analisis perbedaan antar PARITAS IBU dengan KEMATIAN neonatal Mugeni Sugiharto,1 Lulut Kusumawati1
ABSTRACT Background: Neonatal mortality are still high, in Indonesia that was 25 per thousand live births. Baby’s health can not be separated from the mother’s health. Meanwhile primigravid mother and a grande is a high risk of pregnancy and childbirth. To find out whether there are differences between mothers with parity of neonatal death, it is necessary to do this research. The aim is to tell the difference between maternal parity with the neonatal mortality rates. Methods: This study is cross sectional using Riskesdas 2007 data and analyzed by difference 2 free sample test “Mann Whitney”. Results: Most neonatal deaths in rural areas (75.7%) at the age of 0–6 days for 77.38%, primarily male (62.3%). Mann Whitney test results is mothers primigravid parity differ with grande, because p = 0.01 < α (0.05), And also primigravid parity differ with three parity, because p = 0.04 < a, but no different between primigravid parity with two parity, because p = 0505 > a. Conclusion: Mann-Whitney test demonstrated that primigravid mothers significanty have differences with the three and grande, while the parity to the two did not differ with parity primigravid of neonatal death. Key words: Neonate mortality, parity, Mann-Whitney ABSTRAK Latar Belakang: Kematian neonatal masih tinggi, di Indonesia 25 per seribu kelahiran hidup. Kesehatan neonatal tidak terlepas dari kesehatan ibu, di mana ibu dengan primigravid dan grande merupakan risiko tinggi terhadap kehamilan dan persalinan. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antar paritas ibu dengan terjadinya kematian neonatal, perlu dilakukan penelitan. Tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan antar paritas ibu dengan rerata kematian neonatal. Metode: Penelitian ini bersifat cross secsional dengan menggunakan data Riskesdas 2007 dan Uji Beda yang digunakan adalah uji 2 sampel bebas ”Mann Whitney”. Hasil: Kematian bayi terbanyak di Pedesaan (75,7%) pada usia 0–6 hari sebesar 77,38%, terutama laki-laki (62,3%). Hasil uji Mann Whitney adalah ibu dengan primigravid berbeda dengan grande, karena nilai p = 0,01 < a (0,05). Dan primigravid berbeda dengan paritas ke tiga yaitu p = 0,04 < a, tetapi primigravid tidak berbeda dengan paritas ke dua, karena nilai p= 0,505 > α. Kesimpulan: Dengan uji Mann-Whitney dibuktikan bahwa ibu dengan paritas primigravid mempunyai perbedaan dengan paritas ke tiga dan grande (≥ 4), sedangkan paritas ke dua tidak berbeda dengan paritas primigravid terhadap kematian terhadap bayi. Kata kunci: Kematian neonatal,paritas, Mann-Whitney Naskah Masuk: 25 Agustus 2010, Review 1: 26 Agustus 2010, Review 2: 26 Agustus 2010, Naskah layak terbit: 6 September 2010
pendahuluan Kematian neonatal (bayi umur 0–28 hari) di negara-negara berkembang sampai dengan saat ini masih tinggi. Sebanyak 70% variasi kematian disebabkan perbedaan tingkat pendapatan penduduknya (Adisasmito, 2007). Di Indonesia angka kematian neonatal masih cukup tinggi yaitu sebesar 25 per seribu kelahiran hidup (Suryatni, 2004). Salah satu provinsi di Indonesia seperti di Bandar
1
Lampung, jumlah kasus kematian neonatal cenderung meningkat yaitu pada tahun 2005 sebanyak 105 kasus dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 166 kasus (Tjiptono, 2007). Begitu pula di Cirebon, jumlah kematian neonatal masih cukup tinggi, menurut Ella dari 44.000 kelahiran setiap tahun, 900 bayi (2%) di antaranya mengalami kematian neonatal (www.koran lampung.com, diakses 3 Juli 2009) Penyebab kematian neonatal adalah BBLR (30,3%),asfiksia (27%), tetanus (9,5%), masalah
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan Korespondensi: ���������������������������������� Jl. Indrapura 17 Surabaya, 60176. E-mail:
[email protected]
321
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 321–325
gangguan pemberian ASI (9,5%), masalah hematologi (5,6%), infeksi (5,4%) dan lainnya (12,7%) (Impact, 2005). Kematian neonatal diduga berkaitan dengan keadaan ibu sebelum hamil, keadaan ibu pada saat kehamilan serta prilaku dan lingkungan sosial ibu hamil. Bebarapa faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap kematian neonatal adalah faktor ekonomi keluarga, sosial, budaya dan rendahnya peran serta masyarakat. Selain itu adanya afaktor keluarga yang kurang memahami pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan di daerahnya, menyebabkan sering terjadi keterlambatan dalam mengambil keputusan untuk menyelamatan keluarganya dari kematian. Terkait dengan hal itu, menurut Azrul Azwar, ada 3 terlambat yaitu terlambat mengambil keputusan mencari pelayanan kesehatan terampil, terlambat tiba di rumah sakit karena masalah transportasi, terlambat dalam tindakan medis. Keluarga belum berdaya dalam mencegah terjadinya 4 terlalu dalam kehamilan/persalinan yaitu terlalu muda hamil, terlalu tua hamil, terlalu pendek jaraknya dan terlalu banyak hamil atau paritas (Impact, 2005). Menurut Suryatni (2004) yang mempunyai faktor risiko kematian neonatal, khususnya neonatal dini, salah satunya adalah paritas ibu. Bonar L.Tobing (1999) menyatakan bahwa paritas, khususnya primigravid dan anak lebih dari empat, selain berisiko tinggi pada kehamilan ibu juga berpengaruh pada persalinan. Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungannya dengan kesehatan si ibu maupun bayi. Ada kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi, terdapat asosiasi antara tingkat paritas dengan penyakit-penyakit tertentu seperti asma bronchiale, ulkus peptikum, pilorik stenosis dan seterusnya, tapi kesemuanya masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan uraian di atas, paritas terbukti memiliki hubungan erat dengan gangguan kesehatan ibu baik saat hamil maupun bersalin, di mana efek tersebut akan turut berpengaruh pula pada kesehatan bayi yang dilahirkan (neonatal). Oleh karena itu perlu dilakukan kajian penelitian dengan rumusan masalah penelitian: apakah ada perbedaann masing-masing paritas terhadap kematian neonatal? Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya perbedaan antar paritas ibu terhadap rerata kematian neonatal. 322
Metode Penelitian ini termasuk jenis penelitian survey analitik yang bersifat cross sectional. Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang dilakukan pada Bulan September–Desember 2007. Populasi adalah seluruh rumah tangga di Indonesia. Sampel adalah sesuai dengan sampel Susenas 2007 dalam blok sampel terpilih menjadi sampel Riskesdas 2007, khususnya ibu yang memiliki kematian neonatal (bayi yang berumur 0–28 hari) yang terjadi dalam kurun waktu 1 tahun sebelum pelaksanaan survey Riskesdas tahun 2007. Dalam penelitian ini sebagai variabel independen adalah paritas dan variabel dependen adalah neonatal. Sedangkan uji statistik yang di gunakan adalah uji statistik dua sampel bebas “Mann-Whitney” yang tergolong sebagai statistik non-parametrik (Santoso Singgih, 2001). Dengan hipotesis bahwa bila Ho diterima berarti tidak ada perbedaan, jika hasil uji statistik menunjukkan p (Asymp.Sig) lebih besar dari level of significance atau tingkat kemaknaan atau tingkat kesalahan yang dilambangkan dengan a sebesar 0,05 (5%) HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran kematian neonatal di Indonesia Dari 33 provinsi di Indonesia terdapat 5 provinsi dengan kematian neonatal cukup tinggi yaitu Provinsi Jawa Barat sebanyak 39 orang, Jawa Timur sebanyak 29 orang, Jawa Tengah sebanyak 21 orang, Banten sebanyak 10 orang dan Sulawesi Selatan sebanyak 8 orang, seperti terlihat pada grafik 1 berikut ini:
Grafik 1.
Lima Provinsi Terbanyak Jumlah Kematian Neonatal, Riskesdas 2007.
Jika kematian neonatal dibandingkan antara Jawa Bali dan di luar Jawa Bali, maka kematian
Analisis Perbedaan antar Paritas Ibu (Mugeni Sugiharto, Lulut Kusumawati)
neonatal 63,09% terdapat di Jawa Bali dan sisanya di luar Jawa Bali. Begitu pula jika kematian neonatal dibandingkan antara pedesaan dan perkotaan, maka jumlah kematian neonatal terbanyak terdapat di perdesaan (75,7%) dan sisanya di perkotaan. Hasil ini sama dengan hasil SKRT 2001 dan SDKI 2002– 2003, kematian neonatal lebih banyak terjadi di perdesaan. Hal ini mengindikasikan, bahwa dalam jangka waktu enam tahun derajat kesehatan neonatal di pedesaan masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan, artinya penanganan kesehatan neonatal di pedesaan belum mengalami perbaikan. Padahal menurut Budiharjo (2008) sebenarnya sekitar 80–90% kematian neonatal dapat di cegah dengan teknologi sederhana yang tersedia di tingkat puskesmas dan jaringannya. Salah satu cara untuk menurunkan angka kematian neonatal di puskesmas dan jaringannya adalah perawatan kehamilan (Antenatal Care) secara teratur minimal empat kali selama kehamilan, pemberian imunisasi TT2 pada ibu hamil, pertolongan persalinan ibu hamil oleh tenaga kesehatan, melakukan kunjungan neonatal pertama (KN 1) pada tenaga kesehatan, pemberian ASI dan imunisasi pada bayi baru lahir. Gambar berikut ini memperlihatkan perbandingan usia kematian neonatal di Indonesia pada tahun 2007:
Gambar 2. Kelompok Usia Kematian Neonatal di Indonesia, Riskesdas 2007
Seperti yang tampak pada gambar 2, kematian neonatal yang terjadi pada usia 0–6 hari (neonatal dini) sebanyak 77,38% dan pada usia 7–28 hari sebanyak 22,62%. Hal ini menunjukkan bahwa kematian bayi minggu pertama setelah dilahirkan sebesar 3,4 kali lebih besar dibanding usia neonatal (7–28 hari). Atas dasar itu perlu kiranya bagi ibu atau keluarga dan petugas kesehatan untuk lebih melakukan perawatan intensif terhadap neonatal khususnya pada minggu pertama kelahirannya. Kunjungan Neonatal (KN) adalah persentase neonatal yang memperoleh pelayanan kesehatan minimal 2 kali dari tenaga kesehatan. Hal ini penting dilakukan untuk memantau kesehatan bayi, sehingga bila terjadi
masalah dapat segera diidentifikasi. Masalah yang biasa dijumpai adalah bayi yang mengalami kesulitan untuk menyusui, tidak BAB dalam 48 jam, ikterus yang timbul pada hari pertama, tali pusat merah/bengkak, keluar cairan dari tali pusat dan bayi demam lebih 37,5° C, sehingga keadaan ini harus segera dilakukan rujukan (Kiasulteng, 2006). Periode minggu pertama setelah kelahiran merupakan masa yang rawan bagi neonatus, karena merupakan masa transisi dari kehidupan di dalam rahim ke kahidupan dunia luar Seperti yang di kemukakan para pakar bahwa perlu perbaikan upaya pertolongan dan perluasan pelayanan bayi pada periode minggu pertama setelah persalinan karena dapat membuat biaya pelayanan menjadi lebih efektif dan mempertinggi peluang untuk menurunkan risiko kematian. (Andrianz George, http://www. pkmi-online. com, diakses 17 Juni 2009). Kematian neonatal dilihat menurut gender, maka kematian neonatal pada laki-laki terdapat 62,3% dan pada perempuan sebanyak 37,7%. Proporsinya adalah 1,7 kali lebih besar kematian neonatal pada bayi laki-laki dibanding dengan bayi perempuan. Selanjutnya kematian neonatal menurut usia ibu yang melahirkannya adalah menunjukkan hasil yang bervariasi. Dari hasil analisis data diperoleh bahwa jumlah kematian neonatal berkisar antara 6–8 orang terdapat pada kelompok usia ibu 19 sampai dengan 36 tahun, namun khusus pada kelompok ibu yang berusia 21 tahun terdapat kematian neonatal sebanyak 13 orang. Secara khusus menurut Sariman Djaja (2003) bahwa kematian neonatal banyak terjadi pada kelompok ibu yang berusia 20–39 tahun. Ditinjau dari tempat saat terjadinya kematian, maka jumlah kematian neonatal di rumah sebesar 58,3%, di fasilitas kesehatan sebesar 39,88% dan di perjalanan sebesar 1,79%. Hasil ini sama dengan hasil SKRT 2001, bahwa sebagian besar bayi neonatal meninggal di rumah. Hal ini karena pada umumnya orang tua/keluarga lebih dulu mengupayakan untuk mengatasi masalah kesehatan neonatal di rumah sendiri, baik kemampuan keluarga sendiri maupun dukun. Ketika upaya keluarga mengalami kegagalan untuk penyembuhan neonatal di rumah, barulah neonatal dibawa ke fasilitas kesehatan. Akibatnya sering terjadi keterlambatan membawa neonatal ke fasilitas kesehatan terdekat, yang berakhir dengan kematian. Upaya keluarga untuk berusaha mengatasi sendiri masalah gangguan kesehatan, ternyata 323
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 321–325
berdampak buruk bagi keselamatan neonatal itu sendiri yaitu ada neonatal yang meninggal saat di perjalanan sebelum sampai di fasilitas kesehatan dan ada juga yang meninggal meski sudah sampai di fasilitas kesehatan. Keterlambatan keluarga dalam penyelamatan bayi yang berakhir dengan kematian seperti kasus di atas adalah sesuai dengan pandangan Azrul Azwar (Impact,2005), bahwa ada 3 faktor penyebab keterlambatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan yaitu terlambat mengambil keputusan mencari pelayanan kesehatan terampil, terlambat tiba di rumah sakit karena masalah transportasi, terlambat dalam tindakan medis Kasus kematian neonatal dilihat dari profesi yang menolong pertama kali saat kelahiran neonatal, hal ini dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.
I. II. III. IV.
Dokter Bidan/Paramedik Dukun Keluarga
Gambar 3. Penolong Kelahiran Kelompok Kematian Neonatal di Indonesia, Riskesdas 2007.
Dari gambar di atas, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menangani perasalinan masih mempercayai dokter, bidan, dukun dan keluarga sendiri. Tingginya penanganan persalinan oleh bidan, disebabkan karena bidan telah tersebarnya di seluruh pelosok desa di Indoensia. Sedangkan para dokter pada umumnya masih berada di Kecamatan yaitu bertugas di Puskesmas. 2. Uji beda ”Mann-Whitney” kematian neonatal terkait dengan paritas ibu Data paritas ibu dengan kematian neonatal dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kematian neonatal sebanyak 24,4% terdapat pada kelompok 324
Tabel 1. Persentase paritas ibu dengan kematian neonatal dalam persen Riwayat Kehamilan (Paritas) Primi Multi Grande (1) (2) (3) ( 4) Neonatal dini 16,7 17,3 11,9 31,5 Neonatal 7,7 6,0 1,8 7,1
77,4 22,6
Total
100
Kelompok kematian
24,4
23,3
13,7
38,6
Total
ibu dengan paritas pertama, kematian neonatal sebanyak 23,3% terdapat pada kelompok ibu dengan paritas kedua, pada kelompok ibu dengan paritas ketiga terdapat kematian neonatal sebanyak 13,7% dan pada ibu dengan paritas lebih besar atau sama dengan empat terdapat kematian neonatal sebanyak 38,6%. Hal ini sejalan dengan hasil SKRT 2001 yang menyatakan bahwa kematian neonatal banyak terjadi pada ibu dengan paritas 3 ke atas. Menurut Sarimawar (2003) banyak studi menunjukkan bahwa kehamilan ke-2 dan ke-3 berisiko terhadap kematian neonatal. Untuk mengetahui perbedaan antar paritas dengan terjadinya kematian neonatal perlu dilakukan uji statistik. Uji perbedaan yang tepat pada kasus ini adalah uji dua sampel bebas “Mann-whitney” yang tergolong sebagai statistik nonparametrik, karena merupakan data nominal-ordinal dan termasuk distribusi data tidak normal. (Santoso S, 2001) Sebagai pembanding dalam uji statistik ini dipilih riwayat kehamilan (paritas) pertama atau primigravid, hal ini karena primigravid merupakan salah satu kategori ibu dengan risiko tinggi. Selanjutnya primigravid dibandingkan dengan paritas 2 maupun paritas ke-3 dan paritas Grande ( 4), agar dapat di ketahui paritas mana yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kematian neonatal. Hasil uji statistik Mann-whitney pertama adalah membandingkan antara paritas primigravid dengan paritas Grande. Hasilnya diperoleh z hitung ± 2.454, maka di peroleh z tabel sebesar 0,9929. Hal ini berarti probabilitas (p) adalah 1- 0,9929 atau sama dengan 0,0071, karena uji dua sisi, maka 2 × 0,0071, sehingga p = 0,01. Bila nilai p dibandingkan dengan level of significance (tingkat kemaknaan/tingkat kesalahan) yang biasa dilambangkan dengan a = 0,05, maka p < α, sehingga hasilnya adalah Ho di tolak artinya ibu dengan paritas ≥ 4, secara bermakna berbeda dengan paritas primigravid terhadap kematian neonatal. Hal ini sejalan dengan Bonar L Tobing (1999), bahwa
Analisis Perbedaan antar Paritas Ibu (Mugeni Sugiharto, Lulut Kusumawati)
klasifikasi ibu hamil/bersalin risiko tinggi salah satunya adalah paritas lebih dari 4 (Grande). Selanjutnya uji statistik Mann-whitney kedua adalah membandingkan antara paritas primigravid dengan paritas ke-3, didapat hasil bahwa primigravid berbeda dengan paritas ke-3. Pada perhitungan ini nilai z = 2.199, maka diperoleh z tabel sebesar 0,9767. Hal ini berarti p adalah 1–0,9767 atau sama dengan 0,0233, karena uji dua sisi, maka 2 × 0,023, sehingga p = 0,04. Bila nilai p dibandingkan dengan a, maka p < a, sehingga hasilnya adalah Ho ditolak artinya ibu dengan paritas ke-3 berbeda dengan paritas primigravid terhadap kematian neonatal. Selanjutnya uji statistik Mann-whitney ketiga adalah membandingkan antara paritas primigravid dengan paritas ke-2, didapat hasil bahwa nilai z hitung (0,666) < z tabel (0,9767), maka nilai p = 0,505, bila dibandingkan antara nilai p dengan a, maka p > a, sehingga kesimpulannya bahwa paritas ke-2 tidak berbeda dengan paritas primigravid terhadap kematian neonatal. KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan di tiap paritas terhadap terjadinya kematian neonatal. Dengan uji statistik Mann-Whitney dapat dibuktikan perbedaan itu seperti di bawah ini: 1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara paritas primigravid dengan paritas Grande ≥ 4 terhadap kematian neonatal. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara paritas primigravid dengan paritas ketiga terhadap kematian neonatal. 3. Tidak ada perbedaan antara paritas primigravid dengan paritas kedua terhadap kematian neonatal. Saran Dengan melihat kesimpulan di atas, maka saran yang dapat kami sampaikan adalah: 1. Bagi ibu yang berparitas primigravid, paritas 3 dan grande ≥ 4, hendaklah lebih meningkatkan kewaspadaan kesehatannya baik ketika hamil dan bersalin, maupun ketika memiliki neonatal (bayi yang baru dilahirkannya, terutama kesehatan neonatal dini yaitu usia 0–6 hari), mengingat kasus
kematian neonatal banyak terjadi pada paritas pertama, ke-3 dan ≥ 4. 2. Mengingat kematian neonatal di perdesaan lebih tinggi dibanding dengan di perkotaan, maka sudah seharusnya ada perbaikan akses dan mutu pelayanan kesehatan di perdesaan di seluruh Indonesia, dalam upaya menekan jumlah kematian neonatal di pedesaan. kePustakaan Adisasmito, Wiku, 2007. Sistem Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Adriaansz, George. Periode Kritis dalam Rentang Kehamilan, Persalinan dan Nifas dan Penyediaan Berbagai Jenjang Pelayanan bagi Upaya Penurunan Kematian Ibu, Bayi dan Anak, (Health Service Program – USAID.). http://www. http://www.pkmi-online.com. Diakses tanggal 17 Juni 2009. Departemen Kesehatan RI. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta. Djaya Sariman, 2003. Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan Sistem Pelayanan Kesehatan yang Berkaitan di Indonesia. E-mail:
[email protected]. Diakses Tanggal 14 Nopember 2008. Harian Koran Lampung. 2007. Meningkatnya Angka Kematian Bayi Neonatal. www.koran-lampung.com. Diakses tanggal 3 Juli 2009. Impact, 2005. Seandanya kematian ibu menjadi tolak ukur keberhasilan tokoh-tokoh politik. Warta Kesehatan Ibu. Machfoedz Ircham, 2007. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan Keperawatan dan Kebidanan. Fitramaya. Yogyakarta. Notoatmodjo Soekidjo, 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. http:// www.geocities.com. Update 24 Juli 2006. Diakses Tanggal 12 Nopember 2008. Pratiknya Watik Ahmad, 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan (Cetakan ke-7). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Santoso Singgih, 2001. Statistik Non Parametrik. PT Gramedia. Jakarta. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif. Kualitatif dan R&D. Bandung, Alfabeta. Suryatni, 2004 Faktor Risiko Kematian Neonatal Dini pada Bayi Berat Lahir Rendah di RSUD. http://puspasca. ugm.ac.id. Posting 12 Nopember 2008. Tjiptono Djoko. 2007. Angka Kematian Bayi Akibat Asfiksia Masih Tinggi. www.detiknews.com. Hari Rabu, Tanggal 7 Februari 2007. Diakses tanggal 3 Juli 2009.
325