HUBUNGAN FAKTOR RISIKO PEKERJAAN DENGAN TERJADINYA KELUHAN MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA TUKANG ANGKUT BEBAN PENAMBANG EMAS DI KECAMATAN CILOGRANG KABUPATEN LEBAK TAHUN 2010
SKRIPSI
Oleh : ENDANG BUKHORI 105101003274
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1431 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Mei 2010
Endang Bukhori
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Mei 2010 ENDANG BUKHORI, NIM 105101003274 HUBUNGAN FAKTOR RISIKO PEKERJAAN DENGAN KELUHAN MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA TUKANG ANGKUT BEBAN PENAMBANG EMAS DI KECAMATAN CILOGRANG KABUPATEN LEBAK – BANTEN TAHUN 2010 xii + 81 halaman, 17 tabel, 6 gambar, 2 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK Pada pekerjaan yang aktifitasnya bersifat manual, pekerja dituntut memiliki kemampuan fisik (khususnya otot dan tulang) agar bisa menghasilkan peran sesuai dengan yang diinginkan. Akan tetapi perlu diingat, bahwa manusia memiliki keterbatasan fisik sehingga memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan berkaitan dengan otot dan tulang. Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah sekumpulan gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem syaraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak yang dilakukan selama bulan Februari sampai April 2010 dengan menggunakan desain studi Crossectional. Hasil penelitian menunjukan bahwa keluhan MSDs menyerang 38 pekerja (79,2%). Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel risiko pekerjaan (Pvalue 0.029) dan variabel karakteristik umur (Pvalue 0.031) dengan alpha 5% diyakini memiliki hubungan dengan terjadinya keluhan MSDs. Dengan demikian, sebaiknya pengusaha agar secepatnya menyusun teknik-teknik pencegahan melalui pemberlakukan sistem perorganisasian kerja, termasuk diantaranya mengatur waktu kerja dan waktu istirahat serta memberikan pelatihan khusus terkait prosedur pengangkutan yang baik dan benar kepada setiap pekerja agar risiko yang ditimbulkan bisa terus diminimalisir.
Daftar Bacaan : 30 (1985 – 2009)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Undergraduated Thesis, May 2010 ENDANG BUKHORI, NIM 105101003274 RELATION OF WORK RISK FACTORS WITH MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) COMPLAINT ON TRANSPORT WORKERS GOLD MINERS IN SUBDISTRICT CILOGRANG - BANTEN ON 2010 xii + 81 pages, 17 tables, 6 drawings, 2 charts, 4 attachments ABSTRACT At work in manual activities, workers are required to have the physical ability (especially muscle and bone) to be produced in accordance with the desired role. But keep in mind, that humans have physical limitations that have a tendency to experience problems associated with muscle and bone. Musculoskeletal Disorders (MSDs) are a set of symptoms / disorders associated with muscle tissue, tendons, ligaments, cartilage, nervous system, bone structure, and blood vessels. This study aims to determine the relationship between occupational risk factors with the occurrence of MSDs complaints on movers load of gold miners in District Cilograng - Banten conducted during February until April 2010 using a design Cross sectional study. The result showed that the MSDS complaint attacked 38 workers (79.2%). The results of statistical tests showed that the occupational risk variables (pvalue 0029) and variable characteristics of age (pvalue 0031) with an alpha of 5% is believed to have a relationship with the occurrence of MSDs complaints. Thus, employers should immediately arrange for the techniques of prevention through the implementation of the work perorganisasian system, including the set working time and rest periods and to provide specialized training related to procedures for the transportation of good and true to every worker for the risks that could continue to be minimized.
List of Reference: 30 (1985 - 2009)
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi Dengan Judul
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO PEKERJAAN DENGAN TERJADINYA KELUHAN MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA TUKANG ANGKUT BEBAN PENAMBANG EMAS DI KECAMATAN CILOGRANG KABUPATEN LEBAK – BANTEN TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 10 Juni 2010
Mengetahui,
Raihana N. Alkaff, MMA Pembimbing Skripsi II
Yuli Amran, SKM, MKM Pembimbing Skripsi I
iv
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 10 Juni 2010
Penguji I
Yuli Amran, SKM, MKM
Penguji II
Raihana N. Alkaff, MMA
Penguji III
Hendra, MKKK
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Endang Bukhori
TTL
: Sukabumi, 31 Januari 1988
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
No Telepon
: 085697831631 / 087720829088 / (021) 95772652
Alamat
: Jalan Raya Bayah - Pelabuhan Ratu KM 25, Cikamunding Rt/Rw 01/02 Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak – Banten 42398
E-mail / Fb / Fs
:
[email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
1993 – 1999
: SDN 01 Cikamunding - Banten
1999 – 2002
: Mts Syamsul Ulum – Sukabumi - Jabar
2002 – 2005
: MA Syamsul Ulum – Sukabumi - Jabar
2005 – 2010
: Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
(Ingatlah) Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, ” Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
(Q.S YUSUF : 4)
-----------
Mulai hari ini, akan kutunjukan senyum terindahku pada dunia Agar semua yakin, bahwa aku memang sanggup hadapi rintangan hidup
vii
KATA PENGANTAR
TIADA sanjungan yang patut dipersembahkan selain kepada Rabbul Izzati, zat yang maha pencipta dari segala bentuk penciptaan. Zat yang maha agung dari segala bentuk keagungan. Dialah pemilik taqdir kehidupan manusia, mahkamah Qadha dan Qadhar yang tidak pernah tidur dan selalu dekat dengan hamba-Nya. Syukur senantiasa terucapkan atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan Faktor risiko Pekerjaan dengan Terjadinya Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak Tahun 2010”. Teriring shalawat dan salam keharibaan manusia yang termulia dari yang paling mulia, manusia yang tak pernah terjamah kenistaan, manusia kekasih sang Khalik, Muhammad SAW. Alhamdulillah, akhirnya penulis bisa merampungkan skripsi ini sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyusunan skripsi ini semata-mata bukanlah hasil usaha penulis saja, melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi, dan semangat. Untuk itu penulis merasa sangat pantas berterima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Keluarga tercinta, khususnya mamah dan bapak yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil terutama do’a yang sangat luar biasa. Kakak serta adikadik tersayang trimakasih telah menjadi motivasi terbaik yang bisa membuat penulis semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas dan Bapak dr. Yuli P. Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku dosen penanggung jawab peminatan K3 dan dosen yang paling sabar juga pengertian namun selalu super sibuk yang senantiasa
viii
meluangkan
waktunya
untuk
membimbing
penulis
meskipun
bukan
anak
bimbingannya. Terimakasih juga ibu atas pinjaman buku-bukunya. 4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku pembimbing ke-I yang telah memberikan perhatian, pengertian, penjelasan serta waktu untuk penulis. Terimakasih juga telah mengerahkan seluruh ilmunya kepada penulis, mudah-mudahan dan insyaallah akan sangat bermanfaat. 5. Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA selaku pembimbing ke-2 terimakasih telah menjadi pembimbing yang baik dan sangat sangat sangat pengertian dan perhatian. 6. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, trimakasih atas amalan ilmunya sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 7. Teman-teman prodi kesmas K3 dan Gizi khususnya angkatan 2005. Special for gEnK “d_ReeM” yang pada belum selesai, cepet nyusul dan tetep semangat… 8. Rekan-rekan pekerja tukang di Cikamunding serta teman-teman PONIT yang sejak awal masuk kuliyah selalu memberikan dukungan. 9. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, trimakasih trimakasih dan trimakasih yang sebanyak-banyaknya. Selanjutnya tiada yang lebih diharapkan oleh penulis selain kemanfaatan dan kemaslahatan terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), khususnya mengenai risiko ergonomi di tempat kerja. Terakhir, dengan sedikit menghela nafas, penulis dengan lantang mengucapkan Terimakasih ya allah. Alhamdulillahirobbil’alamin
Jakarta, Mei 2010 Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………… ABSTRAK………………...………………………………………………………. ABSTRACT………………………..……………………………………………... PERNYATAAN PERSETUJUAN……………………………………………… PANITIA SIDANG………………………………………………………………. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……..…………………………………………… LEMBAR PERSEMBAHAN…………..………………………………………… KATA PENGANTAR …………………………………………………………… DAFTAR ISI……………………………………………………………………… DAFTAR TABEL………………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… DAFTAR BAGAN………………………………………………………………...
BAB I
i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv xv
PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………….. 7 C. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………. 7 D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum…………………………………………...……….. 8 2. Tujuan Khusus…………………………………………………… 8 E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pengusaha/Pekerja………………………………….……....
9
2. Bagi Peneliti……………………………………………………… 9 3. Bagi Akademik…………………………………………….….....
9
F. Ruang Lingkup……………………………………………………….
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Musculoskeletal Disorders (MSDs)………………………………..
10
1. Pengertian MSDs………………………………………………. 10 2. Tahapan MSDs…………………………………………………
x
11
3. Dampak MSDs…………………………………………………
12
4. Pencegahan Keluhan MSDs……………………………………
13
B. Faktor Risiko MSDs……………………………………………….. 15 1. Faktor Pekerjaan……………………………………………….. 15 2. Faktor Individu…………………………………………………
24
3. Faktor Lingkungan……………………………………………… 28 C. Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi………………………………… 30 1. Rapid Uper Limb Assesment (RULA)………………………….. 30 2. Job Strain Index (JSI)…………………………………………… 31 3. Ergonomic Assesment Survey Metode (EASY)……………….... 32 4. Baselinde Risk Identification of Ergonomi Factor (BRIEF)……………..………………………
33
5. Rapid Entire Body Assesment (REBA)……………………….... 34 D. Kerangka Teori………………………..…………………………… 46
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep…………………………………..………………
48
B. Definisi Operasional………………………………..……………...
50
C. Hipotesis…………………………………………………………… 52
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian………………………………………………
53
B. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………
53
C. Populasi dan Sampel Penelitian……………………………………
53
D. Pengumpulan Data…………………………………………………
54
E. Instrumen Penelitian……………………………………………….
54
F. Pengolahan Data…………………………………………………..
55
G. Analisis Data……………………………………………………….
56
xi
BAB V HASIL A. Analisis Univariat………………………………………………….. 57 1. Gambaran Keluhan MSDs……………………………………..
57
2. Gambaran Faktor Risiko Pekerjaan……………………………. 60 3. Gambaran Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok dan Masa kerja) …………………………………………..……
61
B. Analisis Bivariat……………………………………………………
63
1. Hubungan Faktor Risiko Pekerjaan Dengan Keluhan MSDs………………………………………..
63
2. Hubungan Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok dan Masa Kerja) dengan Keluhan MSDs……………
64
BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasana Penelitian…………………………………………..
67
B. Keluhan MSDs……………………………………………………
68
C. Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs…………….
71
D. Hubungan Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok dan Masa Kerja) dengan Keluhan MSDs…………………………
74
BABVII SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan………………………………………………………….
81
B. Saran……………………………………………………………....
82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL No. Tabel
Hal
2.1
Penilaian Skor Tabel A
39
2.2
Penilaian Skor Beban
40
2.3
Penilaian Skor Tabel B
42
2.4
Penilaian Skor Coupling
42
2.5
Penilaian Skor Tabel C
43
2.6
Penilaian Skor Aktivitas
44
2.7
Level Aksi Skor REBA
44
3.1
Definisi Operasional
50
5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan MSDs
5.2
Tahun 2010
57
Distribusi Frekuensi Keluhan Berdasarkan Bagian Tubuh, Tingkat
58
Keparahan Dan Tingkat Keseringan Tahun 2010 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Risiko Pekerjaan Tahun 2010
5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Umur Tahun 2010
5.5
5.6
60
61
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok Tahun 2010
61
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
62
Masa Kerja Tahun 2010 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Risiko Pekerjaan dengan Keluhan MSDs Tahun 2010
5.8
63
Distribusi Responden Berdasarkan karakteristik umur dengan Keluhan MSDs Tahun 2010
5.9
64
Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok dengan Keluhan MSDs Tahun 2010
65
xiii
5.10
Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja dengan Keluhan MSDs Tahun 2010
66 DAFTAR GAMBAR
No.Gambar
Hal
2.1
Penilaian Grup A Posisi Leher
38
2.2
Penilaian Grup A Posisi Punggung
38
2.3
Penilaian Grup A posisi Kaki
39
2.4
Penilaian Grup B Posisi Lengan Atas
40
2.5
Penilaian Grup B Posisi Lengan Bawah
41
2.6
Penilaian Grup B Posisi Pergelangan tangan
41
xiv
DAFTAR BAGAN
No.Bagan
Hal
2.1
Kerangka Teori
46
3.1
Kerangka Konsep Penelitian
49
xv
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seiring dengan makin pesatnya kemajuan teknologi yang terus meningkat, peran tenaga manusia sampai saat ini masih menjadi hal utama dan paling penting dalam menghasilkan produksi, tidak sedikit proses produksi perusahaan yang masih menggunakan alat-alat manual yang melibatkan manusia dalam pekerjaannya. Sehingga pada pekerjaan yang aktifitasnya bersifat manual handling atau pekerjaan yang membutuhkan penanganan secara manual, manusia dituntut untuk mempunyai kemampuan lebih agar bisa menghasilkan peran sesuai dengan yang diinginkan, khususnya pada otot dan tulang karena otot dan tulang merupakan dua alat yang sangat penting dalam bekerja. Namun demikian, menurut Sahab (1997) manusia mempunyai kemampuan dan keterbatasan baik dari segi fisik, fisiologik maupun psikologik. Oleh karena itu pada pekerjaan manual, sering ditemukan kasus-kasus yang
berkaitan
dengan
keluhan/gangguan
pada
sistem
otot
dan
tulang
(Muskuloskeletal). Menurut Grandjean yang dikutip oleh Tarwaka et al. (2004) keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal.
2
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan gejala yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan rasa sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (Humantech, 1995) yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh atau ekstrimitas
sehingga
dapat
mengakibatkan
efisiensi
kerja
berkurang
dan
produktivitas kerja menurun. Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar menyebabkan dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan rasa sangat nyeri dan bisa irreversible serta fatal. Rasa sakit yang mengganggu sistem muskuloskeletal pada saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya lempeng dan bahan atau bagian dalam yang menonjol keluar serta mungkin menekan saraf-saraf di sekitarnya, hal tersebut yang menyebabkan cidera atau bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara psikologis dapat menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan dan kelelahan akibat terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahanperubahan pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material produk yang hasil akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline produksi dan pelayanan yang tidak memuaskan. Selain itu, biaya yang timbul akibat absensi pekerja akan menyebabkan penurunan
3
keuntungan, biaya pelatihan karyawan baru untuk menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan atau agensi dan biaya lainnya (Pheasant, 1991). Pekerjaan-pekerjaan dan sikap kerja statis yang berpotensi mempercepat timbulnya kelelahan dan nyeri pada otot-otot yang terlibat, jika berlangsung tiap hari dan dalam waktu yang lama bisa menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada otot, sendi, tendon, ligamen dan jaringan-jaringan lain. Pada pekerjaan mengangkat dan mengangkut, efisiensi kerja dan pencegahan kerusakan tulang belakang harus mendapat perhatian yang cukup (Suma’mur, 1989) karena aktifitasnya melibatkan otot skeletal yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Namun demikian timbulnya keluhan yang dialami pekerja biasanya dianggap bukan sebagai masalah karena penyakit yang ditimbulkan biasanya bersifat kronik (muncul dalam jangka waktu panjang), padahal kerugian yang ditimbulkan selain rasa sakit bisa berwujud hilangnya jam kerja, terhambatnya produksi dan lainnya (Budiono, 2003). Dengan demikian masalah MSDs pada pekerja khususnya pada pekerja fisik sudah sewajarnya mendapat perhatian khusus karena MSDs merupakan penyebab terbesar hilangnya jam kerja akibat cidera/sakit di hampir setiap jenis industri (National Safety Council, 1995 dalam Jannah, 2008). Selain itu, kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja masih terus bermunculan. Tarwaka, et al. (2004) menjelaskan, studi tentang MSDs pada berbagai industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah. Menurut WHO (2007) dalam
4
Ariani (2008) Penyakit MSDs adalah penyakit akibat kerja terbesar di Eropa dan diderita oleh jutaan pekerja. Departemen tenaga kerja U.S mencatat kasus MSDs menyumbang 34% dari semua kasus sakit akibat kerja. Besarnya biaya kompensasi yang dikeluarkan oleh perusahaan secara pasti belum diketahui. Namun demikian, hasil estimasi yang dipublikasikan oleh NIOSH menunjukan bahwa biaya kompensasi untuk keluhan otot skeletal sudah mencapai 13 milyar US dolar setiap tahun. Biaya tersebut merupakan yang terbesar bila dibandingkan dengan biaya kompensasi untuk keluhan/sakit akibat kerja lainnya (NIOSH, 1996 dalam Tarwaka, et al. 2004). Sementara menurut Chenoweth (1998), penelitian tentang kasus MSDs yang telah dilakukan pada pekerja di U.S dari tahun 1983 smpai dengan tahun 2001 menunjukan peningkatan dan diprediksi akan terus meningkat sesuai dengan berjalannya waktu sehingga melebihi setengah dari semua penyakit di tempat kerja. Sedangkan di Australia, satu dari tiga injuri pada pekerja disebabkan oleh pemindahan material secara manual yang mengakibatkan kehilangan kerja dan diperkirakan biaya yang dikeluarkan mencapai 60 juta dolar Australia. Sedangkan berdasarkan data yang disajikan dalam Sciene Daily (2003) work-related musculoskeletal disorders merupakan sumbangan terbesar (65%) bagi PAK dan menyedot biaya industri sampai 10 milyar dolar per tahun. Di Indonesia, dari hasil studi Departemen Kesehatan dalam profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukan bahwa sekitar 40.5% penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaannya. Gangguan yang dialami pekerja menurut penelitian yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12 kabupaten/kota di
5
Indonesia
umumnya
berupa
penyakit
Musculoskeletal
Disorders
(16%),
kardiovaskuler (8%), gangguan saraf (5%), gangguan pernafasan (3%), dan gangguan THT (1.5%) (Sumiati, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2009) pada tukang angkut barang (porter) di stasiun kereta Jatinegara diperoleh hasil bahwa seluruh responden (106 orang) merasakan keluhan pada beberapa bagian tubuh, dan yang paling banyak dikeluhkan adalah bagian kaki (31%) dan pinggang (23%), sedangkan sisanya mengeluhkan pada bagian anggota tubuh lainnya. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada 10 orang tukang angkut beban dengan menggunakan Formulir Nordic Body Map (NBM), diperoleh hasil bahwa sembilan orang mengalami keluhan pada beberapa bagian anggota tubuh seperti pada bagian leher, punggung, kaki, serta beberapa bagian anggota tubuh lainnya. Musculosceletal Disorders (MSDs) terjadi sebagai akibat dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan kapasitas fisik pekerja sehingga pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada tubuh pekerja khususnya kerusakan pada sistem otot dan tulang (OSHA, 2000). Demikian halnya pada pekerjaan mengangkat dan mengangkut yang aktivitasnya melibatkan kemampuan fisik, berpotensi menimbulkan kerusakan pada sistem otot skeletal (Suma’mur, 1989) sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan khusus dan perhatian yang cukup serius. Bernard (1997) Mengemukakan bahwa postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan pada leher, punggung dan bahu. Hal
6
ini diperkuat oleh pernyataan Chenowath (1998) bahwa MSDs terjadi sebagai akibat dari suatu pekerjaan dengan postur janggal yang dilakukan secara berulang. Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa faktor pekerjaan seperti sikap kerja tidak alamiah, aktivitas berulang dan peregangan otot yang berlebihan merupakan penyebab utama terjadinya MSDs. Sementara itu, faktor lain seperti tekanan, getaran dan mikroklimat dikategorikan sebagai penyebab sekunder dan jika terjadi dalam waktu yang bersamaan atau membentuk kombinasi, akan meningkatkan risiko terjadinya MSDs. Selain beberapa faktor di atas, karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik dan antropometri diyakini pula oleh para ahli dapat mempengaruhi risiko terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, et al, 2004). Beberapa penelitian menemukan bahwa MSDs terjadi akibat dari kombinasi berbagai faktor. Sehingga Kuntodi (2008) menyimpulkan bahwa faktor risiko yang biasanya muncul memberikan kontribusi terhadap terjadinya gangguan MSDs dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor pekerjaan adalah faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri termasuk postur kerja, gerakan repetitif, penggunaan tenaga, dan karakteristik objek. Faktor individu berupa umur, jenis kelamin, lama bekerja, dan antropometri (ukuran tubuh). Sedangkan faktor lingkungan kerja terdiri dari vibrasi dan mikroklimat.
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan uraian latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah yang berkaitan dengan otot skeletal pada pekerja fisik perlu mendapat perhatian khusus karena dapat menjadi masalah yang cukup serius. Demikian halnya pada kegiatan pengangkutan, dimana aktivitasnya bersifat manual dan sepenuhnya memerlukan kemampuan fisik, yang tentunya berpotensi menimbulkan gangguan otot skeletal. Kondisi tersebut akan semakin diperparah dengan adanya kombinasi dari faktor risiko lain yang timbul baik dari pekerja itu sendiri maupun dari lingkungannya. Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
C. Pertanyaan Penelitian a) Bagaimana gambaran keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010? b) Bagaimana gambaran risiko pekerjaan (Berdasarkan metode REBA) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010? c) Bagaimana gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok, dan masa kerja) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010? d) Bagaimana hubungan antara risiko pekerjaan dengan keluhan MSDs pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010?
8
e) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu dengan keluhan MSDs pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010?
D. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010. 2. Tujuan Khusus a) Diketahuinya gambaran keluhan MSDs pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010 b) Diketahuinya gambaran risiko pekerjaan (Berdasarkan metode REBA) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010 c) Diketahuinya gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok, dan masa kerja) pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010 d) Diketahuinya hubungan risiko pekerjaan dengan keluhan MSDs pada tukang angkut penambang di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010 e) Diketahuinya hubungan antara karakteristik individu dengan keluhan MSDs pada tukang angkut penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010
9
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi/Pekerja Memberi gambaran tentang risiko pekerjaan manual dan kaitannya dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) serta membantu memberi masukan dan motivasi untuk pekerja dalam melakukan pekerjaan ke arah yang lebih baik. 2. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan serta wawasan penelitian tentang faktor risiko ergonomi di tempat kerja serta diharapkan dapat dijadikan sebagia acuan untuk dilakukan penelitian selanjutnya. 3. Bagi Akademis Sebagai referensi tambahan untuk pembelajaran khususnya yang berkaitan dengan risiko MSDs pada pekerjaan yang bersifat manual.
F. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor risiko pekerjaan dengan terjadinya keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak karena dicurigai memiliki kombinasi risiko MSDs yang cukup tinggi. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Februari – April 2010, oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta dengan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari tempat penelitian dengan desain studi cross sectional.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Musculoskeletal Disorders (MSDs) 1. Pengertian Musculoskeletal
Disorders
(MSDs)
merupakan
sekumpulan
gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (OSHA, 2000). Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah kelainan yang disebabkan penumpukan cidera atau kerusakan-kerusakan kecil pada sistem muskuloskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak bisa sembuh secara sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk menimbulkan rasa sakit (Humantech, 1995). MSDs bukanlah merupakan diagnosis klinis tapi merupakan label untuk persepsi rasa sakit atau nyeri pada sistem muskuloskeletal. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
11
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera
pada sistem muskuloskeletal
(Grandjean, 1993; Lemastars, 1996 dalam Tarwaka, et al. 2004). Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua (Tarwaka, et al. 2004) yaitu: 1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan, dan 2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
2. Tahapan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Gejala yang menunjukkan tingkat keparahan MSDs (Oborne,1995) dapat dilihat dari tingkatan sebagai berikut: 1. Tahap pertama Timbulnya rasa nyeri dan kelelahan saat bekerja tetapi setelah beristirahat akan pulih kembali dan tidak mengganggu kapasitas kerja. 2. Tahap kedua Rasa nyeri tetap ada setelah semalaman dan mengganggu waktu istirahat 3. Tahap ketiga Rasa nyeri tetap ada walaupun telah istirahat yang cukup, nyeri ketika melakukan pekerjaan yang berulang, tidur menjadi terganggu, kesulitan menjalankan pekerjaan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya inkapasitas.
12
3. Dampak Musculoskeletal Disorders (MSDs) Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar menyebabkan dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan rasa sangat nyeri dan bisa irreversible serta fatal. Rasa sakit yang mengganggu sistem muskuloskeletal pada saat bekerja dapat menyebabkan pecahnya lempeng dan bahan atau bagian dalam yang menonjol keluar serta mungkin menekan sarafsaraf di sekitarnya, hal tersebut yang menyebabkan cidera atau bahkan menyebabkan kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara psikologis dapat menyebabkan
menurunnya
tingkat
kewaspadaan
dan
kelelahan
akibat
terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-perubahan pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja Sedangkan pada aspek ekonomi perusahaan, dampak yang diakibatkan oleh MSDs yaitu (Pheasant, 1991) : 1. Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material, produk yang hasil akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline produksi, pelayanan yang tidak memuaskan, dll. 2. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan penurunan keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan atau agensi. 3. Biaya pergantian karyawan (turn over) untuk recruitment dan pelatihan. 4. Biaya lainnya (opportunity cost).
13
4. Pencegahan Keluhan Musculosceletal Disorders (MSDs) Berdasarkan
rekomendasi
dari
Occupational
Safety
and
Health
Administration (OSHA) dalam Tarwaka, et al (2004), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara yaitu rekayasa teknik (desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen (kriteria dan organisasi kerja). 1. Rekayasa Teknik Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternatif sebagai berikut: a. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada. b. Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan. c. Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja. d. Ventilasi, yaitu menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit. 2. Rekayasa Manajemen Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan berikut: a. Pendidikan dan pelatihan agar pekerja lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif
14
dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja. b. Pengaturah waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat mencegah
paparan yang berlebihan terhadap sumber
bahaya. c. Pengawasan yang intensif, agar dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja. Selain pencegahan-pencegahan di atas, tempat kerja yang ergonomi perlu juga diperhatikan. Ergonomi adalah ilmu yang penerapannya berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan tujuan tercapainya produktivitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimal-optimalnya. Ergonomi yang bersasaran akhir efisiensi dan keserasian kerja memiliki arti penting bagi tenaga kerja, baik secara subyek maupun obyek. Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga kerja, baik pada sektor modern maupun pada sektor tradisional dan informal. Pada sektor tradisional, pekerjaan pada umumnya dilakukan dengan tangan dan memakai peralatan serta dalam sikap-sikap badan dan cara-cara kerja yang secara ergonomis dapat diperbaiki (Suma’mur, 1989).
15
B. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Secara pasti hubungan sebab dan akibat faktor penyebab timbulnya MSDs sulit untuk dijelaskan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya dan dalam banyak kesempatan MSDs terjadi akibat dari kombinasi dari berbagai faktor tersebut. Adapun faktor risiko yang biasanya muncul memberikan kontribusi terhadap timbulnya MSDs (Kuntodi, 2008) dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor pekerjaan meliputi; postur kerja (postur janggal dan postur statis), penggunaan tenaga, pergerakan repetitif dan karakteristik objek. Fakor karakteristik individu terdiri dari; umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik dan Indeks Masa Tubuh (IMT). Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari; vibrasi/getaran dan mikroklimat (Bridger, 1995; Bernard & Cohen et al, 1997; OSHA & Peter Vi, 2000; Kumar 2001). 1. Faktor Pekerjaan a. Postur Janggal Postur janggal adalah deviasi dari gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas kerja secara berulangulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gangguan, penyakit, atau cedera pada sistem otot rangka. Gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem musculoskeletal hampir tidak pernah terjadi secara langsung, akan tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan kecil maupun besar secara
16
terus-menerus dan dalam jangka waktu yang relatif lama (Cohen, et al, 1997). Dalam ukuran jarak atau dimensi pada dasarnya setiap orang memiliki keinginan untuk melakukan kegiatannya dalam postur yang optimal. Postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu (Bernard, 1997). Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dsb. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjen, 1993; Anis & McCnville,1996; Waters & Aderson, 1996; & Manuaba, 2000 dalam Tarwaka, et al, 2004). Postur janggal pada leher (Cohen, et al, 1997): 1) Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang di bentuk oleh garis vertikal dengan sumbu ruas tulang leher > 20o. 2) Tengadah, setiap postur dari leher yang mendongak ke atas atau ekstensi.
17
3) Miring, setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang dibentuk oleh garis vetikal dengan sumbu dari ruas tulang leher. 4) Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke kanan dan atau ke kiri, tanpa melihat berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan. Postur janggal pada punggung : 1) Membungkuk,
postur
punggung
membungkukkan
badan
hingga
membentuk sudut 20o terhadap vertikal dan berputar. 2) Rotasi badan, berputar (twisting) adalah adanya rotasi dan torsi pada tulang punggung (gerakan, postur, posisi badan yang berputar baik ke arah kanan, kiri) dimana garis vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan. 3) Miring, memiringkan badan (bending) dapat didefinisikan sebagai fleksi dari tulang punggung, deviasi bidang median badan dari garis vertikal, tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk, biasanya dalam arah ke depan atau ke samping. Untuk postur janggal pada kaki adalah bertumpu di atas satu kaki atau tidak seimbang. Sedangkan postur janggal pada bahu : 1) Aduksi adalah posisi bahu menjahui garis tengah atau vertikal tubuh. 2) Abduksi adalah posisi bahu mendekati garis tengah atau vertikal tubuh. 3) Fleksi adalah posisi bahu diangkat menuju kearah vertikal tubuh, depan dada.
18
4) Ekstensi adalah posisi bahu menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan berada di belakang badan. Postur janggal pada lengan: 1) Fleksi adalah posisi lengan bawah diangkat menuju kearah vertikal tubuh, depan dada. Fleksi penuh pada siku terkuat pada sudut 90o. 2) Ekstensi adalah posisi lengan bawah menjauhi arah vertikal tubuh, atau lengan berada dibelakang badan. Ekstensi penuh pada siku adalah besarnya sudut yang dibentuk oleh sumbu lengan atas dan sumbu lengan bawah >135o. Postur janggal pada pergelangan tangan : 1) Deviasi radial adalah postur tangan yang miring ke arah ibu jari. 2) Deviasi ulnar adalah postur tangan yang mering ke arah kelingking. 3) Ekstensi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk ke arah punggung tangan di ukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar > 45o. 4) Fleksi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang menekuk kearah telapak, diukur dari sudut yang dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar >45o. Perputaran (rotasi) pergelangan tangan yang berisiko adalah melakukan perputaran keluar (supinasi) daripada perputaran ke dalam (pronasi).
19
b. Postur Statis Postur statis yaitu pada saat persendian tidak bergerak. Hal tersebut tidak hanya membatasi pemasukan nutrisi dan oksigen, tetapi juga membatasi pembuangan metabolisme. Oleh sebab itu, postur statis sangat dianjurkan untuk dihindari (Nurmianto, 1998) Postur statis merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama dimana pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan peningkatan beban pada otot dan tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen, serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot terhalang. Gerakan yang dipertahankan > 10 detik dinyatakan sebagai postur statis (Cohen at al, 1997). Posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelelahan jika dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Berdiri misalnya, adalah postur tubuh alami, dan dengan sendirinya tidak menimbulkan bahaya kesehatan tertentu. Namun, bekerja untuk waktu lama dalam posisi berdiri dapat menyebabkan sakit kaki, kelelahan otot umum, dan sakit punggung (OSHA, 2002). c. Penggunaan Tenaga Pekerjaan membutuhkan penggunaan tenaga untuk menempatkan beban yang tinggi untuk otot, tendon, ligamen, dan sendi. Pekerjaan yang menggunakan tenaga besar dapat membebani otot, tendon, ligamen, dan sendi. Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi
20
karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan cideranya otot skeletal (tarwaka et al, 2004). Dalam banyak peristiwa, tenaga akan menjadi paling besar jika sebanyakbanyaknya otot berkontraksi. Sikap tubuh yang bertalian dengan pengerahan tenaga yang paling besar dengan pengerahan tenaga yang paling besar bagi gerakan-gerakan tertentu adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1989): 1) Rotasi (perputaran) tangan ke arah dalam paling kuat jika dimulai dengan telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke luar secara penuh (supsinasi penuh) 2) Rotasi tangan ke arah luar paling kuat jika dimulai dengan telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke dalam secara penuh (rotasi penuh) 3) Ekstensi siku (perentangan lengan terhadap siku) paling kuat jika dimulai pada posisi fleksi penuh 4) Fleksi siku (dengan tangan terbuka) terkuat pada sudut 90° (efek pengungkit) 5) Pada pekerjaan mendorong dengan tangan sambil duduk, kekuatan terbesar didapat pada keadaan siku bersudut 150-160° dan dengan pegangan tangan pada jarak kira-kira 66 cm dari daratan sandaran pinggang 6) Sambil duduk, kekuatan mendorong lebih besar dari pada menarik, apabila sandaran pinggang dan injakan kaki disediakan dengan memadai. Kekuatan menarik terbesar didapat dengan lengan pada keadaan ekstensi dan pegangan tangan diantara 18-23 cm di atas dataran duduk
21
7) Secara ungkitan, tenaga terbesar dalam posisi duduk diperoleh jika pegangan tangan berada pada ketinggian diantara bahu dan siku, sedangkan pada posisi berdiri pegangan harus setinggi bahu. 8) Pada posisi berdiri, kekuatan lebih besar pada menarik ke belakang daripada mendorong ke depan. Gerakan-gerakan ke depan lebih kuat pada kegiatan mendorong daripada kegiatan menarik. 9) Sambil duduk, kekuatan terhadap pedal terbesar didapat pada fleksi lutut 160° dan fleksi sendi kaki 120°. Sikap istirahat terbesar diperoleh dengan fleksi lutut 105-135°. Penggunaan tenaga akan semakin besar, jika gerakan tubuh yang membutuhkan pengerahan tenaga ditambah dengan berat beban objek yang harus diangkat. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 Kg. Mengangkat beban yang terlalu berat akan mengakibatkan tekanan diskus pada tulang belakang. Selain itu, berat beban juga dapat menyebabkan kelelahan karena dipicu peningkatan tekanan pada diskus intervertebralis (Bridger, 1995). Risiko yang berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan frekuensi beban yang akan ditangani. Tangan, siku, bahu dan kaki hanya diperbolehkan mengangkat beban kurang dari 4,5 kg. Sedangkan beban yang dijepit pada tangan tidak boleh melebihi 0,9 kg dengan durasi tidak lebih dari 10 detik. Durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% per hari (Humantech, 1995).
22
d. Pergerakan repetitif Pergerakan repetitif pada aktifitas pekerjaan yang sama dapat memperburuk akibat dari postur kerja janggal dan gangguan tenaga. Tendon dan otot dapat memperbaiki efek peregangan atau penggunaan tenaga jika waktu yang dibagikan cukup dalam penggunaannya. Bagaimanapun jika pergerakan meliputi otot yang sama sering diulang, tanpa istirahat, kelelahan, dan ketegangan, dapat terakumulasi menghasilkan kerusakan jaringan. Pekerjaan repetitif dapat menyebabkan nyeri akibat akumulasi sampah metabolisme dalam otot. Otot akan melemah dan spasme, yang biasanya terjadi pada tangan/lengan bawah ketika melakukan pekerjaan repetitif. Dengan demikian pekerjaan yang mengharuskan melakukan kegiatan berulang, gerakan yang kasar dan kuat termasuk pekerjaan yang berisiko tinggi (Kroemer,1989 dalam Bridger, 1995). Aktivitas berulang (tarwaka at al, 2004) adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkatangkut dsb. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi Menurut Sue Hignett dan Mc. Atamney (2000) penggunaan otot berisiko apabila diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari 1 menit atau gerakan yang dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x atau lebih dalam satu menit. Oleh karena itu, perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam batas-batas toleransi untuk mencegah terjadinya kelelahan, penurunan kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran (Tarwaka et al, 2004).
23
e. Karakteristik Objek Karakteristik objek yang menjadi faktor risiko cidera otot skeletal antara lain: 1) Besar dan bentuk objek Ukuran dan bentuk objek ikut mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Ukuran objek harus cukup kecil agar dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek yang besar dapat membebani otot bahu lebih dari 300400 mm, pajang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari 450 mm. Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin atau panas saat diangkat. Mengangkat objek tidak boleh hanya dengan mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari terbatas sehingga dapat cidera pada jari (Kumar, 2001). 2) Genggaman tangan Kegiatan menggenggam dapat dibagi menjadi dua kategori utama (kumar, 2001) yaitu: a. Power grip : dimana jari dapat menggenggam benda dengan fleksibel dan mengapit dalam telapak tangan. b. Pinch grip : dimana objek ditahan dengan ujung ibu jari dan satu atau lebih jari lain, seperti saat menggunakan ujung jari, mencubit, menggenggam kunci, pena dan lain-lain.
24
2. Faktor Individu a. Umur Guo et al, 1995; Chaffin, 1979 menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun. Pada umur 35 tahun sebagian besar pekerja mengalami peristiwa pertama dalam sakit punggung, dan tingkat kelelahan akan terus bertambah sesuai dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. Suatu penelitian yang dilakukan oleh betti’e, et al (1989) tentang kekuatan statik otot pada pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan diatas 60 tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadinya otot akan meningkat. Riihimaki, et al (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka, et al. 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Hendra (2001) pada pekerja panen kelapa sawit di PT X Sumatra Selatan menunjukan adanya hubungan antara umur pekerja dengan keluhan MSDs. Demikian halnya penelitian yang dilakukan
25
Soleha (2009) pada operator plant PT. X menunjukkan adanya hubungan antara umur dengan terjadinya keluhan MSDs. b. Jenis Kelamin Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Astrand dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian Betti’e, et al (1989) menunjukan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et al, (1993), Bernard et al, (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3. Dari uraian tersebut diatas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas (Tarwaka, et al. 2004). c. Kebiasaan Merokok Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka, et al, 2004). Pengaruh kebiasaan merokok ini masih diperdebatkan, namun beberapa penelitian menunjukan bahwa perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung daripada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat dari
26
pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991). Hubungan merokok dengan keluhan MSDs disebabkan karena batuk yang meningkatkan tekanan pada perut dan menimbulkan ketegangan pada tulang belakang atau punggung (Deyo and Bass 1989; Frymoyer at al. 1980; Troup at al. 1987 dalam Bernard, 1997). Penelitian yang dilakukan Ariani (2009) pada tukang angkut barang di Stasiun Jatinegara Jakarta dan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs. d. Kekuatan Fisik Kekuatan/kemampuan kerja fisik (Tarwaka, et al, 2004) adalah suatu kemampuan fungsional seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan tertentu yang memerlukan aktivitas otot pada periode waktu tertentu. Lamanya waktu aktivitas dapat bervariasi antara beberapa detik (untuk pekerjaan yang memerlukan kekuatan) sampai beberapa jam (untuk waktu yang memerlukan ketahanan). Beberapa hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan, namun penelitian lainnya menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik denga keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan ototnya
27
rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu Betti’e, et al (1990) menentukan bahwa pekerja yang sudah mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang. e. Masa Kerja Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung. Masa kerja memiliki hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs), terutama untuk pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi. Cohen, et al (1997) menjelaskan bahwa masa kerja memiliki hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko MSDs. Penelitian yang dilakukan oleh Hendra; Rahardjo (2009) Pada 117 Pekerja Panen Kelapa Sawit di PT “X” Sumatra Selatan menunjukan ada hubungan antara masa kerja (>4 tahun dan <4 tahun) dengan keluhan MSDs (OR: 2,755; CI: 1,184-6,412). Demikian juga, penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara masa kerja dengan keluhan MSDs. f. Indeks Masa Tubuh (IMT) Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan dan massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Vessy, et al (1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai resiko 2x lipat dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Wrner, et al (1994) yang menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas dengan masa tubuh lebih
28
dari 29) mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (massa tubuh kurang dari 20) khususnya untuk otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita keluhansakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher , bahu pergelangan tangan. Apabila dicermati, keluhan otot sekletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekanan dan rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, et al, 2004).
3. Faktor Lingkungan a. Vibrasi Vibrasi/getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982). Paparan vibrasi pada seluruh tubuh merupakan faktor risiko yang dapat berkontribusi untuk menyebabkan cidera, khususnya di tulang belakang dan leher serta punggung bagian bawah. Paparan jangka panjang akan menyebabkan MSDs, diketahui gejala yang semakin progresif dimulai mati rasa
29
atau perubahan warna pada ujung beberapa jari tangan. Kemudian akan terjadi penurunan rasa dan ketangkasan tangan (Budiono, 2004) Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan tangan. Paparan getaran seluruh tubuh dapat terjadi ketika berdiri atau duduk dalam lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan kendaraan atau mesin yang besar (Cohen, et al, 1997). b. Mikroklimat Mikroklimat dalam lingkungan kerja menjadi sangat penting karena dapat bertindak sebagai stressor yang menyebabkan strain kepada pekerja apabila tidak dikendalikan dengan baik. Mikroklimat di tempat kerja terdiri dari unsur suhu udara, kelembaban, panas radiasi dan kecepatan gerakan udara (Suma’mur, 1948 dan Bernard, 1996 dalam Tarwaka, et al, 2004). Bagi orang Indonesia, suhu yang dirasa nyaman adalah berada antara 24˚C - 26˚C serta toleransi 2 – 3 ˚C di atas atau di bawah suhu nyaman. Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai
30
akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun. Proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot. Dengan demikian jelas bahwa mikroklimat yang tidak dikendalikan dengan baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja dan gangguan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat munculnya kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas kerja (Tarwaka, et al, 2004).
C. Penilaian Tingkat Risiko Ergonomi Terdapat beberapa metode yang telah diperkenalkan para ahli dalam mengevalusi ergonomi untuk menilai tingkat risiko MSDs di tempat kerja yaitu dengan menggunakan metode pengukuran resiko ergonomi (Risk Assesment Ergonomic). Berikut ini merupakan beberapa jenis dari metode pengukuran ergonomi (Corlett E.N, 1998): 1. Rapid Uper Limb Assesment (RULA) RULA adalah suatu cara yang digunakan untuk melihat postur, besarnya gaya, dan pergerakkan yang menguhubungkan dengan jenis pekerjaan. Seperti bekerja dengan computer, manufaktur, atau pekerjaan lainya dimana pekerja bekerja selama posisi duduk atau berdiri tanpa berpindah tempat. RULA memberikan sebuah kemudahan dalam menghitungkan rating dari beban kerja otot dalam bekerja dimana orang mempunyai risiko pada bagian leher dan beban kerja pada anggota tubuh bagian atas.
31
Alat ini memasukan skor sebagai gambaran dari sebuah pekerjaan dari rating postur, besar gaya, dan pergerakkan yang dihasilkan. Risiko adalah hasil perhitungan suatu nilai/skor 1 (tinggi). Skor tersebut adalah dengan menggolongkan menjadi 4 level gerakan dengan memberikan sebuah indikasi kerangka waktu yang layak untuk mengekspektasi pengendalian risiko yang diajukan. Terdapat empat pokok utama penerapan RULA yaitu untuk : a. Mengukur risiko MSDs, biasanya sebagai bagian dari investigasi ergonomi secara luas. b. Membandingkan beban otot dari desain saat ini dan modifikasi desain tempat kerja. c. Evaluasi hasil seperti produktivitas atau keserasian peralatan. d. Pendidikan bagi pekerja tentang risiko MSDs yang ditimbulkan oleh perbedaan postur dalam bekerja. RULA menilai postur sebuah pekerjaan dan menghubungkan tingkat risiko dalam kerangka waktu pendek dan tidak membutuhkan peralatan yang rumit. RULA tidak didesain untuk menyediakan informasi secara detail, seperti posisi jari yang mungkin relevan untuk melihat semua risiko kepada pekerja. 2. Job Strain Index (JSI) JSI membagi pekerjaan menjadi tugas-tugas yang diukur atau menilai 6 variabel-variabel berikut yaitu intensitas penggunaan, durasi waktu penggunan per siklus, jumlah dari kegiatan per menit, postur pergelangan tangan, kecepatan
32
pengunaan, dan durasi tugas per hari. JSI digunakan hanya untuk gerakan-gerakan berulang pada tubuh bagian atas yaitu siku, lengan bawah, tangan, dan pergelangan tangan. 3. Ergonomic Assesment Survey Metode (EASY) Adalah suatu cara yang digunakan untuk menilai besarnya tingkat risiko ergonomi terhadap kegiatan kerja. Metode ini terdiri dari 3 jenis survey yang masing-masing memiliki skor berbeda. Ketiga skor tersebut yaitu; BRIEF (4 skor), Employe survei (1 skor) dan Medical survei (2 skor). Hasil akhir dari EASY Method berupa rating yang diperoleh dari penjumlahan skor yang didapatkan dari ketiga survey tersebut maksimal (7 skor). Rating tersebut akan menunjukkan prioritas pengendalian yang perlu dilakukan. Semakin besar skornya, maka pengendaliannya pun semakin besar. a. Employee Survey Bertujuan untuk mengetahui keluhan nyeri pada pekerja yang dialami pada saat melakukan kegiatan. Dalam survey ini dapat diketahui pada tahapan kegiatan dimana yang paling berat (berisiko) untuk dikerjakan terkait dengan keluhan yang selama ini muncul pada pekerja. Survey ini dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner atau wawancara dengan pekerja. Hasil dari Employee Survey dapat memperkuat risiko yang didapat pada BRIEF survey, namun belum dapat dijadikan justifikasi bahwa proses kerja yang diamati memang merupakan gejala dapat skor 1 apabila pekerja mempunyai keluhan dan mendapat skor 0 apabila tidak punya keluhan (Humantech, 1995).
33
b. Medical Survey Medical Survey didapatkan dari hasil Medical Record kartu sakit, dan data kunjungan pada poliklinik perusahaan atau pelayanan kesehatan (yankes) lain. Hasil dari Medical Survey berupa data yang berisi hasil foto rontgen, riwayat kesehatan tenaga kerja, dan hasil medical record tahunan. Jika hasil survey ini didapat bahwa pekerja telah mengalami gangguan atau kelainan pada sistem muskulo skeletal akibat pajanan pada pekerjaannya yang menyebabkan pekerja harus beristirahat maka diberi skor 2. jika terjadi gangguan kesehatan secara medis namun tidak sampai kehilangan hari kerja, maka mendapat skor 1, dan jika tidak terjadi gangguan kesehatan secara medis skornya adalah 0. 4. Baseline Risk Identification of Ergonomi Factor (BRIEF) survey Adalah suatu alat yang digunakan untuk skrinning awal dengan menggunakan sistem rating untuk mengidentifikasi bahaya ergonomi yang diterima oleh pekerja dalam kegiatan sehari-hari. Dalam BRIEF survey terdapat 4 faktor risiko ergonomi yang perlu diketahui yaitu: a. Postur; sikap anggota tubuh janggal waktu menjalankan pekerjaan b. Gaya; beban yang harus ditanggung oleh anggota tubuh saat melakukan postur janggal dan melampaui batas kemampuan tubuh c. Lama; lama waktu yang digunakan untuk melakukan gerakan pekerjaan dengan postur janggal d. Frekuensi; jumlah postur janggal yang berulang dalam satuan waktu
34
Dalam survey ini setiap faktor yang melanggar kriteria standar maka dapat skor 1 (Humantech, 1995). Semakin banyak skor yang didapat dalam suatu pekerjaan,
maka
pekerjaan
tersebut
semakin
berisiko
dan
memerlukan
penanggulangan segera. Skor maksimal yang bisa didapat dalam survey ini yaitu sebesar 4 skor. 5. Rapid Entire Body Assesment (REBA) Hignett and McAtmeney (2000), telah mengembangkan untuk menilai jenis postur pekerjaan yang tidak bisa diprediksi. Data yang dikumpulkan mengenai postur tubuh, besarnya gaya yang digunakan, tipe pergerakan atau aksi gerakan berulang dan rangkaian. Hasil dari skor REBA adalah untuk memperlihatkan sebuah indikasi dari tingkat risiko dan kondisi penting untuk tindakan yang diambil. Metode REBA dapat digunakan ketika mengidentifikasi penilaian ergonomi di tempat kerja yang membutuhkan analisis postural lebih lanjut adalah diwajibkan untuk: a. Keseluruhan tubuh pekerja digunakan b. Postur statis, dinamis, perubahan cepat atau stabil c. Barang bernyawa atau tidak bernyawa yang sedang ditangani satunya sering dilakukan atau tidak sering dilakukan d. Dapat digunakan untuk menilai risiko pada modifikasi tempat kerja, peralatan, atau risiko perilaku dari pekerjaan. Penggunaan metode REBA adalah sebagai analisis postur yang cukup sensitif untuk postur kerja yang sulit diprediksi dalam bidang kesehatan dan industri lainnya.
35
REBA melakukan Assesment pergerakan repetitif dan gerakan yang paling sering dilakukan dari kepala sampai kaki. REBA digunakan untuk menghitung tingkat risiko yang dapat terjadi sehubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan MSDs, dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan penilaian berdasarkan postur-postur yang terjadi dari beberapa bagian tubuh dan melihat beban atau aktifitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan untuk setiap bagian tubuh yang dimaksudkan untuk memodifikasi nilai dasar jika terjadi perubahan atau penambahan faktor risiko dari setiap pergerakan yang dilakukan. Kelebihan dari metode REBA adalah : a. Merupakan metode yang cepat untuk menganalisa postur tubuh pada suatu pekerjaan yang dapat menyebabkan risiko ergonomi. b. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko dalam pekerjaan (kombinasi efek dari otot dan usaha, postur tubuh dalam pekerjaan, genggaman atau grip, peralatan kerja, pekerjaan statis atau berulang-ulang). c. Dapat digunakan untuk postur tubuh yang stabil maupun yang tidak stabil. d. Skor akhir dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan dan perubahan yang perlu dilakukan. e. Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapat dilakukan ditinjau dari analisa yang telah dilakukan. Sedangkan kelemahan menggunakan REBA adalah (Staton, et al, 2005) : a. Hanya menilai aspek postur dari pekerja. b. Tidak mempertimbangkan lingkungan kerja terutama yang berkaitan dengan vibrasi, temperatur, dan jarak pandang.
36
5.1 Prosedur Penilaian REBA Dalam prosedur penilaian dengan mengunakan metode REBA terdapat 6 tahap, yaitu (Staton, et al, 2005): a. Mengamati Tugas (observasi pekerjaan) Mengamati tugas untuk merumuskan sebuah penilaian tempat kerja ergonomi yang umum, termasuk akibat dari tata letak dan lingkungan pekerjaan, pengunaan peralatan-peralatan dan perilaku pekerja dengan menghitungkan risiko. Jika memungkinkan, rekam data mengunakan kamera atau video. b. Memilih Postur Untuk Penilaian Menentukan postur mana yang akan digunakan untuk menganalisis pengamatan pada langkah 1. Kriteria berikut ini dapat digunakan : 1) Postur yang paling sering diulang, 2) Postur yang lama dipertahankan, 3) Postur yang membutuhkan aktivitas otot atau tenaga paling besar, 4) Postur yang menyebabkan ketidaknyamanan, 5) Postur ekstrim, tidak stabil, terutama ketika tenaga dikerahkan, 6) Postur ditingkatkan melalui intervensi, pengukuran kendali atau perubahan lainnya. Keputusan dapat didasari pada satu atau lebih dari kriteria diatas. Kriteria untuk memutuskan postur yang dianalisis harus dilaporkan dengan mencantumkan hasil atau rekomendasi.
37
c. Memberi Nilai Pada Postur Gunakan lembar penilaian dan nilai bagian tubuh untuk menilai postur. Nilai awal adalah untuk Kelompok A yaitu punggung, leher, dan kaki. Kelompok B yaitu lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Untuk postur kelompok B dinilai terpisah untuk sisi kiri dan kanan. Catat poin tambahan yang dapat ditambahkan atau dikurangi, tergantung pada posisi. Sebagai contoh, dikelompok B lengan atas dapat ditunjang pada posisinya, sehingga nilainya dikurangi 1 dari nilai lengan atas tersebut. d. Memproses Nilai Tabel A digunakan untuk mendapatkan nilai tunggal dari punggung, leher, dan kaki. Nilai ini dicatat di tabel lembar penilaian dan ditambah dengan nilai beban untuk mendapatkan nilai A. untuk tabel B merupakan penilaian dari lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Bagian-bagian dari tabel B yang diukur yaitu bagian kanan dan kiri. Nilai kemudian ditambah dengan nilai genggaman tanggan untuk menghasilkan nilai B. nilai A dan B dimasukkan ke dalam tabel C, kemudian didapatkan sebuah nilai tunggal, yaitu nilai C. kemudian diperolehlah nilai REBA sesuai tabel level hasil REBA. e. Menetapkan nilai REBA Jenis aktivitas yang dilakukan diwakili oleh nilai aktivitas yang ditambahkan dengan nilai C untuk memberi nilai REBA (akhir).
38
f. Menentukan action level Nilai level risiko REBA kemudian dibandingkan dengan nilai level perubahan, yaitu kumpulan nilai yang paling sering berhubungan untuk mengetahui tingkat pentingnya membuat suatu perubahan. g. Penilaian Ulang Jika tugas berubah menjadi pengukuran pengendalian prosesnya dapat diulang. Nilai REBA yang baru dapat dibandingkan dengan yang sebelumnya untuk memonitor efektifitas perubahan.
48
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori, sehingga keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) ditetapkan sebagai variabel terkait (dependen), sedangkan faktor pekerjaan ditetapkan sebagai variabel bebas (independen) dengan karakteristik individu dan faktor lingkungan sebagai variabel confounding nya. Faktor pekerjaan yang terdiri dari postur kerja, penggunaan tenaga, pergerakan repetitif dan karakteristik objek pengukurannya menggunakan metode REBA (pengukuran risiko ergonomi berdasarkan postur, berat, coupling dan nilai aktifitas). Pada karakteristik individu seperti jenis kelamin tidak diukur karena seluruh pekerja tukang angkut adalah laki-laki. Indeks Masa Tubuh (IMT) dan kekuatan fisik pengukurannya harus menghitung penggunaan otot serta biomekanika tubuh dan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki peneliti, kekuatan fisik tidak diambil dengan alasan dikhawatirkan akan terjadi bias. Sedangkan faktor lingkungan yang terdiri dari vibrasi/getaran dan mikroklimat tidak dimasukan ke dalam analisis karena seluruh pekerja bekerja di ruangan
terbuka.
Sehingga
secara
lebih
jelas
kerangka
konsep
dengan
mempertimbangkan alasan, kekurangan dan keterbatasan peneliti dapat dilihat seperti pada bagan berikut:
49
Variabel Independen
Variabel Dependen
Keluhan MSDs
Risiko Pekerjaan (Metode REBA)
Karakteristik Individu a. Umur b. Kebiasaan merokok c. Masa kerja
Variabel Confounding
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
0
B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel 1 Keluhan Musculoskelet al Disorders (MSDs)
Definisi Alat Ukur Rasa nyeri, pegalKuesioner pegal dan ketidaknyamanan pada sistem otot dan tulang yang dirasakan oleh pekerja/tukang angkut. (Tarwaka,et al. 2004)
Cara Ukur Menyebarkan kuesioner kepada responden
Hasil ukur Skala 1. Mengeluh, jika ada bagian Ordinal tubuh yang dikeluhkan ≥ 1 2. Tidak mengeluh, jika tidak ada bagian tubuh yang dikeluhkan
2.
Skor akhir dari hasil mengidentifikasi pekerjaan dengan menggunakan metode REBA
Observasi, meliputi: 1. Pengambilan gambar kegiatan pekerja dengan kamera dan menghitung gerakan dengan stopwatch. 2. Menimbang beban objek yang diangkut dengan timbangan 3. Mengidentifikasi postur pekerja dengan menggunakan metode REBA dan mengukur sudut menggunakan busur.
Skor akhir REBA :
Risiko Pekerjaan (REBA)
1. 2. 3. 4.
Busur Kamera Stopwatch Timbangan
1. 2. 3. 4. 5.
Sangat tinggi (Skor 11-15) Tinggi (Skor 8-10) Sedang (Skor 4-7) Rendah (Skor 2-3) Sangat Rendah (Skor 1)
Ordinal
1
3.
Umur
Lamanya responden hidup dihitung sejak tahun kelahiran sampai penelitian berlangsung
Kuesioner
Menyebarkan kuesioner kepada responden
1. ≥35 tahun 2. < 35 tahun (Tarwaka, et al. 2004)
Ordinal
4.
Kebiasaan merokok
Banyaknya jumlah batang rokok yang dikonsumsi responden per hari Lama bekerja sebagai pekerja tukang angkut beban (berdasarkan bulan) di tempat penelitian
Kuesioner
Menyebarkan kuesioner responden
1. ≥ 10 batang rokok/hari 2. < 10 batang rokok/hari (Pheasant, 1991)
Ordinal
1. Tinggi, jika masa kerjanya ≥ nilai median 2. Rendah, jika masa kerjanya < nilai median
Ordinal
6
Masa kerja
Kuesioner
kepada
Menyebarkan kuesioner kepada pekerja
C. Hipotesis 1. Ada hubungan antara faktor risiko pekerjaan (berdasarkan metode REBA) dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010. 2. Ada hubungan antara faktor risiko individu (umur, kebiasaan merokok, dan masa kerja) dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010.
53
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional (potong lintang), karena pada penelitian ini variabel independen dan dependen akan diamati pada waktu (periode) yang bersamaan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi pertambangan emas Desa Cikamunding Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak Provinsi Benten selama bulan Februari April 2010.
C. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja tukang angkut beban di lokasi pertambangan Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak tahun 2010 sebanyak 48 orang. Karena jumlah populasi tidak terlalu banyak, maka jumlah sampel diambil sesuai dengan jumlah populasi atau teknik pengambilan sampel diambil secara sampel jenuh.
54
D. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Adapun data yang dikumpulkan berupa karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok dan masa kerja), frekuensi keluhan MSDs, gambaran pekerjaan, postur kerja, beban objek, coupling dan nilai aktifitas. Karakteristik individu dan frekuensi keluhan MSDs diperoleh melalui pengisian kuesioner. Sedangkan gambaran pekerjaan, postur kerja, beban objek, coupling dan nilai aktifitas diperoleh dengan cara observasi langsung dan wawancara tak terstruktur di tempat penelitian.
E. Instrumen Penelitian Jenis instrumen penelitian yang digunakan, meliputi: 1. Kuesioner, digunakan untuk memperoleh data karakteristik individu dan gambaran keluhan MSDs pada responden. Kuesioner yang digunakan yaitu kuesioner Nordic Body Map (NBM). 2. Kamera, digunakan untuk pengambilan gambar responden yang dibutukan dalam pengukuran postur kerja. 3. Busur, untuk mengukur sudut postur kerja dalam gambar pada saat melakukan pekerjaan. 4. Stop watch, untuk menghitung lamanya waktu dalam setiap kegiatan. 5. Timbangan, untuk mengukur berat objek yang diangkut oleh responden.
55
F. Pengolahan Data Setelah kegiatan pengumpulan data, kemudian dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahapan, diantaranya: 1. Editing,
yaitu
kegiatan
untuk
memeriksa
kelengkapan,
kejelasan,
kesinambungan, dan keseragaman data. 2. Coding (memberikan kode data), yaitu merupakan kegiatan mengubah data berbentuk kalimat menjadi kode angka untuk mempermudah pemasukan dan pengolahan data. a. Untuk variabel Keluhan Musculoskeletl Disorders (MSDs) diberi kode 1 jika responden mengeluh (jumlah skor yang dikeluhkan ≥ 1) dan kode 2 jika responden tidak mengalami keluhan. b. Pada variabel risiko pekerjaan, pemberian kode dikategorikan berdasarkan skor akhir REBA yaitu, skor 11-15 = sangat tinggi (kode 1), skor 8-10 = tinggi (kode 2), skor 4-7 = sedang (kode 3), skor 2-3 = rendah (kode 4), dan skor 1 = sangat rendah (kode 5). c. Variabel umur diberi kode 1 jika umur ≥35 tahun dan kode 2 jika < 35 tahun. d. Variabel kebiasaan merokok diberi kode 1 jika merokok ≥ 10 batang rokok per hari dan kode 2 jika < 10 batang rokok per hari. e. Variabel masa kerja dikategorikan rendah (kode 1), jika masa kerjanya ≥ nilai median dan tinggi (kode 2) jika masa kerjanya < nilai median. 3. Processing, yaitu memproses data dengan cara meng-entry ke dalam komputer. 4. Cleaning, merupakan dimasukkan.
kegiatan pengecekan
kembali
data
yang
sudah
56
G. Analisis Data 1. Univariat Analisis yang dilakukan untuk melihat/menjelaskan karakteristik serta distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel yang diteliti. 2. Bivariat Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen dengan melakukan uji Chi Square yang merupakan analisis hubungan variabel kategorik dengan batas kemaknaan α 0,05 estimasi Confidential Interval (CI) 95%. Persamaan Chi Square: 2
(O - E)
X = E Keterangan : X2
= Chi Square
O
= Efek yang diamati
E
= Efek yang diharapkan
Metode (analisis) ini untuk mendapatkan probabilitas kejadiannya. Jika Pvalue > 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara kedua variable. Sebaliknya jika Pvalue < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat hubungan antara kedua variable.
57 BAB V HASIL
A. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel yang meliputi gambaran keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs), gambaran risiko pekerjaan, dan gambaran karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok dan masa kerja). 1. Gambaran Keluhan Musculoskelatal Disorders (MSDs) Setelah diperoleh data yang dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner, didapatkan hasil yang menggambarkan tentang distribusi keluhan MSDs pada tukang angkut sebagai berikut:
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs Pada Tukang Angkut Beban di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2009 No. 1. 2.
Keluhan MSDs Mengeluh Tidak mengeluh Total
Dari
tabel
di
atas
Jumlah 38 10 48
dapat
diketahui
Persentase 79.2% 20.8% 100 %
bahwa
distribusi
keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban yang mengeluh sebanyak 38 orang (79.2%), dan tukang angkut yang tidak mengeluh sebanyak 10 orang (20.8%).
58 Hasil kuesioner Nordic Body Map (NBM) menunjukan frekuensi keluhan berdasarkan bagian tubuh serta tingkat keparahan dan tingkat keseringan keluhan yang dirasakan 38 pekerja seperti pada tabel berikut.
Diagram 5.2 Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs Berdasarkan Bagian Anggota Tubuh, Tingkat Keparahan dan Tingkat Keseringan Pada Tukang Angkut Beban di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2010
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Bagian Tubuh
Jumlah Penderita
Tingkat Keparahan 1
2 6 14 6 3 9 5 14 1 2 2 2 2 3 5 3
Leher Bahu kiri Bahu kanan Lengan atas kiri Punggung Lengan atas kanan Pinggang Bokong Lengan bawah knan P. tangan kiri P. tangan kanan Jari tangan kiri Jari tangan kanan Paha kiri Paha kanan Lutut kiri Lutut kanan Betis kiri Betis kanan Jari kaki kiri Jari kaki kanan Jumlah
6 14 24 3 21 5 20 1 2 2 2 2 3 5 3 1 1 11 9 3 2 140
Tingkat Keparahan 1. Ringan 2. Sedang 3. Parah 4. Sangat parah
Tingkat Keseringan 1. 1-2 kali/thn 2. 1-2 kali/bulan 3. 1-2 kali/minggu 4. setiap hari
3
4
18 12 6
1
-
1 11 9 3 2 103
Ket :
37
-
Tingkat Keseringan 1 2 3 4 6 9 5 13 11 3 2 2 17 5 20 1 2 2 2 2 3 4 1 3 1 1 8 3 4 5 1 2 1 1 1 27 17 95
59 Dari tabel 5.2 dapat diketahui bagian tubuh yang paling banyak dikeluhkan oleh pekerja tukang angkut beban yaitu bagian bahu kanan sebanyak 24 orang, kemudian pekerja yang mengeluhkan pada bagian punggung sebanyak 21 orang dan yang mengeluhkan bagian pinggang sebanyak 20 orang, sedangkan sisanya mengeluhkan pada bagian anggota tubuh lainnya. Berdasarkan tingkat keparahan keluhan dapat diketahui bahwa sebanyak 103 dari 140 keluhan berada pada tingkat sedang (rasa nyeri akan hilang setelah dilakukan istirahat), sedangkan sisanya berada pada tingkat yang parah (rasa nyeri tetap ada meskipun pemebebanan dihentikan namun masih tetap bisa bekerja). Berdasarkan tingkat keseringan keluhan, mayoritas pekerja mengaku merasakan keluhan tersebut setiap hari, namun demikian ada juga beberapa bagian tubuh yang dikeluhkan pekerja 1-2 kali/minggu atau 1-2 kali/bulan, bahkan ada pekerja yang mengeluhkan bagian tubuhnya dengan tingkat keseringan 1-2kali/tahun.
60 2. Gambaran Risiko Pekerjaan Tingkat risiko pekerjaan pada kegiatan pengangkutan ditentukan sesuai dengan hasil risiko terbesar yang diperoleh dari pengukuran berdasarkan metode REBA. Dimana penilaian risiko tersebut dimulai dengan cara membagi 2 (dua) kelompok postur anggota tubuh yaitu grup A (terdiri dari leher punggung dan kaki) dan grup B (bahu, lengan dan pergelangan tangan). Postur grup A yang dilakukan skoring menggunakan tabel A digabungkan dengan skor berat beban yang diangkat pekerja, sedangkan postur grup B yang dilakukan skoring menggunakan tabel B digabungkan dengan skor coupling atau genggaman tangan. Dari hasil tersebut kemudian dipersilangkan dengan menggunakan skoring pada tabel C. Selanjutnya skor tabel C digabungkan dengan skor aktivitas untuk menentukan level risiko dan ini merupakan nilai akhir dari pengukuran risiko pekerjaan. Setelah dilakukan penilaian risiko pekerjaan (berdasarkan metode REBA), dapat diketahui distribusi risiko pekerjaan pada tukang angkut seperti pada tabel berikut: Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Risiko Pekerjaan (Berdasarkan Metode REBA) Pada Tukang Angkut Beban Di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2010 No. 1. 2.
Risiko Pekerjaan (REBA) Risiko sangat tinggi (skor 11-15) Risiko tinggi (skor 8-10) Total
Jumlah
Persentase
21
43.8 %
27 48
56.3 % 100 %
61 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa distribusi risiko pekerjaan pada tukang angkut beban di Kecamatan Cilograng-Banten dengan tingkat risiko pekerjaan sangat tinggi sebanyak 21 orang (43.8 %), sedangkan pada tukang angkut dengan tingkat risiko pekerjaan tinggi sebanyak 27 orang (56.3%).
3. Gambaran Karakteristik Individu a. Umur Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Umur Pada Tukang Angkut Beban Penambang Emas Di kecamatan Cilograng - Banten Tahun 2010 No. 1. 2.
Umur ≥35 <35 Total
Jumlah 20 28 48
Persentase 41.7% 58.3% 100 %
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa distribusi tukang angkut yang berusia lebih atau sama dengan umur 35 tahun sebanyak 20 orang (41.7%) dan pekerja yang berusia kurang dari 35 tahun sebanyak 28 orang (58.3%).
b. Kebiasaan Merokok Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Merokok Pada Tukang Angkut Beban Penambang Emas Di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2010 No. 1. 2.
Jumlah batang rokok/hari ≥10 <10 Total
Jumlah
Persentase
15 33 48
31.3% 68.8% 100 %
62 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa distribusi tukang angkut yang memiliki kebiasaan merokok lebih atau sama dengan 10 batang per hari sebanyak 15 orang (31.3%) dan pekerja yang memiliki kebiasaan merokok kurang dari 10 batang per hari sebanyak 33 orang (68.8%).
c. Masa Kerja Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pada Tukang Angkut Beban Penambang Emas Di Kecamatan Cilograng – Banten Tahun 2010 No. 1. 2.
Masa Kerja ≥37 bulan <37 bulan Total
Jumlah 29 19 58
Persentase 60.4% 39.6% 100 %
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pekerja tukang angkut dengan masa kerja tinggi (lebih atau sama dengan 37 bulan) sebanyak 29 orang dengan persentase 60.4% dan pekerja dengan masa kerja rendah (kurang dari 37 bulan) sebanyak 19 orang dengan persentase 39.6%.
63 B. Analisis Bivariat 1. Hubungan Antara Risiko Pekerjaan Dengan Keluhan MSDs Tabel 5.7 Distribusi Risiko Pekerjaan Dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Tukang Angkut Beban di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2010 No.
1. 2.
Risiko Keluhan MSDs Total OR CI P Pekerjaan Mengeluh % 95 % Value Tidak % N % Mengeluh Sangat tinggi (1120 95.2 1 4.8 21 100 15) 10.000 (1.151- 0.029 Tinggi (skor 818 66.7 9 33.3 27 100 86.876) 10) 38 79.2 10 20.8 48 100 Total
Hasil analisis hubungan risiko pekerjaan dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) diperoleh bahwa ada sebanyak 20 dari 21 pekerja (95.2%) yang berada pada tingkat risiko pekerjaan sangat tinggi (skor 11-15), termasuk kategori mengeluh MSDs. Sedangkan pekerja dengan tingkat risiko pekerjaan tinggi (skor 810) dan mengeluh MSDs, ada sebanyak 18 dari 27 pekerja (66.7%). Hasil uji statistik menunjukan Pvalue 0.029 dengan derajat kemaknaan α 5 %, sehingga Pvalue lebih kecil dari nilai alpa atau Ho ditolak, artinya ada perbedaan proporsi keluhan MSDs antara pekerja dengan tingkat risiko pekerjaan sangat tinggi (skor 11-15) dan pekerja yang bekerja pada tingkat risiko tinggi (skor 8-10) atau dengan kata lain ada hubungan yang signifikan antara risiko pekerjaan dengan keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang emas. Analisis keeratan hubungan dua variabel menunjukan OR : 10.000 (95% CI = 1.151 - 86.876), artinya responden yang bekerja dengan
64 kategori risiko pekerjaan sangat tinggi memiliki peluang 10 kali untuk mengalami keluhan MSDs dibandingkan pada responden dengan kategori risiko pekerjaan tinggi.
2. Hubungan Antara Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok dan Masa Kerja) Dengan Keluhan MSDs a. Umur dengan Keluhan MSDs Tabel 5.8 Distribusi Umur Dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Tukang Angkut Beban Di Kecamatan Cilograng - Banten Tahun 2010 No.
Umur Keluhan MSDs Pekerja Mengeluh % Tidak mengeluh ≥ 35 1. 19 95.0 1 tahun < 35 2. 19 67.9 9 tahun 38 79.2 10 Total
%
Total N %
5.0
20
32.1
28
20.8
48
OR CI 95 %
P Value
100
9.000 (1.036100 78.168) 100
0.031
Hasil analisis hubungan umur dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban diperoleh bahwa sebanyak 19 dari 20 pekerja (95 %) yang berumur di atas atau sama dengan 35 tahun, termasuk kategori mengeluh MSDs. Sedangkan responden yang berumur kurang dari 35 tahun dan termasuk kategori mengeluh MSDs, ada sebanyak 19 dari 28 pekerja (67.9%). Hasil uji statistik menunjukan nilai Pvalue 0.031 dengan demikian Pvalue lebih kecil dari nilai α (5 %) sehingga Ho ditolak, artinya ada perbedaan proporsi keluhan MSDs yang mengeluh antara umur ≥35 tahun dengan umur <35 tahun. Dengan kata lain ada hubungan yang signifikan antara umur pekerja dengan keluhan MSDs pada tukang angkut beban penambang emas. Hasil analisis keeratan hubungan dua variabel menunjukan bahwa
65 OR : 9.000 (95%, CI=1.036-78.168), artinya responden yang berusia lebih atau sama dengan 35 tahun memiliki peluang 9 (sembilan) kali untuk mengalami keluhan MSDs dibandingkan pada responden yang berusia kurang dari 35 tahun.
b. Kebiasaan merokok dengan Keluhan MSDs Tabel 5.9 Distribusi Kebiasaan Merokok Dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Tukang Angkut Di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2010 No.
1. 2.
Kebiasaan Keluhan MSDs Total OR CI P merokok/hari Mengeluh % 95 % Value Tidak % N % mengeluh ≥ 10 batang 12 80 3 20 15 100 1.077 < 10 batang 26 78.8 7 21.2 33 100 (0.237- 1.000 38 79.2 10 20.8 48 100 4.902) Total Hasil analisis hubungan kebiasaan merokok dengan keluhan Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada tukang angkut beban diperoleh bahwa sebanyak 12 dari 15 pekerja (80%) dengan kebiasaan merokok ≥ 10 batang per hari adalah termasuk kategori mengeluh MSDs. Sedangkan pekerja dengan kebiasaan merokok < 10 batang per hari yang mengeluh MSDs sebanyak 26 dari 33 pekerja (78.8%). Hasil uji statistik menunjukan nilai Pvalue 1.000, dengan demikian nilai Pvalue lebih besar dari nilai α (0.05) sehingga Ho gagal ditolak, artinya tidak ada perbedaan proporsi keluhan MSDs antara pekerja dengan kebiasaan merokok ≥10 batang per hari dan pekerja dengan kebiasaan merokok <10 batang per hari pada tukang angkut beban di tempat penelitian.
66 c. Masa kerja dengan Keluhan MSDs Tabel 5.10 Distribusi Masa Kerja Dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Tukang Angkut Beban Di Kecamatan Cilograng-Banten Tahun 2010 No.
1. 2.
Masa Kerja >=37 Bulan <37 Bulan Total
Keluhan MSDs Mengeluh % Tidak mengeluh
%
Total N %
24
82.8
5
17.2
29
14 38
73.7 79.2
5 10
26.3 20.8
19 48
OR CI P 95 % Value
100
1.714 (0.421100 6.979) 100
0.487
Hasil analisis hubungan masa kerja dengan keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs), diperoleh bahwa sebanyak 24 dari 29 pekerja (82.8%) memiliki masa kerja tinggi (≥ 37 bulan) dan termasuk kategori mengeluh MSDs. Sedangkan pekerja yang memiliki masa kerja rendah (< 37 bulan) dan termasuk kategori mengeluh MSDs adalah sebanyak 14 dari 19 pekerja (73.7%). Hasil uji statistik menunjukan Pvalue 0.487 dengan demikian Pvalue lebih besar dari α (5 %) sehingga Ho gagal ditolak, artinya tidak ada perbedaan proporsi keluhan MSDs antara pekerja dengan masa kerja ≥37 bulan dan pekerja dengan masa kerja <37 bulan atau dengan kata lain tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan keluhan MSDs pada tukang angkut beban di tempat penelitian.
67 BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data primer dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu : 1.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat dan hanya menjelaskan hubungan keterkaitan. Meskipun demikian, desain ini dipilih karena paling sesuai dengan tujuan penelitian, serta efektif dari segi waktu dan biaya.
2.
Pada penelitian ini tidak memasukan variabel lingkungan, karena seluruh responden bekerja di ruangan terbuka. Namun demikian, pengukuran suhu lingkungan tetap dilakukan untuk mengetahui tingkat paparan yang ada di lokasi pengangkutan.
3.
Hasil kuesioner sangat dipengaruhi tingkat kejujuran dan tingkat persepsi keluhan, sehingga gambaran karakteristik individu dan gambaran keluhan MSDs yang diperoleh tergantung dari tingkat kejujuran dan persepsi keluhan yang dirasakan responden.
4.
Pengambilan gambar untuk mengukur tingkat risiko pekerjaan tidak dari segala arah dan tidak pada setiap kegiatan, tetapi hanya pada arah dan pada kegiatan yang diperlukan saja.
68 B. Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Musculoskeletal
Disorders(MSDs)
adalah
kelainan
yang
disebabkan
penumpukan cidera atau kerusakan-kerusakan kecil pada sistem muskuloskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak bisa sembuh secara sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk menimbulkan rasa sakit (Humantech, 1995). Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai yang sangat fatal (Tarwaka et al, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan pada tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak - Banten, diperoleh hasil bahwa terdapat 38 orang (79.2%) dari 48 pekerja yang merasakan keluhan MSDs. Berdasarkan hasil Nordic Body Map (NBM) diketahui terdapat 5 (lima) bagian tubuh yang paling banyak dikeluhkan pekerja yaitu bagian bahu, punggung, pinggang, betis dan leher. Namun demikian berdasarkan tingkat keparahan, seluruh pekerja yang mengalami keluhan (38 orang) mengaku bahwa keluhan tersebut termasuk ke dalam kategori sedang dan masih bisa melakukan pekerjaan setelah diberikan waktu istirahat. Tarwaka, et al (2004) menguraikan bahwa MSDs bukanlah merupakan diagnosis klinis tapi merupakan label untuk persepsi rasa sakit atau nyeri pada sistem muskuloskeletal, sehingga keluhan MSDs yang dialami pekerja tukang angkut sangat bergantung pada persepsi rasa sakit yang dialaminya. Vander Zanden (1988) dalam Smet (1994) berpendapat bahwa diantara 9 dari 10 orang menganggap dirinya ada dalam kondisi kesehatan yang baik, akan tetapi pada kenyataannya terdapat 1 dari 4 orang menderita penyakit kronis. Hal ini menimbulkan asumsi penulis, bahwa masih
69 ada kemungkinan dari responden lain yang sebenarnya mengalami gangguan tapi tidak mengaku merasakan adanya keluhan MSDs. Selain itu pada pekerja yang merasakan keluhan MSDs dimana seluruhnya mengaku berada pada tingkat keluhan dengan kategori sedang, ada kemungkinan bahwa pada kenyataannya keluhan yang dirasakan termasuk ke dalam kategori keluhan yang cukup parah (tidak mampu melakukan pekerjaan). Namun, karena adanya kebutuhan ekonomi yang menuntut untuk tetap bekerja, pada akhirnya keluhan yang dirasakan dianggap merupakan keadaan yang biasa. Dengan demikian, keluhan yang dirasakan oleh responden pada saat dilakukan penelitian sangat bergantung pada tingkat kejujuran dan tingkat persepsi keluhan yang dirasakannya. Para ahli berpendapat bahwa MSDs terjadi sebagai akibat dari kombinasi berbagai faktor yaitu pekerjaan, pekerja dan lingkungan. Namun pada penelitian ini, faktor lingkungan tidak dimasukan ke dalam analisis karena seluruh pekerja bekerja di ruangan terbuka. Disamping itu, faktor lingkungan yang terdiri dari vibrasi/getaran dan mikroiklimat di lokasi pengangkutan diyakini tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap terjadinya keluhan MSDs. Di lokasi pengangkutan tidak ditemukan getaran yang berisiko, demikian halnya paparan suhu di lokasi pengangkutan yang berkisar antara 25,6 ˚C – 27,1 ˚C adalah termasuk suhu normal. Karena menurut Tarwaka, et al (2004), paparan suhu berlebihanlah (baik dingin maupun panas) yang dapat menurunkan kelincahan, kekuatan dan kepekaan pekerja sehingga gerakan menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Cohen, et al (1997) mengungkapkan bahwa gangguan penyakit atau cidera pada sistem MSDs hampir tidak pernah terjadi secara langsung akan tetapi lebih
70 merupakan suatu akumulasi dari benturan kecil maupun besar secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Dengan demikian, adanya keluhan yang dirasakan oleh tukang angkut, tentu bukan hanya disebabkan karena pekerjaan yang sekarang saja melainkan juga karena pekerjaan sebelumnya yang kegiatannya bersifat manual yang memiliki peranan penting untuk menimbulkan MSDs. Manual Handling adalah setiap kegiatan yang membutuhkan penggunaan tenaga yang dikeluarkan oleh seseorang untuk mengangkat, menurunkan, mendorong, menarik, membawa, memindahkan, memegang atau menahan benda hidup atau benda mati (OSHA, 2000). Jika hal tersebut berlangsung tiap hari dan dalam waktu yang lama, bisa menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada otot, sendi, tendon, ligamen dan jaringan-jaringan lain (Suma’mur, 1989). Pada kegiatan pengangkutan beban di lokasi pertambangan, aktifitas kerjanya bersifat manual handling sehingga setiap tahapan kegiatan sepenuhnya memerlukan kemampuan fisik pekerja. Bagian-bagian tubuh yang paling banyak dilibatkan dalam pengangkutan yaitu bahu, leher, lengan, punggung dan kaki dimana bagian-bagian tubuh tersebut adalah bagian tubuh yang paling banyak dikeluhkan pekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Bernard (1997), aktifitas manual memiliki peranan penting berkontribusi terhadap MSDs serta menimbulkan gangguan pada leher, punggung dan bahu. Adanya responden yang tidak mengalami keluhan MSDs pada saat dilakukan penelitian karena berdasarkan hasil wawancara, responden mengaku sudah bisa beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungannya. Namun demikian, saran yang bisa dijadikan pertimbangan untuk meminimalisir terjadinya keluhan MSDs tersebut, bagi
71 pengusaha sebaiknya agar secepatnya memberlakukan sistem perorganisasian kerja, seperti mengatur waktu kerja dan waktu istirahat yang seimbang yang diperlukan untuk memelihara kesetimbangan energi dan pemulihan kemampuan pekerja, sehingga dapat mencegah paparan risiko yang berlebihan.
C. Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Keluhan MSDs Faktor risiko pekerjaan pada penelitian ini dihitung berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode REBA (pengukuran risiko ergonomi berdasarkan postur kerja, beban, coupling, dan aktivitas fisik). Pada kegiatan pengangkutan beban di lokasi pertambangan, tidak ada aturan khusus yang diberlakukan terkait prosedur pengangkutan beban, sehingga postur yang terbentuk pada saat melakukan pengangkutan berbeda-beda sesuai dengan selera masingmasing. Hasil observasi dan hasil perhitungan akhir dari penilaian dengan menggunakan metode REBA, diperoleh hasil bahwa responden dengan risiko pekerjaan sangat tinggi (skor 11-15) sebanyak 21 orang, sedangkan responden yang bekerja dengan risiko pekerjaan tinggi (skor 7-10) sebanyak 27 orang, sehingga level aksi yang dianjurkan dari risiko pekerjaan berdasarkan metode REBA pada kegiatan/pekerjaan yang termasuk kategori risiko tinggi dan sangat tinggi adalah harus dirubah secepatnya atau bahkan perlu dirubah sekarang juga. Hasil uji statistik antara risiko pekerjaan dengan keluhan MSDs pada tukang angkut beban menunjukan Pvalue 0.029 (derajat kemaknaan α 5 %), artinya ada hubungan antara tingkat risiko pekerjaan dengan keluhan MSDs, dimana pada
72 responden dengan kategori pekerjaan sangat tinggi memiliki risiko 10 kali untuk mengalami keluhan MSDs dari pada responden dengan kategori pekerjaan tinggi. Kegiatan pengangkutan (aktifitas fisik) berhubungan dengan postur kerja, gerakan repetitif, beban objek serta nilai aktivitas yang semuanya berpotensi menimbulkan gangguan. Terlebih pada kegiatan pengangkutan beban di lokasi pertambangan tidak ada aturan khusus yang diberlakukan terkait prosedur pengangkutan beban, sehingga postur yang terbentuk pada saat melakukan pengangkutan berbeda-beda sesuai dengan selera masing-masing pekerja dan umumnya cenderung melakukan postur kerja yang menjauhi sikap alamiah tubuh disertai dengan terjadinya postur statis otot yang cukup lama yang dampaknya tidak hanya membatasi pemasukan nutrisi dan oksigen saja, tetapi juga membatasi pembuangan metabolisme (Nurmianto, 1998). Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagianbagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Dimana postur tubuh yang tidak stabil (tidak alamiah) tersebut menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya gangguan leher, punggung dan bahu (Bernard, 1997). Cohen, at al (1997) menjelaskan bahwa postur statis dapat memberikan penempatan beban pada otot dan tendon yang menyebabkan kelelahan lebih cepat dan berpotensi menyebabkan gangguan pada otot dan tulang. Bagi pekerja, adanya aktivitas pengangkutan beban merupakan suatu kegiatan yang sangat berarti karena dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian yang
73 dapat meningkatkan penghasilan ekonomi. Padahal, perlu disadari bahwa setiap pekerjaan memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda. Demikian halnya pada kegiatan manual seperti pangangkutan beban memiliki kecenderungan risiko untuk mengalami gangguan pada otot dan tulang, dan jika risiko tersebut tidak diimbangi dengan teknik-teknik pencegahan yang sesuai, akan memberikan dampak yang jika terus dibiarkan akan menjadi bahaya yang lebih besar lagi seperti terjadinya penumpukan cidera dan kerusakan pada sistem muskulo skeletal. Dengan demikian, agar risiko pekerjaan yang dihadapi tidak menjadi semakin besar, sebaiknya pihak pengusaha memberikan pelatihan khusus terkait prosedur pengangkutan beban yang baik dan benar kepada pekerja baru atau pekerja lama, serta melakukan pengawasan rutin guna memantau program yang dicanangkan sehingga pekerja tidak lagi melakukan kegiatan pengangkutan dengan membentuk postur yang cenderung seenaknya. Suma’mur (1989) menguraikan bahwa cara mengangkut dan mengangkat yang baik harus memenuhi dua prinsip berikut: 1. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak mungkin otot tulang belakang yang lebih lemas dibebaskan dari pembebanan. 2. Momentum gerak badan dimanfatkan untuk mengaali gerakan. Selanjutnya Silalahi (1985), memberikan contoh cara mengangkat beban yang ergonomis adalah sebagai berikut: 1. Pegangan harus tepat dengan semua jari-jari 2. Punggung harus diluruskan, dan beban harus diambil oleh otot tungkai keseluruhan 3. Kaki diletakan pada jarak yang enak
74 4. Dagu ditarik ke belakang agar punggung bisa tegak lurus 5. Berat badan digunakan untuk mengimbangi berat beban 6. Lengan harus dekan dengan badan dan dalam posisi lurus 7. Beban sedekat mungkin berada pada garis vertikal yang melalui pusat gravitas tubuh. Dengan diadakannya pendidikan dan pelatihan khusus yang diberikan kepada pekerja, selanjutnya pekerja akan lebih memahami lingkungan dan alat kerja dengan baik sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya-upaya pencegahan ke arah yang lebih baik lagi.
D. Hubungan Karakteristik Individu (Umur, Kebiasaan Merokok dan Masa Kerja) dengan Keluhan MSDs 1. Umur Guo et al. 1995; Chaffin, 1979 dalam Tarwaka, et al (2004) menyatakan bahwa pada umur 35 tahun sebagian pekerja mengalami peristiwa pertama dalam sakit punggung dan tingkat kelelahan akan semakin bertambah sesuai dengan bertambahnya umur. Selain itu, pertambahan umur akan disertai dengan penurunan kapasitas fisik seseorang yang ditandai dengan menurunnya kekuatan otot. Penelitian yang dilakukan oleh betti’e, et al (1989) tentang kekuatan statik otot pada pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan diatas 60 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur.
75 Hasil uji statistik pada tukang angkut diperoleh nilai Pvalue 0.031 (α 5%) artinya ada hubungan antara umur dengan keluhan MSDs, dimana responden yang berumur lebih atau sama dengan 35 tahun memiliki risiko 9 (sembilan) kali untuk mengalami keluhan MSDs dibanding responden dengan umur kurang dari 35 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Riihimaki, et al (1989) bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka, et al, 2004). Penelitian yang sama dilakukan oleh Hendra (2001) pada Pekerja Panen Kelapa sawit di PT ”X” Sumatra Selatan yang menunjukan adanya hubungan antara umur pekerja dengan keluhan MSDs. Demikian juga, penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada Operator Plant PT. ”X” menunjukkan adanya hubungan antara umur dengan terjadinya keluhan MSDs. Dengan demikian, untuk mengurangi risiko terjadinya MSDs yang ditimbulkan akibat dari karakteristik umur, sebaiknya pihak pengusaha agar lebih memperhatikan karakteristik atau kondisi fisik pekerja, salah satunya dengan cara mengurangi berat beban yang harus diangkut khususnya oleh pekerja yang berumur lebih dari 35 tahun karena semakin bertambahnya umur, kekuatan fisik pekerja akan berkurang.
76 2. Kebiasaan Merokok Beberapa penelitian menunjukan bahwa perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung daripada bukan perokok. Hubungan merokok dengan keluhan MSDs disebabkan karena batuk yang meningkatkan tekanan pada perut dan menimbulkan ketegangan pada tulang belakang atau punggung (Deyo and Bass 1989; Frymoyer at al. 1980; Troup at al. 1987 dalam Bernard, 1997). Pendapat lain tentang mekanisme merokok dengan kejadian MSDs adalah nikotin yang masuk bisa mempengaruhi berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu merokok dapat pula menyebabkan kekurangan kandungan mineral pada tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat keretakan/ kerusakan pada tulang (Bernard et al, 1997). Hasil uji statistik pada tukang angkut beban menunjukan tidak ada perbedaan proporsi antara responden dengan kebiasaan merokok lebih atau sama dengan 10 batang per hari dan responden dengan kebiasaan merokok kurang dari 10 batang per hari atau dengan kata lain tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada Operator Cant Plan PT “X” yang menerangkan bahwa penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs. Hasil observasi yang dilakukan penulis dapat digambarkan bahwa responden biasanya melakukan kegiatan secara bersama-sama. Demikian pula pada saat santai/waktu istirahat memiliki kecenderungan yang sama untuk merokok. Namun demikian, jumlah konsumsi rokok berbeda-beda pada setiap
77 responden sehingga jika dilihat dari jumlah konsumsi masing-masing seharusnya tiap individu memiliki efek/bahaya yang berbeda-beda dari bahaya merokok, karena semakin banyak mengkonsumsi rokok untuk setiap harinya (>10 batang) semakin tinggi pula risiko yang akan diterimanya (Pheasant, 1991). Akan tetapi, peningkatan risiko yang diterima perokok pada pekerja tukang angkut tidak hanya terjadi pada responden dengan kebiasaan merokok > 10 batang/hari saja, melainkan responden yang merokok kurang dari 10 batang/hari pun memiliki risiko yang sama karena semua responden hidup dalam lingkungan yang sama dan memiliki kecenderungan untuk menghisap asap rokok dari responden lainnya (sebagai perokok pasif). Asap rokok yang dihisap baik sebagai perokok aktif maupun perokok pasif dapat
menurunkan
kapasitas
paru-paru
sehingga
kemampuan
untuk
mengkonsumsi oksigen menurun, dan apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran
karbohidrat terhambat,
terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Tarwaka, et al, 2004). Namun demikian, efek yang ditimbulkan dari bahaya rokok bersifat kronik, sehingga ada kecurigaan penulis bahwa pada saat dilakukan penelitian, bahaya rokok belum mampu menimbulkan efek yang berarti bagi kualitas fisik pekerja. Saran yang bisa diberikan, sebaiknya pekerja agar bisa mengurangi jumlah konsumsi rokok per hari nya dan atau menghindari asap rokok yang ditimbulkan dari lingkungannya.
78 3. Masa Kerja Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung (Ariani, 2008). Cohen, et al (1997) menjelaskan bahwa masa kerja memiliki hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan meningkatkan risiko MSDs. Penelitian yang dilakukan oleh Hendra; Rahardjo (2009) Pada 117 Pekerja Panen Kelapa Sawit di PT “X” Sumatra Selatan menunjukan ada hubungan antara masa kerja (>4 tahun dan <4 tahun) dengan keluhan MSDs. Pada penelitian ini masa kerja dikategorikan berdasarkan nilai median karena pendistribusian masa kerja merupakan distribusi tidak normal (menceng kiri) dan dikategorikan menjadi masa kerja tinggi (bekerja ≥ 37 bulan) serta masa kerja rendah (bekerja < 37 bulan). Masa kerja yang dihitung dan masuk ke dalam analisis, hanya berdasarkan lamanya responden bekerja di tempat penelitian saja, sedangkan kegiatan dengan risiko sama yang dijalani responden sebelum bekerja di tempat penelitian tidak dimasukan ke dalam perhitungan analisis karena seluruh pekerja memiliki pengalaman yang sama yaitu sudah terbiasa melakukan kegiatan pengangkutan sebelum bekerja menjadi tukang angkut di tempat penelitian. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada perbedaan proporsi keluhan MSDs antara masa kerja tinggi dengan masa kerja rendah atau dengan kata lain tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan keluhan MSDs. Hal ini terjadi karena pada responden dengan masa kerja rendah juga ada yang mengalami keluhan MSDs.
79 Hasil observasi menunjukkan bahwa kegiatan pengangkutan yang dilakukan responden selain di tempat penelitian, responden juga melakukan kegiatan pengangkutan di tempat lain seperti mengangkut kayu bakar, bertani dan pekerjaan lain yang termasuk ke dalam pekerjaan dengan tingkat risiko berat. Seperti yang dijelaskan Suma’mur (1997) bahwa pekerjaan kehutanan dan perkayuan termasuk menebang, memotong kayu dan mengapak adalah menyangkut kerja fisik dan termasuk tingkat risiko sangat berat, sehingga waktu istirahat sangat diperlukan untuk pemulihan. Sama halnya dengan risiko pengangkutan beban yang dilakukan di lokasi pertambangan, pada kegiatan pengangkutan kayu bakar yang dilakukan responden juga memiliki potensi untuk menimbulkan gangguan, karena menurut Suma’mur (1989) biasanya permulaan keluhan dari penderita kelainan lempeng antarrus tulang belakang adalah pada saat melakukan pekerjaan mengangkut. Selain itu menurut Silalahi (1985), jika tubuh manusia mengangkat dan membawa suatu beban, seluruh tubuh mengalami ketegangan, sehingga pembuluh darah mengecil. Keadaan ini mengurangi aliran darah yang membawa oksigen dan gula ke seluruh tubuh, akibatnya akan merasa letih sehingga tulang belakang dan otot akan merasa saikt, dan bagian tubuh yang paling berpengaruh dan dapat cidera pada saat mengangkat dan membawa adalah tulang punggung. Dengan demikian, baik responden dengan masa kerja yang tinggi maupun responden dengan masa kerja rendah di tempat penelitian (lokasi pertambangan) memiliki risiko yang sama untuk menimbulkan MSDs yang mungkin timbul baik dari pengangkutan beban yang dilakukan di lokasi pertambangan maupun keluhan
80 MSDs yang mungkin juga timbul dari pengangkutan kayu bakar yang dilakukan responden di luar lokasi pertambangan, karena terlalu banyak/sering mengangkat dapat menyebabkan gangguan otot dan pungung (Silalahi, 1985). Saran yang dapat dipertimbangkan untuk meminimalisir risiko terjadinya keluhan MSDs akibat masa kerja pada tukang angkut beban yaitu, sebaiknya agar pekerja tidak memaksakan diri untuk melakukan pengangkutan jika kekuatan yang dimiliki sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan otot yang diperlukan, selain itu agar pekerja lebih memperhatikan waktu istirahat atau perlu mengatur waktu-waktu istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam batas-batas toleransi yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kelelahan, penurunan kemampuan fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran (Tarwaka et al, 2004).
81 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 1. Terdapat sebanyak 38 pekerja (79.2%) tukang angkut beban penambang emas di Kecamatan
Cilograng
Kabupaten
Lebak
yang
mengalami
keluhan
Musculoskeletal Disorders (MSDs). 2. Berdasarkan perhitungan metode REBA, sebanyak 21 pekerja (43.8%) yang bekerja pada tingkat risiko pekerjaan sangat tinggi. 3. Berdasarkan karakteristik individu (umur, kebiasaan merokok dan masa kerja), ada sebanyak 20 pekerja (41.7%) yang berusia ≥35 tahun, 15 pekerja (31.3%) yang memiliki kebiasaan merokok ≥10 batang per hari dan ada sebanyak 29 pekerja (60.4%) yang bekerja lebih atau sama dengan 37 bulan. 4. Ada hubungan antara faktor risiko pekerjaan dan karakteristik umur pekerja dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs). 5. Tidak ada hubungan antara karakteristik individu (kebiasaan merokok dan masa kerja) dengan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs).
82 B. Saran 1. Bagi Pengusaha a. Agar secepatnya memberlakukan sistem pengorganisasian kerja termasuk diantaranya mengatur waktu kerja dan waktu istirahat yang seimbang. Hal ini diperlukan sebagai upaya pencegahan paparan yang berlebihan dari risiko kegiatan pengangkutan b. Sebaiknya berat beban yang harus diangkat agar diperkecil. Hal ini diperlukan sebagai upaya meminimalisir risiko yang harus dihadapi pekerja khususnya yang berumur lebih dari 35 tahun, dimana kekuatan ototnya akan terus mengalami penurunan. c. Memberikan pelatihan khusus berkaitan dengan prosedur pengangkutan yang baik dan benar kepada seluruh pekerja
2. Bagi Penelitian selanjutnya Diharapkan pada variabel yang berhubungan yang meliputi variabel pekerjaan dan variabel umur agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan hubungan kausal (sebab-akibat). Selain itu, diharapkan untuk mengikutsertakan variabel lain yang diduga berhubungan dengan keluhan MSDs tapi tidak diteliti penulis pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani (2008). Gambaran Risiko Msuculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Tukang Angkut barang (porter) di Stasiun Jatinegara jakarta Tahun 2008. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Bernard, BP. (ed), et al. (1997). Musculoskeletal Disorders And Workplace Factors : A Chemichal Review of Epidemiologic Evidence For Work-Related MSDs of Neck, Upper Extremity And Low Back. U.S Departement of Health and Human Services, PH Service for Disease Control and Prevention, National Institute For Occupational Safety And Health. Bridger, R.S. (1995). Introduction to Ergonomics. Singapore: mcGraww Hill, Inc. Budiono, Sugeng et al. (2003). Bunga Rampai Hiperkes dan kecelakaan Kerja”. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro. Chenoweth. D.H (1998), Worksite Health Promotion. Human Kinetics; USA Cohen, Alexander L. et al. (1997). Elements of Ergonomics Programs. A Primer Based on Workplace Evaluations of Musculoskeletal Disorders. Amerika: U.S Departement of Health and Human Services. NIOSH Corlett, E.N. (1998). The Occupational Ergonomics Handbook. London:CRC Press. DiNardi, Salvatore R. (1997). The Occupational Environment-its Evaluation and Control. Virginia: American Industrial Hygiene Assosiation. Hastono PH. (2001) Modul Analisis Data. Depok; UI Hendra; Rahardjo (2009). Risiko Ergonomi dan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Panen Kelapa Sawit Tahun 2009. Prosiding Seminar Nasional Ergonomi IX c TI-UNDIP. Available: http://staff.ui.ac.id/internal/13225581/publikasi/D11.Pdf kamis, 31 Desember 2009 pukul 11:13 WIB Hignett, S and McAtamney (2001) Rapid Entire Body Assessment (REBA), Applied Ergonomics. D. L. Kimbler: Clemson University. Available http://www.clemson.edu/ces/departments/ie/documents/kimbler/cureba.pdf Kamis, 31 Desember 2009 pukul 10:24 WIB Humantech Inc. (1995). Applied Ergonomic Training Manual. Berkeley Vale Australia : Protector and Gamble Inc.
Jannah, Nur (2008). Analisis Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Divisi kasir, Groceri, dan Receiving Giant Hypermarket Cimanggis tahun 2008. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Kuntodi (2008), Cumulative Trauma Disorders (CTDs). Available http://konsulhiperkes.wordpress.com/2008/12/31/cumulative-trauma-disorersctds/ Kamis, 31 Desember 2009 pkl 10:48 Kumar, Shrawan. (2001). Biomechanics in Ergonomics. Taylor&Francis, London. LaDao, Josep (1994). Occupational Helath and Safety. Illionis. National Safety Council. Levy, Barry et al (1983). Occupational Health Recognizing and Preventing Work Related Disease. USA: Doubleday and Company Inc Nur
(2009), Rapid Entire Body Assessment. Available http://nurwww.blogspot.com/2009/05/rapid-entire-body-assessment-reba.html
Nurmianto, Eko. (2004). Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi ke 2. Surabaya: Guna Widya. Oborne, David (1995). Ergonomic at Work. Chicester, UK. Jhon willey & Sons, Ltd OSHA. (2002). Ergonomic: The Study of work. US Departement of Labor Occupational Safety and Health Administration. OSHA 3125. Pheasant, Stephen. (1991). Ergonomics, Work, and Health. Aspen Publiser Inc, USA. Sahab, Syukri (1997). Teknik Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: PT Bina Sumber Daya Manusia. Silalahi, dkk (1985). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Smet, Bart (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasaran Indonesia Soleha, Siti (2009). Hubungan Faktor Risiko Ergonomi dengan Keluhan Musculoskeletal (MSDs) pada Operator Cant Plant PT. X Plant Ciracas Jakarta TimurTahun 2009. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Suma’mur P.K. (1989). Ergonomic Untuk Meningkatkan Produktifitas Kerja. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sumiati. (2007). Analisis Risiko Low Back Pain (LBP) pada Perawat Unit Darurat dan Ruang Operasi di RS. Prikasih Jakarta Selatan. Skripsi; Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Staton et al, (1997). Handbook of Human Factors and Ergonomics Methods. London: CRC Press. Tarwaka et al (2004), Ergonomi Untuk K3 dan Produktivitas. UNIBA Press; Surakarta.
LAMPIRAN - LAMPIRAN