PEDOMAN PENDOKUMENTASIAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Sebagai PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
2004
Komnas Perempuan BEKERJA SAMA DENGAN
Raoul Wallenberg Institute Of Human Rights and Humanitarian Law
Sida Swedish International Development Cooperation Agency
“Pedoman Pendokumentasian Kekerasan terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia”
PUBLIKASI KOMNAS PEREMPUAN DICETAK DI INDONESIA PADA BULAN JANUARI 2004
ISBN 979-98223-2-7
Foto sampul : “Door to Perception” (patung karya Dolorosa Sinaga, mixmedia, 1995)
TIM PENYUSUN : Lies Marantika Andy Yentriyani TIM KONSULTASI & DISKUSI : Saparinah Sadli Mayra Diarsi Kamala Chandrakirana Ita F. Nadia ILUSTRASI & TATA HALAMAN :
Alexander A. Spinoza
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Kata Pengantar Tahun 2001, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Raoul Wallenberg Institute (RWI) menyelenggarakan pelatihan hak asasi manusia berprespektif jender dan salah satu kebutuhan penting yang mengemuka adalah soal dokumentasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Kebutuhan ini terasa dalam kerja-kerja advokasi bagi perempuan korban kekerasan, baik oleh para pendamping maupun oleh aparat penegak hukum. Bagi para pendamping yang dibutuhkan adalah pedoman standar pendokumentasian. Sedangkan aparat penegak hukum membutuhkan deskripsi kasus yang memenuhi standar hukum. Sementara itu di Indonesia sendiri belum tersedia pedoman standar pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Data yang dihimpun Komnas Perempuan dari jaringan organisasi penyedia layanan di berbagai wilayah menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat (Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan, 2002). Sementara salah satu hambatan terbesar yang menghadang kerja advokasi bagi perempuan korban kekerasan adalah tingginya resistensi masyarakat terhadap fakta kekerasan terhadap perempuan. Sehingga upaya dokumentasi dianggap strategis untuk mengungkapkan ke public data-data kekerasan terhadap perempuan. Persoalan dan kebutuhan di atas inilah yang mendorong Komnas Perempuan berinisiatif mengembangkan sebuah pedoman standar pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Diharapkan buku ini bermanfaat bagi kerja-kerja advokasi untuk pemenuhan hak perempuan korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan. Terima kasih pada semua pihak yang telah member masukan dan koreksi terhadap naskah ini, terutama peserta pelatihan di Carita (Mei 2001) serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Naskah ini bisa sampai dipublikasikan dan berada di tangan anda atas dukungan dana dari Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA). Untuk itu Komnas Perempuan menyampaikan terima kasih.
Jakarta, Januari 2004
i
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
E
iv
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Komnas Perempuan Daftar Isi Kata Pengantar............................................................................................. .... i Pendahuluan A. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan Pedoman Pendokumentasian .............................................................................. .... 1 B. Cara Menggunakan Pedoman Pendokumentasian........................... .... 2 C. Daftar Istilah dan Singkatan ............................................................... .... 2 Bagian Satu Landasan Pendokumentasian Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM A. Kerangka Acuan Dokumentasi ....................................................... 7 1. Ruang Lingkup Pendokumentasian ............................................. 7 2. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 8 B. HAM yang Dilindungi dan Instrumen yang Melindunginya .............. 18 C. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM................................................................................ .... 28 D. Beberapa Defenisi Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM ............................................................................... .... 35 Bagian Dua Format Dokumentasi Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM A. Lembar Fakta ................................................................................... 43 B. Lembar Analisa ............................................................................... 54 Bagian Tiga Contoh Pendokumentasian Kasus Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM A. Kasus Perkosaan terhadap Anak oleh Ayah Kandung ...................... 63 B. Kasus Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga ........................... 69
E
iii v
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Pendahuluan A. Latar Belakang dan Tujuan Pedoman Pendokumentasian Gagasan untuk melakukan pendokumentasian “Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia” muncul dalam pelatihan “HAM Berperspektif Jender” yang diselenggarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Raoul Wallenberg Institute (RWI) di Carita, tanggal 14-23 Mei 2001. Pentingnya pendokumentasian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) diakui sebagian besar peserta pelatihan, tetapi persoalannya adalah belum tersedianya perangkat standar yang memadai untuk mengerjakannya. Pelatihan yang menghimpun 24 peserta itu berasal dari 8 wilayah yaitu Aceh, Batam, Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Pontianak, Maluku dan Papua. Para peserta terdiri dari unsure pemerintah, LSM, serta akademisi. Selain dokumentasi kasus, dikedepankan juga bahwa ada kepentingan untuk mengembangkan analisis yang memadai guna mendukung pilihan advokasi. Komnas Perempuan kemudian mengambil inisiatif mengembangkan sebuah pedoman pendokumentasian yang komperhensif. Rancangan awal pedoman pendokumentasian ini disusun oleh Komnas Perempuan dan kemudian dilengkapi dengan masukan dari beberapa pihak, terutama sebagian besar peserta yang terlibat serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Masukan ini telah diolah Komnas Perempuan yang sekarang diterbitkan sebagai buku yang berjudul Pedoman Pendokumentasian Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pedoman pendokumentasian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dalam proses standarisasi dokumentasi pelanggaran hak asasi perempuan di Indonesia. Terutama untuk mendukung kerja-kerja advokasi baik litigasi maupun nonlitigasi di berbagai tingkat, lokal, nasional, dan internasional. Pedoman pendokumentasian ini disusun untuk: - Mencatat kembali secara sistematis hasil investigasi kasus kekerasan terhadap perempuan.
E
1
E
Pendahuluan Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
- Membangun argumentasi yang cukup untuk menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut merupakan pelanggaran HAM berbasis jender. - Mendukung penggalian alternatif advokasi yang tepat untuk kasus tersebut, baik litigasi maupun nonlitigasi.
B. Cara Menggunakan Pedoman Pendokumentasian Pedoman pendokumentasian ini terdiri dari tiga bagian. Bagian satu dan dua merupakan satu kesatuan yang manfaatnya saling menopang sehingga bagian dua tidak dapat berfungsi tanpa bagian satu. Bagian satu; Landasan Pendokumentasian Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM, berisi kerangka konseptual yang melandasi pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kerangka hukum yang berlaku secara nasional maupun internasional. Bagian ini merupakan landasan konseptual dalam mempergunakan bagian kedua dari buku ini. Bagian kedua; Format Dokumentasi Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM, merupakan alat kerja untuk mencatat secara sistematis data-data kekerasan terhadap perempuan sesuai kategorisasi yang tersedia dan kemudian membuat analisa akan data-data tersebut sehingga dihasilkan informasi yang komperhensif. Penggunaan bagian ini perlu memperhatikan kerangka konseptual pada bagian kesatu dari buku ini. Bagian ketiga, Contoh Pendokumentasian Kasus Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM. Bagian ini memuat contoh bagaimana menggunakan format dokumentasi ini dengan memakai kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah ditangani secara hukum maupun bentuk advokasi lainnya.
C. Daftar Istilah dan Singkatan Dalam buku ini akan sering dijumpai istilah dan singkatan sebagai berikut: CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
E
2
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Konvensi Wanita) Convention on the Rights of the Child
CRC
Konvensi Hak Anak DUHAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Universal Declaration of Human Rights
HAM
Hak Asasi Manusia
Human Rights HURIDOC
Human Rights Documentation
Sistem Pendokumentasian Hak Asasi Manusia
ICCPR
International Covenant on Civil and Political Rights
Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
ICERD International Convention on the Elemination of All Forms of Racial Discrimination Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial ICESCR International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights Konvensi Internatonal tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Declaration on the Elimination of Violence against Women Advokasi
Serangkaian upaya yang dilakukan secara sistematis untuk mengubah situasi menjadi lebih kondusif bagi penegakan HAM, baik dalam substansi kebijakan, perilaku aparat penegak hukum dan pelaksana pemerintahan,maupun dalam cara pandang dan praktek di dalam masyarakat yang menghambat penegakan HAM.
Litigasi
Upaya penempuhan proses peradilan melalui institusi hukum yang berlaku.
Non-litigasi
Upaya pemenuhan hak-hak korban yang ditempuh di luar proses peradilan; misalnya upaya damai/mediasi, upaya penguatan sosial/pendampingan dan sebagainya.
E
3
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
E
4
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Bagian Satu
LANDASAN PENDOKUMENTASIAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
E
5
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
E
6
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
A. Kerangka Acuan Dokumentasi 1.
Ruang Lingkup Pendokumentasian
Wilayah
Jenis kasus
Seluruh wilayah Indonesia, meliputi ranah public maupun privat, yang menjadi wilayah kerja pendokumentasian. Dalam konteks program Komnas Perempuan, wilayah tersebut misalnya Batam, Aceh, Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Jenis perwujudan tindakan-tindakan kekerasan terhadap perempuan di dalam berbagai sector, lokus dan agen yang berbeda, misalnya: a. Kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik (termasuk tempat pengungsian) b. Kekerasan dalam relasi personal atau rumah tangga. a. sumber primer yaitu dari korban atau saksi langsung tindak kekerasan tersebut
Sumber informasi
Jenis dokumen lain yang digunakan
b. sumber sekunder, yaitu pendampingan saksi korban dan/ atau saksi, baik professional maupun anggota keluarga atau orang dekat lainnya c. Dokumen lain yang perlu untuk didata seperti hasil visum atapun pengaduan yang dibuat korban ke kepolisian/KOMNAS HAM/organisasi HAM lainnya media massa, arsip atau dokumen lain yang relevan. Dokumen ini digunakan untuk mendukung penggambaran konteks dan penyusunan analisa kasus pelanggaran HAM tersebut. a. Identifikasi bentuk kekerasan, ranah dan pelaku/agen
Elemen penting dalam dokumentasi
b. Analisis jender c. Identifikasi jenis HAM yang dilanggar d. Identifikasi peran negara dalam pelanggaran HAM tersebut (terkait dengan mekanisme penegakan HAM)
E
7
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
2. Kerangka Pemikiran Hak Asasi Manusia Setiap manusia dilahirkan bebas dan setara Deklarasi Universal, psl. 1 dalam martabat dan hak-haknya. Setiap manusia memiliki akal budi dan hati nurani dan selayaknya bertindak dengan semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas semua hak dan Deklarasi Universal, psl. 2 kebebasan yang dimaksud oleh Deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya. Pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah di mana seseorang berasal, baik negara merdeka, negara perwalian, wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan lainnya. Seperangkat hak yang melekat pada hakikat UU No. 39 Tahun 1999 dan keberadaan manusia sebagai mahluk tentang HAM, psl. 1 Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia Hak asasi manusia adalah milik semua manusia, perempuan dan laki-laki, tanpa pembedaan ras, warna kulit, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status politik, hukum atau status internasional negara atau wilayah perempuan tersebut berasal.
E
8
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM Nasional
Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara baik disengaja amaupun tidak disengaja atau dengan kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang maupun kelompok orang dijamin dalam undangundang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. (UU RI No. 39/1999 tentang HAM, psl. 1 (6) )
Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. (UU RI No. 39/1999 tentang HAM, psl. 3 (3)) Internasional
Negara-negara peserta harus melakukan upaya-upaya yang disesuaikan dalam segala bidang, khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya untuk menjamin pengembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka (perempuan) dalam melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar berlandaskan persamaan dengan laki-laki. (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, psl.3)
Posisi Negara: Dalam hal pelanggaran HAM, negara adalah pelaku tindak pelanggaran HAM, secara langsung maupun tidak langsung. - Negara adalah pelaku tindakan pelanggaran HAM secara tidak langsung apabila: Negara melalui institusi tertentu, secara tertulis maupun tidak tertulis, membentuk dan melaksanakan kebijakan tertentu yang menyerang, membatasi dan melanggar HAM warga negaranya ataupun warga asing di negaranya. - Negara adalah pelaku tindak pelanggaran HAM secara tidak langsung apabila: Negara tidak melakukan upaya-upaya untuk membantu upaya warga negaranya untuk dapat menikmati HAM dan kebebasan dasarnya ataupun upaya untuk mencegah seseorang atau kelompok orang melakukan tindak kekerasan terhadap individu atau kelompok individu lainnya sehingga individu atau kelompok lain tersebut tidak dapat menikmati HAM dan kebebasan dasarnya.
E
9
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Kekerasan Terhadap Perempuan Defenisi kekerasan terhadap perempuan adalah: Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik maupun di dalam kehidupan privat/pribadi. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Pasal 1) Berdasarkan ruang lingkup dan agen pelakunya, kekerasan terhadap perempuan mencakup, tetapi tidak terbatas pada: a. kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga, termasuk pemukulan, penganiayaan seksual anak perempuan dalam keluarga, perkosaan dalam perkawinan, pemotongan kelamin perempuan, kekerasan yang dilakukan bukan oleh pasangan hidup dan kekerasan yang terkait dengan eksploitasi. b. kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam “komunitas”, termasuk di dalamnya perkosaan, penganiayaan seksual, pelecehan dan intimidasi seksual di tempat kerja, institusi pendidikan, tempat umum dan lainnya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. c. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilaksanakan atau dibiarkan terjadinya oleh negara, dimanapun kekerasan tersebut terjadi. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Pasal 2) Jender mengacu pada pemahaman, keyakinan, harapan, nilai dan norma masyarakat tentang peran, perilaku, watak, dan posisi sosial perempuan dan laki-laki. Pada kebanyakan kasus, perempuan menjadi sasaran kekerasan pada saat mereka memenuhi peran jendernya sesuai dengan nilai dan harapan masyarakat. Kekerasan Terhadap Perempuan acapkali disebut juga kekerasan berbasis jender seperti yang tercantum dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (1993) dan Rekomendasi Umum No. 19 Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1992). Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan juga menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan dari ketimpangan hubungan kuasa antara laki-laki dan perempuan yang telah menyejarah.
E
10
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Keterkaitan diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan terhadap perempuan Diskriminasi terhadap perempuan adalah: “Segala pembedaan, pengecualian/pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang menyebabkan, mempengaruhi atau bertujuan mengurangi ataupun meniadakan pengakuan, penikmatan atau bertujuan mengurangi ataupun meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”. (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Pasal 1) Pasal 5 ayat 1 Konvensi ini menetapkan bahwa negara-negara penandatangan wajib melakukan upaya dan langkah yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku sosial serta budaya laki-laki dan perempuan dengan tujuan penghapusan prasangka buruk, kebiasaan dan segala praktek lainnya atau berdasarkan peran stereotipi bagi laki-laki dan perempuan. Pasal 5 juga mengulas bahwa sikap tradisional yang menganggap perempuan berkedudukan subordinasi terhadap laki-laki berperan melestarikan praktek diskriminasi yang dapat mengakibatkan kekerasan seperti penganiayaan dalam keluarga, praktek kawin paksa, penyerangan dan pengrusakan alat kelamin, termasuk perdagangan perempuan. Rekomendasi Umum No. 19 Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan menyatakan bahwa kekerasan berbasis jender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasan atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. (Rekomendasi Umum No.19 Tahun 1992 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan)
E
11
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran Ham Berbasis Jender Konferensi Hak Asasi Manusia II (Wina 1993) menyepakati dan menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. Suatu tindak kekerasan terhadap perempuan disebut pelanggaran HAM berbasis jender apabila tindak kekerasan diarahkan kepada, atau dengan sengaja ditujukan kepada seorang perempuan karena ia perempuan, atau ketika tindakan tersebut mempengaruhi perempuan secara tidak seimbang. Tindak kekerasan tersebut secara serius menyebabkan terhambatnya kemampuan kaum perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya yang dimaksudkan sebagai hak asasi manusia. Dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi perempuan sebagai warga negara untuk dapat menikmati hak asasi dan kebebasan dasarnya. Perlindungan tersebut tidak hanya dilakukan di wilayah public, tetapi juga di wilayah privat/domestik. Laporan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan berkenaan dengan Resolusi Komisi Tinggi PBB untuk HAM 1995/85, yang kemudian diadopsi oleh Komisi Ekonomi dan Sosial Budaya PBB menyatakan: Kekerasan terhadap perempuan di wilayah privat, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, adalah bukan semata-mata perbuatan individu, tersendiri ataupun perilaku tidak normal biasa. Kekerasan tersebut adalah sebuah tindak sosial yang merujuk pada kewajiban atau tanda maskulinitas yang ditanamkan dalam-dalam dalam budaya, dipraktekkan secara luas, dan secara keseluruhan, seringkali kebal dari sanksi hukum. Karenanya, kelengahan negara untuk membuat hukum yang melindungi perempuan atau meghukum pelaku kekerasan, dibalut dengan sifat kekerasan domestik yang secara spesifik menargetkan jender tertentu, menjelaskan alasan keharusan kekerasan di wilayah domestik ini diklasifikasi sebagai pelanggaran HAM dan bukan sekedar keprihatinan mengenai keadilan dari sudut kriminal saja.
E
12
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Mekanisme Penegakan HAM Mekanisme Nasional Undang-undang RI No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan segala keterbatasannya, merupakan upaya pemerintah untuk menyatakan keberpihakan negara dalam menjamin setiap warga negaranya, baik laki-laki maupun perempuan untuk dapat menikmati hak asasi manusia. Implementasi UU RI No. 39 Th. 1999 terkait dengan sebuah mekanisme pengadilan HAM yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2000. Pengadilan HAM ini hanya dapat digunakan untuk mengadili pelanggaran HAM tertentu yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang ditujukan pada pelanggaran yang terjadi di dalam wilayah Indonesai maupun bagi para pelaku berkewarganegaraan Indonesia di luar batas teritorial Indonesia. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri daerah yang bersangkutan. Kejahatan terhadap kemanusiaan, berdasarkan UU No. 26/2000 pasal 9 didefinisikan sebagai : Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: a. pembunuhan, b. pemusnahan, c. perbudakan, d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, f. penyiksaan, g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, i. penghilangan orang secara paksa, atau j. kejahatan apartheid.
E
13
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Mencermati substansi yang terkandung di dalamnya, UU Pengadilan HAM ini pun masih memiliki keterbatasan dalam melindungi HAM perempuan, terutama ketika pelanggaran tersebut terjadi di dalam wilayah privat ataupun terjadi terhadap perseorangan di ranah publik. ▪▪ Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Institusi penegakan HAM ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993. Pasal 4 dari Keppres ini dinyatakan bahwa Komnas HAM bertujuan (a) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklerasi Universal Hak Asasi Manusia, (b) meningkatkan perlindungan hak asasi manusia guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Keputusan Presiden ini diperkuat dengan Undang-Undang No. 39 Th. 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal-hal yang berkaitan dengan tugas, wewenang dan administrasi Komnas HAM ini diatur dalam pasal 75-99, meskipun perlu dicermati bahwa pengaturan tersebut justru seringkali menimbulkan pertanyaan mengenai indepedensi Komnas HAM. Selain itu, berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pasal 18 menyatakan bahwa Komnas HAM adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Untuk penyelidikan tersebut, Komnas HAM dapat membentuk tim adhoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur masyarakat. Panitia adhoc ini kita kenal sebagai KPP HAM (Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM). Hasil penyelidikan diteruskan kepada Kejaksaan Agung yang kemudian akan melakukan penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran tersebut. Sebagai penyidik, Kejaksaan Agung memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti pemulaan yang cukup, dan berhak pula melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. Pasal 25 menyebutkan bahwa Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara hak asasi manusia yang berat.
E
14
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
▪▪
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan bersifat independen. Institusi penegakkan hak asasi perempuan ini berdiri berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998 setelah sekelompok aktivis hak asasi perempuan menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di seluruh Indonesia. Tuntutan ini muncul sebagai reaksi atas tindakan penyerangan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam peristiwa kerusuhan masal pada bulan Mei 1998. Keppres Nomor 181 Tahun 1998 dirumuskan dengan landasan UUD 1945 dan konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan); Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat; serta Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan. Sebagai meknisme nasional untuk penegakan HAM perempuan Indonesia, Komnas Perempuan mempunyai mandat untuk : (a) menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia; (b) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan perlindungan hak asasi manusia perempuan; serta (c) meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan. Dalam rangka memenuhi mandatnya, Komnas Perempuan melakukan kegiatan: (a) penyebarluasan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; (b) pengkajian dan penelitian terhadap berbagai instrument PBB mengenai perlindungan hak asasi perempuan dan peraturan perundangan yang berlaku, serta menyampaikan berbagai saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan masyarakat dalam rangka penyusunan dan penetapan peraturan dan kebijakan berkenaan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan dan penegakan hak asasi manusia bagi perempuan; (c) pemantauan dan penelitian, termasuk pencarian fakta tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan kepada pemerintah; (d) penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas terjadinya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat; (e) pelaksanaan kerjasama regional dan internasional dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.
E
15
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Mekanisme Internasional Tidak semua mekanisme internasional dapat digunakan untuk melaporkan tindak pelanggaran HAM yang terjadi dalam batas teritori negara. Hal ini disebabkan beberapa mekanisme mensyaratkan bahwa negara yang dilaporkan merupakan penandatangan dari konvensi-konvensi tertentu. Sebagai contoh, tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilaporkan kepada Komite HAM PBB karena Indonesia belum menandatangani Konvensi International tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Seandainya pun Indonesia sudah menandatangani Konvensi ini, laporan individual baru dapat diterima bila optional protocol dari konvensi ini juga telah ditandatangani oleh negara yang bersangkutan. Sementara itu, sebuah kasus juga dapat diadvokasikan di tingkat internasional dengan menggunakan berbagai mekanisme yang ada. Karenanya, kecermatan mengenai batasan dan peluang dari mekanisme tertentu menjadi sangat penting untuk memperoleh hasil yang optimal dari advokasi internasional. Mekanisme Internasional yang dapat digunakan untuk menegakkan HAK Perempuan, antara lain : ▪▪
Prosedur PBB No. 1503 tentang “Prosedur Komunikasi untuk Mengajukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental” Laporan ini ditujukan kepada Sekretaris Jenderal melalui Pusat HAM PBB di Jenewa. Pelapor tidak mesti merupakan korban langsung pelanggaran. Pelapor hanya perlu menunjukkan pemahaman pelanggaran yang “langsung dan dapat dipercaya”. Kasus-kasus individual akan digunakan sebagai bukti pola dan aktivitas. Pelapor tidak mesti berkebangsaan yang sama dengan negara yang dilaporkan. Laporan juga boleh dilakukan terhadap negara manapun bahkan jika negara tersebut bukan anggota PBB.
▪▪
Optional Protocol terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, pasal 2 Laporan boleh disampaikan oleh atau atas nama perseorangan atau kelompok yang terdiri dari perseorangan, dalam yuridiksi negara peserta, yang menyatakan bahwa dirinya adalah korban dari pelanggaran atas tiap-tiap hak yang dimuat dalam Konvensi yang dilakukan oleh negara peserta. Laporan yang disampaikan atas nama perseorangan atau kelompok perseorangan hanya dapat diajukan dengan persetujuan mereka, kecuali apabila si Penulis dapat membenarkan bahwa ia bertindak untuk mereka tanpa persetujuan itu.
E
16
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
▪▪
Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan (Special Rapporteur on Violence Against Women) Mekanisme Pelapor Khusus ini pada awalnya ditugaskan untuk bekerja di negara tertentu mengenai situasi pelanggaran HAM khusus yang terjadi. Pelapor khusus yang berdasarkan itu/tema tertentu kemudian dibentuk untuk melakukan investigasi dan memberikan laporan atas pelanggaran HAM serius tertentu, misalnya pembunuhan sewenang-wenang (1982), penyiksaan (1985), intoleransi beragama (1986) dan hak anak (1990). Pelapor Khusus tentang Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk tahun 1994, dengan menunjuk Radhika Coomaraswamy sebagai pelapor tersebut. Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan ini memiliki mandat untuk (a) mengumpulkan informasi tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk akar permasalahan dan akibatnya, dari berbagai sumber seperti pemerintah, badan-badan perjanjian (treaties bodies), agen-agen khusus, dan organisasi pemerintah dan nonpemerintah, serta menanggapi secara efektif informasi yang tersedia; (b) merekomendasikan langkah-langkah tertentu di tingkat nasional, regional dan internasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan akar permasalahannya, serta ganti rugi pada akibat yang ditimbulkannya; (c) bekerja erat dengan pelapor khusus lainnya, wakil-wakil khusus, kelompok kerja dan ahli-ahli independen dalam Komisi Hak Asasi manusia. Organisasi non pemerintah memiliki peran yang besar dalam kerja pelapor khusus ini dengan memberikan informasi mengenai masalah hak asasi perempuan (juga bagi pelangaran hak asasi lainnya kepada pelapor-pelapor khusus lain yang ada). Informasi ini dapat diserahkan melalui Pusat Hak Asasi Manusia di PBB. Agar dapat dimasukkan ke dalam laporan tahunan pelapor khusus, informasi tersebut harus sudah diserahkan pada setiap akhir Oktober. Selain itu, ketika pelapor khusus menjadwalkan kunjungan di sebuah negara (atas persetujuan negara tersebut), organisasi nonpemerintah dapat mengundang pelapor khusus untuk mengunjungi organisasi masing-masing untuk menginvestigasi bukti-bukti pelanggaran HAM yang tersedia.
E
17
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
B. HAM yang Dilindungi dan Instrumen yang Melindunginya: Sebuah Ringkasan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 3, menyebutkan: Perempuan diberikan kesamaan dalam menikmati dan memperoleh perlindungan atas Hak Asasi Manusianya dan kebebasan fundamentalnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau di bidang-bidang lainnya. Hak-hak ini termasuk, dan tidak terkecuali pada: a. hak untuk hidup; b. hak untuk kesetaraan; c. hak untuk kemerdekaan dan perlindungan sebagai seorang manusia; d. hak untuk memperoleh perlindungan hukum yang sama; e. hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi; f. hak untuk memperoleh standar tertinggi dalam kesehatan fisik dan mental; h. hak untuk memperoleh pekerjaan yang adil dan layak; i. hak untuk tidak menjadi korban penyiksaan, tindakan kejam, tindakan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Hak-hak ini pada tingkat tertentu telah dijamin dalam berbagai perjanjian internasional, antara lain Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM); Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik; Konvensi Internasional tentang Hak-hak Economi, Sosial dan Budaya; dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Secara nasional, upaya negara untuk menjamin hak-hak tersebut dilakukan melalui penetapan UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Meskipun demikian, produk hukum ini masih perlu kita cermati. Tujuannya adalah mendorong negara agar menjalankan tanggung jawabnya sebaik mungkin sehingga memperkuat kemampuan perempuan untuk menjalankan dan menikmati HAM. Untuk kebutuhan dokumentasi, berikut ini adalah ringkasan dari HAM dan instrumen yang melindunginya. Kategorisasi yang digunakan dalam table berikut ini merupakan adaptasi dari kategorisasi yang dibuat oleh Paul Sieghart dalam buku “The International Law of Human Rights” dan Internasional Women’s Tribunal Centre dalam buku “Rights of Women”.
E
18
E
Kemerdekaan, kesetaraan dan integritas diri
Kategori
E
19
E 21
4,33
9b
Bebas dari perdagangan untuk prostitusi maupun eksploitasi lainnya Bebas dari perlakuan atau hukuman yang menyiksa kejam, tidak manusiawi ataupun yang merendahkan lainnya Hidup di tempat dimana hak dan kebebasan dilindungi
28
5
4
20
Bebas dari perbudakan
7
8
2:1
3
4,9a
3,
2:1
Hak atas hidup, kemerdekaan dan jaminan keamanan
3
2,
1
3:3, 45, 46,48,49
3:3
Bebas menentukan nasib sendiri dalam hal politik, dan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya
Bebas dari diskriminasi karena perbedaan jenis kelamin
Bebas dari diskriminasi
1
2:2
1
1,2,3
2:2
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Instrument yang dilindungi Nasional
memperoleh hak asasi manusia dan 3:1, 9:1 kebebasan dasar sebagai manusia
Hak yang dilindungi
6
CEDAW
Tabel Hak Asasi Manusia dan Instrumen yang Melindunginya
CRC 3 5,36
CRC 2,
CRC 2,
Lainnya
standar hidup
kesetaraan umum
Kategori lain
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Kesetaraan hukum
Kemerdekaan, kesetaraan dan integritas diri
Kategori
E
20 9 11 10
18,33 18:1 5:2, 17, 18:2 19
Praduga tidak bersalah Pengadilan yang bebas dan adil Diperlakukan dengan baik di dalam tahanan
8
18
Tidak ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang jelas
29
30,35
Memperoleh penggantian yang setara untuk pelanggaran HAM yang dilindungi hukum
7
3:2,17
Mendapat perlakuan hukum yang sama dan dilindungi hukum tanpa diskriminasi Hukum yang melindungi HAM
6
5:1, 29:2
29, 30, 31, 32, 33, 34, 35
E 10
14:1
14:1
9
14:1, 2, 6
16
12
20
17
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Instrument yang dilindungi Nasional
Diakui sebagai subjek hukum
Perempuan pedesaan memiliki hak yang sama seperti perempuan dan laki-laki lainnya
Perlindungan atas nama baik diri dan keluarga
Hidup Aman, tentram, damai
Hak yang dilindungi
2 c, 15:1
15:2,3
14
CEDAW
ICER D 5a
Lainnya
Integritas diri
Perkawinan dan keluarga
Standar hidup
Kategori lain Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Politik dan demokrasi
Kesetaraan hukum
Kategori
E
21
E 27 28 22, 23 14, 15, 23:1,25,44 24 43, 44, 46, 49:1
Mencari suaka politik Bebas akan pemikiran, keyakinan dan agama Bebas mengemukakan pendapat Berserikat dan berkumpul
Mengambil bagian dalam pemerintahan, ikut serta dalam pemilu dan akses yang sama untuk layanan publik
26, 47
19:2
21
20
19
18
14
13
15
25
21, 22
19
18
13
12
24
13
11
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Instrument yang dilindungi Nasional
Bebas bergerak dalam negeri dan keluar-masuk negara lain
Memperoleh kewarganegaraan sesuai kelahiran, diperlakukan sebagai warga negara, mengganti kewarganegaraan dan per-nikahan tidak mempengaruhi kewarganegaraan yang dimiliki
Tidak dideportasi tanpa pengadilan yang adil
Tidak dipenjara karena tidak mampu memenuhi kontrak
Hak yang dilindungi
7
9
CEDAW
Lainnya
kerja,
Perkawinan dan keluarga
Pekerjaan dan ekonomi,
Kategori lain Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Budaya
Standar hidup dan jaminan sosial
Kategori
25
41, 42
Layanan khusus untuk orang tua, sakit, asuhan anak untuk orang tua yang bekerja
E
22
E Kelompok minoritas etnis, agama, bahasa atau adat memiliki hak untuk mengembangkan budaya, praktek agama dan penggunaan bahasa
Terlibat aktif dalam kehidupan budaya di komunitas dan menikmati seni dan memperoleh keuntungan dari per kembangan ilmu pengetahuan
13
27
22
41
Jaminan sosial
13,
25
40
Memiliki rumah yang layak
Bantuan layanan untuk pemeliharaan anak, dan memperoleh layanan dan fasilitas untuk keluarga
25
9c, 11
27
15
9
11:1
11
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Instrument yang dilindungi Nasional
Standar kehidupan yang layak bagi diri sendiri dan keluarga termasuk pangan, sangan, rumah dan layanan kesehatan
Hak yang dilindungi
13c
11:2c
11:2c
11:1c 14c, 13a
14:2h
14h
CEDAW
Lainnya
Hak Kolektif
Hak Kolektif
Perkawinan dan keluarga, kerja
Kategori lain
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Pekerjaan dan ekonomi
Kategori
49:1
E
23
E Pinjaman bank dan kredit lainnya
Memiliki barang, tanah dan harta lainnya
Perlindungan atas usia minimum kerja
Memperoleh liburan dan istirahat, bekerja untuk jam kerja yang layak dan cuti dengan bayaran
Mendirikan dan ikut serta dalam serikat buruh
36
39
17
24
23:4
23:2,3
23:1
10:3
22
7d
8
7a, 7b
6
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Instrument yang dilindungi Nasional
Kondisi kerja yang adil dan aman 38 serta penghasilan yang layak untuk penghidupan, tunjangan sosial jika dibutuhkan. Perempuan memiliki hak atas kondisi kerja yang sama seperti laki-laki, terutama upah yang sama untuk pekerjaan yang sama atau yang menghasilkan nilai yang sama
Bekerja dan memilih pekerjaan
Hak yang dilindungi
13b
16:1h
11, 14:2e
11, 14:2e
CEDAW
Lainnya
Standar hidup
Politik dan demokrasi
Standar hidup
Kategori lain Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Pendidikan
Pekerjaan dan ekonomi
Kategori
E
24
E Pendidikan tanpa stereotip konsep peran perempuan dan laki-laki
Pendidikan yang menghargai HAM, dan mempromosikan saling memahami, toleransi dan persahabatan antar kelompok dan individu
Hak sama untuk melanjutkan pendidikan dan pelatihan sepanjang hidup
Memperoleh pendidikan. Pendidikan dasar seharus-nya gratis dan diwajibkan, memiliki akses untuk pendidikan lanjutan
Hak yang sama bagi pekerja dan pekerjaan di rumah tangga
Perempuan pedesaan berjhak atas pinjaman untuk pedesaan, fasilitas pemasaran, teknolgi yang tepat dan perlakuan setara dalam informasi tanah dan agraria
Hak yang dilindungi
12, 48
48
26:2
26,
13:1
13, 14
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Nasional
Instrument yang dilindungi
10c
10e,f
10,
14:2g
CEDAW
Lainnya
Kemerdekaan, kesetaraan dan integritas diri
House Worker Convention
Kategori lain
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Reproduksi
Kategori
E
49:2
25
E
10h
Memperoleh pendidikan dan informasi tertentu yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk mengenai KB
12:2
12:1, 14:2b, 16:1e
12:12a
Memperoleh layanan kesehatan khusus karena hamil, melahirkan dan setelah melahirkan
12
11:2d
11:2b
11:2a
CEDAW
Hak sama dalam layanan KB
12
49: 2,3
Memperoleh kesehatan fisik dan mental setinggi-tingginya dan memperoleh akses setara untuk pelayanan kesehatan termasuk untuk KB
Perlakuan khusus di tempat kerja saat hamil
10:2
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Instrument yang dilindungi Nasional
Cuti melahirkan dengan upah atau 49:2 tunjangan sosial yang sepadan tanpa kehilangan pekerjaan maupun tunjangan lainnya
Tidak dikeluarkan dari pekerjaan karena hamil, selama cuti melahirkan, ataupun karena status pernikahan
Hak yang dilindungi
Lainnya
Pendidikan
Perkawinan dan Keluarga
Kesehatan
Kesehatan
Pekerjaan, Perkawinan dan keluarga
Pekerjaan, Perkawinan dan keluarga
Pekerjaan, Perkawinan dan keluarga
Kategori lain Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
16:1a,b, c
Hak untuk menikah dan dalam 10, 51:1 perkawinan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang setara tanggungjawab keluarga dan perceraian. Baik laki-laki dan perempuan harus memberikan kesepakatan yang penuh dan bebas untuk menikah. Keluarga dilindungi oleh negara 51:2,3 29:1 47
51:2,3
Hak yang sama atas anak Hak sama atas nama keluarga, pekerjaan dan profesi Memperoleh, mengubah, ataupun mempertahankan kewarganegaraan diri sendiri dan anak tanpa pengaruh kewarganegaraan suami. Hak yang sama dengan laki-laki atas kewarganegaraan anak. Hak yang sama bila perkawinan berakhir
16,
23
10:1
E
26
E
16:1c
9:1,2
16:1g
16:1d, e, f
1,16
Bebas dari kekerasan di dalam keluarga
CEDAW
Perkawinan dan Keluarga
ICESCR
ICCPR
uu No. 39 tahun 1999
DUHAM
Internasional
Nasional
Instrument yang dilindungi
Hak yang dilindungi
Kategori
Lainnya
Politik dan demokrasi
Kategori lain Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Keterangan : a. Pengkategorian tidak dimaksudkan untuk mengkotak-kotakkan HAM melainkan menunjukkan bahwa hak-hak yang ada adalah memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. b. Pasal-pasal yang ada pada masing-masing instrument disusun berurutan untuk memudahkan cara membaca, baik instrumen nasional maupun internasional. Misalnya dalam UU RI No. 39 Th. 1999 tentang HAM tertulis 5:1, 6. Artinya, HAM yang terkait dijamin dalam UU tersebut pada pasal 5 ayat 1 dan pasal 6. c. Ringkasan di atas tidak dimaksudkan untuk membatasi penggunaan instrumen nasional maupun internasional lainnya yang relevan.
E
27
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
C. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pelanggaran HAM terjadi di duan tingkatan, yaitu aksi dan kebijakan. Di tingkat kebijakan, negara bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut bila: ▪▪
tindak pelanggaran dilakukan oleh aparat pemerintahan karena adanya kebijakan tertentu, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengizinkan atau membenarkan tindakan tersebut dilakukan
▪▪
negara menyusun ataupun membiarkan adanya kebijakan (tertulis maupun tidak tertulis) yang melanggar HAM
▪▪
negara lalai dalam membuat hukum yang melindungi HAM
▪▪
negara gagal dalam upaya penerapan hukum yang melindungi HAM
Di tingkat aksi, ada beberapa tindak kekerasan khusus yang berkaitan dengan HAM yang dilanggarnya. Sebuah badan dokumentasi HAM internasional (HURIDOC) sampai saat ini masih mengupayakan pengembangan identifikasi tindak kekerasan berkaitan dengan pelanggaran HAM yang terjadi. Di tingkat nasional, upaya pengidentifikasian ini dilakukan oleh Komnas HAM dengan mengacu pada kategori yang ada dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan hasil identifikasi HURIDOC. Identifikasi ini digunakan oleh Komnas HAM untuk melakukan klasifikasi atas pengaduan pelanggaran HAM yang ditujukan dan/atau dihimpun oleh tim investigasi Komnas HAM. Untuk kebutuhan dokumentasi ini, identifikasi bentuk kekerasan terhadap perempuan akan disesuaikan dengan kategorisasi “HAM yang Dilindungi”, dengan mempertimbangkan identifikasi yang disusun oleh Komnas HAM dan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Identifikasi ini adalah meliputi, tetapi tidak terbatas pada:
E
28
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Kategori hak yang dilindungi
Tindak pelanggaran yang mungkin terjadi
Kemerdekaan, kesetaraan dan integritas diri
-- Pembunuhan sengaja terhadap orang-orang tertentu, terhadap orang-orang dengan sifat khusus, akibat adanya perselisihan, pembunuhan massa, secara acak, di lokasi tertentu, untuk sebab-sebab yang tidak jelas -- Percobaan pembunuhan -- Lalai dalam melindungi/menyelamatkan orang lain - - Hambatan-hambatan berpakaian oleh suatu pihak berdasarkan jenis kelamin -- Hambatan nyata ruang gerak perempuan -- Pelanggaran bekerja dengan orang yang berkelamin berbeda (heterogen) -- Larangan menyetir bagi perempuan -- Pelanggaran terhadap hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri - - Pelanggaran terhadap hak rakyat untuk mengatur kekayaan alam dan sumber alam -- Pelanggaran terhadap hak rakyat memperoleh perdamaian -- Kekerasan terhadap hak-hak pengungsi -- Perbudakan -- Perdagangan perempuan -- Perlakuan atau hukuman yang menyiksa, kejam, tidak -- manusiawi -- perkosaan -- Pelanggaran terhadap perlindungan atas hak nama baik -- Penghinaan -- Hukuman kolektif antara lain akibat adanya pertemuan massa atau jam malam.
E
29
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Kategori hak yang dilindungi Kesetaraan hukum
Tindak pelanggaran yang mungkin terjadi -- Penangkapan -- penahanan -- penghilangan orang secara paksa, -- penculikan, -- tahanan rumah, -- pengumpulan/pemusatan massa, -- jam malam -- Penolakan terhadap hak atas asumsi tidak bersalah, -- Tidak memperoleh waktu dan fasilitas yang memadai, -- Tidak ada sistem hukum yang tidak memihak ataupun sistem hukum yang bebas dan mandiri, -- Tidak memperoleh bantuan penerjemah yang bebas dan bantuan yang setara, -- Tidak tersedianya informasi yang cepat dan terperinci atas perkembangan kasus, -- Tidak memperoleh pengadilan yang secepatnya, -- Tidak mendapat bantuan hukum, -- Tidak ada hak non bis in indem, -- Tidak ada penentuan tuntutan tindak kriminal, -- Tidak memperoleh akses ke pengadilan, -- Tidak ada komunikasi dengan pembela, -- Tidak mendapatkan pengadilan yang tidak memihak, -- Tidak mendapatkan pengadilan umum, -- Tidak ada pengujian terhadap para saksi, -- Dihukum atas tindakan belum termasuk kejahatan karena belum ada hukum yang mengaturnya (nulla crimen sine lege) -- Bebas dari bukti yang memberatkan, -- Mendapatkan salinan/laporan, hak penentuan dan kewajiban sipil. -- Pelanggaran terhadap hak-hak narapidana.
E
30
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Kategori hak yang dilindungi
Tindak pelanggaran yang mungkin terjadi -- Hambatan dalam menjalankan ibadah -- Hambatan pembelaan ideology tertentu
Politik dan demokrasi
-- Penutupan kantor, -- Perampasan, pencarian tidak sah, -- Larangan berkumpul -- Pengawasan -- Pembatasan berkumpul/pertemuan -- Larangan pertemuan-aksi massa -- Tindakan langsung melanggar hak informasi -- Tindakan sensor, -- Hambatan-hambatan dalam publikasi, -- Pelarangan hal-hal yang telah eksis/mapan, -- Larangan untuk berpidato, -- Hambatan berpakaian dengan cara tertentu -- Pengasingan internal, -- Pengasingan, -- Pengusiran, -- Perpindahan dari tempat satu ke tempat lain (domestik) secara paksa -- Blokade -- Hambatan/gangguan dalam perjalanan, -- Penolakan atas hak untuk kembali/pulang -- Penolakan hak untuk memberikan suara/ pencabutan hak pilih, -- Penolakan hak untuk mencalonkan diri dan hak untuk mewakili, -- Kecurangan dalam pemilihan, -- Intimidasi dalam pemilihan, -- Gangguan terhadap juru kampanye -- Pengusiran, -- Deportasi, -- Penolakan terhadap hak untuk meninjau kembali kasus pengusiran, -- Penolakan suaka, -- Penolakan hak keluarga untuk bersatu
E
31
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Kategori hak yang dilindungi Standar hidup dan jaminan sosial
Tindak pelanggaran yang mungkin terjadi -- Tindakan langsung melanggar hak kesehatan -- Tindakan langsung melanggar hak-hak atas lingkungan yang sehat: -- Polusi, -- Pembangunan/pembuatan lingkungan yang bahaya -- Tindak langsung yang melanggar hak-hak untuk memperoleh perumahan yang layak -- Tindakan langsung yang melanggar hak atas makanan yang memadai -- Menggunakan sarana yang membahayakan seperti peristiwa kimia -- Tindakan langsung melanggar hak kebebasan untuk kegiatan kreatif
Pendidikan
-- Biaya pendidikan yang tinggi, -- Fasilitas pendidikan yang tidak layak, -- Lokasi sekolah yang jauh, -- Persediaan buku pelajaran gratis yang tidak layak, -- Rasio antara guru dan siswa yang terlalu tinggi, -- Kualitas guru yang rendah, -- Waktu sekolah yang tidak layak, -- Fasilitas yang kurang untuk anak-anak cacat
Budaya
-- Pembatasan penggunaan bahasa tertentu -- Pembatasan praktek-praktek budaya tertentu -- Tindakan langsung melanggar hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
E
32
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Kategori hak yang dilindungi
Tindak pelanggaran yang mungkin terjadi -- Pelanggaran terhadap hak untuk bekerja, -- Diskriminasi dalam pengupahan
Pekerjaan dan ekonomi
-- Penolakan upah, -- Pembatasan atau pencabutan ijin kerja, -- Pembatasan kebebasan untuk pindah dari suatu pekerjaan atau lokasi pekerjaan, -- Ketidakadilan dalam upah, penolakan untuk beristirahat, -- Pembatasan waktu terluang yang beralasan pada jam kerja, -- Penolakan atas pemberian upah pada libur berkala, -- Penolakan pemberian upah untuk libur umum, - - Penolakan pembayaran terhadap pekerja perempuan pada saat cuti hamil, pemecatan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu -- Kondisi kerja yang tidak layak, berbahaya dan atau buruk, -- Penolakan perundingan kolektif, -- Penolakan penggunaan mesin yang tepat -- Tidak diakuinya serikat pekerja, -- Pembatasan serikat pekerja Hambatan-hambatan sebagai anggota serikat pekerja dengan: -- Pemberhentian sementara/pemecatan, -- Penolakan untuk menerima kembali pekerja yang telah dipecat, -- Penolakan akses untuk ke tempat kerja, -- Demosi, -- Tidak adanya promosi, -- Mutasi yang diwajibkan, -- Pengawasan, -- Menolak memberikan ijin atau dokumen lain untuk memperoleh/melanjutkan pekerjaan
E
33
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Kategori hak yang dilindungi
Tindak pelanggaran yang mungkin terjadi
Pekerjaan dan ekonomi
-- Pelanggaran terhadap hak mogok kerja, -- Upah minimum yang sangat rendah, -- Penetapan upah minimum tanpa pertimbangan yang layak, -- Tidak ada upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak terhadap pekerja -- Perampasan, -- Perusakan, -- Penghancuran, -- Pemerasan, -- Penolakan untuk memberikan ijin bangunan, -- Penyitaan tanah dan bangunan, pengambilalihan tanah,
Reproduksi
-- Pemaksaan sterilisasi -- Pemaksaan kontrasepsi -- Pemaksaan aborsi, -- Pencegahan untuk melakukan kontrasepsi -- Pemaksaan kehamilan -- Perkosaan -- Pelecehan seksual, -- Mutilasi/pemotongan alat kelamin, dll
Perkawinan dan keluarga
Larangan untuk menikah Paksaan menikah
E
34
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
D. Beberapa Defenisi Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM, termasuk bentuk pelanggaran lain yang terkait Dalam membuat dokumentasi, adalah sangat penting untuk mengerti secara pasti defenisi dari sebuah terminologi kekerasan yang ada. Adapun beberapa definisi dari bentuk kekerasan terhadap perempuan yang perlu untuk dicermati, antara lain: ▪▪
Pembunuhan (murder): Aksi tertentu yang menyebabkan seseorang kehilangan nyawa. Untuk kepentingan dokumentasi adalah penting untuk merinci cara dan alat yang digunakan, misalnya membunuh dengan menembak menggunakan senapan rakitan, tikaman dengan pisau tumpul, dll.
▪▪
Pelaksanaan hukum mati secara cepat dan sewenang-wenang (summary killing): Prektek pembunuhan dan eksekusi terhadap lawan politik atau tersangka yang dicurigai yang dilakukan oleh angkatan bersenjata, lembaga penegak hukum atau aparat pemerintah lain atau oleh kelompok paramiliter atau kelompok politik. (Laporan Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku Kejahatan, Caracas 1980)
▪▪
Penyiksaan (torture): Setiap perbuatan yang dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan atas diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku. (pasal 1 Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia)
▪▪
Pengusiran paksa (deportation or forcible transfer of population): Pemindahan secara paksa orang-orang dari rumah atau tanahnya yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menyangkut penghapusan secara efektif kemungkinan korban secara perseorangan
E
35
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
maupun kelompok untuk hidup dalam rumah, tempat tinggal dan wilayah tertentu, dan pemindahan seseorang atau kelompok yang terusir, baik dengan bantuan maupun tanpa bantuan pemukiman kembali ke wilayah lain. (pasal 7:2 (d) Statuta Roma; lembar fakta 25, Kampanye Dunia untuk HAM) ▪▪
Penghilangan paksa (enforced disappearance of persons): Penangkapan, penahanan atau penyekapan orang-orang oleh, atau dengan kewenangan, dukungan, atau persetujuan diam-diam dari suatu negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan ini atau untuk memberi informasi tentang nasib, atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menempatkan seseorang di luar perlindungan hukum untuk kurun waktu yang relatif lama. (pasal 7:2 (i) Statuta Roma)
▪▪
Penyerangan Seksual (sexsual assault): Segala serangan yang mengarah pada seksulitas seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang dilakukan di bawah tekanan. Penyerangan seksual adalah termasuk, tapi tidak terkecuali pada perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, penghamilan paksa dan prostitusi paksa. (International Criminal Tribunal for Rwanda, Chamber 1)
▪▪
Pemotongan alat kelamin perempuan (genital mutilation): Tindakan pembedahan untuk membuang sebagian atau seluruh organ yang paling sensitive dari kelamin perempuan yang menyebabkan sejumlah komplikasi kesehatan dan masalah psikologis bagi perempuan. Pemotongan ini biasanya dilakukan sebagai praktek adat istiadat untuk menandai perempuan telah memasuki usia dewasa dan dipercaya akan mampu mengontrol tingkat seksualnya ataupun memastikan keperawanan perempuan tersebut sebelum memasuki pernikahan. (lembar fakta 23, Kampanye Dunia untuk HAM)
▪▪
Penghamilan Paksa (forced pregnancy): Penahanan tidak sah terhadap perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Defenisi ini betapa pun tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan . (pasal 7:2 (f) Statuta Roma)
E
36
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
▪▪
Perbudakan (enslavement) : Pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang, dan termasuk dilaksanakannya kekuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. (pasal 7:2 (c) Statuta Roma)
Beberapa lembaga dan praktek serupa perbudakan (Tambahan Konvensi Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak dan Lembaga-lembaga serta Praktek-praktek Serupa Perbudakan) ■■ Perbudakan berdasarkan hutang, yakni status atau kondisi yang muncul dari janji seseorang penghutangan untuk memberikan pelayanan pribadi atau pelayanan dari orang lain yang berada di bawah kekuasannya sebagai jaminan hutang, bila nilai selayaknya dari pelayanan tersebut tidak diperhitungkan sebagai pelunasan hutang atau bila dalam jangka waktu dan bentuk pelayanan itu tidak dibatasi dan ditetapkan. ■■ Penghambaan, yakni kondisi atau status dari seorang penyewa yang secara hukum, adat atau perjanjian, terikat untuk menetap dan mengerjakan tanah yang dimiliki oleh orang lain dan memberikan pelayanan tertentu kepada orang itu, dengan imbalan maupun tidak, dan tidak bebas untuk mengubah statusnya. --
Setiap lembaga atau praktek dimana:
--
Seorang perempuan, tanpa hak untuk menolak, dijanjikan atau diserahkan untuk perkawinan dengan imbalan baik berupa uang tunai maupun dalam bentuk barang yang diberikan kepada orang tuanya, wali, keluarga, atau orang atau kelompok lainnya; atau
--
Suami atau keluarga kaum perempuan tersebut memiliki hak untuk memberikannya kepada orang lain dengan imbalan tertentu atau sebagai imbalan tertentu; atau
--
Seseorang perempuan yang setelah kematian suaminya bisa diwariskan oleh orang lainnya;
--
Setiap lembaga atau praktek di mana seorang anak atau orang muda di bawah usia 18 tahun, diberikan oleh salah satu atau kedua orang tua aslinya, atau oleh walinya, kepada orang lain, baik dengan imbalan ataupun tidak, dengan tujuan untuk mengeksploitasi anak atau orang muda tersebut atau tenaga kerjanya.
E
37
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
Perlu diingat bahwa dalam konteks Indonesia, perempuan dianggap dewasa bila sudah menikah, dan sebaliknya perempuan tersebut tetap di bawah “kekuasaan” orang tua atau saudara laki-lakinya apabila perempuan tersebut belum menikah. ▪▪
Perbudakan seksual (sexsual slavery): Serangan seksual kepada seorang perempuan dengan menggunakan kekerasan, ancaman, tekanan, bahkan tipuan, dengan tujuan mengeksploitasi seksualitas perempuan tersebut secara berulang-ulang oleh satu ataupun banyak orang. Dalam beberapa kasus, perempuan yang mengalami perbudakan seksual seringkali disekap atau dibatasi hak geraknya dan tidak memperoleh makanan dan pelayanan kesehatan yang cukup.
▪▪
Perdagangan perempuan (Trafficking in women): Pemindahan perempuan tanpa persetujuannya dari satu tempat/daerah ke daerah lain baik dalam batas negara maupun antar negara, yang dilakukan oleh seseorang maupun sindikat, menggunakan cara-cara penipuan, penculikan, ancaman, tekanan lilitan hutnag, pemaksaan, dan kekerasan lainnya, untuk tujuan mengeksploitasi perempuan tersebut di tempat tujuan secara seksual maupun tenaga kerjanya. (Laporan Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan mengenai Perdagangan Perempuan). Hal “tanpa persetujuan” sebagai unsur dari perdagangan perempuan sampai saat ini masih menjadi perdebatan internasional. Beberapa Konvensi PBB tidak meletakkan “persetujuan” sebagai unsur perdagangan melainkan lebih kepada konsekuensi perdagangan yang harus dihadapi oleh perempuan tersebut, yaitu mengalami berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi saat dipindahkan, di tempat tujuan bahkan ketika perempuan tersebut kembali ke daerah asalnya.
▪▪
Prostitusi paksa (enforced prostitution): Penggunaan kekerasan, ancaman, lilitan hutang, dsb, yang dilakukan seseorang atau sindikat yang menyebabkan perempuan tidak melihat adanya pilihan lain kecuali melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memperoleh keuntungan dari biaya yang dikeluarkan oleh orang ketiga itu untuk dapat berhubungan seksual dengan perempuan tersebut. Praktek ini merupakan salah satu tujuan dari perdagangan perempuan.
E
38
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
▪▪
Kawin paksa (forced marriage): Perkawinan yang dilakukan seorang perempuan tanpa persetujuannya, atau berada di bawah tekanan, ancaman ataupun lilitan hutang. Praktek ini dapat dikategorikan sebagai bentuk perbudakan. (lihat kembali tentang lembaga dan praktek-praktek seperti perbudakan di atas)
▪▪
Pelecehan seksual (sexsual harassment): Perilaku seksual yang tidak diinginkan yang disampaikan melalui kontak fisik maupun mengambil keuntungan tertentu dengan menggunakan ucapan-ucapan yang bernuansa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan keinginan seksual. Perilaku tersebut mengakibatkan perendahan martabat seseorang dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Pelecehan seksual merupakan tindakan diskriminatif bila seorang perempuan tahu bahwa setiap ketidaksetujuannya terhadap tindakan tersebut akan membahayakan pekerjaannya, termasuk untuk direkrut maupun dipromosikan, ataupun ketika perilaku itu menyebabkan suasana kerja yang mengesalkan. (Rekomendasi Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk CEDAW, pasal 11)
▪▪
Sterilisasi paksa (enforced sterilization): Serangan seksual atas alat reproduksi perempuan yang dibuat tidak mampu menjalankan fungsi reproduksinya tanpa seizing ataupun sekehendak perempuan tersebut. Serangan ini menganggap kesehatan fisik dan mental perempuan dan merampas hak perempuan untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilannya. (Rekomendasi Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk CEDAW, psl. 16 ayat 5)
▪▪
Penganiayaan: Kata ‘penganiayaan’ dipergunakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pada pasal 351-358. Undang-undang tidak memberi ketentuan apa yang dimaksud dengan ‘penganiayaan’ itu, namun menurut yurisprodensi diartikan “sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka”, termasuk pula “sengaja merusak kesehatan orang”.
▪▪
Perkosaan (rape): Dari pengalaman Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda), perkosaan merupakan serangan fisik yang ditunjukan kepada bagian seksual seseorang yang tidak saja sekedar hubungan seksual yang tidak diinginkan oleh satu/
E
39
E
Bagian Satu: Landasan Pendokumentasian
kedua belah pihak melainkan juga termasuk segala tindakan memasukkan benda dan/atau menggunakan bagian tubuh lainnya yang sebenarnya bukan merupakan alat seksual seperti mulut dan anus. Perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan:
Pemahaman tentang perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama dalam sebuah konflik, dapat ditemui dalam naskah yang disusun oleh Dewan 1, Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda yang menyebutkan:
Mempertimbangkan batasan yang perlu untuk dapat menyatakan perkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, Dewan ini perlu untuk memberikan defenisi mengenai perkosaan karena sampai saat ini belum ada defenisi yang secara umum dapat diterima dalam hukum internasional. Bila dalam juridiksi nasional perkosaan seringkali didefinisikan sebagai hubungan seksual tanpa persetujuan, variasi dari tindak kekerasan dalam perkosaan juga memungkinkan dimasukkannya benda-benda tertentu dan/atau menggunakan bagian-bagian tubuh lainnya yang mungkin tidak dianggap sebagai organ seksual. Dewan ini memandang perkosaan sebagai sebuah bentuk serangan dan elemen-elemen penting dalam perkosaan tidak dapat dilihat dengan semata-mata menggunakan deskripsi mekanis tentang objek-objek dan bagian-bagian tubuh yang digunakan. Konvensi tentang Penyiksaan dan Tindakan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Lainnya tidak membentuk turunan tindakan yang spesifik dalam mendefenisikan penyiksaan, melainkan lebih memfokuskan pada kerangka konseptual dari kekerasan yang diciptakan oleh sanksi yang diberikan negara. Pendekatan ini lebih berguna bagi hukum internasional. Seperti juga penyiksaan, perkosaan adalah pelanggaran terhadap martabat seseorang, dan sesungguhnya perkosaan merupakan sebuah tindak penyiksaan jika tindak tersebut dilakukan, dianjurkan, atau disetujui atau diketahui oleh pejabat negara ataupun orang lainnya yang memiliki kewenangan sebagai pejabat negara. Dewan ini mendefinisikan perkosaan sebagai serangan fisik yang bernuansa seksual, dan dilakukan terhadap sseorang dalam situasi tertentu, yaitu dalam paksaan. Kekerasan seksual, yang juga termasuk perkosaan, selanjutnya merujuk pada segala tindakan yang bernuansa seksual yang dilakukan terhadap seseorang dalam kondisi tertentu, yaitu di bawah tekanan. Tindakan ini harus dilakukan: a. sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik b. ditujukan pada masyarakat sipil c. atas dasar diskriminasi tertentu, antara lain berdasarkan latar belakang kebangsaan, etnis, politik, rasa tau agama tertentu.
E
40
E
Bagian Dua
FORMAT DOKUMENTASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
A. LEMBAR FAKTA 1.
Jenis Kasus : ▪▪ Kekerasan terhadap Perempuan di wilayah konflik
▪▪ Kekerasan dalam Rumah Tangga ▪▪ Lain-lain : ............................................................................. 2.
Deskripsi Kasus :
3.
Identitas Korban : a. Nama : ………………………………………………….... b. Tempat lahir : ……………………………………………. c. Tanggal lahir : …………………………………………… d. Usia (jika tidak mengetahui tanggal lahir) :…………….. e. Agama (jika relevan) :………………………………….... f. Ras/etnis (jika relevan) :………………………………… g. Status : …………………………………………………… h. Pekerjaan :……………………………………………….. i. Alamat : ………………………………………………….
..........................................................................................
.......................................................................................... j. Alamat tempat berlindung (kalau ada) : ............................
…………………………………………………............. …………………………………………………….........
E
43
E
Bagian Dua: Format Dokumentasi
4. Identitas Pelaku No. Kejadian Jumlah pelaku (jika lebih dari satu orang) Identitas pelaku : 1. a. Nama : ..................…………………………..............……………… b. Hubungan pelaku dengan korban jika korban mengenal pelaku sebelum peristiwa : ……….........................…………………………………................…. c .Tempat tanggal lahir/usia : …............………..............……... d. Jenis kelamin : …………...............................…………………... b. Agama (jika relevan) :…………..........................………….….. e. Ras/etnis (jika relevan) : ……..........................………………. f. Status : ………………………………...................................……… g. Pekerjaan : ………………………................................…………… h. Alamat : ………………………..................................…………….. ……………………………………………………................................. ………………………………………………................................……. i. Ciri-ciri pelaku (bila korban tidak mengenal atau mengetahui identitas pelaku) ………………………………….....................................……………… ………………………….....................................……………………… 2. a. Nama : ………………………………….................................…….. b. Hubungan pelaku dengan korban jika korban mengenal pelaku sebelum peristiwa : ………………………………………...................................……….... c .Tempat tanggal lahir/usia : …............................………….… d. Jenis kelamin : ……………………….............................…….…. e. Agama (jika relevan) : …………..........................…………….. f. Ras/etnis (jika relevan) : ……….........................……………... g. Status : ………………………………................................………… h.Pekerjaan : ………………………..............................…………….. i. Alamat : ……………………………...............................…………… …………………………..................................…………………………. ………………………………………………………................................ j. Ciri-ciri pelaku (bila korban tidak mengenal atau mengetahui identitas pelaku) …………………………………………………….................................. …………………………………................................………….…….... ….................................……………………………………………….... Catatan: Lembar ini dapat digandakan sesuai dengan jumlah kejadian yang menimpa korban dan diisi secara kronologis.
E
44
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
5. Kronologi Kejadian
No. Lokasi Kejadian Kejadian 1. Tempat : ………………………........... Alamat : Jl …………………….......... Kelurahan : ……………………......... Kecamatan : ……………………....... Kabupaten/Kotamadya : ……….. Propinsi : ………………………. 2. Tempat : ………………………........... Alamat : Jl …………………….......... Kelurahan : ……………………......... Kecamatan : ……………………....... Kabupaten/Kotamadya : ……….. Propinsi : ………………………......... 3. Tempat : ………………………........... Alamat : Jl …………………….......... Kelurahan : ……………………......... Kecamatan : ……………………....... Kabupaten/Kotamadya : ……….. Propinsi : ……………………….........
Waktu Kejadian Hari : …………………...... Tanggal : ……………...... Waktu kejadian : ……..
Hari : …………………...... Tanggal : ……………...... Waktu kejadian : ……..
Hari : …………………...... Tanggal : ……………...... Waktu kejadian : ……..
* Perhatian struktur pemerintahan setempat! Bila tidak ada kelurahan, cantumkan nama desa atau dusun atau satuan struktur pemerintah setingkat lainnya. Catatan: Lembar ini dapat digandakan sesuai dengan jumlah kejadian yang menimpa korban dan diisi secara kronologis.
E
45
E
Bagian Dua: Format Dokumentasi
6. Kekerasan yang dialami korban Bentuk Kekerasan No. Kejadian
Fisik
Emosional/ Psikologis
Seksual
Lain-lain
1.
2.
3.
4.
Catatan : Lembar ini dapat digandakan sesuai dengan jumlah kejadian yang menimpa korban dan diisi secara kronologis.
E
46
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
7. Dampak yang dirasakan oleh korban Fisik
Psikologis
Seksual
Lainnya
E
47
E
Bagian Dua: Format Dokumentasi
8. Penanganan yang sudah dilakukan Tingkat Penanganan
Litigasi
Non Litigasi
Alasan Mekanisme tersebut digunakan
Lokal
Nasional
Internasional
E
48
E
Tanggapan yang diperoleh
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
9. Informasi Pelengkap a. Saksi yang menyaksikan/mendengar/mengetahui tindak
kekerasan tersebut:
Nama : ………………………………………………………………
Jenis kelamin : ………………………………………………………
Usia : ………………………………………………………………...
Alamat : ……………………………………………………………..
……………………………………………………………………….
Hubungan dengan korban : ………………………………………...
b. Identifikasi dokumen lain yang diserahkan dalam laporan ini : ►► Hasil visum
- Keterangan barang bukti
►► BAP ke kepolisian
- Hasil wawancara
►► Foto korban
- Foto pelaku
►► Lainnya : ……………………………………………………….......... c. Jika informasi tindak kekerasan ini tidak berasal dari korban :
Nama pelapor : ………..…………………………………………………
Tempat & tanggal lahir/usia : …………………………………………….
Jenis Kelamin : …………………………………………………………...
Alamat : …………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………….
Pekerjaan : ………………………………………………………………..
Apakah pelapor berada di tempat kejadian saat tindak kekerasan tersebut berlangsung ? …………………………………………………………….
Alasan korban perlu diwakilkan : ………………………………………..
……………………………………………………………………………
Alamat rumah aman (terutama jika pelapor adalah saksi kejadian) :
………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………....
E
49
E
Bagian Dua: Format Dokumentasi
10. Identitas Pengisi Lembar Isian Informasi ini : Nama : …………………………………………………………………….. Tempat/tanggal lahir : ……………………………………………………... Jenis kelamin : …………………………………………………………….. Profesi : ……………………………………………………………………. Alamat : ……………………………………………………………………. ……………………………………………………………………………… Nama organisasi : ………………………………………………………….. Alamat organisasi : ………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… Tanda tangan : ………………………………………………………………
11. Catatan tambahan (jika ada) : ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ _______________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________
E
50
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Pedoman Pengisian * Lembar Fakta 1. Isikan Jenis Kasus sesuai dengan perwujudan tindak kekerasan terhadap perempuan yang mencakup keterangan mengenai sektor, lokus, dan agen. Dua jenis kasus yang dicantumkan disini hanya merupakan contoh, sementara dalam penggunaannya jenis kasus ini dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan fakta yang ditemukan di lapangan. Sebuah kasus mungkin dapat dikategorikan lebih dari satu jenis, misalnya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di kamp pengungsian. 2. Isikan informasi tentang deskripsi kasus/kejadian secara lengkap dan detail seperti waktu, tempat, siapa saja yang terlibat dalam penanganannya, sehingga dapat memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai kejadian tersebut. Kejadian harus digambarkan sedekat mungkin dengan kenyataannya serta dipaparkan dengan bahasa yang lugas dan tidak interpretatif.
Misalnya penggambaran informasi “tindak perkosaan telah dilaporkan ke pihak berwajib”. Informasi tersebut masih mengundang pertanyaan (pihak berwajib mana? Polisi?) dan sulit untuk diklarifikasi. Informasi tersebut akan menjadi lebih kaya dan bermanfaat bila dituliskan “tindak perkosaan telah dilaporkan ke Polsek …. pada hari ….. jam ….. dan diterima oleh petugas bernama…’.
3. Isikan data-data mengenai korban secara lengkap dan detail. Ingat! Apabila kasus ini hendak dipublikasikan, maka identitas korban (terutama nama, tempat tanggal lahir, alamat, dan alamat tempat berlindung) harus disamarkan. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan dan hak korban akan keselamatan dirinya. 4. Isikan data-data mengenai pelaku secara lengkap dan detail. Bila korban tidak mengenal atau mengetahui identitas pelaku, tuliskan ciri-ciri pelaku secara detail, misalnya perkiraan tinggi badan, ukuran badan, suara, baju yang dikenakan, dan sebagainya.
Bila jumlah pelaku lebih dari satu orang pada satu kejadian, ataupun peristiwa yang menimpa korban merupakan rangkaian kejadian
* Pedoman pada Pedoman Pengisian ini merujuk pada penomoran di Lembar Fakta.
E
51
E
Bagian Dua: Format Dokumentasi
dengan pelaku yang berbeda, maka identitas seluruh pelaku harus dicatat lengkap. Untuk itu, lembar ini dapat digandakan sesuai kebutuhan.
Ingat! Rangkaian kejadian harus tetap mengacu pada kejadian yang menimpa korban yang sama.
5. Informasi “tempat” merujuk pada lokasi umum kejadian, misalnya rumah pelaku, sekolah korban, pesantren A, ladang, kebun, atau kamp pengungsi. Informasi lainnya mengenai lokasi; yaitu alamat, kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan propinsi; harus diisi dengan lengkap. Informasi “waktu kejadian” hendaknya serinci mungkin dengan merujuk pada hitungan jam waktu setempat, meskipun mungkin saja hanya berisi informasi umum waktu seperti subuh, pagi, siang, saat adzan ashar, dll. Lembar ini dapat digandakan sesuai dengan jumlah kejadian yang menimpa korban dan diisi secara kronologis. 6. Informasi “bentuk kekerasan” dapat diisi dengan merujuk pada daftar bentuk kekerasan yang terdapat pada bagian satu buku ini. ▪▪
kekerasan fisik: tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kesakitan fisik, seperti menendang, mendorong, meninju, memukul, menikam, menampar.
▪▪
kekerasan emosional/psikologis: tindakan yang menyebabkan seseorang merasa direndahkan, dilecehkan, dan kehilangan keyakinan diri seperti caci maki dengan sebutan “bodoh, idiot, tolol, pelacur, binatang, dll”; serta tindakan yang menyebabkan korban merasa ketakutan seperti ancaman, dikucilkan, disekap, dll.
▪▪
kekerasan seksual: serangan yang mengarah pada seksualitas seseorang yang dilakukan dibawah tekanan. Kekerasan seksual adalah termasuk, tapi tidak terbatas pada perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, penghamilan paksa dan prostitusi paksa.
Unsur-unsur selain fisik, psikologis dan seksual yang dialami oleh korban dicatat pada kolom “lain-lain”, misalnya diskriminasi upah/upah yang berbeda untuk kerja yang sama, penghentian nafkah dari suami, dan sebagainya. Pengisian informasi ini juga harus disesuaikan dengan urutan waktu kejadian (kronologis).
E
52
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
7. Dampak fisik misalnya luka sementara, luka permanen, cacat tubuh, buta, kerusakan alat reproduksi, hamil.
Dampak psikologis misalnya takut, trauma, halusinasi, malu, kehilangan semangat hidup.
Dampak lain yang belum terakomodir dalam pengisian dapat dicatat dalam kolom “lain-lain”; misalnya kehilangan pekerjaan (dampak ekonomi); pengucilan keluarga atau masyarakat, disalahkan oleh keluarga sebagai penyebab tindak kekerasan (dampak sosial) 8. Penanganan litigasi adalah penanganan kasus melalui jalur hukum/ formal misalnya melalui lembaga peradilan setempat, termasuk juga mekanisme adat. Biasanya penanganan litigasi dilakukan oleh lembaga bantuan hukum. Penanganan nonlitigasi adalah penanganan bukan melalui jalur hukum misalnya pendampingan, konseling dan kegiatan integrasi dengan masyarakat. Biasanya penanganan nonlitigasi ini dilakukan oleh lembaga pemberi layanan profesional maupun swadaya, dan tidak tertutup kemungkinan adanya penanganan yang diberikan secara individual. 9. Informasi pelengkap ini dibutuhkan untuk memperkuat penanganan hukum. Seperti halnya korban, untuk kebutuhan perlindungan dan keselamatan saksi, identitas saksi juga perlu disamarkan jika kasus hendak dipublikasikan. 10. Informasi ini adalah bukti pertanggungjawaban pengisi laporan atas validitas data dan sekaligus mempermudah upaya klarifikasi bila dibutuhkan. 11. Isikan informasi lain yang dianggap penting dan perlu, tetapi belum tercatat dengan format yang ada, terutama informasi-informasi yang dapat membantu proses advokasi bagi pemenuhan hak korban.
E
53
E
Bagian Dua: Format Dokumentasi
B. LEMBAR ANALISA 1. Argumentasi-argumentasi yang menunjukkan bahwa peristiwa yang dialami korban merupakan tindak kekerasan berbasis jender adalah
______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________ ______________________________________________________
E
54
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
2. Pelanggaran HAM berbasis jender yang terjadi karena tindak kekerasan yang dialami oleh korban: Bentuk Kekerasan yang dialami korban
E
HAM yang dilanggar
55
E
instrument yang melindungi HAM terbentuk Nasional Internasional
Bagian Dua: Format Dokumentasi
3. Aspek politik, ekonomi, sosial dan/atau budaya yang melatarbelakangi tindak kekerasan tersebut adalah
________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ 4. Posisi negara dalam pelanggaran HAM ini adalah (Analisa dapat dibuat berdasarkan, misalnya, pertanyaan-pertanyaan berikut: Tersediakah fasilitas pelayanan Rumah Sakit? Terlibatkah aparat negara dalam kasus tersebut? Adakah kebijakan negara yang mendukung/melindungi tindak pelanggaran HAM tersebut?)
________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________
E
56
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
5. Adakah pola yang menunjukkan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan tersebut terjadi secara sistematis atau meluas. Jika ada, jelaskan!
________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ 6. Rekomendasi Penanganan Lebih Lanjut
Tingkat Penanganan
Litigasi
Lokal
Nasional
Internasional
E
57
E
Nonlitigasi
Alasan mekanisme penanganan tersebut yang digunakan
Bagian Dua: Format Dokumentasi
7. Identitas Pengisi Lembar Isian Informasi ini : Nama : Tempat/tanggal lahir : Profesi : Alamat : Nama organisasi : Alamat organisasi : Tanda tangan : 8. Catatan tambahan (jika ada)
________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________ ________________________________________________________
E
58
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Pedoman Pengisian* Lembar Analisa 1. Analisa kasus secara singkat dan lugas dengan mempertimbangkan seluruh fakta yang ada dan mengacu pada landasan format dokumentasi. 2. Isilah bentuk kekerasan yang dialami korban, kemudian kaitkan bentuk kekerasan tersebut dengan HAM yang dilanggar, mengacu pada daftar dan instrument perlindungan HAM dan tambahkan instrument lainnya yang relevan dengan kasus. 3. Informasi mengenai aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya ini merupakan gambaran tentang konteks peristiwa, misalnya kasus tersebut merupakan bagian dari rangkaian kekerasan yang terjadi di suatu wilayah konflik; terjadi di suatu waktu misalnya pasca referendum Timor Timur, atau disebabkan oleh faktor tertentu misalnya krisis ekonomi, atau dinamika kondisi politik Indonesia. 4. Cermatilah faktor-faktor yang menunjukkan kewajiban negara! Apakah terpenuhi atau tidak? (misalnya: apakah aturan hukum, fasilitas kesehatan, aparat penegak hukum berpihak pada korban atau tidak?). 5. Untuk menunjukkan bahwa kasus tersebut terkategori sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, maka unsur-unsur yang menunjukkan sistematis dan meluas harus terbukti. Lihat kembali UU No. 26 Tahun 2000 (ringkasannya ada pada bagian satu dari buku ini). 6. Rekomendasi ini didasarkan atas hasil analisis dengan mempertimbangkan perkembangan penanganan yang sudah dilakukan baik litigasi maupun non litigasi. 7. Informasi ini adalah bukti pertanggungjawaban pengisi laporan atas validitas data dan sekaligus mempermudah upaya klarifikasi bila dibutuhkan. 8. Isikan informasi lain yang dianggap penting dan perlu, tetapi belum tercatat dengan format yang ada, termasuk juga usulan perbaikan atas format ini.
* Penomoran pada Pedoman Pengisian ini merujuk pada penomoran di Lembar Analisa.
E
59
E
Bagian Tiga
CONTOH PENDOKUMENTASIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Contoh kasus 1
LEMBAR FAKTA 1. Jenis Kasus : Perkosaan terhadap Anak yang dilakukan oleh ayah kandung Perlu pemaparan data yang lebih lengkap untuk memudahkan kalrifikasi, missal “….mendapat ijin Petugas Pemasyarakatan yang berjaga waktu itu, yaitu Bapak A”.
Pemilihan kata “memegang” dan “membaringkan” perlu lebih lugas dan sedekat mungkin dengan konteks kejadian/kenyataannya. Dapat ditulis, misalnya “……. pelaku mencengkeram tangan korban dan menghempaskannya ke tempat tidur”. Pemilihan kata yang lugas dan sedekat mungkin dengan konteks kejadian/kenyataan penting agar tidak menimbulkan konotasi makna lain, terutama agar tidak melemahkan posisi korban ketika dokumentasi ini dipergunakan dalam proses hukum
2. Deskripsi kasus: Pada tanggal 14 Agustus 2001 sekitar jam 10.00 wita, pelaku sedang menjalani putusan Pengadilan berupa hukuman 4 tahun penjara karena memperkosa seorang anak berusia 9 tahun pada tahun 2000, pulang ke rumahnya di Fatu Benao. Pelaku bisa keluar dari penjara dan pulang ke rumahnya karena mendapat ijin dari Petugas Pemasyarakatan untuk menjahit kain sofa kursi.
Sesampai di rumah, istri pelaku sedang tidak di rumah karena mengikuti acara pemberkatan nikah. Sekitar jam 11.00 istri pelaku pulang ke rumah dan mendapati pelaku sedang tidur. Karena acara pernikahan beleum selesai, maka istri pelaku kembali menghadiri acara resepsi. Yang tinggal di rumah hanya anak perempuannya (korban) dan suaminya (pelaku). Pada hari itu, korban sedang mencuci piring ketika pelaku yang sedang tidur memanggilnya dan menyuruh korban memijat badannya karena sakit. Belum lama dipijat, pelaku memegang tangan korban dan membaringkan di tempat tidur dengan paksa. Korban diancam agar tidak berteriak, kalau tidak dia akan dipukul dan dibunuh. Karena ketakutan korban hanya diam sehingga pelaku dapat melampiaskan nafsu seksualnya. Setelah memperkosa anak kandungnya, pelaku kembali ke penjara.
Kejadian tersebut baru terungkap dua hari kemudian, 16 Agustus 2001, ketika korban minta obat karena mengeluh sakit. Setelah ditanya oleh ibunya barulah korban menceritakan apa yang telah terjadi dan akibat yang dirasakannya, yaitu rasa sakit di daerah kemaluannya. Keesokan paginya korban dibawa ke Rumah Sakit Atambua untuk divisum. Kasus kemudian dilaporkan ke pihak yang berwajib.
Perlu penyebutan yang lebih spesifik: pihak berwajib yang mana? Dapat ditulis, misalnya “….dilaporkan ke Kepolisian Sektor Belu pada tanggal 16 Agustus 2001 jam 13.00 wita dan diterima oleh petugas jaga bernama X”. Ini sekaligus untuk memudahkan klarifikasi data pelaporan.
E
63
E
Bagian Tiga: Contoh Pendokumentasian Khusus
3. Identitas Korban : Seluruh identitas korban perlu ditulis secara lengkap dan detail. Namun bila kasus hendak dipublikasikan, maka data-data korban perlu untuk disamarkan. Hal ini untuk melindungi hak-hak korban dan keselamatannya.
a. Nama :Y b. Usia : 9 tahun c. Jenis kelamin : Perempuan d. Status pernikahan : Belum menikah e. Pekerjaan :f. Alamat : Belu 4. Identitas Pelaku : a. b. c. d. e. f. g.
Seluruh identitas pelaku perlu ditulis secara lengkap Nama : OMB dan detail, termasuk cirri-cirinya. Namun bila Usia : 35 tahun kasus hendak dipublikasikan, maka data-data pelaku yang juga dapat mengungkap identitas Jenis kelamin : Laki-laki korban, perlu untuk disamarkan. Status pernikahan : Menikah Pekerjaan :Alamat : Desa Fatubeno – Belu Hubungan pelaku dan korban jika korban : Ayah Kandung “Tempat” perlu dilengkapi, misal rumah tinggal pelaku/korban. “Alamat” perlu ditulis serinci mungkin. Namun bila dipublikasikan, maka data lokasi kejadian yang dapat mengungkap identitas korban, perlu untuk disamarkan.
5. Kronologi Kejadian
Lokasi Kejadian Tempat: Rumah tinggal Alamat : Fatu Benao Kabupaten : Belu Propinsi : NTT
Waktu Kejadian Hari : Tanggal : 14 Agustus 2001 Waktu kejadian : 10.00 wita
6. Kekerasan yang dialami korban
Fisik -
Bentuk Kekerasan Emosional/Psikologis Seksual Diancam akan Perkosaan dipukul dan dibunuh
E
64
Lain-lain -
E
“Hari” perlu dilengkapi karena bisa ditelusuri berdasarkan informasi “tanggal”.
Deskripsi kasus menunjukkan adanya kekerasan fisik, yaitu dipegang tangannya dengan paksa (atau dicengkeram) dan dibaringkan dengan paksa (atau dihempaskan ke tempat tidur).
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
7. Dampak yang dirasakan oleh korban
Fisik
Luka di kemaluan
Psikologis
Rasa takut dan malu
Seksual Lainnya
8. Penanganan yang sudah dilakukan
Tingkat Penanganan
Litigasi
Lokasi
Nonlitigasi
Alasan Mekanisme tersebut digunakan
Tanggapan yang diperoleh
Kasus sudah dilaporkan kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti. Data akan lebih bermanfaat, terutama untuk proses klarifikasi, bila disebutkan secara spesifik, missal Kepolisian Resor Belu.
9. Informasi Pelengkap
a. Saksi yang menyaksikan/mendengar/mengetahui tindak kekerasan tersebut:
Nama
:L
Jenis Kelamin
: Perempuan
Hubungan dengan korban
:-
Data-data saksi perlu ditulis secara lengkap. Namun bila kasus hendak dipublikasikan, maka data-data saksi perlu untuk disamarkan untuk melindungi keselamatannya.
E
65
E
Bagian Tiga: Contoh Pendokumentasian Khusus
b. Identitas dokumen lain yang diperlukan dalam laporan ini : -
Ada dokumen lain yang memungkinkan untuk ditambahkan guna memperkuat data. Misalnya hasil visum dari Rumah Sakit Umum Atambua atau Surat Tanda Penerimaan Laporan dari Kepolisian.
c. Informasi tindak kekerasan berasal dari LSM (Lap Timoris)1. 10. Identitas pengisi lembar informasi ini : Data di atas didokumentasikan oleh MD, seorang Pegawai Negeri Sipil di 2 Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM NTT .
1 Pada naskah dokumentasi yang asli tercantum alamat lengkap dari lembaga ini. 2 Pada naskah dokumentasi yang asli tertulis identitas pengisi lembar informasi secara lengkap.
E
66
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
LEMBAR ANALISA
1. Tindak kekerasan yang dialami korban berbasis jender karena:
Korban adalah anak perempuan berusia 9 tahun yang mengalami tindak kekerasan dari ayah kandungnya, yaitu perkosaan.
Tindak kekerasan tersebut berbasis jender karena perkosaan ditujukan kepada korban dalam posisinya sebagai anak dengan menyasar pada alat dan fungsi reproduksinya sebagai perempuan. Sebagai akibatnya, korban mengalami rasa sakit secara fisik berupa luka di kemaluan, merasa ketakutan dan malu.
2. Pelanggaran HAM berbasis jender yang terjadi : Bentuk kekerasan yang terjadi -Diancam akan dipukul dan dibunuh -Perkosaan
HAM yang dilanggar
Instrumen yang melindungi Nasional Internasional
Bebas dari perlakuan atau hukuman UU RI No. 39 yang menyiksa, kejam, tidak Th. 1999: manusiawi ataupun yang merendahkan 4,33 lainnya
DUHAM: 5 ICCPR: 7
Perlindungan terhadap anak
CRC: 2:2, 3:2
3. Aspek politik, ekonomi, sosial dan/atau kultural yang melatarbelakangi tindak kekerasan tersebut adalah :
Secara cultural pelaku berada pada posisi dimana dapat berbuat apa saja terhadap anak perempuannya.
4. Posisi negara dalam pelanggaran HAM ini adalah :
Negara lalai memberikan rasa aman bagi korban karena memberikan ijin keluar kepada pelaku tanpa didampingi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan, padahal pelaku masih dalam masa hukuman karena kasus yang sama, yaitu pemerkosaan terhadap anak di bawah umur (anak 9 tahun). Untuk memperkuat argumentasi ini, maka dokumen lain perlu dilampirkan dan dicantumkan dalam Informasi Pelengkap pada Lembar Fakta.
E
67
E
Bagian Tiga: Contoh Pendokumentasian Khusus
5. Rekomendasi Penanganan Lebih Lanjut Tingkat Penanganan Nasional
Litigasi Melalui jalur hukum
Non litigasi
Alasan mekanisme penanganan tersebut yang digunakan
Pendampingan 1.Perbuatan tersebut melangggar pasal oleh LSM 285 KUHP. 2.Agar pelaku dapat dihukum sesuai aturan yang berlaku, sehingga hukum dapat benar-benar ditegakkan. 3.Agar korban tidak mengalami ancaman dan tekanan dalam mengungkapkan kasus yang dialaminya.
6. Identitas Pengisi Lembar Isian Informasi ini :
Lembar isian informasi ini disusun oleh MD, seorang Pegawai Negeri Sipil di Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM NTT3.
3 Pada naskah dokumentasi yang asli tertulis identitas pengisi Lembar Isian Informasi secara lengkap
E
68
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
Contoh Kasus 2
LEMBAR FAKTA
1. Jenis Kasus: Penganiayan dan Pembunuhan terhadap Pekerja Rumah Tangga oleh Majikan 2. Deskripsi kasus:
Siang itu korban ketahuan mencuri rambutan 6 biji yang disembunyikan dalam kaosnya. Pelaku memaksa korban mengaku dengan memukuli korban menggunakan selang air. Kemudian pelaku mengikat korban pada tangga dan kembali memukulinya bertubi-tubi. Korban mulai lemas dan mengeluarkan kotoran dari duburnya. Pelaku marah dan menyuruh pembantu rumah tangga (PRT) lainnya (P) menyuapkan kotoran tersebut ke mulut korban. Pukul 16.30 korban meninggal. Pelaku memaksa PRT lainnya untuk membantu pelaku membersihkan, memindahkan, dan mengganti baju mayat korban. Salah seorang PRT (W) disuruh mencuci baju yang ada darah dan kotoran tersebut.
Sebelum penyiksaan sampai meninggal tersebut, bersama dengan keempat PRT lainnya yang bekerja pada pelaku, hampir setiap hari korban mengalami kekerasan, antara lain tidak diberi makan secara layak (diberi makanan basi), dibentak-bentak, dipukuli, disuruh minum obat 4 buah sekaligus bila sakit agar tidak menular ke anaknya, disuruh keramas menggunakan baygon, disuruh mandi menggunakan alcohol 96%, dan gaji tidak diberikan penuh setiap bulan. Korban juga disekap di dalam rumah, dilarang keluar rumah atau pulang, dilarang menerima telpon, dan dijaga satpam. Bahkan orang tuanya pun tidak diperbolehkan menemuinya. Dari kelima PRT yang bekerja di rumah pelaku, S yang sering dipukuli dan disekap. Hal tersebut dianggap pelaku sebagai hukuman karena korban melakukan kesalahan.
Seringnya korban dihukum karena dianggap melakukan kesalahan, membuat korban seperti mengalami stress dan kondisi psikologis yang buruk. Oleh karena itu, menurut rekan-rekan kerjanya, korban sering melakukan tingkah laku yang aneh. Di tubuh korban juga terdapat luka-luka yang dalam, baik luka yang masih terbuka (baru), maupun bekas luka-luka lama. Menurut visum, kematian korban disebabkan oleh terhambatnya saluran nafas akibat adanya tinja pada pangkal tenggorok, juga diperberat dengan adanya gizi yang buruk dan banyaknya luka pada tubuh korban.
E
69
E
Bagian Tiga: Contoh Pendokumentasian Khusus
3. Identitas Korban : a. Nama b. Usia c. Agama d. Ras/etnis e. Status pernikahan f. Pekerjaan g. Alamat
: Sunarsih : 15 tahun : Islam : Jawa : Belum menikah : Pembantu rumah tangga :-
4. Identitas Pelaku : a. Nama b. Usia c. Jenis Kelamin d. Agama e. Ras/etnis f. Status pernikahan g. Pekerjaan h. Alamat
: Setyawati Rahardja : 31 tahun : Perempuan : Budha : Cina : Menikah : Ibu rumah tangga : Jl. Margorejo Indah Blok B No. 923 Surabaya
i. Hubungan pelaku dengan korban jika korban mengenal pelaku sebelum peristiwa: Pelaku adalah majikan perempuan korban 5. Kronologi Kejadian Lokasi Kejadian
Waktu Kejadian
Tempat: Rumah Majikan Alamat : Jl. Margorejo Indah Blok B No. 923 Kabupaten : Surabaya Propinsi : Jawa Timur
Hari : Tanggal : 12 Februari 2001 Waktu kejadian : 12.00 - 15.30
6. Kekerasan yang dialami korban Bentuk Kekerasan Fisik -Tidak diberi makan secara layak / diberi makanan basi -Dipaksa keramas memakai baygon -Dipaksa mandi dengan alkohol 96%. -Dipukuli -Dianiaya sampai meninggal dunia (diikat, dipukuli, disuapi kotorannya sendiri)
Emosional/Psikologis
Seksual
-Disekap di dalam rumah -Dibentak-bentak tiap hari -Dilarang keluar rumah atau pulang -Dilarang menerima telepon -Selalu diawasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Lain-lain -Jam kerja yang sangat panjang, yaitu jam 4 pagi sampai 12 malam -Tidak ada waktu istirahat selama waktu kerja tersebut. -Gaji tidak diterima penuh tiap bulan. Setelah bekerja selama 3 bulan baru menerima gaji Rp 50.000,-. Menurut pelaku gaji tersebut disimpannya untuk sekalian membiayai kebutuhan korban sehari-hari seperti sabun, softex, odol, sikat, dll.
E
70
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
7. Dampak yang dirasakan oleh korban Fisik
-Keadaan gizi buruk -Banyak luka dan memar di tubuh korban, termasuk luka-luka dalam, baik yang masih terbuka (baru) maupun bekas luka-luka lama yang disebabkan sentuhan dengan benda panas -Meninggal dunia
Psikologis
Stress dan kondisi psikologis yang buruk (sebelum korban mengalami penganiayaan yang menyebabkan meninggal dunia) Keluarga korban menjadi stress
Seksual Lainnya
8. Penanganan yang sudah dilakukan
Tingkat Penanganan
Lokal
Litigasi
Nonlitigasi
Alasan mekanisme tersebut digunakan
Tanggapan yang diperoleh
Membentuk jaringan tim litigasi untuk mengontrol terselenggaranya hukum yang adil bagi korban (dan rekan-rekan kerjanya)
Membentuk support group untuk menggalang dukungan kepada korban (serta rekan-rekan kerjanya) dan mengkampanyekan ke media massa
Adanya indikasi suap terhadap polisi, jaksa, dan hakim oleh pelaku
Opini media yang mendukung korban
Mendampingi rekan kerja korban untuk merubah BAP yang sesuai dengan kejahatan pelaku
Hearing dengan DPRD untuk minta dukungan DPRD dalam penegakan hukum dan mengeluarkan rekan-rekan kerja korban dari kepolisian karena memang mereka tidak bersalah
BAP yang dibuat sebelum rekanrekan kerja korban didampingi, jauh dari fakta
BAP sudah berubah
E
71
E
Bagian Tiga: Contoh Pendokumentasian Khusus
Nasional
Mengirim urgent action ke semua intitusi yang berkaitan (MA, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LSM-LSM) untuk mendesak hakim memberikan keadilan bagi korban (dan rekan-rekan kerjanya).
Adanya ketakutan suap, atau penegak hukum tidak bisa melihat fakta.
9. Informasi Pelengkap a. Saksi yang menyaksikan/mendengar/mengetahui tindak kekerasan tersebut :
Nama
: P dan W
Jenis kelamin
: Perempuan
Hubungan dengan korban : rekan kerja korban yang juga menjadi korban lainnya
b. Identifikasi dokumen lain yang disertakan dalam laporan ini :
-Position paper
-BAP
10. Catatan tambahan : -
E
72
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
LEMBAR ANALISA
1. Tindak kekerasan yang dialami korban berbasis jender karena: Korban adalah seorang perempuan yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dan pelaku adalah majikan yang juga seorang perempuan. Tentu ada relasi kuasa pada hubungan kerja antar keduanya, hanya saja faktor penentu di dalam relasi kuasa tersebut adalah perbedaan posisi majikan dan pembantu.
Tindak kekerasan berupa penganiayaan fisik hingga meninggal dan pembatasan hak-hak sebagai pekerja yang dilakukan oleh pelaku lebih didasarkan pada ketimpangan hubungan atasan-bawahan, dan tindak kekerasan atau pelanggaran HAM yang dilakukan tidak mengindikasikan sengaja diarahkan pada korban karena ia seorang perempuan.
Dengan demikian tidak cukup jelas argumentasi untuk menggolongkan penganiayaan tersebut sebagai tindak kekerasan berbasis jender.
E
73
E
Bagian Tiga: Contoh Pendokumentasian Khusus
2. Pelanggaran HAM terjadi karena tindak kekerasan yang dialami oleh korban: Bentuk Kekerasan yang terjadi -- Tidak diberi makan secara layak/diberi makanan basi -- Dipaksa keramas memakai baygon -- Dipaksa mandi dengan alcohol 96% -- Dipukuli -- Disekap di dalam rumah -- Dibentak-bentak tiap hari -- Dilarang keluar rumah atau pulang -- Dilarang menerima telepon -- Selalu diawasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari -- Jam kerja yang sangat panjang, yaitu jam 4 pagi sampai 12 malam - - Tidak ada waktu istirahat selama waktu kerja tersebut -- Gaji tidak diterima penuh tiap bulan -- Dianiaya sampai meninggal dunia -- (diikat, dipukuli, disuapi kotorannya sendiri)
HAM yang dilanggar
Instrumen yang melindungi Nasional
Memperoleh hak asasi manusia dan kebebasan dasar sebagai manusia Bebas dari diskriminasi
Hak atas hidup, kemerdekaan dan jaminan keamanan Bebas dari perbudakan Bebas dari perlakuan atau hukuman yang menyiksa, kejam, tidak manusiawi ataupun yang merendahkan lainnya Hidup di tempat dimana hak dan kebebasan dilindungi Perempuan pedesaan memiliki hak yang sama Standar kehidupan yang layak bagi diri sendiri dan keluarga termasuk pangan, sandang, rumah dan layanan kesehatan Jaminan sosial
Kondisi kerja yang adil dan aman serta penghasilan yang layak untuk penghidupan, tunjangan sosial jika dibutuhkan
Internasional
UU RI No. 39 Th. 1999: 3:1, 9:1
DUHAM: 1
UU RI No. 39 Th. 1999: 3:3
UU RI No. 39 Th 1999: 20
DUHAM : 2 ICCPR: 2:1 ICESCR: 2:2 CRC: 2 DUHAM : 2 ICCPR: 2:1 ICESCR: 2:2 CRC: 2 DUHAM: 5 ICCPR: 7
UU RI No. 39 Th. 1999: 4, 33
DUHAM: 5 ICCPR: 7
UU RI No. 39 Th. 1999: 9b
DUHAM: 28
UU RI No. 39 Th 1999: 4, 9a
CEDAW: 14 UU RI No. 39 Th. 1999: 9c, 11
ICESCR:11 CEDAW:14h
UU RI No. 39 Th. 1999: 41
DUHAM: 22 ICESCR: 9 CEDAW:11:1e, 14c, 13a DUHAM: 23:2,3 ICESCR: 7a, b CEDAW: 11, 14:2e
UU RI No. 39 Th. 1999: 38
Memperoleh liburan dan istirahat, bekerja untuk jam kerja yang layak dan cuti dengan bayaran
DUHAM:24 ICESCR:7d
Perlindungan atas usia minimum kerja
CRC: 32 (1)
Hak yang sama bagi pekerja dan pekerjaan di rumah tangga
House Worker Convention
E
74
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
3. Aspek politik, ekonomi, sosial dan/atau cultural yang melatarbelakangi tindak kekerasan tersebut adalah: Aspek Ekonomi
Sebagai besar PRT adalah perempuan miskin dari desa yang tidak memiliki akses ke publik. Tingkat pendidikan rendah, yaitu maksimal SD, dengan tidak ada keahlian khusus membuat pemiskinan perempuan secara struktural. Pemiskinan perempuan ini adalah dampak dari diskriminasi perempuan miskin di desa, dimana perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking sehingga tidak perlu sekolah dan cukup hanya mempunyai keterampilan domestik. Akibatnya pada usia remaja sebelum menikah, untuk menyambung hidup, bahkan menopang ekonomi keluarga, para perempuan ini mengadu nasib ke kota karena lahan pertanian sudah tidak bisa lagi diharapkan, ditambah dengan kabar mengenai mudahnya mencari uang di kota. Karena tidak memiliki bekal apapun, maka jenis pekerjaan yang bisa diakses adalah menjadi pembantu rumah tangga. Sisi lainnya, pekerjaan PRT sebagai pekerja domestic dianggap pelayanan/pemeliharaan yang tidak produktif sehingga tidak begitu diakui (formalisasi). Tidak adanya pengakuan ini menyebabkan tidak terlindunginya orang yang bekerja di profesi ini.
Aspek Sosial Budaya a. Masih kuatnya feodalistik hubungan majikan-pembantu membuat banyak majikan menganggap PRT sebagai pembantu (status sosialnya lebih rendah daripada buruh di pabrik). b. Otoritas dan indepedensi keluarga juga kuat, dimana anggota keluarga merupakan kepemilikan dari pemimpin keluarga. PRT sebagai salah satu anggota keluarga dianggap sebagai properti dari keluarga itu dimana orang lain tidak boleh mengintervensi kepemilikan keluarga ini. Budaya inilah yang melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi dalam wilayah domestik, karena sulit bagi pihak luar untuk mengintervensinya. c. Adanya budaya ngenger (Jawa) dengan konsep “dididik” dimana PRT ikut dalam suatu keluarga untuk menjadi anggota keluarga dengan kebutuhan sehari-hari dicukupi dan disekolahkan. Sebagai kompensasinya, PRT tersebut harus bekerja mengurus rumah tangga tanpa dibayar. Konsep ini disosialisasikan oleh majikan (kelas menengah) dengan konsep “anak asuh”, dimana disini terjadi pereduksian pekerjaan PRT menjadi tidak berharga (eksploitasi) dan lebih disosialisasikan pemeliharaannya. Pihak-pihak inilah yang selalu menolak defenisi PRT sebagai buruh karena merasa hubungan dengan PRT adalah lebih
E
75
E
Bagian Tiga: Contoh Pendokumentasian Khusus
hubungan kekeluargaan daripada majikan. Padahal dalam prakteknya PRT bekerja lebih berat daripada buruh. 4. Posisi negara dalam pelanggaran HAM ini adalah : Kasus-kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dilatarbelakangi oleh tidak adanya perlindungan bagi orang yang bekerja pada profesi ini, sehingga majikan bisa bebas memperlakukan PRT. Data yang lengkap tentang profesi inipun tidak ada, padahal dalam realita banyak perempuan miskin yang bekerja pada profesi ini. Banyak kasus kekerasan terhadap PRT (penganiayaan, eksploitasi, perkosaan, dll) yang dilakukan oleh majikan yang terkuak oleh publik, bahkan banyak yang sampai meninggal, namun hal ini ternyata tidak membuat para pengambil keputusan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) segera untuk membuat peraturan yang melindungi PRT, bahkan meskipun sudah didesak oleh LSM.
Sikap membiarkan ini merupakan bentuk pelanggaran HAM secara tidak langsung yang dilakukan oleh negara karena negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi semua warga negaranya dan memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang melindungi hak asasi warga negaranya.
E
76
E
Pedoman Pendokumentasian: Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran HAM
5. Rekomendasi Penanganan Lebih Lanjut Tingkat Penanganan
Nasional
Litigasi
Non litigasi
Alasan mekanisme penanganan tersebut yang digunakan
Karena pihak pelaku telah membayar/ menyuap rekan kerja korban yang merupakan saksi kunci untuk menghilang/ tidak bersaksi, maka pemberat pelaku tidak ada sehingga hanya dijatuhi hukuman 2 tahun. Karena itu untuk menegakkan keadilan bagi korban, tim litigasi perlu menemukan kembali saksi dan bukti baru untuk menyelenggarakan persidangan kembali.
Menggunakan korban sebagai figur perjuangan PRT dan terwujudnya perlindungan pada Pekerja Rumah Tangga.
Bukti baru, yaitu kesaksian 2 rekan kerja korban disini sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam keputusan hakim berkaitan dengan pasal yang ditujukan kepada pelaku.
Mengupayakan dan mengkampanyekan Perda Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Dengan adanya Perda Perlindungan PRT akan memudahkan intervensi publik terhadap pelanggaran yang dilakukan majikan kepada PRT.
Bersama dengan kasus-kasus kekerasan yang dialami PRT lainnya, dilaporkan dalam Optional Protocol.
Negara telah melakukan pelanggaran HAM karena akar persoalan dari segala tindak kekerasan terhadap PRT adalah tidak adanya Aturan Negara yang melindungi manusia yang bekerja dalam sektor ini.
Internasional
6. Identitas Pengisi Lembar Isian Informasi ini :
Lembar isian informasi ini disusun oleh ES (KPPD), IH (PSW Universitas Negeri Malang), dan SS serta DL (BKKBN Propinsi Jawa Timur)4.
4 Pada naskah dokumentasi yang asli tertulis identitas pengisi Lembar Isian Informasi secara lengkap
E
77
E