Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
PELUANG DAN TANTANGAN OTONOMI DAERAH: (Studi Awal Tentang Pemberdayaan Peran Rukun Tetangga, Rukun Warga dan Dewan Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta) L a u n a Abstrak Kewenangan, kemandirian, dan kreatifitas yang bersumber dari inisiatif dan prakarsa mandiri masyarakat adalah kata kunci dari program pemberdayaan masyarakat (baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya) di era otonomi daerah. Guna efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi DKI Jakarta, pemerintah telah sejak awal menerbitkan UU No. 34/1999 tentang Otonomi Khusus DKI Jakarta, dan Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan aturan pendukungnya, dalam bentuk SK Gubernur DKI Jakarta No. 36/2001 tentang Pedoman RT dan RW di Provinsi DK I Jakarta dan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 5/ 2000 tentang Dewan Kelurahan. Kedua lembaga ini diharapkan dapat menjadi institusi alternatif yang mampu berperan sebagai pelaku aktif, baik dalam kapasitasnya selaku aspirator, motivator, mediator, wadah perencana dan sosilasiasi, serta lembaga kontrol bagi jajaran Pemprov DKI Jakarta. Namun dalam dataran konsepsi maupun realita, masih terlihat berbagai kelemahan yang bersifat prinsipil, baik dari dari segi pendefinisian istilah maupun implementasinya. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi kendala baru dalam implementasi otonomi dan pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sesungguhnya; atau instrumen kontrol berwajah baru guna mengendalikan masyarakat sipil (civil society) yang berciri egaliter, demokratis, dan berkeadilan.
PENDAHULUAN Kita akan mengawali bahasan ini dengan mencoba mengingat kembali apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Jika kita membuka Pembukaan UUD 1945, sebagai dasar filosofis yang meletakkan tujuan dan cita-cita kemerdekaan NKRI yang kita cintai ini, maka tujuan utama kita adalah (Amandemen UUD 1945, 1999:7): “Mengantarkan rakyat ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur …. memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Dalam konteks memajukan ‘kesejahteraan umum’, seperti pendidikan dan kesejahteraan rakyat, maka pasal 31 UUD 1945 (bab XIII tentang Pendidikan) menyebutkan: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; sementara pasal 33 (bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial) menyebutkan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara; (3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika tujuan di atas telah begitu gamblang menunjukkan hak pendidikan dan 30
kesejahteraan hidup rakyat, maka pertanyaan selanjutnya: siapa yang berwenang merumuskan dan melaksanakan amanat konsitusi itu? Menurut UUD 1945, penyusun dan pelaksana konstitusi adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara, yang dilaksanakan oleh Presiden (selaku kepala pemerintahan) dan Dewan Perwakilan Rakyat (selaku badan perwakilan rakyat). Seperti tertera dalam bab III tentang ‘Kekuasaan Pemerintahan Negara’ pasal 4 ayat (1) yang meyebutkan: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sementara pasal 5 ayat (1) menyebutkan: Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan: Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (lihat Amandemen UUD 1945, 1999: 9). Menggarisbawahi filosofi berpikir konstitusi kita di atas, maka terlihat pentingnya peran pemerintah (negara) dalam mewujudkan peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berkesejahteraan, berkeadilan, dan demokratis. Dalam kaitan ini, Ryaas Rasyid (1997:3-9) bersetuju terhadap pentingnya peran negara selaku agregator dan aspirator yang bertugas menyerap sedalam-dalamnya berbagai aspirasi dan harapan yang tumbuh dari dalam diri masyarakatnya.
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
Sebangun dengan pandangan Rasyid, pendekatan sistem politik memandang bahwa peran sentral negara dalam konteks relasinya dengan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat secara empirik selalu mengandung kontradiksi akibat kelangkaan atau keterbatasan nilai atau sumber-sumber ‘politis’ atau ‘ekonomis’ (seperti distribusi atas kesejahteraan, keadilan, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, dan seterusnya) sehingga benturan/konflik potensial terjadi dalam proses penentuan distribusi atau alokasi atas nilai dan sumber-sumber yang langka tadi yang berasal dari pemerintah (negara) kepada masing-masing kelompok yang ada dalam masyarakatnya (Ramlan Surbakti, 1992:8-9). Guna me-minimaze potensi konflik dan kesenjangan tersebut, pemerintah (negara) senantiasa berkeinginan untuk mendorong masyarakatnya agar mandiri dan mampu berkreasi maksimal, bahkan lebih dari itu masyarakat yang mampu menyerap nilai-nilai demokrasi secara konkret melalui pengembangan sistem politik dan pemerintahan demokratis yang bersandar pada upaya pe-mandiri-an masyarakat melalui ‘penyerahan berbagai urusan’ yang tadinya bersifat an sich negara menjadi bersifat social autonomous secara bertahap (Adi Suryadi Cullla, 2002:13). Sebagaimana tercermin dalam realitas politik Orde Baru, selalu saja muncul kekuatan masyarakat yang menolak, dan melakukan resistensi terhadap negara. Melalui pendekatan konsep otonomi dan pemberdayaan – seperti yang menjadi tujuan tulisan ini, dengan kasus di Provinsi DKI Jakarta –perhatian pada aspek dinamika yang terjadi di level masyarakat, di luar domain negara, lebih mendapat tekanan dan perhatian tersendiri. PEMBAHASAN Wacana Otonomi Daerah Otonomi daerah pada prinsipsipnya adalah ‘penyerahan’ atau ‘pelimpahan’ kewenangan pengelolaan dari pemerintah pusat kepada struktur pemerintahan yang ada dibawahnya, terutama kepada pemerintah daerah administratif tingkat II atau kabupaten/kota. Tujuan utama dibentuknya kabupaten/kota dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan peningkatan kesejahteraan warga masyarakat yang hidup di wilayah kabupaten/kota dengan dukungan kelembagaan pemerintahan, aparatur birokrasi, kepemimpinan, dan
pembiayaan pemerintahan kabupaten/kota yang efektif (M. Ryaas Rasyid, 1997:137138). Pada aras yang lain, fungsi pemekaran daerah tingkat II juga sesuai dengan tuntutan global saat ini yang makin memberikan tempat penting pada peran masyarakat lokal sambil merumuskan kembali peran pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam konteks desentralisasi dan/atau otonomi agar tidak overlap (Miftah Thoha, 2000:80). Seperti diamanatkan UU Otonomi Daerah No. 22/1999, pemberian kewenangan yang lebih luas kepada pemerintahan daerah pada hakekatnya haruslah selaras dengan pembesaran peran dan fungsi yang diberikan kepada kepala daerah. Secara garis besar, pemberian kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah/kepala daerah meliputi tiga kebijakan strategis : (1) Pengurangan campur tangan langsung dari aparatur pusat (departemen teknis) dalam pengelolaan sejumlah urusan di daerah tingkat II. Prinsip ini sejalan dengan asas desentralisasi, yang terwujud dalam kebijaksanaan penghapusan sejumlah besar kantor perwakilan departemen teknis yang beroperasi langsung di wilayah kabupaten/kota daerah tingkat II; (2) Pemberian keleluasaan yang lebih kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan-urusan daerah, yang sebelumnya ditangani langsung oleh aparatur pemerintah pusat, dengan harapan berjalan secara lebih efektif dan optimal. Ini terwujud dalam kebijakan pembentukan dinas-dinas daerah yang baru untuk menampung fungsi-fungsi yang sebelumnya diemban oleh kantor-kantor departemen (Kandep); (3) Pembentukan dinasdinas baru itu membawa implikasi pada kebijakan lebih lanjut berupa keharusan bagi pemerintah pusat untuk menyertakan pembiayaan, peralatan dan personil guna mendukung beroperasinya dinas-dinas baru di daerah tingkat II tersebut melalui instrumen dana alokasi umum (DAU). (Rasyid, 1997:164) Sejalan dengan tujuan di atas, pemberian wewenang secara lebih luas kepada pemerintah daerah, khususnya daerah tingkat II, juga dimaksudkan agar segala kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi masyarakat daerah dapat terlayani secara lebih maksimal dan optimal serta menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk dapat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya guna mengejar
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
31
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
kemajuan bersama. Karena pada dasarnya, tugas pokok pemerintahan mencakup bidangbidang pelayanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pemiliharaan hubungan yang harmonis di antara warga masyarakat, pekerjaan umum dan layanan publik, jamiman bagi diterapkannya perlakuan yang adil kepada semua warga masyarakat, peningkatan kesejahteraan sosial, penerapan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, serta memelihara sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Rasyid, 1997:116). Untuk mewujudkan pemerintahan yang amanah dan berakhlak (good governance), pengembangan organisasi pemerintahan di tingkat kabupaten/kota diarahkan untuk menjamin optimalisasi fungsi dan efektifitas pencapaian tujuan pemerintahan daerah. Salah satu fungsi penting penting yang harus dilakukan dalam rangka optimalisasi fungsi dan pencapaian tujuan tesebut adalah melalui penataan organisasi pemerintahan dan peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan daerah yang ada (Halim, 2004:48). Sesuai dengan tuntutan demokratisasi, semangat otonomi daerah serta orientasi pada pelayanan masyarakat yang efektif (public servant) dan berbiaya rendah (low cost), maka fungsi pemerintahan kabupaten/kota harus ditujukan pada upaya pemberdayaan masyarakat kabupaten/kota melalui penciptaan berbagai rangsangan dan dorongan baru kepada masyarakat yang hidup di wilayah tersebut agar mereka mampu melahirkan berbagai kreatifitas dan prakarsa yang mandiri guna mencapai kemajuan bersama. Dalam rangka penguatan tata pemerintahan daerah yang dapat berperan secara efektif, fungsional, dan integral, maka perlu dilakukan berbagai penataan organisasi dan sumberdaya pemerintah daerah yang diarahkan pada aspek pengembangan sumberdaya manusia. Termasuk aspek proses, sarana dan prasarana yang mencakup empat hal penting, yaitu : (1) Sumberdaya manusia, kualitas aparatur, dan keselarasan stakeholder dalam berpikir dan bertindak dalam proses pembangunan merupakan kunci sukses pengelolaan pemerintahan kota yang lebih baik. Untuk itu pembangunan SDM tidak hanya ditujukan bagi aparatur pemerintahan, namun juga bagi stakeholder utama, yaitu DPRD dan masyarakat. Untuk itu akan dijalankan upaya-upaya pembangunan SDM (baik di level aparatur pemerintah daerah, 32
DPRD, dan masyarakat), yang diharapkan akan meningkatkan kinerja pemerintah dalam arti luas sehingga tercipta pemerintah yang bersih dan amanah (good and clean governance); (2) Proses, untuk dapat menghasilkan layanan prima dengan tetap mengembangkan hubungan baik dengan pelanggan (komersial dan publik), maka perlu dilakukan restrukturisasi organisasi dan sistem manajemen kepemerintahan, termasuk menjalankan prinsip-prinsip good governancen, seperti transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan sumber-sumber ekonomi daerah; (3) Sarana dan prasara untuk dapat menghasilkan layanan yang optimal bagi masyarakat maupun kalangan usaha, maka dibutuhkan sarana dan prasarana yang handal sehingga dapat terpenuhinya kualitas layanan yang bermutu, tepat waktu, dengan biaya murah, serta dengan tetap menjaga terjalinnya komunkasi dua arah yang efektif; (4) Mewujudkan pembangunan yang ramah lingkungan, yang akan dilaksanakan melalui program pengendalian pencemaran lingkungan dan peningkatan partisipasi masyarakat dunia usaha dan industri dalam pemeliharaan lingkungan. (Halim, 2004:62-63): Guna mengantisipasi berbagai perluasan peran dan efektifitas fungsi pemerintah daerah, pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk melakukan berbagai penatanan kelembagaan organisasi pemerintah daerah melalui pengadaan berbagai badan, kantor dan dinas yang sesuai dengan kebutuhan daerah, pengadaan tenaga kepemimpinan, manajerial dan staf yang rasional sesuai dengan kebutuhan struktur dan fungsi organisasi pemerintah guna mengantisipasi kebutuhan pelayanan masyarakat, peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan melalui jalur pendidikan formal maupun kedinasan yang ditujukan bagi tenaga kepemimpinan, tenaga manajerial dan staf yang diharapkan akan berperan sebagai tenaga ahli (expert) yang kompeten dibidangnya sesuai dengan kebutuhan organisasi. Sebagai salah satu institusi penting (stakeholder) dalam menentukan kinerja pemerintah daerah, DPRD tingkat II yang fungsi utamanya adalah melakukan proses pengawasan (fungsi kontrol), pembuatan peraturan dan perundangan (fungsi legislasi) serta anggaran (fungsi budgeting) pada praktiknya harus dibarengi dengan kepemilikan peran dan kewenangan yang lebih
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
luas selaras dengan pembesaran peran dan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah/kepala daerah seperti diamanatkan oleh UU Otonomi Daerah No. 22/1999 atau UU Otonomi Daerah No. 32/2004 (revisi dari UU otonomi daerah No. 22/1999). Tantangan serius yang dihadapi para ‘wakil rakyat’ di DPRD kabupaten/kota hasil Pemilu 2004 adalah bagaimana menjabarkan secara lebih definitif dan operasional konsep otonomi daerah yang sesuai dengan aspirasi, persepsi dan kepentingan rakyat daerah; bukan ‘penafsiran’ versi pemerintah pusat seperti yang terjadi selama ini. Salah satu hal yang menarik dari definisi konsep otonomi versi pemerintah pusat adalah penyeragaman titik berat otonomi pada kabupaten/kota (Dati II) tanpa memperhitungkan kemampuan serta potensi setiap daerah yang berbeda. Hal lain yang juga menarik adalah kenyataan bahwa sampai detik ini hanya terdapat satu UU pemerintah daerah yang menjadi payung hukum untuk mengatur berbagai daerah/wilayah yang amat beragam. Akibatnya, paket UU otonomi yang baru –UU No. 32/2004 –- seolah-oleh menjadi satusatunya sumber kebenaran dalam menentukan arah dan tujuan otonomi bagi daerah. Kondisi ini jelas mencerminkan kecenderungan pemerintah pusat untuk menyederhanakan kenyataan persoalan otonomi daerah yang kompleks dan unik; atau bahkan kondisi di atas bisa dipersepsi oleh ‘orang daerah’ sebagai bentuk sentralisasi dan penyeragaman baru atas nama desentralisasi atau otonomi itu sendiri. Dalam kaitan itu, diperlukan wacana atau paradigma baru terkait dengan definisi otonomi daerah yang harus dirumuskan secara lebih cerdas dan otentik oleh DPRD dan pemerintah kabupaten/kota. Jika benar bahwa tujuan akhir dari tuntutan reformasi adalah tercapainya demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka arah kebijakan otonomi daerah di masa depan harus ditujukan bagi pencapaian cita-cita demokratisasi. Sebab otonomi daerah belum tentu menjanjikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat daerah apabila agenda demokratisasi yang menjadi substansi pemberdayaan politik rakyat diabaikan didalamnya. Paradigma baru otonomi daerah ini bertolak dari asumsi bahwa cita-cita demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi
seluruh warga bangsa tidak semata-mata ditentukan oleh ‘bentuk negara’ yang pada akhirnya berujung pada polemik antara statum ‘negara kesatuan’ versus ‘negara federal’. Sistem politik yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan yang sehat dan fair, adanya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM), serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kerakyatan, jauh lebih penting dari sekedar polemik tentang bentuk negara di atas. Konsekuensi logis dari cara pandang di atas menuntut badan legislatif di daerah tingkat II memiliki cara pandang otonomi baru yang relevan dengan tuntutan demokrasi, keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat daerah - sebagai bagian integral dari agenda demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat di tingkat nasional. Perspektif baru otonomi daerah tersebut paling tidak harus mencerminkan visi berikut: Pertama, otonomi daerah harus dipandang sebagai instrumen desentralisasi-demokratisasi sebagai ikhtiar untuk mempertahankan keutuhan dan keberagaman bangsa kita dalam kerangka bhinneka tunggal ika. Dalam kaitan itu, otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan sebuah mekanisme demokratis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh unsur masyarakat daerah tanpa terkecuali. Kedua, otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi bagi pemerintah daerah dalam arti wilayah/teritori tertentu di tingkat lokal. Kalaupun pada akhirnya pewujud implementasi otonomi daerah adalah pemerintah daerah, kewenangan itu diperoleh karena pemerintah daerah dipilih melalui mekanisme Pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Argumen yang mendasari pemikiran ini adalah substansi demokrasi dan/atau demokratisasi itu sendiri yang meniscayakan terwujudnya cita-cita kedaulatan rakyat yang mayoritas berada di daerah-daerah. Ketiga, otonomi daerah merupakan hak rakyat daerah yang sudah wajib mencantumkan agenda demokrasi di dalamnya. Dengan begitu, otonomi daerah tidak bisa ditafsirkan sekedar sebatas ‘penyerahan urusan’ atau ‘pelimpahan wewenang’ dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan dan
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
33
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
pelimpahan kewenangan hanyalah instrumen administratif bagi implementasi hak daerah dalam mengurus rumah tangganya secara lebih luas, mandiri dan bertanggung jawab. Keempat, pemerintah daerah tidak bisa lagi dilihat sebagai subordinasi pemerintah pusat. Hubungan pusat daerah harus dipandang bersifat komplementer bagi keduanya, dalam arti saling membutuhkan secara timbal-balik. Ini berarti bahwa kebijakan ekonomi bagi setiap daerah harus dipandang sebagai ‘perjanjian’ atau ‘kontrak’ antara pusat-daerah, yang cakupannya didasarkan pada hasil dialog dan musyawarah antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh yang mewakili kepentingan rakyat daerah. Kelima, mengingat begitu beragamnya potensi dan kemampuan berbagai daerah yang ada, otonomi daerah yang bersifat fleksibel atau kondisional bisa diterapkan di tingkat kabupaten, kota, provinsi atau gabunguan dari beberapa kabupaten/kota di dalam provinsi yang sama. Ini berarti perlu dibuka peluang bagi daerah, melalui wakil-wakilnya untuk memilih dan menentukan, apakah mengambil hak berotonomi pada tingkat kabupaten/kota, provinsi atau gabungan beberap kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Dengan begitu, perdebatan tentang titik berat otonomi daerah menjadi tidak relevan. Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam perspektif ilmu politik, pemerintah selaku pelaksana fungsi kekuasaan negara (yang secara teknis-operasional dikerjakan oleh aparatur birokrasi), secara teoritiskonseptual berkewajiban melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti : (1) Fungsi Essensial (essential function), yakni fungsi yang berkaitan langsung dengan masalah pemeliharaan kedaulatan dan penyelenggaraan pemerintahan negara, seperti pemeliharaan angkatan bersenjata, birokrasipemerintahan, badan-badan peradilan dan hukum, hubungan dengan provinsi/pemerintah daerah, hubungan luar negeri, ekonomi dan keuangan negara, keamanan dan ketertiban masyarakat, dan sebagainya; (2) Fungsi Pelayanan (service function), yakni fungsi yang berkaitan langsung dengan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, atau penyediaan jasa dari negara kepada rakyatnya,
34
seperti perlindungan dan pemiliharaan fakir miskin, yatim-piatu, dan orang jompo, pembangunan sarana pendidikan, pemukiman, transportasi, dan tempat ibadah, serta jaminan atas kesehatan, lapangan pekerjaan, pelayanan publik, serta jaminan yang bersifat sosial lainnya; dan (3) Fungsi Perniagaan (business function), yakni fungsi usaha negara/ pemerintah, seperti membangun jaringan usaha pelayanan air bersih, listrik, telepon, pos, asuransi, perbankan, perkapalan dan pelabuhan, ekspolarasi dan eksploitasi barang tambang/mineral (BBM), pertanian, perhutanan, pengairan dan kelautan, serta jenis-jenis usaha atau bisnis negara lainnya (yang dikelola oleh BUMN). (Haricahyono, 1986:70-71). Makna apa yang bisa kita tarik dari ketiga fungsi pemerintah di atas, terkait dengan konsep pemberdayaan masyarakat (social empowering), yang menjadi inti dari konsep otonomi daerah –- sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No. 2/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN? Di era reformasi ini- sebagai upaya panjang perjuangan rakyat untuk mengembalikan hak dan kedaulatan politik dan ekonomi ke tangannya –- terdapat keinginan kuat masyarakat (terutama mereka yang berada pada level akar rumput) untuk meninggalkan watak atau model pembangunan ekonomi-politik Orde Baru yang serba sentralistik dan otoriter ke dalam ‘paradigma’ pembangunan ekonomi-politik baru yang lebih berdimensi dan berorientasi kerakyatan (Corten dan Syahrir, 1988). Dengan kata lain, paradigma pembangunan yang bersifat topdown atau yang bercorak trikcle down effect (menetes dari atas ke bawah) harus ditinggalkan dan diganti dengan model pembangunan yang bersifat bottom-up (bersumber dan berorientasi ke bawah). Konsep pembangunan alternatif ini diyakini mampu merangsang inisiatif dan peran aktif masyarakat sebagai subyek pembangunan, dan tidak sekedar sebagai penonton pasif atau obyek pembangunan semata (lihat Tabel).
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
KOMPONEN-KOMPONEN YANG MENJADI SASARAN PEMBANGUNAN (1) Naiknya Pendapatan Riil per Kapita (2) Menurunnya Kepincangan Distribusi Pendapatan (3) Menurunnya tingkat Kemiskinan Absolut (4) Naiknya Harga Diri sebagai Manusia (5) Naiknya Harga Diri sebagai Bangsa (6) Bertambahnya Kebebasan dari Ketakutan (7) Bertambahnya Kebebasan Bersuara (8) Bertambahnya Kebebasan dari Kebodohan dan Ketidaktahuan (9) Berkurangnya Ketergantungan pada Pihak Asing (10) Berkurangnya Ketergantungan Rakyat kepada Pemerintah (11) Bertambah Luasnya Partisipasi Sosial Sumber: Sritua Arief (1990), hal. 8. Pemerintahan transisional B.J. Habibie saat itu- menyambut keinginan dan aspirasi masyarakat atas model pembangunan dari bawah tersebut dengan menerbitkan UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut dianggap sebagai refleksi dari semangat reformasi/ pembaruan dari UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan dan Keuangan Daerah. Di samping kedua undang-undang dengan nafas dan semangat baru tersebut, rezim transisional Habibie juga membuat Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ini semua menunjukan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk sungguh-sungguh merealisasikan suatu bentuk kemandirian yang nyata dan bersifat luas bagi masyarakat lokal dan pemerintah daerah dengan maksud agar terwujud suatu konsep pembangunan yang partisipatif dan integratif, serta mencegah munculnya kesenjangan pembangunan dan pendapatan dalam masyarakat –baik antarindividu, antarkelompok, antara desa-kota, maupun antarwilayah (Sritua Arief dan Adi Sasono, 1982). Dalam rangka pelaksanaan prinsip kemandirian nyata dan otonomi luas berdasarkan asas desentralisasi tersebut, dibentuklah struktur dan kedudukan daerah yang lebih kokoh dan inklusif untuk mendukung pelaksanaan prinsip otonomi daerah, seperti tergambar dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, “Dalam rangka pelaksanaan asas disentralisasi dibentuk dan disusun daerah Provinsi, daerah Kabupaten dan daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga masyarakatnya.” Penjelasan ini menunjukan, dianutnya asas desentralisasi bertujuan untuk dapat menciptakan suatu sistem pemerintahan yang bukan saja efisien dan efektif, tetapi juga aspiratif dan berorientasi melayani masyarakat (public servant). Hal ini didasarkan pada satu pertimbangan bahwa daerah, khususnya daerah kabupaten/kota, adalah institusi pemerintah daerah tingkat II yang secara langsung dan efektif berhadapan dan berurusan dengan masyarakat, sehingga berbagai aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat dapat ditangani dan direalisasi secara lebih efektif. Kerangka Pikir Pemberdayaan dan Otonomi Masyarakat Diskusi tentang ‘pemberdayaan’ dan ‘otonomi’ – kendatipun sosok dan muatannya belum begitu jelas bagi rakyat – yang kini tengah menguat dan dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan (terutama pemerintahan daerah maupun masyarakat komunitas lokal)- jika kita tangkap secara implisit (psikologis) mengindikasikan tinggi tingkat perhatian masyarakat, sekaligus menunjukkan harapan masyarakat atas keinginan pemerintah untuk memberikan semacam ‘kemandirian relatif’ (Arief Budiman, 1991) pada berbagai lembaga komunitas lokal (organisasi spasial) –- yang selama ini diperlakukan sebagai obyek yang cenderung diawasi, diarahkan, dan dikendalikan oleh negara. Istilah pemberdayaan atau otonomi yang berasal dari bahasa Inggris ‘empower’ atau ‘authorize’ atau to give authority/to delegete authority, dapat kita artikan sebagai pemberian atau pelimpahan wewenang, atau penggunaan hak untuk melakukan sesuatu, atau kebebasan bertindak, atau pemberian
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
35
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
kekuasaan/kemampuan (Laode Ida, 2001). Mengacu pada pengertian di atas, jelas istilah pemberdayaan mengandung setidaknya dua ciri utama berikut: (1) adanya otonomi dalam masyarakat untuk melakukan sesuatu (seperti kewenangan dan kebebasan); dan (2) adanya pengakuan atas kecerdasan (ability) serta kemampuan (capability) masyarakat untuk mengorganisir dirinya secara mandiri, baik dalam bentuk swadaya, swadana, swakelola, swakarya, dan swasembada). Di sisi lain, MM Billah (2000) yang mengacu pada ahli-ahli yang membahas tentang konsep pemberdayaan menunjukkan adanya pengertian yang bisa dikaji dari tiga dimensi. Pertama, dimensi politik, yakni adanya kemandirian (independensi/otonomi) masyarakat dari intervensi atau campur-tangan negara, sekaligus berperan aktif sebagai kekuatan kontrol pemerintah. Kedua, dimensi ekonomi, dimana masyarakat dapat mengelola berbagai kebutuhan ekonominya secara mandiri (swadaya), serta mampu ‘memberdayakan’ berbagai potensi ekonomi yang ada dalam lingkungan/ wilayahnya (swakelola). Ketiga, dimensi psikologis, yakni terjadinya proses penyadaran untuk menjadikan masyarakat sebagai subyek yang sadar akan hak-haknya, sehingga tidak mudah untuk diperdaya (ditipu) oleh kekuatankekuatan eksternal –- sekaligus memiliki kemampuan untuk mengelola berbagai potensi yang ada secara otonom. Dimensi lain yang cukup penting untuk dipertimbangkan adalah dimensi sosial, yang berkaitan dengan pengakuan atau penghargaan pemerintah terhadap nilai-nilai lokal (local content), terutama nilai-nilai sosial dan budaya yang tipikal (bersifat khusus dan unik) yang hidup dalam masyarakat, serta pengakuan dan penghargaan terhadap berbagai upaya kreatif yang dilakukan masyarakat, termasuk upaya untuk membentuk berbagai wadah sosial atau organisasi swadaya yang berwatak otonom (Mohamad Sobary, 1996: 3-17). Dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan otonomi daerah, sebenarnya gerakan ke arah itu telah diperjuangkan jauh sebelumnya oleh para tokoh-tokoh daerah (baik sipil mapun militer) yang menamakan gerakannya sebagai ‘Perjuangan Rakyat Semesta’ (Permesta) yang muncul pada sekitar awal tahun 1950-an. Gerakan ini, menurut tokohnya Ventje Sumual, tidak bisa disamakan dengan gerakan yang bertujuan ‘makar’ terhadap pemerintah RI yang sah yang dilakukan oleh 36
tokoh-tokoh yang tergabung dalam apa yang dikenal sebagai ‘Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia’ (PRRI) yang berpusat di Sumatera. Menurut Sumual, Permesta adalah sebuah gerakan yang memperjuangkan otonomi, aspirasi, dan kepentingan pembangunan/pemberdayaan daerah dalam nafas dan semangat mewujudkan cita-cita kemerdekaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nilai-nilai pokok perjuangan Permesta yang tersimpan dalam Deklarasi Permesta, antara lain, memuat pokok-pokok pikiran berikut: (1) pembangunan secara menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, makro dan mikro, serta mencakup seluruh tumpah darah Indonesia; (2) pembangunan yang berorientasi pada penggunaan dan penguatan potensi lokal yang bertujuan mensejahterakan kehidupan rakyat di masing-masing daerah yang tersebar luas di seluruh wilayah NKRI; (3) menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan HAM, seperti diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Sinar Harapan, 2/10/2001). Sementara di era kekuasaan Orde Baru, perjuangan pemberdayaan dan otonomi daerah kita saksikan juga dilakukan secara cukup gencar oleh berbagai komponen masyarakat. Ini dapat kita lihat, misalnya, dari maraknya pendirian berbagai Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LPSM/ LSM) yang diperolopori para pemuda dan mahasiswa, tokoh masyarakat atau agama, para aktivis dan penggiat sosial, para akademisi, intelektual, dan para cendekiawan yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Substansi dari kehadiran ratusan LSM/LPSM di tanah air –yang menguat pada dekade awal tahun 1970an itu –- merupakan manifestasi dari keprihatinan dan ikhtiar rakyat untuk mengembalikan kemandirian, otonomi, partisipasi, dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan bangsa di segala bidang. Sebab, selama Orde Baru, pembangunan bersifat instruktif, mengalir dari atas ke bawah (top-down), diorientasikan semata-mata pada aspek yang bersifat fisik (ekonomis-material) yang melupakan dimensi pembangunan karakter/moral bangsa. Dalam format pembangunan demikian, masyarakat pada akhirnya hanya dipandang sebagai subyek pasif yang patut dibimbing oleh negara (yang diawasi langsung oleh Jakarta), dengan menggunakan birokrasi dan militer sebagai ‘instrumen’ pelaksanaannya, yang dalam
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
praktiknya cenderung tidak mengindahkan berbagai aspirasi dan tuntutan yang berkembang dari masyarakat, terutama warga komunitas lokal, yang seharusnya menjadi sasaran dari pembangunan itu (Eldridge, 1989). Lalu seperti apa hasil pembangunan Orde Baru yang kita rasakan saat ini? Hasilnya tak lebih dari warisan negatif yang sifatnya telah demikiran structural, seperti merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bangkrutnya ekonomi negara disertai dengan hutang luar negeri yang makin membengkak (Bursah Zarnubi, 2001), merajalelanya pengangguran, tingginya tingkat kemiskinan dan kriminalitas, banyaknya anak putus sekolah atau tidak mampu lagi melanjutkan pendidikan, tiadanya kepastian hukum dan rapuhnya mental para penegak hukum, tingginya kadar dan eskalasi konflik sosial (bersifat horisontal dan berdimensi SARA), makin melebarnya kesenjangan sosial (Lihat : Partnership Governance Reform in Indonesia, 2001), serta makin canggihnya kejahatan seperti pengeboman fasilitas umum dan sosial, serta sindikat/mafia narkoba yang jaringan kerjanya makin meluas, profesional dan sistematis, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya (Hadiman, 2001). Membangun Kemandirian Organisasi Lokal Bagaimana mewujudkan prinsip otonomi berdasarkan kemandirian, kewenangan, dan kreatifitas masyarakat. Salah satu strategi yang cukup efektif adalah melakukan pemberdayaan organisasi dan forum-forum komunitas lokal yang eksis dalam kehidupan warga. Organisasi atau forum masyarakat lokal yang secara formal mendapat legitimasi dari masyarakat dan pemerintah, tak lain adalah organisasi Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW), Forum RT/RW, Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM), Forum Kerukunan Warga (Forwar), dan yang hadir terakhir (melalui Perda DKI Jakarta tahun 2000), yakni Dewan Kelurahan (Dekel). Berbagai wadah aspiratif yang eksis dalam masyarakat ini dianggap bisa mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal, karena secara teknis-operasional lembagalembaga inilah yang memiliki hubungan/ bersentuhan langsung dengan dinamika hidup warga komunitasnya. Dalam perspektif itu, pilihan pemberdayaan masyarakat yang bersifat strategik dan realistik adalah
memberdayakan wadah-wadah masyarakat tersebut. 1.
aspiratif
Pemberdayaan Peran Rukun Tetangga dan Rukum Warga (RT/RW)
Jika ditinjau secara historis, secara kelembagaan organisasi RT/RW merupakan lembaga yang cukup tua, yang berasal dan diciptakan oleh bala tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada awal tahun 1940-an, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan aktifitas sosial, ekonomi, dan politik rakyat Indonesia. Akan tetapi secara kultural, lembaga RT/RW konon hadir bersamaan dengan terbentuknya pranata-pranata sosial masyarakat Indonesia yang bersifat komunal, organis, dan kolektif yang berarti sama tuanya dengan usia evolusi kultural masyarakat itu sendiri. Organisasi RT/RW adalah wadah komunitas lokal yang memiliki watak otonom yang kuat dan terlembaga, karena ia dibentuk di atas dasar komitmen kolektif warga komunitas. Saat ini, citra yang beredar luas di tengah masyarakat mengenai organisasi otonom ini adalah bahwa ia tak lebih sebagai lembaga ‘pinggiran’ yang tak lebih berperan sebagai ‘instrumen’ aparatur birokrasi kelurahan untuk mengerjakan perkerjaan yang bersifat teknisadministratif (pendataan, pencatatan, dan pelaporan) kepada kelurahan tentang berbagai kegiatan warganya. Mendata, mencatat dan melaporkan berbagai kebutuhan masyarakat adalah tugas RT/RW. Keberadaan organisasi ini, terkesan hanya dibutuhkan masyarakat untuk urusan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), surat pidah/domisili, ijin nikah dan ijin keramaian, kematian, dan perkara teknis-administratif lainnya. Selebihnya, eksistensi lembaga RT/RW dianggap sebagai ‘beban’ masyarakat, dengan berbagai aturan dan pungutan, seperti iuran kebersihan, Hansip, kematian, pengajian, dan jenis-jenis pungutan sosial lainnya. Padahal sebagai lembaga yang langsung bersentuhan dengan beragam kebutuhan masyarakat, kehadiran lembaga ini bermakna penting dan strategis, terutama dalam mewujudkan otonomi daerah yang berinti pada kemandirian, kewenangan dan kreatifitas masyarakat. Di era otonomi daerah, pemberdayaan dan pemandirian peran RT/RW menjadi niscaya, karena tanpa pemberdayaan dan kemandirian mustahil program otonomi daerah akan terealisasi secara efektif ke tengah masayarakat. Wujud dari keinginan tersebut
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
37
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
terlihat dengan diterbitkannya SK Gubernur DKI Jakarta No. 36/2001, yang antara lain, memuat beberapa peran, tugas, dan kewajiban penting dan strategis dari organisasi RT/RW yang tertuang dalam bab III pasal 3, sbb.: 1) Memberikan pelayanan kepada penduduk setempat sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2) Menggerakkan swadaya dan kegotongroyongan masyarakat; 3) Berpartisipasi aktif dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat; 4) Berpartisipasi dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; 5) Berpartisipasi dalam meningkatkan kondisi ketentraman, ketertiban dan kerukunan warga masyarakat; 6) Membantu menciptakan hubungan yang harmonis antaranggota masyarakat dan antarmasyarakat dengan pemerintah daerah; 7) Menjaga hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan lingkungan; 8) Berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan fisik, ekonomi dan sosial dan peembiayaannya bersumber dari swadaya masyarakat dan atau pemerintah daerah serta mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ketentuan berlaku; 9) Memberikan saran dan pertimbangan kepada anggota Dewan Kelurahan yang berasal dari RW bersangkutan. Ketentuan barusan menunjukkan wewenang, tugas dan kewajiban RT/RW sangatlah sulit dan berat. Ini mengindikasikan kriteria pengurus RT/RW haruslah memenuhi kualifikasi tertentu, dan tidak bisa lagi menggunakan standar ‘asal comot’ – seperti yang terjadi selama ini – jika kita ingin bersungguh-sungguh menegakkan pemberdayaan, kemandirian, kreatifitas, dan partisipasi masyarakat, terutama dalam rangka mensukseskan program otonomi daerah. Alternatif pemberdayaan organisasi RT/RW dapat dilakukan dengan minimal dua cara. Pertama, pemberdayaan yang berdimensi struktural-kelembagaan, yang bisa dilakukan dengan strategi: (a) memilih dan menempatkan personil yang duduk dalam kepengurusan RT/RW yang memiliki komitmen, kapabilitas, wawasan dan tingkat perhatian yang tinggi terhadap masalah-masalah kemasyarakatan melalui pola seleksi dan rekrutmen yang ketat dan kompetitif; (b) memiliki standar pengetahuan teknis manajemen dan administrasi agar efektif dalam mengelola berbagai dana operasional (swadaya maupun bantuan pemerintah) secara fungsional dan proporsional; (c) mampu menyusun struktur organisasi yang fleksibel, disesuaikan dengan 38
kondisi/kebutuhan masyarakat setempat, serta kompetensi pengurusnya. Kedua, pemberdayaan secara proses berkaitan dengan pola manajemen di dalam mengkoordinasikan semua aktifitas dan kegiatan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut. Berkaitan dengan itu, kedua lembaga itu harus mampu mengoptimalkan ‘forum musyawarah warga,’ baik di tingkat RT maupun RW. Forum itu harus difungsikan sebagai wahana komunikasi dialogis, aspiratif dan efektif dalam menampung, merumuskan serta mencari berbagai alternatif pemecahan masalah. 2.
Pemberdayaan Dewan Kelurahan (Dekel)
Menurut aturan normatif yang tertera dalam Perda Provinsi DKI Jakarta No. 5/2001, dibentuknya Dewan Kelurahan adalah sebagai lembaga konsultatif/perwakilan masyarakat di tingkat kelurahan. Perbedaan yang cukup penting antara Dekel dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat/LPM (dulu bernama LKMD kemudian berubah menjadi LMD dan terakhir menjadi LPM) adalah keterwakilan orang-orang yang duduk sebagai anggota, serta kemandirian dari unsur birokrasi pemerintah. Para anggota Dekel merupakan orang-orang yang benar-benar merepresentasikan figur tokoh-tokoh masyarakat yang berasal dari lingkungan wilayah RW. Di samping itu, ketua (selaku pimpinan kolektif) tidak dipegang oleh Lurah/ Kepala Desa, melainkan oleh atau dari kalangan anggota tersebut yang dipilih (bukan diangkat!) secara demokratis. Dengan kondisi kelembagaan, mekanisme, dan personil yang duduk dalam lembaga itu, jelas memberikan harapan dan angin segar bagi terwujudnya komunikasi yang lebih efektif antara masyarakat lokal dan pemerintah, terutama dalam menentukan berbagai arah kebijakan pembangunan wilayah di tingkat lokal. Seperti tercantum dalam bab III pasal 3 Perda Provinsi DKI Jakarta No. 5/2000 mengenai fungsi dan kedudukan Dewan Kelurahan, “1. Dewan Kelurahan merupakan lembaga konsultatif perwakilan Rukun Warga sebagai wahana partisipasi masyarakat di kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagai perwujudan demokrasi di kelurahan; 2.Dewan Kelurahan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) merupakan mitra kerja Pemerintah Kelurahan
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat”. Ketentuan itu menunjukkan, keberadaan lembaga ini merupakan ‘mediator’ dan ‘fasilitator’ yang berfungsi menghubungkan kepentingan pemerintah kelurahan dengan aspirasi warganya. Sebagai lembaga baru, tetunya peran-serta dari lembaga ini dalam merealisir pemberdayaan masyarakat masih belum terlihat jelas, baik ditinjau dari segi konsepsi, arah, strategi, maupun optimasi mekanisme pencapaian sasarannya. Dengan kata lain, sistem, prosedur dan mekanisme kerja dalam rangka optimasi operasional fungsi Dekel, di tingkat empirik, belum mendapat perhatian yang cukup serius. Sejalan dengan tututan kejelasan mekanisme kerja (fungsi, wewenangan, dan tanggung jawab) di atas, dalam Perda No. 5/2000 tentang Dewan Kelurahan, khusunya pasal 12 disebutkan tugas Dekel antara lain: (1) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; (2) memberikan usul dan saran kepada Lurah tentang penyelenggaraan pemerintahan kelurahan; (3) menjelaskan kebijakan pemerintah kelurahan kepada warga kelurahan; (4) melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat; (5) melaksanakan konsultasi kepada instansi terkait dan organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah kelurahan yang bersangkutan; (6) mengajukan calon anggota Dewan Kota/Kabupaten kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui masing-masing kecamatan. Dengan begitu, kiranya dapat dikatakan Dekel berkedudukan sangat strategis dalam pemberdayaan masyarakat dan perwujudan otonomi daerah. Untuk itu, diperlukan penyusunan langkah strategis dalam rangka penguatan dan optimasi peran Dekel agar benar-benar mampu berperan efektif, maksimal dan fungsional, dalam bentuk : (1) Mengupayakan agar personil yang duduk sebagai anggota Dekel benar-benar yang memiliki komptensi dan komitmen yang tinggi, baik secara moral maupun politik untuk memajukan, memberdayakan, dan mengagregasi berbagai aspirasi, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat; (2) Dekel harus sesering mungkin mengadakan rapat, pertemuan, dialog, atau hearing dengan pengurus RT/RW dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mengkonsultasikan, merumuskan, dan mengevaluasi berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan politik dari
fungsi normatifnya; (3) Dekel harus mampu membentuk jaringan kerja (network) yang kuat, sistematis dan terlembaga, baik bersifat internal (masyarakat yang diwakilinya), maupun eksternal (pemerintah maupun masyarakat luar) guna memperluas komunikasi dan akses untuk makin meningkatkan wawasan dan pengetahuan di bidang pemberdayaan masyarakat; (4) Para anggota Dekel harus sesering mungkin melakukan berbagai kajian-kajian yang berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat, guna melihat sisi positif dan negatifnya untuk masyarakat setempat yang diwakilinya, serta dapat mengambil keputusan (policy making) yang tepat bagi peningkatan kesejahteraan dan penguatan kemandirian masyarakat. TANTANGAN DAN PELUANG Jika kita mengacu pada pengertian, ciriciri, dan sejarah perjuangan pemberdayaan masyarakat dan otonomid daerah di tanah air (serta berbagai contoh kegagalan model pembangunan yang dipraktekkan selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru), maka dengan terbitnya SK Gubernur DKI Jakarta No. 36/2001 tentang Pedoman RT/RW di Provinsi DKI Jakarta, dan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 5/2000 tentang Dewan Kelurahan, masih kita saksikan adanya kelemahan yang cukup mendasar yang, antara lain, dapat terbaca dalam kritik berikut: 1. Dari segi konsep yang digunakan, SK Gubernur No. 36 (pasal 1 Ketentuan Umum huruf p menyebutkan: “Pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan.” Ayat ini sepertinya memiliki konotasi yang ‘bias’ kalau bukan menyimpang dari konsep/pengertian pemberdayaan itu sendiri. Kalimat versi SK Gubernur tersebut bisa ditafsirkan sebagai masih adanya upaya (dan usaha) yang tersirat dari pemerintah untuk kembali ‘mengarahan,’ mengendalikan’ dan ‘mengawasi’ masyarakat, bukan dari, oleh, dan untuk masyarakat (istilah ‘pemilikan’ itu sendiri, dalam SK ini, menjadi tanda tanya: apa yang diikutsertakan untuk dimiliki masyarakat?). Terkesan, SK Gubernur ini tidak dibuat secara hati-hati, terencana, dan konseptual dalam menafsirkan satu konsep yang begitu prinsipil (atau jangan-
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
39
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
jangan sekedar kelatahan dikalangan birokrat Pemprov DKI agar mereka bisa dikategorikan sebagai PNS yang reformis); 2. Ketika sebuah konsep pemberdayaan diatur dalam sebuah Keputusan Gubernur (yang statusnya kemungkinan akan ditingkatkan menjadi Perda), atau bentukbentuk peraturan legal-formal lainnya, maka yang terjadi sebenarnya bukan pemberdayaan lagi, melainkan intervensi negara (melalui kebijakan Pemprov) terhadap kehidupan mandiri dan kemandirian hidup masyarakat (civil society). Sebab pada hakekatnya organisasi semacam RT/RW –- Dekel, LPM, Forum Kerukunan Warga (Forwar), dan sejenisnya, merupakan organisasi komunitas yang hidup, tumbuh, dan berkembang di atas dasar suatu sistem kekerabatan dalam suatu masyarakat kerukunan yang bebas dan mandiri, serta diikat oleh kepentingan dan komitmen kolektif. Dengan kata lain, keberadaan/ eksistensi organisasi ini justru didasari oleh wataknya yang mandiri, yang mampu mengatur berbagai aspirasi dan kebutuhan kondisional komunitas lingkungan sosialnya, dengan prinsip utama menjunjung tinggi musyawarah dan hakhak asasi warga, sekaligus menjalin hubungan fungsional dan organis dengan berbagai organisasi spatial (wadah aktifitas komunitas lokal) lainnya, termasuk dengan lembaga-lembaga negara (birokrasi pemerintahan); 3. Dalam SK Gubernur No. 36/2001 tentang RT/RW dan Perda No. 5/2000 tentang Dewan Kelurahan, terlihat campurtangan pemerintah dalam mengatur organisasi kemasyarakatan tingkat lokal telah begitu luas dan dalam. Butir-butir tugas, hak dan kewajiban, serta lingkup kewenangan yang dijabarkan nyaris rinci, yang sebenarnya sama dengan tidak memberikan peluang, kewenangan, dan kebebasan (atau tidak memberdayakan) eksistensi RT/RW untuk mengatur dirinya dan masyarakatnya sesuai dengan tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi warga komunitas yang diwakilinya. Padahal jika aparatur Pemprov DKI Jakarta ingin konsisten pada esensi dan substansi konsep pemberdayaan, sebuah SK atau Perda dari pemerintah, seharunya tidak mengatur terlalu jauh (di tingkat aturan 40
maupun muatan materinya) dan diupayakan hanya mengatur (memandu) secara umum saja untuk lebih mengukuhkan dan mendayagunakan potensi/kemampuan yang dimiliki oleh RT/RW agar lebih efektif, maksimal dan fungsional dalam menyalurkan berbagai aspirasi, kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal dalam rangka menjamin hak-hak warga negara dilingkungannya; 4. Dalam SK Gubernur DKI No. 36/2001 tidak terlihat adanya pengaturan tentang insentif, tunjangan, atau kompensasi bagi RT dan RW, yang selama ini justru berperan sebagai ujung tombak, hatinurani dan penyambung lidah masyarakat. RT/RW terkesan tidak dilihat (apalagi diperlakukan) sebagai aktor penting yang berposisi sangat strategis dalam program pemberdayaan masyarakat; dan aktor penting yang menjadi pelaku aktif dan efektif program otonomi daerah. Pertanyaan kita, kapan lagi Pemprov DKI yang “kaya-raya dan gemah ripah loh jinawi (dari hasil Pendapatan Asli Daerah/PAD-nya)” itu mau berkorban dan menghormati RT/RW-nya yang selama ini sudah sangat termarjinalisasi itu; 5. Penerbitan SK Gubernur No. 36/2001 dan Perda No. 5/2000, dalam proses perumusan dan penyusunannya diyakini tidak melibatkan berbagai unsur potensial yang ada dalam masyarakat secara representatif. Dengan demikian, produk yang dihasilkan tetap mengandung berbagai kelemahan, antara lain, seperti yang telah dijelaskan pada butir 1, 2, 3, dan 4 di atas. Di sisi lain, khusus Perda tentang Dekel, di tingkat masyarakat masih terus terjadi polemik berkaitan dengan apakah insentif yang diterima para anggota Dekel itu berbentuk ‘uang kehormatan’ atau ‘biaya rutin operasional’ yang jelas memiliki pengertian yang berbeda. Jika uang kehormatan memiliki arti individual (semacam insentif atau tunjangan pribadi anggota), maka biaya operasional jelas memiliki arti institusional (semacam biaya rutin yang dikelola secara bersama antara para anggota Dekel dan RW/RT untuk kepentingan pembangunan/pengembangan lingkungan); 6. Karena proses penyusunannya yang eksklusif, muatan teknis materinya yang rigit, serta terkesan instruktif, pada
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
akhirnya membuat banyak pihak mencurigai inisiatif pembentukan Dekel tak lebih dari upaya Pemprov DKI untuk membuat semacam ‘LSM negara,’ sebagai taktik untuk mengantisipasi kemungkinan masuknya unsur pengawas/pemantau independen yang berasal dari kalangan ‘LSM swasta’ yang dikenal vokal dan kritis itu. Sebab, konsep pemberdayaan berimplikasi pada adanya otoritas berbagai bentuk penyaluran dan pengelolaan dana pembangunan, dana bergulir, dana publik, dan jenis-jenis dana lainnya yang setiap tahunnya berjumlah milyaran rupiah. Dana yang pada awalnya dikelola secara otonom oleh Pemprov, kini sebagian harus diserahkan ke tangan organisasi atau forum-forum masyarakat lokal (dalam bentuk alokasi dana publik) yang penyalurannya tetap tak terlepas dari soalsoal yang berujung pada masalah klasik: ‘penyulapan anggaran.’ Agar anggaran itu tetap bisa ‘disulap,’ maka kehadiran LSM negara/LSM plat merah menjadi penting untuk melestarikan pola kerjasama ‘saling menguntungkan’ yang dikemas dalam bentuk baru (dengan menyertakan organisasi kemasyarakatan lokal yang bisa ‘diarahkan’ dan ‘dikendalikan’ oleh oknum-oknum ‘pemain sulap’ di lingkungan birokrasi pemerintah daerah). Lalu, masih adakah peluang/terobosan yang bisa dilakukan masyarakat, dan bagaimana bentuk konkret untuk mempercepat implementasi program pemberdayaan masyarakat dan organisasi komunitas spatial (RW/RT, Dekel, LPM, dan Forwar) yang ada? Menurut hemat penulis, peluang dan terobosan tetap dimungkinkan, sepanjang kita masih punya kemauan untuk berpikir kritis, memiliki harapan, kreatifitas dan inovasi. Langkahlangkah pro-aktif tersebut bisa dimulai, dengan misalnya, melakukan terobosan berikut: (1) Mulai dengan melakukan kajian dan mendiskusikan kembali berbagai produk peraturan dan program-program kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (pembangunan sarana/pra-sarana wilayah) maupun non-fisik (pendidikan, kesehatan, dan pembinaan generasi muda) untuk menyatukan persepsi dan langkah dalam penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dengan merealisasi program-program otonomi daerah; (2) Bersedia untuk merumuskan konsep yang tepat dan berorientasi pada pengembangan kemandirian, baik di bidang ekonomi, politik,
maupun sosial-budaya; (3) Kreatif dan inovatif dalam menyelenggarakan berbagai bentuk kerjasama, baik dengan lembaga pendidikan tinggi (universitas, institut, akademi, sekolah tinggi, politeknik, dan sebagainya), swasta, dan pemerintah dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, termasuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan RT/RW, Dekel, LPM, Forwar, dan organisasi swadaya lainnya; (4) Memiliki waktu yang cukup guna menyiapkan berbagai perangkat aturan dan sarana kerja untuk mengantisipasi turunnya dana publik (yang disalurkan Pemprov) agar pengelolaan/penyaluran dana-dana tersebut kepada masyarakat berjalan secara efektif dan akuntabel, serta melibatkan sebanyak mungkin tokoh-tokoh masyarakat dan organisasi perwakilannya; (5) Bersedia untuk mendata dan mengolah berbagai potensi sumberdaya ekonomi yang terdapat dalam wilayahnya kerukunan, seperti pusat-pusat aktifitas ekonomi lokal, pasar tradisional, swalayan/supermarket, perkantoran dan rumah-toko, perparkiran, bioskop, dan tempattempat hiburan; yang hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat –- bukan untuk kesejahteraan pribadi RW/RT, anggota Dekel atau oknumoknum kelurahan). Hal-hal lain yang barangkali perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam program RW/RT dan Dekel, antara lain adalah: (1) pengelolaan dan pendayagunaan potensi ekonomi dan fisik yang terdapat dalam wilayah/lingkungan kerja masing-masing; (2) meningkatkan kemanan dan ketertiban masyarakat melalui pembentukan sistem keamanan masyarakat, bekerjasama dengan instansi kepolisian; (3) menurunkan tingkat kriminalitas dan kejahatan terorganisir di wilayahnya (seperti judi, narkoba, tempat prostitusi, dan sejenisnya); (4) peningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat, melalui pelibatan potensi masyarakat, seperti warga yang berprofesi sebagai agamawan, intelektual, akademisi, profesional, dan orangorang terpelajar lainnya dalam memperjuangkan kemandirian dan otonomi daerah; (5) engurangi ketergantungan (administratif maupun keuangan) yang berlebihan pada pemerintah, baik pusat maupun daerah; (6) meningkatkan dan mengembangkan kegiatan sosialkemasyarakatan, kesehatan masyarakat (sanitasi lingkungan), PKK, posyandu,
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
41
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
kebersihan-keindahan-kenyamanan lingkungan, dan sebagainya. KESIMPULAN Dari pemaparan di atas yang berintikan pada percepatan program pemberdayaan masyarakat serta implementasi dan pelembagaan semangat otonomi daerah di level ‘akar rumput’ (grass root), dapat disimpulkan berberapa pokok pemikiran sebagai berikut: (1) Bahwa tujuan dari kemerdekaan Indonesia adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, menghargai demokrasi, HAM, dan keberagaman sebagai realitas kebangsaan kita, menjunjung tinggi nilai-nilai kerakyatan dan kebangsaan sebagai wujud perikehidupan rakyat yang dilandasi oleh nilai-nilai keadilan dan kebersamaan (gotong-royong), serta seluruh nafas dan semangat Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai luhur perjuangan bangsa lainnya; (2) Perwujudan cita-cita luhur perikehidupan kebangsaan itu hanya mungkin terwujud jika rakyat diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk meningkatkan harkat dan martabat hidupnya, melalui pemberdayaan, kewenangan dan kreatifitas; untuk itu perlu dibuat perangkat hukum yang dapat mendukungnya. Penjabaran UU tentang Otonomi Daerah khusus DKI Jakarta No. 34/1999 yang dijabarkan dalam Perda DKI No. 5/2001 tentang Dewan Kelurahan dan SK Gubernur DKI No. 36/2001 tentang RT/RW diharapkan pengaturan materi dan muatannya bersifat umum (public guidance), tidak merinci, apalagi memasuki/mencampuri terlalu jauh hal-hal yang justru akan mengaburkan substansi dan sasaran pemberdayaan masyarakat, yang potensial melahirkan interpretasi yang ‘bias,’ serta mengesankan masih adanya keinginan yang kuat dan terencana dari pemerintah (daerah) untuk mengawasi dan mengendalikan (mendominasi) aktifitas kehidupan masyarakat; (3) Untuk mewujudkan pemberdayaan dan kemandirian masyarakat perlu dibuat dan dirumuskan konsep-konsep yang dapat memperkuat eksistensi basis-basis organisasi swadaya di tingkat lokal, terutama eksistensi RT/RW, Dekel, LPM, Forwar, dan sebagainya, yang secara empirik berhadapan dan bersentuhan langsung dengan berbagai aspirasi dan tuntutan masyarakat (warga negara) yang hidup dilingkungan wilayahnya masing-masing; (4) Peningkatan peran dan 42
fungsi RT/RW, Dekel, LPM, dan Forwar dengan demikian menjadi keniscayaan. Peningkatan peran itu dapat dilakukan dalam bentuk penyelenggaraan program-program pendidikan, pembinaan/ pendampingan, pelatihan, dan diskusi sebagai wahana untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan para pengurus organisasi swadaya di tingkat lokal tersebut; (5) Setelah mendapatkan berbagai pengetahuan dan keterampilan, baik yang bersifat teknis maupun non-teknis, para pengurus RT/RW dan organisasi swadaya lokal lainnya itu – bersama-sama dengan tokoh masyarakat – perlu mensosialisasikan berbagai hasil-hasil rumusan yang akan dijadikan kebijakan pembangunan dan pengembangan wilayah. Di samping itu, dalam rangka mengelola dan menggunakan berbagai potensi ekonomis yang terdapat dalam wilayah yang menjadi kewenangan mereka, perlu dilakukan pendataan berbagai potensi ekonomi yang ada, seperti pasar tradisional, pasar Inpres, pasar swalayan, supermatket, perkantoran dan rumah-toko, perparkiran, bioskop, dan tempattempat hiburan, yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat lokal; (6) Para pengurus organisasi lokal perlu menyusun langkah-langkah berikut: a) Mampu mengkaji kembali berbagai produk peraturan dan program-program kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (pembangunan dan pengembangan sarana dan pra-sarana wilayah) maupun non-fisik (pendidikan, kesehatan, dan pembinaan generasi muda) untuk menyatukan persepsi dan langkah dalam penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dan programprogram otonomi daerah; b) Mampu merumuskan konsep yang tepat dan berorientasi pada pengembangan kemandirian masyarakat, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya; c) Mampu menyelenggarakan berbagai bentuk kerjasama, baik dengan lembaga pendidikan tinggi (universitas, institut, akademi, sekolah tinggi, politeknik, dan sejeninya), pelaku bisnis, swasta maupun pemerintah; d) Mampu menyiapkan perangkat aturan dan sarana kerja dalam rangka pengelolaan dana-dana yang disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat (dana publik), dengan prinsip manajemen pengelolaan yang profesional, transparan dan akuntabel, serta melibatkan sebanyak mungkin warga komunitas lokal, para tokohnya dan organisasi perwakilannya.
INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
Launa, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah
L a u n a, SIP., MM ., adalah dosen tetap (Lektor) pada Program Studi Ilmu Po lit ik FISIP Universitas Bung Karno (UBK); pengajar paruh waktu pada FISIP Un iversitas Satya Negara Indonesia (USNI), dan FIKOM Universitas Sahid (USA HID).
DAFTAR PUSTAKA Amandemen UUD 1945: Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 1999. Arief, Sritua, Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik, (Kumpulan Karangan), UI-Press, Jakarta, 1990. Arief, Sritua dan Adi Sasono, Indonesia Ketergantungan dan Keterbelakangan, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 1982. Budiman, Arief, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Yayasan Padi dan Kapas, Jakarta, 1991. Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, Tiara Wacana &YP2LPM, Yogyakarta, 1986. Corten, David C. dan Syahrir (ed.), Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, terjemahan A. Setiawan Abadai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988. Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002. Effendi, Tadjuddin Noer, Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993. Eldridge, Philipe “LSM dan Negara,” Prisma, No. 7 Tahun XVIII, 1989. Hadiman, H. Dr., SH., MSc., “Mewaspadai Sifat-sifat Subversi dan Mafia dalam Peredaran Madat dan Dampaknya dalam Kehidupan Bangsa,” Makalah yang disampaikan dalam Seminar Ilmiah yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian Universitas Bung Karno, 26 Oktober 2001. Halim, Wahidin, 1001 Wajah Kota Tangerang: Pembangunan Menuju Akhlakul Karimah, Penerbit Melibas, Jakarta, 2004. Haricahyono, Cheppy, Ilmu Politik dan Perspektifnya, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986. Hikam, Muhammad A.S., Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1999. Ida, Laode, “Oganisasi RT/RW: Keniscayaan Untuk Idependen: Perspektif Pemberdayaan Masyarakat,” Kertas Kerja yang disampaikan pada diskusi panel Organisasi RT/RW Masa Depan (Kajian tentang Raperda RT/RW), yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pengkajian dan Pengembangan Pemerintahan Kelurahan (KP3K), Jakarta, 11 Oktober 2001. Rasyid, Ryaas M., Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Yasrif Watampone, Jakarta, 1997. ____________, “Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan”, Jurnal Ilmu Politik 17, AIPI-LIPI-PT. Gramedia, Jakarta, 1997. Sobary, Muhamad, Kebudayaan Rakyat: Dimensi Politik dan Agama, Yayasan Bentang Budaya, Jakarta, 1996. Surat Keputusan (SK) Gubernur Porpinsi DKI Jakarta No. 36 Tahun 2001 tentang Pedoman RT dan RW di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992. “Survei Nasional tentang Korupsi di Indonesia,” Ringkasan Eksekutif Partnership Governance Reform in Indonesia, Jakarta, 20 Oktober 2001. Sinar Harapan, 2 Oktober 2001. Thoha, Miftah, “Perubahan Birokrasi Publik Pasca Orde Baru: Perubahan Tanpa Grand Design, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Vol. 4, No. 1, Juli 2000. Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 (UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Th 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, UU No. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN), Restu Agung, Jakarta, 1999. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No. 5 Tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan. Zarnubi, Bursah (ed.), BLBI: Megaskandal Ekonomi Indonesia, Siapa Sesungguhnya Perusak Ekonomi Nasional?, Yayasan Humanika, Jakarta, 2001. INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005
43