MODEL KEBIJAKAN PENANGANAN TEROR DI KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH
Diajukan oleh: ROMA TRESSA, S.Sos., M.Si
Diajukan Sebagai Syarat Pendaftaran Doktor Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Keamanan merupakan isu hangat yang sedang ramai diperbincangkan diseluruh belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Terutama dengan munculnya berbagai aksi terorisme dan tindakan makar yang berpotensi disintegrasi bangsa. Jaminan Keamanan dan ketenteraman hidup warga Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 27 Merupakan amanat yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada setiap warga Negaranya. Turner dalam Susan (2009:109) menyebutkan bahwa “Negara menjadi organisasi yang bertanggungjawab menciptakan perdamaian sebagai aparatus moral dari masyarakat. Negara memiliki peran penting meregulasi kehidupan sosial dalam melindungi hak-hak individu”. Tindakan teror yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia beberapa tahun terakhir ini telah menimbulkan ancaman dan ketakutan di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu saja, tindakan teror tersebut juga telah menyebabkan banyak korban jiwa dan kerugian materi. Salah satu daerah di Indonesia yang telah mendapat sorotan publik akibat sering terjadinya penembakan dan teror bom beberapa tahun terakhir ini ialah Kabupaten Poso. Sebagaimana Poso sebagai salah satu daerah di Indonesia yang pernah dilanda konflik saudara yang berdarah-darah pada tahun 2000 hingga tahun 2002 silam namun telah berdamai melalui perjanjian damai Malino II, kini daerah ini sering dilanda teror yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan data Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah tahun 2013, sejak tahun 2010 hingga tahun 2013 telah terjadi 129 kali terjadi terror bom dan penembakan di wilayah Sulawesi Tengah. Selanjutnya aksi teror terus terjadi pada tahun 2014-2015 di Kabupaten Poso, baik dalam bentuk ancaman kepada warga Poso Pesisir, penembakan maupun bom bunuh diri yang dilakukan oleh pelaku teror sehingga menyebabkan korban luka dan hilangnya nyawa manusia. Fenomena adanya pelaku teror yang kerap disebut sebagai teroris di Poso telah menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat, terutama dengan munculnya issue bahwa Poso sebagai basis pelatihan teroris yang bergerilya di pegunungan Poso. Teror yang terjadi
juga disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan kelompok jaringan teroris Santoso yang hingga kini belum diketahui secara jelas keberadaan dan motif teror yang dilakukannya. Kondisi ini mengharuskan pemerintah untuk melakukan tindakan pengamanan melalui beberapa operasi gabungan TNI dan Polri, yakni Operasi Lantodago tahun 2007-2008, Operasi Aman Maleo 1 dan 2 pada tahun 2012-2013 serta Operasi Tinombala tahun 20152016. Kebijakan pengamanan tersebut dilakukan untuk menciptakan Poso yang aman dan damai. Namun hingga saat ini aksi-aksi teror masih sering mengancam masyarakat Poso bahkan ancaman tersebut kini mengarah kepada perlawanan dan pembunuhan terhadap aparat keamanan yaitu TNI dan POLRI di wilayah Kabupaten Poso. Tindakan tersebut menimbulkan pertanyaan besar siapakah pelaku terror di wilayah Kabupaten Poso dan mengapa
aparat
kemanan
belum
dapat
mengatasinya?
Sejauh
ini
pemerintah
memberlakukan Undang-undang No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam menjerat para pelaku terror di wilayah Kabupaten Poso. Teror dalam bentuk apa pun yang terjadi di daerah rawan konflik seperti Kabupaten Poso jika terus menerus dibiarkan dapat mengarah kepada tindak pidana terorisme yang dapat mengancam keamanan negara, melumpuhkan perekonomian, serta menghambat proses pembangunan di daerah, oleh karenanya dianggap perlu untuk merumuskan sebuah model kebijakan yang melibatkan berbagai pihak untuk menangani berbagai teror dan dampak yang ditimbulkan olehnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku teror dan wilayah-wilayah radikalisasi, menganalisis stakeholder yang terlibat dalam kebijakan penanganan teror dan perannya serta menemukan model yang tepat dalam kebijakan penanganan teror di Kabupaten Poso. Hasil akhir dari penelitian ini berupa naskah akademik untuk penanganan teror di Kabupaten Poso.
1.2.Batasan dan Rumusan Masalah Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada wilayah kajian kebijakan publik untuk menemukan model dalam penanganan teror di Kabupaten Poso. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah: 1. Bagaimana pemetaan wilayah radikalisasi dan motif teror di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah?
2. Bagaimana peran stakeholder dalam kebijakan penanganan teror di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah? 3. Bagaimana model kebijakan dalam penanganan teror di Kabupaten Poso? 1.3.Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini ialah untuk: 1. Mengidentifikasi wilayah radikalisasi dan motif teror di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Menganalisis aktor-aktor kebijakan dan perannya dalam penanganan teror di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. 3. merancang model kebijakan dalam penanganan terror di kabupaten Poso
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Kebijakan Publik Kebijakan publik menurut Riant Nugroho (2005:85) adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengatur masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Sedangkan menurut Thomas R. Dye, dalam Santoso (2008:27) merumuskan kebijakan publik sebagai pilihan pemerintah untuk bertindak atau tindak bertindak. Dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan pemerintah. Dalam kaitan inilah mudah dipahami jika kebijakan itu acapkali diberikan makna sebagai tindakan politik (Green Mind Community, 2009:309). James Anderson mengungkapkan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan. Selain itu, konsep ini juga
membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan diantara berbagai alternatif yang ada (Budi Winarno, 2012:21). Lebih lanjut James Anderson (1979: 23-24) dalam Subarsono (2005: 12-13) menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut: 1. Formulasi masalah (problem formulation): apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjasi masalah kebijakan? Bagamana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintahan? 2. Formulasi kebijakan (formulation): Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan? 3. Penentuan kebijakan (adoption): Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kabijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan. 4. Implementasi (implementation): Siapa yang terlibat dalam implemetasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan? 5. Evaluasi (Evaluation): Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatasan? 2.2. Pengertian Terorisme Maraknya terror yang terjadi di dunia dewasa ini menjelma sebagai monster yang menakutkan yang dapat terjadi tanpa terduga dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia, trauma serta cacat seumur hidup dalam seketika. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi definisi terror sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Jatuhnya korban jiwa sebagai akibat terror merupakan bentuk tragedi kemanusiaan dan pengebirian martabat bangsa. Paul Wilkinson dalam Budi Hardiman (2005:5) mengungkapkan bahwa teror merupakan kata dasar dari terorisme bersifat sangat subjektif. Artinya, setiap orang memiliki ambang batas ketakutannya sendiri dan secara subjektif menentukan apakah suatu
peristiwa merupakan terror atau hanya peristiwa biasa. Cakupan motif terror tidak hanya dilihat pada aspek politik tetapi juga termasuk aspek keagamaan dan ideology. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika: 1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6). 2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7). Seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah: 1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. 2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. 3. Menggunakan kekerasan. 4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama. 2.3. Analisis Aktor Charles Lindblom sebagaimana dikutip oleh Winarno (2008:123) membagi aktoraktor atau pemeran serta dalam proses pembuatan kebijakan dalam dua kelompok yakni para pemeran resmi dan tidak resmi. Pemeran resmi antara lain birokrasi, legislatif dan yudikatif. Sedangkan kelompok tidak resmi adalah kelompok kepentingan, partai politik dan warga Negara individu. Dikatakan tidak resmi karena meskipun mereka terlibat aktif di dalam perumusan kebijakan akan tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan yang mengikat. Aktor-aktor dalam proses penyusunan kebijakan publik menurut Moor (1995: 112) dalam Badjuri dan Yuwono (2002: 24) adalah aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society). Secara sederhana ketiga aktor ini dapt dideskripsikan sebagai berikut: Gambar 2.1 Aktor-Aktor Kebijakan
Aktor Privat
Aktor publik Civil Society
Sumber: Badjuri dan Yuwono (2002: 24)
Aktor ini dapat dirinci ke dalam beberapa klasifikasi. 1. Aktor publik meliputi aktor senior pada kementerian, kabinet atau departemendepartemen tertentu di bawah kendali Presiden. Aktor publik dibagi menjadi dua yaitu: (1) aktor pasa lembaga eksekutif, aktor ini memiliki fungsi sangat signifikan karena merakalah yang punya otoritas untuk memulai pembuatan keputusan publik. (2) lembaga legislatif, aktor ini berperan cukup penting dalam penyususnan kebijakan publik. 2. Aktor privat meliputi beberapa kelompok seperti pressure and interest groups terlibat secara signifikan dalam agenda kebijakan publik, konsultasi publik, evaluasi dan juga umpan balik kebijakan publik. 3. Masyarakat (civil Society) meliputi banyak pihak baik yang bersifat asosiasional maupun tidak di mana banyak berkembang di kalangan masyarakat umum. Menurut Grimble dan Wellard (1997:173-193), kategori actor/stakeholder dibagi menjadi 8 (delapan) yaitu: 1.
Kategori PIL (dominan): power sangat kuat, interest terpengaruh, legitimasi tinggi.
2.
Kategori PI (bertenaga); power sangat kuat, interest terpengaruh, klain tidak diakui atau legitimasi lemah.
3.
Kategori PL (berpengaruh); power sangat kuat, klaim diakui atau legitimasi kuat, interest tidak berpengaruh.
4.
Kategori IL (rentan); interest terpengaruh, klaim diakui atau legitimasi bagus, tetapi tanpa kekuatan.
5.
Kategori P (dorman); power sangat kuat, interest tidak terpengaruh, dan klaim tidak diakui.
6.
Kategori L (berperhatian); klaim diakui, interest tidak terpengaruh, dan klaim tidak diakui.
7.
Kategori I (marginal); terpengaruh, tetapi klaim tidak diakui dan tidak kuat.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Semua data primer dikumpulkan dengan cara survey dan mewawancarai informan secara langsung dan mendalam dengan menggunakan panduan wawancara. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan dokumentasi yang berasal dari instansi terkait. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dianggap mengetahui masalah dilapangan, yaitu KaPolres Poso, Anggota Densus 88, Ex-prisoner separatis, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama serta LSM.
3.3. Teknik Pengumpulan Data. 1. Observasi Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan yang dilakukan ditempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa. Observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungya suatu peristiwa yang akan diselidiki. Dalam kegiatan observasi, peneliti melakukan observasi ke lokasi penelitian, di Kecamatan Poso Pesisir guna memperoleh data dan informasi yang diperlukan. 2. Wawancara Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data sesuai dengan fokus penelitian yang ada. Penelitian ini difokuskan pada kebijakan penanganan teror di Kabupaten Poso, maka pengumpulan data dilakukan melalui wawancara secara mendalam kepada para informan dilapangan yakni: Kapolres Poso, BIN, Tokoh Masyarakat, Tokoh masyarakat, exprisoner terorism. 3. Dokumentasi Dokumentasi dapat diperoleh dalam bentuk dokumen-dokumen yang sesuai dengan fokus penelitian.
3.4. Teknik Analisis Data. Data dan informasi dikumpulkan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan berpedoman kepada daftar topik yang telah disusun sebelumnya. Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan menyajikan hasil pemetaan wilayah radikalisasi dan pemetaan actor-aktor kebijakan berdasarkan peran dan kepentingannya, kemudian melakukan pembahasan dengan logika ilmiah berdasarkan data dan informasi yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Badjuri, Abdulkahar dan Teguh Yuwono. (2002), Kebijakan Publik-Konsep Dan Strategi. Semarang: Universitas Diponegoro. Dunn, William N. (2000), Analisis Kebijakan Publik, (Edisi Kedua), (Samodra Wibawa dkk, Penerjemah) Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Grimble, Robin dan Kate Wellard, 1997, Stakeholders Methodologies in Natural Resource anagement a Review of Principles, Experiences, and Opportunities Agricultural Sistem. Vol.5, No.2, Hal. 173-193. Hadi, Jazim, Greend Mind Community, (2009), Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Total Media. Hardiman, Francisco Budi, (2005), Memahami negativitas: Diskursus Tentang Massa, Teror, dan Trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kismartini, 2005, Analisis Kebijakan Publik, Universitas Terbuka, Jakarta. Mitchell, R.K., Agle, B.R., dan Wood, D.J. (1997), Toward a Theory of Stakeholder Identification and Salience: Defining the Principle of Who and What Really Counts, Academy of Management Review, 22: 853-886. Nugroho, Riant. (2008), Public Policy, Elex Media Komputindo, Jakarta. Sugiyono, FX. (2011), Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), CV Alfabeta, Bandung. Subarsono, (2005), Analisa Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Santosa, Panji. (2008), Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance., Bandung: PT Refika Aditama. Susan, Novri. (2009), Sosiologi Konflik & Isu - Isu Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Winarno, Budi. (2005). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta:Media Pressindo (Anggota IKAPI). B. Undang-undang Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme