Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
Arif Rahman Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Indonesia.
[email protected]
Abstrak Kajian ini bertujuan untuk mengkaji pancasila dalam dimensi pendidikan Islam. falsafah Pancasila belum dijadikan primadona utama dalam setiap diskusi pendidikan. Pendekatan dalam peneltian ini adalah penelitian kepustakaan. Lembaga-lembaga pendidikan belum begitu banyak memaknai Pancasila bagian hal terpenting dan menjiwainya secara sadar. Apa yang digagas kemudian adalah bagaimana falsafah Pancasila selayaknya dijadikan paradigma kritis dalam kondisi pendidikan saat ini. Hal yang demikian bisa jadi akan melahirkan sebuah pandangan yang genuine yang menawarkan sebuah gerakan dan kesadaran untuk menyelesaikan berbagai problem pendidikan. Perbedaan kondisi di bagian negara lain memberikan kita kesempatan menampilkan sebuah gagasan paradigma kritis pancasila. Dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas Pancasila yang menggema hanya sebatas nama kurang terlihat bentuknya seperti apa jika menjadi penawar obat kesembuhan pendidikan saat ini. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa posisi pancasila seharusnya memang mendapat ruang yang berarti, di satu sisi karena prinsip-prinsip Pancasila terilhami dari Islam, disisi lain Islam memberikan legitimasi yang kuat bagi terlaksananya prinsip Pancasila yang sejalan dengan landasan Islam. Kata kunci: paradigma, kritis, Pancasila, pendidikan, Islam
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
125
Arif Rahman
Abstract CRITICAL PARADIGM OF PANCASILA IN THE DIMENSIONS OF ISLAMIC EDUCATION. This study aims to examine the Pancasila in the Islamic educational dimension.The philosophy of Pancasila has not made a prima donna in any discussion of education. This study uses library research. Institutions have not so many interpret Pancasila as the most important thing and make it as the spirit consciously. What was conceived then is how the philosophy of Pancasila should be made as a critical paradigm in the condition of education today. Such things could be going to deliver a view that offers a genuine movement and awareness to resolve various problems in education. The difference of conditions in others countries gives us a chance to display a critical paradigm of Pancasila. In the life of the wider community, Pancasila that echoes only as the name. Its shape is less visible if it be the antidote to cure a disease of the current education. The result of tihis articel shows that the position of Pancasila indeed should get a meaning space, on the one hand it because the principles of Pancasila was inspired from Islam, on the other hand Islam gave strong legitimacy to the implementation of the principles of Pancasila which is in line with Islam. Keywords: critical, paradigm, Pancasila, Islamic, education
A. Pendahuluan
Pancasila didengungkan sebagai ideologi bangsa sampai saat ini sangat memprihatinkan. Lebih dari separuh abad memerdekakan diri dari belenggu penjajahan kemudian berdirilah negara Indonesia dengan proses diskusi panjang dan menegangkan hingga melahirkan rumusan-rumusan prinsipil kebangsaan hasil dari sila kelima dalam “Pancasila”. Namun hiruk pikuk kehadiran Pancasila yang datang tidak dari ruang hampa itu mengalami kehilangan arah kemana ia diletakkan, di gunakan bahkan dijadikan pedoman serasa semakin terasing ditelinga era pasca global ini. Hari ini hampir tak banyak ruang diskusi dan obrolan santai sekalipun mendengungkan kerangka falsafah Pancasila dalam kehidupan nyata nan realitas ini. untuk menyebutnya hanya bagian sakral upacara bendera ia tak lebih dari angin lalu yang dibacakan sesaat di tengah keseragaman format pendidikan sekolah dulu hingga kini. Perjalanan dimensi ditiap era kepemimpinan terlihat jelas bagaimana Pancasila kurang 126
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
populer secara substansial, namun berformat elitis-populis untuk menghegemoni kekuasaan. Zaman orde lama, orde baru, bahkan era reformasi belum secara gigih nan tangguh menjadikan panglima yang diidamkan sebenarnya dalam semangat pancasila. Orde lama dimana pancasila hanya menjadi dasar negara hanya untuk instrumen politik sesaat. Orde baru yang lebih mengedepankan pembangunan ekonomi lebih bersifat penyeragaman menyihir pancasila sebagai asas tunggal dan era reformasi pancasila yang seakan hampir kehilangan arah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa faktor kenapa hal demikian bisa terjadi. Pertama, betapa sulitnya situasi bangsa mengingat sangat masih labilnya negara baru untuk mempertahankan kondisi yang baru saja sampai di gerbang kemerdekaan. Sehingga pancasila sebagai proses yang terlahir dari forum politik masih belum begitu stabil di pegang. Kedua, pendidikan yang menjadi bagian penting pembangunan sumber daya manusia saat itu sayangnya tidak menyebut dalam UU SISDIKNAS pasal 37 (2) sebagai pendidikan Pancasila, melainkan pendidikan kewarganegaran, sehingga kekaburan proses internalisasi nilai-nilai pancasila belum maksimal terobjektivikasi. Oleh karena itu yang akan menjadi persinggungan diskusi yang tersaji dalam tulisan singkat ini mencoba berbicara konteks pendidikan dalam ruang lingkup falsafah pancasila sebagai bagian ideologi kritis. Meskipun tidak memihak sepenuhnya penulis rasa beberapa semangat tulisan ini memberikan kesan provokasi kritis memandang relasi Pancasila dan pendidikan nasional. Begitupun kerangka pendidikan Islam akan juga diangkat beberapa saat untuk dicoba didiskusikan bagian relasi pendidikan Islam dan falsafah Pancasila. Sehingga tidak hanya mencoba melihat substansi kesamaan namun juga daya kritis antar saling keduanya. B. Pembahasan 1. Falsafah Pancasila: Mengangkat Nalar Paedagogi Kritis Pancasila Pancasila sebagai suatu pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan suatu kenyataan objektif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam pengertian inilah maka diistilahkan bahwa bangsa Indonesia sebagai kausa materialis dari Vol. 10, No. 1, Februari 2015
127
Arif Rahman
Pancasila. Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa senantiasa memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masing-masing, yang berbeda dengan bangsa lain di dunia (Kaelani, 2002: 1). Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia menjiwai dalam sistem pendidikan nasional, dengan perkataan lain bahwa pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan, karena pendidikan nasional itu dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945. Jadi ini merupakan satu kesatuan yang utuh ( Jalaluddin, 2002: 145). Namun sayangnya yang terjadi Pancasila seakan sulit di terapkan dalam kehidupan bangsa sekarang ini dengan situasi yang berbeda. Paling tidak menurut Azra ada tiga faktor yang membuat Pancasila tidak relevan lagi saat ini. Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Rezim Soeharto, misalnya, menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap organisasi, baik organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik (Ubaedillah, 2008: 24). Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan yang ditetapkan Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap oraganisasi. Akibatnya memberikan peluang bagi adopsi asas ideologi-ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama. Maka yang terjadi Pancasila cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan. Tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin menumbuhkan sentimen localnationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethnonationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun akibat langsung dari proses desentralisasi akan makin kehilangan posisi sentralnya (Ubaedillah, 2008: 25). Tentulah berangkat dari sini akan menjadi kebimbangan dimana kita harus meletakkan Pancasila dalam kemelut situasi yang menceraikan idealitas dan realitas. Falsafah Pancasila yang merupakan esensi dari karya besar bangsa dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seharusnya merupakan karya bangsa sendiri yang 128
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
harus dijunjung tinggi dan diletakkan sejajar dengan pemikiran besar lainnya seperti liberalisme, komunisme, sosialisme serta falsafah hidup lainnya (Kaelani, 2002: 45). Dari alasan diatas rasanya perlu Pancasila dibawa dalam konteks yang lebih relevan bagi pendidikan di Indonesia. Dimana perlunya pedagogi kritis yang secara khusus berkaitan dengan pengaruh konstruksi pendidikan dan formasi budaya umumnya yang berkembang dalam masyarakat secara massif melegitimasi status quo dalam masyarakat tersebut (Hidayat, 2013: 7-8). Membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat dari kekuatan status quo tersebut. Dalam hal itu pilihan yang sangat rasional adalah mengembangkan kapasitas dalam masyarakat untuk melawan efek kekuatan tersebut (Hidayat, 2013: 7-8). Pancasila untuk saat ini secara sadar kita jadikan ide besar utama dalam perbaikan pendidikan, maka langkah awal untuk itu karena ia terbentuk dari ruang filsafat, secara mendasar paradigma yang digunakan tentulah harus bersifat kritis dan konstruktif. Pendidikan dengan semangat pedagogi kritis pancasila memberikan pemahaman kebangsaan terkait dengan upaya menanamkan nilainilai universal Pancasila dalam dimensi keluarga, masyarakat dan bernegara. Kenyataan masa lampau setelah merdeka, Presiden Soekarno mengharapkan sebuah sistem pendidikan yang berkeadilan sosial. Sayangnya ketidakstabilan politik saat itu mengharuskan sistem pendidikan yang bersifat sentralistik demi membangun rasa nasionalisme bangsa (Tilaar, 2011: 269). Karenanya Menteri Pendidikan saat itu menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “mengurangi pemikiran (reduce the education of thought), meningkatkan pendidikan karakter, dan meningkatkan nasionalisme kesadaran sosial. Kemudian tujuan pendidikan semacam ini semakin melembaga di era Soeharto yang menjadikannya kesempatan untuk mengkomunikasikan dan menyeragamkan ideologi nasional, pandangan tentang sejarah, nilai-nilai yang sudah ditetapkan bagi warga negara Indonesia Dengan kata lain pendidikan (khususnya formal) sebelum reformasi lebih bertujuan untuk membatasi perkembangan Vol. 10, No. 1, Februari 2015
129
Arif Rahman
kemampuan intelektual dan keterampilan masyarakat, mengurangi pendapat pribadi, dan menyamakan pandangan masyarakat dengan pemerintah sehingga dengan mudah dikuasai. Sementara itu setelah reformasi, upaya untuk melakukan perbaikan belum juga kelihatan jelas perubahan alurnya. Malah sebagian menilai reformasi pendidikan menimbulkan kesenjangan yang semakin terlihat dan kelas-kelas kasta (kastanisasi) dalam pendidikan melenggang semakin kesini. Maka situasi yang demikian ini mungkin dapat kita sebut sebagai tekanan bagi warga, atau pedagogik bagi masyarakat tertekan (pedagogy of the oppressed). Maka kaitannya dengan Pancasila jelasnya disatu sisi ingin mengembalikan “marwah” nya yang sudah diambil dan dikuliti oleh rezim sebelumnya sampai ia kehilangan jubah gagahnya, yang kemudian dimanfaatkan secara tidak wajar bagi kelangsungan pendidikan di Indonesia. Dengan begitu era dimana nilai-nilai kebebasan dan dominasi tidak berkuasa lagi pedagogikkritis-pancasila harus dimunculkan sebagai perbaikan pendidikan yang relevan bagi kepentingan humanisasi bangsa Indonesia. Paedagogik kritis sebetulnya adalah proses penyadaran dan kondisi diri dalam masyarakat. Yang diperkenalkan oleh Freire ini adalah sebuah proses pembelajaran yang berupaya untuk mengungkap kontradiksi-kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, dan mengambil tindakan untuk melawan kenyataan yang membelenggu (Tilaar, 2011: 270). Pedagogi kritis setiap orang untuk dapat berpikir kritis karena dengan moda berpikir seperti ini dapat melakukan proses transformasi kamanusiaan yang mendasar di kalangan masyarakat secara umum dari berbagai kelompok sosial dan lapisan masyarakat. Secara lebih khusus, pedagogi kritis dapat menjadikan basis dalam berpikir dan bertindak para peserta didik untuk melihat dunia berdasarkan kesadaran kritisnya (Hidayat, 2013: 8). Setelah kebebasan dan kritik tidak populer di era sebelumnya dan satu suara yang hanya terdengar, maka pedagogik kritis Pancasila bagi penulis bukan hanya berorientasi untuk berbondong-bondong mengkritisi habis pendidikan. Namun disamping itu pula ia mencoba menghadirkan cara pandang yang menanamkan kecintaan pada nilainilai lokal bangsa. Kearifan lokal bangsa sebagai sistem nilai yang seharusnya menjadi tradisi dalam pendidikan harus diperkuat. Nilainilai kejujuran, persatuan, keadilan, kerja keras, cintah tanah air, 130
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
gotong royong, dan saling membantu adalah nilai-nilai dasar yang dibawa Pancasila. Sayangnya model pendidikan sekarang kurang melirik hal yang demikian. Pendidikan justru malah melahirkan problemnya tersendiri yang semakin kompleks. Kastanisasi, sistem kelas, kota dan pinggiran, kaya dan miskin dan korupsi bukan malah dilenyapkan melainkan semakin tertanam dalam pendidikan akibat menyepelekan nilai-nilai di atas yang di usung Pancasila. Meskipun gagasan ini sepenuhnya bukanlah satu-satunya yang disepakati atau yang harus diprioritaskan dalam situasi ini. Namun Pancasila sudah terlalu lama diasingkan sehingga disinilah kita harus merasa sedih dan berpikir ulang. Kenapa harus demikian, karena semenjak berdirinya negara Indonesia telah menetapkan dasar negara (falsafah) yang digunakan adalah Pancasila. disamping berawal dari kesepakatan dan juga tidak mudah mengganti dasar dan falsafah bangsa dengan ideologi lainnya. 2. Pendidikan Islam Berkebangsaan dalam Konteks Negara Pancasila Harus diakui bahwa pada masa lampau ada mutual misunderstanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Kesalahpahaman itu lebih banyak pada berbagai kepentingan politik daripada dalam substansinya; atau lebih dikarenakan oleh ketidakjelasan paradigma dan cara pandang. Substansi keduanya jelas berbeda. Islam adalah agama, sedangkan Pancasila adalah idelogi. Esensi (hakikat) Islam dan Pancasila tidak bertentangan, namun kenyataan eksistensinya (sejarahnya) dapat saja dipertentangkan terutama untuk melayani kepentingan-kepentingan kelompok sosial (Karim, 2004: 47). Perbedaan keduanya kadangkala menghadirkan pemahaman yang simpang siur saling menghujat nan kurang berkenan. Seperti halnya Pancasila dianggap sekuler dan berbahaya bagi muslim Indonesia. Begitupun syariat Islam dianggap terlalu memaksakan bagi kebhinekaan yang terajut ketika memaksakan harus mensyari’atkan semua komponen instrument bangsa. Gerakan-gerakan penolakan dan resistensi terhadap keduanya lebih dikarenakan kegalauan memahami dan mengamalkan Pancasila yang tidak pas. Vol. 10, No. 1, Februari 2015
131
Arif Rahman
Ditambah traumatik pada era Orla dan Orba yang menjadikan asas tunggal Pancasila wajib diterapkan bagi segala pergerakan. Termasuk organisasi-organisasi Islam pada waktu itu. Resistensi yang mucnul terhadap Pancasila dirasa wajar kiranya masih menghantui sampai saat ini. bahkan dalam pendidikan pun kadangkala hubungan antara Pancasila dan Islam kurang begitu nyaman di sampaikan. Padahal sejatinya secara substansial nilai-nilai Pancasila memiliki semangat yang sama dalam Islam, terlebih lagi sila Pertama mengandung unsur ilahiah (teologis) yang mengedepankan keTuhanan Yang Esa. Disamping itu diikuti semangat nilai-nilai yang se ghiroh dalam Islam pun dapat kita temukan di sila ke dua sampai kelima Pancasila. Seperti keadilan (‘adalah), humanis/ kemanusiaan (al-insaniyyah), persatuan (ittihadiyah), dan musyawarah/ kompromis (syuro/tafahum). Dengan begitu, hakikatnya Islam dan Pancasila sebenarnya tidak berseberangan. Bahkan pancasila memiliki nilai-nilai agama dan ketuhanan yang mewadahi seluruh keyakinan yang dimiliki bangsa. Konsep teologis diletakkan di awal sebagai bentuk penegasan bahwa agama memberikan tuntunan dan tuntutan moralitas serta keyakinan terhadap Tuhan yang disembah. Maka memberikan peran bagi pendidikan Islam hari ini untuk dapat memberikan interpretasi ulang dan menggunakan konsep hermeneutik Pancasila yang multitafsir merupakan kebutuhan yang mendesak. Jika dijabarkan maka kelima sila Pancasila maka sejatinya akan mendapat dukungan secara agamis dari Islam. Kemudian selanjutnya di terapkan dalam ruang pendidikan Islam. Apalagi pondasi-pondasi kebhinekaan bangsa akhir-akhir ini mulai goyah dengan pemahaman dan aksi-aksi radikal (Rodli, 2013: 75). Mencerabut akar persatuan dan keharmonisan bangsa dan umat beragama bertentangan dengan Islam dan Pancasila. Pendidikan Islam berkebangsaan sudah bukan lagi kompromi untuk ditunda-tunda. Konflik komunal secara horizontal sudah semakin menambah daftar panjang catatan buruk untuk merusak keutuhan negara ini. peran serta pendidikan Islam berkebangsaan harus berawal dengan mengakar dan memaknai Pancasila bagian dari integral kehidupan warga negara. Hal tersebut harus dicerminkan dalam setiap peran mereka. Baik secara personal, keluarga, pejabat, pemangku hukum, para kyai, pendidik, dan kepala negara. 132
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
Upaya provokasi ini sejujurnya menurut penulis kadangkala menemukan jalan buntu dan stagnasi. Dimana kendala-kendala berseliweran menghentikan langkah semangat ini. Begitupun tantangan-tangan dalam dunia praktis bagi penerapannya dalam pendidikan Islam dengan berbagai tuntutannya kemudian baik dalam kurikulum, kebijakan, sistem pembelajaran bahkan kesiapan dan komitmen pendidik dari level sekolah dasar dan pendidikan Tinggi. Secara sadar pun kita melihat posisi Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah sub sistem dari pendidikan nasional, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang diselenggarakan secara terpadu dan diarahkan pada pengangkatan kualitas serta pemerataan pendidikan dasar serta jumlah dan kualitas kejuruan sehingga memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dengan memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi ( Jalaluddin, 2002: 145). Pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan menumbuhkan kesadaran serta sikap budaya bangsa untuk selalu berupaya menambah pengetahuan dan keterampilan serta mengamalkannya sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, lebih maju, mandiri, berkualitas dan menghargai setiap jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan falsafah Pancasila ( Jalaluddin, 2002: 146). Tinggal bagaimana nantinya memformulasikan pendidikan Islam yang benar-benar menjadi tuntunan umat dan pula akrab dengan situasi kebangsaan dalam sistem negara Pancasila (Indonesia). 3. Pendidikan Islam Kasus di Indonesia: Menggerakkan Dimensi “Demokrasi Islam Indonesia” untuk Dunia Islam Masa Depan Mengamini apa yang pernah banyak diperbincangkan dalam dunia akademik dari apa yang pernah dilontarkan oleh Samuel Huntington, yaitu kondisi dunia kedepan bagian dari benturan peradaban dunia ‘clash of civilization’ bukanlah isapan jempol lagi. Mengingat kemudian disebutnya Islam sebagai sebuah tradisi keagamaan yang memiliki pengaruh kuat dalam peradaban dunia mulai berhadapan kuat dengan peradaban barat disatu sisi sudah lama menjadi kenyataan. Vol. 10, No. 1, Februari 2015
133
Arif Rahman
Lebih spesifik lagi ia menyebut di kawasan Asia Indonesia akan menjadi pemain inti dimana memiliki pengaruh kuat yang menjadi perhatian global. Benturan peradaban bukan lagi sekedar kita membayangkan sekuel film legendaris Rise of Empire ketika Rodrigo berperan sebagai Xerxes dari Persia yang berkeinginan menghancurkan Yunani. Atau membayangkan semacam perang Salib jilid selanjutnya dalam film kolosal Kingdom of Heaven, tentu bukan pula sajaknya sang maestro Chairil Anwar “Diponegoro” yang menggejolak barisan patriotisme menghadapi pemerintah kolonialisme. Maka disaat dunia Islam internasional berhadapan pada budaya-budaya mainstream dimana terjadi gejolak konflik yang tak berkesudahan, maka Indonesia tampil sebagai poros yang mampu menampilkan bentuk dari wajah Islam yang sesungguhnya. Dalam artian kerukunan dan kedamaian. Meskipun representasi ‘Islam’ yang mulanya deras datangnya dari Timur Tengah nampaknya saat ini sudah terarahkan pada bentuk terbaiknya bagi kawasan Asia yaitu di Indonesia. Islam yang damai nan toleran dirasakan global dari cara keberagamaan Islam Indonesia, atau akhir-akhir ini sebagai tuntutan sejarah istilah lain dari Islam Indonesia beberapa pihak menyebutnya sebagai Islam Nusantara, yang memiliki kaaktersitik Islam yang santun, Islam yang mengajak bukan menginjak nginjak, Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak taubat, bukan untuk saling menghujat, Islam yang memberikan pemahaman bukan memaksakan pemahaman. Karakteristik ini menjadi ciri khas Islam Indonesia di tanah nusantara. Sehingga walaupun sejak masuknya Islam di Indonesia, mungkin boleh menyebutnya bahwa kedatangan Islam ke tanah air dengan kondisi yang tidak kreatif. Beberapa sejarawan mencatat sejak abad ke 7-8 Islam sudah sampai di Indonesia. Namun sisanya mengamini bahwa abad ke 13-14 M Islam baru masuk ke Indonesia. Pada masa itu bersamaan dengan pelemahan kekuatan di berbagai belahan dunia Islam, perebutan kekuasaan, dan kekalahan demi kekalahan menimpa tubuh dunia Islam. Dengan demikian kedatangan Islam disatu sisi di Indonesia berada dalam kondisi yang lemah. Namun demikian ternyata 134
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
masuknya Islam ke tanah air diluar kenyataan mampu memasyarakat secara perlahan-lahan namun pasti. Keber-terimaan masyarakat dan disamping gaya penyebaran oleh para pedagang mendapat tempat pada waktu itu. Bersamaan itu, Islam berkembang ternyata memberi bekas bagi gaya baru pendidikan bagi masyarakat di Indonesia. Upaya pembinaan keagamaan mulai tumbuh dari masyarakat bawah. Kemudian berlangsung terus menerus tidak banyak mendapat tekanan yang berarti pada waktu itu. Melalui semacam pesantren, muenasah, dan surau lah mulanya ajaran Islam terus berjalan di masyarakat. Dalam konteks pesantren nilai dan sistem pesantren perlu disebarkan ke seluruh dunia Islam. Pesantren di Indonesia telah menggambarkan pendidikan yang menjunjung tinggi kesetaraan, menerima modernitas, dan gambaran identitas Muslim Indonesia. Maka banyak pihak termasuk Amerika akhir-akhir ini menilai bahwasanya Indonesia saat ini sudah menjadi kiblat Islam moderat di dunia. Dimana terutama dalam situasi dan kondisi dunia dewasa ini, Islam digunakan untuk pencapaian tujuan politik dengan caracara kekerasan. Pesantren dalam pergolakan sepanjang sejarah Indonesia memang mulanya tidak menjadi perhatian serius, dimana akar organik pendidikan Indonesia sebenarnya bermula dari simpulsimpul pesantren. Bahkan Karel Steenbrink menyebut bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan sesudah pengajian Alquran hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tentu hal ini berhadapan dengan pendidikan pemerintah kolonial yang membuka lembaga pendidikan sendiri. Perlu diketahui tidak semua masyarakat bisa mengenyam pendidikan pemerintah belanda, hanya kaum ningrat serta keturunan bangsawan yang bisa belajar di lembaga-lembaga pemerintah kolonial. Sehingga dengan demikian pesantren menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat pedesaan terkhusus masyarakat Jawa. Secara umum sistem pendidikan Islam di Indonesia baik pesantren maupun lembaga pendidikan Islam lainnya mampu menampilkan wajah Islam yang dapat berdialog dengan tampil secara harmonis dalam rangka mencerdaskan masyarakat Indonesia yang demokratis. Vol. 10, No. 1, Februari 2015
135
Arif Rahman
Meskipun kita sadari belum banyak keunggulan bangsa ini yang dapat kita tampilkan pada dunia global. Dari segi pengetahuan kita masih tertinggal, minyak, dan kekayaan alam pun masih banyak dikuasai pihak asing, begitupun Jika melihat teknologi tentu masyarakat Indonesia lebih banyak menggunakan produk Impor. Penulis rasa hal demikian terjadi bukan juga karena kita masih latah di bawah ketiak ilmu pengetahuan barat. Namun demikian disisi lain ada yang patut kita perhitungkan yaitu “demokrasi” di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Noorhaidi Hasan dalam seminar nasional tentang “Islam dan Demokrasi: Politik Luar Negeri Indonesia di Timur Tengah”. Mengekspor “demokrasi” untuk dunia global menjadi perbincangan yang seksi lima tahun belakangan. Apa yang terjadi di timur tengah sebagai contoh carut marutnya proses penyelenggaraan negara dan dalam urusan toleransi dan kebebasan beragama. Timur tengah mencoba berbagai macam model demokrasi yang diimpor dari negara-negara eropa. Tapi hasilnya tidaklah memiliki pengaruh, akan tetapi demokrasi indonesia memiliki perbedaan dimana eropa kering dari nilai-nilai ketuhanan dengan kata lain demokrasi yang di tawarkan adalah sekulerisme, melainkan demokrasi Indonesia adalah pengalaman real dimana demokrasi berada ditangan rakyat mengilhami dari nilai-nilai ketuhanan. Hal ini pun nyata dalam Pancasila yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa melandasi dari pilar-pilar kebangsaan. Tentu hal ini secara korelasi tidak terjadi begitu saja, pendidikan sebagai instrument yang menjadi keberhasilan demokrasi ini menjadi kunci yang tidak bisa dinafikan. Pendidikan menjadi alat mencerdaskan dan membuka wawasan bagi masyarakat Indonesia untuk melaksanakan demokrasi yang sesungguhnya. Pendidikan agama (Islam) pun berperan dalam hal ini, upaya pemerintah mengakomodir setiap pemeluk agama memberikan akses pendidikan agama membuktikan jika di Indonesia bahwa hubungan agama dan masyarakat tidak terpisahkan dalam membangun etos demokrasi yang baik. Demokrasi begitu terpelihara di Indonesia, tidak lain karena bangsa ini memiliki sandaran yang begitu mantab dari 136
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
tiang-tiang falsafah Pancasila. Pondasi terdalamnya mengakar kuat dengan keutuhan nilai ketuhanan, dan semakin keatas menjulang tinggi membuahkan apa yang dibutuhkan bangsa yaitu demokrasi yang terbalut spiritualitas yang menembuh dimensi transendensi. Sehingga dengan begitu membedakan baik secara filosofis maupun aktualisasinya dengan model demokrasi yang berasal dari manapun. Indonesia dengan negara kepulauan terbesar yang memiliki keanekaragaman suku, bangsa, kebudayaan, tradisi, dan agama dalam perjalanan panjangnya memiliki kekuatan untuk samasama memegang tali panjang yang menjulur menghu-bungkan keanekaragaman tadi. Pengalaman bangsa Indonesia membesarkan demokrasi mendapat kata ‘sepakat’ dan legitimasi dari seluruh agama di Indonesia. Pendidikan Islam memiliki kebebasan dalam pengnajarannya di berbagai tingkatan jenjang pendidikan semakin mencoba merumuskan kurikulum yang mampu mengakomodir nilai-nilai demokrasi yang terlahir dari salah satu prinsipil Pancasila sebagai gagasan kebangsaan. 4. Mendaur Ulang Kerangka Organik Pendidikan Islam Berparadigma Kritis Pancasila Sebagai sintesis dari perdebatan panjang, produk pancasila memiliki keharmonisasian instrumental values yang mengikat setiap silanya. Karenanya dialog kelima silanya tidak memiliki sekat dan jurang yang memisah. Begitupun dimensi instrinsik Pancasila ini disebut Abdul Karim menetapkan titik konsistensi dan koherensinya. Namun jika kembali melihat sejarahnya, Orde lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak sebagai sesuatu yang substantive, melainkan di-instruentalisasi-kan untuk mendu-kung kepentingan politik sesaat semata, sebab, pada Era Orde Lama politik dijadikan sebagai “panglima” yang berakhir dengan tragedi G30S/PKI. Demikian juga pada Orde Baru ekonomi dijadikan “ideologi pembangunan” dan Pancasila dijadikan “kata sihir” sebagai asas tunggal yang secara manipulatif dirituali-sasikan untuk menjaga “stabilitas” dalam mengem-bangkan kolusi, korupsi, nepotime, dan kronisme di bawah kekuasaan tunggal dengan mengatasnamakan diri sebagai mandataris MPR (Karim, 2004: 2). Vol. 10, No. 1, Februari 2015
137
Arif Rahman
Pada Era Reformasi, setelah pembangunan menghadapi jalan buntu yang diawali dari krisi ekonomi dan krisis politik, maka dengan ambruknya seluruh bangunan ekonomi, menjadi ambruk pula kehidupan politik dengan berbagai kondisi yang “semrawut”. Pertentangan, perpecahan dan permusuhan dengan latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama merebak di mana-mana. Di sanalah suasana kehidupan cenderung berkembang tanpa arah (Karim, 2004: 2). Karim juga menjelaskan sasalah pendidikan tidak hanya membicarakan pengaruh satu bangsa terhadap bangsa lainnya, tetapi seringkali kita memfiksasikan, mempositifkan, memfinalkan, dan mensakralkan produk pengetahuan yang telah diciptakan sebelum kita dan keadaan ini, tentu saja tidak akan membebaskan. Posisi Pancasila sebagai dasar negara bukan suatu hakikat yang pasif, melainkan aktif dan dinamis. Ia selalu memberikan makna kata kerja untuk selalu “menjadi” dan terus “berproses”. Menariknya dalam tataran nalar kritis, tentu Pancasila ingin menggandeng manusia untuk menempatkan dirinya terbebas dari belenggu keterpurukan, yang dimaksud menyadarkan dirinya sebagai manusia yang tidak boleh terkurung dan terbelenggu oleh apapun. Semangat ini sejalan dengan rumusan pendidikan bagi Freire yang bertujuan sebagai proses untuk memanusiakan dan membebaskan manusia. Menurutnya hal tersebut merupakan proses ketika pendidik mengondisikan peserta didik untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyatanya secara kritis (Freire, 2002: 176). Jika dalam pemikiran Hebermes pendidikan kritis menginginkan kehadiran emansipatoris dalam setiap kesempatan. Hal ini pula didengungkan Pancasila untuk memberikan kelapangan bagi suasana pendidikan. Bukan lagi terfokus pada objek semata sehingga terlihat monoton, melainkan mengedepankan hubungan komunikasi emansipatoris sebagai model pendidikan yang hidup. Kekurangannya adalah begitu sulitnya kerangka pendidikan kritis ini diterapkan. Menemukan karangka yang pas bagi kedudukan pancasila diakui penulis tidak begitu saja diterima. Model pendidikan yang berlangsung di Indonesia telah terlalu lama melupakan substansi Pancasila sebagai gagasan kritis dan reaksionis hegemoni pemikiran kapitalisme dan sosialisme sebelumnya. Kekhasan milik Indonesia ini 138
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
baru-baru ini sepertinya mulai digalakkan sebagai bagian instrument yang mendasar dalam falsafah pendidikan di Indonesia. Tema-tema demokrasi, civic eduation, nasionalisasi, multikultural dan semangat kebangsaan lainnya mulai di sadarkan dari rambu-rambu pancasila saat ini. Mengingat kelima sila yang termuat mengandaikan kesatuan utuh dari ide awal pembentukannya. Disatu sisi keperluan lain memformat model pendidikan yang berada dalam gempuran globalisasi dan IPTEK yang semakin berkembang. Padahal perhelatan tahunan kemerdekaan adalah momentum yang sebenarnya tidak disadari sebagai rethinking Pancasila. Memperbaharui dan merivitaliasasi kemungkinan-kemungkinan segala relevansinya bagi pendidikan saat ini. Meskipun tersebarnya berbagai ideologi lainnya yang dinilai juga berhadapan dengan Pancasila yang sebagian mengamini peranannya bagi perbaikan pendidikan, namun tentulah ciri khas kebangsaan ini tidak serta merta menanggalkan Pancasila dengan menggantikan pandangan lainnya. Hal demikian secara historis menegaskan Pancasila lah yang menyatukan bangsa dan memberikan semangat juang berdirinya negara. Bapak pendiri kita tentulah merumuskan Pancasila dengan meletakkan dasar-dasar kepentingan universalitas didalamnya. Pertanyaannya yang kemudian muncul kenapa begitu sulitnya mengubah pendidikan di Indonesia ke arah yang lebih maju. Seolah ada benarnya apa yang dikatakan Tilaar disebabkan apa yang disebutnya sebagai grammar of schooling. Munculnya istilah Grammar of schooling terjadi karena pandangan kultural yang sudah mendarah daging dalam masyarakat luas tentang apa yang dianggap sebagai definisi sekolah dan pendidikan yang seharusnya (Tilaar, 2011: 283). Kerangka organik pendidikan yang berparadigma kritis pancasila belum banyak ditemukan untuk ditawarkan bagi pendidikan yang lebih luas. Karena masih dihantui oleh budaya tradisi lama yang memandang Pancasila adalah produk kebijakan Orde lama dan orde Baru sehingga lebih menghilangkan dimensi substansialnya ketimbang format politis yang lebih menonjol. Mendaur ulang kerangka organik pendidikan yang kritis dengan asas Pancasila membenarkan bahwa pendidikan bukanlah alat politik rezim yang berkuasa. Vol. 10, No. 1, Februari 2015
139
Arif Rahman
Melainkan memberikan penyadaran atas hakikat manusia yang terbebas dari segala bentuk ikatan simpul yang membelenggu. Dan hampir semua tokoh-tokoh pendidikan baik lokal maupu luar, memahami relasi tersebut yang secara kritis untuk menempatkan manusia pada posisi yang merdeka, bukan lagi sebagai alat produksi, atau alat politik yang menghilangkan hakikat dari tujuan dasar kehidupan manusia. Dengan begitu Pancasila sebagai produk dari hasil pemikiran selayaknya disamping memang mengilhami dari pendidikan kritis di Indonesia, disatu kesempatan lain penulis kira dapat dikritisi dengan proposional sebagai bagian dari perubahan zaman yang memerlukan acuan falsafah dasar sebagai relevansinya. Buntut dari diskusi panjang diatas tidak lain berupaya menimbang dan mengkaitkan bagaimana praktik dan implementasi paradigma kritis Pancasila dalam pendidikan Islam. Secara level jenjang pendidikan di sekolah, menjadi lebih konkrit lagi bagaimana berlangsungnya proses pembelajaran pendidikan Islam berparadigma kritis Pancasila. Paling tidak penulis melihat yang harus diperhatikan pertama adalah Pertama paradigma kritis Pancasila memuat landasanlandasan fundamental, begitupun pendidikan Islam bersumber ajaran pokoknya dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan begitu keduanya dapat saling memberikan legtimasi dan saling menguatkan satu sama lainnya. Dengan kata lain pendidikan Islam dapat mewadahi dan menempatkan tema-tema Pancasila dengan memberikan penjelasan yang konstruktif. Bukan hanya sekedar menyebutkan dali-dalil normatif yang kadangkala masih mengambang dan tak menyentuh aspek terdalamnya. Kedua, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, persatuan dalam dimensi Pancasila bukan sekedar sampai pada taraf normatifdoktriner melainkan dalam instrument mata pelajaran dapat disematkan. Disatu sisi materi pendidikan Islam diharapkan tidak terlalu melangit dan abstrak dalam menjelaskan ketiga nilai tersebut. Melainkan harus lebih mengena pada problem real kebangsaan yang seringkali dirusak oleh keretakan konflik dan gesekan ditingkat bawah. Kehadiran materi pembelajaran yang kontekstual yang sesuai dengan perkembangan zman akan lebih mudah dipahami dan diterima dalam proses pembelajaran. 140
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
Ketiga, faktor pendidik itu sendiri harus menjadi sumber inspiratif dalam hubungan kehidupan sosial, baik dalam posisi personalia ia sebagai pendidik maupun relasi hubungannya dengan elemen di lingkungan pendidikan. Kekeringan yang sangat gradual saat ini banyak pendidik yang belum mampu menjadi contoh bagi peserta didik dalam memahami gagasan kritis Pancasila, terlebih lagi yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Egoisme pendidik seringkali mengalahkan idealisme mendidik yang tidak memandang bahwa moralitas pancasila bukan hanya sekedar tanggung jawab pada mata pelajaran lain. melainkan keikutsertaan sebagai pendidik merasa harus terpanggil mengejawantahkan dan menginternalisasikan kompleksitas nilai-nilai Pancasila dalam berbagai kesempatan. C. Simpulan
Adakalanya kita harus jujur bahwa falsafah Pancasila belum dijadikan primadona utama dalam setiap diskusi pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan belum begitu banyak memaknai Pancasila bagian hal terpenting dan menjiwainya secara sadar. Apa yang digagas kemudian adalah bagaimana falsafah Pancasila selayaknya dijadikan paradigma kritis dalam kondisi pendidikan saat ini. Hal yang demikian bisa jadi akan melahirkan sebuah pandangan yang genuine yang menawarkan sebuah gerakan dan kesadaran untuk menyelesaikan berbagai problem pendidikan. Perbedaan kondisi di bagian negara lain memberikan kita kesempatan menampilkan sebuah gagasan paradigma kritis pancasila. Dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas Pancasila yang menggema hanya sebatas nama kurang terlihat bentuknya seperti apa jika menjadi penawar obat kesembuhan pendidikan saat ini. Dalam relasinya bagi pendidikan Islam, posisi pancasila seharunya memang mendapat ruang yang berarti, di satu sisi karena prinsipprinsip Pancasila terilhami dari Islam, disisi lain Islam memberikan legitimasi yang kuat bagi terlaksananya prinsip Pancasila yang sejalan dengan landasan Islam. Sehingga upaya provokasi untuk menjadikan falsafah pancasila bagian dari upaya kritis bagi pendidikan menjadi alternatif yang rasanya pas bagi kebutuhan Indonesia. Disamping Vol. 10, No. 1, Februari 2015
141
Arif Rahman
terlahirnya menjadi kesepakatan bersama ia juga mewakili nilai-nilai keIndonesiaan, sehingga apa yang sebenarnya dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini adalah sudah ada disana (Pancasila). Namun perlu upaya keras memformulasikannya secara kerja dan format nyata sehingga dapat dimaknai dan dilihat secara jelas.
142
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Paradigma Kritis Pancasila dalam Dimensi Pendidikan Islam
DAFTAR PUSTAKA Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hidayat, Rakhmat, 2013. Pedagogi Kritis: Sejarah, Perkembangan dan Pemikiran. Jakarta: Rajawali Pers. Jalaluddin dan Idi, Abdullah. 2002. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama. Kaelani, 2002. Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma. Karim, Abdul. 2004. Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Karim, Muhammad. 2009. Pendidikan Kritis Transformatif. Jogjakarta: A-Ruzz Media. Makassary, Ridwan dan Ahmad Gaus AF (ed). 2010. Benih-benih Islam Radikal di Masjid; Studi Kasus Jakarta dan Solo. Jakarta: CSRC. Rodli, Ahmad. 2013. Stigma Islam Radikal. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Susanti, Dewi. 2011. “Mengapa Pedagogik Kritis Yang berkeadilan Sosial Sulit Dijadikan Pedagogik Bagi Pendidikan Formal: Sebuah Provokasi”. dalam Tilaar, H.A.R. 2011. Pedagogik Kritis Perkembangan, Substansi dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Tilaar, H.A.R. 2011. Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Ubaedillah dan Rozak, Abdul. 2008. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana.
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
143
halaman ini bukan sengaja dikosongkan