MUHAMMAD MUQODDAS: “THE LIVING” BALA<nul H{a>l Afs}ah} min Lisa>nil Maqa>l (Tindakan lebih bertuah daripada sekadar kata)
A. Pengantar Bala>ghah dengan ketiga bidang ilmunya (al-baya>n, al-ma’a>ni>, dan al-badi>’) disinyalir oleh banyak orang telah mengalami kemandegan sepeninggal Sira>juddi>n Abu> Ya’qu>b as-Sakka>ki> alKhawa>rizmi> (w. 626 H) dengan karyanya Mifta>h al-‘Ulu>m.2 Bahkan, Ami>n al-Khu>li> membahasakan kemandekan bala>gah ini dengan ungkapannya yang cukup populer, “Nad}ijat al-Bala>gah hatta> Ih}taraqat” (Bala>ghah telah sangat matang hingga hangus terbakar). Bagi mereka, dalam sejarah ilmu pengetahuan terdapat hukum universal bahwa jika telah sampai pada puncak kematangan dan titik jenuhnya, ilmu terancam tidak lagi bertenaga untuk terus berada di garis depan dalam menjelajahi samudera kehidupan sebagimana orang yang telah memasuki masa pensiunnya. Bala>ghah, menurut mereka, tidak bisa menghindari hukum universal ilmu pengetahuan tersebut. Dalam pandangan mereka, meskipun hadir di tengahtengah kita, bala>ghah kini sebenarnya tidak ada. Kehadirannya tidak lagi fungsional, dalam arti tidak berdaya untuk menjadi piranti 1
Penulis adalah murid Muhammad Muqoddas, semasa kuliah di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya ini pernah menerima kuliah Bala>ghah darinya, dan menjadi mahasiswa bimbingannya dalam menulis skripsi meskipun tidak didampinginya saat ujian munaqasyah karena beliau sakit. Muhammad ‘I a> Mu’a>s}irah fi> ad-Dira>sa>t al-Lugawiy> ah wa al-Adabiy> ah (Kairo: ‘A
Ridwan
kritik atau melahirkan sensitivitas dan cita rasa estetik.3 Bukti lain yang mereka kemukakan adalah bahwa karya-karya tentang bala>ghah yang muncul setelah karya as-Sakka>ki> di atas nyaris hanya berwujud komentar dan ringkasan, seperti al-Mis}ba>h} karya Ibnu Ma>lik dan alIh} karya Jalaluddin al-Qazwaini>.4 Ungkapan lisa>nul h}a>l afs}ah} min lisa>nil maqa>l di atas tampaknya dapat merepresentasikan jawaban atas “goyang kritik” (gotik) maut terhadap bala>ghah tersebut oleh Muhammad Muqoddas yang, sepanjang kariernya sebagai dosen, selalu bergelut dengan ilmu bala>ghah. Sebagaimana akan diuraikan dalam tulisan singkat tentang perjalanan hidupnya ini, bala>ghah tidak sedang sekarat atau bahkan telah mati, tetapi tetap hidup dan memperlihatkan prospek kelangsungan eksistensinya di masa depan. B. Hidup dalam Kerangka Muqtad}a> al-H{a>l Muhammad Muqoddas (selanjutnya ditulis Muhammad) lahir di Notoprajan Kauman Yogyakarta pada 26 November 1948. Kampung tempat kelahirannya, Notoprajan, bersebelahan dengan kampung Kauman yang, bersama dengan Karangkajen dan Kotagede,5 dikenal sebagai basis ormas Islam Muhammadiyah di kota Yogyakarta dengan kehidupan religi yang baik sehingga muncul istilah “3 K” (Kauman, Karangkajen, dan Kotagede).6 Abdullah Muhammad al-Guz\a>mi> dan ‘Abd an-Nabi> S{t}i>f, Naqd S|aqaf> i> am Naqd Adabi> (Damaskus, Da>r al-Fikr, 2004), hlm. 11-12. 3
‘Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, suntingan ‘Ali> ‘Abd a-Wa>h}id Wa>fi>, juz III (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2006), hlm. 1137. 4
5
Lihat Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah (Yogyakarta: Tarawang, 2000). 6
Dari aspek administrasi kewilayahan, Notoprajan sejak zaman Mataram Islam berbeda dengan Kauman. Namun, dalam kaitannya dengan semangat Islam reformis yang diusung Muhammadiyah Notoprajan dapat disebut identik dengan Kauman. 2
Merangkai Ilmu-Ilmu Keadaban
Penghormatan Purna Tugas Ustaz\ Muhammad Muqoddas
Muhammad Muqoddas: The Living Balāghah
Ini berarti bahwa Muhammad tumbuh besar di lingkungan Islam (reformis), sebuah label Islam yang diusung ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah yang lahir di Kauman pada 1912. Gerakan Muhammadiyah yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan ini menyatakan perang terbuka terhadap hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, yang dikenal dengan istilah TBC (takhayul, bidah, khurafat). Akhirnya, pola keberagamaan masyarakat setempat pun mengalami pergeseran dari pola sinkretis tradisional menjadi pola reformasi Islam yang berusaha menuju Tuhan dengan meniti jalan Islam dalam kemurnian ajarannya sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi. Keberagamaan model seperti ini kemudian mempengaruhi pilihan masyarakat Kauman, termasuk masyarakat Notoprajan, atas pendidikannya. Pondok pesantren, baik dalam maupun luar negeri (Timur Tengah) dan langgar adalah tempat tujuan pendidikan utama bagi mayoritas masyarakat demi menyiapkan diri untuk melakukan reformasi keberagamaan masyarakat Islam. Pendidikan Muhammad, baik formal maupun non formal, pun tidak keluar dari arus ini. Muhammad mulai pendidikan formalnya dari Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah lalu berturutturut: Pondok Pesantren Modern “Darussalam” Gontor Ponorogo, Fakultas Adab (dan Ilmu Budaya) IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah. Pendidikan terakhir Muhammad adalah Program Magister (S2) Pascasarjana IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dari rekam jejak pendidikan Muhammad ini, tampak bahwa Islam, modernisme/reformisme,7 dan dakwah yang merupakan “api” 7
Modernisme pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama Kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan pemikiran modern. Dalam konteks pemikiran keagamaan Islam, modernism diartikan Mukti Ali sebagai paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur'an dan sunah dan mendorong kebebasan berpikir selama tidak bertentangan dengan
3
Ridwan
semangat keberagamaan masyarakat, tempat ia tumbuh besar, telah menjilat dan berkobar di dada Muhammad dan mempengaruhi pilihan pendidikannya. Ketiganya adalah sejarah dan Muhammad adalah produk sejarahnya. Islam adalah agama pilihan masyarakatnya sebagai jalan menuju Tuhan, modernisme/ reformisme adalah model keberagamaan Islam masyarakatnya sebagai upaya meraih harmoni antara kesuksesan hidup di dunia dan keridaan Tuhan, dan dakwah adalah misi masyarakatnya untuk “membumikan” model keberagamaan yang diikutinya sebagai usaha menikmati hidup sukses dan rida Tuhan secara kolektif. Aktivitas ayah ketiga orang anak ini (Abdul Rahim Mansur, Husni Fakhrurozi, dan Faeruz) di luar kampus atau kantor menjelmakan responsnya atas tuntutan ketiga hal di atas. Dua hal pertama, Islam dan modernisme, direpresentasikan oleh ormas Muhammadiyah yang menyemai kepribadian dan area perjuangannya di tengah masyarakat, sedangkan satu hal terakhir, dakwah, direpresentasikan oleh catatan kariernya di Muhammadiyah. Sejak masuk dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah, ia bergelut di Bidang atau Majelis Tabligh.8
teks Al-Qur'an dan hadis yang s{ahih. Sementara itu, Fazlur Rahman mengartikan modernisme sebagai usaha untuk melakukan harmonisasi antara agama dan pengaruh westernisasi dengan menafsirkan dasar-dasar doktrin supaya sesuai dengan semangat zaman. Istilah lain yang sering dipakai untuk menunjuk aliran, paham atau upaya yang sama adalah reformism, reawakening, renaissance, dan renewal. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama>'at-i-Isla>mi> (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 5-6 dan 12-13. 8
Rekam sejak karirnya di Muhammadiyah adalah: 1) Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY, 1985-1990; 2) Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY, 1990-1995; 3) Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1995-2000; 4) Pembina Bidang Tabligh & Kehidupan Islami Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2000-2005; dan 5) Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2005-sekarang. 4
Merangkai Ilmu-Ilmu Keadaban
Penghormatan Purna Tugas Ustaz\ Muhammad Muqoddas
Muhammad Muqoddas: The Living Balāghah
C. Bergerak di Antara Dua Poros: Ij< az> dan Itn } ab > Suami dari guru SMK Muhammadiyah III Yogyakarta, Muslichah, ini menjalani kehidupan sehari-harinya antara rumah, kampus, dan Muhammadiyah. Rumahnya, yang terletak persis di samping dan menghadap masjid, berada di kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang relatif awam tentang Islam. Kampus tempatnya bekerja adalah area kelas menengah bawah muslim, yang pengetahuan keislamannya tidak bisa diragukan dan yang mengusung, paling tidak, dua “ragam” Islam, Islam berkultur tradisional dan Islam berkultur modernis, yang acapkali gesekan dan persinggungannya terasa memprihatinkan. Selanjutnya, Muhammadiyah adalah area muslim homogen, yang dihuni oleh segmen masyarakat dengan pengetahuan keislaman yang beragam, dari orang awam sebagaimana masyarakat di sekitar rumah tempat tinggalnya sampai orang yang bisa disebut sebagai intelektual muslim. Di sini, kemampuan berkomunikasi tentu saja diperlukan, bahkan menjadi sebuah keniscayaan, apalagi bagi adik Fahmi dan kakak Busyro, Jazimah, Farhanah, dan Muslich yang hidupnya tidak lepas dari dakwah sebagaimana telah disinggung di atas. Selain menawarkan pemahaman tentang realitas (berdakwah) kepada orang lain, kemampuan berkomunikasi juga diperlukan dalam rangka membangun jembatan yang menghubungkan beragam kutub keyakinan dan pengetahuan yang tampak berkarakter tertutup dan tidak saling menyapa. Melalui bangunan jembatan produk komunikasi ini, kecurigaan dan kesalahpahaman akan mudah dikikis. Hal ini karena seringkali sikap permusuhan muncul dari keengganan untuk saling mengenal. “Man jahila syai’an ‘a>da>hu” (orang
5
Ridwan
yang tidak mengenal sesuatu pasti memusuhinya), demikian kata peribahasa.9 Bala>ghah telah memberikan piranti atau dasar-dasar bagi terbangunnya komunikasi secara efektif. Salah satu bagiannya, ‘ilm al-ma’a>ni>,10 misalnya, memberikan perhatian kepada konteks komunikasi agar pesan, gagasan, dan perasaan tersampaikan secara baik. Masing-masing konteks dan situasi komunikasi menuntut bentuk “bahasa”nya sendiri. Agar pesan yang ingin disampaikan “audible” (dimengerti),11 maka pemahaman situasi secara memadai menjadi prasyarat utama. Efektivitas komunikasi sebagai potensi dasar ilmu ini tampak dari nama yang disandangnya, “bala>ghah.” Kata ini secara literal berarti sampai pada tujuan. 12 Tidaklah mengherankan bila tugas para rasul untuk menyampaikan dakwah agama kepada umatnya disebut dengan kata-kata yang berderivasi sama, seperti uballigu, yuballigu, yuballigu>na, ablagtu, dan ablagu> (menyampaikan). “Aku menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku, aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui," 13 9
82 Bala>ghah mencakup tiga bidang atau bagian ilmu, yaitu: ‘ilm al- ma’a>ni>, ‘ilm al-baya>n, dan ‘ilm al-badi>.’ Perhatian pada konteks komunikasi ini dapat dilihat dari “ungkapan muqtad}a> al-h}a>l” dan “al-siya>q” dalam definsi bidang ilmu pertama, ‘ilm al-ma’a>ni>, berikut: 10
Ada lima prinsip komunikasi efektif yang dikenal dengan istilah REACH, yaitu: Respect, empathy, audible, clarity, dan humble. Lihat, Suranto Aw, Komunikasi Interpersonal (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 80. Tim Majma’ Lugah al-Arabi>yah, Al-Mu’jam al-Wasi>t} (Kairo: Maktabah al-Syuru>q al-Dauli>yah, 2005), hlm. 69. 12
demikian kata Nuh kepada kaumnya yang dikenal dalam sejarah sebagai penebar kemusyrikan pertama di bumi. Di antara prinsip atau kaedah dasar komunikasi efektif dalam bala>ghah adalah apa yang disebut dengan ij> a>z dan it}na>b. Istilah pertama merujuk pada penyampaian banyak hal dengan media atau bahasa yang minim, sedangkan istilah kedua menunjuk sebaliknya, yaitu penggunaan banyak media atau bahasa dalam menyampaikan suatu gagasan.14 Kedua prinsip ini, bila digunakan sesuai dengan situasi dan konteks komunikasi, menjamin keberlangsungan komunikasi secara efektif. Dua prinsip komunikasi tersebut tampaknya digunakan oleh Muhammad dalam komunikasi dan pergaulannya dengan orangorang di sekitarnya, baik masyarakat tempat tinggalnya, kolegakoleganya di kantor maupun teman-teman ideologisnya di Muhammadiyah. Ia sadar betul bahwa masyarakat yang dihadapinya beragam. Masyarakat sekitar rumahnya tidak sama dengan masyarakat tempat ia bekerja dan kedua masyarakat ini juga berbeda dengan masyarakat Muhammadiyah. Dengan kata lain, muqtad}a> alh{a>l-nya beragam sehingga model komunikasinya juga harus bervariasi. Secara sederhana, berdasarkan pada kebutuhan terhadap kata atau bahasa dalam komunikasi, ketiga lingkungan masyarakat Muhammad dapat dibagi menjadi dua bagian: masyarakat awam dan masyarakat intelektual. Masyarakat pertama, seperti telah disinggung di atas, meliputi masyarakat tempat tinggalnya dan kebanyakan masyarakat Muhammadiyah yang menjadi sasaran dakwahnya, Definsi Ij< a>z dan It}na>b yang dikemukakan oleh Ali> al-Ja>rim dan Mus}t}afa> Ami>n adalah: . وٕالاطناب زيادة اللفظ عى املع لفائدة،ٕالايجاز جمع املعاني املتكاثرة تحت اللفظ القليل مع ٕالابانة وٕالافصاح 14
Ij< a>z adalah mengumpulkan banyak gagasan dalam lafal yang minim dan jelas, sedangkan it}na>b memperbanyak lafal untuk menyatakan suatu gagasan karena suatu hal. Lihat Ali> al-Ja>rim dan Mus}t}afa> Ami>n, Al-Balag> ah al-Wa>d}ih}ah (ttp., 1977), hlm. 242 dan 250.
7
Ridwan
sedangkan masyarakat kedua mencakup masyarakat tempatnya bekerja dan sebagian masyarakat Muhammadiyah. Selain itu, berdasarkan ideologi atau model keberagamaan, ketiga masyarakat Muhammad tersebut juga dapat dibagi dua; masyarakat berkultur modernis dan masyarakat berkultur tradisional. Masyarakat pertama meliputi sebagian masyarakat tempat kerjanya, kebanyakan masyarakat tempat tinggalnya, dan keseluruhan masyarakat di Muhammadiyah, sedangkan masyarakat kedua mencakup mayoritas masyarakat tempat kerjanya dan sebagian masyarakat tempat tinggalnya. Di tempatnya bekerja, Muhammad menjalankan prinsip ‘ij> a>z. Ia tidak banyak menggunakan kata. Baginya, banyak berkata di masyarakat tempatnya bekerja tidak jauh berbeda dengan meneteskan air garam di lautan. Mereka bukanlah orang yang membutuhkan banyak penjelasan, contoh, dan perumpamaan untuk bisa mencerna sesuatu yang dikomunikasikan. Mereka telah memiliki repertoar pengetahuan dan informasi yang tidak sedikit. Menjalin komunikasi dengan mereka tidak lagi membutuhkan kata dan bahasa yang melimpah. Alih-alih menjadi bermakna, kata dan bahasa yang melimpah di hadapan mereka bahkan bisa menjadi kekuatan subversif yang berpotensi menghambat dan membelokkan pesan dari tujuan yang dibidiknya. Ungkapan bijak Ali “Innal qalil> minal kala>m bi ahlih h}asan wa inna kas\i>rahu mamqu>t” (sedikit bicara berakibat baik bagi penuturnya dan banyak bicara tidak disukai) adalah tepat untuk menggambarkan bentuk komunikasi yang dibutuhkan dalam masyarakat seperti ini. Di sini, prinsip “khair al-kala>m ma> qalla wa dalla” (ungkapan terbaik adalah ungkapan padat berisi) benar-benar dipakai Muhammad. Prinsip ini tidak jauh berbeda dengan maxim of quantity (maksim kuantitas) Grice.15 Menurut Grice, dalam berkomunikasi 15
Menurut Grice, ada empat prinsip yang diikuti orang dalam komunikasi (maxim), yaitu: 1) maxim quantity (maksim kuantitas), 2) maxim quality (maksim kualitas), 3) maxim relation (maksim relasi), dan 4) maxim manner (maksim 8
Merangkai Ilmu-Ilmu Keadaban
Penghormatan Purna Tugas Ustaz\ Muhammad Muqoddas
Muhammad Muqoddas: The Living Balāghah
diperlukan kerja sama antara penutur dan mitra tutur (cooperative principle) dan untuk melaksanakan kerja sama ini, penutur antara lain harus memberi informasi sesuai kebutuhan. Dengan mengimplementasikan prinsip ini, Muhammad telah menempatkan diri −meminjam bahasa agama (Al-Qur’an) − dalam komunitas wallaz\i>nahum ‘anillagwi mu’rid}u>n16 (menghindari hal-hal yang tidak berguna). Prinsip ij> a>z juga menjelma dalam bentuk frekuensi kebersamaan secara fisik atau langsung. Muhammad hadir di fakultas hanya pada jam-jam, saat ia harus mengajar, atau dalam ritual-ritual muslim tradisional tipikal bangsanya, seperti syawalan atau halalbihalal. Suara dan terkadang tawanya hanya sesekali bergema dan mengisi ruangan luas dengan sekat-sekat sempit berjejer, tempat kolega-koleganya merasa berkuasa penuh dan menikmati kebebasan semunya. “Lebih banyak di Muhammadiyah. Saya apa adanya saja” akunya terus terang menjawab pertanyaan penulis tentang perbandingan waktu yang dihabiskannya antara di kantor dan di Muhammadiyah. Selain itu, penjelmaan prinsip ij> a>z yang diikuti Muhammad dalam berkomunikasi dan berinteraksi di tempatnya bekerja juga dapat dilihat dari fakta bahwa kecuali mengajar dan membimbing penulisan skripsi beberapa mahasiswa, ia tidak mengambil peran, apalagi menduduki atau berminat menduduki suatu posisi, baik struktural maupun non struktural. Jabatan struktural, baginya, seolah-olah dunia lain yang hanya menjadi milik orang lain. Bahkan, karena alasan kesehatan, pembimbingan penulisan skripsi mahasiswa juga belakangan ia tinggalkan. Fakta ini berbanding terbalik dengan posisi strukturalnya di luar kantor (baca: Muhammadiyah). Di cara). Lihat Herbert Paul Grice, Logic and Conversation (New York: Academic Press,1975), hlm. 45. 16
Sifat ini disebut Al-Qur’an sebagai karakter orang-orang mukmin yang dijamin mendapatkan keberuntungan dan kesuksesan dalam hidupnya. Lihat, Q.S. al-Mukminun/23:3.
9
Ridwan
samping jabatan-jabatan yang telah disebutkan di atas, ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta selama 8 tahun dan Direktur Bina Ruhani Islam dan Personalia PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama 4 tahun. Menariknya, alih-alih membuatnya tidak “memiliki” suara, prinsip ij> a>z yang diikuti Muhammad dalam berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan masyarakat di kantornya bahkan membuat diamnya menjadi lebih bergema daripada suara. “Ia tampak berwibawa,” demikian kata Syakir Aly,17 koleganya yang pernah menjabat sebagai dekan tempat Muhammad mengajar. Alihalih membuatnya hilang dari ingatan koleganya, kemunculannya yang jarang tersebut bahkan membuatnya terasa selalu hadir di tengah mereka. Alih-alih membuatnya berlalu tanpa jejak, ketiadaan dirinya dalam posisi-posisi struktural bahkan menorehkan banyak kesan. Ia pun hadir sebagai sosok sempurna, insa>n ka>mil, sebagaimana terlihat dari kesan Sutimin,18 padahal secara teoretis manusia, termasuk ia, pasti banyak kekurangan dan kelemahan. Dalam konteks ini, ungkapan Jibra>n Khali>l Jibra>n berikut tampaknya tepat untuk dinukil:19
م67البعض نح م6:لكن ال نق<;ب م ي البعد أحىC فهم ىGي البعد أرC وهم ي البعد أغىC وهم Sebagian orang kita cintai 17
Wawancara penulis dengan Syakir Aly di meja kerjanya pada bulan September 2013. 18
Salah seorang karyawan di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya yang penulis wawancarai pada awal Oktober 2013. 19
http://adbeatnet.blogspot.com/2011/04/blog-post_08.html, pada 10 Oktober 2013.
10
diakses
Merangkai Ilmu-Ilmu Keadaban
Penghormatan Purna Tugas Ustaz\ Muhammad Muqoddas
Muhammad Muqoddas: The Living Balāghah
tapi kita tidak dekati mereka Di tempat jauh mereka lebih mempesona di tempat jauh mereka lebih tinggi di tempat jauh mereka lebih berharga Pada sisi lain, Muhammad menggunakan apa yang dikenal dalam bala>ghah dengan istilah it}na>b dalam interaksi dan komunikasinya dengan masyarakat tempat tinggalnya dan komunitasnya di Muhammadiyah. Ideologi dan model keberagamaan mereka relatif sama dan bahkan, dalam kasus Muhammadiyah, sama persis dengan ideologi dan model keberagamaan Muhammad. Akibatnya, kemungkinan adanya kesalahpahaman dan gesekan antara ia dan mereka kecil sekali. Dalam konteks ini, banyak kata atau bahasa tidak saja dapat memperjelas apa yang ingin dikemukakan, tetapi juga dapat membangun keakraban dan kehangatan. Selain, itu mereka adalah masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya sehingga membutuhkan penjelasan-penjelasan detail, analogi-analogi, perumpamaan-perumpamaan, pengulangan-pengulangan (repetisi), dan selorohan-selorohan. Ini semua bisa diwujudkan dengan it}na>b. Di tangan Muhammad, alih-alih membuat komunikasi dan dakwahnya seperti lanturan para badut tidak bermakna sebagaimana yang biasa dijumpai dalam acara-acara televisi masyarakat bangsanya, bentuk-bentuk perwujudan it}na>b tersebut bahkan menjadikan apa yang dibicarakannya semakin lekat dalam ingatan dan hati mitra tutur atau sasaran dakwahnya. Ungkapan “gundulmu iku” yang diucapkannya di sela-sela komunikasinya dengan mahasiswa di kelas, misalnya, begitu diingat oleh mereka. Kesan dan tanggapan yang sama juga datang dari Syihabuddin Qalyubi, kolega yang pernah menjabat sebagai dekan di tempat Muhammad mengajar. Menurutnya, cara Muhammad mengajar bala>ghah, penjelasan-penjelasannya, contoh-contohnya dalam bahasa
11
Ridwan
Indonesia, dan guyonan-guyonannya telah mengidentikannya dengan bala>ghah atau, dalam istilahnya, “ciri khas fakultas Adab.”20 D. Penutup Demikianlah, perjalanan hidup Muhammad hingga kini menjadi tangkisan gesit dan balasan telak atas goyang kritik (gotik) mematikan bahwa sepeninggal as-Sakka>ki> bala>ghah telah sekarat, bahkan mati. Barangkali kritik tersebut tidak sepenuhnya salah bila literatur-literatur di berbagai perpustakaan menjadi kriterianya. Namun, buku-buku yang memenuhi perpustakaan sepatutnya tidak menjadi satu-satunya sumber data untuk memberikan penilaian final atas bala>ghah karena melalui sosok Muhammad, misalnya, bala>ghah tetap hidup dan dasar eksistensinya adalah tindakan nyata, bukan sekadar kata. Bukankah tindakan lebih bertuah dari sekadar kata? Memang, “kebenaran yang terungkap (tindakan yang teramati) jauh lebih menarik dan bisa dipercaya daripada kebenaran yang menawarkan diri (kata).”
DAFTAR PUSTAKA Darban, Ahmad Adaby. Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang, 2000. Grice, Herbert Paul. Logic and Conversation. New York: Academic Press,1975. al-Guz\a>mi>, Abdullah Muhammad dan ‘Abd an-Nabi> S{t}i>f. Naqd S|aqaf> i> am Naqd Adabi>. Damaskus, Da>r al-Fikr, 2004.
20
Wawancara penulis dengan Syihabuddin Qalyubi di tempat kerjanya pada bulan September 2013 dan wawancara penulis dengan para mahasiswa di kelas sebelum kuliah Teori dan Aplikasi Sastra I dimulai pada bulan awal bulan Oktober 2013.
12
Merangkai Ilmu-Ilmu Keadaban
Penghormatan Purna Tugas Ustaz\ Muhammad Muqoddas
Muhammad Muqoddas: The Living Balāghah
http://adbeatnet.blogspot.com/2011/04/blog-post_08.html, diakses pada 10 Oktober 2013. Ibn Khaldu>n, ‘Abdurrahman ibn Muhammad. Muqaddimah Ibn Khaldu>n, suntingan ‘Ali> ‘Abd a-Wa>h}id Wa>fi>, juz III. Kairo: Maktabah al-Usrah, 2006. ‘I a> Mu’a>s}irah fi> ad-Dira>sa>t al-Lugawiy> ah wa alAdabiy> ah. Kairo: ‘Aluddi>n, al-Khat}i>b al-Qazwaini> Muh}ammad ibn Abdurrah}man. al‘Ih} fi> ‘Ulu>m al-Bala>gah: al-Ma’a>ni> wa al-Baya>n wa al-Badi>.’ Al-Maktabah al-Waqfi>yah. al-Ja>rim Ali> dan Mus}t}afa> Ami>n. Al-Balag> ah al-Wa>d}ih}ah. Ttp., 1977. Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama>'at-i-Isla>mi> (Pakistan). Jakarta: Paramadina, 1999. al-S{afadî, Nus}rah al-S|a>’ir ‘ala> al-Mas\al al-Sa>’ir, www.al-mostafa.com. Suranto Aw, Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Tim Majma’ Lugah al-Arabi>yah. Al-Mu’jam al-Wasit> }. Kairo: Maktabah al-Syuru>q al-Dauli>yah, 2005. Wawancara penulis dengan Muhammad Muqoddas, Syakir Aly, Syihabuddin Qalyubi, Sutimin, dan para mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga pada bulan September dan Oktober 2013.