PARADIGMA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA Oleh: Mujianto Solichin1
[email protected]
Abstrak: Paradigma merupakan intelektual komitmen suatu citra fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Kuhn misalnya, menekankan sifat revolusioner dari kemajuan ilmiah yang dilakukan dengan membuang bangunan teori lama dan menggantikannya dengan struktur pengetahuan baru. Memahami paradigma dalam lingkaran revolusi ilmu berarti memiliki sikap saling terbuka dalam sifat open–ended, bersedia menadah ilmu pengetahuan baru. Pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam rangka mencurahkan kontribusi pembangunan dan perwujudan masyarakat yang didasarkan pada paradigma-paradigma baru yang yang senantiasa bertujuan menjaga kemuliaan manusia dalam menggunakan akal fikirannya, mengasah intelektualitasnya, menambah wawasan dan pengalamannya dalam rangka proses penghambaan dan fungsi sebagai pemimpin di muka bumi serta proses penyebaran pesan-pesan ajaran agama Islam dan mendalami ilmu agama itu sendiri. Paradigma pendidikan Islam menjadi kunci utama yang akan mengarahkan perilaku ilmiah untuk menyelidiki, dan menemukan solusi pemecahan masalah di dalamnya. Menyatukan paradigma Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan paradigma bangsa Indonesia sesungguhnya terideologikan ke dalam sistem pendidikan nasional yaitu ideologi pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Integrasi antara ilmu dan agama memungkinkan bagi kita menemukan sebuah paradigma milik kita sendiri “Pendidikan (Agama) Islam”. Ilmu Pendidikan (Agama) Islam sendiri merupakan penyatuan dari “Ilmu – Pendidikan – Agama – Islam”.
Kata Kunci: Paradigma, Pendidikan Agama Islam, Indonesia.
1
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum Jombang
1
A. Pendahuluan: Memahami Makna Paradigma Paradigma adalah intelektual komitmen, yaitu suatu citra fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya
dipelajari,
pernyataan-pernyataan
apa
yang
seharusnya
dikemukakan, bagaimana seharusnya suatu pertanyaan dikemukakan, dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh2. Sedangkan menurut Robert Friedrichs paradigm adalah suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang mestinya dipelajari3. Pada perkembangan selanjutnya istilah paradigma menjadi dikenal setelah Thomas Kuhn memperkenalkan paradigm sebagai kerangka keyakinan (komitment intelek) yang terbatas pada kegiatan keilmuan. Dalam bukunya Structure of Scientific Revolution. Kuhn menekankan sifat revolusioner dari kemajuan ilmiah. Revolusi keilmuan dilakukan dengan membuang suatu struktur teori lama dan menggantikannya dengan yang baru. Model perubahan keilmuan yang dikemukakan Kuhn diawali oleh dominasi paradigma tertentu sehingga terjadilah akumulasi ilmu pengetahuan. Tahapan ini disebut normal science, pada masa ini aktivitas pemecahan masalah berjalan dengan lancer dibimbing oleh aturan-aturan paradigma tertentu. Ilmuwan pada masa normal science tak perlu bersifat kritis karena pekerjaan tidak membutuhkan tantangan baru. Tahapan selanjutnya adalah anomali, pada saat terjadi penyimpangan-penyimpangan substansial yang terjadi di lapangan yang secara empiris tidak disinari oleh kebenaran paradigma ilmiah yang sedang berlaku. Apabila kebenaran paradigma ilmu sulit dipertahankan terjadilah krisis keilmuan yang harus segera diikuti oleh revolusi keilmuan. Pada saat itulah paradigma lama ditinggalkan untuk diganti oleh paradigma baru. Ciri utama dari paradigma Kuhn adalah mengajak para
2
John JOL Ihalauw, Bangunan Teori Salatiga (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 1985), 19. 3 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyadur Alimandan (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 30-40.
2
ilmuwan untuk saling terbuka dalam sifat open-ended, yaitu bersedia menadah ilmu pengetahuan baru4. Apabila Thomas Kuhn memiliki jenis paradigma yang sangat luar biasa dengan andaian-andaian baru yang dramatis, sedangkan Masterman memberi
dasar
pemikiran
tentang
paradigma
yang
memiliki
sifat
universalisme, komunalisme, dan memasang jarak/keterlibatan emosional. Menurut Masterman paradigma menggariskan apa yang dipelajari oleh komunitas keilmuan tertentu. Di sini paradigma akan mengarahkan perilaku ilmiah untuk menyelidiki guna mendapatkan
apa yang hendak diminati
dengan eksplisit. Selanjutnya, Masterman membagi paradigma menjadi 3 (tiga), Metaphysical Paradigm yaitu menunjuk pada paradigma yang eksplisit, minat ilmuwan, dan kegiatan keilmuan. Sociological Paradigm yaitu kebiasaan nyata, norma, hukum yang telah diterima masyarakat umum. Dan Construct Paradigm yaitu dasar disiplin ilmu tertentu yang mencakup pokok persoalan dan apa yang seharusnya dipelajari5. Berbeda lagi apa yang disampaikan oleh Sir Karl R. Popper, menurutnya pada bagian perkembangan ilmu pengetahuan posisinya sebagai produk berpikir. Sir Karl R. Popper melontarkan sebuah teori tentang Falsifikasionisme, yatu baginya kaum skeptis mungkin benar bahwa tidak ada ilmu pengetahuan yang benar. Teori keilmuan dapat berkembang melalui uji keras dengan bentuk eksperimen dan observasi. Apabila salah (refutability) maka akan diganti oleh teori yang lebih baik, namun apabila benar maka teori tersebut telah dikuatkan (Corroboration). Selain paradigma tersebut di atas, paradigma keilmuan Thomas Kuhn, paradigma falsifikasionisme Sir Karl R. Popper, juga terdapat paradigma kuantitatif dan kualitatif yang senantiasa menjadi perdebatan hingga hari ini. Seperti apa pun bentuk metode yang digunakan sebenarnya sangat bergantung 4
Agus Salim. Bangunan Teori Metodologi Penelitian untuk Bidang Sosial, Psikologi dan Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 21-22. 5 John JOL Ihalauw, Bangunan Teori,19-22. George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan, 30-40.
3
pada problematik yang dihadapi. Bila problem mengehendaki jawaban kualitatif, maka metode yang digunakan harus kualitatif. Demikian pula, bila problematik itu bersifat kuantitatif, maka yang digunakan harus metode kuantitatif. Contoh, problematika yang melingkari pendidikan Islam di Indonesia sangat memungkinkan untuk diselesaikan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Oleh karenanya paradigma pendidikan menjadi kunci utama yang akan mengarahkan perilaku ilmiah untuk menyelidiki, dan menemukan solusi pemecahan masalah di dalamnya.
B. Pembahasan 1.
Paradigma Pendidikan Islam di Indonesia Paradigma pendidikan Islam menjadi intelektual komitmen yang
menjadi suatu citra fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu dan menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, bagaimana seharusnya suatu pertanyaan dikemukakan, dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma ini juga menjadi suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang mestinya dipelajari. Selain sebagai kerangka keyakinan (komitment intelek) yang terbatas pada kegiatan keilmuan, paradigma pendidikan Islam diharapkan juga mampu berperan aktif menekankan sifat revolusioner dari kemajuan ilmiah dan membuang struktur teori lama dan menggantikannya dengan yang baru. Pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam rangka mencurahkan kontribusi pembangunan dan perwujudan masyarakat yang didasarkan pada paradigma-paradigma baru yang yang senantiasa bertujuan menjaga kemuliaan manusia dalam menggunakan
akal
fikirannya, mengasah
intelektualitasnya, menambah wawasan dan pengalamannya dalam rangka proses penghambaan dan fungsi sebagai pemimpin di muka bumi serta proses syiar islam dan tafaqquh fi al-Din.
4
Berkaitan menjaga kemuliaan manusia dalam menggunakan akal fikirannya maka negara harus menjamin pemenuhan hak-hak hidup mereka untuk sejahtera dan memperoleh pendidikan yang layak sebagai modal membangun negeri ini. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 khususnya pada Pembukaan alenia IV, menyatakan bahwa bahwa visi pembangunan nasional Negara Republik Indonesia adalah: (1) Memajukan kesejahteraan umum, (2) Mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Sedangkan
secara
teknis,
misi
pembangunan nasional terangkum dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai berikut: 1. Pasal 28 C (Perubahan II UUD 1945, tahun 2000); bahwa: a. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. b. Pasal 31 (Perubahan IV UUD 1945, Tahun 2002); bahwa: 1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan 2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai 3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang 4) Negara menprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20 %) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional 5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban kesejahteraan umat manusia. Tantangan globalisasi dan modernitas secara menyeluruh yang di hadapi umat Muslim di seluruh belahan dunia termasuk masyarakat Muslim
5
Indonesia adalah lebih rumit, lebih besar daripada keadaan yang dihadapi umat di masa klasik dan zaman pertengahan. Khususnya dalam lapangan ekonomi, politik, komunikasi, dan pendidikan. Masyarakat modern telah mengembangkan pemikiran, pranata-pranata, dan struktur-struktur yang tak tertandingi kerumitan dan kecanggihannya. Dunia Islam mengalami perubahan yang cepat dan mendasar. Umat Islam sudah terpecah-pecah menjadi sekian banyak negara-bangsa, penduduk Muslim menjadi mayoritas atau minoritas, dan berbagai tradisi kenegaraan, budaya, serta keagamaan pun berubah. Namun di sisi lain, persatuan Islam justru semakin intensif, karena adanya sarana komunikasi dan transportasi yang semakin canggih. Di pihak lain, perkembangan dunia Islam semakin tidak dapat dilepaskan dari dunia secara keseluruhan. Di sinilah dibutuhkan sebuah perubahan paradigma (paradigm shift) dari pendidikan untuk menghadapi prolematik dunia global dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim. Jelaslah kiranya dibutuhkan sebuah paradigma dan selanjutnya dikembangkan ke dalam aliran-aliran pendidikan Islam serta dibumikan ke dalam
relung-relung
kehidupan
masyarakat
Indonesia.
Paradigma
pendidikan yang dibutuhkan harus menjadi pelopor “dialog vertikal”, membumikan nilai-nilai ajaran dan nilai-nilai Ilahi ke dalam “zona vertical”. Diantara produk hukum untuk mengakomodir hubungan horizontal khususnya di bidang pendidikan di Indonesia dengan ditelorkannya Undang-undang SISDIKNAS Nomor II Tahun 1989 dan Nomor 20 Tahun 2003. Keputusan Mendiknas adalah penjabaran dari empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, yaitu: “learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together”. Keempat pilar ini dapat dipahami secara taksonomi, yaitu klasifikasi hubungan komponen-komponen secara hirarkhis. Misalnya, mata kuliah Paradigma dan Aliran Pendidikan Islam, mata kuliah ini mengandung dimensi “learning to know” (menguasai teoriteori tentang cara memahami paradigma dan aliran pendidikan Islam dengan benar), “learning to do” (kemampuan menerapkan teori yang terdapat di
6
dalam paradigma dan aliran pendidikan Islam dengan baik), “learning to be” (menjadi peneliti yang professional khususnya di bidang paradigma dan aliran pendidikan Islam), “learning to live together” (peneliti yang bertanggungjawab dalam pengembangan pemikiran, teori, atau kebijakan paradigma dan aliran pendidikan Islam). Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki paradigma tersendiri yang berkembang menjadi aliran-aliran pemikiran, terideologikan ke dalam sistem pendidikan nasional yaitu ideologi pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas ideologi Pancasila sesuai dengan ketetapan Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) No.
IV/MPR
tentang
Garis-Garis
Besar
Haluan
Negara
(GBHN),
dikemukakan bahwa: “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan di luar sekolah serta berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya, agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan tersebut merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah”6. Dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 1-3 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga dijelaskan tentang dasar idiologi Pancasila dan UUD 1945: “(1) Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang; (2), Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
dan (3) 3. Sistem pendidikan nasional
adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional”7. 6
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : IV/MPR/1973 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, 28. Ketetapan ini juga dikutip oleh Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 64. 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 1.
7
Selanjutnya dikuatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 1-3: “(1) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (2) Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. (3) Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”8. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa peserta didik agar menjadi manusia yang berpancasila. Dengan kata lain, landasan dan arah yang ingin diwujudkan oleh pendidikan di Indonesia adalah sesuai dengan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri. Pancasila sebagai dasar falsafah (worldview) Negara Republik Indonesia mempunyai perumusan (sesuai dengan ketentuan resmi yuridis formal) yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alenia ke IV bagian terakhir yang isinya adalah: “Ketuhanan yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”9. Kelima sila tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat sangat mempengaruhi konsep pendidikan yang meliputi dari tujuan pendidikan, kurikulum, metode, peranan pendidik dan peserta didik. Selain itu, Undang-undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 telah menjelaskan kepada kita bahwa pendidikan nasional 8
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 1-2. 9 Ibid., 65.
8
adalah pendidikan yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Reepublik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntunan perubahan zaman. Jika merujuk pada ideologi pendidikan, baik konservatif maupun liberalisme maka aliran pemikiran pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam aliran liberalisme. Hal ini dibuktikan dengan adanya
sistem
sekuler,
materialistik
dan
kapitalistik
sebagaimana
pernyataan Ainurrafiq Dawam 10. Menurut Dawam, pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Produk yang dihasilkan sejak pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Secara teoritis idiologi materialisme, kapitalisme dan sekularisme memang tidaklah tampak, namun secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merusak segala sendi sistem pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Tujuan pendidikan telah terfokus ke hal-hal yang bersifat materi 11. Ketika pendidikan Islam menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, maka secara tidak langsung dampak sekularisasi ikut merambah pendidikan Islam itu sendiri. Peran agama “Islam” untuk turut serta mengatur kehidupan publik termasuk pendidikan pada akhirnya hanya dijadikan pelengkap penderita. Tesis ini dibenarkan oleh Briyan S. Turner sebagaimana dikutip oleh M. Sain Hanafy mengatakan bahwa pengawasan sekuler materialistik terhadap pendidikan agama bukan ditujukan untuk menghilangkan Islam, melainkan untuk menghilangkan hubungan agama dan pendidikan agama dari nilai-nilai lembaga pendidikan tradisional. 12 Sebagai contoh dari sekularisasi misalnya terdapat dalam Undang-undang
10
Ainurrafiq Dawam, “Pendidikan Islam Indonesia Kini” dalam Makalah Seminar Nasional Pendidikan di UIN Yogyakarta, tanggal 12 April 2006. 11 Ibid,. 12 Muhammad Sain Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan Global” dalam Jurnal uin-alauddin.ac.id, 4.
9
SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 itu sendiri khususnya Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian ke satu (umum) pasal 15: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan dan khusus” 13. Pada pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang berkepribadian luhur dan saleh, sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi di era globalisasi. Persoalan berikutnya berkaitan dengan wilayah dan cakupan apa saja yang bisa disebut pendidikan (agama) Islam, dan apa saja yang bukan. Masalah ini masih harus dihadapkan pada pertanyaan perbedaan dan persamaan fungsi dan cakupan “pendidikan (agama) Islam” dan “dakwah”. Fungsi kedua istilah dan praktek keduanya, seringkali mengalami duplikasi dan tumpang tindih. Suatu kegiatan dakwah bisa saja disebut pendidikan (agama) Islam, atau sebaliknya. Hal ini menjadi persoalan ketika di lembaga pendidikan Islam seperti STAI (N), IAI (N), dan UIN terdapat dua bidang ilmu yang satu disebut “Tarbiyah” dan yang lain “Dakwah” yang objeknya berkaitan dengan praktik pendidikan. Lebih cerdas lagi jika “Dakwah” digunakan bagi bidang pendidikan luar sekolah dan andragogi sedang “Tarbiyah” khusus bagi pendidikan jalur sekolah. 14 Masalah tersebut merupakan problem akademik yang perlu dikritisi dan dipecahkan. Gagasan integrasi atau islamisasi ilmu belum menjawab persoalan ketika PAI ikut terperangkap ke dalam ide sekularisasi yang memisahkan antara yang sakral (bidang studi agama) dan yang profan (bidang studi umum). Dalam pemikiran dan teori kependidikan pada hakikatnya adalah berusaha mengembangkan konsepsi pendidikan Islam secara menyeluruh dengan bertitik totak dengan sejumlah pandangan dasar Islam mengenai kependidikan dan mengkombinasikannya dengan pemikiran kependidikan 13
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 6. 14 Abdul Munir Mulkan, Kesalehan Multi Kultural (Jakarta: PSAP, 2005), 180.
10
moderen (Paradigma dan aliran pendidikan Barat). Diskursus tentang pemikiran dan teori kependidikan Islam mencakup pembahasan antara lain : (1) hakikat manusia sebagai makhluk terdidik yang memiliki kaitan dengan alam raya, (2) makhluk-makhluk lain dan Tuhan, (3) asas-asas pendidikan Islam dalam berbagai aspeknya, (4) filsafat pendidikan Islam, (5) pendidikan dan paradigma ilmu dalam Islam, (6) landasan filosofis pendidikan Islam dalam kaitannya dengan sistem pendidikan nasional Indonesia. Tema-tema ini jelas penting dan esensial dalam upaya membangun
kembali
paradigma
konseptual
kependidikan
Islam. 15
Paradigma ini bisa kita namakan kecenderungan paradigma normatifidealistik. Paradigma
pendidikan
Islam
seharusnya
dikembangkan
dari
pemikiran pendidikan Islam yang ditelorkan para „ulama, pemikir (intelegensia) dan filosof Muslim. Beberapa contoh pemikiran Ibnu Sina (manusia dan pendidikan), falsafah Imam al-Ghazali (konsep ilmu), dan lain-lain. Demikian pula Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatuh al-Tuwanisi, menyatakan bahwa keistimewaan sistem pendidikan Islam berdasarkan pendapat 4 (empat) orang pakar pendidikan Islam yaitu al-Qabisi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun. Keistimewaan sistem pendidikan Islam menurut mereka adalah: (1) adanya korelasi antara bahan-bahan pelajaran dengan agama, (2) mewujudkan prinsip dan sistem desentralisasi dalam belajar, (3) asas persamaan dalam pengajaran dan demokratisasi dalam pendidikan Islam, (4) mengkaitkan ajaran agama dengan kehidupan agama, dan (5) asas kewajiban belajar 16. Namun tidak menutup kemungkinan tatkala membahas tentang aspek-aspek filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, maka sumber rujukannya adalah pemikiran Plato, Aristoteles, Freud, Edwin Ray Guthrie,
15
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000), 91. 16 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatuh al-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 233-237.
11
atau
mazhab
“behaviorisme 17”,
semacam
“humanisme 18”,
dan
“konstruktivisme 19”. Menurut Azra, pengadopsian kita pada filsafat, pemikiran dan teori kependidikan Barat kadang kala terlalu berlebihan. Pengadopsian ini tidak jarang dilakukan tanpa kritisisme yang memadai, sehingga hampir terjadi pengambilan “mentah-mentah” berbagai konsepsi dan pemikiran kependidikan corak Barat tersebut. Masih berkaitan dengan ini, terdapat kecenderungan kuat, bahwa pemikiran Barat tentang konsepsi dan filsafat pendidikan diberi legitimasi dengan ayat al-Qur‟an dan alHadits tertentu. Dengan kata lain, titik keberangkatan adalah dari pemikiran pendidikan Barat – yang belum tentu konstektual dan relevan dengan pemikiran pendidikan
Islam; seharusnya
berangkat dari pemikiran
20
kependidikan Islam itu sendiri . Integrasi antara ilmu dan agama memungkinkan bagi kita menemukan sebuah paradigma milik kita sendiri “Pendidikan (Agama) Islam”. “Paradigma Integrasi” selaras dengan kenyataan bahwa “Ilmu Pendidikan” merupakan ilmu terapan yang sulit melindungi diri dari premispremisnya sendiri yang radikal. Ilmu Pendidikan (Agama) Islam sendiri merupakan
penyatuan
dari
“Ilmu-Pendidikan-Agama-Islam”
yang
berdasarkan pada Wahyu Tuhan (al-Qur‟an) dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, asupan gizi berupa ajaran bagi ruhani manusia itu sendiri dalam 17
Pembelajaran behavioristik dimana belajar dipahami sebagai proses pembentukan perilaku siswa dengan cara pembiasaan (drill) dan reinforcement (penguatan) melalui rangkaian proses Stimulus-Respon (S-R). Aspek positif keberhasilan pembelajaran behavioristik ini adalah adanya perubahan tingkah laku dalam kehidupan sosialnya. BR. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, an Introduction to Theories of Learning. Cet. III. London: Prentice-Hall International, 1997. 18 Proses pendidikan harus dimulai dan ditunjukkan untuk kepentingan memanusiakan manusia (proses humanisasi).Pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti apa yg dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.Tokoh-tokoh aliran pendidikan ini antara lain Benjamin S. Bloom (afektif-kognitif-psikomotori), Kolb (pengamatan kreatif dan reflektif), Honey dan Humford (kritis-spekulatif), serta Habermas (belajar teknis, praktis dan emansipatoris/perubahan kultur). Ibid. 19 Tokoh sentral aliran teori pendidikan ini adalah Piaget yang memandang bahwa pembelajaran sebagai proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata di lapangan. Siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan tersebut dibangun atas dasar realitas yg ada di dlm masyarakat. Ibid. 20 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,91.
12
rangka mencapai tujuan yakni menjadi manusia yang sempurna (Insan alKamil) dalam menjalani kehidupan.
C. Kesimpulan Berdasarkan serangkaian pemaparan tersebut di atas, kiranya dapat kita simpulkan pokok inti pembahasan: Paradigma Pendidikan Islam di Indonesia yakni sebagai berikut: 1. Paradigma pendidikan Islam menjadi intelektual komitmen yang menjadi suatu citra fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu dan menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, bagaimana seharusnya suatu pertanyaan dikemukakan, dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. 2. Paradigma pendidikan Islam seharusnya dikembangkan dari pemikiran pendidikan Islam yang ditelorkan para „ulama, pemikir (intelegensia) dan filosof Muslim. 3. Integrasi antara ilmu dan agama memungkinkan bagi kita menemukan sebuah paradigma milik kita sendiri “Pendidikan (Agama) Islam”. “Paradigma
Integrasi”
selaras
dengan
kenyataan
bahwa
“Ilmu
Pendidikan” merupakan ilmu terapan yang sulit melindungi diri dari premis-premisnya sendiri yang radikal. Ilmu Pendidikan (Agama) Islam sendiri merupakan penyatuan dari “Ilmu-Pendidikan-Agama-Islam” yang berdasarkan pada Wahyu Tuhan (al-Qur‟an) dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Wallah’alam bi al-Sawab.
13
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000. Bagir, Zainal Abidin. “Bagaimana Mengintegrasikan Ilmu dan Agama?”, dalam Jarot Wahyudi, dkk. (editor), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Yogyakarta: MYIA-CRCS dan Suka Press, 2005. Dawam, Ainurrafiq. “Pendidikan Islam Indonesia Kini” dalam Makalah Seminar Nasional Pendidikan di UIN Yogyakarta, tanggal 12 April 2006. Hamalik, Oemar. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Hanafy, Muhammad Sain. “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan Global” dalam Jurnal uin-alauddin.ac.id. Hergenhahn, BR. dan Matthew H. Olson. an Introduction to Theories of Learning. Cet. III. London: Prentice-Hall International, 1997. Ihalauw, John JOL. Bangunan Teori Salatiga. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 1985. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : IV/MPR/1973 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Mulkan, Abdul Munir. Kesalehan Multi Kultural. Jakarta: PSAP, 2005. Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyadur Alimandan. Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Salim, Agus. Bangunan Teori Metodologi Penelitian untuk Bidang Sosial, Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Tuwanisi, al., Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatu. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
14