METODE PEMBIASAAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN: STUDI PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan dalam Ilmu Pendidikan Agama Islam
Oleh: HIDAYATIN KHOIRIYAH NIM : 113111112
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2016
i
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama NIM Jurusan Program Studi
: Hidayatin Khoiriyah : 113111112 : Pendidikan Agama Islam : Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: “METODE PEMBIASAAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN: STUDI PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT” Secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya.
Semarang, 3 Juni 2016 Pembuat Pernyataan,
Hidayatin Khoiriyah NIM: 113111112
ii
KEMENTERIAN AGAMA R.I. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang Telp. 024-7601295 Fax. 7615387 PENGESAHAN Naskah skripsi berikut ini: Judul : Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun: Studi Pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Penulis : Hidayatin Khoiriyah NIM : 113111112 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam siap diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam. Semarang, 13 Juni 2016 DEWAN PENGUJI Ketua/ Penguji I, Sekretaris/ Penguji II,
Drs. Karnadi, M. Pd NIP. 19680317 199403 1 003
Nur Asiyah, M. S. I NIP. 19710926 199803 2 002
Penguji III,
Penguji IV,
Drs. Mustopa, M. Ag NIP. 19660314 200501 1 002
Dr. Shodiq, M. Ag NIP. 19630106 199703 1 001
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Widodo Supriyono, M. A NIP. 19591025 198703 1 003
Drs. H. Ridwan, M. Ag NIP: 19630106 199703 1 001 iii
NOTA DINAS Semarang, 1 Juni 2016 Kepada Yth. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo di Semarang Assalamu’alaikum wr. wb. Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
: METODE PEMBIASAAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN: STUDI PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT Penulis : Hidayatin Khoiriyah NIM : 113111112 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasah. Wassalamu’alaikum wr.wb. Pembimbing I,
Dr. Widodo Supriyono, M. A NIP. 19591025 198703 1 003
iv
NOTA DINAS Semarang, 3 Juni 2016 Kepada Yth. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo di Semarang Assalamu’alaikum wr. wb. Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
: METODE PEMBIASAAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 612 TAHUN: STUDI PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT Penulis : Hidayatin Khoiriyah NIM : 113111112 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Program Studi : Pendidikan Agama Islam Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqasah. Wassalamu’alaikum wr.wb. Pembimbing II,
Drs. H. Ridwan, M. Ag NIP: 19630106 1997031001 v
ABSTRAK Judul
: METODE PEMBIASAAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN: STUDI PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT Penulis : Hidayatin Khoiriyah NIM : 113111112 Skripsi ini membahas tentang metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun. Kajiannya dilatarbelakangi oleh kenyataan yang hidup dalam masyarakat kaum terpelajar, didapatkan kesan bahwa agama tidak lagi menjadi pengatur, pengendali dan pengontrol sikap dan tindakan mereka dalam hidup. Kaum terpelajar yang muda-muda, yang keluar sebagai hasil didikan nasional, semakin jauh dari agama. Mereka merasa bangga mengatakan bahwa mereka kurang mengerti agama, apalagi dalam kalangan kaum terpelajar yang beragama Islam. Mereka menyangka bahwa agama menghalangi kemajuan, agama banyak pantang, banyak larangan dan sebagainya. Karena adanya realita demikian, maka pendidikan agama memang harus ditanamkan sejak pada masa anak, dalam hal ini khususnya anak usia 6-12 tahun dengan metode pembiasaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun dan kemungkinan penerapan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat. Dalam penelitian ini penulis memaparkan 2 permasalahan antara lain : 1). Bagaimanakah pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat. 2) Bagaimanakah metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat. 3) Bagaimanakah kemungkinan penerapan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun. Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan (library research). Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Adapun sumber data diperoleh dari karya-karya ilmiah Zakiah Daradjat dan sumber lain yang relevan. Teknik analisis data yang dipergunakan adalah analisis isi dan deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan agama pada anak usia 6-12 baik menurut pakar dan menurut Prof. Zakiah
vi
Daradjat tidak hanya meliputi ibadah saja namun juga meliputi keseluruhan pendidikan agama yaitu pendidikan keimanan, ibadah dan akhlaq yang diperoleh tidak hanya dari orang tua, tetapi juga dari pendidik di tingkat Sekolah Dasar karena pada usia ini anak sudah saatnya masuk sekolah. Sedangkan penerapan pembiasaan pendidikan agama dapat diterapkan di lingkungan Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, rumah, dan juga di pesantren bagi anak yang tinggal di pesantren. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan khazanah ilmu pengetahuan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang.
vii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang [al-] disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya: Huruf Hijaiyah ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض
Huruf Latin A B T ṡ J ḥ Kh D Ż R Z S Sy ṣ ḍ
Bacaan Maad : ā = a panjang Ī = I panjang ū = u panjang
Huruf Hijaiyah ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
Huruf Latin ṭ ẓ ʻ G F Q K L M N W H ʼ Y
Bacaan Diftong: ْاَو = au َ ْاي = ai
viii
KATA PENGANTAR ِنِال َّر ِح ْي ِم ِِ ِٰس ِِمِللاِِِال َّر ْحم ْ ِب Assalamu‟alaikum wr. wb. Segala puji bagi Allah SWT Tuhan seluruh alam yang telah memberikan rah}mat, taufiq, hidayah, dan kenikmatan kepada penulis berupa kenikmatan jasmani maupun rohani, sehingga penulis dapat menyusun skripsi dengan judul “Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun: Studi Pemikiran Prof. Dr. Zakiah Daradjat” dengan baik. S}alawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, karena berkat perjuangan beliau yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang terang benderang ini yaitu zaman Islamiyah. Dengan berbekal keikhlasan dan niat yang tulus serta dengan tanggung jawab, Allah SWT telah merid}ai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Keberhasilan ini tentu saja tidak dapat terwujud tanpa bimbingan, dukungan dan bantuan berbagai pihak, oleh karena dengan rasa hormat yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M. Ag., selaku Rektor UIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Dr. H. Raharjo M. Ed., St., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Walisongo Semarang. 3. Bapak Drs. Mustopa, M. Ag., Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
ix
4. Bapak Dr. Widodo Supriyono, M.A., selaku Pembimbing I dan Bapak Drs. H. Ridwan, M. Ag., selaku Pembimbing II, yang telah berkenan meluangkan waktunya, tenaga dan pikirannya untuk membimbing, mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai. 5. Bapak dosen dan Ibu dosen PAI maupun bapak dosen Ibu dosen yang lain, serta staf pengajar di UIN Walisongo Semarang yang membekali berbagai pengetahuan kepada penulis. 6. Ayahanda S. Nur Kholid, Ibunda Noor Subawiyah, kedua kakak tercinta Nora Silvia Rini dan Latif Himawan dan seluruh keluarga terkasih, yang telah memberikan kasih sayang, do‟a, nasihat, motivasi dan mengorbankan segalanya demi kesuksesan penulis. 7. Umi Aufa Abdullah Umar, yang selalu membimbing penulis ke jalan yang benar menuju rahmat Allah dan memberikan pencerahan dari masalah-masalah yang dialami penulis. 8. Segenap sahabat-sahabat penulis, seluruh teman-teman PAI C „2011 yang telah menemani penulis selama penulis belajar di UIN Walisongo Semarang. 9. Sahabat-sahabat santriwati PPTQ yang selalu memberikan semangat tanpa henti kepada penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................
ii
PENGESAHAN .........................................................................
iii
NOTA PEMBIMBING .............................................................
iv
ABSTRAK .................................................................................
vi
TRANSLITERASI ....................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...............................................................
ix
DAFTAR ISI..............................................................................
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................
1
B. Rumusan Masalah ...............................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................
7
D. Kajian Pustaka ...................................................
8
E. Metode Penelitian ..............................................
13
F. Sistematika Pembahasan ....................................
18
PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 612 TAHUN DENGAN METODE PEMBIASAAN A. Pendidikan Agama ..............................................
20
1. Pengertian Pendidikan Agama ......................
20
2. Pendidikan Agama Aspek Ibadah dan Akhlaq ..........................................................
24
a. Pendidikan Agama Aspek Ibadah ..........
24
xi
b. Pendidikan Agama Aspek Akhlaq .........
26
B. Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun ...............................
29
1. Pengertian Metode Pembiasaan ....................
29
2. Karakteristik Anak Usia 6-12 tahun..............
36
3. Metode
Pembiasaan
dalam
Pendidikan
Agama Asek Ibadah...................................... 4. Metode
Pembiasaan
dalam
Pendidikan
Agama Aspek Akhlaq ...................................
BAB III
39
42
PEMIKIRAN ZAKIAH DARADJAT TENTANG METODE
PEMBIASAAN
DALAM
PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 612 TAHUN A. Biografi Zakiah Daradjat.....................................
44
B. Karya-karya Zakiah Daradjat ..............................
48
C. Pemikiran Zakiah Daradjat tentang Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun ........................................
52
1. Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun............................................................
52
2. Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun ..................................
xii
54
a. Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun Aspek Ibadah.....................................................
54
b. Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun Aspek Akhlaq ....................................................
BAB IV
57
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ZAKIAH DARADJAT
TENTANG
PEMBIASAAN
DALAM
METODE PENDIDIKAN
AGAMA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN A. Analisis tentang Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun menurut Zakiah Daradjat .........
60
B. Analisis tentang Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun menurut Zakiah Daradjat .....................................
66
1. Pembiasaan Pendidikan Ibadah pada Anak Usia 6-12 Tahun ...........................................
70
2. Pembiasaan Pendidikan Akhlaq pada Anak Usia 6-12 Tahun ........................................... C. Analisis
tentang
Kemungkinan
72
Penerapan
Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun ................................
xiii
73
1. Kemungkinan
Penerapan
Pembiasaan
Pendidikan Ibadah pada anak Usia 6-12 Tahun............................................................ 2. Kemungkinan
Penerapan
73
Pembiasaan
Pendidikan Akhlaq pada anak Usia 6-12 Tahun............................................................ BAB V
78
PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................
83
B. Saran-saran .........................................................
85
C. Penutup ...............................................................
86
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia mempunyai potensi mental yang membuka peluang
baginya
untuk
mengembangkan
dan
sekaligus
meningkatkan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Potensi tersebut seluruhnya dinilai sebagai pengarahan penciptanya, supaya mampu menjalani perannya sebagai hamba Allah, dari kehidupan yang dituntun oleh agama yang benar. Kalau potensi tidak dikembangkan, niscaya ia kurang bermakna dalam kehidupannya. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan perkembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan.1 Pendidikan sangat penting bagi perkembangan psikologi dan tingkah laku anak. Orang tua yang tidak memberikan pendidikan yang benar kepada anaknya, dan tidak mendidiknya dengan sopan santun serta akhlaq yang mulia, tidak akan memetik hasil, kecuali seorang anak yang berperilaku berani dan bermusuhan dengan orang tuanya. Ketika seorang anak masuk sekolah dasar dalam jiwanya telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuanya maupun dari guru di sekolah. Andaikata didikan agama yang diterima dari orang tuanya di 1 Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 109.
1
rumah sejalan dan serasi dengan apa yang diterimanya dari guru di taman kanak-kanak, maka ia masuk sekolah dasar telah membawa dasar agama yang bulat (serasi), akan tetapi jika berlainan maka yang dibawanya adalah keragu-raguan, ia belum dapat mengetahui mana yang benar, apakah agama orang tuanya atau agama gurunya, yang ia rasakan adalah perbedaan, kedua-duanya masuk dalam pribadinya. Demikian pula sikap orang tua yang acuh tak acuh atau negatif terhadap agama, akan mempunyai akibat yang seperti itu pula dalam pribadi anak. 2 Pada usia 6-12 tahun (usia sekolah dasar) ini, daya pikir anak berkembang ke arah berpikir konkrit, rasional dan objektif. Pada masa ini juga, anak berada dalam tingkat berfikir konkrit. Artinya pikirannya masih erat hubungannya dengan benda atau keadaan-keadaan nyata. Ia akan mengatakan : “Hari akan hujan bila melihat di langit ada mendung. Ia akan menolak memakan sesuatu bila ia pernah mengalami sakit perut sesudah memakan makanan sejenis itu”. 3 Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar dalam stadium belajarnya. 4 Mereka tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannya, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Baru pada umur 12 tahun (kelas 6 SD), anak mampu memahami hal yang abstrak. Dengan
2
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm.
3
Agoes Soejanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),
4
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
111-112. hlm. 72. hlm. 156.
2
demikian, penjelasan keimanan secara sederhana sudah dapat diberikan, sesuai dengan perkembangan kecerdasannya itu. 5 Pengalaman pertama yang sangat berat bagi seorang anak umur 6-12 ialah ketika dia mulai belajar hidup disiplin di sekolah dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Apabila seorang anak itu merasa nyaman dan dapat menyesuaikan, maka akan muncul nilainilai positif pada tingkah laku anak. Begitu pula sebaliknya, akan muncul nilai-nilai negatif jika anak merasa tidak nyaman dengan lingkungan barunya. Namun pada masa ini, juga sering terjadi kenakalan pada diri anak. Jika kenakalan itu kita tinjau dari segi agama, sudah jelas apa yang disuruh dan apa yang dilarang. Maka segala kelakuan dan tindakan yang terlarang dalam agama. 6 Banyaknya kenakalan yang terjadi pada anak remaja itu tidak hanya terjadi pada faktor lingkungan ataupun cara mendidiknya pada masa ini. Tapi faktor lain yang mendukung dan perlu diperhatikan juga adalah faktor sebelum remaja yaitu pada usia 6-12 tahun. Sesungguhnya banyak sekali faktor-faktor yang mendorong anakanak sampai kepada kenakalan. Diantara faktor-faktor yang menonjol yaitu kurangnya didikan agama bagi anak. 7 Pendidikan agama
sangat
dibutuhkan
untuk
membentuk
kebiasaan
keagamaannya, baik keimanan, ibadah dan perilakunya. 5 Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 105. 6 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 118 7 Zakiah Daradjat, Kesehatan..., hlm. 113.
3
Pendidikan agama yang didapatkan oleh anak usia 6-12 tahun tidak hanya pendidikan dari sekolah, namun pendidikan agama juga harus diterapkan oleh orang tua di rumah sejak dini, karena pendidikan agama bukanlah pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja. Akan tetapi yang terpenting adalah penanaman jiwa agama sejak kecil dengan jalan membiasakan seorang anak dengan pendidikan agama. Menurut pendapat Al-Ghazali, seperti dikutip M. Arifin, melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari segala ukiran serta gambaran, ia dapat mampu menerima segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada segala yang dicondongkan kepadanya. Maka bila ia dibiasakan ke arah kebaikan dan diajar kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia akhirat, sedang ayah serta pendidikpendidiknya turut mendapat bagian pahalanya. Tetapi bila dibiasakan jelek atau dibiarkan dalam kejelekan, maka celaka dan rusaklah ia, sedang wali serta pemeliharanya mendapat beban dosanya. Untuk itu wajiblah wali menjaga anak dari perbuatan dosa
dengan
mendidik
dan
mengajar
berakhlaq
bagus,
menjaganya dari teman-temannya yang jahat-jahat dan tak boleh
4
membiasakan anak dengan bernikmat-nikmat.8 Oleh sebab itu, maka dibutuhkan pembiasaan yang baik pada
diri anak yang
berlandaskan agama. Begitu pula bagi seorang pendidik, menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Jiwa Agama, hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa dalam pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya. 9 Pembiasaan dalam pendidikan agama hendaknya dimulai sedini mungkin. Sebagaimana perintah Rasulullah Muhammad SAW kepada orang tua, dalam hal ini para pendidik atau orang tua agar mereka menyuruh anak-anak mengerjakan ṣalat, tatkala mereka berumur tujuh tahun. Hal tersebut berdasarkan al-Ḥādi>ṡ berikut ini:
8
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 75. 9 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 61-62.
5
قال رسول اهلل صلى اهلل: عن جده قال، عن أبيو،عن عمرو بن شعيب ِ َّ ِ مروا أَوََل َد ُكم ب: عليو وسلم ِِ وى ْم ْ َو،ني ُ ُاض ِرب َ الص ََلة َو ُى ْم أَبْنَاءُ َسْب ِع سن ْ ْ ُُ ِ ِِ ضاجع ( رواه ابو َ ني َوفَ ِّرقُوا بَْي نَ ُه ْم ِِف الْ َم َ َو ُى ْم أَبْنَاءُ َع ْش ِر سن،َعلَْي َها 10
)داوود
Dari „Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya, dari datuknya, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anak kalian untuk melaksanakan s}alat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka”. ( HR. Abū Dāwūd ).11 Melihat kenyataan yang hidup dalam masyarakat kaum terpelajar, didapatkan kesan bahwa agama tidak lagi menjadi pengatur, pengendali dan pengontrol sikap dan tindakan mereka dalam hidup. Kaum terpelajar yang muda-muda, yang keluar sebagai hasil didikan nasional, semakin jauh dari agama. Mereka merasa bangga mengatakan bahwa mereka kurang mengerti agama, apalagi dalam kalangan kaum terpelajar yang beragama Islam. Mereka menyangka bahwa agama menghalangi kemajuan, agama banyak pantang, banyak larangan dan sebagainya. 12 Karena adanya realita demikian, maka pendidikan agama memang harus ditanamkan sejak pada masa anak, dalam hal ini khususnya anak usia 6-12 tahun. 10
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Darul Fikr, tth),
hlm.119. 11
Ustadz Bey Arifin, dkk, Tarjamah Sunan Abu Dawud, (Semarang: AsySyifa‟, 1992), hlm. 325. 12 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 36
6
Dengan adanya uraian permasalahan tersebut, maka penelitian ini menjadi penting bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana cara melaksanakan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun sesuai dengan kajian teori Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Diharapkan penelitian ini bisa menjadi wawasan luas bagi orang tua dan pendidik agar mengetahui bagaimana peran mereka dalam mendidik pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat? 2. Bagaimanakah metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat? 3. Bagaimanakah kemungkinan penerapan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat. b. Untuk mengetahui metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat.
7
c. Untuk mengetahui kemungkinan penerapan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun. 2. Manfaat Penelitian a. Bagi peneliti dengan meneliti dan mengkaji bagaimana mengajarkan pendidikan agama pada anak dengan metode pembiasaan dapat memberikan wawasan baru bagaimana cara mendidik anak dengan metode pembiasaan, terutama pendidikan agama yang nantinya akan menjadi bekal si anak ketika dewasa kelak. b. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang
metode
pembiasaan
untuk
anak
dalam
mengajarkan pendidikan agama dalam keseharian, serta untuk mengetahui bagaimana cara yang tepat untuk menangani anak dalam mengajarkan pendidikan agama. c. Bagi
instansi
UIN
Walisongo
Semarang,
sebagai
sumbangan akademik berkenaan dengan pendidikan pada anak dan juga penelitian ini sebagai kajian awal untuk peneliti selanjutnya. D. Kajian Pustaka Dalam penelitian skripsi ini peneliti menggali informasi dari berbagai sumber penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini. Kajian pustaka tersebut adalah sebagai berikut.
8
Skripsi yang ditulis oleh Zaenal Muttaqin, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang tahun 2014, yang berjudul “Urgensi Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun dalam Pembentukan Akhlaq menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat”. Hasil penelitian bahwa pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun adalah pendidikan yang diajarkan dan disesuaikan dengan keadaan psikologis anak dan juga kecerdasan anak. Pendidikan agama merupakan sebuah usaha untuk memberikan pengetahuan tentang agama. Dalam rangka memberikan pengetahuan tentang agama ada beberapa komponen yang penting agar pendidikan agama dapat tersampaikan yaitu materi dan metode penyampaian. Materi pendidikan tersebut meliputi: pendidikan aqidah pada anak seperti mendiktekan kalimat tauhid, menanamkan kecintaan anak kepada Allah SWT, menanamkan kecintaan anak pada Nabi Muhammad SAW. Pendidikan ibadah pada anak seperti pembinaan ṣalat, pembinaan ibadah puasa, pembinaan zakat, pembinaan mengenai ibadah haji. Pendidikan akhlaq pada anak seperti pembinaan budi pekerti, pembinaan bersikap jujur, pembinaan menjaga rahasia. Sedangkan metode yang disampaikan dalam mendidik agama pada anak adalah dengan metode keteladanan dan pembiasaan. Artinya dengan pendidikan agama yang mencakup pendidikan keluarga dan sekolah tentunya juga membutuhkan metode keteladanan dan pembiasaan agar secara tujuan pendidikan anak usia 6-12 tahun tersampaikan. Pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menjadi sesuatu hal yang sangat penting untuk
9
dilakukan dikarenakan pendidikan anak usia 6-12 tahun adalah sebuah langkah awal untuk menuju pendidikan agama secara utuh yakni pada pembentukan akhlaq. Pembentukan akhlaq merupakan sebuah tujuan akhir dalam pendidikan agama. Akhlaq menjadi hal yang paling penting dalam agama karena dengan akhlaq manusia akan menjadi lebih sempurna. Pada anak usia 6-12 tahun akhlaq anak sebagai batu pijakan untuk melangkah ke tingkat remaja. Ketika pada usia tersebut anak telah terdidik untuk melakukan akhlaq yang baik, maka pada usia remaja anak tersebut sulit untuk meninggalkan hal-hal yang baik dan sulit bagi dia untuk melakukan
kejahatan.
Metode
yang
digunakan
dalam
pembentukan akhlaq pada anak usia 6-12 tahun adalah dengan metode teladan dan pembiasaan. Sehingga dari metode tersebut akan berpengaruh pada segi sosial, religi dan juga seni budaya. 13 Skripsi dengan
judul
“Metode Pembiasaan dalam
Pendidikan Akhlaq pada Anak (Telaah Psikologi Perkembangan)” yang ditulis oleh Mustaqim mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo tahun 2005. Hasil penelitian bahwa penggunaan metode pembiasaan dalam pendidikan anak adalah dengan menanamkan nilai moral dan akhlaq oleh orang tua kepada anak dengan berbagai latihan-latihan dan pembiasaan yang bersifat kontinyu dan dimulai sejak anak baru dilahirkan. Karena
13
Zaenal Muttaqin, “Urgensi Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun dalam Pembentukan Akhlaq menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat”, Skripsi (Semarang: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo, 2014), hlm. 8889.
10
penanaman dan penerapan metode pembiasaan pendidikan akhlaq perlu penerapan merupakan dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan anak untuk menghadapi berbagai persoalan baik agama maupun hidup bermasyarakat. Konsep Pembiasaan dalam pendidikan akhlaq adalah dengan menerapkan pendidikan akhlaq yang sudah terbiasakan oleh anak menjadi suatu perbuatan yang sudah terbiasa, sehingga kebiasaan tersebut menjadi mapan serta relatif otomatis melalui pengulangan yang terus menerus. Proses penanaman pendidikan akhlaq dengan menggunakan pendekatan metode pembiasaan dapat dilakukan dengan melihat dan menyesuaikan tingkat perkembangan maupun periodisasi anak. Dan pembiasaan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlaq dapat dimulai sejak anak baru dilahirkan yang biasa disebut periode bayi (usia 0-2 tahun), periode kanak-kanak (usia 3-5 tahun), periode anak (6-12 tahun). Sebagai salah satu contohnya dalam menanamkan dan membiasakan bayi baru dilahirkan adalah dengan menanamkan nilai-nilai ke-Tuhanan kepada anak dengan disunahkan agar bayi diaz\ankan dan diiqamahkan, setelah itu dicukur rambutnya kemudian diberi nama. Setelah anak dilahirkan maka anak tersebut tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis, pembiasaan selanjutnya adalah penanaman nilai pendidikan akhlaq secara praktis yang berhubungan langsung antara interaksi anak dan masyarakat. Serangkaian peristiwa tersebut menandakan bahwa nilai-nilai
pendidikan
terutama
pendidikan
akhlaq
dapat
11
dilaksanakan
dengan
melihat
tingkat
pertumbuhan
dan
perkembangan anak. 14 Skripsi dengan judul “Menumbuhkan Minat Anak terhadap Pendidikan Agama Islam: Studi Pemikiran Zakiah Daradjat” yang ditulis oleh Junaidah, mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Tahun 2006. Hasil penelitian bahwa
pemikiran
Zakiah
tentang
pendidikan,
khususnya
pendidikan agama Islam bagi anak menjadi bagian terpenting sebagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini karena, anak merupakan anugerah dan amanah dari Allah kepada manusia yang menjadi orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua, sekolah dan masyarakat bertanggung jawab terhadap pendidikan agama Islam bagi anak. Berkaitan dengan hal ini, Zakiah berpendapat bahwa keluarga (orang tua) sangat penting perannya dalam menumbuhkan minat anak terhadap pendidikan agama Islam. Karena dengan menumbuhkan minat anak terhadap pendidikan agama Islam melalui bimbingan keagamaan, maka akan berpengaruh terhadap hidupnya setelah dewasa. Setelah dewasa, anak akan memiliki pengalaman keagamaan yang telah terbina sejak kecil, sehingga ketika hidup dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, maka anak tidak berpengaruh terhadap efek negatif yang ada di lingkungannya, misalnya pencurian, penyalahgunaan obat terlarang dan lain sebagainya. 14
Mustaqim, “Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Akhlaq pada Anak (Telaah Psikologi Perkembangan)”, Skripsi (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005), hlm. 90-91.
12
Zakiah Daradjat berpendapat bahwa dalam
upaya untuk
menumbuhkan minat anak terhadap pendidikan agama Islam, materinya lebih diutamakan pada aspek ibadah dan akhlaq. Aspek ibadah ini sebagai upaya untuk memperkuat jati diri anak agar mampu memahami ajaran Islam, khususnya berkaitan dengan aspek ibadah s}alat. Materi pendidikan ibadah s}alat tidak dapat dipahami oleh anak, kecuali melalui latihan dan pembiasaan yang dilakukan oleh orang tua. Karena itu, orang tua harus memberikan perhatian kepada anak dalam pelaksanaan ibadahnya. Melalui metode pembiasaan ini, diharapkan anak dapat terbiasa dalam menjalankan s}alat. Sedangkan aspek akhlaq adalah sebagai upaya untuk memperkuat pribadi anak dengan akhlaq-akhlaq yang baik.15 Karya-karya tersebut terdapat perbedaan dengan karya penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun baik dalam aspek ibadah maupun akhlak dilaksanakan dengan metode pembiasaan menurut pemikiran Zakiah Daradjat, sehingga perlu untuk diteliti. E. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
jenis
penelitian
kepustakaan dan deskriptif analisis. Analisis ini akan
15
Junaidah, “Menumbuhkan Minat Anak terhadap Pendidikan Agama Islam: Studi Pemikiran Zakiah Daradjat”, Skripsi (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 71
13
digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang sudah ada.16 Yaitu menguraikan dan menjelaskan pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan agama Islam pada anak usia 612 tahun melalui metode pembiasaan dengan menggunakan studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan psikologis. Dengan maksud untuk memaparkan kondisi psikologis pada masa anak usia 612 tahun. 2. Sumber Data a. Data Primer, yaitu karya-karya ilmiah Zakiah Daradjat, di antaranya: Ilmu Jiwa Agama; Ilmu Pendidikan Islam; Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental; Kesehatan Mental; Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia; Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. b. Data Sekunder, yaitu kepustakaan lain yang relevan dengan skripsi ini. 3. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini difokuskan pada: a. Pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat Fokus penelitian ini adalah tentang pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah 16 Abdurrahman Mas‟ud, Dikotomi Ilmu Agama dan Non Agama, (Semarang: IAIN Walisongo, 1999), hlm.19
14
Daradjat, khususnya yang menyangkut aspek ibadah dan akhlaq. b. Metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun Fokus Penelitian ini adalah penelitian tokoh, yang memfokuskan kajiannya pada pemikiran Zakiah Daradjat tentang metode pembiasan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun, khususnya yang menyangkut aspek ibadah dan akhlaq. c. Kemungkinan penerapan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun Fokus penelitian ini adalah tentang kemungkinan penerapan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun, khususnya di lingkungan Sekolah
Dasar,
Madrasah
Ibtidaiyah,
rumah
dan
Pesantren. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi atau studi dokumenter yang menurut Suharsimi Arikunto yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. 17 Yang dimaksud dokumentasi dalam tulisan ini yaitu sejumlah teks tertulis yang terdiri dari hasil pengumpulan kepustakaan. 17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 206.
15
5. Teknik Analisis Data Untuk mengaji, menelaah dan menganalisis data-data tersebut maka peneliti menggunakan analisis data sebagai berikut: a. Content Analisis (Analisis Isi) Content analisis adalah suatu analisis data secara sistematis dan objektif tentang isi dari sebuah pesan suatu komunikasi.18 Content analisis berangkat dari anggapan dasar dari ilmu-ilmu sosial bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi adalah dasar dari studi ilmu-ilmu sosial.
Syarat
content
analisis
yaitu
pendekatan sistematik dan generalisasi.
obyektivitas, 19
Langkah-
langkahnya adalah menganalisis isi dari sumber-sumber data untuk mengetahui pesan gagasan dan pemikiran Zakiah Daradjat tentang metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun sehingga diketahui secara jelas arah pemikiran beliau. b. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis untuk membuat pencandraan secara
sistematis,
faktual
dan akurat
mengenai fakta-fakta.20 Dalam hal ini, digunakan untuk memaparkan pemikiran Zakiah Daradjat tentang metode 18 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996), hlm. 49. 19 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian...,hlm. 68. 20 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 18.
16
pembiasaan dalam pendidikan agama Islam pada anak usia 6-12 tahun. Adapun langkah yang ditempuh adalah menganalisis sistematis,
dan
menyajikan
sehingga
mudah
fakta-fakta
untuk
dipahami
secara dan
disimpulkan. Adapun analisis deskriptif ini bertujuan untuk memberikan
deskripsi
mengenai
subjek
penelitian
berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. 21 Dalam pelaksanaannya akan berlangsung sebagai berikut: setiap informasi yang diperoleh akan dianalisis masalah demi masalah dan kemudian dibandingkan dengan masalah lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memaparkan pemikiran Zakiah Daradjat tentang metode pembiasaan dalam pendidikan agama Islam pada anak usia 6-12 tahun melalui buku-buku karya beliau maupun buku-buku lain yang relefan. Mekanisme tersebut akan dijalankan secara terus menerus dari informasi yang satu ke informasi yang lain sampai mendapatkan hasil yang diharapkan. Hasil tersebut kemudian akan dianalisis lebih lanjut sebagai hasil akhir dari penelitian ini.
21
Saefuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1998),
hlm. 126
17
F. Sistematika Pembahasan Sistematika penulisan dan alur pemikiran skripsi ini maka penulis paparkan sistematika skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: bagian muka, bagian isi, dan bagian akhir, yang selanjutnya dirinci sebagai berikut: 1. Bagian Muka Bagian muka skripsi terdiri dari: halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi dan daftar lampiran. 2. Bagian Isi Bagian skripsi ini terdiri dari lima bab dengan perincian sebagai berikut: a. Bab I: Pendahuluan Bab ini memuat: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian. b. Bab II: Pendidikan agama bagi anak usia 6-12 tahun dengan metode pembiasaan Bab ini memuat: Pendidikan agama yang terdiri dari: pengertian pendidikan agama. Perkembangan psikologi anak usia 6-12 tahun. Metode pembiasaan yang terdiri dari: pengertian metode pembiasaan dan penerapan metode pembiasaan.
18
c. Bab III: Pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan agama dan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun Bab ini memuat: biografi Zakiah Daradjat, karya-karya Zakiah Daradjat, pemikiran Zakiah Daradjat tentang pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun dan metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun. d. Bab IV: Analisis terhadap pemikiran Zakiah Daradjat tentang metode pembiasaan dalam pendidikan agama bagi anak usia 6-12 tahun Bab ini memuat: analisis terhadap pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat, analisis terhadap metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun menurut Zakiah Daradjat dan analisis
terhadap
kemungkinan
penerapan
metode
pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia 6-12 tahun. e. Bab V: Penutup Bab ini memuat: kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.
19
BAB II PENDIDIKAN AGAMA BAGI ANAK USIA 6-12 TAHUN DENGAN METODE PEMBIASAAN
A. Pendidikan Agama 1. Pengertian Pendidikan Agama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan
mendidik.1 Sedangkan
agama
adalah
ajaran,
sistem
yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. 2 Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, pendidikan merupakan upaya yang dilakukan dengan sadar untuk mendatangkan perubahan sikap dan perilaku seseorang melalui pengajaran dan latihan. 3 Agama adalah aturan atau
1 Tim Penyusun Kamus Pusat dan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pusaka, 2005), hlm. 263. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat dan Bahasa, Kamus Besar..., hlm. 12. 3 Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ensiklopedi Nasional Indonesia, ( Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm. 365.
20
tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. 4 Pendidikan agama biasanya dilakukan oleh orangorang secara khusus yang dipersiapkan untuk itu. Setiap agama mempunyai semacam kelompok yang khusus bertugas mengajarkan pengetahuan agama bagi orang yang berminat. 5 Musto}fa
Al-G|ulayani
memberikan
pengertian
pendidikan, yaitu :
ُُالرتبيةُ ُهي ُغُُرسُ ُاألخالقُ ُالفاضلةُ يف ن فوسُ ُالناشئني ُوسقيُها ُمباء ُُ ُ ُثَ ُتكون،ّت ُتُصُبُحُ ُمُلُكُةُ ُمُنُ ُملكُاتُ ُالن فس َُ ُ ُح،ُالُُرشُادُ ُوالنُصُيُحُة 6
.ُالوطُن ُ ُُبُالعُمُلُُلُنُفُع َُ ُُوالُيُُُوح،َثرات هاُالفضيلة
“Pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia ke dalam jiwa anak dengan petunjuk dan nasehat sehingga akhlak yang mulia itu benar-benar melekat ke dalam jiwa (menjadi watak) kemudian membuahkan keutamaan, kebajikan dan cinta beramal untuk kepentingan tanah air”.
Sedangkan dalam bahasa Inggris kata pendidikan berasal dari kata “education” yang berarti development in knowledge, skill, ability, or character by teaching, training, study,
or
experience.7
Artinya
adalah
perkembangan
4
Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ensiklopedi Nasional...,
5
Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ensiklopedi Nasional...,
hlm. 156. hlm. 158. 6
Syeikh Must}afa Al-G|ulayani, „Idhat al-Nasyi‟in, (Surabaya: Mahkota, 1949), hlm. 189. 7 E.L. Thorndike, Advanced Junior Dictionary, (New York: Doubleday dan Comp, 1965), hlm. 257.
21
pengetahuan, ketrampilan, kepandaian atau watak dengan melalui pengajaran, latihan, belajar atau pengalaman. F.J. Mc Donald mengatakan: Education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being.8 Maksudnya, pendidikan dalam pengertian yang digunakan ini adalah suatu proses atau aktivitas yang diarahkan untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam perilaku manusia. Khursid
Ahmad
juga
memberikan
pengertian
pendidikan yaitu : “Education is mental, physical and moral training its objective is to produce highly cultured men and women fit to discharge duties as good human beings and as worth citizens of a state”. 9 Maksudnya adalah pendidikan adalah suatu latihan mental, fisik dan moral, dan tujuannya ialah untuk menghasilkan manusia laki-laki dan perempuan yang berbudaya tinggi, cakap melaksanakan tugas-tugasnya sebagai manusia yang baik dan sebagai warga negara yang patut dihormati. Dalam Encyclopedia Education, pendidikan agama diartikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan orang beragama. Dengan demikian perlu
8
F.J. Mc Donald, Educational Psychology, (USA: Wadsworth Publishing, 1959), hlm. 4. 9 Khursid Ahmad, Principle of Islamic Education, (Lahore: Islamic Publication Limited, 1974), hlm. 2.
22
diarahkan Pendidikan
kepada agama
pertumbuhan tidak
cukup
moral
dan
hanya
karakter.
memberikan
pengetahuan tentang agama saja, akan tetapi di samping pengetahuan agama,
mestilah ditekankan pada feeling
attitude, personal ideal, aktivitas, kepercayaan.10 Menurut Abd. Rahman Saleh, Pendidikan Agama adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life (jalan kehidupan). 11 Pendidikan
agama
dalam
penelitian
ini
yang
dimaksudkan adalah khusus Pendidikan Agama Islam, sehingga ketika selanjutnya disebutkan pendidikan agama yang dimaksud adalah Pendidikan Agama Islam. Berkaitan dengan hal ini, Bakir Yusuf Barmawi berpendapat, bahwa Pendidikan Agama Islam bukanlah semata-mata pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja. Akan tetapi yang terpenting adalah penanganan jiwa agama yang dimulai dari rumah tangga, sejak anak masih kecil dengan jalan membiasakan anak pada kebiasaan yang baik. 12 Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu subjek pelajaran yang 10
Zuhairini, Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm.
9. 11
Zuhairini, Metodologi Pendidikan..., hlm. 10. Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak, (Semarang: Dimas, 1993), hlm. 38. 12
23
diberikan kepada anak yang beragama Islam dalam rangka untuk mengembangkan keberagaman Islam bagi anak. Menurut Ahmadi, bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan subjek peserta didik agar lebih mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam.13 Dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan agama adalah usaha untuk membimbing ke arah pertumbuhan kepribadian peserta didik secara sistematis dan pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam, sehingga terjalin kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 2. Pendidikan Agama Aspek Ibadah dan Akhlaq a. Pendidikan Agama Aspek Ibadah Secara bahasa, ibadah berarti: taat, tunduk, turut, mengikut, dan do’a.14 Ibadah yang dibahas di sini adalah pola dan tata cara hubungan manusia dengan Allah semata, yang dalam bahasa agama dikenal dengan sebutan ibadah mahz}ah (ibadah murni). Ibadah bentuk ini mengambil bentuk vertikal (tegak lurus dari bawah ke atas).15
13
Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 20. 14 Tim Penyusun Kamus Pusat dan Bahasa, Kamus Besar..., hlm. 189. 15 Chabib Thoha, Metodologi Pengajaran..., hlm. 170.
24
Ibadah baik dalam arti luas ataupun sempit, merupakan manifestasi murni dari aqidah, yaitu suatu sistem praktis untuk menguatkan hubungan manusia dengan
Tuhannya,
hubungan
antar
individu
atau
hubungan pribadi dengan masyarakat dari seorang insan yang berdaya dan berhasil guna. Karena itu ibadah mempunyai peranan besar dalam membina peradaban manusia.16 Fungsi diciptakannya manusia di dunia ini, selain sebagai khalifah Allah di bumi, adalah agar manusia beribadah kepada Allah. Hal ini jelas ditegaskan Allah dalam al-Qur’ān surat ke-51 az\-Z||āriyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku”.17 (Al-Qur’ān Surat aẓ-Z|āriyat: 56) Karenanya, tidak ada alasan bagi manusia untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya. Dalam hal ini Allah berfirman dalam al-Qur’ān surat ke-2 alBaqarah: 21
16
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: tp., 1985), hlm. 132. 17 Depag RI, Al-Qur‟ān dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 1989), hlm. 996.
25
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa”. 18 (Al-Qur’ān Surat al-Baqarah: 21) Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berisi penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah. Apabila ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah. Ini berarti tidak akan terbuka peluang bagi penyimpanganpenyimpangan yang dapat merusak pengabdian kepada Allah. Penyimpangan pengabdian berarti akan merusak manusia itu sendiri, sama sekali tidak berakibat kepada Allah. Beribadah tidaknya manusia kepadaNya, tidaklah mengurangi keagungan dan kebesaran Allah sebagai Rabb (Pemelihara) alam semesta.19 b. Pendidikan Agama Aspek Akhlaq Kata “Akhlaq” ( ) أخالقberasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (ٌ) ُخلُق, yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.20
18
Depag RI, Al-Qur‟ān dan..., hlm. 7. Chabib Thoha, Metodologi..., hlm. 186-187. 20 Tim Penyusun Kamus Pusat dan Bahasa, Kamus Besar..., hlm. 56. 19
26
Sedangkan definisi akhlaq adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. 21 Imam Ghazali memberikan pengertian akhlaq sebagai berikut :
ُُالُلُقُ ُعُبُ ُارةُ ُعُنُ ُهيئةُ ُيف ُالنُفُسُ ُُراسُخُةُ ُعُنُهُا ُتُصُدُرُ ُاألف عال ُُ ُفإنُ ُكانتُ ُاهليئة.ُبُسُهُولُةُ ُ ُويُسُرُ ُمُنُ ُغُيُ ُحُاجُةُ ُاُلُ ُفُكُرُ ُُوُرُويُة ُُسميُت ُ ُِبيثُُتصدرُُعن هاُاألف عالُُاجلمي لةُُالُحُمُودُةُُعُقُالُُ ُوشُُرعُا ُصادُرُُعُنُهُاُاألُفُعُالُُالقُبُيُحُة َُ ُ ُوإُنُُكُانُُال،تُلُكُُاهلُيُئُةُُخُلُقُاُحُسُنُا 22.ُالّتُهُيُُالُصُادُرُُخُلُقُاُسيئا ُسميتُُاهليئةُ م
“Akhlaq adalah hasrat atau sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Maka jika hasrat itu melahirkan perbuatan-perbuatan yang dipuji menurut akal dan syara’, maka itu dinamakan akhlaq yang baik dan jika melahirkan akhlaq darinya perbuatan-perbuatan yang buruk, maka sifat yang keluar dinamakan akhlaq yang buruk”. Dalam Ensiklopedi Islam yang dimaksudkan akhlaq adalah suatu hal yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan sifat-sifat manusia dalam berinteraksi
21
Chabib Thoha, Metodologi..., hlm. 109-111. Imam Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, Juz III, (Indonesia: Maktabah Daaru Ihya’ al-Kutubi al-Arabiyati, t.th.), hlm. 52. 22
27
dengan dirinya dan sasarannya dan makhluk-makhluk lain dan dengan Tuhannya.23 Pendidikan akhlaq berkisar tentang persoalan kebaikan dan kesopanan, tingkah laku yang terpuji serta berbagai persoalan yang timbul dalam kehidupan seharihari dan bagaimana seharusnya seorang siswa bertingkah laku. Pendidikan akhlaq didasarkan pada ayat-ayat alQur’ān dan Ḥādiṣ Rasul serta memberi contoh-contoh yang baik yang harus diikuti. 24 Pentingnya pendidikan akhlaq tidak terbatas pada perseorangan saja, tetapi penting untuk masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Atau dengan kata lain akhlaq itu penting bagi perseorangan dan masyarakat sekaligus. Sebagaimana perseorangan tidak sempurna kemanusiaannya tanpa akhlaq, begitu juga masyarakat dalam segala tahapnya tidak baik keadaannya, tidak lurus keadaannya tanpa akhlaq, dan hidup tidak akan bermakna tanpa akhlaq yang mulia. Jadi bisa dikatakan bahwa akhlaq mulia adalah dasar pokok untuk menjaga bangsabangsa,
negara-negara,
rakyat,
dan
masyarakat-
masyarakat. Oleh karena akhlaq itulah, timbulnya amal ṣoleh yang berguna untuk kebaikan umat dan masyarakat. Tidak 23 24
Depag RI, Ensiklopedi Islam I, (Jakarta: 1993), hlm. 132. Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran..., hlm. 195.
28
akan ada suatu umat, negara, ataupun rakyat yang menyeleweng dari prinsip-prinsip akhlaq yang mulia atau mengarah ke sifat foya-foya, kemubaziran, kerusakan dan keẓaliman, kecuali ia bakal dihancurkan oleh Allah oleh karena sifat-sifat tersebut. Jadi bahaya keruntuhan akhlaq bagi umat dan masyarakat jauh lebih besar daripada yang dapat dihitung, dirasakan dan diraba. 25 B. Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun 1. Metode Pembiasaan Metode merupakan cara yang telah teratur dan telah terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud. 26 Menurut pendapat Mahmud Yunus yang dikutip Armai Arief, metode adalah “Jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya seseorang sampai pada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan, perniagaan, maupun dalam
kupasan ilmu
pengetahuan dan lainnya”. 27 Secara etimologi, pembiasaan berasal dari kata “biasa”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “biasa” berarti 1) Lazim atau umum, 2) Seperti sedia kala, 3) Sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari25
Omar Mohammad Al-Toumy al-Shaihany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dr. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 318. 26 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999), hlm 232. 27 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002),hlm. 87.
29
hari.
Dengan
adanya
prefiks
“pe”
dan
sufiks
“an”
menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses membuat sesuatu/ seseorang menjadi terbiasa.28 Berdasarkan teori Conditioning yang dipelopori oleh Pavlov seorang ahli psikologi-refleksologi dari Rusia. Ia mengadakan percobaan-percobaan dengan anjing. Secara ringkas percobaan-percobaan Pavlov dapat kita uraikan sebagai berikut. Seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehingga
kelenjar
ludahnya
berada
di
luar
pipinya,
dimasukkan ke kamar yang gelap. Di kamar itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan moncongnya, tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan percobaan-percobaan. Pada moncongnya yang telah dibedah itu dipasang sebuah pipa (selang) yang dihubungkan dengan sebuah tabung di luar kamar. Dengan demikian dapat diketahui keluar tidaknya air liur dari moncong anjing itu pada waktu
diadakan
percobaan-percobaan.
Alat-alat
yang
dipegunakan dalam percobaan itu ialah makanan, lampu senter untuk menyorotkan bermacam-macam warna, dan sebuah bunyi-bunyian. Dari hasil percobaan-percobaan yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov mendapatkan kesimpulan bahwa 28 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar..., hlm. 110
30
gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari; dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan
dua
macam
refleks,
yaitu
refleks
wajar
(unconditioned reflex) – keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat dan refleks bersyarat/ refleks yang dipelajari (conditioned reflex) – keluar air liur karena menerima/ bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu. 29 Peganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hadil daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan
mereaksi
terhadap
syarat-syarat/
perangsang-perangsang tertentu yang dialaminya di dalam kehidupannya. Pada manusia teori ini hanya dapat diterima dalam hal-hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.30 Dalam
kaitannya
dengan
metode
pembelajaran
pendidikan agama Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. 29
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 90. 30 M. Ngalim Purwanto, Psikologi..., hlm. 91.
31
Kegiatan pembiasaan dapat dilaksanakan dalam lingkungan
sekolah
maupun
di
rumah,
yang
dapat
dilaksanakan sebagai berikut. a. Rutin, yaitu pembiasaan yang dilakukan terjadwal. Seperti: upacara bendera, senam, shalat berjamah, pemeliharaan kebersihan, dan kesehatan diri. b. Spontan, adalah pembiasaan tidak terjadwal dalam kejadian khusus. Seperti: pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya, antre, mengatasi silang pendapat. c. Keteladanan, adalah pembiasaan dalam bentuk perilaku seharihari. Seperti: berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu.31 Pendidikan agama sedapat mungkin diajarkan dengan praktik. Pada waktu peserta didik belajar tentang wuḍu, ṣalat, sujud tilawah atau sujud sahwi misalnya, supaya disajikan melalui praktik. Demikian juga dalam usaha membiasakan akhlaq-akhlaq luhur, seperti amanah, jujur, menepati janji dan kebiasaan-kebiasaan terpuji lainnya seperti kebersihan, etika pengaturan meja makan, makan bersama, pergaulan baik, memberi hormat kepada teman, guru dan sopan santun dalam berbagai pertemuan. Membiasakan
suka
beramal
seperti
senang
31 H. E. Mulyasa, ed. Dewi Ispurwanti, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 167.
32
mengumpulkan dana bantuan sosial, dana kotak peserta didik dan dana palang merah dan sebagainya. 32 Cara Mengaplikasikan metode Pembiasaan adalah sebagai berikut: a. Mulailah sejak kecil. Karena masa ini anak mempunyai rekaman yang cukup kuat dalam menerima pengaruh lingkungan. b. Pembiasaan itu dilakukan secara kontinyu,teratur dan terprogram. c. Pembiasaan
hendaknya
diawasi
secara
ketat,
konsisten dan tegas. d. Pembiasaan
yang
awalnya
bersifat
mekanistis
hendaknya berangsur-angsur menjadi kebutuhan. 33 Menurut Armai Arief, supaya metode pembiasaan berjalan dengan baik dan sesuai tujuan, Adapun langkahlangkah dalam melaksanakan metode pembiasaan yaitu: a. Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat. Usia sejak kecil dinilai waktu yang sangat tepat untuk mengaplikasikan pendekatan ini, karena setiap anak mempunyai
rekaman
yang
cukup
kuat
dalam
menerima pengaruh lingkungan sekitarnya dan secara langsung akan dapat membentuk kepribadian seorang
32
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran..., hlm. 23. Rahmi Adelina, Teori Pembiasaan, http://blognyarahmiadelina.blogspot.co.id/2014/06/teori-pembiasaan-dalamkaitannya-dengan.html diakses pada tgl 15/06/2016, 11:28 WIB. 33
33
anak. Kebiasaan positif maupun negatif itu akan muncul
sesuai
dengan
lingkungan
yang
membentuknya. b. Pembiasaan hendaklah dilakukan secara kontinyu, teratur dan berprogram. Sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah kebiasaan yang utuh, permanen dan konsisten. Oleh karena itu faktor pengawasan sangat menentukan dalam pencapaian keberhasilan dari proses ini. c. Pembiasaan hendaknya diawasi secara ketat, konsisten dan tegas. Jangan memberi kesempatan yang luas kepada anak didik untuk melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan. d. Pembiasaan mekanistis,
yang
pada
hendaknya
mula secara
hanya
bersifat
berangsur-angsur
dirubah menjadi kebiasaan yang tidak verbalistik dan menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata hati anak itu sendiri.34 Pembiasaan
sebenarnya
berintikan
pengalaman. Yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan.
Oleh
karena
itu,
uraian
tentang
pembiasaan selalu menjadi satu dengan uraian tentang perlunya mengamalkan kebaikan yang telah diketahui.
34
Armai Arief, Pengantar Ilmu..., hlm. 98.
34
Sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya di dalam proses pendidikan, pendekatan kebiasaan tidak bisa terlepas dari dua aspek yang saling bertentangan;
yaitu
kelebihan
dan
kekurangan.
Kelebihan metode kebiasaan dalam pendidikan agama adalah sebagai berikut. a. Dapat menghemat tenaga dan waktu yang baik. b. Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriyah saja, tetapi juga berhubungan dengan aspek batiniah. c. Pembiasaan dalam sejarah tercatat sebagai metode yang
paling
berhasil
dalam
pembentukan
kepribadian anak didik. Sedangkan kelemahan metode pembiasaan ini adalah membutuhkan tenaga pendidik yang benarbenar dapat dijadikan sebagai contoh teladan di dalam menanamkan sebuah nilai kepada peserta didik, oleh karena
itu
dibutuhkan
pendidik
yang
mampu
menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan.35 Dari pendekatan
keterangan
tersebut
pembiasaan
pada
diatas,
bahwa
intinya
adalah
pengalaman, karena apa yang kita biasakan itulah yang kita amalkan. Oleh karena itu, hendaklah para orang tua dan pendidik menaruh perhatian terhadap 35
35
Armai Arief, Pengantar Ilmu..., hlm. 115.
pendidikan
anak-anaknya
dan
membiasakannya
dengan pendidikan yang baik, ketika anak telah memahami realita kehidupan ini. 2. Karakteristik Anak Usia 6-12 Tahun Periode ini merupakan periode yang sudah matang bersekolah, atau keserasian bersekolah. Ia sudah siap untuk masuk Sekolah Dasar meskipun sebenarnya kematangan ini tidak selalu sama untuk masing-masing individu, namun secara umum anak umur 6-7 tahun anak sudah matang untuk mulai bersekolah. Dalam periode ini anak sudah mulai tenang, tidak bergolak seperti periode sebelumnya.36 Pada usia 6-12 tahun ini, daya pikir anak berkembang ke arah pikir konkrit, rasional dan obyektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar dalam stadium belajarnya. Menurut Elizabeth B. Hurlock, usia 6-12 tahun merupakan akhir masa kanak-kanak, yaitu periode di mana terjadi kematangan seksual dan masa remaja dimulai. Perkembangan utama adalah sosialisasi. Ini merupakan usia sekolah atau “usia kelompok”.37 Setelah anak memasuki sekolah dan melakukan hubungan yang lebih banyak dengan anak lain dibandingkan
36
Siti Partini Suardiman, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta, 1987), hlm. 41. 37 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 38.
36
dengan ketika masa prasekolah, minat pada kegiatan keluarga berkurang. Pada saat yang sama permainan yang bersifat individual menggantikan permainan
kelompok.
Karena
permainan kelompok membutuhkan sejumlah teman bermain, lingkungan pergaulan sosial anak yang lebih tua secara bertahap bertambah luas. Dengan berubahnya minat bermain, keinginan untuk bergaul dengan dan untuk diterima oleh anak-anak di luar rumah bertambah. Pada waktu mulai sekolah, anak memasuki “usia gang”, yaitu usia yang pada saat itu kesadaran sosial berkembang pesat. Menjadi pribadi yang sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang utama dalam periode ini. Anak menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya yang secara bertahap menggantikan keluarga dalam mempengaruhi perilaku.38 Tugas perkembangan untuk masa anak usia 6-12 tahun menurut Havighurst, yaitu sebagai berikut. a. Belajar kecakapan fisik yang diperlukan untuk permainan anak-anak. b. Membangun sikap menyeluruh terhadap diri sendiri sebagai organisme yang bertumbuh. c. Belajar bergaul dengan teman sebaya. d. Belajar memainkan peran pria dan wanita yang sesuai.
38
37
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan..., hlm. 264.
e. Mengembangkan
kecakapan
dasar
dalam
membaca,
menulis dan menghitung. f. Mengembangkan konsep yang diperlukan untuk seharihari. g. Mengembangkan nurani, moralitas dan suatu skala nilai. h. Mencapai kemandirian pribadi. i. Membentuk sikap terhadap kelompok dan lembaga sosial.39 Menurut Mustaqim, pada masa awal pada umur ini mempunyai sifat-sifat yang dimiliki, yang antara lain sebagai berikut. a. Adanya korelasi tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah. b. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional. c. Suka membandingkan dirinya dengan orang lain. d. Anak menghendaki nilai-nilai.40 Menurut teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia dasar disebut pemikiran operasional konkrit (concrete operational
thought).
hubungan-hubungan
Menurut
logis
Piaget,
diantara
operasi
konsep-konsep
adalah atau
skema-skema. Sedangkan operasi konkrit adalah aktifitas
39
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan..., hlm. 40. Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2001), hlm. 1819. 40
38
mental yang difokuskan pada obyek-obyek dan peristiwaperistiwa nyata atau konkrit dapat diukur.41 Pada masa ini, perkembangan penghayatan keagamaannya ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Sikap keagamaan bersifat reseptif disertai dengan pengertian. b. Pandangan dan paham ketuhanan diperolehnya secara rasional
berdasarkan
kaidah-kaidah
berpedoman pada indikator alam
logika
yang
semesta sebagai
manifestasi dari keagungann-Nya. c. Penghayatan pelaksanaan
secara kegiatan
keharusan moral.
rohaniah ritual
semakin
mendalam,
diterimanya
sebagai
42
Dari keterangan tersebut, menghasilkan pengertian bahwa perkembangan fisik anak berjalan dengan cepat seiring dengan perkembangan psikis yang membutuhkan perhatian dari orang tua atau pendidik dalam menanamkan kepribadian anak. Sehingga menghasilkan anak yang berkepribadian dan berakhlaq mulia. 3. Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama Aspek Ibadah Pembiasaan dalam pendidikan agama hendaknya dimulai sedini mungkin. Pada usia 6-12 tahun (usia Sekolah
41
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 156. 42 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 182-183.
39
Dasar), daya pikir anak berkembang ke arah pikir konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar dalam stadium belajarnya. Inti
pembiasaan
adalah
pengulangan.
Dalam
pembinaan sikap, metode pembiasaan sebenarnya cukup efektif. Anak-anak yang dibiasakan bangun pagi, akan bangun pagi sebagai suatu kebiasaan, kebiasaan itu (bangun pagi), ajaibnya, juga mempengaruhi jalan hidupnya.43 Dalam al-Qur’ān surat ke-31 Luqman ayat 17 juga dijelaskan:
ُصالةُ ُوأمرُ ُبالمعروفُ ُوانهُ ُعنُ ُالمنكرُ ُواصبُ ُعلى ُما َُ يا ُب َ ن ُأقمُ ُال .ُأصابكُُإ َُنُذلكُُمنُُعزمُُاألمور “Hai anakku, dirikanlah s}alat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. 44 (Al-Qur’ān Surat Luqman: 17). Dalam lingkungan sekolah, metode pembiasaan pendidikan agama pada aspek ibadah berupa pembiasaan ṣalat berjama’ah di mus}alla sekolah, mengucapkan salam sewaktu masuk kelas, membaca basmalah dan hamdalah tatkala memulai dan menyudahi pelajaran. 45
43 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 144. 44 Depag RI, Al-Qur‟ān dan..., hlm. 740. 45 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 100.
40
Dalam praktiknya, penggunaan metode pembiasaan ini dilakukan secara bertahap. Misalnya dalam pembinaan s}alat.
ibadah
Pada
tahap
pertama,
anak-anak
mulai
diperkenalkan dengan bentuk kewajiban dalam syari’ah Islam, yaitu diajak melaksanakan s}alat. Cara yang baik anak dibiasakan untuk melaksanakan s}alat berjama’ah, setelah itu anak mulai diperkenalkan dengan syarat sahnya ṣalat, rukun dan larangan-larangannya.46 Dalam kaitannya dengan pemberian materi agama kepada
peserta
didik,
disamping
mengembangkan
pemahamannya juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah, seperti melaksanakan s}alat,
berdo’a
dan
membaca
al-Qur’ān.
Di
samping
membiasakan beribadah, juga dibiasakan melakukan ibadah sosial, yakni menyangkut akhlaq terhadap sesama manusia, seperti: hormat kepada orang tua, guru dan orang lain, memberikan bantuan kepada orang yang memerlukan pertolongan, bersikap jujur dan bersikap amanah (bertanggung jawab).47 Metode pembiasaan dilakukan dengan melatih anak setiap harinya. Melatih berarti memberi anak-anak pelajaran khusus atau bimbingan untuk mempersiapkan mereka
46
Abdul Hafizh Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung: Al Bayan, 1997), hlm. 152. 47 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 183.
41
menghadapi kejadian masalah-masalah di masa mendatang. Dalam penggunaan metode ini memerlukan latihan karena dengan terus melakukan latihan agar membiasakan diri dalam melakukan hal-hal yang baik sehingga membekas pada diri anak. 48 Diharapkan dengan pendekatan ini akan membawa dampak positif bagi anak didik. Karena dengan sering mengadakan
latihan-latihan
tentang
keagamaan,
lama
kelamaan anak yang membiasakannya akan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang disukai oleh agama. 4. Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama Aspek Akhlaq Metode pembiasaan diri dan pengalaman ini penting untuk diterapkan, karena pembentukan akhlaq dan rohani serta pembinaan sosial seseorang tidaklah cukup nyata dan pembiasaan diri sejak usia dini. Untuk terbiasa hidup teratur, disiplin, tolong-menolong sesama manusia dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinu setiap hari.49 Pendidikan agama melalui kebiasaan dalam aspek akhlaq, berupa pembiasaan bertingkah laku yang baik, baik di sekolah maupun di luar sekolah seperti berbicara sopan santun dan berpakaian bersih.50 Aplikasi di lapangan pendidikan agama harus mampu mewujudkan fungsi pencegahan dan fungsi peran serta. 48
Akmal Hawi, Kompetensi Guru..., hlm. 32 Chabib Thoha, Metodologi..., hlm. 125. 50 Ramayulis, Metodologi..., hlm. 100. 49
42
Fungsi peran serta memunyai maksud bahwa ajaran agama Islam harus dapat menangkal hal-hal yang negatif baik yang berasal dari lingkungan peserta didik maupun yang berasal dari
budaya
menghambat
asing
yang
perkembangan
dapat
membahayakan
dirinya. 51
Terutama
dan dalam
perkembangan baik fisik maupun psikis. Karena masa anak merupakan proses yang sangat vital dalam masa untuk melakukan pembiasaan-pembiasaan yang baik, sehingga mampu mencetak generasi yang berakhlaqul karimah. Dari uraian tersebut berarti bahwa ajaran agama berfungsi sebagai filter dalam menyaring dan menyeleksi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, sehingga generasi muda bebas dari segala
pengaruh
yang
menghambat
dan
mengganggu
perkembangan dan pertumbuhan mereka dalam menata masa depan yang lebih baik. 52 Pembiasaan
dalam
pendidikan
akhlaq
apabila
dibiasakan sejak masih anak-anak maka kebiasaan tersebut akan menjadi bagian dari karakter atau perilaku tetap seseorang.
51
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama Pustaka Pelajar Yogyakarta, t.th.), hlm. 183. 52 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, PBM-PAI..., hlm. 183.
43
BAB III PEMIKIRAN ZAKIAH DARADJAT TENTANG METODE PEMBIASAAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN
A. Biografi Zakiah Daradjat Zakiah Daradjat, lahir di kota Marapak, IV Angkat, Bukit Tinggi, 6 November 1929. H. Zakiah adalah guru besar psikoterapi (perawatan jiwa), ahli pendidikan Islam, dan intelektual muslim yang banyak memerhatikan problematik remaja muslim Indonesia. 1 Pendidikan dasarnya dimulai di Bukit Tinggi (tahun 1942) sambil belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Selanjutnya ia meneruskan studinya langsung ke kuliah al Muballig\at (setingkat SLTA) di Padang Panjang pada tahun 1947. SLTPnya ia peroleh secara extranei pada tahun 1947. Selanjutnya Zakiah Daradjat meneruskan studinya di sekolah asisten apoteker (SAA), namun baru duduk ditingkat II, studinya terhenti karena terjadi clash kedua antara Indonesia dan Belanda,
yang
menyebabkan
Zakiah
Daradjat
bersama
keluarganya mengungsi ke pedalaman. Di saat keadaan mulai aman, Zakiah Daradjat ingin kembali meneruskan studinya di SAA, namun tidak terlaksana mengingat sekolah ini telah bubar sehingga ia masuk SMA/B. 1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm. 285.
44
Pada masa selanjutnya ia melanjutkan studinya di Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) sekaligus di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (1955). Ketika memasuki tingkat III Zakiah Daradjat dihadapkan pada dua pilihan, meneruskan di PTAIN atau di Fakultas Hukum UII. Ternyata ia memilih untuk melanjutkan studi di PTAIN. Ketika sedang mengikuti perkuliahan ditingkat IV ia mendapat beasiswa dari Departemen Agama untuk melanjutkan studi di Cairo. Ia mengambil spesialisasi Diploma Faculty of Education, Ein Shams University, Cairo dan memeroleh gelar Magister pada bulan Oktober 1959 dengan tesis The Problems of Adolescence in Indonesia.2 Tesis ini banyak mendapat sambutan dari kalangan terpelajar dan masyarakat umum di Cairo waktu itu, sehingga seringkali menjadi bahan berita para wartawan. Zakiah Daradjat sendiri tidak tahu dengan pasti, apa yang menyebabkan masyarakat terpelajar Mesir tertarik akan isi tesisnya itu entah karena masalah yang dibahas itu cukup menarik bagi mereka, karena menyangkut Indonesia, yang belum banyak mereka kenal, sedangkan hubungan antara Republik Persatuan Arab dan Republik Indonesia waktu itu sedang erat-eratnya. Akan tetapi, besar kemungkinan yang menyebabkan mereka tertarik, adalah objek masalah yang diteliti dan diuraikan oleh tesis itu, yaitu problema remaja, yang bagi orang Mesir waktu itu, memang
2
45
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi..., hlm. 285.
sedang menjadi perhatian karena mereka sedang giat membangun, bahkan dalam kabinet Mesir waktu itu ada Kementrian Pemuda.3 Masa-masa berikutnya adalah masa berkiprah baginya baik dalam bidang pendidikan maupun dalam bidang birokrasi yang masih berkaitan dengan pendidikan sambil belajar di Program doktoral, ia sempat menjadi kepala Jurusan Bahasa Indonesia pada Higher School for Language di Cairo (1960-1963). Pada tahun 1964, dengan sisertasi tentang perawatan jiwa anak, beliau berhasil meraih gelar doktor dalam bidang psikologi dengan spesialisasi psikoterapi dari Universitas Ain Shams. Setelah kembali ke Tanah Air ia diangkat menjadi pegawai tinggi Departemen Agama pusat pada Biro Perguruan Tinggi Agama (1964-1967). Selanjutnya ia menjadi Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum pada Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama RI (1972-1977). Pada masa berikutnya ia menjadi Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI (19771984) dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 19831988. Tahun 1984-1992 ia dipercaya menjadi dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di samping itu, ia menjadi pengajar tidak tetap di berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta dan Yogyakarta. Ia aktif mengikuti seminar-seminar di dalam dan luar negeri serta aktif pula menjadi penceramah dalam berbagai lembaga pendidikan, di RRI, dan di TVRI. Ia juga 3 Zakiah Daradjat, Problema Remaja di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 5.
46
menjadi ketua umum Perhimpunan Wanita Alumni Timur Tengah (1993-1998). Sebagai pendidik dan ahli psikologi Islam, ia memunyai sejumlah pemikiran dan ide menyangkut masalah remaja di Indonesia. Bahkan, ia tercatat sebagai guru besar yang paling banyak memerhatikan problematik remaja, sehingga sebagian besar karyanya mengetengahkan obsesinya untuk pembinaan remaja di Indonesia. Menurut beliau, sekarang ini anak manusia sedang menghadapi suatu persoalan yang cukup mencemaskan kalau mereka tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah akhlak atau moral dalam masyarakat. Ketenteraman telah banyak terganggu, kecemasan dan kegelisahan orang telah banyak terasa, apabila mereka yang mempunyai anak remaja yang mulai menampakkan gejala kenakalan dan kekurang acuhan terhadap nilai moral yang dianut dan di pakai orang tua mereka. Di samping itu ia melihat kegelisahan dan kegoncangan dalam
banyak
keluarga
karena
antara
lain
kehilangan
keharmonisan dan kasih sayang. Banyak remaja yang enggan tinggal di rumah, senang berkeliaran di jalanan, tidak memiliki semangat belajar, bahkan tidak sedikit yang telah sesat. 4 Untuk mengatasinya ia mengajukan jalan keluar, antara lain: melibatkan semua pihak (ulama, guru, orang tua, pemerintah, keamanan dan tokoh masyarakat); mengadakan penyaringan 4
47
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi..., hlm. 286.
terhadap kebudayaan asing; meningkatkan pembinaan mental; meningkatkan pendidikan agama di sekolah, keluarga dan di masyarakat;
menciptakan
rasa
aman
dalam
masyarakat;
meningkatkan pembinaan sistem pendidikan nasional; dan memerbanyak badan bimbingan dan penyuluhan agama. 5 Pada tindakan nyata ia merealisasi obsesinya itu dalam bentuk antara lain kegiatan sosial dengan melakukan perawatan jiwa (konsultasi). Setiap hari ia melayani empat sampai lima pasien. Masalah yang ditangani mulai dari kenakalan anak sampai gangguan rumah tangga. Ia aktif memberi bimbingan agama dan berbagai
pertemuan
pada
remaja
dan
orang
tua,
giat
memersiapkan remaja yang baik dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Ruhama di Cireundeu Ciputat. Sementara dalam pengembangan ilmu ia aktif memberi kuliah; di samping sebagai dekan di Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan membimbing penulisan disertasi tentang pendidikan. B. Karya-karya Zakiah Daradjat Zakiah Daradjat adalah seorang yang produktif. Dia banyak menulis beberapa buku dan menerjemahkan beberapa buku asing ke dalam bahasa Indonesia. Di antara buku-buku karya dan terjemahan Zakiah Daradjat adalah sebagai berikut:
5
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai..., hlm. 60-78
48
1. Kesehatan Mental (1969) diterbitkan Gunung Agung. 2. Pendidikan
Agama
dalam
Pembinaan
Mental
(1971)
diterbitkan Bulan Bintang. 3. Perawatan Jiwa untuk Anak-anak (1973) diterbitkan Bulan Bintang. 4. Problema Remaja di Indonesia (1974) diterbitkan Bulan Bintang. 5. Pembinaan Remaja (1975) diterbitkan Bulan Bintang. 6. Pendidikan Orang Dewasa (1975) diterbitkan Bulan Bintang. 7. Perkawinan yang Bertanggung jawab (1975) diterbitkan Bulan Bintang. 8. Kunci Kebahagiaan (1977) diterbitkan Bulan Bintang. 9. Membangun Manusia Indonesia yang Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (1977) diterbitkan Bulan Bintang. 10. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia (1977) diterbitkan Bulan Bintang. 11. Pembinaan Jiwa/Mental (1977) diterbitkan Bulan Bintang. 12. Islam dan Peranan Wanita (1978) diterbitkan Bulan Bintang. 13. Menghadapi Masa Menopausa (Mendekati Usia Lanjut) (1979) diterbitkan Bulan Bintang. 14. Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental (1989) diterbitkan Gunung Agung. 15. Kebahagiaan (1990) diterbitkan Gunung Agung. 16. Doa Menunjang Semangat Hidup (1990) diterbitkan Gunung Agung.
49
17. Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga (1991) diterbitkan Bulan Bintang. 18. Remaja, Harapan dan Tantangan (1994) diterbitkan Gunung Agung. 19. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (1995) diterbitkan Remaja Rosdakarya. 20. Ilmu Jiwa Agama (1996) diterbitkan Bulan Bintang. 21. Ilmu
Pendidikan
Islam
(1996)
diterbitkan
Remaja
Rosdakarya. Sedangkan buku-buku terjemahan Zakiah Daradjat adalah sebagai berikut: 1. Ilmu Jiwa: Prinsip-prinsip dan Implementasinya dalam Pendidikan, Jilid I, II dan III Buku ini pada dasarnya adalah terjemahan dai Kitab Ilmu Nafsi: Us}us}uhu wa Tat}biqatuhu alTarbiyah karangan Prof. Dr. Abdul Aziz el-Quussy. 2. Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental I dan II Buku ini pada dasarnya adalah terjemahan dari Kitab Us}us}u S}ih}ah anNafsiyyah karangan Prof. Dr. Abdul Aziz el-Quussy. 3. Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat Buku ini adalah terjemahan dari kitab as-S}ih}ah an-Nafsiyyah fi Usrah wa Madrasah wa al-Mujtama’ karangan Prof. DR. Abdul Aziz el- Quussy. Zakiah Daradjat mendapatkan penghargaan-penghargaan yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri, yaitu:
50
1. Tahun 1965: Medali Ilmu Pengetahuan dari Presiden Mesir (Gamal Abdul Naser) atas prestasi yang dicapai dalam studi/penelitian untuk mencapai gelar doktor. 2. Tahun 1977: Tanda kehormatan “Order of Kuwait Fourth Class” dari pemerintah kerajaan Kuwait (Amir Shabah Sahir As-Shabah) atas perayaannya sebagai penerjemah bahasa Arab. 3. Tahun 1977: Tanda Kehormatan Bintang “Fourth Class of The Order Mesir” dari presiden Mesir (Anwar Sadat) atas perannya sebagai penerjemah bahasa Arab. 4. Tahun 1988: Penghargaan Presiden RI Soeharto atas peran dan
karya
pengabdian
dalam
usaha
membina
serta
mengembangkan kesejahteraan kehidupan anak Indonesia. 5. Tahun 1990: Tanda Kehormatan Satya Lencana Karya Satya tingkat I. 6. Tahun 1995: Tanda kehormatan Bintang Jasa Utama sebagai tokoh wanita/Guru Besar Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 7. Tahun 1996: Tanda Kehormatan Satya Lencana Karya Satya 30 tahun atau lebih. 8. Tahun 1999: Tanda Kehormatan Bintang Jasa Putera Utama sebagai Ketua Majelis Ulama. 6
6
Ibnu Hasan, Biografi Prof. Dr. Zakiah Daradjat, http://dwcorp.blogspot.co.id/2015/04/prof-dr-zakiah-daradjat.html diakses pada 18/11/2015 15.30 WIB
51
C. Pemikiran Zakiah Daradjat tentang Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun 1. Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun Pendidikan Agama Islam menurut Zakiah Daradjat adalah pendidikan melalui ajaran agama Islam yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah
selesai
dari
pendidikan
ia
dapat
memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai pandangan hidupnya (way of life) demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di di akhirat kelak. 7 Pendidikan agama sangat penting bagi pembinaan mental dan akhlaq anak-anak, karena salah satu faktor yang menyebabkan merosotnya moral anak-anak adalah karena kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat. Maka pendidikan agama harus dilanjutkan ketika anak mulai masuk di sekolah, tidak cukup oleh orang tua saja. Ketika anak masuk Sekolah Dasar, dalam jiwanya ia telah
membawa
bekal
agama
yang
terdapat
dalam
kepribadiannya, dari orang tuanya dan dari gurunya di Taman Kanak-kanak. Andaikata didikan agama yang diterimanya dari orang tuanya di rumah sejalan dan serasi dengan apa yang diterimanya dari gurunya di Taman Kanak-kanak, maka ia masuk ke sekolah dasar telah membawa dasar agama yang 7
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1996),
hlm. 86.
52
bulat (serasi), akan tetapi jika berlainan, maka yang dibawanya adalah keragu-raguan, ia belum dapat memikirkan mana yang benar, apakah agama orang tuanya atau agama gurunya, yang ia rasakan adalah adanya perbedaan, keduaduanya masuk dalam pembinaan pribadinya. Oleh karena itu, setiap guru agama pada sekolah dasar, harus menyadari betul-betul bahwa anak-anak didik yang dihadapinya itu telah membawa bekal agama dalam pribadinya masing-masing, sesuai dengan pengalaman hidup yang dilaluinya dalam keluarga dan Taman Kanak-kanak.8 Pemilihan materi pendidikan agama yang diberikan di Sekolah Dasar harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak didik, dengan metode yang tepat dan sesuai pula. Diantara materi penting tersebut, adalah belajar membaca alQur’ān, melaksanakan s{alat, puasa, serta akhlaq yang didasarkan kepada tuntunan al-Qur’ān dan as-Sunnah. Metode
yang
dipakai,
disesuaikan
dengan
perkembangan kecerdasan dan kejiwaan anak pada umumnya, yaitu mulai dengan contoh, teladan, pembiasaan dan latihan, kemudian berangsur-angsur memberikan penjelasan secara logis dan maknawi.9
8
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm.
111-112. 9 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), hlm. 82-83.
53
Pendidikan agama menyangkut manusia seutuhnya, ia tidak hanya membekali anak dengan pengetahuan agama, atau mengembangkan intelek anak saja dan tidak pula mengisi dan menyuburkan perasaan (sentiment) agama saja, akan tetapi ia menyangkut keseluruhan diri pribadi anak, mulai dari latihanlatihan sehari-hari yang sesuai ajaran agama, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lain, manusia dan alam, serta manusia dengan dirinya sendiri.10 2. Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun Dijelaskan dalam buku Zakiah Daradjat “Ilmu Jiwa Agama” bahwa pembiasaan dilaksanakan mentikberatkan pada pendidikan ibadah dan akhlak, yaitu sebagai berikut. a. Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 612 Tahun Aspek Ibadah Dalam
kehidupan
sehari-hari,
pembiasaan
merupakan hal yang sangat penting, terutama pembiasaan pendidikan agama. Salah satu aspek penting dalam pendidikan agama yaitu aspek ibadah. Pembiasaan pendidikan agama pada anak usia 612 tahun dalam aspek ibadah dapat dilakukan sebagai berikut:
10
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 107.
54
1) Membiasakan
seorang
anak
untuk
sembahyang
berjama’ah, di masjid, sekolah atau langgar, sehingga lama- kelamaan akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut. Anak dari kecil telah dibiasakan sembahyang, tanpa mengerti hukumnya. Tapi setelah datang waktu yang cocok anak akan mengerti bahwa sembahyang itu wajib dan lebih jauh lagi setelah anak remaja,
dan
kemampuan
memungkinkannya
untuk
berfikirnya mengetahui
telah hikmah
sembahyang itu dan merasakan manfaat kejiwaan bagi dirinya, demikianlah seterusnya.11 2) Membiasakan
anak
membaca
do’a sehari-hari
seperti do’a sebelum dan sesudah makan, do’a sebelum tidur, do’a bangun tidur, do’a masuk kamar mandi, do’a keluar kamar mandi, dan do’a-do’a yang lain. Selain do’a keseharian, anak-anak biasanya melakukan do’a yang bersifat pribadi, misalnya untuk meminta sesuatu bagi dirinya atau bagi orang tua dan saudaranya, minta tolong kepada Tuhan atas sesuatu yang dia tidak mampu melaksanakannya. Bagi anak yang lebih besar, doanya juga untuk minta ampun atas kesalahan yang terlanjur diperbuatnya, atau untuk menyatakan syukur dan terima kasih kepada Tuhan. 12
11 12
55
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 65. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 64.
3) Membiasakan
anak
membaca
al-Qur’ān
(atau
menghafalkan ayat-ayat atau surat-surat pendek). 4) Membiasakan anak puasa ketika bulan Ramaḍan, walaupun untuk anak usia awal sekolah dasar belum mampu untuk berpuasa penuh, namun ketika mereka mulai bertambah usia perlahan akan mampu untuk menjalankannya secara penuh. Sesuai dengan penjelasan dan contoh tersebut, metode pembiasaan dilakukan dengan langkah-langkah: membiasakan
anak
melakukan
kegiatan-kegiatan
keagamaan dalam aspek ibadah walaupun anak belum mengerti hukumnya. Kegiatan ini harus dilaksanakan terus-menerus saat di sekolah maupun di rumah sehingga anak terbiasa melakukannya. Kemudian jika anak sudah mulai berkembang daya berfikirnya, maka semakin bertambah penjelasan dan pengertian tentang agama. Sehingga anak akan mengerti dan terbiasa dengan kegiatan ibadah yang anak lakukan. Apabila anak tidak terbiasa melaksanakan ajaran agama
terutama
ibadah
(secara
konkrit
seperti
sembahyang, puasa, membaca al-Qur’ān, dan berdo’a) dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan halhal yang disuruh Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, serta tidak dilatih untuk menghindari larangannya maka pada waktu dewasanya nanti anak akan cenderung kepada
56
acuh tak acuh, anti agama, atau sekurang-kurangnya anak tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Tapi sebaliknya anak yang banyak mendapat latihan dan pembiasaan agama, pada waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan akan agama. 13 Aktivitas agama di sekolah atau di masjid akan menarik bagi anak, apabila anak ikut aktif di dalamnya. Karena ia bersama teman-temannya dan orang melakukan ibadah bersama. Dan si anak akan merasa gembira apabila ia ikut aktif dalam sandiwara agama, dalam pengabdian sosial (seperti membagi/ mengantarkan daging korban, zakat fitrah, dan sebagainya). 14 Pendidikan ibadah sangat penting dibiasakan sejak kecil, sehingga dengan sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya, tanpa suruhan dari luar, tapi dorongan dari dalam dan agar anak-anak dapat melaksanakannya dengan baik dan benar ketika mereka sudah dewasa nanti. b. Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 612 Tahun Aspek Akhlaq Latihan keagamaan, yang menyangkut akhlaq dan ibadah sosial atau hubungan manusia dengan manusia, sesuai dengan ajaran agama, jauh lebih penting dari pada penjelasan dengan kata-kata. 13 14
57
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 64. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 64.
Pembiasaan pendidikan agama pada anak usia 612 tahun dalam aspek akhlaq dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama. Pembiasaan di sini dilakukan melalui contoh yang diberikan oleh guru atau orang tua. Oleh karena itu,
guru agama
hendaknya memunyai
kepribadian yang dapat mencerminkan ajaran agama, yang akan diajarkan kepada anak-anak didiknya, lalu dalam
melatih
kebiasaan-kebiasaan
hendaknya menyenangkan dan tidak kaku.
yang
baik
15
2) Anak dibiasakan jujur dan berkata benar, walaupun ia belum mengerti arti yang sesungguhnya dari kata jujur dan benar itu. Kemudian sesuai dengan pertumbuhan jiwa
dan
kecerdasannya,
barulah
diterangkan
kepadanya pengertian jujur dan benar itu dan apa pula akibat dan bahaya ketidakjujuran terhadap dirinya dan orang lain.16 Sesuai dengan penjelasan tersebut, pembiasaan dalam pendidikan akhlaq dilaksanakan dengan cara yang pertama adalah memberikan contoh pada anak yang mencerminkan akhlaq yang baik, sehingga anak akan mempunyai panutan, walaupun anak belum mengerti arti yang sesungguhnya dari perbuatan baik tersebut. Jadi 15 16
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 63-64. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 65.
58
agama itu mulai dengan amaliah, kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan pertumbuhan jiwanya dan datang pada waktu yang tepat. Dengan kata lain dapat kita sebutkan, bahwa pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlaq dan agama pada umumnya. Karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak
yang
sedang
bertumbuh.
Semakin
banyak
pengalaman agama yang didapatnya melalui pembiasaan itu, akan semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahlah ia memahami ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru agama di belakang hari.17 Demikianlah seterusnya, sehingga dapat kita katakan bahwa pembiasaan, sangat penting dalam pendidikan anak, terutama dalam pendidikan agama, baik dalam aspek ibadah maupun akhlaq.
17
59
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 64-65.
BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN ZAKIAH DARADJAT TENTANG METODE PEMBIASAAN DALAM PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN
A. Analisis tentang Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun menurut Zakiah Daradjat Pada usia 6-12 tahun anak-anak mengalami beberapa peningkatan baik secara psikis, fisik dan keberagamaan. Persoalan psikis anak mulai ingin menonjolkan diri, ingin dianggap, tidak ingin menangis dan memulai belajar mandiri. Dalam fisik, anak mulai masa perkembangan dan pertumbuhan secara cepat. Dalam keberagamaan, pada masa ini anak yang berumur 6-12 tahun masuk pada tingkatan kenyataan. Pada usia ini anak sudah saatnya masuk sekolah karena mereka sudah dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang diberlakukan di sekolah. Di samping itu kondisi mereka baik jasmani maupun rohani siap bersekolah. Sehubungan dengan hal itu maka pendidikan yang dilaksanakan pada saat ini mempunyai arti penting bagi perkembangan berikutnya. 1 Menurut Suwarno, di dalam pendidikan agama faktor yang penting ialah menanamkan pengertian pengetahuan atau kesadaran tentang agama. Kita harus berusaha dengan berbagai macam cara
1
Nur Uhbiyati, Long Life Education, (Semarang: Walisongo Press, 2009),
hlm. 61.
60
untuk menyampaikan pengertian-pengertian agama yang sejelas mungkin, sehingga anak didik tahu atau memahami benar-benar tentang ajaran agama. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa pendidikan agama itu sudah cukup dengan cara menyampaikan pengetahuan tentang agama kepada anak, sebab tahu tentang agama belum tentu mempunyai sikap mental yang positif terhadap agama dan bertindak sesuai dengan ajaran agama. Tahu belum tentu mau berbuat. Pengetahuan (knowledge) belum tentu berarti kebajikan (virtues).2 Sudah menjadi kewajiban untuk orang tua untuk memberikan bekal pendidikan agama kepada anak-anaknya sejak dini. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan bekal bagi kehidupan anak kelak agar terhindar dari penyimpangan-penyimpangan, terlebih keluar dari agama Islam. Sebagai realisasi tanggung jawab orang tua atau pendidik dalam mendidik anak, ada beberapa aspek yang sangat penting, yaitu sebagai berikut. a. Menanamkan aqidah. Sebab aqidah atau kepercayaan adalah pondasi utama bagi anak untuk menjalankan ibadah. b. Mengajarkan al-Qur’ān. Pada usia ini anak sudah mulai bisa berfikir. Oleh karenanya, sudah semestinya al-Qur’ān diajarkan kepada anak.
2
hlm. 97.
61
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988),
c. Mengajarkan ṣalat. Sebab beribadah kepada Allah SWT. memberi pengaruh positif bagi jiwa anak. Dengan beribadah, anak bisa merasakan hubungan dengan Allah SWT. d. Melatih anak berpuasa pada bulan Ramaḍan. Dengan berpuasa, anak diajarkan bersikap ikhlas yang sebenarnay, yakni semata-mata karena Allah SWT. Selain itu, puasa merupakan sarana untuk mendidik anak untuk mengalahkan hawa nafsu. e. Mendidik akhlaq mulia. Sehingga, anak memiliki kemampuan berfikir, bertutur kata, bertindak dan berperangai layaknya seorang muslim. 3 Pendidikan agama disampaikan kepada anak bisa dilakukan dengan banyak metode, diantaranya metode motivasi, metode memberikan contoh atau teladan, metode pembiasaan, dan metode pelatihan. Metode tersebut tidak hanya bisa disampaikan oleh guru di SD/MI, namun juga bisa dilakukan oleh orang tua di rumah. Oleh karena itu, pendidikan agama tidak hanya disampaikan oleh guru ketika di SD/MI, orang tua juga harus mendidik anak dengan pendidikan agama. Namun selama ini, orang tua berasumsi bahwa pendidikan agama hanya berkutat pada tataran ibadah mahḍah. Padahal, tidak demikian. Pendidikan agama tidak hanya mengajarkan anak ibadah mahḍah, tetapi juga mengajarkan anak untuk berakhlaq 3
Yusuf A. Rahman, Didiklah Anakmu seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib, (Yogyakarta: Diva Press, 2014), hlm. 73-75.
62
mulia, aqidah Islam, tauhid dan lain sebagainya. 4 Oleh karenanya, sebelum orang tua mengajarkan pendidikan agama, orang tua harus terlebih dahulu mengerti tentang makna pendidikan agama dan aspek-aspek pendidikan agama yang harus diajarkan. Dengan kata lain, dalam memberikan pendidikan agama orang tua maupun guru harus menyeimbangkan antara ibadah yang bersifat horisontal dan vertikal, tidak hanya sebatas teori atau hanya menitik beratkan ibadah yang bersifat langsung kepada Allah SWT. dan abai terhadap pendidikan akhlaq. Pendidikan memberikan
agama
merupakan
pengetahuan
tentang
sebuah agama.
usaha
untuk
Dalam
rangka
memberikan pengetahuan tentang agama ada beberapa komponen yang penting agar pendidikan agama dapat tersampaikan yaitu materi dan metode penyampaian. Pendidikan agama tidak hanya disampaikan di sekolah saja, pendidikan agama juga dapat disampaikan di rumah atau keluarga. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak dapat didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam 4
63
Yusuf A. Rahman, Didiklah Anakmu..., hlm. 73.
lingkungan mereka. Segala bentuk tindakan (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat. Semakin besar si anak, semakin bertambah fungsi agama baginya, misalnya pada umur 10 tahun ke atas, agama mempunyai fungsi moral dan sosial bagi anak. Ia mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga, anak mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, akan tetapi kepercayaan masyarakat. Pertumbuhan agama tidak terjadi sekaligus matang, akan tetapi melalui tahap-tahap pertumbuhan, yang merupakan tangga yang dilaluinya satu per satu, dari keluarga, sekolah dan akhirnya masyarakat. 5 Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah dan dalam masyarakat lingkungan, Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama), akan semakin banyak unsur agama, maka sikap tindakan, kelakuan dan cara menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama. Pendidikan agama pada anak usia 6-12 menurut Zakiah Daradjat maupun para pakar yang lain tidak hanya meliputi ibadah saja namun juga meliputi keseluruhan pendidikan agama yaitu pendidikan keimanan, ibadah dan akhlaq yang diperoleh tidak hanya dari orang tua, tetapi juga dari pendidik di tingkat
5
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 114.
64
Sekolah Dasar karena pada usia ini anak sudah saatnya masuk sekolah. Suatu anggapan yang salah yang sering terjadi, baik dari orang tua maupun pendidik bahwa pendidikan agama untuk usia sekolah dasar itu mudah, hanya sekedar mengajar anak untuk pandai sembahyang, berdo’a, berpuasa dan beberapa prinsipprinsip pokok agama. Anggapan yang salah itulah yang menyebabkan kurang berhasilnya pendidikan agama pada anak. Pendidikan agama pada anak tidak langsung diberikan secara keseluruhan, namun secara bertahap sesuai perkembangan usianya. Jadi pendidik harus mengerti perkembangan anak pada masa ini, sehingga anak bisa menerima pengajaran tentang agama dengan baik yang didapat dari gurunya maupun orang tuanya. Betapapun baiknya materi agama yang disampaikan, jika pendidik tidak memahi perkembangan anak didiknya, maka hasilnya akan kurang memadai. Menurut Zakiah Daradjat dan para pakar juga sesuai yaitu bahwa pendidikan agama tidak cukup hanya dengan bekal pengetahuan tetapi juga anak mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama juga bertujuan tidak hanya bisa melakukan ritual ibadah setiap harinya, tetapi juga bisa menerapkan akhlaq mulia dalam kesehariannya.
Maka
sebagai orang tua maupun pendidik harus bisa memberikan contoh yang baik kepada anak dan membiasakannya dalam kehidupan keseharian seorang anak.
65
B. Analisis tentang Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun menurut Zakiah Daradjat Islam memergunakan kebiasaan sebagai salah satu teknik pendidikan, lalu mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan tanpa susah payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan. 6 Menurut Suwarno, pengetahuan dan sikap mental yang positif terhadap agama harus direalisir dalam perbuatan atau praktik atau tindakan religius, untuk itu setiap anak harus mempunyai skill atau ketrampilan dalam melaksanakan atau mempraktikkan ajaranajaran agama. Skill ini dapat diperoleh melalui latihan atau pembiasaan yang teratur.7 Kadang-kadang ada kritik terhadap pendidikan dengan pembiasaan karena cara ini tidak mendidik anak untuk menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Kelakuannya berlaku secara otomatis tanpa ia mengetahui baik buruknya. Sekalipun demikian, tetap saja metode pembiasaan sangat baik digunakan karena yang dibiasakan biasanya adalah yang benar, tidak boleh membiasakan anak-anak melakukan atau berperilaku yang buruk. Ini perlu disadari oleh pendidik sebab perilaku pendidik yang berulang-ulang,
akan
mempengaruhi
peserta
didik
untuk
6
Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam I, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 226. 7
Suwarno, Pengantar Umum..., hlm. 98.
66
membiasakan perilaku itu. Metode pembiasaan berjalan bersamasama dengan metode keteladanan, sebab pembiasaan itu dicontohkan oleh pendidik.8 Dalam
pembinaan
pribadi
anak
sangat
diperlukan
pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.9 Untuk membina anak agar mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan penjelasan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat-sifat itu, dan menjauhi sifat tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat dia cenderung kepada melakukan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik. Demikian pula dengan pendidikan agama, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama dilakukan pada anak. Dan semakin bertambah umur anak, hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu diberikan sesuai dengan perkembangan
8
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 144-145. 9
67
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 61.
kecerdasannya.10 Karena penerapan pendidikan antara periode yang satu dengan periode selanjutnya harus berbeda. Sebagaimana perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perbedaan usia dan bahkan peningkatan karakter dan paradigma berfikir sang anak. Dalam hal ini, pembahasan dikhususkan pada anak usia 6-12 tahun. Semua pengalaman keagamaan seorang anak merupakan unsur-unsur positif di dalam pembentukan kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang. Penanaman nilai-nilai agama sangat berperan dilakukan secara tegas kepada anak pada usia ini. Hal-hal yang biasa dianggap sepele atau ringan, seperti bermacam-macam kebiasaan yang telah dilakukan pada umur sebelumnya semakin dipertegas, kalau tidak dibiasakan sehari-hari sejak kecil dan dengan pengawasan dari orang tua dengan mengedepankan tingkat kedisiplinan, maka orang tua akan merasakan kesulitan atau keberatan dalam melaksanakan kebiasaan baik tersebut setelah anak menginjak usia dewasa. Semua pengalaman yang dilalui oleh anak waktu kecilnya, merupakan unsur penting dalam pribadinya. Sikap anak terhadap agama, dibentuk pertama kali di rumah melalui pengalaman yang didapatnya dengan orang tuanya, kemudian disempurnakan atau diperbaiki oleh guru di sekolah, terutama guru yang disayanginya. Kalau guru agama dapat membuat dirinya disayangi oleh murid10
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa..., hlm. 62
68
murid, maka pembinaan sikap positif terhadap agama akan mudah terjadi. Akan tetapi, apabila guru agama tidak disukai oleh anak, akan sukar sekali baginya membina sikap positif anak terhadap agama. Guru agama akan disenangi oleh anak didiknya, apabila guru itu dapat memahami perkembangan jiwa dan kebutuhankebutuhannya, lalu melaksanakan pendidikan agama itu dengan cara yang sesuai dengan umur anak itu. Kepercayaan anak kepada Tuhan dan agama pada umumnya, bertumbuh
melalui
latihan
dan
pembiasaan
sejak
kecil.
Pembiasaan dan pendidikan agama itu didapatnya dari orang tuanya dan gurunya, terutama guru agama. Walaupun ada kritik terhadap pendidikan dengan pembiasaan karena cara ini tidak mendidik anak untuk menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Namun, tetap saja metode pembiasaan sangat baik digunakan karena yang dibiasakan biasanya adalah yang benar, tidak boleh membiasakan anak-anak melakukan atau berperilaku yang buruk. Dalam pelaksanaan pendidikan agama pada masa ini, pembiasaan yang dilakukan pendidik terhadap anak pada umur ini terkait dengan menitik beratkan pada latihan keagamaan, yang menyangkut akhlak dan ibadah sesuai dengan ajaran agama karena jauh lebih penting dari pada penjelasan dengan kata-kata. Sesuai dengan pendapat Zakiah Daradjat, pembiasaan dalam pendidikan agama menitikberatkan ke dalam aspek ibadah dan akhlak yang diurai sebagai berikut.
69
a. Pembiasaan Pendidikan Ibadah pada Anak Usia 6-12 Tahun Ibadah merupakan salah satu bentuk manifestasi dari iman. Maka orang tua atau pendidik semestinya mengajarkan ibadah dengan sesungguh hati. 11 Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurna dari pembinaan aqidah karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan kebenaran ajarannya atau dalam istilah lain, semakin tinggi nilai ibadah yang ia miliki, akan semakin tinggi pula keimanannya. Maka bentuk ibadah yang dilakukan anak bisa dikatakan sebagai cerminan atau bukti nyata dari aqidahnya. Pembinaan dalam beribadah bagi anak ini terbagi dalam beberapa dasar pembinaan, yaitu pembinaan ṣalat, pembinaan ibadah puasa, pembinaan mengenai ibadah haji, pembinaan ibadah zakat. Tahap pembiasaan ibadah merupakan tahapan di mana anak mulai diperintahkan melakukan ibadah secara rutin dan mulai adanya evaluasi terhadap pelaksanaan ibadahnya. Pada tahapan ini, selain pembiasaan kegiatan ritual ibadah juga dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan ibadah tersebut. Ajak anak untuk melihat kembali apakah pelaksanaan ibadah yang dilakukannya sudah tepat. Apakah wuḍunya sudah sempurna, gerakan dan bacaan ṣalatnya sudah tepat,
11
Nur Uhbiyati, Long Life..., hlm. 70
70
shaumnya sudah benar, dan apakah bacaan al-Qur’ānnya sudah tartil. Zakiah Daradjat menyatakankan bahwa latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, do’a, membaca al-Qur’ān (atau menghafalkan ayat-ayat atau surat-surat pendek), sembahyang berjama’ah, di sekolah, masjid atau langgar, harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama kelamaan akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut. Dia dibiasakan sedemikian rupa, sehingga dengan sendirinya ia akan terdorong untuk melakukannya, tanpa suruhan dari luar, tapi dorongan dari dalam, karena prinsip agama Islam tidak ada paksaan, tapi ada keharusan pendidikan yang dibebankan kepada orang tua dan guru atau orang yang mengerti agama (ulama). Jadi tugas mendidik anak dengan membiasakannya beribadah dengan baik adalah tidak hanya dibebankan kepada seorang guru di sekolahnya, namun juga para orang tua dan ulama dengan sabar dan tanpa paksaan. Oleh karena itu, dengan pendidikan ibadah, anak akan semakin mendekatkan diri dengan sang penciptanya, yaitu Allah SWT. Sehingga dengan seringnya seorang anak beribadah kepada Allah, maka akan muncul suatu kebiasaan beribadah dan rasa cinta kepada Allah SWT kelak di usia remaja sampai dewasa.
71
b. Pembiasaan Pendidikan Akhlaq pada Anak Usia 6-12 Tahun Pendidikan agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting bagi anak usia 6-12 tahun karena dengan pendidikan agama tersebut anak-anak akan terbentuk akhlaq terhadap sosial, terhadap Allah, dan lingkungan di sekitarnya. Akhlaq adalah sifat dan kehendak yang dapat mendorong terwujudnya perbuatan baik menurut norma Islam dan perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. Dengan demikian,
pendidikan
akhlaq
adalah
pendidikan
guna
menuntun anak agar mereka kelak memiliki sifat dan kehendak yang dapat mendorong terwujudnya perbuatan baik menurut norma Islam dan perbuatan itu telah menjadi kebiasaannya. Akhlaq adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku.
Seseorang baru bisa dikatakan memiliki
kesempurnaan iman apabila dia memiliki budi pekerti/ akhlaq yang mulia. Oleh karena itu, masalah akhlaq/ budi pekerti merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang harus diutamakan dalam pendidikan agama Islam untuk ditanamkan/ dijarkan kepada peserta didik. Adapun pembinaan akhlaq kepada anak, diantaranya yaitu: pembinaan budi pekerti dan sopan santun, pembinaan bersikap jujur, pembinaan menjaga rahasia, pembinaan menjaga kepercayaan, pembinaan menjauhi sifat dengki.
72
Dalam mendidik anak berakhlaq mulia, misalnya bersikap jujur, orang tua atau pendidik harus memberi contoh berbuat jujur dan menghargai kejujuran anak. Begitu pula akhlaqakhlaq yang lainnya, anak seharusnya memperoleh teladan dari orang tua atau pendidik sehingga anak bisa meniru dan membiasakannya. Lalu sikap guru maupun orang tua dalam melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak kaku, yaitu dengan cara yang lebih dekat dengan kehidupannya seharihari dan lebih konkrit. Jadi, pendidikan agama pada aspek akhlaq dengan metode pembiasaan dalam usia ini sangat penting untuk membentuk akhlaq anak menjadi seseorang yang berakhlaq mulia karena dibiasakan sejak kecil, karena jika tidak ia tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya. C. Analisis
tentang
Kemungkinan
Penerapan
Metode
Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun 1. Kemungkinan Penerapan Pembiasaan Pendidikan Ibadah pada Anak Usia 6-12 Tahun Sesuai dengan pendapat Zakiah Daradjat, latihan keagamaan yang dilakukan untuk membiasakan anak pada usia 6-12 tahun terjadi baik di lingkungan sekolah, baik sekolah umum maupun madrasah, dan juga di rumah. Pada
73
usia ini juga sebagian anak ada yang dididik di lingkungan pesantren, yang dapat diterapkan seperti berikut. a. Pendidikan agama di Madrasah Ibtidaiyah. Pendidikan agama di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) terasa lebih kental daripada pendidikan agama di Sekolah Dasar (SD) umum karena lebih banyak materi dan kegiatan tentang keagamaan. Peserta didik di MI dalam kesehariannya diberikan pengalaman langsung yaitu dengan membiasakan mereka bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di madrasah maupun masyarakat. Praktek langsung membaca Al-Qur’ān dan melaksanakan ṣalat berjamaah, pembisaan berdoa, ṣolat ḍuha, ṣolat ẓuhur secara berjamaah, hafalan surat-surat pendek dan pilihan dan lain sebagainya. b. Pendidikan agama di Sekolah Dasar. Meskipun dalam lingkungan MI lebih banyak kegiatan keagamaan, dalam penerapan pengembangan budaya religius tidak hanya dilaksanakan di madrasah atau di sekolah yang bernuansa islami tetapi juga bisa diterapkan di sekolah-sekolah umum, walaupun tidak sebanyak kegiatan di MI. Suasana keagamaan di lingkungan Sekolah Dasar dengan berbagai bentuknya, sangat penting bagi proses penanaman nilai agama pada peserta didik. Proses penanaman nilai agama Islam pada peserta didik di sekolah akan menjadi lebih intensif dengan suasana kehidupan sekolah yang islami,
74
baik yang nampak dalam kegiatan, sikap maupun prilaku, pembiasaan, penghayatan, dan pendalaman. Nuansa religius di sekolah akan sangat sulit di ciptakan manakala kewajiban untuk melaksanakan nilainilai agama hanya diwajibkan pada semua peserta didik. Hal ini akan berdampak pada pembiasaan peserta didik, dimana dalam menjalankan nilai-nilai religius di sekolah hanya pada tataran menunaikan
kewajiban saja bukan
pada proses kesadaran. Akibatnya nilai-nilai agama yang menjadi sebuah pembiasaan di sekolah tidak mampu membentuk karakter peserta didik di luar sekolah. Apabila anak tidak terbiasa melaksanakan ajaran agama
terutama
ibadah
(secara
konkrit
seperti
sembahyang, puasa, membaca al-Qur’ān, dan berdo’a) dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan hal-hal yang disuruh Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, serta tidak dilatih untuk menghindari larangannya maka pada waktu dewasanya nanti ia akan cenderung kepada acuh tak acuh, anti agama, atau sekurang-kurangnya ia tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Tapi sebaliknya anak yang banyak mendapat latihan dan pembiasaan agama, pada waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan akan agama.
75
c. Pendidikan agama di rumah. Saat anak berada di rumah juga dibutuhkan pendidikan agama, yang tidak lain adalah dari kedua orang tua. Selain dari guru di madrasah atau sekolah, orang tua juga harus membiasakan pendidikan ibadah kepada anak saat di rumah. Dalam pembiasaanpembiasaan anak terhadap ibadah seperti ṣalat dan berdo’a, perlu diingat bahwa yang sangat menarik bagi anak, adalah yang mengandung gerak dan tidak asing baginya. Do’a anak-anak itu biasanya bersifat pribadi, misalnya untuk meminta sesuatu bagi dirinya atau bagi orang tua dan saudaranya, minta tolong kepada Tuhan atas sesuatu yang dia tidak mampu melaksanakannya. Bagi anak yang lebih besar, doanya juga untuk minta ampun atas kesalahan yang terlanjur diperbuatnya, atau untuk menyatakan syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Perlu pula diingat bahwa aktivitas agama di sekolah atau di masjid akan menarik bagi anak, apabila ia ikut aktif dalamnya. Karena ia bersama teman-temannya dan orang melakukan ibadah bersama. Dan si anak akan merasa gembira apabila ia ikut aktif dalam sandiwara agama, dalam pengabdian sosial (seperti membagi/ mengantarkan daging korban, zakat fitrah, dan sebagainya).
76
d. Pendidikan agama di pesantren. Sebagian anak pada usia 6-12 tahun sudah mulai dimasukkan ke pesantren oleh orang tua mereka untuk dididik oleh ustāż atau ustāżah di pesantren. Saat anak tinggal di pesantren, anak diwajibkan untuk mengikuti seluruh kegiatan pesantren, termasuk dalam kegiatan ibadah, seperti ṣolat berjama’ah dan mengaji al-Qur’ān. Dengan kegiatan tersebut seorang anak akan terbiasa menjalankan kegiatan beribadah setiap hari, walaupun pada awalnya anak merasa berat untuk menjalankannya. Para pendidik maupun
orang
tua
harus bisa
memberikan penekanan pada aspek-aspek ibadah yang masih belum dikuasai anak secara baik. Jika anak masih banyak kesalahan dalam gerakan shalat, lakukan latihan terus menerus hingga gerakannya baik. Jika anak bacaan al-Qur’ānnya belum tartil, berikan pembelajaran yang lebih intensif. Jangan sampai orang tua sangat resah saat usia 6 tahun anak belum bisa membaca, namun tidak merasa resah bahkan bersikap tak acuh saat usia 6-12 tahun anak belum bisa membaca al-Qur’ān.
77
2. Kemungkinan Penerapan Pembiasaan Pendidikan Akhlaq pada Anak Usia 6-12 Tahun Penerapan pembiasaan pendidikan akhlaq dilakukan di dalam berbagai lingkungan, yaitu sebagai berikut. a. Pembiasaan pendidikan akhlaq di Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Pembiasaan aspek akhlaq dalam lingkungan sekolah, baik di SD maupun di MI dapat dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, staf administrasi di sekolah yang dapat dijadikan model bagi peserta didik. Dalam hal ini guru berperan langsung sebagai contoh bagi peserta didik. Segala sikap dan tingkah laku guru, baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat hendaknya selalu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik misalnya: berpakaian dengan sopan dan rapi, bertutur kata dengan baik, tidak makan sambil berjalan, tidak membuang
sampah
di
sembarang
tempat,
mengucapkan salam bila bertemu orang. Banyak hal bentuk pengamalan nilai-nilai akhlaq religius yang bisa dilakukan di sekolah maupun madrasah, seperti saling mengucapkan salam, bersalaman ketika bertemu dengan guru, pembiasaan menjaga hijab antara laki-laki dan perempuan (misal: laki-laki hanya bisa berjabat tangan peserta didik lakilaki dan guru laki-laki, begitu juga sebaliknya), dan
78
mewajibkan peserta didik laki-laki dan perempuan menutup aurat. Jika di MI, peserta didik perempuan sudah diwajibkan memakai kerudung, maka berbeda dengan peserta didik di SD yang tidak diwajibkan memakai kerudung dan belum tentu juga semua guru perempuan memakai kerudung. Maka ini merupakan tugas seorang guru agama untuk memberikan pengertian kepada peserta didik mengenai kewajiban seorang muslimah memakai kerudung dan menutup aurat. b. Pembiasaan pendidikan akhlaq di rumah. Saat peserta didik berada di rumah, pendidikan akhlaq dibimbing oleh kedua orang tua. Kewajiban orang tua yang
untuk
mendidik
anaknya
adalah
dengan
mendidik anak dengan kebiasaan akhlaq yang baik, seperti contoh akhlaq yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya, yaitu akhlaq anak terhadap kedua ibu bapak, dengan berbuat baik dan berterima kasih kepada keduanya. Sebagaimana terdapat dalam alQur’ān surat ke-31 Luqman ayat 14:
79
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.12 (Al-Qur’ān Surat Luqman: 14). Selain kepada kedua orang tua, anak juga harus mempunyai akhlaq yang baik kepada orang lain. Akhlaq terhadap orang lain adalah adab dan sopan santun dalam bergaul, seperti sifat tidak sombong dan tidak angkuh, serta perilaku berjalan sederhana dan bersuara lembut. c. Pembiasaan pendidikan akhlaq di pesantren. Pembiasaan pendidikan akhlaq harus sejalan antara saat peserta didik berada di sekolah atau madrasah, maupun dirumah, agar tercipta tujuan yang yang ingin dicapai, yaitu peserta didik yang berakhlaq mulia dalam kesehariannya, baik di lingkungan sekolah, rumah maupun masyarakat. Begitu pula ketika anak usia 6-12 yang tinggal di pesantren. Meski tidak selalu bertemu dengan kedua orang tua, pendidikan akhlaq tetap diajarkan oleh kiai serta ustāż atau ustāżah. Anak usia 6-12 yang masuk ke pesantren adalah dorongan dan keinginan dari orang tua. Mereka masih 12
Depag RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 1989),
hlm. 644.
80
membutuhkan pendamping khusus untuk mengurus kebutuhannya, maka ustāż atau ustāżah yang menjadi pendamping mereka setiap harinya. Oleh karena itu pendidik
dalam
lingkungan
pesantren
yang
membiasakan anak berakhlaq baik, seperti disiplin dalam melaksanakan kegiatan keseharian pesantren, memelihara
kebersihan
lingkungan
pesantren,
mentaati peraturan pesantren, serta menghormati pendidiknya dan menyayangi teman-teman sebayanya yang juga tinggal di pesantren dan menuntut ilmu bersama. Metode pembiasaan dalam aspek akhlaq yang dilakukan sejak dini akan berdampak besar terhadap kepribadian atau akhlaq anak ketika mereka telah dewasa. Sebab pembiasan yang telah dilakukan sejak kecil akan melekat kuat di ingatan dan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dirubah dengan mudah. Dengan demikian metode pembiasaan sangat baik dalam rangka mendidik akhlaq anak. Pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang didapatnya melalui pembiasaan itu, akan semakin banyaklah unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahlah ia
81
memahami ajaran agama yang akan dijelaskan oleh pendidik di belakang hari. Dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu sangat penting, karena banyak orang yang berbuat atau bertingkah laku hanya karena kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup seseorang akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan sesuatu ia harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan. Kalau seseorang sudah terbiasa ṣalat berjamaah, ia tak akan berpikir panjang ketika mendengar kumandang ażan, langsung akan pergi ke masjid untuk ṣalat berjamaah. Berawal dari pembiasaan sejak kecil itulah, peserta didik membiasakan dirinya melakukan sesuatu yang lebih baik. Menumbuhkan kebiasaan yang baik ini tidaklah mudah, akan memakan waktu yang panjang. Tetapi bila sudah menjadi kebiasaan, akan sulit pula untuk berubah dari kebiasaan tersebut. Dengan demikian, Penanaman kebiasaan yang baik sangat penting dilakukan sejak awal kehidupan anak. Agama Islam sangat mementingkan pendidikan kebiasaan, dengan pembiasaan itulah diharapkan seorang anak mengamalkan ajaran agamanya secara berkelanjutan.
82
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan mengenai “Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun
menurut
Zakiah
Daradjat”
secara
keseluruhan
sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, maka dapat penulis simpulkan: 1. Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun menurut Zakiah Daradjat Pendidikan agama pada anak usia 6-12 tidak hanya meliputi ibadah,
namun juga meliputi
keseluruhan
pendidikan agama yaitu pendidikan keimanan, ibadah dan akhlaq yang diperoleh tidak hanya dari orang tua, tetapi juga dari pendidik karena pada usia ini anak sudah saatnya masuk sekolah. Pendidikan agama tidak cukup hanya dengan bekal pengetahuan tetapi juga anak mampu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka sebagai orang tua maupun pendidik harus bisa memberikan pengajaran dan contoh yang baik kepada anak. 2. Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun menurut Zakiah Daradjat Metode pembiasaan dalam pendidikan agama pada anak usia ini menurut Zakiah Daradjat yaitu metode
83
pembiasaan yang meliputi aspek ibadah dan akhlaq. Walaupun anak belum mengerti hukumnya, kegiatan ini harus dilaksanakan terus-menerus saat di sekolah maupun di rumah sehingga anak terbiasa melakukannya. Kemudian jika anak sudah mulai berkembang daya berfikirnya, maka semakin bertambah penjelasan dan pengertian tentang agama. Pembiasaan pendidikan ibadah pada anak yaitu seperti: membiasakan sembahyang, puasa, do’a dan membaca
al-Qur’ān,
sedangkan
pembiasaan
pada
pendidikan akhlaq yaitu menanamkan akhlaq-akhlaq yang mulia, seperti: berkata jujur dan menghormati orang lain. 3. Kemungkinan Penerapan Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun a. Penerapan Pembiasaan Pendidikan Ibadah pada Anak Usia 6-12 Tahun Pembiasaan ibadah pada anak di Madrasah Ibtidaiyah maupun Sekolah Dasar yang dilakukan dengan praktik langsung, misalnya membaca al-Qur’ān dan ṣalat berjama’ah yang dididik khususnya oleh guru agama. Orang tua juga harus bisa memberikan pendidikan
agama
kepada
anak
dengan
membiasakannya beribadah setiap harinya. Begitu pula saat di pesantren, anak diasuh dan dididik oleh kiai dan ustāż atau ustāżah.
84
b. Penerapan Pembiasaan Pendidikan Akhlaq pada Anak Usia 6-12 Tahun Penerapan pembiasaan akhlaq pada anak usia 6-12 tahun di lingkungan SD, MI, rumah atau pesantren, masing-masing memiliki pendidik dan tempat berbeda yang bisa dilakukan oleh seluruh pendidik yang ada di lingkungan tersebut. Anak dididik dengan kebiasaan akhlaq yang baik. Jadi dalam penerapan pendidikan akhlaq tidak terbatas pada tanggung jawab guru agama saja, namun juga seluruh orang tua dalam lingkungan sekolah, madrasah, rumah maupun pesantren. B. Saran-Saran Metode pembiasaan dalam pendidikan agama bagi anak merupakan bagian yang sangat penting sebagai upaya untuk
menanamkan
nilai-nilai
ajaran
Islam.
Melihat
pentingnya pendidikan agama, maka pendidikan agama Islam menjadi tanggung jawab orang tua maupun sekolah. 1. Orang Tua Sebagai lingkungan pertama dan utama yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak, maka orang tua harus memberikan prioritas dalam mendidik pendidikan agama bagi anak melalui metode pembiasaan yang diberikan tidak sekedar menyangkut aspek ibadah, namun juga menyangkut aspek akhlaq. Karena kedua materi 85
pendidikan agama Islam tersebut merupakan bagian yang integral dan merupakan aspek pokok dalam ajaran Islam. 2. Sekolah Sebagai lingkungan pendidikan formal, sekolah juga harus memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan agama Islam bagi anak. Oleh karena itu, pendidikan agama dengan pembiasaan harus ditanamkan semenjak awal masuk sekolah hingga nanti ketika akan lulus dari Sekolah Dasar khususnya bagi seorang guru agama. C. Penutup Puji syukur alhamdulillah, dengan rahmat dan hidayah Allah, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari
sepenuhnya
bahwa
dalam
penulisan
dan
pembahasan skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi bahasa, sistematika maupun analisisnya. Hal tersebut semata-mata bukan kesengajaan penulis, namun karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Karenanya penulis memohon kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Akhirnya penulis memanjatkan do’a kepada Allah semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang berkesempatan
membacanya
serta
dapat
memberikan
sumbangan yang positif bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.
86
DAFTAR PUSTAKA Abu Daud, Imam, Sunan Abu Daud Juz I, Beirut: Darul Fikr, tth. Ahmad, Khursid, Principle of Islamic Education, Lahore: Islamic Publication Limited, 1974. Ahmad,
Muhammad Abdul Qadir, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: tp., 1985.
Pengajaran
Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 1992. Al-Ghulayani, Syeikh Musthafa, ‘Idhat al-Nasyi’in, Surabaya: Mahkota, 1949. Al-Toumy al-Shaihany, Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dr. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Arifin, M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Arifin, Ustadz Bey, dkk, Tarjamah Sunan Abu Dawud, Semarang: Asy-Syifa’, 1992. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Azwar, Saefuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Rineka Cipta, 1998. Barmawi, Bakir Yusuf, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak, Semarang: Dimas, 1993.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Akasara, 1996. ----------, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1983. ----------, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. -----------, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1995. -------------, Problema Remaja di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. ------------_, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Depag RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya, Semarang: Thoha Putra, 1989. ------------, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: 1993.. Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. Donald, F.J. Mc, Educational Psychology, USA: Wadsworth Publishing, 1959. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, PBM-PAI di Sekolah, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama Pustaka Pelajar Yogyakarta, t.th. Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, Indonesia: Maktabah Daaru Ihya’ al-Kutubi al-Arabiyati, t.th.
Hasan
, Ibnu, Biografi Prof. Dr. Zakiah Daradjat, http://dwcorp.blogspot.co.id/2015/04/prof-dr-zakiahdaradjat.html diakses pada 18/11/2015 15.30 WIB
Hawi, Akmal, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali Press, 2014. Hurlock, Elizabeth B., Perkembangan Anak, Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1988 Junaidah, “Menumbuhkan Minat Anak terhadap Pendidikan Agama Islam: Studi Pemikiran Zakiah Daradjat”, Skripsi, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006. Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Mas’ud, Abdurrahman, Dikotomi Ilmu Agama dan Non Agama, Semarang: IAIN Walisongo, 1999. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rakesarasin, 1996. Mulyasa, H. E., ed. Dewi Ispurwanti, Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Mustaqim, “Metode Pembiasaan dalam Pendidikan Akhlaq pada Anak (Telaah Psikologi Perkembangan)”, Skripsi, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005. Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2001. Muttaqin, Zaenal, “Urgensi Pendidikan Agama pada Anak Usia 6-12 Tahun dalam Pembentukan Akhlaq menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat”, Skripsi, Semarang: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo, 2014.
Nur, Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Al Bayan, 1997. Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Rahman, Yusuf A., Didiklah Anakmu seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Yogyakarta: Diva Press, 2014. Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Soejanto, Agoes, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Suardiman, Siti Partini, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta, 1987. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: Aksara Baru, 1988. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. -----------, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002. Thorndike, E.L., Advanced Junior Dictionary, New York: Doubleday dan Comp, 1965. Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990. Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1999.
Tim Penyusun Kamus Pusat dan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pusaka, 2005. Uhbiyati, Nur dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam I, Bandung: Pustaka Setia, 1997. Uhbiyati, Nur, Long Life Education, Semarang: Walisongo Press, 2009. Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Zuhairini, Metodologi Pendidikan Agama, Solo: Ramadhani, 1993..
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap
: Hidayatin Khoiriyah
2. Tempat dan Tanggal Lahir
: Pati, 23 Desember 1992
3. Alamat Rumah
: Ds. Wangunrejo RT. 4 RW. 1 Margorejo Pati
HP
: 085713518393
E-mail
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. Pendidikan Formal a. SD N Wangunrejo 02, Lulus Tahun 2005 b. MTs Islam Wangunrejo, Lulus Tahun 2008 c. MA NU Banat Kudus, Lulus Tahun 2011 d. UIN Walisongo Semarang (FITK. Jur. Pendidikan Agama Islam), Lulus Tahun 2016 2. Pendidikan Non-Formal a. TK Pertiwi Bumirejo, Lulus Tahun 1999 b. Taman Pendidikan Al-Qur’an Atmawijaya Wangunrejo, Lulus Tahun 2003 c. Madrasah Diniyyah Manba’ul Falah Wangunrejo, Lulus Tahun 2006
d. Pondok Pesantren Putri Darul Fatonah Kudus, Lulus Tahun 2011 e. Pondok Pesantren Putri Tahaffudzul Qur’an Semarang
Semarang, 3 Juni 2016
Hidayatin Khoiriyah