalar yang digunakan paling banyak dan gula pasir yang digunakan paling sedikit serta berdasarkan uji rating tidak berbeda nyata dengan formula 4 yang paling tinggi tingkat kesukaannya dan menggunakan lebih sedikit tepung ubi jalar dan lebih banyak gula pasir. Tepung ubi jalar dipilih yang jumlahnya paling tinggi dan gula dipilih yang jumlahnya paling rendah karena mempertimbangkan pengaruh keduanya terhadap nilai indeks glikemik produk. Produk bolu kukus, brownies kukus dan kue talam terbaik dapat dilihat berturut-turut pada gambar 8a, 8b dan 8c, sedangkan formulasi terbaik bolu kukus, brownies kukus dan kue talam dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10.
58
(a)
(b)
(c)
Gambar 8. Formula Terbaik Produk Olahan Kukus : (a) Bolu kukus; (b) Brownies kukus; (c) Kue talam Tabel 9. Formulasi Terbaik Bolu Kukus dan Brownies Kukus Ubi Jalar Bahan
Jumlah bahan Bolu kukus (F2)
Brownies kukus (F5)
Tepung ubi jalar (g)
20
100
Tepung terigu (g)
80
0
Telur (isi utuh) (g)
57
120
Gula pasir (g)
80
80
Air (ml)
65
-
SP (g)
4
2
GMS (g)
1
1.6
0.5
-
Susu skim (g)
-
20
Coklat bubuk (g)
-
14
Coklat blok (g)
-
80
Mentega (g)
-
40
Margarin (g)
-
40
Baking powder (g)
-
1
Pasta pandan (g)
59
Tabel 10. Formulasi Terbaik Kue Talam Ubi Jalar Bahan
Lapisan bawah
Lapisan atas
Jumlah bahan Kue talam (F5)
Tepung ubi jalar (g)
90
Air mendidih (ml)
95
Gula pasir (g)
40
Tepung beras (g)
5
Tapioka (g)
5
Santan encer (ml)
100
Tepung beras (g)
4
Tapioka (g)
2
Maizena (g)
4
Garam (g)
0.5
Santan kental (ml)
75
c. Sifat Fisik Produk Olahan Kukus Terbaik Masing-masing produk olahan kukus terbaik dianalisis sifat fisiknya. Analisis sifat fisik yang dilakukan yaitu rendemen produk yang dihasilkan dan tekstur (kekerasan). 1. Rendemen Pengukuran rendemen produk olahan kukus (bolu kukus, brownies kukus dan kue talam) terbaik dihitung berdasarkan perbandingan berat produk yang dihasilkan terhadap berat adonan yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen bolu kukus, brownies kukus dan kue talam terbaik berturut-turut sebesar 98.36 %, 98.64 % dan 98.25 % (Gambar 9). Nilai rendemen dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan adonan dan cara pengolahan. Berdasarkan hasil analisis, rendemen produk olahan kukus sangat tinggi. Hal ini disebabkan dalam proses pengukusan terjadi penyerapan air dan uap air oleh bahan sehingga bobot produk akhir menjadi bertambah. Tingginya rendemen brownies kukus daripada bolu kukus dan kue talam dapat disebabkan oleh tingginya penyerapan air oleh bahan-
60
bahan penyusunnya seperti protein yang bersifat hidrofilik sehingga bobot akhirnya lebih bertambah. Perbandingan rendemen produk olahan kukus terbaik dapat dilihat pada Gambar 9. 110 105 Rendemen 100 (%)
98,36
98,64
98,25
bolu kukus
brow nies kukus
kue talam
95 90 Produk
Gambar 9. Histogram Rendemen Produk Olahan Kukus Terbaik 2. Kekerasan Kekerasan produk bolu kukus, brownies kukus dan kue talam terbaik dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer. Kekerasan bolu kukus, brownies kukus dan kue talam terbaik berturutturut sebesar 760 gf, 1751 gf dan 1639 gf (Gambar 10). Brownies kukus dan kue talam memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi daripada bolu kukus. Hal ini bisa disebabkan oleh tingginya kandungan tepung ubi jalar pada kedua produk tersebut sehingga membuat tekstur produk tersebut cenderung padat (bantat) dan dibutuhkan beban yang lebih besar untuk menembusnya. Adapun setting yang digunakan dalam pengukuran kekerasan produk olahan kukus terbaik dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan perbandingan kekerasan produk olahan kukus terbaik dapat dilihat pada Gambar 10. 2000 1751
1639
brow nies kukus
kue talam
1500 Kekerasan (gf)
1000 760 500 bolu kukus
Produk
Gambar 10. Histogram Kekerasan Produk Olahan Kukus Terbaik
61
Tabel 11. Setting Texture Analyzer Produk Olahan Kukus Terbaik Parameter
Setting Bolu kukus
Brownies kukus
Kue talam
Mode
Force/comp
Force/comp
Force/comp
Option
Return to start
Return to start
Return to start
Pre test speed (mm/s)
1.0
1.0
2.0
Test speed (mm/s)
1.0
1.0
1.0
Post test speed (mm/s)
10.0
10.0
10.0
Rupture test distance (mm)
1.0
1.0
1.0
Distance (mm)
12.5
5.0
4.0
Force (g)
100
100
100
Time (sec)
5.0
5.0
5.0
Count Jenis probe
2 P/75
2 P/75
2 P/35
d. Sifat Kimia Produk Olahan Kukus Terbaik a. Proksimat Analisis sifat kimia yang dilakukan pada produk olahan kukus terbaik meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference)), nilai energi, kadar amilosa, serat pangan dan daya cerna pati. Komposisi kimia produk olahan kukus terbaik dapat dilihat pada Tabel 12 dan lampiran 9, sedangkan komposisi gizi/takaran saji produk olahan kukus terbaik dapat dilihat pada Tabel 13. 1.
Kadar Air Kadar air berhubungan dengan daya simpan produk. Di dalam produk, air merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta citarasa. Selama proses pengukusan terjadi proses gelatinisasi pati yang menyebabkan
62
penyerapan air oleh molekul-molekul pati (Winarno, 1997). Kadar air bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturutturut sebesar 38.88 % (bb), 22.44 % (bb) dan 54.40 % (bb) (Tabel 12). Secara umum, kadar air produk olahan kukus cukup tinggi disebabkan dalam proses pengukusan terjadi penyerapan air dan uap air olah bahan sehingga mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman, 1992). Kadar air kue talam paling tinggi dibandingkan
dengan
bolu
kukus
dan
brownies
kukus
dikarenakan komponen utama penyusunnya adalah air dan santan. Semakin tinggi kadar air maka keawetan produk semakin menurun karena meningkatnya aktivitas mikroorganisme oleh karena itu waktu simpan kue talam relatif singkat bila dibandingkan dengan bolu kukus dan brownies kukus. Tabel 12. Komposisi Kimia Produk Olahan Kukus Terbaik Kandungan Komposisi
Bolu kukus
Brownies
Kue talam
kukus
2.
Air (% bb)
38.88
22.44
54.40
Abu (% bb)
0.41
1.83
0.68
Lemak (% bb)
1.45
18.77
4.45
Protein (% bb)
4.93
5.24
1.48
Karbohidrat (% bb)
54.33
51.71
38.98
Energi (Kkal/100g)
250
397
202
Kadar Abu Abu adalah residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik. Biasanya komponen tersebut terdiri dari kalsium, natrium, kalium, besi, mangan, magnesium dan iodium. Kadar abu bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 0.41 % (bb), 1.83 % (bb) dan 0.68 % (bb) (Tabel 12).
63
Kadar abu brownies kukus paling tinggi bila dibandingkan dengan kue talam dan bolu kukus. Hal ini dikarenakan pada brownies kukus, komponen utama penyusunnya adalah 100 % tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang memiliki komponen anorganik (abu) yang tinggi yaitu 1.86 % (bb). Dengan demikian brownies kukus akan menyumbangkan mineral lebih besar bagi tubuh daripada kue talam dan bolu kukus bila dikonsumsi. Tabel 13. Komposisi Gizi/Takaran Saji Produk Olahan Kukus Terbaik
Produk
Berat/ takaran saji (g)
Bolu kukus
Komposisi gizi/takaran saji Lemak (g)
Protein (g)
Karbohidrat (g)
0.44
1.48
16.30
(1 %)
( 3 %)
(5 %)
5.63
1.57
15.51
(10 %)
(3 %)
(5 %)
1.78
0.59
15.59
30
Brownies kukus
30
Kue talam
75
119
81 (3 %) (5 %) (1 %) Keterangan: Angka dalam ( ) merupakan persen AKG berdasarkan diet 2000 Kkal 3.
40
Energi (Kkal)
Kadar Lemak Lemak
merupakan
komponen
zat
gizi
yang
menyumbangkan energi paling besar dibandingkan karbohidrat dan protein. Kadar lemak bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 1.45 % (bb), 18.77 % (bb) dan 4.45 % (bb) (Tabel 12). Kadar lemak brownies kukus paling tinggi dibandingkan dengan kue talam dan bolu kukus karena lemak banyak disumbangkan dari mentega, margarin, emulsifier, bahan pengembang, coklat dan telur yang merupakan komponen penyusun brownies kukus yang cukup besar. Dengan demikian
64
brownies kukus akan menyumbangkan lemak yang lebih tinggi bila dibandingkan kue talam dan bolu kukus bila dikonsumsi. Namun perlu diingat bahwa pangan berlemak harus dikonsumsi secara bijaksana. Total konsumsi lemak tidak boleh melebihi 30 % dari total energi dan total konsumsi lemak jenuh tidak melebihi 10 % dari total energi. Konsumsi lemak jenuh dengan jumlah
yang sangat tinggi dapat
meningkatkan
konsentrasi kolesterol darah dan dapat berkorelasi dengan penyakit pada sistem kardiovaskuler (Goldberg, 1994). Persentase angka kecukupan gizi (AKG) lemak berdasarkan diet 2000 Kkal bila mengkonsumsi bolu kukus dan brownies kukus masing-masing sebesar 30 gram berturut-turut 1 % dan 10 %. Sedangkan bila mengkonsumsi kue talam sebesar 40 gram adalah 3 % (Tabel 13). 4.
Kadar Protein Protein merupakan zat gizi yang juga sebagai penyumbang energi selain karbohidrat dan lemak. Selain itu protein juga berperan sebagai enzim, alat angkut, alat penyimpanan, pengatur pergerakan, penunjang sistem mekanis, sistem pertahanan tubuh, media perambatan impuls syaraf dan sebagai pengendali pertumbuhan (Winarno, 1997). Kadar protein bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 4.93 % (bb), 5.24 % (bb) dan 1.48 % (bb) (Tabel 12). Kadar protein brownies kukus paling tinggi dibandingkan dengan bolu kukus dan kue talam karena protein banyak disumbangkan dari telur dan susu skim. Dengan demikian brownies kukus akan menyumbangkan protein yang lebih tinggi bila dibandingkan bolu kukus dan kue talam bila dikonsumsi. Persentase
angka
kecukupan
gizi
(AKG)
protein
berdasarkan diet 2000 Kkal bila mengkonsumsi bolu kukus dan brownies kukus masing-masing sebesar 30 gram adalah sama
65
yaitu sebesar 3 %. Sedangkan bila mengkonsumsi kue talam sebesar 40 gram adalah 1 % (Tabel 13). 5.
Kadar Karbohidrat (by difference) Karbohidrat selain berperan sebagai sumber energi utama juga berperan mencegah pemecahan protein tubuh secara berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan mineral (Winarno, 1997). Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada produk pangan adalah pati, gula, pektin, dan selulosa. Kadar karbohidrat bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 54.33 % (bb), 51.71 % (bb) dan 38.98 % (bb) (Tabel 12). Kadar karbohidrat bolu kukus paling tinggi dibandingkan dengan brownies kukus dan kue talam karena kadar air dan kadar lemaknya cenderung rendah. Karbohidrat bolu kukus banyak disumbangkan dari gula pasir dan tepung terigu. Kadar karbohidrat tepung terigu mencapai 77.30 % (bb) (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1993). Dengan demikian bolu kukus akan menyumbangkan karbohidrat yang lebih tinggi bila dibandingkan brownies kukus dan kue talam bila dikonsumsi. Persentase angka kecukupan gizi (AKG) karbohidrat berdasarkan diet 2000 Kkal bila mengkonsumsi bolu kukus dan brownies kukus masing-masing sebesar 30 gram dan kue talam sebesar 40 gram adalah sama yaitu sebesar 5 % (Tabel 13).
b. Nilai Energi Nilai energi merupakan nilai yang diperoleh dari konversi protein, lemak dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 Kkal energi per gram, sedangkan karbohirat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 Kkal per gram. Nilai energi yang terkandung dalam 100 gram produk olahan kukus terbaik yaitu bolu kukus 250 Kkal, brownies kukus 397 Kkal
66
dan kue talam 202 Kkal (Tabel 12). Bila mengkonsumsi bolu kukus dan brownies kukus masing-masing sebesar 30 gram dan kue talam sebesar 40 gram maka akan menghasilkan energi berturut-turut 75 Kkal, 119 Kkal dan 81 Kkal (Tabel 13). Brownies kukus menyumbangkan energi paling besar dibandingkan bolu kukus dan kue talam karena kandungan lemak, protein dan karbohidratnya yang tinggi. Tingginya energi yang dikandung brownies kukus menjadikan produk ini dapat dijadikan sumber energi yang potensial.
c. Kadar Amilosa Granula pati mempunyai dua polimer yakni amilosa dan amilopektin yang dapat dipisahkan dengan air panas. Amilosa disebut sebagai fraksi terlarut sedangkan amilopektin disebut sebagai fraksi tidak larut. Amilosa merupakan polimer rantai lurus glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4)-glikosidik (BeMiller dan Whistler, 1996). Amilosa dapat berikatan dengan iodin membentuk warna biru dan intensitas warnanya menunjukkan panjang rantainya (Dziedzic dan Kaersley, 1998). Reaksi amilosa dengan iod terjadi melalui mekanisme perangkapan iod di dalam heliks amilosa. Kadar amilosa bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 13.55 % (bb), 7.54 % (bb) dan 14.59 % (bb) (Gambar 11 dan lampiran 9). Berdasarkan klasifikasi dari IRRI (International Rice Research Institute), kadar amilosa bahan berpati digolongkan menjadi tiga, yaitu amilosa rendah (< 20 %), amilosa sedang (20-25 %) dan amilosa tinggi (> 25 %). Ketiga produk olahan kukus tersebut dapat digolongkan ke dalam pangan berkadar amilosa rendah. Pati yang ada pada produk olahan kukus tersebut sebagian besar berasal dari tepung ubi jalar klon BB00105.10 dan tepung terigu. Kadar amilosa pada ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 24.94 % (bk) (Astawan dan Widowati, 2006). Perbandingan kadar amilosa produk olahan kukus terbaik dapat dilihat pada Gambar 11.
67
Kandungan amilosa yang lebih tinggi akan menyebabkan pencernaan terjadi lebih lambat karena amilosa merupakan polimer glukosa yang memiliki struktur tidak bercabang (struktur lebih kristalin dengan ikatan hidrogen yang lebih ekstensif). Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004). Selain itu amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Meyer, 1973). 20
15
14,59
13,55
Kadar amilosa (% bb) 10 7,54 5 bolu kukus
brow nies kukus
kue talam
Produk
Gambar 11. Histogram Kadar Amilosa Produk Olahan Kukus Terbaik
d. Kadar Serat Pangan Serat pangan atau dietary fiber merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Berdasarkan sifat kelarutannya di dalam air, serat pangan (dietary fiber) dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat larut air (Soluble Dietary Fiber atau SDF) dan bersifat tidak larut air (Insoluble Dietary Fiber atau IDF). Gabungan SDF dan IDF merupakan total serat pangan (TDF). Kadar serat pangan larut bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 2.77 % (bb), 3.50 % (bb) dan 4.99 % (bb) sedangkan kadar serat pangan tidak larut bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 1.33 % (bb), 2.31 % (bb) dan 1.36 % (bb). Dengan demikian kadar serat pangan total bolu kukus,
68
brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 4.10 % (bb), 5.81 % (bb) dan 6.36 % (bb) (Gambar 12 dan Lampiran 9). Kadar serat pangan total ketiga produk olahan tersebut tidak jauh berbeda. Kadar serat pangan larut pada ketiga produk olahan kukus tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan kadar serat pangan tidak larutnya. Serat yang larut air biasanya dapat berupa gum, pektin dan beberapa hemiselulosa larut air sedangkan komponen serat yang tidak larut air bisa berupa selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, kitin dan lilin tanaman. Perbandingan kadar serat pangan produk olahan kukus terbaik dapat dilihat pada Gambar 12. Dengan demikian, secara umum ketiga produk olahan kukus tersebut dapat dikatakan sebagai pangan fungsional sumber serat karena menurut salah satu petunjuk Departemen of Nutrition, Ministry of Health and Institute of Health (1999) seperti yang dikutip oleh Friska (2002) menyatakan bahwa makanan bisa diklaim sebagai sumber serat pangan jika mengandung serat pangan sebesar 3-6 gram/100 gram. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Serat juga dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat (Rimbawan dan siagian, 2004). Tingginya kadar serat pangan larut pada produk dapat bermanfaat bagi penderita diabetes melitus karena dapat mereduksi absorpsi glukosa
Kadar serat pangan (% bb)
usus (Prosky dan De Vries, 1992). 10 8
6,36 5,81
6 4,10 4 2
2,77 1,33
3,50 2,31
4,99
serat larut serat tidak larut
1,36
total serat
0 bolu kukus
brow nies kukus
kue talam
Produk
Gambar 12. Histogram Kadar Serat Produk Olahan Kukus Terbaik
69
e. Daya Cerna Pati Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula-gula sederhana). Dalam penelitian ini digunakan metode pengukuran daya cerna pati secara in vitro. Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi gula-gula sederhana (glukosa, maltosa) dan alfa limit dekstrin. Jumlah glukosa dan maltosa diukur secara spektrofotometri setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS). Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase terhadap pati murni. Daya cerna pati bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut sebesar 28.48 %, 21.05 % dan 40.82 % (Gambar 13 dan lampiran 9). Daya cerna pati kue talam paling tinggi bila dibandingkan dengan bolu kukus dan brownies kukus. Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Tingginya nilai daya cerna pati kue talam dikarenakan menggunakan tapioka sebagai bahan dasarnya. Tapioka memiliki nilai daya cerna pati yang lebih tinggi daripada terigu. Daya cerna tapioka sebesar 95.89 % sedangkan terigu hanya 37.01 % (Fadilah, 2004). Bolu kukus memiliki nilai daya cerna pati lebih rendah karena komponen utama penyusunnya adalah tepung terigu. Menurut Tharanthan dan Mahadevamma (2003), proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang menyebabkan pati dicerna lambat pada usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pencernaan pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya.
70
Brownies kukus terbaik yang komponen utamanya 100 % tepung ubi jalar memiliki nilai daya cerna pati paling rendah dibandingkan ketiga produk olahan kukus tersebut dapat disebabkan oleh terhalangnya granula pati oleh serat sehingga sulit dicerna oleh enzim-enzim amilolitik manusia dan menyebabkan penurunan waktu transit makanan pada usus halus. Total serat pangan brownies kukus sebesar 5.81 % (bb). Brownies kukus juga merupakan pangan yang mengandung lemak (18.77 % bb) dan protein (5.24 % bb) tinggi yang cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan khususnya pencernaan pati di usus halus menjadi diperlambat. Penyebab lain rendahnya daya cerna brownies kukus adalah tepung ubi jalar yang digunakan sebagai bahan dasarnya dan produk itu sendiri telah mengalami retrogradasi akibat pemanasan dimana struktur patinya ada yang berubah menjadi resistant starch. Resistant starch merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Tharanthan dan Mahadevamma, 2003). Dengan demikian, struktur kimia pati resisten tersebut tidak dapat dikenali lagi oleh enzim α-amilase sehingga enzim tidak dapat menghidrolisisnya. Kandungan resistant starch pada tepung ubi jalar klon BB00105.10 menurut Astawan dan Widowati (2006) adalah 3.80 % (bk). Perbandingan daya cerna pati produk olahan kukus terbaik dapat dilihat pada Gambar 13. 50 40,82 40 Daya ce rna pati 30 (%)
28,48 21,05
20 10 bolu kukus
brow nies kukus
kue talam
Produk
Gambar 13. Histogram Daya Cerna Pati Produk Olahan Kukus Terbaik
71
e. Indeks Glikemik Produk Olahan Kukus Terbaik Dari ketiga jenis produk olahan kukus tadi (bolu kukus, brownies kukus dan kue talam), selanjutnya dipilih dua produk untuk dianalisis indeks glikemiknya. Pemilihan dua jenis produk tersebut didasarkan pada hasil analisis kimia yang telah dilakukan pada produk yaitu parameter pendukung indeks glikemik seperti kadar protein, lemak, amilosa, serat pangan dan daya cerna pati. Berdasarkan analisis kimia pada ketiga produk olahan kukus, diperoleh bahwa pengujian indeks glikemik dilakukan terhadap bolu kukus dan brownies kukus terbaik. Hal ini dikarenakan bolu kukus dan brownies kukus memiliki nilai daya cerna pati lebih rendah (Gambar 13) dan memiliki kadar protein lebih tinggi daripada kue talam (Tabel 12). Kedua faktor ini dapat memberikan pengaruh terhadap nilai indeks glikemik produk selain kadar lemak, serat pangan dan amilosa. Bolu kukus dipilih untuk dianalisis indeks glikemiknya daripada kue talam karena walaupun kadar lemak kue talam lebih tinggi daripada bolu kukus (Tabel 12), konsumsi lemak harus tetap dibatasi. Disamping itu, kadar amilosa (Gambar 11) dan serat pangan larut (Gambar 12) bolu kukus tidak jauh berbeda dengan kue talam sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap IG-nya. Pengujian indeks glikemik (IG) dilakukan dengan menggunakan darah manusia sebagai subjek penelitian (in vivo). Manusia merupakan subjek yang umum digunakan dalam penelitian IG karena metabolisme manusia sangat rumit sehingga sulit ditiru secara in vitro (Ragnhild et al., 2004). Perekrutan panelis dilakukan melalui upaya sosialisasi kegiatan penelitian kepada beberapa mahasiswa IPB. Mahasiswa yang bersedia menjadi panelis diminta untuk menandatangani formulir kesediaan (tanpa paksaan) dan mengikuti penjelasan secara lengkap mengenai tujuan dan prosedur penelitian. Panelis yang digunakan berjumlah 16 orang (8 pria dan 8 wanita). Selanjutnya panelis dibagi menjadi dua grup masing-masing 8 orang (4 pria dan 4 wanita) untuk menguji kedua sampel yang berbeda. Setiap grup
72
mempunyai standar glukosa masing-masing (glukosa A dan glukosa B). Grup A menguji bolu kukus dan grup B menguji brownies kukus. Syaratsyarat panelis yang digunakan adalah sehat, tidak menderita diabetes dan memiliki nilai IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan kisaran normal (18-25). Seleksi ini dimaksudkan untuk meminimalisasi variasi yang mungkin timbul antar panelis. Setiap panelis diberikan sampel berupa bolu kukus dan brownies kukus yang jumlahnya setara dengan 50 gram karbohidrat. Berdasarkan analisis proksimat, kadar karbohidrat (by difference) bolu kukus dan brownies kukus sebesar 54.33 % (bb) dan 51.71 % (bb). Dengan demikian untuk mendapatkan 50 gram karbohidrat setiap panelis mendapatkan 92 gram bolu kukus dan 97 gram brownies kukus. Pangan standar yang digunakan adalah 50 gram glukosa bubuk yang dilarutkan dalam 240 ml air (IG = 100). Pengambilan darah dilakukan dari pembuluh darah kapiler jari tangan karena darah yang diambil dari pembuluh kapiler memiliki variasi kadar glukosa darah antar panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena (Ragnhild et al., 2004). Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan menggunakan alat glucometer. Glukosa yang terdapat dalam darah akan bereaksi dengan enzim glucose oxidase (GOD) dan potassium ferrycianide yang terdapat dalam test strip menghasilkan potassium ferrocyanide. Jumlah potassium ferrocyanide yang dihasilkan setara dengan jumlah glukosa yang terdapat dalam sampel (Arkray Inc., 2001 dalam Bernard, 2005). Indeks glikemik dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva respon glukosa darah setelah mengkonsumsi sampel (bolu kukus dan brownies kukus yang jumlahnya setara dengan 50 gram karbohidrat) dan standar (glukosa murni) dikalikan dengan 100. Hasil pengukuran respon kadar glukosa darah panelis dan perubahan kadar glukosa darah panelis setelah mengkonsumsi standar (glukosa murni) dan sampel (bolu kukus dan brownies kukus) dapat dilihat pada Tabel 14, Tabel 15 dan Lampiran 11,
sedangkan
grafik
perubahan
kadar
glukosa
darah
setelah
73
mengkonsumsi standar (glukosa) dan sampel (bolu kukus dan brownies kukus) dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15. Tabel 14. Respon Kadar Glukosa Darah Panelis (mg/dl) Setelah Mengkonsumsi Standar (Glukosa) dan Sampel (Bolu Kukus dan Brownies Kukus)a Makanan Puasa 30 SMb 60 SMb 90 SMb 120 SMb
a b
Glukosa A
86
137
136
122
108
Bolu kukus
88
129
104
96
90
Glukosa B
87
144
136
111
93
Brownies kukus
84
95
95
99
92
Hasil rata-rata dari 8 panelis SM = setelah makan, angka di depan SM menunjukkan waktu (menit)
Tabel 15.
Perubahan Kadar Glukosa Darah Panelis (mg/dl) Setelah Mengkonsumsi Standar (Glukosa) dan Sampel (Bolu kukus dan Brownies Kukus) 60 SMa 90 SMa 120 SMa Makanan 30 SMa
Glukosa A Bolu kukus Glukosa B
51
50
36
22
41
16
8
2
57
49
24
6
Brownies kukus a
11 11 15 8 SM = setelah makan, angka di depan SM menunjukkan waktu (menit) Menurut Foster-powell, et al. (2002), bahan pangan dapat
diklasifikasikan berdasarkan nilai indeks glikemiknya, yaitu sebagai berikut: (a) bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55); (b) bahan pangan dengan nilai IG sedang (55-69) dan (c) bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70). Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa bolu kukus ubi jalar terbaik memiliki nilai IG rata-rata 46±9 dan brownies kukus ubi jalar terbaik memiliki nilai IG rata-rata 29±9. Nilai IG kedua produk olahan kukus ini tidak jauh berbeda dengan nilai IG produk yang dikemukakan oleh Foster-Powell et al. (2002) dimana nilai IG sponge cake (plain) adalah 46±6 dan chocolate cake (chocolate frosting) adalah 38±3.
74
Dengan demikian bolu kukus dan brownies kukus berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 digolongkan sebagai pangan yang memiliki nilai indeks glikemik rendah (<55). Menurut Ragnhild et al. (2004), bahan pangan yang memiliki nilai IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Kedua produk ini dapat dijadikan alternatif diet khususnya bagi penderita
Perubahan kadar glukosa darah (mg/dl)
diabetes melitus dan obesitas. 60 50 40 30 20 10 0 0
30
60
90
120
150
Waktu sampling kadar glukosa darah (menit) glukos a bolu kukus
14.
Grafik Perubahan Kadar Glukosa Darah Mengkonsumsi Bolu Kukus Ubi Jalar Terbaik
Setelah
60 50
darah (mg/dl)
perubahan kadar glukosa
Gambar
40 30 20 10 0
0
30
60
90
120
150
waktu sampling kadar glukosa darah (menit) glukos a brownies kukus
Gambar
15.
Grafik Perubahan Kadar Glukosa Darah Setelah Mengkonsumsi Brownies Kukus Ubi Jalar Terbaik
75
Indeks glikemik (IG) hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat menjadi glukosa darah. IG tidak memberikan informasi mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar glukosa darah. Kelemahan IG akan tampak bila membandingkan kandungan karbohidrat pada pangan yang berbeda. Beban glikemik dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar glukosa darah. Beban glikemik bertujuan untuk menilai dampak konsumsi karbohidrat dengan memperhitungkan IG pangan. Beban glikemik (BG) didefinisikan sebagai IG pangan dikalikan dengan kandungan karbohidrat pangan tersebut per takaran saji dikalikan 100. Oleh karena itu, BG menggambarkan kualitas dan kuantitas karbohidrat dan interaksinya dalam pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Beban glikemik bolu kukus dan brownies kukus dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Beban Glikemik Bolu kukus dan Brownies kukus terbaik Takaran Karbohidrat/ Klasifikasi Makanan IG BG saji (g) takaran saji (g) IG dan BG Bolu kukus
46
30
16.30
7
rendah
Brownies kukus
29
30
15.51
4
rendah
Keterangan : IG = indeks glikemik; BG = beban glikemik Konsumsi bolu kukus sebesar 30 gram akan menghasilkan karbohidrat sebesar 16.30 gram. Dengan demikian beban glikemik ratarata bolu kukus bila nilai IG rata-ratanya 46 adalah 7. Konsumsi brownies kukus sebesar 30 gram akan menghasilkan karbohidrat sebesar 15.51 gram. Dengan demikian beban glikemik brownies kukus bila nilai IG rataratanya 29 adalah 4 (Tabel 16). Bahan pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai beban glikemiknya adalah sebagai berikut: (a) bahan pangan dengan nilai BG rendah (<10); (b) bahan pangan dengan nilai BG sedang (11-19) dan (c) bahan pangan dengan nilai BG tinggi (>20). Bolu kukus dan brownies kukus berbahan dasar tepung ubi jalar klon
76
BB00105.10 digolongkan sebagai pangan yang memiliki beban glikemik rendah (<10). Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi ataupun rendahnya nilai indeks glikemik (IG) suatu bahan pangan diantaranya adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, kadar gula, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Ragnhild et al. (2004), faktorfaktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya indeks glikemik suatu bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dan protein, jumlah dan jenis lemak, kadar gula dan serat pangan serta bentuk fisik dari bahan pangan. Nilai IG brownies kukus lebih rendah daripada bolu kukus. Hal ini dikarenakan brownies kukus memiliki kadar protein (5.24 % bb), lemak (18.77 % bb) dan serat pangan larut (3.50 % bb) yang lebih tinggi serta daya cerna pati (21.05 %) yang lebih rendah daripada bolu kukus. Walaupun kadar amilosa bolu kukus (13.55 % bb) lebih tinggi daripada brownies kukus (7.54 % bb), kedua produk tersebut masih digolongkan ke dalam produk yang berkadar amilosa rendah (<20), sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai IG-nya. Pangan yang mengandung protein dan lemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Dengan demikian konsumsi lemak dan protein dapat menghambat proses pencernaan pati akibatnya kadar glukosa darah tidak mengalami kenaikan secara cepat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak dan protein tinggi, indeks glikemiknya cenderung rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Namun pangan berlemak tinggi, apapun jenisnya dan walaupun memiliki nilai IG rendah perlu dikonsumsi secara bijaksana. Keberadaan serat pangan ternyata memberikan pengaruh pada kadar glukosa darah (Fernandes, 2005). Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Serat dapat
77
memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan khususnya pati menjadi lambat dan respon glukosa darah pun akan lebih rendah. Dengan demikian IG-nya cenderung lebih rendah. Tingginya kadar serat pangan larut pada produk dapat bermanfaat bagi penderita diabetes melitus karena dapat mereduksi absorpsi glukosa usus (Prosky dan De Vries, 1992). Daya cerna pati rendah cenderung menurunkan aktivitas glikemik. Brownies kukus yang komponen utamanya tepung ubi jalar memiliki nilai daya cerna pati lebih rendah dibandingkan bolu kukus disebabkan oleh terhalangnya granula pati oleh serat, pati resisten, protein dan lemak sehingga sulit dicerna oleh enzim-enzim amilolitik manusia dan menyebabkan penurunan waktu transit makanan pada usus halus. Daya cerna pati yang rendah berarti
hanya sedikit jumlah pati yang dapat
dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa dan maltosa dalam waktu tertentu. Dengan demikian kadar glukosa di dalam darah tidak mengalami kenaikan secara drastis sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Oleh karena itu pangan yang memiliki daya cerna pati rendah, indeks glikemiknya cenderung rendah.
78
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Bolu kukus dan brownies kukus berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 tergolong pangan yang memiliki nilai indeks glikemik dan beban glikemik rendah dan bisa dijadikan alternatif diet khususnya bagi penderita diabetes melitus dan obesitas. Nilai IG rata-rata bolu kukus dan brownies kukus ubi jalar berturut-turut 46±9 dan 29±9. Apabila kedua produk tersebut masing-masing dikonsumsi sebesar 30 gram maka BG-nya berturut-turut 7 dan 4. Brownies kukus memberikan respon glikemik lebih baik daripada bolu kukus karena didukung oleh kadar protein (5.24 % bb), lemak (18.77 % bb) dan serat pangan larut (3.50 % bb) yang lebih tinggi serta daya cerna pati (21.05 %) yang lebih rendah daripada bolu kukus.
B. SARAN Perlu penelitian lebih lanjut untuk menduga umur simpan produk olahan kukus berbahan dasar tepung ubi jalar tersebut. Perlu penelitian serupa untuk mengetahui indeks glikemik pangan olahan lain khususnya pangan olahan asli Indonesia.
79
DAFTAR PUSTAKA Adijuwana, T. D. 2005. Pemanfaatan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) untuk Mendukung Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ainah, N. 2004. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Biji Bunga Teratai Putih (Nymphae pubescens Willd) dan Aplikasinya pada Pembuatan Roti.. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aini, N. 2006. Pengolahan Tepung Ubi Jalar dan Produk-Produknya untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. http://tumoutou.net/pps702_9145/nuraini.html. [ 29 Maret 2006]. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. American Dietetic Association. 1999. Functional Foods-Position of ADA J.Am. Diet. Assoc (42) 7: 1278-1285. Anwar, F., B. Setiawan dan A. Sulaeman. 1993. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Pati dan Tepung Ubi Jalar serta Pemanfaatannya dalam Rangka Diversifikasi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Asp, N. G., C. G. Johanson, H. Halmer and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476 – 482. Astawan, M. dan S. Widowati. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubi Jalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Laporan Penelitian RUSNAS. Bogor. Bhattacharya, K. R. 1979. Gelatinization Temperature of Rice Starch and Its Determination. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Chemical Aspects of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos. pp 232-247. BeMiller, J. N. and R. L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Di dalam: Fennema, O. R (Ed.). Food Chemistry 3rd Ed. Marcel Dekker Inc., New York. Pp 157224. Bernard. 2005. Deskripsi flavour, Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Beras Panjang dari Lahan Gambut Pasang Surut Aluh-Aluh, Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
80
Brand-Miller, J. 2000. Carbohydrates. Di dalam : Mann, J. dan A.S. Truswell (Eds.). Essentials of human nutrition, 2nd Ed. Oxford University Press, Oxford, pp. 231-255. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wotton. 1981. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh: H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta. Budijanto, S. , N. Andarwulan dan D. Herawati. 2001. Modul Praktikum Kimia dan Teknologi Lipida. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Cataldo, C. B, J. R. Nyenhuis and E. N. Whitner. 1989. Nutritional and Diet Therapy, Principles and Practice. Ed ke-2. St. Paul : West Pub Comp. Clydesdale, F.M. 1999. ILSI North America Food Component Reports. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 39 (3): 203-316. Colagiuri, S. 1997. Carbohydrates and Glycemic Index-Effect on Glucose Insulin and Lipid Metabolism. Summary Report of a Regional Symposium Held in Singapore on June 26, 1997. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1993. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dziedzic, S. Z. and M. W. Kearsley. 1998. The Technology of Starch Production. Di dalam Hoseney, R. C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology (2nd ed). American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. El, S. N. 1999. Determination of Glycemic Index for Some Breads. Journal of Food Chemistry. 67 : 67 – 69. Fadilah, N. 2004. Pengaruh Pengolahan dan Penyimpanan Mi Instan Berbahan Dasar Terigu- Tepung Singkong- Tapioka serta Penambahan CMC (Carboxymethyl Cellulose) terhadap Daya Cerna Pati Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry 2nd Ed. Marcel Dekker., Inc., Westport, Connecticut. Fernandes, G.A. Velangi and T.M.S. Wolever. 2005. Glycemic Index of Potatoes Commonly Consumed in North America. J. Am. Diet. Assoc. 105:557562.
81
Foster-Powell, K., S.H.A. Holt and J. C. Brand-Miller. 2002. International Table of Glycemic Index and Glycemic Load Values. Am. J. Clin. Nutr. 76: 556. Friska, T. 2002. Penambahan Sayur Bayam (Amaranthus tricolor L.), Sawi (Brassica juicea L.) dan Wortel (Daucus carota L.) pada Pembuatan Crackers Tinggi Serat Makanan. Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Goldberg, I. 1994. Functional Food. Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals Disease. Chapman Hall, New York. Harris, R.S. dan R.S. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit ITB, Bandung. Indrasti, D. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Jahari, A dan I. Sumarno. 2001. Tingkat Konsumsi Serat Penduduk di Indonesia. Media Gizi dan Keluarga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Juanda, D.J. dan B. Cahyono. 2000. Ubi Jalar : Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Juliano, B. O. 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose Measurement. Journal of Cereal Science Today. 16: 334-336. Kadarisman, D. dan A. Sulaeman. 1993. Teknologi Pengolahan Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Diktat yang tidak dipublikasikan. Pusat Antar Universitaas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kay, D.E. 1973. Root Crops. Tropical Product Institut, London. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Lemak dan Minyak. UI Press, Jakarta. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pangan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan dan Bobot Jenis. Media Peternakan Vol.22. No1:1-11. Linder, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. 1st Ed. Diterjemahkan oleh A. Parakkasi. UI Press, Jakarta. Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardji, P. C. Rahardja, J. J. Afiastini, W. Rini dan W. H. Apriadji. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Penebar Swadaya, Jakarta.
82
Lukman, A.H. 1992. Pengaruh Perajangan dan Lama Pengukusan Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonine L) Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak yang Dihasilkan pada Proses Ekstraksi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Manley, D.J.R. 1983. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. Ellis Harwood Limited, London. Matz, S. A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech International Inc., Texas. ---------and T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Incorporation. Westport, Connecticut. Meilgaard, M., G. V. Civille and B. T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Ed.. CRC Press, Boca Raton. Meyer, L.H. 1973. Food Chemistry. Affiliated East-West PVT. Ltd., New Delhi. Miller, J. B., E. Pang, and L. Bramall. 1992. Rice: High or Low Glycemic Index Food. Am. J. Cli. Nutr. (56): 1034-1036. Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. -------- dan I. G. Sumartha. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. -------- N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murano, P.S. 2003. Understanding Food Sciences Wadworth/Thomson Lerning. Belmont. USA.
and
Technology.
Ningrum, E. N. 1999. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubi Jalar Kaya Vitamin A. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penfield, M.P., and A..M.,Campbell. 1990. Experimental Food Science (3rd Ed.). Academic Press. San Diego, California. Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press, Inc., New York. Prosky, L and J.W. De Vries. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Product. Van Nostrad Reinhold, New York.
83
Ragnhild, A.L., N.L. Asp, M. Axelsen, and A. Raben. 2004. Glycemic Index Relevance for Health, Dietary Recommendations, and Nutritional Labeling. Scandinavian Journal of Nutrition. 48 (2) : 84-94. Rahayu, W. P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rimbawan dan Siagian, A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penebar Swadaya, Jakarta. Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar: Budi Daya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Rungkat, F.Z., H.D. Kusumaningrum, B.S.L. Jenie. 1993. Pengembangan Produk Minuman Yakult dari Kacang Merah dan Kacang Tolo serta Evaluasi Komponen Anti-nutrisi dan Nilai Hayatinya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sardesai, V.M. 2003. Introduction to Clinical Nutrition, 2nd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York. Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta. Steinbauer, L.E and L.J., Kushman. 1971. Sweet Potato Culture and Diseases. Agriculture Handbook No. 338. Agriculture Research Service, United States Departemen of Agriculture, USA. Subarna. 1992. Baking Technology. Pelatihan Singkat Prinsip-Prinsip Teknologi Bagi Food Inspector. Pusat Antar Universitas Pangan dan gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. -------- 1996. Formulasi Produk-Produk Serealia dan Umbi-Umbian untuk Produk Ekstrusi, Bakery, dan Penggorengan. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Produk-produk Olahan, Ekstrusi, Bakery, dan Frying. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Kantor Menteri Urusan Pangan, Jakarta. Suismono, 2001. Teknologi Pembuatan Tepung dan Pati Ubi-Ubian untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Di dalam: Majalah Pangan No. 37/X/Juli/ 2001. Puslitbang Bulog, Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
84
Syarief dan Halid, 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tharanthan, R. N. and S. Mahadevamma. 2003. Grain Legumes a Boon to Human Nutrition. Trends in Food Science and Technology. Vol. 14 (12): 507-518. Thenawijaya, M. 1997. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Erlangga, Jakarta. Tjokroprawiro, A. 2001. Diabetes Melitus: Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi ketiga. PT. Gramedia. Pustaka Utama, Jakarta. Truswell, A.S. 1992. Glycemix Index of Food. Eur. J. Clin. Nutr. 46 (Suppl:2):S91-S101. U.S. Wheat Associates. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan, Jakarta. Vonny.
2006. Bakery, beda cara beda Rasa. http://www.detikfood.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/0 2/time/16135/idnews/510398/idkana/296. [15 maret 2006].
Wardlaw, G.M. 1999. Perspective in Nutrition. Mc-Graw Hill, Boston. Widodo, Y. 1989. Prospek dan Strategi Pengembangan Ubi Jalar Sebagai Sumber Devisa. Jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor. Widowati, S., Suismono, Suarni, Sutrisno, dan O. Komalasari. 2002. Petunjuk Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian, Jakarta. Willett, W., Manson, J. and Liu, S. 2002. Glycemic Index, Glycemic Load and Risk of Type 2 Diabetes. Am. J. Clin. Nutr . 76(1):274S-280S. Winarno, F. G. 1981. Bahan Pangan Terfermentasi. Kumpulan Pikiran dan Gagasan Tertulis. Pusbangtepa, Institut Pertanian Bogor, Bogor. -------- 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Woolfe, J. A. 1999. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Chapman and Hall, New York.
85
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga semakin bergeser. Kini, bahan pangan yang mulai banyak diminati oleh konsumen bukan hanya yang memiliki komposisi gizi yang baik, citarasa yang enak, penampakan yang menarik tetapi juga bersifat fungsional untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, memperbaiki fungsi fisiologis atau membantu menyembuhkan penyakit. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan menjadi pemicu semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang menderita penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, kanker dan diabetes melitus. Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya cenderung meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun. Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi DM mencapai 1.5-2.3 % dari jumlah penduduk (Astawan dan Widowati, 2006). DM yang tidak ditangani dengan baik akan meningkatkan resiko komplikasi, lebih jauh lagi dapat mengakibatkan kematian. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk menurunkan prevalensi penyakit degeneratif, khususnya diabetes melitus sekaligus untuk memenuhi tuntutan konsumen akan pangan fungsional dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya pangan lokal khususnya yang memiliki respon glikemik baik. Salah satu sumber daya pangan lokal yang mempunyai respon glikemik baik adalah ubi jalar klon BB00105.10. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astawan dan Widowati (2006) menunjukkan ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai aktivitas hipoglikemik tertinggi dibandingkan 7 varietas/klon ubi jalar lainnya (Sukuh, Jago, Sari, Kidal, Ungu, BB00106.18, dan B0464) karena didukung oleh kadar pati resisten (3.80 % bk) dan protein (5.47 % bk) yang paling tinggi, daya cerna pati (51.4 %) yang rendah serta mempunyai kadar amilosa (24.94 % bk) sedang. Ubi jalar klon BB00105.10 tergolong ke dalam ubi jalar merah. Ubi jalar merah merupakan sumber energi
1
yang baik dalam bentuk karbohidrat dan mengandung vitamin terutama provitamin A dan vitamin C, mineral terutama fosfor dan kalsium serta serat pangan yang bermanfaat terhadap kesehatan tubuh. Pengolahan ubi jalar di Indonesia masih sangat terbatas dan sederhana, seperti direbus, dipanggang, digoreng dan dibuat makanan tradisional lainnya (Widodo, 1989). Salah satu produk pemanfaatan ubi jalar sebagai bahan baku produk pangan olahan yang cocok untuk dijadikan sebagai bahan baku industri pangan adalah tepung ubi jalar yang fungsinya dapat mensubstitusi tepung terigu. Penelitian terdahulu telah berhasil mensubstitusi terigu oleh tepung ubi jalar pada pembuatan produk roti 30 %, cake 50 %, bihun 40 % dan cookies 70 % (Djuanda, 2003). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astawan dan Widowati (2006) menunjukkan cara pengolahan ubi jalar berpengaruh terhadap indeks glikemiknya. Nilai IG ubi jalar klon BB00105.10 yang dikukus, digoreng dan dipanggang berturut-turut 62, 47 dan 80. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk olahan kukus yaitu bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang memiliki mutu gizi yang baik dan indeks glikemik yang rendah. Produk tersebut diharapkan dapat dijadikan pangan fungsional dan alternatif diet khususnya bagi penderita diabetes melitus dan obesitas. C. MANFAAT Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai sifat fisiko-kimia tepung ubi jalar klon BB00105.10 serta mengevaluasi mutu gizi dan indeks glikemik produk olahan kukus yang dihasilkannya.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. BOTANI UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) Menurut Rukmana (1997), klasifikasi lengkap taksonomi tanaman ubi jalar adalah kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan), divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), subdivisi Angiospermae (berbiji tertutup), kelas Dicotyledonae
(biji
berkeping
dua),
ordo
Convolvulales,
famili
Convolvulaceae, genus Ipomoea dan spesies Ipomoea batatas L. Tanaman ubi jalar merupakan tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama yaitu batang, daun, bunga dan akar (umbi). Batang tanaman ubi jalar berakar banyak, berwarna hijau, kuning atau ungu, berbentuk bulat tidak berkayu, berbuku-buku dan tipe pertumbuhannya tegak atau merambat (menjalar) dengan panjang tanaman 1–3 m (Rukmana, 1997). Daun ubi jalar berbentuk bulat hati, bulat lonjong dan bulat runcing tergantung varietasnya. Bunga ubi jalar berbentuk terompet, ukurannya relatif besar dengan warna putih atau putih keunguan pucat dengan warna ungu di bagian tengahnya (Juanda dan Cahyono, 2000). Warna dari kulit umbinya berkisar dari warna putih sampai dengan krem, kuning, jingga, merah muda, merah sampai dengan ungu gelap. Warna daging umbinya sangat tergantung dari jumlah dan proporsi berbagai macam pigmen karotenoid yang terkandung di dalam bahan. Daging umbinya dapat berwarna putih, krem, merah muda, jingga, sampai keungu-unguan. Menurut Steinbauer dan Kushman (1971), umbi tanaman ubi jalar sebenarnya merupakan akar yang membesar dan menyimpan makanan cadangan bagi tanaman dengan bentuk antara lonjong sampai agak bulat. Menurut Lingga et al. (1986), pada umumnya ubi jalar dibagi dalam dua golongan, yaitu ubi jalar yang berumbi lunak karena banyak mengandung air dan ubi jalar yang berumbi keras karena banyak mengandung pati. Menurut Kadarisman dan Sulaeman (1993), ubi jalar dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan umur panennya, yaitu ubi jalar berumur pendek (genjah) dan ubi jalar berumur panjang. Tanaman ubi jalar yang berumur pendek dapat
3
dipanen pada umur 4 sampai 6 bulan sedangkan ubi jalar yang berumur panjang dapat dipanen setelah berumur 8 sampai 9 bulan. Ubi jalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh karena daerah penyebarannya terletak pada 30º LU dan 30º LS. Daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ubi jalar adalah daerah bersuhu antara 21–27ºC yang mendapat sinar matahari 11–12 jam/hari dengan kelembaban udara (RH) 50–60 % dan curah hujan 750–1500 mm/tahun. Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk usaha tani ubi jalar tercapai pada musim kemarau karena tanaman ini tahan terhadap panas dan kering (Rukmana, 1997). Tanaman ubi jalar dapat tumbuh dengan baik di daerah tropik seperti Indonesia. Areal panen ubi jalar di Indonesia tiap tahun seluas 229.000 hektar, tersebar di seluruh propinsi, baik di lahan sawah maupun tegalan dengan produksi ratarata nasional 10 ton per hektar. Penghasil utama ubi jalar di Indonesia adalah pulau Jawa dan Irian Jaya yang menempati porsi sekitar 59 persen (Aini, 2006). Menurut
Winarno
(1981),
ubi
jalar
memiliki
keistimewaan
dibandingkan tanaman pangan lain. Ubi jalar termasuk salah satu tanaman yang paling tinggi daya penyesuaian dirinya terhadap lingkungan yang buruk, seperti angin kencang, musim kering yang panjang serta telah terbukti besar peranannya dalam musim paceklik dan bencana alam sebagai makanan alternatif. Ubi jalar dapat tumbuh di sembarang tanah. Hasil umbi yang paling bagus adalah di tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang sedang dan cukup mengandung air. Ubi jalar akan tumbuh bagus dengan daun yang rimbun di tanah yang subur, tetapi umbi yang dihasilkan tidak seberapa (Lingga et al., 1986). Ubi jalar klon unggul BB00105.10 dikembangkan oleh para peneliti ubi jalar di CIP (International Potato Center), Bogor. Ubi jalar klon BB00105.10 tergolong ke dalam ubi jalar merah tetapi belum diresmikan menjadi varietas sehingga belum memiliki spesifikasi secara khusus. Ubi jalar klon unggul BB00105.10 memiliki ciri-ciri antara lain berbentuk lonjong, kulit berwarna merah berbintik dan daging umbi berwarna oranye tua (Astawan dan Widowati, 2006).
4
B. KOMPOSISI KIMIA UBI JALAR Komposisi zat gizi ubi jalar bervariasi tergantung pada cara penanaman, iklim, tingkat kematangan dan lama penyimpanan (Kay, 1973). Ubi jalar memiliki kadar air yang cukup tinggi berkisar 61.2-89.0 % (bb) sehingga bahan kering yang terkandung didalamnya relatif rendah. Kandungan rata-rata bahan kering ubi jalar yaitu 30 % dan sangat bervariasi tergantung pada kultivar, lokasi, iklim, tipe tanah, serangan hama dan penyakit serta cara menanamnya (Bradburry dan Holloway, 1988 di dalam Djuanda, 2003). Ubi jalar merah sudah dikenal sebagai sumber energi yang baik dalam bentuk karbohidrat tetapi protein dan lemak yang dikandungnya relatif rendah. Ubi jalar merah mengandung beberapa vitamin seperti betakaroten (provitamin A), vitamin C, dan vitamin B1 serta beberapa mineral seperti fosfor, kalsium dan zat besi. Ubi jalar merah mengandung provitamin A sebesar 7700 SI (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1993). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astawan dan Widowati (2006), komposisi kimia ubi jalar klon BB00105.10 adalah sebagai berikut: kadar air 63.71 % (bb), abu 1.53 % (bk), protein 5.47 % (bk), lemak 0.76 % (bk) dan karbohidrat 92.24 % (bk). C. TEPUNG UBI JALAR Kelemahan dari bahan pangan pokok non-beras yaitu daya simpannya pendek. Dalam keadaan segar, umbi-umbian seperti ubi jalar mengandung air yang cukup tinggi. Salah satu upaya pengawetan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengubahnya menjadi tepung. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung juga merupakan upaya peningkatan daya guna ubi jalar supaya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Pengolahan
ubi
jalar
menjadi
tepung
memberikan
beberapa
keuntungan seperti meningkatnya daya simpan, praktis dalam pengangkutan dan penyimpanan serta dapat diolah menjadi beraneka ragam produk makanan (Winarno, 1981). Pembuatan tepung ubi jalar secara umum meliputi: pembersihan, pengupasan, pencucian dengan air bersih, pengirisan dan pengeringan sampai kadar air tertentu dengan menggunakan oven pengering,
5
penggilingan dengan disc mill dan pengayakan. Kandungan gula yang tinggi pada ubi jalar dapat menyebabkan reaksi pencoklatan sehingga perlu dilakukan perlakuan pendahuluan berupa blanching atau perendaman sebelum pengeringan dengan menggunakan bahan kimia anti pencoklatan seperti natrium-metabisulfit (Kadarisman dan Sulaeman, 1993). Natrium metabisulfit (Na2S2O3) dapat mengendalikan dan mengurangi kerusakan mikrobiologis, kerusakan kimiawi serta mempertahankan warna produk. Tepung ubi jalar dapat diaplikasikan sebagai pensubstitusi tepung terigu. Penelitian terdahulu telah berhasil mensubstitusi terigu oleh tepung ubi jalar pada pembuatan produk roti sebesar 30 %, cake 50 %, bihun 40 % dan cookies 70 % (Djuanda, 2003). Komposisi gizi tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Gizi Tepung Ubi Jalar Tepung ubi jalar merah Komponen dengan pengering oven Air (% bb)
8.12
Abu (% bb)
2.38
Lemak (% bb)
1.63
Protein (% bb)
3.80
Karbohidrat (% bb)
84.04
Serat (% bb)
5.42
Sumber : Ningrum, 1999 D. KARBOHIDRAT UBI JALAR Kebutuhan energi bagi manusia untuk melakukan aktivitas sehari-hari sebagian besar disumbangkan oleh karbohidrat. Karbohidrat merupakan bahan kering terbanyak dalam ubi jalar klon BB00105.10 (92.24 % bk). Karbohidrat tersusun dari unit-unit glukosa. Menurut Brand-Miller (2000), berdasarkan kemampuannya untuk dicerna dan diserap tubuh, karbohidrat dibagi menjadi dua yaitu digestible carbohydrate dan non digestible carbohydrate. Digestible carbohydrate adalah jenis karbohidrat yang dapat dicerna dan diserap oleh tubuh manusia dan sebagian besar terdapat dalam bentuk pati, sedangkan non
6
digestible carbohydrate adalah jenis karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap oleh tubuh manusia. Kandungan karbohidrat yang banyak terdapat pada ubi jalar adalah pati, gula dan serat pangan. 1. Pati Pati adalah polisakarida yang tersusun oleh unit-unit glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdapat dalam sel dalam bentuk gumpalan besar atau granula. Molekul pati terhidrasi pada tingkat yang cukup tinggi karena mempunyai gugus hidroksil yang terbuka (Thenawijaya, 1997). Granula pati mempunyai dua polimer yakni amilosa dan amilopektin yang dapat dipisahkan dengan air panas. Amilosa disebut sebagai fraksi terlarut sedangkan amilopektin disebut sebagai fraksi tidak larut. Amilosa merupakan polimer rantai lurus glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α(1,4)-glikosidik sedangkan amilopektin adalah polimer rantai bercabang dari glukosa yang mempunyai struktur bercabang yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4)-glikosidik dan α-(1,6)-glikosidik (BeMiller dan Whistler, 1996). Pada saat gelatinisasi, granula pati akan mengalami pembengkakan yang luar biasa dan bersifat tidak kembali pada kondisi semula. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Beberapa molekul pati khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan di sekitarnya. Oleh karena itu pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak tersuspensi dalam air. Bila pasta tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa bersatu kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir granula sehingga mereka menggabungkan butir-butir pati yang membengkak menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi tersebut
7
disebut retrogradasi dan proses keluarnya air dari gel pati tersebut disebut dengan sineresis (Winarno, 1997). Secara umum, pati ubi jalar tergelatinisasi pada suhu 650C-800C (Woolfe, 1999). Rasio amilosa dan amilopektin pada ubi jalar cukup bervariasi, tetapi secara umum adalah 1 : 3 atau 1 : 4. Kandungan amilosa pada ubi jalar klon BB00105.10 sebesar 24.94 % (bk) sedangkan kandungan amilopektinnya 75.06 % (bk) (Astawan dan Widowati, 2006). Kandungan amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah diduga bertanggungjawab terhadap karakteristik tekstur ubi jalar (Woolfe, 1999). Semakin rendah kadar amilosa, semakin lembut tekstur dan semakin pulen rasa ubi jalar. Secara umum, kandungan pati ubi jalar sekitar 20.10 % (bb) (Bradburry dan Holloway, 1988 di dalam Djuanda, 2003). Resistant starch merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus. Dengan kata lain, resistant starch tidak dapat dihidrolisis olah enzimenzim amilolitik pada manusia sehat. Resistant starch, secara alami terdapat pada beberapa komoditas pangan seperti raw potato, pisang dan produk pangan yang mengalami proses pengolahan. Secara kimia, resistant starch bukan merupakan serat tetapi dapat berperan seperti serat larut pada usus manusia. Proses pengolahan pangan dengan menggunakan pemanasan seperti pengeringan dapat meningkatkan pembentukan resistant starch (Tharanthan dan Mahadevamma, 2003). 2. Pencernaan Pati Proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat terjadi dalam tiga fase yaitu fase intraluminal, brush border dan penyerapan monosakarida (Linder, 1992). Karbohidrat dari pati harus diubah dahulu menjadi glukosa agar dapat diserap oleh tubuh. Enzim yang bertugas untuk melakukan hal tersebut adalah α-amilase yang dihasilkan oleh kelenjar saliva (air liur) dan pankreas. Enzim α-amilase merupakan endoamilase yang menghidrolisis ikatan α-(1,4)-glikosidik dari bagian dalam substrat hingga menghasilkan
8
maltosa dan limit dekstrin. Enzim α-amilase pada umumnya stabil pada kisaran pH 5.5-8. Enzim α-amilase dari kelenjar saliva menghidrolisis pati dalam hal ini amilosa, amilopektin dan glikogen menjadi unit yang lebih kecil dan sebagian menjadi disakarida (Linder, 1992). Namun enzim α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva inaktif oleh pH rendah dalam lambung sehingga tidak terlalu berperan dalam proses pencernaan pati. Enzim αamilase yang berasal dari pankreas yang akan berperan dalam memecah pati di usus halus menjadi unit–unit dimerik terutama maltosa (glukosaglukosa). Proses tersebut akan diselesaikan pada bagian brush border usus halus dengan bantuan enzim dari glukoamylase dan α-dextrinase. Pada brush border usus halus juga akan terjadi pemecahan disakarida menjadi monosakarida
(unit-unit
heksosa)
oleh
enzim-enzim
disakaridase
(Sardesai, 2003). Kemudian unit heksosa tersebut diserap ke dalam mukosa usus dan diedarkan ke hati melalui peredaran darah. Menurut Tharanthan dan Mahadevamma (2003), proses pencernaan pati dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang menyebabkan pati dicerna lambat pada usus halus yaitu jika bentuk fisik makanan mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, khususnya jika granula pati terhalang oleh material lain. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pencernaan pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya. 3. Serat Pangan Menurut Winarno (1997), serat pangan atau dietary fiber merupakan bagian dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Dietary fiber pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Dengan demikian serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan manusia) sehingga tidak digolongkan sebagai sumber zat gizi makanan (Linder, 1992). Menurut Jahari dan Sumarno
9
(2001), konsumsi serat yang dianjurkan perhari untuk orang dewasa adalah 30 gram. Menurut Bradburry dan Holloway (1988) yang dikutip Djuanda (2003), kandungan serat pangan ubi jalar secara umum 1.64 % (bb). Berdasarkan sifat kelarutannya di dalam air, serat pangan (dietary fiber) dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat larut air (Soluble Dietary Fiber atau SDF) dan bersifat tidak larut air (Insoluble Dietary Fiber atau IDF). SDF diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah tercampur dengan empat bagian etanol. IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau air dingin. Gabungan dari serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air disebut total serat pangan (Total Dietary Fiber atau TDF). Termasuk ke dalam serat yang larut air adalah gum, musilase, pektin dan beberapa hemiselulosa larut air sedangkan serat yang bersifat tidak larut air adalah selulosa, lignin, sejumlah kecil lilin dan kitin tanaman dan sebagian besar hemiselulosa. Secara fisiologis serat pangan larut (SDF) lebih efektif dalam mereduksi serum kolesterol plasma (Low Density Lipoprotein atau LDL) yang berkaitan dengan kolesterol. Hal ini berhubungan dengan penurunan secara signifikan terhadap resiko jantung koroner dan tekanan darah tinggi. Selain itu SDF juga bermanfaat bagi penderita diabetes melitus karena dapat mereduksi absorpsi glukosa usus. Serat pangan tidak larut (IDF) lebih bermanfaat mengatasi gangguan sistem pencernaan seperti sembelit, mempercepat transit bahan makanan di usus dan meningkatkan volume feses sehingga dapat mencegah penyakit kanker kolon dan divertikulosis serta dapat digunakan untuk mengontrol berat badan (Prosky dan De Vries, 1992). Pengertian dietary fiber atau serat pangan berbeda dengan crude fiber (serat kasar). Menurut Winarno (1997), hanya sekitar seperlima sampai setengah dari seluruh serat kasar yang benar-benar berfungsi sebagai dietary fiber. Serat kasar adalah bagian dari makanan yang tidak
10
dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan serat kasar yaitu asam sulfat 1.25 % dan natrium hidroksida 1.25 %. Kandungan serat kasar nilainya lebih rendah dibandingkan serat pangan karena asam sulfat dan natrium hidroksida mempunyai kemampuan lebih besar untuk menghidrolisis komponen-komponen makanan dibandingkan dengan enzim-enzim pencernaan (Muchtadi, 1989). E. INDEKS GLIKEMIK (IG) Kesadaran masyarakat semakin meningkat akan pentingnya hidup sehat. Oleh karena itu mereka mulai mengkonsumsi makanan yang memiliki manfaat bagi kesehatannya seperti pangan fungsional. Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Clydesdale, 1999). Suatu produk dapat dikatakan sebagai pangan fungsional salah satunya bila produk tersebut kaya akan serat pangan larut (American Dietetic Association, 1999). Pengembangan pangan fungsional ditujukan untuk memperbaiki fungsifungsi fisiologis, melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, kanker dan diabetes melitus. Penyakit degeneratif prevalensinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun, diabetes melitus (DM) merupakan salah satunya. Analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia memperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 1994 sebesar 2.5 juta jiwa dan pada tahun 2000 menjadi 4 juta jiwa (Tjokroprawiro, 2001). Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi DM mencapai 1.5-2.3 % dari jumlah penduduk. Berdasarkan angka prediksi jumlah penduduk, maka pada tahun 2020 jumlah penduduk yang berusia diatas 20 tahun akan mencapai 178 juta orang. Bila angka prevalensi DM diasumsikan 4 %, maka diperkirakan 7 juta orang penduduk akan menderita penyakit tersebut. Diabetes melitus (DM) adalah kondisi abnormalitas metabolisme energi yang disebabkan
oleh
defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif
11
(Cataldo et al., 1989). Hormon insulin bertugas untuk meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju pangubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlaw, 1999). Insulin berperan sebagai regulator yang akan menjaga keseimbangan kadar glukosa darah tubuh. DM terjadi jika sel-β pulau Langerhans di pankreas mengalami kerusakan, sehingga jumlah insulin yang disekresikan
berkurang.
Keadaan
ini
akan
menyebabkan
gangguan
metabolisme karbohidrat yang ditandai oleh peningkatan glukosa di dalam darah melebihi normal padahal kadar glukosa darah orang normal menurut Wardlaw (1999) berkisar antara 70-110 mg/dl. Orang yang mempunyai kelainan dalam metabolisme glukosa seperti penderita diabetes melitus dan hipoglisemia disarankan untuk mengkonsumsi makanan dengan nilai indeks glikemik yang rendah. Penderita tersebut sulit untuk mengatasi cepatnya kenaikan glukosa dalam darah sebagai akibat mengkonsumsi makanan dengan nilai IG tinggi (Murano, 2003). Hasil studi menunjukkan bahwa asupan karbohidrat dengan indeks glikemik (IG) tinggi menghasilkan insulin resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan asupan karbohidrat dengan IG rendah (Willett et al., 2002). Secara umum, karbohidrat yang mudah dicerna dan diserap dapat meningkatkan nilai indeks glikemik. Para ilmuwan awalnya berpendapat bahwa makanan-makanan yang mengandung karbohidrat kompleks lebih lambat untuk dicerna dan diserap tubuh sehingga memiliki IG yang rendah. Namun beberapa makanan yang tergolong mengandung karbohidrat kompleks seperti kentang rebus dan roti ternyata memiliki kecepatan untuk dicerna dan diserap hampir sama dengan maltosa. Oleh karena itulah konsep indeks glikemik mulai diperkenalkan untuk melihat gambaran tentang hubungan karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah (Brand-Miller, 2000). Indeks glikemik pangan (IG) adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat memiliki IG rendah. Indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang sehat, penderita diabetes melitus, atlet dan penderita obesitas (kelebihan berat tubuh) (Rimbawan dan Siagian, 2004).
12
Pengenalan karbohidrat berdasarkan efek terhadap kadar glukosa darah dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Indeks glikemik juga dapat didefinisikan sebagai rasio antara luas kurva respon glukosa darah setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung 50 gram karbohidrat terhadap luas kurva respon glukosa darah setelah mengkonsumsi 50 gram glukosa murni, pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama. Kedua tes tersebut dilakukan pada pagi hari setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula ditentukan selama dua jam. Dalam hal ini, glukosa atau roti tawar sebagai standar (nilai 100) dan nilai makanan yang diuji merupakan persen terhadap standar tersebut (Truswell, 1992). Menurut Foster-powell, et al. (2002), bahan pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai IG-nya sebagai berikut: (a) bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55); (b) bahan pangan dengan nilai IG sedang (55-69) dan (c) bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70). Beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan menurut Rimbawan dan Siagian (2004) adalah cara pengolahan (ukuran partikel dan tingkat gelatinisasi pati), perbandingan amilosa dengan amilopektin, kadar gula, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan. Menurut Ragnhild et al. (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya indeks glikemik suatu bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dan protein, jumlah dan jenis lemak, kadar gula dan serat pangan serta bentuk fisik dari bahan pangan. Proses pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Dampak dari perubahan tersebut adalah perubahan daya serap zat gizi. Pengolahan akan meningkatkan kadar IG pangan karena melalui proses pengolahan struktur pangan menjadi lebih mudah untuk dicerna dan diserap sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat. Ukuran partikel juga mempengaruhi proses gelatinasi pati. Ukuran partikel yang semakin kecil akan memudahkan terjadinya degradasi oleh enzim sehingga semakin mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, semakin kecil
13
ukuran partikel maka IG pangan semakin tinggi. Pada umumnya pangan sumber karbohidrat memerlukan proses pengolahan/pemasakan sebelum dikonsumsi. Selama pemasakan atau pemanasan akan mengakibatkan proses gelatinisasi pati. Dengan pecahnya granula pati ini maka molekul pati akan lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan usus. Dengan demikian proses pemasakan dan pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan IG pangan. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa lebih tinggi dibandingkan pangan dengan kadar amilopektin lebih tinggi. Sebaliknya apabila kadar amilopektin pangan lebih tinggi maka respon gula darah akan meningkat (Miller et al., 1992). Pangan dengan kadar gula (sukrosa) lebih tinggi ternyata tidak menaikkan kadar glukosa darah lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat kompleks lainnya seperti roti. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan pendapat umum bahwa gula dapat menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Hal ini disebabkan sukrosa memiliki IG sedang. Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG mendekati 60. Keberadaan serat pangan ternyata memberikan pengaruh pada kadar glukosa darah (Fernandes, 2005). Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat dan respon glukosa darah pun akan lebih rendah (IG cenderung lebih rendah). Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak dan protein tinggi respon glikemiknya cenderung rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan berlemak tinggi, apapun jenis dan IG-nya rendah maupun tinggi, perlu dikonsumsi secara bijaksana.
14
Keberadaan zat anti gizi pada pangan juga akan menghambat terjadinya proses pencernaan sehingga respon gula darah akan lebih rendah (Colagiuri, 1990). Zat anti gizi seperti oligosakarida penyebab flatulensi (rafinosa, stakiosa dan verbaskosa) tidak dapat dicerna oleh tubuh karena tubuh tidak memiliki enzim pencernanya yaitu α-galaktosidase. Oligosakarida tersebut akan difermentasi oleh mikroflora usus menghasilkan gas karbondioksida, hidrogen, sejumlah kecil metan dan asam lemak rantai pendek sehingga menurunkan pH lingkungannya (Rungkat et al., 1993). Hal ini mengakibatkan perubahan
komposisi
mikroflora
usus,
dimana
persentase
bakteri
menguntungkan seperti bakteri asam laktat meningkat, sedangkan bakteri yang patogen menurun. F. PENGUKUSAN Cara pengolahan berpengaruh terhadap nilai IG produk yang dihasilkan. Sebagian besar hasil produk bakery diolah dengan cara dipanggang. Cara lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk bakery adalah menggoreng (to fry) dan mengukus (to steam) (Vonny, 2006). Prinsip pengolahan dengan cara pengukusan adalah dengan menggunakan uap air dari air panas bersuhu 100oC dengan lama yang bervariasi. Pengukusan merupakan salah satu cara pemasakan bahan. Dalam proses pemasakan terjadi penurunan nilai gizi tergantung pada suhu dan lamanya proses pemasakan. Ada tiga jenis reaksi yang dapat menurunkan nilai gizi selama proses pemanasan atau pemasakan yaitu (1) oksidasi asam lemak; (2) denaturasi protein berupa perubahan ikatan asam amino sehingga absorpsi terganggu dan terbentuknya ikatan-ikatan baru sehingga enzim pencernaan tidak mampu lagi mencernanya dan (3) reaksi Maillard (Winarno, 1997). Dalam pengukusan diterapkan proses suhu tinggi dan penambahan air sehingga menyebabkan proses gelatinisasi pati (Harris dan Karmas, 1989). Pada waktu pengukusan juga terjadi penyerapan air atau uap air oleh bahan. Bahan yang dikukus dalam waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman, 1992).
15
Menurut Fennema (1985), proses pengukusan dapat menarik sebagian udara dalam jaringan tanaman sehingga tekanan turgor sel berkurang. Hal ini menyebabkan jaringan menjadi lunak. Penarikan udara akan mendegradasi sebagian dinding sel sehingga jaringan lebih poros. Proses pemberian panas dengan pengukusan akan menyebabkan berkurangnya komponen yang mudah menguap, terjadinya oksidasi dan hidrolisa yang menyebabkan perubahan flavor dan warna. 1. Produk Olahan Kukus Produk olahan yang dihasilkan dengan cara pengukusan diantaranya bapao, beberapa jenis kue basah dan cake. Cake merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula, lemak dan telur dan biasanya dibutuhkan bahan pengembang kimiawi serta dibutuhkan pembentukan emulsi kompleks air dalam minyak dimana lapisan air terdiri dari gula terlarut dan partikel tepung terlarut. Struktur cake menunjukkan kesan ringan dan berpori rata (Sunaryo,1985). Dalam penelitian ini produk olahan kukus yang dibuat yaitu bolu kukus, brownies kukus dan kue talam. Bolu kukus merupakan salah satu jenis cake yang dikukus dan terbuat dari campuran tepung terigu, telur, gula, emulsifier dan air dengan penambahan aroma dan pewarna yang diinginkan serta mempunyai kekhasan yaitu bagian atasnya merekah menjadi bagian-bagian seperti bunga. Brownies kukus merupakan sejenis cake yang dikukus berwarna coklat kehitaman mempunyai tekstur lebih keras daripada cake biasanya karena tidak membutuhkan pengembangan gluten. Telur, lemak, gula, coklat, susu dan tepung terigu merupakan komponen pembentuk struktur utama. Untuk memperbaikinya, biasanya ditambahkan emulsifier dan bahan pengembang. Adapun kue talam merupakan sejenis kue basah yang terbuat dari campuran pure atau tepung ubi jalar, gula, tepung beras, tapioka, maizena, garam, santan dan air. Disebut kue basah karena komponen utama penyusunnya adalah air dan santan serta diolah dengan cara pengukusan sehingga kadar air produknya relatif tinggi dan produknya terlihat basah.
16
2. Bahan Penyusun Produk Olahan Kukus Pada umumnya, tepung berfungsi sebagai pembentuk struktur dan tekstur produk, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata serta berperan dalam membentuk citarasa (Matz dan Matz, 1978). Tepung terigu memiliki kandungan protein yang dapat membentuk suatu massa yang lengket dan elastis ketika dibasahi air. Protein utama tepung terigu adalah gluten yang terdiri dari glutenin dan gliadin. Glutenin memberikan sifat-sifat yang tegar (elastis) sedangkan gliadin memberikan sifat yang lengket sehingga mampu memerangkap gas yang terbentuk selama proses pengembangan adonan dan membentuk struktur remah produk (Manley, 1983). Tepung terigu yang biasanya digunakan untuk membuat cake adalah terigu lunak (Subarna, 1996). Terigu jenis ini biasanya berkadar protein 8-10 %. Digunakannya terigu lunak karena cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz, 1992). Selain itu, terigu jenis ini lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U. S. Wheat Associates, 1983). Bila yang digunakan adalah tepung terigu sedang atau keras akan menimbulkan inefisiensi karena semakin keras tepung terigu maka semakin banyak lemak dan gula yang harus ditambahkan untuk mendapatkan tekstur yang baik (Matz dan Matz, 1978). Tepung terigu keras juga mengandung protein tinggi dan akan menyebabkan tekstur produk (khususnya cake) menjadi keras dan penampakannya kasar (Matz, 1992). Secara umum, tepung beras, tapioka dan maizena berfungsi sebagai bahan pengikat untuk membentuk struktur yang kompak setelah melewati proses gelatinisasi. Winarno (1997) menyatakan bahwa tepung beras akan menyerap air dari adonan sehingga granula patinya membengkak dan pada saat proses pemanasan, air yang terserap oleh granula pati akan berperan untuk menggelatinisasi pati tepung beras. Pati digunakan dalam pangan karena enam alasan yaitu thickening agent, penstabil koloid, pengikat air, pembentuk gel, pengikat coating dan glazing agent (Pomeranz, 1991).
17
Gula pasir ditambahkan pada produk untuk memberikan rasa manis, berpengaruh terhadap pembentukan struktur cake, melembutkan tekstur, memperpanjang kesegaran dengan cara mengikat air dan merangsang pembentukan warna yang baik (Subarna, 1992). Gula yang ditambahkan juga dapat berfungsi sebagai pengawet karena dapat mengurangi aw bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1981). Dalam pembuatan cake, gula dapat melembutkan karena gula menghambat absorpsi air oleh komponen tepung terutama protein. Lemak biasanya ditambahkan ke dalam adonan untuk memberikan rasa gurih, melembutkan, memberikan flavor dan meningkatkan nilai gizi produk. Sunaryo (1985) menyatakan bahwa lemak dapat digunakan untuk melindungi terigu sehingga tidak terlalu banyak menyerap air dan pada waktu gelatinisasi akan menghasilkan pori yang seragam. Lemak juga menghambat laju penguapan air sehingga cake terlihat tetap basah dan segar untuk waktu yang cukup lama. Lemak yang biasanya digunakan dalam pembuatan cake adalah mentega dan margarin. Mentega adalah lemak hewani hasil separasi antara fraksi lemak dan non lemak dari susu. Margarin adalah lemak plastis yang dibuat dari proses hidrogenasi parsial minyak nabati (Budijanto et al., 2001). Penggunaan mentega bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, khususnya flavor. Rendahnya titik cair mentega menyebabkan produk menjadi berlemak. Untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan mentega biasanya ditambahkan margarin (Matz dan Matz, 1978). Telur dalam pembuatan cake berfungsi untuk membentuk suatu kerangka yang bertugas sebagai pembentuk struktur. Telur juga berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, aroma, dan rasa. Lesitin pada kuning telur mempunyai daya pengemulsi sedangkan lutein dapat membangkitkan warna produk (Penfield dan Campbell, 1990).
18
Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz dan Matz, 1978). Leavening agent atau bahan pengembang merupakan senyawa kimia yang akan terurai menghasilkan gas di dalam adonan (Winarno, 1997). Leavening agent berfungsi untuk mengembangkan dan memperbaiki tekstur dan penampakan cake. Leavening agent dapat mengembangkan produk karena dapat menghasilkan CO2. Leavening agent yang banyak digunakan pada pembuatan cake antara lain baking powder. Baking powder merupakan campuran natrium bikarbonat (NaHCO3) dengan asam misalnya asam sitrat atau asam tartarat. Baking powder bersifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). Emulsifier berfungsi untuk meningkatkan stabilitas emulsi dan melembutkan tekstur cake yang dihasilkan. Emulsifier yang dapat digunakan dalam pembuatan Cake antara lain GMS dan “SP”. GMS atau gliseril monostearat berfungsi untuk mendorong pembentukan dan mempertahankan emulsi agar tetap stabil. Ciri khas dari emulsifier adalah gugus hidrofilik dan lipofilik yang dapat mengikat air dan lemak menjadi satu kesatuan yang lebih stabil (Fennema, 1985). Fungsi GMS dalam melembutkan tekstur cake erat kaitannya dengan kemampuan emulsifier membentuk komplek dengan pati (amilosa) sehingga menghambat terjadinya retrogradasi pati (Budijanto et al., 2001).
Komposisi “SP”
adalah Ryoto ester atau gula ester dimana esternya merupakan asam lemak seperti asam stearat, palmitat dan oleat. Fungsi “SP” mirip dengan GMS yaitu untuk melembutkan tekstur cake. Penggunaan susu pada pembuatan cake selain sebagai sumber protein juga untuk memperbaiki tekstur, memberikan aroma, dan memperbaiki warna permukaan. Susu yang banyak digunakan dalam pembuatan cake adalah susu skim. Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat gizi susu kecuali lemak dan vitamin yang larut lemak (Buckle et al., 1981).
19
Dark cooking chocolate adalah coklat yang khusus digunakan untuk membuat produk-produk bakery. Dark cooking chocolate berbentuk batangan dan dapat meleleh pada suhu 40oC serta berfungsi untuk memberikan rasa dan warna pada cake. Coklat bubuk berfungsi untuk memperkuat rasa, aroma dan warna cake. Pewarna ditambahkan pada cake guna meningkatkan penerimaan produk dan menutupi bau yang tidak diharapkan dari produk. Pewarna yang banyak digunakan dalam pembuatan cake berbentuk pasta cair sehingga mudah diaplikasikan dan aromanya cukup kuat serta warna yang dihasilkan menarik. Garam ditambahkan dalam pembuatan kue untuk membentuk efek rasa dan peningkat rasa. Santan ditambahkan sebagai sumber lemak, membentuk
flavor
ketika
proses
pemasakan
berlangsung
serta
mendistribusikan bahan secara merata dalam adonan. Pemasakan santan akan menghasilkan wangi khas dari nonyl methyl keton (Ketaren, 1986). Fungsi air sebagai pelarut bahan dan dengan pati akan membentuk gel dengan adanya pemanasan. G. UJI ORGANOLEPTIK Keistimewaan produk pangan yaitu bahwa produk pangan mempunyai nilai mutu subyektif yang menonjol disamping sifat mutu obyektif. Jika mutu obyektif dapat diukur dengan instrumen fisik, maka sifat mutu subyektif hanya dapat diukur dengan instrumen manusia. Sifat subyektif pangan lebih umum disebut organoleptik atau sifat indrawi karena penilaiannya menggunakan organ indra manusia, kadang-kadang juga disebut sifat sensorik karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indra. Sifat mutu indrawi pangan adalah sifat produk/komoditas pangan yang hanya dikenali/diukur dengan proses pengindraan yaitu penglihatan dengan mata, pembauan/penciuman dengan hidung, pencicipan dengan rongga mulut, perabaan dengan ujung jari tangan atau pendengaran dengan telinga. Dalam pengujian mutu produk pangan, yang menonjol ialah sifat-sifat mutu organoleptik seperti bentuk, ukuran, warna, tekstur, bau, baru kemudian rasa (Soekarto, 1990).
20
Uji hedonik atau uji rating merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat kesukaan ini disebut sebagai skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut skala yang dikehendaki. Dalam analisisnya skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan adanya skala hedonik ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan (Rahayu, 1998). Uji
ranking
merupakan
cara
yang
paling
sederhana
untuk
membandingkan beberapa sampel berdasarkan satu jenis atribut sensori. Metode ini mengurutkan sampel dengan skala intensitas dari atribut yang dipilih dan memberikan penanda berupa angka terhadap perbedaan diantara sampel dan tingkat perbedaannya. Uji ranking membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan metode lain dan sangat berguna jika sampel yang diranking akan dianalisis lebih lanjut (Meilgard et al., 1999). Hasil uji hedonik dan uji ranking ditabulasikan dalam suatu tabel, untuk kemudian dilakukan analisis dengan analisis sidik ragam (Anova) dan uji lanjut Duncan, sedangkan uji ranking dianalisis dengan uji Friedman pada selang kepercayaan 95 %.
21
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung ubi jalar klon BB00105.10, tepung terigu, telur, gula pasir, leavening agent (baking powder), emulsifier (GMS, SP), pasta pandan, susu skim, mentega, margarin, coklat bubuk, dark cooking chocolate (coklat blok), tepung beras, tapioka, maizena, garam, santan dan air. Bahan kimia untuk analisis meliputi aquades, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, indikator methylen blue, HCl, pelarut n-heksan, amilosa, NaOH 1 N, etanol 95 %, etanol 78 %, asam asetat 1 N, larutan iod, enzim α-amilase, maltosa, buffer Na-Fosfat 0.1 M, buffer Na-Fosfat 0.05 M, 3,5-dinitrosalisilat, Na-K-tartarat, enzim termamyl, enzim pepsin, enzim pankreatin, aseton dan glukosa. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, gelas ukur, gelas piala, labu Erlenmeyer, sudip, pipet ukur, mikro pipet, kuvet, botol semprot, corong buchner, kertas saring, aluminium foil, pompa vakum, pisau, oven, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, alat destilasi, buret, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, kapas bebas
lemak,
spektrofotometer,
neraca
analitik,
timbangan,
hot
plate,
inkubator,
texture analyzer, chromameter, Aw meter, pH meter,
termometer, slicer, disc mill, ayakan, kompor, mixer, baskom plastik, sendok, botol kaca, cetakan kue, dandang pengukus dan glucometer. B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung ubi jalar klon BB00105.10 berdasarkan metode yang dilakukan oleh Widowati et al., (2002). Tepung ubi jalar yang dihasilkan kemudian dianalisis sifat fisiko-kimianya yang meliputi densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, warna, Aw, amilograf, rendemen tepung, uji proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference)). Proses pembuatan tepung ubi jalar klon BB00105.10 dapat dilihat pada Gambar 1.
22
Ubi jalar klon BB00105.10
Dibersihkan dan dikupas dengan pisau Kulit Dicuci dan direndam air Disawut (diiris tipis-tipis) Direndam dalam larutan sodiumbisulfit 0,3 % selama 1 jam dan ditiriskan Dikeringkan dengan oven pengering suhu 65oC hingga kadar air sekitar 12-14 % selama 8 jam Digiling dengan disc mill
Diayak (80 mesh)
Tepung ubi jalar Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 2. Penelitian Lanjutan Pada penelitian lanjutan dilakukan formulasi dan pembuatan bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 dengan metode trial and error. Formulasi bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4, sedangkan proses pembuatan bolu kukus, brownies kukus dan kue talam berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4.
23
Tabel 2. Formulasi Bolu Kukus Ubi Jalar Bahan
Jumlah bahan setiap perlakuan F1
F2
F3
F4
F5
F6
Tepung ubi jalar (g)
20
20
30
30
40
40
Tepung terigu (g)
80
80
70
70
60
60
Telur (isi utuh) (g)
57
57
57
57
57
57
Gula pasir (g)
70
80
70
80
70
80
Air (ml)
65
65
65
65
65
65
SP (g)
4
4
4
4
4
4
GMS (g)
1
1
1
1
1
1
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
Pasta pandan (g)
Tabel 3. Formulasi Brownies Kukus Ubi Jalar Bahan
Jumlah bahan setiap perlakuan F1
F2
F3
F4
F5
F6
Tepung ubi jalar (g)
80
80
90
90
100
100
Tepung terigu (g)
20
20
10
10
0
0
Susu skim (g)
20
20
20
20
20
20
Coklat bubuk (g)
14
14
14
14
14
14
Coklat blok (g)
80
80
80
80
80
80
Mentega (g)
40
40
40
40
40
40
Margarin (g)
40
40
40
40
40
40
Telur (isi utuh) (g)
120
120
120
120
120
120
Gula pasir (g)
80
100
80
100
80
100
Baking powder (g)
1
1
1
1
1
1
1.6
1.6
1.6
1.6
1.6
1.6
2
2
2
2
2
2
GMS (g) SP (g)
24
Tabel 4. Formulasi Kue Talam Ubi Jalar Bahan
F1
F2
F3
F4
F5
F6
Tepung ubi jalar (g)
50
50
70
70
90
90
Air mendidih (ml)
55
55
75
75
95
95
20
20
10
10
5
5
30
30
20
20
5
5
Gula pasir (g)
40
50
40
50
40
50
Santan encer (ml)
100
100
100
100
100
100
Tepung beras (g)
4
4
4
4
4
4
2
2
2
2
2
2
4
4
4
4
4
4
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
75
75
75
75
75
75
Lapisan Tepung beras (g) bawah Tapioka (g)
Tapioka (g) Lapisan Maizena (g) atas Garam (g) U
Jumlah bahan setiap perlakuan
Santan kental (ml)
Uji organoleptik terhadap keenam formulasi produk olahan kukus (bolu kukus, brownies kukus dan kue talam) dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan produk yang dihasilkan. Uji organoleptik yang akan dilakukan adalah uji hedonik (rating) dan uji ranking keseluruhan (overall). Berdasarkan hasil pengujian secara organoleptik diambil satu formula terbaik. Analisis data hasil uji organoleptik dilakukan dengan analisis sidik ragam (Anova) dan uji lanjut Duncan untuk uji hedonik dan uji Friedman untuk uji ranking pada selang kepercayaan 95 %. Selanjutnya, terhadap formula terbaik masing-masing produk dilakukan analisis sifat fisiko-kimianya yang meliputi rendemen produk, tekstur (kekerasan), uji proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference), nilai energi, kadar amilosa, serat pangan dan daya cerna pati. Tahap berikutnya, dari ketiga jenis produk olahan kukus terbaik (bolu kukus, brownies kukus dan kue talam) dipilih dua jenis produk untuk dianalisis indeks glikemiknya. Pemilihan dua jenis produk tersebut didasarkan pada hasil analisis kimia yang dilakukan pada produk yaitu uji proksimat (kadar protein dan lemak), kadar amilosa, serat pangan dan daya cerna pati.
25
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Bolu Kukus Ubi Jalar Proses pembuatan bolu kukus ubi jalar meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, dan pengukusan. Pada tahap pembuatan adonan, bahan baku dicampur secara bertahap, dimulai dengan pengocokan telur, gula pasir, SP dan GMS dengan mixer kecepatan tinggi selama 5 menit kemudian penambahan campuran tepung terigu dan tepung ubi jalar serta air. Pengocokan dengan mixer kecepatan rendah dilanjutkan lagi selama 2 menit sampai menjadi adonan yang agak kental. Selanjutnya, dilakukan pengambilan ¼ bagian adonan lalu diberi pasta pandan sebagai pewarna dan pemberi aroma. Pada tahap pencetakan, adonan dituang ke dalam cetakan mangkok ukuran sedang yang telah dialasi kertas roti sampai hampir penuh (3/4 cetakan) lalu ditambahkan sedikit adonan yang diberi pasta pandan tadi sampai adonan dalam cetakan penuh. Pada tahap pengukusan, adonan dalam cetakan dikukus dalam dandang pengukus yang airnya telah mendidih (100oC) selama 10 menit.
26
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Brownies Kukus Ubi Jalar Proses pembuatan brownies kukus ubi jalar meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, dan pengukusan. Pada tahap pembuatan adonan, bahan baku dicampur secara bertahap, dimulai dengan pengocokkan telur, gula pasir, baking powder, SP dan GMS dengan mixer kecepatan tinggi selama 5 menit kemudian penambahan semua bahan kering (tepung terigu, tepung ubi jalar, susu skim dan coklat bubuk) yang sebelumnya telah disaring dilanjutkan dengan penambahan mentega, margarin dan dark cooking chocolate (coklat blok) yang telah dilelehkan dan didinginkan sebelumnya. Pengocokan dengan mixer kecepatan rendah dilanjutkan lagi selama 2 menit sampai menjadi adonan yang kental. Pada tahap pencetakan, adonan dituang ke dalam loyang ukuran 10x15 cm yang telah diolesi margarin. Pada tahap pengukusan, adonan dalam loyang dikukus dalam dandang pengukus yang airnya telah mendidih (100oC) selama 30 menit.
27
Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Kue Talam Ubi Jalar Proses pembuatan kue talam ubi jalar meliputi tahap pembuatan adonan (adonan untuk lapisan bawah dan lapisan atas kue), pencetakan, dan pengukusan. Pada tahap pembuatan adonan, bahan baku dicampur secara bertahap. Tahap pertama, tepung ubi jalar ditambahkan air hangat (±85oC) dan diaduk sampai dengan rata dan kalis. Tahap kedua, tepung beras, tapioka dan gula pasir dicampurkan dengan santan encer lalu diaduk hingga rata. Tahap selanjutnya, adonan tahap pertama tadi dimasukkan ke dalam adonan tahap kedua dan aduk hingga rata hingga diperoleh adonan yang cukup kental (untuk lapisan bawah kue). Adonan ini disaring supaya tidak ada butiran-butiran tepung yang tertinggal dan dapat menyebabkan tekstur kue menjadi kasar.
28
Pada tahap pencetakan, adonan dituang ke dalam cetakan mangkok sedang yang telah diolesi tipis minyak goreng sampai hampir penuh (3/4 cetakan). Adonan (lapisan bawah kue) tadi dikukus dalam dandang pengukus yang airnya telah mendidih (100oC) selama 25 menit sampai setengah matang dan tidak basah lagi. Adonan lapisan atas kue dibuat dengan mencampurkan tepung beras, tapioka, maizena dan garam dengan santan kental lalu diaduk hingga rata dan disaring. Adonan ini dituang ke atas lapisan bawah setengah matang tadi sampai cetakan penuh dan dikukus lagi dalam dandang pengukus yang airnya telah mendidih (100oC) selama 20 menit. C. METODE ANALISIS 1. Analisis Sifat Fisik a. Densitas Kamba (Khalil, 1999) Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml. b. Densitas Padat (Khalil, 1999) Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas padat dinyatakan dalam satuan g/ml. c. Kelarutan dalam Air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi dan Sumartha, 1992) Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner dan pompa vakum. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan
29
dalam oven 100ºC selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kelarutan (%) =
a - (b - c) × 100% a
Keterangan: a = berat sampel (g) b = berat endapan dan kertas saring (g) c = berat kertas saring (g) d. Rendemen
Pengukuran rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan berat tepung yang diperoleh terhadap berat ubi jalar tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen tepung (%) = b × 100 % a Keterangan: a = berat ubi jalar tanpa kulit (g) b = berat tepung yang diperoleh (g) Pengukuran rendemen produk olahan dihitung berdasarkan perbandingan berat produk olahan terhadap berat adonan yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen produk olahan (%) = b × 100 % a Keterangan: a = berat adonan (g) b = berat produk olahan (g) e. Tekstur (Kekerasan)
Pengukuran tekstur (kekerasan) produk olahan dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer TA-XT2i. Alat dihidupkan lalu sampel disimpan pada wadah yang telah disediakan. Bagian tersebut akan mendapat tekanan dari alat yang bergerak. Besar kecilnya tekanan akan masuk ke dalam amplifier yang ada di dalam recorder dan keluarannya berupa grafik. Kekerasan dinyatakan sebagai
kg gaya dari puncak tertinggi pada saat kurva mulai menaik yang
30
dinyatakan sebagai titik nol. Kekerasan dinyatakan dalam satuan gram force (gf). f. Amilograf (Bhattacharya, 1979)
Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi tepung ubi jalar.
Sebanyak 45 gram sampel tepung (100 mesh)
ditimbang dan dilarutkan dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit. Mesin amilograf dihidupkan, begitu suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari: 1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik. 2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai maksimum viskositas dapat dicapai. 3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit. g. Warna, Metode Hunter (Hutching, 1999 dalam Djuanda, 2003)
Pengukuran
untuk
warna
tepung
dilakukan
dengan
menggunakan alat chromameter “Minolta CR-200”. Warna tepung dibaca dengan detektor digital lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Pada alat ini yang terukur adalah nilai-nilai L, a, b, dan hº (hue). Keterangan: L = nilai yang menunjukkan kecerahan, berkisar antara 0-100 a = merupakan warna campuran merah-hijau a positif (+) antara 0-100 untuk warna merah a negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna hijau
31
b = merupakan warna campuran biru-kuning b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning b negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna biru hº (hue) = parameter untuk kisaran warna h. Aktivitas Air (aw )
Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan alat aw meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Nilai aw dapat dibaca setelah ada tulisan “completed” di layar. Bila aw yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah aw meter. Nilai aw dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di layar. 2. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990)
Pengujian organoleptik yang dilakukan terhadap produk olahan kukus (bolu kukus, brownies kukus dan kue talam) adalah uji kesukaan meliputi uji hedonik (rating) untuk mengetahui tingkat kesukaan produk dan uji ranking untuk mengetahui formulasi yang paling disukai. Skor penilaian yang digunakan dalam uji hedonik ada 7 tingkat, yaitu 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka. Pada uji ranking, ranking 1 menunjukkan produk yang paling disukai. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis maka dilakukan analisis sidik ragam terhadap data hasil uji organoleptik. Jika berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA) dinyatakan ada pengaruh nyata pada perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk uji hedonik dan dan uji Friedman untuk uji ranking.
32
3. Analisis Sifat Kimia a. Analisis Proksimat
Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)
Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak terdegradasi pada suhu 100ºC. Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Lalu ditimbang sampel sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut. Dikeringkan sampel dalam oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 gram). Setelah itu didinginkan cawan yang berisi sampel kering di dalam desikator. Ditimbang berat akhirnya. Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut: Kadar air (% bb) =
(x - y) × 100% (x - a)
Keterangan: x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)
Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995)
Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang di dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya tetap. Pengabuan dilakukan dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama suhu 400°C lalu dilanjutkan pada suhu 550°C, kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Perhitungan: Kadar abu (% bb) =
W2 × 100% W1
33
Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat abu (g)
Kadar Protein, Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak ± 0.1 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01N/0.02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditambahkan 1.9 gram K2SO4, 40 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat. Sampel didekstruksi (dididihkan) selama 1-1.5 jam hingga jernih, lalu didinginkan. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu distilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Ditambah larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml, kemudian didestilasi dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung
dalam
erlenmeyer
yang
sama.
Isi
erlenmeyer
diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko. Perhitungan: Kadar N (% bb) =
(Vs - Vb) × C × 14,007 × 100% W
Kadar protein (% bb) = % N x faktor konversi (6,25) Keterangan: Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml)
34
C = Konsentrasi HCl (N) W = Berat sampel (mg)
Kadar Lemak , Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang setelah dingin. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian pasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam alat lalu sampel direfluks selama 5 jam (minimum). Setelah itu pelarut didestilasi dan ditampung pada wadah lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat tetap. Kemudian labu lemak dipindahkan ke desikator, lalu didinginkan dan ditimbang. Kadar lemak dihitung sebagai berikut: Kadar lemak (% bb) =
W2 × 100% W1
Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat lemak (g)
Kadar Karbohidrat By Difference (AOAC, 1995)
Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (% bb) = 100 % - (kadar air + abu + protein + lemak) b. Analisis Nilai Energi (Almatsier, 2001)
Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat dilakukan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi makanan tersebut. Nilai energi (Kkal) = (4 Kkal/g x kadar karbohidrat) + (4 Kkal/g x kadar protein ) + (9 Kkal/g x kadar lemak)
35
c. Kadar Amilosa (Metode Juliano, 1971 yang Dimodifikasi)
Pembuatan Kurva Standar
Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml NaOH 1 N lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masingmasing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Penetapan Sampel
Sebanyak 100 mg sampel (tanpa lemak) dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml NaOH 1 N lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Pipet 5 ml larutan tersebut, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan persamaan: Kadar amilosa (%) =
A FP × × 100 % S W
Keterangan: A = absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm S = slope atau kemiringan pada kurva standar FP = faktor pengenceran, yaitu 0,002 W = berat sampel tanpa lemak (gram)
36
d. Kadar Serat Pangan (Asp, Johnson, Hallmer & Sijestrin, 1983)
Sampel basah dihomogenisasi dan diliofilisasi kemudian diekstrak lemaknya dengan metode Soxhlet. Sebanyak 1 gram sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M pH 6 dan dibuat menjadi suspensi kemudian aduk. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl, tutup erlenmeyer dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 100°C selama 15 menit sambil sesekali diaduk. Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pHnya diatur menjadi 1.5 dengan menggunakan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 g enzim pepsin, tutup erlenmeyer dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pHnya diatur menjadi 6.8 dengan menggunakan NaOH kemudian ditambahkan 100 mg enzim pankreatin ditambahkan, tutup erlenmeyer dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Atur pHnya menjadi 4.5 dengan menggunakan HCl.
Larutan sampel
disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata. 1. Residu (Serat Tidak larut)
Cuci dengan 2x10 ml etanol 95 % dan 2x10 ml aseton, dikeringkan pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan (semalam), ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Abukan pada suhu 550oC selama 5 jam, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). 2. Filtrat (Serat Larut)
Atur volume filtrat menjadi 100 ml, ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60oC), dibiarkan mengendap selama 1 jam, disaring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui).
37
Cuci dengan 2x10 ml etanol 78 %, 2x10 ml etanol 95 % dan 2x10 ml aseton, dikeringkan pada suhu 105oC sampai mencapai berat konstan (semalam), ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Abukan pada suhu 550oC selama 5 jam, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). 3. Blanko
Blanko untuk serat tidak larut dan serat larut diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). Perhitungan: % serat tidak larut (IDF) = (D1-I1- B1)
x 100%
Berat sampel % serat larut (SDF) = (D2-I2- B2)
x 100%
Berat sampel % total serat (TDF) = (SDF+IDF) (%) Keterangan: D = Berat setelah pengeringan (g) I = Berat setelah pengabuan (g) B = Berat blanko bebas abu (g) = (D-I) blanko e. Daya Cerna Pati In Vitro (Muchtadi et al.,1992 yang Dimodifikasi)
Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M pH 7. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1,6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg masing-masing dalam 10 ml aquades. Sampel (tanpa lemak) dibuat suspensi dalam aquades (1 %), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90°C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M, pH 7. Lalu diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan enzim α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 30 menit.
38
Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit. Warna merah oranye yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Nafosfat 0.1 M pH 7. %DC pati = (kadar maltosa sampel-kadar maltosa blanko sampel)
x100%
(kadar maltosa pati murni-kadar maltosa blanko pati murni)
4. Analisis Indeks Glikemik (El, 1999)
Pengujian Indeks glikemik dilakukan dengan menggunakan darah manusia sebagai subjek penelitian. Panelis yang digunakan ialah individu sehat, tidak menderita diabetes dan memiliki IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan kisaran normal (18-25). Panelis yang digunakan berjumlah 16 orang (8 pria dan 8 wanita). Selanjutnya panelis dibagi menjadi dua grup masing-masing 8 orang (4 pria dan 4 wanita) untuk menguji kedua sampel yang berbeda. Setiap grup mempunyai standar glukosa masing-masing. Setiap porsi sampel yang akan ditentukan IG-nya (mengandung 50 g karbohidrat) diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama 10 jam. Pagi harinya, sampel darah sebanyak 20 μL (finger-prick
cappillary
blood
samples
method)
diambil
dengan
menggunakan alat Glukometer One Touch Ultra (Johnson and Johnson) untuk menentukan kadar glukosa darah puasa (pengukuran menit ke-0) dan selama dua jam pasca-pemberian sampel, setiap 30 menit selama 2 jam setiap panelis diambil lagi darahnya untuk menentukan kadar glukosa darahnya (pengukuran menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120). Pada hari yang berbeda, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa
39
murni (sebagai pangan acuan) kepada panelis. Kemudian dibuat kurva respon glukosa darahnya dan IG dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva respon glukosa darah setelah mengkonsumsi sampel yang mengandung 50 g karbohidrat dan standar dikalikan dengan 100. D. RANCANGAN PERCOBAAN
Penentuan formula produk terbaik dalam penelitian ini digunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial, dimana faktor I adalah jumlah tepung ubi jalar (per 100 gram tepung) dan faktor II adalah jumlah gula (per 100 gram tepung).
Bolu kukus
Faktor I : Jumlah tepung ubi jalar (T), tarafnya terdiri dari: T1 : 20 gram T2 : 30 gram T3 : 40 gram Faktor II : Jumlah gula (G), tarafnya terdiri dari: G1 : 70 gram G 2 :80 gram
Brownies kukus
Faktor I : Jumlah tepung ubi jalar (T), tarafnya terdiri dari: T1 : 80 gram T2 : 90 gram T3 :100 gram Faktor II : Jumlah gula (G), tarafnya terdiri dari: G1 : 80 gram G2 : 100 gram
Kue talam
Faktor I : Jumlah tepung ubi jalar (T), tarafnya terdiri dari: T1 : 50 gram T2 : 70 gram T3 : 90 gram
40
Faktor II : Jumlah gula (G), tarafnya terdiri dari: G1 : 40 gram G2 : 50 gram Model matematis untuk rancangan percobaan acak lengkap dengan 2 faktor sebagai berikut: Yijk = μ + Ti + Gj + (TG)ij + Σijk
Dimana: Yijk
: variabel respon karena kombinasi perlakuan T ke i, G ke j dan ulangan ke-k (k = 1, 2)
μ
: pengaruh rata-rata umum
Ti
: pengaruh faktor T pada taraf ke-i (i = 1, 2)
Gj
: pengaruh faktor G pada taraf ke-j (j = 1, 2)
(TG)ij : pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor T dengan taraf ke-j faktor G Σijk
: pengaruh kesalahan (galat) percobaan pada ulangan ke-k (k = 1, 2)
41
Lampiran 1. Lembar Penilaian Uji Organoleptik Produk Olahan Kukus FORM UJI HEDONIK Produk Nama panelis
: :
Telp/HP : KUESIONER*
1. 2. 3.
Apakah Anda pernah mengkonsumsi produk ini? Pernah (lanjutkan ke nomor 2) / tidak pernah (jangan lanjutkan) Kapan Anda terakhir mengkonsumsi produk ini? 1/ 2-3/ >3 bulan yang lalu Apakah Anda menyukai produk ini? Ya/tidak
*) Coret yang tidak perlu UJI RATING Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 2. Pada kolom respon, berikan penilaian Anda berdasarkan tingkat kesukaan dengan memberikan check list (√). 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 5. Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan. Respon
372
374
Kode sampel 799 461
276
486
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Komentar :
__________________________________________________________ __________________________________________________________ __________________________________________________________ UJI RANKING
Instruksi : 1. Jangan lupa netralkan lidah anda sebelum mencicipi sampel. 2. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Bandingkanlah tingkat kesukaan Anda terhadap setiap sampel. 5. Urutkan ranking sampel berdasarkan tingkat kesukaan Anda, jangan ada angka ranking yang sama. Kode Sampel Urutan ranking Note
372
374
799
461
276
486
: Urutan Ranking (1-6) Ranking 1 (untuk sampel yang paling Anda sukai), Ranking 6 (untuk sampel yang paling tidak Anda sukai)
Komentar :
Apa Alasan Anda Memilih? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ ☺ Terima kasih ☺
87
Lampiran 2. Hasil Penilaian Organoleptik Overall Bolu Kukus Ubi Jalar
Ranking F1 F2 F3 F4 F5 F6 1 4 3 2 6 5 1 2 4 2 5 3 6 1 3 6 5 3 4 2 1 4 5 1 2 6 4 3 5 5 1 4 6 3 2 6 5 3 4 6 1 2 7 5 4 3 6 1 2 8 5 1 6 3 4 2 9 5 1 2 4 6 3 10 2 1 5 4 6 3 11 2 6 4 3 5 1 12 6 5 4 1 3 2 13 5 2 1 4 3 6 14 1 2 4 3 6 5 15 6 1 2 3 5 4 16 2 1 3 4 6 5 17 2 1 5 3 6 4 18 5 1 6 2 3 4 19 6 4 5 3 2 1 20 2 5 4 1 6 3 21 5 1 2 4 3 6 22 6 1 2 5 3 4 23 3 1 4 2 6 5 24 4 2 6 1 3 5 25 5 4 3 1 6 2 26 2 3 1 4 5 6 27 6 4 2 5 3 1 28 4 2 3 5 6 1 29 2 1 4 3 6 5 30 6 3 4 2 1 5 Jumlah 133 169 146 149 141 151 126 72 105 107 125 95 Rata-rata 4,43 5,63 4,87 4,97 4,70 5,03 4,20 2,40 3,50 3,57 4,17 3,17 Keterangan: Panelis
F1 5 2 3 4 4 5 5 3 5 7 6 3 6 6 3 6 5 3 6 5 5 2 5 6 4 4 3 6 5 1
F2 6 6 4 5 6 6 6 5 6 7 5 5 6 6 7 6 6 6 5 6 6 7 6 6 4 6 4 6 6 3
Hedonik F3 F4 6 3 2 2 5 4 6 3 4 5 6 5 6 5 2 5 6 6 5 6 5 5 5 6 6 6 5 5 6 5 6 6 6 6 3 6 5 6 5 6 3 3 6 3 5 6 4 7 5 6 5 6 5 4 6 5 5 5 2 3
F5 3 2 5 4 6 7 7 4 3 5 5 5 6 2 3 6 6 5 6 4 4 5 5 6 4 5 5 4 4 5
F6 6 6 6 5 6 7 6 4 6 6 6 6 5 3 4 6 5 4 6 5 2 3 5 5 5 5 6 6 4 2
Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5; dan F6 = Formula 6. Uji hedonik: 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai 88
Lampiran 3. Hasil Penilaian Organoleptik Overall Brownies Kukus Ubi Jalar
Hedonik Ranking F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 1 5 6 4 6 4 3 3 2 4 1 5 6 2 4 2 3 6 4 4 4 6 5 1 2 3 3 5 6 3 5 6 5 5 1 6 2 4 3 4 4 4 5 6 5 5 5 6 2 1 4 3 5 5 5 3 3 6 6 4 3 5 6 1 2 6 6 5 4 5 5 4 1 4 5 3 2 6 7 6 6 6 5 7 5 4 3 2 5 1 6 8 4 4 4 6 6 4 6 3 5 1 2 4 9 6 6 6 6 6 6 4 3 1 6 5 2 10 4 5 6 5 6 6 6 3 2 5 4 1 11 6 4 3 7 6 5 3 5 6 1 2 4 12 6 4 6 7 7 6 5 6 4 1 2 3 13 5 7 7 6 7 7 6 1 4 3 5 2 14 6 6 6 4 4 5 1 4 3 6 5 2 15 5 7 5 6 7 6 5 1 6 4 2 3 16 4 4 6 3 2 4 2 6 1 4 5 3 17 4 5 3 5 2 4 3 2 5 1 6 4 18 7 6 6 5 6 5 1 2 3 5 4 6 19 4 5 3 5 5 4 5 1 6 3 2 4 20 5 5 6 6 5 5 6 4 2 1 5 3 21 6 6 5 5 6 6 1 2 6 5 3 4 22 6 5 6 7 6 6 5 6 2 1 4 3 23 6 7 6 7 6 6 6 2 4 1 3 5 24 5 7 5 6 6 6 5 1 6 2 3 4 25 3 5 3 5 4 4 5 1 6 2 4 3 26 6 6 5 6 6 6 1 2 6 5 4 3 27 7 7 6 7 6 7 2 1 6 4 3 5 28 4 5 5 5 6 5 6 2 5 1 3 4 29 5 7 4 6 4 5 5 1 6 2 4 3 30 7 7 6 7 6 7 4 1 5 2 6 3 Jumlah 156 164 146 168 162 157 119 85 129 85 105 107 Rata-rata 5,20 5,47 4,87 5,60 5,40 5,23 3,97 2,83 4,30 2,83 3,50 3,57 Keterangan: Panelis
Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5; dan F6 = Formula 6. Uji hedonik: 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai 89
Lampiran 4. Hasil Penilaian Organoleptik Overall Kue Talam Ubi Jalar
Hedonik Ranking F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 1 5 3 6 5 5 6 4 6 1 3 5 2 2 6 4 3 5 2 2 1 3 4 2 5 6 3 5 7 6 3 6 6 5 1 2 6 4 3 4 4 3 3 5 4 3 2 4 6 1 5 3 5 5 3 4 6 2 6 3 5 4 2 6 1 6 5 4 7 6 5 7 4 5 2 6 1 3 7 4 5 5 6 4 5 5 4 2 1 6 3 8 5 6 5 5 6 5 5 2 4 6 1 3 9 6 6 5 5 5 5 3 1 2 6 5 4 10 6 5 6 3 3 3 1 3 2 5 4 6 11 5 4 3 6 5 5 2 5 6 1 4 3 12 4 5 4 4 3 5 3 2 4 5 6 1 13 6 5 7 4 6 6 3 5 1 6 2 4 14 5 6 6 7 5 5 4 2 3 1 6 5 15 5 5 5 5 6 5 4 3 5 1 6 2 16 6 5 3 6 6 5 1 5 6 3 2 4 17 6 5 6 6 6 5 2 5 1 3 4 6 18 6 5 5 7 7 6 3 6 5 1 2 4 19 4 3 3 5 5 6 4 5 6 2 3 1 20 7 6 7 7 6 6 3 5 1 2 6 4 21 6 5 6 5 4 3 2 4 1 3 5 6 22 5 5 6 6 6 4 5 4 2 1 3 6 23 5 7 5 5 4 4 2 1 3 4 5 6 24 5 3 6 5 3 6 3 5 2 4 6 1 25 6 6 6 6 5 5 3 5 4 1 6 2 26 5 4 5 5 5 5 3 6 1 2 4 5 27 5 4 6 7 6 5 4 6 2 1 3 5 28 6 6 5 6 4 5 5 1 4 2 3 6 29 3 3 3 3 5 5 6 3 4 5 2 1 30 5 6 6 5 5 5 6 2 1 4 3 5 Jumlah 156 144 153 159 144 149 101 114 91 90 123 111 Rata-rata 5,20 4,80 5,10 5,30 4,80 4,97 3,37 3,80 3,03 3,00 4,10 3,70 Keterangan: Panelis
Sampel: F1 = Formula 1; F2 = Formula 2; F3 = Formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5; dan F6 = Formula 6. Uji hedonik: 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka Uji ranking: 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai 90
Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Bolu Kukus Ubi Jalar
1. Rating Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Type III Sum of Squares
Source Model
df
Mean Square
F
Sig.
4530,128(a)
35
129,432
115,229
,000
Panelis
115,161
29
3,971
3,535
,000
Sampel
24,294
5
4,859
4,326
,001
162,872
145
1,123
Error Total
4693,000 180 a R Squared = ,965 (Adjusted R Squared = ,957)
Hasil Uji Duncan Skor Duncan Subset Sampel 1
N
1
2
30
4,43
5
30
4,70
3
30
4,87
4
30
4,97
6
30
5,03
2
30
5,63
Sig.
,051
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,123. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
2. Ranking Ranks Mean Rank skor_1
4,20
skor_2
2,40
skor_3
3,50
skor_4
3,57
skor_5
4,17
skor_6
3,17
Test Statistics(a) N Chi-Square df Asymp. Sig.
30 19,371 5 ,002
a Friedman Test
91
Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam Brownies Kukus Ubi Jalar
1. Rating Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 5178.061a 122.561 9.894 114.939 5293.000
df 35 29 5 145 180
Mean Square 147.945 4.226 1.979 .793
F 186.638 5.332 2.496
Sig. .000 .000 .033
a. R Squared = .978 (Adjusted R Squared = .973)
Hasil Uji Duncan SKOR a,b
Duncan
Subset SAMPEL 3 1 6 5 2 4 Sig.
N
1 30 30 30 30 30 30
2 4.87 5.20 5.23
5.20 5.23 5.40 5.47 5.60 .135 .125 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .793. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.
2. Ranking Ranks SKOR_1 SKOR_2 SKOR_3 SKOR_4 SKOR_5 SKOR_6
Mean Rank 3.97 2.83 4.30 2.83 3.50 3.57
Test Statisticsa N Chi-Square df Asymp. Sig.
30 15.010 5 .010
a. Friedman Test
92
Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Kue Talam Ubi Jalar
1. Rating Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total
Type III Sum of Squares 4641.994a 85.361 6.494 145.006 4787.000
df 35 29 5 145 180
Mean Square 132.628 2.943 1.299 1.000
F 132.623 2.943 1.299
Sig. .000 .000 .268
a. R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .962)
2. Ranking Ranks
SKOR-1
Mean Rank 3.37
SKOR-2
3.80
SKOR-3
3.03
SKOR-4
3.00
SKOR-5
4.10
SKOR-6
3.70
Test Statisticsa N
30
Chi-Square
8.362
df
5
Asymp. Sig.
.037
a. Friedman Test
93
Lampiran 8. Rekapitulasi Hasil Analisis Fisiko-Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10
No 1 2 3
4 5
Parameter Densitas kamba (g/ml) Densitas padat (g/ml) Kelarutan dalam air (%) Warna : L a. b. ho Aw Suhu (oC) Suhu awal gelatinisasi (oC) Waktu awal gelatinisasi (menit) Suhu puncak gelatinisasi (oC) Waktu puncak gelatinisasi (menit) Viskositas (BU)
Sampel Tepung ubi jalar
Kadar air (%b/b) 1 2 rataan 6.04 5.22 5.63
Ulangan 1 0.474 0.644 20.51 63.70 + 5.72 + 7.26 51.9 0.372 29.4 75.0 30.0 93.0 42.0 540
Ulangan 2 0.491 0.649 18.90 63.29 + 5.29 + 7.55 55.1 0.329 29.9 75.6 30.4 94.2 42.8 530
Kadar abu (%b/b) 1 2 rataan 1.94 1.78 1.86
Rataan 0.482 0.647 19.71 63.50 + 5.50 + 7.40 53.5 0.350 29.6 75.3 30.2 93.6 42.4 535
Protein (%b/b) 1 2 rataan 1.77 1.95 1.86
Lemak (%b/b) 1 2 rataan 0.95 0.98 0.97
Karbohidrat (%b/b) 1 2 rataan 89.30 90.07 89.70
94
Lampiran 9. Rekapitulasi Hasil Analisis Kimia Produk Olahan Kukus Ubi Jalar
Sampel Bolu kukus Brownies kukus Kue talam Sampel
Bolu kukus Brownies kukus Kue talam
Kadar air (%bb) 1 2 rataan 39.60 38.16 38.88 22.90 21.99 22.44 55.98 52.82 54.40
Kadar abu (%bb) 1 2 rataan 0.39 0.43 0.41 1.92 1.75 1.83 0.68 0.69 0.68
Daya cerna pati (%)
Kadar amilosa (%)
1 2 rataan 29.38 27.59 28.48 20.97 21.12 21.05 39.94 41.70 40.82
1 14.57 7.33 15.07
2 rataan 12.53 13.55 7.75 7.54 14.12 14.59
Protein (%bb) 1 2 rataan 4.88 5.00 4.93 5.11 5.38 5.24 1.53 1.43 1.48 Serat pangan tidak larut (%) 1 2 rataan 1.24 1.43 1.33 2.21 2.41 2.31 1.28 1.45 1.36
Lemak (%bb) 1 2 rataan 1.44 1.46 1.45 17.63 19.90 18.77 4.78 4.13 4.45
Karbohidrat (%bb) 1 2 rataan 53.69 54.95 54.33 52.43 50.98 51.71 37.03 40.93 38.98
Serat pangan larut (%)
Serat pangan total (%)
1 2.78 3.57 4.69
1 4.02 5.78 5.96
2 2.76 3.42 5.30
rataan 2.77 3.50 4.99
2 4.19 5.84 6.76
Rataan 4.10 5.81 6.36
95
Lampiran 10. Hasil Pengukuran Amilograf
Viskositas puncak
Suhu dan waktu gelatinisasi
Suhu dan waktu gelatinisasi puncak
Ulangan 1
Viskositas puncak
Suhu dan waktu gelatinisasi
Suhu dan waktu gelatinisasi puncak
Ulangan 2
96
Lampiran 11. Hasil Analisis Indeks Glikemik
Glukosa Waktu
Panelis 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Bolu Kukus
30
60
90
120
Luas
Indeks
Waktu 0
30
Luas
Glikemik
60
90
120
89 109 136 117 122 3345 90 138 100
93
90
1830
54,71
79 128 109 107
99
92
1382
40,23
98 101
2820
42,15
94 3435 95 131 102
87 146 161 159 123 6690 87 142 108
99 107
82
1500
51,02
90 133 131 123 100 3660 82 120
96
93
83
1905
52,05
90 149 149 123 117 4935 83 130
82
87
80 1466,5
29,72
82 122 115 101
94 2940 92 123
91 144 122 106 118 3375 95 110 123
97 100
1425
42,22
82 166 164 136 97 6825 78 140 119 Indeks Glikemik Total
97
3885
56,92 46±9
Glukosa
Brownies Kukus
Waktu
Panelis 0
30
60
90
93
120
Luas
Indeks
Waktu 0
30
60
90
120
Luas
Glikemik
1
88 148 143 124 108
4830
86
98
91
98
94
990
20,50
2
88 147 142
63
3309
82
97
100
97
80
1410
42,61
3
86 185 147 116 119
6195
88 100 101 116 108
1890
30,51
4
86 125
105
82
5
86 138 165 160
96
6
97
83
93
92
351,5
17,42
6300
78 111 109 101
83
2685
42,62
86 148 150 117 102
4950
78
79
89
96
96
1170
23,64
7
89 119 134 121 101
3390
84
91
91
94
100
960
28,32
8
84 138 109
76 2207,5 89 96 Indeks Glikemik Total
92
99
82
535
24,24 29±9
65
2017,75 85
86
84
97