PERANAN ELITE INTELEKTUAL DALAM DINAMIKA' MASYARAKAT ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Bambang Dharwiyanto Putro*
1 . Pendahuluan erujuk pada pendapat Keller, kaum elite adalah minoritas-minoritas yang efektit dan bertanggungjawab . Ini artinya efektif melihat pelaksanaan kegiatan kepenttingan dan perhatian kepada orang lain tempat golongan elit ini memberikan tanggapannya (Keller, 1995 : 3) . Sementara itu, Alatas (1988) melihat bahwa seseorang intelektual adalah orang yang memusatkan diri untuk memikirkan ide dan masalah nonmaterial dengan menggunakan kemampuan penalarannya . Menurut kaum intelektual menunjukkan ciri-ciri sosial, antara lain, sebagai berikut. Pertama, mereka direkrut dari segala kelas, sekalipun dalam proporsi yang berbeda-beda ; Kedua . mereka dijumpai di kalangan pendukung atau penentang berbagai gerakan kebudayaan dan politik ; Ketiga, bila dilihat dari pekerjaan, mereka pada umumnya bukanlah pekerja to-gan dan bagian terbesar menjadi dosen, penyair, wartawan, dan sebagainya . Keempat, sampai pada batas tertentu mereka pada umumnya agak menjauh dari masyarakat selebihnya bergaul di dalam kelompoknya sendiri . Kelima, mereka tidak hanya tertarik pada segi-segi pengetahuan teknis dan mekanis semata-mata . Ide-ide mengenai agama, seni, kebudayaan, rasa kebangsaan, ekonomi terencana, kehidupan yang lebih balk, dan sejenisnya termasuk dalam duni pemikirannya . Pada bagian lain, selanjutnya berbeda dengan spesialis, kaum intelektual berusaha melihat hal-hal dalam perspektif yang lebih luas, yakni dalam bentuk saling hubungan dan secara total . Keenam, kelompok intelektual senan-
M
ti ;asa merupakan bagian kecil dari masyar6kat (Alatas, 1988 : 12-13) . Ini berarti bahwa seorang intelektual memiliki pengetahuan dan wawasan yang kompleks untuk Oiabdikan kepada masyarakat . Lebih jauh Antonio Gramsci dalam $election from Prison Notebooks (1978) tielah membedakan kaum intelektual ke dalam beberapa tipologi . Pertama, lntelektual Tradisional, yang menjadi penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dengan kelas atasnya semacam guru, ulama, dan para administrator . Kedua, lntelektual Organik, ang dengan badan penelitian dan kajian ang dimilikinya berusaha memberikan refleksi atas keadaan tetapi biasanya terbatas hanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri, dalam hal ini adalah kalangan projesional . Ketiga, lntelektual Kritis, adalah kelompok yang mampu melepaskan diri dari hegemoni penguasaan elite penguasa 'yang sedang memerintah dan memberikan ,pendidikan alternatif bagi proses pemerdekaan . Keempat, lntelektual Universal, yang ~selalu memperjuangkan proses peradaban 'dan struktur budaya dalam rangka pemanusiawian manusia agar harkat dan martabatinya dihormati (Gramsci, 1978 dalam Simon, 1999) . Selain itu Karl Mannheim (1964) dalam karyanya yang sangat ambisius, "Man and Society in an Age of Reconstruction" mencatat bahwa para elite telah berlipat ganda, dan bukannya menurun dengan majunya masyarakat i ndustri . l a membedakan antara dua tipe elite yang berbeda secara fundamental . Pertama, suatu Elite yang Integratif yang terdiri dari para pemimpin politik dan
Doktorandus, Mahasiswa Program Studi Antropologi, Program Pascasarjana UGM
Humaniora Volume X11. No. 2/2000
I6I
Bambang Dharwiyanto Putro organisasi . Kedua, suatu Elite sublimat, yang terdiri atas pemimpin moral keagamaan, seni, dan intelektual . Adapun fungsi pokok dari tipe elite yang pertama ialah mengintegrasikan sejumlah besar kehendak-kehendak perseorangan, sedangkan fungsi pokok dari tipe elite yang kedua ialah untuk mengadakan sublimasi tenaga kejiwaan manusia . Dapat disebutkan di sini bahwa elite mempunyai fungsi berbuat untuk kolektifitas dan ini adalah sifat dari fungsi-fungsi tersebut bukannya motif-motif dari para individu yang lapar kekuasaan yang menentukan macam elite yang akan muncul . Jadi, para elite itu merupakan suatu sistem hubungan dan keperluan kolektif (Keller, 1995 : 17-18) . 2 . Muncul dan Berkembangnya Semangat Nasionalisme Elite Intelektual dari Perspektif Historisitas Apabila ditinjau dari aspek historis perkembangan golongan elite intelektual di Indonesia, Dawam Rahardjo menegaskan bahwa munculnya bersamaan dengan lahirnya kesadaran kebangsaan dan kebangkitan nasional, mereka pada mulanya merupakan orang-orang yang mendapat pendidikan kolonial Belanda (Rahardjo, 1993 66) . Senada dengan hal tersebut diatas, Parimartha (1996) melihat bahwa struktur social politik bangsa Indonesia telah beralih dengan semakin masuknya pengaruh Barat di Indonesia sehingga mendorong semakin tumbuhnya semangat nasional Indonesia di dalamnya . Keadaan ini semakin jelas memasuki abad ke-19 sebab pada abad itu sistem kolonial telah menyusup ke daerahdaerah Indonesia . Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada kehidupan penduduk Indonesia pada abad ke-19 . Daendels, Raffles dan Van den Bosch dapat disebut tokoh-tokoh kolonial yang membawa dasardasar perubahan dalam masyarakat Indonesia pada belahan pertama abad ke-19 . Struktur sosial yang berdasarkan kekerabatan di kepulauan Indonesia semakin diguncang oleh sistem birokrasi kolonial . Pendidikan modern yang dirintis untuk memacu kepentingan kolonial itu membawa pengaruh didalamnya . Dalam hubungan ini, daerah-daerah di Jawa dan Sumatera telah
162
lebih dahuluberkembang di bawah pemerintah Hindia-Belanda dibandingkan dengan daerah di Iuarnya . Maka dari itu, atas kepentingan sistem kolonial beberapa kerabat raja dapat saja ditetapkan kembali asal mereka dipandang loyal kepada kekuasaan kolonial . Sebaliknya, sering terjadi bahwa seorang turunan yang dipandang berhak oleh sistem kerajaan, atau kesukuan diganti semuanya apabila dipandang berbahaya bagi kepentingan jajahannya . Keadaan ini terjadi di dalam maupun daerah-daerah luar Jawa dengan menerapkan sistem apa yang dikenal dengan akte pengesahan oleh pemerintah Hindia-Belanda, suatu daerah yang sering menimbulkan konflik di kalangan kerabat penguasa tradisional . Ini berarti bahwa secara struktural masyarakat asli Indonesia telah diganggu oleh elemen dari luar . Pada abad ke-19 berbagai unsur luar telah meresap ke dalam sistem masyarakat Indonesia (untuk menyebut wilayah yang dikenal sebagai Hindia-Belanda pada masa itu) terutama di Jawa (Parimartha, 1996 : 2-3) . Menurut Van Neil (1984), keadaan ini sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan politik di negeri Belanda, yang sesudah diterapkannya sistem tanam paksa di Jawa memandang perlu membuka Indonesia untuk para pengusahan asing . Demikian sekitar tahun 1870 kebijakan politik kolonial Belanda terhadap Indonesia dikenal sebagai politik liberal, mulai membuka kesempatan kepada masuknya modal swasta di Indonesia . Pendidikan secara barat pun sudah diberikan, paling tidak sejak sekitar pertengahan abad ke-19, memberikan pendidikan terutama pada kelompok elite intelektual Indonesia . Hal ini dimaksudkan untuk mendidik calon-calon pegawai pemerintah jajahan (juru tulis, pamong praja), dan mempengaruhi para elite Indonesia (awalnya di Jawa) untuk memahami tradisi di Barat (Van Neil, 1984 : 44-45) . Pembangunan pada sektor ekonomi tampak meningkat, namun kesejahteraan penduduk menurun disebabkan keuntungan besar masuk kepada para pemilik modal asing itu . Juga kelompok yang sebelumnya dapat disebut sebagai golongan menengah (para pendatang pribumi) seperti Jawa, Melayu, Bugis, Makassar merosot peran-
Humaniora Volume Xll, No . 2/2000
Bambang Dharwiyanto Putro annya dari kelas yang dikontrol dalam perdagangan . Sementara itu, pada awal abad ke-20 muncul apa yang dikenal dengan "politik etis'tlari pemerintah Hindia-Belanda dalam mengatasi apa yang dipandang merugikan bangsa Indonesia dan nama balk pemerintah jajahan . Gerakan Etis ini juga dipengaruhi oleh keadaan politik di negeri Belanda yang sesudah tahun 1900 kelompok liberal tidak lagi memegang komando . tetapi kini dipegang oleh kelompok yang ingin menerapkan prinsip-prinsip agama Kristen . Disini pertimbangan Humanis bertemu dengan kepentingan-kepentingan industri, memunculkan suatu politik ekonomi baru di negeri jajahan. Pidato tahunan Ratu Belanda (Sepetember 1901) memberikan perhatian akan perlunya kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral pada negeri induk terhadap penduduk Hindia-Belanda (Van Neil . 1984 : 50-51) . Tahun ini kemudian dipandang sebagai detik dimulainya "Politik Etis" clan pemerintah Hindia-Belanda . Namun gerakan etis yang mencita-citakan dibelanya aspek kemanusiaan pada bangsa Indonesia dari cengkeraman sistem liberal tidak dapat dicapai secara nyata karena adanya konsep-konsep yang menjerumuskan, yang kerapkali dipakai dalam melukiskan hubungan-hubungan sosial di HindiaBelanda (seperti : unifikasi, asosiasi . asimilasr) yang pada dasarnya menginginkan adanya hubungan yang terus-menerus antara negeri induk dengan penduduk di daerah jajahan . W . F Wertheim (1956) melihat bahwa di kalangan bangsa Indonesia, perkembangan pendidikan modern dan masuknya ide-ide baru (partai politik, sistem demokrasi model Barat, sistem ekonomi kolonial) adalah model yang berkembang pada masa itu . Kini pola ekonomu bergeser dan digiring clan tujuan memenuhi kebutuhan sendiri kepada motivasi untuk memenuhi kepentingan pasar Eropa yang dikontrol oleh para pemilik modal bekerja sama dengan kekuasaan kolonial . Modal tertanam pada bidang-bidang perkebunan dan pertambangan yang ada di Jawa dan Sumatera yang memberikan tempat kepada Indonesia sebagal pemasok bahan mentah yang dibutuhkan pada industri-industri di Eropa dan Amerika . Maka dari itu, sistem dan
Humaniora Volume XII . No. 2/2000
perkembangan ini mempengaruhi pula struktur sosial yang ada, mendorong sifat hubungan kekerabatan semakin longgar, k$pala-kepada pribumi dipegang atau dikuasai oleh kekuasaan Eropa, membuat struktur politik di Indonesia semakin berubah yang memberikan tempat Iebih leluasa kepada elemen Eropa . Dalam bidang ekonomi orang-orang Timur Asing dapat dikelompokkan ke dalam golongan di atas kelomp0k pribumi yang tumbuh menjadi kelas rnenengah, yang peranannya penting sebagai perantara antara penguasa pribumi tan Eropa . Di pihak lain penduduk asli Indonesia jatuh kedalam situasi yang meniempatkan mereka sebagai golongan kelas tiga di bawah orang Timur Asing . Kemudian rmenipisnya rasa hubungan kekerabatan (terutama pada golongan terpelajar) bersama-sama membawa sifat hubungan yang baru yang dijiwai oleh semangat kebersamaan pada tingkat yang lebih luas, yaitu semangat nasional yang semakin tumbuh di kalangan bangsa Indonesia . Hal ini muncul terutama karena merasakan adanya tekanan yang sama oleh kekuasaan kolonial yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai golongan masyarakat kelas bawah di negerinya sendiri, yang hanya penting bagi pengerahan tenaga untuk menghasilkan bahan-bahan mentah bagi keperluan pasar Eropa (Wertheim, 1956) . Rasa kebersamaan di kalangan masyarakat Indonesia muncul dan pertama-tama terorganisasi lewat perkumpulan Budi Uto-no (1908) . Tahun tersebut kemudian diteapkan sebagai tahun pergerakan nasional, maskipun dapat dimengerti bahwa sifat hasionalnya terbatas (di kalangan pemuda ~Jawa) . Namun, sebagai organisasi modern yang pertama-tama patut diakui, yang me'nurut Van Neil bahwa kebangkitan Budi Utomo juga merupakan kebangkitan Indonesia pada tingkat awal, yang untuk selanjutnya berkembang menuju cita-cita nasional Indonesia secara Iuas . Yang membuat Budi Utomo merupakan suatu ciptaan baru ialah bahwa is adalah suatu organisasi Indonesia terutama yang mengikuti garisgaris Barat (Van Neil, 1984 : 82) . Karena itu, munculnya organisasi ini dapat dilihat pula sebagal bangkitnya kaum intelektual muda Indonesia yang pertama, yang dengan cara-cara Barat ingin memajukan ke-
163
Bambang Dharwiyanto Putro hidupan bangsa Indonesia . Hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam cara berpikir di kalangan penduduk Indonesia dengan semangat nasional sebagai antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur masyarakat pada waktu itu . Semangat dalam gerakan nasional ini kemudian meluas kepada segenap kelompok penduduk Indonesia, membentuk suatu wadah yang mengarah kepada semakin terorganisasinya kekuatan banngsa Indonesia sejajar dengan lingkungan kontrol pemerintah Hindia-Belanda sebagai jawaban atas penderitaan bersama di bawah kekuasaan kolonial . Mc . Turnan Kahin dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1970), menyebutkan bahwa batas-batas politik di Hindia-Belanda menambahkan kesadaran nasional dan garis batas yang sewenang-wenang . yang menggambarkan wilayah kontrol politik Hindia-Belanda adalah menetukan dalam penetapan batasbatas Indonesia (Kahin . 1970 : 37) . Lebih lanjut Wertheim (1956)menyebutkan bahwa setelah Budi Utomo kemudian bermunculan perkumpulan atau partai-partai yang mempunyai cita-cita untuk mengakhiri kekuasan Belanda di Indonesia . Sebelum PD I suatu pernyataan yang sungguh-sungguh nasionalis dimunculkan oleh seorang Eropa . E .E . Douwes Dekker bekerja lama dengan beberapa pemuda Indonesia . Kelompok ini mendirikan sebuah perkumpulan yang disebut lndische Partij tahun 1912 yang secara berani mengemukakan tujuannya untuk kemerdekaan Indonesia . Karena itu partai ini dilarang oleh pemerintah jajahan (Wertheim . 1956 : 58) . Seturut hal tersebut . John Ingleson (1983) menyebutkan bahwa pemuda Indonesia yang belajar di negeri Belanda juga muncul kesadarannya untuk mengembangkan semangat nasional dikalangan mereka . Awalnya mereka tergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia yang disebut lndische Vereeniging . Organisasi ini didirikan tahun 1908 sebagai wadah kegiatan sosial dan kebudayaan dari mahasiswa Indonesia . Pada tahun 1925 organisasi ini tidak lagi banyak berperan pada masalah sosial budaya . tetapi lebih mengutamakan pada masalah politik . Sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia,
16=4
mereka lalu meberi nama organisasinya Perhimpunan Indonesia (PI) dan memberi nama Indonesia Merdeka pada majalah mereka (Ingleson, 1983 : 2) . Mahasiswa di negeri Belanda ini juga tampak ikut mendorong semangat nasionalisme yang sedang tumbuh di Indonesia . Dengan adanya kesadaran nasional ini, selanjutnya di Indonesia munul perkumpulan atau organisasi-organisasi social politik yang memebrikan semangat untuk berkumpul bersama, mewujudkan kesatuan dengan mengesampingkan perbedaan kesukuan atau kedaerahan yang ada di antara mereka . Semangat nasional ini semakin dirasa penting artinya untuk menghadapi tekanan kolonial yang semakin berat pada masa itu . Demikianlah muncul partai-partai politik yang mencitacitakan Indonesia Merdeka . Di Indonesia, kesadaran perlunya kelompok intelektual adalah sejak dasa warsa pertama abad ke-20, yang dari tumbuhnya tradisi intelektual modern . Pada tahun 1930, Bung Karno menyampaikan pidatonya yang terkenal dalam sidang pengadilan atas dirinya di Bandung, yang mengutuk penghisapan dan membela demokrasi dan keadilan social (Alatas, 1988 : 8) . Jadi, gerakan-gerakan kemerdekaan sudah berbuat banyak dalam rangkam menumbuhkan intelektual modern bangsa Indonesia . Selanjutnya, setelah proses pembangunan berencana hampir dua dasa warsa di Indonesia, lembaga-Iembaga politik, ekonomi dan social budaya makin mapan . Akan tetapi, proses kemampuan kelembagaan telah banyak mengubah situasi dan sangat mempengaruhi peranan golongan sarjana dan terpelajar. Golongan inilah yang disebut sebagai kelas baru yang sudah muncul sejak awak kemerdekaan . Dalam hubungan tersebut Dawam Rahardjo (1995) membagi kelas baru di Indonesia menjadi dua golongan . Perama, intelektual dan kedua, Intelegensia . Adapun yang dimaksud dengan golongan intelektual adalah golongan terpelajar yang sekolahan ataupun yang bukan (termasuk dropauts), yang peranannya tidak selaluberkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang dikuasai . Yang Iebih penting mereka berperan sebagai kritikus sosial, bersikap emansipatoris atau liberatif, berpola piker yang hermeneutis dan kerap kali bersifat
Humaniora Volume Xll . No . 2/2000
Bambang Dharwiyanto politis walaupun belum tentu seorang politikus atau kadang-kadang malah seringkali bukan . Mereka adalah golongan yang merasa dirinya bebas . Sementara itu, golongan kedua adalah kaum terpelajar yang kepentingan utamanya adalah penggunaan disiplin ilmunya secara profesional . Oleh karena itu, peranan yang mereka jalankan berkaitan erat dengan ilmu yang mereka peajari di sekolah atau profesi yang mereka kuasai . Golongan terpelajar atau katakanlan golongan intelegensia, sebelum berkuasa, mereka tampil dalam berbagai posisi dan peranan . Sebelum berkuasa mereka dapat berperan sebagai intelektual yang bebas, tetapi setelah berkuasa mereka berperan sebagai kelas penguasa. Sesudah Orde Baru, munculbentuk peranan baru yaitu sebagai teknokrat . Mereka memang termasuk berkuasa juga, artinya menjadi anggota pengambil keputusan . tetapi sebenarnya mereka bereksistensi dalam kerangka kekuasaan yang lebih tinggi, kepada siapa mereka tunduk . Sehubungan dengan hal tersebut . timbulnya golongan terpelajar sebagai elite baru dan kelas baru pada akhirnya membutuhkan peranan golongan intelektual bebas (Rahardjom, 1993 : 69-71) . Bagaimanakan peranan yang diharapkan clan para elite intelektual dalam pembangunan masa kini di Indonesia, dan bagaimanakah pula adanya kenyataan fenomena keterlibatan kaum elite intelektual dalam struktur kekuasaan dewasa ini, dibahas berikut dbawah ini . 3. Peranan Yang Diharapkan Para Elite Intelektual Dalam Konteks Pembangunan Masa Kini Keberhasilan peranan elite intelekual dalam pelaksanaan pembangunan tidak bias dilepaskan clan dukungan orientasi nilai budaya masyarakat . Dalam hal ini, kaum intelektual itu harus bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan orientasi nilai budaya yang mendukung pembangunan Indonesia . Sesuai dengan hal tersebut, Dawam Rahardjo menyebutkan ada tiga hal yang diharapkan terjadi dan perlu dilakukan oleh golongan intelektual . Pertama, memperluas pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa yang memperkuat peranan
Humaniora Volume Xli . No. 2/2000
Putro
golongan terpelajar dalam perubahan kemasyarakatan dan pemerintahan . Kedua, dewasa ini perlu ditumbuhkan kembali idealisme di kalangan calon intelegensia . Ketiga, memperluas bentuk-bentuk pengabdian profesionalisme (Rahardjo, 1995 : 71) . Supaya uraian lebih bersifat sistematis, bagian-bagian tersebut secara berurutan di,jelaskan dibawah ini sebagai berikut . Memperluas Pendidikan dan Pencerdasan Kehidupan Bangsa Sesuai dengan harapan dan realitas yang ada di Indonesia, peranan golongan elte intelektual juga memegang peranan yang sangat penting untuk memperluas pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa . Adapaun yang mendadari pernyataan ini yaitu posisi golongan intelektual di Indonesia sangat strategis . Dengan demikian, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk memecahkan masalah pendidikan itu . Pertama, golongan elite intelektual itu diharapkan mampu menjadi motivator untuk mendirikan sarana dan prasarana dalam jumlah yang Iebih banyak . Langkah yang bisa ditempuh untuk mencapai harapan ini adalah membentuk yayasan-yayasan yang beorientasi pada pendidikan . Kita telah mepyadari bersama bahwa yayasan-yayasan sepertiini sesungguhnya sudah ada dan berfungsi di Indonesia, tetapi sebagian besar diantaranya Iebih menonjolkan orientasi bisnisnya daripada orientasi ilmiahnya sehingga hanya orang-orang tertentu yang dapat menyekolahkn anak-anaknya di swasta . Jadi, anak-anak yang kurang berada, apabila tidak mampu bersaing untuk dapat melanjutkan di sekolah negeri, mereka terpaksa harus berhenti dari sekolah ikarena tidak mampu membayarnya . Di sisi lain, tampak bahwa pembangunan sarana dan prasarana pendidikan belum merata di seluruh wilayah Indonesia . Wacana seperti ini (pemerataan pendidikan) relatif banyak kita dengar dan muncul di daerah-daerah wilayah Indonesia. Kedua, menyadari adanya permasalahan tersebut, maka golongan elite intelektual hendaknya dapat mengamati secara cermat mengenai kebutuhan masyarakat akan pendidikan, kemudian permasalahan itu
165
Bambang Dharwiyanto Putro disampaikan kepada pemerintah untuk dipecahkan bersama-sama secara bijaksana . Dalam hal ini pemerintah hendaknya menerima kenyataan itu dengan lapang dada atau terbuka demi kecerdasan kehidupan bangsa . Untuk itu, pembangunan lembaga pendidikan harus merata di seluruh daerah Indonesia, sesuai dengan kebutuhannya . Ketiga, peranan golongan elite intelektual untuk mengevaluasi keadaan pendidikan yang sedang berlangsung yaitu mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan selanjutnya . Di sinilah juga rnenjadi peranan sentral dari kaum intelektual dalam upaya memperbaiki keadaan keadaan pendidikan sebelumnya sehingga pihak pemerintah dan swasta yang berkecimpung dalam pendidikan dapat membenahi Kekurangan-kekurangannya . kemudian menyusun program yang Iebih tepat . Dalam hubungan tersebut, Anderson (1984) mencatat bahwa dengan adanya kerja sama yang balk antara pihak intelektual . pemerintah dan swasta dalam rangka memperluas pendidikan . kecerdasan kehidupan bangsa akan lebih cepat dapat dicapai seperti yang diharapkan (Anderson . 1984 16) . Menumbuhkan Idealisme Kaum Intelegensia Golongan elite intelektual hendaknya dapat menumbuhkan kembali idealisme di kalangan calon intelegensia, terutama untuk mengabdi kepada sector kemasyarakatan . guna memperkuat civil society dan mengimbangi kekuatan birokrasi (Rahardjo, 1993 : 71) . Hal ini berarti bahwa peranan kaum intelektual secara dini telah dituntut untuk memotivasi calon-calon intelegensia untuk memupuk rasa cinta kepada masyarakat dan wilayah Republik Indonesia . Ada baberapa pertimbangan mengapa peranan kaum intelektual sangat penting . Hal itu karena adanya rasa keengganan di kalangan calon-calon intelegensia untuk membuat usaha sendiri yang Iebih bersifat berderma kepada masyarakat . Fenomena ini sesuai dengan pendapat Durkheim bahwa pada masyarakat yang semakin modern, rasa individunya akan semakin meningkat . Sebaliknya, rasa kesadaran akan kelompoknya semakin rendah (Koentjara-
106
ningrat, 1980 : 90-92) . Gejala inilah jauh sebelumnya perlu diantisipasi sehingga calon-calon intelegensia itu nantinya tetap memiliki rasa ketergantungan sesama manusia dan hidup selaras dengan sesamanya . Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang lebih tepat untuk membimbingnya, baik secara formal ditempuh melalui jalurjalur kelembagaannya maupun secara nonformal ditempuh melalui kekeluargaan . Dengan adanya rasa cinta kepada masyarakat dan tanah air, maka kaum intelegensia ini diharapkan menjadi agen pembaharu dalam masyarakat . Menurut Rogers dan Shoemaker (1987) agen pembaharu adalah pekerja professional yang berusaha mempengaruhi atau mengarahkan keputusan inovasi orang lain selaras dengan yang diinginkan oleh lembaga pembaharuan tempat is bekerja atau menjadi anak buahnya . Untuk itu, ada beberapa peranan yang perlu disosialisasikan kepada agen pembaharu itu dalam memperkenalkan inovasi pada kliennya nanti, yaitu membangkitkan kebutuhan untuk berubah, mengadakan hubungan untuk perubahan, mendiagnosis masalah, mendorong atau menciptakan motivasi untuk berubah, serta merencanakan tindakan pembaharuan (Rogers dan Shoemaker, 1987 : 97-100) . Memperluas Bentuk-bentuk Pengabdian Profesionalisme Melalui pengabdian profesionalisme, maka masyarakat diharapkan mendapatkan sesuatu yang berguna baginya . Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki suatu profesi dianjurkan untuk mengadakan suatu pengabdian . Jadi, antara golongan elite intelektual seharusnya mengadakan koordinasi dengan orang-orang professional dalam rangka memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Adapun bentukbentuk pengabdian profesionalisme dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan . antara lain : ceramah, penyuluhan, temu wicara dan lain-lain . Di samping itu, pelaksanaannya dilakukan dapat melaui dialog, media massa atau terjun langsung ke lapangan, dan sebagainya . Dalarn kaitan tersebut perlu adanya kerja sama yang baik antara golongan elite intelektual dengan kaurn professional .
Humaniora Volume Xll . No . 2/2000
Bambang Dharwiyanto Putro 4 . Fenomena Peranan Elite Intelektual Indonesia Masa Kini Sebelum menjelaskan lebih lanjut subbahasan ini, ada baiknya kita simak dan perhatikan bersama argumentasi Grammsci dalam Rogers Simon (1999) yang menyatakan bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja . Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa, atau dalam bahasa yang lunak dapat dikatakan bahwa kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforment. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh dan/atau atas nama lembaga hukum . militer, polisi, bahkan penjara . Perangkat kerja yang kedua adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat banyak beserta dengan pranata-pranatanya untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama . pendidikan, kesenian, dan keluarga . Karena perangkat kerja yang pertama biasanya dilakukan oleh pranata negara atau state dan perangkat kerja yang kedua dilakukan oleh masyarakat sipil atau civil society, maka tidak mengherankan jika kedua istilah ini . State dan Civil Society, ikut-ikutan menjadi popularitas konsep hegemoni itu sendiri . Lebih jauh dikatakan oleh Gramsci bahwa bila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuatan memaksa, hasil nyata yang berhasil dicapai dinamakan dominasi.Stabilitas dan keamananmemang tercipta, sementara gejolak perlawanan tidak terlihat karena memang rakyat tidak berdaya . Yang membangkang dihajar, yang tidak setuju dengan pemerintah dikucilkan, diasingkan, dipenjarakan, atau bahkan dibungkam . Modus pembungkaman, jika apa yang dilakukan oleh rezim Orde Baru boleh dijadikan contoh, dapat berupa penganiayaan, pengamanan oleh pihak yang berwajib, penculikan dan seribu satu macam tuduhan lainnya seperti tuduhan subversif, impamanya! Tindakan memaksa semacam ini mutlak diperlukan oleh penguasa, dalam artian memang harus dan perlu dilakukan, hanya sayangnya dan perlu diingat hal ini tidak dapat dilakukan terus-menerus . Karenanya, para penguasa yang benar-benar sangat
Humantora Volume Xll. No. 2/2000
ingin melestarika kekuasaannya dan menyadari keadaan ini, akan benar-benar sangat ingin melestarikan kekuasaannya dan menyadari keadaan ini akan melengkapi dominasi (bahkan secara perlahan-lahan kalau perlu menggantikannya) dengan perangkat kerja yang kedua yang hasil akhirnya lebih dikenal dengan sebutan hegemoni.
Fungsi utama hegemoni adalah mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan social (yang mungkin muncul) yang diakibatkan oleh kekuasaan ini sendiri . Bila hegemoni berhasil dicapai, penguasa tidak perlu terus menerus menindas dengan tindakan kekerasan karena masyarakat mulai bersikap pasrah pada status quo. Mereka terbujuk untuk tidak lagi melihat adanya ketimpangan yang merugikan diri mereka, atau mereka melihat bahwa ketimpangan yang ada sebagai sesuatu hal yang wajar, alamiah, bahkan adil keran sesuai dengan kehendak Yang Di Atas Sana . Lebih jauh Gramsci mengatakan bahwa meskipun seperti itu, hegemoni ternyata 'juga memberikan toleransi bagi perbedaan dan bahkan perlawanan, sejauh perlawanan tersebut dalam batas tertentudan tetap dalam kendali sang penguasa . Pada masyarakat yang sudah mapan, hegemoni bahkan dapat sedemikian hebatnya, sampai-sampai rakyat tunduk pada penguasa tanpa penguasa perlu melakukan tindak sensor, memperkuat pasukan anti huruhara, maupun tindakan-tindakan represif lainnya (Ingat masa-masa jaya ore baru) . Atau dengan kata lain, yang tertindas merasa bahagia dalam ketertindasannya sehingga mereka tidak lagi perlu melakukan bantahan apalagi perlawanan . Dewasa ini fenomena yang menonjol dari peranan kaum intelektual adalah keterlibatan mereka dalam struktur kekuasaan. Realitas tersebut melahirkan permasalahan yang cukup dilematis, apakah mereka dapat memanfaatkan kemampuan intelektualitas dan kedudukan politisnya demi kesejahteraan masyarakat banyak? Ataukah sebaliknya, mereka lebih membela kepentingan kelompok politik (partai) dan/atau negara (pemerintah) mengingat sebagain dari mereka berasal dari lingkungan akademik yang tergabung dalam partai-partai politik, dan ada beberapa dari
167
Bambang Dhartuiyanto Putro kalangan akademisi (kampus) dan kaum professional . Relevan dengan hal tersebut diatas, Ade Ma'ruf dan Anas Sahrul Alimi (1999) dalam salah satu tulisannya Pilihan Politik Kaum lntelektual, mengemukakan dua asumsi aokok terkai dengan permasalahan tersebut . Pertama, kekuasaan politik mempunyai daya tarik yang kuat dan seringkali mengingkari hakikat nalar intelektualitas . Dlam masalah politik . inkonsistensi sikap telah menjadi suatu kelaziman sehingga mereduksi integritas seseorang, tidak terkecuali kaum elite intelektual yang terlibat di dalamnya . Kedua . akumulasi ilmu pengetahuan dalam suatu wilayah kekuasaan (seperti yang nampak dalam suatu komposisi kabinet) bias memunculkan otoritarianisme rasio lewat tangan negara . Sekumpulan orang intelektual yang memegang kekuasaan belum bisa dipastikan akan memerintah secara arif . Persekutuan ilmu pengetahuan dan politik seringkali diselewengkan untuk tujuan-tujuan pragmatis kekuasaan . Lebih lanjut Noam Chomsky (1966) dalam The Responsibility of Intellectual. menyatakan kaum intelektual itu berada dalam posisi untuk mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab . rnotif . serta maksud-maksud yang sering tersembunyi di sana . Terkai hal tersebut, disini Chomsky ingin menunjukkan kepada kita bahwa kaum intelektual yang mendukung kekuasaan yang didalamnya ikut memproduksi kejahatan-kejahatan politis, konspirasi ekonomi dan ketidakadilan hukum, bukanlah intelektual sejati . Sebaliknya, kaum elite intelektual yang menunjukkan serta berperan untuk menyuarakan kebenaran dan menguak kebohongankebohongan adalah kaum intelektual yang sesungguhnya . Mengenai hal tersebut, Immanuel Kant telah mengkritisi bangunan keilmuan manusia dalam buku Kritik der Reinen Vernunft seperti yang dikutip oleh Ma'ruf dan Anas Sahrul . bahwa harus ada penjelasan dimana sebenarnya wilayah rasionalisme, di mana wilayah empirisme dalam pengalaman manusia, dan di mana pula wilayah ketertumpangtindihan antara interpendensi (ketergantungan) antara keduanya .
168
Akan tetapi, persoalannya akan menjadi semakin rumit, ketika mereka tidak bias memelihara kepentingan pengembangan ilmu dan masyarakat dengan garis kebijakan kekuasaan politik yang digelutinya, yang pada gilirannya akan berimplikasi pada suatu keadaan kebisuan kaum elite intelektual di hadapan kekuasaan yang sekaligus juga merupakan hipokrasil terhadap hakikat dirinya dan kepentingan masyarakat banyak . Ketika tugasnya, sebagai pemilik rasionalitas positif agen masyarakat, dan makhluk yang beradab . Hal ini adalah suatu kesalahan serta ancaman terbesar terhadap kehidupan intelektual yang berdampingan dengan kekuasaan politik harus berusaha menempatkan dirinya secara obyektif (memihak pada kebenaran) dan netral (berkeadilan) demi kepentingan masyarakat banyak . 5 . Penutup Sebagai penutup dari tulisan ini . pada akhirnya kaum intelektual haruslah mengembangkan sifat kritis, yang berlandaskan pada kebenaran dan keadilan . Dengan mengcu pada tipologi posisi intelektual dari Antonio Gramsci seperti telah dijelaskan pada awal pendahuluan tulisan ini . yang menjadi persoalan sekarang adalah tipe intelektual manakah yang hendak lebih dikembangkan? Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan ini, lebih-lebih apabila hendak menjatuhkan pilihan tersebut semata-mata didasarkan pada "harapan" dan bukannya pada "kenyataan . Frase "lebih dikembangkari" penting untuk disertakan karena dalam kenyataannya semua tipe intelektual yang disebut oleh Gramsci ada dan diperlukan dalam masyarakat . Akan tetapi, mana yang harus lebih banyak, inilah yang perlu dibicarakan lebih jauh . DAFTAR PUSTAKA Alatas, Syed Hussein, 1988, Intelektual Masyarakat Berkembang, Jakarta: LP3ES Anderson, C . Arnold . 1984, "Modernisasi Pendidikan", dalam Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Myron Wei-
Humaniora Volume Xll . No. 2'2000
Bambang Dharu 4yanto Putro ner, Yogyakarta : Press .
Gadjah
Mada
Ingleson . John . 1983, Jalan ke Pengasingan. Pergerakan Indonesia tahun 1927-1934 . Jakarta : LP3ES .
Parimartha, I Gde . 1996, Historisitas Pengakuan Kedaulatan : Sebuah Analisis Struktural . Makalah Seminar Nasional Sejarah Pengakuan Kedaulatan RI, Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana .
Kahin . Mc . Turnan . 1970, Nationalism and revolution in Indonesia, Ithaca/ London : Cornel University Press .
Rahardjo, M . Dawam . 1993, Intelktual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Yogyakarta : Penerbit Mizan .
Koentjaraningrat . 1980, Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI . Press .
Rogers, Everett M, dan Shoemaker, F . Floyd . 1987, Memasyarakatkan Ideide Baru. Disarikan oleh Abdullah hanafi, Surabaya : Penerbit Usaha Nasional .
Keller, Suzanne . 1995 . Penguasa dan Kelompok Elite Penentu dalam Masyarakat Modern . Kata Pengantar Selo Soemarjan . Diterbitkan untuk Yayasan Ilmu-ilmu Sosial . Jakarta : PT . Raja Grafindo . Ma'ruf . Ade dan Sahrul Alimi . Anas . 1999 . Pilihan Politik Kaum Intelektual . Artikel pada Harian Bernas .
Simon, Rogers . 1999, Gagasan-gagasn Politik Gramsci . Yogyakarta : Pustaka Pelajar . Werthheim, W . F . 1956, Indonesia Society in Transition : a Study of Social Change. Bandung : Sumur bandung .
Neil . Robert Van . 1984 . MunculnyaElite Modern Indonesia . Yogyakarta : Penerbit Mizan .
Humaniora Volume X11 . No . 2/2000
169