PENYELESAIAN PERKARA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA KELAS IA TANJUNG KARANG (ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 0718/PDT.G/2012/PA.TNK)
Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas Dan Memenuhi Syarat – Syarat Guna Mendapatkan Gelar Serjana Hukum (S.H)
Oleh DODI SAHRIAN NPM: 1321010045 Jurusan: Al Ahwal Asy-Syakhsiyyah
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADENINTAN LAMPUNG 1438 H/ 2017 M
PENYELESAIAN PERKARA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA KELAS IA TANJUNG KARANG (ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 0718/PDT.G/2012/PA.TNK)
Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Dodi Sahrian NPM: 1321010045 Program Study: Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah
Pembimbing I : Dr. Hj. Dewani Romli, M.Ag. Pembimbing II : Hj. Linda Firdawaty, S.Ag., M.H.
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN INTAN LAMPUNG 1438 H/ 2017 M
ABSTRAK Oleh : Dodi Sahrian 1321010045 Hadhanah menurut bahasa, berarti meletakan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya : “pendidikan dan pemeliharaan berdiri sendiri mengurus dirinyayang dilakukan oleh kerabat anak itu. Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak sampai dewasa dan mampu. Tujuan Hadhanah bisa tercapai dengan mengupayakan kemaslahatan jasmani dan rohani anak. Jika orang tua anak bercerai maka pengasuhan terhadap anak yang belum mumayyiz lebih diperioritaskan pada pihak wanita (ibu), terutama selama ibu belum menikah lagi. Permasalahan yang menjadi kajian penelitian ini adalah faktor apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan hadhanah kepada ayahnya, bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT.G/2012/PA.TNK tentang pengasuhan hak hadhanah kepada ayah terhadap anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz). Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) dengan sifat penelitian deskriftif. Sumber data yang digunakan data primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Sedangkan untuk menganalisis data dilakukan dengan cara kualitatif dan berfikir induktif. Berdasarkan penelitian, putusan hakim menjatuhkan hak hadhanah kepada ayahnya di akibatkan si ibu terbukti selingkuh yaitu dapat dikatakan si ibu telah cacat secara hukum dan untuk menjauhakan anak-anaknya dari sifat yang tidak baik. hakim menilai bahwa termohon mempunyai tabiat yang buruk, ii
melanggar syariat islam sedangkan anak-anak Pemohon dan Termohon perlu diselamatkan dan dilindungi dari amoral. Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Agama Tanjung Karang mengenai putusan Nomor : 0719/PDT.G/2012.PA.TNK maka dasar pertimbangan hakim menjatuhkan hadhanah kepada ayahnya adalah karena faktor psikologis dan moral. Sedangkan pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor : 0718/PDT.G/2012/PA.TNK adalah pertimbangan pertama : majelis hakim menggunakan ayat Al Baqorah : 233. Pertimbangan kedua : majelis hakim menggunakan pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pertimbangan ketiga : majelis hakim mengesampingkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena Ibunya telah terbukti selingkuh.
iii
iv
v
MOTTO
Artnya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyumpurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak di bebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Jangalah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapi (sebelum dua tahun Dan jika kamu ingin anak kamu di susuhkan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada allah dan ketahuilah bahwa allah melihat apa yang kamu kerjakan.(QS Al Baqarah [2] : 233)
vi
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan tanpa batas, dengan kerendahan hati, Alhamdulillah, skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaikbaiknya. sebagai tanda cinta, kasih sayang, dan hormat, kepada orang-orang yang telah memberi arti dalam perjalananku menempuh sarjana hukum di Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung (IAIN). Karya kecil ini kupersembahkan kepada: 1. Ayah dan Ibuku yang dengan tulus memcurahkan kasih sayang, perhatian, semangat, motivasi serta mencurahkan do’a untuk penulis demi keberhasilan cita-cita, aku semakin yakin bahwa ridha Allah SWT. Adalah keridhoanmu. 2. Adik perempuanku beserta keluarga besar yang penulis cintai, terimakasih atas dukungan dan motivasinya dalam penyelesaian karya ilmiah ini, kalianlah keluarga terbaik yang Allah SWT. Berikan kepadaku. 3. Almamater tercinta IAIN Raden Intan Lampung tempatku menimba ilmu pengetahuan yang selalu kubanggakan.
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dodi Sahrian, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, diantaranya: Dodi Sahrian, dan Sonia Feby Delsia, Keduanya dilahirkan dari pasangan bapak Syaiful Bahri dan ibu Darmawati, Am Kep. Penulis dilahrikan pada tanggal 28 july 1995 di Baturaja, Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten Oku (ogan komering ulu). Jenjang pendidikan penulis yaitu: 1. Taman Kanak-kanak (TK) Telkom Oku Baturaja Kecamatan Baturaja Timur Kota Baturaja lulus pada tahun 2001. 2. Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Oku Baturaja Kecamatan Baturaja Timur Kota Baturaja lulus pada tahun 2007. 3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Oku Baturaja Kecamatan Baturaja Timur Kota Baturaja Lulus Pada Tahun 2010. 4. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Oku Baturaja Kecamatan Baturaja Timur Kota Baturaja lulus pada tahun 2013. 5. Pada tahun 2013 penulis diterima di Jurusan Ahwal alSyakhsiyyah Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim Syukur Alhamdulliah penulis panjatkan atas khadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat, taufiq dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Hukum pada jurusan Ahwal al-Syakhsiyah di Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, para sahabat, keluarga dan pengikutnya, dan semoga kita mendapat syafaatnya. Amiin... Penyelesaian Skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, serta dengan tidak mengurangi rasa terimakasih atas bantuan semua pihak, rasa hormat dan terimaksih penulis samaikan kepada: 1. Dekan Fakutas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, Bapak Dr. Alamsyah, M.Ag. 2. Ketua Jurusan Ahwal al-Syahksiyyah, Marwin, S.H, M.H. 3. Pembimbing I yang telah menyediakan waktu dan memberikan bimbingan dengan ikhlas dan sabar yang sangat berharga dalam mengarahkan penulis hingga selesainya skripsi ini. Ibu Dr. Hj. Dewani Romli, M.Ag. 4. Selaku pembimbing II yang telah memberikan masukkan dan motivasi sehingga penulis lebih memahami isi skripsi ini, Ibu serta Hj. Linda Firdawaty, S.Ag, M.H 5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuanyang bermanfaat hingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. 6. Seluruh staf dan karyawan tata usaha Fakultas Syari’ah, Perpustakaan fakultas dan Pusat IAIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan fasilitas dan bantuanya dalam menyelesaikan karya tulis ini.
ix
7. Untuk Ayah, Ibu dan Adikku. Terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini serta bantuan yang tak terkira baik yang bersifat materi maupun non materi. 8. Untuk teman-teman sekelasku dan seangkatan di jurusan Ahwal al Syakhsiyah angkatan tahun 2013 denis, heri,fajrul, faat, agus, naya, ulfa, fera, elis, homsah, thamrin dll. yang tak dapat kusebut satu persatu yang selalu memberikan motivasi guna menyelesaikan karya tulis ini, terimakasih atas kebersamaannya selama perkuliahan, kalianlah sahabat terbaik dalam kehidupan ini. 9. Almemater tercinta IAIN Raden Intan Lampung yang selalu kubanggakan tempatku menuntut ilmu pengetahuan. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dari kata sempurna,mengingat kemampuan yang terbatas. Untuk itu kepada para pembaca kiranya dapat memberikan masukan dan saran-saranya serta kritikan, sehingga penelitian ini akan lebih baik dan sempurna di masa mendatang. Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Bandar Lampung, Januari 2017 Penulis
DODI SAHRIAN NPM. 1321010045
x
DAFTAR ISI ABSTRAK........................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ........................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ............................................ v MOTTO............................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................... vii RIWAYAT HIDUP ........................................................... viii KATA PENGANTAR ........................................................ ix DAFTAR ISI ....................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ................................................... B. Alasan Memilih Judul .......................................... C. Latar Belakang Masalah ...................................... D. Rumusan Masalah .............................................. E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ........................ F. Metode Penelitian ................................................
1 2 2 7 7 8
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Hadhanah ........................................... 13 B. Dasar Hukum Hadhanah ...................................... 18 C. Syarat-syarat Hadhanah ....................................... 20 D. Urutan Orang yang Melakukan Hadhanah .......... 27 E. Upah Hadhanah.................................................... 31 F. Batasan Waktu Hadhanah .................................... 34 BAB III LAPORAN PENELITIAN A. Sejarah Pengadilan Agama Tanjung Karang ....... 39 B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tanjung Karang ................................................... 47 C. Faktor yang Menjadi dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Hadhanah Kepada Ayahnya .......... 51 D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT,G/2012/PA.TNK Tentang Pengasuhan Hak hadhanah Kepada Ayah Terhadap anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz) ................. 53 xi
BAB IV ANALISIS DATA A. Analisa Faktor Menjadi dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Hadhanah Kepada Ayahnya ................................................ 57 B. Analisa Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT,G/2012/ PA.TNK Tentang Pengasuhan Hak hadhanah Kepada Ayah Terhadap anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz) ..... 65 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................... 75 B. Saran .................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul Judul merupakan suatu gambaran dalam karya ilmiah, untuk memperjelas pokok bahasan, maka perlu penjelasan judul dengan makna atau definisi yang terkandung didalamnya, dengan jelas judul skripsi ini adalah “PENYELESAIAN PERKARA HADHNAH DI PENGADILAN AGAMA KELAS I.A TANJUNG KARANG (Analisis Putusan Nomor : 0718/Pdt.G/2012/Pa.Tnk)”. Dengan judul tersebut maka istilahistilah yang perlu dijelaskan adalah sebagai berikut: Penyelesaian menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah Proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (dalam berbagai arti seperti pemberesan, pemecahan), persengketan yang memerlukan penyelesaian hukum.1 dalam hal ini adalah proses penyelesaian perkara hadahanah. Perkara menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) adalah sebuah masalah atau sebuah persoalan, urusan yang harus diselesaikan oleh orang yang bersangkutan. 2 Hadahanah adalah suatu kewajiban orangtua untuk memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-bainya. Pemeliharaan yang mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok untuk anak.3 Pengadilan Agama sering disebut pula mahkamah syar’iyah, artinya pengadilan atau mahkamah yang menyelesaiakan perselisihan hukum agana atau hukum syara.4 Pengadilan Agama biasa disingkat PA adalah pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama yang berkedudukan di ibukota
1
Peter Salim, Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, hlm. 1363 2 Ibid, hlm. 1142 3 Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT. Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 293 4 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 4
2 kabupaten atau kota. Pengadilan agama dibentuk dengan keputusan presiden.5 Berdasarkan penjelasan beberapa istilah diatas, dapat ditegaskan bahwa maksud dari judul skripsi ini adalah penyelesaian perkara tentang hadhanah di pengadilan agama kelas I.a Tanjung Karang. B. Alasan memilih Judul Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini adalah sebagai berikut: Alasan memilih judul skripsi ini adalah : 1. Alasan Obyektif Permasalahan tersebut menarik untuk dibahas dan dilakukan penelitian. Untuk mengetahui mengapa perkara hadhanah di pengadilan agama kelas I.A Tanjung Karang bisa terjadi. 2. Alasan Subyektif Pembahasan ini sangat relevan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang penulis pelajari di Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah serta tersedianya literatur yang menunjang sebagai referensi kajian dan data dalam usaha menyelesaikan karya ilmiah ini. C. Latar Belakang Masalah Hadhanah, menurut bahasa, berarti meletakan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga “hadhanah” di jadikan istilah yang maksudnya : “pendidikan dan pemeliharaan berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.6
5
Https://www.google.co.id/search?q=pengertian+pengadilan Di unduh pada hari minggu, tanggal 2 oktober 2016. 6 Wahbah Az Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, PT. Darul Fiqir, Jakarta, 2011, hlm. 59
3 Dalam Al Qur’an persoalan hadhanah (pemeliharaan anak), diatur dalam surat an nisa ayat 141 yang bunyinya sebagai berikut :
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an nisa : 141) Jadi hadhanah seperti perwalian dalam perkwinan atau harta benda. Dan juga ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, di didik dengan tradisi agamanya. Sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut. Dalam sebuah hadist dikatakan :
َّ ُك ُّل َم ْولُْوٍد يُ ْولَ ُد َعلَى الْ ِفطْرِة اِالَّ اَ َّن أ صَرانِِه اَْو ُُيَ ِّج َسانِِه ِّ ََن أَبَ َويِْه يُ َه ِّوَدانِِه أ َْو يُن
4 Artinya: “setiap anak dilahirkan dalam fitrah, hanya ibu bapaknyalah yang menjadikan mereka yahudi, nasrani atau majasi”. Para ulama fiqih mendifinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik lakilaki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyis, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidk jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. 7 Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya maupun dlam pengaturan akhlaknya. Sesorang yang melakukan tugas hadahnaah atau hak asuh anak sangat berperan dalam tugas tersebut. Oleh sebab itu masalah hadahanah mendapat perhatian khusus dalam ajaran islam. Diatas punduk kedua orantuanya nyalah terletak kewajiaban untuk melakukan tugas tersebut. Bilamana kedua orangtuanya tidak dapat atau tidak layak untuk tugas itu disebabkan tidak mencukupi syarat-syarat yang diperlukan menurut pandangan islam, maka hendaklah dicarikan pengasuh yang mencukupi syarat-syaratnya. Untuk kepentingan seorang anak, sikap peduli dari kedua orangtua nya terhadap masalah hadhanah memeng sangat diperlukan. Jika tidak maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh tidak terpelihara dan tidak terarah seperti yang diharapkan. Maka yang paling diharapkan adalah keterpaduan kerjasama antara ayah dan ibu dalam dalam melakukan tugas ini. Jalianan kerjasama antara keduanya hanya akan bisa diwujudkan selama kedua orangtua itu masih tetap dalam hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, walaupun tugas hadhanah sesuai dengan tabiatnya akan lebih banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan, baik dalam memenuhi segala kebutuhan yang memeperlancar tugas hadhanah, maupun dalam menciptakan 7
Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 215-216
5 suasana damai dalam rumah tangga dimana anak diasuh dan dibesarkan. Harapan diatas tidak akan terwujud, bilamana terjadi percerian antara ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian, apapun alasannya merupakan malapetaka bagi si anak. Di saaat itulah si anak tidak dapat lagi merasakan nikmat kasih sayang sekligus dari kedua orang tuanya. Padahal merasakan kasih sayang kedua orangtua merupakan unsur paling penting bagi mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya menurut ajaran islam perceraian sedapat mungkin harus dihindarkan.8 Menurut mazhab hanafi dan maliki berpendapat bahwa hadhnah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggurkan haknya. Sedangkan menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. bahkan menurut wahbah-al-zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak jika terjadi pertengkaran maka yang diduhulukan adalah hak atau kepentingan si anak.9 Golongan Hanafi, Ibnu Qaasim dan Maliki serta Abu Tsaur berpendapat hadhanah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh (hadhinah) yang kafir, sekalipun si anak kecil itu muslim. Sebab hadhanah itu tidak lebih dari menyusui dan melayani anak kecil itu muslim. Kedua hal ini boleh dikerjakan oleh perempuan kafir.10 Dalam kompilasi hukum islam setidaknya ada 2 (dua) pasal yang menentukan pengasuhan anak pasca perceraian termaksud dalam pasal 105, yang berbunyi sebagai berikut : dalam hal terjadi perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemegang pemeliharaannya. 8
Satria Efendi, Prblematika Hukum Keluarga Islam Kontonporer, PT. Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 167 9 Amniur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT. Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 293 10 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah 8, PT. Al Ma’arif, Bandung, 1996, hlm. 168
6 c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Pasal 105 diatas menguraikan tentang pilihan orang tua anak dalam mengurus dan memelihara anaknya. Huruf a dengan jelas menyebutkan bahwa anak yang masih dbawah umur (umurnya masih di bawah 12 tahun) maka hak pengasuhannya akan jatuh kepada ibunya. Sebaliknya, apabila anak telah berusia diatas 12 tahun, tidak serta merta menjadi hak kepengasuhannya kepada ayahnya, melainkan diberikan pilihan kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya yang harus memelihara dia. Pada dasarnya, semua biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada ayahnya, meskipun bisa jadi ibunya lebih mampu. Dalam hal ini KHI tidak menjelaskan megenai status ibunya. Dilain pihak, pemeliharaan anak sebagaimana tercantum dalam pasal 105 huruf a, tidak serta ibunya menjadi penagasuh anaknya, adakalanya pengadilan memutuskan berlaianan dengan ketentuan tersebut. Hal iu bisa terjadi ketika hakim melihat prilaku dan berbagai aspek lainnnya, ayahnya lebih unggul dibanding ibunya. 11 Mislanya dalam kasus yang akan penulis bahas yaitu mengenai pasangan suami istri anggota polri yang memperebutkan hak asuh anak yang masih di bawah umur, di dalam hadhanah bisanya dalam hak asuh anak selalu dimenangkan oleh pihak istri namun dalam skripsi ini hakim berpandangan lain oleh karena itu penulis menjadi tertarik untuk membahas hal-hal apa saja dan apa yang menjadi pandangan para ahli hukum atau hakim dalam memenangkan pihak suami dalam hak asuh kedua anaknya. Pada penulisan skripsi ini penulis akan membahas tentang penyelesaian perkara hadhanah di pengadilan agama ditinjau dari berbagai segi terutama dari sisi normatif (KHI sebagai hukum terapan), kedudukan yuruspudensi terhadap kasus hukum berikutnya serta faktor sosilogis, ekonomi dan sebagainya. Dengan berbagai sudut pandangan tersebut diharapkan majelis hakim dalam mengambil keputusan, masalah sengketa pemeliharaan anak akan 11
Nurudin, Azhari akmal tarigan, Op, Cit. hlm. 302-303
7 mempertimbangkan moral justice, legal justice serta pertimbngan keadilan secara komprenshif, sehingga keputusan yang diambil punya sisi maslahat bagi ayah dan ibu serta maslahat bagi anak, untuk masa kini dan yang masa yang akan datang, berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “PENYELESAIAN PERKARA HADHNAH DI PENGADILAN AGAMA KELAS I.A TANJUNG KARANG (Analisis Putusan Nomor : 0718/Pdt.G/2012/Pa.Tnk)”. D. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka peneliti dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Faktor Apakah yang Menjadi dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Hadhanah Kepada Ayahnya ? 2. Bagaimana Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT,G/2012/PA.TNK Tentang Pengasuhan Hak hadhanah Kepada Ayah Terhadap anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz) ? E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan dari Penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan hadhanah kepada ayahnya. b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor 0718/PDT,G/2012/PA.TNK tentang pengasuhan hak hadhnah kepada ayah terhaap anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayis). 2. Kegunaan dari peneliltian ini adalah sebagai berikut: a. dapat menambah wawasan dan pengetahuan di bidang hukum terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang berkenaan dengan hak asuh anak (hadhanah) apabila terjadi perceraian.
8 b. dapat dijadikan acuan atau tambahan referensi dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asuh anak (hadahanah). F. Metode Penelitian Dalam rangka penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode untuk memudahkan dalam pengumpulan, pembahasan dan menganalisa data. Adapun dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan : Penelitian lapangan (field reseach) adalah penelitian yang dilakukan dalam kancah kehidupan sebenarnya.12 Di mana dalam hal ini lokasi penelitian yang dilakukan di pengadilan agama kelas IA Tanjung Karang. Kepustakaan adalah mencari dasar pijakan atau fondasi untuk memperoleh dan membangun landasan teori, kerangka berfikir, dan memnentukan dugaan sementara atau sering pula disebut sebaga hipotesis penelitian, sehingga para peneliti dapat mengerti, melokasikan mengorganisasikan, dan menggunakan variasi pustaka dalam bidangnya. 13 b. Sifat Penelitian Menurut sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberi gambaran yang secermat mugkin mengenai sesuatu, individu, gejala, keadaaan atau kelompok tertentu.14 Penelitian dalam skripsi ini hanya untuk ditujukan melukiskan, dan menganalisis kenyataankenyatan yang lebih terfokus pada maslalah perebutan hak asuh anak yang terjadi di pengadilan agama kelas IA Tanjung Karang. 12
Sutrisno Hadi, Metode Reseach, fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1994, hlm. 33 13 Sukardi, Metodelogi penelitian Pendidikan, PT. Bumi Askara, Jakarta, 2012, hlm. 142 14 Kuntjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, hlm. 30
9 2. Jenis Data Sesuai dengan jenis data yang digunakan penelitian ini, maka jenis yang data adalah: a) Jenis data primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa informasi yang diperoleh secara langsung dari narasumber yanng didapat melalui kegitan interview. Narasumber tersebut adalah Hakim dan para stafnya di pengadilan agama kelas IA Tanjung Karang. b) Data sekunder yang disajikan dalam skripsi ini adalah data ysng diperoleh dari kepustakaan yang berupa ayat al-Quran, hadis, kitab-kitab fiqih, buku-buku serta berbagai sumber lain yang relevan terhadap penelitian ini. a. Sumber Data Sumber data yang penulis gunakan pada penulisan skripsi ini adalah bahan hukum primer, sekunder. 3. Metode Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data dari sumber data, maka peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Wawancara Wawancara (interview) adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu15. Dilakukan secara sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian, Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara yang terarah dengan menggunakan daftar pertanyaan yang mana dimaksudkan untuk mendapatkan data yang akurat dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang akan diteliti. Untuk mendapatkan data, penyusun melakukan wawancara dengan hakim dan angota hakim di pengadilan agama tanjung karang. 2. Studi Pustaka Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum deskriptif. Studi ini dimaksudkan 15
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hlm. 95
10 untuk mengumpulkan atau memahami data sekunder dengan berpijak pada berbagai literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4.Tehnik Pengelolaan Data Setelah keseluruhan data terkumpul maka tahap selanjutnya dengan cara: a. pemeriksaan data (editing) adalah mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai, atau relevan dengan masalah. b. Penandaan data (cading) yaitu pemeriksaan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur, peraturan dalam ilmu hukum atau dokumen), pemegang hak cipta (nama penulis, tahun penerbitan), atau urutan rumusan masalah (masalah yang pertama A masalah kedua B), dan seterusnya. c. Rekontruksi data (recontructing) yaitu menyusun ulang data secara teratur, logis sehingga mudah difahami dan di interpretasikan. 5. Metode Analisis Data Setelah data yang dikumpulkan telah di edit, di coded dan telah diikhtisarkan, maka langkah selanjutnya adalah analisis terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh.16 Metode analisa data dilakukan secara kualitatif yaitu prosuder penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa masalah hak asuh anak yang masih belum berumur 12 tahun (belum mumayis) yang diberikan oleh majelis hakim kepada ayahnya yang terjadi di pengadilan agama kelas I.a tanjung karang. Dalam analisis kualitatif penulis menggunakan berpikir induktif, yaitu setelah penulis melakukan wawancara dengan majelis hakim pengadilan agama tanjung karang yang menghasilkan data yang menyebabkan hakim menjatuhkan hak asuh anak kepada ayahnya adalah karena ibunya telah terbukti selingkuh. Dan secara hukum ibunya telah cacat di mata hukum dan hakim menilai ibunya tidak memiliki prilaku yang baik yang dapat ditiru oleh kedua anak laki-lakinya. 16
Cholid Narbuko, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 156
11 Dasar hukum pertimbangan hakim menjatuhkan hak asuh anak (hadhanah) kepada ayahnya. Yaitu majelis hakim menggunakan surat al baqarah : 233, pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975, dan hakim mengasampingkan pasal 105 karena ibunya telah terbukti selingkuh. Dalam hukum islam dikatakan hak asuh anak yang belum mumayis itu menjadi hak ibunya sedangkan dalam hukum positif hak asuh anak juga menjadi hak ibunya sedangkan untuk biaya pendidikan dan biaya makan menjadi kewajiban ayahnya. Akan tetapi karena sifat ibunya yang telah selingkuh dengan laki-laki lain. Maka hak asuh anak menjadi bukan kewajibannya lagi. Karena ibunya telah melakukan perbuatan amoral dan melanggar syariat islam. Secara umum hak asuh anak yang belum mumayis selalu menjadi hak ibu akan tetapi apabila ibunya tidak memenuhi syarat dan tidak memiliki prilaku yang baik. Maka hak asuh anak tesebut bisa menjadi milik ayah. Karena tujuaannya adalah lebih mementingkan dan mengutamakan kemaslahatan untuk anak.
12
13 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Hadhanah Hadhanah diambil dari kata al hadhnu yang artinya samping atau merengkuh kesamping. Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak yang bagi orang yang berhak untuk memeliharanya. Atau, bisa juga diartikan memelihara dan menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak mumayis seperti anak-anak, orang dewasa atau orang dewasa tetapi gila.17 Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: Hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus, segala kepentingan/urusan anak-anak yang belum mumayiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya). Hadhanah, menurut bahasa, berarti meletakan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga “hadhanah” di jadikan istilah yang maksudnya : “pendidikan dan pemeliharaan berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.18 Para ahli fiqih mendifinisikan “hadhanah” ialah melakukan pemeliharaan anak anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.19 Menurut Hukum Islam pemeliharaan anak di sebut dengan Al Hadhinah yang merupakan masdar dari kata al 17
Wahbah Az Zuhaily, Op, Cit. hlm. 59 Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 215 19 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, PT. Al Maarif, Bandung, 1996, hlm. 160 18
14 hadahanah yang berarti mengasuh atau memelihara bayi (hadhanah as shabiyya). Dalam pengertian istilah, hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikanya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, hadhanah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik yang menyangkut perkawinan maupun yang menyangkut hartanya. Hadhanah tersebut semata-mata karena perkara tentang anak dalam arti mendidik dan mengasuhnya sehingga memerlukan seorang wanita pengasuh untuk merawatnya sehingga ia dewasa. Menurut Sayyid Sabiq, hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar yang belum tamyiz. Tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang merusak, jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawab apabila ia sudah dewasa. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadhanah. Namun mereka berpendapat dalam hal-hal yang lain terutama tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang Paling berhak setelah ibu dan juga tentang syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh. Selama tidak ada hal yang mengahalangi untuk memelihara anak-anak, maka ibulah yang harus melakukan hadhanah, kecuali ada sesuatu halangan yang mencegahnya untuk melaksanakan hadnahah, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa yang pantas menjadi pengasuh dari anak-anak tersebut. 20 Menurut fuqaha hadhanah adalah menjaga dan megasuh anak laki-laki atau perempuan yang belum tamyiz dengan memenuhi kebutuhannya, dan memberikan perlindungan, serta
20
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, PT. Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 424-425
15 mendidik jasmani dan rohani, dan akalnya agar mampu mengahadapi hidup dan memikul tanggup jawab. Menurut ijma’ apabila suami-istri bercerai dan mereka mempunyai anak. Baik laki-laki maupun perempuan, maka si ibu yang paling berhak mengasuhnya dengan catatan jika ibu memenuhi syarat. Adapun seorang anak yang apabila telah mencapai umur tujuh tahun ternyata idiot, ia disuruh memilih di antara kedua orangtuanya. Siapa diantara mereka berdua yang dipilih, itulah yang lebih berhak mengasuhnya. demikian menurut ijma’ dan para sahabat. 21 Menurut Hukum Positif dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di sebutkan tentang penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum pengusaan anak itu belum di atur dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat di berlakukan secara efektif sehingga hakim Peradilan Agama pada waktu itu masih menggunakan hukum hadhanah yaitu menggunakan kitab-kitab fiqh ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhnaah itu. Baru setelah di berlakukan Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wawenang untuk menjadi dan menyelesaikannya. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 42-54 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orangtua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi 21
Ahsin w. Alhafidz, Kamus Fiqih, 2013, hlm.55-56
PT. Bumu Aksara, Jakarta,
16 pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orangtua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam Hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dan sebaik-baiknya. Pada pasal 106 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di kemukakan bahwa : 1. Orang tua berkewajiban mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa dan atau di bawah pengampuan, dan tidak di perbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang medesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu mengehendaki atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat di hindarkan lagi. 2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut.Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang bayi di susukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana yang di kemukakan dalam pasal 104 yaitu : a. Semua biaya penyusuan anak dipertangguang jawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkwajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. b. Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya. Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak dapat disusukan oleh seorang yang bukan ibunya sendiri. Hal ini relevan dalam ayat 233 surat AlBaqarah yang menjadi acuan dalam pemeliharaan anak. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 dikemukakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibatnya adalah
17 1.
Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusannya. 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan anak itu, bapak dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya. Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami-istri terjadi perceraian yaitu : a. Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah dan atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Berdasarkan pemaparan di atas, hadhanah bagi anak yang belum mummayiz dilaksanakan ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di mana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang kebetulan diberi beban untuk
18 melaksanakannya, Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Agama.22 Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan. Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani, Pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik.23 Karna yang di maksud mendidik di sini adalah menjaga, memimpin dan mengatur segala hal anak-anak, yang belum bisa menjaga dan mengatur dirinya sendiri.24 B. Dasar Hukum Hadhanah Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua (suami-istri). Untuk masalah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab ayahnya (suami), seperti halnya firman allah swt :
22
Abdul Manan, Op, Cit, hlm. 428-431 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, PT. Kencana, Jakarta, 2008, hlm.176 24 H. Sulaiman rasjid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algesindo,bandung, 2012, hlm. 426 23
19
Artnya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyumpurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak di bebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Jangalah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapi (sebelum dua tahun Dan jika kamu ingin anak kamu di susuhkan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada allah dan ketahuilah bahwa allah melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al Baqarah [2] : 233)25 Ayat tersebut tidak secara langsung menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus di penuhi suami sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat keapdanya. Karena walaupun ayah sudah bercerai dengan ibu si anak akan tetapi kewajiban ayah untuk menafkahi anaknya tidak akan luntur terhapus sampai anak tersebut dewasa dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Dalam hadis juga di kuatkan oleh rasulullah saw. Ketika suatu hari menerima aduan dari Hidun Binti Utbah :
25
Dapertemen Agama RI, Al Quran Terjemah, Al Mubin, Pustaka Al Mubin, Jakarta, 2010, hlm. 37
20
ِ َ دخل: عن عائِش َة قَالَت َِب ُس ْفيَا َن َعلَى َ َ َْ ْ ََ ْ ُ ت هْن ٌد بِْن ْ ِت عُْتبَ َة ْامَرأَةُ أ ِ يا ر سو َل ا:هلل صلّي اهلل علَي ِه و ثَلَم فَ َقا لَت ِ رسوِال هلل اِ ّن اَ بَا َ ُْ َ َ ْ ُْ َ َ َ َْ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِن اَّال َّ َُِس ْفيَا َن َر ُجلٌ َشحْي ٌح َالُ يُ ْعطيُِ ِْن م َن ا ن ََّف َقة َما يَ ْكفْي ِ َِن َويَ ْكف ْي ب ِ ِ ما اَ خز ت ِمن ما لِِه بِغَ ِْي ِعلْ ِم ِه فَهل علَي ك ِم ْن ُج َن ٍح؟ فَ َقا َ ِف َز ل ْ َ ْ ُ َْ َ ْ َّ َ ْ َ ِ ِِ ِ ِ ك و ي ْك ِفي بنِي ِ ِ ك (متفق ْ َ ْ َ َ َل ُح ِز ْي م ْن َما له بِاْ ملَْع ُر ْو ف َما يَ ْكفْي )عليه Riwayat dari aisyah bahwa Hidun binti Utbah berkata “wahai rasulullah saw. Sesungguhnya Abu sofyan (suamiku) adalah seseorang laki-laki yang amat kikir. Ia tidak memberikan (nafkah) sesuatu yang mencukupiku dan anakku, kecuali aku mengambilnya sendiri sementara dia tidak mengetahui. Maka beliau bersabda : ambilah apa yang dapat mencukupi kebutuhanmu dan anakmu secara makruf. (Riwayat AlBukhari).26 Dengan demikian, tanggung jawab nafkah istri dan anak menjadi beban suami sekalipus sebagai ayah. 27 C. Syarat- Syarat Hadhanah Seorang Hadinah (pengasuh) yang menangani dan menyelengarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapan, Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlan maka gugurlah kebolehan 28 menyelenggarakan hadhanahnya.
26
Shafiyyuhrahman Al Mubarakfury, Syarah Bulughul Maram, PT. Raja Publishing, Jogjakarta, 2012, hlm. 883 27 H. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 190-191 28 Sayyid Sabiq, Op, Cit. hlm. 165
21 1.
Syarat Anak Apabila suami dan isteri bercerai, dan mereka mempunyai anak yang sudah baligh dan berakal, maka ia bisa mandiri dan tidak membutuhkan hadhanah dan kafaah, ia tidak dapat dipaksa, tetapi hendaknya ia tidak memisah dan tidak berhenti berbuat baik kepada kedua orangtua. Tetapi, jika ia perempuan perawan, makruh baginya tinggal sendiri karena khawatir ada orang yang akan merusak dan menipu dirinya, tetapi bila ia janda tidak dilarang karena sudah teruji dengan laki-laki atau sudah berpengalaman sehingga tidak khawatir akan di tipu. Menurut Muhyiddin Al-Nawawi, anak perempuan yang sudah baligh lagi berakal berarti telah terangkat dari pingitan di rumah sehingga ia berhak tinggal sendiri tidak ada penghalang, sama juga jika ia menikah kemudian bercerai. Bila si anak belum tamyiz, tujuh tahun atau gila dan lemah akal, maka wajib hadhanah atasnya supaya anak tersebut tidak terlantar. Anak Hadhanah adalah anak yang belum mampu mengurusi diri sendiri dan menjaga diri dari yang menyakitkan karena tidak adanya kemapuan memilah, begitu juga orang dewasa dan kurang akal, adapun anak yang baligh dan berakal tidak ada lagi hadhanah tetapi dialah yang memilih siapa dari kedua orantuanya. Bila ia laki-laki dewasa ia berhak mandiri karena lebih mampu dari pada kedua orang tuanya, tetapi di sunahkan tidak memisahkan diri atau menjauhkan silaturahmi kepada kedua orang tuanya serta berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Tetapi bila ia wanita tidak boleh memisahkan diri, bapaknya harus mencegah karena bisa jadi akan ada orang yang mencelakankanya, bila bapak tidak ada atau sudah meninggal maka wali atau keluarga yang mencegah. 29 2. Syarat Pemegang hadhanah Yaitu berakal sehat, baliq, mampu mendidik, amanah, (dapat di percaya), bermoral, berakhlak mulia, Islam dan tidak
29
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Rangka Fiqih Al Qadha, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 218-219
22 bersuami (hasil pernikahan ke dua).30 tujuan dari sifat-sifat tersebut adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan pertumbuhan moralnya. 31 a. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak mempunyai apa-apa tentulah tidak dapat memberi apa-apa kepada orang lain. b. Baliq atau dewasa, sebab anak kecil sekalipun mummayiz, tetapi ia tetap membutuhkan orag lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang lain. c. Mampu mendidik, karena orang yang mendidk tidak boleh orang yang buta atau rabun, mempuyai penyakit menular atau sakit anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia tidak bisa mengurusi dirinya sendiri, atau bukan tinggal dengan seseorang yang mempunyai penyakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kepentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang tidak baik.32Mengenai penyakit menular menurut pendapat paraulama mazhab tidak di bolehkan seorang pengasuh tersebut untuk mengasuh anak. Yang pendapatnya sebagai berikut. : Imamiyah berpendapat : pengasuh harus terhindar dari penyakit-penyakit menular.Hambali berpendapat : pengasuh harus terbebas dari penyakit lepra dan belang dan yang penting, dia tidak membahayakan kesehatan si anak.33 30
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, PT. Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2001, hlm. 391 31 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 2004, hlm. 416 32 Sayyid Sabiq, Op, Cit. hlm.166 33 Muhammad Jawad Mughniyah, Op, Cit, hlm. 417
23 d.
Amanah, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat di percaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan sama sepertinya. Ibnu Qayyim telah membahas dengan luas mengenai syarat yang ke 4 yaitu harus amanah atau adil, lalu ia berpendapat : bahwa sebenarnya tidakah hadhin (pengasuh) itu harus adil. Hanya murid murid imam ahmad dan syafi’i dan lain-lainyalah yang mensyaratkan harus demikian. Persyaratan seperti ini sangatlah sulit di penuhi. Kalaulah hadhin (pengasuh) di syaratkan harus adil, tentu banyak anak-anak didunia ini terlantar, bartambah besar kesulitan bagi ummat, bertambah payah mengurusnya, bahkan sejak islam timbul sampai datangnya kiamat nanti kebanyakan anak-anak adalah durjanah, yang tidak seoarangpun di dunia ini bisa mencegah mereka, karena mereka yang durjanah ini jumlahnya terbesar. Dan kapankan islam pernah mencabut anak dari asuhan ibu bapaknya atau salah seoarang dari mereka ini, karena kedurhakaan (kecurangannnya). Hal ini bisa memeberatkan dan menyusahkan. Dan praktek yang berlangsung sambung-menyambung selama ini pada semua negeri dan masa bertentangan dengan syarat adil ini. Ini berbeda dengan syarat adil dalam soal wali perkawinan. Dalam hal ini memeang begitulah yang telah berjalan selama-lamanya pada berbagai negeri dan sepanjang masa, berbagai desa dan kampung, padahal kebanyakan dari wali-wali perkawainan ini adalah orangorang yang durhaka (fasiq). Bahkan selamanya orangorang yang fasiq ini selalu ada di antara manusia ini. Tidak pernah nabi s.a.w dan para sahabatnya melarang seorang durhaka mendidik dan mengasuh anaknya atau mengawinkan orang yang berbeda dalam perwaliannya. Dan adat masyarakat menjadi sanksi bahwa seoarang laki-laki biarpun ia durhaka tetapi ia tetap berhati-hati menjaga kehormatan anak perempuannnya dan tidak mau menyia-nyiakannya. dia juga berusaha
24 keras dengan sungguh-sungguh untuk berbuat baik kepada anak perempuannya. Sekalipun adakalanya terjadi sebaliknya. Tetapi seperti ini tetapi yang seperti ini sedikit sekali adanya jika di bandingkan dengan keadaan yang berlaku. e. Mulia, seseorang hadhin yang memeliki ahklah ya mulia ia mempunyai sifat yang terpuji mka dengan itu ia dapat dengan mudah mengurusi anak asuh tersebut. f. Islam, tidak dianjurkan sesorang yang mengasuh anak itu memliki perbedaan agama atau keyakinan yang berbeda karena apabila seseorang yang mengasuh ini orang kafir maka di takutkan anak tersebut akan mengikui dan meniru kebiasaan agama yang di anut pengasuhnya.34 Bagi Islam dalam hal hadhanah ini cukuplah memberi dorongan alami saja. Kalau sekiranya orang durhaka di cabut hak hadhanah, dan hak menjadi wali dalam nikah tentulah hal ini perlu dijelaskan kepada umat manusia. Karena hal ini merupakan perkara yang lebih penting dan lebih diperhatikan oleh manusia untuk diwasiatkan dan diwariskan dalam praktek dari pada perkara dan hal-hal lainnya. Apakah benar sifat adil menjadi syarat agama membolehkan manusia untuk mengabaikan dan berjalannya prktek yang bertentangan dengan sifat-siafat tersebut ? Kalau kedurhkaan itu meniadakan hadhanah, tentulah orang yang berzina itu meniadakan hak hadhanah, tentulah orang yang berzina harus, minum khamar atau berbuat dosa besar, haruslah dipisahlan dari anak-anaknya masih kecil dan mereka diserahkan kepada orang lain. g. Bermoral, orang yang mengasuh hadhanah harus memeliki moral agar anak yang di asuhnya akan meniru perilaku yang baik dari tukang asuhnya tersebut. Menurut Mazhab Imamiyah dan Syafi’i : seorang yang bukan islam atau kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama islam. Sedangkan mahab-mazhab lainnya tidak mensyaratkanya. Hanya saja ulama mazhab Hanafi
34
Sayyid Sabiq, Op, Cit, hlm. 166
25 mengatakan bahwa kemurtadtan wanita atau laki-laki yang mengasuh, menggugurkan hak asuh kepada anak.35 h. Tidak bersuami, apabila pengasuh anak di menangkan oleh pihak si ibu dan ibu tersebut telah menikah lagi maka gugurlah hak suh anak tersebut kepadanya karena di takutkan apabila ia menikah lagi maka suminya yang terbaru ini tidak memberikan rasa kasih sayang terhadapa anak tersebut. Sesuai dengan hadis Nabi saw. Dari Abdullah bin Amr : bahwa ada seorang perempuan yang berkata : ya rasulullah, sesungguhnya anakku laki-kai ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi pelindungnya dan tetekku yang menjadi minumannya. Tiba-tiba sekarang ayahnya mau mencabutnya dariku. Maka rasulullah s.a.w bersabda : engkau lebih berhak berhak terhadapnya selama engkau belum kawin lagi. Hukum ini berkaitan dengan si ibu kalau kawin dengan laki-laki lain. Tetapi kalau kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya maka hak hadhanahnya tidaklah hilang. sebab paman itu masih berhak dalam masalah hadhanah. Dan juga karena hubungannya dan kekerabatannya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan begitu akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya, maka akan terjadilah kerjasama yang sempurna antara di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dan suami yang baru ini. Berbeda halnya kalau suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya jika laki-laki lain ini mengawini ibu dari anak kecil tadi maka ia tidak bisa mengasihinya dan tidak dapat memperhatikan kepentingan dengan baik. Oleh karenanya nanti dapat mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesra dan keadaaan yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan baik.36 35 36
Muhammad Jawad Mughniyah, Op, Cit, hlm. 417 Sayyid Sabiq, Op, Cit, hlm. 166
26 Akan tetapi ulama empat mazhab berpendapat mengenai apabila si ibu telah menikah lagi dengan suami yang barunya maka hak asuhnya menjadi gugur. Akan tetapi jika laki-laki tersebut memiliki kasih sayang kepada si anak. Maka hak asuhan bagi ibu tersebut tetap ada. Imamiyah berpendapat : hak asuhan bagi ibu gugur secara mutlak karena perkawinannya dengan laki-laki lain, baik suaminya itu memiliki kasih sayang kepada anak tersebut maupun tidak. Hanafi, Syafi’i, Imamiyah, dan Hanbali berpedapat : apabila ibu si anak bercerai pula dengan suaminya yang kedua, maka larangan bagi haknya untuk mengasuh anak di cabut kembali, dan hak itu dikembalikan sesudah sebelumnya menjadi gugur karena perkawinannya dengan laki-laki kedua itu. Sedangkan Maliki, Mengatakan hak asuhnya tidak bisa kembali dengan adanya perceraian tersebut.37 Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya di perlukan syarat-syarat bagi hadhanah dan hadhnin. Syarat-syarat itu adalah : 1. Tidak terikat dengan satu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik, seperti hadhanah terikat dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan si anak, atau hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja. 2. Hendaklah ia orang mukalaf, yaitu orang telah balig, berakal, dan tidak terganggu ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab, sedangkan orang yang bukan mukallaf adalah orang yang tidak dapat mempertanggung jawabakan perbuatannnya. 3. Hendakalah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah. 4. Hendakalah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.orang yag dapat merusak budi pekerti anak, 37
Muhammad Jawad Mughniyah, Op, Cit, hlm. 417
27 seperti pezina, dan pencuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah. 5. Hendakalah hadhanah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak. Jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si anak, maka hadhinah itu berhak melaksanakan hadhanah, seperti ia kawin dengan paman si anak dan sebagainya. 6. Hadhanah hendaklah orang yang tidak membeci si anak. Jika hadhinah orang yang membeci anak di khawatirkan anak berada dalam kesengsaraan. Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali jika di khawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama islam. Sebab, hal yang penting dalam hadhanah adalah hadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak serta bersedia memelihara anak dengan sebaik-baiknya. Jika pendidik dan pemelihara anak itu laki-laki disyariatkan sama agama anatara si anak dengan hadhin, sebab laki-laki yang boleh sebagai hadhin adalah laki-laki yang ada hubungannya waris-mewarisi dengan si anak.38 D. Urutan Orang yang Melakukan Hadhanah Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya seperti makan, pakaian membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun tidur. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian hari. Di samping itu ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. 39 Sebagaimana hak mengasuh pertama di berikan kepada ibu, maka para fuqaha menyimpulkan, bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak dari pada keluarga bapak. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut : 38
Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 221-222 39 Ibid, hlm.217-218
28 1. Ibu anak tersebut. 2. Nenek dari pihak ibu. 3. Nenek dari pihak ayah. 4. Sauadara kandung anak perempuan tersebut. 5. Saudara perempuan seibu. 6. Saudara perempuan seayah. 7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung. 8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah. 9. Sauadara perempuan ibu yang sekandung dengannya. 10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi) 11. Sauadara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi) 12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah. 13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung. 14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 15. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. 16. Sauadara perempuan ayah yang sekandung dengannya. 17. Saudara perempuan ayah yang seibu. 18. Saudara perempuan ayah yang seayah. 19. Bibinya ibu dari pihak ibunya. 20. Bibinya ayah dari pihak ibunya. 21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya. 22. Bibinya ayah dari pihak ayahnya. untuk urutan 19 sampai dengan 22 mengutamakan yang kandung pada masing-masingnya. Apabila anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan muhrim di atas, atau ada juga tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak tersebut beralih kepada kerabat laki-laki yang masih muhrimnya atau berhubungan darah (nasab) dengannya sesuai urutan masingmasing dalam persoalan waris. Yaitu, pengasuhan anak itu beralih kepada : 23. Ayah anak tersebut. 24. Kakek dari pihak ayah tersebut dan seterusnya ke atas. 25. Saudara laki-laki sekandung. 26. Saudara laki laki seayah. 27. Anak laki-laki dan saudara laki-laki sekandung. 28. Anak laki-laki dan saudara laki-laki seayah. 29. Paman yang sekandung dengan seayah.
29 30. Paman yang seayah dengan ayah. 31. Pamanya ayah yang sekandung. 32. Pamanya ayah yang seayah dengan ayahnya. Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut, atau ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuh anak itu beralih kepada muhrimmuhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu : 33. Ayahnya ibu (kakek). 34. Saudara laki-laki seibu. 35. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu. 36. Paman yang seibu dengan ayah. 37. Paman yang sekandung dengan ibu. 38. Paman seayah dengan ibu. 39. Paman yang seayah dengan ibu. 40 Menurut Mazhab Hanafi urutan setelah ibu adalah nenek dari pihak ibu, lalu nenek dari pihak ayah, saudara perempuan kandung seibu lalu seayah, anak perempuan dari saudara kandung, lalu anak perempuan dari saudara seibu, bibi dari pihak ibu, kemudian bibi dari pihak ayah. Menurut Mazhab Maliki urutan setelah ibu adalah nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas lalu kemudian bibi kandung dan kemudian bibi seibu, saudara perempuan nenek, saudara perempuan ayah, saudara perempuan kakek, ibu dari nenek dari pihak ibu, kemudian ibu dari nenek dari pihak ayah. Menurut Mazhab Ash Shafiiyah mereka juga berpendapat setelah ibu adalah nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas, lalu ayah, kemudian nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas, lalu ayah, kemudian nenek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas, ibu nenek dari pihak ayah, kerabat perempuan yang terdekat, kemudian kerabat laki-laki terdekat. Menurut Mazhab Hanbali urutan setelah ibu juga nenek dari pihak ibu, lalu ibu dari nenek, ayah, nenek dari pihak ayah,
40
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, PT. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003. hlm. 485-487
30 kakek, ibu kakek, saudara perempuan kandung, seibu lalu seayah, bibi kandung dari pihak ibu, kemudian bibi seibu.41 Menurut Mazhab Imamiyah berpendapat bahwa, ibu, ayah. Kalau ayah meninggal dunia atau menjadi gila sesudah asuhan di serahkan kepadanya, sedangkan ibu masih hidup, maka asuhan di serahakan kembali kepadanya. Ibu adalah orang yang paling berhak mengasuh anak di banding dengan seluruh kerabat, termasuk kakek dari pihak ayah. Bahkan andaikata dia kawin lagi dengan laki-laki lain sekalipun. Kalau kedua orang tua meninggal duni, maka asuhan balik ke kakek dari pihak ayah. Kalau kakek ini meninggal tanpa menunjuk satu seorang penerima wasiat untuk mengasuh anak tersebut, maka asuhan beralih pada kerabat-kerabat anak berdasarkan urutan waris yang telah di jabarkan diatas. Kerabat yang paling dekat menjadi penghalang bagi kerabat yang paling jauh. Bila anggota kelaurga yang berhak itu jumlahnya berbilang dan sejajar, semisal nenek dari pihak ayah dengan bibi dari pihak ibu, maka dilakukan undian jika mereka ingin mengasuh. Orang yang namanya keluar sebagai pemenang untuk mengasuh anak tersebut. 42 Berdasarkan beberapa pendapat di atas terlihat bahwa hak utama memelihara anak adalah dari pihak ibu, setelah itu nenek dari pihak ibu dan seterusnya. Ini berarti bahwa dalam soal kasih sayang terhadap anak umumnya dimiliki oleh ibu. Kendati dalam Islam berkewajiban mencari nafkah dibebankan kepada ayah, namun keutamaan memelihara anak bagi pihak ibu tidaklah bersifat mutlak, sebab dalam kasus-kasus tertentu ada ayah yang lebih baik dari ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka.43 Apabila dari ashabah laki-laki dari muhrim-muhrim di atas tidak ada sama sekali, atau ada tetapi tidak pandai menangani
41
Yaswirman, Hukum Keluarga Kakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrineal Minangkabau, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 42 Muhammad Jawad Mughniyah, Op, Cit, hlm. 416 43 Yaswirman, Op, Cit, hlm. 248
31 hadhanah, maka berpindahlah ke tangan kerabat laki-laki bukan ashabah dan muhrim-muhrimnya di atas tersebut. Jika anak yang masih kecil ini tidak punya kerabat sama sekali, maka pengadilan dapat menetapkan siapakah perempuan yang menjadi hadhinah (ibu asuhnya) yang menangai pendidikannya. Dan mengapa tertib hadhanah harus seperti di atas ? Hal ini di karenakan mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil itu menjadi suatu keharusan. Dan yang lebih utama untuk menanganinya adalah kerabatnya. Dan dalam lingkungan kerabat ini, yang satu lebih utama dari yang lain. Lalu di dahulukan para walinya. Karena wawenang mereka untuk memelihara kebaikan anak kecil tersebut adalah lebih dahulu adanya. Jika para wali ini sudah tidak ada atau ada tetapi ada suatu alasan yang mencegah untuk melakukan tugas hadhanah ini, maka berpindahlah ia ke ke tangan kerabat lainnya yang lebih dekat. Jika sudah tak ada satupun kerabatnya, maka pengadilan (Hakim) bertanggung jawab untuk menetapkan siapakah orangnya yang patut menangani hadhanah ini.44 E. Upah Hadhanah Upah mengasuh anak, sama seperti upah menyusui, tidak menjadi hak seseorang ibu sepanjang statusnya masih sebagai istri ataupun sedang menjalanin masa iddah. Sebabnya, mereka telah menerima nafkah secukupnya yang di wajibkan bagi masing-masing, baik sebagai isrri maupun sebagai (mantan) istri yang sedang menjalani massa iddah45 Dalam buku fiqih Munakahat di jelaskan bahwa ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan menyusui selama ia menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai
44
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, PT. Al Maarif, Bandung, 1996,
hlm.165 45
Muhammmad Bagir Al Habsyi, fiqih Praktis Menurut Al-Quran, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, PT. Mizan, Bandung, hlm.239-240
32 nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah allah swt berfirman :
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”(QS Al-Thalaq [65]: 6)46 Dari keterangan di atas apabila yang mengasuh adalah orang lain bukan si ibu kandung maka ia berhak menerima upahnya sejak saat di mulainya tugas pengasuhan, sama seperti seorang perempuan yang di sewa untuk menyusui seorang anak.47Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhanah, sejak saat menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja dengan bayaran atau upah. Seperti halnya ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah ia juga wajib membayar sewa rumah atau 46
Op, Cit, Dapertemen Agama RI, Al Quran Terjemah, Al Mubin,
47
Ibid, hlm. 240
hlm. 559
33 perlengkapannya. jika sekiranya si ibu tidak punya rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya.Ayah juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebuat jika si ibu membutuhkannya dan ayah mampu membiayainya. Hal ini bukan termasuk ke dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil seperti makan, minum, tempat tidur, obat-obatan dan keperluan lain-lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya.Tetapi gaji ini hanya wajib di keluarkan di saat hadhinah (ibu pengasuh) menangani asuhannya. gaji upah ini menjadi hutang yang ditanggung oleh ayah dan baru bisa terlepas dari tanggungan ini kalau di lunasi atau di bebaskan.48 Para ulama berpedapat mengenai upah mengasuh adalah sebagai berikut : Syafi dan Hambali : wanita yang mengasuh berhak atas upah bagi pengasuhan yang di berikannnya, baik dia yang berstatus ibu sendiri maupun orang lain bagi anak itu. Sedangkan syafi,i mengatakan bahwa, apabila anak yang di asuh itu mempunyai harta sendiri, maka upah tersebut dibayar melalui harta anak tersebut, sedangkan bila tidak, upah itu merupakan tanggung jawab ayahnya atau orang yang berkewajiban memberi nafakah kepada si anak. Maliki dan Imamiyah : wanita pengasuh tidak berhak atas upah bagi pengasuhan yang diberikannya, tetapi Imamiyyah mengatakan bahwa, si ibu berhak atas upah, jika anak yang di susuinya itu mempunyai harta, maka orang yang menyusuinya maka orang tersebut di bayarkan upahnya melalui harta anak tersebut. Tetapi kalau tidak punya, upah itu menjadi tanggungan ayahnya jika ayahnya orang mampu. Hanafi : pengasuh wajib memperoleh upah jika sudah tidak ada lagi ikatan perkawinan antara ibu dan bapak si anak, dan tidak pula dalam massa iddah dalam talak raj’i. Begitu juga halnya jika si ibu dalam keadaan iddah dari talak ba’in atau fasakh nikah yang masih berhak atas nafkah dari ayah si anak. Upah yang mengasuh wajib di bayarkan dari harta si anak bila ia
48
Ibid, hlm. 172
34 mempunyai harta dan bila tidak upah itu menjadi tanggungan orang yang berkewajiban memberi nafkah kepadanya. 49 F. Batasan Waktu Hadhanah Hadhanah berhenti bila si anak kecil tersebut sudah tidak memerlukan lagi pelayanan perempuan, telah dewasa dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan pokoknya seperti : makan sendiri, berpakaain sendiri, mandi sendiri. Dalam hal ini tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya.50 Pemeliharaan anak yang belum mumayis (belum dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk sampai kira-kira 12 tahun). Menjadi hak ibunya. Dan jika anak sudah di anggap mumayis, sudah dapat mandiri dalam melakukan keperluanya sehari-hari berkenaan dengan makan minumnya, cara membersihkan diri, berpakaian dan sebagainya, maka ia di persilakan memilih antara ikut dengan ibu atau ayahnya. 51 Apabila si anak telah dapat membedakan ini dan itu, tidak membutuhkan pelayanan perempuan dan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, maka hadhanah telah habis. Fatwah dari mazhab Hanafi dan lain-lainya yaitu : masa hadhnah berahir habis bilamana si anak berumur 7 tahun kalau laki-laki dan 9 yahun kalau permpuan. Dalam UU. No 25 Tahun 1929 pasal 20, telah di cantumkan batas umur hadhanah sebagai berikut : Dari hakim berhak menghentikan perempuan yang melakukan hadhanah, bagi anak lelaki sesudah 7 sampai 9 tahun, dan bagi anak perempuan sudah berumur 9 sampai 10 tahun, bilamana kepentingan si anak menghendaki demikian.52 Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa seorang perempuan menghadap rasulullah saw. Dan mengadu kepadanya, ya rusulullah. Mantan suamiku berniat mengambil 49
Muhammmad Bagir Al Habsyi, Op, Cit, hlm. 418 Sayyid Sabiq, Op, Cit, Hlm. 173 51 Muhammad Bagir Al Habssyi, Fiqih Praktis Menurut Al Quran, As Sunah dan pendapat para ulama, PT. Mizan, Bandung, 2002, hlm. 241 52 Ibid, hlm. 173 50
35 putraku ini, sedangkan ia sudah biasa mengambil air untuk dari sumur Abu Anbah, letaknya kira-kira satu mil dari kotah madinah, dan ia juga membantuku dalam berbagai keperluanku. Maka rasulullah saw. Berkata kepada si anak. Ini ayahmu, ini ibumu pilihlah salah satu dari mereka unutk kau hidup bersamanya. Dan anak itu memelih ibunya yang langsung membawanya pergi. (HR. Abu Daud). Bagaimanapun, seorang hakim hendaklah melihat kepentingan si anak lebih dari siapapun di antara kedua orangtuanya. Oleh sebab itu, seandainya si ibu tidak memberikan pendidikan yang baik bahkan, menelantarkannya, maka si ayah lebih berhak mengambil hak asuh anaknya. Demikian pula sebaliknya.53 Anak laki-laki dan perempuan yang masih dalam usiausia tersebut masih sangat memerlukan hadhanah orang lain. Sehingga sangatlah berbahaya. Apabila mereka dalam usia-usia seperti ini di tempatkan pada perempuan lain. Lebih-lebih jika ayahnya lalu kawin lagi dengan perempan lain yang bukan ibu anak tersebut. Karena itu banyak sekali keluhan perempuan karena anak perempuannya dicabut dan dijatuhkan kepada dirinya dari masa usia kanak-kanak seperti itu. Dan karena adanya takwil Hukum pada Mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa anak lelaki yang masih kecil boleh diserahkan kepada ayahnya, jika ia tidak memerlukan pelayanan perempuan, dan anak perempuan yang masih kecil boleh diserahkan pula kepada ayahnya jika ia sudah mencapai umur pubertas. Atau dewasa.54 Dalam buku fiqih empat mazhab para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai batasan umur anak kecil bagi anak kecil tidak memerlukan hadhanah atau berhentinya hak asuh hadhanah. Imamiyah, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan hak ibu untuk melepaskan hak nya itu kapan saja dia mau, dan bila dia menolak, dia tidak boleh dipaksa. Tentang hal ini ada riwayat 53 54
hlm. 174
Ibid, hlm. 241 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, PT. Al Maarif, Bandung, 1996,
36 dari Imam Malik. Yang berdasarkan itu penyusun kitab Al Masalik berpendapat bahwa para ulama tidak memiliki kesepakatan untuk memaksakan si pengasuh untuk mengasuh asuhannya. Syara’pun tidak menetapkan hal itu, bahkan pengertian lahiriah yang diberikanya menunjukan bahwa asuhan itu sama dengan susuhan, yang berarti dapat di simpulkan menurut para ulama di atas bahwa berhentinya hak handahanah itu berdasarkan ibu. Yang bisa kapan saja dia mau. Sejalan dengan itu, maka bila seorang ibu mengajukan khulu’ terhadap suaminya dengan memberikan hak mengasuh kepada suaminya atau si suami mensyaratkan bahwa setelah berahirnya masa asuhan si ibu, maka khulu’ tersebut sah. Tidak ada seorangpun diantara keduanya yang boleh membatalkannya, sesudah perjanjian itu di tetapkan, kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak. Demikian pula halnya bila mereka berdua berdamai memberikan haknya kepada pihak lain, si ibu memberikan hak kepada si bapak, atau sebaliknya si bapak memberikan hak memelihara anak kepada si ibu, maka persetujuan bersama tersebut bersifat mengikat dan wajib di berlakukan. Ibn Abidin mengutip adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab Hanafi dalam persoalan ini, dan beliau mengisyaratkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah yang mengatakan bahwa asuhan itu merupakan hak anak, oleh karena itu seorang ibu tidak bisa menggurkanya, sebagaimana halnya pula ia tidak bisa di gugurkan oleh suatu persetujuan bersama, atau di jadikan pengganti dalam khulu’.55 Apabila anak kecil laki-laki memilih ibunya, maka ia dapat tinggal kepadanya dimalam hari, dan ayah dapat mengambilnya disiang hari untuk belajar atau bekerja. Karena yang pokok adalah nasib anak tersebut. Akan tetapi jika anak kecil laki-laki memilih ayahnya, maka ia dapat tinggal padanya dimalam atau siang hari. Dan ayah tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi ibunya. Karena melarang mengunjungi ibunya berarti mendorong anak
55
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Op, Cit, hlm. 421
37 durhaka dan memutuskan hubungan kekeluargaan dengan ibunya. Jika si anak sakit maka ibulahnya yang berhak untuk merawatnya. Sebab ketika ia sakit di anggap seperti anak kecil yang memerlukan orang lain untuk mengurus dirinya. Karena itu maka ibunyalah yang lebih berhak untuk mengurus dirinya. Namun apabila si anak ini perempuan, lalu ia memilih salah seoarang dari ibu dan ayahnya, maka ia dapat tinggal padanya siang dan malam. Dan ia tidak boleh dilarang mengunjungi orangtuanya yang lain asalkan tidak lama. karena suami isteri yang telah bercerai yang satu dilarang untuk tinggal lama di rumah yang lain. Jika si anak perempuan sakit maka ibunyalah yang berhak merawatnya dirumahnya sendiri. Dan salah seorang dari ibu atau bapaknya sakit jika sakit, sedang anak berada di tangan yang lain maka ia tidak boleh di larang untuk menjenguknya dan menghadirinya ketika kematiannya. Sedangkan masalah untuk tempat tingagal si anak boleh bebas memilih antara ayah dan ibunya menurut kemaunnya seperti kesukaannya memilih tempat makan dan minum.56
56
Ibid, hlm 181
38
39 BAB III LAPORAN PENELITIAN A. Sejarah Pengadilan Agama Tanjung Karang Pengadilan Agama Tanjung Karang ini dibangun Pemerintah Melalui Dana Repelita pada tahun 1957/1976 dengan luas 150 meter persegi. Di atas tanah seluas 400 meeter persegi. Bangunan yang terletak di Jalan Cendana No. 5 Rawa Laut Tanjung Karang ini sebenarnya sudah mengalami sedikit penambahan luas bangunan, namun statusnya masih berupa “Balai Sidang” Karena belum memenuhi persyaratan standar untuk disebut sebagai gedung kantor. Akan tetapi dalam sebutan sehari-hari tetap Pengadilan Agama Tanjung Karang. Sebelum di jalan Cendana Rawa Laut ini, Pengadilan Agama Tanjung Karang yang dulu bernama Mahkamah Syaria’ah pernah berkantor di komplek Hotel Negara Tanjung Karang jalan Imam Bonjol, yang sekarang menjadi Rumah Makan Begadang I. Kemudian pindah ke jalan Raden Intan yang sekarang jadi Gedung Bank Rakyat Indonesia (BRI). Semasa dipimpin oleh K. H. Syarkawi, Mahkamah Syariah Lampung berkantor di ex. Rumah Residen R. Muhammad di Teluk Betung, kemudian pindah lagi ke jalan Veteran I Teluk Betung. a. Dasar Kebutuhan Sebelum bangsa penjajah Portugis, Inggris dan Belanda datang ke bumi Nusantara Indonesia, Agama Islam sudah dulu masuk melalui Samudra Pasai, yang menurut sebagian besar ahli sejarah bahwa Islam itu sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke 12 yang dibawa oleh para pedagang bangsa Gujarat. Di zaman kolonial Belanda, daerah keresidenan Lampung tidak mempunyai Pengadilan Agama. Yang ada adalah Pengadilan Negeri atau Landeraad, yang mengurusi sengketa/ perselihan masyarakat. Urusan masyarakat dibidang Agama Islam seperti perkawinan, perceraian dan warisan ditangani oleh Pemuka Agama, Penghulu Kampung, Kepala Marga atau pasirah. Permusyawaratan Ulama atau orang yang mengerti Agama
40 Islam menjadi tumpuan Umat Islam dalam menyelesaikan masalah agama. Sehingga dalam kehidupan beragama, di masyarakat Islam ada lembaga tak resmi yang berjalan/hidup. Kehidupan menjalankan ajaran Agama Islam termasuk menyelesaikan persoalan agama ditengah masyarakat Islam yang dinamis melului Pemuka Agama atau Ulama baik di masjid, di surau ataupun di rumah pemuka adat nampaknya tiddak dapat dibendung apalagi dihentikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, karena hal itu merupakan kebutuhan bagi masyarakat Islam. 1) Dasar Yuridis Menyadari bahwa menjalankan ajaran agama itu adalah hak asasi bagi setiap orang, apalagi bagi pribumi yang dijajah, maka Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya mengeluarkan : a) Peraturan tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura (staatblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610) b) Peraturan tentang Kerapatan Qodi dan Kerapatan Qodi Besar untuk sebagian Residen Kalimantan Selatan dan Timur (staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor639) 2) Mahkamah Syariah Keresidenan Lampung Secara Yuridis Formal Mahkamah Syariah Keresidenan Lampung dibentuk lewat Kawat Gubernur sumatera tanggal 13 Januri 1947 No. 168/1947. Yang menginstruksikan kepada Jawatan Agama Keresidenan Lampung di Tanjung Karang untuk menyusun formasi Mahkamah Syari’ah berkedudukan di Teluk Betung dengan susunan : ketua, wakil ketua, dau orang anggota, seorang panitera dan seorang pesuruh kantor. Berdasarkan Persetujuan BP Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Lampung, Keluarlah Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 13 Januari 1947 Nomor 13 tentang berdirinya Mahkamah Syari’ah keresidenan Lampung, dalam Besluit tersebut dimuat tentang dasar hukum, darah hukum dan tugas serta wawenangnya.
41 Kewenagan Mahkamah Syari’ah Keresidenan Lampung dalam Pasal 3 dari Besluit 13 januari 1947 itu meliputi : 1) Memeriksa Perselisihan suami, istri yang beragma islam, tentang nikah, talak, rujuk, fasakh, kiswah dan perceraian karena melanggar taklik talak. 2) Memutuskan masalah nasab, pembagian harta pusaka(waris) yang dilaksanakan secara islam. 3) Mendaftarkan kelahiran dan kematian. a. Mendaftarkan orang-orang yang masuk islam. b. Mengurus soal-soal perbadatan. c. Memberi fatwa dalam berbagai soal. Dasar hukum Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 19 januari 1947 yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Lampung, maka timbul sementara pihak beranggapan bahwa kedudukan Badan Peradilan Agama (Mahkamah Syari’ah Keresidenan Lampung) tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, tidak sah dan sebagainya. Konon sejarah hal ini pulalah yang menjadi dasar Ketua Pengadilan Negeri Keresidenan Lampung pada Tahun 1951, bernama A. Razak Gelar sutan Malalo menolak memberikan eksekusi bagi putusan Mahkamah Syari’ah karena tidak mempunyai status hukum. Keadaaan seperti ini sampai berlarut dan saling adukan kepusat, sehingga melibatkan Kementrian Agama dan Kementrian Kehakiman serta Kementrian dalam Negeri. Kementrian Agama C.q Biro peradilan Agama telah menyurati Mahakamah Syari’ah Keresidenan Lampung dengan surat tanggal 6 oktober 1952 dan telah dibals oleh Mahkamah Syari’ah Keresidenan Lampung dengan suratnya tertanggal 26 November 1952. Hal yang mengejutkan adalah munculnya surat dari Kepala Bagian Hukum Sipil Kementrian Kehakiman RI (Prof. Mr. Hazairin) Nomor :Y.A.7/i/10 tanggal 11 april 1953 yang menyebutkan, “Kedudukan dan Kompentensi Pengadilan Agama/
42 Mahkamah Syariah keresidenan lampung adalah terletak di luar hukum yang berlaku dalam Negara RI”. Surat Kementrian Kehakiman itu ditunjukan Kepada Kementrian dalam Negeri. Kemudian Kementrian dalam negeri melalui suratnya tanggal 24 Agustus tahun 1953 menyampaikan kepada Pengadilan Negeri atau Landraad keresidenan Lampung di Tanjung Karang, atas dasar itu Ketua Pengadilan Negeri Keresidenan Lmpung dengan suratnya tanggal 1 Oktober 1953 menyatakan Kepada Jawatan Agama Keresidenan Lampung bahwa “status hukum Mahkamah Syari’ah Keresidenan Lampung di Teluk Betung tidak sah”. Ketua Mahkamah Syri’ah Lampung melaporkan Peristiwa tersebut kepada Kementrian Agama di Jakarta melaui surat tertanggal 27 Okober 1953 kemudian Kementrian Agma C.q Biro Peradilan Agama (K.H Junaidi) dalam suratnya tanggal 29 Oktober 1953 yang di tujukan kepada Mahkmah Syari’ah Keresidenan Lampung Menyatakan bahwa, “ Pengadilan Agama Lampung boleh berjalan terus seperti sediakala sementara waktu sambil menunggu hasil musywarah antara Kementrian Agama dan Kementrian Kehakiman di Jakarta”. Ketua Mahkamah Syari’ah Lampung dengan suranya Nomor :1147/B/PA, tanggal 7 November 1953 ditujukan kepada Ketua Peengadilan Negeri langsung yang isinya menyampaikan isi surat Kementrian Agama Lampung, di tengah perjuangan tersebut. K. H. Umar Murod menyerahkan jabatan ketua kepada wakil ketua K. H. Nawawi. Kemudian dengan Surat Keputusan Menteri Agama tanggal 10 Mei 1957 mengangkat K. H. Syarkawi sebagai Ketua Mahkamah Syari’ah Lampung. Sedangkan K. H. Umar Murod diindahakan ke Kementerian Luar Negri di Jakarta. Mahkamah Syariah Lampung merasa aman dengan surat sementara dari Kementerian Agama itu, akan tetapi di sana sini masih banyak tanggapan yang kurang baik dan sebenarnya juga di dalam Mahkamah Syariah
43 sendiri belum merasa puas bila belum ada Dasar Hukum yang kompeten. Diyakini keadaan ini terjadi juga di daerah lain sehingga perjuangan-perjuangan melalui lembaga-lembaga resmi pemerintah sendiri dan lembaga keagamaan yang menuntut agar keberadaan Mahkamah Syariah itu dibuatkan Landasan Hukum yang kuat. Lembaga tersebut antara lain : 1) Surat Wakil Rakyat dalam DPRDS Kabupaten Lampung Selatan tanggal 24 Juni 1954 yang ditujukan kepada Kementerian Kehakiman dan Kementrian Agama. 2) Organisasi Jami’atul Washliyah di Medan, sebagai hasil Keputusan Sidangnya tanggal 14 mei 1954. 3) Alim Ulama Bukit Tinggi, sebagai hasil sidangnya bersama Nenek Mamak pada tanggal 13 Mei 1954, Sidang ini konon dihadiri pula oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H. dan H. Agus Salim. 4) Organisasi PAMAPA (Panitia Pembela Adanya Pengadilan Agama) sebagai hasil Sidang tanggal 26 Mei 1954 di Palembang. Syukur Alhamdulillah walaupun menunggu lama dan didahului dengan peninjauan/ survey dari Komisi E parlemen RI dan penjelasan Menteri Agama berkenaan dengan status pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 yang menjadi Landasan Hukum bagi Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah) di Aceh yang diberlakukan juga untuk Mahkamah Syariah di Sumatera. Kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tanggal 9 Oktober 1957 untuk Landasan Hukum Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Peraturan Pemerintah tersebut direalisasikan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di Sumatera termasuk Mahkamah Syariah Keresidenan Lampung di Teluk Betung.
44 Wewenang Mahkamah Syariah dalam PP 45 Tahun 1957 tersebut dicantumkan dalam pasal 4 ayat 1 yaitu : “Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah memerikasa dan memutuskan perselisihan antara suamiisteri yang beraga Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputuskan menurut Hukum Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, hadhanah, mawaris, wakaf, hibah, shodaqoh, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik talak sesudah berlaku”. Perkembangan selanjutnya Badan Peradilan Agama termasuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di Teluk Betung mendapat Landasan Hukum yang mantap dan kokoh denagn diundangkannya UU Nomor 35 Tahun 1999 kemudian diganti UU Nomor 4 Tahun 2004 yang berlaku mulai tanggal 15 Januari 2004. Pasal 10 Ayat (2) menyebutkan : “Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”. Landasan Hukum yang lebih kuat dan kokoh lagi bagi Peradilan Agama dan juga bagi peradilan lain adalah sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamandemenkan, dimana pada bab IX Pasal 24 Ayat (2) menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkugan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 3) Visi Pengadilan Agama Tanjung Karang TERWUJUDNYA PENGADILAN AGAMA TANJUNG KARANG YANG BERSIH, BERIBAWA, DAN PROFESIONAL DALAM PENEGAKAN
45 HUKUM DAN KEADILAN MENUJU SUPERMASI HUKUM. Visi tersebut diharapkan dapat memotivasi seluruh pejabat fungsional maupun structural serta karyawankaryawati Pengadilan Agama Tanjung Karang dalam melaksanakan aktivitas peradilan. Visi tersebut mengandung makna bahwa bersih dari pengaruh tekanan luar dalam upaya supermasi hukum. Bersih dan bebas KKN merupakan topik yang harus selalu dikedepankan pada era reformasi. Terbangunya suatu proses penyelenggaraan yang bersih dalam pelayanan hukum menjadi persyaratan untuk mewujudkan peradilan yang beribawa. Berdasarkan Visi Pengadilan Agama Tanjung Karang yang telah ditetapkan tersebut maka ditetapkan beberapa Misi Peradilan Agama Tanjung Karang untuk mewujudkan Visi tersebut. 4) Misi Pengadilan Agama Tanjung Karang adalah sebagai berikut : a. Mewujudkan Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. b. Meningkatkan Sumber Daya Aparatur Peradilan. c. Meningkatkan Pengawasan yang Terencana dan Efektif. d. Meningkatkan Kesadaran dan Ketaatan Hukum Masyarakat. e. Meningkatakan Sarana dan Prasarana Hukum. 5) Letak/Kedudukan Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang terletak/berkedudukan di Kota Bandar Lampung, Ibu Kota Provinsi Lampung (Pasal 4 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, sebagai mana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama). 6) Alamat dan Kordinat a) Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang beralamat di jalan Untung Surapati No.2 Bandar Lampung (35143).
46 b) No. Telepon : 0721-708629, 0721-705501, Fax : 0721- 787226. c) Kordinat : Kota Bandar Lampung terletak pada : 5025’ Lintang Selatan, 105017’ Bajur Timur, 25017’ Arah Kiblat (dari Barat ke Utara). 7) Keadaan Kantor Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung terletak di atas tanah seluas 3.680 m2. Dibagi dalam dua (2) sertifikat : sertifikat Nomor : 14/L.R Surat Ukur tanggal 3 Januari Tahun 2004, dengan Luas tanah = 680 m2, yang dikeluarkan oleh Kepala kantor Pertahanan Kota Madya Bandar Lampung tanggal 24 Agustus 2004. Sertifikat Nomor : 15/L. R, Surat Ukur tanggal 12 Oktober 2004, Luas Tanah = 300 m2, yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertahanan Kota Madya Bandar Lampung tanggal 18 Oktober 2004. Kantor Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang terdiri dari dua unit bangunan masing-masing berlantai dua (2); dengan luas keseluruhan 910 m2. Bangunan pertama dengan anggaran APBN melalui Dapertemen Agama tahun 2005, sebesar Rp. 804. 025. 000,sedangkan bangunan kedua dengan Angaran APBN melalui Mahkamah Agung RI Tahun 2006 sebesar Rp. 699. 823. 000,- keuda bangunan tersebut dikerjakan oleh : CV. PUTRA TUNGGAL Bandar Lampung. 8) Peresmian Kantor Bangunan pertama diresmikan oleh ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung Drs. MAHFUDH ARHASY, S.H. Atas nama Ketua Mahkamah Agung RI, pada tanggal 15 maret 2005/ 4 shafar 1426 H. Sedangkan bangunan kedua diresmikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung Drs. AHMAD SYARIFUDDIN, S.H., M,H. Pada tanggal 19 Juni 2006/ 21 Jumaidil Awwal 1427 H.57
57
Sumber : Profil Pengadilan Agama Tanjung Karang Tahun 2016.
47 B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tanjung Karang Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekreteriatan Peradilan. Sehingga Struktur/ Badan Organisasi Pengadilan Agama Tanjung Karang Kelas IA sebagai berikut : No Nama Jabatan Ketua Pengadilan 1 Drs. Abu Thalib Zisma Drs. H. Ayef Saeful Miftah, 2 Wakil Ketua S.H., M.H. 3 Dra. Hj. Asma Zainuri, S.H. Hakim Dra. Hj. Maimunah A.R, 4 Hakim S.H, M.Hi. 5 Drs. Syamsuddin, M.H. Hakim Drs. H. Abuseman Batoni, 6 Hakim S.H. 7 Dra. Hj. Maisunah, S.H. Hakim Dra. Hj. Mufidatul Hasanah, 8 Hakim S.H, M.H. 9 Djauahari, S.H. Hakim 10 Drs. Firdaus. MA. Hakim Drs. H. Mumamad Nuh, 11 Hakim S.H, M.H. 12 Dra. Mulathifah, M.H. Hakim 13 Drs. H. Hasan Faiz Bakry. Hakim 14 Drs. Ahmad Nur, M.H. Hakim 15 Drs. A. Nasrul, MD. Hakim 16 Drs. Wasyhudi, M.Hum. Hakim Itna Fauza Qadriyah, S.H, 17 Panitera M,H. 18 H. Sulaiman Marzuki, S.H. Wakil Panitera Panitera Muda 19 Deska Fitrah, S.H, M.H. Permohonan 20 Dra. Husnidar. Panitera Muda Gugatan 21 Syukur, S.Ag Panitera Muda Hukum 22 Nelmi Rodiah Harahaf, S.H. Panitera Pengganti 23 Mahmilawati, S.H, M.H. Panitera Pengganti
48 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Dra. Hj. Maisarah. Linda Hastuti, S.H, M,H. Amnia Burmelia, S.H. Hj. Elok Diantina, S.H. Rosmiati, S.H. Astri Kurniawati, S.H. Eliyanti Suri, S.Ag, M.H. Anika Rahmah, S. Ag. Nursiah, S.Hi. Vivi Wanty, S.H. Rahmatiah Oktafiana, S.Hi. M. Djulizar, S.H, M.H. Senioretta Mauliasari, S.H. Dra. Nelfirdos, M.H. Sudiman, S.H.
39
Anis Khoirunnisa, S.Ag.
40
A.Fathurrohman, S.H, M.H.
41
Indria Yulisa, S,E.
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
M. Rosyidi. Ahmad Subroto, S.H, M.H. Himbauan, S.H, M.M. Ari Eka Putra, S.H. Haryati Ali Haidar, S.H. Mega Oktaria, A.Md Sri Widaryan, S.E, M.H. Mulyati, S.H. Dwi Astuti, S.Pdi. Dra. Masturah. Nurhayati, S. Hi. Adriyadi, S.H. Mulyati, S.H.
Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Sekertaris Kasubagbag Perencanaan Tek. Info & Pelaporan Kasubagbag Kepeg, Organisasi & Tata Laksana Kasubagbag Umum & Keuangan Juru Sita Juru Sita Juru Sita Juru Sita Juru Sita Juru Sita Juru Sita Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Arisiparis
49
56
Yasir, S.H.
57
Sri Widaryani, S.E, M,H.
Pustakawan/ Pranata Computer Bendahara
Adapun Tugas dan Fungsi Pejabat Kepaniteraan dan Kesektriatan pada Pengadilan Agama Kelas IA berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 adalah sebagai berikut : Pasal 97 : Kepaniteraan Pengadilan Agama Kelas IA terdiri dari atas : a. Panitera Muda Permohonan b. Panitera Muda Gugatan, dan c. Panitera Muda Hukum Pasal 98 : Panitera Muda Permohonan mempunyai tugas melaksanakan administrasi perkara di bidang permohonan. Pasal 100 : Panitera Muda Gugatan mempunyai tugas melaksanakan administrasi perkara di bidang gugatan. Pasal 102 : Panitera Muda Hukum mempunyai tugas melaksanakan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data perkara serta pelaporan. Pasal 311 : Kesekteriatan Pengadilan Agama Kelas IA terdiri dari : a. Subbagian Perencanaan, Teknologi Informasi dan Pelaporan. b. Subbagian Kepegawaian, Organisasi dan Tatalaksana. c. Subagian Umum dan Keungan. Pasal 312 : Subbagian Perencanaan, Teknologi dan Pelaporan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan, program dan anggaran, pengolahan teknolgi informasi dan statistik serta pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan dokumentasi serta pelaporan. Pasal 313 :
50 Subbagian Kepegawaian, Organisasi dan TataLaksana Mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan pelaksanaan urusan kepegawaian, penataan organisasi dan tatalaksana. Pasal 314 : Subbagian Umum dan Keuangan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan pelaksanaan urusan surat menyurat, arsip, perlengkapan, rumah tangga, keamanan, keprotokolan, perpustakaan, serta pengolahan keungan. Pengadilan Agama berfunsi sebagai wadah atau lembaga yang dapat menerima, memerikasa dan menyelesaikan segala perkara dan permasalahan yang ada di masyarakat berkenaan perkara-perkara perdata khususnya bagi orang Islam. Adapun Tugas dan Wawenang Pengadilan Agama sebagaimmana yang tertuang dalam jo. UU No 50 Th 2009 : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang : a. Perkawainan b. Kewarisan, wasiat dan hibah c. Wakaf dan Shadaqah d. Ekonomi Syari’ah Pasal 58 menjelaskan tentang funsi dan peran pengadilan dalam pengadilan sebagaimana disebutkan. Ayat (1) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membe-bedakan seseorang. Ayat (2):Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah. Dari Penjelasan pasal di atas bahwa pengadilan merupakan lembaga yang memilik fungsi dan peran yang bebas tanpa terikat artinya dalam menyelesaikan suatu perkara menagani suatu kasus tidak memihak pada orang tertentu dan pengadilan juga sebagai alat atau wadah yang menampung dan membantu orang-orang yang mencari keadilan.
51 C. Faktor yang Menjadi dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Hadhanah Kepada Ayahnya Majelis Hakim dalam Memutuskan suatu perkara di tuntut untuk bersikap adil, oleh karena itu sebelum hakim memutuskan perkara, hakim itu mempunyai penilaian dan fakta-fakta dalam putusannya. Dan fakta-fakta itu yang bersifat konkrit dan benar benar terjadi. Sehingga dapat dibuktikan kebenrannya melului pembuktian, pengklasifikasian dan menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada. Berdasarkan Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Tanjung Karang mengenai 0718/PDT,G/2012/PA. Maka pertimbangan hukum majelis hakim menjatuhkan hadhanah kepada ayahnya adalah sebagai berikut : 1. Dari segi Psikologis a. Anak-anak tersebut masih berumur 10 tahun dan 7 tahun yang masih membutuhkan kasih sayang dan perlindungan dan pengayoman orangtua yang betulbetul menyayanginya. b. Anak-anak tersebut masih memerlukan pendidikan dan perhatian seorang ayah yang bertanggung jawab. c. Pemohon adalah pigur seorang ayah dan diyakini dapat membimbing anak-anak menjadi anak yang berguna bagi agama nusa dan bangsa dan patuh kepada ayah dan ibu sesuai dengan jenjang pendidkan pemohon yaitu strata dua; 2. Dari Segi Moral a. Berdasarkan permohonan Pemohon dan kesaksian para saksi betul telah terjadi perselingkuhan antara Termohon dengan seorang laki-laki lain. b. Bahwa dengan kejadian tersebut di atas maka dapat dikatakan Termohon mempunyai tabiat yang buruk, melanggar syariat Islam sedangkan anak-anak Pemohon dan Termohon perlu diselamatkan dan dilindungi dari amoral, sehingga Majelis Hakim berpendapat cukup
52 alasan untuk mengesampingkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI).58 Menimbang bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut di atas maka Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon bahwa anak-anak yang bernama : Ahmad Arif Rahman Hakim, lahir tanggal 17 juli 2002 dan Muhammad Jefriansyah, lahir tangggal 12 November 2005, berada dalam asuhan dan pemeliharaan Pemohon sampai anak-anak tersebut dewasa atau mandiri dan atau sekurang-kurangnya berumur 21 tahun. Menimbang bahwa selama anak-anak tersebut berada di bawah pengasuhan dan pemeliharaan Pemohon maka seluruh baiya kehidupan, pendidikan, kesehatan, dan keperluan sehari-hari sehari-hari dibebankan kepada Pemohon.59 Undang-undang No 23 Tahun 2002 pasal 4 (mengerucut) bahwa orang tua itu harus mempunyai kapisitas untuk mengasuh anak tersebut.60 Dan dalam Dasar pertimbangan Majelis Hakim tersebut berpendapat bahwa anak harus di asuh oleh orang tua yang berkompeten dan mempunyai manfaat yang besar untuk anak. Agar hak-hak anak terlindungi dan kepentingan anak dapat terpenuhi demi tumbuh kembangnya anak. Terlebih lagi jika dalam kasus ini seorang ibu berprilaku tidak baik. Dalam pasal 105 dikatan bahwa hak asuh anak jika terjadi perceraian maka itu adalah hak ibu untuk mengasuhnya. Akan tetapi hakim mengenyampingkan pasal 105 tersebut, karna ibu telah memiliki sifat yang tidak normal. 61 oleh karena itu hakim berpandangan ibu tidak layak lagi untuk mengasuh kedua anaknya.
58
Arsip Pengadilan Agama Tanjung Karang, Putusan No 0718/PDT,G/2012/PA. 59 Ibid 60 Masiran Malkan, Hakim Pengadilan Agama, Wawancara di Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang, Tanggal 9 Desember 2016. 61 Ibid, Masiran Malkan.
53 D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT.G/2012/PA.TNK Tentang Pengasuhan Hak Hadhanah Kepada Ayah Terhadap anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz) Adapun pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT,G/2012/PA.TNK adalah sebagai berikut : Pertimbangan hukum hakim yang pertama, dalam putusannya, pada penyelesaian perkara hadhanah ini yaitu menggunakan ayat Al Qur’an dalam surat Al Baqarah : 233 tentang pemeliharan anak yang berbunyi sebagai berikut :
ًُف ِ ًَ َعلَى ۡٱل َو ٌۡلٌُ ِد لَ ۥوُ ِر ۡزقُي َُّن ًَ ِك ۡس ٌَتُي َُّن ِب ۡٱل َو ۡعر Artinya : Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Ayat tersebut menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu menjadi kewajibannya. Karena walaupun ayah sudah bercerai dengan si ibu anak akan tetapi kewajiban ayah untuk menafkahi anaknya tidak akan pernah hilang dan terhapus. Sampai anak tersebut dewasa dan bisa berdiri sendiri. Petimbangan hakim menggunakan ayat ini karena ayat tersebut sesuai dengan masalah yang sedang di adili. Yaitu tentang perkara hadhanah. ayat ini juga menggambarkan bagaimana peran kewajiban antara ayah dan ibu. Yaitu ayah memberi nafkah dan makan dan pendidikanya. Dan ibu berkawajiban mengasuh dan menyusuinya. Akan tetapi karena dalam perkara hadhanah ini. Ibunya telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Maka hakim nilai ayah yang lebih berkompeten dan lebih layak untuk mengasuh anak tersebut. Pertimbangan hukum hakim yang kedua adalah majelis hakim menggunakan pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Yang berbunyi sebagai berikut :
54 a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat selama perkawinan yang berlangsung. d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pertimbangan hukum hakim yang ketiga adalah majelis hakim mengesampingkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena dengan ibunya selingkuh dengan laki-laki lain. putusan tersebut menunjukan bahwa ibu tidak pantas menjadi pigur teladan kepada anak-anaknya. Termohon mempunyai tabiat yang buruk oleh karena itu alasan hakim cukup untuk mengesampingkan pasal 105 KHI tesebut.62 Pasal 105 KHI tersebut berbunyi sebagai berikut : Dalam hal terjadi perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayahatau ibunya sebagaipemegang hak pemeliharaan. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 63 62
Ibid, Masiran Malkan. file:///C:/Users/ACER/Downloads/INPRES_NO_1_1991_L.PDF Diakses pada hari minggu tanggal 11 desember 2016. 63
55 Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim pada penyelesaian perkara hadhanah ini, hakim menggunakan pasal 4 UU No 3 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi sebagai berikut : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.64
64
http://Pih.Kemlu.Go.Id/Files/Uuno23tahun2003perlindunga nanak.Pdf Diakses pada minggu 11 Desember 2016.
56
57 BAB IV ANALISIS DATA Setelah penulis mengumpulkan data-data yang bersumber dari Penelitian ke Pengadilan Agama dan Kepustakaan baik yang yang diperoleh dari jurnal-jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan judul ini penelitian ini yaitu “Penyelesaian Perkara Hadhanah di Pengadilan Agama Kelas I.A. Tanjung Karang (Analsisi Putusan Nomor : 0718/PDT.G/2012/PA.TNK)”, yang kemudian dituangkan dalam menyusun pada bab-bab terdahulu, maka sebagai langkah selanjutnya penulis akan menganalisis data yang telah penulis kumpulkan itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : A. Analisa Faktor Menjadi dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Hadhanah Kepada Ayahnya Sebagaimana kita ketahui bahwa hadhanah, secara bahasa berarti, melakukakan sesuatu di dekat tulang rusuk atau dipangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya.Sedangkan menurut fuqaha adalah menjaga dan mengasuh anak lakilaki atau perempuan yang belum tamyiz dengan memenuhi kebutuhannya, dan memberikan perlindungan, serta mendidik jasmani dan rohani, dan akalnya agar mampu menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Pada dasarnya kebutuhan seorang anak adalah meliputi kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spritual. Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Kebutuhan psikis meliputi kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, diterima dan dihargai. Sedangkan kebutuhan sosial akan diperoleh anak dari kelompok di luar lingkungan keluarganya. Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Kebutuhan sptitual adalah pendidikan yang menjadikan anak mengerti kewajiban kepada Allah SWT, kepada Rasulnya, orang tuanya dan sesama saudaranya.
58 Dalam pendidikan spritual, juga mencakup mendidik anak berahlak mulia, mengerti agama, bergaul dengan temantemannya dan menyayangi sesama saudaranya, menjadi tanggung jawab ayah dan ibu. Karena memberikan pelajaran agama sejak dini merupakan kewajiban orang tua kepada anaknya dan merupakan hak untuk anak atas orang tuanya, maka jika orang tuanya tidak menjalankan kewajiban ini berarti menyia-nyiakan hak anak. Dalam masalah hadhanah bila terjadi perceraian, maka ibu lebih berhak terhadap anak untuk melakukan hadhanah Akan tetapi dalam skripsi ini hakim berpadangan lain hakim menjatuhkan hak hadnahah kepada ayahnya padahal anak yang belum mumyaiz itu merupakan hak ibunya. Dan Dasar pertimbangan Hakim adalah sebagai berikut : 1. Dari Segi Psikologi a. Bahwa anak-anak tersebut masih berumur 10 tahun dan 7 tahun yang masih membutuhkan kasih sayang dan perlindungan dan pengayoman orangtua yang betul-betul menyayanginya. Di sini dapat dilihat bahwa ibu dari anak tersebut sebenarnya mempunyai hak untuk mengasuh anaknya karena anak tersebut masih di bawah umur atau belum mumayiz namun dasar pertimbangan hakim disini ialah karna ibunya merelakan anak tersebut diberikan atau di asuh kepada ayahnya asalkan dengan syarat ketika ibunya mau mengunjungi anaknya ia tidak di halangi untuk menjenguk anaknya. Seharusnya menurut penulis hakim disini juga memberikan gambaran bagaimana jika ia ikut dengan si ayah dan bagaimana pula ia ikut dengan si ibu yang anak tersebut sudah tahu dan dapat memilih akan di asuh oleh ayah atau ibunya. b. Bahwa anak tersebut masih memerlukan pendidikan dan perhatian seorang ayah yang bertanggug jawab. Bila dilihat dari keekonomian kedua orangtuanya dapat dikatakan kedua orang tuanya mampu melaksanakan hak hadhanah karena kedua orangtuanya adalah anggota polri yang dapat dikatakan ia dapat melakukan biaya nafkah, pendidikan dan tempat tinggal. Namun yang
59 menjadi pertimbangan majelis hakim disini ialah karena seorang ayah merupakan seorang pemimpin rumah tangga yang berkewajiban menghidupi, dan menafkahi biaya kedua anaknya yang masih di bawah umur atau belum mumayyiz. Hingga anak tersebut dewasa dan mampu menanggung sendiri biaya hidupnya. c. Bahwa Pemohon adalah figur seorang ayah dan diyakini dapat membimbing anak-anak menjadi orang yang berguna bagi agama nusa dan bangsa dan patuh kepada ayah dan ibu sesuai dengan jenjang pendidikan Pemohon yaitu stara dua. Pada putusan pada alinea ini penulis menyimpulkan bahwa hakim disini memandang karena sebelum terjadi perceraian anak anaknya tersebut telah tinggal dengan ayahnya, Oleh karena itu, secara emasioanal dapat dikatakan anaknya lebih dekat kepada ayah dari pada ibu dan ayahlah yang mengurus dan memberikan segala yang dibutuhkan anak selama anak tersebut tinggal dengan ayahnya. Dalam hukum positif, seorang suami atau ayah berkewajiban menanggung biaya rumah tangga, perawatan pengobatan, dan pendidikan anak. Sedangkan dalah hukum Islam dikatakan bahwa seorang ibu itu lebih berhak untuk mendapatkan atau mengasuh anak ketimbang ayah karena ibu itu mempunyai sifat kasih sayang, mempunyai sifat kelatenan dalam merawat anak, mempunyai sifat kesabaran dan lebih intens menjaganya.Akan tetapi dengan pendidikan ayah yang tinggi penulis menyimpulkan bahwa ayah dapat memberikan contoh yang baik dan dapat menjadi teladan untuk anak, oleh karena itu penulis memandang bahwa putusan hakim pada alinea ini telah tepat dan sesuai dengan koredor yang berlaku di pengadilan. 2. Dari Segi Moral a. Bahwa berdasarkan permohonan Pemohon dan kesaksian para saksi betul telah terjadi perselingkuhan antara termohon dengan laki-laki lain. Secara hukum dapat dikatakan di sini bahwa ibu telah mengalami cacat hukum dan tidak berhak lagi untuk
60 mengasuh anaknya karena ibunya telah memiliki tabiat atau perilaku yang tidak benar untuk dicontoh kedua anaknya yang masih di bawah umur. Karena ibu yang bak itu adalah : 1. ibu yang dapat mengajarkan agama dan ahklak yang baik kepada anaknya. 2. Berjiwa keibuan. 3. Peduli pada pendidikan dann bakat anaknya. 4. Mengajarkan kehidupan yang baik. 5. Menegur ketika anaknya melakukan salah atau perilaku yang kurang baik. 6. Mau mendengarkan opini anak. Dalam hukum progresif itu dikatakan memilih antara ayah dan ibunya ia berada ditengan-tengah yaitu tidak memihak ayah atau ibunya. Dalam hukum progresif melihat kepada naluri seorang hakim yang digambarkan terlebih dahulu oleh hakim jika ia akan ikut bersama ibunya sudah mendapatkan gambaran begitu juga sebaliknya jika si anak ikut dengan ayahnya. Sedangkan dalam hukum positif dikatakan bahwa anak yang masih dibawah umur itu ikut dalam kekuasan ibunya. Akan tetapi dengan perilaku ibunya yang memiliki tabiat yang tidak baik tersebut. penulis sependapat dengan putusan hakim yang menjatuhkan hak asuh anaknya kepada ayah karena sebagian telah diuraikan di atas, ibu telah cacat secara hukum dan ayahnya lebih layak untuk mengasuh kedua anaknya karena perbuatan ibunya tersebut. b. bahwa dengan kejadian tersebut di atas maka dapat dikatakan Termohon mempunyai tabiat yang buruk, melanggar syariat Islam sedangkan anak-anak Pemohon dan Termohon perlu diselamatkan dan dilindungi dari amoral, sehingga Majelis Hakim berpendapat cukup alasan untuk mengesampingkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
61 Pada pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa anak yang belum mummayiz itu diberikan kepada ibunya dan apabila ia sudah mumyyiz maka hak asuh anak diberikan kepada anak untuk memilih antara ayah dan ibunya sedangkan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Penulis menyimpulkan bahwa majelis hakim mengesampingkan pasal 105 KHI tersebut karena ibunya telah cacat hukum dan tidak layak lagi untuuk mengasuh anak tersebut, sedangkan yang dihindarkan disini ialah menjauhkan anak dari kemudharatan. Hakim melihat dari posisi sekarang bahwa anak itu harus terpenuhi hidup, tumbuh, berkembang dan berpartipasi. Oleh karena itu penulis menilai bahwa hakim menilai ayahlah yang berkompeten dan ayahlah yang layak untuk mengasuh anak tersebut. Setelah menganalisa beberapa penjelasan di atas, terkait dengan penyelesaian perkara hadhanah, maka penulis disini berpendapat bahwasannya apa yang diputuskan oleh hakim adalah keputusan yang terbaik untuk kepentingan anak, akan tetapi dalam Sabda Rasululullah saw. : ق َ ب َ ٌَُعنُ أَ بِي َعب ُد ا لَ َر ح َون اَ لُ ُحبُالِي َعن أَ بِي أَ ي ُ َس ِوع:َل لل َعلَي ِو ًَ َسلَ ُن يَقٌُ ُل َ ت َر ُسٌ ُل ا َ َ َ ق ا لل بَينَوُ ًَ بَينَ أ ِحبِتِ ِو يٌَ َم ا لقِيَا َ ف َر,ق بَي ُنَ ا ل ٌَ ا لِ َد ِة ًَ ًَ ل ِر ىَا َ ( َهن فَ َر َهوُ) ر ًا ه ا لتر هيس Artinya : Dari Abudyrahman al-Hubuly, dari Abu Ayyub berkata : aku mendengar Rasulullah Saw, bersabda barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya maka Allah SWT. Akan memisahkan antara dirinya dan para kekasihnya pada hari kiamat (HR.Tirdmidzi).65 Berdasarkan hadist di atas telah jelas menunjukan bahwasannya seorang anak yang belum mumayyiz atau belum baligh, ketika ayah dan ibunya akan bercerai 65
Ibnu Rusyid, Bidayatul Muhjtahid, Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007, hlm. 112
62 hendaklah anak tersebut jatuh pada ibu kandungnya, karena secara psikologis seorang anak yang masih belum dewasa itu secara ikatan batin itu masih cenderung dekat kepada ibu kandungnya, oleh sebab itu, apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw, dalam hadis tersebut dari sisi psikologis sangat berkolerasi, maka hadhanah hendaklah seoarang anak jatuh pada ibunya. Dalam hal ini pada kenyataannnya penyelesaian perkara hadhanah ini dijatuhkan kepada ayahnya hal ini sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah di atas. Akan tetapi dalam hal ini, apabila anak jatuh pada ibunya. melihat riwayat akhlah ibu kandungnya, hakim berpandangan bahwa ibu tersebut tidak layak dan berkompeten dalam merawat anak-anaknya. karna telah cacat secara hukum. Oleh sebab itu, demi kemaslahatan dan kebaikan masa depan anak, maka lebih maslahat apabila anak dirawat oleh ayahnya. Allah SWT berfirman :
63 Artinya : dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun (QS. Luqman : 12-14) Berdasarkan ayat di atas telah jelas menunjukan bahwa apabila terjadi perceraian, maka ayah juga mempunyai hak untuk mengasuh anak, ketika ayah dan ibu bercerai, dalam hukum Islam dan hukum positif dikatakan anak itu merupakan hak ibunya akan tetapi hak ibu itu dapat gugur apabila ibunya tidak layak mengasuh karna ibunya antara lain : 1. Selingkuh. 2. Kafir atau Murtad. 3. Mempunyai Pekerjaan yang Sibuk Oleh sebab itu firman allah swt dari ayat tersebut bila dilihat dari sisi kemaslahatan untuk anak sangat berkolerasai. Karna selain ayah merupakan sosok figur yang diteladani dan dipatuhi ayah merupakan juga contoh yang baik untuk anak tersebut berkembang dalam masyarakat. Ayah yang baik adalah sebagai berikut : 1. Mempunyai sifat kepemimpinan. Kepemimpinan adalah salah satu sifat yang menonjol diri seoarang ayah. Ia harus memimpin anak-anaknya
64 menuju kebaikan serta meberikan contoh kepemimpinan yang baik utuk anak-anaknya. 2. Mempunyai sifat kehangatan adalah mempunyai sifat membuat anak-anaknya menjadi nyaman bersama ayah tersebut. Karena jika ayah tidak memiliki sifat kehangatan maka akan menimbulkan suasana yang dingin dan mebuat anaknya tersebut tidak nyaman bersemanya. 3. Memiliki sifat yang kuat. Seorang ayah juga harus memiliki kekuatan. Jadilah ayah yang kuat bukan yang lemah. Kuat bukan dari segi fisik saja, namun juga kuat keimanan, kuat mental dan moral, kuat kemauan, kuat harapan dan cita-cita dan kuat bekerjadan menafkahi anaknya. Ayah yang kuat akan menuju kepada kondisi yang kuat pula. Sedangakan anyah yang lamah akan menurunkan kelemahan pula kepada jiwa anakanaknya. 4. Memeliki sifat Kelembutan yaitu pada saat bersamaan juga harus memeliki kelembutan. Kuat tidak sama dengan kasar. Kuat adalah karakter positif yang harus dimiliki ayah unutk mendewasakan dan mematangkan anakaanaknya.dan semua itu dilakuakn dengan sikap kelembutan dan tidak menggunakan sifat yang kasar. Oleh karena itu, mengenai putusan majelis hakim yang menjatuhkan hak hadhanah kepada ayanhya menurut penulis sudah tepat karena hakim menilai ayah tersebut memeliki sifat sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dan alasan hakim lebih memilih ayahnya dari pada ibunya menurut penulis sudah benar dan sesuai dengan kaedah yang berlaku.
65 B. Analisa Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT.G/2012/PA.TNK Tentang Pengasuhan Hak hadhanah Kepada Ayah Terhadap anak yang belum berumur 12 tahun (belum mumayyiz) Menimbang bahwa berdasarkan jawab-menjawab, replik dan deplik serta keterangan dua orang saksi dari pemohon tersebut, maka Majelis Hakim telah dapat menemukan fakta-fakta dalam persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut : Pertimbangan hukum hakim yang pertama, dalam putusannya, pada penyelesaian perkara hadhanah ini yaitu menggunakan ayat Al Qur’an dalam surat Al Baqarah : 233 tentang pemeliharan anak yang berbunyi sebagai berikut :
ًُف ِ ًَ َعلَى ۡٱل َو ٌۡلٌُ ِد لَ ۥوُ ِر ۡزقُي َُّن ًَ ِك ۡس ٌَتُي َُّن ِب ۡٱل َو ۡعر Artinya : Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Ayat tersebut menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu menjadi kewajibannya. Karena walaupun ayah sudah bercerai dengan si ibu anak akan tetapi kewajiban ayah untuk menafkahi anaknya tidak akan pernah hilang dan terhapus. Sampai anak tersebut dewasa dan bisa berdiri sendiri. Petimbangan hakim menggunakan ayat ini karena ayat tersebut sesuai dengan masalah yang sedang di adili. Yaitu tentang perkara hadhanah. ayat ini juga menggambarkan bagaimana peran kewajiban antara ayah dan ibu. Yaitu ayah memberi nafkah dan makan dan pendidikanya. Dan ibu berkawajiban mengasuh dan menyusuinya. Akan tetapi karena dalam perkara hadhanah ini. Ibunya telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Maka hakim nilai ayah yang lebih berkompeten dan lebih layak untuk mengasuh anak tersebut.
66 Menurut penulis keputusan hakim menjatuhkan hadhanah mengunakan ayat ini sudah tepat kerena sesuai dengan literatur dan permasalahan yang diteliti. Dan akan lebih baik lagi apabila suami dan istri mengurusi keperluan dan pendidikan anak secara bersama-sama. Karena walaupun mereka tidak menjadi suami isteri lagi akan tetapi kewajiban terhadap anak itu akan terus di laksanakan sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri. Pertimbangan hukum hakim yang kedua adalah majelis hakim menggunakan pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Yang berbunyi sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat selama perkawinan yang berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pertimbangan majelis hakim menggunakan pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Menurut penulis karena termohon mempunyai sifat dan tabiat yang ada pada pasal 19 tersebut. Termohon atau ibunya mempunyai sifat selingkuh yang sukar untuk disembuhkan. Sedangkan anak pemohon dan termohon perlu diselamatkan dari perbuatan amoral tersebut. Menurut penulis pasal 19 yang di langgar oleh termohon adalah pada pada pasal huruf a dan f. Pada pasal huruf a.
67 Yang di langgar oleh ibunya adalah ibunya sering bertelponan dan sering pergi dengan laki- laki lain di saat pemohon tidak ada di rumah. Sedangkan pada huruf f. Setelah terbukti ibunya selingkuh dengan laki-laki lain. Maka rumah tangga yang di bina oleh pemohon dan termohon sulit untuk dipertahankan. Sering terjadi perselisihan antara pemohon dan termohon. Menurut penulis Seharusnya ibu yang baik adalah ibu yang dapat menjaga etikad nya, dapat memberikan contoh. Akan tetapi dengan perilaku ibunnya tersebut penulis menyimpulkan. Ibu sangat tidak layak untuk mengasuh anaknya karena perbuatannya tersebut. Pertimbangan hukum hakim yang ketiga adalah majelis hakim mengesampingkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena dengan ibunya selingkuh dengan laki-laki lain. putusan tersebut menunjukan bahwa ibu tidak pantas menjadi pigur teladan kepada anakanaknya. Termohon mempunyai tabiat yang buruk oleh karena itu alasan hakim cukup untuk mengesampingkan pasal 105 KHI tesebut.66 Pasal 105 KHI tersebut berbunyi sebagai berikut : Dalam hal terjadi perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayahatau ibunya sebagaipemegang hak pemeliharaan. c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 67 Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim pada penyelesaian perkara hadhanah ini, hakim menggunakan pasal 4 UU No 3 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi sebagai berikut : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai 66
Ibid, Masiran Malkan. file:///C:/Users/ACER/Downloads/INPRES_NO_1_1991_L.PDF Diakses pada hari minggu tanggal 11 desember 2016. 67
68 dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.68 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Pekawaninan, terdapat ketentuanketentuan terkait masalah hadhanah yaitu terdapat dalam pasal 41 tentang akibat putusnya perkawinan akibat perceraian adalah sebagai berikut : 1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengausaan anak-anak pengadilan memberinya putusan. 2. Bapak yang betanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi baiya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bekas istri.69 Kemudian pasal 45 menjelaskan bahwa : a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-bainya. b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat ini berlaku dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin dan dapt berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua meskipun putus.70 Dari penjelasan diatas penulis berpendapat apabila kedua orang tua bercerai dan tidak tinggal satu rumah lagi akan tetapi kawajiban orangtua kepada anak68
http://Pih.Kemlu.Go.Id/Files/Uuno23tahun2003perlindunga nanak.Pdf Diakses pada minggu 11 Desember 2016. 69
Undang-Undang Perkawinan, Pustaka Tinta Emas, Surabaya, 2005, hlm. 17 70 Ibid, hlm. 18
69 anaknya tidak menjadi habis atau tidak putus. Karena perceraian memang terjadi kepada kedua orang tuanya tetapi kewajiban orang tua kepada anak-anaknya tetap dijalankan. Karena anak masih membutuhkan kasih sayang, perlindungan, serta perhatian dari kedua orang tuanya. Perceraian memang bukanlah salah satu jalan yang diinginkan oleh setiap anak, akan tetapi sebelum terjadinya kesepakatan antara kedua orang tua terhadap masa depan anak itu telah dipikirkan kedepannya. Oleh karena itu, walaupun kedua orang tua yang telah bercerai akan tetapi kewajiban orang tua seperti pendidikan,biaya makan dan biaya keperluan lainnya itu dapat menjadi maslahat dilakukan bersama-sama dengan oleh ayah dan ibu kandungnya. Dalam penyelesaian perkara hadhahah ini sejalan dengan apa yang diatur pada pasal 41 UU No 1 Tahnu 1974 diatas. Dimana ayah yang bertugas untuk menafkahi kedua anak-anak laki-lakinya karena majelis hakim berpendapat ayah disini lebih berkompeten dan lebih layak untuk mengasuh anak-anak tersebut. Karena majelis hakim memandang ayah lebih menyayangi dan lebih menginginkan anak tersebut untuk diasuhnya dan ayah tersebut meliki sifat baik dan dapat memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Sedangkan tujuan dari hak asuh anak adalah untuk memberikan kemaslahatan yang baik kepada anak. Dan majelis hakim pun dalam putusannya tersebut pada penyelesain perkara hadhanah ini tidak menghalangi kepada ibunya, untuk mengunjungi anaknya karena walaupun kedua orang tua telah bercerai dan hak asuh anak diberikan kepada ayah, anak tersebut masih memerlukan perhatian dan kelembutan seorang ibu karena seorang ibu mempunyai sifat keibuan yang tidak di punyai oleh seorang ayah. Sifat keibuan disini ialah seperti perhatiannya, kasih sayang dan sifat emasioanal antara ibu dan anak. Menurut pendapat ulama yaitu Malikiyah dan Syafi’i ulama tersebut berpendapat sebagai berikut : Menurut Malikiyah hadhanah terhadap anak lakilaki terus berlangsung sampai ia baligh dan anak
70 perempuan sampai menikah dan tinggal bersama suaminya meskipun ibunya kafir. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah si anak tidak boleh memilih karena belum ahli bicara dan tidak tahu peruntungannya sehingga lebih memilih yang suka bermain dengannya, dan mengabaikan pendidikannya untuk mengikuti segala keinginannya sehingga merusak dirinya sendiri. Menurut Syafi’i anak yang yang belum mumayyiz perempuan atau laki-laki berumur 7 atau 8 tahun kedua orang tua sama-sama berhak meskipun salah satu orang tua memiliki kelebihan seperti kelabihan dalam harta, agama, dan cinta, karena bila mereka berselisih ditetapkan siapa yang dipilih anak, karena nabi menyerahkan pada pilihan anak, anak yang tamyiz lebih tahu yang mana yang baik dan lebih 71 membahagikannya. Dari pendapat para ulama tersebut penulis berpendapat bahwa hak asuh anak untuk anak laki-laki menurut Maliki yaitu berlangsung sampai ia dewasa dan anak itu tidak boleh memilih akan ikut siapa dari kedua orangtuanya . Sedangkan Syafi’i sebaliknya ia lebih menekankan utuk anak memilih dari kedua orang tuanya. Akan tetapi karena dalam skripsi ini yang diteliti ialah tentang penyelesian perkara hadhanah dua anak laki-laki yang diberikan majelis hakim kepada ayahnya. Dalam hal ini penulis setuju atau sepedapat dengan pendapat malikiyah karena menurut penulis juga hak asuh anak laki-laki berlaku dari iya tamyis sampai ia dewasa dan anak yang belum mumayyis tidak boleh diberikan hak untuk memelih kedua orangtuanya karena penulis berpendapat anak tersebut harus mengikuti putusan majelis hakim yang majelis hakim tersebut sudah mengeahui mana yang lebih baik dan lebih maslahat untuk kebaikan anak tersebut. Jika anak tersebut disuruh memilih dan ia memilih ibunya maka dikhawatirkan 71
Aris Bintania, Hukum Acara Peraadilan Agama dalam kerangka fiqih al-qadha, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2013. Hlm. 238
71 anak tersebut akan mengikuti sifat akhlak ibunya yang tidak baik. Dan hal itu sangat dijauh dan di hindarkan demi masa depan anak. Pada penulisan skiripsi ini penulis menggunakan teori maslahah al mursalah. Adapun yang dimaksud dengan maslah ah al mursalah adalah dilihat dari segi bahasa, kata al-maslhah adalah seperti lafadz almanfa’at, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat masdhar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti halnya lafadz al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u. Dapat juga dikatakan bahwa al-maslahah merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata almaslahih. Pengarang kamus lisan Al-Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-maslahah yang berarti al-aslahah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari almaslahih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan maslahah. Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nayata antara pencipta dan makhluknya. Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain. Tashil al-ibqa. Mahsud tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secar langsung, sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadharatan dan sebab-sebabnya. Dengan demikian, al-maslahah al mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudan ditemukan
72 sesuatu yang sesuai dengan hukm syara, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyelamatkan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-mashlahah al-mursalah. Tujuan utama al maslahah al-mursalah addalah kemuslahatan; yakni memelihara dari kemudaratan dan menjaga kemanfaatannya. Dengan menggunakan teori maslahah tersebut penulis menyimpulkan bahwa tujuan dari menggunakan teori maslahah mursalah adalah untuk menjauhkan kemudaratan yang takut akan terjadi kepada anakanaknya. Karena sifat ibu dalam kasus penyelesain perkara hadhanah disni ialah tidak baik dan mencerminkan bukan sesorang yang bermoral dan kelakuakn yang tidak patut untuk dilakukan. Dengan menggunakan sifat marsalah mursalah tujuan yang diharapkan ialah hak-hak anak yaitu dapat terpenuhi dan menghindarkan kemudharatan serta menyelamtakan anak-anak tersebut dari sifat tercela. Alasan teori marsalah mursalah sejalan dengan penyelesain perkara hadahanh di pengadilan agama kelas IA Tanjung Karang ialah. 1. Apabila anak di kasih hak asuhnya kepada ibu maka akibatnya adalah anak tersebut akan meniru sifat yang tidak baik dari ibunya. Oleh sebab itu maka keputusan hakim menjatuhkan hak hadhanah kepada ayahnya ialah bertujuan untuk menjauahkan kemadratan dan agar anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik. 2. Apabila hak asuh anak dijatuhkan kepada ayahnya dibandingkan kepada ibunya maka selain ayah merupakan figur seorang teladan dan dapat memberikan contoh yang baik. ayah juga merupakan sosok yang dapat bertanggung jawab untuk biaya keperluannya dan biaya pendidikannya. Oleh sebab itu maka penulis berpendapat bahwa keputusan majelis hakim memutuskan hak asuh anak kepada ayahnya juga sesuai dengan teori hukum Islam.
73 Yaitu salah satunya teori marsalah mursalah karena putusan tersebut merupakan keputusan yang terbaik untuk kepentingan si anak walaupun jika anak tersebut dekat kepada ibunya. Karena yang menjadi pertimbangan majelis hakim adalah bukan kedekatan dengan si anak akan tetapi untuk yang lebih mana yang lebih berkompeten dan lebih layak untuk mengasuh anak tersebut.
74
75 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Tanjung Karang mengenai Putusan Nomor : 0718/PDT,G/2012/PA. Maka dasar pertimbangan hakim menjatuhkan hadhanah kepada ayahnya adalah faktor psikologis dan moral. Faktor Psikologis yaitu anaknya masih berumur 10 tahun dan tujuh tahun yang masih memerlukan perhatian, pendidikan. Dan figur seorang ayah yang bertanggung jawab yang dapat memberikan contoh dan teladan yang baik kepada kedua anaknya. Agar anaknya dapat menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan Negara. Sedangkan faktor moralnya yaitu karena ibunya telah melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain. Secara moral ibunya memeliki perilaku yang buruk sedangkan anak-anak pemohon dan termohon perlu dilindungi dan dijauhi dari perbuatan amoral tersebut. Sedangkan pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT,G/2012/PA.TNK adalah pertimbangan pertama : majelis hakim menggunakan ayat Al Baqorah : 233. Pertimbangan kedua : majelis hakim menggunakan pasal 19 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pertimbangan ketiga : majelis hakim mengesampingkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena ibunya telah terbukti selingkuh. B. Saran Dari pemaparan di atas saran penulis adalah sebagai berikut : 1. Keluarga merupakan sarana untuk tumbuh kembang si anak semakin bagus tempat tumbuh si anak semakin bagus pula lingkugan yang di dapatnya. oleh karena itu hendak nya setelah pihak ayah yang di pilih oleh majelis hakim untuk mengasuh anak tersebut untuk tidak menyia-nyiakan hak asuh anaknya.
76 2. Perselingkuhan adalah jalan yang tidak baik untuk keharmonisan dalam rumah tangga hendaknya jauhilah sifat selingkuh dalam keluarga karna selain sifat tersebut adalah sifat yang tidak baik dan sifat tersebut merupakan sifat tercela dan sifat yang mudharat untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, PT. Kencana, Jakarta, 2006. Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, PT. Kencana, Jakarta, 2008. Ahsin w. Alhafidz, Kamus Fiqih, PT. Bumu Aksara, Jakarta, 2013. Amniur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, PT. Kencana, Jakarta, 2004. Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam rangka Fiqih al Qadha, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2012. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2013. Cholid Narbuko, Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 2007. Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Dapertemen Agama RI, Al Quran Terjemahan, Al Mubin, Pustaka Al Mubin, Jakarta, 2010. Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia, PT. Kencana, Jakarta, 2005. file:///C:/Users/ACER/Downloads/INPRES_NO_1_1991_L.PD F Diakses pada hari minggu 11 desember 2016.
http://pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGA NANAK.pdf Diakses pada hari minggu 11 Desember 2016. Https://www.google.co.id/search?q=pengertian+pengadilan Unduh pada hari minggu, tanggal 2 oktober 2016. H.
Sulaiman rasjid, Fiqih Islam, Algesindo,bandung, 2012.
PT.
Sinar
di
Baru
Ibnu Rusyid, Bidayatul Muhjtahid, Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007. Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1987. Kuntjaraningrat, Metode-Metode Gramedia, Jakarta, 2010.
Penelitian
Masyarakat,
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 2004. Muhammmad Bagir Al Habsyi, fiqih Praktis Menurut AlQuran, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, PT. Mizan, Bandung, Matrineal Minangkabau, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013. Muhammad Yahya Harahaf, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, PT. Pustaka Kartini, Jakarta, 1993. Peter
Salim, Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontonporer, Modern English Press, Jakarta. 2011.
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Satria
Efendi, Prblematika Hukum Keluarga Kontonporer, PT. Kencana, Jakarta, 2004.
Islam
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, PT. Al Maarif, Bandung, 1996. Shafiyyurahman Al Mubarakfury, syarah Bulugul maram, PT. Raja Publishing, Yogakarta, 1986. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, PT. Bulan Bintang, Yogyakarta, 1986. Subekti, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Bina Cipta, Bandung, 1989. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Liberty, Yogyakarta, 1993. Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, cetakan Kedelapan,Rieneka Cipta,Jakarta. Sukardi, Metodelogi penelitian Pendidikan, PT. Bumi Askara, Jakarta, 2012. Sutrisno Hadi, Metode Reseach, fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1994. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi tentang teori akad dalam fiqih muamalat), PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2007. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, PT. Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2001. Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, PT. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003. Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, PT. Darul Fikir, Jakarta, 2011. Yaswirman, Hukum Keluarga Kakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrineal Minangkabau, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.