PAMERAN LUKISAN YANG ERGONOMIS I Gusti Nyoman Widnyana
Program Studi Desain Komunikasi Visual D-III Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha Jalan Jend. A Yani 67 Singaraja 81116, Telp. 0362-21541, Fax. 0362-27561 Email:
[email protected]
ABSTRACT The current exhibition of paintings is oriented more on business, so the objective of a person doing an exhibiting is to sell their paintings. It’s not something that is taboo, because the painter is also human who needs money for living expenses and for the cost of creating new paintings. unfortunately the comfort of the exhibition room is sometime forgotten. Visitors who initially come to see the exhibition and buy one of the paintings, they finally go out from the exhibition hall and cancel to buy the painting because they feel being uncomfortable in the hall Keywords: exhibition of painting, comfort of exhibition hall
PENDAHULUAN Menarik sekali berita pendek di Harian Kompas tanggal 30 Desember 2013, halaman 16, dengan judul berita : seniman butuh wadah untuk pameran karya seni. Disana, Dewan Kesenian Kota Semarang, mengatakan bahwa saat ini bukan lagi jamannya seniman pelukis tampil hanya untuk menghibur semata, namun tampil dan berkesenian untuk menghidupi dirinya sendiri. Pendapat itu memang ada benarnya, sebab belakangan ini tanpa disadari sudah terjadi pergeseran tujuan orang berpameran khususnya dalam pameran lukisan. Awalnya kegiatan pameran dilakukan oleh para pelukis hanya sebagai ajang untuk menunjukkan capaian prestasi pelukis di bidangnya saja. Lukisan-lukisan dipajang di dinding ruang pameran dan masyarakat menikmatinya sambil memberi penilaian. Pada saat itu terjadilah dialog antara seniman, penghayat, dan karya seni, di mana lukisan pada akhirnya merupakan ekspresi dari seniman sekaligus alat komunikasi
( Kartika, 2004 ). Pada saat itu aktivitas pameran bergerak tanpa memiliki pretensi mencari keuntungan dari laku tidaknya karya yang dibuat, dan seolah-olah karya tersebut memang diberikan kepada masyarakat luas ( Susanto, 2003 ). Di era sekarang, pameran lukisan orientasinya lebih dipengaruhi bidang bisnis, sehingga pameran lukisanpun akhirnya mulai dianggap sebagai ajang untuk berjualan, dimana sebagian besar lukisan-lukisan yang dipamerkan diharapkan bisa laku terjual. Beberapa pemilik galeri malah menganggap lukisan sebagai instrumen keuangan, bahkan investasi yang menguntungkan ( Dermawan, 2004 ). Tetapi sayangnya hal itu tidak dibarengi dengan perbaikan di ruang pameran, khususnya dalam hal kenyamanan pengunjung pameran saat berada di dalam ruangan. Akibatnya, mereka yang awalnya datang ke ruang pameran untuk menikmati lukisan yang dipamerkan dan kemudian membeli, tetapi karena merasa tidak nyaman berada dalam ruangan, akhirnya keluar dan urung membeli lukisan. Penyebab dari semua itu bisa saja karena 90% galeri di Indone| PRASI | Vol. 8 | No. 16 | Juli - Desember 2013 |
39
sia saat ini dimiliki oleh orang-orang yang berlatar belakang bukan seni rupa, sehingga mereka melihat institusi galeri hanya sebagai usaha dagang untuk memutar uangnya saja ( Dermawan, 2003 ). Disamping itu banyak pelukis dan pelaku pameran yang tidak menyadari bahwa di dalam ilmu ergonomi ada aspek-aspek tertentu yang berpengaruh terhadap kenyamanan orang saat berada di dalam ruang pameran, seperti aspek manusia, aspek tugas, dan aspek lingkungan. Dari pengalaman dan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap kenyamanan orang saat berada di dalam ruang pameran adalah: mikroklimat (suhu dan kelembaban ), sirkulasi orang, intensitas cahaya, intensitas suara, ukuran lukisan. Ilmu Ergonomi Dan Rasa Nyaman Dari dulu sampai sekarang, kenyamanan orang saat berada di dalam ruang pameran belum mendapat perhatian yang serius, sehingga masih saja terjadi orang merasa tidak nyaman saat berada di dalam ruang pameran. Selama ini banyak orang yang bisa merasakan ketidaknyamanan itu, namun tidak tahu pasti apa penyebabnya. Kenyamanan di dalam ruangan sesungguhnya dapat diciptakan dengan menerapkan kaidah-kaidah ilmu ergonomi. Menurut Manuaba (1998 ), ergonomi sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner dalam perkembangan dan prakteknya bertujuan untuk mensejahterakan fisik dan mental, khususnya mencegah munculnya cidera dan penyakit akibat kerja (aktivitas yang dilakukan, meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memperbaiki kualitas kontak sosial dan bagaimana mengorganisasikan kerja sebaikbaiknya, meningkatkan efisiensi sistem manusiamesin melalui kontribusi rasional antara aspek teknis, ekonomi, antropologi, dan budaya daripada sistem. Untuk melaksanakan hal tersebut dapat dijalankan dengan dua cara yaitu: menerapkan ergonomi mulai dari perencanaan atau lebih dikenal dengan sebutan pendekatan konseptual, dan menerapkan ergonomi dengan memperbaiki atau memodifikasi yang sudah ada atau dikenal 40 | PRASI | Vol. 8 | No. 16 | Juli - Desember 2013 |
dengan sebutan pendekatan kuratif. Ditinjau dari asal katanya , ergonomi berarti bidang studi yang mempelajari tentang hukum-hukum pekerjaan. Berasal dari kata Yunani yaitu: Ergos = pekerjaan, dan Nomos = hukum, yang bila didefinisikan secara bebas bermakna bidang studi multidisiplin yang mempelajari prinsip-prinsip dalam mendesain peralatan, mesin, proses, dan tempat kerja yang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia yang memakainya ( Manuaba, 1998; Harrianto, 2009 ). Ergonomi juga merupakan aktivitas rancang bangun ( desain ) atau pun rancang ulang ( redesain ) yang berkenaan dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah, dan di tempat rekreasi ( Nurmianto, 2008 ). Dapat disimpulkan disini bahwa dengan pendekatan ilmu ergonomi, kenyamanan di dalam ruang pameran akan dapat dicapai, karena ilmu ergonomi memiliki tujuan untuk menserasikan alat, cara kerja dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia, demi tercapainya kesehatan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi yang setinggi-tingginya. Atau sering kali dikatakan dengan ungkapan: memanusiakan manusia. Kenyamanan Di Dalam Ruang Pameran Kenyamanan orang saat berada di dalam ruangan pada dasarnya dipengaruhi oleh sirkulasi orang dan mikroklimat. Orang merasa nyaman berada di dalam ruangan jika berada dalam zona personal yang nyaman, yaitu didasarkan atas zona perlindungan tubuh pada diameter 42 inci atau 106,7 cm, atau seluas 10 kaki persegi, atau 0,93 m persegi. Pada posisi ini seseorang dapat melewati jarak antara dua orang yang berdiri bersampingan dengan posisi menyamping ( Panero dan Zelnik, 2003 ). Dengan demikian sirkulasi orang lalu-lalang di dalam ruangan tidak saling mengganggu satu sama lain, sehingga rasa nyaman orang saat berada di dalam ruangan tersebut terjamin. Dikatakan juga bahwa orang merasa nyaman memandang lukisan di dalam sebuah ruang pameran
adalah jika ada ruang kosong pada kisaran 0,60 m di belakang orang tersebut ( Mara, 1984 ). Dengan demikian orang masih bisa berlalu-lalang di area itu tanpa mengganggu orang lain yang sedang menikmati lukisan yang dipamerkan. Dalam sebuah kegiatan pameran, lukisan dipajang dengan digantung pada dinding ruangan pada ketinggian tertentu memakai seutas tali dan umumnya dipandang dalam posisi berdiri. Pemajangan lukisan bisa dilakukan dengan berpatokan pada rata atas, rata bawah, atau dengan menentukan titik tengah dari lukisan secara keseluruhan. Hal itu penting mengingat manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam memandang yang disebabkan oleh adanya keterbatasan rentang gerakan kepala. Secara antropomatrik gerakan ini disebut sebagai rotasi leher dengan memiliki rentang yang dapat diupayakan sebesar 45 derajat ke arah kiri atau kanan secara horisontal tanpa menimbulkan ketegangan atau ketidak nyamanan bagi sebagian besar orang ( Panero dan Zelnik, 2003 ). Karena keterbatasan itulah maka perlu adanya pemikiran yang lebih mendalam tentang posisi lukisan saat dipajang, jarak antar lukisan satu dengan lainnya, dan ukuran lukisan yang dipajang di ruangan tersebut. Kesalahan dalam menyikapi hal ini akan berakibat munculnya ketidaknyamanan bagi pengunjung pameran, karena melihat terlalu dekat pada objek dalam periode waktu yang relatif lama akan mengakibatkan kelelahan pada otot ( Dyer dan Morris, 1990 ). Oleh karena itu pada saat memajang lukisan perlu diatur penempatan lukisan yang sesuai dengan posisi mata pengunjung, yaitu pada kisaran 5 derajat di atas bidang horizontal dan 30 derajat di bawah bidang horizontal ( Sutajaya, 2004 ). Mengabaikan keterbatasan-keterbatasan manusia terutama pada mata, saat menata ruang pameran akan menyebabkan muncul kelelahan pada mata atau lebih dikenal dengan kelelahan visual. Menurut Antarini ( 2005 ), jarak pandang yang tidak sesuai menyebabkan timbulnya kelelahan, khususnya kelelahan visual. Hal ini terjadi karena terjadinya gerakan mata yang konstan naik-turun, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke
bawah, akibat memandang objek dari jarak yang terlalu dekat ( Grandjean, 1998 ). Pendapat senada juga datang dari Dowton dan Leedhan ( 1992 ) yang menyatakan bahwa medan penglihatan merupakan hal penting dalam menentukan ukuran objek, karena medan penglihatan adalah sudut yang dibentuk ketika mata bergerak ke kiri dan ke kanan terjauh. Mikroklimat Kenyamana seseorang saat berada di dalam ruangan salah satunya dipengaruhi oleh suhu udara dan kelembaban di dalam dan di luar ruangan. Menurut Manuaba ( 1993 ), suhu yang dirasakan oleh seseorang merupakan rata-rata dari suhu udara dan suhu permukaan sekitarnya. Hal ini dapat diukur dengan menggunakan rumus : Tempat yang dirasakan = Tu + Tp : 2. Seperti diketahui, daerah nyaman orang Indonesia untuk suhu kering adalah pada kisaran 22 – 28% Celcius, dan kelembaban pada kisaran 70 -80%. Suhu lingkungan yang ekstrem panas atau dingin akan menimbulkan rasa lelah, mengantuk, penampilan kerja berkurang, meningkatnya kesalahan kerja ( Harrianto, 2010 ). Pengaruh dari semua itu adalah munculnya kelelahan yang bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh ( Grandjean, 1988 ), karena kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari cedera lebih lanjut ( Eko, 2008 ). Oleh karena itu maka mikroklimat dalam ruang pameran harus diatur sesuai dengan kebutuhan orang pada umumnya agar orang merasa nyaman selama berada di dalam ruang pameran tersebut. Untuk menciptakan mikroklimat nyaman di dalam ruangan bisa disiasati dengan pembuatan jendela yang besar sehingga sirkulasi udara dapat berlangsung dengan baik, atau dengan pemasangan AC. Untuk pemakaian AC, mengingat daerah nyaman orang Indonesia untuk suhu kering adalah pada kisaran antara 22 – 28 derajat Celcius dan untuk kelembaban adalah pada kisaran 70 – 80%, maka disarankan agar peng| PRASI | Vol. 8 | No. 16 | Juli - Desember 2013 |
41
aturan AC di atas antara batas-batas tersebut. Dengan demikian akan diperoleh perbedaan dengan suhu luar sehari-hari tidak begitu besar. Pengaturan itu tentu disesuaikan dengan fungsi dari ruang dimaksud, jika dipergunakan untuk banyak orang maka pengaturannya bisa lebih rendah lagi. Intensitas Cahaya Pada umumnya pencahayaan atau penerangan dibedakan menjadi dua, yaitu penerangan alamiah ( Penerangan alam ) dan penerangan artifisial ( penerangan buatan). Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan orang dapat melihat objek-objek secara jelas, cepat dan tanpa upaya upaya yang tidak perlu ( Suma’mur, 1997 ). Penerangan yang baik sangat penting agar pekerjaan dapat dilakukan dengan benar dan dalam situasi yang nyaman. Pada umumnya penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama bekerja ( Grandjean, 1988 ). Disamping itu penerangan yang tidak memadai dapat menyebabkan beban yang dipikul oleh organ penglihatan mata bisa berupa stres dan dapat menimbulkan dua macam kelelahan yaitu kelelahan penglihatan dan kelelahan syaraf. Oleh karena itu dalam sebuah ruang pameran, masalah penerangan ini menjadi bagian yang sangat penting terutama dalam kaitannya dengan kenyamanan pengunjung pameran itu sendiri. Luas ruangan harus diperhitungkan untuk mendapatkan jumlah lampu (watt) yang harus dipasang disana. Prinsip penerangan yang baik di dalam ruang pameran adalah jika mendapat penerangan sama seperti di luar gedung pada siang hari yang cerah ( Manuaba, 1998 ). Jika akan memakai penerangan buatan, perlu diketahui standar kasar lampu pijar = 0,2 watt dan lampu TL = 1/15 watt per squer feet lantai yang diperlukan untuk mencapai penerangan 100 luks. Misalnya, jika dalam sebuah ruangan diperlukan 250 luks penerangan, maka untuk ruangan seluas 100 sq ft diperlukan 100 x 25 watt =2500/15 watt = 160 watt atau sama dengan 8 lampu TL masing42 | PRASI | Vol. 8 | No. 16 | Juli - Desember 2013 |
masing dengan kekuatan 20 watt. Rumus lainnya adalah dalam ruangan seluas 100 meter persegi jika memakai lampu TL 40 watt, maka diperlukan lampu TL sejumlah X = ( 100 x 60 x 1/15 ) : 40 watt atau sebanyak 10 lampu TL. Penggunaan lampu TL juga memiliki kekurangan, yaitu adanya efek getaran. Jika pemakaian lampu TL lebih dari satu dalam sebuah ruangan, maka hendaknya dipasang dengan sistem T. Tujuannya adalah untuk saling meniadakan efek getaran, sehingga mata orang tidak terpapar oleh efek tersebut. Dengan demikian kelelahan pada otot mata yang disebabkan oleh adannya getaran pada sinar lampu TL dapat dicegah. Jadi penerangan di dalam ruangan semestinya menjadi pertimbangan penting jika menginginkan pengunjung pameran merasa nyaman selama berada di dalam ruang pameran. Pemilihan jenis penerangan buatan perlu dilakukan dengan teliti, mengingat sifat-sifatnya yang berbeda. Sebagai contoh, lampu jenis neon memberikan penerangan 85% dan panas 15% dan pemakaiannya harus dalam jumlah yang genap, sebaliknya lampu pijar memberikan panas 85% dan 15% dalam bentuk cahaya dan tidak untuk penerangan umum ( Manuaba, 1993 ) Intensitas Suara Suara keras yang berlangsung terus menerus tanpa disadari akan menyebabkan munculnya ketulian. Nilai ambang batas intensitas suara tertinggi yang masih dapat diterima oleh orang tanpa mengakibatkan gangguan daya dengar yang tetap untuk waktu kerja tidak lebih dari 8 jam se hari adalah 85 dBA ( WHS, 1993; Permenaker,1999 ) Itulah sebabnya dalam sebuah aktivitas pameran, sedapat mungkin hindari suara yang dapat mengganggu kenyamanan orang saat memandang lukisan. Suara bising bisa saja terjadi karena di lingkungan terdekat terdapat sumber suara ( pabrik, arena pertunjukan, dll. ) atau bisa saja karena berasal dari lingkungan sendiri, yaitu adanya tambahan musik yang diputar keras-keras saat aktivitas pameran berlangsung. Hal ini da-
pat mengganggu kenyamanan orang disaat mem- PENUTUP butuhkan konsentrasi penuh ketika menikmati lukisan yang dipamerkan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kenyamanan orang saat berada di dalam Ukuran Lukisan ruang pameran lukisan jika dikaji dari sudut ilmu Ukuran lukisan dalam sebuah ruangan ergonomi, dipengaruhi oleh beberapa faktor, disesungguhnya sangat berpengaruh terhadap ke- antaranya adalah faktor mikroklimat, sirkulasi nyamanan pengunjung pameran. Dalam sebuah orang, intensitas cahaya, intensitas suara, dan aktivitas pameran, sering sekali kita jumpai ukuran lukisan. Jika faktor-faktor tersebut terdalam sebuah ruangan dipajang lukisan yang penuhi, maka pameran lukisan yang ergonomis ukuran terlalu besar atau sebaliknya terlalu ke- akan tercapai, dan pengunjung pameran akan cil, sehingga dengan begitu pengunjung pameran merasa lebih nyaman berada di dalam ruang paharus selalu melakukan pergerakan-pergerakan meran. ke kiri- ke kanan, atau ke atas ke bawah, saat memandang lukisan tersebut. Padahal semestinya dalam sekali pandang saja keseluruhan bidang DAFTAR PUSTAKA lukisan harus sudah bisa dilihat dan dinikmati tanpa perlu lagi mengadakan pergerakan yang Antarini, L. 2005. Pengaturan Jarak Pandang Mata ke La yar Monitor 17 Inc. Menurunkan Keluhan Subjek tidak perlu. ( widnyana, 2013 ) tif dan Meningkatkan Produktifitas Kerja Opera Dalam penelitian sejenis dikatakan bahwa tor Komputer di “ Rental X “ Denpasar. Den kenyamanan tempat berdirinya pengamat lukisan pasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayaadalah pada kisaran 0,50 m – 0,70 m dan itu ter- na. gantung dari besar kecilnya lukisan (Mara, 1984). Dermawan T.A. 2003. Antologi Seni 2003. Jakarta : Yayasan Seni Cerry Red. Dalam penelitian yang lain juga ditemukan ada Dermawan T.A. 2004. Bukit Bukit Perhatian. Jakarta : PT perbedaan tingkat kenyamanan pengunjung pa- Gramedia Pustaka meran saat memandang lukisan berukuran 50 cm Dyer, H. And Morris, A. 1990. Human Aspects of Library x 60 cm dan 150 cm x 200 cm dari jarak pandang Automation. England: Gower Publishing Com pany Limitid. 3 m, dalam ruang pameran berukuran 6 m x 4 Grandjean, E. 1988. Fitting The Task to The Man, A Text m x 3 m. Diketahui bahwa memandang lukisan book of Occupational Ergonomic. 4th Edition. ukuran 50 cm x 60 cm tingkat kenyamanan London: Taylor & Francis. pengunjung pameran lebih tinggi sebesar 34,6% Grandjean, E. 1998. Fitting The Task to The Man, A Textbook of Occupational Ergonomic. 5th Edition. dibandingkan memandang lukisan 150 cm x 200 London: Taylor & Francis. cm dari jarak dan ukuran ruang yang sama Harrianto, R. 2010. Kesehatan Kerja. Jakarta: Penerbit (Widnyana, 2013) Buku Kedokteran EGC. Dapat dikatakan bahwa ukuran lukisan Julius, P., Zelnik, M. 2003. Dimensi manusia dan Ruang dan luas ruangan ternyata berpengaruh terha- Interior. Jakarta: Erlangga. dap kenyamanan pengunjung pameran saat me- Kartika, D. S. 2004. Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sain. mandang lukisan. Oleh karena itu sudah saatnya Manuaba, A. 1993. Pengaturan Suhu dan Water Intake. pelaku pameran mengetahui lebih awal, berapa Bunga Rampai Ergonomi. Program Studi Ergo- luas ruang pameran, sehingga ukuran lukisan bisa nomi Fisiologi Kerja, Program Pasca Sarjana. dirancang lebih awal. Dengan demikian pameran Universitas Udayana. Denpasar. lukisan yang ergonomis bukan lagi hanya sebuah Manuaba, A. 1998. Memberdayakan Ergonomi di PTP XXI-XXII. Bunga Rampai Ergonomi. Program khayalan, sehingga harapan dari Ketua Dewan Studi Ergonomi-Fisiologi Kerja, Program Pasca Kesenian Semarang akan bisa terwujud. Sarjana. Universitas Udayana. Denpasar. Manuaba, A. 1998. Ergonomi Dalam Perancangan Kom| PRASI | Vol. 8 | No. 16 | Juli - Desember 2013 |
43
plek Olah raga dan Rekreasi. Bunga Rampai Ergonomi. Program Studi Ergonomi-Fisiologi Kerja, Program Pasca Sarjana. Universitas Uda yana. Denpasar. Mara, G. T. 1984. Museum Seni Lukis Bali. Jurusan Arsi tektur, Universitas Udayana. Denpasar. Nurmianto, E. 2008. Ergonomi: Konsep Dasar dan Apli kasinya. Surabaya: PT Guna Wijaya. Suma’mur, P. K. 1997. Higene Perusahan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Gunung Agung. Susanto, M. 2003. Membongkar Seni Rupa. Yogyakarta: PT. Jendela. Sutajaya, I M. 2004. Peranan Ergonomi Dalam Menata Sa rana Pembelajaran. Jurnal Ergonomi Indonesia, Vol. 2 No. 1. WHS ( Workplace Health and Safety ), 1993. Noise Man agement at Work, Code of Practice for Healthy and Safe Workplace. Queensland Goverment, Australia. Widnyana, I G N. 2013. “Ukuran Dua Buah Lukisan 150 cm x 200 cm dan 50 cm x 60 cm Dalam Sebuah Ruang Pamer Berpengaruh Terhadap Kelelahan Umum Dan Kenyamanan Memandang Dari Pengunjung Pameran” (Tesis). Denpasar: Pro- gram Pascasarjana, Universitas Udayana.
44 | PRASI | Vol. 8 | No. 16 | Juli - Desember 2013 |