92
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0295/Pdt.G/2015/PA.SAL TENTANG SYIQAQ KARENA PERBEDAAN MADZHAB SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK A. Analisis Terhadap Dasar Hukum Bagi Hakim dalam Menetapkan Keputusan Syiqaq Karena Perbedaan Madzhab Sebagai Alasan Perceraian (Putusan PA Salatiga Nomor 0295/Pdt.G/2015/PA.SAL) Dasar pertimbangan putusan hakim Nomor 0295/Pdt.G/2015/PA.Sal Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai berikut: Pertama, bahwa bukti P.I foto copy kutipan akta nikah adalah telah bermeterai cukup dan sesuai dengan aslinya sehingga telah memenuhi persyaratan perundang-undangan sebagai bukti tertulis yang mempunyai nilai bukti yang sempurna karenanya harus dinyatakan menurut hukum, bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri sah. Kedua, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diajukan Penggugat telah membuktikan bahwa antara Penggugat dan Tergugat tidak harmonis rumah tangganya dan sering bertengkar hal tersebut disebabkan adanya berbedaan madzhab antara Penggugat sunni sedangkan Tergugat syiah. Ketiga, bahwa pada hari-hari persidangan yang ditetapkan Penggugat datang sendiri menghadap di persidangan, sedangkan Tergugat tidak datang menghadap tanpa alasan yang sah dan tidak menyuruh orang lan sebagai kuasanya, meskipun dalam surat gugatan Penggugat tercantum bahwa Tergugat merupakan seorang
93
pengusaha Eksportir yang kediamannya selalu berpindah-pindah bahkan sampai ke luar negeri. Sehingga majlis hakim harus menjatuhkan talak verstek dari Tergugat atas diri Penggugat, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam kitab Fiqh Sunnah II: 290 yang berbunyi.
اﻹﻳْ َﺪأُ ﳑِﱠﺎ َﻻﻳُﻄْﻠَ ُﻖ َﻣ َﻌﻪُ َدوَا َم ِْ ْج َوﻛَﺎ َن ِ اف اﻟﺰﱠو َ ْﱰ َ َِﺖ َد ْﻋ َﻮﻫَﺎﻟَ َﺪ ِي اﻟْﻘَﺎﺿِﻰ ﺑِﺒَـﻴﱢـﻨَ ِﺔ اﻟﺰْﱠو َﺟ ِﺔ اَ ِو اﻋ ْ ﻓَِﺈذَا ﺛـَﺒَﺘ .ََﲔ اَْﻣﺜَﺎﳍِِﻤَﺎ َو َﻋ َﺠَﺰ اﻟْﻘَﺎﺿِﻰ َﻋ ِﻦ اْ ِﻹ ﺻ َْﻼ ِح ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬﻤَﺎ ﻃَﻠﱠ َﻘﻬَﺎ ﻃَْﻠ َﻘﺔً ﺑَِﺈﻧﱠﺔ َ ْ اﻟْﻌُ ْﺸَﺮةِ ﺑـ Artinya: Apabila istri telah dapat membuktikan dalil gugatannya di hadapan hakim dengan bukti atau pengakuan suami dan penderitaan itu sudah tidak bisa mempertahankan kelangsungan kehidupan rumah tangga diantara keduanya, sementara juga hakim sudah tidak dapat mendamaikan keduanya, maka hakim dapat menjatuhkan talak suami terhadap istrinya dengan talak satu bhain.131 Keempat, karenanya dinyatakan terbukti menurut hukum bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering bertengkar karena adanya berbedaan madzhab antara Penggugat sunni sedangkan Tergugat Syiah, Majelis hakim telah menemukan fakta dalam persidangan yang pada pokoknya Penggugat dan Tergugat benar-benar telah pecah dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun kembali. Kelima, dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam perkara ini adalah: 1. Peraturan pemerintah. Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 19 huruf (f) yaitu: "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
131
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah ter. Nor Hassanuddin, dkk. dari “Fiqh Sunnah”, hlm.290.
94
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. 2. Kompilasi Hukum Islam pasal 1 1 6 huruf (f) yaitu: "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tugas utama seorang Hakim sebenarnya adalah mengadili, Hakim wajib mendamaikan para pihak, yakni antara Penggugat dan Tergugat. Maka Hakim harus mendamaikan dengan seadil-adilnya. Terutama ditujukan bagi kepentingan keutuhan rumah tangga suami isteri tersebut. Sehingga dalam kasus semacam ini, Hakim harus menggali unsurunsur positif (maslahah) maupun negatif (madlarat) dari implikasi perkara yang akan diputuskan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum dan dasar hukum yang digunakan dalam kasus di atas, dapat diketahui bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara perceraian atas dasar sering terjadinya pertengkaran karena adanya berbedaan madzhab antara Penggugat yang bermadzhab sunni dengan Tergugat bermadzhab syiah tersebut bukan merupakan sebagai alasan pokok. Hakim memandangnya sebagai salah satu faktor pemicu atau penyebab terjadinya perselisihan. Karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya kegoyahan dalam rumah tangga. Menurut penulis hal ini logis dan sesuai dengan tujuan perkawinan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal UU No. 1/1974).
95
Hal ini sesuai dengan yurisprudensi yang dijadikan dasar hukum Majelis Hakim dalam menetapkan Syiqaq karena perbedaan madzhab sebagai alasan perceraian, sebagaiman contoh perkara Pengadilan Agama Kendari Nomor 325/Pdt.G/2011/PA.KDI bahwa persoalan KDRT terkadang tidak ditonjolkan sebagai alasan perceraian, karena umumnya kasus-kasus yang ada dapat dikatagorikan dalam percecokan dan tidak bisa dirukunkan lagi, sehingga itulah yang dijadikan dasar perselisihan utama. Demikian halnya pada pasal 116 KHI huruf (f) bahwa alasan perceraian tidak dibahasakan KDRT. Menurut Muhammad Yunus selaku hakim anggota yang dikutip dalam Jurnal Ahkam: Vol, XIV, No. 1, Januari 2014 bahwa alasan perceraian sudah terpola secara normatif dalam pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 yang kemudian dipertegas dalam KHI. Pada alasan-alasan tersebut tidak disebutkan secara tegas KDRT tetapi ada alasan penganiayaan di huruf (d) sementara alasan dihuruf (f) yakni perselisihan dan percekcokan merangkul semua alasan diatasnya. Adapun menurut Muhammad Alwi, Hakim sekaligus Ketua Pengadilan Agama Kendari menyatakan. Bahwa Hakim dalam memeriksa dan memutus sesuai alasan yang diajukan. Dalam pemeriksaan yang dibuktikan adalah alasan pokok dan rata-rata alasan pokok adalah perselisihan.132 Dalam perkara perceraian dapat dikabulkan apabila telah cukup jelas mengenai "Sebab" perselisihan dan pertengkaran. Namun tidak semua jenis perselisihan dan pertengkaran di dalam rumah tangga bisa dikatakan syiqaq. Melihat dari berbagai dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam menetapkan perkara Nomor 0295/Pdt.G/2015/PA.Sal tentang Syiqaq Karena Perbedaan Madzhab Sebagai 132
Jurnal Asni, mahasiswi Jurusan Syariah STAIN Sultan Qoimuddin Kendari dengan judul ”Pertimbanagnmaslahat dalam putusan perceraian akibat kekrasan dalam rumah tangga di pengadilan agama”, Jurnal Ahkam: Vol, XIV, No. 1, Januari 2014.
96
Alasan Perceraian, penulis tertarik tentang dasar hukum yang digunakan oleh Majelis hakim. Oleh karena itu untuk melengkapi penelitian ini, penulis melakukan penelitian lapangan dengan cara bertatap muka dengan salah satu hakim anggota untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan Majelis hakim memasukkan perkara perceraian dengan alasan perbedaan madzhab antara Penggugat sunni dan Tergugat syiah kedalam alasan syiqaq. Menurut pendapat Bapak Drs. MOCH. RUSDI bahwa, Sebenarnya kalau sama menerimanya tidak ada masalah, tapi kalau sudah tidak rukun dan tujuan perkawinan sudah tidak tercapai maka langsung bisa di larikan ke PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 19 huruf f dan KHI pasal 116 huruf f.133 Menurut hukum Positif sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 19 huruf (f) dan Kompilasi Hukum Islam pasal 1 1 6 huruf (f). "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.134 Dalam konteks ini, penulis berpandangan bahwa, sebagaimana penjelasan Abdul Manan dalam Praktik Peradilan Agama alasan perceraian sebagaimana PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf (f) itu tidak selalu disebut syiqaq. Dikatakan syiqaq kalau gugatan perceraian itu dengan alasan telah terjadi pertengkaran yang mengandung unsur-unsur membahayakan kehidupan suami istri dan sudah terjadi 133
Wawancara dengan hakim anggota PA.Salatiga. Bapak Drs. Much. Rusdi, pada tanggal 10 juni 2016 pukul 09.00 – 12.00 di Pengadilan Agama Salatiga 134 Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, pasal 116, hlm. 16
97
pecahnya perkawinan (broken marriage) berakhirnya perkawinan mereka dengan putusan pengadilan. Sedangkan alasan perceraian yang didasarkan kepada perselisihan
dan
pertengkaran
yang
tidak
mengandung
unsur-unsur
membahayakan dan belum sampai ke tingkat darurat, maka hal tersebut belum bisa dikatakan syiqaq. Sedangkan dari perkara perceraian yang penulis teliti, bahwa perselisihan Penggugat dan Tergugat yang dilatar belakangi oleh perbedaan madzhab tidak bisa dijadikan alasan untuk bercerai. Namun dalam perkara ini hakim menilai bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya. Dalam hal demikian, Majelis Hakim alangkah baiknya sebelum memutuskan suatu perkara yang urgent dalam konteks syiqaq, harus terlebih dahulu mempertimbangkan sebab pertengkaran dan perselisihan, apakah benar bahwa pertengkaran seperti ini bisa dikategorikan sebagai syiqaq. Sebagaimana pendapat di kalangan madzhab Syafi’iyah seperti yang dikemukakan oleh Zakariya AlAnshori, Asy Syarbani sebagaimana dikutip oleh Sayuti Talib, bahwa syiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara suami istri dan perselisihan ini sangat memuncak serta dikhawatirkan terjadi kemudharatan apabila perkawinan itu diteruskan.135 Sebagaimana pendapat Sayid Sabiq yang telah dikutip oleh Abdul Manan Mengategorikan perceraian karena syiqaq ini sebagai perceraian karena dharar atau membahayakan. Lebih lanjut adapun bentuk dharar menurut Imam
135
Sajuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, hlm. 108.
98
Malik dan Imam Ahmad adalah suami suka memukul, mencaci, menyakiti badan istri dan memaksa istri untuk berbuat mungkar.136 Dari kasus yang penulis kemukakan bahwa perbedaan madzhab sebagai alasan perceraian belum bisa dikategorikan syiqaq, karena belum adanya sifat yang membahayakan bagi keduanya sebagaimana pendapat Sayid Sabiq. Setelah penulis mengkaji lebih lanjut tentang putusan Pengadilan Agama Salatiga yang telah mengabulkan gugatan Penggugat dan Majelis hakim menjatuhkan talak Tergugat atas diri Penggugat. Disini Pengadilan Agama Salatiga dalam putusannya terhadap perkara perceraian atas alasan perbedaan madzhab adalah kurang sempurna. Menurut penulis seharusnya hakim lebih memprioritaskan berdasarkan pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 huruf (b) jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (b). “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya”.137 Sebagaimana dalil gugatan yang diajukan oleh Penggugat, bukan perkara lain yang kemudian disyiqaqkan, karena Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan penjelasan bahwa, syiqaq merupakan alasan perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Agama sebagai perkara tersendiri. Hemat penulis seandainya hakim tetap memasukkan perkara diatas sebagai alasan syiqaq.
136
hlm. 385 16
137
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, pasal 116, hlm.
99
Hemat penulis seandainya hakim tetap memasukan perkara diatas sebagai alasan syiqaq. Maka Majelis hakim harus mempertimbangkan tingkat permasalahan yang dapat diklasifikasikan dalam pengertian syiqaq dan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum syiqaq. Menurut penulis hakim harus memeriksa dulu, apakah saksi yang ada benar-benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh undang-undang dalam perkara atas alasan syiqaq dan sejauh mana majelis hakim menerapkan hakam sebagaimana ketentuan QS. An-Nisaa’ ayat 35.Berdasarkan uraian di atas, Majelis Hakim dalam mengambil keputusannya kurang mempertimbangkan hukum dan dasar hukum yang digunakan kurang sempurna. Dengan klausula yang jelas dan alasan yang jelas diharapkan putusan Pengadilan Agama Iebih berbobot dan bermutu serta l ebi h dapat dirasakan manfaatnya. B. Analisis Terhadap Alasan-alasan yang Menjadi Pertimbangan Hakim dalam Menyelesaikan Perkara Syiqaq Karena Perbedaan Madzhab dalam Putusan Verstek Menurut Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.138 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. 3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan di atur dalam peraturan dalam Perundang-undangan.
138
Amak F.Z, Proses Undang-undang Perkawinan, hlm. 145
100
Dalam perjalanan kehidupan berumah tangga tidak selamanya suami istri dapat mempertahankan kelangsungan rumah tangganya berjalan mulus, tidak sedikit rumah tangga suami istri putus karena perceraian. Apabila hal ini terjadi mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam cara memutuskan perkawinannya. Mereka mempunyai hak yang sama yakni mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, di antara alasan perceraian yang diajukan oleh istri adalah syiqaq. Seandainya diantara kedua suami istri itu timbul perbedaan yang mengkhawatirkan keutuhan rumah tangga mereka atau dalam hal ini disebut syiqaq. Maka hakim harus memproses perkara ini dengan berpedoman pasal 76 ayat (1). ”Untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang–orang yang dekat kepada suami istri”. Lebih lanjut, Majelis hakim menyimpulkan dalam perkara Nomor 0295/Pdt.G/2015/PA.Sal, berdasarkan saksi pertama, umur 44 tahun, Agama Islam, pekerjaan swasta, tempat kediaman di Kota Salatiga bahwa saksi adalah sebagai kakak ipar Penggugat dan saksi kedua umur 44 tahun, Agama Islam, pekerjaan PNS, tempat kediaman di Kabupaten Semarang, bahwa saksi sebagai bibi Penggugat yang dihadirkan Penggugat dalam persidangan, dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut: 1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri, yang menikah pada tahun 2003 yang lalu dan dikaruniai satu orang anak. 2. Bahwa setelah menikah, Penggugat dan Tergugat tinggal di rumah orang tua Penggugat selama 9 tahun dan telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri.
101
3. Pada mulanya rumah tangga rukun saja, namun sejak bulan Maret 2012 telah terjadi perselisihan yang disebabkan perbedaan paham tergugat bermadzhab Syiah dan Penggugat bermadzhab Sunni dan Tergugat sering mengatakan ingin menceraikan Penggugat dan pada puncaknya pada bulan Juni 2012 antara Penggugat dan Tergugat pisah tempat tinggal. Dari keterangan yang telah terpapar di atas, ketika saksi dari pihak keluarga Penggugat saja, apalagi putusan ini berupa verstek yang dikhawatirkan pernyataan saksi selalu membela Penggugat, kemudian karena tempat kediaman saksi kedua dan Penggugat tidak saling berdekatan, dan kemungkinan tidak mengetahui bagaimana sebenarnya perselisihan atau tingkat perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat, maka tidak menutup kemungkinan saksi juga berbohong. Menurut Bapak Drs. MOCH RUSDI selaku hakim anggota yang menangani kasus ini menjelaskan bahwa, Sebenarnya kalau kita mengacu pada Undang-undang Hukum Perdata termasuk HIR bahwa putusan verstek sebenarnya tidak perlu di periksa, yang penting gugatan itu tidak melawan hukum dan beralasan sebenarnya itu sudah
bisa di putus. Dan masalah ini ialah
perkawinan maka tetap dibebani pembuktian. Kalau seandainya dari pihak saksi yang di datangkan oleh penggugat bohong maka terserah saksi.139 Dalam konteks demikian, penulis berpandangan sebagimana hukum Positif menjelaskan bahwa kedudukan keluarga atau orang-orang yang terdekat kepada suami istri dalam pemeriksaan perkara perceraian atas alasan syiqaq, 139
Wawancara dengan hakim anggota PA.Salatiga. Bapak Drs. Much. Rusdi, pada tanggal 10 Juni 2016 pukul 09.00 – 12.00 di Pengadilan Agama Salatiga
102
bukan sekedar memberi keterangan saja, tetapi kedudukan mereka adalah sebagai “saksi“, sebagaimana pasal 76 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989. “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”. Adapun yang dimaksud dengan saksi dari keluarga suami istri yaitu keluarga sedarah atau semenda dari para pihak sebagaimana ketentuan pasal 145 ayat (2) HIR, sedangkan orang-orang yang dekat dengan para pihak ialah orang-orang yang dipandang mengetahui peristiwanya sehingga dapat diajukan sebagai saksi dalam pengadilan. Dengan demikian menurut penulis, bahwa definisi saksi adalah orang yang berdasarkan penglihatan, pengetahuan atau pemahaman merekadari peristiwa atau fakta-fakta.140 Kemudian sebagaimana penjelasan M. Yahya Harahap, kedudukan keluarga dan orang-orang terdekat mereka bukan sekedar memberikan keterangan. Melainkan sebagai “saksi”, mereka didudukkan secara formil dan materiil menjadi saksi. Secara formil keluarga harus disumpah jika ternyata keterangan yang mereka berikan memenuhi syarat materiil yakni keterangan yang mereka berikan berdasar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sendiri, kemudian keterangan mereka saling berkesesuaian dengan saksi atau alat bukti yang lain, maka keterangan yang mereka berikan sah dan bernilai sebagai alat bukti.141 Dengan demikian, penulis mempunyai praduga atas keterangan yang diberikan oleh saksi kedua yang berkediaman di Kabupaten Semarang. Apakah
140
Anshori, mahasiswa Institut Ilmu Al-Quran Jakarta dengan Judul, Kesakisan wanita dalam pandangan ulama tafsir, dalam Jurnal Ahkam: Vol, VIII, No. 2, juli, 2013. 141 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, hlm. 284
103
mungkin saksi kedua termasuk golongan saksi sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Yahya Harahap, bahwa saksi harus melihat, mendengar atau berdasar pengalaman mereka sendiri. Sedangkan tempat kediaman Penggugat dengan saksi kedua secara wilayah berjauhan. Dalam konteks hukum Islam dijelaskan bahwa pembuktian seseorang harus mampu mengajukan bukti-bukti otentik, keharusan pembuktian ini didasarkan hadist Nabi SAW.
ﷲ ِ ْل ُ َﺎل َرﺳُﻮ َ ﻗ: َﺖ ْ ْﺖ أُّم َﺳﻠَ َﻤ ِﺔ ﻗَﺎﻟ ِ َﺐ ﺑِﻨ ِ َﺎم ﺑِ ْﻦ ﻋُﺮَْوةِ َﻋ ْﻦ َزﻳْـﻨ ِ ِﲑ اَﻧْـﺒَﺄَ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ َن َﻋ ْﻦ ِﻫﺸ ِْ َﺣ َﺪﺛـَﻨَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ُﺪ ﺑْ ُﻦ َﻛﺜ ُْﺾ ﻓَﺄَ ﻗْﻀَﻰ ﻟَﻪ ٍ ﻀ ُﻜ ْﻢ أَ ْن ﻳَﻜ ُْﻮ َن اﳊِْ ﱡﻦ ﲝُِ ﱠﺠﺘِ ِﻪ ِﻣ ْﻦ ﺑـَﻌ ُ ِﱄ َوﻟَﻌﱠ َﻞ ﺑـَ ْﻌ ﺼﻤ ُْﻮﻧَﺎ إ َﱠ ِ َاِﳕﱠَﺎ اَﻧَﺎ ﺑَ َﺸٌﺮ َواِﻧﱠ ٌﻜ ْﻢ ﲣَْﺘ: ﺻﻠﻌﻢ ٌَﺧْﻴ ِﻪ َﺷْﻴﺌًﺎ ﻓ ََﻼ ﻳَﺄْ ُﺧﺬُوْا ِﻣْﻨﻪُ َﺷْﻴﺄً ﻓَِﺈﳕﱠَﺎ أَﻗْﻄَ َﻊ ﻟَﻪُ ﻗِﻄْﻌِﺔ ِ َﺖ ﻟَﻪُ ِﻣ ْﻦ َﺣ ﱢﻖ أ ْ ﻀﻴ َ ََﻋﻠَﻰ َْﳓ ِﻮ ﳑِﱠﺎ أَﲰَْ ُﻊ ِﻣْﻨﻪُ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻗ 142
ِﻣ َﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر
Artinya: Meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Katsir, mengabarkan Sufyan bin Hisyam bin Urwah dari Zainab binti Ummi Salamah, berkata: Rasulullah SAW bersabda saya hanyalah seorang manusia dan kamu sekalian menuntut peradilan perkara kepada saya, dan barang kali diantara kalian lebih pintar dalam berhujjah dari pada yang lain, kemudian saya memberikan putusan peradilan sesuai dengan apa yang saya dengar dari orang itu dan ternyata masuk kepadanya sebagian dari hak saudaranya maka hendaknya jangan sampai mengambilnya, maka ketika itu saya memberikan kepadanya sepotong dari padanya api neraka. Maka dari hadist tersebut dapat pula dipahami bahwa hukum yang diputuskan oleh Pengadilan Agama Salatiga menurut penulis, berdasarkan keterangan saksi palsu yang dikarenakan domosili antara Penggugat dengan saksi kedua saling berjauhan. Selain itu ketidak mungkinan bahwa saksi bisa melihat dan mendengar
142
Abu Daud, Sunan Abu Daud Kitabu Al Aqdiyah, Bairut: Dar Al Fikr, 1994, hlm. 292.
104
percekcokan yang dialami oleh Tergugat dan Penggugat, putusan yang dijatuhkan karena kebodohan, kezaliman dan hukum yang diputuskan berdasarkan pengakuan yang tidak sah karena adanya paksaan dari luar dengan maksud menelantarkan haknya, maka produk hukum seperti ini harus ditinjau kembali. Hemat penulis berdasarkan pemeriksaan saksi yang dilakukan oleh Majelis hakim kurang teliti. Karena kedudukan saksi kedua sudah tidak sesuai dengan ketentuan pasal 145 ayat (2) HIR yang mengatakan bahwa keterangan saksi harus berdasarkan pendengaran, penglihatan atau pengalaman sendiri. Sebagaimana pendapat M. Yahya Harahap dan hadist nabi yang diriwayatkan Muhammad ibnu Katsir. Dengan demikian menurut penulis bahwa, saksi yang diajukan oleh Penggugat hanya satu yang sesuai dengan pengertian UU No. 7 Tahun 1989 pasal 76 ayat (1) yang telah dijelaskan oleh Yahaya Harahap. Kemudian bagaimana keabsahan satu orang saksi perempuan, melihat salah satu diantara saksi yang diajukan oleh Penggugat sudah tidak sesuai dengan UU yang berlaku. Sesuai uraian di atas, maka saksi dari orang perempuan dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu: 1. Dalam perkara-perkara yang dapat diputus berdasarkan kesaksian saksi dari orang-orang perempuan belaka. 2. Dalam perkara-perkara yang dapat diputus berdasarkan kesaksian dari orangorang perempuan, apabila disertai pula dengan saksi dari orang-orang lelaki. Dalam hal perkara yang dapat diputus berdasarkan keterangan saksi hanya dari satu orang perempuan ini telah menjadi perselisihan pendapat dikalangan ulama salaf. Sebagaimana kutipan Ibnu Qayyim Al-jauyizah dari Ibnu Abi Syaibah
105
meriwayatkan dari Makshul, bahwa keterangan saksi dari dua orang perempuan belaka tidak dibolehkan kecuali, dalam perkara hutang-piutang. Selain itu diriwayatkan pula dari Al-Syu’bi yang dikutip oleh Ibnu Qayyim Al-jauyizah ia mengatakan bahwa kesaksian saksi dari orang perempuan dalam perkara-perkara tertentu tidak dapat diterima. Kecuali, dalam perkara yang sangat diperlukan keterangan saksi dari orang perempuan, maka kesaksian saksi dari orang perempuan belaka dapat diterima.143 Kemudian sebagaimana kutipan Muhammad Imarah dari Ibnu Taimiyah bahwa QS. Al-Baqarah ayat 282 menejelaskan kesaksian dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki, hal ni agar jka seorang wanita lupa wanita yang lain bisa mengingatkannya.144 Melihat uraian sebelumnya, menurut penulis bahwa dalam konteks persaksian perkara perceraian dengan alasan syiqaq merupakan bukan suatu pengecualian yang harus disaksikan oleh orang perempuan saja melainkan kebolehan saksi dari orang laki-laki. Menurut Yahya Harahap adapun tata cara pemeriksaan atas alasan syiqaq yang dikehendaki UU No 7 Tahun 1989 pasal 76 ayat (1), jo. PP. No, 9 Tahun 1975 Pasal 22 ayat (2), apabila perkara perceraian atas alasan “syiqaq”, hakim harus memeriksa keluarga dekat atau orang-orang yang dekat dengan suami istri. Majelis Hakim meminta kepada para pihak siapa keluarga dekat mereka, jika keluarga dekat tidak ada atau jauh, dan sulit untuk menghadirkan, maka Hakim dapat meminta siapa saja orang yang dekat dengan suami istri. Setelah Hakim 143
Ibnu Qayyim Al-jauyizah, Hukum Acara Peradilan Islam, ter, Adnan Qohar dan Anshuroddin dari ”At-Turuqu Al-Hukmiyyah Fi Siyasah Wa Syar’iyyah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 265. 144 Jurnal Anshori, mahasiswa Institut Ilmu Al-Quran Jakarta dengan Judul “Kesakisan wanita dalam pandangan ulama tafsir”, dalam Jurnal Ahkam: Vol, VIII, No. 2, juli, 2013.
106
memiliki daftar keluarga atau orang yang dekat dengan suami istri, Hakim memerintahkan kepada para pihak untuk menghadirkan mereka dalam sidang. Seandainya saksi tidak mau datang secara sukarela, maka hakim secara ex offficio dapat memerintahkan saksi yang bersangkutan berdasar kekuatan pasal 139 HIR atau pasal 165 RBG hakim memerintahkan juru sita untuk memanggil secara resmi. Malahan apabila mereka tidak mau memenuhi panggilan, dapat dihadirkan secara paksa.145 Dalam konteks tersebut, dapat dipahami bahwa, begitu urgent kehadiran keluarga dalam memberikan keterangan sekaligus menjadi saksi dalam perkara syiqaq, guna memberikan keterangan yang sebenarnya, apakah perselisihan dan pertengkaran tersebut benar-benar masuk alasan syiqaq. Bukan malah menerima saksi kedua yang diajukan oleh penggugat karena perbedaan domosili yang jelas tidak dikehendaki oleh Undang-undang sebagaimana penjelasan Yahya Harahap. Lebih lanjut, ketika Majelis Hakim memasukkan perkara perceraian perbedaan madzhab sebagai alasan perceraian kedalam perkara syiqaq, maka Majelis Hakim perlu mempertimbangkan tentang penerapan peran hakam. Meski tidak tertuang dalam putusan, setelah penulis menemui dan wawancara dengan Majelis Hakim Anggota, menjelaskan tentang alasan pertimbangan hukum yang menjadi
dasar
tidak
adanya
pengangkatan
hakam
pada
perkara
0295/Pdt.G/2015/PA.Sal. Menurut Bapak Drs. MOCH RUSDI selaku Anggota Majelis hakim. Dalam penjelasannya, telah bertanya kepada pihak saksi apakah sudah 145
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, hlm. 244-245.
107
didamaikan atau belum, kalau saksi atau orang terdekat sudah mengatakan pernah mengadakan hakamain, maka perkara ini bisa langsung kita putuskan saja, karena ini adalah perkara verstek.146 Dalam
kontek
0295/Pdt.G/2015/PA.Sal,
ini, yang
terdapat
yang
berkenaan
urgent
dengan
mengenai
hakam
dalam
perkara proses
penyelesaian perkara syiqaq di Pengadilan Agama. Menurut hukum Positif mengenai ketentuan prosedur pengangkatan hakam di Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 menjelaskan. "Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam". Berdasarkan putusan Majelis hakim, penulis akan membahas masalah saat pengangkatan hakam, sebagaimana kutipan M.Yahaya Harahap bahwa dalam suatu perkara perceraian yang didasarkan atas alasan syiqaq. Pengadilan baru dapat mengangkat hakam setelah proses pemeriksaan perkara melewati tahap saksi-saksi dan alat bukti lain yang diajukan para pihak sudah selesai diperiksa. Dari hasil pemeriksaan pembuktian, pengadilan telah mendapat gambaran tentang sifat persengketaan yang terjadi pada suami istri, pada tahap itu baru tiba saatnya menunjuk hakam.147 Dalam kontek di atas, menurut penulis Majelis Hakim seharusnya melaksanakn terlebih dahulu, bagaimana sebenarnya proses yang harus dijalankan 146
Wawancara dengan hakim anggota PA.Salatiga. Bapak Drs. Much. Rusdi, pada tanggal 10 Juni 2016 pukul 09.00 – 12.00 di Pengadilan Agama Salatiga 147 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, hlm. 251
108
untuk mengangkat hakamsebagaimana penjelasan Yahaya Harahap. Bukan hanya bertendensi dengan pernyataan saksi yang memberikan keterangan bahwa perkara ini sudah pernah didamaikan, namun didalam proses persidangan tidak dapat dibuktikan. Kemudian dalam QS.An-Nisaa' ayat 35 menjelaskan tata cara ketika perceraian dengan alasan syiqaq terjadi. Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiisteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.148 Dalam ayat ini diatur cara penyelesaian kalau terdapat kekhawatiran terjadi syiqaq antara suami istri, maka masing-masing pihak mengajukan seorang hakam, yang berarti seorang hakam dari pihak istri dan seorang hakam dari pihak suami. Kedua hakam ini disebut hakamain. Hakam dari masing–masing pihak berusaha mencari ishlah demi kepentingan kedua belah pihak, kemudian mencari kesepakatan pendapat keduanya. Jadi dengan demikian kedua hakam itu dapat kita perbandingkan sebagai arbiter atau pengantara dalam mencari perbaikan. Morteza Muntahhari mengemukakan kata padanan hakam dengan arbiter149. Menurut beliau, hakam dipilih dari keluarga suami istri, satu dari pihak 148
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, hlm. 123. Murteza Muntohhari, Wanita dan Hak-Haknya Dalam Islam, Bandung : Penerbit Pustaka, 1985, hlm. 243. 149
109
keluarga suami dan satu dari keluarga istri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami istri, sehingga suami istri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing. Apa yang di jelaskan di atas, hampir tidak berbeda dengan pengertian yang dirumuskan pada penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1989 pasal 76 ayat (2) bahwa hakam adalah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Dari kasus yang penulis kemukakan, walaupun perkara ini merupakan verstek, karena tergugat tidak pernah hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk mewakilinya. Seharusnya Majelis Hakim alangkah baiknya tetap mengupayakan beberapa alternatif perdamaian melalui peran hakam dengan melibatkan masingmasing pihak, atau dengan memaksimalkan lembaga yang ada bukan malah melalaikan apa yang telah ditetapkan perundang-undangan dan Al-Qur’an, guna menjaga keutuhan rumah tangga dan mencegah terjadinya perceraian. Karena asas mendamaikan bersifat “imperatif”, maka usaha mendamaikan merupakan beban yang “diwajibkan” hukum kepada hakim dalam setiap sengketa perceraian. Memang sifat kewajiban mendamaikan, tidak berlaku secara umum, sifat imperatif upaya mendamaikan terutama dalam sengketa perceraian atas alasan “perselisihan dan pertengkaran“. Dalam kasus perceraian inilah fungsi upaya mendamaikan menjadi kewajiban hukum bagi hakim. Oleh karena itu, menurut penulis upaya mendamaikan dalam kasus perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran, harus secara nyata dan optimal.
110
Menurut Bapak Drs. MOCH RUSDI selaku Majelis Hakim Anggota. menjelaskan bahwa dalam perkara ini Pengadilan Agama Salatiga tidak pernah melakukan usaha mediasi perdamaian, karena jelas tergugat tidak pernah hadir, cukup dengan penasehatan kepada penggugat saja, dan untuk memenuhi aturan Undang-undang upaya penasehatan hanya sebagai persyaratan formalitas saja.150 Sedangkan dalam kasus perceraian atas alasan lain, seperti alasan zina, cacat badan atau jiwa yang tidak dapat melaksanakan kewajiban, sifat upaya mendamaikan tetap merupakan fungsi, tapi tidak di tuntut upaya optimal. Begitu juga kasus perceraian atas alasan kekejaman dan penganiayaan sifat fungsi upaya mendamaikan tidak dituntut secara maksimal, sekalipun upaya tersebut di lakukan dengan moralitas yang tinggi dari hakim, sehingga sifatnya tidak merupakan kewajiban hukum, tapi menjadi kewajiban moral. Menurut M. Yahya Harahap fungsi upaya mendamaikan secara optimal merupakan kewajiban hukum bukan kewajiban moral dalam kasus perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran (syiqaq). Dalam UU No 7 Tahun 1989 pasal 82 ayat (4). “Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”. PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 31: 1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. 150
Wawancara dengan hakim anggota PA.Salatiga. Bapak Drs. Much. Rusdi, pada tanggal 10 Juni 2016 pukul 09.00 – 12.00 di Pengadilan Agama Salatiga
111
Memang pasal tersebut tidak mencantumkan kata “wajib” hanya mencantumkan kata “dapat” yakni usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Jika rumusan itu dibaca secara parsial akan tersurat makna yang bersifat “fakultatif”. Akan tetapi jika pasal itu dibaca secara utuh, “tersirat” makna
yang bersifat “imperatif”. Karena pasal tersebut dimulai dengan
penegasan “selama perkara belum diputus“, yang berarti selama perkara belum diputus tetap melekat upaya mendamaikan dalam perkara perceraian atas alasan perselisihan dan pertengkaran. Jika dalam perkara yang bersangkutan tetap melekat upaya mendamaikan sampai perkara belum diputus, Hakim “wajib” untuk mengusahakan perdamaian setiap kali perkara diperiksa dalam persidangan. Bahkan pada saat terakhir persidangan sebelum hakim menjatuhkan putusan, masih melekat pada dirinya fungsi usaha mendamaikan. Dengan demikian fungsi usaha dan upaya mendamaikan mengandung nilai yang mendekati “tata tertib umum” atau “orde publik”. Setiap nilai yang mengandung nilai “tata tertib umum” tidak boleh diabaikan dan dilanggar hakim. Pelanggaran atas tata tertib umum, mengakibatkan pelanggaran hukum atas tata tertib beracara. Setiap tata tertib beracara yang bernilai tata tertib umum mengakibatkan pemeriksaan persidangan dianggap ”tidak sah”.151 Mengenai konteks di atas, betapa pentingnya usaha mendamaikan yang harus dilaksanakan Majelis Hakim setiap perkara, khususnya dalam perkara atas alasan syiqaq. Menurut penulis, putusan Majlis Hakim yang tidak mengupayakan perdamaian sudah dianggap telah menyalahi UU Nomor 7 Tahun 1989 pasal 82 151
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, hlm. 67
112
ayat 4 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 pasal 31, sebagaimana penjelasan Yahya Harahap.
Hemat
penulis,
maka
alasan-alasan
Majelis
Hakim
dalam
memepertimbangkan putusan memasukan perkara syiqaq kurang tepat, karena telah melalaikan sifat mendamaiakan yang telah dimarginalkan. Lebih lanjut, mengenai alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara 029/Pdt.G/2015/PA.Sal, sebagai perkara verztek maka harus dilakukan terlebih dahulu tahapan-tahapan yang harus dilakukan sesuai dengan pedoman perundang-undangan yang mengatur tentang pemanggilan. Melihat yang bersangkutan adalah sebagai seorang wirausaha eksportir yang sering ke luar negeri dalam mengurusi bisnisnya, apakah dari pihak Pengadilan Agama sudah menerapkan prosedur pemanggilan yang di kehendaki Undang-undang ketika menangani perkara seperti ini sebagaimana pasal 26-28 PP Nomor 9 Tahun 1975 serta aturan tambahan pasal 390 HIR. Menurut Bapak Drs. Moch Rusdi selaku Majelis hakim anggota menjelaskan bahwa pemanggilan terhadap Tergugat disampaikan melalui lurah dan lurah menyampaikannya ke yang bersangkutan. Ketika yang bersangkutan tidak ada yang sudah itu hak dia. Dan kita kembali ke hukum perdata yang hanya mengadili secara formal. Dan biasanya pengadilan melakukan pemanggilan minimal 2 kali. Dan terkadang juga 1 kali dan langsung di putus verstek tidak masalah. Dan dalam perkara ini tidak menerapkan panggilan lewat mas media.152 Mengenai putusan verstek dalam ketentuan hukum tidak menjadi hal yang kontroversi, memang ada landasan yang dijadikan dasar hukum melalui hadist 152
Wawancara dengan hakim anggota PA.Salatiga. Bapak Drs. Much. Rusdi, pada tanggal 10 Juni 2016 pukul 09.00 – 12.00 di Pengadilan Agama Salatiga
113
yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim mengenai putusan nabi terhadap Hindun.
ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠَ َﻢ َ ﷲ ِ ﺖ ﻋُْﺘﺒَﻪَ إِ ْﻣَﺮأََة أَِ ْﰊ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ َن َﻋﻠَﻰ َر ُﺳ ْﻮِل ا ُ ﺖ ِﻫْﻨ ٌﺪ ﺑِْﻨ ْ َﺖ َد َﺧﻠ ْ ََﻋ ْﻦ َﻋﺎ ﺋِ َﺴﺔَ ﻗَﺎﻟ ﺻ ِﺤْﻴ ٌﺢ َﻻ ﻳـُ ْﻌ ِﻄ ِْﲏ ِﻣ َﻦ اﻟﻨﱠـ َﻔ َﻘ ِﺔ َﻣﺎ ﻳَ ْﻜ ِﻔْﻴ ِْﲏ َوﻳَ ْﻜ ِﻔ ْﻲ َوﺑَِْﲏ إِﱠﻻ َﻣﺎ َ ﺖ ﻳَﺎ َر ُﺳ ْﻮ َل اﷲُ أَ ﱠن أَﺑَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎ َن َر ُﺟ ٌﻞ ْ َﻓَـ َﻘﻠ ﺎل ُﺧ ِﺬ ْي ِﻣ ْﻦ َﻣﺎﻟِِﻪ ﺑﺎِﻟْﻌِ َﻤ ِﺮ َوِ ْﰲ َ ﺎح ؟ ﻓَـ َﻘ ٍ َﻚ ِﻣ ْﻦ ُﺟﻨ َ ِت ِﻣ ْﻦ َﻣﺎ ﻟِِﻪ ﺑِﻐَ ِْﲑ ِﻋ ْﻠ ِﻤ ِﻪ ﻓَـ َﻬ ْﻞ َﻋﻠَ ﱠﻲ ِ ْﰲ ذَاﻟ ُ أَ َﺧ ْﺬ 153
رَوَاﻩُ ﲞَُﺎ ِر ْي َوُﻣ ْﺴﻠِ ْﻢ.ﻚ َ ﻚ َوﻳَ ْﻜ ِﻔ ْﻲ ﺑَﻨِْﻴ َ َﻣﺎﻳَ ْﻜ ِﻔ
Artinya: Dari Aisyah berkata: Hindun bin Utbah suami Abu Sufyan. Mendatangi Rasulullah SAW. Kemudian berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang kikir tidak memberikan nafkah yang cukup bagiku dan anak-anakku kecuali aku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya apakah aku berdosa. Kemudian Rasulullah menjawab. Ambilah hartanya secukupnya dan sesuatu yang mencukupimu berserta anakmu. (HR. Bukhari dan Muslim). Segala hal yang menyangkut dengan tata tertib replik-duplik, pemeriksaan saksi dan alat bukti lain, semuanya tunduk kepada ketentuan hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBG. Begitu juga mengenai pemanggilan para pihak, tunduk kepada tata cara yang ditentukan dalam pasal 26, 27 dan 28 PP No. 9 Tahun 1975154 jo. pasal 390 HIR dan pasal 718 RBG. Pasal 26 PP Nomor 9 Tahun 1975 1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. 2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita, bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.
153
Abu Abdurrahman Ahmad ibn Ali Al-Khurasani Al-Nasai’i, Kitab Adab Al-Qadah, Bairut: Dar Al-Fikr, 1930/1348, VIII, hlm. 246 154 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975, Semarang: Lentera ilmu, 2000, hlm. 8
114
3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. 4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. 5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun 1975 1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. 2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. 3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 28 PP Nomor 9 Tahun 1975 “Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat”. Tata cara pemanggilan yang diatur dalam ketentuan tersebut harus di jadikan pedoman oleh Pengadilan Agama Salatiga setiap melaksanakan pemanggilan agar pemanggilan benar-benar dapat disebut panggilan secara patut dan resmi. Panggilan yang disebut “patut” dan “wajar” mengandung pengertian, jarak antara penyampaian surat panggilan kepada yang dipanggil dengan hari dan tanggal persidangan dihubungkan dengan jarak tempat serta kemudahan transportasi mempunyai tenggang bagi yang dipanggil untuk memenuhinya. Waktu tenggang yang di anggap patut antara penyampaian pemanggilan dengan hari sidang, paling minimum 3 hari. Batas waktu 3 hari ini, juga dijadikan dasar sebagai panggilan
115
yang dianggap patut dalam pasal 26 ayat (4) PP No. 9 Tahun 1975. Pemanggilan yang sah secara formal menurut Undang-undang ialah panggilan yang di dalamnya terdapat unsur “patut” dan “resmi”. Kedua unsur tersebut merupakan dua komponen yang saling berkaitan keabsahan panggilan menurut tata tertib beracara. Kedua komponen dimaksud merupakan satu kesatuan yang tak terpisah. Salah satu komponen tidak terpenuhi, mengakibatkan panggilan dianggap bertentangan dengan tata cara mengadili. Sekiranya panggilan disampaikan dalam tenggang waktu yang patut, tapi penyampaian tidak tepat memenuhi sasaran, misalnya tidak disampaikan secara langsung kepada yang dipanggil di tempat kediamannya, panggilan dianggap tidak sah. Sebaliknya, panggilan benar-benar secara langsung disampaikan kepada pribadi yang dipanggil di tempat kediaman, tapi jangka waktu antara penyampaian panggilan dengan hari sidang hanya 1 hari berarti panggilan dilakukan secara “tidak patut”. Dalam hal ini panggilan memang resmi, tapi tidak patut, panggilan yang demikian mengandung cacat. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan verstek apabila tergugat tidak datang menghadiri
persidangan.
Kesalahan
pengadilan
melanggar
tata
tertib
pemanggilan, tidak boleh ditimpakan kepada diri tergugat.155 Melihat konteks di atas, penulis melakukan penelitian lebih jauh mencari informasi melalui sambungan telepon pihak Tergugat, Tergugat menyatakan bahwa setelah terjadi percekcokan, antara Penggugat dan Tergugat sudah lama tidak bertemu. Tergugat lebih sering mengurusi pekerjaannya sebagai eksportir dan sering keluar negeri untuk mengurusi bisnis yang dikembangkannya. 155
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, hlm. 244.
116
Tergugat menerima surat putusan dari Pengadilan Agama Salatiga yang menyatakan ia telah sah bercerai dengan pihak Penggugat. Tergugat menyatakan bahwa tidak menghadiri persidangan atau memenuhi panggilan dikarenakan pihak tergugat tidak mengetahui adanya panggilan dari Pengadilan ataupun melalui mass media radio dan penempelan panggilan di pintu pengadilan.156 Panggilan sah dilakukan diluar tempat kediaman orang yang dipanggil dalam keadaan tertentu sesuai dengan tata cara yang ditentukan undang-undang. Sebagaimana penjelasan Yahaya Harahap Panggilan disampaikan melalui lurah (Kepala Desa) dengan syarat orang yang dipanggil tidak di jumpai di tempat kediaman. Kebolehan juru sita menyampaikan panggilan melalui Lurah, bukan ketentuan umum atau ketentuan pokok. Kebolehan Lurah menyampaikan panggilan melalui Lurah, bukan ketentuan umum atau ketentuan pokok. Kebolehan tersebut adalah aturan tambahan dalam keadaan apabila juru sita tidak menjumpai orang yang dipanggil di kediamannya. Oleh karena itu, praktek yang dilakukan juru sita yang menyampaikan panggilan melalui lurah sebelum dia berusaha menjumpai ditempat kediaman orang yang dipanggil. Di samping itu, sekiranya panggilan disampaikan melalui lurah juru sita harus memberi penjelasan agar panggilan segera diteruskan kepada orang yang dipanggil. Hal itu penting ditegaskan juru sita kepada lurah, untuk menghindari agar panggilan jangan sampai melampaui tenggang waktu yang patut.157
156
Wawancara dengan Tergugat Bapak Salam Rabafi bin Jafar Saddiq Rabafi, pada tanggal 10 Juni 2016 pukul 09.00 – 12.00 di Pengadilan Agama Salatiga 157 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, hlm.245-246.
117
Meskipun dalam pasal 390 HIR disebutkan bahwa Kepala Desa berkewajiban untuk menyampaikan panggilan kepada pihak-pihak yang berperkara yang ada di desanya, akan tetapi apabila ia lalai maka peraturan perundang-undangan tidak memberikan sanksi atas kelalaian tersebut. Oleh karena itu, disampaikan atau tidak panggilan tersebut kepada Kepala Desa atau Lurah kepada yang berkepentingan, maka panggilan tersebut dianggap telah memnuhi syarat panggilan dan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan resmi. Seandainya Kepala Desa atau Lurah betul-betul tidak menyampaikan panggilan tersebut karena kealpaannya, ia tidak dapat dituntut secara pidana.158 Menurut penulis, putusan verstek yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama salatiga memang sudah relevan dengan dasar hadist nabi mengenai kebolehan memutus perkara tanpa dihadiri oleh Tergugat. Dan mengenai pemanggilan yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Salatiga sudah sesuai prosedur pemanggilan para pihak yang tunduk kepada tata cara yang di ditentukan dalam pasal 26, 27 dan pasal 28 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo, pasal 390 HIR atau pasal 718 RBG. Walaupun dalam realitasnya Kepala Desa atau Lurah tidak pernah memberikan kabar kapada pihak yang bersangkutan. Sebagaimana keterangan tergugat yang menyatakan bahwa selama ini tidak ada yang sampai kepada dirinya. Oleh karena, itu menurut penulis masalah tata cara pemanggilan dipaparkan secara jelas untuk memberi pegangan bagi Pengadilan Agama dalam menghadapi kasus pemanggilan yang mungkin di lain waktu hal terjadi perkara 158
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Perdailan Agama,
Hlm. 137.
118
yang sama setelah yurisdiksi mengadilinya semakin luas dari pada sebelumnya. Berdasarkan analisis yang penulis jelaskan diatas, maka dapat dijadikan komparatif, sebagai perbandingan bagaimana analisis hukum Positif dan hukum Islam terhadap perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Agama Salatiga. Agar lebih jelas untuk memahaminya penulis sajikan dengan menggunakan tabel sebagai berikut. No
Masalah
1
Syiqaq
2
Saksi
Perspektif Hukum Positif Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Sebagaimana penjelasan Abdul Manan alasan perceraian yang didasarkan perselisihan dan pertengkaran yang tidak mengandung unsurunsur membahayakan dan ketika belum sampai tingkat darurat maka hal tersebut belum bisa dikatakan syiqaq. Pasal 76 ayat (1) UU No 7 Tahun 1989. Sebagaimana penjelasan Yahya Harahap secara materiil keterangan saksi yang diberikn harus berdasarkan pendengaran, penglihatan atau pengalaman sendiri
Perspektif Hukum Islam Pendapat Sayyid Sabiq menurut Imam Malik dan Imam Ahmad adapun bentuk dharar adalah suami suka memukul, mencaci, menyakiti dan memaksa berbuat mungkar. Kutipan Ibnu Qayyim AlJauziyah riwayat Ibnu Abi Syaibah bahwa keterangan dari dua saksi perempuan tidak diperbolehkan kecuali perkara hutang-piutang. serta riwayat AlSyu’bi bahwa kesaksian orang perempuan saja tidak dapat diterima, kecuali dalam perkara yang sangat diperlukan keterangan saksi
Aplikasi Pa Putusan PA tidak tergolong syiqaq sebagaimana hukum Islam dan hukum Positif
Pertimbangan hakim tidak sesuai dengan hukum Positif dan hukum Islam mengenai dafinisi saksi dan jumlah saksi.
119
3
Hakam
Pasal 76 Ayat (2), 82 ayat (4) UU No 7 Tahun 1989 dan pasal 31 PP Nomor 9 Tahun 1975
4
Pemanggi lan Tergugat
Pasal 26, 27 dan 28 PP No 9 Tahun 1975 jo, pasal 390 HIR
perempuan Berdasarkan QS. An-Nisaa’ ayat 35
Berdasarkan hadist nabi yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Aisyah. tentang perkara gugatan Hindun, putusan yang diambil nabi kepada Hindun ini tanpa dihadiri suaminya.
Hakim tidak menerapkan sesuai dengan hukum Positif dan hukum Islam Pemanggilan PA tidak berdasarkan pasal 26,27 dan 28 jo, pasal 390 HIR mengenai pemanggilan sah dan patut. Menurut hasil wawancara penulis, bahwa tergugat tidak merasa dipanggil. karena surat pemanggilan hanya disampaikan di pihak kelurahan. Tergugat mengaku baru mengetahui perkara itu pasca putusan.