Faktor - Faktor yang Berhubungan Dengan Dalam Tindakan Pencegahan Penyakit Kecacingan pada Anak SD oleh Guru Di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang Tahun 2014 Ami Anugerahni1, Suharyo2,Zaenal Sugiyanto 2 Alumni Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang 2 Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang Email :
[email protected] 1
ABSTRACT Helminthiasis disease is a disease caused by a parasitic worm influx into the human body . These parasites infect more than 2 billion people in the world and 880 million of which occurred in children of school age ( 5-14 years ) Helminth infestation can lead to impaired growth and development , intelligence and productivity of children . The purpose of this study was to analyze the factors associated with worm preventive action by teachers in elementary school children Bandarharjo This type of research is observasional analytic research anad methods used are questionnaire with a sample to cross as many as 45 teachers sectional. The results showed no relationship between the attitudes of teacher with preventive measure. And there is relationship between teachers knowledge and availabilitiy of health facilities with preventive measure. Helminthiasis disease in children can be avoided by increasing the role of teachers in implementing a clean and healthy lifestyle and seeking the availability of availabiliti of health facilities in school environment. Keywords : knowledge , attitude , availability of facilities , preventive measures, teacher ABSTRAK Penyakit cacingan adalah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit berupa cacing ke dalam tubuh manusia. Parasit ini menginfeksi lebih dari 2 miliar orang di dunia dan 880 juta diantaranya terjadi pada anak usia sekolah (5-14 tahun). Kecacingan dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang, intelegensia dan produktifitas anak. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan pencegahan penyakit kecacingan pada anak SD oleh guru di Kelurahan Bandarharjo. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Pengambilan sampel yang dilakukan secara proposi random sampling didapatkan 45 responden. Pengumpulan data menggunakan angket. Hasil uji statistik Rank Spearman menunjukkan tidak ada hubungan antara sikap guru SD dengan tindakan pencegahan terhadap penyakit kecacingan dan ada hubungan antara pengetahuan, ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tindakan pencegahanpenyakit kecacingan. Penyakit kecacingan pada anak dapat dihindari dengan cara meningkatkan peran guru dalam menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) serta mengupayakan ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai di lingkungan sekolah. Kata Kunci: pengetahuan, sikap, ketersediaan fasilitas, tindakan pencegahan, guru
PENDAHULUAN Penyakit cacingan adalah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit berupa cacing ke dalam tubuh manusia. Spesies utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma doudenale) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) parasit ini menginfeksi lebih dari 2 miliar orang di dunia dan 880 juta diantaranya terjadi pada anak usia sekolah (5-14 tahun). Berdasarkan data tersebut prevalensi terbesar terjadi pada anak usia sekolah sehingga penyakit cacingan
merupakan salah satu penyakit infeksi yang
menjadi masalah kesehatan di dunia.(1) (2) Dampak dari penyakit kecacingan sangat besar terhadap perkembangan fisik, intelegensia dan produktifitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Kecacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake) , pencernaan (digestif), penyerapan (absorsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacingan dapat menyebabkan kurang gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan
darah
yang
berakibat menurunnya
daya
tahan
tubuh
dan
menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak. Khusus anak usia sekolah, keadaan ini akan berakibat buruk pada kemampuannya dalam mengikuti pelajaran di sekolah.(3) Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2009, terdapat 6 wilayah endemik di dunia yang menjadi prioritas untuk pengobatan infeksi cacing pada anak. Asia Tenggara menempati prioritas pertama dengan persentase 42%, Afrika menempati prioritas kedua dengan persentase 32%, Wilayah Pasific Barat menempati prioritas ke tiga dengan persentase 11%, wilayah Mediterania Timur menempati prioritas ke empat dengan persentase 9%, Amerika menempati proritas ke lima dengan persentase 5%, dan Eropa menempati prioritas ke enam dengan persentase 1%.(1) Asia Tenggara merupakan wilayah dengan persentase tertinggi di dunia akan kebutuhan pengobatan infeksi cacingan pada anak.
Indonesia yang
merupakan salah satu negara yang menjadi bagian dari kawasan Asia Tenggara,
menempati prioritas ke dua untuk kebutuhan pengobatan cacingan pada anak dengan presentase 15% setelah India pada prioritas pertama dengan persentase 61% , kemudian diikuti oleh Bangladesh (13%), Myanmar (3%), Nepal (3%), Democratic Republic of Korea (1%), dan negara lainnya (1%).(1) Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan tahun 2006 di Indonesia dengan jumlah penduduk 220.000.000, prevalensi infeksi cacingan 60% orang, dan 21% di antaranya tedapat pada anak usia sekolah dasar (5-14 tahun). Penderita tersebar di seluruh daerah, baik di pedesaan maupun perkotaan. Faktor- faktor yang mempengaruhi prevalensi yang tinggi di Indonesia karena berada di daerah tropis yang menunjang untuk perkembangan hidup suburnya parasit. Faktor penunjang lainnya yaitu keadaan alam serta iklim, sosial ekonomi, pendidikan, kepadatan penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan higiene pribadi yang kurang baik. Oleh sebab itu penyakit cacingan masih menjadi masalah kesehatan mendasar di Indonesia.(3) (4) Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang persentase angka penyakit cacingan pada anak usia sekolah (5-14 tahun) mengalami penurunan. Pada tahun 2010 terdapat 54 jumlah anak dari 142 jumlah orang yang terinfeksi penyakit cacing (38%) dan pada tahun 2011 terdapat 34 jumlah anak dari 113 jumlah orang yang terinfeksi penyakit cacing (30%). Berdasarkan laporan dari Puskesmas Kelurahan Bandarharjo persentase angka penyakit cacingan pada anak usia sekolah (5-14 tahun) mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 terdapat 2 anak dari 6 orang yang terinfeksi penyakit cacing (33%) dan pada tahun 2012 terdapat 9 anak dari 11 orang yang terinfeksi penyakit cacing (82%). Data ini menunjukkan peningkatan persentase yang signifikan sehingga harus mendapatkan perhatian khusus untuk dilakukan upaya pengendalian cacingan. Pada penelitian sebelumnya oleh M. Amirudin Ali mengenai hubungan infeksi helminthiasis dengan kadar hemoglobin (Hb) pada siswa SD Bina Gedong Remaja Kota Semarang Tahun 2011 ada hubungan antara infeksi helminthiasis dengan kadar hemoglobin dengan (p = 0,017), ditemukan 46,9 % positif terinfeksi cacing. (5) Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai visi dunia bebas dari morbiditas anak karena infeksi penyakit cacingan yaitu mengurangi morbiditas dari penyakit cacingan pada anak usia sekolah (5-14 tahun) ke level bawah yang
tidak dianggap sebagai masalah kesehatan. Penyakit cacingan dianggap sebagai masalah kesehatan apabila prevalensi infeksi dengan intensitas sedang dan tinggi pada anak usia sekolah lebih dari 1%. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai target pada tahun 2020 untuk mengurangi angka kesakitan karena infeksi cacingan pada anak 75% di daerah endemik. Indonesia yang termasuk dalam wilayah endemik mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mendukung pencapaian target WHO dengan melaksanakan program-program pengendalian penyakit cacingan.(1) Salah satu faktor penting dalam upaya pencegahan penyakit kecacingan pada anak sekolah dasar (SD) yaitu dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah. Karena pada umumnya munculnya penyakit yang sering menyerang pada anak usia sekolah dasar berkaitan dengan PHBS, yang salah satunya adalah penyakit kecacingan. Oleh karena itu penanaman nilai-nilai PHBS di sekolah merupakan kebutuhan mutlak dan dapat dilakukan melalui pendekatan usaha kesehatan sekolah (UKS).(6) Guru sebagai orang tua kedua di sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam penyampaian pesan kesehatan kepada anak didik dan dalam praktiknya
dapat memberikan contoh sikap dan perilaku untuk
melaksanakan hidup bersih dan sehat, karena pada anak usia sekolah dasar (SD) merupakan tahapan dalam siklus kehidupan yang sangat strategis bagi pemahaman nilai yang akan dibawa hingga dewasa. (6) Diharapkan para guru dapat bersinergi dengan seluruh siswa dan masyarakat lingkungan sekolah untuk dapat berperan aktif dalam mewujudkan sekolah sehat sebagai upaya menurunkan angka penyakit kecacingan melalui upaya pencegahan pada anak usia sekolah dasar agar dapat meningkatkan derajat kesehatan peserta didik yang optimal.(7) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisi hubungan karakteristik individu, pengetahuan, sikap, dan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tindakan pencegahan penyakit kecacingan pada anak SD oleh guru.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik, yaitu penelitian yang menjelaskan adanya hubungan antara variabel melalui pengujian hipotesa. Metode pengumpulan data dengan menggunakan angket yaitu suatu
metode
yang
mengedarkan
digunakan daftar
untuk
pertanyaan
mengumpulkan berupa
data
kuesioner
dimana
untuk
peneliti
mendapatkan
keterangan secara tertulis dari sasaran penelitian (responden). Berdasarkan waktu penelitian, rancangan penelitian ini adalah cross sectional atau potong lintang karena variabel independen dan variabel dependen diukur dalam waktu yang bersamaan. Populasi penelitian adalah seluruh jumlah guru Sekolah Dasar di Kelurahan Bandarharjo yang berjumlah 8 sekolah dasar yaitu SDN Bandarharjo 01, SDN Bandarharjo 02, SD Bangunsari, SD PGRI 2, SD Santosa, SD Muhammadiyah, MI Hasanudin, dan MI Nurul Huda. Jumlah seluruh populasi adalah 86, dengan rumus: N Z(1-α/2 )2 P(1 - P) n
= Nd2 + Z1-α/2 )2 P (1 – P)
Didapatkan sampel sebanyak 45 guru. Teknik Pengambilan sampel yang digunakan adalah secara proposi random sampling dengan cara pengundian.
HASIL Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap lingkungan sekolah berdasarkan ketersediaan fasilitas kesehatan sebagian besar sekolah memiliki jamban, namun kondisi infrastruktur jamban ditemukan dalam kondisi yang tidak layak untuk digunakan seperti pintu yang rusak selain itu sarana didalammnya juga tidak dapat digunakan seperti kran air yang rusak serta kondisi jamban yang kotor dan bau. Sebagian besar sekolah memiliki fasilitas tempat mencuci tangan namun terdapat beberapa sekolah yang tidak melengkapi dengan ketersediaan sabun untuk mencuci tangan. Berdasarkan hasil observasi peneliti diketahui bahwa program dari sekolah yang dilakukan untuk pencegahan penyakit kecacingan yaitu seperti pemeriksaan kuku rutin setiap 1-2 kali seminggu yang dilakukan oleh guru. Sedangkan program kerjasama dengan petugas kesehatan dalam rangka penelitian yaitu pernah dilakukan pemeriksaan feses pada siswa untuk kemudian diperiksa apakah menderita penyakit kecacingan atau tidak. Berdasarkan observasi peneliti, sebagian besar UKS
belum dapat berfungsi
secara optimal dan aktivitas yang berkaitan program UKS sebagian besar tidak berjalan dikarenakan keterbatasan ketersediaan fasilitas kesehatan termasuk tidak tersedianya ruang UKS. Pengumpulan data didapatkan umur responden berkisar pada umur 3140 tahun (37,8%) dan dengan responden terbanyak berjenis kelamin perempuan (60,0%). Sebagian besar responden (60,0%) mempunyai pendidikan S1 dan responden terbanyak mempunyai masa kerja 1-10 tahun (48,9%). Tingkat pengetahuan responden mengenai penyakit kecacingan sebagian besar responden mempunyai pengetahuan baik (57,8%), sedangkan sisanya mempunyai pengetahuan kurang (42,2%). Berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden menurut pengetahuan sebagian besar responden (89%) menjawab salah dan tidak mengetahui mengenai jenis-jenis tanah
tempat
berkembangnya telur cacing. Sikap responden sebagian besar responden mempunyai sikap baik (57,8%), sedangkan sisanya mempunyai sikap kurang (42,2%). Berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden menurut sikap sebagian besar responden (84,5%) menyatakan bahwa tidak penting untuk mengikuti penyuluhan kesehatan untuk mengetahui mengenai penyakit kecacingan dan cara pencegahannya. Berdasarkan
ketersediaan
fasilitas
sebagian
besar
responden
mempunyai ketersediaan fasilitas baik (80,0%), sedangkan sisanya mempunyai ketersediaan fasilitas kurang (20,0%). Berdasarkan frekuensi distribusi jawaban responden menurut ketersediaan fasilitas sebagian besar responden (82,2%) menyatakan di sekolah tersedia fasilitas jamban dan persediaan air bersih selalu ada namun sebagian besar responden (46,7%) menyatakan jamban tidak dapat digunakan. Tindakan sebagian besar responden rmelakukan tindakan pencegahan dengan baik (66,7%), sedangkan sisanya melakukan tindakan pencegahan dengan kurang (33,3%). Berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden menurut tindakan pencegahan sebagian besar responden (51,1%) menyatakan tidak pernah menempelkan poster atau membagikan leaflet mengenai penyakit kecacingan dan pencegahannya kepada siswa. Hasil uji Rank Spearman antara variabel pengetahuan responden dan tindakan pencegahan penyakit kecacingan menunjukkan p value (0,002) < 0,05,
maka keputusan Ho ditolak yang artinya ada hubungan antara pengetahuan guru dengan tindakan pencegahan penyakit kecacingan. Hasil uji Rank Spearman antara variabel sikap responden dan tindakan pencegahan penyakit kecacingan menunjukkan p value (0,092) < 0,05, maka keputusan Ho diterima yang artinya tidak ada hubungan antara sikap guru dengan tindakan pencegahan penyakit kecacingan. Hasil uji Rank Spearman antara variabel ketersediaan fasilitas dan tindakan pencegahan penyakit kecacingan menunjukkan p value (0,017) < 0,05, maka keputusan Ho ditolak yang artinya ada hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan tindakan pencegahan penyakit kecacingan.
PEMBAHASAN Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Tindakan Pencegahan Oleh SD Dengan
Tindakan
Pencegahan
Oleh
Guru
SD
Terhadap
Penyakit
Kecacingan Dari hasil uji statistik diketahui bahwa persentase responden dengan tindakan pencegahan kurang pada responden yang mempunyai pengetahuan kurang sebesar 57,9% lebih besar dibandingkan responden yang mempunyai pengetahuan baik sebesar 15,4% dan persentase responden dengan tindakan pencegahan baik pada responden yang memiliki pengetahuan baik sebesar 84,6% lebih besar dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan kurang sebesar 42,1%. Berdasarkan
analisis
hasil
uji
Rank
Spearman
dengan
tingkat
kepecayaan 95% dan ά = 0,05 untuk n = 45 responden diperoleh nilai (p=0,002) < (ά=0,05), maka Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan guru SD dengan tindakan pencegahan oleh guru SD terhadap penyakit kecacingan di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang.
Tabel 1. Hasil Tabulasi Silang antara Variabel Pengetahuan dengan Variabel Tindakan Pencegahan oleh Guru SD pada Siswa Tindakan Pencegahan Pengetahuan
Kurang
Baik
Total
N
%
N
%
N
%
Kurang
11
57,9
8
42,1
19
100
Baik
4
15,4
22
84,6
26
100
Tabel 2. Hasil Uji Rank Spearman antara Variabel Pengetahuan dengan Variabel Tindakan Pencegahan oleh Guru SD pada Siswa Variabel Bebas
Variabel Terikat
P
Kesimpulan
Value
Pengetahuan
Tindakan Pencegahan
0,002
Ada hubungan
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Green (1988) dalam Notoadmojo (2003) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan faktor predisposisi (predisposisi factor) dalam perilaku seseorang sebelum seseorang mengadopsi perilaku (perilaku baru) ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya. Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilkinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan akan menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga) dan indra penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam
membentuk
tindakan
seseorang
(overt
behaviour).(9,10)
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seorang guru mengenai penyakit kecacingan maka akan semakin
baik pula tindakan seorang guru dalam tindakan pencegahan penyakit kecacingan. Diharapkan guru harus memilki pengetahuan mengenai jenis-jenis tanah tempat berkembang biaknya telur cacing dan penularannya melalui tanah sehingga guru dapat menginformasikan hal tersebut kepada siswa. Apabila siswa mengerti diharapkan siswa dapat melakukan himbauan dan peringatan dari guru untuk bermain di tanah dengan menggunakan alas kaki.
Hubungan Antara Sikap Guru SD Dengan Tindakan Pencegahan Oleh Guru SD Terhadap Penyakit Kecacingan Dari hasil uji statistik diketahui bahwa persentase responden dengan tindakan pencegahan kurang pada responden yang mempunyai sikap kurang sebesar 47,4% lebih besar dibandingkan responden yang mempunyai sikap baik sebesar 23,1% dan persentase responden dengan tindakan pencegahan baik pada responden yang memiliki sikap baik sebesar 76,9% lebih besar dibandingkan responden yang memiliki sikap kurang sebesar 52,6%. Berdasarkan analisis hasil uji rank-spearman dengan tingkat kepecayaan 95% dan ά = 0,05 untuk n = 45 responden diperoleh nilai (p=0,092) > (ά=0,05), maka Ha ditolak dan Ho diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap guru SD dengan tindakan pencegahan oleh guru SD terhadap penyakit kecacingan di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang.
Tabel 3. Hasil Tabulasi Silang antara Variabel Sikap dengan Variabel Tindakan Pencegahan oleh Guru SD pada Siswa Tindakan Pencegahan Sikap
Kurang
Baik
Total
N
%
N
%
n
%
Kurang
9
47,4
10
52,6
19
100
Baik
6
23,1
20
76,9
26
100
Tabel 4. Hasil Uji Rank Spearman antara Variabel Sikap dengan Variabel Tindakan Pencegahan oleh Guru SD pada Siswa Variabel Bebas
Variabel Terikat
P
Kesimpulan
Value
Sikap
Tindakan Pencegahan
0,092
Tidak ada hubungan
Hal ini sesuai dengan penelitian Sekartini (2001) yang menyatakan tidak ada hubungan antara sikap, dengan perilaku pencegahan penyakit cacingan di Kelurahan Pisangan Baru, Jakarta Timur.(8) Menurut Notoadmojo (2010) mengemukakan bahwa suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Ini berarti bahwa responden yang mempunyai sikap yang baik belum tentu dapat mewujudkan menjadi suatu tindakan nyata. Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Sikap adalah kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek. Sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan), atau reaksi tertutup.(9,10) Diharapkan guru dapat mengubah respon mereka terhadap penyakit kecacingan menjadi
suatu hal yang penting untuk diketahui sehingga dapat
diwujudkan dalam tindakan dengan mengikuti penyuluhan-penyuluhan dan aktif mengakses informasi melalui berbagai media sehingga dapat menjadi teladan bagi siswa, menghimbau dan mengontrol siswa dalam melakukan tindakan pencegahan yaitu salah satunya adalah dengan melaksanakan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
Hubungan Antara Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Dengan Tindakan Pencegahan Oleh SD Dengan Tindakan Pencegahan Oleh Guru SD Terhadap Penyakit Kecacingan Dari hasil uji statistik diketahui bahwa persentase responden dengan tindakan pencegahan kurang pada responden yang mempunyai ketersediaan fasilitas kurang sebesar 66,7% lebih besar dibandingkan responden yang mempunyai ketersediiaan fasilitas baik sebesar 25,0% dan persentase responden dengan tindakan pencegahan baik pada responden yang memiliki ketersediaan fasilitas baik sebesar 75,0% lebih besar dibandingkan responden yang memiliki ketersediaan fasilitas kurang sebesar 33,3%. Berdasarkan analisis hasil uji rank-spearman dengan tingkat kepecayaan 95% dan ά = 0,05 untuk n = 45 responden diperoleh nilai (p=0,017) < (ά=0,05), maka Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tindakan pencegahan oleh guru SD dengan tindakan pencegahan oleh guru SD terhadap penyakit kecacingan di Kelurahan Bandarharjo,
Kecamatan Semarang Utara
Kota Semarang.
Tabel 5. Hasil Tabulasi Silang antara Variabel Sikap dengan Variabel Tindakan Pencegahan oleh Guru SD pada Siswa Tindakan Pencegahan Ketersediaan Fasilitas
Kurang
Baik
Total
N
%
N
%
n
%
Kurang
6
66,7
3
33,3
9
100
Baik
9
25,0
27
75,0
36
100
Tabel 6. Hasil Uji Rank Spearman antara Variabel Ketersediaan Fasilitas dengan Variabel Tindakan Pencegahan oleh Guru SD pada Siswa Variabel Bebas
Variabel Terikat
P
Kesimpulan
Value
Sikap
Tindakan Pencegahan
0,017
Ada hubungan
Menurut Green (1990) ketersediaan sumber daya kesehatan, yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana-sarana merupakan faktor pendukung (enabling factors) atau sarana yang merupakan sumberdaya untuk menunjang pembentukan suattu perilaku yaitu untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Pekerjaan seseorang dalam menjalankan tugasnya tingkat kualitas hasilnya sangat ditentukan oleh sarana dan prasarana, yang disertai pedoman akan banyak berpengaruh terhadap produktifitas kerja dan kualitas kerja yang baik(9,10) Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin baik ketersediaan fasilitas maka akan semakin baik pula tindakan seorang guru dalam tindakan pencegahan penyakit kecacingan. Pihak sekolah diharapkan dapat mengupayakan perbaikan fasilitas kesehatan termasuk ketersediaan sarana dan prasarana sehingga dapat digunakan dengan layak dalam mendukung terwujudnya perilaku yang sehat oleh siswa.
SIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berumur 31-40 tahun (37,8%), berjenis kelamin perempuan (60,0%), mempunyai pendidikan S1 (60,0%), dan sebagian besar responden mempunyai masa kerja 1-10 tahun (48,9%), mempunyai pengetahuan baik (57,8%), mempunyai sikap baik yaitu sebanyak 26 orang (57,8%),
mempunyai ketersediaan fasilitas baik
(80,0%), dan sebagian besar responden melakukan tindakan pencegahan dengan baik (66,7%). 2. Ada hubungan antara pengetahuan guru SD dengan tindakan pencegahan oleh guru SD terhadap penyakit kecacingan di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang (p=0,002) > (ά=0,05). 3. Tdak ada hubungan antara sikap guru SD dengan tindakan pencegahan oleh guru SD terhadap penyakit kecacingan di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang (p=0,092) > (ά=0,05). 4. Ada hubungan antara ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tindakan pencegahan oleh guru SD dengan tindakan pencegahan oleh guru SD terhadap penyakit kecacingan di Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang (p=0,017) < (ά=0,05)
SARAN Diharapkan sekolah dapat mengaktifkan kegiatan yang berhubungan dengan UKS dan guru dapat meningkatkan peran dalam menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) di lingkungan sekolah sehingga upaya pengendalian penyakit kecacingan dapat berjalan dengan optimal. Selain itu diharapakan guru dapat meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit kecacingan agar dapat memberikan informasi bahaya penyakit kecacingan kepada siswa. Guru juga harus aktif dalam mengakses informasi melalui berbagai media salah satunya seperti internet agar dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai kesehatan
Sekolah juga diharapkan dapat memfungsikan fasilitas kesehatan
serta menyediakan sarana dan prasarana kesehatan terutama jamban sehingga dapat digunakan sesuai dengan standar serta menyediakn sabun untuk mencuci tangan.
DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Eliminating Soil Transmitted Helminthiasies As A Public Health Problem In Children. WHO. 2009 2. WHO. Soil Transmitted Helminths.
http://www.who.int/intestinal_worms/en/.
Diakses tanggal 4 Oktober 2013 3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Cacingan. 2006 4. Natadisastra, Djaenudin. Agoes, Ridad. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC; 2009 5. M. Amirudin Ali. Hubungan Infeksi Helminthiasis Dengan Kadar Hemoglobin (Hb) Pada Siswa SD Bina Gedong Remaja Kota Semarang. 2011 6. Tim Esensi. Mengenal UKS. Jakarta: Erlangga; 2012 7. Mubarak, Iqbal M. Chayatin, Nurul. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika; 2009 8. Sekartini. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu yang Memiliki Anak Usia SD Tentang Penyakit Cacingan di Kelurahan Pisangan Baru, Jakarta Timur. 2006 9.
Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012
10. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010