HARMONISASI PERATURAN DAERAH TERHADAP PBRATURAI{ PERUNDANG-UNDANGAN DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK II{DONESIA Oleh : Dr. H. Yuli Asmara Triputra, SH., M.Hum. (Dosen Tetap pada Politeknik Negeri Sriwijaya)
Abstrak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (terakhir diundangkan dengan UU No. 23 Tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah telah menjadi dasar dan memberikan legitimasi bagi daerah untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya guna mengatur urusan rumah tanggatya pasca runtuhnya rczim Orde Baru yang bercorak sentralistik. Kewenangan daerah untuk mengatur urusan pemerintahalrnya diperkuat dengan diterbitkannya Tap MPR No. IIV MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan Republik lndonesia jo. UU No. 12 Tahun 20ll yang memberikan tempat bagi Peraturan Daerah (Perda) di dalam sistem hukum nasional. Kewenangan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya melalui Perda menimbulkan persoalan tersendiri bila dikaitkan dengan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, bahkan tidak jarang bertentangan dengan peraturan selevel undang-undang. Hal ini seringkal menjadi kendala dalam pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik lndonesia, utamanya di bidang investasi. Lemahnya pengawasan pemerintah pusat dalam proses pembentukan suatu Perda merupakan salah satu indikator mengapa kerap terjadi tumpang tindih antara Perda terhadap peraturan yang berada di atasnya.
Kata Kunci : Peraturan Daerah, Peraturan Perundang-undangan, Otonomi
Daerah
Ilarmonisasi Peraturan, Investasi. Act No. 22 of 1999 (the last regulated by ,"lfr':;;t of 2014) on District Government has become the foundation and legitimize for district to carry out the widest possible autonomy to manage household affairs after the collapse of the Indonesia New Order regime patterned centralized. The Goverment District authority to manage the affairs of government is strengthened by the issuance of TAP MPR No. III / MPR / 2000 about Source of Law and Order Procedure Legislation of the Republic of Indonesia jo. Act No. 12 of 2011 which provides spacefor the District Regulation (Perda) in the national legal system. The government district authority to manage the affairs of the household through legislation raises its own problems wlten associated with synchronization of the lsws and regulations that are in it, even less so at odds with level regulatory legislation. This are frequently an obstacle to national development in the framework of the Aepiblic of Indonesia, particularly in the fields of investment. Weak supervision by the central government in the process of establishing a regulation is one indicator of why the frequent overlap between regulation of the rttles above it.
Kqmords: District Regulations, Legislation, District Autonomy, Harmonizs.tion of Regulations, Investment.
4t7
Jurnul Lex Librum, Vol. III, No. 1, Desember 2016' hal. 417 - 428
ngan pengundangan UU No. 10 Tahun 2004s tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perudang-undangan RI dan terakhir d-engan pengundangan UU No. 12 Tahun 20fl.6 Ketiga produk hukum dimaksud, telah memberikan kedudukan yang kuat terhadap eksistensi Peraturan Daerah (Perda) sebagai salah satu sumber hukesatuan bangsa.r Reformasi yang bergulir pada 1998, mem- kum dalam hirarkhi perundang-undangan RI. bawa perubahan besar dalam politik ketatanega- Dengan kata lain Perda menjadi legitimasi bagi raan di Indonesia dari rezim yang disebut Orde Pemda untuk mengatur urusan rumah tangganya Baru ke rezim Reformasi. Reformasi telah pula sendiri. Dalam perkembangannya selanjutnya, UU melahirkan Undang-Undang Nomot 22 Tahun 1999 (UU No. 22 Tahun 1999) tentang Peme- Nomor 22 Tahtm 1999 dianggap tidak sesuai rintahan Daerah yang telah mengubah peta po- lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegalitik dalam penataan kewenangan dan kewajiban raarL) dan tuntutan penyelenggaraan otonomi pemerintahan.' Masa-masa indah era sentralisasi daerah sehingga perlu diganti. Maka, pada tangpemerintahan telah berakhir. Selama Orde Baru gal 15 Oktober 2004 diundangkanlah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daesentralisasi kekuasaan3 sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan di daerah, bahkan rah ke dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 rancangan pembangunan di setiap daerah lebih Nomor 125. Perkembangan terakhir membawa Indonesering mengacu pada pedoman yang ditetapkan sia pada suatu keputusan_untuk mengundangkan pemerintah. Seiring dengan hal tersebut, Majelis Per- UIINo. 23 Tahun 20147 dalam Lembaran Nemusyawaratan Rakyat Republik lndonesia gara Tahun 2014 Nomor 244 sebagai pengganti (MPR RI) memperkuat kedudukan Pemerintah UU No. 32 Tahttn,2004 detgan pertimbarLgarr Daerah (Pemda) melalui Ketetapannya Nomor bahwa UU No. 32 Tahun 2004 dianggap tidak IIVMPR/2000a tentang Sumber Hukum dan Ta- sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, keta Urutan Peraturan Perundang-undangan Re- tatane gar aan, dan tuntutan p enyelen g g araan p e publik Indonesia, yang berturut-turut diikuti de- merintahan daerah. Di tengah semangat daerah yang menggebu-gebu untuk melaksanakan otonomi daerah, tiba-tiba terlihat banyak persoalan yang muncul
A.
Pendahuluan Pemberian otonomi kepada daerah bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraal pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan kepada masyarakat maupun meningkatkan kestabilan politik dan
Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta , 1998, hal. 147 2 Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, pemerintah di daerah mendapat kewenangan riil yang lebih besar dalam mengatur dirinya sendiri, kecuali di lima bidang yaitu pertahatan, agarna, hubungan luar
' HAW. Widjaja,
negeri, moneter dan hukum.
3 Sentralisasi menimbulkan disparitas pendapatan yang sangat lebar antar daerah, misalokasi dalam penggunaan anggaran Negara dan kelambanan dalam menuntaskan
persoalan. Sentralisasi kekuasaan tersebut membuat birokasi di daerah menjadi mandul, tidak ada keberanian membuat keputusan strategis bahkan kekuasaan tersebut telah meninabobokan birokasi daerah dalam melakukan inovasi dan mengembangkan terobosan-terobosan untuk
(H' Djoko Sudantoko, Dile' ma Otonomi Daerah, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2003,
mempercepat pembangunan.
hal. 3.) a
Berdasarkan Tap MPR No' III/ MPR/ 2000, Tata urutan perundang-undangan RI adaiah : UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Keppres, Perda.
418
5
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004,Tata unltan perundang-undangan RI adalah : UUD Negara RI Tahun 1945, UU/ Perpu, PP, Perpres, Perda. u ULJ No. 12 Tahun 2011, menentukan bahwa tata urutan peruudang-undangan RI adalah : UUD 1945, Tap MPR, UU/ Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi, Perda Kab/ Kota. 7 Dalam poin b dan c bagian menimbang UU No. 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta pening-
katan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadiian dan kekhasan suatu daerah dalam sistem NKRI. Serta memperhatikan efisiensi dan efekvitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintan pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dfalam kesatuan sistem penyelen ggaruarr pemerintahan negara' (Konsideran UU No. 32 Tahun 2014).
'
:,rttortisasi Peraturan Daerah Terhadap Peraturan Perundang-Llndangan ,..
j
,:.1 drduga sebelumnya yang mengarah pada
- :-:i.gritas pemerintahan vertikal di atasnya -::- munculnya egoisme kedaerahat yafig mera-
:: ;-enlpunyai kekuasaan besar untuk mengatur
,r_:ilanva atas nama otonomi daerah.8 Di kala-..n legrsiative dan eksekutif kabupaten dan , . ., bahkan menggejala proses pengkultusan -:...idap kebenaran atas keputusan yang dibuat ,;.'-iri-1. asalkan tidak menyatakan perang, me-. ,r--;rrn hutang ke luar negeri, mencetak uang, : :* mrillbentuk pengadilan sendiri. Di tengah "hiruk pikuk" nya otonomi dae, :. terdapat pihak-pihak yang sangat berkepen...Jau dengan isu otonomi daerah dimaksud, da.:.:r hei rnr para pemilik modal. Para pemilik
.., ;al
sangat faham bagaimana memainkan pe(utamanya peran hukum) dalam suatu pe-:., .i:lntahan yang mengadopsi konsep Negara -iunr liberal dalam sistem pemerintahan. Para :;nrlik modal melakukan berbagai cara guna .;:,\uiudnya penguasaan dan dominasi terhadap ,..n:ber daya alam yang ada di daerah Negara -:-- :.-,nesia. Penguasaan dan dominasi dimaksud, ...iak dilakukan dengan cara paksaan, namun hal .,- drlakukan dengan cara persuasif, prosedural, ::r tbrmal. Strategi inilah yang dinamakan de::tn "hegemoni", atau dengan kata lain, seba:,l1mana yang dikemukakan oleh Robert Bo-,-.,-k.e hegemoni berarti "kepemimpinan moral ::n filosofis", kepemimpinan (dominasi) yang ::;apai lewat persetujuan yang aktif kelompok.;:lompok dalam suatu masyarakat. Hegemoni dilakukan tidak hanya dengan ::ra menciptakan intelektual organik dan sistem :r1ai namun hal itu juga dilakukan dengan cara :enitahkan kepada para penguasa, dalam hal ini :enquasa daerah, untuk menciptakan produk hu:i.rn1 1uang berpihak kepada kepentingan pihak '.:ng berkuasa. Produk hukum yang dimaksud :rsrni tidak lain adalah produk hukum yang ber,,rujud Perda. Sehingga dengan dibuatnya procuk hukum ini, diharapkan, rakyat akan menerina dominasi yang dilakukan oleh penghegemo-
' Pasal I ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 mendefinisikan; ::onomi daerah adalah hak, wcwenang, dan kewajibau ;.rtrah otulrorn untuk mcngalur clan mengurus sendiri urusdn pcmerlntahan dan kepentingan masyarakat setcmpat. -
Robert Bocock, Pengantar Komprehensif untuk Mema:.;nti Iiegemorz, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, tanpa ta-
.:.rn. ha1.
i
Yuli Asmara T.
ni karena menganggap bahwa Perda tersebut dibuat atas kesepakatan warga masyarakat sendiri yang direpresentasikan oleh para wakil-wakil mereka atau oleh orang-orang yang dipilih oleh mereka yang tergabung dalam jajarun pejabat di lingkungan pemerintahan, baik itu di pemerintahan di tingkat pusat maupun pemerintahan di tingkat daerah, baik itu eksekutif maupun legislative. Seiring dengan usaha Pemerintah yang kian gencar dalam mengupayakan peningkatan iklim investasi. Salah satunya, dengan menerbitkan Paket Kebijakan yang hingga saat ini telah sampai iilid XII. Ironisnya, di tengah upaya yang dilalrukan pemerintah tersebut justru 'dihambat' oleh banyaknya regulasi tingkat daerah yang ditengarai menghambat peningkatan inves tasi di daerah. Alih-alih mendorong percepatan investasi ke daerah-daerah, nyatanya Pemda justru membuat Perda yang secara substansi justru memberatkan pelaku usaha atau investor yang mencoba melakukan ekspansi bisnis. Di satu sisi, Pemda didorong untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang utamanya berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Namun, seharusnya pemda membuat langkah inovatif yang tidak hanya bergantung pada dua sektor yang menyumbang paling besar untuk PAD. Dalam catatan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) misalnya, upaya Pemda memperbesar PAD justru dengan membuat kebijakan yang 'mengunci' pelaku usaha lewat kewajiban-kewajiban yang dari segi ekonomi sangat memberatkan. Belum lagi, regulasi yang dibuat kebanyakan tak punya basis hukum yang kuat dan seringkali dibuat secara tumpang tindih dengan aturan yang skala nasional selevel undang-undang. o Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan berikut mencoba melihat persoalan-persoalan dalam pemberlakuan Perda sebagai instrumen kebijakan daerah dalam bingkai otonomi daerah yang seyogyanya diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (lr{KRD. 1
)i)
http ; i1acis.hukttmonIine.com/berita/, Terkcrit Perda Penqhantbat Investasi 20 Desember 101 6.
Ini Etljpg!,Cglqlgn di Daerah, diakses
4t9
Jurnal Lex Librum, Vol. III, No.
B.
Selayang Pandang terhadap Harmonisasill Hukum Harmonisasi hukum dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibat-
1, Desember 2016,
hal. 417 - 428
ciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangrnan.'o Prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan, arrtara kepentingan individu dan masyarakat dengan ke-
pentingan bangsa dan Negara, merupakan salah satu asas materi muatan setiap peraturan perundang-undangan.l5 kan disharmoni.l2 Indonesia sebagai Negara hukum yang harmonisasi konteks Di Indonesia dalam hukum, dapat diketahui dalam Keputusan Presi- berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuden (Keppres) Nomor 188 Tahun 1998, di da- an mewujudkan tata kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman tenteram dan terlam Pasal 2yangberbunyi sebagai berikut : Dalam rangka pengharmonisan, pembula- tib. Menjamin persamaan kedudukan warga matan dan pemantapan konsepsi yang akan syarakat dalam hukum dan menjamin terpelihadituangkan dalam Rancangan Undang- raflya hubungan yang serasi, seimbang dan seUndang, Menteri atau Pimpinan Lembaga laras antar aparafitr pemerintah dengan warga Pemrakarsa penyusun Rancangan Un- masyarakat, serta antara kepentingan perseoradang-Undang wajib mengkonsultasikan ngan dengan kepentingan masyarakat atau keterlebih dahulu konsepsi tersebut dengan pentingan umum. Rumusan prinsip keserasian, Menteri Kehakiman dan Menteri serta keseimbangan dan keselarasan ditemukan sebagai salah satu asas umum pemerintahan yang Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait. balk (general principles of good administratiUpaya pengharmonisan, pembulatan dan on), yang dinormatifkan sebagai salah satu asas dalam Konsideran Menimbang huruf a dan Penpemantapan konsepsi rancangan undang-undang jelasan Umum angka 1 Undang-Undang Nomor diarahkan pada perwuj udan ke s elaras an kons epsi tersebut dengan ideologi Negara, tujuan nasi- 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Neonal berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD gara, seperti yang telah dilakukan beberapa kali 1945, GBHN, undang-undang lain yang telah perubahan, arrtara lain melalui UU No. 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 51 Tahun ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bi- 2009. Dikemukakan oleh L.M. Gandhi, dang yang akan diatur dalam rancangan undangHarmonisasi dalam hukum adalah mencaundang tersebut.l3 Sasaran program pembentukup penyesuaian peraturan perundang-unteradalah perundang-undangan peraturan kan dangan, keputusan pemerintah, kepufusan 1r Istilah harmonisasi berasal dari Yunani, yaitrt kata hakim, sistem hukum dan asas-asas hu"harmonia" ang artinya terikat secara serasi dan sesuai. kum dengan tujuan peningkatan kesatuan Dalam arti filsafat, diartikan "kerjasama antara berbagai hukum, kepastian hukum, keadilan dan faktor yang sedemikian rupa, hingga factor-faktor tersebut kesebandingan, kegunaan dan kejelasan menghasilkan kesatuan yang luhur". (Hassan Shaddily, hukum, tanpa mengaburkan dan mengordt'k, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Ja16 etimologis secara Istilah harmonisasi bankan pluralisme hukum. hal. 1262). karta, berasal dari kata dasar harmoni, menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya, untuk menuju atau mereaBadan Pembinaan Hukum Nasional lisasi sistem harmoni. Istilah harmoni juga diartikan, ke(BPHN) Departemen Kehakiman, memberikan yang meselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan nyenangkan. (M. Dahlan Al Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Arkola, Yogyakarta, I 995) 12
L.M. Gandhi, Harmonisasi Hutatm Menuiu Hulrum
Yang Responsfl Pidato Pengukuhan Guru Besar FH-UI, dalam Kusnu Goesniadhie, Hormonisasi Hulcum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis suatu Masalah), Penerbit JP BOOKS, Surabaya, 2006,ha1.62. 13 Pasal 5, Keppres No. 188 Tahun 1998, tentang TataCara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
420
la
Lampiran lJndang-Undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, sub program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 15
Pasal 6 ayat (1) hurufj, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
'u L.M. Gandhi dalam Kusnu Goesniadhie, Op.Cit, hal. 71.
Harm onisasi Petafitran D aerdh Terhadap Peraturan Perundang-Undangan ...
pengertian harmonisasi hukum, sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisan hukum tertulis yang mengacu baik pada nilainilai filosofis, sosiologis, ekonomis, maupun yuridis. Pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan, dalam berbagai aspek apakah telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum tidak tertulis dalam masyarakat, konvensi-konvensi dan perj anj ian-perj anj ian internasional baik bilateral maupun multilateral yang telah diratifikasi Indonesia.rT Bertolak dari perumusan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa harmonisasi hukum, adalah upaya atau proses untuk mengatasi perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-noflna hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional. Untuk itulah, pembentukan suatu peraturan perundang-undanganlt di Indonesia, haruslah merupakan harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem. Dengan demikian nonna-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai zubsistem dalam safu kesatuan kerangka sistem hukum nasional, tidak terhalang oleh perbedaan-perbedaan, tidak saling bertentangan dan tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih.
C. Harmonisasi Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
I
Dalam Pembukaan UUD Negara Republik lndonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dicantumkan empat tujuan nasional sebagai tujuan Negara yaitu : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh turnpah darah Indonesia, (2) memaiukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan
1
\loh. Hasan Wangakusumah, dkk, Perumusan Harmo''.tsi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, r?HN Departemen Kehakiman, Jakarta, 19961 1997, hal. .-
'
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
::mbuatan peraturan perundang-undangan yang menca,.-c tahapan porencanaan, penpsunan, pembahasan, pe-_lesahan atau penetapan, dan pengundangan (Pasal I
,'.ka 1 UU No.
12 Tahun 2011).
Yuli Asmara T.
kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan serta tekad bangsa lndonesia, yang merupakan sumber, cita-cita hukum dan moral; yang ditegakkan baik dalam lingkungan nasional maupun dalam hubungan pergaulan bangsa-bangsa di dunia. UUD NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan di Indonesiale sekaligus merupakan p.rutorm perundang-undangan yang memiliki kedudukan yang tertinggi dalam hirarkhi perundang-undangan di lndonesia.20 Artinya setiap p.rutorun p.*rdung -undangan yang ada tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Penyelenggaraan Negara dengan pengelolaan sistem pemerintahan yang desentralistik sepenuhnya harus berada dalam koridor UUD NRI Tahun 1945 sebagai sumber segala sumber dan pijakan dalam nilai-nilai konstitusional, dimana secara universal konstitusi Negara merupakan koridor pengembangan demokrasi. Selanjutnya dapat dikemukakan disini, bahwa wawasan nusantara yang merupakan national outlook2t -nya bangsa Indonesia dirumuskan sebagai cara pandang bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila, tentang diri dan lingkungannya serta tanah airnya sebagai Negara kepulauan dengan semua aspek kehidupannya yang beragam dan dinamis, dengan mengutamakan persatuan bangsa dan kesatuan wilayah Indonesia, yang tetap menghargai dan rnenghormati kebhinekaan dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
'' Vid. Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 20 Vide Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. " Cu.u bagaimana suatu bangsa memandang tanah air beserta lingkungannya menghasilkan wawasan nasional (rational outloofr), Wawasan nasional itu selanjutnya rnenjadi pandangan atau visi bangsa dalam menuju tujuannya. Adapun bangsa Indonesia memiliki wawasan nasional yaitu wawasan nasional. Lihat Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Ket'arganegaraan, Panduan Ktliah di perguruan Tinggi Bertlasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No" 43/ Diktii 2006 tentang Rambu-Rantbu Pelaksanaan Kelompok ll.{ata Ktrliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tirtggi, Edrsi Kedua, PT. Bumi Aksara, Jakarra,2008. hal. 1-11 421
lurnal Lex Librum, Vol. III' No. I, 22
untuk mewujudk arr cita-cita nasional. Dengan demikian, pada hakikatrrya wawasan nusantara adalah suatu keterpaduan pemikiran yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kedaerahanl kewilayahan dan dimensi nasional. Dimensi kehidupan bermasyarakat, bangsa dan Negara Republik Indonesia dalam rangka merealisasikan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Wawasan nusantara dalam penyelenggaraan pemerintahan berkaitan dengan pengelolaan daerah-daerah seluruh [ndonesia merupakan pegangan sangat mendasar, karena disitulah jaminan bahwa prinsip Negara kesatuan, prinsip rasa persatuan dan kesadaran akan keanekaragaman dan kebhinekaan dalam setiap langkah mewujudkan kepentingan dalam rangka mencapai tujuan nasional itu dilaksanakan. Sesuai dengan amanat UUD NR[ Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayalan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daeralr diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam system NKRI.23 Reformasi penyelengg araar, pemerintahan daerah dengan disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang telah mengalami perubahan bahkan pergantian dan terakhir dengan pengundangan UU No. 23 Tahun 2014, bila dikaitkan dengan legislasi daerah dapat diartikan sebagai berikut : pertama, self regulating power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah melalui berbagai bentuk peraturan perundang-undangan demi kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Kedua, self mo22
Siti Nurbaya, Problematika Politik Hubungan Pttsat'
Daerah Dalam Sistem Desentralisasi di Indonesia. dalam Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (editor), Memahami Ht'tkum Dari Konstruksi sampai Implementasl, PT. Raja Grafindo Persada, Iakarta, 2009, ha1. 339. Lihat pula Winarno, Ibid, 23
hal.
157.
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
422
Desember 2016,
hal 417 - 428
difuing power, yait:u kemampuan melakukan penyesuaian-penyesuaian dari peraturan yang ditetapkan secara nasional dengan kondisi daerah. Ketiga, local political support, yaitu menyelenggarakan pemerintahan daerah yang mempunyai legitimasi luas dari masyarakat, baik pada posisi kepala daerah sebagai unsur eksekutif maupun DPRD sebagai unsur legislative. Keempat, financial resources, yaitu mengembangkan kemampuan dalam mengelola sumber-sumber penghasilan dan kekurangan yang memadai untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Kelima, developing brain power, yaitu membangun sumber daya aparufix pemerintah dan masyarakat yang handal yang bertumpu pada kapasitas intelektual dalam menyelesaikan berbagai masalah.2a
Berdasarkan uraian di atas seyogyanya kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah melalui berbagai bentuk peraturan perundang-undangan haruslah ditujukan demi kesejahteraan masyarakat di daerahnya, dimana peraturan perundang-undangan dimaksud (dalam hal ini Perda) haruslah mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan peraturan yang ditetapkan secara nasional dengan kondisi daerah. Dengan demikian, penyelenggaraarL pemerintahan daerah mendapat legitimasi luas dari masyarakat, baik pada posisi kepala daerah sebagai unsur eksekutif maupun DPRD sebagai unsur legislatif. Dan pada akhimya otonomi daerah dapat membangun sumber daya aparatur pemerintah dan masyarakat yang handal yang bertumpu pada kapasitas intelektual dalam menyelesaikan berbagai masalah. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 20ll tefiang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, salah satu jenis peraturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah Perda dan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan hirarkinya. Artinya, Perda telah resmi
'o Agus Syamsuddin, Mengenai Otonomi Daerah Berda-
sarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Asnawi Arbain, Akuntabilitas Produk Legislasi Daerqh : Kritik Terhadap UU No. 32 Tohun 2004, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta, 2007,hal. 105-106.
Harmonisasi Peraturan Daerah Terhadap Persturan Perundang-Undangan ...
menjadi salah satu peraturan perundang-undangan di lndonesia. Oleh karena itu, Perda dart produk-produk legislasi daerah lainrrya menj adi bagian yang tidak terpisahkan dari hukum nasional secara keseluruhan. Jika dilihat dari sisi pandang kesisteman, maka produk legislasi daerah ini adalah salah satu bagian dari sistem hukum nasional, khususnyapada sub-sistem perahnan perundang-undangan ata:u substansi hukum.25
I I
Sejak digulirkannya desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian mengalami banyak perubahan dan terakhir diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kerap dijumpai permasalahan dan fenomena di kabupaten/ kota, baik itu legislatif maupun eksekutif dengan didasari oleh semangat otonomi daerah banyak melahirkan perda-perda yang iustru bermasalah dan menjadi penghambat dalam pelaksanaart pembangunan nasional. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa sejumlah Perda di bidang usaha ternyata bermasalah karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat hingga saat ini ada sekitar 2.000 Perda yang berpotensi bermasalah. Bahkan, ada beberapa Perda yang harusoya batal demi hukum tetapi dilaksanakan di daerah. Keberadaan Perda tersebut seringkali menghambat pembangunan ekonomi di daerah bersangkutan.26
l.-
Dari sekian banyak Perda bermasalah, menurut Robert Endi Jaweng (Direktur Eksekutif KPPOD),27 kebanyakan adalah Perda mengenai prizinan dasar usaha seperti Pembuatan Surat Izin Usaha Tanda Daftar Perusahaan (SIUPIDP). Robert mengklaim setidaknya 50 daerah yang masih menarik pungutan dalam pembuatan SruP. Padahal, Peraturan Menteri Perdagangan
.; ul
.,:h lt[elalui Penguatctn Peran
I-
\bdul Bali Azed, Harmonisasi Legislasi Pusat dan Dadan Fungsi DPRD di Bi:,;,,s Legi,ylasl, dalam Tim Penyusun Buku Hakim Kons-
'.'.tsi, Menata Ulang
Si.stem Peraturan Peraturan Pentn.:,tg-undangan Indonesia Je.iak Langkah dan Pemikiran .-.tttrnl flukim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, SH.,LL. : Selcetariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah ',: :rstitusi. Jakarta, 2008, hal. 363. .:1-ry. kppSd.gldlgd%,php : P e r d a - b e r m a s a I a h - h a m b a t .' estasi, diakses 2'7 Jantari 2013.
.
.ld.
Yuli Asmara T,
(Permendag) tahun 2007 sudah mengatur bahwa pembuatan SIUP-TDP "gratis". Berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan sejak akhir tahun 2015, ditemukan ada 262 Perda bermasalah dari 507 Perda yang dikaji. Peneliti KPPOD Mohamad Yudha Prawira mengatakan, pihaknya merekomendasikan sekiranya terhadap 232 Perda dilakukan revisi dan dicabut. Sebab, kajian KPPOD menemukan banyaknya potensi yang muncul berupa pungutan yang memberatkan lewat instrumen pajak daerah dan retribusi daerah oleh pemda. Sebagai tindak lanjut atas evaluasi yang dilakukan terhadap Perda bermasalah, maka di tahun 2016, Kementrian Dalam Negeri membatalkan 3.143 Perda yang dianggap dapat menghambat investasi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyebut pembatalan ribuan Perda tersebut sebagai salah tolok ukur keseriusan 2 (dua) tahun pemerintahan Jokowi dan JK untuk mempercepat perizinan2S Tiahio Kumolo menjelaskan, dan 3.143 Perda yang dibatalkan tersebut 55Yo diantaranya dianggap sebagai penghambat investa si, 33oh dianggap pengalihan aturan BUMD yang tidak sesuai dengan peraturan di atasnya, dan t\o/o dianggap menghambat kelahiran pabrik.2e Sehubungan dengan banyaknya persoalan terkait dengan produk hukum Perda yang dianggap bermasalah dan menghambat iklim investasi tidaklah pula dapat dilepaskan dari peran pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan terhadap produk-produk legislator daerah tersebut. Salah satu sebabnya ialah lemahnya pengawasan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri ketika melakukan review terhadap rancangan Perda (Raperda) pada tahap pembahasan. Ketika pengawasan dilakukan dengan baik oleh pusat, maka tak akan ada sebanyak ini Perda-Perda yang bermasalah dan tumpang tindih. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan pemerintah daerah termasuk Keputusan Kepala Daerah dan Perda, merupakan suatu akibat mutlak dari adanya Negara kesatuan. Di dalam Negara kesa28
Detik News, Dlra Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Mendagri Batalkan Ribuan Perda Penghqmbat Investasi, 19 Oktober 2016.
"
Ibid.
423
Jurnal Lex Librum, Vol.
III,
No. 1, Desember 2016, hal.417 - 428
tuan kita tidak mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar dengan Negara, tidak pula mungkin ada Negara di dalam Negara.30 Bahkan dapat dikatakan, tidak ada pemerintahan berotonomi tanpa pengawasan, padahal arLtara pengawasan dengan desentralisasi akan memungkinkan timbulnya spanning.3l
ditemukan ada 554 produk hukum daerah, dengan rincian sebagai berikut. Perda pajak daerah sebanyak 64 btnh, Perda retribusi daerah sebanyak 461 btah, Perda lain selain yang mengatur pungutan daerah 14 btah, dan Keputusan
Merujuk pada hasil penelitian Ni'matul
oleh Menteri Dalam Negeri selama tahun 20022006 secara lengkap dapat dilihat dalam tabel berikut :
Kepala Daerah sebanyak 15 buah.
Produk hukum daerah yang dibatalkan
Huda32 terhadap produk hukum daerah yang di-
batalkan oleh Pemerintah (Menteri Dalam Negeri) sejak 10 Mei 2002 sampai 9 Oktober 2006,
Tabel Produk Hukum Daerah Yang Dibatalkan Tahun 2002-2006 Tahun
Perda
Perda
Perda
SK Gub/
Tanggal
lain-lain
2002
2
I4
4
2003
8
87
7
2004
25
188
2005
2l
J
2006
8
97 75
Jumlah
64
461
t4
Pembatalan 2 2 6 5
Jumlah
10 Mei s/d 3 Des 2002 23lan s/d 30 Des 2003
20 104
6 Jan s/d 7 Oktober 2003 31 Jan sld 14 Des 2005 9 Jan sid 9 Oktober 2006
2t5 t27 88
s54
15
Sumber : Jumal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009.
Secara umum, alasan pembatalan produk hukum daerah dimaksud adalah : a) mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan pungutan ganda pada satu obyek, b) tumpang tindih dengan kewenangan pusat, c) tidak layak dikenakan retribusi, d) tidak ada aspek kepentingan umum yang perlu dilindungi, e) merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor dan impor.33
Apabila dilihat dari karakteristik produk hukum daerah yang dibatalkan tersebut, terdapat dua kategori besar permasalahan yang terjadi. Kategori pertama, adalah Perda-Perda sebenarnya merupakan pelaksanaan dari undang-undang mengenai pajak dan retribusi daerah, tetapi 30
Irawan Soetijo, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 3. Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal I8 UUD t945, {.INSIKA, Karawang, 1993, hal. 3. 32 Ni'matul Htda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum
3r
Daerah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum FH-UII, Yogyakarta, No. Edisi Khusus, Vol. 16 Oktober 2009, hal.77.
tt lbid,har.
424
80.
Perda-Perda tersebut memberikan penafsiran yang salah terhadap undang-undang tersebut.3a Diketahui bahwa yang sering tidak ditaati oleh Pemerintah Daerah dalam mengatur pajak daerah adalah mengatur obyek pajak yang bukan wewenangnya seperti yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000. Sedangkan Perda yang mengatur retribusi daerah, adalah tidak dipenuhinya kriteria yang harus dipenuhi yaitu ketentuan bahwa retribusi harus memberikan jasa langsung kepada pihak yang dikenai retribusi. Kategori kedua, adalah Perda-Perda yalg memang dibuat untuk menciptakan pajak atau retribusi baru yang tidak ada dalam UU yang berlaku. Kategori ini dampaknya lebih besar daripada kategori pertama dan akhimya memicu reaksi publik bahwa otonomi daerah hanya menciptakan "raja-raja kecil" yang sibuk melakukan pungutan dari perusahaal yafig berlokasi di daerahnya. Dari kategori ini, muncullah jenis pungutan, seperti sumbangan wajib, pajak ekspor (retribusi terhadap hasil bumi daerah yang 3a
Barnbang PS Brodjonegoro, Menciptakan Perekonomi-
an Daerah yang Kontpetiti/) dalan Ni'matul Huda, Op. Clr. hal. 86.
Harmonisasi Peratursn Daerah Terhadap Peraturan Perundang-Undangan -,
I
dijual ke luar daerah), pajak komoditas daerah tertentu dan bertentafrgarl dengan UU pajak nasional) serta retribusi tenaga kerja. Para pengusaha daerah dan investor potensial serentak mengeluhkan keberadaan Perda -Perda semacam ini. Mereka sebenarnya tidak mengeluhkan besarnya jumlah yang harus dibayar, tetapi lebih kepada ketidakpastian mengenai besarnya jumlah yang harus dibayar dan kerumitan administrasi yang ditimbulkan oleh begitu banyaknya jenis pungutan dan pajak. Dari sisi Pemerintah Daerah, keberadaan Perda-Perda tersebut tanpa mereka sadari telah menurunkan daya saing perekonomian 1oka1.35 Hubungan pengawasan produk hukum daerah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam NKRI setelah Orde Baru (ketika berlakunya UU No. 22 Tafu,tn 1999) dilakukan melalui pengawasan represif yang berupa pembatalan produk hukum daerah oleh Menteri Dalam Negeri (executive review). Apabila daerah tidak dapat menerima keputusan pembatalan produk hukumnya, dapat mengajukan kepada Mahkamah Agung (judicial review) setelah mengajukannya kepada pemerintah (adminis tr at i eve beroep).'u Sebagai upaya hukum terakhir, daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung terhadap Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan produk hukum daerah.
"36Ibid.
Menurut Rochmat Soemitro, "keberatan" merupakan
terj emahan dari kata " adminis tratiev e b ero ep ". Keberatan
10
a; [-Q
laCU
)'a
l^
lsi eis
t5-
ng fitOp
dapat diajukan kepada instansi yang mengeluarkan atau instansi yang secara vertikal lebih tinggi. Lihat SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Alternatif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997,hal.66. Menurut Penjelasan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5l Tahun 2009, upaya administrative adalah prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hokum perdata yang tidak puas terhadap keputusan tata usaha Negara. Prosedur tersebut dilakukan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk, yakni banding administrative dan prosedur keberatan. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan "banding administrative". Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut "keberatan".
Yuli Asmara T.
Dianutnya model pengawasan represif dan ditinggalkannya model pengawasan preventif oleh pemerintah dimaksudkan untuk memberikan "keleluasaarr" kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa ada campur tangan yang terlalu jauh dari Pemerintah Pusat. Akan tetapi, "kelonggaran" yang diberikan UU No. 22 Tahun 1999 kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri ternyata berisiko terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Di
dalam praktik terlihat kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat Perda sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan ramburambu perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum cukup tinggi. Ketika berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah mulai melakukan koreksi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 dengan menerapkan empat model pengawasan terhadap produk hukum daerah. Pertama, executive preview, yakni terhadap rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda KabupaterVKota. Kedua, executive review (terbatas), yakni apabila hasil evaluasi Raperda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur/ Peraturan Bupati/ Walikota tentang Penjabaran ABPD dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur/Bupati/lValikota bersama DPRD dan Gubernur/Bupati/Walikota tetap menetapkan Raperda tersebut menjadi Perda dan Peraturan Gubernur/Bupati/lValikota, Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan oleh Gubernur untuk Kabupaten/I(ota membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur/BupatiAValikota tersebut. Ketiga, pengawasan represif, berupa pembatalan (executive review) terhadap semua Perda dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Keempat, pengawasan preventif, yakni terhadap rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi KabupaterVKota.
425
Jurnal Lex Librum, Vol.
III,
No. 1, Desember 2016, hal, 417 - 128
Dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No. 32Tahnn2004 gtna melakukan kontrol terhadap kebijakan Pemerintah Daerah melalui Perda oleh Pemerintah Pusat, maka pelaksanan otonomi daerah diharapkan dapat selaras dengan cita-cita nasional yang tetap memperhatikan keberagaman dan pluralisme daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik lndonesia dengan Pancasila sebagai dasar serta sumber dari segala sumber hukum negara. Di tengah kompleksitas masalah yang dihadapi, otonomi dalam kerangka pemikiran positif tetap dinilai memberikan lebih banyak nilai -nilai positif dan ini tidak akan pernah ada yang membantahnya. Otonomi memungkinkan terlaksananya bottom up planning secara signifikan dan mengikis rarrtai birokrasi yang dirasakan sangat menghambat pelayanan kepada masyarakat. Otonomi juga akan dapat memberdayakan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga pembangunan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan di daerahnya.
D.
Penutup Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Perda merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi. Namun demikian, bukan berarti sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional, maka Perda dijadikan alat legitimasi kekuasaan Pemerintah Daerah dalam menjalankan kekuasaannya di daerah. Hal ini, berdampak pada inkonsistensi terhadap peraturan perundang-undangan yang memiliki hirarki yang lebih tinggi terhadap Perda dalam sistem hukum nasional sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011. Untuk itulah, upaya harmonisasi Perda terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi haruslah senantiasa dilakukan oleh para pemegang kebijakan di daerah yang menerbitkan produk hukum berupa Perda dimaksud. Dengan demikian, Perda tidak menjadi sandungan atau hambatan dalam pelaksafiaan pembangunan secara nasional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Bari Azed, Harmonisasi Legislasi Pusat dan Daerah Melalui Penguatan Peran dan Fungsi DPRD di Bidang Legislasi, dalam Tim Penyusun Buku Hakim Konstitusi, Menata Ulang Sistem Peraturan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Jejak Langkah dan Pemikiran
Hukum Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, SH., LL.M., Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, J akarta, 200 8. Agus Syamsuddin, Mengenai Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Asnawi Arbain, Akuntabilitas Produk Legislasi Daerah : Kritik Terhadap UU No. 32 Tahun 2004, Centre for Strategic and lntemational Studies (CSIS) * J apan lntemational Cooperation Agency (JICA), J akarta, 2007 . Asnawi Arbain, Akuntabilitas Produk Legislasi Daerah : Kritik Terhadap UU No. 32 Tahun 2004, Centre for Strategic and lnternational Studies (CSIS) - Japan International Cooperation Agency (JICA), J akarta, 2007 . Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD /945, LINSIKA, Karawang,1993. Detik News, Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK Mendagri Batalkan Ribuan Perda Penghambat Investasi, 19 Oktober 2016. HAW. Widjaja, Percontohan Otonorni Daerah di Indonesi4 Rineka Cipta, Jakarta, 1998. H. Djoko Sudantoko, Dilema Otonomi Daerah, Penerbit ANDI, Yogyakarta,Z}}3. Hassan Shaddily, d7*., Ensiklopedi Indonesia,Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. Irawan Soetijo, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983. Ismantoro Dwi Yuwono, Kumpulan Perda Bermasalah & Kontroversi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,20t2.
426
Harmonisasi Peraturan Daerah Terhadap Peraturan Perundang-Undangan ..,
l ,1
1
0
i1
Yuli Asmara T.
Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Specialis suatu Masalah), Penerbit JP BOOKS, Surabaya, 2006. M. Dahlan Al Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Arkola, Yogyakarta, tgg5. Moh. Hasan Wangakusumah, dkk, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Hormonisasi Hukum. BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta,19961 1997. Ni'matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum FH-UII, Yogyakarta, No. Edisi Khusus, Vol. 16 Oktober 2009. Robert Bocock, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, tafipatahun. Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (editor), Memahami Hukum Dari Konstruksi sampai Implementas i, PT . Raj a Grafindo Persada, J akarta, 2009 . Siti Nurbaya, Problematika Politik Hubungan Pusat-Daerah Dalam Sistem Desentralisasi di Indonesia, dalam Satya Arinanto & Ninuk Triyanti (editor), Memahami Hukum Dari Konstruksi sampai Implementasl, PT. Raja Grafindo Persada, Iakarta,2009. SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negora dan Upaya Alternatif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1997. Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegoraan, Panduan Kuliah di perguruan Tinggi Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/ Dihi/ 2006 tentang Rambu-Rambu Pelal<sanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Edisi Kedua, PT. Bumi Aksara, Jakarta,2008.
l-
Perundang-undangan
!/ to
a
,n
?-
ik
Tap MPR Nomor IIV MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan Republik lndonesia. Undang-Undang No. 22 Tahtn 1999 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 51 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan RI. Keppres No. 188 Tahun 1998, tentangTata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Lampiran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000 -2004, sub program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Internet )n
http://ads.hukumonline.com/berita/, Ini Empat Catatan Terkait Perda Penqhambat Investasi di Daerah, diakses 20 Desember 2016 www.kppod.org/index.php Perda-bermasalah-hambat-investasi diakses 27 Januai 2013
at
na
a-
427