1
MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KOLABORATIF UNTUK MENINGKATKAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI DI PAUD KOTA SALATIGA TAHUN 2014
DISERTASI Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Doktor Bimbingan dan Konseling
PROMOVENDUS Lilik Sriyanti NIM 1005076
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015
2
==================================================================
Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini di PAUD Kota Salatiga Tahun 2014
Oleh Lilik Sriyanti
Dra, Bimbingan Konseling UKSW Salatiga, 1988 M.Si, Psikologi UGM Yogyakarta, 2002
Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Bimbingan dan Konseling
© Lilik Sriyanti Universitas Pendidikan Indonesia Maret 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
3
4
5
Abstrak Lilik Sriyanti, 2015. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini di Kota Salatiga Tahun 2014. Disertasi. Dibimbing oleh : Prof. Dr. H. Muh Surya (Promotor); Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Kopromotor); Prof.Dr.H.Ahmad Juntika Nurihsan, M.Pd. (Anggota). Pengendalian diri merupakan kondisi psikologis yang mempengaruhi terbentuknya perilaku lain. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa perilaku negatif dan destruktif bersumber dari pengendalian diri yang rendah. Saat ini fenomena kenakalan anak dan remaja sangat memprihatinkan, hal tersebut sesungguhnya dapat direduksi apabila sejak dini anak dilatih untuk mengembangkan pengendalian diri yang baik. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa anak usia dini mempunyai pengendalian diri yang rendah bahkan cenderung impulsive, sementara pola pengasuhan orang tua dan kerjasama guru–orang tua yang belum tepat. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengembangkan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif merupakan kerangka acuan yang digunakan dalam melaksanakan bimbingan dan konseling dengan melibatkan pihak lain yang kompeten terhadap masalah yang dihadapi anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan Reseach and Development (R & D), dengan subjek penelitian sebanyak 27 anak PAUD. Kolaborator yang dilibatkan adalah 3 kepala sekolah, 3 orang guru dan 27 orang tua siswa. Questionaire, observasi, wawancara, tes digunakan sebagai tehnik pengumpul data. Kondisi pengendalian diri anak usia dini sebelum penerapan model dalam kategori rendah dan kolaborasi yang terjalin antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam kategori kurang tepat. Model bimbingan konseling kolaboratif dikembangkan melalui uji pakar, uji kepraktisan serta uji lapangan yang dilakukan secara sistematis dan terencana sehingga menghasilkan model yang dapat meningkatkan pengendalian diri anak. Melalui uji t, Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif terbukti efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Berdasar hasil tersebut, direkomendasikan agar lembaga PAUD menerapkan model ini sebagai bagian dari program sekolah, guru BK di PAUD dapat menggunakan esensi model ini untuk mengembangkan aspek perkembangan anak lainnya, peneliti berikutnya dapat mengadopsi model ini pada aspek perkembangan anak lain serta memperbaiki desain penelitian yang digunakan. Kata kunci : Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif, Pengendalian Diri, Anak Usia Dini
6
Abstract Lilik Sriyanti, 2015. Collaborative Guidance and Counseling Model to Improve Early Childhood Self-Control on Salatiga 2014. Dissertation. Supervised by Prof. Dr. H. Muh Surya (Promoter); Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Copromoter); Prof.Dr.H.Ahmad Juntika Nurihsan, M.Pd. (Member). Self controlling was a psychological condition which affected the formation of other behaviour. Many research concluded that negative and destructive behaviours were rooted from low self controlling. Nowadays, Juvenile delinquency phenomenon was apprehending, tt actually could be reduced if children were skilled with well self controlling from their early childhood. Other research result showed that early childhood had low self controlling even tended to be impulsive, while parents‟ way in taking them care and the inappropriateness of teacher-parents collaboration. Based on the background, this research was aimed to developed Colaborative Guidance and Counseling Model to increase early childhood self controlling. Colaborative Guidance and Counseling Model was reference framework that was used in conducting guidance and counseling. It involved the other element who knew well problems faced by children. The research was used Reseach and Development (R & D) approach, involved 27 kindergarten students as subject of research. Collaborator were 3 School principals, 4 teachers and 27 parents as informants. Questionnaires, observations, interview, and tests were used in the technique of collecting the data. The condition of early childhood‟s self controlling before the model implemented was low and the collaboration among school principals, teachers and parents was inappropriate. Colaborative Guidance and Counseling Model which was developed through systematic and well-planned expert testing, practical testing and field testing resulted a model that could develop child‟s self controlling and improve collaboration among principals, teachers, and parents. Through t-test, it can be concluded that Colaborative Guidance and Counseling Model was effective to develop early childhood self controlling. Based on the result of the study, it was recommended to all Early Childhood Education to implement this model as part of school program and to guidance and counselling teacher in Early Childhood Education could use the gist of this model to improve other aspect of children development. Then, to the next researcher, this model could be adopted to study the other aspect of children development and to correct the research design which was used. Key words : Colaborative Guidance and Counseling Model, self-control, early childhood education
7
DAFTAR ISI Lembar Pengesahan ........................................................................................
ii
Pernyataan Keaslian ........................................................................................
iii
Abstrak .............................................................................................................
iv
Kata Pengantar .................................................................................................
vi
Ucapan Terimakasih.........................................................................................
viii
Daftar Isi...........................................................................................................
x
Daftar Tabel .....................................................................................................
xv
Daftar Bagan .................................................................................................... xviii Daftar Grafik ...................................................................................................
xix
Daftar Lampiran ..............................................................................................
xxi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Identifikasi Masalah Penelitian ..............................................
11
C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian .......................
13
D. Tujuan Penelitian ....................................................................
14
E. Manfaat Penelitian .................................................................
15
BIMBINGAN KONSELING KOLABORATIF DAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI ..............................
16
A. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif .......................
16
1. Konsep Model Kolaborasi ...............................................
16
2. Konsep Bimbingan Konseling Kolaboratif .......................
21
B. Anak Usia Dini ........................................................................
28
1. Konsep Anak Usia Dini .....................................................
28
2. Karakteristik dan Tugas Perkembangan Anak Usia Dini....................................................................................
30
C. Bimbingan Konseling untuk Anak Usia Dini .........................
35
1. Hakekat Bimbingan dan Konseling bagi Anak Usia Dini ...................................................................................
35
2. Prinsip, Fungsi dan Ciri Bimbingan dan Konseling bagi Anak Usia Dini .................................................................. 3. Pelaksanaan Bimbingan Konseling bagi Anak Usia
38
8
Dini....................................................................................
41
4. Permasalahan Perkembangan Anak Usia Dini ..................
43
D. Pengendalian Diri ....................................................................
45
1. Pengertian dan Fungsi Pengendalian diri ..........................
45
2. Jenis Pengendalian diri ......................................................
49
3. Faktor yang Mempengaruhi Pengendalian diri .................
53
4. Metode Membentuk Pengendalian diri .............................
54
5. Peran orang tua terhadap pembentukan pengendalian diri ....................................................................................
57
6. Hubungan Pengendalian diri dengan Perkembangan Perilaku Anak ....................................................................
58
E. Pentingnya Kolaborasi dalam Pelaksanaan Bimbingan
BAB III
dan Konseling di TK/ PAUD...................................................
60
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan .........................................
65
G. Hipotesis .................................................................................
67
METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
68
A. Pendekatan dan Metode Penelitian ........................................
68
B. Langkah Penelitian .................................................................
70
1. Studi Pendahuluan ............................................................
71
2. Merancang Model Hipotetik ............................................
71
3. Perbaikan Rancangan Model ............................................
72
4. Uji Coba Lapangan ..........................................................
73
5. Tahap Perbaikan Model II ................................................
73
6. Diseminasi dan Pengembangan Model Akhir ..................
74
C. Subjek dan Lokasi Penelitian ..................................................
75
D. Definisi Operasional................................................................
76
1. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ..................
76
2. Pengendalian diri anak usia dini .......................................
77
E. Pengembangan Instrumen .......................................................
78
1. Kisi-kisi Instrumen ...........................................................
78
2. Penimbangan Instrumen ....................................................
85
3. Validitas dan Reliabilitas Instrumen .................................
85
9
BAB IV
F. Teknik Pengumpulan Data ......................................................
89
1. Observasi ..........................................................................
89
2. Wawancara .......................................................................
90
3. Tes ....................................................................................
91
4. Angket ..............................................................................
91
G. Teknik Analisis Data ...............................................................
92
1. Uji Validitas dan Reliabilitas .............................................
92
2. Uji Normalitas ..................................................................
92
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................
96
A. Hasil Penelitian ......................................................................
96
1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini ..........................
96
a. Profil Pengendalian Emosi Anak Usia Dini ...............
97
b. ProfilPengendalian Pikiran Anak Usia Dini ..............
99
c. Profil Pengendalian Perilaku Anak Usia Dini ............
101
2. Profil Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua ....................................................................
104
3. Proses Pengembangan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ...........................................................................
106
a. Model Hipotetik Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ...........................................................
106
b. Validasi Model............................................................
115
c. Perbaikan Model ........................................................
118
d. Uji Coba Model ..........................................................
119
e. Evaluasi Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ...............................................
120
f. Pengembangan Model Akhir ......................................
122
4. Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ..
123
a. Peran dan Tugas Kolaborator .....................................
123
10
b. Profil Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua dalam Pelaksanaan BKK .........................
127
c. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BKK ........................
135
d. Materi Kegiatan BKK ...............................................
136
e. Evaluasi terhadap kegiatan BKK ...............................
137
5. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Uji coba Terbatas ...............................................................
139
a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling b. Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru .............
139
c. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua Hasil Uji Coba Terbatas..............................................
142
6. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini .................................................................
147
a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru .............
147
b. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua ....
153
B. Pembahasan Hasil Penelitian ..................................................
158
1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini ..........................
158
2. Profil Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua ...........................................................................
162
3. Proses Pengembangan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ..........................................................................
165
11
4. Pelaksanaan Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua ..........................................................................
169
5. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ...................................................................................
174
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................
180
A. Kesimpulan ............................................................................
180
B. Implemetasi dan Rekomendasi ..............................................
184
Daftar Pustaka ..................................................................................................
189
Lampiran-lampiran ...........................................................................................
196
BAB V
12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan di Indonesia mempunyai tantangan besar untuk menyiapkan generasi emas menyambut satu abad kemerdekaan Indonesia tahun 2045 yang akan datang. Salah satu tantangan yang dihadapi
dunia pendidikan saat ini
adalah
perubahan perilaku peserta didik, bergesernya gaya hidup dan pola pikir yang jauh dari harapan pendidik sebagai dampak arus globalisasi dan era informasi yang melanda seluruh pelosok negeri. Menyiapkan generasi yang yang tangguh, berakhlak mulia, cakap dan kreatif menjadi tugas utama pendidikan yang harus didukung oleh semua unsur pendidikan termasuk menjadi tugas bidang Bimbingan dan Konseling. Tugas ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UndangUndang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, pasal 3 menyebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UndangUndang No. 20, Tahun 2003). Tercapainya bangsa yang bermartabat, beriman dan bertakwa diperlukan kondisi mental yang tangguh, yang mampu mengontrol diri agar terhindar dari perilaku yang tidak bertanggungjawab. Salah satu kondisi mental yang dapat mendukung terwujudnya bangsa yang bermartabat dan beriman adalah kemampuan seseorang mengontrol semua perilaku dan tindakannya, atau dikenal dengan pengendalian diri. Pengendalian diri atau self control merupakan kemampuan untuk menahan keinginan dan dorongan sesaat yang bertentangan dengan norma atau aturan yang berlaku (Berk, 1993, hlm. 455). Pengendalian diri juga merupakan kemampuan menunda keinginan (delay of gratification) (Logue, 1995, hlm. 8).
13
Kemampuan seseorang mengontrol dirinya akan mempengaruhi terbentuknya perilaku lainnya. Berbagai penelitian dalam psikologi menunjukkan bahwa pengendalian diri merupakan fungsi psikologis yang sangat penting dan menentukan kesehatan fisik dan kesehatan mental seseorang (Skinner, 1996, hlm. 549).
Skinner menuliskan
berbagai hasil penelitian sebelumnya (Baltes & Baltes, 1986; Fiske & Taylor, 1991; Thomson & Spacapan, 1991) bahwa pengendalian diri seseorang juga berhubungan dengan kesuksesan,
berhubungan
dengan kesehatan,
prestasi, motivasi, coping,
kemampuan menyesuaikan diri serta berhubungan dengan keberhasilan atau kegagalan dalam berbagai aspek kehidupan. Penelitian Finkel & W Keith (2001, hlm. 274-275) menyimpulkan bahwa pengendalian diri berhubungan dengan kemampuan membangun hubungan antar pribadi yang romantis dengan pasangan. Hasil yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa pemuda yang mendapatkan penilaian memiliki kontrol rendah di masa anak-anak, ternyata menghadapi masalah kesehatan, keuangan dan penyalahgunaan obat terlarang, memiliki
catatan
kriminal
dan
cenderung
menjadi
orang
tua
tunggal
(http://www.go4healthylife.com). Penelitian tersebut juga dilakukan terhadap 500 pasangan kembar, ternyata pasangan kembar yang mempunyai pengendalian diri rendah menunjukkan perilaku merokok lebih awal, terlibat dalam perilaku antisosial dan mempunyai prestasi rendah di sekolah. Mischel (dalam Mischel, Shoda, & Rodriguez, 2006, hlm. 480), pernah melakukan eksperimen marshmallow terhadap anak usia 4-6 tahun. Anak-anak yang dapat mengontrol dirinya untuk tidak mengambil kue ternyata di kemudian hari mempunyai prestasi akademik yang lebih tinggi dan mempunyai lingkungan sosial yang lebih bagus. Pengendalian diri sangat penting bagi kesuksesan dalam berbagai bidang kehidupan.
Terbentuknya perilaku yang baik, positif dan produktif memerlukan
pengendalian diri yang kuat. Keharmonisan membangun hubungan dengan orang lain, kebiasaan belajar yang benar, kedisiplinan, perilaku tertib di sekolah dan di masyarakat, perilaku seksual sehat, serta pembentukan kebiasaan hidup lain dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian diri (self control). Penelitian Tangney, Baumeister, & Boone (2004) menyimpulkan bahwa pelajar yang mempunyai pengendalian diri tinggi memiliki penyesuaian diri yang lebih baik, memiliki kemampuan membangun hubungan interpersonal dan mempunyai prestasi yang lebih baik. Pengendalian diri lebih menentukan prestasi akademik seseorang dari pada tingkat inteligensinya (Duckworth &
14
Seligman, 2006, dalam McCullough & Brian, 2009, hlm. 72-73). Orang dengan pengendalian diri tinggi mempunyai kemungkinan kecil untuk mengkonsumsi alkohol, terlibat dalam tindak kriminalitas serta terhindari dari perilaku nakal, lebih bisa menjaga kesehatannya dan mempunyai perilaku sehat (Baumeister & Vohs, 2007, hlm. 355). Orang yang ketika anak-anak yang mempunyai kemampuan menahan diri atau menunda kepuasan menunjukkan prestasi akademik dan penyesuaian sosial yang lebih baik (Mischel, dkk. hlm. 478-479). Saat ini, fenomena perilaku destruktif dan asosial di kalangan pelajar makin meningkat.
Pemberitaan tentang tawuran antar pelajar, pengeroyokan oleh geng,
penggunaan obat terlarang, pemerkosaan dan perilaku destruktif banyak menghiasi media elektronik maupun media cetak. Salah satu stasiun televisi memberitakan beberapa pasang remaja di Samarinda ditemukan mabuk, sementara dua siswa di lainnya ditemukan sedang berbuat mesum di pinggir jalan (Berita Pagi Trans-7, 4 Pebruari 2013). Beberapa siswa SD melakukan penganiayaan hingga menyebabkan teman sekelasnya meninggal (Metro Hari Ini, 2014). Fenomena perilaku menyimpang di kalangan anak dan remaja terlihat dengan beredarnya rekaman video sekelompok siswi SMP yang sedang berpesta rokok dan minuman keras di Mandar Sulawesi (Liputan Enam Pagi SCTV, 27 Pebruari, 2013), serta siswa SMP di Semarang melakukan penodongan dan membacok korbannya untuk mendapatkan handphone (Suara Merdeka, 25 Pebruari 2013). Dua siswa SMP terpaksa harus ujian nasional di tahanan karena ketahuan mencuri tabung gas elpiji (Merdeka.com, 8 Mei 2014). Berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan tersebut tidak akan terjadi apabila sejak dini anak sudah mendapat bimbingan dalam mengembangkan pengendalian dirinya. Hasil penelitian Childs (2005) terhadap 3907 subjek dari berbagai ras dan etnis di Florida, menemukan bahwa rendahnya pengendalian diri menjadi prediktor terhadap tindak kekerasan, temuan ini diperkuat dari hasil penelitian Baron (2003), Evan dkk, (1997), Burton dkk (1998), yang menyatakan bahawa rendahnya pengendalian diri menjadi prediksi dari tindak kejahatan dan penggunaan obat terlarang. McMullen (1999, hlm.28), mendukung temuan diatas bahwa rendahnya pengendalian diri berkaitan dengan tindak kriminal dan perilaku menyimpang. Sementara Wood dkk (dalam McMullen 1999, hlm. 29) menemukan pengaruh rendahnya pengendalian diri dengan pencurian, vandalism, kejahatan interpersonal, dan perilaku legal dan illegal. Penelitian
15
tersebut dipertajam oleh pandangan Messina dan Messina (2006) yang menyatakan bahwa self-destructive bersumber dari pengendalian diri yang rendah.
Selain
berhubungan dengan perilaku destruktif, pengendalian diri juga berhubungan dengan psikopathologi terutama narsisme dan psikopath, sebagai bentuk antisosial (Vaughn, 2007, hlm. 816), serta berkaitan perilaku yang membahayakan seperti bunuh diri, seks bebas, penggunaan narkoba, ceroboh dalam mengemudi
dan kekerasan (Bogg
&Roberts, dalam McCullough & Brian, 2009, hlm. 2). Layanan bimbingan dan konseling khususnya untuk meningkatkan pengendalian diri harus mulai dilaksanakan di PAUD agar sejak dini anak belajar tentang perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan serta menyiapkan anak untuk mengikuti tugas belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Salah satu alasan pemberian layanan bimbingan dan konseling bagi anak usia dini adalah berkembangnya paradigma baru dalam bimbingan dan konseling bahwa target populasi layanan bimbingan dan konseling saat ini menjadi lebih terbuka dan berada dalam berbagai adegan dan tataran kehidupan seperti di sekolah, luar sekolah, keluarga, industri dan bisnis, rumah sakit dan lembaga pemasyarakatan, untuk semua rentang perkembangan mulai dari kanak-kanak sampai usia lanjut, dan diperuntukkan bagi individu yang normal maupun yang berkebutuhan khusus (Kartadinadata, 2001, hlm. 7). Bimbingan dan konseling merupakan layanan bantuan yang diberikan pada berbagai jenis pendidikan dan dalam berbagai seting kehidupan, artinya bimbingan dan konseling tidak hanya dilaksanakan pada jalur pendidikan formal, melainkan harus mulai dikembangkan layanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan nonformal yaitu bagi anak PAUD, guru dan orang tua. Hal tersebut sejalan dengan salah satu prinsip bimbingan yaitu bimbingan dilaksanakan dalam berbagai seting kehidupan, artinya bimbingan tidak hanya dilaksanakan di sekolah, melainkan bisa berlangsung dalam seting keluarga, lembaga pemerintah maupun swasta (Departemen Pendidikan Nasional, 2007, hlm. 203-204). Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi anak prasekolah diperkuat adanya ekspektasi kinerja konselor yang sudah dimulai sejak jenjang
Taman-Kanak-kanak,
sebagaimana
tertuang
dalam
Rambu-rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, bahwa ekspektasi kinerja konselor sudah dimulai sejak jenjang Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi (Departemen Pendidikan Nasional, 2008, hlm. 187-189).
16
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di PAUD sebagai aktualisasi penyiapan generasi emas tahun 2045 nanti. Kemendikbud mempunyai agenda besar menyiapkan generasi emas sebagai hadiah seratus tahun kemerdekaan Indonesia tahun 2045 melalui gerakan PAUDisasi. Grand design pendidikan Indonesia yang diagendakan adalah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak usia dini, karena anak usia PAUD saat ini nanti yang akan memimpin bangsa, menggantikan generasi tua di tahun 2045 nanti (http://www.mediaindonesia.com). Salah satu bentuk perhatian terhadap anak usia dini adalah memberikan layanan bimbingan dan konseling untuk meningkatkan pengendalian dirinya. Pengendalian diri sudah harus dilatihkan sejak usia prasekolah, hal ini karena berbagai literatur menyatakan bahwa pengendalian diri anak usia ini masih rendah dan cenderung impulsive (Logue, 1995, hlm.8; Hurlock 1978, hlm. 208-209)). Hasil survei di TK/PAUD Kota Salatiga (2012) tentang perilaku yang sering muncul pada anak , dari 35 orang guru TK/RA/PAUD, 85% menyatakan anak sering berebut mainan dan tidak mau mengalah, 75 %
menyatakan anak sering mengganggu anak lain, 65 % tidak patuh, 78 %
menyatakan
anak
sering
menyela
pembicaraan,
56
%
menyatakan
berteriak/mengumpat pada saat marah. Perilaku lain seperti mengejek teman, melempar benda pada saat marah, berkelahi, tidak sabar menunggu giliran merengek untuk mendapatkan sesuatu,tidak mau melaksanakan tugas dan tidak mau merapikan barang pribadinya dinyatakan kadang-kadang muncul pada anak. Sementara hasil survei terhadap 150 orang tua siswa TK/RA/PAUD di Salatiga dan sekitarnya, 85% menyatakan anak sering tidak mau mengalah, 73% menyatakan anak sering berkelahi, 60 % menyatakan anak sering menangis untuk menyatakan keinginan, sementara 80 % orang tua menyatakan anak tidak mau merapikan barang miliknya, 75% kadang-kadang anak tidak sabar menunggu giliran, 75 % anak tidak mau mengerjakan tugas hingga selesai, 75% kadang-kadang anak berteriak-teriak untuk
menyatakan
keinginan. Berdasar hasil survei tersebut menunjukkan anak usia prasekolah mempunyai pengendalian diri yang cenderung rendah. Berbagai perilaku yang muncul pada anak usia PAUD tersebut menjadi tantangan bagi guru dan orang tua. Kadarharutami (2011, hlm. 19-22) menuliskan tantangan dalam mengasuh anak usia dini antara lain anak sangat aktif, tidak bisa diam, sering bertengkar dengan teman, sering mengamuk dan berlebihan dalam mengungkapkan
17
emosinya, belum bisa mematuhi jadwal kegiatan rutin dan mulai suka melawan atau menghindar bila diminta melakukan sesuatu. Tidak semua orang tua dan guru menggunakan cara yang tepat dalam mengatasi beberapa perilaku anak yang tidak sejalan dengan harapan guru dan orang tua. Hasil surve terhadap 30 guru dan 150 orang tua PAUD di Salatiga dan sekitarnya, 75 % orang tua menyatakan tidak berusaha mencari penyebab kemarahan anak, 74% guru menyatakan hal yang sama. 75 % orang tua dan 49 % guru menyatakan sering kesulitan untuk membuat anak tertib, 73 % orang tua menyatakan ikut jengkel ketika anak marah-marah, sementara 68 % guru menyatakan sering hanya bisa bersabar dalam menghadapi kenakalan anak. 78 % orang tua sering mengalah untuk mengerjakan tugas anak ketika anak tidak mau mengerjakan, 71 % kadang-kadang membentak apabila anak tidak patuh, 64 % kadang memukul bila anak sulit diatur, 60% guru menyatakan kadang-kadang mengalah merapikan mainan anak, 57% kadang-kadang membentak apabila anak membuat keributan, 57% kadang-kadang mendidik kedisiplinan secara paksa, 68 % guru menyatakan kadang-kadang sulit mengatasi anak yang rewel di kelas, 56 % guru sering tidak ada waktu untuk mencari sumber penyebab kenakalan anak. Perilaku yang tidak mendapatkan penanganan dengan tepat dapat menimbulkan problem perilaku yang lebih komplek juga dapat menimbulkan kekacauan di dalam kelas, suasana pembelajaran menjadi kurang kondusif
sehingga perlu penanganan
secara seksama. Hasil penelitian Morey dkk. (ACA, 2006) menyimpulkan bahwa bimbingan dan konseling dapat mengatasi kekacauan di dalam kelas. Morrison (2012, hlm. 344) mengupas beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa akar dari kenakalan dan perilaku menyimpang ada dalam usia dini. Bimbingan dan konseling untuk membentuk pengendalian diri anak pada usia dini sangat penting sebagai fondasi terbentuknya perilaku baik yang berguna bagi perkembangan anak sebagai totalitas. bahwa pendidikan untuk
anak
Sholehuddin (2010, hlm. 108) menyatakan
usia dini merupakan fondasi yang kuat bagi
terbentuknya generasi yang berkualitas. Bimbingan dan konseling bagi anak usia dini merupakan program krusial yang harus dilaksanakan karena lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa emas yang paling tepat bagi pembentukaan kepribadian. Pengasuhan anak pada lima tahun pertama akan menentukan terbentuknya perilaku lain di kemudian hari. Pengendalian
18
diri sebagai salah satu aspek dari perkembangan emosi dan sosial merupakan faktor penting bagi kesiapan anak masuk sekolah dari pada keterampilan akademis (Johnson, Gallagher, Cook, & Wong; Lin, Lawrence, and Gorrell; Piotrkowski, Botsko & Matthews; Wesley & Buysse dalam Muelle, 2010, hlm. 1). Freud (dalam Corey, 2005, hlm. 13) mengatakan bahwa perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya berpengaruh terhadap perkembangan anak di masa mendatang. Lima tahun pertama menjadi peletak dasar bagi perkembangan anak di masa berikutnya. berada pada fase emas perkembangan,
Usia prasekolah
yang perlu mendapat perhatian seksama.
Kehidupan awal masa anak menjadi fondasi bagi penyesuaian terhadap kehidupan berikutnya (Hurlock, 1978, hlm. 151). Muelle (2010, hlm. 50) menyatakan bahwa pengendalian diri sebagai salah satu spektrum dari perkembangan sosial dan emosi dapat menjadi prediksi keberhasilan akademik anak di Taman Kanak-kanak hingga kelas tiga. Muelle (2010, hlm. 19) menyatakan bahwa kemampuan mengontrol diri, bekerja dengan anak-anak lainnya, mengatasi konflik, bekerja dalam kelompok merupakan syarat kesiapan anak masuk sekolah. Kadarharutami (2011, hlm. 16-18) menuliskan bahwa belajar menunda dan pengendalikan keinginan, menunjukkan perasaan dengan cara yang sehat, berani mengemukakan keinginan merupakan sebagian kemampuan yang harus diajarkan pada anak usia dini.
Pentingnya melatih pengendalian diri anak prasekolah juga muncul dari orang tua dan guru sebagai pribadi yang banyak mengetahui perilaku anak atau muridnya seharihari. Muelle (2010, hlm.1) mengutip berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa guru memandang kesiapan anak masuk Taman Kanak-kanak dan sukses belajar di Taman Kanak-kanak apabila anak menunjukkan kemampuan mengontrol diri seperti dapat bekerja secara mandiri, mengikuti aturan di kelas, menunjukkan keterampilan sosial yang positif, dapat bermain dengan anak lain dengan baik dan dapat mengkomunikasikan perasaannya. Baik orang tua maupun guru merasa bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan paling penting bagi anak agar siap dan sukses masuk sekolah (Piotrkowski, dkk. dalam Muelle, 2010, hlm. 18). Pentingnya aspek pengendalian diri bagi anak usia dini juga terbukti dari hasil penelitian McAllister, dkk. (dalam Muelle, 2010, hlm. 19), menyatakan orang tua siswa merasa bahwa keterampilan dalam bidang spasial dan emosi terutama kemampuan mengontrol diri sama pentingnya
19
dengan kemampuan dalam bidang akademik dan berpikir sebagai syarat kesiapan belajar sekolah. Pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia prasekolah perlu melibatkan beberapa pihak agar hasil dicapai lebih optimal. Orang tua dan guru adalah dua pribadi yang lebih dekat dengan anak dan berinteraksi lebih intensif, karena itu melibatkan guru dan orang tua dalam pelaksanaan bimbingan akan mengefektifkan tercapainya tujuan bimbingan dan konseling. Efektivitas bimbingan dan konseling kolaboratif sudah dibuktikan dari hasil penelitian Ginintasasi (2012) bahwa bimbingan dan konseling kolaboratif efektif bagi penanganan anak autis, hasil penelitian Hidayat (2010) menyimpulkan bimbingan kolaboratif dapat meningkatkan keterampilan belajar siswa, serta Soendari (2011) menyimpulkan bimbingan kolaboratif dapat meningkatkan perilaku adaptif anak tunagrahita ringan di Sekolah Dasar. Demikian juga dengan penelitian Becicka (2000) menyimpulkan bahwa kolaborasi konselor dengan guru dapat meningkatkan kompetensi sosial siswa. Penelitian terbaru dilakukan oleh Chotijah (2013) berhasil membuktikan bahwa bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan prestasi belajar anak dengan kesulitan belajar. Proses pendidikan di sekolah yang dilaksanakan secara kolaboratif didukung oleh pandangan Lassonde (2010, hlm. 4-5) yang menyatakan bahwa kegiatan pendidikan yang dilaksanakan secara kolaboratif dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan dapat berkembang secara profesional. Lassonde menuliskan : “ We can and must make collaborative learning a priority in our profesional development. Collaboration with interested colleagues can help us overcome those not-enough time feelings”. Kolaborasi dalam layanan pendidikan di Taman Kanak-kanak, khususnya antara guru dan orang tua menjadi sangat penting dan mendesak karena selama ini kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua belum berjalan optimal. Hal ini dibuktikan dengan hasil surve di 20 TK di Salatiga dan sekitarnya terungkap bahwa kerjasama antara guru dengan orang tua masih belum serasi, artinya langkah pendidikan dan penanganan terhadap persoalan yang dihadapi anak masih jalan sendiri-sendiri. Tujuh orang guru dari 20 TK//RA menyatakan gaya pengasuhan orang tua sering tidak sejalan dengan program sekolah, tiga orang guru menyatakan orang tua sering tidak mau menerima apabila mendapatkan laporan tentang perilaku yang kurang baik pada anak. Perbedaan cara penanganan antara guru dengan orang tua dapat menimbulkan
20
kebingungan dalam diri anak tentang apa yang harus dilakukan. Kurangnya kerjasama antara orang tua dengan guru juga terlihat dari tidak kembalinya beberapa angket yang diberikan oleh pihak sekolah kepada orang tua. Keserasian cara membimbing antara guru dengan orang tua akan meningkatkan efektivitas hasil bimbingan. Sebagaimana hasil penelitian
Sholehuddin (2010, hlm. 117-118) yang menyimpulkan bahwa
pembelajaran yang berbasis bimbingan kolaboratif dapat lebih memberdayakan Taman Kanak- kanak, kolaboratif yang dimaksud dalam penelitian tersebut meliputi peneliti, guru dan orang tua. Kaloborasi dalam layanan bimbingan dan konseling berpijak pada salah satu prinsip bimbingan, yaitu bimbingan sebagai usaha bersama (Departemen Pendidikan Nasional, 2007, hlm. 203-204), artinya bimbingan bukan hanya menjadi tanggung jawab konselor, melainkan perlu kerjasama antara personil sekolah (guru), orang tua dan pihak lain. Prayitno (1998, hlm. 27) menyatakan bahwa kerjasama antara guru, guru pembimbing dan orang tua sangat menentukan hasil pelayanan bimbingan. Pentingnya kerjasama dalam layanan bimbingan didukung oleh pendapat Dinkmeyer dan Caldwell (1970, hlm. 4-5) yang menyatakan karena pengaruh orang tua sangat besar dalam kehidupan anak, maka pelaksanaan bimbingan dan konseling lebih banyak melibatkan orang tua. Demikian juga dengan pandangan Murro dan Kottman (1995, hlm. 53-54) mengungkapkan bahwa beberapa jenis layanan bimbingan dan konseling tidak langsung ditujukan kepada murid melainkan melalui orang tua, guru dan orang dewasa lainnya. Bimbingan dan Konseling kolaboratif didasari oleh asas keterpaduan (Depertemen Pendidikan Nasional, 2007, hlm. 2006), hal ini mensyaratkan pelaksanaan bimbingan di sekolah oleh beberapa pihak yang saling menunjang dan terpadu. Demikian juga dengan Biasco (dalam Yusuf, 2009: 63) menyatakan bahwa bimbingan akan berlangsung efektif apabila ada kerja sama dengan personil sekolah dan personil di luar sekolah seperti orang tua siswa dan para spesialis. Bimbingan
dan konseling kolaboratif
mengasumsikan bahwa konselor bukan satu-satunya sumber yang dapat mengatasi persoalan anak (Bertolino dan Bill O’Hanlon , 2002). Kolaborasi akan menyamakan pemahaman antara guru dan dengan orang tua dalam melakukan intervensi terhadap anak, sehingga tidak terjadi kesenjangan yang dapat merugikan anak. Tujuan kolaborasi adalah untuk mendapatkan pemecahan masalah yang terbaik dan pemecahan masalah menjadi lebih efektif (Harrison, 2004). Keys et. al (1998) menyatakan bahwa model
21
konsultasi kolaborasi dapat menghasilkan program yang lebih komprehensif dan integratif. Layanan bimbingan dan konseling untuk anak usia dini memerlukan keterlibatan orang tua atau keluarga, sebagaimana pendapat Henderson dan Thompson (2011, hlm. 528)
dalam
buku
Counseling
Children
memaparkan
pentingnya
konselor
mengembangkan upaya meningkatkan kemampuan anak dengan berkolaborasi dengan orang dewasa lainnya. Demikian juga dengan Gerldard & Geldard (2012, hlm. 3-5) menuliskan tentang tujuan konseling untuk orang tua dan anak dalam pelaksanaan konseling anak. Hal yang sama diungkap oleh Morrison (2012, hlm. 88) bahwa keluarga merupakan lembaga yang paling penting bagi pendidikan dan perkembangan anak dan orang tua adalah pendidik utama. Berdasar latar belakang sebagaimana diuraikan sebelumnya maka perlu dikembangkan model bimbingan dan konseling kolaboratif antara orang tua, guru dan kepala sekolah untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini.
B. Identifikasi Masalah Penelitian Saat ini, fenomena perilaku destruktif dan antisosial di kalangan anak dan remaja makin meningkat. Pemberitaan tentang tawuran antar pelajar, pengeroyokan, penggunaan obat terlarang, pemerkosaan dan perilaku destruktif
lainnya banyak
menghiasi media cetak dan elektronik. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tindak kejahatan dan perilaku destruktif bersumber dari rendahnya pengendalian diri seseorang (Evan dkk,; Burton dkk. dalam McMullen 1999, hlm. 28). Bahkan kesehatan jiwa seseorang, narsisme, psikopath dan perilaku antisosial
dipengaruhi oleh
kemampuan seseorang dalam mengontrol dirinya sendiri (Vaughn, 2007, hlm. 81).
Berbagai bentuk perilaku menyimpang di kalangan anak dan remaja sebenarnya dapat direduksi apabila sejak dini sudah dilatih untuk mengendalikan diri agar tidak terlibat dalam berbagai bentuk perilaku yang kurang produktif. Pengendalian diri perlu diajarkan sejak dini agar anak mempunyai perilaku yang sehat, yang menunjang sukses belajar di sekolah. Hasil penelitian Griffin dkk (2012) menyimpulkan bahwa pengendalian diri merupakan faktor penangkal
22
terhadap resiko remaja melakukan perilaku seksual dan penggunaan alkohol. Karakteristik khas anak usia dini berada dalam masa perkembangan dengan kemampuan yang terbatas dalam berbagai aspek. Pada masa ini berlangsung fase trotzalter, yang ditandai dengan sikap membangkang, keras kepala, menentang, emosi meluap-meluap tidak patuh dan cenderung tidak patuh pada orang tua (Kartono, 2000, hlm. 53-54). Anak usia ini juga mempunyai pengendalian diri yang rendah bahkan cenderung impulsive (Logue, 1995, hlm. 8), mempunyai daya imitasi yang kuat dan bersifat egosentris (Hurlock, 1978, hlm. 210 ). Daya imitasi yang kuat memungkinkan anak meniru perilaku buruk yang ada di sekitar anak, termasuk mengimitasi cara orang tua merespon situasi yang mengganggu. Karakteristik anak yang keras kepala dan cenderung membangkang tersebut menuntut strategi dan penanganan yang tepat agar tidak memicu lahirnya problem perilaku baru yang lebih buruk. Hasil survei pendahuluan menunjukkan bahwa orang tua dan guru belum mempunyai kemampuan yang tepat dalam mengatasi berbagai problem perilaku pada anak serta belum ada kerja sama yang selaras antara sekolah dengan orang tua. Penanganan yang salah terhadap perilaku anak dapat memicu timbulnya perilaku yang lebih buruk, yang menghambat perkembangan anak di masa berikutnya. Sementara, lima tahun kehidupan anak merupakan golden age, peletak dasar kepribadian yang besar perannya bagi perkembangan anak di masa berikutnya. Dampak buruk gaya pengasuhan yang salah terbukti dari hasil penelitian Ayunita (2012) terhadap perilaku anak prasekolah, yang menyimpulkan bahwa perilaku temper tantrum terjadi karena pengasuhan orang tua yang tidak konsisten serta terjadi karena mengimitasi perilaku orang tua ketika marah. Demikian juga penelitian Pragoyo dan Hidayati (2011), menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua yang otoriter berdampak terhadap perilaku anak. Bimbingan dan konseling bagi anak usia dini krusial harus dilaksanakan sebagai upaya menyiapkan generasi emas di tahun 2045 yang akan datang, sebagai mana dicanangkan sebagai grand design kemendiknas beberapa tahun lalu. Bimbingan dan konseling bagi anak usia dini ini sebagai realisasi dari ekspektasi kinerja konselor yaitu bimbingan dan konseling sudah mulai dilaksanakan di jenjang Taman Kanak-kanak, serta menunjang prinsip bimbingan, bahwa bimbingan dan konseling dapat dilaksanakan dalam berbagai seting kehidupan, artinya bimbingan dapat dilaksanakan dalam seting
23
pendidikan formal maupun nonformal, seting keluarga dan dapat dilaksanakan dalam lembaga pemerintah maupun swasta, termasuk dapat dilaksanakan di TK/RA. Sementara ini belum banyak pakar bimbingan dan konseling yang menaruh perhatian pada pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia dini, khususnya di TK/RA.
Proses pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara guru dan orang tua. Guru tidak bisa melakukan segalanya untuk membantu perkembangan anak yang optimal, karena itu perlu keterlibatan orang tua agar pelaksanaan kegiatan di sekolah berkesinambungan kegiatan anak di rumah. Keterlibatan orang tua juga penting karena waktu anak lebih banyak bersama orang tua di rumah dari pada di sekolah.
Sementara ini kerja sama antara orang tua dan guru belum berjalan
efektif dan belum optimal (hasil survee pendahuluan). Kerjasama antara pihak sekolah dan orang tua masih belum dilakukan secara sistematis dan terprogram, karena itu perlu adanya bimbingan dan konseling kolaboratif
agar proses
bimbingan berjalan secara konsisten dan berkesinambungan (Bredekamp, 1996).
C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Pengendalian diri merupakan soft skill yang penting bagi terbentuknya kepribadian
dan
sukses
hidup
seseorang.
Beberapa
hasil
penelitian
menyimpulkan bahwa pengendalian diri berkorelasi dengan kesehatan fisik dan kesehatan mental seseorang, menentukan prestasi, motivasi, perilaku koping, kemampuan menyesuaikan diri serta berhubungan dengan keberhasilan dalam berbagai
aspek kehidupan.
Bahkan
perilaku destruktif bersumber dari
pengendalian diri yang rendah. Sejalan
dengan
perkembangannya,
anak
usia
dini
mempunyai
pengendalian diri yang rendah, bahkan cenderung impulsive. Beberapa perilaku anak usia dini yang menjadi tantangan bagi guru dan orang tua antara lain: sangat aktif, tidak bisa diam, sering bertengkar dengan teman, sering mengamuk, berlebihan dalam mengungkapkan emosinya, belum bisa mematuhi jadwal kegiatan rutin dan mulai suka melawan atau menghindar bila diminta melakukan sesuatu merupakan tantangan bagi guru dan orang tua (Kadarharutami 2011, hlm. 19-22), sementara belum mengenal tatakrama, sopan-santun, aturan, norma atau aturan bergaul yang membantunya untuk berhubungan dengan orang di sekitarnya
24
dalam pengasuhan. Untuk itu perlu bimbingan yang tepat agar dapat mengarahkan perilaku anak sejalan dengan tuntutan guru dan orang tua. Intervensi yang salah terhadap perilaku anak diatas dapat menyebabkan gangguan perilaku yang lebih komplek, yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak di masa berikutnya. Saat ini masih belum ada kesamaan langkah antara guru dan orang tua dalam penanganan perilaku anak, bahkan orang tua cenderung lebih buruk cara pengasuhannya. Kondisi ini dapat membingungkan anak dalam menentukan perilaku mana yang harus dilakukan. Karena itu diperlukan model bimbingan kolaboratif
antara guru dan orang tua agar pelaksanaan bimbingan berjalan
konsisten dan berkesinambungan. Penelitian ini berusaha menghasilkan model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.
Secara khusus rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana profil pengendalian diri pada anak usia dini?
2.
Bagaimana profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua?
3.
Bagaimana proses pengembangan
model bimbingan dan konseling
kolaboratif yang dapat meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini? 4.
Bagaimana pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini?
5.
Apakah model bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini?
D. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menemukan profil pengendalian diri pada anak usia dini sebagai dasar penyusunan model bimbingan dan konseling kolaboratif;
25
2.
Menemukan profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua, sebagai dasar penyusunan model bimbingan dan konseling kolaboratif;
3.
Mendeskripsikan proses pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif yang
efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada
anak usia dini. 4.
Mendeskripsikan pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam upaya meningkatkan pengendalian diri anak usia dini.
5.
Untuk menguji efektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif yang dapat meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.
E. Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat baik secara praktis maupun manfaat teoritis untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang bimbingan dan konseling anak. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi TK/RA dan lembaga pendidikan anak usia dini lainnya dalam mengembangkan program kegiatan sekolah secara umum, dengan berkolaborasi dengan orang tua; 2. Model bimbingan dan konseling kolaboratif yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan bagi guru bimbingan dan konseling untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini; 3. Temuan penelitian dapat digunakan sebagai rujukan bagi pemerhati anak sebagai salah satu model dalam mengembangkan pengendalian diri anak serta untuk mengembangkan aspek lain melalui kolaborasi dengan orang tua; 4. Hasil penelitian ini manfaat bagi orang tua dalam membantu dan membiasakan anak mengendalikan diri. 5. Secara teoristis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi para peneliti dan akademisi dalam
mengembangkan model bimbingan dan konseling
kolaboratif maupun mengembangkan bimbingan dan konseling bagi anak usia dini merujuk pada temuan yang dihasilkan penelitian ini.
26
BAB II BIMBINGAN KONSELING KOLABORATIF DAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI
A. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif 1.
Konsep Model Kolaborasi Shertzer & Stone (1982, hlm. 62) mengemukakan bahwa “model refers to
the representation from which a final product is abstracted of its inherent worth” . Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir yang diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya. Mills et al (1989, hlm. 4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep. Visualisasi atau konstruksi itu dirumuskan melalui upaya mental berupa cara berpikir (ways of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atau fenomena abstrak. Selanjutnya Shertzer & Stone (1982, hlm. 62) menjelaskan komponenkomponen yang terkandung dalam sebuah model, yaitu: historical context, rational, and/or basic assumtion, advantages and disadvantages outcomes and/or implication. Sedangkan Corey (2005 : 10) menggunakan komponen-komponen: introduction, key concept, the therapeutic, process, aplication: therapeuthic, techniques and pocedures. Kartadinata (2008) mengemukakan bahwa: “model merupakan perangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara empirik yang diorganisasikan
ke
dalam
sebuah
struktur
(kerja)
untuk
menjelaskan,
memprediksi, dan mengendalikan perilaku atau arah tindakan”. Dengan
27
demikian, dapat dikatakan bahwa model adalah suatu rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu.Dalam konteks pembelajaran, Chauhan (Rochyadi, E. 2010, hlm. 44) mengemukakan bahwa “model of teaching can be defined as an intructional design with describes the process of specifying and producing environment situsional with cause the student to interact in such away that spesific change occurs in the behavior”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Reigeluth (1999, hlm. 78) mengemukakan bahwa “intructional model is merely a set of strategi components, it is complate method with all of it parts (elementary components) describes in details”. Model pembelajaran merupakan suatu kumpulan tentang komponen-komponen strategi, hal itu merupakan suatu metode yang lengkap yang menguraikan semua bagian-bagiannya (komponen-komponen dasar) secara rinci. Pengertian dan komponen model dikemukan oleh Joyce & Weil (2014, hlm. 1) yang menyatakan “a model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long-term course of studies) to design instructional materials and to guide instructional in the class room and other settings, selanjutnya Joyce & Weil (2014, hlm. 191-194) mengemukakan enam komponen yang terkandung dalam model pembelajaran: a) orientasi,
orientasi model mencakup tujuan,
asumsi teoretik, prinsip dan konsep umum, yang terkandung dalam model; b) pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian kegiatan yang konkret di kelas; c) sistem sosial yang dikembangkan, gambaran peran dan hubungan guru-siswa dan norma apa yang mengikat mereka di kelas; d) prinsipprinsip mereaksi, bagaimana guru menghargai dan merespon siswa; e) sistem penunjang yang diharapkan, gambaran tentang pemanfaatan fasilitas pendukung yang mendorong siswa mudah belajar; dan f) dampak instruksional dan penyerta, dampak yang ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung. Kolaborasi berasal dari bahasa Inggris ‘collaborate’ yang artinya bekerja sama. Bekerja sama pada umumnya diperlukan dalam sebuah tim dan merupakan cara yang digunakan para profesional untuk mencapai tujuan bersama, sebagaimana diungkap oleh Frans & Bursuck (1994, hlm. 76) yang mengatakan bahwa “collaboration is a style professional chose to use in order
to accomplish a goal they share”. Kolaborasi
merupakan proses interprofesional untuk mengkomunikasikan dan pengambilan
28
keputusan dari beberapa pengetahuan dan keterampilan yang terpisah-pisah menjadi lebih sinergi (National Health and Medical Reseach Council, 2010, hlm. 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa kolaborasi tidak sekedar bekerja yang positif yang melibatkan beberapa profesional, melainkan sebuah cara kerja untuk mengorganisir, melaksanakan jaringan kerjasama dalam kelompok secara efektif dan komprehensif dengan melibatkan sumber daya yang tersedia. Curtis dan Van Home (2014, hlm. 160) mendefinisikan kolaborasi sebagai dua atau lebih orang merencanakan, memecahkan masalah dan mencapai hasil yang diinginkan. Proses kolaborasi melibatkan tujuan yang sama, komunikasi dua arah, dan aktivitas kerja sama. Kolaborasi merupakan merupakan sebuah kerja sama dikemukakan oleh Johnson & Johnson (1987), yang menyatakan bahwa kerjasama (cooperating, collaborate, joining together) adalah keikutsertaan individu-individu dalam suatu kegiatan yang membentuk suatu hubungan interpersonal antar anggota dalam sebuah tim. Individu yang terlibat dalam kolaborasi mempunyai arah dan tujuan yang tidak berbeda, karenanya tim harus melakukan perencanaan bersama dan melaksanakannya secara bersama pula, sebagaimana diungkap oleh Idol & Baran (dalam Schmidt 1999) bahwa: “ in collaboration, planning and implementing are joint effort”. Keberhasilan sebuah tim memerlukan partisipasi dan keterlibatan secara aktif dari anggota tim. Kolaborasi dalam bimbingan dan konseling juga diarahkan pada kesamaan tujuan serta keterlibatan secara aktif dari pihak yang berkolaborasi. Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck 1996: 76) mengemukakan beberapa karakteristik dalam sebuah kolaborasi yaitu : a) adanya kesetaraan hubungan; b) tujuan bersama; c) tanggung jawab terhadap hasil; d) mampu menjadi sumber; e) kepercayaan, kerja sama antara antara kolaborator didasarkan pada
sikap saling percaya; f)
kepentingan subjek menjadi tujuan utama. Sementara Lassonde (2010,hlm, 3) menjelaskan bahwa kolaborasi dalam dunia pedidikan bisa dilakukan melalui beberapa cara yaitu : a) kelompok datang bersama-ama untuk mensuport satu sama lain dalam suatu komunitas belajar; b) datang secara face to face; c) berkomunikasi secara online atau menggunakana metode komunikasi lainnya. lebih jauh diuaikan bahwa tujuan dari kolaborasi adalah untuk menemukan topik yang menarik yang berhubungan kegiatan belajar mengajar di kelas atau masalah sekolah yang lebih luas, bisa juga membahas bagaimana siswa belajar, bagaimana cara mengajar yang terbaik, atau isu lain sesuai kebutuhan sekolah di tiap daerah.
29
Berdasar berbagai pengertian diatas, model kolaboratif dapat diartikan sebagai pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu melalui kerja sama antara beberapa orang yang terlibat dalam merancang model. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam merancang model adalah orang yang mengetahui tentang substansi masalah yang sedang dikaji.
Kolaborasi bisa
melibatkan masyarakat, pakar dalam bidang keahlian tertentu, mahasiswa serta pihak lain yang dianggap bisa berkontribusi dalam pengembangan model. Dalam penelitian ini yang dilibatkan dalam kolaborasi adalah orang tua, guru dan kepala sekolah guna menghasilkan
sebuah model
bimbingan
dan
konseling
untuk
meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini. Kolaborasi tidak hanya dilakukan pada saat merancang konsep model, melainkan terus berlangsung sampai penerapan dan evaluasi. Dalam aspek penerapan model, diupayakan ada kejelasan peran dan tugas dari masing-masing kolaborator, dan masing-masing menjalankan peran dan tugasnya secara maksimal sesuai prinsip kolaborasi. Dalam dunia pendidikan kolaborasi antar beberapa pihak yang berkompeten terhadap perkembangan anak sangat dibutuhkan. National Parent Technical Assistance Center/ NPTAC (2008, hlm. 5) menguraikan manfaat kolaboratif dalam dunia pendidikan sebagai berikut.
a)
Meningkatkan pemahaman mengenai keadaan siswa melalui berbagai sudut pandang yang berbeda.
b) Meningkatkan kemampuan untuk mengatasi hambatan secara lebih luas. c)
Membagikan berbagai strategi instruksi kepada sesama anggota kelompok kolaboratif
d) Berbagi ide mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan siswa. e)
Meningkatkan konsistensi dan komunikasi.
f)
Memaksimalkan
waktu
yang
dimiliki
melalui
kerja
sama
dan
pengorganisasian sumber daya dan personel yang ada. g) Saling berbagi keputusan yang diambil. h) Berbagi tanggung jawab. Ada beberapa model kolaboratif yang digunakan saat ini (NPTAC, 2008: 5). Semua model tersebut memiliki nilai positif dan tingkat efektivitas yang cukup baik.Masing-
30
masing model memiliki fungsi spesifik dan berpotensi meningkatkan hubungan kolaboratif antara orang tua dan guru. Beberapa model yang banyak digunakan adalah sebagai berikut di bawah ini.
a. Aturan Kelompok (policy groups) Kelompok (grup) baik lokal daerah tertentu maupun nasional yang biasanya terdiri dari para profesional dan orang tua yang bersama-sama bertujuan memecahkan suatu permasalahan tertentu.
b. Program kerja sama orang tua dan profesional (parent-faculty partnership programs) Program pelatihan bagi para calon guru untuk berkolaborasi dengan para profesional dan orang tua yang memiliki stabilitas tertentu.
c. Pelatihan (co-training) Profesional pendidikan khusus dan para orang tua dapat berpartisipasi di sekolah ataupun lembaga lain dengan memberikan pelatihan, berkomunikasi, kolaborasi, intervensi perilaku yang positif maupun hal lain terhadap staf sekolah maupun orang tua lainnya.
d. Analisis materi (material review) Orang tua (baik perorangan maupun kelompok) dapat me review materi yang dikembangkan oleh para profesional, dengan tujuan agar materi tersebut dapat memenuhi kebutuhan para orang tua yang mengikuti pelatihan tertentu.
e. Orang tua sebagai pelatih (parents as trainers) Orang tua dapat melatih staf sekolah berbagai strategi yang bertujuan meningkatkan keterlibatan orang tua lainnya, namun, model ini masih cukup sulit dan jarang dapat terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia.
f. Profesional sebagai pelatih (professionals as trainers) Para profesional dapat berdiskusi dengan kelompok orang tua mengenai caracara efektif yang dapat dilakukan oleh mereka untuk meningkatkan keterlibatannya dalam pendidikan dan mendukung perkembangan anak-anak mereka.
g. Pusat informasi (parent training and information center/ community Parent
31
resource centers model) Sebuah lembaga yang memberikan informasi dan pelatihan yang bertujuan membantu orang tua. Keuntungan lain bagi orang tua adalah dapat berhubungan dengan orang tua lain yang memiliki permasalahan yang sama, sedangkan bagi para profesional kegiatan ini dapat memberikan informasi mengenai apa yang dibutuhkan oleh para orang tua sebenarnya dan bagaimana pendapat mereka terhadap kegiatan tersebut. Bentuk kolaborasi lainnya dikemukakan oleh Miskel et.al (dalam Lawyer, 2007, hlm 3), yaitu ada bentuk kolaborasi formal dan informal. Kolaborasi formal mempunyai karakteristik yaitu mempunyai peraturan, petunjuk, tehnik dan biasanya dilakukan oleh administrator sekolah. Bentuk kolaborasi formal antara lain teaching teams (tim guru), axchanging classes (pertukaran kelas), co-teaching (mengajar bersama), peer coaching (mengajar sejawat), study group (belajar bersama), Kolaborasi informal muncul atas inisiatif personal guru, bisa berupa obrolan antara guru.
2. Konsep Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Bimbingan dan konseling kolaboratif (BKK) diprakarsai oleh Bertolino dan Bill O‟Hanlon (2002, hlm.12) menyatakan bahwa konselor bukan sebagai singgle expert didalam proses konseling. Sumber pemecahan masalah terdapat di masyarakat serta pada jaringan sosial yang diciptakan konselor. Pelaksanaan bimbingan dan konseling perlu melibatkan banyak pihak, seperti guru, orang tua serta ahli lain yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Cook & Frend (dalam Henderson, 2011, hlm.541) menguraikan kolaborasi dalam konseling anak sebagai berikut. “Collaboration as a style for direct intection between at least two coequal parties voluntaril engaged in sahre decission making as they work toward a common goal”. Ann, Mary C & J.B Crandall (2009, hlm 110), menyatakan bahwa konseling kolaboratif adalah proses menghubungkan inisiatif dan strategi reformasi pendidikan khusus dan umum dalam rangka mencapai sistem pendidikan publik terpadu yang mencakup semua anak dan pemuda sebagai anggota komunitas sekolah aktif yang berpartisipasi sepenuhnya; yang memandang keberagaman sebagai norma; dan yang menjamin pendidikan berkualitas tinggi bagi setiap
32
siswanya dengan memberikan kurikulum yang berarti, pengajaran yang efektif, dan dukungan yang diperlukan bagi setiap siswanya.
Pentingnya kolaborasi dalam dunia pendidikan diungkap oleh Lassonde (2010, hlm.6) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan profesionalitas pendidik tidak hanya cukup dilakukan melalui workshop, karena kegiatan semacam ini kurang ada tindak lanjut serta tidak selalu diimplementasikan. Kolaborasi yang dilaksanakan dengan melibatkan komponen pendidikan lebih mendukung perkembangan profesionalitas guru dan besar perannya untuk kemajuan sekolah. Lebih jauh ditekankan bahwa pemecahan masalah belajar anak dan masalah pendidikan lainnya jauh lebih efektif bila dilaksanakan secara kolaboratif. Berangkat dari pendapat diatas, BKK pada dasarnya merupakan kelompok atau tim, karena itu diantara anggota kelompok harus mempunyai tujuan yang sama serta saling berinteraksi satu sama lain dalam mencapai tujuan. Walau antara anggota kelompok mempunyai kesamaan peran tetapi harus ada pemimpin yang mengarahkan jalannya kelompok. Dalam hal ini guru bimbingan dan konseling dapat berperan sebagai pimpinan kelompok. Keys et al (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 542) menyatakan : Collaborative consultation is a model that actively involve parents, educators, youths, and counselors as equal participants and axperts in problem solving a specific issue...it is the sharing and transaferring of knowledge and information between and among all team members that enables the group to determine and carry out a more comprehensive plan
Berdasar uraian tersebut, dapat dipahami bahwa model kolaborasi antara konselor sekolah dengan pihak lain yang terkait dapat menghasilkan rencana yang komprehensif. Kolaborasi merupakan proses mendiskusikan dan berbagi pengetahuan dan informasi diantara anggota yang terlibat dalam kolaborasi. Lebih jauh Harrison (2004) menjelaskan peran yang dapat dimainkan kolaborator, yaitu dapat menciptakan model, tujuan, dan strategi untuk mengembangkan anak dan keluarga. Untuk memahami perkembangan anak dan problem lainnya, konselor perlu menggunakan perangkat seperti self-report, interviuw, tes, sejarah kasus, observasi perilaku.
33
Berkaitan dengan pelaksanaan BKK, Bertolino (2002, hlm, 13) menyatakan konselor tidak harus memaksakan satu strategi yang telah ditentukan apabila kemudian ditemukan kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam kondisi demikian konselor dapat menciptakan berbagai kemungkinan, kreatifitas dan langkah-langkah baru saat sudah mulai berinteraksi dengan para kolaborator. Lebih jauh Bertolino (2002, hlm.18) mengemukakan beberapa aspek yang harus diperhatikan konselor agar kolaborasi meraih hasil yang maksimal.
a. Menyesuaikan, mendukung atau memenuhi kebutuhan klien. b. Menyesuaikan dan memenuhi keinginan klien. c. Menekankan pada kemampuan, kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki klien. d. Memaksimalkan lingkungan dan jaringan pendukung yang ada di sekitar klien. e. Memperhatikan perubahan spontan yang mungkin terjadi pada proses kolaborasi. f. Menekankan pada empati, penghormatan dan kejujuran diri klien. g. Meningkatkan keinginan, harapan dan kontrol diri klien. h. Berkontribusi terhadap harga diri, rasa percaya diri dan pemahaman klien. Dalam dunia pendidikan Lassonde (2010 : 4) mengemukakan pentingnya kolaborasi yaitu “...are finding that the process privides professional delevopment opportunities for them to reflect on their practic and learn nes knowledge”. Kelompok akan membaca dan sharing ide tentang berbagai informasi baru. Lassonde (2010, hlm 67) menguraikan tujuan kolaborasi dalam dunia pendidikan yaitu : 1) advancing student learning, 2) mengeksplorasi beberapa pilihan, pandangn baru dan ide, 3) mempelajari metode dan pendekatan baru to advance our teaching, menemukan pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum, 4) menemukan pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran praktis di kelas. Lebih jauh dijelaskan bahwa kolaborasi berdampak pada peningkatan profesionalitas guru, kepuasan hidup perbaikan dalam kegiatan belajar mengajar dan perubahan sekolah secara menyeluruh. USDOE Departemen Pendidikan AS (dalam Lassonde, 2010, hlm.7) mempertegas manfaat dari sebuah kolaborasi dalam dunia pendidikan yaitu : 1) meningkatkan pengetahuan guru, 2) districtwide improvment plan, 3) membantu siswa menemukan gaya belajar dan kemampuan standarnya, 4)
34
mengembangkan keterampilan
guru dalam mengelola kelas 5) membantu guru
mengintepretasi dan menggunakan data asasmen dalam kegiatan mengajar di kelas. Sawyer (2007, hlm.4) menambahkan bahwa tolok ukur keberhasilan kolaborasi adalah persepsi guru tentang lingkungan sekolah serta peningkatan pengalaman guru dalam mengajar. Sawyer (2007, hlm.2) kolaborasi guru bertujuan meningkatkan kapasitas guru, memberikan kesempatan untuk meningkatkan profesionalitas dalam parameter lingkungan sekolah dan yang paling utama adalah untuk meningkatkan profesionalitas dan dan kepuasan guru.
Horn (dalam Sawyer, 2007, hlm 3) menyatakan bahwa
kolaborasi guru merupakan suatu aktifitas untuk menciptakan dasar pengetahuan pedagogik yang didistribusikan antar guru dalam sebuah sekolah dari pada dilaksanakan oleh guru secara personal. Kolaborasi dengan guru dalam proses bimbingan dan konseling merupakan salah satu implementasi dari prinsip bimbingan yang berbunyi “ bimbingan merupakan usaha bersama”,
bimbingan bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab konselor
melainkan juga menjadi tugas kepala sekolah dan guru sebagai team work dalam kegiatan bimbingan (Yusuf, 2009: 64). Karena itu, pelaksanaan bimbingan dan konseling harus diupayakan agar dapat melibatkan sumber-sumber lain yang mendukung tercapainya tujuan bimbingan. Bimbingan sebagai usaha bersama mengindikasikan bahwa proses bimbingan bukan hanya menjadi tanggung jawab guru pembimbing, melainkan juga menjadi tanggung jawab personil sekolah lainnya serta orang tua siswa. Upaya yang dilakukan secara bersama-sama memungkin pelaksanaan bimbingan menjadi lebih efektif dan berkesinambungan. Dieker dan Barnett, (1996, hlm. 7) mengemukakan bahwa: “ The one point that clearly developed from this relationship was that both of us had expertise in many areas, and combining these skills made both teachers more effective in meeting the needs of all students”. Salah satu poin yang dikembangkan melalui hubungan (relationship) ini adalah masing-masing memiliki keahlian dalam berbagai bidang dan pengkombinasian keterampilan-keterampilan ini membuat guru dan orang tua lebih efektif dalam menemukan kebutuhan-kebutuhan semua siswa. Baik guru maupun orang tua masingmasing mempunyai kekuatan yang berbeda yang membantu siswa, paduan dua kekuatan akan membuat layanan bimbingan menjadi lebih efektif.Kekuatan kolaborasi
35
bagi kemajuan siswa disampaikan oleh Kirk (1986, hlm. 154-156), mengemukakan bahwa “classroom teachers cannot do everything. They often need the help of support personel, of parents, counselors and psychologists”. Para guru kelas tidak dapat melakukan segalanya, karena itu memerlukan bantuan personil lain, baik dari psikolog, konselor sekolah, maupun para orang tua siswa. Hal ini pula yang terjadi pada anak PAUD dan di lembaga pendikan anak usia dini, paduan kekuatan antara guru dan orang menjadi modal sukses bagi perkembangan anak. Harrison (dalam Henderson & Thompson, 2001, hlm. 541) memaparkan tujuan dari kolaborasi dipusatkan pada hubungan timbal balik dan tretmen. Tujuan pertama difokuskan pada perkembangan hubungan kerja dengan semua anggota yang berkolaborasi. Tujuan kedua merujuk pada tretmen, menemukan kemungkinan solusi yang terbaik untuk klien. Kolaborasi dibutuhkan agar menghasilkan pemecahan masalah yang efektif. Henderson & Thompson (2011, hlm. 541-542) menuliskan beberapa pendapat dan hasil penelitian tentang kolaborasi dalam konseling anak, diantaranya Becicka dalam penelitian yang bertujuan mengembangkan kompetensi emosi dan sosial anak, juga dilakukan Sink yang dalam kesimpulan penelitiannya menekankan pentingnya konselor sekolah berkolaborasi baik dengan sekolah maupun komunitas yang lebih luas. Taylor & Adelman (2000, hlm.201) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan proses hubungan antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam kontek konseling di sekolah, Geroski dkk (1997, hlm. 235) menyatakan konselor sekolah dapat menempuh jalan kolaborasi dengan tim dalam memberikan layanan, hal ini bertujuan mendapatkan pemahanan yang lebih komprehensif tentang anak. Ketika konselor menangkap tandatanda khusus adanya problem perilaku siswa, kemudian menyiapkan intervensi, bantuan dan merefer kepada orang yang tepat. Cook and Frend (dalam Frans dan Bursuck, 1996, hlm. 76) menyebutkan beberapa karakteristik kolaborasi sebagai berikut.
a. Landasan kolaborasi adalah sukarela. Kolaborasi akan terjadi kalau ada keterbukaan dan kesiapan untuk berpartisipasi dalam kegiatan. b. Kolaborasi terjadi dilandasi oleh kesetaraan hubungan. Kolaborasi itu akan terjadi kalau ada kesetaraan hubungan antara pihak-pihak yang terkait. Ciri dari adanya kesetaraan hubungan itu adalah adanya saling mengakui antara
36
pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang satu tidak merasa lebih tinggi dari yang lain. c. Kolaborasi hanya akan terjadi apabila ada tujuan bersama. d. Penerimaan perbedaan antara anggota kelompok yang dilandasi oleh tujuan bersama diantara mereka. e. Kolaborasi termasuk tanggungjawab terhadap hasil. Salah satu ciri dari kolaborasi adalah adanya tanggungjawab bersama terhadap keputusan hasil yang dicapai. Walaupun hasil yang dicapai baik atau kurang baik, maka tanggungjawab bersama ini merupakan salah satu ciri kolaborasi. f. Pihak-pihak yang berkolaborasi mampu menjadi sumber dalam memberikan konstribusi terhadap kegiatan yang dilakukan. Kontribusi ini termasuk partisipasi dalam waktu, keahlian, tempat atau perlengkapan dan asset lainnya. g. Dasar kolaborasi adalah kepercayaan dan interes. Kepercayaan merupakan salah satu dasar terjadinya kolaborasi. Kepercayaan adalah nilai dari sebuah keputusan. Disamping itu respek dari partisipan merupakan landasan dari sebuah kolaborasi. Jadi pengalaman kolaborasi akan dimiliki apabila ada rasa percaya dan interes dari masing-masing pihak. Landasan ini yang akan membawa kolaborasi yang berhasil dan sukses. Sementara Brown dkk (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 528) mengemukakan karakteristik kolaborasi dalam konseling sebagai berikut.
a. Proses problem solving. b. Komunikasi. c. Kejelasan peran. d. Membangun hubungan yang menghargai dan saling percaya. e. Menggunakan informasi khusus untuk mencapai tujuan. f. Mendiskusikan sumber-sumber. g. Mendorong perubahan dan peningkatan. Suatu kegiatan dapat dikatakan bersifat kolaborasi, apabila dilandasi dengan kesukarelaan, kesetaraan hubungan, kepercayaan, respek (interes) memiliki tujuan bersama, adanya tanggungjawab bersama terhadap keputusan hasil yang dicapai dan memberikan kontribusi terhadap kegiatan yang dilakukan.
37
Kegiatan dalam kolaborasi dapat tumbuh dan berkembang secara efektif bila pihak-pihak yang berkolaborasi memahami prasyarat melakukan kolaborasi. Terkait dengan itu, Frans dan Bursuck (1994, hlm. 78) menyebutkan tiga syarat kolaborasi, yaitu: refleksi sistem kepercayaan, keterampilan berinteraksi dan kontribusi lingkungan.
h. Refleksi sistem kepercayaan Syarat pertama terjadinya kolaborasi adalah adanya sistem kepercayaan diri seseorang. Seberapa jauh seseorang bersedia berbagi pendapat dengan orang lain, apakah seseorang lebih suka bekerja dengan setiap orang atau apakah seseorang lebih senang bekerja sendirian. Bagian dari pemeriksaan sistem kepercayaan seseorang menarik pemahaman dan kepercayaan orang lain.
i. Keterampilan berinteraksi Unsur kedua yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kolaborasi adalah keterampilan berinteraksi yang efektif. Keterampilan ini merupakan landasan dalam membangun kolaborasi dengan orang lain. Keterampilan yang dimaksud menyangkut keterampilan komunikasi secara verbal dan non verbal, serta keterampilan melakukan interaksi yang produktif pada setiap langkah pembicaraan. Interaksi keterampilan ini dapat terjadi dalam sebuah proses yang diwujudkan dalam dalam perilaku yang efektif, memberikan contoh-contoh, memecahkan konflik dan yang lainnya.
j. Kontribusi lingkungan Unsur yang mendukung keberhasilan kolaborasi adalah dukungan lingkungan. Sekolah perlu mengupayakan suasana kondusif dan memungkinkan terjadinya kerja sama antar anggota sekolah, seperti kerja sama antar guru, kerja sama antara guru dengan staf dan kerja sama dengan pihak-pihak lain. Sekolah bisa memberikan reward kepada pihak-pihak yang sudah membangun kerja sama dengan baik. Adapun mengenai tugas masing-masing kolaborator, Kartadinata dkk (2007, hlm. 7) menyatakan bahwa: Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru, konselor, tenaga pendidik lainnya, dan orang tua sebagai mitra kerja, sementara itu masing-masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan
38
khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik.
Ada banyak karakteristik yang menandai kolaborasi yang baik, yang mendukung sukses sebuah kerja sama. Sebuah kolaborasi tidak hanya perlu memenuhi syarat tertentu, melainkan
perlu dilakukan melalui tahap-tahap tertentu untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Keys et.al (dalam Henderson &Thompson, 2011, hlm. 542) mengemukakan lima tahap dalam kolaborasi, sebagai berikut.
a. Datang bersama-menetapkan komitmen diantara semua anggota untuk bekerja sama dalam isu tertentu. b. Menetapkan pandangan bersama tentang pengetahuan dan informasi, membangun kepercayaan, dan menetapkan pandangan, tujuan dan sasaran. c. Mengembangkan rencana strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran. d. Melakukan aksi sesuai rencana. e. Mengevaluasi kemajuan dengan menetapkan jika tujuan yang spesifik berhasil dengan baik. Sementara USDOE (dalam Lassonde, 2010, hlm. 5 menegaskan sebuah kolaborasi yang efektif yaitu sebagai berikut. Berdampak permanen dalam pembelajaran, didasarkan pada penelitian yan berbasis ilmiah, sesuai dengan standar pemerintah dan hasil asesmen, dikembangkan oleh peserta lebih luas dari kalangan guru, kepala sekolah, orang tua dan administrasi sekolah, secara teratur dievaluasi efetivitasnya. Berdasar uraian tentang model bimbingan dan konseling kolaboratif, penelitian ini merujuk konsep model BKK dari Bertolino (2002) serta Lassonde (2010) dan Handerson (2011) dalam aplikasi pelaksanaan BKK di TK/RA.
B. Anak Usia Dini 1. Konsep Anak Usia Dini Anak usia dini adalah anak yang berusia 0-6 tahun sebagaimana tertulis dalam UU No.20 tahun 2003 bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia 6 tahun yang dilakukan melalui rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
39
perkembangan jasmani dan rohani
agar memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (UU no 20 tahun 2003). Selanjutnya pada pasal 28 ayat 13 tertulis bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal,
nonformal maupun informal. Realisasi pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudaful Atfal (RA), sementara dalam jalur nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), dan Tempat Penitipan Anak (TPA), Pos PAUD dan jenis lembaga pendidikan untuk anak usia dini lainnya. Taman Kanak-kanak merupakan salah bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4-6 tahun (Departemen Pendidikan Nasional, 2006, hlm. 1). Berdasar PP No.27 tahun 1990, Bab I pasal 1 disebutkan bahwa TK merupakan salah satu bentuk pendidikan pra-sekolah yang menyediakan pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan pendidikan di TK adalah membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik fisik dan psikis yang meliputi moral dan nilai agama, disiplin, sosial emosional, kemandirian dan tanggungjawab, kognitif, bahasa, fisik/motorik, dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Havighurst menggolongkan anak usia 0-6 tahun sebagai fase bayi dan fase anak kecil, sementara Johan Amos Comenius menyebutnya sebagai fase scola materna (fase sekolah ibu) (Hurlock, 1978) . Fase anak usia dini merupakan fase penting yang menjadi pondasi bagi perkembangan anak pada masa berikutnya, karena itu perlu mendapat perhatian dengan seksama. Sebagaimana diungkap Hurlock (1978: 211) bahwa anak usia 26 tahun berada pada masa peka, yaitu masa yang paling tepat untuk mengembangkan berbagai fungsi, bila masa ini terlewati anak akan mengalami kesulitan pada fase perkembangan berikutnya. Demikian juga dengan Berk (1992, hlm. 18) memperkuat pandangan bahwa fase anak usia dini merupakan fase penting, sebagaimana pernyataannya bahwa anak usia prasekolah berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek dan sedang mengalami perkembangan yang sangat cepat.
40
2. Karakteristik dan Tugas Perkembangan Anak Usia Dini Piaget (dalam Seefeldt, 1990, hlm. 34), menyatakan bahwa anak usia 27 tahun mempunyai
pandangan
yang bersifat egosentrik,
yaitu tidak
memperhatikan pengalaman dan perspektif orang lain, melainkan berorientasi pada minat dan apa yang diketahuinya. Pemahaman anak terhadap consept of conservation belum sempurna, anak memandang sejumlah benda tidak berubah, hanya karena berubah bentuk dan tempat, serta mempunyai kemampuan berpikir yang bersifat irreversible yaitu belum mampu berpikir terbalik. Anak usia 4-6 tahun mempunyai karakteristik khas yang berbeda dengan anak lainnya. Hurlock (1978, hlm. 8-9) menuliskan bahwa anak usia ini sangat menarik karena sifatnya yang unik, energik dan penuh semangat. Namun usia ini mempunyai penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri serta merasa mampu, sementara kemampuan anak memiliki keterbatasan dalam menyatakan perasaan secara verbal, hal ini sering
menyebabkan terjadi perbedaan pandangan dengan orang lain.
Ditambahkan bahwa anak usia ini memiliki karakteristik emosi yang sangat kuat, meledak-ledak dan kurang stabil. Beberapa emosi yang muncul pada anak usia ini antara lain marah, cemburu, benci, takut, iri hati, kasih sayang dan gembira. Anak bisa memiliki rasa takut yang sangat kuat dan iri hati yang tidak rasional. Anak usia ini mulai belajar merespon dengan cara yang dapat diterima orang lain, anak juga belajar tentang respon mana yang diterima dan perilaku mana yang tidak diterima orang lain. Untuk mengembangkan emosi yang pleasant emotion, maka dengan bimbingan orang tua anak harus belajar toleran menghadapi emosi yang tidak menyenangkan tanpa kemarahan (Hurlock , 1978, hlm. 208-212). Beaty (1994, hlm. 83) menjelaskan bahwa perkembangan emosi anak terjadi secara simultan bersamaan dengan perkembangan psikososial, perkembangan bahasa, kognitif dan kreativitas. Bruse (1987, hlm.113) mengatakan bahwa anak usia 2-6 tahun mempunyai pertumbuhan fisik yang pesat, anak mulai aktif melakukan berbagai kegiatan yang memanfaatkan otot. Pada awal usia ini anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya, mempunyai daya observasi yang tajam yang membuat anak mengamati semua benda yang ada di sekitarnya. Dalam waktu singkat pengamatan anak bisa beralih dari satu benda ke benda
41
lainnya. Piaget (Sriyanti, 2008, hlm. 65 ) pada fase preoperasional (usia 2-7 tahun) anak sudah mempunyai perbendaharaan bahasa yang lebih banyak namun belum tentu memahami konsep secara tepat. Anak mulai berkomunikasi dan mengungkapkan pikirannya. Selanjutnya Bruse menambahkan bahwa anak usia ini
mulai
belajar
mengembangkan
emosi
sebagaimana
lingkungann
memperlakukan dirinya. Perkembangan kognitif anak sangat pesat ditunjukkan dengan rasa ingin tahu yang luar biasa terhadap alam sekitar. Aktivitas belajar anak usia 2-6 tahun terlihat dari keinginan untuk mengeksplorasi benda-benda yang ada disekitarnya dengan menggunakan seluruh panca indranya. Meniru merupakan gaya belajar anak usia ini dengan memanfaatkan seluruh indranya, meniru yang didengar dan meniru yang dilihat (Bruse, 1987: 212). Hurlock (1978, hlm. 208-216) menyatakan bahwa perilaku agresif anak meningkat pada usia 2-4 tahun, kemudian menurun, bentuk serangan fisik diganti dengan serangan verbal dalam bentuk memaki atau menyalahkan orang lain. Pada usia 3 tahun mulai timbul perilaku berkuasa, dan usia 4 tahun timbul keinginan untuk menggoda anak lain. Ekspresi marah pada anak bisa dilampiaskan dengan merusak bendabenda. Hofferth (1998, hlm. 5) dan Sujiono (2009, hlm. 7-8) memaparkan beberapa karakteristik khas anak usia dini yang memperkuat pentingnya bimbingan mengembangkan pengendalian diri anak dengan cara yang tepat sesuai dengan masa perkembangannnya. Karakteristik anak tersebut adalah : a) anak berada pada masa peka, karena itu guru/pembimbing perlu menyiapkan sarana dan permainan yang dapat merangsang potensi anak yang sedang tumbuh, b)egosentris, ditunjukkan dengan merasa paling benar, keinginannya harus dituruti, mau menang sendiri, kondisi tidak mendukung perkembangan sosial anak apabila tidak mendapat bimbingan yang tepat, c) senang meniru, anak akan meniru segala yang dilihat dan didengar dari lingkungannya, dari orang tua, guru, teman, serta meniru tokoh khayal yang ada di televisi atau dalam dongeng. Anak meniru perilaku yang baik tetapi juga mungkin yang kurang baik, karena itu perlu bimbingan, d) anak
senang berkelompok, ditunjukkan dengan kegemarannya
bermain dengan anak-anak lain, e) senang bereksplorasi, ditunjukkan dengan kegemaran membongkar pasang mainan, memanipulasi benda-benda yang ada di
42
sekitarnya, serta senang melakukan tingkah laku yang penuh tantangan, seperti melompat, memanjat, memasuki gorong-gorong, f) membangkang, anak usia dini berada dalam rentang masa trotzalter, yaitu masa krisis yang ditandai dengan sikap membangkang (http//www.pikiran-rakyat.com). Havighurst (dalam Hurlock, 1978, hlm. 20) menyatakan bahwa tugas perkembangan fase kanak-kanak antara lain : dapat membedakan benar-salah, membangun sikap yang sehat terhadap dirinya, belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya dan mulai mengembangkan peran sosial sebagai pria dan wanita yang tepat. Untuk menunjang tugas perkembangan ini salah satunya perlu bimbingan untuk mengembangkan
pengendalian diri, agar anak dapat
menyesuaikan dengan lingkungan sosialnya, serta dapat mengendalikan keinginannya agar sesuai dengan harapan lingkungan. Bimbingan untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini sejalan dengan pendapat
Kadarharutami (2011, hlm.20-22) menulis beberapa
kemampuan yang harus diajarkan pada usia 3-6 tahun meliputi hal berikut. a. Melakukan jadwal beraktivitas dan beristirahat yang sehat. Anak seharusnya sudah tahu kapan waktu istirahat dan kapan waktu beraktivitas. Ia tidak perlu lagi dipaksa untuk berhenti bermain kala berada di sekolah atau diminta tidur ketika di rumah. b. Memperlihatkan kebiasaan makan yang sehat. Anak diharapkan sudah bisa makan sendiri dengan rapi. Ia juga mau mencoba berbagai rasa atau jenis makanan baru. c. Dapat buang air besar dan kecil sendiri di tempatnya. Anak usia 3-6 tahun diharapkan bisa memberi tahu kapan akan buang air besar (BAB) atau kecil (BAK) dan mau belajar untuk dapat BAB atau BAK sendiri, dengan cara yang sesuai jenis kelaminnya. d. Mampu melakukan aktivitas fisik yang diperlukan sesuai usianya, seperti memanjat, menyeimbangkan diri, berlari, meloncat, mendorong, menarik, menangkap. Motorik halus seperti mengancing baju, menarik ristliting, menggunting, menggambar, mewarnai, membentuk tanah liat.
43
e. Ikut serta dalam kegiatan keluarga. Anak seharusnya sudah mampu terlibat dalam berbagai kegiatan keluarga seperti ke acara pernikahan dan memikul tanggung jawab walau sederhana seperti membantu membereskan mainan. f. Menunda dan mengendalikan keinginan. Bayi yang masih kecil belum mampu menunda
keinginannya
untuk
mendapatkan
sesuatu,
sejalan
dengan
bertambahnya usia, anak harus mampu mengedalikan keinginannya, seperti harus mampu berbagi dengan teman, sabar menunggu giliran, Ketika ditempat umum, anak harus mampu menyesuaikan perilakunya, seperti ketika ditempat ibadah tidak boleh berteriak-teriak dan berlari-lari. g. Menunjukkan perasaan dengan cara yang sehat. Pada usia ini, diharapkan anak dapat membedakan lebih banyak jenis perasaan, tidak hanya senang dan sedih. Jenis perasaan yang seharusnya dikenal anak antara lain rasa takut, sayang, bersemangat, cemas, sedih, senang. Anak diharapkan mampu memahami perasaan dirinya dan perasaan orang lain, sehingga ketika mengekspresikan perasaan, anak seharusnya memahami perasaan orang lain. Dengan cara ini anak tidak melampiaaskan perasaannya
dengan cara
memukul atau atau menghardik. h. Memulai dan mempertahankan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Anak sudah bisa bercerita dan mendengarkan orang lain, kemampuan ini diperlukan dalam pertemanan. i. Mengindari bahaya. Anak diharapkan paham terhadap hal-hal yang membahayakan seperi api, lalu lintas, tempat tinggi, racun, binatang buas, kolam yang dalam dan sebagainya. Anak diharapkan mampu menghindari bahaya. j. Berani menunjukkan keinginannya. Anak mampu bercakap-cakap dan mempunyai
rasa
ingin
tahu
yang
besar,
sehingga
anak
mampu
mengekspresikan keinginannya, bertanya dan melakukan sesuatu. Hal yang sama disampaikan oleh Morrison (2012, hlm. 235) bahwa sasaran pendidikan anak prasekolah dalam aspek sosial dan keterampilan intrapersonal meliputi hal berikut. a. Membantu anak mempelajari cara menyesuaikan diri dengan anak, guru dan orang dewasa lainnya.
44
b. Membantu anak cara membantu orang lain dan mengembangkan sikap peduli. c. Mengajarkan anak cara memenuhi kebutuhan pribadi seperti mengancingkan baju dan memilih pakaian yang tepat. d. Keterampilan makan dan menggunakan peralatan makan. e. Keterampilan menjaga kesehatan seperti gosok gigi dan mandi. f. Keterampilan berdandan, seperti menyisir rambut dan memotong kuku. Tugas-tugas tersebut akan tercapai dengan sempurna bila anak mempunyai kemampuan mengendalikan dirinya. Kemampuan mengendalikan diri anak diperlukan agar anak dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dengan harmonis,
menunjukkan
perasaan
dengan
cara
tepat,
dan
kemampuan
mengendalikan diri memudahkan anak menjalankan tugas belajarnya dan membuat anak mampu menepati jadwal rutin sehari-hari dengan disiplin, seperti kapan anak harus bangun pagi, kapan anak harus mandi, kapan anak harus makan dan sebagainya. Kemampuan anak mengendalikan diri sangat diperlukan agar anak dapat menjalankan tugas sehari-hari yang berkaitan dengan bina diri seperti memakai baju sendiri, memakai sepatu dan kaos kaki. Kesuksesan anak untuk belajar di sekolah, memanjat, meniti, melompat, melempar, belajar mengenal huruf dan angka, belajar mengenal waktu dalam jam, belajar mengenal macammacam binatang dana tumbuhan, memerlukan perhatian khusus dan ketekunan dari anak, karena itu kemampuan mengendalikan diri sangat diperlukan guna tercapainya hasil belajar yang optimal. Hal ini ditegaskan Morrison (2012, hlm.222) yang menguraikan bahwa anak perlu mengendalikan diri, yaitu mengendalikan emosi dan perilakunya, menahan kegembiraan dan membangun hubungan sosial yang positif dengan orang lain. Mengajarkan pengendalian diri merupakan tugas utama guru pasekolah. Menggaris bawahi uraian terdahulu tentang karakteristik anak usia dini, penting memberikan bimbingan dan mengajarkan anak mengendalikan diri karena dilandasi karakteristik khas anak usia dini yang cenderung impulsif, berada pada masa troztalter yang ditandai dengan sifat keras kepala dan membangkang, mempunyai daya imitasi yang kuat serta bersifat egosentris. Karakteristik anak seperti ini bisa menjadi kekuatan, bisa juga menjadi tantangan dalam memberikan bimbingan.
45
C. Bimbingan dan Konseling untuk Anak Usia Dini 1.
Hakekat Bimbingan dan Konseling bagi Anak Usia Dini Shertzer & Stone (1971:40) mengartikan bimbingan sebagai”...process
of helping an individual to understand himself and his world. Artinya bimbingan merupakan proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya. Selanjutnya Sunaryo (1998, hlm. 3) mengartikan bimbingan sebagai proses membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal. Pengertian bimbingan yang lebih lengkap
dikemukakan oleh
Natawidjaya ( 1987, hlm. 37) menguraikan bahwa bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, agar individu tersebut dapat memahami dirinya sehingga dia sanggup mengarahkn dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Dari berbagai definisi
diatas, dapat dipahami bahwa bimbingan
merupakan proses pemberian bantuan. Bantuan tersebut dapat diberikan oleh siapa saja dan ditujukan kepada individu yang membutuhkan untuk mencapai tujuan tertentu. Bimbingan dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, karena itu anak usia dini-pun memerlukan layanan bimbingan. Anak usia dini adalah anak yang berusia 0-6 tahun, yang pada umumnya belajar di TK/PAUD/RA/KB. Pelaksanaan bimbingan bagi anak usia dini mengacu pada buku panduan yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar tahun 2006 tentang Panduan Bimbingan di TK. Di situ disebutkan bahwa bimbingan di Taman Kanak-kanak merupakan proses bantuan yang diberikan oleh guru atau konselor sekolah kepada anak didiknya dalam upaya mencapai perkembangan yang optimal sesuai dengan tahap dan tugas perkembangannya (Depertemen Pendidikan Nasional, 2006, hlm. 1). Syaodih (2008, hlm. 6) mengartikan bimbingan dan konseling pada anak usia dini sebagai upaya bantuan yang dilakukan guru/pendamping terhadap anak
46
usia dini agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Salah satu misi bimbingan di TK
adalah mendidik peserta didik dan warga masyarakat melalui
perkembangan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan yang terkait dengan masa depan (Departemen Pendidikan Nasional, 2006, hlm. 2). Layanan bimbingan dilaksanakan diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, demikian juga layanan bimbingan bagi anak usia dini. Syaodih (2008, hlm. 6) menguraikan tujuan bimbingan bagi anak usia dini, yaitu dilakukan untuk membantu anak agar dapat : a) lebih mengenal dirinya, kemampuannya, sifatnya, kebiasaannya dan kesenangannya, b) mengembangkan potensi yang dimiliki, c) mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi, d) menyiapkan perkembangan mental dan sosial anak untuk masuk ke lembaga pendidikan selanjutnya. Sementara Departemen Pendidikan Nasional dalam buku Panduan Bimbingan di TK memaparkan tujuan bimbingan di TK adalah untuk membantu anak didik agar dapat mengenal dirinya dan lingkungan terdekatnya, sebagai upaya untuk membangun kemandirian sesuai dengan tahap dari tugas perkembangannya. Tujuan bimbingan sebagaimana diuraikan Syaodih diatas merupakan tujuan khusus bimbingan di TK sebagaimana tertulis dalam dalam buku Panaduan Bimbingan di TK yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2006, hlm. 2-3). Selain mempunyai tujuan yang lebih spesifik bagi anak sebagaimana diuraikan diatas, tujuan bimbingan dan konseling di TK/PAUD juga diarahkan untuk kepentingan orang tua. Hal ini karena peran orang tua sangat besar bagi perkembangan anak usia dini. Pelaksanaan bimbingan dan konseling di TK/PAUD memerlukan keterlibatan orang tua, karena itu tujuan bimbingan dan konseling bagi orang tuamendapat perhatian utama dalam kajian ini . Tujuan bimbingan dan konseling bagi orang tua sebagaimana yang diungkap oleh Syaodih (2008, hlm.17, Departemen Pendidikan Nasional, 2006, hlm. 3) adalah sebagai berikut. a. Membantu orang tua agar mengerti, memahami dan menerima anak sebagai individu. b. Membantu orang tua dalam mengatasi gangguan emosi pada anak yang ada hubungannya dengan situasi keluarga di rumah.
47
c. Membantu orang tua mengambil keputusan dalam memilih sekolah bagi anaknya sesuai dengan taraf kemampuan kecerdasan, fisik dan indranya. d. Memberikan informasi kepada orang tua untuk memecahkan masalah kesehatan anak. Mencermati tujuan tersebut, jelas sekali bahwa pelaksanaan bimbingan dan konseling di TK/PAUD tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan orang tua dalam pendampingan terhadap anak. Bimbingan dan konseling di TK/PAUD diharapkan dapat membantu orang tua untuk memahami dan menerima anak sebagaimana adanya, baik kelebihan maupun kelemahannya, menerima anak dengan keterbatasan yang dimiliki, termasuk menerima beberapa perilaku yang mungkin tidak dikehendaki orang tua. Tidak patuh, berkata kasar, pemalu, selalu ingin menang, mudah menangis, mudah marah adalah beberapa contoh perilaku anak yang tidak diharapkan orang tua (hasil survei awal, 2012). Bimbingan dan konseling di TK/PAUD juga diarahkan untuk membantu orang tua dalam mengatasi gangguan emosi pada anak, untuk mencapai tujuan ini peran bimbingan dan konseling adalah memberikan informasi kepada orang tua tentang berbagai gangguan emosi dan cara penanganannya. Gangguan emosi pada anak tidak bisa hanya diatasi oleh guru pendamping di sekolah, melainkan perlu melibatkan orang tua di rumah. Demikian juga dengan pengembangan pengendalian diri pada anak yang sangat dekat dengan perkembangan emosi, memerlukan keterlibatan orang tua dalam pembinaannya. Kegiatan bimbingan dan konseling untuk anak usia dini diarahkan untuk membantu anak agar dapat bersosialisasi dengan teman-temannya di sekolah (TK,TPA, Play Group) (Syaodih, 2008, hlm. 2). Lebih lanjut dijelaskan bahwa bimbingan dan konseling bagi anak usia dini sebagai upaya membantu anak-anak agar dapat mengembangkan dan mengelola aspek afeksi anak. Sebagaimana bimbingan dan konseling pada umumnya, bimbingan dan konseling bagi anak usia dini diarahkan pada upaya preventif, yaitu mencegah agar jangan sampai timbul masalah, disamping bimbingan yang bersifat korektif. Orientasi bimbingan adalah perkembangaan optimal seluruh aspek kepribadian peserta didik dengan upaya memberikan kemudahan perkembangan melalui perekayasaan lingkungan perkembangan.
Tehnik
bimbingan
yang
dikembangkan
meliputi
tehnik
48
pembelajaran, pertukaran informasi, bermain peran, tutorial dan konseling (Syaodih, 2008, hlm. 5, Departemen Pendidikan Nasional 2006, hlm. 3). Salah satu alasan pentingnya bimbingan di TK/PAUD adalah karena usia ini merupakan masa sulit, anak seringkali menunjukkan sikap keras kepala, susah diatur, tidak menurut/negativisme dan melawan bahkan sering marah tanpa alasan yang jelas. Anak melakukan tindakan berdasar apa yang dipikirkan dan diinginkan tanpa memperhitungkan resiko dari tindakannya (Departemen Pendidikan Nasional, 2006, hlm. 7). 2. Prinsip, Fungsi dan Ciri Bimbingan dan Konseling bagi Anak Usia Dini Sebagaimana proses bimbingan dan konseling pada umumnya, bimbingan dan konseling bagi anak usia dini juga mengikuti beberapa prinsip yang harus ditaati sebagai landasan dalam pelaksanaan bimbingan. Prinsip bimbingan dan konseling bagi anak usia dini tersebut meliputi : a. Bimbingan bagian penting dari proses pendidikan; b.Bimbingan diberikan kepada semua anak dan bukan hanya untuk anak yang menghadapi masalah; c.Bimbingan merupakan proses yang menyatu dalam semua kegiatan pendidikan; d.Bimbingan harus berpusat pada anak yang dibimbing; e.Kegiatan bimbingan mencakup seluruh kemampuan perkembangan anak yang meliputi kemampuan fisik-motorik, kecerdasan, sosial maupun
emosional;
f.
Bimbingan
harus
dimulai
dengan
mengenal
(mengidentifikasi) kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan anak; g).Bimbingan harus fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan serta perkembangan anak; h).Dalam menyampaikan permasalahan anak kepada orang tua hendaknya menciptakan situasi aman dan menyenangkan sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi yang wajar dan terhindar dari kesalahpahaman; i. Dalam melaksanakan kegiatan bimbingan hendaknya orang tua diikutsertakan agar mereka dapat mengikuti perkembangan dan memberikan bantuan kepada anaknya di rumah; j. Bimbingan dilakukan seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki guru/pendamping sebagai pelaksana bimbingan, bilamana masalah yang terjadi perlu ditindaklanjuti maka guru pembimbing harus mengonsultasikan kepada kepala sekolah dan tenaga ahli;
k. Bimbingan harus diberikan secara
berkelanjutan (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Berdasar prinsip bimbingan diatas, ada beberapa hal yang perlu
49
digarisbawahi, pertama
bimbingan di TK/PAUD menyatu dengan proses
pendidikan, karena itu tidak ada jam khusus untuk pelaksanaan bimbingan dan konseling. Pelaksanaan bimbingan dan konseling terintegrasi dalam pembelajaran. Menyatunya proses bimbingan dalam pembelajaran mengindikasikan bahwa bimbingan di TK/PAUD dilaksanakan oleh guru /pendamping bukan dilaksanakan oleh guru khusus bimbingan dan konseling. Kedua, pelaksanaan bimbingan dan konseling di TK/PAUD perlu melibatkan orang tua. Pelaksanaan bimbingan dan konseling di PAUD harus melibatkan orang tua, karena sebagian besar waktu anak bersama orang tua, dan hanya sebagian kecil waktu anak bersama guru di sekolah, sementara anak usia dini setiap detik mengalami proses perkembangan dalam berbagai aspek kepribadian yang memerlukan pendampingan dengan seksama.
Kerja sama dengan orang tua
dalam proses bimbingan dimaksudkan agar bimbingan bisa berjalan kontinu dan berkelanjutan antara pemberian bantuan yang diberikan guru pendamping di sekolah dengan bimbingan yang diberikan orang tua di rumah. Keterlibatan orang tua dalam layanan bimbingan dilakukan untuk menyamakan persepsi tentang arah, tujuan dan cara penanganan masalah dan pengembangan potensi anak. Prinsip bimbingan bagi anak usia dini yang melibatkan orang tua ini menjadi salah dasar pelaksanaan kolaborasi dalam layanan bimbingan dan konseling di TK/PAUD. Lebih jauh Syaodih
(2008) menguraikan tentang fungsi bimbingan
untuk anak usia dini. Fungsi bimbingan tersebut adalah sebagai berikut. a. Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan yang diarahkan terhadap pemahaman diri anak didik terutama oleh orang tua dan guru, pemahaman terhadapn hambatan atau masalah-masalah yang dihadapi anak, pemahaman terhadap lingkungan anak yang mencakup keluarga dan tempat belajar, pemahaman terhadap lingkungan yang lebih luas di luar rumah dan di luar tempat belajar, serta pemahaman terhadap cara-cara penyesuaian dan pengembangan diri. b. Fungsi pencegahan, yaitu berusaha mencegah agar jangan sampai timbul masalah yang dapat menghambat perkembangan anak. c. Fungsi perbaikan, merupakan fungsi bimbingan yang diarahkan untuk
50
memperbaiki perilaku yang tidak sesuai dengan perkembangan dan harapan sekolah. d. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan, fungsi bimbingan yang diarahkan untuk menjaga dan mengembangkan perilaku, sikap dan kebiasaan yang sudah baik serta mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Ada beberapa persamaan disamping perbedaan yang mendasar antara bimbingan dan konseling di sekolah dengan bimbingan dan konseling di PAUD. Perbedaan tersebut menjadi ciri dari pelaksanaan bimbingan di TK/PAUD yang membedakan dengan pelaksanaan bimbingan di sekolah. Ciri bimbingan dan konseling di PAUD sebagaimana diuraikan oleh Syaodih (2008) adalah sebagai berikut. a. Proses bimbingan dan konseling harus disesuaikan dengan pola pikir dan pemahaman anak. Pola pikir anak usia dini yang masih sangat sederhana dengan penguasaan bahasa yang masih terbatas akan menyulitkan guru atau pembimbing untuk memahami apa yang disampaikan anak. Keluguan bahasa dan pola pikir sederhana pada anak menuntut guru atau pendamping untuk menguasai teknik-teknik atau cara lain supaya dapat memahami apa yang dikatakan atau dirasakan anak. b. Pelaksanaan bimbingan terintegrasi dengan pembelajaran, karena itu pelaksana bimbingan adalah guru/guru pendamping. c. Waktu pelaksanaan bimbingan sangat terbatas. Interaksi guru atau pendamping dengan anak relatif tidak lama, rata-rata pertemuan dalam sehari hanya 2,5-3 jam. Keterbatasan waktu ini mengharuskan guru atau pendamping untuk meramu kegiatan secara efektif baik yang terkait dengan pengembangan dalam kegiatan pembelajaran secara rutin maupun melaksanakan bimbingan bagi anak. Pemanfaatan waktu yang efisien oleh guru atau pendamping akan mempengaruhi hasil yang ditunjukkan anak berupa perubahan perilaku yang diharapkan. d. Pelaksanaan bimbingan dilaksanakan dalam nuansa bermain. Pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia dini dilaksanakan dalam nuansa bermain karena prinsip ini merupakan esensi aktivitas anak usia dini. e. Adanya keterlibatan teman sebaya. Kebutuhan anak akan teman sebaya seperti
51
ini menjadikan pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia dini perlu dilakukan dengan melibatkan teman sebaya. Walaupun pelaksanaan bimbingan dan konseling dilakukan dalam nuansa bermain yang menyenangkan, tetapi keterlibatan teman sebaya atau seusia anak perlu menjadi perhatian. f. Adanya keterlibatan orang tua. Orang tua merupakan pihak yang tidak dapat dipisahkan dari proses bimbingan dan konseling karena orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anak. Ketika anak sedang belajar di TK/PAUD, guru atau pendamping berperan sebagai pengganti orang tua, sedangkan waktu yang tersedia untuk melaksanakan layanan bimbingan relatif sangat terbatas. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu ciri sekaligus prinsip bimbingan dan konseling di TK/PAUD menjadi dasar pelaksanaan model kolaborasi antara guru dengan orang tua dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di TK/PAUD khususnya dalam mengembangkan pengendalian diri pada anak.
3. Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling bagi Anak Usia Dini Pelaksanaan bimbingan di TK/PAUD mengacu pada program tahunan yang dijabarkan dalam program semester dan bulanan. Adapun organisasi layanan bimbingan dilakukan oleh kepala sekolah, guru kelas, konselor sekolah (bila ada), didukung oleh pengawas, komite dan siswa sendiri (Depdiknas, 2006, hlm. 1920). Lebih lanjut diuraikan bahwa tugas kepala sekolah adalah sebagai penangung jawab pelaksanaan bimbingan, guru kelas bertugas melakukan kegiatan pembelajaran sekaligus memberikan layanan bimbingan, pengawas sekolah bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan layanan bimbingan, komite sekolah yang didalamnya terdapat unsur orang tua siswa bertugas membantu penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sekolah yang mempunyai konselor sekolah bertugas memberikan layanan bimbingan dan konseling. Secara lebih rinci, tugas masing-masing personil layanan bimbingan adalah sebagai berikut ( Depdiknas, 2006, hlm. 20-21) a. Kepala sekolah bertugas : 1) mengkordinirkegiatan pembelajaran dengan layanan bimbingan menjadi satu kesatuan yang terpadu, harmonis dan dinamis,
52
2) menyediakan sarana dan prasarana, tenaga dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya pelayanan bimbingan secara efektif dan efisien, 3) melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya tindak lanjut pelayanan bimbingan. b. Guru
kelas
bertugas
melaksanakan
program
pembelajaran
sekaligus
merangkap sebagai guru pembimbing yang bertugas : 1) merencanakan dan melaksanakan program satuan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan untuk semua peserta didik, 2)mengalihtangankan peserta didik yang memerlukan bantuan lebih lanjut kepada pihak-pihak yang lebih ahli (konselor, psikolog, psikiater, dokter dan atau profesi lain yang relevan), 3) mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan dalam layanan bimbingan kepada kepala sekolah c. Konselor sekolah bertugas menyusun program dan menyelenggarakan berbagai layanan dan kegiatan pendukung bimbingan untuk peserta didik sesuai dengan kebutuhan peserta didik Pengembangan layanan bimbingan meliputi pengembangan program, pengembangan
dan pembinaan personil dan
pengembangan sarana, yang
pengembangannya bekerja sama dengan pihak lain seperti Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Pusat Pengembangan Penataran Guru Keguruan (P3GK), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), organisasi profesi dan lembaga lain yang relevan (Depdiknas, 2006, hlm. 21-22). Lebih lanjut diuraikan bahwa pengembangan program layanan bimbingan dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti penelitian sederhana tentang efektivitas pelaksanaan bimbingan baik dalam hal efektivitas program, efektivitas pendekatan, metode, maupun personil yang memberikan layanan bimbingan. Pengembangan program dapat dilakukan melalui studi banding, kajian kepustakaan melalui buku maupun intenet. Pembinaan dan pengembangan personil bimbingan dilakukan untuk tujuan agar pelaksana bimbingan mempunyai kompetensi tertentu yaitu sebagai berikut. a. Mengetahui pengetahuan dasar konseptual tentang bimbingan beserta ilmu penunjang lainnya.
53
b. Memilih keterampilan yang diperlukan bagi pelaksanaan layanan bimbingan di sekolah khususnya
yang menyangkut
aspek
pengembangan
program
bimbingan, pelaksanaan program layanan bimbingan, penilaian pelaksanaan layanan bimbingan, analisis hasil layanan bimbingan, pengembangan upaya tindak lanjut dan kerja sama dengan pihak lain yang terkait. c. Program pembinaan dan pengembangan personil pelaksana bimbingan dilakukan melalui berbagai kegiatan yaitu sebagai berikut. a. Pelatihan tingkat nasaional dan wilayah. b. Pengawasan dan supervisi. c. Pembinaan dan pengembangan sejawat, yaitu dilakukan dengan sesama guru melalui KKG, kelompok kerja kepala TK (KKKTK), kelompok kerja pengawas sekolah (KKPS). d. Pembinaan dan pengembangan individual , yaitu upaya yang dilakukan atas inisiatif sendiri dengan berpartisipasi dalam seminar, lokakarya atau pertemuan ilmiah lainnya yang ada kaitannya dengan profesi bimbingan Depdiknas, 2006, hlm. 23). Sementara
pengembangan
sarana
prasarana
dilakukan
mengadakan sarana dan prasana yang menunjang layanan bimbingan meliputi :
dengan yang
ruang konseling, peralatan meubeler, perangkat dokumen yang
dibutuhkan untuk layanan bimbingan seperti angket untuk orang tua, program BK, dokumen tentang catatan kegiatan bimbingan individual, kartu pemeriksanaan kesehatan, dokumen tentang kunjungan rumah, format observasi, surat pengantar alihtangan dan sebagainya (Depdiknas, 2006, hlm. 24-43). Selama ini, pelaksanaan bimbingan dan konseling di PAUD masih jauh dari harapan, belum banyak guru BK, konselor serta pakar BK yang menaruh perhatian terhadap pelaksanaan BK di PAUD. Pada kenyataannya belum semua PAUD menerapkan panduan pemerintah sebagaimana diuraikan terdahulu, karena itu lahirnya model BKK dapat memperkuat berbagai teori tentang BK di PAUD serta merupakan bentuk realisasi pelaksanaan BK di PAUD sebagaimana dituangkan dalam panduan pelaksanaan BK di PAUD oleh pemerintah.
4. Permasalahan Perkembangan Anak Usia Dini
54
Lima tahun pertama dalam kehidupan anak merupakan masa emas perkembangan.
Semua
aspek
perkembangan
mempunyai
potensi
untuk
berkembang secara optimal asalkan mendapat stimulus dan lingkungan yang kondusif. Anak sebagai totalitas terdiri dari jasmani dan rokhani yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Perkembangan psikologis anak yang perkembangan
sosial,
perkembangan
emosi,
perkembangan
meliputi bahasa,
perkembangan intelektual juga berpotensi untuk berkembang secara maksimal. Perkembangan sosial dan emosi anak memainkan peran besar dalam keseluruhan proses perkembangan. Gangguan dalam aspek perkembangan emosi dan sosial akan menghambat proses perkembangan pada aspek lainnya. Bandura (1977) menyatakan pengendalian diri merupakan bagian dari perkembangan sosial anak. Kemampuan pengendalian diri anak juga perlu mendapat perhatian sebagai dasar terbentuknya kemampuan lain yang lebih adaptif. Kemampuan
sosial
yang
didalamnya
terkandung
kemampuan
mengontrol diri adalah satu kemampuan yang harus dikuasai anak karena anak akan berinteraksi dengan orang lain. Akan tetapi, tidak semua anak mampu bersosialisasi. Beberapa masalah sosial emosional yang sering dialami anak adalah sebagai berikut. a. Sukar berhubungan dengan orang lain, seperti takut dengan orang dewasa kecuali yang sudah dikenalnya, takut sekolah. b. Tidak mau ditinggal ibunya/pengantar. c. Mudah menangis. d. Sering membangkang bila keinginannya tidak dituruti. e. Tidak mau bergaul dengan teman. f. Mau menang sendiri. g. Belum memiliki pemahaman tentang konsep dan peran jenis kelamin. h. Belum dapat mengikuti aturan secara penuh (Departemen Pendidikan Nasional, 2006, hlm. 9) Permasalahan ini sejalan dengan pernyataan guru dan orang tua berdasar hasil survei awal, bahwa beberapa kesulitan yang dihadapi dalam mengasuh anak adalah karena sifat anak yang ingin menang sendiri, sok berkuasa, tidak mau menunggu giliran apabila sedang bermain bersama, selalu ingin diperhatikan atau
55
memilih-milih teman, agresif dengan cara menyerang orang atau anak lain, merebut mainan atau barang orang lain, merusak barang teman lain dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru (Hasil survei, 2012). Selain beberapa permasalahan dalam perkembangan sosial, pada anak usia dini juga dihadapkan pada permasalahan dalam perkembangan emosi. Anak usia dini lebih emosional daripada orang dewasa, anak usia ini belum dapat mengendalikan emosinya. Ekspresi emosi pada anak mudah berubah dengan cepat dari satu bentuk ekspresi ke bentuk ekspresi emosi yang lain. Hurlock (1978, hlm. 112-116) menguraikan ciri emosi pada anak antara lain memiliki karakteristik emosi yang sangat kuat, meledak-ledak dan kurang stabil. Rangsangan yang sering membangkitkan emosi anak adalah keinginan yang tidak terpenuhi, dengan cara mengungkapkan ekspresi yang tidak terkendali. Beberapa masalah dalam perkembangan emosi anak yang sering ditemukan adalah perasaan takut, perasaan cemas, perasaan sedih, marah yang berlebihan, iri hati, cemberut dan mudah tersinggung. Beberapa permasalahan yang dihadapi anak tidak dapat dibiarkan begitu saja, peran guru dan
orang tua dalam membantu tumbuh kembang anak
merupakan suatu hal yang sangat penting. Agar diperoleh kerja sama yang baik dengan orang tua maka guru atau pendamping perlu memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga dapat menyampaikan permasalahan yang dihadapi anak dan dapat mendorong orang tua untuk turut membantu mengatasi masalah yang dihadapi anak. Bermain merupakan sebuah instrumen penting untuk mengembangkan kemampuan anak di TK/PAUD.
D. Pengendalian Diri 1. Pengertian dan Fungsi Pengendalian diri Berk (1993, hlm. 110) mengemukakan bahwa pengendalian diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan dan dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Pengertian ini senada dengan yang dikatakan Logue (1995, hlm.9) bahwa self control merupakan kemampuan seseorang untuk menentukan pilihan diantara pilihan-pilihan, melakukan pertimbangan dari aspek ukuran (size) dan hasil (outcomes) serta akibat-akibat (consequences) baik
56
yang bersifat positif maupun negatif. Logue menyebut pengendalian diri merupakan kebalikan dari perilaku impulsive. Lebih jauh Logue menyatakan bahwa orang dengan pengendalian diri yang baik akan mempunyai beberapa indikator yaitu, menentukan pilihan pada ukuran yang lebih besar, lebih bermanfaat, lebih terhormat, dan lebih menangguhkan hasil saat ini (more delay outcomes). Sementara perilaku impulsive menunjukkan gejala berusaha mencapai ukuran yang lebih kecil (smallersize), tidak bisa menunda kepuasan atau ingin menyegerakan kesenangan (immediate gratifications). Pengertian self control lainnya dikemukakan oleh Gottfredson & Travis Hirschi (1990, hlm. 87) kriminilog yang teorinya tentang self control banyak digunakan sebagai rujukan dalam berbagai bidang, termasuk dalam penelitian psikologi sosial, menguraikan pengendalian dirisebagai fenomena penundaan kepuasaan sebagai lawan dari pemenuhan kepuasan dengan segera serta kehati-hatian sebagai lawan dari tindakan yang beresiko. Sementara Gailliot (2007, hlm. 235) menyatakan bahwa pengendalian diri merupakan kontrol pikiran, kontrol emosi, kontrol keinginan dan kontrol perilaku. Calhoun dan Acocella (1990,hlm.130) mendefinisikan pengendalian diri (self co ntrol) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang, dengan kata lain sebagai serangkaian proses membantu diri sendiri. Goldfried dan Merbaun (dalam Lazarus, 1976, hlm. 340) mendefinisikan pengendalian diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa seseorang kearah konsekuensi yang positif. Orang yang mempunyai pengendalian diri yang baik akan dapat mengarahkan segenap perilakunya hingga selaras dengan norma atau aturan yang diterima orang lain. Keselaran perilaku tersebut akan membawa konsekuensi positif, seperti diterima dan disenangi orang lain. Pandangan lain tentang pengendalian diri dikemukakan oleh Hirschi (2004, hlm. 543544)
menyatakan
pengendalian
diri
merupakan
kecenderungan
untuk
mempertimbangkan berbagai biaya yang harus dikeluarkan dari suatu tindakan. Individu dengan kontrol yang rendah akan terlihat dalam bentuk perilaku : impulsive, egois (mementingkan diri sendiri), lebih menikmati pekerjaan yang sederhana (tidak komplek), memilih tindakan yang mudah, lebih mengutamakan aksi fisik, dan senang dengan aktivitas yang beresiko/penuh tantangan. Rumusan tentang pengendalian diri lainnya dikemukkan oleh Messina dan Messina (2003, hlm.79), menyatakan bahwa pengendalian diri merupakan seperangkat
57
tingkah laku yang terfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, menangkal selfdestructive, perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan outonomy, atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional, seperangkat tingkah laku yang terfokus pada tanggung jawab pribadi. Pandangan tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Mischel dkk (2006, hlm. 480) bahwa kendali diri mengarah pada kekuatan individu untuk mengatur atau mengendalikan tindakannya, menghadapi situasi terkendali. Brandon dan Loftin (dalam Tangney, 2004, hlm. 274) mengembangkan skala pengendalian diri dengan menekankan pada perilaku hidup sehat terutama pada pola makan. Lebih jauh Tangney (2004, hlm. 274) menekankan pengendalian diri pada kemampuan seseorang untuk
mengubah tanggapan batin seperti mengatasi
kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan (impuls) dan menahan diri dari bertindakan menyerang orang lain). Hirschi (2004 dalam Wolfe 2008, hlm. 111-112 ) menyatakan bahwa pengendalian diri merupakan penangkal terhadap kejahatan dan perilaku menyimpang. Seseorang dengan pengendalian diri rendah dicirikan dengan perilaku ingin mendapatkan sesuatu secara cepat, impulsif, licik, ingin memiliki dengan mudah, lebih senang melakukana aksi fisik dari pada mental dan menghindari tugas. Karakteristik ini
menyebabkan seseorang bebas dari ikatan moral, keyakinan dan
aspirasi yang diikuti orang banyak. Orang dengan pengendalian diri rendah akan melahirkan pribadi yang tidak konsisten dan melahirkan pola pengasuhan yangtidak efektif dan
tidak disiplin. Pengendalian diri yang rendah termanifestasikan dalam
bentuk perilaku kriminal, melakukan tindakan ilegal, minum, menggunakan obat terlarang, menipu di sekolah dan berjudi (Gottfredson & Hirschi,1990, hlm. 105). Lebih jauh Gottfredson & Hirschi menjelaskan bahwa rendahnya pengendalian diri dan pengasuhan yang tidak efektif menghasilkan anak dengan kontrol diri yang rendah. Konsep pengendalian diri anak dikupas oleh LeBuffe & Naglieri (1999 dalam Muelle, 2010, hlm. 9), yang menyatakan bahwa pengendalian diri
merupakan
kemampuan seorang anak untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat, berbagi dengan anak-anaklainnya, menunjukkan kesabaran, dan mampu mengatasi frustasi. Anak yang mempunyai pengendalian diri akan terlihat dari perilaku sehari-hari dalam mengatasi frustasi atau kekecewaan, terlihat harmonis dalam relasi sosial seperti tercermin dalam kemampuannya mengekspresikan kemarahannnya dengan tepat, tidak
58
mudah marah dan mau berbagi dengan anak-anak lainnya. Pengendalian diri merupakan kemampuan untuk mengekspresikan emosi dengan tepat, berbagi dengan anak-anak lainnya, menunjukkan kesabaran, dan menangani frustrasi (Muelle, 2010, hlm. 8). Pandangan lain tentang pengendalian diri anak dikemukakan oleh Baumeister & Vohs (2007 dalam Bergen 2011, hlm. 4) seorang ahli yang banyak meneliti pengendalian diri pada anak-anak, menyatakan bahwa pengendalian diri adalah kemampuan untuk menyesuaikan atau mengubah perilaku seseorang dalam rangka memenuhi standar atau tujuan. Sukses pengendalian diri memerlukan empat komponen yaitu standar, pemantauan, pengendalian diri, dan kekuatan motivasi. National Association of School Psychologist dalam artikelnya Teaching Young Children Self-Control Skills menuliskan kemampuan anak mengendalikan diri sama dengan kemampuan anak membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sementara LeBuffe dan Ngaleri (2009, hlm. 2) menyatakan bahwa pengendalian diri adalah kemampuan anak untuk mengalami perasaan tertentu dan mengekspresikannya dengan menggunakan kata-kata dan perilaku yang dapat diterima masyarakat. Lebih jauh Haninah (tt, hlm. 1) menuliskan strategi mengajarkan pengendalian diri pada anak menuliskaan pengertian pengendalian diri sebagai kemampuan anak untuk berusaha tetap dalam kondisi yang menegangkan atau berhenti sebelum bertindak. Dalam kondisi yang demikian anak dituntut menyadari perasaan dan pikirannya sebelum melakukan tindakan. Bandura (1977, hlm 89)
menyamakan konsep self control dengan
selfregulation dalam perkembangan sosial anak yaitu merupakan kemampuan untuk mengontrol perilaku sendiri, yang meliputi tiga tahap yaitu : pengamatan diri, penilaian diri dan respon diri. Bronson (dalam Cuskelly et.al, 2006, hlm. 55) memandang regulasi diri sebagai kapasitas penting pada masa kanak-kanak yang berhubungan dengan kompetensi dan perilaku sosial dan kompetensi akademik. Disisi lain Baumeister (2007, hlm. 253) mengidentifikasi regulasi diri dalam beberapa indikator yaitu : kontrol pikiran, mengatur emosi, mengatasi impuls yang tidak diinginkan, memperbaiki perhatian, mengarahkan perilaku, membuat beberapa pilihan. Gailliot et.al (2007, hlm. 340) menyebutkan bahwa
pengendalian diri
dipengaruhi oleh emotion regulation antara lain : active distraction, pasisive waiting, information gathering, comfort seeking, focus on dealy object, peach anger. Pengendalian diri diperlukan untuk membantu individu mengatasi kemampuannya yang
59
terbatas serta berguna untuk mengatasi berbagai hal yang dapat merugikan individu tersebut yang disebabkan oleh kondisi di luar dirinya ( Kazdin, 1994, hlm. 269). Pengendalian diri mempunyai peran besar untuk pembentukan perilaku yang baik dan kontruktif, Gul dan Pesendofer (2000) menyatakan fungsi pengendalian diri adalah untuk menyelaraskan antara keinginan pribadi self interest dengan godaan (temptation). Kemampuan seseorang mengendalikan keinginan-keinginan diri
dan
menghindari godaan ini sangat berperan untuk dalam pembentukan perilaku yang baik. Ada kecenderungan manusiawi dalam diri seseorang untuk tergoda pada perbuatan buruk, melanggar aturan, norma
dan berperilaku agresif.
Menggoda orang lain,
menyontek, tidak disiplin, melakukan perbuatan asusila, minum minuman keras, free sex merupakan perbuatan yang dapat ditangkal dengan pengendalian diri yang baik. Lebih jauh Messina dan Messina (2003, hlm.1844) menyatakan bahwa fungsi pengendalian diri adalah : 1)
membatasi perhatian individu pada orang lain, 2)
membatasi keinginan untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya, 3) membatasi untuk bertingkah laku negatif, 4) membantu memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang.
2. Jenis Pengendalian diri Para ahli menggolongkan berbagai
jenis.
Averill (1973,
pengendalian diri atau self control dalam hlm.
286-287) mengemukakan bahwa
pengendalian diri meliputi 3 aspek yaitu sebagai berikut. a. Behaviour control, merupakan kesiapan akan adanya respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan
yang tidak
menyenangkan. Behaviour control dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) regulated administration
atau kemampuan mengatur pelaksanaan, yaitu
kemampuan mengendalikan
merupakan
situasi atau keadaan dengan menggunakan
kemampuan diri atau menggunakan
sumber eksternal, 2) kemampuan
mengontrol stimulus yakni kemampuan untuk menghadapi stimulus yang tidak diinginkan dengan cara mencegah atau menjauhi sebagian dari stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum berakhir dan membatasi intensitas stimulus.
60
b. Cognitif control, merupakan kemampuan individu untuk mengolah informasi dengan cara interpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dengan suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis untuk mengurangi tekanan yang dihadapi. Cognitif control mempunyai dua komponen yaitu 1) information gain, merupakan kemampuan memperoleh informasi tentang keadaan yang tidak menyenangkan serta mengantisipasinya, 2) appraisal, kemampuan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan memperhatikan segi positifnya. c. Decisional control, merupakan kemampuan individu untuk memilih hasil atau tindakan berdasar pada apa yang diyakini dan disetujuinya. Pengendalian diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan memilih berbagai tindakan yang akan dilakukan. Logue (1995) menulis buku khusus tentang Self Control, memberikan pengertian tentang
pengendalian diri dan mengemukakan beberapa indikator
pengendalian diri yaitu : a) memegang teguh atau tetap bertahan pada tugas yang harus dikerjakan walau mengalami banyak godaan, b) mengubah perilakunya sendiri melalui perubahan dari beberapa pengaruh norma yang ada, c) tidak menunjukkan atau melibatkan dalam perilaku yang dipengaruhi emosi onal atau kemarahan d) bersifat toleran terhadap stimulus yang berlawanan. Sementara Block dan Block (dalam Lazarus, 1976, hlm. 341) menyatakan tiga tingkat kualitas pengendalian diri yaitu sebagai berikut.
a. Over control, yaitu suatu keadaan pengendalian diri yang dilakukan secara berlebihan, hingga
menyebabkan individu menahan diri dalam bereaksi
terhadap stimulus. b. Under control,
individu mempunyai pengendalian diri yang rendah yang
cenderung melepaskan impuls atau dorongan dengan bebas tanpa perhitungan yang matang. c. Appropriate control, yaitu individu menunjukkan kontrol terhadap impuls secara tepat. Seseorang yang mengontrol dirinya secara berlebihan akan menimbulkan perilaku yang tidak sehat karena yang bersangkutan selalu menahan dirinya
61
terhadap berbagai stimulus. Kondisi ini menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan untuk berperilaku
asertif, menyebabkan
yang bersangkutan
kehilangan kemampuan mengekspresikan apa yang dialami dan rasakan. Bila hal demikian terjadi pada anak-anak, maka akan menghambat kemampuan anak untuk mengekspresikan diri, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan kepribadiannya. Gottfredson and Hirschi (dalam Child, 2005, hlm. 16-18)
juga
mengupas beberapa unsur dalam pengendalian diri. Unsur-unsur pengendalian diri tersebut dibedakan menjadi beberapa aspek yaitu
tingkat impulsif, malas,
berperilaku beresiko, lebih tertarik dengan aktivitas fisik, empati, dan toleransi terhadap frustrasi. Aspek pengendalian diri tersebut diuraikan sebagai berikut: a. Impulsif yang berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menunda pemuasan keinginan. Seseorang dengan pengendalian diri yang rendah lebih mungkin untuk memiliki orientasi di sini dan sekarang dan tidak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Tindak pidana memberikan kepuasan segera dari keinginan dan konsekuensi yang tertunda, oleh karena itu lebih mungkin dilakukan oleh orang-orang yang menanggapi keinginan sesaatnya. b. Orang dengan pengendalian diri tinggi cenderung untuk mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dan menunda kepuasan untuk menghindari beaya c. Orang dengan pengendalian diri yang rendah juga cenderung menantang dan lebih aktif,
sedangkan individu dengan tinggi pengendalian diri yang
digambarkan sebagai hati-hati dan penuh pertimbangan (Child, hlm. 17-18) karena sifat menarik, berbahaya, dan berisiko tindak pidana, orang dengan pengendalian diri yang rendah akan mencari perilaku berisiko pada tingkat yang jauh lebih tinggi. Lebih jauh dijelaskan bahwa orang
yang kurang
pengendalian diri tidak menghargai kemampuan kognitif dan lebih memilih untuk terlibat dalam kegiatan fisik, bukan mental. d. Empati disebut sebagai tingkat individu dari mementingkan diri sendiri dan sensitivitas kepada orang lain. Individu yang kurang pengendalian diri cenderung egois dan acuh tak acuh terhadapkebutuhan orang lain. Orang yang tidak mempunyai empati akan acuh tak acuh terhadap perasaan toleransi untuk
62
frustrasi, ditandai oleh kemampuan individu untuk mentolerir frustrasi sesaat. Individu dengan pengendalian diri yang rendah tidak memiliki kemampuan ini sehingga yang bersangkutan lebih mudah mengalami frustasi yang berpotensi melakukan tindak kekerasan. e. Orang dengan pengendalian diri tinggi lebih mampu mentolerir frustasi serta kegagalan yang dialaminya. Baumeister et al. (dalam Tangney, 2004, hlm. 273) mengidentifikasi empat aspek utama pengendalian diri yaitu mengendalikan pikiran, emosi, impuls, dan performan. Eziga (2008, hlm. 44) menuliskan pendapat banyak ahli tentang pengendalian diri, yaitu menyamakan antara konsep pengendalian diri yang rendah dengan konsep impulsive, mengejar kesenangan, ingin memenuhi kebutuhan dengan segera, petualangan dan faktor kepribadian menyimpang lainnya. Pengendalian diri diukur dari perilaku yang berhubungan dengan penanganan frustrasi, mendengarkan dan menghormati orang lain, mengelola kemarahan, menunjukkan kesabaran, bekerjasama, berbagi, mengendalikan kemarahan, dan menerima pilihan lain ketika pilihan pertamanya tidak tersedia (LeBuffe & Naglieri, 2009 dalam Muelle, 2010, hlm. 58). Kemampuan menunda kepuasan merupakan aspek yang menentukan dalam manajemen diri ( Baumeister & Heatherton, dalam Cuskelly et.al, 2006: 55). Cuskelly dkk (2006, hlm. 55) menuliskan hasil penelitian Ayduk dkk., anak-anak yang pada usia empat tahun mampu menunggu hadiah selama 15 menit, secara signifikan mempunyai kapasitas akademik yang lebih baik, dapat mengatasi tantangan dan mempunyai kemampuan afeksi yang lebih baik pada saat remaja dari pada anak-anak yang mampu menunggu beberapa menit saja.
3. Faktor yang Mempengaruhi Pengendalian diri Logue (1995, hlm. 8-15) mengatakan bahwa pengendalian diri seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik dan miliu, kedua hal tersebut diuraikan berikut ini. a. Faktor Genetik Logue menuliskan beberapa hasil penelitian, bahwa anak-anak keturunan orang yang impulsive akan mempunyai kecenderungan berperilaku
63
impulsive pula. b. Faktor Miliu Faktor miliu yang mempengaruhi perkembangan pengendalian diri antara lain: 1) perilaku orang tua yang diamati anak, termasuk gaya pengasuhan orang tua, 2) faktor budaya, yaitu keyakinan, nilai dan prinsip yanmg dianut masyarakat setempat serta perilaku orang-orang di sekitarnnya, 3) religiusitas, yaitu penghayatan seseorang terhadap ajaran agama yang diyakini mempengaruhi pengendalian diri. Hal ini diperkuat hasil penelitian Rieker (1997) terhadap 57 balita,
balita yang
mampu mengendalikan diri dan bersikap patuh ternyata
mempunyai ibu yang mempunyai pengendalian diri baik, demikian juga sebaliknya. Penelitian ini menguji teperamen, gaya pengendalian diri ibu dan kepatuhan anak. Sementara penelitian McCullough and Brian L. B. Willoughby (2009), menyimpulkan ada hubungan antara religiusitas dengan pengendalian diri, demikian juga dengan hasil penelitian Aziz & Rehman (2008), Bergin et.al. (1987), Desmond et. Al (2008). Penelitian yang menghubungkan pengendalian diri dengan keagamaan dilakukan oleh Bartkowski
et al (2008) yang
menyimpulkan bahwa anak dari orang tua yang taat beragama memiliki pengendalian diri yang kuat. c. Usia Usia turut mempengaruhi kondisi pengendalian diri pada anak. Anakanak cenderung lebih impulsive dibanding anak yang lebih dewasa, artinya sejalan dengan bertambahnya usia anak, kemampuan mengendalikan diri akan menjadi makin baik. Hal ini terjadi karena anak mengalami proses adaptasi ketika dihadapkan pada berbagai situasi yang menuntut pengendalian diri.
4. Metode Membentuk Pengendalian diri Pengendalian diri berkembang sejak masa kanak-kanak. Pembentukan pengendalian diri sudah diawali sejak masa kanak-kanak, ketika anak masih dalam buaian orang tua. Orang tua menjadi pembentuk pertama pengendalian diripada anak. Cara orang menegakkan disiplin, cara orang tua merespon kegagalan anak, gaya berkomunikasi, cara orang tua mengekspresikan kemarahan (penuh emosi atau mampu menahan diri) merupakan awal anak belajar tentang
64
pengendalian diri. Sejalan dengan bertambahnya usia anak, bertambah luas pula komunitas sosial mempengaruhi anak, serta bertambah banyak pengalamanpengalaman sosial dialami. Anak belajar dari lingkungan bagaimana cara orang merespon
terhadap
suatu
keadaan,
anak
belajar
bagaimana
merespon
ketidaksukaan atau kekecewaan, bagaimana merespon kegagalan, bagaimana orang-orang mengekspresikan keinginan atau pandangannya. Dari berbagai pengalaman, anak menemukan ada orang yang dapat mengendalikan diri dengan baik, ada pula orang yang pengendalian dirinya rendah, setiap perilaku akan memberikan efek tertentu dan anak bisa belajar dari semua itu termasuk dari efek yang ditimbulkan dari suatu perilaku. Sebagaimana Bandura nyatakan bahwa seseorang tidak hanya belajar dari mengamati perilaku orang lain, tetapi juga belajar dari efek yang ditimbulkan oleh suatu perilaku (Bandura, 1986, hlm. 88). Oaten & Cheng (dalam Muraven, 2010, hlm. 448) menemukan bahwa orang yang mempraktekkan pengendalian diri dengan memaksa diri untuk belajar atau latihan menunjukkan kemampuan pengendalian diri yang lebih baik. Vasta dkk (1992, hlm. 776) menyatakan bahwa perilaku anak pada awalnya dikendalikan oleh kekuatan eksternal, kemudian secara perlahan-lahan kontrol eksternal diinternalisasikan menjadi kontrol internal melalui proses klasikal kondisioning. Pembentukan pengendalian diri yang dilakukan melalui klasikal kondisioning oleh orang tua juga dikemukakan oleh
Calhoum dan Acocella
(1990, hlm. 146), berpendapat bahwa langkah terpenting dalam perkembangan bayi yakni melalui klasikal kondisioning, hal ini karena orang tua mempunyai nilai yang tinggi, dan bayi secara naluriah akan mengasosiasikan perilaku orang tua sebagai stimulus yang menyenangkan baginya, seperti makanan, kehangatan dan pengasuhan. Koop (dalam Berndt, 1992, hlm 133) mengemukakan bahwa kontrol perilaku bayi berisifat reflektif. Pada akhir tahun pertama, bayi mengalami kemajuan dalam pengendalian diri. Bayi usia ini dapat memenuhi perintah orang tua untuk menghentikan perilakunya. Perilaku memenuhi perintah orang tua merupakan bentuk kemajuan pengendalian diri anak, hingga anak akan memodifikasi perilakunya agar selaras dengan permintaan orang tua. Antara usia 18-24 bulan dalam diri anak akan mencul true pengendalian diri. Anak akan
65
melakukan apa yang dilakukan orang tuanya (Berndt, 1992, hlm. 133 ). Pada tahun ketiga, pengendalian diri anak akan muncul melalui bentuk penolakan segala sesuatu yang dilakukan untuknya dan menyatakan keinginannya untuk melakukan sendiri (Vasta, 1992, hlm. 777).
Kontrol eksternal anak awalnya
diperoleh melalui instruksi verbal dari orang tua, selanjutnya anak akan menggeneralisasikan kontrol dengan mengarahkan perilakunya secara diam-diam melalui pikirannya. Oleh karena itu kontrol verbal terhadap perilaku anak pada awalnya berasal dari kekuatan eksternal, selanjutnya menjadi kekuatan diri anak. Setelah usia tiga tahun, pengendalian diri anak akan menjadi makin terperinci dan menjadi kekuatan dirinya (Vasta, 1992, hlm. 776). Anak akan menekan godaan yang dialaminya dan menolak gangguan yang datang saat anak melakukan tugas. Pada usia empat tahun pengendalian diri anak akan menjadi kepribadian dan dapat dijadikan sebagai bahan prediksi jangka panjang (Berndt, 1992). Pengendalian diri akan berkembang sejalan dengan bertambahnya usia anak. Menginjak usia 4 tahun, kemampuan berbahasa anak menjadi makin lancar hingga tumbuh rasa percaya diri, mampu menahan godaan dan mampu mengatasi frustasi
(Mischael dalam Berndt, 1992,
hlm.
135).
Workman
(1982)
mengemukakan tiga tehnik untuk mengendalikan diri yaitu : self-assessment atau penilaian diri, self -monitoring atau pemantauan diri dan self- reinforcement atau penguatan diri. Pembentukan metode
eksternal
pengendalian diri dilakukukan dengan menggunakan
yaitu
dengan
menghilangkan
perilaku
impulsif
dan
mempertahankan perilaku yang sudah positif. Corey (2005, 199) menawarkan metode penghapusan dengan time out dan metode modeling, sementara Walker (1969) mengemukakan tentang prosedur modifikasi perilaku sebagai berikut. a. Memantau dan menguatkan perilaku oleh guru. b. Memantau dan menguatkan perilaku yang tepat oleh diri sendiri. c. Pengendalian diri secara wajar dengan konsekuensi di dalam lingkungan secara wajar (alami). Mischel (2002) melakukan penelitian untuk meningkatkan efek reward terhadap
kesabaran
menunggu
pada
anak
usia
prasekolah.
Penelitian
menyimpulkan bahwa pemberian reward yang tepat dapat meningkatkan
66
kesabaran anak menggunakan mainan. Mengajarkan pengendalian diri pada anak memerlukan strategi khusus agar meraih hasil yang optimal. Melatih pengendalian diri anak dengan cara yang terlalu tegas atau kaku justru dapat meningkatkan ketidakpatuhan anak. Hal ini ditegaskan oleh Putnam (2002, hlm 211), bahwa pemggunaan strategi pengendalian diri yang terlalu tegas dari orang tua dapat menimbulkan problem perilaku pada anak. Metode pengembangan pengendalian diri pada anak diuraikan oleh beberapa ahli dalam bidang pembentukan perilaku anak, antara lain Stephens (dalam Walker 1969 : 45) menguraikan tentang cara mengajarkan pengendalian diri pada anak, khususnya untuk mengendalikan marah. Stephens mengemukakan beberapa langkah dalam mengendalikan kemarahan anak sebagai berikut. a. Menemukan penyebab kemarahan anak. b. Melabel beberapa jenis emosi dengan kata-kata verbal. c. Menentukan standar perilaku yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. d. Orang tua/guru menjadi model yang baik untuk ditiru anak. e. Membantu anak mengelola stress. f. Membantu anak mengekspresikan perasaan secara konstruktif. g. Memberikan alternatif pilihan pada dua aktivitas. h. Tegas apabila anak menunjukkan perilaku agresif. National Association of School Psychologist
(NASP) menguraikan metode
mengajarkan pengendalian diri pada anak usia dini sebagai berikut. a. Mengasingkan anak pada suatu ruangan ketika anak sedang marah, b. Mengajarkan pada anak untuk mengamati perilaku orang lain, c. Menggunakan hadiah untuk anak yang berhasil menunjukkan perilaku baik, d. Menggunakan kegiatan untuk mengendalikan diri seperti bermain peran. Strategi mengajarkan pengendalian diri juga dikemukakan oleh Hannah (tt), yang menuliskan langkah mengajarkan pengendalian diri pada anak sebagai berikut. Langkah pertama adalah berhenti sejenak, menjauh dari situasi yang menantang; ambil nafas dalam dan pelan ketika dalam keadaan cemas atau marah; menemukan tempat
67
yang aman, bisa dipilih ruang khusus yang dapat membuat anak menjadi lebih tenang ; mengenali dan merasakan emosi yang sedang dirasakan.
5. Peran Orang Tua terhadap Pembentukan Pengendalian Diri Penelitian Putnam (2011 ) terhadap 58 balita, perilaku anak menahan diri untuk tidak mengambil mainan tergantung dari pengarahan orang tua. Anak yang diarahkan ibunya untuk tidak mengambil mainan cenderung bisa menahan diri dari pada anak yang tidak mendapat pengarahan dari orang tua. Penelitian ini menunjukkan peran orang tua terhadap pengendalian diri anak. Berbagai pelanggaran yang muncul karena rendahnya pengendalian diri, sekaligus bersumber dari sikap orang tua yang salah. Rice (1999) mengemukakan beberapa sikap orang tua yang kurang tepat yang mengangggu pengendalian diri anak adalah: a. pengabaian fisik (physical neglect) : meliputi kegagalan dalam memenuhi kebutuhan atas makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang memadai; b. pengabaian emosional (emotional neglect) : meliputi perhatian, perawatan, kasih sayang, dan afeksi yang tidak memadai dari orang tua, atau kegagalan untuk memenuhi kebutuhan akan penerimaan, persetujuan, dan persahabatan; c. pengabaian intelektual (intellectual neglect) : termasuk didalamnya kegagalan untuk memberikan pengalaman yang menstimulasi intelek; d. Pengabaian sosial (social neglect) : meliputi pengawasan yang tidak memadai atas aktivitas sosial, kurangnya perhatian atau karena gagal mengajarkan atau mensosialisasikan cara bergaul secara baik dengan orang lain; e. pengabaian moral (moral neglect) : kegagalan dalam memberikan contoh moral atau pendidikan moral yang positif. Pembentukan pengendalian diri bisa dilakukan melalui pelatihan sebagaimana diungkap oleh Donald Meichenbaum (dalam Sandra L. Friedrich, 2010 : 56), mengembangkan gagasan tentang pelatihan pembelajaran diri yang merupakan bagian utama dari strategi pengendalian diri. Meichenbaum percaya bahwa belajar mengendalikan perilaku dimulai di masa kanak-kanak serta berdasar instruksi orang tua. Anak-anak pada akhirnya mengendalikan perilaku dan mentalnya mereka sendiri setelah mengulangi petunjuk dari orang tua. Instruksi internal dapat bersifat positif maupun negatif. Pelatihan self instructional
68
mengajarkan pada individu untuk sadar akan diri mereka sendiri dengan cara membuat laporan diri, mengevaluasi apakah pernyataan diri tersebut membantu atau menghalangi, atau mengganti laporan diri yang maladaptive dengan laporan diri yang adaptif.
6. Hubungan Pengendalian Diri dengan Perkembangan Perilaku Anak Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dari keluarga miskin lebih sulit menahan diri, kemampuan menghadapi stres dan tantangan hidup yang lebih rendah, lebih aktif secara seksual, dan juga lebih tidak mengindahkan metode-metode pengamanan yang dapat mencegah kehamilan atau penyakit menular seksual (Hart & Matsuba 2008). Penelitian lain menunjukkan bahwa orang yang pengendalian dirinya lebih besar mempunyai kecenderungan mempunyai gejala PTSD yang rendah. Penelitian Kristen (2004) menyimpulkan bahwa orang dengan pengendalian diri yang tinggi mempunyai peluang terhindar dari posttaumatic dissorder. Hasil penelitian Liau-bei Wu (2004) terhadap 1000 anak sekolah menengah menguatkan peran orang tua dalam pembentukan pengendalian diri dan pengaruh pengendalian diri terhadap berbagai perilaku buruk. Kesimpulan penelitian tersebut antara lain, gaya pengasuhan orang tua mempengaruhi perilaku menyimpang, ada hubungan antara pengendalian diri dengan menyimpang pada remaja. Hal yang sama diperoleh dari hasil
perilaku penelitian
Gottfredson dan Hirschi bahwa semua kejahatan berasal dari pengendalian diri yang rendah. Penelitian Mischel et.al (dalam Putnam, 2010, hlm. 110 ) menemukan bahwa tidak adanya kemampuan menunda pada anak usia prasekolah menjadi prediksi rendahnya prestasi akademik, sosial dan keterampilan koping. Berbagai penelitian (Lin, Lawrence, and Gorrell, 2003; Piotrkowski, Botsko & Matthews, 2000; Wesley & Buysse, 2003 dalam Muelle, 2010, hlm. 1) menyimpulkan bahwa pengendalian diri sebagai salah satu aspek dari perkembangan emosi dan sosial merupakan faktor penting bagi kesiapan anak masuk sekolah dari pada keterampilan akademis. Pengendalian diri sangat penting bagi kesuksesan dalam berbagai bidang
69
kehidupan. Terbentuknya perilaku yang baik, positif dan produktif memerlukan pengendalian diri yang kuat. Keharmonisan membangun hubungan dengan orang lain, kebiasaan belajar yang benar, kedisiplinan, perilaku tertib di sekolah dan di masyarakat,
perilaku seksual sehat, serta pembentukan kebiasaan hidup lain
dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian diri (self control). Tangney,
Penelitian
Baumeister, & Boone (2004) menyimpulkan bahwa pelajar yang
mempunyai pengendalian diri tinggi memiliki penyesuaian diri yang lebih baik, memiliki kemampuan membangun hubungan interpersonal dan mempunyai prestasi yang lebih baik. Pengendalian diri lebih menentukan prestasi akademik seseorang dari pada tingkat inteligensinya (Duckworth & Seligman,
dalam
McCullough & Brian, 2009, hlm. 2). Orang dengan pengendalian diri tinggi mempunyai kemungkinan kecil untuk mengkonsumsi alkohol, terlibat dalam tindak kriminalitas serta terhindari dari perilaku nakal, lebih bisa menjaga kesehatannya dan mempunyai perilaku sehat (Baumeister & Vohs, 2007). Orang yang ketika anak-anak yang mempunyai kemampuan menahan diri atau menunda kepuasan menunjukkan prestasi akademik dan penyesuaian sosial yang lebih baik (Mischel, Shoda, & Rodriguez, 1989, hlm. 3). Berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan tersebut salah satunya bersumber dari rendahnya pengendalian diri seseorang. Hasil penelitian Childs (2005) menyimpulkan bahwa tindak kekerasan bersumber dari rendahnya pengendalian diri. Rendahnya kontrol diri menjadi prediksi dari tindak kejahatan dan penggunaan obat terlarang (Baron, 2003, hlm. 403), Evan dkk (1997) dan Burton dkk (dalam McMullen 1999, hlm. 28) juga menemukan bahwa rendahnya pengendalian diri berkaitan dengan tindak kriminal dan perilaku menyimpang. Sementara Wood dkk (dalam McMullen 1999, hlm. 29) menemukan pengaruh rendahnya kontrol diri dengan pencurian, vandalism, kejahatan interpersonal, dan perilaku legal dan illegal. Pengendalian diri berhubungan dengan psikopathologi terutama narsisme dan psikopath, sebagai bentuk antisosial (Vaughn, 2007, hlm. 816). Kesulitan dan gangguan perilaku banyak bersumber dari rendahnya pengendalian diri, sebagaimana Messina dan Messina (2006) nyatakan bahwa self-destructive bersumber dari pengendalian diri yang rendah. Pengendalian diri
70
berhubungan perilaku yang membahayakan seperti bunuh diri, seks bebas, penggunaan narkoba, ceroboh dalam mengemudi dan kekerasan (Bogg &Roberts, dalam McCullough & Brian, 2009, hlm. 2). Hasil penelitian Griffin et.al (2012, hlm. 13-14) menyimpulkan bahwa
pengendalian diri merupakan faktor
penangkal terhadap resiko remaja melakukan perilaku seksual dan penggunaan alkohol.
E. Pentingnya Bimbingan dan Konseling Kolaboratif di PAUD Pendidikan di PAUD adalah proses pembelajaran yang melibatkan anak usia dini. Sejalan dengan karakteristik khas yang melekat pada anak usia dini, maka strategi pembelajaran, sasaran, arah dan gaya mengajar di PAUD berbeda dengan pendekatan pembelajaran di jenjang pendidikan lainnya.
Anak
usia dini pada dasarnya masih dalam pengasuhan orang tua, karena itu waktu belajar di PAUD jauh lebih sedikit dibanding keberadaan anak bersama orang tua. Pembelajaran di PAUD tidak hanya menjadi tanggung jawab guru tetapi juga perlu peran orang tua agar hasilnya lebih efektif. Pelaksanaan pendidikan dan bimbingan di PAUD dilakukan dengan cara khas yang berbeda dengan pendekatan yang diterapkan di jenjang pendidikan lainnya. Disamping melalui bermain, pengajaran di TK/PAUD juga harus memperhatikan kharakteristik khas anak usia dini. Pentingnya pendekatan yang memperhatikan karakteristik anak ini mengacu pada salah satu prinsip pendidikan untuk anak usia dini, yaitu pendidikan harus sejalan dengan taraf perkembangan anak. The National Association for the Education of Young Children (NAEYC) menyatakan
bahwa
penerapan
program
berdasar
pengetahuan
tentang
perkembangan anak tersebut dinamakan Developmentally Apropriate Practice (DAP) (Bredekamp, 1966). Lebih jauh dijelaskan bahwa salah satu komponen untuk menerapkan pendidikan sesuai perkembangan anak adalah adanya hubungan antara orang tua dengan program. Hubungan ini dimaksudkan untuk terjalinnya komunikasi dua arah berkaitan dengan pendidikan anak, sehingga pendidikan menjadi lebih konsisten dan berkelanjutan. Secara rinci Bredekamp (1966)
menguraikan
komponen
dalam
program
yang
sejalan
dengan
perkembangan anak atau disebut Developmentally ApropriatePractice (DAP)
71
sebagai berikut : a) Kurikulum, b) interaksi anak dengan orang dewasa, c) hubungan antara rumah dengan program sekolah dan d) evaluasi terhadap perkembangan anak.
Komponen-komponen ini memperkuat pentingnya
hubungan kerja sama antara guru dengan orang tua. Disisi lain, NAEYC menekankan
program yang berkualitas adalah
yang dapat melayani untuk semua anak dan keluarga, oleh karena itu salah satu komponen penerapan DAP adalah berkaitan dengan hubungan antara rumah dengan program sekolah. Pandangan ini juga memperkuat pentingnya kerja sama antara guru dengan orang tua. Bredekamp (1966) menjelaskan bahwa : .. to achieve individually appropriate program for young childern, early chilhood, theacher must work in partnership with families and communities regularly with children’s parent, berdasar penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa guru perlu bekerja sama dengan keluarga dan komunitas orang tua siswa dalam melayani anak usia dini. Sehubungan dengan peran keterlibatan orang tua dalam program sekolah, Bredekamp (1966) mengutip pendapat beberapa ahli sebagai berikut : 1. Orang tua mempunyai hak dan tanggung jawab untuk berbagai keputusan tentang perawatan dan pendidikan anak. Orang tua didorong untuk berpartisipasi dan mengamati. Para guru bertanggung jawab untuk mengadakan dan memelihara kontak rutin dengan keluarga 2. Guru berbagi pengetahuan perkembangan anak, wawasan dan berbagai sumber sebagai bagian dari komunikasi reguler dan pertemuan dengan anggota keluarga 3. Guru dan orang tua merupakan agensi program dan konsultan yang memiliki tanggung jawab pendidikan untuk anak pada saat berbeda, dengan partisipasi keluarga, membagikan informasi tentang perkembangan anak. Berdasar hal tersebut perlu ada pemahaman yang sama antara orang tua dan guru tentang
perkembangan anak agar tidak terjadi kesenjangan dalam
penerapan. Kesamaan pandangan antara orang tua dan guru membuat layanan yang diberikan kepada anak bisa konsisten dan berkelanjutan. Konsistensi pengasuhan yang dilakukan di rumah dan di sekolah membuat anak tidak merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan. Uraian tersebut diperkuat oleh pendapat Nivick (1996 dalam
72
www.naeyc.org/files/naeyc/file/positions/position statement)
yang menjelaskan
bahwa DAP berprinsip pada dasarnya anak mengkonstruksi pengetahun mereka sendiri melalui interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik, karena itu segala yang ada di sekitar anak akan memberikan pengaruh terhadap perilakunya. Orang tua, anggota keluarga di rumah, guru dan teman-temannya merupakan bagian dari lingkungan sosial anak yang sebaiknya dilibatkan dalam intervensi terhadap anak. Kolaborasi dalam pendidikan anak usia dini tidak hanya tercermin dalam DAP sebagaimana diungkap oleh Bredekamp dan Nivick, Kirk (1986, hlm. 154156) mengemukakan bahwa “classroom teachers cannot do everything. They often need the help of support personel, of parents, counselors and psychologists”. Guru kelas tidak dapat melakukan segalanya. Guru memerlukan bantuan suport dari personil lain, baik dari psikolog, konselor sekolah, maupun para orang tua siswa. Pentingnya kerja sama guru dengan orang tua tercermin dalam penelitian Crane et.al (2011,hlm. 518-522) yaitu memerlukan pelibatan dan kesepakatan antara orang tua dan guru dalam melakukan asesmen terhadap perilaku anak usia dini, orang tua dan guru merupakan sumber informasi tentang perilaku dan kemampuan anak. Berkaitan dengan peran orang tua dalam bimbingan, Riley ( dalam Novick, 1996) menyatakan : Families can help their children develop a love of literacy, develop critical thinking skill by encouraging reading and discussing meaningfull issues outsidethe classroom, encoaurage children to develop arange of inteligences and reinforce learning that takes place in the classroom.
Alasan pentingnya kerja sama dengan orang tua dalam pendidikan di sekolah didasarkan hasil penelitian Beaty (1992) yang menunjukkan bahwa program yang melibatkan orang tua berdampak positif pada anak dan orang tua. Anak mengalami perubahan perilaku dan meningkatkan keterampilan sebagai hasil pengalaman prasekolah. Orang tua yang terlibat secara langsung, sangat mendorong perkembangan anak-anak di rumah. Program keterlibatan orang tua juga memberikan keuntungan bagi orang tua yaitu mendapatkan kesempatan belajar cara meningkatkan pertumbuhan dan perkembangn anak. Kesimpulan yang sama diperoleh dari hasil penelitian Rosas dkk. (2009) terhadap 474 anak prasekolah, penelitian bertujuan menyusun program untuk
73
mengembangkan keterampilan sosial dan emosional anak. Orang tua menyatakan anaknya mempunyai masalah perilaku dua kali lebih banyak dari yang dilaporkan guru. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh lingkungan sehingga perilaku di sekolah
berbeda dengan di rumah. Temuan ini merekomendasikan
pentingnya kerja sama antara guru dan orang tua untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional. Kerja sama antara guru dengan orang tua bukan merupakan sesuatu yang mustahil, Muro dan Dinkmeyer (dalam Muro & Kottman, 1995, hlm. 296) secara khusus mengidentifikasi tujuan bimbingan yang ditujukan bagi orang tua. Tujuan bimbingan bagi orang tua tersebut adalah : 1) membantu orang tua memahami bagian peran pentingnya dalam perilaku anak, 2) membantu orang tua belajar memahami cara meningkatkan hubungan antara orang tua dengan anak, 3) memungkinkan orang tua mendapatkan umpan balik terhadap ide dan metode dalam pelatihan terhadap anak, 4) membantu orang tua memahami bahwa masalah tentang pengasuhan anak bukan menjadi masalah mereka sendiri, mereka dapat berbagi dengan orang tua lainnya, dapat saling mendukung dan saling memberikan pemikiran dengan yang lain. Secara khusus Syaodih (2003, hlm. 1-7) dan
(Diknas, 2006, hlm. 3)
mengemukakan tujuan bimbingan dan konseling di TK/PAUD bagi orang tua adalah sebagai berikut.
1. Membantu orang tua agar mengerti, memahami dan menerima anak sebagai individu. 2. Membantu orang tua mengatasi gangguan emosi anak yang ada hubungannya dengan situasi di rumah. 3. Membantu orang tua mengambil keputusan memilih sekolah sesuai dengan kemampuan intelektual, fisik dan sosio ekonomi anak. 4. Memberkan informasi pada orang tua untuk memecahkan masalah kesehatan anak. Tujuan bimbingan mengindikasikan
di PAUD yang khusus ditujukan bagi orang tua
pentingnya kolaborasi dengan orang tua dalam pelaksanaan
bimbingan. Kerja sama antara guru pembimbing, guru dan orang tua diperkuat oleh pandangan Biasco (dalam Yusuf, 2009, hlm. 63) yang menyatakan bahwa bimbingan
74
akan berlangsung efektif apabila ada kerja sama dengan personil sekolah, juga dibantu oleh personil di luar sekolah seperti orang tua siswa dan para spesialis. Bentuk intervensi yang diterapkan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling sehubungan dengan peran bimbingan dan konseling bagi orang tua menurut Muro dan Kottman (1995, hlm. 258-262) adalah :
1. Referring, konselor melimpahkan masalah yang dihadapi orang tua kepada pihak lain yang lebih mampu dan berwewenang apabila masalah yang ditangani diluar kemampuan dan kewenangannya. 2. Consultation, konselor melayani sebagai konsultan bagi guru, orang tua dan anak (Golden dalam Muro dan Kottman), tujuan dari konsultasi adalah mendorong kolaborasi antara personil sekolah dan anggota keluarga, dimana mereka belajar berkomunikasi secara langsungdan tepat, mendikusikan masalah yang spesifik. Upaya konsultasi dengan orang tua bisa dilakukan dengan ; a. The parent consulting studi program b. The group dan c. Parent conferences. 3. Direct delivery of familty therapi servies by school counselor, pada langkah ini konselor langsung memberikan layanan kepada orang tua. Cotton & Wikelund (1989) mengupas beberapa bentuk peran orang tua yang dapat mendukung perkembangan anak sebagai berikut. a. Written home and schoole communications. b. Attending school funtions. c. Parent serving as classroom volunters. d. Parent-teacher conferences. e. Homework assitance/tutoring f. Home educational enrichment. Pemberian orientasi dan training untuk orang tua akan membuat mereka lebih terlibat dalampendidikan dan berdampak pada efektivitas program dibanding yang tidak. Kolaborasi tidak hanya diperlukan dalam pemberian layanan bimbingan, tetapi juga dalam kegiatan konseling bagi anak usia dini, hal ini sejalan dengan pendapat William (1959) yang menuliskan bahwa konseling bagi anak prasekolah akan efektif bila
75
melibatkan orang tua dan guru. Orang tua dan guru harus kooperatif berpartisipasi dalam pelaksanaan konseling. Demikian juga dengan pandangan Henderson dan Thompson (2011) dalam bukunya Counseling Children mengupas tentang pentingnya konselor membangun kerja sama dengan orang dewasa lainnya untuk meningkatkan perkembangan anak, baik dalam bentuk kegiatan konsultasi maupun dengan kolaborasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsultasi merujuk pada metode tukar pikiran antara beberapa pakar, sedangkan kolaborasi merupakan hubungan timbal balik untuk mendiskusikan dan mencari pemecahan
masalah. Kolaborasi merupakan sebuah
kelompok yang bekerja sama dalam kesatuan yang bagus, dimana masing-masing anggota berkontribusi dalam suatu upaya yang spesifik terhadap rencana suatu kegiatan. Geldard dan Geldard (2012, hlm. 5-7) dalam buku Counseling Children mengungkap tentang tujuan konseling bagi anak, meliputi tujuan dasar, tujuan orang tua, tujuan yang dirumuskan konselor dan tujuan untuk anak itu sendiri. Berdasar pandangan Geldard & Geldard ini mengindikasikan pentingnya pelibatan orang tua dalam kegiatan konseling. Kerja sama dengan orang tua penting dalam kegiatan konseling karena anak bisa mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang tua ( Geldard & Geldard, 2012, hlm. 11), cara pandang anak terhadap lingkungan berbeda dengan cara orang tua memandang lingkungan. Melibatkan orang tua dalam konseling anak memungkinkan kesamaan cara pandang anak dan orang tua terhadap lingkungan.
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian tentang pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif sudah dilaksanakan oleh Soendari (2011) yang bertujuan meningkatkan perilaku adaptif anak tuna grahita ringan. Penelitian ini melibatkan 21 anak tunagrahita, 21 orang tua, 18 guru dan 7 guru pembimbing. Hasil penelitian menyimpulkan model BKK efektif meningkatkan perilaku adaptif pada anak tuna grahita ringan di Sekolah Dasar.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Hidayat (2010), BKK
terbukti efektif meningkatkan keterampilan belajar siswa SMP. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam kolaborasi adalah siswa, guru pembimbing, guru dan kepala sekolah. Efektivitas bimbingan dan konseling kolaboratif sudah dibuktikan dari hasil penelitian Ginintasasi (2012) bahwa bimbingan dan konseling kolaboratif efektif bagi penanganan anak autis. Kolaborator yang dilibatkan dalam penelitian
76
ini meliputi, pedagog,terapis okupasi, terapis wicara, orang tua, helper, dan social worker.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Chotidjah (2014) yang
mengembangkan
model
bimbingan
dan
konseling
kolaboratif
untuk
meningkatkan prestasi belajar anak dengan gangguan learning disability, melibatkan guru, guru BK dan orang tua secara kolaboratif. Penelitian tentang pengendalian diri dilakukan oleh Blake (2006) yang menghubungkan antara pengendalian diri dengan simbul keagamaan dan kemampuan monitoring diri. Individu yang memiliki skor tinggi keagamaan lebih mampu memonitor
dalam
dirinya. Utarni (2008) menghubungkan
antara pengendalian diri dengan pembelian impulsif pada remaja di Yogyakarta. Skala pengendalian diri yang dikembangkan dalam penelitian ini mendasarkan pada pandangan Averill (1977) yang meliputi lima dimensi yaitu kemampuan mengontrol
perilaku,
kemampuan
mengontrol
stimulus,
kemampuan
mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa remaja yang mempunyai pengendalian diri tinggi lebih mampu mengendalikan diri dalam berbelanja. Tangney dkk. (2004) menguji pengendalian diri dengan beberapa aspek kepribadian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa orang yang mempunyai pengendalian diri yang tinggi mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang lebih baik, kurang mempunyai gangguan perilaku sosial, mempunyai prestasi yang lebih baik serta menunjukkan keberhasilan dalam hubungan sosial. Teunissen dkk.(2012) meneliti pengaruh pengendalian diri terhadap keinginan berhenti merokok pada peminum berat. Penelitian ini melibatkan 44 peminum berat. Sementara penelitian Kristen ( 2004) menyimpulkan bahwa orang dengan pengendalian diri yang tinggi mempunyai peluang terhindar dari posttaumatic dissorder. Hasil penelitian Liau-bei Wu (2004) terhadap 1000 anak sekolah
menengah
menguatkan
peran
orang
tua
dalam
pembentukan
pengendalian diri dan pengaruh pengendalian diri terhadap berbagai perilaku buruk. Kesimpulan penelitian tersebut antara lain, gaya pengasuhan orang tua mempengaruhi perilaku menyimpang, ada hubungan antara pengendalian diri dengan perilaku menyimpang pada remaja. Hal yang sama diperoleh dari hasil
77
penelitian Gottfredson dan Hirschi (1990) bahwa semua kejahatan berasal dari pengendalian diri yang rendah. Penelitian tentang pengendalian diri pada anak pernah dilakukan oleh Stillman (2007) yang melakukan eksperimen dengan melibatkan anggota keluarga dalam membentuk pengendalian diri anak. Eksperimen tentang pengendalian diri pada anak juga dilakukan oleh Wang (1994) yang menunjukkan ada hubungan antara kemampuan pengendalian diri dan motivasi dengan perilaku mengontrol diri pada anak. Penelitian tentang pengendalian diri lainnya pernah dilakukan oleh McCullough and Brian L. B. Willoughby (2009), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara religiusitas dan regulasi diri dengan pengendalian diri. Perbedaan penelitian ini dari penelitian terdahulu, pertama untuk tema penelitian pengendalian diri, jenis penelitian yang digunakan peneliti sebelumnya sebagian besar bertujuan menemukan hubungan antara variabel pengendalian diri dengan variabel lainnya, sementara penelitian ini berbentuk action research dengan tujuan meningakatkan pengendalian diri anak melalui sebuah model bimbingan dan konseling. Penelitian yang berhubungan dengan model BKK pada penelitian terdahulu belum ada yang ditujukan untuk anak usia dini serta tidak mengangkat variabel pengendalian diri. G. Hipotesis Berdasarkan kajian teori lahir sebuah permasalahn yang harus dijawab dalam penelitian ini yaitu apakah „model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini?‟.Berdasar rumusan
tersebut maka hipotesis penelitian ini adalah : “ Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dapat meningkatkan pengendalian diri anak usia dini”.
78
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode penelitian Penelitian
untuk mengembangkan pengendalian dirianak usia dini ini
dalam penelitian ini menggunakan pendekatanReseach and Development (R & D), hal ini mengacu pada pendapat Borg & Gall ( 1989, hlm. 772)bahwa: “ reseach & development is a powerful strategy for improving practice. It is a process used to develop and validate educational products”. Dikatakannya bahwa penelitian dan pengembangan
(R & D)
merupakan suatu proses yang digunakan untuk
menghasilkan dan menvalidasi produk pendidikan. Pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji efektivitas produk tersebut. Dalam penelitian ini produk yang akan dihasilkan adalah model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini. Lebih jauh dijelaskan bahwa pendekatan penelitian dan pengembangan diawali dengan menemukan kebutuhan yang berhubungan dengan produk yang akan dikembangkan,
kemudianmengembangkan
produk
tersebut
berdasarkantemuan awal, dan menguji produk yang sudah sudah disusun dilanjutkan dengan merevisinya sehingga ditemukan produk yang sesuai dengan tujuan penelitian(Borg & Gall, 1979, hlm.624). Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini, dilakukan melalui pendeketan penelitian dan pengembangan. Alasan yang mendasari pemilihan pendekatan ini adalah karena ada proses yang dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan pengembangan dalam rangka menghasilkan produk yaitu model bimbingan dan konseling kolaboratif. Proses pengumpulan dan analisis data ditempuh melalui pendekatan mixed methods, yaitu dengan memadukan antara pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif secara terpadu dan saling mendukung. Penggunaanmixed methods ini bertujuan untuk mendapatkan temuan penelitian yang komprehensif dan tidak kehilangan kedalaman dari tema penelitian. Creswell(2008, hlm. 552) menuliskan bahwa “ mixed methods research design is procedure for collecting,
79
analyzing and mixing both quantitative and qualitative research and methods in a single study to understand a research problem”. McMillan (2012, hlm. 318) mengungkap dua kekuatan mixed methods yaitu: 1)mampu menghasilkan pemahaman yang lebih cermat tentang problem penelitian, karena mampu menguji beberapa jenis data yang lebih komprehensif dari pada
menggunakan pengumpulan data dengan metode kualitatif atau
kuantitatif saja, 2) mampu menjawab pertanyaan penelitian yang komplek yang tidak bisa hanya menggunakan metode kuantitatif atau kualitatif saja. Alasan yang mendasari penggunaan mixed methods research design dalam penelitian ini adalah pertama karena dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif dalam penelitian berupa data profil pengendalian diri pada anak usia dini yang dikumpulkan melalui pedoman observasi pengendalian diri anak usia dini dan data kondisi objektif kolaborator
yang dikumpulkan melalui
angketbimbingan dan konseling
kolaboratif, tes pengetahuan orang tua dan guru pengendalian diri anak. Data kualitatif merupakan data kondisi kolaborator selama proses pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif.
Data ini diperoleh melalui
wawancara dan observasi. Alasan kedua penggunaan mixed methods research design karena pertanyaan penelitian yang akan dikaji relatif komplek, yaitu menyangkut proses pengembangan model dan
pelaksanaan kolaborasi antara
kepala sekolah, guru dan orang tua, alasan terakhir karena peneliti mengharapkan hasil yang komprehensip dengan memanfaatkan kelebihan dari kedua metode, sehingga tidak bisa hanya menggunakan metode kualitatif atau kuantitatif saja. Penggunaan pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini memungkinkan peneliti mendapatkan data yang lebih objektif dari sekelompok subjek, sementara pendekatan kualitatif dipilih agar data yang diungkap tidak dangkal melainkan lebih mendalam dan hasil yang diperoleh bisa berkembang sesuai kondisi nyata yang terjadidi lapangan. Mixed methods research design disebut juga dengan a two phase model, karena terdapat dua fase, yaitu pengumpulan data kuantitatif diikuti dengan pengumpulan data kualitatif. Itulah sebabnya jenis mixed methds yang digunakan dalam penelitian adalah explanatory mixed methods research design, yaitu fase
80
pertama ditempuh dengan menggali data kuantitatif berupa profil pengendalian diri anak usia dini dan kondisi objektif kolaborator. Kemudian ditindaklanjuti dengan pengumpulan data kualitatif melalui wawancara dan observasi terhadap kolaborator. Observasi dan wawancara bertujuan mendapatkan data tentang proses bimbingan dan konseling untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak yang sudah dilakukan oleh masing-masing kolaborator, interaksi dan kerja sama yang dijalin oleh masing-masing kolaborator, serta sikap yang dikembangkan oleh masing-masing kolaborator dalam memberikan bimbingan terhadap anak. Desain tersebut divisualisasikan pada bagan 1 berikut.
ditindaklanjuti
QUANTITATIVE (data dan hasil)
QUALITATIVE (data dan hasil)
Bagan 1. Explanatory mixed methods research design ( diadaptasi dari Creswell, 2008, hlm. 557) Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkajiprofil pengendalian diri anak usia dinidan kondisi objektif kolaborator, sementara pendekatan kualitatif digunakan selama
proses
pengembangan model bimbingan dan konseling
kolaboratif yang melibatkan orang tua, guru, kepala sekolah serta pakar dalam bidang bimbingan dan konseling dan pakar anak usia dini. Tehnik analisis yang digunakan dalam desain explanatory mixed method meliputi analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif. Analisis data kuantitatif digunakan untuk mengetahui profil kontrol diri pada anak usia dini serta profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua, serta digunakan untuk menguji efektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini. Sementara analisis data kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan proses pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif serta kolaborasi yang terbangun antara guru, kepala sekolah dan orang tua. B. Langkah Penelitian Desain penelitian ini menggunakan pendekatanReseach and Development. Berkaitan dengan pendekatan penelitian tersebut, Borg & Gall (1979, hlm. 626-
81
636) mengemukakan 10 langkah dalam penelitian perkembanganyaitu: (1) riset awal dan pengumpulan informasi, (2) perencanaan (3) penyusunan format model awal(4) ujilapangan model awal (5) revisi terhadap model utama(6) uji coba model utama (7) revisi model operasional (8) uji lapangan model operasional (9) merevisi produk akhir (10) diseminasi dan impelementasi. Berdasar tahap-tahap penelitian dan perkembangan sebagaimana diungkap oleh Borg & Gall di atas, peneliti menetapkan langkah pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif melalui enam tahap utama. Enam tahap tersebut adalah tahap studi pendahuluan, tahap merancang model hipotetik, tahap uji kelayakan model hipotetik, tahap perbaikan model hipotetik, tahap uji lapangan
model
hipotetik,
tahap
merancang
model
akhir.Tahap-tahap
pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia diniyang dilakukan dalam penelitian ini secara rinci adalah sebagai berikut: 1. Studi Pendahuluan Tahap
pertama
dalam
pengembangan
model
bimbingan
dan
konselingkolaboratif ini adalah tahap studi pendahuluan yang dilakukan melalui dua kegiatan yaitu kajian pustaka dan asesmen kebutuhan yang dilakukan melalui pretest dan wawancara. Kajian pustaka dilakukan dengan tujuan mengkaji konsep bimbingan dan konseling kolaboratif dan pengendalian dirianak usia dini, yang diperoleh melalui buku literatur, jurnal hasil penelitian dan artikel terkait yang diperoleh dari internet. Asesmen kebutuhan dilakukan untuk memperoleh data tentang kondisi objektif pengendalian dirianak usia dini dan kondisi objektif kolaborator, yaitu kepala sekolah, guru dan
orang tua dalam memberikan
bimbingan untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak. Berdasar hasil asesmen, peneliti merancang model awal atau model hipotetik bimbingan dan konseling kolaboratif untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini. 2. Merancang Model Hipotetik Berdasarkan hasil kajian pustaka tentang bimbingan dan konseling kolaboratif dan konsep pengendalian diri anak usia dini serta berdasar hasil studi pendahuluan tentang kondisi objektif di lapangan, selanjutnya peneliti perancang
82
model bimbingan dan konseling kolaboratif hipotetik. Pada tahapan ini peneliti menyesuaikan hasil kajian konsep dengan hasil pengamatan dari lapangan, kemudian mendiskripsikan kerangka kerja kolaboratif untuk mengkaji kelayakan model hipotetik. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah: a. Merancang model hipotetik bimbingan dan konseling kolaboratif. Berdasar analisis konsep teoritis tentang pengendalian diri pada anak usia dini, maka dikembangkan program hipotetik bimbingan dan konseling kolaboratif untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini yang melibatkan guru, kepala sekolah dan orang tua. b. Validasi dan revisi model. Validasi model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model yang mampu mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini. Validasi model ini ditekankan pada validasi isi agar kelayakan operasional dapat dipertanggungjawabkan. Validasi modelbimbingan dan konseling kolaboratif ini dilakukan oleh tiga pakar dalam bidang bimbingan dan konseling dan anak usia dini yaitu : 1) Dr. H. Mubiar Agustin, M.Pd doktor bimbingan dan konseling pada sekolah pasca sarjana UPI dan bekerja sebagai dosen program studi PAUD Universitas Pendidikan Indonesia; 2)Prof. Dr. Slameto, M.Pd., dosen program studi Bimbingan dan Konseling di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga; 3)Dr. A An Listiana, M.Pd., doktor bimbingan dan konseling pada sekolah pasca sarjana UPI dan bekerja sebagai dosen PGPAUD UPI Bandung. Selain tiga pakar tersebut, rancangan model bimbingan dan konseling kolaboratif juga dilakukan uji keterbacaan oleh praktisi anak usia dini yaitu Titiek Sugiyati, M.Pd., Dyah Sulistyowati, M.Pd. dan Suni, S.Ag. Ketiga praktisi PAUD berasal dari tiga jenis pendidikan anak usia dini, yaitu mewakili TK, RA (Raudhatul Athfal) dan KB (kelompok bermain) 3. Perbaikan Rancangan Model Perbaikan rancangan model awal berdasar masukan para pakar bimbingan dan konseling. Berdasar kegiatan validasi diperoleh informasi tentang ketepatan dan kelayakan model. Hasil validasi dari ketiga pakar dan praktisi PAUD kemudian ditindaklanjuti melalui revisi terhadap rancangan model hipotetik.
83
4. Uji Coba Lapangan Uji coba lapangan dilakukan untuk menguji kelayakan rancangan model hipotetik. Uji coba terbatas dilakukan di RA Almurtadhlo Salatiga, melibatkan seorang kepala RA, dua orang guru dan 8 siswa.
Uji coba model hipotetik
dilakukan melalui tiga langkah yaitu, prestes, intervensi atau penerapan model BK dan postes. Langkah tersebut divisualisasikan pada bagan berikut.
Pretes
Treatmen
Postes
Bimbingan dan Konseling Kolaboratif
Bagan 2. Rancangan Uji Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Pretes merupakan kondisi awal pengendalian diri anak sebelum diberikan layananbimbingan dan konseling kolaboratif,
tretmen merupakan intervensi
berupa layanan bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri dan postes merupakan kondisi pengendalian diri anak setelah mendapatkan tretmen berupa penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif. 5. Tahap Perbaikan Model II Tahap ini merupakan tahap perbaikan model yang sudah diujicobakan. Fokus kegiatan pada tahap ini adalah analisis perubahan skor setelah diberikan perlakuanguna menguji efektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk mengembangkan pengendalian diri. Data yang digunakan untuk revisi model tidak hanya didasarkan pada data pretes dan postes saja melainkan juga mengakomodasi pandangan dari setiap kolaborator. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah: a. Menganalisis hasil uji kelayakan model hipotetik bimbingan dan konseling kolaboratif b. Memperbaiki model hipotetik secara kolaboratif
84
c. Menyusun kembali rancangan model tahap uji satu berdasar hasil analisis data kuantitatif maupun berdasar masukan dan saran dari kolaborator. Pada tahap ini terjadi beberapa kali perbaikan pada setiap sesi layanan. Perbaikan tersebut didasarkan pada masukan kolaborator dan berdasar hasil observasi peneliti. Aspek yang mengalami perbaikan pada tahap ini meliputi : a. Penggunaan bahasa pada instrumen pengendalian diri. b. Jenis media yang digunakan pada kegiatan “Peraturan dalam Bermain” dan “ Alternatif Solusi” . c. Tehnis pelaksanaan kolaborasi antara orang tua dengan guru. d. Media dan cara pengisian jurnal kegiatan orang tua bersama anak. 6. Diseminasi dan Pengembangan Model Akhir Model yang sudah teruji di lapangan dan sudah mendapatkan masukan darikolabotaror, diseminarkan di Universitas Negeri Padang , dihadiri oleh pakar bimbingan dan konseling Prof Prayitno, dosen bimbingan dan konseling, guru BK di Padang dan sekitarnya dan mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling. Berdasar hasil seminar selanjutnya disusun model akhir yang sudah disusun melalui beberapa tahap dan sudah mendapatkan masukan dari banyak kalangan. Tahap pengembangan model tersebut disederhanakan dalam bagan berikut.
85
TAHAPAN
KEGIATAN
HASIL
- Kajian Literatur Studi Pendahuluan
- Asesmen Kebutuhan
Model Hipotemik
- Rancangan Model
- Validasi Isi Pengembang an & Validasi
- Validasi Empirik
Model Operasional
- Revisi Model
- Pelaksanaan Uji Lapangan
- Uji Efektivitas
Model Teruji
- Revisi Model
Diseminasi & Distribusi
- Seminar/Lokakarya - Jurnal Ilmiah
Bagan 3. Rangkaian kegiatan pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini
C. Subjek dan Lokasi Penelitian Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 27 siswa TK/RA. Kolaborator yang dilibatkan sebanyak 27 orang tua siswa, 3 kepala sekolah dan 4 orang guru.Dua puluh tujuh orang tua yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah orang tua siswa yang menjadi subjek penelitian, sementara 4 guru dan 3 kepala sekolah yang dilibatkan sebagai kolaborator adalah
guru dan kepala
sekolah dari 3 TK yang menjadi tempat penelitian. Penelitian dilaksanakan di-2 TK dan 1 RA di kota Salatiga, yaitu TK Banin II, TK Nidaul Hikmah dan RA AlHijrah. Dari tiga lokasi penelitian tersebut, dua TK terakreditasi A dan satu RA belum terakreditasi. Penentuan kota Salatiga sebagai lokasi penelitian karena kota Salatiga
86
sebagai kota yang relatif kecil, namun pendidikan PAUD berkembang sangat pesat, saat ini terdapat 210 lebih lembaga pendidikan untuk anak usia dini (TK/PAUD/RA/KB) di empat kecamatan di kota Salatiga (Data Diknas Salatiga, 2013). Salatiga juga mendapat predikat sebagai kota pelajar, yang mempunyai lembaga pendidikan mulai dari pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berupa akademi, sekolah tinggi hingga universitas yang menyediakan berbagai fakultas
baik ilmu sain, sosial, keagamaan dari
program strata satu hingga pascasarjana.
Pelajar/mahasiswa yang belajar di
Salatiga tidak hanya berasal dari dalam kota Salatiga melainkan banyak dari luar kota, luar provinsi bahkan berasal dari kota lain di luar Jawa dan negara lain. Salatiga juga mendapat predikat sebagai kota pendidikan inklusif, yang menuntut sekolah umum mampu memberikan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus termasuk anak yang mempunyai pengendalian diri yang sangat rendah.
D. Definisi Operasional 1. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Model bimbingan dan konseling kolaboratif berangkat dari pandangan Bob Bertolino dan Bill O‟Hanlon (2002) yang menyatakan bahwa konselor bukan sebagai singgle expert.Sumber pemecahan masalah terdapat di masyarakat serta pada jaringan sosial yang diciptakan konselor. Pelaksanaan bimbingan dan konseling perlu melibatkan banyak pihak, seperti guru, orang tua serta ahli lain yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Sementara konsep model mengacu pada pendapat Kartadinata (2008) yang mengatakan bahwa model merupakan seperangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur
untuk menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan perilaku atau
tindakan. Kolaborator yang dapat dilibatkan dalam kegiatan bimbingan berangkat dari pandangan Biasco (dalam Yusuf, 2008) bahwa
efektivitas program
bimbingan akan tercapai apabila ada upaya kerjasama antara personil sekolah dengan individu di luar sekolah seperti orang tua dan para spesialis. Proses kolaborasi dimodifikasi dari pandangan Brown dkk (dalam Henderson &
87
Thompson, 2011, hlm.528) dan Cook and Frend (dalam Frans dan Bursuck, 1996, hlm. 76). Berdasar pendapat para ahli diatas, yang dimaksud model bimbingan dan konseling kolaboratif dalam penelitian ini adalah kerangka kerja yang terverifikasi secara empirik dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling dengan bekerjasama dengan guru, kepala sekolah dan orang tua siswa untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini di kota Salatiga, dengan memperhatikan prinsip berikut : adanya kesamaan tujuan, adanya komunikasi dan interaksi, adanya kejelasan peran, adanya hubungan kesetaraan, adanya hubungan yang saling percaya, masing-masing pihak yang berkolaborasi dapat menjadi sumber. 2. Pengendalian diri anak usia dini Logue (1995)menyatakan
bahwapengendalian diridisebut sebagai
menunda kesenangan (delay of gratification), yang ditandai dengan beberapa perilaku: a) memegang teguh atau tetap bertahan pada tugas yang harus dikerjakan walau mengalami banyak godaan, b)mengubah perilakunya sendiri melalui perubahan dari beberapa pengaruh norma yang ada, c) tidak menunjukkan atau melibatkan dalam perilaku yang dipengaruhi emosional atau kemarahan d) bersifat toleran terhadap stimulus yang berlawanan. Sementara Muelle (2010, hlm. 8) mengungkapkan self-control sebagai kemampuan untukmengekspresikan emosi secara tepat, berbagi dengan anak-anaklainnya, menunjukkankesabaran, dan menanganifrustrasi. Self control mengukur kemampuan untuk mengalami perasaan dan mengekspresikannya dengan kata-kata atau dengan perilaku yang dapat diterima orang lain (LeBuffe & Naglieri, 2009, hlm.2 ). Pengendalian diridiukur
dari
mendengarkan
perilakuyang
berhubungan
danmenghormati
orang
denganpenangananfrustrasi, lain,
mengelolakemarahan,
menunjukkankesabaran, bekerja sama, berbagi, mengendalikankemarahan, dan menerimapilihanlain ketika pilihan bertemanya tidak tersedia (LeBuffe & Naglieri, 2009, Muelle, 2010, hlm. 58). Baumeister et.al (dalam Tangney 2004, hlm. 273) mengidentifikasi empat aspek utama dalam pengendalian diri, yaitu pengendalian pikiran, pengendalian emosi, pengendalian impuls dan performan.
88
Averill (1973, hlm. 286-287) mengemukakan tiga aspek pengendalian diri yaitu, behavior control, cognitive control dan decisional control. Berdasar beberapa pandangan diatas,
peneliti
mangadopsi, memilah,
menyeleksi dan menetapkan pengertian pengendalian diri yang sesuai dengan karakteristik anak usia dini. Definisi pengendalian dirianak usia dini dalam penelitian ini adalah kemampuan anak usia 4-6 tahun di TK/RA untuk menahan keinginannya dan mengatur perilakunya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, yang meliputi kemampuan mengontrol
emosi, kemampuan
mengontrol pikiran dan kemampuan mengontrol perilaku agar selaras dengan lingkungannya, berdasar hasil pengamatan guru dan orang tua.
E. Pengembangan Instrumen Instrumen
utama yang digunakan dalam penelitian ada dua yaitu,
instrumen untuk mengukur pengendalian diri anak usia dini dan instrumen bimbingan dan konseling kolaboratif. Instrumen tersebut berhubungan dengan uji efektivitas bimbingan dan konseling kolaboratif. Instrumen lainya digunakan sebagai alat evaluasi terhadap pelaksanaan model bimbingan dan konseling kolaboratif. 1. Kisi-kisi Instrumen Kisi-kisi instrumen
yang dikembangkan meliputi kisi-kisi instrumen
pengendalian diri anak usia dini, kisi-kisi angket pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif, kisi-kisi angket kegiatan orang tua bersama anak, kisi-kisi pedoman wawancara dengan kepala sekolah, guru, orang tua, kisi-kisi pedoman observasi terhadap guru dan anak pada kegiatan belajar mengajar, kisi-kisi pedoman observasi kegiatan diskusi kelomok, kisi-kisi evaluasi kegiatan kolaborasi. Berikut ditampilkan kisi-kisi dari seluruh instrumen yang digunakan dalam penelitian.
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Pengendalian Diri Anak Usia Dini Sub Indikator Variabel 1. Kontrol 1. Mampu menyatakan
Nomor Item Favorable Unfavorable 11,12, 13, 10
Jumlah 4
89
Emosi
perasaan yang dialami 2. Menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain 3. Mampu menahan kemarahan 2. Kontrol 1. Mampu mengolah Pikiran informasi untuk mengantisipasi peristiwa yang tidak menyenangkan 2. Mampu menafsirkan peristiwa dari sisi positifnya 3. Kontrol 1. Mampu mengendalikan Perilaku keadaan yang tidak menyenangkan dengan upaya sendiri 2. Mampu mengendalikan keadaan yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain 3. Mampu menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan 4. Mampu menunda pemuasan keinginan
1, 21
2,3,4
5
8, 9,
5,6,7, 19
6
14
4, 17, 30, 44
4
15, 45
16, 39, 20
5
18, 31, 32, 36
33, 34, 35, 37, 38
9
22, 23, 24, 26
25
5
27, 28, 29
Jumlah
3
40, 42
41, 43
4
23
22
45
Tabel 3.2 Kisi-kisi Angket Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Indikator Favourable
Nomor Item Unfavourable
Jumlah
Adanya tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama
1, 5, 39
2, 3, 7, 8, 25
8
Adanya komunikasi dan interaksi antara pihak-pihak yang berkolaborasi
6, 17, 19, 20, 22,
18, 28
7
Adanya kejelasan antara pihak-pihak
peran yang
10, 12,
11, 13,
7
90
berkolaborasi
15, 21
16,
Adanya hubungan kesetaraan antara pihak-pihak yang berkolaborasi
23, 24, 26, 29, 31, 32, 33, 34, 46
9
Adanya hubungan yang 36, 40, 45, 35, 37, 41, 42, saling percaya antara pihak- 47, 48, 52,, 49, 50 pihak yang berkolaborasi
11
Masing-masing pihak yang 53, 54, 57, berkolaborasi dapat menjadi 58, 59, 60, sumber 61, 64, 65
8
Jumlah
29
21
50
Tabel 3.3 Kisi-kisi Pedoman Observasi Kegiatan Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas Variabel
Aspek
Penerapan model oleh guru di kelas
1. Persiapan
2. Pengelolaan kelas
3. Penggunaan metode dan media 4. Ketepatan dengan panduan
Indikator
No Item
1. Mengkondisikan anak sebelum belajar 2. Ketepatan menyusun ruang belajar 3. Cara mempersiapkan alat peraga 1. Cara menyampaikan materi 2. Kemampuan menarik perhatian anak 3. Upaya membuat anak memahami penjelasan 4. Kreativitas menjelaskan materi 5. Cara melibatkan anak aktif dalam pembelajaran 6. Cara memotivasi anak 1. Kemampuan menggunakan alat peraga 2. Kemampuan menerapkan metode mengajar Kesesuaian cara mengajar dengan persiapan
1 2 3 4 6 7 8 10 11 5 9 12
91
Tabel 3.4 Kisi-kisi Pedoman Observasi Keterlibatan Anak dalam Kegiatan Belajar Mengajar di kelas Variabel Keterlibatan anak dalam kegiatan belajar di kelas
Aspek 1. Perhatian
2. Keaktifan
3. Pemahaman terhadap penjelasan guru
Indikator 1. Memperhatikan penjelasan guru
No Item 1
2. Tertib dalam mengikuti kegiatan
2
3. Kepatuhan terhadap guru
5
4. Fokus pada kegiatan
7
1. Terlibat dalam kegiatan
3
2. Melaksanakan instruksi guru
6
Memahami penjelasan guru
4
92
Tabel 3.5 Kisi-kisi Pedoman Observasi Peran Kolaborator dalam Diskusi Kelompok Variabel Peran kolaborator
Aspek 1. Peran guru
Indikator 1. Aktif dalam pertemuan kolaborator 2. Membangun kerja sama 3. Memotivasi orang tua 4. Memberikan penjelasan dalam pertemuan dengan kolaborator
No Item 6 7 8 9
2. Peran orang 1. Aktif dalam kegiatan pertemuan tua 2. Perhatian selama pertemuan 3. Kehadiran dalam pertemuan
10 11 12
3. Peran kepala sekolah
1 2 3 4 5
1. Membuka kegiatan diskusi 2. Menyiapkan ruang pertemuan 3. Menyiapkan sarana pertemuan 4. Cara memimpin pertemuan 5. Keaktifan dalam kegiatan diskusi
Tabel 3.6 Kisi-kisi Pedoman Wawancara Guru tentang Kegiatan Belajar di Kelas Variabel Penerapan model
Aspek Pelaksanaan kegiatan belajar di kelas
Indikator 1. Materi yang diajarkan 2. Kesulitan dalam menerapkan materi
No Item 1 2
3. Pandangan guru tentang isi materi 4. Penggunaan media mengajar
3
5. Pandangan guru tentang langkah
4
kegiatan
5
6. Pendapat guru tentang respon anak selama kegiatan
6
7. Manfaat yang bisa diraih
7
8. Faktor pendukung
8
9. Saran guru
9
93
Tabel 3.7 Kisi-kisi Pedoman Wawancara Kegiatan Orang tua dan Anak di rumah Variabel Penerapan model
Aspek Penerapan model oleh orang tua di rumah
Indikator 1. Materi kegiatan yang sudah dilaksanakan di rumah 2. Kesulitan yang dialami 3. Pendapat orang tua tentang isi materi kegiatan 4. Pennggunaan media kegiatan 5. Langkah yang kegiatan yang dilakukan 6. Pandangan orang tua tentang respon anak 7. Perubahan yang dialami anak 8. Manfaat yang dirasakan 9. Faktor pendukung kegiatan 10. Saran orang tua
No Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 3.8 Kisi-kisi Pedoman WawancaraKegiatan Diskusi Kelompok antara Kepala Sekolah, Guru dan Orang tua VARIABEL
ASPEK
Pelaksanaan Kolaborasi
Pertemuan orang tua, guru dan kepala sekolah
INDIKATOR 1. Materi yang didiskusikan
NO ITEM 1
2. Persiapan kegiatan
2
3. Pelaksanaan kegiatan
3
4. Hambatan yang dialami
4
5. Keaktifan peserta diskusi
5
6. Keseriusan peserta dalam kegiatan
6
7. Respon peserta dalam kegiatan
7
8. Manfaat yang diraih
8
9. Saran peserta
9
94
Tabel 3.9 Kisi-kisi Evaluasi Kegiatan Kolaborasi Variabel Pelaksanaan Kolaborasi
Aspek Diskusi kelompok orang tua, guru dan kepala sekolah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Indikator Materi yang didiskusikan Persiapan kegiatan Pelaksanaan kegiatan Hambatan yang dialami Keaktifan peserta diskusi Keseriusan peserta dalam kegiatan Respon peserta dalam kegiatan Manfaat yang diraih Saran peserta
No Item 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tabel 3.10 Kisi-kisi Angket Kegiatan Orang tua dan Anak di Rumah Variabel Kegiatan Orang tua di rumah
Aspek Mengisi jurnal kegiatan
Indikator Mengisi jurnal kegiatan
Menguasai materi kegiatan
1. Menguasai materi “Peraturan dalam Bermain” 2. Menguasai materi “Emosi dan Cara Mengekspresikannya” 3. Menguasai materi “ Cara Menyatakan Keingninan 4. Menguasai materi “Cara Mengendalikan Kemarahan” 1. Menerapkan kegiatan“Peraturan dalam Bermain” 2. Menerapkan kegiatan “Emosi dan Cara Mengekspresikannya” 3. Menerapkan kegiatan “ Cara Menyatakan Keingninan” 4. Menerapkan kegiatan “Cara Mengendalikan Kemarahan” 5. Menerapkan prinsip parenting
Menerapkan kegiatan sesuai materi
Tabel 3.11
No Item 1
2 3
4 5 6
7
8 9 10
95
Kisi-kisi Tes Pengetahuan Guru dan Orang tua Variabel Pengetahuan guru dan orang tua tentang materi kegiatan
Indikator 1. Menjelaskan manfaat melatih pengendaalian diri anak 2. Menyebutkan ciri anak yang mempunyai pengendalian diri yang baik 3. Menguraikan manfaat kerjasam antara orang tua dengan pihak sekolah 4. Menyebutkan 2 prinsip parenting 5. Menyebutkan peraturan dalam bermain 6. Menyebutkan alternatif solusi 7. Menyebutkan langkah mengendalikan kemarahan
No Item 1 2 3 4 5 6 7
2. Penimbangan Instrumen Instrumen pengumpul data pengendalian diri anak usia dini dan data kondisi objektif kolaborator dilakukan uji rasional kelayakan untuk menemukan kelayakan instrumen sebelum digunakan. Pedoman observasi untuk mengukur pengendalian diri anak usia dini terdiri dari 55 item sementara angket kondisi objektif kolaborator terdiri dari 60 item.
Instrumen tersebut diuji oleh tiga pakar
untuk dikaji dari sisi substansi isi, bahasa, maupun redaksi setiap item. Penimbang instrumen penelitian ini adalah Dr. Mubiar Agustin dan Dr. Aan Listiana sebagai pakar bimbingan dan konseling dan anak usia dini serta Dr Rahayu Ginintasasi penimbang ke-tiga sebagai pakar bimbingan dan konseling yang mengangkat disertasi tentang bimbingan dan konseling kolaboratif. Instrumen yang sudah divalidasi oleh tiga pakar serta sudah diperbaiki tersebut selanjutnya dibagikan kepada kolaborator yaitu, orang tua, guru dan kepala sekolah guna diisi sesuai petunjuk pengisian dalam rangka uji keterbacaan. 3. Validitas dan Reliabilitas Instrumen a. Uji Validitas Instrumen Pemilihan item dilakukan dengan uji validitas item menggunakan teknik korelasi item-total product moment. Langkah-langkah pengujian validitas adalah sebagai berikut. Pertama, menghitung koefisien korelasi product moment (r) hitung (r xy ) dengan menggunakan rumus seperti berikut:
96
rXY
N XY ( X)( Y)
N X
2
( X) 2 N Y 2 ( Y) 2
(Arikunto, 2002, hlm. 72)
Keterangan: rXY = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y X = Item soal yang dicari validitasnya Y = Skor total yang diperoleh sampel Kedua, Proses pengambilankeputusan. Pengambilankeputusandidasarkanpadauji hipotesa dengan kriteria sebagai berikut. 1) Jika r , dan r hitung ≥ 0,3, makaitem pernyataan valid 2) Jika r hitungnegatif, dan r hitung< 0,3, maka item pernyataantidak valid MenurutMasrundalamSugiyono (2007, hlm. 188-189) menyatakanbahwa Item yang dipilih (valid) adalah yang memilikitingkatkorelasi ≥ 0,3. Jadi, makintinggivaliditassuatualatukur, maka alat ukur itu makin mengenai sasarannya atau makin menunjukkan apa yang seharusnya diukur. Berikut rekapitulasi hasil perhitungan uji validitas instrumen pengendalian diri anak usia dini dan pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif. Berdasarkan uji validitas terhadap 54 item pernyataan,
diperoleh 45
pernyataan yang valid dan sembilan pernyataan yang tidak valid yaitu nomor 12,16,17,18,20,23,30,36,39. Pada item pernyataan yang valid hal ini berarti bahwa item pernyataan tersebut dapat mengukur pengendalian diri anak dan sebaliknya, bagi item pernyataan yang tidak valid berarti bahwa item tersebut tidak dapat mengukur pengendalian diri anak. Item instrumen yang valid tersebut yang dianalisis sebagai alat ukur pengendalian diri anak usia dini. Selanjutnya, Tabel berikut menyajikan secara lengkap rekapitulasi hasil perhitungan uji validitas instrumen pelaksanaan bimbingan kolaboratif. Berdasarkan hasil uji validitas angket kolaborasi, dari 65 item pernyataan diperoleh 50 pernyataan yang valid dan ada 15 pernyataan yang tidak valid. Item
97
yang tidak valid adalah nomor nomor 4,9,14,27,30,38,43,44,49,51,55,56,62,63,65. Pada item pernyataan yang valid hal ini berarti bahwa item pernyataan tersebut dapat mengukur pelaksanaan bimbingan kolaboratif dan sebaliknya, bagi item pernyataan yang tidak valid berarti bahwa item tersebut tidak dapat mengukur pelaksanaan bimbingan kolaboratif. Item yang valid tersebut selanjutnya dianalisis untuk menemukan profil kolaborasi di sekolah yang menjadi tempat penelitian.
b.UjiReliabilitas
Setelahdiujivaliditassetiap selanjutnyaalatpengumpul reliabilitasnya.
Reliabilitas
item
data
tersebut
berhubungan
diuji dengan
ketepatan atau konsistensi suatu alat ukur. Reliabilitas alat ukur berarti suatu instrumen dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, karena instrumen yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya. Pengujian
reliabilitas
menggunakan
rumus
Cronbach’s Alpha ( ) melalui tahapan sebagai berikut. Pertama, menghitung nilai reliabilitas atau r hitung (r11) dengan menggunakan rumus berikut. 2 n i r11 1 t2 n 1
Keterangan :
98
r11 = Reliabilitas tes yang dicari
2 i
Jumlah
varians skor tiap-tiap item
t 2 = Varians total n
= Banyaknya soal
Kedua, mencari varians semua item menggunakan rumus berikut.
2
X
X
2
2
N
(Arikunto, 2002, hlm. 109)
N
Keterangan :
X = Jumlah Skor
X N
2
= jumlah kuadrat skor = banyaknya sampel Titik tolak ukur koefisien reliabilitas digunakan pedoman
koefisien korelasi dari Sugiyono (1999, hlm. 149) yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3 Pedoman untuk Memberikan Interpretasi Koefesien Korelasi
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Sangat rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 - 0,799
Kuat
0,80 – 1,000
Sangat kuat
Proses pengujian reliabilitas dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak MS Excel 2007. Hasil pengujian didapatkan: 1. Pengendalian diri anak Jumlah varian (i ) = 44,395
99
Varian Total (t ) = 435,482 Reliabilitas = 0,915 (Sangat Kuat) 2. Pelaksanaan kolaborasi Jumlah varian (i ) = 45,669 Varian Total (t ) = 431,618 Reliabilitas = 0,908 (Sangat Kuat) Merujuk pada pedoman koefisien korelasi dari Sugiyono (1999, hlm. 149) dapat ditarik kesimpulan bahwa reliabilitas instrumen pengungkap pengendalian diri anak dan pelaksanan bimbingan kolaboratif berada pada kategori sangat kuat.
F. Tehnik Pengumpulan Data 1. Observasi Observasi digunakan untuk menggali data tentang pengendalian diri anak usia dini sebelum dan setelah penerapan model, observasi pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas, observasi pada saat diskusi dan pertemuan antara orang tua, guru dan kepala sekolah. Berdasar jenis data yang dikumpulkan, dalam penelitian ini ada tiga macam observasi sebagai berikut. a. Observasi untuk mendapatkan data tentang pengendalian diri anak usia dini dilakukan oleh orang tua dan guru dengan menggunakan pedoman observasi. Pengumpulan data pengendalian diri anak dilakukan oleh orang tua dan guru karena orang tua dan guru yang banyak berinteraksi dengan anak sehari-hari sehingga lebih mengetahui tentang keadaan anak yang sebenarnya. Observasi oleh orang tua dilakukan di rumah, observasi oleh guru dilakukan di sekolah, selama satu minggu agar mendapatkan data yang akurat. Pedoman observasi pengendalian diri anak usia dini dikembangkan dari pandangan LeBuffe & Naglieri (2009), Muele (2010), Logue (1995), Averill (1973) dan Baumeister dkk. (1994) yang mengukur kemampuan mengontrol emosi, kemampuan mengontrol pikiran dan kemampuan mengontrol perilaku. Pedoman observasi untuk mengetahui pengendalian diri anak usia dini disusun menggunakan skala rating model Likert dengan empat kondisiyaitu sangat sering, sering, kadang-kadang dan tidak pernah. Adapun cara menentukan skor hasil
100
observasi mengikuti pedoman berikut. Pernyataan vafourale dilakukan dengan skor sebagai berikut. skor 4 : bila anak sangat sering melakukan skor 3 : bila anak sering melakukan skor 2 : bila anak kadang-kadangmelakukan skor 1 : bila anak tidak pernah melakukan Sedangkan pernyataan unvafourale dilakukan dengan skor sebagai berikut. skor1 : bila anak sering melakukan skor2 : bila anak kadang-kadang melakukan skor3 : bila anak pernah melakukan skor4 : bila anak tidak pernah melakukan b. Observasi pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan guru dalam menerapkan pembelajaran untuk mengembangkan pengendalian diri anak sesuai panduan yang sudah disiapkan serta untuk mengetahui respon anak selama kegiatan belajar mengajar. Pedoman observasi guru berupa cheklist dengan tiga alternatif jawaban, yaitu tepat, kurang tepat dan tidak tepat, sementara observasi terhadap respon anak selama kegiatan belajar di kelas dilakukan untuk mengukur secara kuantitas jumlah anak yang menunjukkan respon positif selama kegiatan belajar. Observasi selama kegiatan belajar mengajar di kelas dilakukan oleh mahasiswa sebagai pembantu peneliti yang sudah dilatih terlebih dahulu. c. Observasi ketiga dilakukan pada saat diskusi kelompok antara orang tua, guru dan kepala sekolah sebagai kolaborator. Observasi ini bertujuan mengetahui pelaksanaan diskusi antar kolaborator yang meliputi persiapan kegiatan diskusi, kondisi ruang dan sarana pendukung, respon, peran dan tugas masing-masing kolaborator. Pedoman observasi berupa cheklist dengan tiga alternatif jawaban, yaitu baik, cukup dan kurang. Observasi pada kegiatan ini juga dilakukan oleh mahasiswa yang sudah mendapatkan pelatihan.
2.
Wawancara Wawancara ditujukan kepada kolaborator yaitu guru, kepala sekolah dan
101
orang tua pada saat surve awal, untuk mengetahui kondisi pengendalian diri anak serta upaya bimbingan yang sudah dilakukan untuk meningkatkan pengendalian diri anak dan kondisi objektif kolaborator dalam membangun kerjasama. Wawancara berikutnya dilakukan dengan dua tujuan yaitu untuk mengungkap pelaksanaan/penerapan
model bimbingan
konseling kolaboratif
oleh guru
selama kegiatan belajar di kelas dan orang tua dalam melakukan pendampingan untuk mengembangkan pengendalian diri di rumah. Tujuan wawancara berikutnya adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerja sama antara orang tua, guru dan kepala sekolah meliputi kendala yang hadapi, manfaat yang dirasakan, serta untuk menampung saran dan masukan dari kolaborator. 3. Tes Tes digunakan untuk mengukur pengetahuan guru dan orang tua tentang materi kegiatan, yaitu pentingnya pengendalian diri bagi anak,manfaat kerjasama antara orang tua dengan pihak sekolah, materi kegiatan yang diajarkan untuk mengendalikan diri serta prinsip parenting dalam meningkatkan pengendalian diri anak. 4. Angket Ada dua macam angket
yang digunakan dalam penelitian ini, pertama
angket yang diisi oleh orang tua, bertujuan untuk mengetahui ketepatan orang tua dalam menerapkan kegiatan untuk mengembangkan pengendalian diri anak di rumah, sebagai crosscek hasil wawancara. Kedua angket pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif.
Angket pelaksanaan BKK dikembangkan dari
pandangan Bertolino dan Bill O‟Hanlon (2002) yang menyatakan bahwa konselor bukan single expert, keterlibatan pihak lain sangat dibutuhkan agar hasil yang dicapai lebih optimal. Sementara proses kolaborasi dimodifikasi dari pandangan Brown dkk (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 528)dan Cook and Frend (dalam Frans dan Bursuck, 1996, hlm. 76). Angket disusun menggunakan skala Likert
dengan empat alternatif
jawaban, yaitu sesuai dengan yang dialami atau dirasakan, kurang sesuai dengan yang dialami atau dirasakan, ketiga tidak sesuai dengan yang dialami atau dirasakan dan terakhir tidak tahu. Cara menentukan skor hasil jawaban responden menggunakan pedoman sebagai berikut. Untuk pernyataan favourabel sebagai
102
berikut. skor4 : bila sangat sesuai dengan yang dialami/dirasakan skor3 : bila sesuai dengan yang dialami/dirasakan skor2 : bila kurang sesuai dengan yang dialami/dirasakan skor1 : bila tidak sesuai dengan yang dialami/dirasakan Sedangkan untuk pernyataan yang unfavourabel sebagai berikut. skor1 : bila sangatsesuai dengan yang dialami/dirasakan skor2 : bila sesuai dengan yang dialami/dirasakan skor3 : bila kurang sesuai dengan yang dialami/dirasakan dan skor4 : bila tidak sesuai dengan yang dialami/dirasakan G. Tehnik Analisis Data 1. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas butir pernyataan dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi
item-total
product
moment.Dalam
penghitungan
validitas
butir
pernyataan digunakan bantuan program Ms Excel 2007. Instrumen pengendalian diri anak dari 54 pernyataan diperoleh 45 pernyataan yang valid dan sembilan pernyataan yang tidak valid yaitu nomor 12,16,17,18,20,23,30,36,39. Pada item pernyataan yang valid hal ini berarti bahwa item pernyataan tersebut dapat mengukur pengendalian diri anak usia dini dan sebaliknya, pada item pernyataan yang tidak valid berarti bahwa item tersebut tidak dapat mengukur pengendalian diri anak usia. Angket pelaksanaan bimbingan kolaboratif dari 65 pernyataan diperoleh 50 pernyataan yang valid, ada 15 pernyataan yang tidak valid yaitu pernyataan nomor 4,9,14,27,30,38,43,44,49,51,55,56,62,63,65. (Langkah-langkah perhitungan uji validitas terlampir). Setelah diuji validitas setiap item selanjutnya instrumen tersebut diuji tingkat reliabilitasnya.Realibilitas berhubungan dengan masalah ketetapan atau konsistensi instrumen.Reliabilitas berarti bahwa suatu instrumen dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, karena instrumen telah teruji ketetapannya. Instrumen yang dipercaya atau reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Dalam pengujian reliabilitas instrumen digunakan rumus Cronbach’s Alpha ( ), dan dalam proses pengujian reliabilitas digunakan bantuan perangkat lunak MS Excel 2007 (terlampir). Hasil pengujian didapatkan
103
bahwa nilai reliabilitas instrumen pengendalian diri anak adalah 0,915 dan reliabilitas angket pelaksanaan bimbingan kolaboratif adalah 0,908. (langkahlangkah uji reliabilitas instrumen terlampir). Dengan merujuk pada pedoman koefisien korelasi dari Sugiyono (1999:149), dapat ditarik kesimpulan bahwa reliabilitas instrumen pengendalian diri anak dan angket pelaksanaan bimbingan kolaboratif berada pada kategori sangat kuat.
2. Uji Normalitas Uji hipotesis pada sampel pretes dan posttes dilakukan menggunakan uji-t berpasangan. Syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan uji ini adalah data dari kedua sempel berdistribusi normal. Oleh karena itu, uji kenormalan kolmogorovsmirnovakan dilakukan pada kedua sampel untuk melihat kenormalan data. Uji hipotesis yang digunakan pada uji kenormalan kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut. Ho : data berdistribusi normal H1 : data berdistribusi tidak normal Untuk mengetahui uji normalitas data pretest dan posttest pada penelitian ini digunakan untuk uji statistik kolmogorov-Smirnov dengan taraf signifikansi 5%. Kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut: 1) Jika nilai signifikansi (sig) ≥ 0.05 Ho diterima 2) Jika nilai signifikansi (sig) < 0.05 Ho ditolak 3.
Uji Perbedaan dua rata-rata Data penelitian dianalisis menggunakan tehnik analisis deskriptif dan
tehnik analisis statistik. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data hasil studi pendahuluan, maupun selama proses pengembangan model, yaitu data yang bersifat kuantitatif maupun data kualitatif. Sementara tehnik analisis statitik yang digunakan adalah uji-t atau t-test yang berguna untuk menguji efektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif dalam mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini. Uji –t digunakan untuk menguji perbedaan antara hasil pretes yaitu kondisi awal sebelum diterapkan model bimbingan dan konseling kolaboratif dengan hasil postes yaitu kondisi setelah diterapkan model BKK. Uji-t yang digunakan untuk menguji efektivitas model BBK menggunakan t-tes
104
berkolerasi (related) atau korelasi dua kelompok karena dua kelompok yang dibanding setara. Selanjutnya tehnis mengujian antara kondisi awal pengendalian diri anak sebelum diberlakukannya BKK dengan setelah BKK menggunakan bantuan perangkat lunak (soft ware) SPSS 16.0 for windows. Pengujian efektivitas model BBK mengacu pada desain pre-eksperimen berupa one-group pretest-postest design, yaitu membandingkan kondisi awal pengendalian diri anak usia dini sebelum penggunaan model BKK dengan kondisi setelah digunakan model BKK. Data kualitatif bersumber dari wawancara dan observasi dianalisis dengan menggunakan analisis konten serta dipaparkan secara deskriptif. Tahapan uji t berpasangan yaitu sebagai berikut: 1) Hipotesis Ho : µ2 = µ1 Tidak terdapat perbedaan pengendalian diri anak sebelum dan sesudah penerapan model BKK Ho : µ2>µ1 Pengendalian diri anak lebih baik setelah penerapan model BKK Dimana µ1 : Rata-rata data pretest pengendalian diri anak µ2: Rata-rata data Posttest pengendalian diri anak 2) Dasar pengambilan keputusan Pengambilan keputusan dilakukan dengan dua cara, yaitu membandingkan nilai t
hitung
dengan t
tabel
atau dengan membandingkan nilai probabilitas yang
diperoleh dengan α = 0,05. Jika pengambilan keputusannya berdasarkan nilai t adalah Ho diterima jika – t
1–½ α<
t hitung < t
1–½ α,
hitung
dimana t
maka kriterianya 1–½ α
didapat dari
daftar tabel t dengan dk = (n1 + n2 – 1) dan peluang 1- ½ α. Untuk harga-harga t lainnya Ho ditolak. Jika pengambilan keputusannya berdasarkan angka probabilitas (nilai p), maka kriterianya adalah: (1) Jika nilai p < 0,05, maka Ho ditolak (2) Jika nilai p > 0,05, maka Ho diterima
105
3) Mencari t hitung Tahapan mencari t hitung adalah sebagai berikut: a) Menghitung selisih (d), yaitu data pretest – data posttest. b) Menghitung total d, lalu mencari mean d. c) Menghitung d – (d
rata-rata),
kemudian mengkuadratkan selisih tersebut, dan
menghitung total kuadrat selisih tersebut. d) Mencari Sd2, dengan rumus: Sd2 =
1 𝑛−1
x [total (d – d rata-rata)2]
e) Mencari t hitung dengan rumus:
thitung =
𝑑 𝑆𝑑
𝑛
Keterangan: 𝑑
: rata-rata d
Sd
: Standar deviasi
n
: Banyaknya data
(Sudjana, 1996: 242)
Kemudian hasil uji keefektifan model digunakan sebagai dasar peneliti melakukan revisi model operasional menjadi rumusan model akhir atau model teruji. Desain one-group pretest-postest design
yang digunakan untuk menguji
efektivitas model terlihat pada bagan berikut.
01
02
X Keterangan : 01 = kondisi awal sebelum penggunaan model 02 = kondisi sesudah perlakuan atau setelah penggunaan model BKK X = perlakuan atau penerapan model BKK
106
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini Profil pengendalian diri anak usia dini dalam penelitian ini merupakan gambaran kondisi pengendalian diri anak yang diperoleh sebelum penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif. Data kondisi pengendalian diri anak diperoleh berdasar hasil pengamatan guru tentang perilaku anak di sekolah dan berdasar pengamatan orang tua tentang perilaku anak di rumah, menggunakan instrumen berupa pedoman observasi. Kondisi pengendalian diri anak pada penelitian ini dipaparkan berdasarkan tiga sub variabel pengendalian diri yaitu pengendalian emosi, pengendalian pikiran dan pengendalian perilaku. Kondisi pengendalian diri anak usia dini dipertajam kupasannya
dengan menguraikankondisi pengendalian diri untuk
setiap indikator. Profil pengendalian diri anak usia dini secara lengkap terlihat pada grafik batang 4.1 di bawah ini.
20
15 10
Penilaian Guru
5
Penilaian Orang Tua
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi pengendalian diri anak sebagian besar berada dalam kategori sedang dan rendah, baik menurut
107
penilaian guru maupun orang tua. Pengendalian diri anak yang berkategori tinggi sangat sedikit dibanding yang lain, yaitu 5,71% menurut penilaian guru dan 2,86% menurut penilaian orang tua. Penilaian orang tua terhadap pengendalian diri anak lebih rendah dari pada penilaian guru. a.
Profil Pengendalian Emosi Anak Usia Dini Profil pengendalian diri anak
selanjutnya diuraikan berdasarkan sub
variabelnya. Kondisi pengendalian diri anak pada sub variabel 1 (kontrol emosi) menurut penilaian guruyang terbanyak berada dalam kategori rendah, yaitu sebanyak 45,71% sementara menurut penilaian orang tua yang terbanyak berada pada kategori sedang. Ditemukan kondisi pengendalian emosi anak yang berkategori sangat rendah baik menurut penilaian guru maupun orang tua. Data tentang kondisi pengendalian emosi anak menurut penilaian guru dan orang tua terlihat pada grafik 4.2 berikut. 20 15 10
Penilaian Guru 5
Penilaian Orang Tua
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.2 Profil PengendalianEmosi Anak Rendahnya pengendalian emosi anak diperkuat hasil wawancara dengan orang tua dalam sebuah pertemuan wali murid TK berikut ini. ...anak saya sulit sekali, setiap minta sesuatu harus dituruti, caranya gimana ya bu..kalau minta tu sambil berteriak-teriak, kalau saya diamkan ya tambah marahnya....(No, Ot, 5 Maret 2014). ...susah diatur bu..anaknya ngeyel (tidak patuh), kalau di suruh mandi susah, banyak alasan, sukanya nonton TV terus, suruh belajar juga susah, setiap berangkat sekolah sering nangis, ya bu (guru)....(Ty, Ot, 8 Maret 2014)
108
Kondisi pengendalian emosi meliputi tiga indikator yaitu mampu menyatakan perasaan yang dialami, mampu menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain dan mampu menahan kemarahan. Pada setiap indikator ditemukan anak yang mempunyai pengendalian emosi sangat rendah, baik menurut penilaian guru maupun orang tua. Sebagian besar anak mempunyai pengendalian emosi sedang dan rendah, sedikit anak yang mempunyai pengendaalian emosi dalam kategori tinggi. Kondisi pengendalian emosi anak pada masing-masing indikator terlihat pada tabel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1 Profil Pengendalian Emosi Anak Usia Dini pada Setiap Indikator No Indikator Kriteria Interval
1
Indikator 1
Penilaian Guru
Penilaian Orang Tua
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
Tinggi
14 – 16
3
8.57
2
5.71
Sedang
11 – 13
21
60.00
20
57.14
Rendah
8 – 10
7
20.00
10
28.57
Rendah
4–7
4
11.43
3
8.57
Tinggi
17 – 20
2
5.71
1
2.86
Sedang
13 - 16
16
45.71
10
28.57
Rendah
9 – 12
14
40.00
21
60.00
Rendah
5–8
3
8.57
3
8.47
Tinggi
17 - 20
1
2.86
4
11.43
Sedang
13 - 16
10
28.57
14
40.00
Rendah
9 – 12
22
62.86
15
42.86
5–8
2
5.71
1
5.71
Sangat
2
Indikator 2
Sangat
3
Indikator 3
Sangat Rendah
Berdasar tabel 4.1 diatas dipaparkan profil pengendalian emosi anak untuk setiap indikator dalam grafik di bawah ini.
109
25 20 15 Indikator 1
10
Indikator 2
5
Indikator 3
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.3 Profil Pengendalian Emosi pada Setiap Indikator Berdasarkan Penilaian Guru 25 20 15
Indikator 1
10
Indikator 2
5
Indikator 3
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.4 Profil Pengendalian Emosi pada Setiap Indikator Berdasarkan Penilaian Orang tua b. Profil Pengendalian Pikiran Anak Usia Dini Profil pengendalian pikiran anak sangat sedikit anak yang mempunyai pengendalian pikiran dalam kategori tinggi, sebagian besar berkategori rendah dan selebihnya berkategori rendah. Sedangkan menurut penilaian orang tua sebagian besar pengendalian pikiran anak berada pada kategori rendah, bahkan ditemukan pengendalian pikiran anak yang berkategori sangat rendah baik menurut penilaian guru maupun orang tua. Anak yang mempunyai pengendalian pikiran dalam kategori tinggi jumlahnya sangat sedikit.
110
Profil pengendalian diri pada sub variabel 2 (kontrol pikiran), menurut penilaian guru dan orang tua sebagaimana tersaji pada grafik 4.5 berikut. 25 20 15 10
Penilaian Guru
5
Penilaian Orang Tua
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.5 Profil Pengendalian Pikiran Anak UsiaDini Temuan di atas sejalan dengan hasil wawancara awal terhadap guru dan orang tua sebelum penerapan model BKK sebagai berikut. ...ada beberapa anak yang semaunya sendiri, kalau bicara ceblangceblung (tanpa dipikir terlebih dahulu), anaknya ngeyel (bandel) kalau di beri tahu...(Kj, Gr, 3Pebruari 2014). ...anak saya kalau ditanya asal jawab, apalagi kalau disuruh, wah susahnya bukan main.. (Ln, Ot, 4 Maret 2014). Kondisi pengendalian pikiran anak usia dini meliputi dua indikator yaitu mampu mengolah informasi untuk mengantisipasi keadaan yang tidak menyenangkan
dan mampu menafsirkan peristiwa dadri sisi positifnya.
Kemampuan anak mengolah informasi yang berkategori tinggi frekuensinya seimbang dengan yang berkategori sedang, namun yang berkategori rendah sangat sedikit. Sementara pada indikator 5 yaitu mampu menafsirkan peristiwa dari sisi positifnya, yang berkategori sedang jauh lebih banyak frekuensinya, demikian juga yang berkategori rendahlebih banyak dari indikator 4. Kondisi pengendalian pikiran anak untuk setiap indikator tersaji pada grafik 4.6 dan 4.7 berikut.
111
20 15 10 Indikator 4 5
Indikator 5
0
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.6 Profil Pengendalian Pikiran pada Setiap Indikator Berdasarkan PenilaianGuru 20 15 10 Indikator 4
5
Indikator 5
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.7 Profil Pengendalian Pikiran pada Setiap Indikator Berdasarkan Penilaian Orang tua c. Profil Pengendalian Perilaku Anak Usia Dini Profil pengendalian perilaku anak usia dini menurut penilaian guru yang berkategori tinggi hanya 8.57 %, yang berkategori sangat rendah ada 2.86 %, sebagiaan besar pengendalian perilaku anak berkategori sedang dan rendah. sedangkan menurut penilaian orang tua. Pengendalian perilaku anak menurut penilaian orang tua yang berkategori tinggi ada 2.86%, yang berkategori sangat rendah 0%, selebihnya berkategori sedang rendah. Profil pengendalian perilaku anak menurut penilaian guru dan orang tua terlihat pada grafik di bawah ini.
112
20 15 10 Penilaian Guru 5
Penilaian Orang Tua
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.8 Profil Pengendalian Perilaku Berdasarkan penilaian Guru dan Orang Tua Pengendalian perilaku anak meliputi empat indikator yaitu kemampuan mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan dengan upaya sendiri, kemampuan mengatasi yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain, kemampuan menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan dan kemampuan menunda pemuasan keinginan. Berdasar penilaian guru, ditemukan 8.57 % anak yang mampu mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan dengan upaya sendiri dalam kategori tinggi, 51.43% dalam kategori sedang, 40% berkategori rendah serta tidak ditemukan yang berkategori sangat rendah. Sementara kemampuan mengatasi yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain, ditemukan 28.57 % yang berkategori tinggi, 20.00 % berkategori sedang, 40 % berkategori rendah serta 11.43 % berkategori sangat
rendah. Kemampuan
menjauhi keadaan
yang tidak
menyenangkan ditemukan 11.43% yang berkategori tinggi, 54.29 % berkategori sedang, 25.71% berkategori rendah serta 8.57 % berkategori sangat rendah. Sedangkan kemampuan anak menunda pemuasan keinginan ditemukan 8.57 % yang berkategori tinggi, 42.86 % berkategori sedang, 37.14 % berkategori rendah serta 11.43 % berkategori sangat rendah. Menurut penilaian orang tua, ditemukan 0.00% anak yang mampu mengatasi keadaan
yang tidak menyenangkan dengan upaya sendiri dalam
kategori tinggi, 57.14 % dalam kategori sedang, 37.14 % berkategori rendah serta
113
5.71% yang berkategori sangat rendah. Sementara kemampuan mengatasi yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain, ditemukan 20.00% yang berkategori tinggi 57.14 % berkategori sedang, 17.14 % berkategori rendah serta 5.71 % berkategori sangat rendah. Kemampuan menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan ditemukan 8.57% yang berkategori tinggi, 45.71 % berkategori sedang, 31.43 % berkategori rendah serta 14.29 % berkategori sangat rendah. Sedangkan kemampuan anak menunda pemuasan keinginan ditemukan 0.000 % yang berkategori tinggi, 40.00% berkategori sedang, 42.86 % berkategori rendah serta 14.29 % berkategori sangat rendah. Profil pengendalian perilaku anak pada setiap indikator menurut penilaian orang tua dan guru tersebut terlihat pada grafik di bawah ini. 20 15 10
Indikator 6
5
Indikator 7 Indikator 8
0 Tinggi
Indikator 9 Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.9 Profil Pengendalian Perilakupada Setiap Indikator Berdasarkan Penilaian Guru 20 15 10
Indikator 6
5
Indikator 7
0
Indikator 8
Tinggi
Sedang
Indikator 9 Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.10 Profil Pengendalian Perilaku pada Setiap Indikator Berdasarkan Penilaian orang tua
114
2. Profil Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua Kolaborasi merupakan kerja sama dalam sebuah tim, yang dilandasi oleh kesamaan tujuan serta ada kejelasan peran dari pihak yang berkolaborasi. Kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua merupakan aspek penting dalam kegiatan bimbingan dan konseling untuk mendapatkan hasil yang optimal. Berikut ini disajikan kondisi kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini. 35 30 25 20 15 10 5 0
Profil kolaborasi
Tepat
Agak tepat
Kurang Tepat
Tidak Tepat
Grafik 4.11 Profil Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 24,44% menyatakan kolaborasi yang terjalin
sudah tepat, 71,11%
agak tepat, 4,44% kurang tepat dan 0%
berkolaborasi tidak tidak.Berdasar data di atas, secara umum kolaborasi orang tua dengan pihak sekolah belum memuaskan. Rendahnya kerja sama orang tua dengan pihak sekolah sebelum penerapan model BKK tersebut terlihat dari petikan wawancara dengan kepala TKdalam sebuah pertemuan dengan orang tua siswa berikut ini. ....lihat bu, kalau acara seperti ini (latihan menghias wajah anak untuk pentas) yang datang banyak, tapi kalau undangan lain yang untuk perkembangan anak, yang datang cuma dikit. Ya kaya gitulah... kurang peduli tentang perilaku dan agama anak-anaknya (TT, 12 April 2014, Ks). ....ya begini bu...kalau diundang pada gak datang, padahal undangan kami kasihkan ke semua orang tua, ...ni buku penghubung juga tidak diisi, ini buku penghubung setiap hari kita isi informasi tentang anak dan pesan untuk orang tua. Tapi ada juga yang mengisi (NR, 27 Maret 2014, Ks).
115
Profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua selanjutnya diuraikan berdasarkan indikatornya, pada indikator 1 (adanya tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama) diperoleh 24,44% yang menyatakan tepat, 64,44% menyatakan agak tepat, 11,11% menyatakan kurang tepat, dan 0% menyatakan tidak tepat. Pada indikator 2 (ada komunikasi dan interaksi antara pihak-pihak yang berkolaborasi) diperoleh bahwa kondisi kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua 40% berada pada kategori tepat, 60% berada pada kategori agak tepat, 0% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Selanjutnya pada indikator 3 (ada kejelasan peran antara pihak-pihak yang berkolaborasi) diperoleh data bahwa 37,78% berada pada kategori tepat, 57,74% berada pada kategori agak tepat, 4,44% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Berikutnya pada indikator 4 (ada hubungan kesetaraan antara pihak-pihak yang berkolaborasi) sebelum penerapan BKK, 42,22%
kolaborasinya pada
kategori tepat, 44,44% berada pada kategori agak tepat, 13,33% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Pada indikator 5 (ada hubungan yang saling percaya antara pihak-pihak yang berkolaborasi) diperoleh bahwa data 24,44% yang kolaborasinya berada pada kategori tepat, 68,89% kolaborasinya berada pada kategori
agak tepat, 6,67% berada pada
kategori kurang tepat, dan 0% yang berada pada kategori tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa 91,11% berada pada kategori tepat, 8,89% berada pada kategori agak tepat, 0% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Pada indikator 6 (masing-masing pihak yang berkolaborasi dapat menjadi sumber),ditemukan 0% yang kolaborasinya berada pada kategori tepat, 37,78% berada pada kategori agak tepat, 51,11% berada pada kategori kurang tepat, dan 11,11% berada pada kategori tidak tepat. Profil kolaborasi dari semua indikator terlihat pada grafik 4.12 di bawah ini.
116
35 30 25 20 15 10 5 0
Indikator 1 Indikator 2 Indikator 3 Indikator 4 Indikator 5 Tepat
Agak tepat
Kurang Tepat
Indikator 6 Tidak Tepat
Grafik 4.12 Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Orang tua pada Setiap Indikator 3. Proses Pengembangan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini. Proses pengembangan model BKK untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini diawali dengan menyusun model hipotetik, validasi model oleh tiga pakar, uji coba terbatas, dan uji coba luas. Proses pengembangan model BKK untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini, diuraikan berikut ini. a.
Model Hipotetik
Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk
Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini 1) Pengantar Pengendalian
diri
atau
self-control
merupakankemampuan
untukmengekspresikan emosi secara tepat, yang diukur dari perilakuyang berhubungan
dengan mengendalikankemarahan, dan menerimapilihanlain
ketika pilihan pertamanya tidak tersediaMuelle (2010, hlm. 8 dan 58), sementara LeBuffe & Naglieri (2009, hlm. 2) menyatakan pengendalian diri sebagai mengalami perasaan dan mengekspresikannya dengan kata-kata atau dengan perilaku yang dapat diterima orang lain. Konsep pengendalian lainnya dikemukakan oleh Logue (1995: 8)yang menyatakan bahwa pengendalian diri disebut sebagai menunda kesenangan (delay of gratification), Anak usia dini mempunyai pengendalian diri yang rendah bahkan cenderung impulsive (Logue, 1995: 8). Anak usia dini berada pada fase
117
membangkang (trotzalter), yang ditunjukkan dengan perilaku tidak patuh, keras kepala, ingin menang, mempunyai daya imitasi yang kuat dan bersifat egosentris.Di satu sisi fenomena kenakalan anak dan remaja saat ini sudah sangat memprihatinkan, daya imitasi yang tinggi pada anak usia dini memungkinkan anak meniru perilaku buruk yang ada di sekitarnya, ditambah perilaku yang cenderung membangkang dan keras kepala, anak memerlukan bimbingan agar anak dapat mengarahkan diri, berperilaku sesuai nilai-nilai sosial. Sementara gaya pengasuhan orang tua dalam menghadapi perilaku anak yang membangkang tidak selalu tepat. Pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, peran orang tua sangat besar agar kegiatan pendidikan berlangsung secara efektif dan tujuan tercapai optimal. Selama ini kerja sama yang terbangun antara sekolah dengan orang tua belum maksimal, padahal keterlibatan orang tua dalam program sekolah akan meningkatkan hasil belajar yang lebih konseisten, kontinu dan berkesinambungan. Perbedaan perlakuan antara sekolah dengan orang tua akan membingungkan anak dan mengacaukan pembentukan perilaku. Kolaborasi antara pihak sekolah dan orang tua sangat krusial diterapkan. Itulah pentingnya menerapkan bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. 2) Tujuan Model bimbingan dan konselingdan kolaboratif ini mempunyai beberapa tujuan
yaitu: a) meningkatkan peran serta
orang tua dalam kegiatan
bimbingan dan konseling dalam mengembangkan pengendalian diri anak, b) meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan orang tua, guru dan kepala sekolah tentang prosedur kerjasama yang efektif untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini, c) meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan orang tua dan
guru tentang
materi dan strategi mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini, d) meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.
118
3) Target Layanan dan Indikator Keberhasilan Target layanan bimbingan dan konseling kolaboratif ini adalah orang tua, guru, kepala sekolah dan anak PAUD. Adapun indikator keberhasilan pelaksanaan
model
bimbingan
kolaboratif
untuk
mengembangkan
pengendalian diri pada anak usia dini ini adalah: a) terjadi kerjasama yang saling percaya dan saling mendukung antara orang tua, guru dan kepala sekolah, b) terjadi komunikasi dan interaksi yang dilandasi kesetaraan antara orang tua, guru dan kepala sekolah, c) guru dan orang tua mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang strategi mengembangkan pengendalian diri pada anak, d) terjadi peningkatan pengendalian diri pada anak usia dini. 4) Kompetensi Kolaborator Kolaborator yang dilibatkan dalam bimbingan dan konseling kolaboratif ini adalah orang tua, guru dan kepala sekolah. Kompetensi kolaborator yang dilibatkan dalam bimbingan dan konselingadalah sebagai berikut. a) Kompetensi guru meliputi: sudah mendapatkan pelatihan tentang bimbingan dan konseling kolaboratif dan mempunyai pengetahuan tentang bimbingan dan konseling kolaboratif,
sudah mendapatkan pelatihan tentang strategi
mengembangkan pengendalian diri dan mempunyai pengetahuan tentang strategi mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini,menyatakan kesediaan untuk bekerja dalam suatu tim, dapat bekerja sama dalam tim, mempunyai kemampuan membangun hubungan interaktif dengan orang tua. b) Kompetensi orang tua: sudah mendapatkan pelatihan tentang bimbingan dan konseling kolaboratif dan mempunyai pengetahuan tentang bimbingan dan konseling kolaboratif, sudah mendapatkan pelatihan tentang strategi mengembangkan pengendalian diri dan mempunyai pengetahuan tentang strategi mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini, menyatakan kesediaan untuk bekerja dalam suatu tim, dapat bekerja sama dalam tim, mempunyai waktu dan kesempatan untuk memberikan bimbingan terhadap anak serta bersedia menjalan kegiatan di rumah sesuai pedoman untuk orang tua. c) Kompetensi kepala sekolah meliputi: sudah mendapatkan pelatihan tentang bimbingan dan konseling kolaboratif dan mempunyai pengetahuan tentang bimbingan dan konseling kolaboratif, menyatakan kesediaan untuk
119
bekerja dalam suatu tim, dapat bekerja sama dalam
tim, mempunyai
kemampuan membangun hubungan interaktif dengan orang tua dan guru. 5) Strategi Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Strategi bimbingan dan konselingkolaboratif yang digunakan
untuk
mengembangkan pengendalian diri adalah sebagai berikut. a) Pemberian Informasi dan Training. Strategi ini ditempuh melalui beberapa kegiatan
yaitu:
guru, kepala sekolah dan orang tua
mempelajari materi tentang fenomena kenakalan anak dan remaja serta pentingnya pengendalian diri, mempelajari hakekat dan prinsip bimbingan
konseling kolabotarif serta strategi parenting untuk
mengembangkan pengendalian diri anak melalui tayangan film pendek, membaca teks, diskusi dan ceramah; memberikan training kepada guru tentang langkah-langkah kegiatan untuk mengembangkan pengendalian diri yang meliputi cara menyampaian materi, penggunaan metode dan media kegiatan bimbingan serta prosedur dan tehnik membangun kerja sama dengan orang tua. b) Communicating. Strategi ini dilakukan dengan membangun komunikasi dan interaksi yang efektif
antar kolaborator.
Strategi ini ditempuh
melalui beberapa cara yaitu: menggunakan buku penghubung antara sekolah dengan orang tua
untuk mengkomunikasikan kegiatan yang
sudah dilaksanakan di sekolah serta tugas yang harus dilakukan orang tua di rumah, mengadakan pertemuan antara guru, kepala sekolah dan orang tua serta melakukan diskusi antara guru dengan orang tua dan diskusi antar orang tua, meningkatkan komunikasi antara orang tua dengan anak. c) Home educational enrichment. Pengayaan pendidikan di rumah ditujukan kepada orang tua dan anak. Pengayaan bagi orang tua dilakukan melalui pemberian orientasi dan training tentang materi kegiatan, penggunaan metode dan media sertastrategi parenting untuk pengembangkan pengendalian diri. Secara khusus pengayaan bertujuan agar orang tua dapat melaksanakan tugas dan perannya di rumah, yaitu: menindaklanjuti kegiatan yang sudah diajarkan di sekolah dengan mempelajari kembali
120
materi kegiatan, mempraktekkan dan mengimplementasikan terhadap anak di rumah; mempelajari, mempraktekkan dan mengimplementasikan strategi dan prinsip pengembangkan pengendalian diri anak di rumah; melakukan pembiasaan terhadap anak di rumah melalui jurnal kegiatan. Pengayaan bagi anak dilakukan bersama orang tua dengan mempelajari kembali kegiatan yang sudah diajarkan di sekolah serta mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dengan bimbingan orang tua. 6) Langkah Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Langkah pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif meliputi empat langkah yaitu: pra layanan, tahap layanan dan tahap pasca layanan. Tahap pra layanan dilakukan dengan melalui penyebaran angket untuk mengetahui kondisi objektif kolaborator dan kondisi pengendalian diri anak sebelum diberlakukan bimbingan dan konseling kolaboratif. Tahap layanan pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak diintegrasikan dalam pembelajaran setiap hari sesuai kurikulum yang diberlakukan di sekolah. Kegiatan yang sudah dijalankan di sekolah ditindaklanjuti oleh tua di rumah sehingga proses bimbingan dan konseling berjalan kontinu, selaras dan berkesinambungan. Pasca layanan dilakukan melalui kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif diteruskan melakukan tindak lanjut hasil evaluasi. 7) Peran dan Tugas Kolaborator Tugas dan peran masing-masing kolaborator adalah sebagai berikut. a) Deskripsi tugas guru adalah: mempelajari fenomena kenakalan anak dan remaja serta pentingnya pengendalian diri, mempelajari hakekat dan prosedur bimbingan dan konseling kolaboratif, mempelajari materi strategi parenting untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak, mempelajari
materi
kegiatan
bimbingan
dan
konseling
untuk
mengembangkan pengendalian diri anak yaitu meliputi : materi peraturan bermain bersama, materi emosi dan cara mengekspresikannya, materi cara menyatakan keinginan serta materi cara mengendalikan kemarahan,
121
menerapkan materi dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas sesuai
panduan pelaksanaan, bekerja sama dengan orang tua untuk melakukan pembiasaan di rumah terhadap materi yang sudah diajarkan di sekolah, melakukan pengamatan terhadap perkembangan perilaku anak, bekerja sama dengan kepala sekolah menghadirkan orang tua ke sekolah untuk mendiskusikan kesulitan atau kendala yang dialami serta melakukan evaluasi setiap satu sesi kegiatan berlangsung, melakukan bimbingan individual
terhadap
anak
yang
masih
mengalami
kesulitan
mengendalikan diri, melakukan evaluasi setelah selesai semua proses bimbingan dan konseling kolaboratif. b) Deskripsi tugas orang tua adalah: mempelajari fenomena kenakalan anak dan remaja serta pentingnya pengendalian diri, mempelajari hakekat prosedur bimbingan dan konseling kolaboratif, mempelajari materi perenting untuk mengembangkan pendalian diri anak, mempelajari dan menerapkan materi yang sudah diajarkan guru di sekolah yaitu tentang peraturan bermain bersama, materi emosi dan cara mengekspresikannya, materi cara menyatakan keinginan serta materi cara mengendalikan kemarahan; membimbing, melakukan pembiasaan dan memotivasi anak untuk menerapkan kegiatan yang sudah dilakukan di sekolah bersama guru yaitu tentang peraturan bermain bersama, materi emosi dan cara mengekspresikannya, materi cara menyatakan keinginan serta materi cara mengendalikan kemarahan, mendampingi anak mengisi jurnal kegiatan peraturan bermain, mengekspresikan emosi, menyatakan keinginan serta pengendalian kemarahan, menghadiri undangan pihak sekolah untuk mendiskusikan kegiatan yang sudah dilaksanakan serta kendala yang dihadapi, melakukan evaluasi pada setiap satu sesi kegiatan dan setelah selesai semua proses bimbingan dan konseling kolaboratif. c) Deskripsi tugas kepala sekolah adalah: mempelajari fenomena kenakalan anak dan remaja serta pentingnya pengendalian diri, mempelajari hakekat dan prosedur bimbingan dan konseling kolaboratif, menfasilitasi pertemuan antara guru dengan orang tua, memimpin pertemuan antara guru dengan orang tua, membantu mengatasi kesulitan yang dialami
122
orang tua dan guru selama kegiatan bimbingan dan konseling, melakukan evaluasi
terhadap proses bimbingan dan konseling kolaboratif yang
dilakukan guru dan orang tua. Kegiatan kolaborasi antara orang tua, guru dan kepala sekolah tersebut di atas dilakukan berdasar prinsip sebagai berikut. a) ada kesamaan tujuan yang akan dicapai bersama-sama, b) ada komunikasi dan interaksi antara sekolah dan orang tua, c) ada kerja sama yang saling mendukung d) adakesetaraan hubungan, e) ada hubungan yang saling percaya f) masingmasing pihak mampu dan mau menjadi sumber. 8) Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Layanan Keberhasilan
layanan
bimbingan
dan
konseling
kolaboratif
ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: kesiapan guru dan kepala sekolah untuk menerapkan model bimbingan dan konseling kolaboratif; kesiapan sekolah dalam menyiapkan materi dan prasana yang dibutuhkan untuk kegiatan bimbingan dan konseling kolaboratif; respon dan partisipasi orang tua terhadap kegiatan bimbingan dan konseling kolaboratif. 9) Evaluasi dan Tindak Lanjut Evaluasi layanan bimbingan dan konseling kolaboratif dilakukan dari dua aspek yaitu evaluasi terhadap proses kegiatan serta evaluasi terhadap hasil. Evaluasi terhadap proses pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif dilihat dari tiga
unsur yaitu: a) proses kegiatan belajar mengajar
yang
dilakukan guru di kelas, b) proses kegiatan yang dilakukan orang tua di rumah bersama anak c) proses kolaborasi antara orang tua, guru dan kepala sekolah. Instrumen yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses kegiatan adalah pedoman observasi dan pedoman wawancara. Evaluasi hasil bimbingan dan konseling kolaboratif dilihat dari empat unsur yaitu: pemahaman orang tua, guru dan kepala sekolah terhadap materi yang dipelajari; keterampilan orang tua dan guru dalam menerapkan strategi mengembangkan pengendalian diri pada anak; keterampilan orang tua, guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan kolaborasi dalam sebuah tim; peningkatan pengendalian diri anak. Instrumen yang digunakan untuk
123
mengetahui keberhasilan bimbingan dan konseling kolaboratif adalah : angket, pedoman wawancara dan pedoman observasi. Tindak tanjut kegiatan
layanan ini adalah sebagai berikut. Apabila
hasil dan proses kegiatan bimbingan dan konseling kolaboratif sudah sesuai dengan target yang ditetapkan maka model BKK dapat diterapkan pada populasi yang lebih luas dan dapat dikembangkan untuk tema lainnya. Apabila kegiatan bimbingan dan konseling kolaboratif belum sesuai dengan target yang ditetapkan maka beberapa aspek yang perlu diperbaiki yaitu : kemampuan guru yang menerapkan BKK harus mempunyai kompetensi profesional dan kompetensi didaktis dalam mengajar, waktu pelaksanaan setiap sesi diperpanjang, kemampuan orang tua dalam menerapkan BKK harus ditingkatkan. 10) Satuan Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Satuan kegiatan layanan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini terdiri dari
13 sesi
sebagaimana sebagai berikut. a) Pre tes untuk mengetahui kondisi awal pengendalian diri anak dan kondisi awal kolaborator. b) Pemberian informasi dan diskusi tentang fenomena kenakalan anak dan remaja serta pentingnya pengendalian diri dilakukan dengan memutar video tentang kenakalan anak dan remaja. c) Pemberian informasi tentang hakekat, prinsip dan prosedur pelaksanaan BKK. d) Pemberian informasi, diskusi kelompok parenting menerapkan
dan pelatihan tentang strategi
untuk meningkatkan pengendalian diri anak
serta langkah
kegiatan pengendalian diri anak yang berisikan cara
mengaplikasikan
materi peraturan dalam bermain, emosi dan cara
mengekspresikannya, cara menyatakan keinginan dengan baik dan cara mengendalikan kemarahan. e) Mengimplementasikan materi kegiatan pengendalian diri materi satu (peraturan dalam bermain) baik oleh guru maupun orang tua.
124
f) Diskusi kelompok antara guru dan orang tua tentang pelaksanaan kegiatan pada materi satu, membicarakan kesulitan, hambatan serta upaya mengatasi hambatan serta membicarakan rencana kegiatan materi ke-dua. g) Mengimplementasikan kegiatan pengendalian diri materi ke dua (emosi dan cara mengekspresikannya) oleh guru dan ditindaklanjuti orang tua di rumah. h) Diskusi kelompok antara guru dan orang tua tentang pelaksanaan kegiatan pada materi dua, membicarakan kesulitan, hambatan serta upaya mengatasi hambatan serta membicarakan rencana kegiatan materi ke-tiga. i) Mengimplementasikan kegiatan pengendalian diri materi ke-tiga (cara menyatakan keinginan) oleh guru dan ditindaklanjuti orang tua di rumah. j) Diskusi kelompok antara guru dan orang tua tentang pelaksanaan kegiatan pada materi tiga, membicarakan kesulitan, hambatan serta upaya mengatasi hambatan serta membicarakan rencana kegiatan materi keempat. k) Mengimplementasikan kegiatan pengendalian diri materi ke-empat (cara mengendalikan kemarahan) oleh guru dan ditindaklanjuti orang tua di rumah. l) Diskusi kelompok antara guru dan orang tua tentang pelaksanaan semua kegiatan BKK, membahas solusi serta jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. m) Pos tes untuk mengetahui kondisi penendalian diri anak serta kondisi kolaborator setelah pelaksanaan BKK. Berikut
ditampilkan
bagan
model
BKK
untuk
meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini tahap satu atau model hipotetik.
125
Grand desaign kemendikbud
Fenomena kenakalan anak & remaja
Ekspektasi kinerja konselor
Karakteristik anak usia dini
Prinsip BK
Keterampilan pengasuhan rendah Kerja sama guru-orang tua belum tepat
MODEL BKK PERENCANAAN 1. Penyusunan Instrumen 2. Kolaborator yang dilibatkan 3. Materi KBM A-F 4. Materi diskusi & pelatihan A 5. Metode KBM A-D 6. Metode pelatihan 7. Sarana KBM A-D 8. Sarana FGD 9. Sarana kegiatan orang tua A 10. Waktu & tempat kegiatan 11. Panduan Layanan BKK
PELAKSANAAN Pemberian informasi & pelatihan
Kegiatan guru 1
Kegiatan orang tua 1
EVALUASI
Guru Orangtua Kepala sekolah
A N A K
F G D
Proses dan hasil
Kegiatan guru 2
Kegiatan orang tua 2
Kegiatan guru 3
Kegiatan orang tua 3
Kegiatan guru 4
Kegiatan orang tua 4
A N A K
F G D
A N A K
F G D
A N A K
F G D
Bagan 4. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratiftahap 1 b. Validasi Model Langkah kedua dari proses pengembangan model BKK untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia diniadalah melakukan validasi model hipotetik. Validasi model dilakukan oleh tiga pakar yaitu, Dr. H. Mubiar Agustin, M.Pd., doktor Bimbingan dan Konseling pada sekolah pasca sarjana UPI dan
126
pernahmengajar di program studi PAUD Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr.
Slameto, M.Pd.,
dosen program studi
Bimbingan dan Konseling di
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dan Dr. A An Listiana, M.Pengendalian diri.,
doktor Bimbingan dan Konseling pada sekolah pasca
sarjana UPI dan bekerja sebagai dosen PGPAUD UPI Bandung. Uji kepraktisan dilakukan oleh Dyah Sulistyowati, M.Pd., ketua HIMPAUDI Kota Salatiga, Kepala TK Banin II, guru TK Almurtadhlo Salatiga. Validasi rasional model dilakukan melalui diskusi dengan pakar dan praktisi di lapangan, serta dilakukan dengan memberikan lembar evaluasi terhadap model yang meliputi bahasa, isi serta struktur model. Masukan dari para pakar dipaparkan pada tabel berikut. Tabel 4.2 Masukan Pakar terhadap Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini NO 1
NAMA PAKAR Dr. Mubiar Agustin, M.Pd.
2
Prof. Dr. Slameto, M.Pd.
3
Dr. A An Listiana, M.Pd.
MASUKAN 1. Strategi model diuraikan 2. Tujuan model sesuaikan dengan latarbelakang 3. Evaluasi dipertajam 4. Masukkan satuan layanan bimbingan 1. Masukkan faktor yang mempengaruhi keberhasilan 2. Materi alternatif solusi bisa ditambahkan dan mintakan persetujuan guru dan orang tua 3. Tindak lanjut di perjelas 1. Satuan layanan bimbingan diuraikan lebih jelas 2. Panduan orang tua dan guru dibuat terpisah dengan lembar tersendiri
Selain validasi teoritis yang dilakukan oleh pakar dalam bidang bimbingan dan konseling, model ini juga sudah dilakukan uji kepraktisan yaitu untuk melihat kemungkinan diterapkannya model di lapangan. Masukan dari para praktisi di PAUD diantaranya penggunaan bahasa disederhanakan, penggunaan alat peraga mengikuti kurikulum PAUD, panduan untuk orang tua dan guru dibuat terpisah, sasaran lebih spesifik pada usia tertentu di PAUD .
127
Masukan praktisi PAUD terlihat pada tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3 Masukan Praktisi PAUD terhadap Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif NO 1
NAMA PRAKTISI Titiek Sugiyati, M.Pd.
1.
2. 2
Dyah Sulistyowati, M.Pd.
1. 2. 3.
3
Suni, S. Ag.
1. 2. 3.
c.
MASUKAN Alat peraga gambar sesuaikan dengan kurikulum yang diajarkan untuk PAUD Panduan guru gunakan bahasa yang mudah dipahami guru Target layanan lebih spesifik untuk anak usia berapa Perlu dijelaskan apa yang dimaksud bimbingan dan konseling kolaboratif Materi kegiatan belajar, isi cerita, gambar emosi sesuaikan dengan usia anak Gambar emosi dibuat ada laki-laki dan perempuan Langkah mengendalikan kemarahan bisa tambahkan „istigfar‟ Panduan orang tua dibuat terpisah
Perbaikan Model Perbaikan model dilakukan berdasar hasil validasi model oleh tiga pakar serta
hasil uji kepraktisan oleh guru dan kepala PAUD. Perbaikan tersebut meliputi: penyempurnaan model hipotetik pada bagian latarbelakang model dipertajam kesenjangannya), strategi pelatihan diperbaiki, metode dan sarana kegiatan belajar mengajar ditambah dua metode dan dua sarana,evaluasi dan tindak lanjut dipertajam, satuan layanan bimbingan dibuat lebih detil, menambahkan faktor yang mempengaruhi keberhasil penerapan model, sistematika model untuk orang tua dipisah dari panduan guru. Sementara hasil uji kepraktisan mengalami beberapa perbaikan yaitu : pada bagian panduan untuk guru, penggunaan bahasa disederhanakan, irama lagu untuk anak dibuat yang lebih sederhana, gambar yang digunakan untuk alat peraga disesuaikan dengan kurikulum sekolah. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif tahap II hasil validasi terdapat pada bagan 5.
Grand desaign kemendiknas
Fenomena kenakalan anak & remaja
Ekspektasi kinerja konselor
Karakteristik anak usia dini
Prinsip BK
Keterampilan pengasuhan rendah Kerja sama guru-orang tua belum tepat MODEL BKK
PERENCANAAN
PELAKSANAAN
EVALUASI
128
Bagan 5. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratiftahap II
129
d. Uji Coba Model Uji coba model dilakukan setelah melalui validasi model baik oleh pakar bimbingan dan konseling maupun oleh praktisi anak usia dini. Uji coba model dilaksanakan di RA Al-Murtadhlo Salatiga. Kondisi RA Al-Murtadhlo adalah salah satu lembaga pendidikan anak usia dini setingkat TK yang sudah terakreditas A, dengan jumlah siswa 135, jumlah kelas 6 ruang dan jumlah guru sebanyak 11 orang. Siswa sebagai subjek penelitian yang dilibatkan sebanyak 8 orang, kolaborator yang dilibatkan meliputi seorang kepala RA, dua orang guru dan delapan orang tua siswa. Kondisi RA Al Murtadho sebagai tempat uji coba model, secara lengkap terdapat pada bagian lampiran. Hasil uji model menunjukkan ada perbedaan pengendalian diri anak sebelum dan setelah penerapan model BKK Berikut tabel hasil uji-t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua hasil uji coba terbatas. Tabel 4.4 Hasil Uji t Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua pada Uji Coba Terbatas Perlakuan Rata-Rata
Sd
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p
Keterangan
Posttest Pretest
6.48074 18.66050
36.25000
Signifikan
145.0000 108.7500
5.075
0.001
Berdasar tabel di atas tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (pengendalian diri anak usia dini) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pengendalian diri anak usia dinisebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif pada uji terbatas. Dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untukmeningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Secara detil hasil uji terbatas efektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif dipaparkan pada bagian uji efektivitas model.
130
e.
Evaluasi Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Evaluasi terhadap pelaksanaan model BKK dilakukan di sekolah tempat uji
coba maupun di sekolah tempat pelaksanaan penelitian. Hasil evaluasi pelaksanaan model BKK tempat uji coba dilakukan di TK Al Murtadhlo, dievaluasi oleh guru, kepala sekolah dan orang tua. Aspek
yang dievaluasi
meliputi: persiapan pelaksanaan kegiatan, tempat yang digunakan untuk kegiatan BKK, waktu pelaksanaan, materi yang digunakan selama kegiatan, isi materi kegiatan BKK, metode penyampaian materi, sistematika penyampaian materi kegiatan, kemampuan
pemateri dalam menyampaikan isi materi, penampilan
pemateri dan suasana yang terjadi selama kegiatan berlangsung. Subjek diminta menentukan pilihan setiap untuk aspek pelaksanaan kegiatan kolaborasi sebagai sesuatu yang sangat menarik, sangat bagus dan sangat tepat atau sesuatu yang sangat tidak menarik, sangat tidak tepat dan sangat tidak bagus. Berdasar hasil jawaban responden sebanyak 11 orang (yaitu seorang kepala sekolah, dua orang guru dan 8 orang tua siswa diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 4.5 Hasil Evaluasi Pelaksanaan Model BKK Uji Coba NO
1 2 3 4 5 6
7
8
9
ASPEK EVALUASI Persiapan Tempat pelaksanaan Waktu pelaksanaan Materi kegiatan Isi materi Metode penyampaian materi Sistematika penyampaian materi Kemampuan pemateri menyampaikan materi Penampilan pemateri
F 0.0 0.0
% F 0 0 0 0
PENILAIAN RESPONDEN 2 3 4 % F % F % 0 3 0.33 5 0.55 0 2 0.22 5 0.55
0.0
0
2
0.22
2
0.22
4
0.44
3
0.33
0
0
0
0
2
0.22
5
0.55
4
0.44
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
5 5
0.55 0.55
6 6
0.66 0.66
0
0
0
0
0
0
6
0.66
5
0.55
0
0
0
0
0
0
5
0.55
6
0.66
0
0
0
0
0
0
5
0.55
6
0.66
1
f 3 4
5 % 0.33 0.44
131
10
Suasana yang 0 terjadi selama kegiatan
0
0
0
1
11
5
0.55
5
0.55
Keterangan : 1. Penilaian responden 1 artinya: sangat tidak menarik/sangat tidak bagus/sangat tidak tepat. 2. Penilaian responden 2 artinya: tidak menarik/ tidak bagus/tidak tepat. 3. Penilaian responden 3 artinya: cukupmenarik/cukup bagus/cukup tepat 4. Penilaian responden 4 artinya: menarik/ bagus/ tepat 5. Penilaian responden 5 artinya: sangat menarik/sangat bagus/sangat tepat Berdasarkan hasil uji coba model ditemukan beberapa masukan yaitu tentang gambar emosi, cerita, alat peraga perlu disesuaikan dengan usia anak dan kurikulum PAUD. f.
Pengembangan model akhir Pengembangan model akhir dilakukan setelah perbaikan berdasar hasil uji
terbatas.Berdasar hasil uji coba terbatas ditemukan beberapa kendala di lapangan diantaranya guru mengalami kesulitan karena indikator pencapaian target terlalu banyak, materi kegiatan juga terlalu memberatkan siswa, karena itu pada penyusunan model berikutnya di kurangi. materi kegiatan yang pada awalnya enam materi kegiatan guru dan orang tua, disederhanakan menjadi empat materi saja, indikator untuk kegiatan belajar mengajar juga dikurangi. Metode dan sarana yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar tidak semuanya mendukung tercapainya tujuan belajar sehingga perlu ditambahkan dua metode yaitu simulasi dan tepuk serta menggunakan alat peraga yang menarik minat murid. Pada tahap ini juga mengalami beberapa kali perbaikan alat peraga untuk disesuaikan dengan tuntutan kurikulum PAUD dan budaya lokal. Model akhir Bimbingan dan Konseling Kolaboratifterdapat pada lampiran disertasi ini dan divisualisasikan dalam bagan berikut ini.
132 Grand desaign kemendiknas
Fenomena kenakalan anak & remaja
Ekspektasi kinerja konselor
Karakteristik anak usia dini
Prinsip BK
Keterampilan pengasuhan rendah Kerja sama guru-orang tua belum tepat MODEL BKK
PERENCANAAN Penyusunan Instrumen Kolaborator yang dilibatkan
PELAKSANAAN Pemberian informasi & pelatihan
Materi KBM A-D
EVALUASI Guru Orang tua Kepala Sekolah
Materi diskusi & pelatihan A-C Metode KBM A-F Metode pelatihan A-B
Kegiatan guru 1
A N A K
Kegiatan orang tua 1
Sarana KBM A-F
F G D
Kegiatan guru 2
Waktu & tempat kegiatan Panduan guru
dan hasil
Sarana FGD Sarana kegiatan orang tua
Proses
Kegiatan orang tua 2
A N A K
F G D
A N A K
F G D
A N A K
F G D
Panduan orang tua Kegiatan guru 3 Kegiatan orang tua 3
Kegiatan guru 4 Kegiatan orang tua 4
FGD
EVALUASI Pengendalian diri anak Pengetahuan & keterampilan guru & orang tua Kondisi Kerjasama guru & orang tua
TINDAK LANJUT Perbaikan metode mengajar Peningkatan kerjasama guru & orang tua Penerapan model dalam skala luas
Bagan 6. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratiftahap III / akhir
133
4. PelaksanaanBimbingan dan KonselingKolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua diawali melalui sebuah pertemuan umum semua wali murid/orang tua yang dikemas melalui kegiatan parenting. Pada saat pertemuan tersebut disinggung sekilas tentang pentingnya pengendalian diri pada anak guna membentuk kepribadian anak secara utuh, selanjutnya ditawarkan kepada orang tua yang mau bergabung dalam kegiatan yang sistimatis dan terprogram untuk mengembangkan pengendalian diri anak. Pertemuan berikutnya diputar video tentang fenomena kenakalan anak serta dampak yang ditimbulkannya, disambung diskusi antar orang tua, guru dan kepala sekolah. Selanjutnya sesi penjelasan tentang pengertian, prinsip dasar kegiatan kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua serta peran masing-masing. Peran tugas kolaborator dituang pada tabel
berikut. Pertemuan selanjutnya
pemberian informasi tentang strategi parenting untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini, dilanjutkan dengan tanya jawab dan diskusi. Pelaksanaan kolaborasi untuk meningkatkan pengendalian diri anakberikutnya dilakukan melalui kegiatan guru di kelas dan kegiatan orang tua di rumah yang dilaksanakan secara terpadu, berkesinambungan dan kontinu sesuai panduan yang sudah disiapkan. Berikut dipaparkan aspek-aspek yang terlibat dalam kegiatan kelobarasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua. a.
Peran dan Tugas Kolaborator Kolaborator yang dilibatkan dalam kegiatan BKK untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini adalah kepala sekolah, guru dan orang tua. Hal ini karena keterlibatan keluarga sangat besar perannya bagi perkembangan anak usia dini. Pendidikan untuk anak usia dini harus dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan
antara
kegiatan yang
dilakukan di sekolah dengan bimbingan yang dilakukan orang tua di rumah. Kesamaan langkah dan materi kegiatan antara di sekolah dengan di rumah akan meningkatkan efektifitas keberhasilan pendidikan. Selain itu, sebagian besar waktu anak bersama keluarga di rumah dari pada di sekolah, sehingga
134
waktu untuk melakukan pembiasaan perilaku akan lebih optimal. Tugas dan peran kolaborator dipaparkan pada tabel berikut. Tabel 4.6 Tugas dan Peran Kolaborator SESI 1
2
3
4
TUGAS DAN PERAN GURU Mengidentifikasi kondisi objektif pengendalian diri anak serta kondisi objektif kolaborator melalui kegiatan mengisi angket
Menghadiri pertemuan dan mempelajari materi “Fenomena kenakalan anak dan remaja dan pentingnya pengendalian diri”
TUGAS DAN PERAN ORANG TUA Mengidentifikasi kondisi objektif pengendalian diri anak serta kondisi objektif kolaborator melalui kegiatan mengisi angket
TUGAS DAN PERAN KEPALA SEKOLAH Menfaslitasi pertemuan guru dengan orang tua untuk mengidentifikasi kondisi objektif pengendalian diri anak serta kondisi objektif kolaborator serta mengidentifikasi kondisi objektif pengendalian diri anak serta kondisi objektif kolaborator
Menghadiri pertemuan 1. Menfalitasi dan mempelajari pertemuan antara materi “Fenomena orang tua dan guru kenakalan anak dan 2. Menyediakan ruang remaja dan pentingnya dan materi pertemuan pengendalian diri” 3. Mempelajari materi “Fenomena kenakalananak dan remaja dan pentingnya pengendalian diri 4. Menghadiri Menghadiri pertemuan 1. Menfasilitasi pertemuan dan dan mempelajari pertemuan orang tua mempelajari materi materi “Hakekat, dan guru “Hakekat, prinsip prinsip dan prosedur 2. Menyediakan ruang dan prosedur kolaborasi” dan materi pertemuan kolaborasi” 3. 3. Mempelajari materi “Hakekat, prinsip dan prosedur kolaborasi” 4. Mempelajari materi Mempelajari materi “ 1. Menfasilitasi “ Strategi dan prinsip Strategi dan prinsip pertemuan guru parenting untuk parenting untuk dengan orang tua melatih melatih pengendalian 2. Menyediakan ruang pengendalian diri diri anak” dan materi anak” pertemuan
135
SESI 5
7
8
9
TUGAS DAN TUGAS DAN PERAN PERAN GURU ORANG TUA 1. Mempelajari dan Mempelajari, mengaplikasikan menerapkan dan kegiatan tentang melakukan “Peraturan dalam pembiasaan terhadap bermain” di kelas anak tentang peraturan 2. Menginformasikan dalam bermain kepada orang tua kegiatan kegiatan yang sudah dilakukan di sekolah
TUGAS DAN PERAN KEPALA SEKOLAH Menyediakan materi kegiatan belajar dan buku penghubung antara sekolah dengan orang tua
1. Mempelajari dan mengaplikasikan kegiatan tentang “Emosi dan Cara Mengekspresikann ya” di kelas 2. Menginformasikan kepada orang tua kegiatan yang sudah dilakukan di sekolah melalui buku penghubung atau face to face
Menyiapkan materi kegiatan belajar dan buku penghubung antara sekolah dengan orang tua
1. Mempelajari, menerapkan dan melakukan pembiasaan terhadap anak tentang materi “Emosi dan cara Mengekspresikannya 2. Mendampingi anak mengisi jurnal kegiatan dan buku penghubung
1. Menyampaikan 1. Menghadiri informasi tentang undangan kepala kemajuan anak sekolah dan problem lain 2. Melakukan diskusi yang dihadapi dengan guru dan 2. Mendiskusikan dengan orang tua problem yang lainnya dihadapi dengan orang tua siswa
1. Mempelajari dan mengaplikasikan kegiatan tentang “ Cara menyatakan keinginan” di kelas 2. Menginformasikan kepada orang tua
1. Mempelajari, menerapkan dan melakukan pembiasaan terhadap anak tentang materi yang sudah ajarkan di sekolah yaitu “Cara
1. Menfasilitasi pertemuan guru dengan orang tua 2. Menyediakan ruang dan materi pertemuan antara guru dengan orang tua 3. Memimpin pertemuan dan membantu orang tua dan guru mengatasi kesulitan yang dihadapi Menyiapkan materi kegiatan belajar dan buku penghubung antara sekolah dengan orang tua
136
SESI
TUGAS DAN TUGAS DAN PERAN PERAN GURU ORANG TUA kegiatan yang menyatakan sudah dilakukan di keinginan” sekolah 2. Mengisi buku penghubung
TUGAS DAN PERAN KEPALA SEKOLAH
10
1. Menyampaikan informasi tentang kemajuan anak dan problem lain yang dihadapi 2. Mendiskusikan problem yang dihadapi dengan orang tua siswa
1. Menghadiri undangan kepala sekolah 2. Melakukan diskusi dengan guru dan dengan orang tua lainnya
1. Menfasilitasi pertemuan guru dengan orang tua 2. Menyediakan ruang dan materi pertemuan antara guru dengan orang tua 3. Memimpin pertemuan dan membantu orang tua dan guru mengatasi kesulitan yang dihadapi
11
1. Mempelajari dan mengaplikasikan kegiatan tentang “Cara Mengendalikan kemarahan” 2. Menginformasikan kepada orang tua kegiatan yang sudah dilakukan di sekolah
1. Mempelajari, menerapkan dan melakukan pembiasaan terhadap anak tentang materi “ Cara Mengendalikan kemarahan” 2. Mengisi buku penghubung
Menyiapkan materikegiatan belajar dan buku penghubung antara sekolah dengan orang tua
12
1. Melakukan diskusi dengan orang tua siswa
1. Menghadiri undangan kepala sekolah. 2. Melakukan diskusi dengan guru dan dengan orang tua lainnya
1. Menfasilitasi pertemuan guru dengan orang tua 2. Menyediakan ruang dan materi pertemuan antara guru dengan orang tua 3. Memimpin pertemuan, membantu orang tua dan guru mengatasi kesulitan yang dihadapi
137
SESI 13
b.
TUGAS DAN TUGAS DAN PERAN TUGAS DAN PERAN PERAN GURU ORANG TUA KEPALA SEKOLAH 1. Mengevaluasi 1. Mengevaluasi 1. Menfasilitasi pelaksanaan pelaksanaan pertemuan guru kegiataan BKK kegiataan BKK dengan orang tua 2. Mengevaluasi 2. Mengevaluasi 2. Mengevaluasi kondisi kondisi pengendalian pelaksanaan kegiatan pengendalian diri diri anak setelah BKK anak setelah kegiatan BKK kegiatan BKK
Profil Kolaborasi antara
Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua
dalam
Pelaksanaan BKK Kolaborasi
bukan sekedar kerja sama, melainkan merupakan sebuah
kerja sama dalam tim yang dilandasi adanya kesamaan tujuan, adanya komunikasi dan interaksi, adanya hubungan yang saling percaya, adanya kejelasan peran antara pihak-pihak yang berkolaborasi, kesetaraan hubungan serta pihak yang berkolaborasi dapat menjadi sumber yang bermanfaat bagi kemajuan anak. Selama proses pengembangan model BKK, kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua diarahkan agar mendekati prinsip-prinsip sebuah kolaborasi sebagaimana diuraikan terdahulu. Profil kolaborasi yang terbangun antara kepala sekolah, guru dan orang tua terlihat pada grafik berikut ini. Pelaksanaan kolaborasi selama pengembangan model BKK mengalami peningkatan dibanding kolaborasi yang terbangun sebelum pelaksanaan model BKK. Data penelitian menunjukkan sebelum pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif, 24,44% menyatakan kolaborasi yang terjalin sudah tepat, 71,11% agak tepat, 4,44% kurang tepat dan 0% berkolaborasi tidak tidak. Setelah pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif terjadi peningkatan yatu, diperoleh 97,78% sudah tepat, 2,22% agak tepat, 0% kurang tepat. Grafikberikut menyajikan secara lengkap perbandingan profil kolaborasi sebelum dan setelah pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif tersebut.
138
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Sebelum Penerapan BKK Setelah Penerapan BKK
Tepat
Agak tepat Kurang Tepat Tidak Tepat
Grafik 4. 13 Profil Kolaborasi Sebelum dan Setelah Penerapan Model BKK Berdasar data di atas, secara umum kolaborasi orang tua dengan pihak sekolah belum memuaskan. Rendahnya kerja sama orang tua dengan pihak sekolah sebelum penerapan model BKK tersebut terlihat dari petikan wawancara dengan kepala TKdalam sebuah pertemuan dengan orang tua siswa berikut ini. ....lihat bu, kalau acara seperti ini (latihan menghias wajah anak untuk pentas) yang datang banyak, tapi kalau undangan lain yang untuk perkembangan anak, yang datang cuma dikit. Ya kaya gitulah... kurang peduli tentang perilaku dan agama anak-anaknya (TT, 12 April 2014, Ks). ....ya begini bu...kalau diundang pada gak datang, padahal undangan kami kasihkan ke semua orang tua, ...ni buku penghubung juga tidak diisi, ini buku penghubung setiap hari kita isi informasi tentang anak dan pesan untuk orang tua. Tapi ada juga yang mengisi (NR, 27 Maret 2014, Ks). Profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua selanjutnya diuraikan berdasarkan indikatornya. Dari grafik 4.14 di bawah terlihat perbandingan kolaborasi yang terbangun sebelum dengan setelah penerapan model BKK pada indikator 1 yaitu ada tujuan yang akan dicapai secara bersamasama. Setelah penerapan BKK pada indikator 1 (ada tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama) tidak ditemukan lagi kolaborasi yang berkategori kurang tepat, yang berkolaborasi agak tepat mengalami penurunan sedangkan kolaborasi yang dalam kategori tepat mengalami peningkatan.Grafik 4.14 berikut menyajikan secara lengkap profil indikator 1 tersebut.
139
50 40 30 20
Sebelum Penerapan BKK
10
Setelah Penerapan BKK
0 Tepat
Agak tepat
Kurang Tepat
Tidak Tepat
Grafik 4.14 Profil Kolaborasi Adanya Tujuan yang akan Dicapai Bersama
Profil kolaborasi diuraikan berdasarkan asal sekolah, sehingga diperoleh data sebelum penerapan BKK pada TK Banin, 30% tepat, 70% agak tepat, 20% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 7,69% tepat, 69,23% agak tepat, 23,08% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada RA Al Murtado, 36,36% tepat, 63,64% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada RA Al Hijrah, 27,27% tepat, 54,55% agak tepat, 18,18% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Setelah penerapan BKK pada TK Banin, 60% tepat, 40% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 93,21% tepat, 7,69% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Murtado, 100% tepat, 0% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Hijrah, 90,91% tepat, 9,09% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Tabel data tersebut terdapat pada lampiran. Berikut ditampilkan profil kolaborasi pada indikator 2 (ada komunikasi dan interaksi antara pihak-pihak yang berkolaborasi).
140
40 35 30 25 20
Sebelum Penerapan BKK
15
Setelah Penerapan BKK
10 5 0 Tepat
Agak tepat
Kurang Tepat Tidak Tepat
Grafik 4.15 Profil Komunikasi dan Interaksi antara Pihak-pihak yang Berkolaborasi Sebelum dan Setelah Penerapan Model BKK Berdasarkan grafik diatas, pada indikator 2 (ada komunikasi dan interaksi antara pihak-pihak yang berkolaborasi) diperoleh bahwa sebelum penerapan BKK 40% berada pada kategori tepat, 60% berada pada kategori agak tepat, 0% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa 82,22% berada pada kategori tepat, 17,78% berada pada kategori agak tepat, 0% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Jika diuraikan berdasarkan asal sekolah, sebelum penerapan BKK pada TK Banin, yang kolaborasinya tepat 0%, yang agak tepat 100% , 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 38,46% tepat, 61,54% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada RA Al Murtado, 54,55% tepat, 45,45% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada RA Al Hijrah, 63,64% tepat, 36,36% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Setelah penerapan BKK pada TK Banin terjadi peningkatan yang kolaborasinya tepat 90%, yang agak tepat, 10% dan yang kurang tepat dan tepat masing-masing 0%.. Pada TK Nidaul, 92,31% tepat, 7,69% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Murtado, 54,55% tepat, 45,45% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Terakhir pada TK Al Hijrah, 90,91% tepat, 9,09% agak tepat, 0%
141
kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Tabel yang mendeskripsikan data tersebut terdapat pada lampiran. Berikut ini ditampilkan grafik profilkolborasi pada andikator 3 yaitu ada kejeasan peran dari pihak yang berkolaborasi. 45 40 35 30 25
Sebelum Penerapan BKK
20
Setelah Penerapan BKK
15 10 5 0 Tepat
Agak tepat Kurang Tepat Tidak Tepat
Grafik 4.16 Profil Kejelasan Peran Antara Pihak-pihak yang Berkolaborasi Sebelum dan Setelah Penerapan Model BKK Berdasar grafik di atas terlihat bahwa komunikasi dan interaksi berada pada kategori tepat, 57,74% berada pada kategori
37,78%
agak tepat, 4,44%
berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa 88,89% berada pada kategori tepat, 11,11% berada pada kategori agak tepat, 4,44% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Jika diuraikan berdasarkan asal sekolah, maka ditemukan data sebelum penerapan BKKdi TK Banin, 0% yang kolaborasinya tepat, 90% agak tepat, 10% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul Hikmah, 15,38% kolaborasinya tepat, 76,92% agak tepat, 7,69% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada RA Al Murtado, 45,45% tepat, 54,55% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Terakhir pada RA Al Hijrah, 90,91% kolaborasinya tepat, 9,09% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Setelah penerapan BKK terjadi peningkatan kolaborasi, pada TK Banin, 90% tepat, 10% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 84,62% tepat, 15,38% agak tepat, 0% kurang tepat,
142
dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Murtado, 81,82% tepat, 18,18% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Hijrah, 100% tepat, 0% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat.Tabel data tersebut terdapat pada lampiran. Berikut ditampilkan profil kolaborasi padaa indikator 4 yaitu adanya hubungan antara pihak yang berkolaborasi. 40 35 30 25 20
Sebelum Penerapan BKK
15
Setelah Penerapan BKK
10 5
0 Tepat
Agak tepat Kurang Tepat Tidak Tepat
Grafik 4.17 Profil Hubungan Kesetaraan antara Pihak-pihak yang Berkolaborasi Sebelum dan Setelah Penerapan Model BKK Bedasarkan grafik 4.17 diatas, terlihat ada 42,22%
kolaborasinya pada
kategori tepat, 44,44% berada pada kategori agak tepat, 13,33% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa 75,56% berada pada kategori tepat, 22,22% berada pada kategori agak tepat, 2,22% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Jika diuraikan berdasarkan asal sekolah, diperoleh data bahwa sebelum penerapan BKK pada TK Banin, 0% yang kolaborasinya tepat, 70% tepat, 30% kurang agak tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 38,46% kolaborasinya tepat, 53,85% agak tepat, 7,69% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada RA Al Murtado, 63,64% yang kolaborasinya tepat, 36,36% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Terakhir pada RA Al Hijrah, 63,64% kolaborasinya tepat, 18,18% agak tepat, 18,18% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa pada TK Banin, 40% tepat, 60% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 92,31% tepat, 7,69% agak tepat, 0%
143
kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Murtado, 63,64% tepat, 27,27% agak tepat, 9,09% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Hijrah, 100% tepat, 0% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Tabel data tersebut terdapat pada lampiran. Berikut ini grafik profil kolaborasi pada indikator 5 yaitu adanya hubungan yang saling percaya. 45 40 35 30 25 20
Sebelum Penerapan BKK
15
Setelah Penerapan BKK
10 5 0 Tepat
Agak tepat
Kurang Tepat
Tidak Tepat
Grafik 4.18 Profil Hubungan yang Saling Percaya Berdasar grafik 4.18 diperoleh bahwa sebelum penerapan BKK 24,44% yang kolaborasinya berada pada kategori tepat, 68,89% kolaborasinya berada pada kategori agak tepat, 6,67% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% yang berada pada kategori tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa 91,11% berada pada kategori tepat, 8,89% berada pada kategori agak tepat, 0% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat. Grafik 4.19 berikut menyajikan secara lengkap indikator 5 tersebut. Jika diuraikan berdasarkan asal sekolah, diperoleh data sebelum penerapan BKK pada TK Banin, 0% yang kolaborasinya tepat, 80% agak tepat, 20% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 23,08% kolaborasainyatepat, 69,23% agak tepat, 7,69% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada RA Al Murtado, 9,09% tepat, 90,91% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Terakhir RA Al Hijrah, 63,64% tepat, 36,36% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa pada TK Banin, 80% tepat, 20%
144
agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 100% tepat, 0% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Murtado, 81,82% tepat, 18,18% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Hijrah, 100% tepat, 0% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Tabel data terdapat pada lampiran. 50 45 40 35 30 25
Sebelum Penerapan BKK
20
Setelah Penerapan BKK
15 10 5 0 Tepat
Agak tepat Kurang Tepat Tidak Tepat
Grafik 4.19 Profil Kemampuan Kolaborator Menjadi Sumber Setelah Pelaksanaan BKK Grafik 4.20 memaparkan profil kolaborasi pada indikator 6 (masing-masing pihak yang berkolaborasi dapat menjadi sumber), diperoleh bahwa sebelum penerapan BKK 0% yang kolaborasinya berada pada kategori tepat, 37,78% berada pada kategori agak tepat, 51,11% berada pada kategori kurang tepat, dan 11,11% berada pada kategori tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa 95,56% berada pada kategori tepat, 4,44% berada pada kategori agak tepat, 0% berada pada kategori kurang tepat, dan 0% berada pada kategori tidak tepat.Grafik 4.20 berikut menyajikan secara lengkap indikator 6 tersebut. Jika diuraikan berdasarkan asal sekolah, maka diperoleh data bahwa sebelum penerapan BKK pada TK Banin, 0% yang kolaborasinya tepat, 60% agak tepat, 30% kurang tepat, dan 10% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 0% yang kolaborasinya tepat, 30,77% agak tepat, 61,54% kurang tepat, dan 7,69% tidak tepat. Sementara RA Al Murtado, 0% yang kolaborasinya tepat, 18,18% tepat, 81,82% kurang agak tepat, dan 0% tidak tepat. Terakhir pada RA Al Hijrah, 0% tepat, 45,45%
145
agak tepat, 27,27% kurang tepat, dan 27,27% tidak tepat. Setelah penerapan BKK diperoleh bahwa pada TK Banin, 100% tepat, 0% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Nidaul, 92,31% tepat, 7,69% tepat tepat, 0% kurang tepat, dan 7,69% tidak tepat. Pada TK Al Murtado, 100% tepat, 0% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 0% tidak tepat. Pada TK Al Hijrah, 90,91% tepat, 9,09% agak tepat, 0% kurang tepat, dan 27,27% tidak tepat. Tabel data terdapat pada lampiran. Setelah penerapan model BKK profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua mengalami perubahan, baik secara umum maupun pada setiap indikator. Profil kolaborasi pada setiap indikator terlihat pada grafik berikut ini. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Indikator 1 Indikator 2 Indikator 3 Indikator 4 Indikator 5 Indikator 6 Tepat
Agak tepat
Kurang Tepat
Tidak Tepat
Grafik 4.20 Profil Kolaborasi setelah Pelaksanaan BKK c.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan BKK Waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan di BKK dipilih berdasar kesepakatan antara orang tua dengan pihak sekolah. Dua sekolah yaitu TK Banin II dan RA Al Hijrah membuat kesepakatan tempat pelaksanaan kegiatan di sekolah pada waktu aktif kegiatan belajar mengajar. TK Banin II sepakat menetapkan hari Sabtu sebagai hari pertemuan dengan orang tua dan tempat pertemuan menyesuaikan kondisi, bisa berpindah-pindah ruang tetapi masih di lokasi sekolah. Pertemuan pertama di aula besar, pertemuan berikutnya di ruang kepala sekolah dan di ruang komputer. Pertemuan untuk
146
kegiatan BKK di RA Al Hijrah dilaksanakan di satu ruang tetap yaitu ruang khusus untuk pertemuan umum, waktu pelaksanaan tidak terikat tetapi atas kesepakatan orang tua dengan pihak sekolah. Pertemuan di RA Al Hijrah ini pernah dilaksanakan pada hari Senin, Selasa, Jum‟at dan Sabtu. Sementara untuk TK Nidaul Hikmah, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan sangat bervariasi, sengaja diupayakan oleh pihak sekolah untuk menghindari kebosanan. Pertemuan pertama dan kedua dilaksanakan di aula TK Nidaul Hikmah, pertemuan ke tiga dilaksanakan di luar sekolah yaitu di ruang rapat STAIN Salatiga, dan pertemuan selanjutya di rumah salah satu orang tua siswa. Waktu pertemuan pada saat anak KBM seperti biasa dan dipilih pada saat libur sekolah yaitu hari Sabtu. d.
Materi Kegiatan BKK Materi yang digunakan untuk kegiatan BKK dibedakan menjadi tiga yaitu mteri yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dan guru dalam mengajarkan mengendalikan diri, materi yang digunakan untuk mengaplikasikan
kegiatan pengendalian baik oleh guru
maupun orang tua serta materi untuk evaluasi kegiatan BKK. 1) Materi
yang
digunakan
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan orang tua dan guru tentang pengendalian diri meliputi : satu set LCD dan laptop, makalah dan power point materi kegiatan, kertas dan alat tulis, CD tentang fenomena kenakalan anak dan remaja,
buku
panduan guru, buku panduan orang tua. 2)
Materi yang digunakan untuk mengaplikasikan materi dan strategi pengendalian diri anak meliputi : CD lagu dan tepuk, teks lagu dan tepuk, materi kegiatan untuk pengendalian diri anak, buku panduan guru dan buku panduan orang tua, buku penghubung, lembar cerita, lembar permainan tebak kata, lembar evaluasi, stiker bintang dan stiker 0, jurnal kegiatan anak dan orang tua, kartu bergambar untuk alat peraga, MMT permainan ular tangga, papan emosi.
3) Materi untuk kegiatan evaluasi kegiatan BKK meliputi : lembar evaluasi kegiatan dan alat tulis.
147
e.
Evaluasi terhadap kegiatan BKK 1) Pendukung Kegiatan Kegiatan BKK berlangsung secara maksimal berkat dukungan dan kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua. Beberapa aspek yang mendukung kegiatan BKK adalah sebagai berikut. a)
Faktor pendukung dari kepala sekolah. Kepala sekolah merespon
positif,
menfasilitasi
berlangsungnya
kegiatan
BKK,
bersedia
menyiapkan materi yang digunakan selama kegiatan pertemuan orang tua dan guru, menyiapkan materi yang digunakan untuk dalam pembelajaran di kelas serta memberikan motivasi kepada orang tua tentang pentingnya kerjasama antara sekolah dengan guru; b)
Faktor pendukung dari guru. Guru menunjukkan ketertarikan
terhadap
materi
kegiatan,
mempunyai
semangat,
kemauan
dan
kesempatan untuk mempelajari materi kegiatan sesuai panduan, mau melaksanakan kegiatan sesuai panduan, menguasai materi kegiatan dan menyampaikan materi dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh anak, mempunyai kemampuan dan kesempatan membangun kerjasama dengan orang tua, memberikan informasi dan pengarahan kepada orang tua tentang kegiatan yang sudah dilaksanakan di sekolah; c)
Faktor pendukung dari orang tua. Orang tua pro aktif dalam setiap
kegiatan, mempunyai rasa ingin tahu yang besar, mempunyai motivasi kuat untuk mendampingi putra-putrinya dengan cara yang tepat, terlibat aktif selama kegiatan berlangsung, orang tua berstatus ibu rumah tangga sehinga
mempunyai
waktu
cukup
untuk
mempelajari
dan
mengaplikasikan kegiatan. d)
Faktor pendukung dari tempat dan waktu kegiatan. Faktor
pendukung dari aspek tempat dan waktu kegiatan adalah karena waktu dan tempat kegiatan ditentukan atas kesepakatan antara orang tua dengan pihak sekolah. e)
Faktor pendukung dari materi kegiatan. Berjalannya kegiatan
berkat tersedianya materi yang memadai, yaitu tersedia LCD,
148
materikegiatan yang sudah disiapkan sebelum kegiatan
dan ruang
pertemuan yang memadai. 2) Hambatan dalam Kegiatan BKK Pelaksanaan kegiatan BKK tidak lepas beberapa hambatan yang menyebabkan kegiatan kurang optimal. Beberapa hal yang menjadi faktor penghambat kegiatan BKK adalah sebagai berikut. a) Hambatan dari kepala sekolah. Kepala sekolah tidak selalu bisa menghadiri pertemuan antara guru dengan orang tua; b) Hambatan dari guru. Guru mendapat tugas dari tertentu (seperti menjadi yuri) sehingga tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaraan yang sudah diagendakan, dan guru lain yang tidak mengikuti pelatihan yang menggantikan mengajar, serta ada guru yang dalam beberapa sesi mengajar kurang persiapan sehingga suasana pembelajaran tidak kondusif; c) Hambatan dari faktor orang tua. Hambatan dari faktor orang tua yaitu ada orang tua tidak bisa mengaplikasikan secara maksimal karena keadaan yang tidak mendukung seperti suami sakit, mempunyai baby baru, serta kurangnya waktu bersama anak, kurang komunikasi antara ayah dan ibu (ayah yang menghadiri pertemuan sementara yang mengajarkan pengendalian diri ibu). Hambatan lainnya adalah orang tua tidak bisa menghadiri pertemuan karena ada kegiatan mendadak. d) Hambatan selama pelaksanaan kegiatan. Hambatan yang dialami selama kegiatan BKK adalah: LCD belum siap dan tidak dalam kondisi yang baik, beberapa orang tua datang terlambat sehingga waktu pelaksanaan menjadi lebih lama, ruang pertemuan terbuka menghadap ke halaman sekolah sehingga ketika anak-anak istirahat pertemuan menjadi terganggu, waktu pertemuan orang tua dilaksanakan pada saat jam belajar anak, ketika anak-anak sudah selesai belajar dan kegiatan pertemuan guru dan orang tua, maka anak-anak masuk ruang pertemuan dan menganggu konsentrasi orang tua. Pada kasus demikian kegiatan berjalan kurang optimal sehingga perlu segera diakhiri dengan
149
dilanjutkan pada pertemuan berikut. Data tentang hasil evaluasi pelaksanaan kolaborasi terdapat pada lampiran. 3) Rekomendasi untuk Kegiatan BKK di sekolah Model BKK untuk meningkatkan pengendalian diri anak perlu diterapkan untuk kelas lain yang tidak digunakan untuk penelitian dan diterapkan di TK/RA/PAUD lainnya. Guru yang akan menerapkan model BKK perlu mempunyai pengetahuan dan
keterampilan
tentang materi
kegiatan yang digunakan untuk meningkatkan pengendalian diri. Orang tua yang menerapkan model BKK perlu mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan pembiasaan di rumah. 5. Efektivitas
Model
Bimbingan
dan
Konseling
Kolaboratif
dalam
Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia DiniUji coba Terbatas a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan
Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan
Penilaian Guru 1) Uji Asumsi Statistik Sebelum data hasil ujiefektivitas model bimbingan dan konseling kolaborasi dalam meningkatkan
pengendalian diri anak usia dinidiolah
lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Berdasar hasil uji normalitas, semua data berdistribusi normal karena mempunyai nilai p > 0,05. Data hasil uji normalitas terdapat pada lampiran. 2) Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji t berpasangan (paired sample t test) sebagai berikut. a) Uji t Berpasangan Secara Keseluruhan Selanjutnya, untuk lebih mempertajam hasil penelitian, berikut disajikan hasil uji t berpasangan baik pada setiap sub variabel maupun setiap indikator.
150
b) Uji t Berpasangan Pada Sub Variabel 1 (Kontrol Emosi) Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian guru pada sub variabel 1 (kontrol emosi). Tabel 4.7 Uji tHasil Uji Terbatas pada Sub Variabel 1 (Kontrol Emosi) Berdasarkan PenilaianGuru Perlakuan Posttest Pretest
RataRata 43.2500 33.7500
Sd 2.31455 4.59036
Perbedaan Statistik Nilai p Rata-Rata Uji t 9.50000
4.977
0.002
Keterangan Signifikan
Berdasar tabel 4.7 tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest pada sub variabel 1 (kontrol emosi) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 1 (kontrol emosi) sebelum dan setelah penerapan model BKK atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian emosi anak usia dini. Selanjutnya, berikut disajikan hasil uji t berpasangan untuk tiap indikator pada sub variabel 1 (kontrol emosi) seperti yang tersaji pada tabel 4.8 berikut. Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 1 (kontrol emosi) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kontrol emosi anak usia dini sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif pada setiap indikator atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian emosi anak usia dini. Data hasil uji-t untuk setiap indikator terlampir. c)
Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 2 Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data
pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian guru pada sub variabel 2 (kontrol pikiran).
151
Tabel 4.8 Uji t Hasil Uji Terbatas pada Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) Berdasarkan Penilaian Guru Perlakuan Posttest Pretest
RataRata 31.7500 25.2500
Sd 2.71241 4.26782
Perbedaan Statistik Nilai p Rata-Rata Uji t
Keterangan Signifikan
6.50000
3.798
0.007
Tabel 4.8 diatas menunjukkan bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan kontrol pikiran anak usia dini. Selanjutnya, hasil uji t berpasangan pretest dan posttest pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) pada indikator 4adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05 sedangkan pada indikator 5 (mampu menafsirkan peristiwa dari sisi positifnya) tidak signifikan. Data uji –t pada sub variabel kontrol emosi tersaji pada tabel 4.9 berikut. Tabel 4.9 Uji t Hasil Uji Terbataspada Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) tiap Indikator Berdasarkan Penilaian Guru Indikator
Perlakuan
Indikator Posttest 4 Pretest Posttest Indikator Pretest 5
RataRata 16.8750 11.8750 14.8750 13.3750
Sd 2.53194 2.64237 1.45774 2.44584
Perbedaan Statistik Nilai p Rata-Rata Uji t 5.00000 3.388 0.012 1.50000
1.528
0.170
Ket Sig Tidak Sig
d) Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 3 Berdasar tabel 4.10 tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan kontrol perilaku antara sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif atau dengan kata lain model bimbingan dan
152
konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 3 (kontrol perilaku). Tabel 4. 10 Uji t Hasil Uji Terbataspada Sub Variabel 3 (Kontrol Perilaku) Berdasarkan PenilaianGuru RataPerbedaan Statistik Perlakuan Sd Nilai p Keterangan Rata Rata-Rata Uji t Posttest 70.0000 2.72554 20.25000 4.827 0.002 Signifikan Pretest 49.7500 10.75374 Selanjutnya, berikut disajikan hasil uji t berpasangan indikator pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) seperti yang tersaji pada tabel 4.11berikut. Tabel 4.11 Uji t Hasil Uji Terbataspada Sub Variabel 3 (Kontrol Perilaku) tiap Indikator Berdasarkan Penilaian Guru Indikator Indikator 6 Indikator 7 Indikator 8 Indikator 9
Perlakuan Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest
RataRata 30.3750 22.5000 16.3750 11.1250 13.7500 9.3750 9.5000 6.7500
Sd 2.19984 4.40779 1.18773 2.64237 1.16496 2.55999 .75593 2.31455
Perbedaan Statistik Nilai p Ket Rata-Rata Uji t 7.87500 3.862 0.006 Sig 5.25000
5.093
0.001
Sig
4.37500
4.943
0.002
Sig
2.75000
2.714
0.030
Sig
Dari tabel 4.11 diatas tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. b. Efektivitas Model Bimbingan Meningkatkan
dan Konseling Kolaborasi dalam
Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan
Penilaian Orang Tua Hasil Uji Coba Terbatas 1) Uji Asumsi Statistik Sebelum data hasil ujiefektivitas model bimbingan dan konseling kolaborasi dalam meningkatkan pengendalian diri anak usia dini diolah lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Berdasar hasil uji normalitas, semua data berdistribusi normal karena mempunyai nilai p > 0,05. Hasil uji
153
normalitas data pengendalian diri anak usia dini berdasar penilaian orang tua terdapat pada lampiran. 2) Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji t berpasangan (paired sample t test) sebagai berikut. a) Uji t Berpasangan Secara Keseluruhan Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua. Tabel 4.12 Uji t Hasil Uji Terbatas Data Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua Perlakuan Rata-Rata
Sd
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p
Postest Pretest
13.95337 25.14494
28.25000
143.8750 115.6250
2.584
0.036
Ket Sig
Dari tabel 4.12 diatas tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (pengendalian diri anak usia dini) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. Secara keseluruhan terdapat perbedaan yang signifikan antara pengendalian diri anak usia dinisebelum dan setelah penerapan model BKK atau dengan kata lain model BKK efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini menurut penilaian guru. Selanjutnya, untuk lebih mempertajam hasil penelitian, berikut disajikan hasil uji t berpasangan baik pada setiap sub variabel maupun setiap indikator. b) Uji t Berpasangan Pada Sub Variabel 1 Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua pada sub variabel 1 (kontrol emosi).
154
Tabel 4.13 Uji t Hasil Uji Terbataspada Sub Variabel 1 (Kontrol Emosi) Berdasarkan Penilaian Orang Tua RataPerbedaan Statistik Perlakuan Sd Nilai p Keterangan Rata Rata-Rata Uji t Posttest 46.1250 5.64263 Signifikan 10.25000 2.398 0.048 Pretest 35.8750 9.70180 Dari tabel 4.13diatas tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest pada sub variabel 1 (kontrol emosi) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 1 (kontrol emosi) sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaborasi atau dengan kata lain model BKK efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 1 (kontrol emosi). Selanjutnya, berikut disajikan hasil uji t berpasangan indikator pada sub variabel 1 (kontrol emosi) seperti yang tersaji pada tabel 4.14 berikut. Tabel 4.14 Uji t Hasil Uji Terbatas pada Sub Variabel 1 (Kontrol Emosi) tiap Indikator Berdasarkan Penilaian Orang Tua Indikator Indikator 1 Indikator 2 Indikator 3
Perlakuan Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest
RataRata 13.0000 9.6250 17.1250 12.3750 16.0000 13.8750
Sd 2.56348 2.97309 3.09089 3.85218 2.56348 4.01559
Perbedaan Statistik Nilai p Rata-Rata Uji t 3.37500 2.251 0.059
Ket Sig
4.75000
2.529
0.039
Sig
2.12500
1.459
0.188
Tidak sig
c) Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua pada sub variabel 2 (kontrol pikiran), data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 1 (kontrol emosi) yang signifikan adalah indikator 1 (dapat menyatakan perasaan yang dialami) dan pada indikator 2 (mampu menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain) sedangkan indikator 3 (mampu menahan kemarahan) tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan kemampuan anak menyatakan
155
perasaan yang dialami dan kemampuan anak menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain antara sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaborasi atau dengan kata lain model BKK efektif untuk meningkatkan kemampuan anak menyatakan perasaan yang dialami dan kemampuan anak menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain, namun model BBK tidak efektif untuk meningkatkan kemampuan anak mengendalikan kemarahan (indikator 3). Tabel 4.15 Uji t Hasil Uji Terbatas pada Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) Berdasarkan Penilaian Orang Tua Perlakuan Posttest Pretest
RataRata 29.1250 25.7500
Sd 3.09089 5.28475
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p 3.37500
1.591
0.156
Keterangan Tidak Signifikan
Terlihat dari tabel 4.15diatas bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) adalah tidak signifikan karena memiliki nilai p>0,05. Hal ini berarti Model BKK tidak efektif untuk meningkatkan kontrol pikiran anak usia dini menurut penilaian orang tua pada uji coba terbatas. Selanjutnya, berikut disajikan hasil uji t berpasangan indikator pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) seperti yang tersaji pada Tabel 4.16 berikut.
Tabel 4.16 Uji t Hasil Uji Terbatas pada Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) tiap Indikator Berdasarkan Penilaian Orang Tua Indikator Indikator 4 Indikator 5
Perlakuan Posttest Pretest Posttest Pretest
RataRata 12.8750 11.8750 16.2500 13.8750
Sd 1.55265 2.79987 1.75255 3.09089
Perbedaan Statistik Nilai p Ket Rata-Rata Uji t 1.00000 0.950 0.374 Tidak Sig 2.37500 1.727 0.128 Tidak Sig
Berdasar tabel 4.16 tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) adalah tidak signifikan karena memiliki nilai p>0,05. Hal ini berarti bahwa penerapan model bimbingan dan konseling kolaborasi belum dapat meningkatkan
156
kemampuan anak usia dini untuk mengolah informasi untuk mengantisipasi peristiwa
yang
tidak
menyenangkan
dan
belum
dapat
meningkatkan
kemampuanmenafsirkan peristiwa dari sisi positifnyapada anak usia dini. d) Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 3 (Kontrol Perilaku) Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua pada sub variabel 3 (kontrol perilaku). Tabel 4.17 Uji t Hasil Uji Terbatas Sub Variabel 3 (Kontrol Perilaku) Berdasarkan Penilaian Orang Tua Perlakuan Posttest Pretest
RataRata 68.6250 54.0000
Sd 5.68048 10.55597
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p
Keterangan
14.62500
Signifikan
3.178
0.016
Berdasar tabel 4.17diatas tampak bahwa hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05, hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) sebelum dan setelah penerapan model BKK atau dengan kata lain model BKK efektif untuk meningkatkan pengendalian perilaku usia dini. Selanjutnya, hasil uji t berpasangan tiap indikator pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) sebagaimana tersaji pada tabel 4.19, data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) yang
signifikan adalah pada
indikator 6, 7, 9, sedangkan yang tidak signifikan adalah indikator 8. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan anak mengendalikan keadaan
yang tidak menyenangkan dengan upaya sendiri,
kemampuan anak mengendalikan keadaan yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain dan kemampuan menunda pemuasan keinginan sebelum dan setelah penerapan model BKK. Dengan kata lain meningkatkan
kemampuan
anak
model BKK efektif untuk
mengendalikan
keadaan
yang
tidak
menyenangkan dengan upaya sendiri, kemampuan anak mengendalikan keadaan
157
yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain dan kemampuan menunda pemuasan keinginan. Model bimbingan dan konseling kolaboratif belum dapat meningkatkan kemampuan anak menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan. Tabel 4.18 Uji t Hasil Uji Terbatas pada Sub Variabel 3 (Kontrol Perilaku) untuk Tiap Indikator Berdasarkan Penilaian Orang Tua Indikator Indikator 6 Indikator 7 Indikator 8 Indikator 9
Perlakuan Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest Posttest Pretest
6. Efektivitas
RataRata 27.8750 22.7500 17.7500 13.7500 12.6250 10.3750 10.3750 7.1250
Model
Sd 2.35660 2.86606 1.66905 3.37004 1.50594 2.82527 1.06066 2.23207
Bimbingan
dan
Perbedaan Statistik Nilai p Rata-Rata Uji t 5.12500 3.143 .016
Ket Sig
4.00000
2.935
0.022
Sig
2.25000
1.780
0.118
3.25000
4.082
0.005
Tidak Sig Sig
Konseling
Kolaboratif
dalam
Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru 1) Uji Asumsi Statistik Sebelum data hasil ujiefektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif dalam meningkatkan pengendalian diri anak usia dinidiolah lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Berdasar hasil uji normalitas semua data berdistribusi normal karena mempunyai nilai p > 0,05. Data hasil uji normalitas terdapat pada lampiran. 2) Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji t berpasangan (paired sample t test) sebagai berikut. a) Uji t Berpasangan Secara Keseluruhan Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian guru.
158
Tabel 4.19 Hasil Uji t Data Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru TK/RA
Perlakuan Rata-Rata
Sd
Posttest 141.3333 16.67564 Pretest 119.2593 16.40964 Posttest 145.2500 21.63826 Banin Pretest 122.0000 14.97617 Posttest 144.3000 12.67587 Nidaul Pretest 115.0000 22.73030 Posttest 134.5556 15.33877 Al Hijrah Pretest 121.5556 7.84396 * merupakan gabungan dari ketiga TK Semua*
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p
Ket
22.07407
7.024
0.000
Sig
23.25000
3.883
0.006
Sig
29.30000
6.089
0.000
Sig
13.00000
2.786
0.024
Sig
Berdasar tabel 4.19terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 119.2593, sementara hasil posttest sebesar 141.3333, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 22.07407. Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (pengendalian diri anak usia dini) sebesar 7.024 adalah signifikan dengan nilai p<0,05 baik pada masing-masing sekolah maupun gabungan dari ketiga sekolah. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pengendalian diri anak usia dinisebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untukmeningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Selanjutnya, untuk lebih mempertajam hasil penelitian, berikut disajikan hasil uji t berpasangan baik pada setiap sub variabel maupun setiap indikator. b)
Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 1 (Kontrol Emosi) Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data
pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian guru pada sub variabel 1 (kontrol emosi). Tabel 4.20 Hasil Uji t Sub Variabel 1 (Kontrol Emosi) Berdasarkan PenilaianGuru TK
Perlakuan
Semua*
Posttest Pretest
RataRata 44.0571 35.0571
Sd 5.65136 5.03484
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p 9.00000
8.637
0.000
Ket Sig
159
RataSd Rata Posttest 44.5000 7.36788 Banin Pretest 34.7500 4.92080 Posttest 47.0000 4.85341 Nidaul Pretest 34.7000 6.81583 Posttest 41.1111 5.96750 Al Hijrah Pretest 36.8889 3.17980 * merupakan gabungan dari tiga sekolah TK
Perlakuan
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p 9.75000
4.512
0.003
12.30000
6.736
0.000
4.22222
2.499
0.037
Ket Sig Sig Sig
Berdasar tabel 4.20terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 35.0571, sementara hasil posttest sebesar 44.0571, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 9.00000.Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (kontrol emosi) sebesar 8.637 adalah signifikan dengan nilai p<0,05 baik pada masing-masing sekolah maupun gabungan dari ketiga sekolah.Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pengendalian emosi anak sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian emosi anak usia dini. Selanjutnya, berikut disajikan hasil uji t berpasangan untuk tiap indikator pada sub variabel 1 (kontrol emosi). Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 1 (kontrol emosi) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05 baik pada setiap sekolah maupun gabungan dari tiga sekolah kecuali pada RA Al Hijrah pada indikator 1 (mampu menyatakan perasaan yang dialami) dan indikator 3 (mampu menahan kemarahan) tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kontrol emosi anak usia dini sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif pada setiap indikator atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian emosi anak usia dini di TK Banin, TK Nidaul Hikmah, sementara di RA AL Hijrah
model bimbingan dan konseling kolaboratif belum efektif untuk
meningkatkan pengendalian emosi anak khususnya pada indikator mampu menyatakan perasaan yang dialami dan mampu menahan kemarahan, namun dapat meningkatkan kemampuan anak untuk menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain. Hasil uji secara lengkap terdapat pada lampiran.
160
c)
Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data
pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian guru pada sub variabel 2 (kontrol pikiran). Tabel 4.21 Hasil Uji t Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) Berdasarkan Penilaian Guru RataSd Rata Posttest 30.6296 4.03016 Semua* Pretest 26.4074 3.60832 Posttest 31.3750 5.37022 Banin Pretest 27.5000 3.33809 Posttest 31.2000 3.22490 Nidaul Pretest 24.6000 4.19524 Posttest 29.3333 7.00793 Al Hijrah Pretest 27.4444 4.65773 * merupakan gabungan dari ketiga TK/RA TK/RA
Perlakuan
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p 4.22222
5.317
0.000
3.87500
2.393
0.048
6.60000
6.898
0.000
1.88889
1.550
0.160
Ket Sig Sig Sig Tidak Sig
Berdasar tabel 4.21 terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 26.4074, sementara hasil posttest sebesar 30.6296, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 4.22222.Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (kontrol pikiran) sebesar 5.317 adalah signifikan dengan nilai p<0,05 baik pada masing-masing sekolah maupun gabungan dari ketiga sekolah.Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan kontrol pikiran anak usia dini.
Bila dianalisis tiap sekolah, hasil uji t menunjukkan
perbedaan yang signifikan di TK Bani dan TK Nidaul Hikmah namun tidak efektif untuk RA Al Hijrah.Hasil studi dokumentasi daftar hadir pertemuan orang tua, terdapat 2 orang tua RA Al Hijrah dua kali absen tidak mengikuti pertemuan. Hasil diskusi dengan orang tua dan guru di RA Al Hijrah, ditemukan dua guru tidak
melaksanakan kegiatan sesuai panduan. Satu orang tidak dapat
melaksanakan kegiataan di rumah sesuai pedoman karena suaminya sedang sakit, seorang ibu lainnya menyatakan tidak dapat mendampingi anak secara optimal
161
karena sedang mempunyai bayi. Sementara seorang ibu lainnya menyatakan tidak bisa memberikan pengarahan kepada anak dengan tepat karena ibu tersebut masih belum bisa mengendalikan dirinya, kurang sabar dalam menghadapi anak. Selanjutnya, hasil uji t berpasangan untuk tiap indikator pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) diperoleh hasil uji t berpasangan (paired sample t test) pretest dan posttest pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) pada setiap indikator adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05 baik pada setiap TK maupun gabungan dari tiga sekolah kecuali pada TK Banin pada indikator 4 (mampu
mengolah
informasi untuk mengantisipasi peristiwa yang tidak menyenangkan) dan RA Al Hijrah pada indikator 5 (mampu menafsirkan peristiwa dari sisi positifnya) tidak signifikan. Hasil uji secara lengkap terdapat pada lampiran. d) Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 3 Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian guru pada sub variabel 3 (kontrol perilaku). Tabel 4.22 Hasil Uji t Sub Variabel 3 (Kontrol Perilaku) Berdasarkan PenilaianGuru RataSd Rata Posttest 66.4074 7.99644 Semua* Pretest 57.4074 9.21645 Posttest 69.3750 9.99911 Banin Pretest 59.7500 7.57345 Posttest 66.1000 7.07814 Nidaul Pretest 55.7000 13.16603 Pretest 49.7500 10.75374 Posttest 64.1111 7.00793 Al Hijrah Pretest 57.2222 4.65773 * merupakan gabungan dari tiga sekolah TK/RA
Perlakuan
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata Uji t p
Ket
9.00000
5.448
0.000
Sig
9.62500
3.359
0.012
Sig
10.40000
3.281
0.010
Sig
6.88889
2.644
0.030
Sig
Berdasar tabel 4.22 terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 57.4074, sementara hasil posttest sebesar 66.4074, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 9.00000.Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (kontrol perilaku) sebesar 5.448 adalah signifikan dengan nilai
162
p<0,05 baik pada masing-masing sekolah maupun gabungan dari ketiga sekolah. Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan kontrol perilaku antara sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaboratif atau dengan kata lain model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 3 (kontrol perilaku). Selanjutnya, hasil uji t berpasangan indikator pada sub variabel 3 (kontrol perilaku), diperoleh hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) adalah signifikan karena memiliki nilai p<0,05 baik pada setiap TK maupun gabungan dari tiga sekolahkecuali pada TK Banin pada indikator 7 (mampu mengendalikan keadaan yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain), indikator 8 (mampu menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan), indikator 9 (Mampu menunda pemuasan keinginan),
TK Nidaul pada indikator 7 (mampu
mengendalikan
keadaan yang tidak menyenangkan dengan bantuan orang lain) dan indikator 8 (mampu menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan), dan RA Al Hijrah pada indikator 6 (mampu mengendalikan keadaan yang tidak menyenangkan dengan upaya sendiri), indikator 8 (mampu menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan) dan indikator 9 (mampu menunda pemuasan keinginan) tidak signifikan. Hal berarti model bimbingan dan konseling kolaboratif di TK Banin belum mampu meningkatkan kemampuan anak
untuk mengendalikan keadaan yang tidak
menyenangkan dengan bantuan orang lain, menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan belum dapat meningkatkan kemampuan anak menunda pemuasan keinginan. Di TK Nidaul Hikmah, model BKK belum dapat kemampuan anak
meningkatkan
untuk mengendalikan keadaan yang tidak menyenangkan
dengan bantuan orang lain, menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan. Sementara di RA Al Hijrah model BKK belum dapat secara signifikan meningkatkan
kemampuan
anak
mengendalikan
keadaan
yang
tidak
menyenangkan dengan upaya sendiri, kemampuan menjauhi keadaan yang tidak menyenangkan dan kemampuan menunda pemuasan keinginan. Hasil uji secara lengkap terdapat pada lampiran.
163
b. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang tua 1) Uji Asumsi Statistik Sebelum data hasil ujiefektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif dalam meningkatkan pengendalian diri anak usia dini diolah lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Hasil normalitas data pengendalian diri anak berdasar penilaian gurusemua data berdistribusi normal karena mempunyai nilai p > 0,05. Data hasil uji normalitas terdapat pada lampiran. 2) Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji t berpasangan (paired sample t test) sebagai berikut. a) Uji t Berpasangan Secara Keseluruhan Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua. Tabel 4.23 Hasil Uji t Data Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang tua TK
Semua* Banin Nidaul Al Hijrah
Perlakuan Rata-Rata
Sd
Posttest
133.2963
17.51881
Pretest
113.6667
13.93667
Posttest Pretest Posttest Pretest Pretest Posttest Pretest
128.3750 114.1250 138.0000 114.8000 115.6250 132.4444 112.0000
21.32696 14.92302 13.57285 17.43432 25.14494 18.42628 9.46044
* merupakangabungan dari tiga sekolah
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata
Uji t
p
19.62963
5.319
0.000
14.25000
1.614
0.151
23.20000
4.122
0.003
20.44444
3.902
0.005
Ket
Sig Tidak Sig Sig
Sig
164
Berdasar tabel 4.23 terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 113.6667, sementara hasil posttest sebesar 133.2963, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 19.62963.Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (pengendalian diri anak usia dini) sebesar 5.319 adalah signifikan dengan nilai p<0,05 baik pada masing-masing sekolah maupun gabungan dari ketiga sekolahkecuali TK Banin.
Secara keseluruhan terdapat
perbedaan yang signifikan antara pengendalian diri anak usia dinisebelum dan setelah penerapan model BKK atau dengan kata lain model BKK efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini menurut penilaian guru. Sementara di
TK Banin model BKK tidak efektif untuk meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini menurut penilaian orang tua Selanjutnya, untuk lebih mempertajam hasil penelitian, berikut disajikan hasil uji t berpasangan baik pada setiap sub variabel maupun setiap indikator. b) Uji t Berpasangan Pada Sub Variabel 1 Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua
pada sub
variabel 1 (kontrol emosi). Tabel 4.24 Hasil Uji t Sub Variabel 1 (Kontrol Emosi) Berdasarkan Penilaian Orang tua TK
Perlakuan
RataRata
Sd
Posttest
41.8519
7.05312
Pretest
34.7407
5.32478
Banin
Posttest
40.1250
6.74934
II
Pretest
35.3750
4.74906
Posttest
44.8000
7.02060
Pretest
36.7000
6.44722
Pretest
35.8750
9.70180
Al
Posttest
40.1111
7.00793
Hijrah
Pretest
32.0000
3.46410
Semua*
Nidaul Hikmah
* merupakan gabungan dari tiga sekolah
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata
Uji t
p
7.11111
4.475
0.000
4.75000
1.525
0.171
Ket Sig
Tidak sig Sig
8.10000
3.145
0.012
8.11111
2.886
0.020
Sig
165
Berdasar tabel 4.24 terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 34.7407, sementara hasil posttest sebesar 41.8519, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 7.11111.Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan (kontrol emosi) sebesar 4.475 adalah signifikan dengan nilai p<0,05 baik pada masing-masing sekolah maupun gabungan dari ketiga sekolah kecuali TK Banin. Bagi sub variabel yang signifikan, hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 1 (kontrol emosi) sebelum dan setelah penerapan model bimbingan dan konseling kolaborasi atau dengan kata lain model BKK
efektifuntuk meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 1 (kontrol emosi) di TK Nidaul Hikmah dan RA Al Hijarh. Namun model BKK
tidak
efektif
untuk
meningkatkan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 1 (kontrol emosi) di TK Banin. Selanjutnya, disajikan hasil uji t berpasangan indikator pada sub variabel 1 (kontrol emosi). Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest pada sub variabel 1 (kontrol emosi) secara keseluruhan (pada semua sekolah ada perbedaan yang signifikan antara kondisi sebelum dengan setelah penerapan BKK pada indikator 2 dan 3, serta tidak signifikan pada indikator 1. Artinya secara keseluruhan (pada semua sekolah), model BKK tidak dapat meningkatkan kemampuan anak menyatakan perasaan yang dialami, tetapi dapat meningkatkan kemampuan anak menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain dan dapat meningkatkan kemampuan anak mengendalikan kemarahan. Bila dianalisis per-sekolah, pada TK Banin tidak ada perbedaan yang signifikan kondisi sebelum dan setelah penerapan model BKK pada semua indikator. Data secara lengkap terdapat lampiran. Berdasar hasil studi dokumentasi, hasil wawancara
dan hasil observasi
ditemukan data bahwa beberapa pertemuan dalam kegiatan belajar mengajar diampu oleh guru yang belum mendapatkan penjelasan tentang langkah, prosedur tehnis kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan pengendalian diri anak. Juga ditemukan data bahwa orang tua yang menghadiri pertemuan dengan pihak sekolah adalah ayah, sementara yang melaksanakan pendampingan di rumah adalah ibu dari anak tersebut.
166
TK Nidaul Hikmah dan RA Al Hijrah ada perbedaan yang signifikan antara kondisi sebelum dan setelah penerapan model BKK pada indikator 2 (mampu menyatakan keinginan dengan cara yang dapat diterima orang lain) dan indikator 3(mampu menahan kemarahan), tidak ada perbedaan yang signifikan pada indikator 1 (mampu menyatakan perasaan yang dialami). Walau begitu, secara keseluruhan (pada semua sekolah) ada perbedaan yang signifikan kondisi sebelum dengan setelah penerapan BKK pada semua indikator. c) Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua
pada sub
variabel 2 (kontrol pikiran). Tabel 4.25 Hasil Uji t Sub Variabel 2 (Kontrol Pikiran) Berdasarkan Penilaian Orang tua TK
Perlakuan
RataRata
Sd
Posttest
28.2963
3.66706
Pretest
24.8889
3.86636
Posttest
28.5000
4.98569
Pretest
25.1250
4.70372
Posttest
28.0000
2.40370
Pretest
24.6000
4.74225
Al
Posttest
28.4444
3.90868
Hijrah
Pretest
25.0000
1.93649
Semua*
Banin
Nidaul
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata
Uji t
p
3.40741
3.349
0.002
3.37500
1.320
0.228
3.40000
2.030
0.073
3.44444
2.809
0.023
Ket
Sig Tidak Sig Tidak Sig Sig
* merupakan gabungan dari tiga sekolah Berdasar tabel 4.25 terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 24.8889, sementara hasil posttest sebesar 28.2963, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 3.40741. (kontrol emosi) sebesar 4.475 adalah signifikan dengan nilai p<0,05 baik pada masing-masing sekolah maupun gabungan dari ketiga sekolahHasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) sebesar 3.349 adalah signifikan dengan nilai
167
p<0,05. Hal ini berarti keseluruhan ada perbedaan yang signifikan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) sebelum dan setelah penerapan model BKK
atau dengan kata lain model BKK
efektif secara
keselurahan (pada semua sekolah) dapat meningkatkan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 2 (kontrol pikiran). Model BKK tidak efektif untuk menigkatkan kontrol pikiran pada TK Banin dan TK Nidaul Hikmah. Selanjutnya, berikut disajikan hasil uji t berpasangan indikator pada sub variabel 2 (kontrol pikiran). Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data indikator pretest dan posttest pada sub variabel 2 (kontrol pikiran) secara keseluruhan (semua sekolah)
yang signifikan adalah indikator 5 (mampu
menafsirkan peristiwa dari sisi positifnya, sementaraindikator 4 (mampu mengolah informasi untuk mengantisipasi peristiwa yang tidak menyenangkan) tidak signifikan. Pada TK Banin tidak segnifikan pada semua indikator, pada TK Nidaul Hikmah signifikan pada indikator 5 dan tidak signifikan pada indikator 4, sementara pada RA Al Hijrah ada perbedaan yang signifikan antara kondisi sebelum dan setelah penerapan BKK pada semua indikator. d) Uji t Berpasangan pada Sub Variabel 3 Berikut disajikan hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pengendalian diri anak usia dini berdasarkan penilaian orang tua pada sub variabel 3 (kontrol perilaku). Tabel 4.26 Hasil Uji t Sub Variabel 3 (Kontrol Perilaku) Berdasarkan Penilaian Orang tua TK/RA
Semua*
Banin
Nidaul
Perlakuan
RataRata
Sd
Posttest
63.1481
8.77367
Pretest
54.0370
7.19231
Posttest
59.7500
10.81996
Pretest
53.6250
7.26906
Posttest
65.2000
6.64664
Pretest
53.5000
8.11377
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata
Uji t
p
9.11111
5.227
0.000
6.12500
1.474
0.184
11.70000
4.360
0.002
Ket
Sig Tidak Sig Sig
168
Rata-
TK/RA
Perlakuan
Al
Posttest
63.8889
8.97837
Hijrah
Pretest
55.0000
6.80074
Rata
Sd
Perbedaan Statistik Nilai Rata-Rata 8.88889
Uji t 3.875
p 0.005
Ket
Sig
* merupakan gabungan dari tiga sekolah
Berdasar tabel 4.26 terlihat bahwa rata-rata hasil pretest sebesar 54.0370, sementara hasil posttest sebesar 63.1481, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 9.11111. Hasil uji t berpasangan (paired sample t test) data pretest dan posttest secara keseluruhan pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) sebesar 5.227adalah signifikan dengan nilai p<0,05 baik pada setiap TK maupun gabungan dari tiga sekolah kecuali TK Banin. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan pengendalian diri anak usia dini pada sub variabel 3 (kontrol perilaku) sebelum dan setelah penerapan model BKKdi TK Nidaul Hikmah dan RA Al Hijrah, dan tidak ada perbedaan yang signifikan di TK Banin. Dengan kata lain model BKK efektif untuk meningkatkan pengendalian perilaku anak usia dini di TK Nidaul Hikmah dan RA Al Hijrah namun tidak efektif di TK Banin. Selanjutnya, hasil uji t berpasangan indikator pada sub variabel 3 (kontrol perilaku), secara keseluruhan pada semua TK pada semua indikator. Pada TK Banin II tidak ada perbedaan yang signifikan untuk semua indikator, sementara pada TK Nidaul Hikmah ada perbedaan yang signifikan pada indikator 6, 7, 9, tidak signifikan pada indikator 8. Pada RA Al Hijrah ada perbedaan yang signifikan pada indikator 6 dan 7 karena memiliki nilai p<0,05 sedangkan sisanya tidak signifikan. Hal ini berarti secara keseluruhan pada semua sekolahpada semua indikator ada perbedaan yang signifikan kontrol perilaku sebelum dan setelah penerapan model BKK. Tabel secara lengkap terdapat pada lampiran. B. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini Profil pengendalian diri anak usia dini
sebelum penerapan model
Bimbingan dan Konseling Kolaboratif (BKK) secara umum berada dalam
169
kategori sedang dan rendah, sedikit anak yang mempunyai pengendalian diri tinggi serta tidak ditemukan anak yang pengendalian dirinya sangat rendah. Temuan ini disimpulkan berdasarkan pengamatan guru dan orang tua, sebagaimana dilakukan para peneliti lain yang akan mendeskripsikan perilaku anak, dalam pengumpulan datanya selalu melibatkan beberapa pihak yang mengetahui tentang kondisi anak agar mendapatkan hasil yang lebih akurat. Misalnya
penelitian
Rosas
dkk
(2009),
berusaha
menyusun
program
pendampingan untuk anak usia dini, dalam risetnya Rosas dkk melibatkan 474 anak usia 2-5 tahun sebagai subjek penelitian. Data tentang keterampilan sosial dan emosional anak usia dini dalam penelitian Rosas disimpulkan berdasarkan pengamatan guru dan orang tua. Hal yang sama dilakukan oleh Domitrovic dkk (2007), dalam riset yang bertujuan meningkatkan kompetensi sosial dan emosional anak, melakukan pengumpulan data berdasar penilaian guru dan orang tua. Penelitian Coggins (2008) sedikit berbeda, Coggins melibatkan 113 anak usia 3-5 tahun untuk mengungkap perilaku anak usia dini, proses pengumpulan data tidak hanya diperoleh dari
guru dan orang tua melainkan juga melibatkan
observer dari peneliti. Pengendalian diri anak usia dini cenderung rendah,
bahkan dalam sub-
variabel kontrol emosi dan kontrol pikiran ditemukan yang berkategori sangat rendah. Temuan ini sejalan dengan pandangan Logue (1995, hlm. 8), dalam buku khusus yang mengupas self control, menguraikan bahwa pengendalian diri fase anak-anak masih rendah dan cenderung impulsive. Demikian juga bila ditinjau dari Psikologi Perkembangan anak, bahwa perilaku agresif
Hurlock (1978, hlm.208-216), menuliskan
meningkat pada usia 2-4 tahun, kemudian menurun,
bentuk serangan fisik diganti dengan serangan verbal dalam bentuk memaki atau menyalahkan orang lain. Pada usia 3 tahun mulai timbul perilaku berkuasa, dan usia 4 tahun timbul keinginan untuk menggoda anak lain. Ekspresi marah pada anak bisa dilampiaskan dengan merusak benda-benda. Pada awal usia masa anakanak, anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya, mempunyai daya observasi yang tajam yang membuat anak mengamati semua benda yang ada di sekitarnya. Karakteristik lain dari fase anak-anak
adalah
menyerang secara fisik dan menyerang secara verbal dengan kata-kata ketus atau
170
kasar. Anak melampiaskan kemarahan dengan merusak benda-benda, tidak sabar menunggu giliran dan ingin menang sendiri. Perilaku sebagaimana diuraikan diatas merupakan indikasi dari pengendalian diri yang rendah.
Hasil
penelitianCoggins (2008) menemukan bahwa respons marah dan agresif juga tumbuh dalam diri anak bersamaan dengan ketekunanan dan sifat-sifat positif lainnya, temuan ini disimpulkan berdasarkan evaluasi tiga arah antara guru, orang tua, serta peneliti. Karakteristik anak usia dini sebagaimana diuraikan di atas menjadi salah satu alasan kuat pentingnya mengajarkan pengendalian diri pada anak. Bimbingan dan Konseling Kolaboratif, yang bekerja sama dengan guru dan orang tua, menghasilkan perubahan kondisi pengendalian diri anak, yang semula cenderung rendah, berubah menjadi lebih tinggi. Artinya pengendalian diri anak akan menjadi makin baik apabila ada intervensi atau bimbingan, baik dari guru maupun orang tua. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Putnam (2002) terhadap 58 anak usia 30 bulan, menyimpulkan bahwa perilaku anak menahan diri untuk tidak mengambil mainan tergantung dari pengarahan orang tua. Anak yang diarahkan ibunya untuk tidak mengambil mainan cenderung bisa menahan diri dari pada anak yang tidak mendapat pengarahan dari orang tua. Perilaku anak dan ibu diperoleh melalui rekaman video yang dilakukan selama 3 hari. Demikian juga dengan pandangan Hurlock (1978, hlm. 208-212), yang menuliskan bahwa untuk mengembangkan emosi yang pleasantemotion perlu bimbingan orang tua, melalui bimbingan orang tua anak belajar toleran menghadapi emosi yang tidak menyenangkan tanpa kemarahan.
Berbagai
literatur tentang konseling anak dan pendidikan anak usia dini, mengupas peran orang tua bagi perkembangan anak.
Henderson (2011) mengulas pentingnya
kolaborasi dalam konseling anak, salah satunya dengan melibatkan keluarga dalam kegiatan kolaborasi. Warner (2014), mengupas satu bab tersendiri tentang kerja sama sekolah dengan orang tua, diantaranya kerja sama untuk meneruskan proses belajar anak sampai dalam lingkungan keluarga, merancang bentuk dan model kerja sama yang dapat dibangun antara sekolah dengan keluarga. Meningkatnnya pengendalian diri anak dapat dikatakan sebagai keberhasilan model BKK dalam membantu anak mencapai tugas perkembangan. Sebagaimana
171
Havighurstmenyatakan
(dalam
Hurlock,
1978,
hlm.
20)
bahwa
tugas
perkembangan fase kanak-kanak antara lain dapat membedakan benar-salah, membangun sikap yang sehat terhadap dirinya, belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya, merupakan sebagian indikator dari pengendalian diri yan baik, yaitu bisa membedakan perilaku yang benar dan yang salah, dapat membangun sikap yang benar tentang dirinya dan dapat menyesuaikan diri dengan anak lain. Tugas perkembangan ini tidak jauh berbeda dengan target model BKK, yaitu agar anak dapat mengendalikan keinginannya sesuai dengan harapan lingkungan. Penelitian ini tidak menemukan anak yang mempunyai pengendalian diri sangat rendah, walau salah satu karakteristik anak usia dini adalah cenderung impulsive. Hal ini karena subjek penelitian adalah anak usia 4-6 tahun, yaitu merupakan tahap akhir dari anak usia dini, dimana pengendalian diri anak sudah lebih baik dari pada usia tiga tahun. Sebagaimana ditulis Vasta (1992, hlm. 777) bahwa pada tahun ketiga, pengendalian diri anak akan muncul melalui bentuk penolakan segala sesuatu yang dilakukan untuknya dan menyatakan keinginannya untuk melakukan sendiri. Pengendalian diri akan berkembang sejalan dengan bertambahnya usia anak, pada usia empat tahun pengendalian diri anak akan menjadi kepribadian dan dapat dijadikan sebagai bahan prediksi jangka panjang (Berndt, 1992). Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pengendalian diri anak usia dini menjadi prediksi keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan di masa mendatang (Tangney, 2004; Duckworth & Seligman, 2006, Baumeister & Vohs, 2007). Kondisi pengendalian diri anak usia dini terdiri dari tiga sub variabel, yaitu sub variabel kontrol emosi, kontrol pikiran dan kontrol perilaku bervariasi, setiap sub variabel terperinci menjadi menjadi beberapa indikator untuk menggambarkan kondisi anak yang senyatanya, sebagaimana dikemukakan oleh Vasta (1992, hlm. 776) bahwa setelah usia tiga tahun, pengendalian diri anak akan menjadi makin terperinci dan menjadi kekuatan dirinya (Vasta, 1992, hlm. 776). Sebelum penerapan BKK, pada kontrol perilaku dan kontrol emosi masih ditemukan ada anak yang berpengendalian diri sangat rendah menurut penilaian orang tua dan guru. Ada perbedaan antara guru dengan orang tua dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pengendalian diri anak. Penilaian guru cenderung lebih tinggi
172
dari pada penilaian orang tua. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Rosas (2009), bahwa ada perbedaan penilaian antara guru dan orang tua. Orang menyatakan anak mempunyai problem perilaku dua kali lebih banyak dari yang dilaporkan guru. Rosas menyimpulkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga perilaku di sekolah berbeda dengan di rumah. Penelitian Rosas merekomendasikan pentingnya kerja sama antara guru dan orang tua untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional. Tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Rosas, penilaian guru tentang pengendalian diri anak yang lebih dari penilaian orang tua dapat diartikan bahwa perilaku anak lebih buruk ketika di rumah, beberapa orang tua mengeluhkan tentang perilaku sulit anak, sementara hal ini tidak terjadi menurut pengamatan guru. Fakta ini memperkuat hipotesis awal bahwa orang tua belum menindaklanjuti bimbingan yang sudah dilakukan guru di sekolah sehingga perilaku anak di rumah lebih buruk
dari pada di
sekolah. Sebagaimana direkomendasikan oleh Rosas, perlu kerja sama antara sekolah dan keluarga dalam pembentukan perilaku anak usia dini. 2. Profil Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua Kolaborasi merupakan kerja sama dalam sebuah tim yang dilandasi prinsip kesamaan tujuan, komunikasi dan interaksi, adanya kejelasan peran, adanya hubungan kesetaraan, adanya hubungan yang saling percaya, masing-masing pihak yang berkolaborasi dapat menjadi sumber. Sebelum penerapan model BKK kolaborasi yang terjadi antara kepala sekolah, guru dan orang tua sebagian besar berada pada kategori agak tepat, setelah penerapan model BKK kolaborasinya berubah menjadi sangat tepat, tidak ditemukan lagi kolaborasi yang tidak tepat. Kondisi kolaborasi sebelum penerapan model BKK untuk setiap indikator, sebagian besar berada dalam kategori agak tepat dan kurang tepat, yang berkategori tidak tepat paling sedikit frekuensinya. Kurang tepatnya kolaborasi antara pihak sekolah dengan orang tua ini diperkuat dari hasil wawancara dengan kepala sekolah dan beberapa guru yang menyatakan bahwa orang tua belum bekerja sama dengan baik dengan pihak
sekolah, seperti tidak menghadiri
undangan pertemuan dari sekolah yang dilaksanakan setiap bulan, tidak mengisi
173
buku penghubung,
cenderung memberikan informasi yang baik-baik tentang
anak. Temuan ini mengindikasikan bahwa keterlibatan orang tua dalam program sekolah belum maksimal, sementara banyak penelitian merekomendasikan pentingnya peran orang tua dalam bimbingan dan konseling anak. Geldard & Geldard (2012) menyatakan bahwa dalam konseling anak, keluarga harus dilibatkan, bahkan perlu dirumuskan tujuan konseling untuk orang tua. Salah satu keterlibatan orang tua dalam konseling anak adalah menetapkan perilaku baru yang ingin diubah orang tua serta orang tua perlu mengetahui perilaku baru yang diprogramkan sekolah, tanpa hal ini orang tua bisa merusak upaya anak untuk mencoba perilaku baru yang diharapkan sekolah. Demikian juga dalam pendidikan anak usia dini, Morrison (2012) menekankan pentingnya pelibatan keluarga dalam pendidikan anak usia dini. Penelitian (2007) terhadap 79 siswa sekolah menengah mendukung peran keluarga terhadap kondisi pengendalian diri anak. Anak-anak yang hubungan dengan keluarganya harmonis, menunjukkan pengendalian diri yang lebih baik dan lebih tekun. Lebih jauh dikatakan bahwa kehadiran secara psikologis keluarga dapat meningkatkan pengendalian diri anak. Keterlibatan dan kualitas hubungan anak dengan orang tua khususnya ibu akan memudahkan perubahan perilaku anak. Kesimpulan
ini
mendukung teori
attacment yang dilontarkan Bowlby (1988), bahwa anak yang mempunyai ikatan erat dengan ibunya akan lebih mudah menyesuaikan diri dan mempunyai kondisi emosi yang lebih sehat. Kegiatan bimbingan dan konseling kolaboratif berhasil meningkatkan kerja sama antara kepala sekolah, guru dan orang tua menjadi lebih produktif sesuai prinsip pelaksanaan kolaborasi. Kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua berhasil mengembangkan perilaku anak menjadi lebih terkendali. Hasil ini mendukung pernyataan Harrison (2004), bahwa tujuan kolaborasi dalam kegiatan bimbingan dan konseling anak diarahkan pada perkembangan kerja sama pihak yang berkolaborasi serta perkembangan diri anak itu sendiri. Melalui pendekatan keluarga, tidak hanya anak yang akan mendapatkan manfaat, melainkan juga orang tua, salah satunya timbul kesediaan untuk menerima anak apa adanya.
174
Upaya orang tua menindaklanjuti kegiatan yang dilaksanakan guru bersama anak di sekolah mampu meningkatkan hubungan anak dengan orang tua menjadi lebih berkualitas, walau orang tua bekerja dan waktu bersama anak terbatas. Laporan penelitian Owen (2004) terhadap anak yang dititipkan di tempat penitipan menyimpulkan bahwa makin banyak waktu anak berada di tempat penitipan, hubungan ibu dan anak menjadi berkurang, tetapi tempat penitipan yang berkualitas berhubungan dengan sensitivitas ibu yang lebih baik serta hubungan ibu anak yang lebih baik. Pengalaman ibu yang diperoleh di tempat penitipan mempengaruhi kualitas keharmonisan hubungan ibu-anak, diantaranya muncul anggapan positif tentang anak, timbul perhatian terhadap anak, berkurangnya pertikaian antara anak dan ibu. Hasil penelitian Owen tersebut merekomendasikan pentingnya lembaga pendidikan anak usia dini untuk menyusun strategi dan program yang dapat
meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pengasuhan
anak. Seberapa besar keterlibatan orang tua sangat tergantung dari kualitas sekolah, seberapa besar upaya yang dilakukan sekolah agar orang tua terlibat secara aktif dalam kegiatan sekolah. Salah satu hasil dari penerapan model BKK adalah meningkatnya kesediaan orang tua untuk bekerja dengan pihak sekolah. Model bimbingan dan konseling kolaboratif ini tidak hanya mendatangkan manfaat bagi kegiatan proses belajar mengajar di sekolah, melainkan juga bermanfaat untuk orang tua. Materi parenting, sebagai salah satu materi dari model BKK, diantaranya mengajarkan orang tua untuk mengembangkan penerimaan positif terhadap anak serta melatih keterampilan berkomunikasi secara efektif terhadap anak. Sebelum penerapan model BKK ini masih ditemukan ibu yang bertengkar dengan anak, namun melalui kegiatan parenting orang tua mulai menayadari pentingnya penerimaan terhadap perilaku anak apa adanya, sebagaimana penuturan orang tua siswa berikut ini. “...saya memang mudah emosi kalau anak saya bandel, lha ga mau nurut,kalau dikandani ngeyel (kalau di beri tau tidak menurut), jadinya padu (bertengkar) sama anak...saya baru tahu paham sekarang (kalau orang tua perlu menerima anak apa adanya) ”(YH, 9 Mei 2014, Ot). Pengendalian diri ibu yang rendah berdampak terhadap kondisi pengendalian diri anak, sebagaimana hasil penelitian Rieker (1997) terhadap 57 balita menyimpulkan bahwa balita yang mampu mengendalikan diri dan bersikap patuh
175
ternyata mempunyai ibu yang selama eksperimen berlangsung menunjukkan pengendalian diri yang baik. Penelitian ini bertujuan menguji temperamen, gaya pengendalian diri ibu dan kepatuhan anak. 3. Proses Pengembangan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Proses pengembangan model diawali dengan asesmen terhadap kebutuhan lapangan, yaitu kebutuhan orang tua, guru dan kepala sekolah dari anak usia dini. Langkah ini dimaksudkan untuk menghasilkan model bisa diaplikasikan di lembaga pendidikan anak usia dini sesuai kebutuhan. Asesmen terhadap kebutuan dalam proses pengembangan model sejalan pendapat Borg & Gall (1979, hlm. 626-636) bahwa penelitian perkembangan perlu diawali dengan riset awal dan pengumpulan informasi. Hasil pengumpulan data melalui angket dan wawancara terhadap orang tua dan guru, hasil studi dokumentasi proses konseling di Biro Konsultasi Psikologi STAIN Salatiga, ditemukan sebagian besar anak usia dini mempunyai pengendalian diri yang rendah serta kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua belum berjalan dengan maksimal. Temuan awal ini menjadi dasar disusunya model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Berdasar asesmen awal tersebut, dikembangkan model hipotetik bimbingan dan konseling kolaboratif untuk mengembangkan pengendalian diri pada anak usia dini. Model hipotetik ini selanjutnya divalidasi oleh tiga pakar agar secara teoritis dapat dipertanggungjawabkan, serta dilakukan uji kepraktisan oleh dua orang kepala TK yang sekaligus menduduki jabatan sebagai ketua HIMPAUDI dan ketua IGTKI Kota Salatiga, serta seorang guru RA dari sebuah RA teladan di Salatiga. Masukan dari para pakar digunakan untuk menyempurnakan model sehingga model tersebut siap diterapkan pada uji coba terbatas. Pengembangan model selanjutnya melibatkan beberapa guru dan kepala TK/RA serta orang tua siswa sehingga model sesuai kebutuhan sekolah dan orang tua serta dapat diaplikasikan baik oleh orang tua maupun sekolah. Kegiatan selama proses pengembangan model, mendapat respon positif dari guru dan orang
176
tua. Berikut penuturan orang tua dan guru dalam kegiatan evaluasi pelaksanaan BKK. ...saya sangat senang dengan kegiatan ini, saya benar-benar merasakan manfaatnya...sebelumnya saya bingung untuk mengatasi anak-anak yang bandel, tapi setelah dapat materi dari bu Lilik, saya jadi mudah ngatasi, saya benar-benar trimakasih, betul bu... (SN, 5 April 2014, Gr). ...saya senang dengan pertemuan ini, manfaatnya sangat besar, saya jadi tahu bagaimana menghadapi anak, ternyata apa yang saya lakukan selama ini salah, saya juga jadi bisa curhat di forum ini....(YN, 5 April 2014, Ot). ...kanapacepat berakhir, rasanya masih kurang....(BN, 10 Mei 2014, Ot”). ....kalau bisa kegiatan seperti ini terus berlanjut, bisa ambil tema lain, dengan ketemu dengan sesama orang tua kita jadi bisa sharing...” (YT, 10 Mei 2014,Ot). Manfaat yang besar dirasakan oleh orang tua dari kegiatan kolaborasi juga terlihat dari hasil evaluasi kegiatan, beberapa orang tua menuliskan di lembar evaluasi sebagai berikut: “ ...sangat bermanfaat, sebaiknya diteruskan...” ( HD...Ot), “ “...sangat menarik, terimakasih sekali sudah diberi ilmu banyak...” (JK...Ot). Berdasar hasil uji coba terbatas, Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini dengan nilai p 0.000, baik menurut menurut penilaian guru maupun orang tua. Model kolaborasi dalam bimbingan dan konseling terbukti efektif diterapkan, hal ini sejalan dengan teori lama yang sudah mengakar Developmentally
untuk
ApropriatePractice
pendidikan anak usia dini adalah (DAP)
yang
dikembangkan
oleh
Bredekamp (1966). DAP merupakan program yang sejalan dengan perkembangan anak, antara lain harus ada interaksi anak dengan orang dewasa, ada hubungan antara rumah dengan program sekolah dan evaluasi terhadap perkembangan anak. Komponen-komponen ini memperkuat pentingnya hubungan kerjasama antara guru dengan orang. Selama kegiatan uji coba terbatas, banyak masukan berharga dari orang tua dan guru sebagai bahan penyusunan model akhir yang akan disebar luaskan. Guru dan orang tua memberikan informasi tentang kondisi nyata kehidupan anak sehari-hari serta hal tehnis yang tidak terduga sebelumnya. Informasi guru dan
177
orang tua tentang kondisi riil di lapangan sangat
bermanfaat selama proses
pengembangan model. Pentingnya peran guru dan orang tua sebagai sumber informasi ditemukan juga dari hasil penelitian Crane et.al (2011, hlm. 518-522) bahwa orang tua dan guru merupakan sumber informasi tentang perilaku dan kemampuan anak yang besar manfaatnya dalam penyusunan program sekolah. Pengembangan model BKK dilakukan melalui serangkaian langkah sehingga menghasilkan model yang siap diaplikasikan dalam lingkup yang lebih luas. Model yang sudah diujicobakan ini selanjutnya diterapkan di tiga sekolah yaitu satu TK mendapat predikat sebagai TK teladan dan terakreditasi A; kategori sedang, terakreditasi B sementara yang berkategori kurang adalah TK yang memenuhi syarat penelitian, yaitu jumlah guru memadai, jumlah anak relatif banyak, mempunyai ruang untuk pertemuan serta ada kesediaan dari pihak sekolah tetapi belum terakreditasi. Aplikasi model BKK pada tiga sekolah ini sebenarnya masih belum memadai walaupun pemilihan TK/RA sebagai lokasi penelitian sudah mewakili karakteristik TK/RA yang ada di Salatiga. Model ini hanya dapat digeneralisasikan apabila tehnik pengambilan sampel
mengikuti
prosedur yang benar, yaitu 25 % dari populasi sebagaimana dituliskan dalam berbagai literatur metodologi penelitian (Kothari, 2006). Di Salatiga terdapat 220 TK/RA, sehingga penerapan model BKK pada lingkup yang lebih luas akan lebih tepat apabila diterapkan di 55 TK/RA. Hasil evaluasi terhadap model bimbingan dan konseling kolaboratif, ditemukan bahwa pelaksanaan kerja sama yang terbangun antara kepala sekolah, guru dan orang tua sudah sesuai dengan prosedur kolaborasi. Orang tua, guru maupun kepala sekolah mempunyai tujuan yang sama yaitu membangun kerjasama untuk kepentingan anak disamping ada forum konsultasi orang tua dengan guru maupun konsultasi yang terbangun dari orang tua dan guru kepada konselor. Proses ini sejalan dengan pendapat Henderson dan Thompson(2011) dalam bukunya Counseling Children
yang mengupas pentingnya konselor
membangun kerjasama dengan orang dewasa lainnya untuk meningkatkan perkembangan anak, baik dalam bentuk kegiatan konsultasi maupun kolaborasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsultasi merujuk pada metode tukar pikiran dengan pakar, sedangkan kolaborasi merupakan hubungan timbal balik untuk
178
mendiskusikan dan mencari pemecahan
masalah
dan setiap anggota
berkontribusi terhadap rencana kegiatan. Dalam hal ini guru dan orang tua berkolaborasai untuk memecahkan masalah yang dihadapi anak maupun problem yang terjadi selama mengajarkan atau melatih pengendalian diri. Selama kegiatan kolaborasi masing-masing anggota terbukti
berkontribusi
terhadap
yaitu kepala sekolah, guru dan orang tua tujuan
kegiatan,
yaitu
meningkatnya
pengendaliaan diri anak. Geldard dan Geldard (2012, hlm. 4-8) dalam buku Counseling Children mengungkap tentang tujuan konseling bagi anak, meliputi tujuan dasar, tujuan orang tua, tujuan yang dirumuskan konselor dan tujuan untuk anak itu sendiri. Berdasar pandangan Geldard & Geldard ini mengindikasikan pentingnya pelibatan orang tua dalam kegiatan bimbingan dan konseling. Kerja sama dengan orang tua penting dalam kegiatan konseling karena
anak
bisa mempunyai
pandangan yang berbeda dengan orang tua (Geldard &Geldard, 2012, hlm. 7), cara pandang anak terhadap lingkungan berbeda dengan cara orang tua memandang lingkungan. Langkah akhir dari proses pengembangan model adalah berhasil disusun sebuah model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif yang bekerja sama dengan kepala sekolah, guru dan orang tua. Hal ini sejalan dengan pemaparan Harrison (2004) tentang kolaborasi dalam konseling, menjelaskan peran yang dapat dimainkan kolaborator, adalah menciptakan model, tujuan, dan strategi untuk mengembangkan anak dan keluarga. 4.
PelaksanaanKolaborasiantara Kepala Sekolah, Guru dan Orang Tua Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif di PAUD dalam
penelitian ini bertujuan meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Guna meraih tujuan tersebut, ditempuh melalui 12 sesi kegiatan. Sesi persiapan diawali dengan focusgroup discussion (FGD) yang bertujuan mengindentifikasi berbagai persoalan yang dihadapi guru dan orang tua serta langkah yang digunakan untuk mengatasi masalah. Langkah ini sejalan dengan pandangan Bertolino (2002) bahwa konselor bukan single expert yang dapat mengatasi semua persoalan klien (anak), melainkan memerlukan kerja sama dengan pihak lain yang mengetahui
179
tentang klien (anak). Pertemuan awal kolaborator dimaksudkan untuk menyusun perencanaan dan pemecahan masalah, hal ini mendukung pendapat Curtis &Van Home (2014, hlm. 160) bahwa kolaborasi merupakan kerja sama dua orang atau lebih untuk merencanakan, memecahkan dan mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan yang dilaksanakan dengan melibatkan seluruh kolaborator dimaksudkan agar dapat memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhan kolaborator, sebagaimana ditegaskan Bertolino (2002, hlm. 18) bahwa dalam pelaksanaan kolaborasi, konselor harus memperhatikan harapan, keinginan dan kebutuhan klien. Bertolino juga menyatakan bahwa konselor perlu memberikan perhatian pada kemampuan dan sumber daya yang dimiliki klien. Karena itu pertemuan
awal
dengan
para
kolaborator
memungkinkan
terungkapnya
kemampuan dan potensi yang dimiliki masing-masing anggota. Sesi awal kegiatan juga dilakukan pembagian tugas dan peran masing-masing kolaborator. Tugas utama guru adalah mengajarkan, melatih dan membiasakan anak mengendalikan diri di sekolah, tugas utama orang tua adalah mengajarkan, melatih dan membiasakan anak mengendalikan diri di rumah, sementara tugas kepala sekolah adalah menfasilitasi terjadinya kerja sama antara orang tua dan guru. Kejelasan peran masing-masing kolaborator ini menjadi syarat keberhasilan sebuah kolaborasi sebagaimana diungkap oleh Brown (dalam Henderson & Thompson, hlm.528). Sesi berikut dari pelaksanaan BKK adalah pemberian informasi tentang fenomena kenakalan anak, tehnik kolaborasi yang efektif serta pemberian informasi dan pelatihan tentang strategi parenting untuk meningkatkan pengendalian diri anak. Kegiatan ini dimaksudkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan kolaborator sebagaimana ditekankan NPTAC
(2008, hlm 5), Lassonde (2010, hlm 3-6) dan OSDOE (2010) bahwa manfaat yang diraih dalam kegiatan kolaborasi adalah meningkatnya pengetahuan dan keterampilan kolaborator. Kolaborasi dilaksanakan oleh kepala sekolah, guru dan orang tua siswa bertujuan untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan BKK selama 12 sesi memberikan bekal bagi kepala sekolah, guru dan orang tua tentang hakekat dan prinsip
kolaborasi serta
180
pentingnya mengajarkan pengendalian diri pada anak. Program seperti ini pernah dilakukan oleh sebuah kelompok riset TheConduct Problems Prevention Research Group yang menyatukan keterlibatan guru dan orang tua yang lebih efektif melalui sejumlah program intervensi integratif meliputi kurikulum, grup orang tua, pelatihan keterampilan sosial anak, program sharing orang tua-anak, kunjungan rumah, peer pairing, dan tutorial akademik. Berkaitan dengan pelaksanaan BKK, Bertolino (2002, hlm, 13) menyatakan konselor tidak harus memaksakan satu strategi yang telah ditentukan apabila kemudian ditemukan kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Hal ini juga terjadi selama pelaksanaan kolaborasi yaitu terjadi perubahan strategi dari rencana awal untuk di sesuaikan dengan kondisi lapangan. Selain itu Bertolino (2002, hlm.18) juga
menekankan
penghormatan
dan
pentingnya kejujuran
konselor dan
mengembangkan
memperhatikan
sikap
kondisi
empati,
lingkungan,
meningkatkan keinginan klien. Persyaratan sebagaimana dikemukakan Bertolino direalisasikan selama kegiatan diskusi kelompok, diantara konselor mengawali untuk bersikap terbuka dan jujur dengan kolaborator lain, menghargai kolaborator yang datang terlambat, berempati terhadap cerita kolaborator yang kesulitan menghadapi perilaku anak, menampung kemauan kolaborator tentang tempat dan waktu pelaksanaan diskusi kelompok. Bimbingan dan konseling kolaboratif
tidak saja berhasil meningkatkan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dan orang tua dalam melatih dan membiasakan anak mengendalikan diri, melainkan bermanfaat dalam menumbuhkan kualitas komunikasi dan interaksi yang terbangun antara sekolah dengan orang tua. Manfaat ini sudah sejalan dengan harapan OSDOE (dalam Lassonde, 2010, hlm 17) bahwa proses kolaborasi harus bisa membawa perubahan pada pihak yang berkolaborasi serta membawa perubahan pada sekolah. Berikut ini ditampilkan grafik perubahan kolaborasi yang terjadi setelah penerapan model BKK, yaitu ada peningkatan dalam semua enam aspek kolaborasi menjadi lebih tepat. Perbedaan kondisi kolaborasi antara sebelum dan setelah penerapan model BKK terlihat pada grafik di bawah ini.
181
50 40 30 Sebelum Penerapan BKK
20
Setelah Penerapan BKK
10 0 Tepat
Agak tepat Kurang Tepat Tidak Tepat
Grafik 4.21 Kondisi Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua Sebelum dan Setelah Penerapan Model BKK Pelaksanaan kolaborasi dalam kegiatan BKK sudah memenuhi enam aspek kolaborasi yang efektif yaitu adanya kesamaan tujuan, ada komunikasi dan interaksi antara pihak-pihak yang berkolaborasi, peran yang jelas antara pihakpihak yang berkolaborasi, ada kesetaraan antara pihak-pihak yang berkolaborasi, ada kepercayaan antara pihak-pihak yang berkolaborasi, antara pihak-pihak yang berkolaborasi dapat menjadi sumber. Hal ini sejalan dengan persyaratan kolaborasi yang dikemukakan oleh Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck,1996, hlm. 76) dan Brown (dalam henderson & Thompson, 2011, hlm.528). Pemecahan masalah, penentuan materi serta strategi yang dilaksanakan dengan melibatkan kolaborator terbukti lebih sesuai dengan kebutuhan dan efektif untuk mencapai tujuan. Keunggulan dari metode yang digunakan untuk mengajarkan pengendalian diri terlihat dari penuturan orang tua dan guru dalam diskusi kelompok. ... dengan lagu anak-anak cepat hafal, jadi setiap kali ada anak yang merebut mainan, yang serempak “ menggunakan kata pinjam!” sesuailagu yang sudah dihafal, trus si Baim khan biasanya ingin menang kalau bermain, sekarang dia mau nunggu giliran sambil dia nahan tangannya, dia khan tetap ingin cepet-cepet main, tapi di tahan, kelihatan banget... ( SN, 25 Maret 2104,Gr). ...dampaknya bagus, saya merasakan sekali, jadi tidak hanya dalam bermain (anak mau bergiliran), saat mandipun anak-anak jadi bergiliran, biasanya kan berebut, setiap melakukan apa gitu, pasti berantem, saya kan menerapkan ini (tata tertib dalam bermain) untuk anak saya yang gede juga, yang suah SD.. jadi dampaknya lebih luas
182
gitu...(DN,29 April 2014 Ot). “...anak-anak pada hafal lagu itu (Katakan dengan Sopan), sekarang tu anak saya kalau di rumah suka bilang, permisi bu, dikit dikit bilang pemisi...” (Gj 26 April 2104 Ot), “...biasanya anak-anak suka berebut, sekarang dah mempraktekan kata tolong, tapi ya kadang nadanya masih agak ketus, he tolong!...secara bertahap pasti anak-anak akan terbiasa...” JK 3 Mei 2104, Gr). Hasil lain dari kegiatan BKK adalah peningkatan pengendalian diri anak, hal ini tidak hanya karena pembelajaran yang dilakukan guru di kelas, juga didukung oleh proses pembiasaan yang dilakukan orang tua di rumah. Pembiasaan yang dilakukan orang tua, yang berkesinambungan dengan kegiatan yang sudah dilakukan guru di sekolah berdampak positif terhadap perilaku anak, khususnya dalam pengendalian diri. Kekuatan peran orang tua terhadap keberhasilan bimbingan dan konseling di kemukakan oleh Dieker dan Barnet, (1996, hlm. 7) menyatakan bahwa: “ The one point that clearly developed from this relationship was that both of us had expertise in many areas, and combining these skills made both teachers more effective in meeting the needs of all students”. Salah satu poin yang dikembangkan melalui hubungan (relationship) ini adalah masing-masing memiliki keahlian dalam berbagai bidang dan pengkombinasian keterampilanketerampilan ini membuat guru dan orang tua lebih efektif dalam menemukan kebutuhan-kebutuhan semua siswa. Baik guru maupun orang tua masing-masing mempunyai kekuatan yang berbeda yang membantu siswa, paduan dua kekuatan akan membuat layanan bimbingan dan konseling menjadi lebih efektif. Peran kolaborasi bagi kemajuan siswa disampaikan oleh Kirk (1986:154-156), mengemukakan bahwa “classroom teachers cannot do everything. They often need the help of support personel, of parents, counselors and psychologists”. Para guru kelas tidak dapat melakukan segalanya, karena itu memerlukan bantuan personil lain, baik dari psikolog, konselor sekolah, maupun para orang tua siswa. Bimbingan dan konseling yang dilaksanakan secara kolaboratif ini tidak hanya bermanfaat untuk kemajuan anak, tetapi juga bermanfaat untuk orang tua, guru dan pihak sekolah secara umum. Kegiatan kolaboratif ini terbukti meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dalam mengembangkan metode dan pendekatan pengasuhan yang tepat serta menumbuhkan kesiapan
183
orang tua untuk menerima anak apa adanya.
Temuan ini sejalan dengan
pernyataan Keys et al (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 542) tentang kolaborasi menyatakan : Collaborativeconsultation is a model that actively involve parents, educators, youths, and counselors as equal participants and axperts in problem solving a specific issue...it is the sharing and transferring of knowledge and information between and among all team members that enables the group to determine and carry out a more comprehensive plan. Berdasar uraian tersebut, dapat dipahami bahwa model kolaborasi antara konselor sekolah dengan pihak lain yang terkait dapat menghasilkan rencana yang komprehensif. Kolaborasi merupakan proses mendiskusikan dan berbagi pengetahuan dan informasi diantara anggota yang terlibat dalam kolaborasi. Hal ini pula yang berlangsung dalam pelaksanaan kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam penelitian ini. Selama pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling kolaboratif, terutama pada saat layanan informasi, banyak pertanyaan muncul dari orang tua dan guru. Dalam kondisi seperti ini makan peran konselor adalah sebagai konsultan. Peran konselor sebagai konsultan dalam kegiatan bimbingan dan konseling ini sejalan dengan pandangan Golden (dalam Muro dan Kottman 1995: 258-262) menguraikan peran bimbingan dan konseling bagi orang tua diantaranya a) consultation, yaitu konselor melayani sebagai konsultan bagi guru, orang tua dan anak, tujuan dari konsultasi adalah mendorong kolaborasi antara personil sekolah dan anggota keluarga, dimana mereka belajar berkomunikasi secara langsung dan tepat, mendikusikan masalah yang spesifik; b) direct delivery of familty therapi servies by school counselor, pada langkah ini konselor langsung memberikan layanan kepada orang tua. Penelitian tentang pentingnya pelibatan orang tua
dalam meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini dilaporkan oleh ( Sandy & Boardman, 2000). Penelitian Sandy & Boardman melibatkan tiga kelompok anak, kelompok A terdiri dari staf program, orang tua, anak-anak, kelompok B terdiri dari staf program dan anak-anakdan kelompok C adalah kelompok kontrol. Hasil penelitian eksperimen terhadap tiga kelompok anak usia dini tersebut anak-anak yang orang tuanya dilibatkan dalam training memiliki derajat self-control yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya, sertaorang tua yang terlibat
184
dilaporkan memiliki peningkatan dalam parenting skill serta penurunan sifat permisif dan bereaksi secara berlebihan. 5. Efektifitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif
untuk
Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Uji efektivitas model BKK menggunakan tehnik analisis
uji-t, dengan
membandingkan kondisi awal (prestes) dengan kondisi setelah penerapan model BKK (postes). Uji-t dilakukan setelah melalui serangkaian langkah, yaitu uji normalitas dan uji validitas instrumen, sebagaimana disyaratkan oleh berbagai literatur sebelum uji-t (Kothari, 2011). Berdasar uji normalitas instrumen pengumpul data berdistribusi normal sehingga siap untuk Bardasar
dilakukan uji-t.
uji validitas, ditemukan beberapa item instrumen yang tidak valid
sehingga di reject. Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini, baik menurut penilaian guru maupun orang tua, dengan nilai p 0.000. Artinya ada perbedaan yang signifikan antara kondisi pengendalian diri anak sebelum penerapan model BKK dengan kondisi pengendalian diri anak setelah penerapan model BKK. Kesimpulan ini diperkuat petikan wawancara dengan guru berikut ini. ...Mas Andi (salah satu murid) dulu susah sekali diatur, dia tu kalau dengan teman-temannya sering memaksanakan keinginannya, ga pernah sabar blas, maunya ingin menang...tapi saat kegiatan (peraturan dalam bermain) kemarin itu dia kelihatan sekali berusaha menahan untuk tidak merebut mainan..( Gd, Gr, 27 Maret 2014). Perbedaan kondisi pengendalian diri anak sebelum penerapan model BKK dengan kondisi pengendalian diri anak setelah penerapan model BKK terlihat pada grafik berikut.
185
25 20 15 Sebelum Penerapan BKK
10
Setelah Penerapan BKK
5
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.22 Pengendalian Diri Anak Usia Dini Sebelum dan Setelah Penerapan Model BKK Berdasarkan Penilaian Guru 25 20 15 Sebelum Penerapan BKK
10
Setelah Penerapan BKK 5 0 Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat Rendah
Grafik 4.23 Pengendalian Diri Anak Usia Dini Sebelum dan Setelah Penerapan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif Berdasarkan Penilaian Orang tua Berdasarkan kedua grafik di atas, terlihat bahwa terjadi kenaikan yang besar terhadap kondisi pengendalian diri anak yang berkategori tinggi serta terjadi penurunan yang sangat besar pengendalian diri anak yang berkategori rendah. Data
mengindikasikan
keberhasilan
model
BKK
dalam
meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan model bimbingan dan konseling kolaboratif ini adalah adanya kesiapan dan kesediaan kepala sekolah, guru dan orang tua untuk bekerja sama dalam sebuah tim. Kerja sama yang
186
berdampak positif terhadap anak ini dilandasi prinsip-prinsip kolaborasi sebagaimana diungkap oleh Cook and Frend (dalam Frans dan Bursuck, 1996, hlm. 76) dan Brown dkk (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 528) yaitu adanya kesamaan tujuan, adanya hubungan kesetaraan, adanya pembagian peran yang jelas antara pihak-pihak yang berkolaborasi, adanya interaksi dan hubungan yang saling percaya serta pihak-pihak yang berkolaborasi dapat menjadi sumber. Kolaborasi antara guru dan orang tua berhasil menyamakan pemahaman, langkah dan
strategi
dalam
mendampingi
perkembangan
anak.
Kolaborasi
ini
memungkinkan kegiatan yang diagendakan pihak sekolah berkesinambungan dan sejalan dengan kegiatan yang dilaksanakan orang tua di rumah dalam mendampingi putra-putrinya. Kesamaan langkah dan kegiatan berkelanjutan ini menjadi faktor penunjang keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Kedua, keberhasilan layanan bimbingan dan konseling kolaboratif ditunjang oleh kesiapan, kesediaan, kemampuan dan kemauan kolaborator
yaitu guru,
orang tua dan kepala sekolah untuk menjalankan kegiatan sesuai tugas masingmasing. Ketidaksiapan orang tua dan guru dalam menerapkan model BKK berpengaruh terhadap hasil, sebagaimana ditemukan pada satu orang guru yang tidak menerapkan kegiatan belajar mengajar serta orang tua yang tidak mempunyai kesempatan menerapkan kegiatan karena anak dan suami sakit. Model
bimbingan
dan
konseling
kolaboratif
efektif
meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini, hal ini dicirikan adanya perbedaan yang signifikan antara skor pengendalian diri anak sebelum dengan setelah penerapan model BKK. Melalui pendampingan yang dilakukan
guru dan orang tua,
pengendalian diri anak makin baik. Vasta dkk (1992: 776) menyatakan bahwa perilaku anak pada awalnya dikendalikan oleh kekuatan eksternal, kemudian secara perlahan-lahan kontrol eksternal diinternalisasikan menjadi kontrol internal melalui proses klasikal kondisioning. Pendapat ini menguatkan peran orang tua dan guru yang berfungsi sebagai kekuatan eksternal untuk membantu anak mengembangkan pengendalian dirinya. Membantu anak mengendalikan diri perlu dilakukan sejak dini agar anak mempunyai softskill yang diperlukan dalam hubungan sosial dan penyesuaian dalam lingkungan yang lebih luas.
187
Bimbingan dan konseling kolaboratif ini tidak hanya dapat mengubah perilaku anak tetapi juga bermanfaat bagi perubahan orang tua, karena sebelum mengajarkan pengendalian diri pada anak, orang tua dan guru harus sudah mampu megendalikan diri terlebih dahulu. Perubahan sikap dan perilaku setelah pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif terlihat dari penuturan seorang ibu dalam diskusi kelompok dan dari hasil evaluasi berikut. “...ya banyak sekali manfaatnya, saya jadi tahu tentang parenting yang benar...” (YS, 10 Mei 2014, Ot), “...saya jadi tahu cara mendidik itu bagaimana, selama ini kan sebisanya, kalau nakal ya dimarahi... (TK, 17 Mei 2014, Ot), “...kegiatan ini bagus sekali menambah pengetahuan tentan cara mendidik yang benar,
tahu perlu
dilanjutkan...” (Lembar evaluasi). Model bimbingan dan konseling kolaboratif tidak hanya dapat mengubah perilaku anak, melainkan juga bermanfaat bagi orang tua, yaitu mengubah cara pandang tentang anak, meningkatkan kesadaran pentingnya mengajarkan pengendalian diri pada anak serta meningkatkan keterampilan dalam mengajarkan pegendalian diri pada anak. Tercapainya tujuan untuk orang tua dalam kegiatan bimbingan dan konseling ini sejalan dengan pendapat Geldard dan Geldard (2012) dalam buku Counseling Children yang mengungkapkan bahwa tujuan konseling bagi anak, meliputi tujuan dasar, tujuan untuk orang tua, tujuan yang dirumuskan konselor dan tujuan untuk anak itu sendiri. Tujuan untuk orang tua sangat penting karena cara pandang terhadap lingkungan bisa berbeda dengan cara pandang orang tua terhadap lingkungan, sebagaimana dipaparkan oleh Geldard & Geldard (2012, hlm. 11), bahwa keinginan anak bisa berbeda, pandangan yang berbeda dengan orangtua,
anak bisa mempunyai
cara pandang anak terhadap
lingkungan berbeda dengan cara orangtua memandang lingkungan. Averill (1973, hlm. 286-287) mengemukakan tiga aspek pengendalian diri, yaitu kontrol emosi, kontrol pikiran dan kontrol perilaku, sementara Baumeister et al. (dalam Tangney, 2004, hlm. 273) mengidentifikasi empat aspek utama pengendalian diri yaitu mengendalikan pikiran, emosi, impuls, dan performance. Sebagaimana pendapat tokoh tersebut, penelitian ini membagi variabel penelitian menjadi tiga sub variabel yaitu kontrol emosi, kontrol pikiran dan kontrol perilaku. Analisis kemudian dilakukan lebih mendalam pada setiap sub variabel pengendalian diri.
188
Hasil uji terhadap tiga sub variabel pengendalian diri terbukti signifikan baik pada sub variabel kontrol emosi, kontrol pikiran maupun kontrol perilaku, menurut penilaian guru maupun penilaian orang tua. Analisis setiap variabel pada masingmasing sekolah, kontrol pikiran merupakan variabel yang paling tidak signifikan kenaikannya pada setiap sekolah dibanding variabel lainnya. Sementara variabel lain menunjukkan hasil yang bervariasi. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif terbukti efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini, artinya model Bimbingandan Konseling Kolaboratif dapat meningkatkan kontrol emosi, kontrol pikiran dan kontrol perilaku, namun kontrol pikiran merupakan aspek yang paling rendah peningkatannya. Pada aspek kontrol pikiran ini tidak ditemukan peningkatan yang signifikan pada semua sekolah. Dengan kata lain aspek kontrol pikiran lebh sulit ditingkatkan dibanding aspek lainnya. Untuk itu perlu perlu dirancang strategi dan materi lain yang dapat meningkatkan kontrol pikiran anak. Analisis yang
dilakukan pada setiap indikator dari masing-masing sub
variabel, menurut penilaian orang tua menunjukkan hasil yang signifikan pada semua indikator dari masing-masing sub variabel. Sementara menurut penilaian guru ada yang tidak signifikan yaitu, pada sub variabel kontrol emosi bagian indikator 1 (dapat menyatakan perasaan yang dialami), pada sub variabel dua (kontrol pikiran) bagian indikator 4
(mampu mengolah informasi untuk
mengantisipasi keadaan yang tidak menyenangan). Pembentukan perilaku membutuhkan pembiasaan dalam aktivitas sehari-hari, masih rendahnya penialaian guru terhadap kemampuan anak menyatakan perasaan yang dialami dan kemampuan anak mengolah informasi untuk mengantisipasi keadaan yang tidak menyenangkan kemungkinan karena aktivitas yang memungkinkan anak melakukan pembiasaan pada indikator tersebut lebih terbatas dari pada suasana rumah yang terpantau orang tua. Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah pada instrumen penelitian yang diujicobakan hanya pada 60 subjek, terdapat beberapa item instrumen yang tidak tidak valid sehingga mengurangi jumlah item pada beberapa indikator, ada satu indikator yang hanya diukur dengan 3 item. Demikian juga penggunaan onegroup pretest-postest desain merupakan bagian dari kelemahan penelitian ini
189
karena tanpa adanya kelompok kontrol maka validitas eksternalnya menjadi rendah. Peneliti berikutnya sebaiknya
mengembangkan instrumen
dengan
memperhatikan keseimbangan jumlah item pada setiap indikator. Lokasi penelitian hanya di tiga sekolah dan baru merepresentasikan tiga kategori sekolah sekolah unggul (teladan, akreditasi A), sekolah kelompok sedang (akreditasi B) dan sekolah di masa persiapan yang belum terakreditasi. Sementara subjek yang dilibatkan dalam penelitian adalah anak yang orang tuanya bersedia mengikuti kegiatan penelitian ini hingga akhir program penelitian. Agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan maka peneliti berikut memperhatikan tehnik pengambilan sampel prosedur pengambilan
sampel yang tepat serta menggunakan desain
penelitian lain untuk meningkatkan validitas eksternalnya.
190
DAFTAR PUSTAKA
Ann, Mary C & Crandall, J.B. (2009). School Counselor Inclusion: A Collaboratif Model to Provide Academic and Social Emotional Support in the Classroom Setting. Journal of Counseling and Development, vol 87 (1). Averill, J. R. (1973). Personal Control Over Aversive Stimuli and Its Relationship to Stress. Psychological Bulletin, (80),hlm. 286-303. Bandura, A. (1982). Self-efficacy Mechanism in Human Agency. Journal American Psychologist, (37),hlm. 122-147. Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Baron, Stephen W. (2003) Self-Control, Social Consequences and Criminal Behavior : Street Youth and The General Theory of Crime. Jurnal : Journal of Research in Crime and Deliquence, Vol. 40, (4), hlm. 403-425. Baumeister,R., Kathleen D. Vohs & Dianne M. Tice. (2007).The Strength Model of SelfControl. Jurnal : Association for Psychological Science.Vol. 16, (6), hlm. 351355. Bell, P.A., Greene, T.C., Fisher, J.D., and Baum, A. (1996). Enviromental Psychology. Fourth Edition. Orlando : Harcourt Brace College Publishers. Berk, Laura, E. (1993). Children Development. USA : Allyn & Bacon. Beaty .(1996). Skill for Preschool Teacher. New Jersey : Prentice Hall.Inc Berndt, T.J. (1992). Child Development. New York: Holf Renehart&Winston Inc. Bernhardt, K.S. (1964). Discipline and Child Guidance. New York: McGraw-Hill Book Company. Bertolino, Bob & O’Hanlon, Bill. (2002). Collaborative, Competency-Based Counseling and Therapy. Boston : Allyn & Bacon. Borg, W.R & Gall, M.D. (1989). Educational Reseachan Introduction, third edition. New York : Longman. Bruse, Tina. (1987). Early Childhood Education. London : Holder & Stoughton,
191
Calhoum, J.F & Acocell. J.R.(1990). Psychology of Adjusment and Human Relationship. 3 ed. New York : McGrow-Hill Books Inc. Callahue, D.L. (1982). Understanding Motor Development in Children. New York : John Weley & Sons. Coggins, Lauren M. (2008). Children’s Behavior: Consistency in Perceptions between Mothers, Teachers, Observers,and Children Across Multiple Contexts. (Tesis). Department of Human Development and Family Science, The Ohio State University, Ohio. Conduct Problems Prevention Research Group. (1999). Initial Impact of the FastTrack Prevention Trial for Conduct Problems: Classroom Effects. Jurnal : Journal ofConsulting and Clinical Psychology, ( 67), hlm. 648-657.
Corey, Gerald. (2005). Therapy and Practice of Counseling and Psychotherapy. Australia, Canada, Mexico, USA : Thomson Books/Cole. Crane, J., Melissa, S.M, Adam, W. (2011). Parent-Theacher Agreement and Realibility on the Devereux Early Childhood Assessment (DECA) in English and Spanish for Ethically Diverse Children Living in Poverty. Jurnal : Early Education and Development,Vol. 22, (3), hlm. 520–547. Creswell, John W. (2008). Educational Reseach : Planning Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Reseach. New Jersey : Pearson Educations, Inc. Curtis, R & Van Home (2014). School-Wide Collaboration to Implement of a Positive Behavioral Intervention Support Program In A.M Doughenty (ed). A Case Book of Psychological Consultation and Collaboration. 6th ed hlm.154-173. Belmont CA : Brooke/Coole Congage. Cuskelly, M., et.al. 2006. Parental Strategies for Assisting Children to Wait. Journal Down Syndrome Research and PracticeVol. 11, (2), hlm. 55-63. Departemen Pendidikan Nasional.(2006). Panduan Bimbingan di TK. Jakarta :Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Eziga, M.A.J., Weerman, F.M., Westenberg, P.M., & Bijleveld, C.C.J.H. (2008). Early adolescence and delinquency: levels of personality development and self-control as an explanation of rule breaking and delinquent behaviour. Psychology Crime and LawVol. 14, (4), hlm. 339-356.
192
Finkel, Eli, J. & W. Keith, C. (2001). Self-Control and Accommodation in Close Relationships: An Interdependence Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol.81,(2), hlm. 260-277. Fox, N.A & Susan D. Chalkins.2003. The Develop of Self C ontrol of Emotion : Intrinsic and Extrinsic Influences. Motivation and Emotion, Vol.27, (1), March 2003. Frans & Bursuck, W. (1996). Including Student with Special Need. Boston : A&B. Gailliot, M.T., Roy F. Baumeister, C. Nathan DeWall, Jon K. Maner, E. Ashby Plant,Dianne M. Tice, ....(2007). Self-Control Relies on Glucose as a Limited Energy Source: Willpower Is More Than a Metaphor. Jurnal : Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 92, (2), hlm.325–336. Gardner, Frances, et al.(2009). Moderators Of Outcome in Brief Family-Centered Intervention for Preventing Early Problem Behavior. Jurnal : Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol.77, (3), hlm.543-553 Geldard &Gerldard. (2012). Counseling Children : A Practical Introduction ThirdEdition. Terjemah Giantoro W & Lilian W. Jakarta : Indeks. Geroski, A.M., Rogders, K.A., Breen D.T.(1997). Using The DSM-IV to Enhance Collaboration among School Counselors, Clinical Counselors, and Primary Care Physicians. Jurnal : Journal of Counseling and Development.(75), hlm 231-239. Gottfredson, M.R., & Travis. Hirschi. (1990). A General Theory of Crime. California : Stanford University Press. Hlm. 85-120. Gul, Faruk, and Wolfgang Pesendorfer(2001), “Temptation and Self Control” Jurnal : Econometrica, LXIX, hlm. 1403-1435.
Hart, D., Atkins, R., & Matsuba, M. K. (2008). The Association of Neighborhood Poverty with Personality Change in Childhood. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 94, (6), hlm. 1048-1061. Henderson, Donna A., Charles L, Thomson. 2011. Counseling Children. Eight edition. USA : Books/Cole Hoffman, M.L.( 1984). Empati, Social Cognition and Moral Action, dalam W. Kurtines dan J. Gerwita eds.: Moral Behavior and Development: Advances in Theory Reseach and Applications. New York : John Wiley and Sons. Hofferth et.al (1998). Characteristics of Children’s Early Care and Education Program : Data From the 1995 National Hausehold Educational Survey. Washington : US Departemen of Education, Educational Reseach and Development. Hurlock, E.B. (1987). Child Development. New York : Mc Grow Hill.
193
Johnson & DL., Johnson (1987). Profesional Family Collaboration. In AB. Harfield (ed). Falimies of the Mentally Ill: Meeting theChallenge. New Directions in Mental Health Service. (34), hlm. 73-79. Joyce, B. & Marsha Weil. (2014). Model of Teaching. 9th edition. Englewood Cliffs : Practice Hall Inc.hlm. 1. Izzati, Rita E dan Sartini Nuryoto. (2006). Prediktor Permasalahan Perilaku Anak Usia TK. Sosiosains, Vol.19, (3). Kadarharutami, Amy. 2011. Mengasuh Anak Usia 3-6 tahun. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional. Kartadinata, Sunarya (2001). “Reaktualisasi Paradigma Bimbingan dan Konseling dan Profesionalisme Konselor”. Jurnal Bimbingan dan Konseling. Vol.7. (7), hlm. 3-17. Kartadinata, Sunarya., dkk (1998). Bimbingan di Sekolah Dasar. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kendall, P.C., & Wilcox, L.E. (1979). Self-control in children: Development of a Rating Scale. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 47(6), hlm. 1020-1029. Koeswara, E. (1988). Agresi Manusia. Bandung: PT Eresco Kusuma, Tesya. C. (Tt). Gambaran tentang Peranan Kegiatan Bernyayi dalam Mengembangkan Bahasa Anak Usia Dini di Taman Kanak-Kanak Budi Mulia. Pesona Paud Vol 1, (1). Lassonde, C.A & Susan E.I. (2010). Teacher Collaborative for Professional Learning, Facilitating Study, Reseach and Inquiry Communities. San Fransisco : John Wiley and Sons Lazarus, R.S .(1976). Pattern of Adjusment. 3 ed. Tokyo : McGrow-Hill Kogakusha Ltd. LeBuffe, P.A & Valerie B. Shapiro. (2004). Lending “Strength” to the Assessment of Preschool Social-Emotional Health, The California School Psychologist, Vol. 9, hlm. 51-61. Liau-bei Wu. (2004). A Study on the Relations among Self-control, Peer Relation and Juvenile Deviant Behaviors. (Tesis). Graduate Institute of Sociology of Education, China.
Litlle, Yudith Warren (1982). Norm of Collegiality and Experimentation : Workplace Conditions of School Success.American Educational Research Journal . (19), hlm. 325-340. Logue.A.W.(1995). Self Control. Waiting until Tomorrow for What You Want Today. Englewood Cliffs, New Jersey : Practice hall.
194
McCullough, M. E. & Brian L. B. Willoughby. (2009). Religion, Self-Regulation, and SelfControl: Associations, Explanations and Implications. Psychological Bulletin. Vol 135 (1), hlm.69-93 McMillan, J.M.(2012). Educational Reseach, Fundamentals for the Consumer.sixth edition. USA : Pearson McMullen, John C. (1999). A Test of Self-control Theory Using General Patterns of Deviance. the Faculty of the Virginia Polytechnic Institute. Desertasi. Tidak diterbitkan.
Messina, N., & Grella, C. (2006). Childhood Trauma and Women's Health: A California prison population. American Journal of Public Health, 96(10), hlm. 1842-1848. Mischel, W., Eigsti, Zayas V., Shoda, Y., Ayduk, O.,Davidson, M.C.,...( 2006) Predicting Cognitive ControlFrom Preschool to LateAdolescence and YoungAdulthood. Jurnal : Association for Psychological Science, Vol 17 (6), hlm. 478-484.
Moffitt, E Terrie, (2010). A Gradient of Childhood Self-Control Predicts Health, Wealth, and Public Safety. Proceedings of National Academy of Sciences of United States of Amerika, Vol. 108 (7). hlm. 2693-2699.
Morrison, G. (2012). Fundamental of Early Childhood Education , 5th edition. alih bahasa Suci Romadhona & Apriwiastuti. Jakarta: Indeks. Muelle, Christina More. 2010. The Relation between Prekindergarten Social and Emotional Development and Academic Succes among Hispanic Childern from Low-Income Families. Florida International University. (Disertasi). Florida International University. Muraven, M. (2010). Practicing Self-Control Lowers the Risk of Smoking Lapse. Psychology of Addictive Behaviors, Vol. 24,(3), hlm. 446–455.
Muro, J. J. & Kottman, T. (1995). Guidance and Counseling in the Elementary and Middle Schools: A Practical Approach. Madison WI: WCB Brown & Benchmark Publishers Natawidjaya, R.( 1996). Pendekatan-pendekatan dalam Bimbingan Kelompok I. Bandung : CV. Diponegoro. National Health and Medical Reseach Council (2010). National Health and Medical Reseach Council, Health and Ageing Portfolio Agency. Australian Government. National Parent Technical Assistance Center (2008). Fostering Parent and Professional Collaboration. Technical Assistance Alliance for Parent Centers. Minneapolis. USA. Owen, M.T.(2004). Child Care and the Development of Young Children (0-2). Ensyclopedia on Early Childhood Developmnet.
195
Parvin, Lawrence, A. (1984). Personality : Theory and Reseach. USA : Weley and Son. Piquero, Alex R., Wesley G. Jennings, David P. Farrington. 2010. Self-control Interventions forChildren Under Age 10 forImproving Self-control andDelinquency and ProblemBehaviors. Florida: Campbell Collaboration.
Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah. Prout, H.T., Douglas T. Brown. 2007. Counseling and Psychoterapy with Children and Adolescence theory and Practice for School and Clinical Setting. Canada : John Weley and Sons. Putnam, Samuel,et.al (2002). Mother–Child Coregulation During Delay of Gratification at 30 Months. Infancy, Vol. 3(2), hlm. 209–225. Department of Psychology, Bowdoin College.
Rachlin, Howard. (2004). Science of Self Control.United State of America : Harvard University Press Paperback. Reigeluth, C.M. (1999). Instructional-Design Theories and Models: a New Paradigm of Instructional.Vol II. Mahwah, N.J: Lawrence Elbaum Associates. Sandy, S., &Boardman, S. (2000) The Peaceful Kids Conflict Resolution Program. The International Journal of Conflict Management, Vol. 11, (4), hlm. 337-357. Sarafino. E.P.(1990). Health Psychology: Biopsychosocial Interaction.Singapura : John Weley & Sons. Santrock, John.( 2002). Life-Span Development :PerkembanganMasahidup, edisi 5, jilid I. Jakarta : Erlangga. Sawyer, LB.E.& Sara, ERK. (2007). Teacher Collaboration in the Context of the Responsive Classroom Approach. Journal The Teacher and Teaching Theory and Practice. Vol 13 (3), hlm. 211-245. Schmidt, John J. (1999). Counseling in School Essential Servive and Comprehensive Programs. Third edition. Boston : Allyn & Bacon. Seefeldt.C.B. (1990). Early Chlidhood Educations, An Introduction. 2 ed. Toronto : Merril Publishing Company. Semiawan, Conny. (2002). Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini (Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar). Jakarta : Prenhallindo. Shertzer & Stone. (1980). Fundamental of Counseling. Boston :HoughtonMifflin Company.
196
Sholehuddin, M.(2010) . Emproving Disadvantaged Kondergartens Through Guidance-Based Teaching. Journal : Education . Vol. IV (2). Skinner, Allen A. 1996. A Guidance to Construct of Control. Journal : Journal of Personality and Social Psychology. Vol . 71, (3), hlm. 549-570. Syaodih, E & Mubiar Agustin. (2008). Bimbingan Konseling untuk Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka. Syaodih, E. (2003). Bimbingan di Taman Kanak-kanak. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Tangney, June P., Roy F. Baumeister & Angie Luzio Boone. (2004). High Self-Control Predicts Good Adjustment, Less Pathology, Better Grades, and Interpersonal Success. Jurnal : Journal of PersonalityVol. 72, (2), hlm. 271-320. Taylor, L., & Adelman, H.S. (2000). Conneting School, Families and Communities. Professional School Counseling. (3) hlm. 298-307. Thomson, C. & Linda B. Rudolph. (1988). Counseling Children. second edition. Pacific Grove, California : Brooks/Cole Piblishing Company. Utarni, F.A & Sumaryono (2008). Pembelian Impulsive Ditinjau dari Kontrol Diri dan Jenis Kelamin pada Remaja. Jurnal Psikologi Proyeksi, Vol 3, (1), hlm. 46-57. Vasta, et.al. (1979). Self-Esteem and Self-Evaluative Covert Statements. Jurnal: Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol 47, (4), hlm. 776-777. Vaughn, Michael G et. al. (2007). Toward a Psychopathology of Self-Control Theory : The Importance of Narcissistic Traits. Jurnal : Behavior Science and the Law. (25) hlm. 803-821. Walker,E.L. (1969). Conditioning and Instrumental Learning, (Terjemahan, Team Fakultas Psikologi Universitas Indonesia).Jakarta :Universitas Indonesia.
Workman, E.A .(1982). Teaching BehaviorSelf- Control to Student. Texas, USA ; Pro-ed. Warner, Lavarne & Sharon, A.L. (tt). Mengelola Kelas Prasekolah. 150 Tehnik yang Sudah Teruji oleh Para Guru. Terjemah Widyananto S. Jakarta : Esensi. Wakschlag, et. al. (2005). Defining the “Disruptive” in Preschool Behavior: What Diagnostic Observation Can Teach Us. Jurnal : Clinical Child and Family Psychology Review, Vol. 8, (3)., hlm. 183-201. William, Melvin, J. (1959). Counseling with Parents dan Teacher in the Preschool. Jurnal : Marriage and Family Living Journal . Sociology Depertemen Florida State University.
197
Wolfe, S.E., George E.H., (2008). Self-Control and Perceived Behavioral Control: An Examination of College Student Drinking. Applied Psychology in Criminal Justice, 2008, Vol. 4, (1), hlm. 108-133 Yusuf, Syamsu. (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah.Bandung :Rizqi Press.
Peraturan Perundangan
Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sumber On Line
American Counseling Association. (2006). Effectiveness of School Counseling. (Online). Diakses dari www.counseling.org. Anonim. The Developement of Agressive Behaviour in Children and Young People : Implications for Social policy, Service and Future Reseach (online). Diakses dari http://www.community.nsw.gov.au/docswr/_assets/main/documents/aggressio n_discussionpaper.pdf. Anonim. Menu-Dependent Emotions and Self-Control (online) Diakses www.chapman.edu/research-and-institutions/economic-scienceinstitute/_files/WorkingPapers/minambres-schniter-men.
dari:
Bredekamp, S.(1996) . DevelopemntAppropiate Practice in Early ChildhoodProgram. NAEYC. (Online) Diakses darihttp//
[email protected]/html. Carter, Evan C. (2010). Religious Cognition and Duration of Maintained Grip. (Online) Diakses dari : http://etd.library.miami.edu/theses/available/etd-05012010151819/. Childs, Kristina.(2005).Self-control, Gang Membership and Victimization: An Integrated Approach to The Risk Factors of Violent Victimization. (Tesis). Universityof South Florida.(Online). Diakses dari http://scholarcommons.usf.edu/etd/2822. Cotton, K . & Wikelund, K. R .(1989). Parent Involvement in Education. School Improvement Research Series, Close-Up (6) ,Northwest RegionalEducational Laboratory.(Online). Diakses dari : www.nwrelorg/dcpd/sirs/3/cu6.html.
198
Gonya, Jennifer. Early Childhood Building Block: Turning Curiosity into Scientific Inquiry dalamResources for Early Childhood (REC). (Online). Diakses dar http://rec.ohiorc.org/orc_documents/orc/recv2/briefs/pdf/0008.pdf). Gwen, Dewar& Gwen. (2012). TeachingSelf-Control: Evidence Based Tips. Diakses dari://www.parentingscience.com/teaching-self-control.html.
Haninah. (tt). Teaching Children Self-Control. Diakses dari: http://www.ecusd7.org/psychologists/newsletters/0910/Self_Control.pdf. Kopertis wilayah XII (2012). M.Nuh : Hardiknas Momentum Bangkitkan Generasi Emas. Diakses dari www.kopertis12.or.id. LeBuffe, P. A., & Naglieri, J. A. (2009). The Devereux Early Childhood Assessment (DECA): A measure of within-child protective factors in preschool children.( Online) Diakses dari : www.devereux.org
Messina, James, J & Messina, Constance, M. (2003). Developing SelfControl. (online)Tersedia : http/www.coping.org/control/selfcont.htm. (8 Mei 2012). National Association of School Psychologist. (tt) Teaching Young Children Self-Control Skills. Diakses dari: http://www.nasponline.org/resources/handouts/behavior%20templat e.pdf Perry MD, Bruce D. Why Young Children Are CuriousDiaksesdari :http://www.scholastic.com/teachers/article/why-young-children-arecurious). . Rosas, C., Lynn & Jane, C.(2009). Devereux Early Childhood Assessment Ratings from Parents and Teachers in Delaware. Healt and Parenting Services.(Online). Diaksesdariwww.Nemours
Walter, Kristen H (2010). Self-Control and Executive Function in Posttraumatic Stress Disorder.(online). Diakses dari http: etd.ohiolink.edu/view.cgi?acc_num=kent1276474763. Wolfe, Scott E. and George E. Higgins. (2009). "Explaining Deviant Peer Associations: An Examination of Low Self-Control, Ethical Predispositions, Definitions, and Digital Piracy." Western Criminology Review Vol. 10, (1), hlm. 43-55. (online) Diakses dari : http://wcr.sonoma.edu/v10n1/Wolfe.pdf. .................. (2008). Riset untuk Membangun Model. (Online). Diakses dari : e-mail:
[email protected]. ...........................tt. The Devereux Early Childhood Assessment Clinical Form (DECA C) A Measure of Behaviors Related to Risk and Risilience in Preschool Children. (Online) Diakses dari :www.devereuxearlychildhood.org
199