PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI BANYUMAS* Haryanto Dwiatmodjo Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto e-mail:
[email protected] Abstract Forms of legal protection of children as victims of crime in the jurisdiction of the District Court of Banyumas on the level of investigation in the Police with given rehabilitation. At the level Prosecutor's just no real form of protection for victim. Who's in Court level there are two forms of protection, the first form of protection of identity in the mass media coverage to avoid labeling, and second with the provision of safety guarantees. Realization of the protection of children who are victims of crime has not been up to since the rights of victims, get rehabilitation, compensation, and restitution difficult to manage their funds because there is confusion of the law enforcement agency where the source of funds to be allocated. Barriers to the very fundamentals of the implementation of child protection as a victim was the absence of implementation costs to maximize protection. Keywords: Legal protection, children, victims Abstrak Bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas pada tingkat penyidikan di Kepolisian dengan diberi rehabilitasi. Di tingkat Kejaksaan justru tidak ada bentuk perlindungan riil terhadap korban, sedang di tingkat Pengadilan ada 2 bentuk perlindungan, pertama berupa perlindungan dari pemberitaan identitas di media massa untuk menghindari labelisasi; dan kedua dengan pemberian jaminan keselamatan. Realisasi pelaksanaan perlindungan anak yang menjadi korban tindak pidana belum maksimal sebab hak korban mendapat rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi sulit mengurus dananya karena ada kebingungan dari institusi penegak hukum dari mana sumber dana yang harus dialokasikan. Hambatan fundamental dari pelaksanaan perlindungan anak sebagai korban adalah tidak tersedianya biaya untuk memaksimalkan pelaksanaan perlindungan. Kata Kunci: Perlindungan hukum, anak, korban
Pendahuluan Pasal 1 yat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara teoritis bentuk perlindungan terhadap korban tindak pida*
Artikel ini merupakan artikel hasil penelitian dengan sumber dana dari DIPA UNSOED 2010
na dapat diberikan dalam berbagai cara tergantung kerugian yang dialami korban. Saksi dan korban dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana kenyataannya kurang mendapat perhatian oleh penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya. Banyak kasus kejahatan tidak terungkap justru disebabkan oleh saksi dan korban yang tidak mau memberinya kesaksiannya. Walaupun dalam Pasal 4 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjamin memberi rasa aman kepada saksi dan/atau korban
200 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011
dalam memberikan keterangan pada setiap proses pemeriksaan.1 Memasuki tahun 2010 kekerasan yang dialami anak semakin banyak. Tahun 2009 dari 1.998 kasus yang diadukan ke Komnas PA (1.736 kasus tahun 2008). Sekitar 62,7 persen dari 1.998 kasus termasuk kekerasan seksual (sodomi, perkosaan, pencabulan, dan incest). Hasil dari pantauan dan monitoring Komisi Nasional Perlindungan Anak selama Januari – Juni 2010 mencatat beberapa kasus yang terjadi. Pada kasus kekerasan ini yakni terdapat 453 kasus kekerasan fisik pada anak, sebanyak 646 anak mengalami kasus kekerasan seksual, dan pada kekerasan psikis terpantau sebanyak 550. kasus penculikan dan pornografi pada anak masingmasing tercatat 69 kasus penculikan dan 30 kasus anak yang terlibat dalam pornografi2. Linda Amalia Sari Gumelar dalam siaran Persnya menyatakan harapannya: “perempuan dan anak Indonesia mendapat perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan perlakuan salah.” Sosialisasi Besarnya anggaran untuk perlindungan anak dan perempuan disambut baik Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).3 Namun lihat saja bagaimana wujud nyata Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)? Sejak anggota komisioner dilantik pada 23 Juli 2004 hingga akan dilakukan pemilihan anggota komisioner baru, kiprahnya dalam mensingkronkan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan anak pada masing-masing departmen dan instansi penyelenggara perlindungan anak, berjalan di tempat. Hal ini bukan karena lemahnya kemampuan para komisioner, namun Peran Ilmu Kemanusiaan Dalam Meningkatkan 1
2
3
Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2006 masih perlu banyak perbaikan. Lihat kritik terhadap undang-undang tersebut pada Shinta Agustina, “Menuju UU Perlindungan Saksi yang Ideal”, Jurnal Yustitia, Vol. 6 No. 5 Agustus-Desember 2006, FH UnandPadang. Pusat Data & Informasi, “Fakta dan Data Pelanggaran Hak Anak di Indonesia Periode Januari Juni 2010,” Jurnal Kecil Fakta dan Data Pelanggaran Hak Anak, tersedia di website http://www.komnaspa.or.id/pdf/ Jurnal kecil , 1 September 2010, di akses 28 Januari 2010 Landa Amalia Sari Gumelar, Siaran Pers, Kementrian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Republika 14 April 2010
Mutu Manusia Indonesia Melalui Perlindungan Anak kesadaran para pemangku kepentingan belum menjadikan anak sebagai arus utama dalam pembangunan.4 Potret buruk wajah hukum di atas juga terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas khususnya di wilayah Polsek Kebasen, kasus kekerasan yang dilakukan terhadap anak justru dilakukan oleh Kapolseknya yang notabene adalah aparat penegak hukum. Juga kasus pembunuhan terhadap anak yaitu Santi Maulina (16 tahun) yang terjadi di Desa Baseh Kecamatan Kedungbanteng dengan terdakwa DS (umur 16 tahun). Terdakwa DS mengaku kepada hakim Pengadilan Negeri Purwokerto bahwa ketika diperiksa di Polres Banyumas mendapat tekanan fisik dan psikis. Tekanan inilah yang menyebabkan terdakwa mengaku pada penyidik sebagai pelakunya. Mayoritas dari anak yang konflik dengan hukum mengaku telah mengalami tindak kekerasan ketika berada di kantor polisi. Bentuk kekerasan yang umum terjadi yaitu kekerasan fisik berupa tamparan dan tendangan namun juga kasus kekerasan yang sekaligus berupa pelecehan seksual seperti kekerasan yang ditujukan pada alat kelamin atau tersanka anak yang ditelanjangi. Dua hal seperti ini terjadi pada anak yang disangka melakukan tindak pidana5. Anak sebagai korban dapat menderita kerugian fisik maupun non-fisik. Kerugian fisik dapat berupa cacat, luka-luka bahkan sampai kematian. Kerugian non-fisik dapat berupa mental yang terganggu, maupun rasa takut yang tidak ada hentinya. Mattalata6 berpendapat bahwa usaha pemberian bantuan kepada korban bukanlah kewajiban pelaku saja, melainkan juga kewajiban warga masyarakat dan kewajiban ne-
4
5
6
Rachmat Sentika, “Peran Ilmu Kemanusiaan Dalam Meningkatkan Mutu Manusia Indonesia Melalui Perlindungan Anak Dalam Rangka Mewujudkan Anak Indonesia yang Sehat, Cerdas Ceria, Berakhlak Mulia dan Terlindungi,” Jurnal Sosioteknologi Edisi 11 Tahun 6, Agustus 2007, hlm. 232-237 Ika Saimima, “Perlindungan Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum,” Jurnal Kajian Ilmiah Lembaga Penelitian Ubhara Jaya Vol. 9 No. 3 tahun 2008. hlm. 938-957 Yazid Effendi, 2001, Victimology, Purwokerto: Penerbit Unsoed, hlm. 37
Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban … 201
gara. Perlindungan korban sebagai upaya memberikan perlakuan yang adil baik bagi korban, pelaku maupun masyarakat merupakan harapan yang dicita-citakan. Permasalahan Ada dua permasalahan yang hendak dibahas dalam artikel ini. Pertama, mengenai perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; dan kedua, tentang pelaksanaan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Purwokerto? Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis (social legal approach.)7 Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan secara rinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan tanpa melakukan suatu hipotesa dan perhitungan secara statistik8. Deskriptif di sini bukan dalam arti sempit artinya dalam memberikan gambaran tenang fenomena yang ada dilakukan sesuai dengan metode ilmiah.9 Pendekatan yuridis sosiologis dimaksudkan sebagai pemaparan dan pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjanya hukum di dalam kenyataan. Pada penelitian hukum sosiologis yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan pene-litian terhadap data primer di lapangan atau masyarakat.10 Penelitian lapangan dilakukan dengan metode interview.11 Hasil penelitian setelah diidentifikasi, dikonstruksikan, disusun dan dianalisis meng-
7
8
9
10 11
Sanapiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasardasar dan Aplikasi, Malang: YA3, hlm. 22 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1987, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, hlm. 4 I.S Susanto, 1990, Kriminologi, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, hlm. 15 Ibid, hlm. 52 Burhan Ashshofaa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 59
gunakan metode kualitatif12 berdasarkan teori, asas-asas serta norma hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Pembahasan Bentuk-bentuk Perlindungan Anak menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Korban kejahatan adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif, menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Batasan tentang korban kejahatan dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, ditinjau dari sifatnya, ada yang individual dan kolektif. Korban individual karena dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata, akan tetapi korban kolektif lebih sulit diidentifikasi. Walau demikian Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan jalan keluar berupa menuntut ganti kerugian melalui class action13. Kedua, ditinjau dari jenisnya. Menurut Sellin dan Wolfgang, korban dapat berupa: (a) Primary Victimization, adalah korban individual. Jadi korbannya orang perorangan, bukan kelompok; (b) Secondary Victimization dimana yang menjadi korban adalah kelompok seperti badan hukum; (c) Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas; (d) Mutual Victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri, contohnya pelacuran, perzinahan, narkotika; dan (e) No Victimization, bukan berarti tidak ada korban, melainkan korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.14
12
13
14
Lexy J. Moleong, 2004, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 103 Lilik Mulyadi, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Jakarta: Djambatan, hlm. 120 Zvonimir Paul Separovic, 1986, Victimology, Studies of Victim, Zagreb, hlm. 160.
202 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011
Ketiga, ditinjau dari kerugiannya, maka dapat diderita oleh seseorang, kelompok masyarakat maupun masyarakat luas. Selain itu kerugian korban dapat bersifat materiil yang dapat dinilai dengan uang dan immateriil yakni perasaan takut, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya.15 Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak tersebut diperlukan hubungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan.16 Pada 2002 pemerintah dan Badan Legislatif mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Walaupun beberapa bentuk kekerasan dalam UU Perlindungan Anak dan UU KDRT sebenarnya merupakan adopsi, kompilasi atau reformulasi dari beberapa bentuk kekerasan yang sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan sebelumnya, seperti KUHP, UU Narkotika, maupun UU Ketenagakerjaan. Khususnya UU KDRT, dalam penjelasan umumnya disebutkan antara lain: “… Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab Undangundang Hukum Pidan telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran anak yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.”17 Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan tentang Perlindungan Khusus, yaitu: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolisasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/
15
16
17
Mardjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Universitas Indonesia, hlm. 78. Lihat mengenai peran hukum dalam mewujudkan kesejahteraan dalam Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal Hukum Pro Jusitita, Vol. 25 No. 3 Juli 2007, hlm. 270282. Sudaryono, “Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1, Maret 2007, hlm. 87 -102
atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan perlantaran. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memberikan bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban, yaitu korban kekerasan seksual terhadap anak, ada dalam Pasal 18, Pasal 64 ayat (1) dan (3), Pasal 69. Untuk pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengaturnya dalam Pasal 81 dan Pasal 82. Korban tindak pidana yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pelaku kejahatan sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah,18 “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban.” Rendahnya kedudukan korban dalam penanganan perkara pidana juga dikemukakan oleh Prassell yang menyatakan: “Victim was a forgotten figure in study of crime. Victims of assault, robbery, theft and other offences were ignored while police, courts, and academicians concentrated on known violators.”19 Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompen-
18
19
Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta, hlm. 33 Frank. R. Prassell, 1979, Criminal Law, Justice, and Society, Santa Monica-California: Goodyear Publishing Company Inc., hlm. 65.
Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban … 203
sasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.20 Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya21. Perbedaan antara kompensasi dan restitusi adalah “kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (The responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana22. Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun non-materi. Kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Banyumas, ternyata memprihatinkan. Data di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kabupaten Banyumas tahun 2008 menunjukkan adanya 36 kasus kekerasan seksual anak. Sedangkan pada tahun 2009 hingga bulan September tercatat sudah 57 kasus. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Banyumas, Tjutjun Sunarti R.,23 menyebutkan kekerasan (seksual)
20
21
22
23
Dikdik. M. Arief Mansur,2007, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 31. Akan tetapi bentuk perlindungan ini memerlukan koordinasi dan sinkronisasi antar aparat penegakk hukum. Lihat penjelasannya dalan Yoserwan, “Model Sinkronisasi dan Koordinasi Pelaksanaan Tugas Aparat Penegak Hukum dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Intgrated Criminal Justice System)”, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 7 No. 1 Tahun 2007, hlm. 1-16. Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, hlm. 316. Stephen Schafer, 1968, The Victim and Criminal, New York: Random House,Hal. 112. Tjutjun Sunarti R, Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Banyumas Tinggi, 25 Oktober 2009,tersedia di website
yang terjadi, umumnya dalam bentuk kasus pencabulan dan pemerkosaan. Kekerasan tersebut tak terjadi hanya pada anak perempuan, tapi juga terhadap anak laki-laki. "Kejadian kekerasan seksual pada anak ini, umumnya dilakukan oleh orang-orang yang justru dekat dengan mereka, dengan didahului ancaman". Lebih lanjut dikatakan bahwa Kabupaten Banyumas menempati peringkat 10 besar dalam hal kekerasan seksual berbasis gender se – Propinsi Jawa Tengah. Anak yang menjadi korban umumnya berumur dari 6 s/d 17 tahun, namun ada kasus yang korbannya masih berumur 3, 5 tahun dan pelakunya adalah kakek si korban. Ini membuktikan bahwa berapapun umur sianak akan sangat rentan mengalami kekerasan seksual baik oleh orang terdekatnya maupun dari orang yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Identifikasi Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak & Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah24 terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Tengah dari tahun ke tahun juga semakin meningkat, baik dalam jumlah, bentuk, maupun modusnya. Sebagai gambaran, dari 18 PPT di Jawa Tengah (termasuk di dalamya Kabupaten Banyumas) yang melaporkan kasus kekerasan dan yang tangani oleh PPT di wilayahnya dan dari laporan KPPA Provinsi Jawa Tengah, selama tahun 2007 tedapat 612 kasus KDRT, 176 Kasus Pemerkosaan dan 27 kasus Traficking. Kasus-kasus ini adalah kasus yang terpantau dan terlaporkan. Masih banyak kasus kekerasan lainnya yang tidak tercatat dan terlaporkan. Sebagai bentuk komitmen dan kewajiban yang diamanatkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 tahun 2004 tentang PKDRT, serta UU No 21 tahun 2007 tentang PTPPO, maka Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membentuk pelayanan terpadu korban kekerasan yang diatur dengan Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perlin-
24
http://www.lintasberita.com/v2/index.php, diakses tanggal 31 Januari 2011 Hendro, Pelayanan Terpadu Korban kekerasan, 16 November 2010, tersedia di website http://bp3akb. jatengprov.go.id/index.php, diakses 17 Januari 2010
204 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011
dungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak. Jenis pelayanan yang diberikan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) meliputi, pelayanan medis, (RSUD Tugurejo Semarang, RSUD Margono Soekarjo Purwokerto, RSUD Moewardi di Surakarta, dan RSUD Aminogondo Hutomo di Semarang); Pelayanan Psikologis; Pendampingan Rohani; Fasilitas Pemulangan Korban; Perlindungan Sementara di Shelter; Pendampingan Hukum pada kasus banding; Konsultasi Hukum. Kekerasan sangat dekat dengan kehidupan anak. Sejak usia dini, anak-anak sudah dikenalkan pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari kekerasan verbal, fisikal hingga seksual. Pengalaman anak-anak berhadapan dengan kekerasan, dapat dijelaskan baik dari segi bentukbentuk kekerasan yang dialami, pelaku kekerasan, tempat kejadian dan sebab-sebab terjadinya kekerasan. Kekerasan terhadap anak dapat terjadi dimana saja, di rumah, di sekolah (baik sekolah umum maupun khusus seperti pesantren), masyarakat, kantor polisi serta Lapas Anak. Pelaku biasanya adalah orang yang dekat dengan anak, bisa orang tua, kakek, nenek, kakak, keluarga dekat lainnya. Pelaku biasanya adalah orang yang bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak25. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan anak yang menjadi korban kekerasan yang terjadi di daerah Banyumas, penulis melakukan wawancara dengan narasumber Pejabat POLRES Banyumas yakni Kanit III Serse Kriminal IPDA Sus Irianto; Djatmiko, S.H. Jaksa Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Banyumas, Sudira, S.H, sorang Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto dan Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H Ketua Forum Perlindungan Anak (FPA) Banyumas (Wawancara dilaksanakan antara tanggal 20 Oktober 2010 sampai dengan tanggal 29 Oktober 2010). Unsur-unsur yang Mendorong Pelaku Melakukan Kekerasan terhadap Anak.
25
Hari Purwadi, “Kajian Terhadap Putusan Perkara No: 121/Pid.B/2006/PN.Kray Tentang Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan”. Jurnal Yudisial VolI/No-03/Desember/2007, hlm. 223-236
Hasil penelitian dari data primer berupa wawancara dengan narasumber dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut. Setya Wahyudi sebagai Ketua Forum Perlindungan Anak (FPA) Banyumas, menjelaskan tentang unsur-unsur yang mendorong pelaku melakukan kejahatan (perkosaan) terhadap anak di bawah umur disebabkan karena 2 (dua) unsur. Pertama, unsur eksternal (luar) yang mempengaruhi pelaku melakukan tindak pidana terhadap anak di bawah umur antara lain: melihat film-film/VCD porno; tidak ada batas-batas ruangan antara ruangan kamar orang tua dan anak-anak (kebanyakan di desa-desa); media informasi yang masih terbuka, misalnya : telivisi, majalah porno, internet dengan situs pornonya, poster dan lain-lain; kesempatan (ada niat ada kempatan), rumah dalam keadaan kosong; faktor lingkungan, teman-temannya suka minum-minuman keras dilanjutkan dengan berhubungan seksual (bila terpaksa memperkosa). Kedua, unsur internal (dalam) yang mempengaruhi pelaku melakukan tindak pidana terhadap anak dibawah umur antara lain: lemahan iman; lama ditinggal istri (bekerja di kota atau luar kota atau luar negeri); ada hubungan darah, dengan dalih pelaku merasa aman karena korban tidak mencurigai, sebatas ungkapan kasih sayang (ayah, paman, sepupu, dan lain-lain); finansial pelaku kuat, korban merasa tidak berdaya karena dibiayai sekolah oleh pelaku. Aparat penegak hukum yaitu polisi, hakim dan jaksa di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas, mengemukakan pendapatnya bahwa unsur-unsur dominan yang mendorong pelaku melakukan kejahatan (kekerasan seksual atau perkosaan) terhadap anak sebagai berikut. Pernyataan dari pihak polisi yang diwakili oleh Kanit III Serse Kriminal IPDA Sus Irianto di POLRES Banyumas mendukung pendapat di atas bahwa unsur-unsur pelaku yang dominan mendorong pelaku melakukan kejahatan kekerasan seksual atau perkosaan terhadap anak di bawah umur diantaranya: minum minuman keras atau penggunaan narkoba; kebiasaan menonton VCD porno; libido sex yang tinggi; kebiasaan “suka jajan”; orang tuanya kerja dan anaknya diasuh
Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban … 205
oleh pembantu rumah tangga, sehingga mengakibatkan ada peluang ada niat jahat dari tetangga yang mempunyai hubungan baik dengan keluarganya, sehingga anak menjadi rentan menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual atau perkosaan. Pernyataan dari pihak jaksa diwakili oleh Djatmiko, S.H. sebagai Jaksa Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Banyumas. Pihak jaksa juga menyetujui pernyataan di atas, diungkapkan bahwa unsur-unsur pelaku yang dominan dan mendorong pelaku melakukan tindak pidana kekerasan seksual atau perkosaan terhadap anak dibawah umur antara lain: pengaruh dari VCD porno; Minum minuman keras; mengonsumsi obat-obat terlarang (narkoba); lingkungan dari terdakwa dan dari dirinya sendiri; biasanya dipengaruhi oleh faktor mental, orang itu terganggu jiwanya atau jiwanya secara mental kurang sehat. Beberapa faktor lainnya misalnya: ditinggal istri bekerja; dirumah nganggur. Pernyataan dari pihak hakim diwakili oleh Sudira, S.H seorang Hakim di Pengadilan Negeri Banyumas. Pendapat hakim juga sama, unsurunsur pelaku yang dominan mendorong pelaku melakukan kejahatan perkosaan terhadap anak di bawah umur antara lain: nonton VCD atau gambar-gambar porno; pikiran-pikiran negatif (porno); libidonya tinggi; anak-anak biasanya mudah dibujuk, dimanja, diciumi, biasanya pelaku mempunyai hubungan dekat dengan korban (hubungan tetangga atau keluarga); tabiat pelaku memang sadis; unsur-unsur yang lain yaitu pelaku tidak bisa menahan nafsunya, karena anak-anak tidak tahu sehingga bisa terjadi kejahatan perkosaan. Unsur-unsur yang dominan dilihat dari ilmu kejahatan atau kriminologi terdiri dari dua faktor, yaitu lingkungan dan pribadi. Contoh lingkungan biasanya terpengaruh oleh pergaulan, pribadi orang itu tidak beres, bisa karena kelemahan dari pribadinya atau lemah imannya.
yang biasa dipakai pelalu untuk melakukan tindak pidana khususnya perkosaan antara lain sebagai antara lain: dipaksa; dirayu; dibunuh; diberi obat bius; diberi obat perangsang; dibohongi atau diperdaya dan lainnya. Modus operandi seperti itu sangat mungkin dikemudian hari berkembang dengan modus operandi lain lagi. Modus operandi kejahatan, selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi sasarannya, juga terkait dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sulitnya mendapatkan pekerjaan dan tekanan ekonomi juga biasa dipakai sebagai modus untuk mengeksploitasi tanaga anak. Pekerja anak lebih dikehendaki karena dianggap lebih murah, lebih loyal dibanding mereka yang sudah dewasa dan juga dianggap tidak menuntut banyak apabila hak-haknya dilanggar. Kondisi geografis Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan juga menjadi masalah tersendiri bagi anak-nak yang bekerja terpisah dari kota orang tuanya, karena pergi dari majikan dan pulang ke rumah akan mustahil tanpa berbekal uang yang cukup. Selain itu pekerja yang lebih dewasa lebih memilih untuk mengambil jalan menjadi tenaga yang dikirim ke luar negeri karena telah memenuhi syarat usia26. Solusinya harus komprehensif serta melibatkan seluas mungkin mitra dalam setiap masyarakat sebab menurut Ravinder Rena27 “The causes for the child labour are complex and include mainly economic, social, and cultural factors. Therefore, solutions must be comprehensive and should involve the widest possible range of partners in each society. In fact, a single agency, like UNICEF or WHO, or an organization cannot solve the child labour problem on its own”. Dari hasil penelitian terhadap modus yang dilakukan pelaku menurut pihak kepolisian, 26
Modus Operandi dalam Tindak Pidana terhadap Anak Setya Wahyudi, Ketua Forum Perlindungan Anak (FPA) Banyumas, mengatakan modus
27
Ery Satria Pamungkas, “Eksploitasi Pemabntu Rumah Tangga Anak di Indonesia : Tradisi vs HAM”, Jurnal VISI, A Billingual Student Journal, No.1 Vol. VII. Edisi 20062007, hlm. 36-43 Ravinder Rena, “The Child Labor in Developing Countries: A Challenge to Millennium Development Goals”, Indus Journal of Management & Social Sciences, 3(1):18 (Spring 2009)
206 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011
kejaksaan dan hakim pengadilan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas dapat di presentasikan sebagai berikut. Sehubungan dengan kasus tindak pidana terhadap anak, penulis melakukan wawancara dengan Kanit III Serse Kriminal IPDA Sus Iriantodi POLRES Banyumas, mengenai modus operandi kekerasan terhadap anak antara lain: diancam dan dipaksa; dirayu; dibunuh; diberi obat bius. Jaksa menyetujui mengenai modus operandi kekerasan terhadap anak ini. Demikian pula dengan hakim yang menyetujui pernyataan mengenai modus operandi kekerasan terhadap anak di atas, karena seorang anak masih begitu lugu dan polos, apalagi ketika diajak oleh orang yang dikenalnya, maka dengan begitu mudahnya dia akan munurut, karena dia tidak mengetahui apa yang terjadi. Esensi jaminan perlindungan hak seorang sebenarnya justru terletak pada tahap ajudikasi. Sebab pada tahap sidang pengadilanlah terdakwa (dan pembelanya) dapat berdiri tegak sebagai pihak yang sama derajatnya berhadapan dengan penuntut umum.28 Oleh karena itu dalam pengambilan kebijakan hukum pidana, baik kebijakan di bidang hukum pidana materiil maupun hukum formil harus dilakukan secara integral/komprehensif melalui pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai sebab apabila tidak, maka kebijakan hukum pidana itu tidak akan efektif mencegah kejahatan, dan secara lebih luas melindungi masyarakat dari tindak kejahatan.29 Pasal 11 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan bahwa ayat (1) LPSK merupakan lembaga yang mandiri; Ayat (2) LPSK berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia. Ayat (3) LPSK mempunyai perwakilan di daeah sesuai dengan keperluan.30
28
29
30
Agoes Dwi Listiyono, “Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum Vol.01, No.1 Tahun 2005 hal.89-99 Muchamad Iksan, “Landasan Kebijakan Legislatif Pembangunan Hukum Pidanana Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1, Maret 2007, hlm. 103 – 122 Lihat analisis mengenai mengenai pengaturan lembaga perlindungan saksi dan korban pada Shinta Agustina, “Analisis Terhadap Pengaturan Lembaga Perlindungan
Pasal 28 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, mengatur perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) di berikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang ber wenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lembat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Berdasarkan Pasal 31 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 36 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, menentukan: (1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang; (2) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud Pasal (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan lebih banyak jenis perlindungan terhadap saksi dan korban dari pada perlindungan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2002, akan tetapi dalam undang-undang inipun masih terasa kurang. Hal ini karena sebenarnya masih terdapat hak-hak lain yang Saksi dan Korban yang Berdaya dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 7 No. 1 Tahun 2007, hlm. 2732.
Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban … 207
dibutuhkan oleh saksi dan korban seperti hak mendapatkan pendampingan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman secara psikis dan mental ketika saksi memberikan kesaksiannya di siding pengadilan. Hak tersebut dibutuhkan terutama bagi saksi yang mengalami trauma. Hak lainnya yang perlu diatur adalah hak atas jaminan tidak adanya sanksi/pemberian sanksi oleh atasan berkenaan dengan keterangan yang diberikan dan hak untuk mendapatkan kepastian atas status hukum. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat (2),menentukan bahwa yang berhak untuk mendapatkan perlindungan tidak hanya seorang saksi saja, akan tetapi keluarga saksi juga berhak untuk mendapatkan perlindungan yang sama seperti halnya saksi. Alasan undang-undang ini memberikan hak perlindungan tersebut karena ancaman tidak hanya dilakukan secara langsung terhadap saksi namun juga dapat melalui keluarga saksi itu sendiri. Seringkali seorang saksi tidak mau atau tidak bisa memberikan keterangannya dengan alasan untuk melindungi keluarganya. Melihat hal tersebut maka perlindungan terhadap keluarga saksi sudah sepatutnya diberikan agar keamanan yang diberikan saksi menjadi lengkap. Perlindungan terhadap saksi dan korban ini diberikan sejak tahap awal dalam Pasal 8, sementara di Pasal 32 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa perlindungan hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan permohonan yang bersangkutan, korban dan saksi meninggal dunia, atau berdasarkan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan, perlindungan tidak diperlukan lagi (PP No. 2 Tahun 2002, Pasal 7 ayat (1)). Tata cara pemberian perlindungan dan bantuan diatur bab IV, yaitu dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menetapkan seorang yang menjadi saksi dan/atau korban, berhak memperoleh perlindungan melalui tata cara :
a. Saksi dan /atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri mau pun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban karena kemungkinan adanya ancaman terhadp dirinya; b. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban akan melakukan pemeriksaan terhadap permohonan perlindungan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada huruf a. Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa di muka persidangan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walau mungkin keterangan itu memberatkan si terdakwa. Maka Pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi di dengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa. Alasannya jelas adalah mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut khawatir ataupun tertekan. Ketidak pahaman aparat penyidik kepolisian terhadap psikologi anak membuat proses pemeriksaan perkara cenderung menjadi pola interogasi yang sama dengan pemeriksaan orang dewasa. Tuntutan jaksa dalam perkara anak lebih bernuansa tuntutan pidana dibandingkan dengan tindakan. Sedangkan dalam kasus anak sebagai pelaku tindak pidana ini, para hakim masih menganut filosopi pemidanaan yang bersifat retributif (pembalasan) ketimbang pemidanaan yang bersifat restoratif dengan tujuan untuk memperbaiki. Sementara lembaga pemasyarakatan tidak memberikan upaya individualisasi pembinaan secara khusus terhadap anak, bahkan fenomena lembaga pemasyarakatan hari ini masih over kapasitas dan kurangnya sarana pembinaan sehingga menjadi alasan untuk menggabungkan
208 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011
anak didik pemasyarakatan dengan narapidana dewasa.31 Pelaksanaan Perlindungan Anak sebagai Korban pada Tingkat Penyidikan di Kepolisiaan Penulis telah melakukan wawancara dengan penyidik di POLRES Banyumas yang diwakili oleh Kanit III Serse Kriminal IPDA Sus Irianto. Pada waktu pemeriksaan, korban di periksa di ruang tersediri, yaitu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) korban kekerasan terhadap perempuan baik dewasa maupun anak-anak dibawah umur. Sedangkan di POLRES Banyumas telah terbentuk RPK ini merupakan suatu kemajuan. Di mana sebelumnya kasus-kasus tentang perempuan dan anak-anak yang mengalami kekerasan seksual ditampung dalam di tempat, yaitu Bagian Pidana Umum di POLRES Banyumas. Penyidikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di bawah umur (perbuatan cabul, perkosaan, sodomi dan lainlain), sebenarnya harus dilakukan oleh penyidik khusus (Wanita) di Ruang Penyidikan Korban. Ruang Penyidikan Korban ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban serta mempermudah pemeriksaan terhadap korban agar korban lebih terbuka dalam memberi keterangan. Selain itu, untuk sedikit mengurangi beban psikologis korban apabila korban diperiksa penyidik laki-laki. Petugas RPK POLRES Banyumas terdiri dari 4 personil, yaitu 3 perempuan dan 1 lakilaki, yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dibawah umur. Apabila yang perempuan semua bekerja atau dalam keadaan mendesak tidak dapat menangani korban perempuan, bisa dialihkan kepada penyidik laki-laki, yang juga berperspektif gender. LSMLSM yang bergerak dibidang perempuan dan anak-anak boleh mendampingi korban pada tahap pelaporan, penyidikan, sampai dengan pengadilan, begitu juga dengan pihak orang tua. Bentuk perlindungan yang diberikan Polres Banyumas yang lainnya adalah dalam hal 31
Mahmud Mulyadi, “Perlindungan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum: Upaya menggeser Keadilan Retributif menuju Keadilan Restoratif”, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008, Hal. 82-94
meminta kesaksian kepada korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Korban dalam memberikan kesaksiannya dapat didampingi oleh orang tua atau LBH-LBH yang bergerak dalam bidang perempuan atau anak-anak. Pelaksanaan Perlindungan Anak sebagai Korban pada Tingkat Penuntutan Wawancara dengan seorang jaksa yang di wakili oleh Djatmiko, S.H. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Banyumas sebagai instansi yang bertugas dan berwenang untuk melakukan penuntutan. Dari hasil wawancara dengan Jaksa Djatmiko, S.H. sebagai Jaksa Pidana Umum, diperoleh hasil bahwa proses kerja kejaksaan terdiri dari 3 tahapan, yaitu pra-penuntutan, penuntutan dan eksekusi. Pra-penuntutan diawali dengan Surat Pemberitahuan. Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari polisi kepada kepala Kejaksaan. Kemudian kepala kejaksaan menunjuk seorang jaksa untuk menjadi jaksa penuntut, setelah itu berkas perkara masuk ke kejaksaan dan dilimpahkan kepada Jaksa Pidana Umum (Jampidum). Jampidum menyerahkan berkas kepada Jaksa yang ditunjuk untuk menangani perkara tersebut, terhitung tujuh hari dari diterimanya berkas jaksa yang ditunjuk untuk menangani perkara tersebut. Tujuh hari dari diterimanya berkas, jaksa harus menentukan sikap, apabila berkas tidak lengkap maka jaksa harus mengirimkan P18 (pemberitahuan berkas perkara belum lengkap) kepada penyidik, disusul kemudian dengan P-19 (Pemberitahuan materi berkas yang kurang lengkap). Setelah berkas dianggap lengkap maka diterbitkan P-21 (pemberitahuan sudah lengkap), 14 hari tidak ada lagi sikap maka berkas dianggap lengkap. Pada tahap penuntutan, penyidik melimpahkan barang bukti serta terdakwa kepada kejaksaan. Jampidum melimpahkan berkas perkara kepada jaksa untuk dibuat penuntutan (dakwaan), dalam 5 hari jaksa harus sudah membuat tuntutan dalam bentuk surat dakwaan (biasanya dengan dakwaan primer dan dakwaan sekunder), kemudian tuntutan dima-
Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban … 209
sukkan ke pengadilan, jaksa memanggil para saksi. Dalam persidangan, jaksa mewakili negara menuntut terdakwa untuk dipidana. Tahap terakhir yaitu eksekusi, yaitu pada saat putusan perkara, upaya hukum lain, serta beakhir pada putusan tetap (incracht). Khusus mengenai tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, jaksa yang menangani diutamakan perempuan. Adapun tujuan dari hal tersebut adalah untuk lebih memberikan keadilan bagi korban, karena jaksa perempuan dianggap lebih menghayati perasaan korban. Dalam membuat dakwaan, jaksa tidak pernah membuat dakwaan tunggal, hal ini untuk menghindari tidak terbuktinya dakwaan jaksa, sehingga terdakwa dapat dijerat pasal lainnya. Setiap anak yang menjadi korban dalam tindak pidana kekerasan seksual atau perkosaan, pada tahap persidangan anak yang menjadi korban tersebut harus menjadi saksi. Si korban harus mengulangi cerita atau kejadian yang telah dialaminya dihadapan majelis hakim, jaksa dan pengacara terdakwa serta terdakwa itu sendiri. Si korban tidak boleh diposisikan dalam keadaan tertekan, baik fisik maupun psikisnya. Pada saat korban menjadi saksi, korban tersebut diperlakukan dengan sebaik mungkin, dalam arti dia tidak boleh ditakuti oleh pihak luar baik psikologis maupun psikisnya. Ketika korban itu berangkat ke pengadilan, apabila ada upaya melakukan intimidasi terhadap pihak korban maupun keluarga korban. Korban ditempatkan diruangan tersendiri, yang nantinya tidak boleh ada pihak-pihak yang menakuti atau melakukan intimidasi kepada korban, bilamana perlu ada pengawasan dari petugas pengadilan, kejaksaan, kepolisian. Apabila si korban dalam memberikan keterangannya merasa tidak nyaman dan takut, dia bisa minta untuk ditemani oleh anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perempuan atau oleh orang tuanya, tetapi kedudukan mereka tetap bersifat pasif. Ada salah satu cara apabila si korban tersebut masih merasa tidak nyaman dan takut terhadap terdakwa, seperti takut menatap saja atau takut karena ada efek lain di luar itu, yaitu de-
ngan menggunakan screen untuk membatasi pandangan antara teredakwa dan saksi, sehingga saksi secara bebas memberikan keterangan pada hakim. Jika hal itu masih membuat takut juga, si terdakwa bisa dikeluar-kan dari ruang sidang. Untuk menghindari terjadinya perampasan kemerdekaan si anak, penting bagi hakim untuk lebih memantapkan upaya perlindungan anak dalam proses peradilan yang bertolak dari ide dasar dan karakteristik yang berbeda dengan proses peradilan untuk orang dewasa. Di samping itu juga ditetapkan hakim yang berpengalaman dalam lingkungan peradilan umum serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.32 Apabila terjadi suatu intimidasi atau ancaman yang dilakukan oleh terdakwa pada korban agar korban tidak menceritakan atau tidak memberikan kesaksiannya maka dalam keadaan yang berbahaya si korban dapat meminta perlindungan kepada pihak pengadilan. Pengadilan akan berkoordinasi dengan pihak keamanan, yaitu pihak kepolisian untuk menjaga keselamatan diri korban dan keluarganya dari ancaman dan intimidasi. Pelaksanaan Perlindungan Anak sebagai Korban pada Tingkat Pengadilan Ketika penulis melakukan wawancara dengan Sudira, S.H., hakim Pengadilan Negeri Banyumas mengenai upaya penggabungan perkara tentang penuntutan ganti rugi yang dapat dilakukan oleh pihak korban. Sebagaimana yang diatur dalam KUHAP pada Pasal 98, Sudira S.H. menyatakan selama ini implementasi tersebut sangat sulit dilaksanakan. Hal ini dikarenakan dengan adanya penggabungan perkara tersebut, proses persidangan akan memakan waktu yang lama. Lebih lanjut Sudira, S.H menyatakan: “Dalam masalah hak rehabilitasi untuk sikorban anak, pihak pengadilan tidak memberikan hak rehabilitasi, begitu juga dalam hak rehabilitasi, begitu juga dalam hak kompensasi dan retitusi. Selama ini tidak ada dana yang dapat diambil
32
Lukman Hakim Nainggolan, “Masalah Perlindungan Hukum terhadap Anak”, Jurnal Equality, Vol. 10 No. 2 Agustus 2005, hlm. 82-86
210 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 Mei 2011
untuk memberikan rehabilitasi, kompensasi dan restitusi, akan terjadi atau kebingungan dari manakah dana tersebut diperoleh. Apakah dari pihak PEMDA, Departemen Kehakiman, Departemen Sosial atau departemen-departeman yang lainnya”. Hal ini dikarenakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum mengatur secara rinci dalam peraturan pelaksanaannya. Penutup Simpulan Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, bentuk perlindungan anak sebagai saksi dan korban tindak pidana kekerasan (seksual) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banyumas ditingkat penyidikan (Kepolisian) dengan upaya memberikan rehabilitasi. Di tingkat Penuntutan (Kejaksaan) tidak ada bentuk perlindungan yang riil terhadap korban, sedang di tingkat Pengadilan ada 2 (dua) bentuk perlindungan yang diterima korban, berupa perlindungan dari pemberitaan media massa tentang identitas saksi maupun korban untuk menghindari labelisasi dan pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban. Kedua, pelaksanaan perlindungan anak yang menjadi korban kekerasan selama ini masih belum maksimal. Hal ini disebabkan karena hak korban, seperti hak untuk mendapatkan rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi sulit mengurus keluarnya dana, karena ada kebingungan dari institusi penegak hukum tentang dari mana sumber dana yang harus digunakan. Hambatan yang sangat fundamental dari pelaksanaan perlindungan anak sebagai saksi dan korban adalah tidak adanya biaya yang disediakan untuk memaksimalkan pelaksanaan perlindungan tersebut. Saran Hak untuk mendapatkan rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi supaya diatur lebih jelas termasuk lembaga mana yang harus bertanggung jawab untuk pelaksanaan pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi tersebut.