Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik
Tahun 2012, Volume 25, Nomor 1: 47-55
Pedagang Kaki Lima Membandel di Jawa Timur Udji Asiyah1 Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga ABSTRACT The major problem of urban planning in big cities is how to accommodate the interest of street vendors. Nearly all major cities in Indonesia face a dilema in dealing with these vendors. Various attempts to arrange them have always ended up with unresolved conflicts. A negative image has also been associated with these vendors who are apart from being disorderly and dirty, are considered unmanageable since they usually sell goods anywhere they like. Therefore, the arrangement of street vendors has to be done comprehensively. Beside persuasive attempts, there have to be preventive attempts that will not give them an opportunity to sell goods at restricted areas. A socio-psychological analisis is conducted to map out problems related to street vendors in order to find the way to humanely arrange these vendors. Key words: street vendors, urban problem, urban planning ABSTRAK
Problem utama perencanaan perkotaan di kota-kota besar adalah bagaimana mengakomodasi kepentingan dari pedagang kaki lima (PKL). Hampir semua kota besar di Indonesia dilematis dalam menghadapi para PKL. Pelbagai upaya untuk mengatur mereka selalu berakhir dengan konflik yang tidak terselesaikan. Gambaran negatif selalu dikaitkan dengan para PKL, seperti tidak teratur dan kotor, dan tidak bisa diatur karena mereka biasanya berjualan di mana pun mereka suka. Karenanya, pengaturan PKL mesti dilakukan secara menyeluruh. Di samping upaya-upaya persuasif, mesti juga ada upaya-upaya pencegahan yang tidak akan memberi mereka kesempatan untuk berjualan di wilayah-wilayah terlarang. Analisis sosio-psikologis dilakukan untuk memetakan problem-problem terkait dengan PKL untuk menemukan cara yang manusiawi dalam mengatur PKL. Kata kunci: Pedagang kaki-lima, masalah perkotaan, perencaan kota, Jawa Timur Surabaya dan Sidoarjo adalah dua kota yang mengalami problema paling fundamental terkait dengan kebijakan penanganan PKL. Selain merupakan kota tujuan dari orang-orang berbagai daerah di Jawa Timur maupun luar Jawa Timur, dua kota ini seakan menjadi surganya bagi para migran untuk mengadu keberuntungan, baik di sektor formal maupun informal. Bagi masyarakat migran yang memiliki tingkat pendidikan tinggi disertai dengan keterampilan khusus maka mereka akan terserap pada sektor-sektor kerja formal, seperti PNS maupun karyawan perusahaan, tetapi bagi masyarakat migran yang tidak beruntung dalam konteks kalah persaingan untuk mendapatkan kerja di sektor formal, akan memilih pekerjaan di sektor informal seperti berdagang, buruh-buruh lepas, bahkan menjadi pemulung.
1
Korespondensi: Udji Asiyah, Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286, Indonesia. Telepon: ( 031) 5011744. Email:
[email protected]
Dalam banyak kasus, keterserapan masyarakat migran dalam sektor formal sama besarnya dengan yang terserap di sektor informal. Dari berbagai kajian menunjukkan bahwa sektor informal seperti menjadi PKL tampaknya merupakan pilihan paling riil dan “menjanjikan” bagi masyarakat migran. Selain tidak dibutuhkan syarat-syarat yang rumit, juga dianggap lebih menguntungkan dan bebas dalam bekerja. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian di berbagai kantong sudut kota Surabaya dan Sidoarjo bermunculan PKL yang menggelar dagangannya. Implikasi logisnya adalah penumpukkan PKL pada kantong-kantong tersebut. Di kota Surabaya, PKL akan menggelar dagangan di hampir semua ruas jalan maupun trotoar, seperti di antaranya di jalan Embong Malang, jalan Semarang, Praban, Genteng Kali, Tugu Pahlawan, Jagir Wonokromo, Joyoboyo, dan masih banyak lagi. Sementara di kota Sidoarjo lebih banyak pada pusat kota seperti jalan Gajah Mada dan jalan-jalan di sekitarnya, yaitu: jalan Jendral S. Parman di sekitar jembatan layang Waru, sekitar jembatan layang Buduran, Alun-Alun Sidoarjo, GOR Delta Sidoarjo, Sedati, dan sebagainya. Penumpukan PKL pada ruas-ruas jalan dan trotoar telah menambah problema tata letak kota yang semakin amburadul. Hal ini karena setiap kota besar, seperti Surabaya dan Sidoarjo, akan mendapati kenyataan bahwa kehadiran PKL dapat menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan seperti ketertiban, kriminalitas, keamanan, kebersihan kota, hingga kemacetan lalu lintas. Persoalan penataan pedagang kaki lima (PKL) merupakan salah persoalan besar yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas di setiap kota besar. Hampir setiap strategy planning dalam melakukan penataan tata ruang kota selalu saja memunculkan problema yang sama tentang penataan PKL, yakni ketiadaan dalam pembinaan dan penataan secara komprehensif yang berkaitan dengan problema PKL sebagai problema perkembangan kota. Berkali-kali ditertibkan, diatur, dan ditata, namun keberadaan mereka, terutama di sepanjang pinggir jalan-jalan protokol di kota Surabaya yang sangat mengganggu kelancaran lalu-lintas, masih tetap menggejala dan bermunculan. Bahkan mungkin tidak berlebihan bila dikatakan semakin berkembang. Hingga kini, jumlah PKL di Surabaya pada waktu riset ini dilakukan tahun 2007 dan 2008, sebanyak 14.000, sementara jumlah stan pasar yang kosong sebanyak 1.170 unit tersebar di enam puluh pasar milik pemkot. Meskipun pemkot telah menawarkan gratis retribusi selama setahun bagi para PKL yang mau menempati stan pasar, namun stan pasar yang dinyatakan kosong itu tetap kosong. Para PKL lebih memilih berjualan sendiri, dan biasanya di tempat-tempat yang dilarang, seperti di pinggir jalan raya, bahkan ada yang menggelar di badan jalan tertentu. Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa keberadaan PKL di tempattempat terlarang seperti di atas sangat mengganggu lingkungan sekitar. Badan jalan tidak bisa dilewati kendaraan dengan lancar, pemilik toko tidak bisa membongkar barang di depan tokonya, penghuni rumah tidak bisa leluasa keluar-masuk rumahnya, pemandangan tidak teratur, sampah menumpuk menimbulkan kesan kumuh dan bau tak sedap, dan masih banyak yang lain. Barangkali itulah beberapa citra buruk tentang keberadaan PKL di lokasilokasi konsentrasi PKL di Surabaya hingga saat ini. Sementara di kota Sidoarjo, yang dianggap sebagai anak kandung kota Surabaya, juga mengalami situasi yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada karakter wilayahnya. Di Sidoarjo, PKL lebih terpusat di jalan Gadjah Mada dan jalan-jalan yang berpusat ke arah atau keluar dari jalan tersebut. Itulah sebabnya, pada malam hari, utamanya malam sabtu atau malam minggu di pusat kota Sidoarjo benar-benar tumplek blek PKL serta pejalan kaki. Mengapa tumbuh dan berkembang perilaku membandel di kalangan PKL di Surabaya? Adakah hubungan antara pemahaman perilaku membandel dengan upaya mencari solusi penertiban/penataan para PKL di Surabaya? Metode Penelitian
Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan tentang perilaku membandel Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jawa Timur, terutama di kota Surabaya dan kabupaten Sidoarjo. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan metode survey dan observasi dalam mencari data. Penyajian hasil dilakukan melalui deskriptif kualitatif, dimana hasil penelusuran data kemudian di sajikan secara apa adanya. Hasil dan Pembahasan Program Pembangunan di Indonesia Pelaksanaan program pembangunan di Indonesia selama ini nampaknya belum bisa menghapus sifat dualistik sistem perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi didominasi oleh sistem ekonomi kapitalistik, sementara itu sistem ekonomi kerakyatan semakin tertinggal jauh, bahkan bisa dikatakan hidup enggan mati pun tidak mau. Barangkali ada benarnya bila dikatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional selama ini dapat dianggap memperkokoh kesenjangan di dalam sistem ekonomi dualistik (Boeke & Burger 1973: 46), padahal salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah mengurangi kesenjangan antara dua sistem ekonomi di atas dan/atau menyatukan. Kesinambungan kesenjangan antar keduanya itu menimbulkan makna bahwa perekonomian bangsa Indonesia tidak mengalami perubahan esensial, bahkan boleh dikatakan tetap berada dalam titik semula. Fenomena kesinambungan kesenjangan dalam kerangka sistem ekonomi dualistik itu identik dengan fenomena kemiskinan di kalangan rakyat kebanyakan, khususnya pedagang kecil yang secara alamiah sebagai “pengemban setia” ekonomi kerakyatan. Walaupun berbagai kebijakan program pemberdayaan masyarakat telah dilakukan pemerintah, namun kemiskinan di kalangan masyarakat tetap menggejala. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin pasca kenaikan harga BBM 1 Maret 2005 di Indonesia sebesar 40 juta jiwa. Pertumbuhan sektor ekonomi modern (industri) melaju pesat seakan terlepas dan meninggalkan sektor ekonomi tradisional seperti terurai di atas juga menimbulkan kesan umum seolah sektor ekonomi kapitalistik lebih unggul daripada sektor ekonomi tradisional. Sebagai dampaknya terjadi bias urban (Sumodiningrat 1999: 51), yakni arus perpindahan penduduk yang tak terbendung dari desa ke kota (urbanisasi) sebagai pusat sistem ekonomi komersial/kapitalistik. Di dalam tesis ketergantungan bentuk kesenjangan dipolakan dalam dikotomi antara pusat (metropolis/center) dan pinggiran (peripheri/satellite). Proses eksploitatif oleh pusat terhadap pinggiran yang berlanjut pada terjadinya proses dekapitalisasi dalam masyarakat peripheri (Frank 1984: 6). Di dalam kaitan ini, bisa jadi PKL dapat dimaknakan sebagai bentuk aktivitas ekonomi rakyat yang tengah berproses di tengah-tengah proses dekapitalisasi. Atau mungkin bisa bermakna sebagai upaya menyesuaikan diri (dan/atau “melawan”) pertumbuhan ekonomi komersial. Di dalam kerangka pembangunan nasional yang biasanya berorientasi pada pertumbuhan (growth-oriented theory) timbul dua kelompok masyarakat, seperti: pertama, kelompok masyarakat yang terfasilitasi oleh pembangunan; kedua, kelompok masyarakat yang kurang/tidak/belum terfasilitasi oleh pembangunan yang biasa disebut sebagai masyarakat pinggiran. Kelompok masyarakat yang terakhir biasanya kurang/tidak memiliki akses di dalam proses perubahan, kondisinya miskin, dan hanya dapat memenuhi kebutuhan pokok hidup (human basic needs) secara wajar (Suyanto 1995:67). Barangkali situasi yang digambarkan oleh Sritua Arief dan Adi Sasono, bahwa model pembangunan seperti di atas, telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi sekelompok orang, kemiskinan bagi banyak orang, dan ketergantungan bagi semua pihak Arief & Adi Sasono, 1984: 34) ada benarnya. Burger (1989: 7-8) secara implisit mungkin menyiratkan makna adanya faktor kesulitan adaptasi sektor ekonomi rakyat terhadap pertumbuhan mainstream ekonomi
komersial. Masyarakat (pribumi) yang terbiasa di dalam ekonomi padat kerja (labor intensive) mengalami kegagapan di dalam mengikuti proses perkembangan ekonomi komersial (capital intensive). Di samping itu, juga mengandung makna bahwa terjadi proses peminggiran sistem ekonomi rakyat, misalnya dianggap sebagai sistem ekonomi kelas rendahan atau kelas dua, tidak prospektif, statis, dan lain-lain yang senada. Sifat dan ciri PKL tidak berbeda jauh dengan sifat dan ciri ekonomi kerakyatan yang biasanya berjalan “terseok-seok” dalam berproses beradaptasi terhadap sistem ekonomi komersial. Bisa dikatakan demikian karena biasanya PKL berdekatan dengan tempat-tempat konsentrasi lembaga ekonomi komersial, sekalipun PKL juga dapat dianggap sebagai kepanjangan tangan sistem ekonomi komersial. Di dalam kerangka teori pilihan rasional para PKL telah menentukan pilihan tindakan menurut rasionalitasnya masing-masing. Rasionalitas yang dianggapnya mampu untuk menyiasati ketidakakomodatifan proses perubahan bagi mereka. Jadi, barangkali PKL bisa dikatakan telah meninggalkan sistem ekonomi tradisional dan berupaya melangkah ke arah sistem ekonomi komersial. Melihat kenyataan seperti itu, yakni adanya proses perubahan sosial-ekonomi dan adanya PKL barangkali sangat diperlukan upaya menata (dan/atau memberdayakan) PKL secara bijaksana yang didasarkan pada faktor budaya yang berlaku di kalangan warga PKL. Tidak pelak lagi, untuk itu diperlukan pemahaman tentang perilaku membandel di kalangan para PKL dalam suatu bentuk pengetahuan analitis. PKL: Realitas Perekonomian Sektor Informal Secara sosiologis, PKL merupakan entitas sosial yang di dalamnya terdapat pengelompokan menurut karakteristik tertentu seperti suku, etnik, bahasa, adat istiadat, asal daerah, jenis kegiatan, dan juga agama (Sarjono 2005:5). Entitas ini memiliki aktivitas yang sama yakni berdagang pada tempat-tempat yang tidak semestinya dalam tata letak kota untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Barang dan jenis dagangan yang berbeda biasanya terkait dengan perbedaan latar belakang dan karakteristik pelaku PKL. Alisyahbana (2005:3-12) dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa pilihan menjadi PKL biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, keterpaksaan, karena tiada pekerjaan lain. Masyarakat migran dan juga sebagian penduduk asli memilih menjadi PKL karena tidak ada pekerjaan formal yang dapat dimasukinya. Atau minimal peluang untuk memperoleh pekerjaan formal terlalu kecil. Selain, karena alasan-alasan formal seperti ijazah, keterampilan, dan sebagainya, biasanya para migran tidak memiliki hubungan relasional dengan perusahaan atau instansi formal. Di sisi lain, mereka dituntut untuk dapat menghidupi setiap kebutuhannya sendiri. Mau tidak mau akhirnya mereka memilih pekerjaan sektor informal untuk bertahan di kota besar. Alasan kedua biasanya muncul karena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Krisis moneter yang berimplikasi pada bangkrutnya beberapa perusahaan membuat PHK menjadi solusi paling memungkinkan bagi perusahaan. Akibatnya, terjadilah PHK masal di berbagai perusahaan di kota Surabaya dan Sidoarjo. Catatan Departemen Tenaga Kerja dalam kurun waktu 2005-2006 terjadi PHK di 112 perusahaan kecil maupun besar, dengan jumlah tenaga kerja sekitar 16.215 orang. Jumlah ini tentu saja membuat kian meluasnya pengangguran di kota besar. Pasca PHK, praktis mereka tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan. Untuk mendapatkan kerja baru di sektor formal juga mereka kesulitan atau membutuhkan waktu cukup lama. Di samping itu, mau membuka usaha mandiri ternyata juga tidak memiliki modal cukup. Alternatif yang paling memungkinkan adalah melakukan aktivitas di sektor informal yang tidak membutuhkan persyaratan yang memberatkan. PKL menjadi pilihan pertama dan utama bagi mereka. Tidaklah heran jika kemudian sektor informal ini menjadi pilihan paling logis dari masyarakat yang terkena PHK. Ketiga, alasan lain yang diungkapkan menurut Alisyahbana selanjutnya adalah mencari rejeki halal. Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan awal, setiap manusia
selalu berusaha memenuhi basic need sebelum kebutuhan lainnya terpenuhi. Kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan merupakan basic need bagi manusia. Dalam konteks ini maka menjadi jelas ketika setiap orang berusaha untuk memenuhi tuntutan logis berupa makan agar dapat melangsungkan hidupnya. Apalagi di tengah himpitan kota besar Surabaya dan Sidoarjo, maka mencari makan merupakan persoalan yang sangat penting dan mendasar bagi orang-orang yang secara sosiologis termarginalisasikan. Situasi ini menjadikan banyak dari masyarakat migran (baca: masyarakat miskin kota) akan melakukan apa saja asal mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Pilihan menjadi PKL, bagi masyarakat migran dan juga masyarakat miskin kota lainnya, merupakan pilihan yang bisa jadi terhormat daripada melakukan tindakan kriminalitas. Bagi mereka, bukankah menjadi PKL tidak melanggar norma agama dan kesusilaan. Alasan keempat adalah keinginan untuk mandiri, tidak tergantung orang lain. Sektor informal merupakan sektor pekerjaan yang mekanismenya dikelola sendiri dan mandiri berdasarkan mekanisme tradisional yakni kekeluargaan. Melalui sektor ini, para PKL merasa dapat memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mengembangkan usahanya. Pada dasarnya hampir semua responden menganggap bahwa menjadi PKL justru karena keinginan untuk bebas dari perintah orang lain dan menunjukkan kemandiriannya. Pola yang demikian tampaknya membenarkan tesis Sethuraman sebagaimana dikutip, “ ……bahwa sektor informal memberikan kesempatan yang berarti kepada kaum migran untuk mandiri berwiraswasta. Kemandirian dan kebebasan ini telah mendorong para PKL untuk menjadikannya sebagai profesi yang digeluti secara serius. Bermula dari ketiadaan pekerjaan formal, tapi setelah mengetahui bahwa keuntungan finansial yang diperoleh cukup menjanjikan mendorong mereka untuk mantap menggeluti profesi tersebut.” Banyak fakta membuktikan bahwa di beberapa tempat, ada PKL yang cukup berhasil menjadikan profesi ini sebagai penghasilan utama, bahkan telah menjadi lapangan pekerjaan bagi kerabat maupun masyarakat sekitar karena di samping cukup terkenal dan laris juga telah membuka cabang dimana-mana. Sebut saja misalnya Bebek Goreng Palupi di Rungkut, Sego Sambel di jalan Dharmawangsa, Rawon Setan di Embong Malang, Ikan Bakar CJDW, dan sebagainya. Para PKL ini telah membuktikan bahwa jika profesi ini digeluti secara serius dan profesional akan memberikan keuntungan yang besar. PKL merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup menjanjikan dan diminati oleh masyarakat migran di kota-kota besar. Meskipun bagi sebagian besar sangat berkeyakinan bahwa mengawali kerja sebagai PKL membutuhkan modal yang tidak sedikit dan kekuatan mental yang tinggi. Selain harus siap bertaruh tidak laku selama beberapa bulan, juga harus siap menghadapi berbagai tekanan dari pihak formal seperti birokrasi maupun juga pihak lain seperti preman. Tekanan dari birokrasi bisa seperti pembayaran retribusi secara rutin dan juga seperti penertiban atau obrakan. Fenomena penertiban PKL di kota-kota besar selalu menjadi peristiwa harian yang tiada henti. Hampir setiap saat kita selalu menyaksikan atau mendengar berita perihal kejadian-kejadian penertiban PKL tersebut. Sebagai profesi sektor informal, maka PKL memang selalu menerima resiko berat ini. Terminologi penertiban selalu mengadung pesan penggusuran PKL dari tempatnya berjualan. Alasan utamanya adalah untuk ketertiban sosial dan meminimalisasi ketidaknyamanan aktivitas jalan raya dari ganggungan perdagangan. Hal ini memang wajar karena banyak PKL yang melakukan aktivitas perdagangannya di bahu jalan maupun di trotoar yang bisa jadi dapat mengganggu aktivitas di tempat-tempat tersebut. Sementara gangguan yang dialami PKL dari luar birokrasi adalah pemerasan preman. Para preman merupakan sindikasi yang seringkali melakukan aksi pemerasan kepada hampir semua PKL dengan alasan jasa keamanan. Bahwa PKL telah menempati tempat-tempat tertentu yang dianggap sebagai “daerah kekuasaan” para preman tersebut. Pada kondisi ini maka PKL berada dalam situasi dilematis yang membuat mereka harus
menerima sebagai keniscayaan logis. Kalau tidak membayar jasa keamanan bisa jadi tempat usaha mereka akan mendapatkan berbagai gangguan yang bisa jadi menghambat perkembangan usahanya, Terlepas dari hal tersebut dapatlah dipahami bahwa sektor informal merupakan pilihan logis dan paling mudah diakses oleh masyarakat migran. Alasan syarat yang mudah disertai dengan kebebasan dalam pengelolaan menjadikan sektor ini diminati. Meskipun disadari pula bahwa PKL sebagai aktivitas ekonomi sektor informal dapat membawa resiko yang besar, terutama resiko ditertibkan setiap saat oleh petugas satpol pamong praja (PP). PKL akan selalu mengambil tempat-tempat strategis yang bisa ditempati untuk berjualan. Di setiap tempat kosong yang menjadi arus lalu lintas pejalan kaki maupun pengendara akan menjadi tempat utama PKL menggelar dagangannya. Barang yang diperdagangkan pun beragam tergantung dari sifat dan karakter tempat dan aktivitas masyarakat yang melakukan aktivitas disekitarnya. Di kota Surabaya dan Sidoarjo banyak tersebar PKL yang menjajakan barang dagangannya dengan segala jenis dan variasi. Menurut data dari Biro Pusat Statistik tahun 2006 melalui sensus ekonomi mutakhir (2006) yang lalu di Surabaya terdapat lebih dari 17.568 PKL yang tersebar dimana-mana, sementara di Sidoarjo terdapat sekitar 9.600 PKL. Meskipun angka tersebut tidak bisa tepat benar karena diakui bahwa pertumbuhan PKL di kedua kota tersebut tidak bisa diprediksikan secara tepat. Artinya, data yang ada bisa berubah-ubah dalam jangka waktu relatif cepat. Kontribusi positifnya antara lain: 1) munculnya PKL berarti memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar yang menganggur, bahkan memberikan lapangan kerja baru seperti tukang parkir; 2) pemenuhan kebutuhan sehari-hari secara murah dan mudah, dan 3) terjadi pola relasi yang menguntungkan antara PKL dengan masyarakat, dimana masyarakat kemudian akan ikut berjualan untuk menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh PKL. Sedangkan kontribusi negatif lebih diletakkan pada implikasi negatif yang ditimbulkannya, seperti: 1) kesemrawutan arus lalu lintas terjadi karena beberapa ruas jalan dan trotoar diambil alih oleh PKL; 2) kesan kumuh dan kotor tidak terhindarkan karena terdapat beberapa PKL seringkali tidak memiliki tempat pembuangan sampah tersendiri; 3) potensi konflik rebutan lahan dagang maupun tempat parkir; dan 4) potensi kriminalitas dan ajang munculnya penyakit masyarakat (pekat). Fenomena PKL merupakan fenomena kota besar. Berbagai upaya selalu dilakukan tetap saja tidak membuahkan hasil maksimal, kecuali dilakukan sebuah tindakan-tindakan represif atas mereka. Hal ini mengingat kehadiran PKL telah memberikan dua bentuk kontribusi sebagaimana disebutkan di atas. Ibarat pisau bermata dua yang sama tajamnya, maka PKL harus dipahami secara keseluruhan, bukan sekedar persoalan penanganannya, melainkan juga harus disimak catatan perjalan menjadi PKL. Barangkali menjadi PKL merupakan keinginan yang tidak disangka-sangka, unik, dan bisa jadi tidak pernah dicitacitakan. Secara psikologis-sosiologis, menjadi PKL adalah pilihan eksistensialis masyarakat miskin kota. Hampir dapat dipastikan, sebagian besar PKL mengawali pekerjaan di sektor informal ini berangkat dari kondisi kemiskinan atau minimal ketiadaan lapangan pekerjaan di sektor formal. Meskipun pada perkembangan selanjutnya terdapat beberapa PKL yang tinggal meneruskan keberhasilan dari usaha tersebut yang telah dirintis oleh keluarganya atau saudaranya. PKL jenis ini terutama yang menjual makanan dan minuman tapi cukup laris hingga kemudian membuka cabang dibeberapa tempat. Upaya Survival PKL: Kasus Dua Kota Para PKL selalu sadar bahwa pekerjaan ini memiliki resiko yang tinggi, mulai dari soal tidak lakunya dagangan hingga resiko obrakan atau penertiban dari Satpol PP. Bahkan tidak menutup kemungkinan ancaman konflik dengan sesama PKL, konflik dengan masyarakat sekitar dan konflik dengan preman yang suka memalak mereka.
Upaya survival ini berbeda dengan resistensi atau perlawanan atas tekanan yang nanti akan dibahas secara terpisah. Upaya survival atau keinginan untuk bisa bertahan adalah merupakan proses-proses untuk mempertahankan diri dari berbagai serbuan masifnya kepentingan kapitalisasi kota. Proses tersebut dilakukan tidak secara naluriah atau alamiah, melainkan diorganisasikan agar menjadi upaya yang rasional dan memiliki pendasaran logis sesuai dengan kepentingannya. Menurut Popkin (1986: 26) dengan menyebut postulat dari Brian Barry, mengatakan bahwa pada dasarnya setiap orang selalu mengejar tujuan secara rasional. Orang melakukan pilihan yang mereka yakini akan dapat memaksimalkan utility yang diharapkan. Terminologi ini tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi riil di kalangan PKL untuk mencoba bertahan hidup. Awalnya keinginan untuk survival memang bisa jadi merupakan naluri dasar setiap orang. Naluri dasar ini akan menuntun seseorang memiliki keberanian berbuat apa saja untuk bisa survive. Lambat laun naluri tersebut akan mendapatkan penjelasan rasional untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingannya. Pedagang kaki lima akan mengorganisir diri secara rasional agar kepentingan-kepentingan survivalnya terpenuhi. Maraknya paguyuban-paguyuban PKL di kedua kota tersebut adalah bentuk realitas pengorganisasian diri para pedagang. Bahkan berdirinya asosiasi pedagang kaki lima (APKLI) adalah upaya logis pengorganisasian diri PKL agar: 1) tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh siapapun, baik birokrasi ataupun preman; dan 2) penguatan kebertahanan diri di tengah gempuran masifnya kapitalisasi pasar. Namun demikian, haruslah dipahami bahwa upaya survival PKL lebih diletakkan pada bagaimana mereka menyiasati diri agar tidak mengalami hambatan berat dalam pemertahanan menjadi PKL sekaligus untuk dapat hidup di kota besar. Upaya survival para PKL merupakan indikasi bahwa profesi ini selayaknya harus diakui dan diakomodasikan, bukan dihilangkan. Bagaimanapun sulitnya mengatur mereka, tapi kehadirannya cukup membantu pemerintah dalam meminimalisasi pengangguran disertai dengan dukungannya meramaikan pusat-pusat bisnis formal di kota, serta dapat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mudah, murah, dan cepat. Salah satu kekuatan utama untuk survive adalah bahwa kebutuhan hidup yang harus dipenuhi bukanlah sesuatu yang dapat ditunda-tunda. Dalam konteks ini, pemerintah tampaknya juga harus memperhatikan atau membicarakan persoalan PKL langsung dari perspektif PKL bukan dari perspektif orang lain, karena bisa jadi bisa dan penuh dengan kepentingan. Bagi para PKL, memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum tidaklah dapat diwakilkan atau berharap pada orang lain. Bukankah selama ini memang tidak ada perlindungan yang kongkret bagi masyarakat miskin, baik kota maupun desa tatkala mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Kondisi-kondisi ini membuat PKL seolah berjuang sendirian dalam survive di kota besar. Mengapa demikian? Alasannya klasik yakni demi tuntutan kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Para PKL memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dari sudut pandang mereka, ketiadaan pekerjaan dan perhatian dari pemerintah terhadap nasib masa depan mereka membuatnya bersikukuh bertahan menjadi PKL. Tuntutan hidup yang demikian tinggi memaksa para PKL untuk tetap bertahan dengan kondisi kota yang terkadang tidak ramah dengan kehadiran mereka. Dari Marginalisasi hingga Perilaku Membandel PKL PKL seolah menjadi momok bagi pemerintah kota dalam melakukaan penataan kota. Kehadirannya yang berserakan dimana-mana, di setiap sudut kota, bahu jalan, emperen toko, sekitar mall, dan sebagainya, seolah telah memperburuk citra sebagai kota metropolitan. Itulah sebabnya, selalu saja muncul fenomena obrakan dengan dalih penertiban kepada setiap PKL yang dianggap melanggar perda tentang ketertiban umum. Fenomena tersebut kemudian berimplikasi bagi lahirnya berbagai perlawanan (resistensi) PKL terhadap upaya untuk menertibkan kehadiran mereka. Perlawanan-perlawanan tersebut bisa saja dilakukan secara kolektif, maupun secara individual. Karena fenomena ini menjadi
klasik dan berulang terus-menerus, maka tidaklah heran jika banyak orang menganggap fenomena ini sebagai perilaku membandel PKL terhadap berbagai upaya yang mengganggu eksistensi mereka, baik yang dilakukan secara formal maupun non formal. Marginalisasi sektor informal ini berlangsung secara terus-menerus. Istilah marginal memang menyangkut problema keterpinggiran atau dipinggirkan dalam arus utama. PKL menjadi marginal karena biasanya: 1) profesi ini dipilih oleh mereka yang tidak terserap pada sektor formal; 2) menjalankan pekerjaan ini tidak membutuhkan syarat-syarat formal khusus, karena setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi PKL. Artinya, tidak pernah ada lowongan kerja untuk menjadi PKL karena memang bukan sebuah perusahaan; 3) penyebutan sektor informal sesungguhnya memberikan indikasi bahwa sektor ini bukanlah menjadi pekerjaan resmi yang dilindungi oleh perundang-undangan. Situasi-situasi yang bersifat eksternal maupun internal kian memperjelas kedudukan yang marginal dari PKL. Dari beberapa responden di kedua kota (Surabaya dan Sidoarjo) ditemukan fakta bahwa 76% dari jumlah responden (100 orang) ternyata menganggap bahwa pilihan menjadi PKL lebih didorong karena keterpaksaan belitan ekonomi hidup di kota besar. Sisanya 12% menganggap bahwa PKL merupakan sasaran tatkala dirinya belum mendapatkan kerja di sektor formal. Hal ini karena sebagian besar dari mereka masih beranggapan bahwa menjadi PKL resiko sosial terlalu tinggi, apalagi jika barang dagangannya tidak laku. Selain harus menanggung kerugian material, mereka juga harus dihadapkan pada mendesaknya kebutuhan hidup sehari-hari. Dilematika inilah yang seringkali menghantui mereka yang baru memulai aktivitasnya sebagai PKL. Sementara itu 12% lainnya mengaku bahwa pilihan menjadi PKL karena alasan pewarisan dan kekerabatan. Artinya, keberhasilan keluarga dan kerabatnya yang mendorong mereka menjadi PKL. PKL jenis ini lebih bersifat turun temurun. Biasanya PKL jenis ketiga ini memiliki hubungan persaudaraan, sehingga memiliki keterikatan dan kerjasama yang baik antar mereka. Pada dasarnya, marginalisasi sektor informal (PKL) merupakan implikasi logis dari sejarah panjang kehadiran mereka sebagai pedagang, baik dalam soal perizinan maupun tanah/lahan yang digunakan. Temuan dalam penelitian menyebutkan bahwa hampir tidak ada PKL yang memiliki lahan sendiri untuk menggelar dagangannya. Mereka menggunaan lahan-lahan kosong yang secara formal-yuridis tidak diperbolehkan sebagai tempat berdagang. PKL selalu memanfaatkan lahan kosong dan strategis untuk menggelar dagangannya. Di Surabaya dan Sidoarjo, utamanya tempat-tempat strategis di jantung kota maupun yang ramai oleh aktivitas masyarakat, jika ada lahan kosong dipastikan dalam waktu yang cepat akan berdiri lapak-lapak PKL. Perspektif kota yang memarginalkan PKL disertai dengan perlakuan yang tidak pernah menguntungkan bagi keberadaan mereka akhirnya membentuk kebertahanan sosiopsikologis dalam diri PKL yang selalu bertahan (ngeyel) dalam mempertahankan eksistensinya. Bermula dari Penertiban PKL Salah satu musuh utama pemerintah kota maupun kabupaten adalah bagaimana menata PKL agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat lainnya karena keberadaan mereka. Hampir tiap hari terdapat berita tentang penertiban PKL di beberapa tempat. Tidak saja soal penertiban, melainkan juga bentrokan selalu mewarnai setiap upaya menertibkan PKL. Penertiban PKL diselenggarakan pada dasarnya memiliki legitimasi formal. Selain keberadaan PKL yang bukan perorangan melainkan pedagang yang menggunakan fasilitas publik, tidak memiliki payung hukum, mereka juga tidak mengindahkan adanya aturan untuk tidak berjualan di sekitar tempat tersebut. Itulah sebabnya, pemerintah jelas memiliki keabsahan untuk melakukan penertiban. Tidak heran jika kemudian muncul sejumlah fenomena penertiban terhadap PKL secara masif di kedua kota tersebut. Hampir tiap hari kita saksikan berbagai upaya penertiban terhadap PKL dan tiap hari pula kita saksikan
terjadikan bentrokan fisik antara petugas Satpol PP dengan PKL yang tidak rela barang dagangannya diangkut secara paksa. Dalam perspektif yuridis, upaya pemerintah untuk melakukan penertiban seharusnya tidak menjadi persoalan. Bagaimanapun dalam logika publik apalagi logika yuridis, penggunaan fasilitas publik yang digunakan untuk kepentingan pribadi merupakan pelanggaran, ditambah lagi jika penggunaannya justru malah menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat lainnya. Masifnya upaya penertiban PKL di kedua kota tersebut merupakan langkah intensif untuk menata kota. Di Surabaya, seperti di jalan Diponegoro, daerah Keputran, jalan Rajawali, daerah Rungkut, sekitar pasar Kupang, sepanjang pinggiran Kali Mas, sekitar pasar Tembok adalah tempat-tempat yang selalu menjadi sasaran penertiban. Begitu pula di daerah Sedati dan Buduran di Sidoarjo merupakan tempat PKL yang tidak pernah luput dari penertiban. Dalam pengamatan peneliti, masifnya penertiban PKL di daerah-daerah tersebut dilakukan karena hampir tidak ada kemauan baik dari PKL untuk tidak menjalankan aktivitasnya di tempat-tempat tersebut. Penertiban PKL di tempat-tempat tertentu dilakukan tidak hanya satu kali dalam setahun, bahkan mencapai 4 kali. Luar biasanya, meskipun selalu ada upaya penertiban, PKL tetap saja menggelar dagangannya di tempat-tempat semula. Caranya memang tidak langsung berjualan pasca penertiban, melainkan menunggu jeda beberapa hari, kemudian mereka akan kembali berjualan. Fenomena ini bukanlah barang baru lagi. Seolah penertiban yang selalu digelar oleh pemerintah tidaklah membuat PKL menghentikan aktivitas mereka dalam berjualan. Selain menjadi fenomena yang biasa, akhirnya penertiban juga menjadi sesuatu yang biasa saja. Nyaris tidak pernah ada perubahan berarti dalam upaya memfungsikan kembali fasilitas publik yang steril dari PKL. Penertiban selalu digelar, tetapi tetap saja PKL tidak berhenti berdagang, bukannya berkurang melainkan justru mengalami penambahan. Realitas ini tampaknya harus menjadi bahan kajian bagi pemerintah, terutama dalam melakukan penertiban PKL. Bukankah sudah menjadi pemandangan umum bahwa perkembangan kota selalu beriringan dengan meningkatkan jumlah PKL dimana-mana. Tidak itu saja, PKL merupakan persoalan yang paling sulit diatasi oleh pemerintah. Tidak saja karena hanya memunculkan perlawanan berlarut-larut dari PKL, tapi juga menunjukkan bahwa penertiban yang selama ini dijalankan tidak efektif untuk menata PKL Menjadi wajar pula jika PKL seringkali melakukan resistensi terhadap upaya penertiban. Bermula dari penertiban yang dijalankan oleh pemerintah inilah muncul selalu melembaga dalam setiap penertiban mencitrakan PKL sebagai pedagang yang sangat sulit diatur. Pada kondisi lain, realitas ini memunculkan perilaku membandel PKL dari perspektif sosio psikologis. Mereka membandel sebagai langkah taktis agar keberadaannya sebagai PKL tetap eksis, meskipun selalu mendapat tekanan dan penertiban yang bisa jadi berujung pada pengangkutan barang-barang dagangan mereka. Resistensi PKL: Bentuk Perlawanan Menurut Scott (2000: 40) resistensi merupakan perjuangan yang biasa-biasa saja, namun terjadi terus-menerus karena perlawanan atas tekanan yang menimpa mereka. Bagi Scott, resistensi tidak akan sampai pada taraf pembangkangan terang-terangan secara kolektif. Resistensi yang biasanya dilakukan oleh PKL setelah terjadi tindakan penertiban. Aktivitas PKL yang menggunakan ruang publik dan terkadang juga tanah orang lain mendorong pemerintah melakukan penertiban bagi mereka. Biasanya petugas melakukan penertiban setelah melalui berbagai cara terlebih dahulu seperti memberinya surat peringatan dan menegur supaya tidak berjualan di tempat tersebut. Tapi ketika hal tersebut tidak dipatuhi oleh PKL, maka terjadilah tindakan pembersihan ruang kota (penataan) terhadap PKL. Tindakan ini melahirkan perlawanan dari PKL, baik perlawanan terbuka, terselubung maupun normatif (Alisyahbana 2006:92).
Keinginan PKL ini memang terkadang cenderung berlebihan. Betapa tidak, awalnya mereka berdagang dengan menggunakan tempat yang dilarang berdagang, tapi ketika ditertibkan mereka meminta lahan lain yang harus disediakan oleh pemerintah. Padahal sejak semula PKL sudah diperingatkan bahwa ada larangan berjualan di tempat-tempat tersebut, tetapi tetap saja nekat dan menuntut ganti rugi setelah mereka ditertibkan. Realitas ini memang paradoks dan problematik bagi pemerintah dan PKL itu sendiri yang harus mendapatkan solusi strategis untuk mencari jalan keluarnya. Penelitian ini menemukan bukti bahwa perlawanan PKL selain perorangan dan teroganisir adalah bagiana dari the survival of the fittest di tengah derasnya kompetisi hidup di kota besar. Ketakutan akan kehilangan lapangan pekerjaan yang dengan sendirinya berarti hilang pula penghasilan dan status sosialnya, membuat PKL begitu masif melakukan perlawanan. Tidak saja via a vis dengan berhadapan langsung aparat, tetapi juga menyusun kekuatan dalam melakukan perlawanan. Tidak heran jika PKL menjadi persoalan yang tidak bisa terselesaikan secara berkesinambungan, justru mereka akan kian menyimpan tabungan emosi untuk selalu berjualan demi menyambung hidupnya. Penertiban Bukan Langkah Satu-Satunya Realitas ketidaktuntasan persoalan penanganan PKL di kota besar harusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah tatkala melakukan penertiban. Bahwa PKL secara formal memang tidak diperbolehkan berdagang di tempat-tempat yang dilarang, tetapi menggusur mereka ternyata malah memunculkan beban sosial yang lebih berat. Selain itu, akan muncul pengangguran-pengangguran baru yang tentu saja memberikan potensi bagi tindakan-tindakan kriminalitas, juga akan melahirkan persoalan sosio kultural yang parah. Kasus Amir Faisal yang harus menjadi pengangguran ditambah lagi dengan perceraian dengan istrinya, tentunya hanya salah satu fakta dari ratusan fakta terjadinya implikasi negatif dari tergusurnya PKL. Salah satunya adalah membuat kebijakan daerah atau kota yang juga berpihak pada sektor-sektor informal tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut akan memberikan fungsi perlindungan hukum untuk aktivitas PKL bukan untuk kembali berdagang di tempat terlarang, melainkan tempat yang memang disediakan oleh pemerintah maupun swasta. Misalnya: 1) dalam pembangunan Mall ada kewajiban menyediakan ruang sekitar 5-10 persen yang diperuntukkan bagi PKL; 2) dalam pelebaran jalan, pemerintah juga wajib membuat tempat-tempat tertentu bukan di sepanjang jalan melainkan tempat yang agak jauh dari arus utama yang dapat dipergunakan PKL untuk menggelar dagangan; 3) membangun sentra PKL di setiap titik kota, karena bagaimanapun PKL ternyata memiliki fungsi strategis dalam menggerakan dinamika kota agar lebih hidup; dan 4) tidak membiarkan tumbuhya PKL di sebuah tempat yang dilarang berjualan dalam waktu yang lama. Selama ini munculnya PKL di tempat-tempat tertentu karena mereka awalnya dibiarkan berjualan, meskipun baru satu PKL yang berdiri, tapi lambat laun pasti akan diikuti oleh PKL lainnya untuk ikut berjualan di tempat tersebut. Akibatnya, ketika sudah terlihat banyak PKL yang berjualan di tempat tersebut, maka dipastikan mereka akan kian sulit untuk dilakukan penataan. Karenanya, sebelum berkembang, pemerintah bekerjasama lingkungan setempat untuk tidak memberikan ruang bagi munculnya PKL di tempat-tempat terlarang. Dengan demikian, upaya penertiban dapat dijalankan ketika pemerintah memang sudah menyediakan solusi tepat bagi PKL untuk tidak kehilangan mata pencahariannya. Begitu pula, jangan sampai ada kesan bahwa pemerintah membiarkan bertumbuhkembangnya PKL di tempat yang dilarang, baru setelah menumpuk diadakan penertiban. Upaya penertiban merupakan langkah terakhir terutama bagi para PKL yang memang sangat sulit untuk diatur dan ditata. Simpulan Sebagai sektor informal, maka PKL memang tidak pernah mendapatkan perlakukan yang sama dengan sektor formal. Terlebih citra negatif yang selama ini diberikan oleh
pemerintah atas status PKL di sektor informal, selain dianggap melanggar ketertiban umum, tidak memperhatikan keindahan kota, juga dianggap sebagai perilaku patologi sosial. Tidak berlebihan bila PKL tidak saja berada dalam posisi marginal, melainkan termarginalisasi menjadi sektor yang tidak boleh berkembang di tengah kota besar seperti Surabaya dan Sidoarjo. Marginalisasi tersebut akhirnya menyulut harga diri PKL agar keberadaannya diakui dan diberi perhatian selayaknya orang yang beraktivitas ekonomi. Perilaku membandel PKL disebabkan karena: 1) citra negatif yang terlanjur diberikan kepada status pekerjaan mereka; 2) tindakan represi yang dilakukan aparat ketika melakukan penertiban yang seringkali berujung bentrokan fisik karena aparat memaksa menyita barang dagangan sekaligus perlengkapannya; dan 3) tergusurnya lahan pencarian nafkah utama mereka. Alasan ini mendorong PKL begitu kuat memberikan perlawanan begitu terjadi penertiban. Jika mereka kalah saat penertiban, mereka akan tetap kembali menggelar dagangannya di kemudian hari. Ini terjadi secara terus menerus. Tradisi ini seolah bersifat klasik, setiap penertiban hanya selesai sehari setelah itu akan muncul PKL lagi, ditertibkan lagi, muncul lagi begitu seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA Alisyahbana (2005) Sisi Gelap Perkembangan Kota. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Alisyahbana (2006) Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya: ITS Press. Arif S & Sasono A (1984) Ketergantungan dan Keterbelakangan. Jakarta: Sinar Harapan. Boeke JH & DH Burger (1973) Ekonomi Dualistik Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhratara. Frank AG (1984) Sosiologi Pembangunan & Keterbelakangan Sosiologi. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Popkin SL (1986) Petani Rasional. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Sarjono Y (2005) Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan. Surakarta: Muhamamdiyah University Press. Scott JC (2000) Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta. LP3ES. Sumodiningrat G (1999) Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suyanto B (1995) Menata PKL dan Bangunan Liar. Surabaya: Pemkot Surabaya.