OTORITARIANISME PENDIDIKAN DI INDONESIA (Telaah Kebijakan dan Perubahan Paradigma Pendidikan)
Oleh Siswanto (Penulis adalah Calon Dosen pada Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, lulusan program Magister IAIN Sunan Ampel)
Abstrak: Bergulirnya reformasi tetap menjadikan pendidikan sebagai sektor yang memprihatinkan dalam kebijakan nasional. Otoritarianisme pendidikan masih mencngekeram kuat dan dominan. Sentralisme dan birokrasi yang kaku masih tetap mewarnai penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan program yang sentralistis dan lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan birokrasi telah mematikan prakarsa, partisipasi, inovasi dan kreativitas peserta didik, masyarakat, dan pengelola satuan pendidikan. Satuan pendidikan terkontaminasi oleh sistem otoritarian sehingga dipaksa adanya suatu penyeragaman (uniformitas) baik dalam hal kurikulum, perilaku guru dan pola manajemen. Maka dari itu, diperlukan reformasi pendidikan dengan perubahan paradigma yang komprehensif dan sistemik. Wujud dari perubahan ini adalah desentralisasi, debirokrasi dan otonomi dengan melibatkan stake holders secara aktif dalam hubungan kemitraan sehingga terwujud demokratisasi dalam seluruh proses pendidikan. Kata kunci; otoritarianisme, paradigma, otonomi pendidikan.
Pendahuluan pengetahuan dan teknologi di kalangan Dunia pendidikan di Indonesia akademisi dan kemandirian.2 saat ini tengah mengalami berbagai problem atau persoalan yang cukup berat 2 Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam dan kompleks.1 Problem itu meliputi (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm.3-4. Azyumardi Azra bahwa problem pendidikan di masih rendahnya pemerataan mengungkapkan Indonesia meliputi: pertama, kesempatana mendapat memperoleh pendidikan, masih pendidikan masih tetap terbatas (limited capacity), kedua, rendahnya mutu dan relevansi kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik menekankan uniformitas yang mengakibatkan pendidikan dan masih lemahnya dan beban kurikulum serba seragam dan overloaded, ketiga, manajemen pendidikan, disamping pendanaan yang masih belum memadai, keempat, belum terwujudnya keunggulan ilmu akuntabilitas yang berkaitan dengan pengembangan dan pemeliharaan sistem dan kualitas pendidikan masih timpang, kelima, profesionalisme guru dan 1 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi tenaga kependidikan yang masih belum memadai, dan Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: keenam, relevansi yang masih timpang dengan Kencana, 2003), hlm.226. kebutuhan masyarakat dan tenaga kerja. Lihat
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
Kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam bidang pendidikan juga masih perlu dioptimalkan. Sampai kini ternyata masih belum optimal kesempatan anak-anak kurang mampu dalam mengakses pendidikan, terbukti pendidikan dasar 9 tahun masih kurang berhasil. Demikian pula rendahnya mutu dan relevansi pendidikan ditandai dari banyaknya pengangguran terdidik (educated unemployment). Sementara lemahnya manajemen pendidikan terbukti dari kemampuan sekolah dalam menciptakan lulusan berkualitas masih jauh dari harapan.3 Sistem yang sentralistik yang masih dipakai dalam era reformasi ini telah mengerogoti peluang berkembangnya profesionalisme di bidang pendidikan di samping faktor pembiayaan pendidikan yang masih rendah, sumber daya (resources) yang kurang memadai, manajemen yang kurang efektif, serta faktor eksternal yaitu bidang politik, ekonomi, hukum dan IPTEK yang turut memberikan kontribusi rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Indikator rendahnya mutu pendidikan di Indonesia yaitu: pertama, rendahnya nilai rata-rata yang dicapai dalam UAN dan UMPTN. Kedua, rendahnya daya serap peserta didik dalam memahami bahan pelajaran yang diberikan. Ketiga, rendahnya tingkat keterkaitan dan kesesuaian antara lulusan yang ada dengan kebutuhan akan tenaga kerja dalam masyarakat.4 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. xv-xvii. 3 Ibid. 4 J. Sudarminta, “Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium ketiga” dalam Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium
Kondisi buram pendidikan Indonesia ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang masih tetap terperangkap di dalam sistem kehidupan yang operatif sehingga terkungkung di dalam paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan otoriter dan memperbodoh rakyat banyak,5 karena sistem pendidikan pada era ini–terutama sejak Orde Baru yang otoriter–telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif telah menunjukkan prestasi yang luar biasa.6
Ketiga, ed. A. Atmadi dan Y. Setyaningsih (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 9. Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO tahun 2000 tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia semakin menurun. Di antara 174 negara di dunia Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998 dan ke-109 tahun 1999 dan menurun ke urutan 112 pada tahun 2000. Menurut survei Political and Economical Risk Consultant (PERC), Kualitas pendidikan di Indonesia pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Lihat Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan.(Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 3-4. Namun, yang lebih menyakitkan lagi adalah hasil penelitian International Education Achievement (IEA). Kemampuan membaca anak bangsa Indonesia pada tingkat SD dan SMP menduduki peringkat ke-38 dari 39 peserta. Kemampuan matematika di peringkat ke-39 di antara 42 negara. Kemampuan IPA berakhir pada peringkat ke-40 dari 42 negara peserta. Lihat Siti Asiyah,” Reaksi terhadap Mutu Pendidikan Nasional” dalam Jawa Pos, 9 Pebruari 2006. 5 H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21 (Magelang. Tera Indonesia,1998), hlm. 25. 6 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hlm. 8.
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
820
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
Kondisi ini menuntut perbaikan manajemen pendidikan secara menyeluruh. Upaya terhadap perbaikan semakin mengemuka terutama sejak lahirnya era reformasi untuk mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupan yang ditandai dengan euforia demokrasi dewasa ini. Gagasan untuk mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupan. Untuk itu diperlukan terobosan berupa pemikiran kembali tentang konsep manajemen pendidikan dalam rangka memberdayakan manusia dan masyarakat. Tulisan ini akan menelusuri kondisi riil pendidikan di negara kita yang selalu diliputi ketidakpastian dengan berbagai persoalan seperti otoritarian birokrat yang membelenggu kreatifitas pengelola pendidikan, dengan mencoba memberikan sumbangan alternatif pemikiran sebagai salah satu agenda penyelesaian persoalan tersebut.
Selama ini kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan telah dianggap sebagai suatu keharusan atau amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan karena itu tidak dianggap sebagai campur tangan berlebihan (etatisme) dari pemerintah. Padahal amanat tersebut merupakan tanggung jawab semua warga negara, jadi tidak hanya pemerintah.9 Asumsi ini menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas
okupasional dan kesenjangan kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal itu disebabkan karena guru tidak menyadari bahwa kita dewasa ini berada dalam masa transisi yang berlangsung dengan cepat, dan tetap memandang sekolah sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri yang bukan bagian masyarakat yang tengah berubah. Di samping itu, praktek pendidikan kita bersifat melioristik yang tercermin dari seringnya perubahan kurikulum secara erratic. Di tambah lagi banyak guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Terbatasnya wawasan guru dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul di tengah Otoritarianisme Pendidikan masyarakat menyebabkan mereka kurang tepat dan Meskipun reformasi telah kurang peka dalam mengantisipasi permasalahan yang dihapadapi dunia pendidikan, akibatnya mereka digulirkan di segala bidang, ternyata kehilangan gambaran peta pendidikan dan pendidikan tetap menjadi sektor yang kemasyarakatan secara komprehensif. Kesenjangan mengalami keprihatinan dalam kebijakan okupasional, kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja, memang bukanlah semata-mata nasional.7 Karena seringkali sistem disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri. Melainkan, pendidikan dijadikan salah satu juga ada faktor yang datang dari dunia kerja. instrumen untuk menciptakan safety net Sedangkan kesenjangan kultural ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan bagi pelestarian kekuasaan. Sedangkan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di visi dan misi pelestarian kekuasaan masa depan. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat melahirkan kebijakan pendidikan yang sekolah-sekolah tidak mampu memberikan kesadaran kultural-historis kepada peserta didik. Peserta didik bersifat straight jacket yang kemudian tidak memiliki historical roots dan cultural-roots dari menjadi penyebab berbagai kesenjangan berbagai persoalan yang dihadapi. Lihat Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: Bigraf, dalam dunia pendidikan.8 2000), hlm.36-37. Bandingkan dengan Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik 7 Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Ciputat Refleksi untuk Aksi dalam Keberagamaan dan Pendidikan Press,2004), hlm.119. (Yogyakarta: SI Press, 1994), 145-146. 8 Sanaky, Paradigma, hlm.8. Kesenjangan dimaksud 9 Yusuf Hadi Miarzo, Menyemai Benih Teknologi meliputi kesenjangan akademik, kesenjangan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 614.
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
821
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga otoritarianisme pendidikan tidak dapat dihindarkan pada era reformasi ini, mencengkeram kuat dan dominan. Sentralisme dan birokrasi yang kaku juga masih tetap mewarnai penyelenggaraan sistem pendidikan. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional cenderung menuruti garis petunjuk dari atas atau indoktrinatif. Segala sesuatunya telah disiapkan dalam bentuk juklak dan juknis sehingga tidak ada tempat untuk berfikir kritis dan alternatif. Organisasi pendidikan diatur begitu rupa sehingga tidak kesempatan untuk dinamis karena segala sesuatunya ditentukan dari atas dengan berkedok kepada persatuan persepsi dan orientasi, kesatuan wadah kesatuan tekad dan sebagainya.10 Pengelolaan program yang sentralistis dan lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan birokrasi telah mematikan prakarsa, partisipasi, inovasi dan kreativitas peserta didik, masyarakat, dan pengelola satuan pendidikan.11 Tilaar, Beberapa Agenda,.hlm. 17-18. Yusufhadi, Menyemai, hlm.655. Senada dengan hal ini Bastian menyoroti kebijakan yang sentralistis dalam konteks pendidikan sebagaimana dikutip Muhyi bahwa : (1) pendidikan kita pada saat ini tidak dapat dibanggakan bahkan dirasakan sangat membelenggu, karena kaitannya dengan aturan sentral uniformitas, (2) Sentralisasi dan uniformitas sekarang ini mengakibatkan semua komponen penyelenggaraan pendidikan kehilangan kemerdekaan, yang pada gilirannya semua perangkat pendidikan menjadi beku dan kehilangan kreativitas dan objektivitas nyata, (3) pendidikan kita sekarang tidak mampu mengakomodasikan pluralisme bangsa, karena kaitannya dengan sentralisasi, uniformitas dan indikator keberhasilan yang menyimpang dari koridor pendidikan, (4) Pendidikan kita sekarang ini dapat dikatakan sangat diskriminatif dan menjauh dari keadilan. (5) Praksis pendidikan kita terjerumus 10 11
Otoritarianisme dalam bidang pendidikan tidak memberikan peluang kepada rakyat dan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Satuan pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan dan pembelajaran terkontaminasi oleh sistem yang begitu kuat mencengkeram kebijakan apapun terhadap pendidikan sehingga satuan-satuan pendidikan dipaksa untuk mengikuti adanya uniformitas baik dalam hal kurikulum, perilaku guru, maupun pola manajemen yang terpusat.12 Kurikulum nasional sekolah yang berlaku saat ini –Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)13 –masih merupakan kurikulum sentralistis dan sarat dengan kepada hal-hal yang tidak fungsional bagi kepentingan siswa, yakni ke arah rangking, NEM dan memasuki sekolah lanjut yang mungkin di luar kapasitasnya. Lebih lanjut lihat Muhyi, Sosiologi Pendidikan, hlm.119120. 12 Ibid, hlm. 123. 13 Pada hakekatnya, fokus perhatian KBK adalah pada kurikulum dalam aspek penyusunan rangkaian course outline yang akan diajarkan pada siswa dengan merumuskan secara detail kompetensi yang akan diberikan sesuai kebutuhan yang diminta oleh client, user, stakeholder serta arah dan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara, yang memiliki cita-cita peningkatan produktivitas dan daya saing baik secara regional maupun global. Berbagai mata pelajaran yang tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan-kebutuhan kompetensi tersebut, bisa ditinggalkan dan diabaikan dalam penyusunan struktur kurikulum dalam kerangka KBK ini, dengan kebijakan semakin ramping sebuah kurikulum semakin efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa. Lihat Dede, Paradigma, hlm. 48. Namun, implementasi KBK belakangan ini masih setengah hati. Otoritas sekolah sebagai pemegang kendali di tingkat lokal masih dikebiri dengan berbagai kebijakan birokrasi sehingga etos kerja guru dalam mengajar tidak semuanya sesuai dengan harapan, karena mereka mengejar target kurikulum, bukan penguasaan terhadap materi pelajaran.
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
822
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
subjek akademik, serta tidak jelas fokusnya. Kurikulum nasional yang terlalu sarat membatasi peluang masyarakat untuk mengembangkan program lebih kreatif. Otoritas standarisasi kurikuler berada di tangan pemerintah dengan suatu pertimbangan masih perlunya rekayasa perubahan dan kemajuan dari pemerintah melalui pembinaan SDM-nya melalui jalur pendidikan. Dalam lingkup perguruan tinggi, kurikulum masih didominasi oleh birokrasi dan etatisme, sehingga menghasilkan pengangguran karena kurang serasinya program dengan tuntutan kebutuhan pembangunan. Pemberian kewenangan yang besar kepada guru dan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (School based Management) atau MBS dan KBK diasumsikan akan mengembalikan harga diri dan rasa percara diri (self confident) pada guru yang di masa lalu sangat terpuruk akibat sistem yang bersifat sangat instruktif. Akan tetapi, melihat kebijakan Departemen Pendidikan Nasional akhir-akhir ini, harapan yang mulai timbul tampaknya akan layu sebelum berkembang. Salah satu contoh yang paling aktual adalah pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang penuh kontroversial. UAN sebagai alat uji bagi siswa SLTP dan SMA/SMK dalam kenyataannya tidak lain merupakan menifestasi keengganan pusat melepaskan kewenangannya dalam pengelolaan pendidikan. Celakanya, keengganan tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan yang cukup sehingga muncullah kebijakan kontroversial yang sangat membingungkan menyangkut hal-hal seperti soal ujian ulang dan hak
siswa tak lulus untuk melanjutkan pendidikan. UAN menempatkan pusat sebagai otoritas yang berwenang secara penuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tindak lanjutnya melalui SPO (Standar Prosedur Operasional) yang sangat rinci dan ketat.14 Belum lagi dengan kebijakan lain yang sentralistik seperti keputusan untuk mengkonversi nilai UAN menjadi keputusan yang dilakukan secara top down, tanpa menghiraukan aspirasi dari bawah.15 Dapat dibayangkan apa yang terjadi sekarang dengan evaluasi model UAN sebagai satu-satunya nilai penentu kelulusan siswa. UAN kemudian menjadi pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Seluruh proses pembelajaran dipusatkan kepada upaya untuk sukses dalam UAN, sehingga hakekat proses pembelajaran menjadi terabaikan. Akibatnya peserta didik Ki Gunawan, “UAN dalam Perspektif Desntralisasi Pendidikan”, Http://artikel/US/Kgunawan.html. 15 Rusito, “Mengajarkan Kebohongan Terselubung”, Jawa Pos, 23 Juni 2004. Diknas terkesan sengaja mengonversi nilai UAN untuk mengurangi jumlah siswa yang tidak lulus. Jika memakai standar semestinya, siswa yang tidak lulus akan sangat besar. Itu memperlihatkan dengan jelas bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah bila dibaca dari kuantitas kelulusan. Namun kebijakan tersebut justru kurang populis dalam dunia pendidikan karena telah membohongi masyarakat dan siswa khususnya, terhadap hasil UAN yang sebenarnya. Masyarakat akan membaca jangan-jangan kebijakan demikian sudah berlangsung cukup lama ketika standar nilai ujian akhir nasional diberlakukan pemerintah. Kebijakan konversi tidak diketahui oleh skolah-sekolah pada umumnya sebelum kebijakan pengatrolan nilai itu terungkap oleh beberapa sekolah swasta yang merasa dirugikan. Sebab sekolah tinggal mengetahui hasil akhir tanpa bagaimana proses penilaiannya karena memang penilaian akhir menjadi hak Balai Litbang Puspendik (Pusat Penerangan Pendidikan) dan bersifat rahasia. Lihat Sofatul Anam Abwa,”Kebijakan yang Kurang Populis” Jawa Pos, 22 Juni 2004. 14
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
823
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
kehilangan objektivitas dan kesadaran kritisnya karena terlalu mengejar target passing grade kelulusan, apalagi menganggap siswa sebagai sebuah kotak simpanan rumus dan hafalan yang setiap saat dapat ditagih.16 Maka dari itu proses pembelajaran menjadi sangat rutin dan mekanistik, karena bertujuan menguasai standar nasional.17 Pembelajaran bagaikan menjalani instruksi kurikulum, menjadi kegiatan rutin yang prosedural, menempatkan otoritas guru melebihi batas sebagai figur, sambil mengorbankan potensi kreatif dan kritis anak didik yang seharusnya merupakan model pedagogis yang penting.18 Praktik Kita harus mengakui, kebijakan UAN kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa karena standar yang dipakai hanya didasarkan pada aspek kognitif. Lihat Uswah Prameswari,”Langkah Awal Majukan Pendidikan” , Jawa Pos, 2 Mei 2004. 17 H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm.42. 18 Moeslim Abdurrahman, “, “Pendidikan yang Bermakna Transformatif,” Republika (10 Oktober, 2003), hlm.5. Padahal peserta didik adalah subjek seluruh proses dan kegiatan pendidikan. Sistem pendidikan yang otoriter dan pendidikan yang stato-sentris tidak menghormati kenyataan manusia sebagai makhluk individual. Pendidikan yang mau mencetak pribadi tertentu lewat latihan-latihan dan disiplin yang dipaksakan dari luar akan “menciptakan” manusia yang tidak mempunyai identitas sebagai manusia. Lihat Alex Lanur, “Dampak Konsep “Manusia” Filsafat Manusia yang Bersifat Personalistik pada Pendidikan,” dalam Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, ed. Sindhunata (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 189. Guru seharusnya menjadi pembimbing peserta didik bagaimana belajar hidup, bukan sekedar menunjukkan sejumlah pengetahuan dan dalil-dalil ilmu, kecerdasan dan keterampilan. Pendidikan moral bukan sekedar soal pengetahuan baik buruk dengan segala resikonya, tetapi memperoleh pengalaman baik-buruk. Guru bukan sekedar pembimbing anak-anak agar bisa membaca, tetapi bagaimana membaca sebagai cara belajar. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 45. 16
belajar mengajar kita selama ini lebih beranggapan bahwa mendidik hampir disamakan dengan upaya mencekoki atau proses memindahkan ilmu pengetahuan kepada anak didik 19 sebanyak-banyaknya. Akibatnya, anak menjadi pasif atau bahkan sebagai subjek manusia secara pedagogis telah mati, karena mereka hanya menjadi konsumen dan bukan produsen ilmu pengetahuan.20 Dengan demikian, pembelajaran berjalan linier-indoktrinatif dan mengarah pada “delivery system” di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan. Meminjam istilah Friere, pendidikan kita telah mengarah pada “gaya bank” yang menitikberatkan pada : a. Guru mengajar, murid belajar. b. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. c. Guru berfikir-murid difikirkan. Abdurrahman,”Pendidikan...”, hlm.5. Padahal, proses belajar mengajar merupakan proses manusiawi yang menuntut keterlibatan anak sebagai pribadi sehingga berhasilnya proses itu menuntut sikap hidup yang terbuka terhadap lingkungan dan mau bekerja sama dengan sesama. Lihat J.I.G.M. Drost, S.J. Sekolah: Mengajar atau Mendidik (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 34. 20 Pengelolaan pendidikan yang demikian terlalu berlebihan memberi penekanan pada dimensi kognitif dan mengabaikan dimensi-dimensi lain sehingga ternyata telah melahirkan manusia Indonesia dengan kepribadian pecah (split personality). A. Malik Fajar, et.al. Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Logos, 2001), hlm 33. Bahkan dalam suatu hasil penelitian tentang konsepkonsep baru dalam pendidikan ditemukan bahwa para ahli pendidikan mutakhir menyerang sistem pendidikan sekarang yang dikatakannya sebagai upaya mempertahankan kaum kapitalis dengan cara mendidik anak-anak agar siap melayani industri, perdagangan dan jasa tanpa memperhatikan kebebasan dan hak-hak mereka sebagai anak manusia yang mempunyai bakat dan harkat diri masing-masing. Lihat Made Pidarta, Landasan kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm.17. 19
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
824
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
d. Guru bicara, murid mendengarkan. e. Guru mengatur, murid diatur. f. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti. g. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. h. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. i. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid. j. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.21 Paulo Friere, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan ter. Agus Prihananto dan Fuad Arif Fudiyartanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), xi. Keberpihakan Friere terhadap kaum tertindas pada masanya telah mendorong dia membangun sistem dan praktek pendidikan yang lebih menunjuk kepada aspek kebebasan manusia (human freedom) dan masa depan kemanusiaannya. Menurut Freire, tatanan masyarakat yang tidak adil, akan melahirkan iklim yang tidak kondusif dan akan memandekkan demokratisasi pendidikan. Dalam suasana semacam ini kebebasan berfikir akan menjadi sebuah keniscayaan, karena masyarakat akan terdikotomi oleh penguasa. Kurikulum, sistem dan model pembelajaran sepenuhnya akan ditentukan oleh penguasa. Pada gilirannya, sistem semacam ini akan menyebabkan stagnasi ilmu pengetahuan dan pendidikan hanyalah sebuah “rekayasa”. Lihat William A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire ter. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 1-3. Maka dari itu, pendidikan harus memberdayakan kebebasan manusia dalam menyadari diri dan dunia luar, karena sejatinya pendidikan adalah proses penyesuaian anak dengan lingkungannya, baik dalam bidang sosial maupun iklim politik yang ada. Lihat Robert Maynard Hutchins, ”Pendidikan Liberal Sejati,” dalam Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme, Konservatif Liberal, Anarkis ter. Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.109. 21
Padahal, sumber informasi tidak hanya guru, tetapi siswa dapat ditempatkan sebagai sumber informasi alternatif, sehingga siswa merasa terlibat dalam proses pembelajaran dan juga akan terlatih cara berfikirnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan kita masih otoritarian, akibatnya sistem pendidikan hanya melahirkan manusia yang mempunyai watak pegawai negeri yang tidak berinisiatif dan hanya bergerak karena petunjuk dari atasan, yang pada gilirannya tidak memungkinkan lahirnya suatu masyarakat terbuka yang demokratis atau masyarakat madani. Perubahan Paradigma Pendidikan Reformasi dalam segala aspek bermasyarakat pada saat ini telah bergulir dan banyak diperbincangkan. Namun harus diakui bahwa reformasi itu masih banyak merupakan wacana ketimbang tindakan konkrit. Usaha reformasi belum didukung oleh konsep yang tepat dan jelas serta belum ada kebijakan yang mantap. Reformasi pada hakekatnya adalah perubahan menyeluruh dan mendasar dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah reformasi pendidikan. Perubahan menyeluruh dan mendasar ini disebut pula sebagai perubahan paradigma atau perubahan sistemik. 22 Perubahan sistemik menurut Reigeluth mengandung arti adanya perubahan fundamental atas segala aspek pendidikan. Dalam pengertian sistem, perubahan pada satu aspek dalam sistem, akan mempengaruhi aspek lain agar sistem itu tetap berfungsi. Perubahan itu harus meliputi semua jajaran pendidikan, mulai jajaran kelas, sekolah, daerah, masyarakat dan pemerintahan. Lihat Charles M. Reigeluth and Robert J. Garfinkle, Systemic Change in Education (Ringlewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications, 1994), hlm.3-4. 22
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
825
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
Mengapa diperlukan reformasi pendidikan? Pendidikan nasional perlu direforrmasikan dalam rangka untuk menciptakan suatu masyarakat Indonesia yang bersatu dan demokratis atau masyarakat yang berdaya.23 Dalam masyarakat yang demokratis setiap anggota masyarakat mempunyai keberdayaan untuk mandiri dan bukan tertekan oleh kekuasaan absolut. Masyarakat yang berdaya tidak lain dari pada masyarakat madani.24 Terma masyarakat madani sebenarnya dimaksudkan sebagai bentuk terjemahan dari konsep civil society, yakni sebuah entitas masyarakat yang memiliki ciri-ciri kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self supporting), sehingga memiliki kemandirian yang tinggi ketika berhadapan dengan kekuatan yang mendominasinya dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.25 Soegeng Sarjadi, Reformasi Kebijakan Menyongsong Milenium Ketiga (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 8. 24 Tilaar, Beberapa Agenda, hlm.16. 25 Rumusan ini adalah pengertian yang diajukan oleh Toequoville, dikutip dari Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 3. Dengan demikian masyarakat madani merupakan konsep tentang keberadaan suatu masyarakat yang dalam batas-batas tertentu mampu memajukan dirinya sendiri melalui penciptaan aktivitas mandiri, dalam satu ruang gerak yang tidak memungkinkan negara melakukan intervensi. Penekanan diberikan pada hakhak dasar individual sebagai manusia maupun warga negara. Penekanan ini yang membuat konsep masyarakat madani sangat erat terkait dengan konsep demokratisasi dan demokrasi. Demokrasi hanya mungkin tumbuh dalam masyarakat madani dan masyarakat madani hanya mungkin berkembang dalam iklim yang demokratis. Lihat Riswandha Imawan, “Masyarakat Madani dan Agenda Demokratisasi,” dalam Indonesia dalam Transisi Menuju Demokrasi, ed. Arief Subhan (Jakarta: LSAF, 1999), hlm. 54. Hefner menyatakan bahwa masyarakat sipil (civil society) merupakan masyarakat modern yang 23
Salah satu sikap yang diperlukan dalam hal ini adalah pengembangan sikap kreativitas, yakni suatu sikap untuk memilih dan memilah informasi yang tepat, saling menyebarkan informasi dalam suatu networking atau rangkaian sehingga terciptalah berbagai ide-ide baru. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dari lautan informasi yang ada merupakan sesuatu yang perlu dikembangkan di dalam sistem pendidikan. Melalui masyarakat madani inilah akan mendorong perubahanperubahan baru dalam pendidikan.26 Oleh sebab itu, gagasan reformasi dalam pendidikan merupakan refleksi pemikiran untuk melakukan berbagai perubahan dengan perubahan-perubahan komprehensif sebagai respon terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi, dan atau hasil analisis prediktif yang dilakukan secara seksama dan cermat serta holistik.27 Terkait dengan hal ini, Murphy menegaskan bahwa reformasi adalah gagasan awal yang mendasari restrukturisasi pendidikan, yakni memperbaharui pola hubungan sekolah dengan lingkungannya dan pemerintah, pola pengembangan perencanaan serta bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri mewujudkan peradaban. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan, masyarakat yang bercirikan kebebasan dan demokrasi serta berinteraksi di dalam masyarakat plural. Lihat Sanaky, Paradigma, hlm. 49. 26 Suwardi, “Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra sebagai Wahana Penciptaan Masyarakat Madani,” Cakrawala Pendidikan, 2 (Mei, 1999), hlm. 66. 27 Decker F. Walker and Jonas F. Soltis, Curriculum and Aims (New York: Teacher College Press, 1997), hlm. 77.
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
826
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
pola pengelolaan manajerialnya, pemberdayaan guru dan restrukturisasi model-model pembelajaran.28 Salah satu perubahan mendasar dari reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah lahirnya UU no. 32 tahun 2004 (menggantikan UU no 22 tahun 1999) tentang otonomi daerah serta UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kedua Undang-undang tersebut membawa perspektif baru yang amat revolusioner dalam konteks perbaikan sektor pendidikan yang mendorong pendidikan sebagai urusan publik dan urusan masyarakat secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah baik dalam kebijakan kurikulum, manajemen maupun berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Arah reformasi pendidikan di abad XXI ini adalah demokratisasi dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan, didukung oleh komunitasnya sebagai kontributor dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.29 Reformasi pendidikan menuntut adanya cara berfikir dan bertindak yang berbeda dari apa yang telah ada, dengan mengadakan diagnosis secara komprehensif dan perubahan paradigma secara mendasar pada segala aspek pendidikan. Paradigma birokratisotoritarian harus diubah menuju paradigma demokratis partisipatif. Bentuk perubahan paradigma ini sebagaimana pada halaman akhir artikel ini.
Inti dari perubahan paradigma ini adalah pemberdayaan masyarakat menjadi dasar dan muara dari kebijakan pendidikan sampai kepada sekolah.30 Untuk itu diberikan otonomi bagi semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan serta diberikan peluang kepada lembaga pendidikan dan daerah untuk mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan kondisi lingkungan. Perlu dilaksanakan desentralisasi, debirokrasi dan otonomi penyelenggaraan 31 pendidikan. Otonomi pendidikan32 ini membawa implikasi besar bagi
Syafaruddin, Manajemen, hlm. 21. Yusufhadi, Menyemai Benih, hlm. 655-656. Desentralisasi pendidikan mengubah berbagai kewenangan dan kebijakan pendidikan sampai pada Dinas Pendidikan kabupaten dan sekolah. Para manajer pendidikan dan pendidik harus memikirkan ulang kerangka kerja mereka dalam mengelola sekolah dalam era otonomi daerah ini agar berkembang di masa depan. Bahkan kalau perlu kemampuan mengadopsi sistem mutu terpadu dalam pendidikanagar supaya mencapai peningkatan keunggulan mutu sesuai kebutuhan pelanggan pendidikan (educational customer). Oleh karena itu manajemen pendidikan merupakan hal yang strategis dan menempatkannya sebagai sains dan teknologi yang harus dimanfaatkan dalam organisasi pendidikan agar dapat berfungsi efektif dan efesien. Lihat Syafaruddin, Manajemen ,hlm. 22. 32 Otonomi pendidikan dapat dipahami yaitu : pertama, menata kembali sistem pendidikan nasional yang sentralistis menuju kepada suatu sistem yang memberikan kesempatan luas kepada inisiatif masyarakat. Pada masa lalu akibat tekanan sistem kekuasaan, terdapat kecenderungan kuat menyamaratakan pendidikan di seluruh daerah. Otonomi pendidikan berarti pula demokratisasi sistem pendidikan yang berarti mengembalikan hak dan kewajiban masyarakat untuk mengurus pendidikannya. Kedua, otonomi pendidikan bukan berarti melepaskan segala ikatan untuk membangun negara kesatuan Indonesia. Otonomi pendidikan justru 28 Joseph Murphy, “Restructuring America’s School, an berarti memperkuat dasar-dasar pendidikan pada Overview”, dalam Education Reform ed. Chester E. Fin tingkat grass root untuk membentuk suatu masyarakat Jr. and Theodor Rebarber (New York: The 90’s Indonesia yang bersatu berdasarkan kebhinnekaan McMillan Publishing Company, 1992), hlm. 10. masyarakat. Makna otonomi dalam kerangka ini ialah 29 Dede, Paradigma, hlm.12. pendidikan dikembalikan kepada stake holders yaitu 30 31
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
827
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
pentingnya perubahan manajemen pendidikan. Pada tingkat makro, manajemen sistem pendidikan nasional dalam kewenangannya perlu diserahkan sebagian ke daerah sehingga inovasi pendidikan di daerah semakin cepat, tepat dan efektif. Pada tingkat mikro, pimpinan lembaga pendidikan perlu mengubah gaya manajemen ke arah yang lebih proaktif dan mengoptimalkan partisipasi semua personel dan stakeholders lembaga pendidikan. Peningkatan kualitas personel, pembiayaan, sarana dan prasarana, hubungan dengan masyarakat, serta kurikulum harus bermuara kepada peningkatan mutu pembelajaran yang efektif sehingga peserta didik memiliki budaya ilmiah yang tinggi.33 Otonomi pendidikan yang sebenarnya akan bergulir kepada otonomi sekolah, karena sekolah yang mengetahui apa keperluannya, kekurangannya serta sumber daya yang dimiliki untuk membangun pendidikan berbasis masyarakat (Community based Education). Hal ini menuntut pengelolaan pendidikan lebih baik dan lebih serius. Agar otonomi ini sesuai dengan semangat reformasi pendidikan dan berhasil guna maka diperlukan pendekatan-pendekatan dalam implementasinya, yaitu : 1. Partisipatori reformasi pendidikan dijalankan dengan meningkatkan peranserta atau
kerlibatan pihak terkait pendidikan. 2. Komprehensif reformasi dilaksanakan dengan meliputi semua aspek pendidikan mencakup aturan, organisasi kurikulum, evaluasi, guru, peranserta masyarakat, keuangan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan.34 Dengan demikian, sekolah sebagai ujung tombak reformasi pendidikan harus benar-benar menerapkan otonomi yang pada gilirannya akan melahirkan demokratisasi pendidikan, yakni memberi hak otonom pada masingmasing pihak untuk mengekspresikan dan mengaktualkan potensi yang dimilikinya melalui pendidikan.35 Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) sebagai tipikal otonomi pendidikan yang diharapkan mampu mencairkan otoritarianisme pendidikan harus benar-benar menjadi starting point demokratisasi pendidikan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat dan orang tua yang terbentuk dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan anak. Hal ini menuntut partisipasi lebih besar dari warga lembaga pendidikan dalam setiap kebijakan dan sepanjang proses pembuatan keputusan berlangsung, dan semua keputusan dibuat secara kolektif dan sinergis bersama stakeholders.36
masyarakat itu sendiri. Pendidikan harus otonom 34 Ibid, hlm. 8. sehingga masyarakat secara langsung bertanggung 35 Syamsul Arifin dan Ahmad Barizi, Paradigma jawab atas keberadaan dan proses pendidikan. Lihat Pendidikann Berbasis Pluralisme dan Demokrasi (Malang: H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: UMM Press, 2001), hlm. 91. 36 Ibtisam Abu Duhou, School Based Management ter. Rineka Cipta, 2001), hlm. 76. 33 Syafaruddin, Manajemen, hlm. 10. Notyamin Aini,et.al. (Jakarta: Logos, 2002), hlm.xix
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
828
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
Pengambilan keputusan partisipatif semacam ini merupakan suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Dalam artian bahwa warga sekolah (siswa, karyawan, orang tua siwa dan tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung di dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisispasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada “rasa memiliki” terhadap keputusan tersebut, sehingga ia juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Demikian halnya Kurikulum Berbasis Kompetensi harus benar-benar diimpelementasikan sebagai pioner untuk menciptakan kurikulum dan iklim pembelajaran yang demokratis. Pelibatan masyarakat dalam proses perancangan kurikulum dan memberi kepercayaan kepada guru yang sangat besar dalam perumusan kurikulum operasional tersebut, menjadi sangat signifikan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran menuju pencapaian kualitas hasil belajar yang optimal, karena sekolah akan memperoleh masukan obyektif dari pelanggan (costumer) dan pemakainya, dan kemudian distrukturisasi oleh mereka yang memiliki pengalaman lapangan dengan baik, sehingga susunan bahan ajar akan terstruktur sesuai dengan perkembangan psikologis peserta didik. Bersamaan dengan itu, guru harus benar-benar memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas-tugas keguruannya,
termasuk menyelenggarakan tes pengukuran, baik dalam konteks entry level assesment untuk mengukur input behavior dalam rangka penetapan starting point silabus yang akan disampaikan serta melakukan evaluasi hasil belajar, untuk mengukur pencapaian penguasaan peserta didik terhadap bahan ajar yang mereka pelajari, serta berbagai perubahan sikap dan perilaku sebagai impact dari perubahan pengetahuan dan pengalamannya.37 Maka dari itu, sekolah sebagai ujung tombak otonomi pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak untuk berfikir dan memecahkan persoalan-persoalannya sendiri secara teratur, sistematis, dan komprehensif serta kritis sehingga anak memiliki wawasan, kemampuan dan kesempatan yang luas. Seorang pendidik harus mampu memposisikan dirinya sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan motivator, sehingga dapat memberdayakan anak didik untuk mampu mencari dan menemukan sendiri informasi yang diterimanya. Pendidik berupaya membentuk iklim belajar yang kondusif, sehingga peserta didik dapat belajar dalam suasana yang dialogis, harmonis dan demokratis. Kemudian pendidikan harus berusaha memberikan arahan dan bimbingan, memberikan rambu-rambu dalam belajar, dan memotivasi peserta didik dalam belajar sehingga ia bersemangat dalam menuntut ilmu pengetahuan dan bebas belajar sendiri.38 Asumsi yang perlu dikembangkan dalam konteks ini adalah bahwa 37 38
Dede, Paradigma Pendidikan, hlm. 53-54. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 242.
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
829
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
pembelajaran adalah proses berfikir. Dalam praktik, proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada tiga tipe39, yaitu pertama, Teaching of Thinking, adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti keterampilan berfikir kritis, berfikir kreatif dan sebagainya. Kedua, Teaching for thinking, adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap pengembangan kognitif, seperti menciptakan suasana keterbukaan yang demokratis, menciptakan iklim yang menyenangkan sehingga memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara optimal. Ketiga, Teaching about thinking, adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar terhadap proses berfikirnya. Suasana demokratis di atas juga perlu ditumbuhkembangkan di tingkat perguruan tinggi. Pengelolaan kampus perlu diselenggarakan dengan semangat demokratis dengan menghapus birokrasi-otoritarian yang berlebihan. Birokrasi ini memang tidak terlepas dari campur tangan pemerintah pusat yang terlalu besar dalam segala hal. Mahasiswa sebagai sivitas akademi perlu berperan serta dalam merumuskan aturan demokratisasi kampus dengan berpegang pada nilai-nilai ilmiah. Para mahasiswa juga dapat berperan dalam usaha memperbaiki dosen, yaitu dengan melakukan evaluasi atas kinerja mereka. Sudah bukan masanya lagi bilamana dosen bertindak sebagai satu-satunya sumber Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 83-84. 39
pengetahuan dan karena itu bersikap otoriter dengan menganggap kebenaran hanya pada dirinya. Memang kehidupan dosen pada umumnya, masih memprihatinkan sehingga tidak mampu membeli buku baru apalagi berlangganan jurnal ilmiah dalam bidangnya, sehingga cenderung “mengajarkan apa yang diterimanya dulu”. Pelaksanaan dan tindak lanjut evaluasi kinerja tergantung pada demokratisasi pengelolaan. Permasalahan dosen ini erat kaitannya dengan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran harus lebih bersifat eksploratif dan tidak sekedar eksplanatif. Mahasiswa perlu dirangsang untuk belajar mandiri dengan ramburambu yang disusun oleh dosen dan disepakati bersama dalam kontrak belajar-pembelajaran. Penutup Sistem pendidikan kita yang berlaku sekarang pada dasarnya adalah bertujuan untuk membudayakan peserta didik atau warga belajar. Kebijakan ditentukan sangat sentralistis, sehingga tidak memberi peluang bagi wilayah apalagi sekolah dan guru untuk mengembangkan prakarsa yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan kondisi lingkungan. Pada hakikatnya anak didik diindoktrinasi untuk menelan begitu saja pelajaran yang diberikan. Guru pun “diprogram” untuk melaksanakan kegiatan pembelajarannya secara baku sesuai dengan pedoman tertentu. Kenyataan ini pada dasarnya mengingkari hak seseorang atau kurang memanusiakan para peserta didik. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma pendidikan secara meneyeluruh dengan pendekatan yang
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
830
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
sistemik, dari paradigma birokratis meningkatkan kualitas pendidikan. Wa otoritarian menuju paradigma Allāh a’lam bi al- sawāb demokratis partispatif., sehingga pada akhirnya dapat melahirkan demokratisasi pendidikan dengan memberikan hak otonom kepada stakeholers untuk mengaktualkan potensinya dalam
Bentuk Perubahan dan Paradigma Pendidikan No
Aspek
1 2
Perencanaan Pelaksanaan
3
Standar
4
Target
5
Pemahaman tujuan –target Sistem Insentif Umpan Balik Orang Tua
6 7
8
Orientasi
9
Persepsi terhadap input
10
Evaluasi
11
Kontrol sekolah
12
Pengambilan keputusan
13
Peran Orang tua siswa dan masyarakat.
Paradigma Pendidikan Birokratis Otoritarian Demokratis Partispatif Top-down Bottom-up Berdasarkan instruksi, berdasarkan profesionalitas petunjuk Output dan proses: nasional, Output: nasional, makro Proses : Lokal, mikro Nasional – makro Level sekolah – wilayah terbatas Berdasar pedoman pusat Didasarkan atas kondisi sekolah Seragam dan kepatuhan Sistem prestasi Tidak diperlukan, kecuali Diperlukan secara teratur bagi peserta didik yang bermasalah Pengembangan intelektual Pengembangan aspek (NEM) intelektual, personal dan sosial Masukan peserta didik Masukan peserta didik bukan diperlukan sebagai raw input merupakan raw input, yang menentukan hasil melainkan klien yang akhir. memerlukan pelayanan jasa sekolah Dilaksanakan pada titik Dilaksanakan sepanjang waktu waktu tertentu dan bersifat dengan menekankan seragam kebutuhan sekolah Oleh atasan Oleh orang tua peserta didik dan masyarakat Ada di tangan kepala Rapat guru, Orang tua siswa sekolah dengan perkenan dan kepala sekolah atasan Terbatas menyediakan dana Terlibat dalam seluruh proses pendidikan, kecuali menentukan nilai
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
831
Otoritarianisme Pendidikan di Indonesia Siswanto
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
832