PENGUATAN KAPITAL SOSIAL; DALAM PENANGGULANGAN GIZI BURUK “Sebuah Kajian Kapital Sosial Dalam Penanggulangan Gizi Buruk Di NTT” Oleh : Ade Subarkah, SST, MPS.Sp
Abstract Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan keduaduanya. Di suatu kelompok masyarakat, anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya kekurangan gizi. Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai tingkat berat dan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu cukup lama. Menteri Kesehatan Indonesia, Dr. Siti Fadilah menyebutkan ada tiga hal yang saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan, pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi penyakit. A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Penderita gizi buruk di Desa Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) masih tinggi. Dari 4.000 balita, 130 diantaranya mengalami gizi buruk. Sedangkan 255 lainnya mengalami gizi kurang. Data ini belum menggambarkan kondisi seluruh balita di NTT karena dari 4.000 balita baru 60 persen yang ditimbang, sehingga angka gizi buruk bisa jadi lebih tinggi. Kepala Dinas Kesehatan NTT menjelaskan bahwa tiga faktor penyebab kekurangan gizi di daerahnya. Pertama, faktor ekonomi yang kurang, sehingga orang tua sulit memenuhi gizi anak. Kedua, pengetahuan orang tua yang kurang. Mereka menyamakan waktu makan anak dengan orang tua. Padahal bayi memerlukan asupan gizi minimal setiap dua jam. Ketiga, sulitnya geografis dan kurangnya petugas gizi. Keadaan gizi atau status gizi masyarakat menggambarkan tingkat kesehatan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan asupan zat-zat gizi yang dikonsumsi seseorang. Anak yang kurang gizi akan menurun
daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi, sebaliknya anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi sehingga menyebabkan kurang gizi. Anak yang sering terkena infeksi dan gizi kurang akan mengalami ganggguan tumbuh kembang yang akan mempengaruhi tingkat kesehatan, kecerdasan dan produktivitas di masa dewasa. Kasus di NTT merupakan salah satu kasus dari banyaknya kasus gizi buruk atau malnutrisi di Indonesia, berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada tahun 2004, kasus gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 5,1 juta. Kemudian pada tahun 2005 turun menjadi 4,42 juta. Tahun 2006 turun menjadi 4,2 juta (944.246 di antaranya kasus gizi buruk) dan tahun 2007 turun lagi menjadi 4,1 juta (755.397 di antaranya kasus gizi buruk). Masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi hampir di semua Kabupaten dan Kota. Pada saat ini masih terdapat 110 Kabupaten/Kota dari 440 Kabupaten/Kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi di atas 30% (berat badan menurut umur). Menurut WHO keadaan ini masih tergolong sangat tinggi. Berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2005, total kasus gizi buruk sebanyak 75.671 balita. Kasus gizi buruk yang dilaporkan menurun setiap bulan. Semua anak gizi buruk mendapatkan penanganan berupa: perawatan di Puskesmas dan di Rumah Sakit serta dilakukan tindak lanjut paska perawatan berupa rawat jalan, dan melalui posyandu untuk dipantau kenaikan berat badan dan mendapatkan makanan tambahan. Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal dunia dilaporkan dari bulan Januari 2005 sampai Desember 2005 adalah 286 balita. Kasus gizi buruk yang meninggal tersebut pada umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti ISPA, diare, TB, campak dan malaria. Dan sampai dengan November 2008 ini, sedikitnya tercatat 4 juta anak Indonesia yang menderita kurang gizi terancam jatuh derajatnya ke gizi buruk. Celakanya, dari 700.000 penderita gizi buruk, kemampuan pemerintah menangani hanya 39.000 anak gizi buruk
2
Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal tertinggi terjadi pada bulan Juni sebanyak 107 kasus, selanjutnya pada bulan-bulan berikutnya kasus gizi buruk yang meninggal cenderung menurun, bahkan pada bulan Nopember tidak ada laporan kasus gizi buruk yang meninggal dunia. Namun demikian pada bulan Desember 2005 terjadi peningkatan kasus gizi buruk yang meninggal dunia sebanyak 54 kasus yang merupakan laporan dari 7 propinsi yaitu dari Jatim 14 kasus, Sulsel 13 kasus, Gorontalo 13 kasus, NTT 6 kasus, Lampung 4 kasus, Sulteng 2 kasus, serta Maluku dan Malut masing-masing 1 kasus. Jumlah kasus gizi buruk dari bulan Januari 2005 sampai Desember 2005 sebanyak 13.969 (Grafik 1) dari jumlah balita di NTT 477.829 anak. Hasil assessment gizi yang dilakukan Depkes bekerja sama dengan SEAMEO dan WFP bulan Juli-September 2005 menunjukan prevalensi gizi buruk propinsi NTT : 13,8%, Sumba Timur : 13,2%, TTS: 18,0%, Kota Kupang : 14,9%, Ende : 8,7 % dan Flores Timur : 8,2%. (Grafik 2) Grafik 1. Jumlah Kasus Gizi Buruk di Propinsi NTT (Januari-Desember 2005)
3
Grafik 2. Prevalensi Gizi Buruk di 5 Kabupaten Propinsi NTT Tahun 2005
Dari 13.969 balita gizi buruk yang ditangani, sebanyak 12.792 balita dilakukan rawat jalan dan pemberian makanan tambahan dan 1.165 balita dirawat di berbagai tempat yaitu Therapeutic Feeding Center (TFC), Puskesmas dan RSUD. Dari kasus yang dirawat sebanyak 648 balita telah membaik, yang lainnya masih dalam perawatan. Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal dunia dari bulan Januari sampai Desember 2005 sebesar 58 balita. Jumlah balita yang meninggal cenderung menurun (grafik 3). Grafik 3. Jumlah kasus Gizi Buruk Yang Meninggal Dunia di Propinsi NTT (Januari-Desember 2005) Grafik 3. Jumlah kasus Gizi Buruk Yang Meninggal Dunia di Propinsi NTT (Januari-Desember 2005)
Keterangan:Jumlah kasus meninggal: 58 balita
4
Tabel Penemuan dan Penanganan kasus gizi buruk di NTT Menurut Kabupaten/Kota
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung, pertama: anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama, dan kedua: anak menderita penyakit infeksi. anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai dan sanitasi/kesehatan lingkungan kurang baik serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga. Berdasarkan hasil surveilans faktor risiko penyebab gizi buruk di NTT adalah faktor sosial budaya dan ketidak tahuan, rendahnya daya beli dan masih tingginya penyakit infeksi, selain faktor tersebut diperberat juga dengan terjadinya kekeringan yang panjang.
5
Menurut Menteri Kesehatan RI, tanggung jawab pemerintah Pusat dalam hal ini Depkes adalah merencanakan dan menyediakan anggaran bagi keluarga miskin melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat, membuat standar pelayanan, buku pedoman serta melakukan pembinaan dan supervisi program ke provinsi, kabupaten dan kota. Dalam kaitannya dengan gizi buruk, Depkes pada tahun 2005 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005 – 2009. Menkes menambahkan, pemerintah berusaha meningkatkan aktivitas pelayanan kesehatan
dan
gizi
yang
bermutu
melalui
penambahan
anggaran
penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk menjadi Rp. 600 milyar pada tahun 2007 dari yang sebelumnya 63 milyar pada tahun 2001. Anggaran tersebut ditujukan untuk: a. Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan bulanan balita di posyandu b. Meningkatkan cakupan dan kualitas tatalaksana kasus gizi buruk di puskesmas/RS dan rumah tangga c. Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) kepada balita kurang gizi dari keluarga miskin d. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi kepada anak (ASI/MP-ASI) e. Memberikan suplementasi gizi (kapsul Vit.A) kepada semua balita 2. Perumusan Masalah Dalam studi tentang kapital sosial dalam penanggulangan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini rumusan masalah yang digunakan adalah “bagaimana strategi penanggulangan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur dalam perspektif kapital sosial ?” 3. Tujuan Studi analisis kapital sosial dalam penanggulangan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur bertujuan menemukan dan merumuskan potensi modal sosial yang ada di masyarakat dalam penanggulangan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara rinci tujuan studi ini adalah : a. Menganalisis faktor penyebab terjadinya kasus gizi buruk di Indonesia pada umumnya dan di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada khususnya. 6
b. Menelaah kekuatan-kekuatan yang diperlukan dalam penanggulangan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT) c. Merumuskan
potensi
kapital
sosial
dalam
masyarakat
dalam
penanggulangan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT). B. Kerangka teoritis 1. Gizi Buruk Bila jumlah asupan zat gizinya sesuai dengan kebutuhan disebut seimbang (Gizi baik), bila asupan zat gizi lebih rendah dari kebutuhan disebut Gizi Kurang, sedangkan bila asupan zat gizi sangat kurang dari kebutuhan disebut Gizi Buruk. Anak balita yang sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur atau berat badan menurut tinggi, apabila sesuai dengan standar anak disebut Gizi Baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut Gizi Kurang, sedangkan jika jauh di bawah standar disebut Gizi Buruk. Bila gizi buruk disertai dengan tandatanda klinis seperti ; wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut Marasmus, dan bila ada bengkak terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut Kwashiorkor. Marasmus dan Kwashiorkor atau Marasmus Kwashiorkor dikenal di masyarakat sebagai “busung lapar”. 2. Kemiskinan Nilanjana Mukherjee dkk. (2002:3) dalam dokumen Bank Dunia, menyatakan bahwa :
”kemiskinan adalah suatu kondisi dimana orang mengalami
berbagai ancaman untuk bisa hidup layak”. Hal ini termasuk tidak cukupnya konsumsi, kerentanan, pendidikan yang rendah, tidak memadainya layanan kesehatan dasar, infrastruktur yang tidak bisa menyediakan kebutuhan seharihari (air bersih, sanitasi, perumahan yang memadai) dan kurangnya peluang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Menurut Tensey dan Ziegley dalam Tim penelitian Kemiskinan dan keberfungsian sosial (2003:8) mengungkapkan bahwa kemiskinan mempunyai tiga penyebab prinsip yaitu : a. human capital deficiencies, defiesiensi modal manusia berarti rendahnya kualitas sumberdaya manusia, seperti rendahnya pengetahuan dan
7
keterampilan sehingga menyebabkan mendapatkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan rendahnya daya beli; b. inssufficient demand for labor, yakni rendahnya permintaan akan tenaga kerja sehingga meningkatkan pengangguran, pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki kebutuhan dasar. c. discrimination, adanya perlakuan berbeda terhadap golongan tertentu terutaa dalam aksesibilitas terhadap sumberdaya-sumberdaya dan adanya dominasi pihak tertentu terhadap sumberdaya tersebut.
3. Modal Sosial (social capital) Selama satu dekade terakhir, modal sosial menjadi perhatian serius dalam sosiologi, ekonomi, ilmu politik, kesehatan dan bahkan dikembangkan oleh kerja-kerja agen pembangunan internasional. Perhatian serius pada modal sosial tampaknya paralel dengan perhatian pada good governance, desentralisasi, demokrasi lokal, pemberdayaan, civil society dan seterusnya. Ketika perdebatan modal sosial kian marak, KTT Dunia tentang Pembangunan Sosial (World Summit for Social Development) tahun 1995 di Kopenhagen secara responsif terlibat mempromosikan penguatan modal sosial di tingkat lokal dan global sebagai fondasi bagi pengentasan kemiskinan. Komitmen Kopenhagen menunjukkan bahwa pembangunan sosial bukan melulu masalah penyediaan pelayanan sosial oleh negara, tetapi lebih dari itu adalah memforkuskan pada modal sosial sebagai wujud jaringan kerja pada tingkat masyarakat dan global untuk menyelidiki satu alat sangat menjanjikan, dan relatif belum dipetakan, untuk memajukan pembangunan sosial. Merujuk pada pendapat Colletta & Cullen (2000),
Kapital sosial
didefinisikan sebagai “suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world-view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal-balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi Kapital-kapital lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan.
8
Putnam (1993) berpendapat bahwa Kapital sosial menunjukkan pada bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakantindakan yang terkoordinasi. Dalam kapital sosial terdapat beberapa dimensi, yaitu : a. Integrasi (integration) : ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan agama b. Pertalian (linkage) : ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal berupa jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic associations) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik, dan agama c. Integritas
organisasional
(organizational
integrity):
keefektifan
dan
kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan d. Sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations). Sebagian konsep kapital sosial menekankan dimensi fungsional yang merujuk pada : a. Tindakan kolektif (collective action) – (dalam definisi ilmu politik) b. Kohesi sosial (social cohesion)- (dalam definisi sosiologi) c. Pertumbuhan ekonomi yang mendorong kehidupan menjadi lebih baik (dalam definisi ekonomi) Serageldin & Grootaert (1945) menyatakan bahwa dalam ilmu politik, sosiologi dan antropologi pengertian Social Capital secara umum adalah .... refers to set norms, networks and organization through which people gain access to power and resources that are instrumental in enabling decision making and policy formulation. Adalah serangkaian norma-norma, jaringan kerja dan organisasi yang masyarakatnya dapat mengakses kekuasaan dan sumberdaya sebagai piranti yang memungkinkan dalam pengambilan keputusan dan formulasi kebijakan. Pengertian ini mengandung makna adanya pelembagaan masyarakat memiliki daya menentukan apa yang diinginkan melalui keputusan dan kebijakan yang dibuatnya sendiri. Pengertian menekankan pada konteks pengambilan
9
keputusan besar yang mempertautkan keputusan itu dengan ruang sosial tertentu, seperti halnya collective action-nya Etzioni atau social structure Coleman. Berdasarkan beberapa definisi tentang kapital sosial di atas, dapat dilihat beberapa hal yang perlu di garis bawahi bahwa kapital sosial merujuk pada tiga hal utama, yaitu kepercayaan (trust), jaringan (network), dan kelembagaan (institution). Seiring dengan pergeseran paradigma pembangunan (shift paradigm) dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan (production centre development) ke arah pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centre development) maka keberadaan kapital sosial mutlak dipelukan, sebab ada korelasi positif antara meningkatnya modal sosial dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan ciri utama peningkatan partisipasi masyarakat dan pendistribusian kekuasaan secara merata, sehingga paradigma pemenuhan hak menjadi hal yang mutlak menggantikan pemenuhan berdasarkan kebutuhan yang cenderung ekploitatif dan menempatkan masyarakat sebagai objek. C. Analisis Masalah gizi buruk (malnutrisi) terus terjadi dari tahun ke tahun dan seperti fenomena gunung es, karena data-data statistik yang ada merupakan data yang dilaporkan dan dikhawatirkan masih banyak kasus-kasus gizi buruk yang tidak dilaporkan oleh masyarakat. Masalah gizi buruk menjadi sangat penting sehingga Pengurangan jumlah penderita malnutrisi menjadi salah satu target Tujuan Perkembangan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs). Indonesia berkomitmen untuk mengurangi hingga setidaknya tinggal 18% penduduk yang mengalami malnutrisi pada tahun 2015, di mana angka tahun ini masih 28%, sementara pelaksanaan MDGs tahun ini sudah memasuki periode sepertiga terakhir. Artinya bahwa, pemerintah tidak mungkin mampu menjadi single player dalam penanggulangan gizi buruk, seperti kasus di NTT, NTB dan beberapa daerah laninnya di Indonesia, karena gizi buruk bukanlah masalah tunggal, tetapi berdiri di atas masalah – masalah sosial lainnya. Pendapatan rendah akibat kemiskinan, pengetahuan rendah tentang pengasuhan anak akibat pendidikan yang rendah, sanitasi lingkungan dan perilaku hidup yang tidak sehat merupakan akar masalah yang juga harus menjadi perhatian dalam penanganan masalah gizi 10
buruk. Sehingga jelas bahwa gizi buruk bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam hal ini departemen kesehatan semata, tetapi menjadi masalah lintas sektoral yang harus dipercahkan secara bersama-sama.
GIZI BURUK
Anak kurang mendapat asupan gizi seimbang
Tidak cukup persediaan pangan dalam keluarga
Penghasilan rendah
Pengetahuan tentang pola asuh anak rendah
Pendidikan rendah
Sanitasi lingkungan buruk
Rumah kumuh
KEMISKINAN
Gambar 1. Analisis pohon masalah gizi buruk
Social Capital : Sebuah Potensi dan Harapan Di dalam masyarakat terdapat sistem nilai dan norma yang sudah melembaga, seperti norma adat, norma agama dan norma kemasyarakatan yang dijaga dan menjadi suatu budaya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam suatu komunitas terdapat ikatan-ikatan atau pertalian (linkage) yang kuat, baik itu karena kekerabatan, etnik, atau agama. Pertalian dan ikatan tersebut melandasai nilai solidaritas dan kepedulian antar anggota komunitas dalam pemecahan berbagai masalah yang muncul di dalam komunitas tersebut. Hal tersebut di atas merupakan kekuatan dalam masyarakat yang dikenal juga dengan kapital sosial (social capital), yang merupakan kohesi dan kebersamaan seluruh elemen dan unsur di masyarakat yang saling berhubungan erat karena
11
dijalin oleh kesadaran kolektif, egalitarianisme, dan solidaritas sosial yang (genuine) untuk menata dan merawat kehidupan bersama secara empati, bermartabat, dan manusiawi (Fredian Tonny). Kapital sosial yang kuat yang diindikasikan dengan “jejaring sosial” dalam masyarakat sesungguhnya mampu berfungsi untuk medeteksi gejala dan masalah sosial yang muncul di dalam masyarakat, seperti masalah gizi buruk, dan seketika mampu merespons atau mengantisipasinya secara proaktif. Dalam kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat sesungguhnya dapat berperan serta dalam penanggulangan masalah tersebut. Pengembangan jaringan (network) antar anggota komunitas atau masyarakat dengan pemerintah (state-community relations) dapat mengurangi beban pemerintah yang memiliki banyak keterbatasan. Partisipasi masyarakat menjadi penting ketika sebuah masalah muncul di dalam masyarakat tersebut. Partisipasi disini bukan diartikan sebagai tenaga kasar untuk mengurangi beban pemerintah dalam penanggulangan masalah gizi buruk, tetapi partisipasi yang didasari atas kesadaran masyarakat akan realitas sosial yang ada di sekitar mereka.
Human Capital Kemampuan Personal (pendidikan, pengetahuan, kesehatan, keahlian dan keadaan terkait lainya)
Produced Economic Capital Asset ekonomi, sumberdaya dan asset finansial
Community Capital
Social Capital Norma/nilai (trust, reciprocity, norma sosial lainnya), partisipasi dalam jaringan, proactivity
Natural Capital Sebagai contoh : sinar matahari, cuaca, air, flora dan fauna, sumber energy, tanah, dll
Gambar 2. Kapital Komunitas
12
Sinergi (sinergy) antara pemerintah sebagai duty-baries dan masyarakat sebagai pemangku hak dalam penanggulangan masalah gizi buruk bisa dilakukan dengan melakukan kerja sama timbal balik (reciprocity) dan tidak menyerahkan masalah pada satu pihak saja. Pemerintah harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat, seperti kapital komunitas (akumulasi kapital yang ada di dalam komunitas termasuk kapital sosial di dalamnya) dan tidak menjadikan masyarakat sebagai objek pemecahan masalah, melainkan menjadi subyek atau aktor utama pemecahan masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut. Artinya dalam penanggulangan masalah gizi buruk, masyarakat terlibat dalam mulai dari tahap perencanaan dan pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmat hasil dan evaluasi (cohen and Uphoff, 1980). Ketika gizi buruk menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), Sinergi (sinergy) antara pemerintah pusat dan daerah pun hendaknya dapat terjalin dengan baik, dalam konteks otonomi daerah dimana daerah memiliki tanggung jawab dalam pembangunan di daerahny masing-masing. Pemerintah pusat dapat memberikan stimulan untuk penanganan kasus gizi buruk secara spontan dan sporadis untuk meredam dampak masalah tersebut, tetapi untuk jangka panjang pemerintah daerahpun harus membangun sebuah sistem penanganan, baik penanganan jangka pendek maupun jangka panjang yang mampu menanggulangi masalah sampai pada akar masalah gizi buruk, yaitu kemiskinan. Pada hakekatnya upaya penanggulangan gizi buruk pada tingkat komunitas menfokuskan pada pemberian kemampuan dan kekuasaan (power sharing) kepada mereka, baik keluarga yang anaknya menderita gizi buruk atau komunitas dimana kasus gizi buruk itu muncul untuk mengakses sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menanggulangi atau mencegah munculnya masalah tersebut. Kemampuan membentuk jaringan (network) dengan beragam stakeholders yang berkompeten dalam penganggulangan masalah gizi buruk pun menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Dengan meningkatnya kemampuan, baik individu, keluarga, komunitas maupun masyarakat dalam mendeteksi dan menanggulangi masalah gizi buruk yang muncul diharapkan akan dapat mereduksi munculnya kembali kasus gizi buruk pada masa yang akan datang. Sebab dengan pola yang ada saat ini, dimana masyarakat menjadi obyek kebijakan, masyarakat cenderung pasif dan tergantung
13
kepada pemerintah dan seolah-olah sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain peran aktif masyarakat dan pemerintah, pelibatan private sector pun hendaknya menjadi hal yang diperlukan. Sejalan dengan paradigma pembangunan dimana tiga pilar utama pembangunan, yaitu civil society, government dan private sector merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Private sector yang notabene mengusai aset-aset ekonomi dapat memberikan sumbangsih yang besar dalam penganggulangan gizi buruk, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang yang mampu mengatasi akar masalah gizi buruk yaitu kemiskinan, dengan memberikan kesempatan kerja yang luas kepada masyarakat. Masyarakat
Pelembagaan program penanggulangan gizi buruk
Pemerintah
Swasta
Gambar 3. Pelembagaan program penganggulangan gizi buruk Berdasarkan pada “Partnership Governance System” Untuk membentuk program penanganan gizi buruk berdasarkan pada “Partnership Governance System”, kepercayaan (trust) dan hubungan timbal balik (reciprocity) yang saling menguntungkan dan tidak membebankan pada salah satu pihak
saja.
Sehingga
potensi
dari
masing-masing
stakeholders
dapat
dimaksimalkan dalam upaya penanggulangan masalah gizi buruk. Titik berat pada upaya mengoptimalkan kekuatan pada masyarakat berupa kapital sosial pun menjadi prioritas, karena masyarakatlah yang paling tahu apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka hadapi di dalam masyarakat itu sendiri.
14
D. Kesimpulan dan implikasi kebijakan 1. Kesimpulan Upaya optimalisasi kapital sosial dalam komunitas dalam penanggulangan gizi buruk adalah memupuk kembali ikatan-ikatan (linkage) di dalam komunitas. Kohesi sosial dan solidaritas di dalam masyarakat menjadi penting untuk mendeteksi dan menangani masalah yang muncul di masyarakat secara spontan dan sporadis termasuk penanggulangan masalah gizi buruk. Peran aktif masyarakat dengan mengoptimalkan potensi yang ada berupa kapital sosial mengindikasikan pergeseran paradigma top-down yang menjadikan masyarakat sebagai obyek ke arah buttom-up yang menempatkan masyarakt pada posisi subyek atau pelaku aktif penganggulangan masalah yang ada di dalam masyarakat. Bentuk penguatan kapital sosial dalam masyarakat dalam penanggulangan masalah gizi buruk dikonstruksikan berdasarkan kesimpulan spesifik sebagai berikut : a. Dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penanggulangan gizi buruk, peran serta masyarakat belum dijabarkan secara rinci. Sehingga mengaburkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat dalam penganggulangan masalah gizi buruk. b. Kapital sosial yang ada di masyarakat berupa kohesi dan kebersamaan seluruh elemen dan unsur di masyarakat yang saling berhubungan erat karena dijalin oleh kesadaran kolektif, egalitarianisme, dan solidaritas sosial
merupakan
potensi
yang
dapat
dioptimalkan
dalam
penganggulangan masalah gizi buruk. c. Hubungan / relasi antara pemerintah dan masyarakat (state-community relations) mutlak diperlukan untuk memberikan kemampuan pada masyarakat dalam mendeteksi dan mengangani masalah gizi buruk secara dini. d. Selain hubungan timbal balik antara pemerintah dan masyarakt, pihak swasta (private
sector) pun mutlak diperlukan dengan berdasar pada
“Partnership Governance System”.
15
2. Implikasi Kebijakan Dalam penanggulangan masalah gizi buruk, diperlukan kebijakan-kebijakan strategis yang menempatkan masyarakat sebagai aktor/subyek dalam penganganan masalah tersebut. Oleh karena itu untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dengan kapital sosial yang dimilikinya berupa : a. Penganktifan kembali posyandu sebagai salah satu bentuk kekuatan masyarakat yang berisikan kader-kader masyarakat dan berlandaskan nilainilai sukarela dan kepedulian antar sesama. b. Pemberian kemampuan masyarakat untuk membentuk jaringan (network) dalam penanggulangan masalah gizi buruk. c. Membentuk jaringan kerja antara masyarakat, pemerintah dan swasta yang terintegrasi dan konsen terhadap penganggulangan masalah gizi buruk. d. Perluasan lapangan kerja dan kemampuan masyarakat miskin dalam mengakses sumber-sumber yang diperlukan dalam upaya penanganan akar masalah gizi buruk yaitu kemiskinan. E. Daftar Pustaka Colletta, Nat J. and Michelle L.Cullen. 2000. Violent conflict and the Transformation of Social Capital, Lesson from Cambodia, Ruanda, Guetamala, and Somalia. Washington : The Word Bank. Hikmat, R. Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung; Humaniora Utama Press Seagert, Susan and Philip Thompson. 2001. Social Capital and Poor Communities. New York, Russel Sage Foundation Bahan Bacaan Lain : Fredian Tonny Nasdian. Kapital Sosial dalam Rangka Pemberdayaan Sosial Fredian Tonny Nasdian. Kelembagaan dan Tata – Pemerintahan Kecamatan; Review Implementasi dan Rekomendasi. Hand out perkuliahan Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial Berita 11 Maret 2008, “Penulisan Data Gizi Buruk Harus Akurat dan Tidak Dipolitisir,” DEPARTEMEN KESEHATAN, diakses dari http://www.depkes.go.id. www.Tvone.co.id. “Kabar Nusantara : 130 Balita Di Kupang NTT Alami Gizi Buruk”
16
Lampiran : Rabu, 27 Mei 2009
Kabar Nusantara 130 Balita Di Kupang NTT Alami Gizi Buruk Sabtu, 21 March 2009 20:45 WIB Jakarta, (tvOne) Penderita gizi buruk di Desa Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) masih tinggi. Dari 4.000 balita, 130 diantaranya mengalami gizi buruk. Sedangkan 255 lainnya mengalami gizi kurang. ''Angka itu hasil dari penimbangan sebagian balita di kelurahan ini,'' ujar Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Sikumana, Fransiskus Xavaerius Emasipura, di Kupang. Ia menambahkan, dari 4.000 balita baru 60 persen yg ditimbang, sehingga angka gizi buruk bisa jadi lebih tinggi. Fransiskus menjelaskan, 40 persen balita hingga kini belum berhasil ditimbang. Pasalnya si ibu tidak membawa anaknya untuk ditimbang, karena terbatasnya pengetahuan si ibu. Mereka berpikir Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hanya memberikan pelayanan imunisasi. Setelah anak mendapatkan imunisasi dasar lengkap, mereka tidak pernah datang ke Posyandu lagi untuk menimbang anaknya. Lebih lanjut, Fransiskus menjelaskan tiga faktor penyebab kekurangan gizi di daerahnya. Pertama, faktor ekonomi yang kurang, sehingga orang tua sulit memenuhi gizi anak. Kedua, pengetahuan orang tua yang kurang. Mereka menyamakan waktu makan anak dengan orang tua. Padahal bayi memerlukan asupan gizi minimal setiap dua jam. Ketiga, sulitnya geografis dan kurangnya petugas gizi. ''Medan Kec Maulafa lebih sulit dibanding kecamatan lainnya di Kupang, sedangkan petugas gizi hanya ada dua orang,'' kata dia seperti dikutip dari Antaranews.com. Plt Harian Puskesmas Sikumana mengatakan balita gizi buruk dan kekurangan gizi 2009 ini mengalami perbaikan dari sebelumnya. Sebanyak 70 balita yang mengalami gizi kurang menjadi normal, sedangkan 17 balita gizi buruk mulai membaik. Dalam perbaikan gizi ini, kata Sikumana, pihak puskesmas dibantu perusahaan seperti Pertamina. Sejak tiga tahun lalu, BUMN ini memberikan bantuan makanan bergizi untuk bayi secara berkala selama enam bulan. Mereka setiap bulan akan diberi paket berupa dua kotak susu, biskuit, dan vitamin. Selain itu, Sikumana menambahkan, kader berupaya keras berbagi pengetahuan tentang gizi. Karena di NTT masih banyak ibu yang tidak mengerti kebutuhan gizi anaknya. Bahkan pada 2008 ada balita gizi buruk yang meninggal, setelah mengalami kejang. ''Bayi akan menangis jika lapar, namun bagaimana dengan balita? Mereka akan diam meskipun lapar,'' katanya mengungkapkan. 17