PROSIDING
ISSN: 2502-6526
METODE SOCRATES DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA Khairuntika Pasca Sarjana Universitas Lampung
[email protected] Abstrak Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam menghadapi fenomena tersebut. Salah satu kemampuan berpikir yang dapat dikembangkan adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis adalah proses berpikir secara sistematis yang memberikan kesempatan pada siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi setiap keputusannya dengan tepat. Berpikir kritis penting karena (1) mengembangkan kemampuan individual secara maksimal, baik secara fisik, emosi, filosofi, estetika, dan intelektual; (2) mempersiapkan siswa untuk mencukupi kebutuhan ekonominya secara mandiri dan siap menghadapi dunia kerja, mengajarkan siswa untuk mendapatkan dan menghasilkan kebutuhan serta pelayanan yang diinginkan, dan mengatur sumber daya seseorang secara efisien; (3) mengutamakan tanggung jawab untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Salah bsatu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis adalah metode Socrates. Metode Socrates adalah proses diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Seluruh percakapan dalam metode Socrates merupakan percakapan yang bersifat konstruktif dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan Socrates. Terdapat hubungan antara metode Socrates dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa metode Socrates dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Kata Kunci: Berpikir Kritis; Metode Socrates
1. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menuntut siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya. Kemampuan berpikir tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi matematika, melainkan juga untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu membangun kemampuan berpikir siswa. Terdapat beberapa kemampuan berpikir yang dapat dikembangkan, salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Berpikir kritis menurut Khairuntika (2015:33) adalah proses berpikir secara sistematis yang memberikan kesempatan pada siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi setiap keputusannya dengan tepat. Kemampuan berpikir kritis memungkinkan seseorang mempelajari masalah yang dihadapi secara sistematis, menghadapi berbagai tantangan dengan cara yang terorganisir, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang inovatif, dan merancang solusi-solusi yang orisinal (Johnson, 2002:100). Cabera (Husnidar, Ikhsan dan Rizal, 2014: 72) menyatakan bahwa penguasaan kemampuan berpikir kritis tidak cukup dijadikan sebagai tujuan pendidikan semata, tetapi juga sebagai proses fundamental yang memungkinkan siswa untuk mengatasi berbagai Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
89
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
permasalahan masa yang akan datang di lingkungannya. Dari uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir kritis penting bagi kehidupan manusia. Meskipun memiliki kemampuan berpikir kritis sangat penting, namun pada kenyataannya kemampuan tersebut belum dikuasai dengan baik oleh siswa Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil TIMSS 2011 (Mullis, 2012) pada domain proses kognitif (konten) yang disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Persentase Rata-Rata Jawaban Benar Siswa Indonesia Dibandingkan dengan Siswa Internasional pada Domain Proses Kognitif dalam TIMSS 2011 Rata-rata Jawaban Benar (%) Aspek Pada Domain proses Kognitif Indonesia Internasional Pengetahuan 31 49 Aplikasi 23 39 Penalaran 17 30 Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa kemampuan siswa Indonesia yang paling lemah pada domain proses kognitif adalah penalaran. Kemampuan penalaran yang masih lemah menjadi indikasi bahwa kemampuan berpikir kritis siswa di indonesia juga masih lemah. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuliyanti (2014:98) yakni kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari penalaran yang mencakup berpikir dasar, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Melihat pentingnya kemampuan berpikir kritis dan masih lemahnya kemampuan berpikir kritis siswa di Indonesia maka dalam pembelajaran matematika diperlukan suatu metode yang dapat mendukung, memfasilitasi, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam artikel ini penulis memberikan solusi bahwa salah satu metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika guna mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah metode Socrates. Metode Socrates adalah suatu metode pembelajaran dengan proses diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Seluruh percakapan dalam metode Socrates merupakan percakapan yang bersifat konstruktif dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan Socrates Artikel ini membahas mengenai metode Socrates dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan tinjauan literatur. Untuk mengetahui kaitan metode Socrates dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu mtode Socrates?, apa itu kemampuan berpikir kritis?, serta bagaimana kaitan antara metode Socrates dan kemampuan berpikir kritis?.Tujuan dari artikel ini adalah untuk mendeskripsikan metode Socrates dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Adapun manfaat atau kegunaan yang nantinya dapat diambil dari artikel ini secara teoritik dapat membantu perkembangan pengetahuan khususnya yang terkait dengan metode pembelajaran dalam pembelajaran matematika. Secara praktis, memberikan metode pembelajaran alternatif yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran khususnya matematika dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
90
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan untuk menulis artikel ini adalah metode telaah pustaka. Penulis melakukan telaah pustaka dari beberapa literatur yakni buku, skripsi, jurnal, prosiding, maupun website-website secara online. Penulis membatasi masalah yang dikaji yakni metode Socrates dan kemampuan berpikir kritis, lalu mengaitkan hubungan metode Socrates engan kemampuan berpikir kritis tersebut khususnya dalam pembelajaran matematika. 3. PEMBAHASAN A. Metode Socrates Jones, Bagford, dan Walen (Yunarti, 2011: 47) mendefinisikan metode Socrates dalam pembelajaran sebagai sebuah proses diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan. Sejalan dengan itu, Al-Qhomairi (2014: 13) juga mendefinisikan metode Socrates sebagai metode yang di dalamnya terjadi dialog antara guru dengan siswa yang memuat pertanyaan-pertanyaan kritis dengan tujuan membangun pola berpikir kritis siswa, menuntun pada suatu penemuan baru, membuat siswa ingin tahu lebih jauh dan memahami lebih dalam, serta menguji validitas keyakinan siswa dan membuat kesimpulan yang benar akan suatu objek. Johnson, D. W. & Johnson, R. T. (2002: 194) menyatakan bahwa metode Socrates diajarkan dengan cara bertanya jawab untuk membimbing dan memperdalam tingkat pemahaman yang berkaitan dengan materi yang diajarkan sehingga anak didik mendapatkan pemikirannya sendiri dari hasil konflik kognitif yang terpecahkan. Yunarti (2011: 47) menyatakan bahwa Metode Socrates merupakan metode yang memuat dialog yang dipimpin oleh guru karena guru mengetahui tujuan pembelajaran, konstruktif bagi siswa, dan memuat pertanyaan induktif mulai dari pertanyaan sederhana hingga kompleks untuk menguji validitas keyakinan siswa terhadap suatu objek. Dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan itu diharapkan siswa mampu atau dapat menemukan jawabannya, dan saling membantu dalam menemukan sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Pertanyaan yang dimaksud bukan hanya sekedar pertanyaan yang tak bermakna, tetapi pertanyaan yang mampu merespon siswa untuk selalu berpikir. Hal ini sesuai dengan pendapat Qosyim (2007:11) yang menyatakan bahwa metode Socrates bukan hanya sekedar “pertanyaan” tetapi apa yang diakibatkan oleh pertanyaanpertanyaan tersebut, yang merangsang orang untuk berpikir dan bekerja. Metode ini merupakan sebuah metode pembelajaran yang membantu siswa untuk menjawab berbagai macam permasalahan pada kehidupan sehari-hari. Terdapat enam tahapan prosedural metode Socrates yang dapat digunakan menurut Qosyim (2007:15) yaitu: (1) menentukan topik materi pokok bahasan apa yang akan dipelajari, (2) mengembangkan dua atau tiga pertanyaaan umum dan memulai pelaksanaan tanya jawab, (3) melihat atau mengobservasi apakah pada diri siswa ada kemungkinan terjadi Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
91
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
ketidakcocokan, pertentangan, atau konflik kognitif, (4) menanyakan kembali tentang hal-hal yang menimbulkan konflik kognitif, (5) melanjutkan tanya jawab sehingga siswa dapat memecahkan konflik sampai bergerak ke tingkat analisis lebih dalam, dan (6) menyimpulkan hasil tanya jawab dengan menunjukkan hal-hal penting yang seharusnya diperoleh siswa. Richard Paul (Yunarti, 2011 : 48-49) telah menyusun enam jenis pertanyaan Socrates yakni klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, serta pertanyaan tentang pertanyaan. Saat metode Socrates diterapkan dalam pembelajaran, guru harus melaksanakan beberapa strategi agar pembelajaran Socrates dapat berjalan dengan baik. Strategi-strategi yang dimaksud dalam Yunarti (2011: 60) adalah: (1) Menyusun pertanyaan sebelum pembelajaran dimulai; (2) Menyatakan pertanyaan dengan jelas dan tepat; (3) Memberi waktu tunggu; (4) Menjaga diskusi agar tetap fokus pada permasalahan utama; (5) Menindaklanjuti responrespon siswa; (6) Melakukan scaffolding; (7) Menulis kesimpulan-kesimpulan siswa di papan tulis; (8) Melibatkan semua siswa dalam diskusi; (9) Tidak memberi jawaban "Ya" atau "Tidak" melainkan menggantinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali pemahaman siswa; dan (10) Memberi pertanyaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Dari beberapa uraian tentang metode Socrates, dapat disimpulkan bahwa pebelajaran dengan metode Socrates adalah pembelajaran dengan proses diskusi yang dipimpin oleh guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan dalam menghadapi suatu masalah. Seluruh percakapan/diskusi dalam metode Socrates merupakan percakapan yang bersifat konstruktif dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan Socrates. Jenis-jenis pertanyaan Socrates yakni klarifikasi, asumsi penyelidikan, alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, serta pertanyaan tentang pertanyaan. Pertanyaan yang diberikan desesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan mampu menggali pemahaman siswa. B. Kemampuan Berpikir Kritis Gunawan (2003:177-178) menyatakan kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Menurut Ruland (2003:1-3), berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada suatu standar yang disebut universal intelektual standar. Universal intelektual standar adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Universal intelektual standar meliputi: kejelasan (clarity), keakuratan, ketelitian, kesaksamaan (accuracy), ketepatan (precision), relevansi, keterkaitan (relevance), kedalaman (depth). Berpikir kritis yang dikembangkan oleh Intercollege Commitee on Critical Thinking (Pramasdyahsari, 2014:357) terdiri dari: (1) kemampuan Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
92
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
untuk menggambarkan masalah; (2) kemampuan untuk memilih informasi untuk memecahkan masalah, (3) kemampuan untuk mengenali asumsi (4) kemampuan untuk merumuskan hipotesis, dan (5) kemampuan membuat kesimpulan. Halpern (2003) mengatakan bahwa pada saat kita berpikir kritis sebenarnya kita melakukan evaluasi terhadap proses berpikir kita sendiri maupun orang lain untuk kemudian mengambil keputusan terhadap masalah yang kita hadapi. Adanya evaluasi dalam berpikir kritis menjadikan jenis berpikir ini sebagai jenis berpikir tingkat tinggi. dan logis agar dapat menghasilkan keputusan yang tepat. Zamroni dan Mahfudz (2009:30) menyatakan ada empat cara meningkatkan keterampilan berpikir kritis yaitu dengan: (1) model pembelajaran tertentu, (2) pemberian tugas mengkritisi buku, (3) penggunaan cerita, dan, (4) penggunaan model pertanyaan Socrates. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mengambil kesimpulan dengan tepat terhadap suatu masalah. kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan salah satunya yakni menggunakan metoe Socrates. Selanjutnya, Zamroni dan Mahfudz (2009:23-29) mengemukakan ada enam argumen yang menjadi alasan pentingnya keterampilan berpikir kritis dikuasai siswa. 1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat akan menyebabkan informasi yang diterima siswa semakin beragam. 2. Siswa merupakan salah satu kekuatan yang berdaya tekan tinggi maka mereka perlu dibekali dengan kemampuan berpikir yang memadai. 3. Siswa adalah warga masyarakat yang kini maupun kelak akan menjalani kehidupan semakin kompleks. Hal ini menuntut mereka memiliki keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya secara kritis. 4. Berpikir kritis adalah kunci menuju berkembangnya kreativitas. 5. Banyak lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak membutuhkan keterampilan berpikir kritis. 6. Setiap saat manusia selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan, mau ataupun tidak, sengaja atau tidak, dicari ataupun tidak akan memerlukan keterampilan untuk berpikir kritis. Cottrell (Yunarti,2011:32) telah menjabarkan beberapa keuntungan yang akan dirasakan oleh seseorang apabila memiliki karakter sebagai pemikir kritis. Keuntungan-keuntungan tersebut adalah: (1) Dapat meningkatkan perhatian dan pengamatan; (2) Lebih fokus berpikir dalam membaca; (3) Dapat meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi penting atau tidak pentingnya sebuah informasi; (4) Meningkatkan kemampuan untuk merespon sebuah informasi; dan (5) Memiliki kemampuan menganalisis suatu objek dengan baik. Kecenderungan individu untuk mengasah dan mengembangkan berpikir kritis akan membawa keuntungan bagi individu tersebut. Paul dan Endler (2014) mengungkapkan kemampuan yang diperoleh orang-orang yang membudayakan berpikir kritis, yaitu sebagai berikut. Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
93
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
1. Mampu menimbulkan pertanyaan penting dan masalah, merumuskan dengan jelas dan tepat; 2. Mampu mengumpulkan dan menilai relevansi suatu informasi, menggunakan ide-ide abstrak untuk menafsirkannya tersebut secara efektif menjadi kesimpulan dan solusi yang berdasar, mengujinya terhadap kriteria dan standar yang relevan; 3. Mampu berpikiran terbuka dalam sistem alternatif pemikiran, mengakui dan menilai (jika diperlukan) asumsi mereka, implikasi, dan konsekuensi praktis; dan 4. Mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dalam mencari tahu solusi untuk masalah kompleks Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis penting karena (1) mengembangkan kemampuan individual secara maksimal, baik secara fisik, emosi, filosofi, estetika, dan intelektual; (2) mempersiapkan siswa untuk mencukupi kebutuhan ekonominya secara mandiri dan siap menghadapi dunia kerja, mengajarkan siswa untuk mendapatkan dan menghasilkan kebutuhan serta pelayanan yang diinginkan, dan mengatur sumber daya seseorang secara efisien; (3) mengutamakan tanggung jawab untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat. C. Keterkaitan Metode Socrates dan Kemampuan Berpikir kritis Keterkaitan antara metode Socrates sesuai dengan jenis-jenis pertanyaan Socrates serta contoh-contoh pertanyaannya terhadap Kemampuan Berpikir Kritis (KBK) berdasarkan tipe pertanyaan Socrates menurut Yunarti (2011:22) adalah: 1. Klarifikasi Contoh: Apa yang anda maksud dengan ….?, Dapatkah anda mengambil cara lain?, Dapatkah anda memberikan saya sebuah contoh? KBK yang muncul yakni interpretasi, analisis, evaluasi 2. Asumsi-asumsi penyelidikan Contoh: Apa yang anda asumsikan?, Bagaimana anda bisa memilih asumsiasumsi itu? KBK yang muncul yakni interpretasi, analisis, evaluasi, pengambilan keputusan 3. Alasan-alasan dan bukti Penyelidikan Contoh: Bagaimana anda bisa tahu?, Mengapa anda berpikir bahwa itu benar?, Apa yang dapat mengubah pemikiran anda? KBK yang muncul yakni evaluasi, analisis 4. Titik pandang dan persepsi Contoh: Apa yang anda bayangkan dengan hal tersebut?, Efek apa yang dapat diperoleh?, Apa alternatifnya? KBK yang muncul yakni analisis, evaluasi 5. Implikasi dan Konsekuensi Penyelidikan Contoh: Bagaimana kita dapat menemukannya?, Apa isu pentingnya?, Generalisasi apa yang dapat kita buat? KBK yang muncul yakni analisis Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
94
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
6. Pertanyaan tentang pertanyaan Contoh: Apa maksudnya?,Apa yang menjadi poin dari pertanyaan ini? KBK yang muncul yakni interpretasi, analisis, pengambilan keputusan Maxwell (2014) mengemukakan bekerjanya Metode Socrates untuk kemampuan berpikir kritis meliputi dua daerah dampak. Maxwell menamainya The Safety Factor dan The Preference Factor. a. The Safety Factor (faktor keselamatan) Prinsip dasar dari Metode Socrates adalah memungkinkan siswa memiliki rasa percaya diri dengan pengalaman bertanya mengenai segala sesuatu, termasuk ide-ide dan keyakinannya sendiri. Siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis tanpa kemampuan bertanya. Siswa yang takut bertanya seringkali tidak akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Untuk itu faktor „keselamatan atau keamanan‟ siswa harus menjadi perhatian guru. Ketika menjawab atau mengajukan pertanyaan, siswa harus memiliki rasa aman dan nyaman yang dijamin oleh guru. Dengan demikian siswa dapat mengalami proses belajar tanpa merasa terintimidasi oleh jawaban atau pertanyaan yang mereka ajukan. b.
The Preference Factor (faktor yang lebih disukai) Seseorang dapat membangun kapasitas yang luar biasa untuk tetap berpikir kritis jika isu yang dibicarakan merupakan sesuatu yang mereka suka atau mereka kenal dengan baik. Untuk itu, guru harus mampu menyusun pertanyaan-pertanyaan yang memuat suatu kejadian atau isu yang diketahui dengan baik oleh seluruh siswa. Kedua faktor tersebut memengaruhi kesehatan psikologi manusia yang terkait dengan kemampuan mereka untuk berpikir kritis. Melalui pertanyaanpertanyaan Socrates, siswa dituntut untuk menggali dan menganalisis sendiri pemahamannya yang pada akhirnya ia akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa jawabannya tersebut benar atau salah. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan Socrates yang kritis serta diajukan secara sistematis mampu mengeksplor seluruh kemampuan berpikir kritis siswa untuk mendapatkan hakikat kebenaran dari suatu objek. Dalam hal ini, apabila sulit memahami maksud pertanyaan, maka guru sebaiknya mengganti pertanyaan menjadi lebih sederhana. Guru harus selalu peka dalam mengamati kesulitankesulitan yang dialami oleh siswa. D. Temuan/ Hasil Penelitian terkait Metode Socrates dalam Mengembangkan Kemampuan berpikir Kritis Siswa Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan metode Socrates dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satunya adalah penelitian Cintami (2010) yang melakukan penelitian dengan judul penggunaan metode Socrates dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VIII. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII dalam pembelajaran matematika pokok bahasan phytagoras melalui metode Socrates. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa siswa yang diajar Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
95
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
menggunakan metode Socrates memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibandingkan siswa yang diajar menggunakan metode konvensional. Respon siswa ketika menggunakan metode Socrates juga terlihat baik. Nurwantoro (2015) meneliti efektivitas pembelajaran Socrates ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan metode Socrates efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa karena berdasarkan pengujian hipotesis kemampuan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran Socrates lebih baik dibandingkan sebelum mengikuti pembelajaran Socrates, selain itu persentase siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik setelah mengikuti pembelajaran Socrates lebih dari 60%. Penelitian lain yang dilakukan oleh A-Qhomairi (2014) juga menunjukkan hasil yang sama yakni penerapan metode Socrates dalam pembelajaran matematika berjalan cukup baik jika ditinjau dari proses dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas X 6 SMA Negeri 15 Bandarlampung tahun pelajaran 2012/2013. Pertanyaan-pertanyaan yang di-berikan guru sangat membantu siswa dalam menemukan jawaban dari setiap permasalahan yang diberikan guru. Pada saat pembelajaran sebagian besar siswa memberikan respon positif dan lebih dari 75% siswa aktif. Hasil tes kemampuan berpikir kritis siswa juga dalam kriteria cukup dan baik. Contoh penerapan metode Socrates dalam pembelajaran matematika pada materi statistika yakni “Amir memiliki tinggi badan 170 cm dan berat 68 kg. Sementara itu Tuti memiliki tinggi badan 165 cm dan berat 50 kg. Berapakah usia keduanya?” dari pertanyaan terdapat beberapa prediksi jawaban siswa. Prediksi I: Siswa menjawab bahwa soal tidak bisa dikerjakan. Prediksi II: Siswa menjawab dengan berbagai kalkulasi. Prediksi III: Siswa tidak menjawab sama sekali. Untuk prediksi I, guru menggali keyakinan jawaban siswa untuk membuatnya lebih yakin akan hasil pemikirannya melalui pertanyaanpertanyaan Socrates seperti: Pertanyaan Klarifikasi: Bisakah anda memperjelas jawaban anda? Apakah selalu tepat begitu? Jadi anda yakin bahwa soal ini tidak bisa dikerjakan? Pertanyaan tentang asumsi: Kira-kira, data tambahan apa lagi yang dibutuhkan agar kita bisa memprediksi usia siswa? Untuk prediksi II, guru menggali keyakinan jawaban siswa untuk membuatnya menyadari bahwa pertanyaan dalam soal tidak ada relevansinya dengan data yang ada. Pertanyaan-pertanyaan Socrates yang diberikan: Pertanyaan Klarifikasi: Bisakah anda uraikan lagi jawaban anda? Bagaimana anda bisa merumuskan seperti itu? Apakah itu dibenarkan? Bagaimana anda yakin hasilnya seperti itu? Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
96
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
Untuk rediksi III, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan Socrates untuk mengetahui berpikirnya siswa serta hal yang membuat ia tidak menjawab. Pertanyaan Klarifikasi: Apa yang membuat anda bingung atau ragu untuk menjawab? Apa saja yang anda ketahui dari soal ini? Menurut anda, apakah soal ini memiliki penyelesaian? Pertanyaan tentang pertanyaan Bagaimana dengan pertanyaan dalam soal? Apakah pertanyaan itu ada hubungannya dengan data yang ada? Apakah pertanyaannya kurang jelas? Menurut anda pertanyaannya seharusnya bagaimana? Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa metode Socrates dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. 4. SIMPULAN Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, metode Socrates dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa khususnya dalam pembelajaran mateamtika. Hal tersebut terlihat dari jenis-jenis pertanyaan Socrates yakni klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, serta pertanyaan tentang pertanyaan yang mampu memunculkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis. Dalam mengajukan pertanyaan Socrates, guru harus peka mengamati kesulitan-kesulitan yang dialami siswa. 5. DAFTAR PUSTAKA Al Qhomairi, Arifan. (2014). Penerapan Merode Socrates pada Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual ditinjau dari Proses Belajardan Kemampuan Berpikir Kritis (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013).Skripsi. Bandarlampung: Universitas Lampung. Cintami. (2010). Penggunaan Metode Socrates dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan kemampuan Berpikir Kritis. Skripsi. Jakarta. Universitas Kristen Satya Wacana. Gunawan, Adi W. (2003). Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halpern, Diane F. (2003). Thought and knowledge : an introduction to critical thinking. Diakses dari www.assessment.aas.duke.edu. Husnidar, M. Ikhsan dan Syamsul Rizal. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa. Jurnal Didaktik Matematika Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 1(1), 72.
Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
97
PROSIDING
ISSN: 2502-6526
Johnson, D. W. dan Johnson, R. T. (2002). Meaningful assessment: A manageable and cooperative process. Boston, MA: Allyn & Bacon. Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning. Thausand Oaks, California: Corwin Press, Inc. A Sage Publication Company Khairuntika. (2015). Implementasi Model PBL dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Dalam Margisit, Sugiman, Ali Mahmudi, dkk (Eds.) Mengembangkan Kecakapan Abad 21 Melalui Penelitian matematika dan Pendidikan Matematika: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY 2015 (hal. 333) Maxwell, Max. (2014). Introduction to the Socratic Method and its Effect on Critical Thinking. Diakses dari www.socraticmethod.net Mullis I.V.S. (2012). TIMSS 2011 international result in mathematics. Chesnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center: Boston College. Nurwantoro, Irwan. (2015). Efektivitas pembelajaran Socrates ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa. Skripsi. Bandarlampung: Universitas Lampung. Paul dan Endler. (2014). Why Critical Thinking?. Diakses dari www.criticalthinking.org Pramasdyahsari AS dan Rasiman. (2014). Development of Mathematics Learning Media E-Comic Based on Flip Book Maker to Increase the Critical Thinking Skill and Character of Junior High School Students, International Journal of Education Research (2)11, 357. Diakses dari www.ijern.com Qosyim, Achmad. (2007). Studi Implikasi Socrates dalam Praktek Pendidikan. Surabaya: UNESA University Press. Ruland, Judith P. (2003). Critical Thinking Standards. University of Central Florida: Faculty Centre. Yuliyanti, (2010). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Peluang Berbasi Reciprocal Teaching Untuk Melatih Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI SMK Negeri 3 Lubuk Linggau”, Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya (4)1, 98. Diakses dari www.eprints.unsri.ac.id Yunarti, Tina. (2011). Pengaruh Metode Socrates terhadap Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA. Disertasi-UPI. Bandung: UPI. Zamroni & Mahfudz. (2009). Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembangkan Critical Thinking. Jakarta: Depdiknas.
Konferensi Nasional Penelitian Matematika dan Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
98