http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jm
PAPARAN SENG DI PERAIRAN KALIGARANG TERHADAP EKSPRESI Zn-THIONEIN DAN KONSENTRASI SENG PADA HATI IKAN MAS NK Dewi, FF Perdhana , A Yuniastuti
Jurusan Biologi, FMIPA UNNES, Indonesia Gedung D6 lantai 1 Kampus Sekaran Semarang 50229 Sejarah Artikel: Diterima 20 September 2012 Disetujui 1 Oktober 2012 Dipublikasikan Oktober 2012 Keywords: kaligarang zinc Znthionein
Penelitian bertujuan mengetahui paparan seng (Zn) di perairan Kaligarang terhadap ekspresi Znthionein dan konsentrasi seng pada hati ikan mas (Cyprinus carpio ). Sebanyak 200 ekor ikan dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok 100 ekor. Kelompok kontrol dipelihara di kolam ikan di Balai Benih Ikan Kabupaten Semarang, sedangkan kelompok perlakuan dipelihara pada karamba jaring apung di bagian hilir sungai Kaligarang. Setiap minggu sampel ikan diambil masing-masing lima ekor dari kedua kelompok secara acak untuk diambil organ hatinya dan dianalisis konsentrasi seng dan Znthionein. Ikan pada kedua kelompok dipelihara hingga Znthionein muncul pada hati ikan. Metallothionein diisolasi dari hati ikan dan dianalisis menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography, dengan larutan standar seng. Setiap satu minggu sekali, konsentrasi seng terlarut pada sampel air dari kedua kelompok diukur dengan metode Atomic Absorption Spectroscopy hingga Znthionein muncul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi seng yang terlarut dalam air sungai Kaligarang adalah 0,078 mg/l, lebih tinggi dari nilai baku mutu air kelas I (0,05 mg/l). Rata-rata konsentrasi seng yang terabsorbi oleh hati ikan mas pada minggu ke-6 adalah 0,025868 mg/l, lebih rendah dari batas maksimum cemaran seng (100 mg/kg). Rata-rata konsentrasi seng pada hati ikan sebesar 0,025868 µg/g dapat menginduksi munculnya Znthionein pada hati ikan mas yang hidup di perairan Kaligarang pada minggu ke-6 perlakuan.
Abstract
Alamat korespondensi:
E-mail:
[email protected]
© 2012 Universitas Negeri Semarang ISSN NO 0215-9945
NK Dewi/Jurnal MIPA 35 (2) (2012)
Pendahuluan Salah satu kasus pencemaran air oleh limbah logam berat adalah pencemaran seng (Zn). Logam seng dan berbagai macam bentuk persenyawaannya dapat masuk dan mencemari lingkungan. Pencemaran seng terutama merupakan efek samping dari aktivitas manusia. Faktanya, semua bidang industri yang melibatkan penggunaan seng dalam proses operasional produksi menjadi sumber paparan seng. Logam seng umumnya masuk ke tubuh organisme melalui makanan dan air yang mengandung seng, kemudian mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi (Palar 2008). Pencemaran seng juga terjadi di aliran sungai Kaligarang. Berbagai penelitian menemukan kandungan seng dengan kadar yang bervariasi, di samping logam-logam berat lain (Kartini & Danusaputro 2005; Rohman et al. 2010; Yulianti & Sunardi 2010). Limbah industri yang menggunakan seng dan limbah domestik di sepanjang aliran sungai merupakan kontributor terbesar pencemaran logam berat di sungai Kaligarang (Nugraha 2007). Pencemaran tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat sungai Kaligarang adalah salah satu sumber air untuk konsumsi bagi warga kota Semarang. Konsumsi air yang tercemar seng dapat mengakibatkan gangguan fisiologis, kematian, dan musnahnya spesies tertentu (Palar 2008). Tingginya resiko pencemaran air sungai Kaligarang memerlukan sistem deteksi agen pencemar air sebagai penanda awal pencemaran. Berbagai sistem deteksi mampu menunjukkan keberadaan hingga kuantitas agen pencemaran air. Namun, sistem deteksi secara biologis belum banyak diterapkan dalam penanganan pencemaran air di Indonesia. Penggunaan penanda biologis (biomarker) logam berat diperlukan untuk mendeteksi sekaligus memantau keberadaan logam berat pada tataran molekuler. Di samping itu, biomarker dapat mendeteksi intensitas absorpsi logam berat oleh organisme serta toksisitas dan gangguan yang ditimbulkan pada sistem biologis pada konsentrasi tertentu (Hageberg et al. 2008). Metallothionein merupakan golongan protein yang sering dikaitkan dengan logam berat. Sampai saat ini, metallothionein merupakan satu-satunya biomarker spesifik terhadap logam (Kagi & Vallee 1961). Metallothionein dapat ditemukan pada sel hewan, tumbuhan tinggi, mikroorganisme eukariotik dan prokariotik. Meskipun demikian, metallothionein lebih sering dijumpai di organ
yang banyak terpapar oleh aktivitas senyawa logam seperti hati, ginjal, pembuluh darah, saluran pencernaan, dan saluran pernafasan. Secara langsung, metallothionein berperan penting pada mekanisme detoksifikasi, fasilitasi distribusi, dan ekskresi berbagai senyawa logam (Almatsier 2001; Soemirat 2009). Salah satu logam berat yang dapat berikatan dengan metallothionein adalah seng (Zn). Seng (Zn) merupakan logam berat yang esensial dengan sejumlah fungsi bagi sistem biologis. Ion seng (Zn2+) berperan penting pada aktivitas enzimatis sebagai ko-faktor maupun terdapat pada gugus aktif (activator) berbagai enzim (Lehninger 1982). Defisiensi seng mengakibatkan substitusi logam lain untuk menggantikan fungsi seng, terutama pada sistem kerja enzim. Masuknya ion-ion logam lain pada gugus logam yang seharusnya ditempati seng, dapat menyebabkan gangguan aktivitas hingga kerusakan struktur enzim (Palar 2008). Demikian pula pada aktivitas kompleks Znthionein terkait metabolisme seng. Keberadaan logam lain, terutama logam berat, sedikit banyak akan memperlihatkan pengaruh terhadap regulasi Znthionein (Hijova 2004; Zhu et al. 2010). Metabolisme seng di dalam tubuh organisme merupakan faktor utama yang menentukan toksisitas seng. Konsentrasi senyawa seng bebas yang berlebih di dalam tubuh akan bereaksi secara antagonis dengan metallothionein. Reaksi antagonis secara toksikologi akan mengurangi atau bahkan menghilangkan toksisitas suatu zat atau senyawa toksikan atau protoksikan (Palar 2008). Dengan demikian, Znthionein yang terbentuk akan dapat menurunkan toksisitas logam seng (Klaassen et al. 1999; Aravind & Prasad 2005; Ebrahimi 2005; Carpene et al. 2007; Formigari et al. 2008; Priyanto 2009). Kemunculan Zn thionein dapat dimanfaatkan sebagai biomarker pencemaran seng di perairan Kaligarang (Hanson 2008). Beberapa jenis ikan dapat digunakan sebagai bioindikator. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap agen pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Ikan akan beradaptasi dengan keberadaan berbagai jenis logam dan perubahan konsentrasi logam dalam air. Derajat proteksi terhadap pencemaran sangat bervariasi dan tergantung pada spesies, sehingga dalam keadaan terkontaminasi, keseimbangan ekologi akan menurun dan hanya
NK Dewi/Jurnal MIPA 35 (2) (2012)
organisme yang memiliki toleransi tinggi yang dapat bertahan hidup. Mekanisme proteksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi derajat kontaminasi logam pada organisme air, meskipun organisme tersebut tidak terpengaruh (Darmono 1995). Di samping itu, ikan berperan penting di dalam rantai makanan dan ikan memerlukan volume air yang banyak untuk respirasi. Hal tersebut menjadikan paparan polutan terhadap tubuh ikan sangat intensif sehingga dapat memberikan sinyal peringatan adanya pencemaran secara dini (Kime 1995). Salah satu ikan yang dapat digunakan untuk bioindikator adalah ikan mas (Cyprinus carpio L.) yang bernilai ekonomis, berperan penting dalam rantai makanan, dan peka terhadap berbagai jenis agen pencemar di perairan air tawar (Ratningsih 2008). Hal tersebut memberikan kemudahan untuk mengetahui absorpsi seng oleh ikan di perairan Kaligarang melalui analisis metallothionein pada ikan (Krizkova et al. 2007; Ekpo et al. 2008; Dewi 2012). Penerapan analisis metallothionein pada ikan memberikan informasi lebih terkait sistem deteksi pencemaran logam berat secara biologis (Bae et al. 2005; Brammell & Wigginton 2010; Ferencz 2010; Montaser et al. 2010). Dinamika logam dalam air perlu diketahui untuk memantau tingkat pencemaran logam pada lingkungan perairan. Dalam prosedur pemantauan tersebut, analisis organisme air berperan lebih penting daripada analisis air pada lingkungan pemantauan yang sama. Kandungan logam dalam air dapat berubah dan sangat tergantung pada keadaan lingkungan dan iklim. Namun, kandungan logam pada ikan umumnya akan selalu bertambah dari waktu ke waktu dalam proses bioakumulasi. Oleh karena itu, ikan sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran logam pada lingkungan perairan (Darmono 1995) dan berperan penting dalam penelitian dan pengkajian efek senyawa toksik berbagai polutan di perairan (Kime 1995). Dengan demikian, Znthionein pada hati ikan mas (Cyprinus carpio L.) dapat dimanfaatkan sebagai biomarker pencemaran seng di perairan Kaligarang. Metode Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian ini dilakukan tanpa intervensi perlakuan pemberian variasi dosis paparan seng. Keberadaan seng hanya berasal
dari paparan yang terdapat di perairan Kaligarang. Rancangan penelitian ini menggunakan random pretest and posttest control group design (Sastroasmoro & Ismail 2008; Dewi 2012). Sebanyak 200 ekor ikan dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok 100 ekor. Kelompok kontrol dipelihara di kolam ikan di Balai Benih Ikan Kabupaten Semarang, sedangkan kelompok perlakuan dipelihara pada karamba jaring apung di bagian hilir sungai Kaligarang. Setiap minggu sampel ikan diambil masing-masing lima ekor dari kedua kelompok secara acak untuk diambil organ hatinya dan dianalisis konsentrasi seng dan Znthionein. Ikan pada kedua kelompok dipelihara hingga Zn thionein muncul pada hati ikan. Setiap satu minggu sekali, konsentrasi seng terlarut pada sampel air dari kedua kelompok diukur hingga Znthionein muncul. Prosedur penelitian diadopsi dari Dewi (2012). Konsentrasi seng terlarut air dianalisis dengan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) menggunakan standar wavelength 213,9 nm; slit 0,7 nm; relative noise 1,0; characteristic concentration 0,018 mg/l; characteristic concentration check 1,0 mg/l; dan linear range 1,0 mg/l. Metallothionein diisolasi dari hati ikan mas menggunakan metode yang diadopsi dari penelitian Chassaigne dan Lobinski (1999). Sebanyak 5 gram sampel hati ikan dilunakkan dengan teknik thawing pada suhu 40C. Setelah lunak, sampel hati dipotong-potong, dihaluskan menggunakan mortar dan dihomogenisasi dengan larutan Tris-HCl pH 8,1 dengan perbandingan 2:1 (10 ml Tris-HCl: 5,0 gram sampel hati). Sampel hati disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 g selama 30 menit pada suhu 40C. Supernatan diambil dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 10.000 g selama 60 menit pada suhu 40C. Hasil isolasi selanjutnya dianalisis kandungan metallothionein-nya. Hasil isolasi metallothionein dan larutan standar seng dianalisis menggunakan metode HighPerformance Liquid Chromatography (HPLC) untuk melihat adanya ekspresi Znthionein dan konsentrasi seng pada hati ikan. Proses inject larutan sampel kedua kelompok dan larutan standar seng dijalankan menggunakan EZ Chrom Elite Jasco HPLC system (UV2070PU2080-LCnet II/ADC). Hasil analisis kadar metallothionein berupa grafik kurva HPLC yang menunjukkan puncak-puncak kurva dari masing-masing jenis metallothionein larutan sampel yang diinjeksi ke dalam mesin HPLC. Masing-masing kurva metallothionein saling
NK Dewi/Jurnal MIPA 35 (2) (2012)
terpisah berdasarkan jenis logam yang terikat pada metallothionein. Sementara hasil analisis larutan standar seng berupa grafik kurva HPLC yang menunjukkan puncak kurva dari logam seng standar. Pada grafik kurva HPLC logam seng standar hanya akan terdapat satu kurva puncak untuk menentukan retention time logam seng. Retention time logam seng standar tersebut digunakan untuk mengetahui kemunculan Zn thionein (Aguilar 2004). Data kualitatif yang diperoleh berupa kurva HPLC terhadap ekspresi Znthionein dianalisis secara deskriptif komparasi untuk membandingkan kemunculan Znthionein pada kelompok kontrol dan perlakuan. Kemunculan kurva puncak Znthionein menunjukkan bahwa terjadi aktivitas ekspresi gen metallothionein dan pengikatan seng oleh metallothionein (Giarrocco
et al. 1997). Setelah kurva puncak Znthionein diketahui, luas kurva puncak dikalibrasi untuk menentukan konsentrasi seng pada hati ikan mas. Data kuantitatif yang diperoleh adalah konsentrasi seng pada hati ikan dari kedua kelompok, dianalisis secara statistik menggunakan uji t (Sudjana 2002).
cemaran seng menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 82 tahun 2001. Keberadaan cemaran seng dalam air sungai Kaligarang telah ditemukan sebelumnya oleh Kartini dan Danusaputro (2005) dengan konsentrasi sebesar 0,026 mg/l dan konsentrasi sumber air sebesar 0,008 mg/l. Keberadaan seng tersebut belum dikategorikan melebihi ambang batas dan masih memenuhi baku mutu air kelas I. Di samping itu, Rohman et al. (2010) menemukan kisaran konsentrasi seng dalam air sungai Kaligarang yang sangat tinggi di tiga titik, yaitu jembatan Jl. Pramuka sebesar 0,715-0,916 mg/l, jembatan Tinjomoyo sebesar 0,611-0,911 mg/l dan jembatan Tugu Soeharto sebesar 0,826-1,420 mg/l. Kuantitas pencemaran seng di sungai Kaligarang disebabkan oleh limbah domestik dari masyarakat di sekitar aliran sungai dan limbah industri yang relatif tinggi setiap harinya (Sasongko 2006; Nugraha 2007) serta masukan polutan dari hulu sungai Kreo yang terdapat TPA Jatibarang (Kartini & Danusaputro 2005; Rohman et al. 2010). Di samping itu, cemaran seng berasal dari sumber alami berupa residu pengikisan batu mineral di sepanjang aliran sungai dan partikel seng yang terbawa melalui
udara (Palar 2008). Beberapa titik yang merupakan daerah pemukiman, fasilitas publik, dan industri yang membuang limbahnya ke aliran sungai Kaligarang menunjukkan cemaran yang lebih tinggi dibanding daerah lahan kosong dan penghijauan. Penelitian Yulianti dan Sunardi (2010) juga menemukan tingginya cemaran seng di sungai Kaligarang dengan tendensi fluktuasi pencemaran antar titik yang sama, meskipun konsentrasinya tidak setinggi temuan Rohman et al. (2010). Sampel air sungai dari 10 titik sepanjang sungai Kaligarang telah tercemar di sembilan titik pengambilan sampel dengan kisaran konsentrasi seng 0,35-2,63 mg/l (Yulianti & Sunardi 2010). Dari perbandingan data penelitian sebelumnya dengan hasil penelitian ini, konsentrasi seng terlarut pada minggu ke-6 (0,078 mg/l) tidak setinggi temuan penelitian sebelumnya pada titik yang sama (0,96 mg/l). Hal tersebut diduga dapat terjadi karena faktor curah hujan, laju pengendapan, dan kuantitas buangan limbah. Namun, konsentrasi seng terlarut hasil penelitian masih tetap di atas baku mutu cemaran seng (0,05 mg/l). Di samping itu, jumlah dan sumber cemaran yang terdapat di sepanjang daerah penelitian tidak mengalami
Hasil dan Pembahasan Konsentrasi seng terlarut air dari kedua kelompok disajikan dalam Tabel 1. Pada sampel air yang diambil dari air kolam benih Balai Benih Ikan Kabupaten Semarang, ditemukan bahwa sampel air tidak tercemar seng (zero waste). Sementara, sampel air yang diambil dari keramba jaring apung di bagian hilir sungai Kaligarang dapat dikategorikan tercemar seng (0,072–0,087 mg/l) berdasarkan baku mutu
Tabel 1. Konsentrasi seng terlarut air dari kelompok kontrol dan perlakuan
NK Dewi/Jurnal MIPA 35 (2) (2012)
banyak perubahan dengan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, kondisi perairan lokasi penelitian tidak menunjukkan perbedaan tendensi fluktuasi pencemaran seng. Konsentrasi seng terlarut hasil penelitian ini (0,078 mg/l) lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 82 tahun 2001 yaitu 0,05 mg/l. Oleh karena konsentrasi seng terlarut yang lebih tinggi dari ambang batas, air sungai Kaligarang di sekitar titik pengambilan sampel air tidak memenuhi baku mutu air kelas I yang digunakan sebagai air minum. Peruntukan utama air kelas I digunakan untuk air minum. Adanya cemaran seng di atas ambang batas seharusnya menjadikan air sungai Kaligarang tidak layak untuk konsumsi air minum. Ekspresi Znthionein dan konsentrasi seng pada hati ikan mas Ekspresi Znthionein pada hati ikan mas diinduksi langsung oleh keberadaan seng yang melebihi kebutuhan tubuh. Konsentrasi seng terlarut secara langsung menjadi penyebab meningkatnya konsentrasi seng pada hati ikan mas. Sampel air kelompok kontrol yang tidak tercemar seng (zero waste) berdampak pada tingkat ekspresi Znthionein yang sangat rendah atau bahkan tidak terekspresi sama sekali. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa semua hati ikan kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya kandungan Znthionein. Dengan
demikian, ikan mas kelompok kontrol tidak mengalami absorpsi dan bioakumulasi seng dari air tempat hidupnya. Penelitian mengenai paparan seng terhadap ekspresi Znthionein pada hati ikan mas di perairan Kaligarang belum pernah dilakukan sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa hati ikan mas semua kelompok perlakuan mengandung Znthionein. Hasil perhitungan retention time larutan standar seng disajikan dalam Tabel 2. Logam seng memiliki rentang retention time rata-rata antara menit ke 4,330 hingga menit ke 4,577. Hasil analisis Znthionein pada sampel hati ikan dari kedua kelompok pada minggu ke-6 disajikan dalam Tabel 3. Adapun data minggu ke-1 hingga minggu ke-5 belum terlihat munculnya kurva puncak metallothionein. Konsentrasi seng pada hati ikan dari kedua kelompok diperoleh dari perhitungan kurva kalibrasi dengan rumus y=4763579720.6x dengan R2=0,996714881. Konsentrasi seng pada hati ikan dari kedua kelompok minggu ke-6 disajikan dalam Tabel 4. Adapun data minggu ke-1 hingga minggu ke-5 Znthionein belum terekspresi. Rata-rata konsentrasi seng pada sampel hati ikan pada minggu ke-6 kelompok kontrol sebesar 0 µg/g dan kelompok perlakuan sebesar 0,025868 µg/g. Analisis statistik konsentrasi seng pada hati ikan mas minggu ke-6 dari kedua kelompok, diperoleh thitung sebesar 2,19 lebih
Tabel 2. Hasil perhitungan retention time larutan standar seng
Tabel 3. Hasil analisis Zn-thionein pada sampel hati ikan dari kedua kelompok minggu ke-6
NK Dewi/Jurnal MIPA 35 (2) (2012)
besar dari ttabel sebesar 1,86. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi seng pada hati ikan mas kelompok perlakuan lebih tinggi secara signifikan dibanding kelompok kontrol.
Konsentrasi seng pada hati ikan mas yang diamati tergolong sangat rendah. Meskipun demikian, seng dapat terakumulasi seiring dengan laju absorpsi seng dari air ke dalam tubuh ikan. Penelitian Shindu (2005) menunjukan bahwa seng bersifat sangat akumulatif hampir pada semua organ tubuh ikan. Namun, faktor konsentrasi yang tinggi ditemukan pada organ hati. Konsentrasi seng yang tinggi pada hati ikan mas terkait dengan fungsi hati dalam mekanisme detoksifikasi, metabolisme dan transformasi seng. Tendensi laju absorbsi seng yang terus meningkat pada hati ikan mas, juga ditemukan Shindu (2005) yaitu sebesar 210,7 mg/g. Hasil tersebut relatif sama dengan hasil penelitian ini yaitu sebesar 0,025868 µg/g. Konsentrasi seng pada hati ikan mas pada minggu ke-6 perlakuan masih dalam konsentrasi yang sangat rendah (0,025868 µg/g). Namun, konsentrasi yang sangat rendah tersebut telah mampu menginduksi ekspresi Znthionein. Induksi Znthionein oleh seng tersebut dapat menunjukkan dimulainya bioakumulasi sekaligus detoksifikasi seng pada hati ikan mas (Powell 2000). Dengan demikian, Znthionein bersifat sensitif terhadap toksisitas seng pada hati ikan mas. Sensitivitas ekspresi awal Zn thionein menunjukkan bahwa meskipun seng pada hati ikan mas masih dalam konsentrasi sangat kecil, namun menyebabkan gangguan proses biologis akibat toksisitas seng yang dihasilkan. Ekspresi metallothionein merupakan bukti yang menunjukkan adanya paparan logam tertentu dalam jaringan secara spesifik. Demikian pula ekspresi Znthionein yang hanya akan terinduksi oleh paparan seng dalam konsentrasi yang berlebih pada hati ikan mas. Hasil analisis Znthionein menunjukkan keterkaitan erat antara konsentrasi seng terlarut
dengan kemunculan Znthionein dan konsentrasi seng pada hati ikan mas kelompok perlakuan. Sebaliknya, tidak munculnya Znthionein pada kelompok kontrol membuktikan bahwa pencemaran seng tidak terjadi pada kolam pemeliharaan ikan mas kelompok kontrol. Di samping itu, secara statistik diketahui konsentrasi seng pada hati ikan mas kelompok perlakuan lebih tinggi secara signifikan dibanding kelompok kontrol. Dengan demikian, ekspresi awal Znthionein dapat digunakan sebagai penanda biologis (biomarker) deteksi dini pencemaran seng di perairan Kaligarang, meskipun masih dalam taraf kontaminasi. Konsentrasi seng pada hati mas (0,025868 µg/g) yang menginduksi Znthionein masih jauh berada di bawah nilai maksimum yang diizinkan (100 mg/kg). Adapun batas maksimum cemaran seng dalam makanan adalah 100 mg/kg menurut SK Dirjen POM nomor 03725/B/S/VII/1989 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan. Meskipun konsentrasi seng pada hati ikan mas masih sangat rendah dan seng merupakan logam yang diregulasi secara proporsional di dalam tubuh, bioakumulasi seng masih dapat berlanjut. Munculnya Znthionein masih merupakan induksi awal proses bioakumulasi seng pada ikan mas. Oleh karena itu, perlu dilakukan perlakuan time series hingga diketahui titik jenuh (steady state phase) absorpsi seng pada hati ikan mas. Setelah titik jenuh absorpsi seng dicapai, dapat diketahui absorpsi seng masih dalam ambang atau sudah melewati batas maksimum cemaran seng yang diizinkan. Simpulan Konsentrasi seng yang terlarut dalam air sungai Kaligarang adalah 0,078 mg/l, lebih tinggi dari nilai baku mutu air kelas I (0,05 mg/l) menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Rata-rata konsentrasi seng yang terabsorbi oleh hati ikan mas ke-6 (Cyprinus carpio L.) pada
NK Dewi/Jurnal MIPA 35 (2) (2012)
minggu ke- 6 adalah 0,025868 µg/g, lebih rendah dari batas maksimum cemaran seng (100 mg/kg) menurut SK Dirjen POM nomor 03725/B/S/VII/1989 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan. Rata-rata konsentrasi seng pada hati mas sebesar 0,025868 µg/g dapat menginduksi munculnya Zn-thionein pada hati ikan mas yang hidup di perairan Kaligarang pada minggu ke-6 perlakuan. Daftar Pustaka
Aguilar MI. 2004. HPLC of Peptides and Proteins: Methods and Protocols. Totowa: Humana Press. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.
Aravind P & Prasad MNV. 2005. Cadmium-zinc interactions in a hydroponic system using Ceratophyllum demersum L. adaptive ecophysiology, biochemistry and molecular toxicology. Braz J Plant Physiol 17(1): 3-20. Bae H, Nam SS, Park HS & Park K. 2005. Metallothionein mRNA squencing and induction by cadmium in gills of the Crucian Carp (Carassius auratus). J Health Sci 51(3): 284-290. Brammell BF & Wigginton AJ. 2010. Differential gene expression in Zebrafish (Danio rerio) following exposure to gaseous diffusion plant effluent and effluent receiving stream water. Am J Environ Sci 6(3): 286-294. Carpene E, Andreani G & Isani G. 2007. Metallothionein functions and structural characteristics. J Trace Elem Med Biol 21: 35–39.
Chassaigne H & Lobinski R. 1999. Rapid analysis for cadmium metallothionein complexes by HPLC using microparticulate stationary phases. Fresenius J Anal Chem 363: 522–525. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Dewi NK. 2012. Biomarker pada Ikan sebagai Alat Monitoring Pencemaran Logam Berat Kadmium, Timbal dan Merkuri di Perairan Kaligarang Semarang. Dissertation. Universitas Diponegoro. Semarang.
Ebrahimi M. 2005. Effect of in vivo and in vitro zinc and cadmium treatmen on sperm steroidogenesis of the African Catfish (Clarias gairepinus). Iranian J Vet Res University of Shiraz 6(2): 54-61. Ekpo KE, Asia IO, Amayo KO & Jegede DA. 2008. Determination of lead, cadmium and mercury in surrounding water and organs of some species of fish from Ikpoba River in
Benin City, Nigeria. Int J Phys Sci 3(11): 289292.
Ferencz A. 2010. Identification and Expression of the Genes of Metal-Responsive Transcription Factor-1 and Glutathione Peroxidases of Common Carp. Dissertation. University of Szeged. Szeged.
Formigari A, Alberton P, Cantale V, Nadal VD, Feltrin M, Ferronato S, Santon A, Schiavon L & Irato P. 2008. Relationship between metal transcription factor-1 and zinc in resistance to metals producing free radicals. Curr Chem Biol 2: 256-266. Giarrocco V, Quimby B & Klee M. 1997. Retention Time Locking: Concepts and Applications. Wilmington: Agilent Technologies, Inc.
Hageberg AA, Mortensen PB, Solberg T & Winther S. 2008. Project Report. Study on Sensor Technologies for Integrated Environmental Monitoring. Bergen: NCE Subsea. Hanson N. 2008. Does Fish Health Matter?. The Utility of Biomarkers in Fish for Environmental Assessment. Dissertation. Gothenburg: University of Gothenburg. Hijova. 2004. Metallothionein and zinc. Their functions and interactions. Bratisl Lek Listy 105(5-6): 230-234. Kagi JHR & Vallee BL. 1961. Metallothionein: a cadmium and zinc-containing protein from equine renal cortex. J Biol Chem 236(9): 24352442. Kartini
& Danusaputro H. 2005. Estimasi penyebaran polutan dengan metode self potential (Studi kasus TPA Jati Barang, Mijen ,Semarang). Berkala Fisika 8(1): 27-32.
Kime DE. 1995. The effect of pollution on reproduction in fish. Rev Fish Biol Fisher 5(1): 552-596. Klaassen CD, Liu J & Choudhuri S. 1999. Metallothionein. an intracellular protein to protect against cadmium. Toxicity Annu Rev Pharmacol Toxicol 39: 267-294.
Krizkova S, Zitka O, Adam V, Beklova M, Horna A, Svobodova Z, Sures B, Trnkova L, Zeman L & Kizek R. 2007. Possibilities of electrochemical techniques in metallothionein and lead detection in fish tissues. Czech J Animal Sci 52(5): 143-148.
Montaser M, Mahfouz ME, El-Shazly SAM, Rahman GHA & Bakry S. 2010. Toxicity of heavy metals on fish at Jeddah coast KSA: metallothionein expression as a biomarker and histopathological study on liver and gills. World J Fish Marine Sci 2(3): 174-185.
Nugraha WD. 2007. Analisis pengaruh hidrolika sungai terhadap transport BOD dan DO dengan menggunakan Software QUAL2E (Studi kasus di Sungai Kaligarang Semarang).
J Presipitasi 2(1): 66-70.
NK Dewi/Jurnal MIPA 35 (2) (2012)
Palar H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Powell SR. 2000. The antioxidant properties of zinc. J Nutr 130: 1447S-1454S. Priyanto. 2009. Antidotum Leskonfi.
Toksikologi; Mekanisme, Terapi dan Penilaian Resiko. Depok:
Ratningsih N. 2008. Uji toksisitas molase pada respirasi ikan mas (Cyprinus carpio L.). J Biotika 6(1): 22-33. Rohman T, Syafrudin & Zaman B. 2010. Model cemaran seng (Zn) di perairan sungai dengan metode upwind dan metode quickest berdasarkan pembaganan Abbot-Ioneschu (Studi kasus: Kaligarang Semarang). J Presipitasi 7(2): 77-82.
Sasongko LA. 2006. Kontribusi Air Limbah Domestik Penduduk di sekitar Sungai Tuk terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang serta Upaya Penanganannya (Studi Kasus
Kelurahan Sampangan dan Bendan Ngisor Kecamatan Gajah Mungkur Kota Semarang). Thesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Sastroasmoro S & Ismail S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Shindu SF. 2005. Kandungan Logam Berat Cu, Zn, dan Pb dalam Air, Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan Ikan Mas (Cyprinus carpio) dalam Keramba Jaring Apung, Waduk Saguling. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soemirat J 2009. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Yulianti D & Sunardi. 2010. Identifikasi pencemaran logam pada sungai Kaligarang dengan metode analisis aktivasi netron cepat (AANC). EJournal Unnes 8(1): 34-45.
Zhu J, Meeusen J, Krezoski S & Petering DH. 2010. Reactivity of Zn-, Cd-, and apometallothionein with nitric oxide compounds; In vitro and cellular comparison. Chem Res Toxicol 23: 422–431.