PARADIGMA ”PERLAWANAN” DALAM KONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM Fuad Mardhatillah1 Abstract Education in Islam, which is the most essential part of the historical journey of man, is essentially an effort to maintain and mature values and potential humanitarian grounds. Those values include: freedom, dynamism, otonomism, creativism, progressivism and responsibelism. In addition, the educational process is also instill the values and awareness of all forms of authoritarianism resistance against humanity, and other forms of oppression of pluralism and violations of human rights. Therefore, educational efforts that merely focuses on the process of Transferring knowledge, the formation of learners loyalty, and respect for authority and social elitism, as well as the denial of the plurality of human life is a fundamental error in the construction of Islamic education. Addressing the fundamental error, the author tries to establish a theological construction for buildings of Islamic education that is based on the command iqra'. This command confirms how humans must continue to educate themselves to be able to get out of the pitfalls of humanity that tends to position itself replaces God in a negative sense, which seeks to make the shackles of human freedom and run the historicity through oppression. Then the educational process and then try reconstructed is an educational process always try refreshing awareness dimensions of human values, through exploring critical and creative dimension of Islam to be a philosophical foundation and at the same time necessary to build the spirit of resistance in the spirit of learners against all forms business education and social realities that do not respect human as the owner of all values and basic human rights that should always be maintained. Through the paradigm of resistance, Islamic education that is built to be able to liberate and remove Muslims who today seemed to be falling into a rut of underdevelopment and social humiliation, towards the establishment of civilization and the community owner exemplary centers. Thus, the mission of the revelation of Islam that should be Khaira ummatin rahmatan lil 'alamin can be expected to be realized through the resistance education. _____________ 1
Dosen Tetap Prodi Pendidikan Islam FITK UIN Ar-Raniry Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
227
Abstrak Pendidikan dalam ajaran Islam, yang merupakan bagian paling esensial dalam perjalanan historis manusia, pada hakikatnya adalah usaha menjaga dan mendewasakan nilai-nilai dan potensi dasar kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut meliputi: kebebasan, dinamisme, otonomisme, kreativisme, progresivisme dan responsibelisme. Di samping itu, proses pendidikan juga menanamkan nilai-nilai dan kesadaran perlawanan atas segala bentuk otoritarianisme kemanusiaan, serta bentuk-bentuk penindasan atas pluralisme dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, usaha pendidikan yang sekedar berfokus pada proses transfering knowledge, pembentukan loyalitas peserta didik, dan penghormatan atas otoritas dan elitisme sosial, serta pengingkaran atas pluralitas kehidupan manusia adalah sebuah kesalahan mendasar dalam konstruksi pendidikan Islam. Menyikapi kesalahan mendasar itu, penulis mencoba membangun suatu konstruksi teologis bagi bangunan pendidikan Islam yang didasarkan pada perintah iqra’. Perintah ini menegaskan betapa manusia harus terus mendidik dirinya agar mampu keluar dari jebakan-jebakan kemanusiaan yang cendrung memposisikan dirinya menggantikan Tuhan dalam makna yang negatif, yang berupaya membuat belenggu-belenggu bagi kebebasan manusia dan menjalankan historisitas melalui penindasan. Maka proses pendidikan yang kemudian coba direkonstruksi adalah proses pendidikan yang selalu mencoba menyegarkan kesadaran akan dimensi nilai-nilai kemanusiaan, melalui pengeksplorasian dimensi kritis dan kreatif ajaran Islam untuk dijadikan landasan filosofisnya Dan di saat yang sama niscaya membangun semangat perlawanan dalam jiwa peserta didik terhadap segala bentuk usaha pendidikan dan realitas sosial yang tidak menghargai manusia sebagai pemilik segala nilai dan hak-hak dasar manusia yang senantiasa harus dipelihara. Melalui paradigma perlawanan, pendidikan Islam yang dibangun akan mampu membebaskan dan mengeluarkan muslim yang hari ini tampak sedang terpuruk dalam liang keterbelakangan dan keterhinaan sosial, menuju terbentuknya komunitas pemilik peradaban yang menjadi exemplary centers (pusat-pusat pencontohan). Dengan demikian, misi diturunkannya ajaran Islam yang semestinya menjadi khaira ummatin yang rahmatan lil ’alamin dapat diharapkan terwujudkan melalui pendidikan perlawanan tersebut. Kata Kunci: pendidikan Islam
228
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
A. Pendahuluan 1. Manusia dan Historisitas Keniscayaan Belajarnya "Katakanlah: apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannyadalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu adalah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak menagadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada harikiamat." (al-Kahfi: 103-105). Bagi umat Islam, himbauan Allah untuk iqra' bismi rabbikal-lazii khalaq, khalaqal insaana min 'alaq, iqra' wa rabbukal-akram, sungguh merupakan sebuah tugas yang menandai hakikat kodrati dari alamnya manusia (the nature of human being).2 Pesan implisit yang terkandung dalam penanda hakiki itu adalah, bahwa alamnya manusia niscaya butuh akan pendidikan dan sekaligus pula perlu menjalani prosesi belajar secara terus menerus dalam ruang dan waktu historisitas diri sebagai makhluk sejarah.
_____________ 2Dalam
konteks sunnatullah penciptaan manusia, ada sejumlah prinsip yang semestinya sangat dipertimbangkan untuk menjadi dasar pandangan Islam, ketika usaha-usaha pendidikan yang bertujuan membina umat menjadi bertaqwa, berilmu pengetahuan dan berakhlaq mulia. Karena tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap bagaimana Islam memandang manusia dengan segala sifat, tabi‟at dan karakteristiknya, tentu upaya pendidikan yang dilakukan akan sejak awal menemui kegagalannya. Untuk bacaan lebih lanjut tentang ini, baca misalnya, Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Hasan Langgulung (terj.), Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1979, hal. 101-156. Lihat juga konsep yang menggambarkan nilai-nilai kesempurnaan manusia sebagai ciptaan Allah, William C. Chittick, Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination, Tha Sufi Path of Knowledge, (New York: Suny Press), 1989, hal. 30. Kegagalan pendidikan dalam mencapai derajat kemanusiaan yang tepat, akan membuat manusia cenderung melakukan bunuh diri, baik secara langsung menghabisi nyawanya sendiri, maupun secara tidak langsung bertindak yang menghancurkan watak-watak dasar kemanusiaan dirinya maupun terhadap orang-orang lain. Untuk konteks bunuh diri ini, baca misalnya, Emile Durkheim, Suicide: A Study in Sociology, (New York: The Free Press), 1951. Bandingkan pula dengan penggambaran entitas manusia yang diliputi berbagai misteri, Alexis Carrel, Man the Unknown, (London: Prentice Hall), 1985. Ada semacam dekadensi nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan formal yang berlangsung di sekolah, yang sesungguhnya kemudian dilihat melawan semangat pendidikan itu sendiri. Baca misalnya, John Goodlad, “The School versus Education” dalam Meredith D. Gall (et.al), (ed.), Critical Issues in Educational Psychology, (Boston, Toronto: Little, Brown and Company), 1974, hal. 293-299. Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
229
Tujuan utamanya adalah, agar proses pendidikan itu dapat membina suatu tatanan kehidupan masyarakat manusia yang senantiasa didasarkan pada dimensi ilmu, yang dihasilkan melalui olah nalar dan pemikiran yang bersifat rasional, radikal, sistematis dan universal. Di samping itu, proses pendidikan itu juga bertujuan membangun, membina dan membentuk mentalitas yang secara positif-konstruktif mewujud dalam
prilaku dan interaksi sosialnya, yang senantiasa memiliki visi
kemanusiaan universal. Semua ini kemudian harus dapat dijabar-gunakan ke dalam usaha membangun tata-kebudayaan dan peradaban yang sesuai dengan jati-diri kemanusiaan itu sendiri. Sehingga tugas-tugas kependidikan yang berpunca pada tradisi iqra’ ini menjadi semacam “jalan-azali” yang harus dipahami dan ditempuh manusia, khususnya umat Islam, sepanjang hidupnya. Dan niscaya berpegang teguh pada prinsip-prinsip azali kemanusiaan yang bergerak bebas, dinamis, kritis, dialektis, progresif dan bertanggung-jawab. Selain senantiasa melawan atas segala bentuk statisme, pemapanan dan bentuk-bentuk monologisme interaksi dan transaksi yang membuat kehidupan ini menjadi stagnant, dimana pihakpihak yang kuat terus saja menindas pihak-pihak yang lemah. Oleh karena itu, pendidikan harus juga menjadi faktor penting yang dapat mendorong terjadinya perubahan, pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi semakin matang, dewasa, beradab dan bersifat merahmati. Sebagai konsekuensi logis seiring berkembangnya kapasitas ilmu pengetahuan dimiliki, meluasnya wawasan kemanusiaan yang dipahami dan banyaknya pengalaman kehidupan yang dialami oleh seorang peserta didik dalam perjalanan historisitasnya.3 _____________ 3Dalam
konteks itu, ada keharusan agar para peserta didik hingga para sarjana atau ulama untuk terus bergerak dinamis memasuki wilayah-wilayah keilmuan yang belum terjamah. Baik berupa pendalaman, pengembangan, perluasan maupun penemuan yang dari situ diharapkan manusia terus bergerak maju dan semakin dewasa dan sempurna sebagai manusia. Untuk ini baca misalnya, As-Suyuthi, Al-Itqan fi’Ulumul 230
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
Sungguh, bahwa tugas sejarah yang lebih terfokus pada aspek kependidikan ini amat layak diberikan kepada manusia. Setelah kepadanya Allah menganugerahkan 'aqal, sebagai piranti lunak manusia, yang melaui piranti lunak ini memberi manusia energi, kekuatan dan kemampuan, untuk merenungkan, memikirkan, menalar, menganalisa, memahami, menyim-pulkan dan menyadari secara logis-rasional tentang kemestian eksistensial setiap individu (micro cosmos), dan tentang entitas jagat
semesta
universalnya.
alam
(macro-cosmos)
Melengkapi
eksistensi
yang 'aqal
menjadi
areal
ini,
manusia
habitat juga
dianugerahkan tiga piranti lunak lain yang bersifat menyempurnakan, dan masing-masing entitasnya memiliki potensi yang berbeda-beda satu sama lain, yakni: panca indera, qalbu dan nafsu.4 Ke-empat entitas piranti lunak (soft ware) kemanusiaan tersebut telah sedemikian rupa ditakdirkan menjadi sesuatu yang bersifat predeterministik, menyangkut potensi,
posisi, sifat dan fungsinya
masing-masing oleh Allah yang Maha Pencipta. Agar antar ke empat potensi itu dapat satu sama lain bisa saling melengkapi, berinteraksi, bersinergi, berkolaborasi dan bersenyawa secara berimbang dalam aktualisasi seluruh nilai-nilai kemanusiaan yang berbeda dari seluruh makhluk hidup lain, seperti: malaikat, jin, flora dan fauna. Sehingga aktualitas manusia dengan segala potensinya, mampu menghasilkan imagi, kreasi dan produksi, yang dapat meneguhkan human dignity.5 Qur’an, Juz I, hal 3, sebagaimana dikutip oleh Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas AlQuran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (terj.), (Jogjakarta: LKiS), 2001, hal. 4. 4Keempat entitas itu secara bersama-sama akan menyusun sintesa kimiawi spiritual dalam aktualitasnya mewujudkan fungsi dan jati diri kemanusiaan yang khas. Untuk ini, baca misalnya, Dan Merkur, Gnosis: an Esoteric Tradition of Mustical Visions and Unions, (New York: Suny Press), 1993, hal. 55-76. Untuk mewujudkan kekhasan itu, manusia harus dibebaskan dari segala keterkungkungan deterministic, yang merupakan output dari proses pendidikan… lebih lanjut baca, Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina), 2001, hal. 229-318. 5 Disini, human dignity ini merupakan suatu rangkaian ilmu pengetahuan yang sudah tertanam dalam entitas manusia bersama segala piranti lunak dan kerasnya, yang harus dikenali, dipelajari dan diaktualisasikan. Maka peran dan fungsi dunia pendidikan dalam bagaimana ilmu pengetahuan tentang alamnya manusia dapat digali, Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
231
Dari cipta, karya, karsa dan rasa tersebut, diharapkan manusia dapat mewujudkan kebudayaan dan peradaban yang khas dan niscaya bersifat melestarikan kehidupan species manusia itu sendiri. Dan secara kreatif senantiasa mampu dan mau untuk terus menerus berusaha mencari pemahaman dan terobosan baru, yang senantiasa menyadari akan sifat relativitas nilai-nilai kebenaran yang
kiranya mencoba
mendekati dan menyesuai dengan kehendak penciptaan Allah, sebagai pemilik tunggal atas segala kebenaran mutlak (absolute). Maka dapatlah disimpulkan bahwa, tujuan utama dari perjalanan sejarah manusia itu adalah, agar manusia dapat memiliki rentang wawasan keilmuan yang maju dan konprehensif. Selain juga kemampuan untuk menyiasati dan menyesuaikan diri dengan perkembangan pemikiran manusia yang terus bergerak meluas dan mendalam, menuju batas-batas kenisbian yang niscaya terbatas. Meskipun batasan jarak jangkauan pikiran manusia itu, tak kunjung pernah bisa diketahui secara pasti dan final oleh siapapun. Dalam konteks itu, penguasaan ilmu dapat diyakini akan secara imperatif memanggil manusia para pemiliknya, untuk melakukan subjektifikasi/internalisasi
dan
objektifikasi/eksternalisasi
dalam
melahirkan mentalitas, prilaku dan budaya yang menyelamatkan semua ciptaan Tuhan. Sebagai realisasi tugas-tugas ke-khalifah-an dan keabdullah-an yang telah sejak azali terpasang sedemikian rupa dalam entitas diri manusia.6 dikenali dan dielaborasi tentu sangat tergantung pada metodologi pendidikan yang digunakan. Lewbih lanjut soal bagaimana dimensi ilmu pengetahuan dapat dielaborasi sedemikian rupa untuk menjadi khasanah manusia dalam memanusiakan dirinya, baca misalnya, Prof. Ali Abdul Azhim, (terj.), Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif AlQuran, (Bandung: CV Rosda Bandung), 1989, hal. 96-112. Baca juga, William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teaching of Rumi, (New York: SUNY Press), 1983, hal. 85-87. 6Ilmu adalah konsekuensi rasional setelah manusia diberikan „aqal dan menjadi kebutuhan agar manusia bisa keluar dari berbagai mitos dan primitivisme, yang menjebak manusia pada keadaan yang jumud, tidak berkembang, penuh ketakutan dan keterbelengguan, meskipun sebenarnya manusia adalah makhluk bebas yang 232
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
Oleh karenanya, dalam usaha menggapai berbagai kebenaran secara optimal, selalu membutuhkan daya kritisisme, ruang perdebatan radikal yang bebas dan bahkan perlawanan frontal, berupa anti-tesa, di samping memerlukan juga kearifan dalam perspektif persaudaraan universal. Terutama dalam menerapkan nilai-nilai keilmuan sebagai latar justifikasi bagi setiap gerak aktifitas fisik dan dunia kerjanya, sebagai konsekuensi kemanusiaan yang memiliki serangkaian kebutuhan hidup, material dan immaterial. Dalam pengalaman gerak dan kerja inilah, manusia diharapkan akan niscaya melakukan perlawanan kritis dan progresif atas bentukbentuk pemapanan otoritatif yang membuat kehidupan menjadi macet, jumud dan menentang berkembangnya esensi fitrah kemanusiaan. Kemudian, perlu pula melakukan verifikasi atas setiap kebenaran hingga tumbuhnya keyakinan rasional tentang adanya Allah (Iman) dan mampu berserah diri kepada kehendak deterministik Allah (Islam). Lantas, secara bebas (free will) ia rela bekerja untuk mengabdikan diri bagi penegakan kebaikan,
kebenaran,
keadilan
dan
senantiasa
berusaha
mem-
persembahkan kebermanfaatan eksistensial dirinya bagi kemaslahatan umat manusia dan alam semesta (Ikhsan).7
bertanggung-jawab atas kebebasan yang dimilikinya. Menyangkut mitos-mitos yang sering kali membingkai kehidupan sempit manusia, baca misalnya, Gerald A. Larue, Ancient Myth and Modern Man, (Englewood Cliff, New Jersey: Prentice Hall, Inc.), 1975, khususnya bab 2, tentang Cosmological Myths, hal. 23-63. Baca juga bagaimana Ilmu Pengetahuan membebaskan manusia dari mitos-mitos yang mematikan esensi kemanusiaan, Joseph Campbell, Myths to Live By, (New York: Penguin Group), 1993, khususnya bab I, The Impact of Science on Myth, hal. 3-20. 7 Sungguh inilah salah wujud fungsional kehadiran suci Theomorphic Ethic dari makhluk manusia, dimana ia kemudian mampu merasakan kehadiran eksistensial Tuhan dalam setiap detik perjalanan sejarah hidupnya, seperti apa yang diungkapkan oleh Ibn „Arabi sebagai al-hadrat al-ilahiyya (the Divine Presence). Untuk bacaan lebih lanjut tentang the Divine Presence ini, baca misalnya, William C. Chittick, Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination, The Sufi Path of Knowledge, (New York: SUNY Press), 1989, hal. 3-30. Baca juga, John D. Caputo, Radical Hermeneutics, Repetition, Deconstruction and the Hermeneutic Project, (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press), 1987, hal. 236, yang lebih mempertanyakan bagaimana sebuah perbuatan dilahirkan dan atas dasar petunjuk moral apa? Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
233
Menyangkut ke tiga terma keagamaan (Iman, Islam dan Ikhsan) tersebut,
dunia
pendidikan
memainkan
peran
yang
fungsional,
determinant dan bersifat tak pernah selesai. Sehingga perlu terus dibahas, dikaji, dipahami, disadari dan diamalkan secara kritis-dialektis, rasional, radikal (mendasar) dan komprehensif (wholeness). Agar kemudian keniscayaan pendidikan dapat dipahami kandungan esensial tentang definisi ontologisnya, menuju terbentuknya konsepsi-konsepsi kognitif (dimensi keilmuan yang bersifat imperatif), afektif (dimensi pembentukan kepribadian yang semestinya relevan dengan ilmunya) dan psikomotorik (dimensi penjelmaan akhlaq/prilaku sebagai percikan ilmu). Prosesi pendidikan demikian itulah yang semestinya terus berlangsung, melalui perjalanan sejarah keilmuan dan pengamalannya yang dijalani secara sadar, terbuka, ikhlas dan bebas, tanpa adanya tekanan dan ketakutan. Bersama usaha pengembangan wawasan yang terus meluas, dan dipahami dalam perspektif kehidupan yang multi-disiplin dan multidimensi, yang secara eksistensial menyadarkan manusia, bahwa tidak satu eksistensipun pantas berlaku arogan, sehingga secara ekstrim merasa mandiri dan bisa berdiri sendiri.8 Betapa tidak, bahwa nilai-nilai substansial dalam Iman, Islam dan Ikhsan itu, adalah merupakan kerangka dasar pendidikan fitriah Islami, yang menjadi nilai-nilai dasar yang diperlukan dalam membangun dan meneguhkan landasan normative dan menjadi prinsip-prinsip operasional kehidupan seorang Muslim. Bagi tegaknya suatu peradaban sejati, luhur dan
menjadi
ciri
khas
makhluk
manusia
yang
mampu
hidup
berdampingan secara damai dan saling menghargai dalam segala takdir pluralitas perbedaan. Baik perbedaan yang bersifat pre-deterministik, _____________ 8Ketidak
pantasan manusia sombong dalam berbagai manifestasinya, lebih dikarenakan manusia adalah makhluk yang amat sangat tergantung, betapapun tujuan pendidikan sering ditujukan untuk membangun kemandirian manusia. Soal ketergantungan itu baca misalnya, Frank G. Goble, The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow, (New York: Washington Square Press), 1971. 234
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
maupun perbedaan yang tercipta akibat konstruksi sistem sosial dan kepercayaan, yang bersifat free will dan niscaya akan memperkaya khasanah kehidupan manusia. Dalam konteks perjalanan religiositas menyangkut pemahaman substansial Islam, Iman dan Ikhsan ini, selalu diperlukan untuk tidak saja melakukan renungan-renungan kritis-dialektis terhadap periode-periode historis masa lalu. Tetapi selalu juga dibutuhkan adanya semangat perlawanan pada masa kini, ketika adanya berbagai bentuk resistensi dari kaum pembela yang diuntungkan oleh warisan masa lalu yang mereduksi nilai-nilai kemanusiaan (status quo). Untuk kemudian dapat memastikan rancang bangun dan rekayasa sosial bagi masa depan yang kiranya menghargai dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Realitas sejarah masa lalu, adalah khasanah tempat kita belajar menggali, memahami dan menyadari secara kritis, rasional dan ilmiah tentang segala hal yang baik dan yang buruk. Dan kemudian secara kritis pula merombak realitas masa kini yang hanya terjebak dalam usaha-usaha memapankan kepentingan kaum elitis, khususnya terhadap usaha-usaha penafian segala kebutuhan dan keharusan perubahan dalam arena problematika sosial, agama dan kemanusiaan yang sekarang exist. Semua ini dilakukan demi menemukan sebuah kesadaran baru dalam ikhiyar setiap pribadi muslim yang terdidik untuk menjawab segala dinamika permasalahan dan tantangan yang ada di dalamnya, agar segala pemikiran yang tumbuh kemudian adalah pemikiran yang bersifat problem solving, dan menjangkau tujuan yang jauh ke masa depan, berupa visi, misi dan rencana kerja pribadi, juga kelembagaan yang bersifat altruistik. Disini otonomi dan kebebasan setiap individu dalam konteks pemikiran
dan
perbuatan
menyangkut
urusan-urusan
aktualisasi
pribadinya harus diberikan seluas-luasnya. Tetapi proses pendidikan yang
berlangsung
selalu
berfokus
pada
tujuan
pengembangan
kebermanfaatan diri peserta didik secara sosiologis, baik manfaat Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
235
langsung dan kongkrit, maupun manfaat tidak langsung abstrak.9 Betapapun kemudian segala pertanggung-jawabannya hanya akan diemban dan diminta secara pribadi dan sendiri-sendiri (nafsiyah) terhadap Tuhannya, berdasarkan pada ruang lingkup amanah yang telah diterima.10 Selanjutnya, setiap pribadi harus bersedia secara kontinyu mengembangkan dialog-dialog kritis terbuka dalam forum-forum publik untuk bermusyawarah menemukan formulasi kesepakatan bersama, menyangkut segala persoalan yang berkenaan dengan urusan membina suatu realitas tatanan kehidupan bersama yang saling menguntungkan, tertib, bersih, adil dan damai. Disini, konteks pertanggung-jawabannya menjadi bersifat publik dan terletak pada entitas kepemimpinan yang diamanahkan pada seseorang, sebagai khalifatullah, melalui sebuah mekanisme
amanah
yang
berpegang
teguh
pada
prinsip-prinsip
demokratis, partisipatoris, terbuka, bertanggung-jawab/bertanggunggugat, adil dan sederajat (egaliter). Dari kerangka temporal kemasa-kinian ini, diharapkan dapat ditemukan suatu fondasi pembangunan masa depan yang lebih baik dan dapat menjadi warisan yang baik bagi generasi selanjutnya. Di sinilah, sektor pendidikan secara transformative menjadi pihak yang paling berperan dalam mempersiapkan generasi, yang mampu dan mau membangun gerakan perlawanan sosial dan intelektual, agar selalu tersedia ruang bagi segala bentuk kritik, dinamika dan perubahan demi _____________ 9Untuk konstruksi tujuan pendidikan yang bersifat menjangkau jauh ke masa depan, itu selalu harus berperspektif dan bernuansa social. Untuk lebih detil baca, James Martin, The Meaning of the 21st Century, A Vital Blueprint for Ensuring Our Future, (London: Transworld Publishers), 2006, hal. 275-374. Secara fiqhiyah, bangunan pendidikan itu harus dilihat sebagai pembebasan dari segala bentuk tiranisme, baca Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: LKiS), 2009, hal. 289307. 10Tentang bahwa masing-masing kita hanya akan mempertanggung-jawabkan perbuatannya masing-masing, lihat al-Quran, al-Baqarah: 138, 139, 141 dan al-An‟am: 52. Pertanggung-jawaban itu juga harus dilihat sebagai konsekuensi logis setelah manusia dianugerahkan kemuliaan yang tidak diberikan kepada makhluk lain. Untuk ini, baca, H.G. Sarwar, (terj.), Filsafat Al-Quran, (Jakarta: Rajawali), 1990, hal. 116-117.
236
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
menjaga dan mengayomi nilai-nilai kemanusiaan untuk tetap bisa tumbuh dan berkembang maju. Namun tentu segalanya harus disesuaikan secara dinamis dengan realitas permasalahan dan kebutuhan, dengan segala perkembangan pemikiran serta perubahan semangat zaman dari generasigenerasi yang kemudian datang silih berganti.11 B. Penghargaan atas Pluralitas Dalam konteks sejarah kehidupan umat manusia, maka salah satu kekhasan natural yang
menghiasi kehidupannya
adalah,
adanya
pluralitas. Ini merupakan keragaman azali yang menandai sebuah watak asli manusia yang membuat dirinya harus hidup berdampingan di alam pluralitas kemanusiaan bersama segala produk budaya masing-masing, yang satu sama lain akan saling berbeda-beda dalam seluruh aspeknya, baik perbedaan yang bersifat predeterministik maupun akibat adanya kebebasan memilih (free-will).12 Khususnya menyangkut perbedaanperbedaan yang diakibatkan oleh pemanfaatan alam kebebasan manusia dalam berpikir dan menentukan pilihan, misalnya dalam soal penafsiran dan pemahaman terhadap semua realitas faktual dan fenomenal, yang kemudian mensyaratkan perlunya penghargaan resiprokal atas aneka perbedaan itu. _____________
11Dalam konteks religiositas historis antar tiga periode, masa lalu (al-madhi) sebagai turats al-qadim, masa kini (al-hali) sebagai realitas kontemporer (al-waqi’), dan masa depan (al-mustaqbal) sebagai turats al-gharbi itu, Hasan Hanafi melihat adanya energi hidup dan daya dobrak untuk membangun sebuah kesadaran berpikir dan berperilaku kritis-progresif yang hendaknya dimiliki oleh setiap generasi.. Ini diperlukan untuk membebaskan para pemeluk agama dari keterjebakan dirinya dalam turats masalalu yang sering digunakan untuk melanggengkan otoritas keagamaan kaum feodalis, konservatif dan kapitalis yang dilatari kepentingan-kepentingan sempit politik praktis, dengan menjadikan ajaran agama pada masa lalu sebagai rujukan baku dan tak boleh lagi diperdebatkan. Untuk memahami lebih lanjut tentang upaya pembebasan umat dari belenggu ini, baca misalnya, Hasa Hanafi, Islamologi 1:dari Teologi Statis ke Anarkis, (Jogjakarta: LKiS, 2007). 12 Diperlukan disini kemampuan untuk menghargai berbagai perbedaan yang meniscayakan dialog membangun kesalingan dan dekonstruksi terhadap segala yang mengarah menuju kemapanan yang menghentikan perubahan. Baca misalnya, Diane P. Michelfelder, (eds), Dialogue and Deconstruction, The Gadamer-Derrida Encounter, (New York: Suny Press), 1989. Baca juga, Loreta Navarro-Castro and Jasmin Nario-Galace, Peace Education: A Pathway to a Culture of Peace, (Quezon City, Philipine: Center for Peace Education), 2008.
Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
237
Dalam perwujudan kemampuan untuk dapat hidup berdampingan secara damai, faktor pendidikan merupakan salah satu factor penting yang amat menentukan, dalam menanamkan nilai-nilai dasar yang memberi pengayaan bagi terbinanya kemampuan menghargai atas segenap perbedaan yang ada, demi membangun kehidupan yang mendamaikan. Karenanya, ranah pendidikan harus dilihat sebagai wahana yang memberi kebebasan optimal bagi peserta didik, untuk berinisiatif dan berani berpikir eksploratif bebas, agar dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan baru dan terobosan-terobosan kerja yang kreatif, berani dan kaya dalam varian perbedaan.13 Dimana masing-masing pemikirnya secara terus menerus berusaha mencapai maqam-maqam pekerjaan yang lebih baik secara berkelanjutan, demi perwujudan cita-cita kemanusiaan dan kepentingan bersama yang lahir dalam suatu komunitas masyarakat.14 Ini adalah pekerjaan yang niscaya dan senantiasa diperlukan bagi setiap
pemeluk
agama
Islam
dalam
pengembangan
penerapan
pendidikan Islam ke dalam penanaman kesadaran atas prinsip-prinsip penghargaan terhadap pluralitas kehidupan. Disini pendidikan Islam bertanggung-jawab membina
kemampuan optimal untuk menghargai
keaneka-ragaman hayati, baik yang bersifat predeterministik maupun free-will. Harapannya, di atas landasan pluralitas itulah, seluruh pekerjaan umat terkonsentrasi untuk merekonstruksi peradaban Islam yang bersifat merahmati.15 Sehingga menjadi satu exemplaar peradaban yang merupakan teladan bagi peradaban lain. Kesadaran semacam ini _____________ Baca, Albert Camus, (terj.), Pemberontak, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya), 2000. 14Dalam pembinaan kehidupan bersama secara damai , dimensi pendidikan berfungsi sebagai yang membina kemampuan mentransformasikan egonya (keakuan) seseorang menjadi kesadaran altruistic, yang selalu mampu mempertimbangkan kepentingan orang-orang lain, di saat ini memikirkan kepentingan dirinya. Selanjutnya, baca, Chittick, The Sufi Path of Love, hal. 173-175. Bandingkan, diskursus prinsip pandangan Islam terhadap masyarakat, Ahmad Musa Salim, al-Islam wa Qadhayanal Mu’shirah, 1970, hal. 131-132, sebagaimana dikutip oleh Omar Muhammad Al-Toumy, Falsafat Pendidikan Islam, hal. 166. 15 Dalam konteks menjadi orang yang bersifat merahmati ini, renungkan misalnya, al-Quran, al-A‟raf (7): 56. 13
238
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
tentu sangat diperlukan, ketika masing-masing kita merasa telah memiliki semacam panggilan, cita-cita, harapan, idealisme dan visi-misi, melalui pengamalan
syariat
Islam
produktif,
bagi
membangun-wujudkan
kebudayaan dan peradaban manusia yang baik, benar, adil, luhur, jujur, tertip, bersih, disiplin, damai, beradab dan tanpa kekerasan.16 Dari usaha bebas dan inisiatif berpikir setiap muslim semacam itulah, tentu akan menghasilkan rangkaian panjang pemikiran pribadipribadi (personal), yang satu dengan lainnya niscaya memiliki dan saling mengakui keterbatasan (definite) dirinya dalam segala hal, tanpa kecuali. Kenyataan alamnya manusia yang serba terbatas ini, hendaknya mampu menyadarkan kita, untuk menjadi rela dan berlapang dada dalam menyikapinya
secara
positif-konstruktif,
terhadap
segala
proses
berdialektika. Sehingga setiap peserta didik dapat dipersiapkan untuk bersintesa, bersinergi dan berkolaborasi secara positif-konstruktif dengan aneka buah-buah pikiran para manusia lain. Dimana mereka juga terus berlangsung dan berkembang, baik secara sama sebagai
wujud
universalitas manusia, maupun secara berbeda-beda sebagai wujud manifestasi dari sifat partikularitas dari individu-individu dan kelompokkelompok manusia, yang sering kali cendrung melahirkan kontroversi dan pertikaian.17 Menghindari pertikaian yang biasanya muncul akibat berada pada tititk-titik ekstrim kebenarannya, maka semua perbedaan ini harus dapat dipahami sebagai sesuatu yang bersifat relatif, dan harus pula disikapi secara moderat, terbuka, dinamis, kritis, argumentatif, evaluatif, selektif dan akhirnya memberikan apresiasi yang meaningfull. Demi memperkaya _____________
16Untuk
mengenali jalan menuju tujuan itu, baca misalnya persoalan “Human Equilibrium”, Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Albany: State University of new York Press), 1992, hal. 15. Baca juga bagaimana pendidikan harus berperan untuk membangun orientasi team work, Jon R. Katzenbach, The Wisdom of Teams, Creating the High Performance Organization, (New York: Harvart Business School), 1993, hal. 1-84. Baca juga, Ali Syariati, (terj.) “Islam dan Kemanusiaan” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina), 2001, hal. 229-317. 17Perbincangan aspek potensi konfliktual yang juga menjadi bagian dari alamnya manusia yang memerlukan penanganan pendidikan ini, baca misalnya, Wendy Kohli, Critical Conversations in Philosophy of Education, (London: Routledge), 1995, hal. 201208. Baca juga, Mehdi Bazargan, (terj.) “Agama dan Kebebasan” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina), 2001, hal. 81-103. Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
239
khasanah pemahaman dan kesadaran kita, tentang eksistensi Ketuhanan yang Maha Tunggal dan yang serba tak terbatas (indefinite), pemilik dari segala kemutlakan (absolutisme) dan tentang semesta alam kemanusiaan beserta habitat jagat raya yang terbatas (definite), bersama segala relativitasnya.18 Dimensi berpikir semacam ini, sejatinya adalah bagian inti dan menjadi ruh yang paling penting ditanam-tumbuhkan dalam konstruksi pendidikan
Islam,
menuju
kehidupan
yang
berperadaban
atau
berkebudayaan sebagai manusia yang menghargai pluralitas. Dimana ajaran Islam secara lengkap telah menyediakan landasan filosofis, rumusan teoritis dan aksioma metodologis operasionalisasinya. Akan tetapi, bahwa wajah, warna dan plus-minus suatu kebudayaan yang dihasilkan sekelompok manusia dimanapun dan kapanpun ia berada, niscaya sepenuhnya ditentukan oleh produk pemikiran warga kelompoknya sendiri. Dalam konteks masyarakat muslim, misalnya, maka wajah peradabannya juga sangat ditentukan oleh corak bagaimana pendidikan warga individu muslim membentuk kemampuan dalam menafsirkan, memahami, menyadari dan mengamalkan esensi Syariat Islam itu sendiri. Ini sesuai dengan salah satu dictum: laha ma kasabat, wa'aliaha maktasabat. Karena kita hanya akan memperoleh apa yang kita pikirkan, usahakan dan kerjakan.19 Semua rangkaian proses kebudayaan yang didasarkan pada dimensi berpikir kreatif masyarakat pemiliknya ini, berlangsung secara alamiah dan mengalir begitu saja, mengawali, mendasari dan melatari semua perbuatan warga masyarakatnya. Dalam proses inilah yang kemudian
dapat
menghasilkan
berbagai
kesamaan
_____________
sekaligus
18 Mencegah kecendrungan alamiah manusia agar ia tidak terperangkap sikap egosentrisme ekstrim, ada semacam Grand Vision yang perlu dibina dalam pengayaan kognitif manusia. Untuk itu baca misalnya, John Deely, New beginnings: Early Modern Philosophy and Postmodern Thought, (Toronto, Canada: University of Toronto Press), 1994, hal. 183-189. 19Al-Quran, al-Baqarah (2): 286. Dalam konteks pendidikan, itu berhubungan dengan politik kurikulum yang berperan mempersiapkan peserta didik untuk mampu memastikan ilmu, sikap dan perbuatan apa saja yang relevan dilakukan dalam rangka merealisasikan cita-citanya. Untuk ini, baca misalnya, Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya, ( Yogjakarta: Kreasi Wacana Press), 2008, hal. 339-378.
240
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
ketidaksamaan (perbedaan), berupa pandangan, keyakinan dan pendirian individu-individu. Sebagiannya hanya mungkin dapat diberlakukan dalam urusan-urusan pribadi semata (private affairs), yang kiranya tidak secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan urusan-urusan orang lain, yang barangkali dapat berakibat merugikan orang lain. Namun dalam konteks ranah masyarakat (public affairs), pemikiran yang menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan, berupa norma dan tata-aturan bagi tatanan kehidupan bersama, selalu mensyaratkan perlunya kesepakatan-kesepakatan (konvensi) yang dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan (egalitarianisme), untuk menjaga agar relasi dan interaksi sosial yang senantiasa berlangsung, tidak kemudian melahirkan berbagai bentuk kekerasan, sikap yang saling merugikan dan tidak pula terkooptasi atau terhegemoni dalam satu mainstream pemikiran yang menjajah dan menindas. Sehingga pada gilirannya, semua relasi dan interaksi yang didasarkan pada prinsipprinsip kehidupan bersama yang adil, egaliter dan saling menghargai itulah, akan membentuk suatu peradaban yang terbangun di atas nilainilai pluralitas yang diterima bersama-sama, sehingga harmoni sosial dapat berlangsung secara dinamis, produktif dan meaningful.20 C. Konstruksi Teologi Pendidikan Ketika kewajiban historis kehidupan harus dijalani bersama segala keaneka-ragaman perbedaan yang tak terelakkan, nyaris dalam semua hal, banyak orang cendrung menghadapi dengan cara-cara menentang atau menolak, atau bukan dengan menghargainya sebagai sebuah _____________ 20Dalam konteks bagaimana proses berpikir dan produk perbuatan manusia yang dapat menjamin terciptanya peradaban shalih, kiranya diperlukan kapasitas “Transendental Quotient”. Untuk bahasan lebih lanjut, baca misalnya, Syahmunaharnis & Harry Sidharta, Transendental Quotient, Kecerdasan Diri Terbaik, (Jakarta: Penerbit Republika), 2006, khususnya hal. 162-166. Dalam konteks membangun harmoni social itu, perhatikan juga pesan-pesan intrinsic misalnya, dalam al-Quran, Hujurat (49): 11-13; Secara gnosticism, manusia yang berjalan menuju pengabdian kepada Tuhan, umumnya juga dimaknai dalam manifestasi social, dimana setiap orang diperintahkan untuk berbuat baik kepada sesama. Untuk lebih lanjut tentang pesan-pesan dari ajaran Gnosticism, baca misalnya, Kurt Rudolf, Gnosis, The Nature and History of Gnosticism, (San Fransisco: Harper Collin Publisher), 1987, hal. 53-276.
Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
241
khasanah tempat manusia belajar, untuk meningkatkan kapasitas kemanusiaannya.21 Selain itu, manusia dihadapkan pula dengan berbagai masalah yang muncul dan lahir dari rahim keberagaman itu yang kemudian harus diselesaikan. Dimana kemudian setiap kita, suka atau tidak, terpaksa untuk harus menentukan pilihan-pilihan, serta membuat dan mengambil banyak kesimpulan, keputusan dan kebijakan yang dipandang dapat menyelesaikan berbagai masalah itu, baik secara konstruktif maupun destruktif. Persoalan bagaimana menyelesaikan masalah akibat pluralitas perbedaan dan memastikan pilihan secara tepat dan bermanfaat, tentu sangat tergantung pada derajat kapasitas kemanusiaan, yang kiranya telah terbina melalui sentuhan proses panjang dunia pendidikan. Mungkin dapat kita pastikan bahwa perintah Allah untuk ber-IQRA' yang harus dipahami dalam makna yang luas, merupakan pelajaran esensial yang paling dasar, paling pertama dan utama bagi setiap manusia dalam membawa dirinya menjalani dan menyusuri gerak sejarah kehidupan sebagai manusia.22 Dan perintah ini, menjelaskan kepada kita, bahwa Iqra‟ itu telah menjadi landasan teologis bagi konstruksi pendidikan Islam. Maka, setiap muslim niscaya diwajibkan untuk selalu bersedia dan rela untuk berlaku aktif, tekun, serius, jujur, dinamis, kritis dan terus menerus ada dalam kegiatan "belajar." Tanpa kesediaan semacam ini, kiranya dapat dipastikan, bahwa seorang "Muslim Akan Gagal Menjadi Muslim" dan
_____________ 21Salah satu wilayah yang paling rawan dan sensitive terhadap persoalan pluralitas perbedaan adalah wilayah Agama. Bahkan, atas nama agama, banyak pemeluk dari agama apapun, perbedaan yang ada di dalam mengantarkan mereka untuk kemudian bersikap eksklusif dan ekstrim, yang kemudian melahirklan aneka bentuk kekerasan. Untuk bacaan lebih lanjut tentang kajian pluralitas dalam konteks agama, baca misalnya, Raimundo Panikkar, “Philosophical Pluralism and the Plurality of Religions” in Thomas Dean (ed.), Religious Pluralism and Truth, Essay on Cross Cultural Philosophy of Religion, (New York: Suny Press), 1995, hal.33-44. 22Untuk memahami falsafah dasar iqra, baca misalnya, Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan), 1992, hal. 167-171.
242
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
berujung pada terbentuknya sikap yang “Homo Homini Lupus” yang satu sama lain akan saling menaklukkan, menindas dan memangsa.23 Dengan landasan teologis tersebut bagi konstruksi pendidikan yang merupakan keniscayaan bagi umat manusia, maka perjalanan dan pengalaman belajar yang bergerak dinamis, tekun, jujur, dialektis dan kritis bersama semangat perlawanan yang kukuh dan konsisten terhadap segala bentuk hegemoni dan kooptasi yang menindas, selalu akan menghasilkan ”paradigma dan spirit ideal baru.” Karenanya, pendidikan harus selalu dilihat sebagai proses yang dilandasi kesadaran teologis, yang
secara
immanent
memiliki
alasan-alasan
rasional,
dalam
pengembangan bentuk atau model pendidikan yang akan dikembangkan secara terencana dan sistemik. Dengan meletakkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah
dasar
dalam
ikhtiyar
metodologis,
perjuangan
mewujudkan perubahan pola pikir (mindset) dan pola gerakan sosial dan intelektual masyarakat muslim, yang senantiasa diarahkan untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk-bentuk kemapanan yang bersifat dehumanis, dimanapun mereka berada. Agar kehidupan yang mereka jalani dapat lebih membawa dan meningkatkan derajat martabat kemuliaan umat Islam, di tengah keras dan brutalnya pergulatan dan persaingan global sekarang ini.24 Perubahan pola-pikir dan gerakan ini, khususnya menyangkut perubahan terhadap berbagai ketetapan doktrinal, nilai-nilai dasar dan konsep pemahaman yang
menyebabkan kejumudan dan dekadensi kesadaran
kemanusiaan dalam semua sektor kehidupan, yang selama ini telah melandasi pelaksanaan kehidupan beragama, dan cendrung dipandang _____________ 23Sebenarnya,
homo homini lupus merupakan sebuah aksioma yang dapat berlaku universal terhadap seluruh umat manusia dimana pun ia berada, yang terbentuk oleh rekayasa pendidikan yang menonjolkan persaingan ketimbang kerjasama. Untuk bahasan lebih lanjut, baca misalnya, Stjepan G. Mestrovic, The Barbarian Temperament: toward a Postmodern Critical Theory, (London: Routledge), 1993, hal. 49-118. Renungkan dan bandingkan apa yang ditegaskan al-Qur‟an, al-A‟raf (7):179, dimana dalam persoalan “homo homini lupus” ini, merupakan akibat dari kegagalan proses pendidikan. 24 Baca, James Martin, The Meaning of The 21st Century…., hal. 3-187. Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
243
sebagai sebuah kesalehan. Persoalan bagaimana seorang muslim telah berinteraksi dan berdialektika dalam memikirkan, mengkaji, memahami dan mempraktekkan Islam, adalah hal yang paling utama yang perlu dicermati kembali, dalam mangawali sebuah proses pendidikan yang menempatkan perubahan sebagai substansi utama dalam konstruksi teologi pendidikan, dimana Islam sebagai ajaran universal, menjadi rujukan ideologis utama bagi semua nilai-nilai yang harus dipeluk dan diamalkannya. Namun, dalam kenyataan historis-objektif, tampak adanya sebuah kenyataan telanjang yang sangat memprihatinkan, bahwa sepanjang abad-abad terakhir ini, umat Islam ternyata tidak atau belum dapat memperlihatkan produktifitas dari keunggulan ilmu dan kemuliaan akhlak sosial universalnya. Ketidakmampuan ini, diakui atau tidak, jelas merupakan suatu kegagalan pendidikan Islam, yang sejauh ini tampak lebih merupakan proses indoktrinasi dari otoritas-otoritas tertentu yang menjebak peserta didik dalam doktrin-doktrin normatif kosong, yang secara cognitifpun sungguh masih menyimpan sejumlah masalah, berupa ketidak-tahuan, ketidak-mengertian dan ketidak-pahaman definitifontologis. Seharusnya, jika proses pendidikan Islam itu berlangsung dengan benar, sesuai dengan kehendak dasar dan universal dari ajaran Islam itu sendiri, maka umat Islam pasti akan mampu memproduksi karya-karya kemanusiaan yang unggul dan menjadi rujukan dan teladan bagi semua pihak. Komunitas-komunitas masyarakat muslim pun secara umum dapat menjadi
exemplary
centers
(pusat-pusat
keteladanan),
baik
dalam
penguasaan ilmu dan teknologi, maupun dalam penerapan teori menjadi kerja dan karya yang menghasilkan peradaban yang shaleh, kreatif, produktif dan jauh dari segala bentuk kekerasan dan kejahatan kemanusiaan, berupa berbagai bentuk pelanggaran HAM.
244
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
Oleh karenanya, kegagalan dunia pendidikan muslim dalam membangun kemajuan dan kemuliaan umat yang kini justru menjadi kenyataan, kiranya telah menjadi faktor penyebab yang membuat masyarakat muslim menjadi inferior di hadapan peradaban dunia lain. Sekaligus cendrung memiliki mentalitas yang cendrung suka mencari kambing hitam, untuk mensiasati dan menutup kelemahan dan ketidakbecusan. Mungkin kita boleh sepakat, jika kemunduran ini dipahami sebagai akibat dari kegagalan proses pendidikan Islam yang menghentikan kegiatan
"belajar"
para
muslimin
dalam
artian
yang
luas
dan
sesungguhnya, meskipun kegiatan belajar merupakan sebuah program seumur hidup yang harus terus dipelihara oleh setiap muslim. Ini harus dilakukan agar umat dapat terus bergerak untuk berusaha keluar dari ranah-ranah
kehidupan
yang
masih
diliputi
”kegelapan”
(kebodohan/kejahilan). Menuju ranah-ranah terangnya cahaya ilmu pengetahuan (keberilmuan), yang kemudian menjadi ideologi dan menjadi energi impetus yang memotori gerakan perlawanan terhadap aneka bentuk kepicikan, kebodohan, ketidakadilan dan penindasan struktural dan sosial.25 Jelasnya, kemunduran itu terjadi karena kita telah berhenti berpikir dan belajar, menganggap banyak hal telah final, selesai, dan tinggal menerima dan mewarisi saja segala sesuatu yang telah ada dari masa lalu. Serta enggan mengeksplorasi khasanah pemikiran umat manusia yang amat luas, majemuk dan berbeda-beda, sebagai bahan-bahan belajar yang membanding-bandingkan dalam usaha untuk memilih sikap yang tepat _____________ 25Kegagalan
proses pendidikan Islam, secara historis dapat dilihat sebagai akibat dari adanya intervensi politik kekuasaan, dimana agama dijadikan alat untuk melegitimasi pelestarian kekuasaan. Untuk bacaan lebih lanjut tentang bagaimana politik telah membiuat proses pendidikan menjadi proses yang membodohkan, lihat misalnya, Paolo Freire, (terj.), Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar), 2002. Baca juga, M. Escobar , (eds), Sekolah: Kapitalisme yang Licik, (Yogjakarta: LKiS), 1998. Bandingkan, Eko Prasetyo, Islam Itu Agama Perlawanan, (Yogjakarta: Resist Book),. 2006. Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
245
menghadapi problema dan perkembangan yang terus lahir dan bergerak dinamis. Akibatnya, nyaris tidak ada lagi perbuatan nyata personal muslim dalam membangun kegiatan sosial bersama, yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah, yang bergerak secara dialektis, bebas, lugas, lintas disiplin, multi-dimensional, saling melengkapi dan akhirnya bersifat mutual sismbiosis.26 Pemikiran
paradigmatik
yang
coba
mengawali
pembinaan
konstruksi teologis dan struktur pendidikan Islam, yang semestinya harus kembangkan, merupakan resultante dari berbagai kutub pemikiran teologis, meliputi kutub-kutub pemikiran yang inklusif, pluralis, liberalis dan progresif. Dimana esensi substansialnya diturunkan secara interpretative dan reflektif-historis dari integralisme ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diyakini menjadi esensi terpenting yang kini amat dibutuhkan dalam rangka membangun sebuah pola-pikir dan gerakan perlawanan baru terhadap pola keberagamaan normatif, simbolis, konservatif dan seremonial yang sekedar hanya pintar meniru, mewarisi dan mengikuti apa-apa yang telah ada pada masa lalu.27 Semua pemikiran dan buah-buah pikir yang dihasilkan kemudian, tentu harus ditempatkan secara tepat, rasional, dinamis dan kontekstual, dalam kontinum realitas sosial yang ada, sebagai sasaran objektif, dengan menumbuhkan
niat
dan
cita-cita
untuk
melakukan
perubahan,
pencerdasan dan pencerahan sosial. Sehingga, dalam rangka mencari pemahaman-pemahaman baru beserta pemecahan dari 1001 masalah kemanusiaan yang setiap saat terus bermunculan, berbagai hasil _____________ 26Pendidikan
Islam harusnya memproduk peradaban Islam yang secara esensial itu merupakan perwujudan kedamaian social, yang memiliki sejumlah prinsipprinsip dasar yang menopang tatanan masyarakat damai. Baca misalnya, Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna), 1985. 27Dalam hal mewujudkan pendidikan yang menanamkan semangat perlawanan, sering kali dilihat masyarakat dan pemerintah sebagai berlawanan dengan substansi ajaran Islam. Untuk mengenal bagaimana cita-cita normative dapat ditransformasikan menjadi Gerakan social, baca misalnya, Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan), hal. 159-170. 246
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
pemikiran itu dapat menjadi pegangan dan ideologi baru dalam melawan kejumudan dan kepicikan yang ada. Untuk kemudian semua itu harus diterapkan
dan
dijalankan
secara
konsekuen
melalui
formulasi
metodologi yang tepat, relevan, operasional, terukur serta sesuai, dalam konteks usaha mencapai tujuan-tujuan sosial bersama, yang senantiasa dimiliki dan didambakan oleh setiap warga dari suatu komunitas muslim, dimanapun ia berada. Untuk
tujuan-tujuan
seperti
itu,
ikhtiyar
memperkenalkan
landasan pemikiran yang mendasari dan memberi penjelasan deskriptif terhadap paradigma pendidikan perlawanan kiranya memang penting dan amat diperlukan. Paradigma perlawanan dalam pendidikan Islam merupakan sebuah terobosan teologis yang menempatkan ajaran Islam serbagai pendorong. Pola berpikir kritis, terbuka, dinamis dan progresif, merupakan modal awal untuk melakukan perlawanan, secara intelektual dan praksis sosial. Dimana aspek perubahan menjadi substansi teologis yang
menjustifikasi
gerakan perlawanan terhadap segala bentuk
hegemoni yang memasung, penjajahan pikiran yang mengerdilkan dan penindasan social dan structural yang menyebabkan umat Islam menjadi miskin dan terbelakang.28 Konstruksi teologis pendidikan Islam yang coba diturunkan, adalah upaya memahami pesan-pesan mendasar Islam upaya membuat umat pemeluknya menjadi rahmatan lil ‟alamiin. Ini diperlukan untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan dalam realitas sosial umat Islam masa kini, yang sedang diliputi kejumudan, dekaden dan cendrung memelihara kemapanan otoritas keagamaan dan politik status quo. Keadaan ini telah banyak melahirkan kebodohan, menyempitnya dimensi nalar-nalar keagamaan umat, dan selanjutnya mengakibatkan _____________ 28Dalam
konteks perlawanan untuk perubahan, pendidikan Islam merupakan sebuah system strategis yang memastikan berjalannya proses-proses dan transformasi. Untuk itu baca misalnya, Nasuka, Teori Sistem: sebagai Salah Satu Alternatif Pendekatan dalam Ilmu-ilmu Agama Islam, (Jakarta: Prenada Media), 2005, hal. 61-90. Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
247
dampak-dampak negatif berupa bentuk-bentuk kemunduran, ketertinggalan, kekotoran, kemenderitaan, ketertaklukan dan kehinaan, di berbagai sektor kehidupan, baik secara lahir maupun bathin.29 Sebenarnya, bahwa realitas yang penuh kemunduran itu, adalah suatu kenyataan yang kontradiktif dengan pesan, tujuan dan visi-misi diturunkannya agama Islam, yang semestinya berkonsentrasi pada bagaimana menjadikan pemeluk Islam mampu memproduksi pikiranpikiran kreatif, inovatif, prilaku yang bersahabat, pekerjaan dan karya yang bermanfaat. Maka proses pendidikan harus menjadi sarana bagi perwujudan kongkrit dari visi dan misi sucinya Islam yang rahmatan lil'alamiin, bagi umat Islam sendiri dan bagi semua kelompok manusia lainnya. Sehingga ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersifat merahmati tersebut akan dapat mengenyahkan perasaan resah, takut, keluh-kesah, rendah-diri, kecendrungan sikap pada kekerasan dalam berbagai jenisnya dan dapat pula merubah mentalitas politik "kambing hitam." Dengan kualifikasi tersebut, umat kemudian mampu menumbuhkan rasa percaya diri dan menumbuhkan semangat bersama untuk menjadikan Islam sebagai
"Imam Peradaban Dunia," melalui gerakan pembebasan,
pencerahan dan pengembangan kapasitas manusia dalam dimensidimensi sejati dari rasionalitas, spiritualitas dan emosionalitas yang dikandung dalam pikiran, kalbu dan jiwanya. Maka, semua renungan dan pemikiran itu telah menjadi landasan awal, dan merupakan variable-variabel kausal, yang secara sosio-historis telah memilin rangkaian hubungan sebab-akibat, dan kemudian menjadi basis bagi munculnya varian pendidikan yang menekankan perlawanan _____________ 29Upaya
untuk keluar dari corak pemahaman agama yang sejauh ini telah menunjukkan kegagalan umat Islam menjadi teladan , penting kiranya dilakukan sejumlah perombakan pola-pikir dan perlawanan atas resistensi status quo. Untuk mengenal lebih jauh hal-hal apasaja yang menuntut adanya perubahan dalam religiusitas kita, baca misalnya, Abd Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal), 2005. 248
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
atas segala bentuk otoritas, kepicikan, kemapanan, statisme dan penindasan. paradigma
Varian baru,
pendidikan
dan
menjadi
perlawanan model
ini
menjadi
sebuah
dalam
rangka
alternatif,
menumbuhkan orientasi dan tanggung-jawab keagamaan bagi terjadinya perubahan sosio-kultural umat Islam yang hari ini sedang mengalami dekadensi massif di segala bidang, menuju perwujudan Islam baru sebagai eksemplar perdamaian.30 Dalam konteks ini, paradigma pendidikan perlawanan yang menanamkan semacam ideologi kritis-progresif yang dilandasi penalaran rasional dalam ikhtiyar dekonstruksi, demi mendorong muncul dan terjadinya: (1). Penegasan bahwa Allah adalah pemilik tunggal kebenaran mutlak (absolud) dan manusia hanya mampu mendekatinya; (2). Penentangan terhadap segala pemikiran, sikap
dan
prilaku
pendewaan terhadap semua yang merupakan ciptaan (makhluk) atau produk manusia; (3). Perlawanan terhadap kungkungan dominasi dan hegemoni dalam aspek klaim pemilikan otoritas, kewenangan tafsir atas kitab suci dan fatwa keagamaan yang bersifat sepihak dan monopolar; (4). Pencerahan terhadap kebekuan dan kejumudan berpikir yang terperangkap dalam pemahaman yang justru menyempitkan keluasan samudra makna kitab suci.
_____________ 30Ada sejumlah nilai-nilai inti Islam yang potensial untuk menciptakan budaya damai, baik secara particular maupun secara universal yang meniadakan segala bentuk kekerasan structural, cultural, political, dsb. Untuk ini baca misalnya, Chaiwat SathaAnand, Agama dan Budaya Perdamaian, (Yogjakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama), 2002, hal. 30-42. Baca juga, Dale F. Eickelman, “Islam dan Pluralisme Etik” dalam, Sohail H. Hashmi, Etika Politik Islam,Civil Society, Pluralisme dan Konflik, (Jakarta: ICIP Press), 2006, hal. 157-184. Bandingkan pula dengan perbincangan dimana Ihsan ingin dijadikan sebagai dasar peradaban, dimana yang bertanggung-jawab membuat muslim menjadi ihsan adalah pendidikan Islam. Maka baca misalnya, Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Suatu Analisa Sosi-Psikologi, (Jakarta: Pustaka al-Husna), 1985, hal. 195211.
Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
249
(5). Pembongkaran terhadap berbagai kondisi status-quo, sistem dan pola pemikiran yang telah terbukti gagal dalam mencerdaskan dan memuliakan umat; (6). Pembukaan ruang-ruang sosial-dialogis yang mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang sangat majemuk, yang selama ini tertutup rapat dan hanya menciptakan masyarakat ”berlangit rendah.” (7). Memperjuangkan partisipasi dan keterbukaan optimal dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak; (8). Menentang segala bentuk kebijakan publik yang bersifat elitismeeksklusive yang sekedar menguntungkan pihak-pihak tertentu; (9). Menolak segala bentuk klaim yang sekedar membenarkan diri sendiri dan menafikan relativitas manusia; Semua substansi ideologi kritis-progresif ini dimaksudkan untuk membuka jalan bagi dapat berlangsungnya dialektika pertanggunggugatan sosial dari pihak masyarakat secara lugas terhadap para pemegang otoritas pelaksana pendidikan bagi membangun iklim dan kapasitas keilmuan universal, iman keberagamaan dan religiositas kemusliman. Ini dilakukan dalam rangka membangun keshalehan sosial kaum muslimin, yang niscaya dan siap menentang segala bentuk upaya memapankan aturan, sistem dan otoritas yang cenderung menolak keterbukaan dan anti perubahan.31 Karena keterbukaan dan perubahan itu _____________ 31 Pada hakikatnya perubahan itu telah merupakan hukum alam. Namun perubahan dalam konteks sosiologis sering sekali mengakibat terjadinya deprivasi, dislokasi dan disorientasi. Makanya kemudian banyak orang yang diuntungkan oleh suatu situasi yang statis dan mapan, menganggap perubahan sebagai suatu ancaman. Padahal suatu kehidupan bersama yang tidak mengalami aneka perubahan akan menyebabkan tindakan-tindakan yang merugikan orang banyak. Untuk bahasan lebih lanjut tentang Perubahan, baca misalnya, Budhi Munawar Rahman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, (Bandung: Penerbit Mizan), 2006, jilid 3, hal. 2648-2657. Bandingkan tuntutan persoalan perubahan social ini dalam konteks pembentukan masyarakat madani, baca misanya, Widodo Usman, (eds.), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar), 2000, khususnya hal.147-237. Kemudian perubahan sosial dalam konteks demokratisasi, baca juga misalnya, Nasrullah Ali Fauzi, (eds.) ICMI antara Status Quo dan Demokratisasi, (Bandung: Mizan), 1995, hal. 126-165.
250
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
seringkali dipahami sebagai hal yang akan merugikan kepentingankepentingan primordial sempit yang sedang dinikmatinya, dimana landasan filosofinya dibangun di atas pilar-pilar epistemologis pemikiran yang berkarakter absolutisme, otoritarianisme dan diktatorisme. Dalam konteks itu, maka fokus "pendidikan perlawanan" ditujukan kepada segala bentuk pemikiran, sikap dan prilaku muslim yang menentang dan mengingkari sunnatullah dan hukum-hukum kodrat, yang merupakan nilai-nilai fitrah universalitas Islam yang melekat (inherent) pada setiap entitas ciptaan. Karena semua itu adalah konstanta ilahiyah yang tak mampu diingkari. Nilai-nilai konstanta ini meliputi watak-watak determinisme, dinamisme, pluralisme dan liberalisme dalam semesta raya alam ciptaan Tuhan. Penentangan dan pembangkangan terhadap sunnatullah ini, motive dan niatan dasar dari aktifitas sosial-politiknya cendrung akhirnya terfokus pada usaha membangun kemapanan hegemoni otoritarianistik di kalangan para pemilik "kuasa," "wewenang" dan "otoritas," demi kelanggengannya. Melalui suatu sistem socialpolitik yang bersifat simbolik-feudalistik dan otokrasi sentralistik (terpusat). Disini premis atas nama "Kepentingan Umat," "Kepentingan Nasional," dan "Keselamatan Negara" sering digunakan sebagai justifikasi untuk menunduk-taklukkan semua kekuatan dalam masyarakat yang dianggap menentang rezim otoritarianisme itu, baik dalam ranah berpikir maupun dalam sosial politik. Sementara subjek "perubahan" yang menjadi sasaran dalam kesadaran
teologis
"pendidikan
perlawanan"
adalah,
perubahan
menyangkut paradigma dan pola pikir atau mindset para muslimin. Yang dalam jumlah mayoritas besarnya, cendrung melihat dan memahami Islam hanya dalam konteks "kata benda" yang melahirkan corak pandang keagamaan yang statis dan berbentuk simbolistis. Atau dengan perkataan lain, bukan dalam konteks kata sifat dan kata kerja. Sehingga dampak Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
251
realitas sosial historis yang terbentuk dan kini hadir di hadapan kita dan menunjukkan kepada kita, bahwa masyarakat muslim di seantero dunia, dan khususnya di Aceh. Dimana tampak sedang mengalami kemacetan dan
bahkan
kematian
intelektualitas
dan
spiritualitas,
dalam
hubungannya dengan kewajiban mengoptimalkan fungsi-fungsi indera, `akal, qalbu dan emosi, sebagai instrumen jasmani dan ruhani, yang semestinya terus digunakan secara dinamis dan kritis. Ini penting dioptimalkan dalam rangka mengamati, mencermati serta merumuskan harmoni
tata
pencerahan,
kehidupan pembebasan
sosial
bersama,
dengan
dan
pemecahan
atas
segala segala
bentuk realitas
permasalahannya, yang secara rasional dan adil berusaha menegakkan perdamaian.32 Kegagalan dalam memaksimalkan fungsi-fungsi instrumental tersebut, kiranya menjadi alasan mendasar yang menyebabkan umat Islam di negeri ini kini sekedar menjadi bagian dari warga masyarakat dunia berkelas dua, tiga atau bahkan empat, yang terus menerus meratap, mengeluh, tertindas, menderita, kumuh, miskin, kotor, tidak disiplin, malas, dan etos kerja yang lemah. Sehingga angka kriminal dan kemampuan manipulasi cendrung terus meninggi. Dan seiring ini, kemunafikan yang saling memangsa dalam segala modus operandinya, juga menjadi semakin massif dilakoni umat, hampir di semua lini dan lapisan masyarakat, terutama di level-level elit agamawan, ilmuwan, penguasa dan politisi, yang dilakukan lebih dalam motiv dan orientasi ekonomi-politik yang sempit, egosentris dan chauvinistik. Maka tak pelak, kecendrungan untuk saling menaklukkan dan memangsa tersebut, hanyalah suatu konsekuensi logis belaka yang tampak semakin
_____________ 32Ada
aspek yang paling yang sering sulit diaktualisasikan oleh umat Islam, yaitu sikap memaafkan, yang seolah perbuatan memaafkan dilihat sebagai sesuatu yang bernilai lemah dan takut. Selanjut baca, baca, Chaiwat Satha-Anand, Agama dan Budaya…, hal. 57-74 252
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
menggejala dan tak terhindarkan, di kalangan sesama umat Islam sendiri.33 Tugas utama pendidikan perlawanan dalam konteks membangun kualifikasi
umat
Islam
sebagai
eksemplar
perdamaian
adalah,
merekonstruksi corak pemikiran Islam baru yang berwatak dinamis, kritis, mencerahkan, mencerdaskan, membebaskan, memerdekakan dan merangsang tumbuhnya kreatifitas serta produktifitas dalam akidah keberagamaan umat dan dalam lakon prilaku sosialnya. Agar pemikiran dan lakon kegiatannya, selalu berorientasi pada kemajuan, keterhormatan dan menjadi saksi yang jujur dan adil di tengah pluralisme pemikiran dan perbuatan kemanusiaan. Kemudian ia selalu rela dan berkenan menebarkan rahmat-keselamatan bagi semua, dalam apapun bidang kegiatan yang sehari-hari digeluti oleh seorang muslimin/muslimat. E. Penutup Saya meyakini, bahwa dimensi pemahaman kritis, dinamis, terbuka dan relatif atas ajaran Islam, merupakan pesan mendasar esensial dari substansi samudra kandungan makna ajaran Quran yang maha luas dan tak terbatas. Darisini mengantarkan saya untuk mengembangkan sebuah paradigma pemikiran pendidikan yang menekankan pada dimensi perlawanan, sebagai alternatif dalam menjawab tantangan-tantangan kontekstual masa kini. Ini bisa berupa terjadinya dekadensi moralitas keilmuan masyarakat Islam, yang saya tengarai sebagai akibat dari kesalahan proses dan substansiasi pendidikan yang mereka alami sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sehingga masyarakat Muslim cendrung tertinggal, terutama dalam melahirkan gagasan-gagasan _____________ Untuk itu diperlukan pengayaan pendidikan yang inklusif dan dialogis yang menekan tentang doktrin-doktrin keagamaan yang niscaya menuntut rasionalisasi. Lebih lanjut baca, Sachiko Murata, The Tao of Islam.., hal. 203-224. Bandingkan perbincangan yang lebih menekankan pengenalan nilai-nilai manusia yang harus diperhatikan secara seksama, baca misalnya Omar Muhammad, Falsafah Pendidikan Islam.., 101-160. 33
Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
253
cemerlang yang mendorong kemajuan masyarakat Muslim dan mampu menciptakan realitas social umat Islam yang kaya, bersih, adil dan enggan memangsa antar sesame. Melalui
pemahaman
dan
pemikiran
paradima
pendidikan
perlawanan ini, esensi proses pendidikan berfokus pada menumbuhkembangkan semangat mencari tahu (curiosity), membangkitkan semangat “memprotes,” "melawan," "menentang" dan "mengugat" terhadap segala sikap
absolutism,
otoritarianisme,
mengkultus
atau
mendewakan,
penunggalan (penyeragaman) pemikiran, penutupan kebebasan ilmiah, pemapanan politik status-quo, penentangan terhadap anti-perubahan. Juga mendesakralisasi segala produk pemikiran dan penciptaan manusia, semisal undang-undang, aturan-aturan, sistem, fatwa, status dan simbolsimbol yang semuanya merupakan produk manusia. Karena hal itu merupakan perbuatan musyrik dan bersifat menentang sunnatullah dan hukum kodrat,
34
dari segala konstanta yang telah ditetapkan, saat
penciptaan entitas semua makhluk yang ada di alam semesta raya ini. Dampak sosial-politik dari sikap-sikap itu adalah, timbulnya penolakan dan resistensi terhadap tuntutan perubahan dan terjadinya penghinaan dan bahkan permusuhan terhadap bentuk-bentuk perbedaan. Sehingga mereka itu mendewakan egoisme dan semangat hegemoninya, untuk seterusnya memantapkan dan melestarikan otoritas kekuasaan dalam artian luas, yang tidak dalam konteks kekuasaan politis saja. Tetapi juga otoritas hukum, keilmuan, sosial, ekonomi dan keagamaan. Sehingga akhirnya ia bertindak seolah ingin menggantikan posisi, fungsi dan peran Tuhan (Allah), sebagai penguasa absolut yang berhak untuk otoriter dan mengayomi elite untuk legitimasi sosialnya. Sementara itu, fenomena realitas sosial politik yang sejak tiga dekade lalu hingga akhirnya kini merebakkan krisis multi dimensi, adalah _____________ Menyangkut kajian tentang hokum kodrat yang kiranya sangat perlu dipahami secara seksama oleh semua orang, baca misalnya, A. Sony Keraf, Hukum Kodrat dan Teori hak Milik Pribadi, (Jakarta: Penerbit Kanisius), 1997, hal. 13-52. 34
254
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
juga menjadi konteks yang melatari pemikiran “pendidikan perlawanan.” Salah satu krisis mendasarnya yang paling bertanggung-jawab terhadap segala krisis dan konflik yang bertaburan hari ini adalah faktor kemacetan intelektualitas dan rasionalitas serta hilangnya kemampuan berpikir kreatif-alternatif, seperti yang kini sedang mengitari realitas eksistensi umat Islam, di Aceh khususnya. Kondisi ini adalah juga menjadi latar belakang dan raison d'etre yang mendorong pencarian jawaban dan jalan keluar
dari segala
problema keumatan itu, melalui pemahaman ulang terhadap konsep teologi pendidikan Islam dan penjabaran detilnya, hingga sampai pada tahap penemuan metodologi penerapan yang tepat dan substansialisasi materi pendidikan, yang mengedepan partisipasi dan kerjasama. Bukan persaingan yang tampaknya cendrung menciptakan mentalitas pesaing yang suka menpecundang. Agaknya perubahan pemahaman orthodoxis teologi pendidikan Islam dari sumber-sumber rujukan utama (alquran dan hadits) dan penjabaran
orthopraxisnya
menjadi
metodologi
penerapan
dan
pengamalan, membawa umat pemeluknya ke arah pencapaian visi-misi ajaran Islam. Elaborasi substansi kandungan secara rasional, radikal, sistemik dan secara substansial mengadopsi nilai-nilai universal, adalah sesuatu yang penting dan sangat perlu untuk dilakukan. Ini menjadi kekuatan encounter terhadap realitas kontekstual yang kini menunjukkan, bahwa berbagai kegiatan kependidikan Islam dan dakwah keagamaan, yang sesungguhnya terus saja berlangsung sepanjang abad dan sama sekali tidak pernah berhenti, hanya berlangsung pada level normative dan simbolis belaka. Sehingga dampaknya terwujud dalam bentuk kenyataan sosial, yang menunjukkan betapa umat Islam secara makro semakin hari semakin terpuruk dalam berbagai permasalahan fisik-material (ekonomi/ kebersihan/ kesejahteraan/kelestarian alam) dan immaterial-ruhaniah (menyangkut intelektualitas, mentalitas, moralitas dan tatanan sosialnya). Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
255
Di samping itu, umat Islam tampak semakin terpecah-pecah dan terkungkung dalam semangat individual dan kekelompokan, yang menghancurkan kekompakan dan persatuan umat, di samping semakin mengikis kesadaran altruistik manusia sebagai makhluk sosial. Pertanyaannya adalah, mengapa umat Islam terus menerus terlihat semakin mundur
realitas sosial yang mampu dihasilkannya, padahal
mereka memiliki Quran sebagai kitab pegangan dan menjadi pedoman yang maha benar dan maha lengkap? Kecuali itu juga terlihat, bahwa kerelaan menebarkan rahmat dan manfaat kepada orang lain juga semakin melemah. Moralitas dan intelektualitas juga semakin rusak, lemah dan busuk, padahal kegiatan pembinaan, pendidikan, pengajian dan dakwah keagamaan tidak berhenti sepanjang sejarahnya? Tentu disini harus disadari bahwa keadaan itu memperlihatkan adanya kesalahan mendasar menyangkut struktur berpikir teologis umat yang bersifat "jabariah" atau fatalistik yang memahami agama dalam konteks kata benda yang bersifat statis dan sangat simbolis. Sehingga Pendidikan Islam tidak ditempatkan sebagai proses membangun kekuatan untuk pencerahan, yang mampu secara transenden menemukan jawaban atas aneka persoalan kekinian yang ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Khususnya dalam usaha menerjemahkan, memahami dan menerapkan syari'ah Islam, yang diliputi semangat hegemoni elit penguasa yang mengungkung kemerdekaan dan otonomi berpikir umat. Padahal kedatangan Islam secara fungsional merupakan gerakan perlawanan dan dekonstruksi terhadap realitas kemusyrikan dan penyembahan lata dan uzza, yang dipenuhi berbagai bentuk simbolisasi, otoritasi,
hegemonisasi,
dan
seringkali
melahirkan
aneka
bentuk
kekerasan dan kebiadaban. Selain kemudian Islam juga tidak dipahami sebagai sumber inspirasi substansial bagi upaya-upaya penyelesaian semua problema umat manusia. 256
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
Dalam alur berpikir melawan terhadap gejala dan realitas semacam itulah, paradigma Pendidikan Perlawanan ingin ditempatkan. Semua sikap itulah yang justru bertentangan dengan ruh agama Islam yang berisi ajaran perdamaian dan kasih sayang, melalui sikap saling menghargai dan menghormati, terhadap segala bentuk perbedaan. Dengan
demikian,
logika
transcendental
Tauhidiyah
yang
menegaskan "laisa kamislihi syaiun" dapat diterima secara logis dan masuk akal. Sementara seluruh entitas keagungan yang dimiliki Allah itu, selalu menentang segala bentuk profanitas beragama, yang hanya sekedar menonjolkan
penampakan
keberagamaan
yang
sangat
bersifat
permukaan, hanya seputar asesoris kulit-kulit terluar belaka dan terpuruk dalam simbolisme kering yang melupakan substansi isi dari makna dan fungsi kehadiran agama bagi manusia. Selain hal esensial itu, kita juga melihat bahwa realitas sejarah rezim sosial-politik Indonesia yang sangat menghegemoni jagat pemikiran umat Islam dan mengerdilkan diri dalam pola pikir "oposisi biner" yang eksklusif, bersifat hitam-putih, saling menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Selanjutnya berakibat pula pada pematian terhadap segala bentuk kreatifitas untuk mencari alternative (pilihanpilihan). Kemudian, dari situasi pemikiran itu, individu-individu atau kelompok-kelompok umat Islam memasung dirinya dalam model identifikasi diri yang bersifat "solitaire." Disini konstruk kesadaran kesederajatan pupus dari pergaulannya dengan sesama manusia lainnya. Secara praktis, umat kemudian masuk ke dalam bingkai ideology "homo homini lupus" yang saling menaklukkan, memusuhi dan bahkan saling membinasakan. Dengan akibat-akibat semacam itu, text-text al-Quran yang Maha Sempurna dan memiliki kandungan makna yang maha luas dan dalam, tidak lagi mampu secara kreatif dan produktif para mukminin melahirkan ijtihad-ijtihad, yang kemudian berguna untuk menemukan jawabanParadigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
257
jawaban tepat atas segala persoalan yang lahir dan tumbuh di dalamnya. Padahal, kreatifitas memahami secara lintas perspektif adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan, khususnya ketika umat sedang terpuruk dalam kemiskinan, kekumuhan dan kehinaan. Ruang-ruang diskusi dan dialog kemudian ditutup rapat, untuk menolak segala bentuk perbedaan yang ada dan muncul dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Lantas muncullah kaum elitis yang menduduki posisi tengah-atas piramida social, yang berasal dari berbagai kalangan dan kelompok, yang menolak adanya dinamika dan perubahan. Dan dengan berbagai alasan, secara sistematis cendrung mempertahankan status quo secara kukuh. Sebab perubahan dilihat sebagai ancaman bagi eksistensi dirinya saat ini. Maka tumbuhlah berbagai bentuk ketakutan terhadap hilangnya berbagai kenikmatan, otoritas, kewenangan, popularitas dan hegemoni, jika perubahan menjadi kenyataan. Khususnya perubahan yang memuat niat dan
semangat
menegakkan
kebenaran,
keadilan,
kejujuran
dan
kesederajatan. Tegasnya, maka tidak ada seorangpun umat Islam yang dapat memahami isi kandungan al-Quran secara persis dan mutlak, kecuali Allah sendiri. Karena yang tunggal dan mutlak itu hanya ada dalam keniscayaan Allah dengan konsep Tauhidnya. Jadi, ketika segala kalam ilahi yang tertulis dan tidak tertulis itu masuk ke dalam benak pemikiran manusia, segera saja segalanya menjadi relatif dan subjektif dalam tingkat kesahihan kebenarannya. Karenanya, manusia hanya bisa coba berusaha keras untuk mendekatinya saja, tanpa boleh disertai klaim-klaim benar sendiri, dan tertutup untuk semua kritik dan perdebatan. Maka saat coba mendekati kebenaran Islam itulah, para muslim hadir dengan aneka jenis varian dan mazhab pemikiran dalam mengajukan kebenaran yang dipahaminya
setelah
melalui
proses-proses
berpikir
interpretative
terhadap makna dan kandungan substansial Islam, sesuai dengan latar 258
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
pendidikan, derajat kemampuan, disiplin keilmuan dan realitas sosiologis masing-masing yang juga beragama walau berbeda-beda. Oleh sebab itu, adalah sudah by nature jika pluralitas kemakhlukan merefleksi dalam pluralitas tafsir yang kemudian muncul dalam memberi nama Islam dengan label-label tambahannya yang terkadang ekstrim (baik kiri maupun kanan) dan eksklusif. Disinilah, proses pendidikan perlawanan berperan mempersiapkan para kaum terpelajar, cerdik pandai, elit pemimpin dan ulama yang membawa umat Islam tercerahkan dan dapat hidup rukun dan damai dengan siapapun. Pada dasarnya, Islam dan muatan inti dari sejatinya ajaran Islam adalah juga ajaran protes yang melawan terhadap segala bentuk kejumudan, kepicikan, keberhalaan dan ketakberadaban bangsa Quraisy yang terjadi saat turunnya Islam. Maka, ajaran Islam tentunya juga bersifat membebaskan para pemeluknya dari segala bentuk penghambaan dan pemberhalaan diri dan pikirannya terhadap segala sesuatu yang berasal dari apapun alam kemakhlukan. Itulah raison d'etre atau asbabun-nuzul dari diperlukannya perubahan paradigma terhadap proses pendidikan dengan segala variable dependennya. Perubahan paradigm ini diharapkan akan mampu menjawab segala permasalahan social-politik-ekonomi dan kebudayaan umat manusia yang kian hari kian kompleks. Kompleksitas persoalan kehidupan manusia ini hanya akan mungkin dijawab melalui gerakan pendidikan yang mempersiapkan generasi cerdas berilmu, jujur, bijak, amanah dan mengayomi semua kalangan dengan adil dan beradab.
F. Daftar Pustaka Agger, Ben, Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Yogjakarta: Kreasi Wacana Press, 2008. Al-Edrus, Syed Muhammad Dawilah, Epistemologi Islam, Teori Ilmu dalam al-Quran, Selangor, Darul Ehsan: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1993. Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
259
Ali, Yusuf, The Holy Quran, English Translationof the Meaning and Commentary, The Presidency of Islamic Research, 1995. Al-Syaibani, Omar Muhammad Al-Toumy, Hasan Langgulung (terj.), Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Azhim, Ali Abdul, (terj.), Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif AlQuran, Bandung: CV Rosda Bandung, 1989. Anand, Chaiwat Satha, Agama dan Budaya Perdamaian, Yogjakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2000. Bazargan, Mehdi (terj.) “Agama dan Kebebasan” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001. Camus, Albert, (terj.), Pemberontak, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000. Campbell, Joseph, Myths to Live By, New York: Penguin Group, 1993 Caputo, John D., Radical Hermeneutics, Repetition, Deconstruction and the Hermeneutic Project, Bloomington and Indiana Polis: Indiana University Press, 1987. Carrel, Alexis, Man the Unknown, London: Prentice Hall, 1985. Castro, Loreta Navarro and Jasmin Nario-Galace, Peace Education: A Pathway to a Culture of Peace, Quezon City, Philipine: Center for Peace Education, 2008. Chittick, William C. The Sufi Path of Love: Spiritual Teachings of Rumi, (New York: State University of New York, 1983. ------------, William C. Chittick, Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination, The Sufi Path of Knowledge, New York: SUNY Press, 1989. Darwin, Charles (terj.), The Origin of Indonesia, 2007.
Spicies, Jakarta: Yayasan Obor
Dean, Thomas, (ed.), Religious Pluralism and Truth, Essay on Cross Cultural Philosophy of Religion, New York: Suny Press, 1995. Deely, John, New beginnings: Early Modern Philosophy and Postmodern Thought, Toronto, Canada: University of Toronto Press, 1994. Descartes, Rene, Discourse on Method, Auckland: Anchor Book Doubleday, 1960. Durkheim, Emile, Suicide: A Study in Sociology, New York: The Free Press, 1951. Escobar , M., (eds), Sekolah: Kapitalisme yang Licik, Yogjakarta: LKiS, 1998.
260
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
Fanani, Muhyar, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: LKiS, 2009. Fauzi, Nasrullah Ali, (eds.) ICMI antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung: Mizan, 1995. Fianto, Farinia, (eds.), Islam and Universal Values, Islam Contribution of a Pluralistic World, Jakarta: ICIP, 2008. Freire, Paolo, (terj.), Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Gadamer Hans Georg, Philosophical Hermeneutics, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1977. ------------, Truth and Method, New York: Continuum, 1986. Gall, Meredith D., (et.al), (ed.), Critical Issues in Educational Psychology, Boston, Toronto: Little, Brown and Company, 1974 Ghazali, Abd Moqsith, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005. Goble, Frank G, The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow, New York: Washington Square Press, 1971. Hanafi, Hasan, Islamologi 1:dari Teologi Statis ke Anarkis, Jogjakarta: LKiS, 2007. Hashmi, Sohail H, Etika Politik Islam,Civil Society, Pluralisme dan Konflik, Jakarta: ICIP Press, 2006. Katzenbach, Jon R, The Wisdom of Teams, Creating the High Performance Organization, New York: Harvart Business School, 1993. Keraf, Sony A, Hukum Kodrat dan Teori hak Milik Pribadi, Jakarta: Penerbit Kanisius, 1997. Kohli, Wendy, Critical Conversations in Philosophy of Education, London: Routledge, 1995. Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: penerbit Mizan, 1991. Langgulung, Hasan Pendidikan dan Peradaban Islam, Suatu Analisa SosiPsikologi, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985. ------------, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: PenerbitPustaka alHusna, 1985.
Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
261
Larue, Gerald A., Ancient Myth and Modern Man, Englewood Cliff, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1975. Madison, G.B, The Hermeneutics of Postmodernity, Figures and Themes, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1988. Martin, James, The Meaning of the 21st Century, A Vital Blueprint for Ensuring Our Future, London: Transworld Publishers, 2006. Merkur, Dan, Gnosis: an Esoteric Tradition of Mustical Visions and Unions, New York: Suny Press, 1993. Mestrovic, Stjepan G., The Barbarian Temperament: toward a Postmodern Critical Theory, London: Routledge, 1993. Michelfelder, Diane P, (eds), Dialogue and Deconstruction, The GadamerDerrida Encounter, New York: Suny Press, 1989. Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, 1996.
Yogjakarta: Rake Sarasin,
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Albany: State University of new York Press), 1992. Nasuka, DR. H, Teori Sistem: sebagai Salah Satu alternative Pendekatan dalam Ilmu-ilmu Agama Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005. Prasetyo, Eko, Islam Itu Agama Perlawanan, Yogjakarta: Resist Book, 2006. Rahman, Afzalur, Quranic Science, London: The Muslim School Trust, 1980. Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Penerbit Mizan, 2006, Jilid 1,2,3,4.
Bandung:
Rudolf, Kurt, Gnosis, The Nature and History of Gnosticism, San Fransisco: Harper Collin Publisher, 1987. Salam, Burhanuddin H, Filsafat Manusia, Antropologi Metafisika, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1988. Sarwar, H.G., (terj.), Filsafat Al-Quran, 1990,
Jakarta: Penerbit CV. Rajawali,
Schimmel, Annemarie, Deciphering the Sign of God: A phenomenological Approach to Islam, New York: Suny Press, 1994. Shihab, Quraish, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Penerbit Mizan, 1992. Suseno, Franz Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Jakarta: Penerbit Kanisius, 1992. Syahmunaharnis & Harry Sidharta, Transendental Quotient, Kecerdasan Diri Terbaik, Jakarta: Penerbit Republika, 2006. 262
Jurnal Mudarrisuna, Volume 3, Nomor 2 (Juli – Desember 2013)
Syariati, Ali, (terj.) “Islam dan Kemanusiaan” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001. Usman, Widodo,(eds.), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Yusuf, Musa M, Al-Quran dan Filsafat (Penuntun Mempelajari Filsafat Islam), Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 1991. Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, (terj.), Jogjakarta: LKiS, 2001.
Paradigma "Perlawanan... Fuad Mardhatillah
263