ISSN: 1907-6967
METODIK DIDAKTIK Jurnal Pendidikan Ke-SD-an Vol.13, No.1, Juli 2017 PENERAPAN MODEL SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS V DI SEKOLAH DASAR Suko Pratomo, Tati Sumiati, Risqa Mursilah MENUMBUHKAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI ATIKAN PURWAKARTA PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Hayani Wulandari PENERAPAN METODE EKSPERIMEN TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS V PADA MATERI GAYA DAN PEMANFAATANNYA Yuyu Hendawati, Cici Kurniati PENERAPAN MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS IV SDN DAWUAN TIMUR II Gina Sonia, Sofyan Iskandar, Srie Mulyani PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI GERAK DALAM PEMBELAJARAN IPA SEKOLAH DASAR Lia Yulindaria, Isah Cahyani PENGARUH PENDEKATAN CONCRETE-PICTORIAL-ABSTRACT(CPA) TERHADAP PENCAPAIAN KEMAMPUAN SPATIAL SENSE (KSS) SISWA SD Hafiziani Eka Putri, Ratna Julianti, Nahrowi Adjie, Nur Endah Suryani PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL IPS SISWA SEKOLAH DASAR Rina Siti Rohmah, Suhaedah, Srie Mulyani PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SD DALAM PEMBELAJARAN IPA Ani Rosani, Idat Muqodas, Suci Utami Putri
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA KAMPUS PURWAKARTA
SUSUNAN PERSONALIA “METODIK DIDAKTIK”: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an Pelindung Direktur UPI Kampus Purwakarta Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta
Penanggung Jawab Drs. Mamad Kasmad, M.Pd. (Ketua Program Studi PGSD UPI Kampus Purwakarta)
Ketua Dewan Redaksi Dr. H. Agus Muharam, M.Pd. (Wakil Direktur UPI Kampus Purwakarta)
Mitra Bestari Dr. Yumiati, M.Si. (Universitas Terbuka) Dr. A. Gumawang Jati, M.A. (Institute Tekhnologi Bandung) Dr. Mamat Ruhimat, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia) Dr. Nur Arifah Drajati, M.Pd. (Universitas Negeri Surakarta) Dr. Vismaia S. Damaianti, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia) Dr. Suci Utami Putri, M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia) Indah Nurmahanani, S.S., M.Pd. (Universitas Pendidikan Indonesia) Dr. Azizah Abdullah (Universiti Utara Malaysia)
Penyunting Pelaksana Dr. Hafiziani Eka Putri, M.Pd. (Ketua) Finita Dewi, S.S., M.A. (Wakil Ketua) Suprih Widodo, S.Si., M.T. (Anggota) Idat Muqodas, M.Pd. (Anggota) Hayani Wulandari, M.Pd. (Anggota)
Tata Usaha Siti Aisyah, S.Sos
Alamat Redaksi/Distributor UPI Kampus Purwakarta Jl. Veteran no. 8 Purwakarta Jawa Barat Telp. (0264) 200395
ISSN: 1907-6967
METODIK DIDAKTIK Jurnal Pendidikan Ke-SD-an Vol.13, No.1, Juli 2017 DAFTAR ISI Halaman PENERAPAN MODEL SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS V DI SEKOLAH DASAR Suko Pratomo, Tati Sumiati, Risqa Mursilah
(1-13)
MENUMBUHKAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI ATIKAN PURWAKARTA PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Hayani Wulandari
(8-14)
PENERAPAN METODE EKSPERIMEN TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS V PADA MATERI GAYA DAN PEMANFAATANNYA Yuyu Hendawati, Cici Kurniati
(15-25)
PENERAPAN MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS IV SDN DAWUAN TIMUR II Gina Sonia, Sofyan Iskandar, Srie Mulyani
(26-32)
PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI GERAK DALAM PEMBELAJARAN IPA SEKOLAH DASAR Lia Yulindaria, Isah Cahyani
(33-41)
PENGARUH PENDEKATAN CONCRETE-PICTORIAL-ABSTRACT(CPA) TERHADAP PENCAPAIAN KEMAMPUAN SPATIAL SENSE (KSS) SISWA SD Hafiziani Eka Putri, Ratna Julianti, Nahrowi Adjie, Nur Endah Suryani
(42-52)
PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL IPS SISWA SEKOLAH DASAR Rina Siti Rohmah, Suhaedah, Srie Mulyani
(53-59)
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SD DALAM PEMBELAJARAN IPA Ani Rosani, Idat Muqodas, Suci Utami Putri
(60-68)
PRAKATA Puji dan syukur dipanjatkan kepada yang Mahagafur, Allah ‘Azza wa Jalla karena berkat rahmat dan ridla-Nya, METODIK DIDAKTIK: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an yang berisi hasil penelitian atau hasil pengkajian yang setara penelitian edisi Juli 2017 ini yakni Volume 12 Nomor 2 dapat diterbitkan. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada uswatun hasanatun, Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat, hingga kita sebagai umatnya yang baik. Pada edisi kali ini, kami sajikan tujuh buah artikel yakni Kajian tentang PENERAPAN MODEL SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS V DI SEKOLAH DASAR (Suko Pratomo, Tati Sumiati, Risqa Mursilah), MENUMBUHKAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI ATIKAN PURWAKARTA PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (Hayani Wulandari), PENERAPAN METODE EKSPERIMEN TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS V PADA MATERI GAYA DAN PEMANFAATANNYA (Yuyu Hendawati, Cici Kurniati), PENERAPAN MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS IV SDN DAWUAN TIMUR II (Gina Sonia, Sofyan Iskandar, Srie Mulyani), PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI GERAK DALAM PEMBELAJARAN IPA SEKOLAH DASAR (Lia Yulindaria, Isah Cahyani), PENGARUH PENDEKATAN CONCRETE-PICTORIAL-ABSTRACT(CPA) TERHADAP PENCAPAIAN KEMAMPUAN SPATIAL SENSE (KSS) SISWA SD (Hafiziani Eka Putri, Ratna Julianti, Nahrowi Adjie, Nur Endah Suryani), PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL IPS SISWA SEKOLAH DASAR (Rina Siti Rohmah, Suhaedah, Srie Mulyani), PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SD DALAM PEMBELAJARAN IPA (Ani Rosani, Idat Muqodas, Suci Utami Putri). Tidak lupa, Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih dan pengharagaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Direktur dan Sekertaris Direktur UPI Kampus Purwakarta yang telah merestui penerbitan jurnal ini. 2. Ketua Program Studi PGSD UPI Kampus Purwakarta yang telah membimbing dan mendorong terbitnya jurnal ini. 3. Para penulis artikel baik yang dimuat maupun yang tidak, dan 4. Rekan-rekan civitas akademika UPI Kampus Purwakarta yang telah membantu penerbitan jurnal ini. Akhir kata, mudah-mudahan apa yang disajikan pada jurnal edisi ini dapat bermanfaat bagi civitas pendidikan pada umumnya dan penulis pada khususnya. Purwakarta, Januari 2017
Dewan Redaksi
Ketentuan Penulisan Artikel 1. Artikel harus bertemakan permasalahan seputar pengajaran ke-SD-an, metode penelitian, keterampilan guru SD, atau keterampilan yang menunjang calon guru SD. 2. Artikel diangkat atau didasarkan pada hasil penelitian atau hasil pengjadian yang setara dengan penelitian 3. Artikel haruslah naskah asli dan belum pernah di muat dalam media apapun. 4. Artikel ditulis dengan menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar atau bahasa inggris. 5. Artikel ditulis menggunakan word processing dengan ketentuan; jarak 1 spasi, jenis huruf “Arial” ukuran 11, dan maksimal artikel 20 halaman. 6. Artikel dikirim sebanyak dua rangkap dalam bentuk hard copy (print out) dan soft copy dikirimkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum penerbitan (Januari dan Juli) Kepada Tim Redaksi METODIK DIDAKTIK: Jurnal Pendidikan KeSD-an dengan alamat UPI Kampus Purwakarta Jln. Veteran No 8 Purwakarta, Tlp. (0264) 200395. 7. Setiap naskah yang masuk akan dikaji terlebih dahulu oleh tim penyunting ahli yang memiliki kepakaran dalam bidangnya masing-masing. Jika dapat diterima, naskah dapat diubah oleh tim penyunting tanpa mengubah esensi isinya. Sistematika Penulisan Artikel Artikel ditulis dengan sistematika seperti berikut. 1. Judul 2. Nama Penulis (tanpa gelar akademik) 3. Institusi 4. Abstrak 5. Kata Kunci 6. Pendahuluan 7. Kajian Teoretik 8. Metode Penelitian (jika berupa hasil penelitian) 9. Pembahasan 10. Kesimpulan dan Saran 11. Daftar Rujukan 12. Riwayat Penulis
PENERAPAN MODEL SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS V DI SEKOLAH DASAR Suko Pratomo1, Tati Sumiati2, Risqa Mursilah3 e-mail :
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya keterampilan berpikir kreatif siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I, hal ini dibuktikan dengan pengujian instrumen soal keterampilan berpikir kreatif yang mencakup lima indikator keterampilan berpikir kreatif. Keterampilan berpikir kreatif adalah salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) yang di dalamnya terdapat lima fase atau tahapan. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I yang berjumlah 20 siswa. Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1)Aktivitas belajar siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I dengan menggunakan model Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam pembelajaran IPA; 2)Peningkatan keterampilan berfikir kreatif siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I setelah menggunakan model Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam pembelajaran IPA. Metode penelitan yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilakukan sebanyak 3 siklus dengan hasil peningkatan yang signifikan pada persentase Ketuntasan Belajar Siswa Klasikal (KBSK) setiap siklusnya. Hasil nilai rata-rata N-Gain keterampilan berpikir kreatif siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I termasuk kedalam kategori sedang pada setiap siklusnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbandingan skor pretest dan posttest yang mencakup lima indikator keterampilan berpikir kreatif dan indikator pembelajaran. Adanya peningkatan pada hasil posttest setiap siklusnya dipengaruhi oleh aktivitas siswa yang mengalami peningkatan yang signifikan pada setiap siklusnya. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat direkomendasikan bahwa model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat dapat digunakan sebagai model pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa. Kata kunci : Sains teknologi masyarakat, keterampilan berpikir kreatif.
A. PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan tidak bersifat statis tetapi mengikuti perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan alam adalah salah satu mata pelajaran yang dipelajari di sekolah dasar. Depdiknas (dalam Mulyasa, 2011, hlm. 110) “Ilmu pengetahuan alam diperlukan manusia untuk diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat dikategorikan”. Dalam hal ini siswa sekolah dasar perlu diberikan pembelajaran yang menerapkan sains, lingkungan, teknologi dan masayarakat yang bertujuan untuk membimbing dan mengarahkan siswa untuk
merancang dan membuat suatu karya yang di dasari dari konsep IPA yang dapat digunakan untuk memcahkan masalah yang terjadi di lingkungan siswa. Penerapan IPA harus dilakukan secara benar agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan serta adanya penggunaan sains yang berkaitan dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat yang diarahkan pada pengalaman belajar siswa untuk menghasilkan suatu karya. Hal ini berkaitan dengan salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa yaitu keterampilan untuk berpikir kreatif. Menurut Munandar (dalam Sulaeman, 2011, hlm. 14) “Kreativitas merupakan 1
kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru dengan cara mebuat kombinasi, membuat perubahan, atau mengaplikasikan ide-ide yang ada pada wilayah yang berbeda”. Dapat diartikan bahwa berpikir kreatif adalah aktivitas berpikir agar muncul kreativitas pada seseorang, atau berpikir untuk menghasilkan hal yang baru bagi dirinya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan lima indikator yang dikemukakan oleh Sulaeman (2016, hlm. 15-16) yaitu terdapat lima indikator keterampilan berpikir kreatif, diantaranya adalah 1) keterampilan berpikir lancar (fluency) ; 2) keterampilan berpikir luwes (flexibility); 3) keterampilan berpikir orisinil (Originality); 4) keterampilan berpikir merinci (elaboration); 5) keterampilan berpikir mengevaluasi (evaluation). Berdasarkan hasil observasi, uji instrument soal keterampilan berpikir kreatif dan wawancara guru kelas VB SDN Cikampek Timur I menunjukan rata-rata siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I termasuk dalam siswa yang memiliki keterampilan berfikir kreatif tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dengan pengujian instrumen berbentuk soal yang meliputi lima indikator berfikir kreatif, rata-rata siswa tidak dapat mengungkapkan berbagai macam gagasan dan ide untuk memecahkan masalah yang terjadi di lingkungan sekitar siswa, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemampuan berpikir kreatif siswa tergolong rendah, diantaranya karena tidak ada dorongan kepada siswa untuk mengungkapkan berbagai gagasan serta memberikan suatu solusi untuk suatu masalah serta siswa tidak dituntut untuk membuat suatu karya yang nyata untuk pemecahan masalah yang terjadi di lingkungannya. Menurut Poedjiadi (2010, hlm. 124) “Model Sains Teknologi Masyarakat (STM) mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang dibentuk dalam diri siswa, dengan tujuan dapat diterapkan dalaam kehidupan sehari-hari”. Poedjiadi (2010, hlm. 126) “Kekhasan dari model Sains Teknologi Masyarakat (STM) adalah pada tahap pendahuluan dengan
dikemukakan isu-isu atau masalah yang ada di masyarakat yang dapat digali dari individu”. Beranjak dari isu-isu atau masalah yang terjadi di masyarakat, siswa didorong untuk mengembangkan keterampilannya untuk memecahkan masalah tersebut dan dapat diaplikasikan pada kehidupan seharihari. Tujuan dari model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) menurut Widodo (2007, hlm. 62) “menjadikan individu peduli pada lingkungan sekitar dan peduli pada isu-isu yang berkembang di lingkungannya serta mampu mengatasi isuisu tersebut dengan menerapkan pengetahuannya”. Penerapan model Sains Teknologi Masyarakat (STM) sangat diperlukan siswa sekolah dasar untuk menerapkan sejak dini sikap peduli terhadap lingkungan dan mampu mengatasi masalah yang yerjadi di lingkungannya dengan menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Dalam penerapan model Sains Teknologi Masyarakat (STM) dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatiif mencakup lima fase atau tahapan menurut Poedjadi (2010, hlm. 126) “tahap apersepsi, tahap pembentukan konsep, tahap aplikasi konsep atau penyelesaian masalah, tahap pemantapan konsep, dan tahap evaluasi”. Peneliti menggunakan instrument soal yang digunakan untuk mengukur peningkatan keterampilan berpikir kreatif dengan lima indikator. Dari kelima indikator tersebut peneliti membuat instrimen soal yang di dalamnya mencakup kelima indikator keterampilan berpikir tersebut dengan mengacu kepada indikator pembelajaran dan jenjang kognitif yang dikemukakan oleh Taksonomi Bloom yang mencakup C2 sampai C5. Berdasarkan uraian di atas perlu dikaji lebih jauh mengenai model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) terhadap peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa sekolah dasar. Dalam penelitian ini peneliti membahas hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menumbuhkan sikap peduli dan tanggap tehadap isu-isu atau masalah yang berkembang di masyarakat dengan 2
mengaplikasikan pengetahuan yang telah dimilikinya.
untuk memperoleh data mengenai peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa kelas VB SDN CIKAMPEK TIMUR I yang telah disampaikan dalam pembelajaran, keterampilan berpikir kreatif siswa dapat dilihat dari ketuntasan belejar peserta didik setelah pembelajaran. Observasi sebagai alat pengumpulan data selama tindakan (proses tindakan). Soal tes keterampilan berpikir kreatif dibuat dalam bentuk isian (essay) sebanyak 15 soal dengan pembagian 5 soal di setiap siklusnya. Soal tes yang dibuat berpedoman pada 5 indikator keterampilan berpikir kreatif meliputi 1) keterampilan berpikir lancar (fluency) ; 2) keterampilan berpikir luwes (flexibility); 3) keterampilan berpikir orisinil (Originality); 4) keterampilan berpikir merinci (elaboration); 5)keterampilan berpikir mengevaluasi (evaluation) serta jenjang kognitif Taksonomi Bloom (C2 sampai C5). Penskoran dalam tes keterampilan berpikir kreatif didasarkan pada panduan penskoran dengan menggunakan skala Likert yakni dengan kategori skor 1-4 dengan kategori yang berbeda disetiap perolehan skornya. Menurut Sugiyono (2011, hlm. 135) Penskoran dengan skala Likert dapat menggunakan kategori sebagai berikut: 1 = Sangat Tidak Baik 2 = Tidak Baik 3 = Baik 4 = Sangat Baik Menurut Sugiyono (2014, hlm.308) mengemukakan bahwa “teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data”. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan dokumntasi. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif. Menurut Stainback, S (dalam Sugiyono, 2014, hlm. 311) mengemukakan bahwa “dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka”.
B. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Menurut Carr dan Kemmis (dalam Kusumah dan Dwitagama, 2012, hlm. 8) “Penelitian tindakan kelas adalah suatu bentuk penelitian refleksi diri (self reflective) yang dilakukan oleh para partisipan dalam situasi sosial untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran”. Dari pemaparan tersebut penelitian tindakan kelas ini dilakukan oleh peneliti yang berperan sebagai guru dalam upaya untuk memperbaiki pembelajaran sehingga menghasilkan perubahan yang lebih baik dalam hasil pembelajaran yang dilakukan oleh siswa. Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti menggunakan desain penelitian yang dikemukakan oleh Kemmis dan McTaggart (dalam Kusumah dan Dwitagma, 2012, hlm. 20-21) mengemukakan bahwa “komponen penelitian tindakan kelas mencakup perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi”. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan pada kelas VB SDN Cikampek Timur I dengan jumlah subjek penelitian 20 siswa yang terdiri dari 11 siswa perempuan dan 9 siswa laki-laki. Dalam pelaksanaan penelitian perlu adanya instrument penelitian, menurut Sugiyono (2015, hlm. 191) mengemukakan bahwa “instrumen dalam penelitian tindakan digunakan untuk mengumpulkan data sebelum ada tindakan (pretest), selama tindakan (proses pelaksanaan tindakan) dan setelah ada tindakan (posttest)”. Dalam penelitian ini terdapat dua instrumen penelitian yaitu tes untuk mengumpulkan data sebelum ada tindakan (pretest) dan setelah ada tindakan (posttest) untuk mengukur peningkatan keterampilan berpikir kreatif dan observasi untuk megumpulkan data selama tindakan atau selama proses pelaksanaan tindakan. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan observasi. Tes keterampilan berpikir kreatif diperlukan 3
Dari pemaparan tersebut, peneliti menggunakan observasi partisipatif dengan tujuan mengamati aktivitas belajar siswa dan aktivitas mengajar peneliti yang berperan sebagai guru. Menurut Sugiyono (2014, hlm. 326) mengemukakan bahwa “dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu”. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini mencakup berkas yang berkaitan dengan penelitian dan foto-foto ketika dilaksanakannya penelitian menggunakan model pembelajaran STM (Sains Teknologi Masyarakat (STM)). Analisis data pada penelitian ini adalah mengenai bagaimana cara mengetahui hasil peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa SDN CIKAMPEK TIMUR I dengan cara menghitung data yang telah diperoleh pada saat penerapan siklus penelitian tindakan kelas. Data yang dapat diukur atau dihitung ialah hasil belajar yang mengacu pada indikator keterampilan berpikir kreatif. Menurut Trianto (2012, hlm. 63) “Dalam menentukan ketuntasan belajar siswa digunakan instrumen tes yang meliputi produk, proses dan psikomotor”.
hasil perolehan nilai terendah memperoleh skor 65. B. SIKLUS II Data hasil perolehan posttest siklus II dengan materi alat penyaring air sederhana memperoleh sederhana memperoleh jumlah skor ketuntasan belajar individual 1.505, dengan rata-rata 75.25 dengan persentase ketuntasan belajar diatas KKM (70) sebanyak 85% dari 20 siswa memperoleh skor rata-rata N-Gain 0.486 dengan kriteria sedang. Jumlah peserta didik yang berhasil mencapai KKM (70) sebanyak 17 orang peserta didik dari 20 orang peserta didik. Hasil perolehan nilai tertinggi dengan skor 85 dan hasil perolehan nilai terendah memperoleh skor 65. C. SIKLUS III Data hasil perolehan posttest siklus III dengan materi kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi daur air dan menghemat air yang diikuti oleh 20 orang siswa memperoleh jumlah skor ketuntasan belajar individual 1555, dengan rata-rata 77.75 dengan persentase ketuntasan belajar diatas KKM (70) sebanyak 90% dari 20 orang peserta didik dengan skor ratarata N-Gain 0.4615 dengan kriteria sedang. Jumlah peserta didik yang berhasil mencapai KKM (70) sebanyak 18 orang peserta didik dari 20 orang peserta didik. Hasil perolehan nilai tertinggi dengan skor 95 dan hasil perolehan nilai terendah memperoleh skor 65. Dari hasil pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian telah dinyatakan selesai dengan dilakukannya III siklus. Hal ini dibuktikan dengan hasil kegiatan observasi guru dan siswa sudah dinyatakan berhasil karena telah mencapai persentase 90% dengan kategori sangat baik dan penelitian sudah dinyatakan berhasil dengan perolehan skor Ketuntasan Belajar Siswa Klasikal (KBSK) sudah mencapai 90% dengan kategori sangat baik.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitinan tindakan kelas yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak 3 siklus. Dalam setiap pelaksanaan siklus mencakup 2 pertemuan yang dilakukan sebanyak 2 jampembelajaran dengan alokasi waktu 2x35 menit. Pada pelaksanaan siklus I dengan materi pertemuan pertama manfaat air dan pertemuan kedua daur air. A. SIKLUS I Data hasil perolehan posttest siklus I dengan materi manfaat air dan daur air memperoleh skor ketuntasan belajar individual 1.505, dengan rata-rata 75.25 dengan persentase ketuntasan belajar diatas KKM (70) sebanyak 75% dari 20 orang peserta didik serta rata-rata skor NGain 0.433. Jumlah peserta didik yang berhasil mencapai KKM (70) sebanyak 15 orang dari 20 orang peserta didik. Hasil perolehan nilai tertinggi dengan skor 90 dan
D. PEMBAHASAN Berdasarkan analisis data yang tercantum pada setiap siklusnya menunjukkan adanya peningkatan hasil dari 4
keterampilan berpikir kreatif setelah kegiatan pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM). Keterampilan berpikir kreatif siswa kelas V SDN Cikampek Timur I pada siklus I materi manfaat air dan daur air memperoleh jumlah skor keseluruhan masih rendah dan mengalami peningkatan di siklus II dengan materi alat penyaring air 100% 80% 60% 40% 20% 0%
sederhana dan siklus III materi kegiatan manusia yang mempengaruhi daur air dan menghemat air. Da hasil perolehan skor pretest dan posttest dapat dilihat dari ketuntasan belajar pada setiap siklusnya. Berikut data yang dipaparkan dalam bentuk grafik, ialah:
90%
85%
75%
Pretest 15%
15%
10%
SIKLUS I
SIKLUS II
Posttest
SIKLUS III
(Sumber: Hasil perolehan pretest dan posttest KBSK siklus I, II, dan III) Gambar 4.3 Grafik Hasil Perolehan Pretest dan Posttest Ketuntasan Belajar Siswa Klasikal (KBSK) Peningkatan N-Gain siswa didasarkan Data tersebut sangat jelas pada hasil pretest dan posttest dari menunjukkan bahwa adanya ketuntasan belajar siswa klasikal (KBSK) sudah setiap siklus. Nilai rata-rata perolehan N-Gain pada setiap siklus dapat dilihat melampaui 85% atau dinyatakan tuntas pada Gambar 4.5 (Trianto, 2012, hlm. 241). Peningkatan pencapaian pada penelitian ini dilihat melalui perhitungan N-Gain. Peningkatan N-Gain
0,486
0,5
0,4615
0,433 0,4 Rata-rata N-Gain Siklus I
Siiklus II
Siklus III
(Sumber: Hasil perolehan N-Gain siswa pada siklus I, II dan III) Gambar 4.5 Garafik Peningkatan N-Gain Gain 0.4615. Berdasarkan rata-rata perolehan nilai N-Gain pada siklus I, II dan III dapat disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa pada kelas VB SDN Cikampek Timur I tergolong pada kategori sedang. Dari pemaparan di atas membuktikan bahwa adanya peningkatan persentase Ketuntasan Belajar Siswa Klasikal (KBSK) pada setiap siklus setelah dilakukannya pembelajaran dengan model Sains
Pada Gambar 4.5 terlihat bahwa batang yang berwarna merah menunjukkan hasil perolehan rata-rata N-Gain pada siklus I dengan nilai 0.433 dengan kriteria sedang, pada batang yang berwarna biru menunjukkan nilai N-Gain siklus II yang mengalami peningkatan yang signifikan dengan nilai rata-rata N-Gain 0.486 kategori sedang dan pada batang yang berwarna kuning menunjukkan rata-rata nilai N-Gain siklus III yang memperoleh nila rata-rata N5
Teknologi Masyarakat (STM) sehingga dapat mencapai Ketuntasan Belajar Siswa Klasikal (KBSK) 90%. Maka dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) dapat meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I.
dengan perolehan persentase 85% dengan perolehan nilai tertinggi 85 dan nilai terendah 65 dengan jumlah 17 siswa yang telah mencapai KKM (70), kemudian pada siklus III terus mengalami peningkatan yang signifikan dengan perolehan persentase 90% dengan perolehan nilai tertinggi 95 dan nilai terendah 65 dengan jumlah 18 siswa yang telah mencapai KKM (70). Berdasarkan rata-rata perolehan nilai NGain pada siklus I, II dan III dapat disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan berpikir kreatif siswa pada kelas VB SDN Cikampek Timur I tergolong pada kategori sedang. Dalam pelaksanaan dengan menerapkan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) sebaiknya penelitian selanjutnya mempersiapkan waktu lebih banyak dalam menggunakan model ini, karena dalam setiap tahapan atau fase dalam model ini perlu adanya pengkajian materi lebih dalam sehingga siswa lebih memahami materi yang disampaikan dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
E. SIMPULAN DAN SARAN Berdasakan hasil temuan dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Dengan penerapan model pembelajaran STM (ains Teknologi Masayarakat) aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPA secara bertahap mengalami peningkatan. Pada siklus I, aktivitas siswa memperoleh persentase 79.18% dengan kategori baik, kemudian mengalami peningkatan pada siklus II memperoleh persentase 82% dengan kategori baik, dan terus mengalami peningkatan yang signifikan pada siklus III dengan perolehan persentase 90% dengan kategori sangat baik. Hal ini membuktikan bahwa dengan diterampkannya model pembelajaran STM (Sains Teknologi Masayarakat) pada pembelajaran IPA dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan antusiasme siswa VB SDN Cikampek Timur I. 2. Berdasarkan hasil data yang diperoleh sebelum dilakukannya pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran STM (Sains Teknologi Masayarakat) (pretest), rata-rata perolehan skor pretest siswa masih rendah, dengan dilakukannya pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) perolehan skor ratarata postest siswa kelas VB SDN Cikampek Timur I mengalami peningkatan. Pada siklus I memperoleh persentase 75% dengan perolehan nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 65 dengan jumlah 15 siswa yang telah mencapai KKM (70), kemudian setelah dilaksanakannya siklus II mengalami peningkatan persentase yang signifikan
DAFTAR RUJUKAN Kusumah, W., & Dwitagma, D. (2012). Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Indeks. Mulyasa, E. (2011). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Poedjiadi, A. (2010). Sains Teknologi Masyarakat. Bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: ALFABETA. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: ALFABETA. Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Tindakan Komprehensif. Bandung: ALFABETA. Sulaeman, M. (2016). Aplikasi Project Based Learning (APBL) untuk Membangun Keterampilan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa (MKBKKS). Depok, Jawa Barat:Bioma. 6
Trianto. (2012). Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) Teori dan Praktik. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya. Widodo, A., Wuryastuti, S., & Margaretha. (2007). Pendidikan IPA di SD. Bandung: UPI PRESS.
7
MENUMBUHKAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI ATIKAN PURWAKARTA PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Hayani Wulandari UPI Kampus Purwakarta e-mail:
[email protected] ABSTRAK Pendidikan karakter sangatlah penting dimiliki oleh anak usia dini untuk meningkatkan kesadaran anak untuk berprilaku baik. Pendidikan karakter memberikan arah dan cara pandang kepada setiap orang untuk membangun dan mengasah kembali sikap-sikap yang sudah dimiliki oleh setiap orang untuk dimunculkan kembali dalam kehidupan sehari-hari. Atikan Purwakarta sebagai suatu pandangan dalam kearifan lokal yang dibangun atau dibuat oleh Bupati Purwakarta untuk dilaksanakan di sekolah-sekolh yang ada di Kabupaten Purwakarta. Penguatan kajiannya dalam penyelenggaraan pendidikan berkarakter di Kabupaten Purwakarta ini meliputi rangkaian kegiatan pembinaan dan pengasuhan pelajar di dalam dan di luar sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah guna mengembangkan potensi diri, mental, spiritual, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai perkembangan anak usia dini dengan karakteristiknya, berbagai cara yang dapat membantu implementasi atikan Purwakarta untuk menumbuhkan pendidian karakter. Data diperoleh dari studi literatur, dan dokumentasi. Artikel ini menyimpulkan bahwa melalui Atikan Purwakarta dapat menumbuhkan berbagai pendidikan karakter anak usia dini. Kata kunci: Pendidikan karakter, Atikan Purwakarta, Pendidikan Anak Usia Dini A. PENDAHULUAN Pendidikan karakter adalah pendidikan yang dibangun kembali dalam rangka penguatan jati diri setiap manusia Indonesia untuk dapat menjadi pribadipribadi yang berbudi luhur dan memiliki kepekaan terhadap kebaikan (Nuh, 2013). Pergaulan dan kemajuan teknlogi memberikan pengaruh yang besar bagi anak-anak saat ini (Gunarsa,2008). Dampak pengaruhnya ada yang memiliki nilai positif dan nilai negatif. Pengaruh lingkungan pergaulan dan teknologi ini tidak dapat di bendung, karena manusia akan selalu mengikuti alur yang ada dan pengaruhnya sangat besar terhadap hubungan sosial dan budaya di masyarakat (Nuswantoro,2015). Keadaan yang terjadi saat ini dari pengaruh tersebut bila dilihat saat ini salah satunya adalah anak-anak sudah diperkenalkan dengan alat-alat teknologi, contohnya adalah penggunaan gadget
(Kamil,2017). Alat teknologi ini sudah diberikan oleh orang tua dari anak usia 2 tahun. Biasanya orang tua menganggap bahwa dengan diberikan gadget ini membuat anak-anak menjadi lebih tenang dan terkontrol dan orang tua tidak lelah mengawasi anak-anaknya yang biasanya bergerak dengan aktif (Handayani, 2017). Orang tua mengganggap normal bila keadaan anak-anak dapat duduk dengan tenang tidak berkeringat ataupun melakukan gerak yang membahayakan seperti terjatuh, terbentur, tersandung dan lain lainnya. Pandangan seperti itu dapat dikatakan pemikiran yang instan. Hal ini dianggap memberikan kemudahan dan kesenangan bagi anak dan orang tua karena sudah menjadi kebiasaan dilingkungan masyarakat. Hal-hal tersebut di atas memberikan dampak yang kurang baik bagi anak-anak diantaranya: 1. anak merasa sudah terpuaskan belajar dengan membaca 8
informasi dari gadget, padahal banyak pengetahuan yang didapatkan anak diluar gadget, 2. anak-anak mudah mendapatkan informasi atau kebutuhan apapun dengan menggunakan gadget, dengan seperti ini memberikan celah kepada anak-anak memberikan kemudahan yang mengakibatkan mereka tidak dapat bertahan bila mengalami kesulitan, 3. anakanak menjalin pertemanan yang semakin mudah dan luas, namun pertemanan tersebut tidak memiliki hubungan yang mendalam secara fisik dan emosional, 4. anak-anak yang sering menggunakan gadget akan mengalami potensi pengurangan konsentrasi pada saat belajar, 5. anak-anak akan jadi malas menulis karena tergantung gadget, kemampuan menulisnya akan tidak berproses dengan baik (Tridhonanto, 2010) . Berdasarkan fenomena di atas, dalam artikel ini akan dibahas tentang halhal yang dapat dilakukan agar anak-anak penerus bangsa ini memiliki karakter yang baik, untuk itu salah satu langkah yang diperlukan adalah atikan yang telah dilaksanakan di Kabupaten Purwakarta untuk membentuk pendidikan karakter anak-anak .
tersosialisasi dengan baik, Pendidikan Karakter Purwakarta berjalan kurang lebih 4 tahun.
maka sudah
B. KAJIAN PUSTAKA 1. Pendidikan karakter Menurut Aunillah (2011, hlm. 1819) mengemukakan bahwa, “ Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil”. Selanjutnya Samani, Muchlas dan Hariyanto (2011, hlm. 43) mengemukakan bahwa, “Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikiran, raga, serta rasa, dan karsa”. Kedua pendapat tersebut memiliki substansi yang sama mengenai makna dari pendidikan karakter yang bertujuan untuk membentuk sebuah generasi yang bijak dan intelek didasarkan pada nilai-nilai moral dan ketuhanan sehingga dapat berprilaku arif untuk dirinya sendiri maupun di dalam masyarakat.
Pembangunan karakter tidak terlepas dari perhatian dan usaha yang dilakukan disetiap daerah di Indonesia, salah satunya di kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Perhatian yang besar dalam menjaga karakter masyarakatnya untuk selalu mewarnai dan memaknainya dengan pendidikan karakter bermuatan lokal, maka Bupati Purwakarta H. Dedi Mulyadi bersama dengan jajarannya mulai menyebarkan ide tentang Pendidikan karakter Purwakarta dikalangan instansi, dinas terkait dan masyarakat dari tahun 2012.
Makna dari pendidikan karakter juga berhubungan dengan dengan sikap kebangsaan yang dimiliki seorang individu. Sebagaimana dikemukakan oleh Ramli (Asmani, 2011,hlm.32) yang menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan karakter adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Lebih lanjut lagi, Ramli mengatakan bahwa pendidikan karakter di Indonesia harus bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina generasi muda”.
Tahun 2014 menjadi gebyar sosialisasi pendidikan karakter di Purwakarta. Di setiap Instansi diwajibkan untuk dapat menyampaikan sosialisasi tersebut pada saat Pembina upacara menyampaikan amanatnya. Setelah 9
e. Hari Jumat, nyucikeun diri, mengandung makna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; f. Hari Sabtu dan Minggu, betah di imah, mengandung makna mencintai rumah sebagai tempat bernaung keluarga. Pendidikan formal di Purwakarta diharuskan untuk menjalankan Pendidikan Karakter Purwakarta. Pendidikan formal terbagi beberapa jenjang salah satunya adalah Pendidikan Anak Usia Dini. Pendidikan di PAUD merupakan lembaga yang dikelola dan diatur oleh pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan yang diselenggarakan secara formal. Pemberian materi yang bersifat lokal diberikan dan disesuaikan dengan daerah masing-masing. Untuk Kabupaten Purwakarta, di setiap sekolahnya harus menjalankan pendidikan karakter salah satunya menjalankan pasal 5 ayat 2 yang sesuai dengan peraturan bupati. Dalam hal ini sekolah harus terus mensosialisasikan dan menjalankannya kepada anak-anak dan sivitas akademik lainnya, agar mereka dapat memahami dan melaksanakannya dengan pemahaman terhadap latar belakang ditegakkanya nilai atau aturan tersebut.
Dari pendapat Ramli di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan generasi yang memiliki nilai-nilai kebangasaan yang baik, maka pelaksanaan pendidikan karakter harus mengintegrasikan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia. Hal ini tentu saja memberikan tantangan tersendiri karena Negara Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat tinggi. Integrasi nilainilai budaya lokal yang berlandaskan pada azas ketuhanan yang maha esa merupakan solusi alternatif untuk melaksanakan keseragaman pendidikan karakter pada setiap jenjang pendidikan sehingga upaya perwujudan bangsa yang berkarakter menjadi lebih mudah dicapai. 2. Atikan Purwakarta Tahun 2014 menjadi gebyar sosialisasi pendidikan karakter di Purwakarta. Di setiap instansi diwajibkan untuk dapat menyampaikan sosialisasi tersebut pada saat pembina upacara menyampaikan amanatnya. Tahun 2015, terbitlah Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Karakter. Di dalamnya terdapat XIV Bab dan 35 pasal. Salah satu yang akan dijadikan bahan kajian adalah pada pasal 5 ayat 2 berisi, 7 (tujuh) Poe Atikan Pendidikan Purwakarta Istimewa atau 7 (tujuh) Hari Ajaran Pendidikan Purwakarta Istimewa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nilai sebagai berikut:
3. Pendidikan Anak Usia Dini Penyelenggaraan pendidikan anak prasekolah telah diatur dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Anak Prasekolah. UUSPN dibuat oleh pemerintah merupakan wujud dari kepedulian kepada anak-anak prasekolah (3-6 tahun) yang merupakan awal dari pengenalan pendidikan anak usia dini. Konsep pendidikan anak usia dini terus dikaji hingga lebih dari 15 tahun hingga menemukan gagasan baru pada tahun 2003 yaitu dengan konsep PAUD. PAUD menurut UU Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) dijelaskan bahwa PAUD adalah suatu
a. Hari Senin, ajeg nusantara, mengandung makna menumbuhkan rasa kebangsaan atau cinta tanah air; b. Hari Selasa, mapag di buana, mengandung makna memperluas wawasan terhadap dunia; c. Hari Rabu, maneuh di sunda, mengandung makna kembali pada jati diri sebagai orang sunda; d. Hari kamis, nyanding wawangi, mengandung makna memberikan ruang untuk kebebasan berekspresi;
10
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan selanjutnya. Konsep PAUD yang sederhana adalah ingin memberikan penawaran kepada masyarakat mengenai pentingnya pengembangan dan pengetahuan tentang perkembangan dan prilaku anak usia dini. Selajutnya berbagi pengalaman serta teori tentang kejadia-kejadian yang sering muncul dari sikap dan tingkah laku pada anak usia dini.
baik dari keluarga, masyarakat, sekolah, dan pihak Dinas terkait. PAUD sebagai salah satu jenjang pendidikan yang melaksanakan peraturan Bupati tersebut, maka secara langsung anak-anak PAUD dan guru terlibat dalam atikan Purwakarta, yang setiap harinya memiliki tema dalam mengantarkan anakanak belajar disekolah. Atikan memiliki arti yaitu pendidikan. Selanjutnya dapat dilihat uraian yang lebih lengkap tentang 7 Poe Atikan Purwakarta sebagai berikut: a. Senin: Ajeg Nusantara Ajeg dalam bahasa Indonesia artinya tegak, sehingga konsep pembelajaran mengenai Ajeg Nusantara memiliki pengertian Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini yang tersusun dari hamparan bumi nusantara memiliki kekayaan dari berbagai latar belakang. b. Selasa: Mapag Buana Mapag artinya menjemput, buana artinya dunia. Secara harfiah, mapag buana berarti menyiapkan diri kita dari berbagai hal untuk menjemput datangnya peradaban dunia yang semakin modern. Dalam falsafah sunda sering kita dengar,mi indung ka waktu, bapa ka zaman. c. Rabu: Maneuh di Sunda Maneuh berarti diam atau tinggal, Sunda tentu adat budaya yang mendiami tanah Pajajaran, sebagai wilayah Propinsi Jawa Barat dan Banten, termasuk di dalamnya Kabupaten Purwakarta. Maneuh di Sunda berarti menegaskan kita yang tinggal di Purwakarta harus mengenal jati dirinya, budaya leluhurnya, yang dengan budaya Sunda itu, kita menjadi bangsa sebagai bangsa Indonesia yang majemuk. d. Kamis: Nyanding Wawangi (hari Estetis) Pengetahuan siswa yang sudah mengenal jati diri budayanya, membuka cakrawala nusantara dan telah mengarungi dunia, maka ia akan naik pada tingkatan selanjutnya sebagai siswa yang siap hidup merdeka, belajar tampa batas, membuka jendela ilmu dengan kemampuan dirinya sendiri. e. Jumat: Nyucikeun Diri
C. PEMBAHASAN Pendidikan karakter dimunculkan guna menangkis pengaruh pengaruh yang kurang baik bagi perkembangan yang terjadi pada generasi muda terutama anakanak (Purwandari, 2008). Pemerintah maupun masyarakat berupaya agar karakteristik anak-anak tetap dapat terjaga dan dapat memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan adat ketimuran (Holilah,2016). Salah satu cara yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Purwakarta adalah dengan dimunculkannya Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Karakter. Di dalamnya terdapat XIV Bab dan 35 pasal. Salah satu yang akan dijadikan bahan kajian adalah pada pasal 5 ayat 2 berisi, 7 (tujuh) Poe Atikan Pendidikan Purwakarta Istimewa atau 7 (tujuh) Hari Ajaran Pendidikan Purwakarta Istimewa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nilai sebagai berikut: a. Hari Senin, ajeg nusantara, b. Hari Selasa, mapag di buana c. Hari Rabu, maneuh di sunda d. Hari kamis, nyanding wawangi e. Hari Jumat, nyucikeun diri f. Hari Sabtu dan Minggu, betah di imah. Pelaksanaan 7 Poe Atikan Purwakarta ini dilakukan dari jenjang PAUD sampai dengan Sekolah Menengah Umum. Untuk itu pelaksanaanya memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak, 11
Nyucikeun diri (mensucikan diri) berarti nganterukeun diri (mengantarkan diri) kita pada kesucian. Kesucian yang dimaksud adalah kesucian hati, jiwa dan pikiran kita agar tetap terjaga , selalu dekat dengan Tuhannya. f. Sabtu dan Minggu: Betah di Imah Hari Sabtu dan Minggu siswa melakukan pembelajarn di rumah. Sabtu dan Minggu betah di imah dan para guru tidak memberikan tugas apapun kepada siswa. Siswa betah bersama orang tua melakukan kegiatan bersama. (Sumber: TK Negeri Pembina Purwakarta) Pelaksanaan yang telah dilakukan di sekolah-sekolah di Purwakarta khususnya di TK Negeri Pembina Purwakarta diantaranya sebagai berikut: Setiap hari Senin anak-anak diajak untuk mengikuti upacara bendera serta menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pemahaman kecintaan terhadap tanah air dilakukan dengan anak belajar bersama dengan saling membantu dalam menyelesaikan beberapa permainan yang dilakukan disekolah. Di hari Selasa anak-anak diperkenalkan pembelajaran menggunakan komputer dan penggunaan in fokus dalam pembelajarannya. Anak-anak dibawa kedalam informasi yang luas melalui internet hingga pada akhirnya anak-anak dapat memahami apa saja yang terjadi di luar sana. Usaha yang dilakukan oleh pihak sekolah di hari rabu salah satunya anakanak dan guru menggunaan pakaian adat sunda seperti anak perempuan menggunakan kebaya dan samping, anak lelaki menggunakan baju dan celana pangsi
serta ikat kepala. Permainan yang dilakukan lebih mengarah kepada permainan tradisionl yang ada di Sunda seperti bermain congklak, engrang, engklek,gobak sodor, dll. Kamis dijadikan hari berkarya, anakanak diberikan kebebasan dalam menentukan imajinasinya dalam menggambar, menulis puisi menyanyi, mengguanakn alat music ataupun menari. Setiap kegiatan harus disesuaikan dengan tema yang akan dilakukan pada pembelajaran saat itu. Kebebasan imajinasi anak-anak tetap dalam arahan dan bimbingan guru. Di sekolah anak dan guru laki-laki dihari Jumat menggunakan baju koko dan sarung . Hal ini dilakukan agar supaya anak-anak lebih memahamai bahwa Jumat merupakan hari paling baik, mulia, waktu paling mustajab untuk berdoa. Untuk itu anak-anak diperkenalkan dengan pakaian yang disesuaikan untuk sholat Jumat. Anakanak dipagi hari bersama-sama melakukan sholat Dhuha. Hari Sabtu dan Minggu adalah waktu keluarga mendidik anak-anak tersebut di rumah masing-masing. Orang tua ikut serta mengarahkan, mendampingi anak-anak dalam berbagai aktivitas yang dilakukan di rumah bersama oaring tuanya. 7 poe atikan Purwakarta ini menghantarkandan mengarahkan anakanak untuk dapat kembali memahami dasar-dasar nilai yang baik dan sudah ada dari masa lalu. Semuanya dapat dilakukan dengan kesungguhan hati dan keyakinan dalam menjalankannya terutama adanya tuntutan kebijakan pemerintah daerah untuk turut serta melaksanakannya.
12
Materi Pembelajaran PAUD
Guru
Silabus & RPP
Anak Usia Dini
Berbasis Atikan Purwakarta
Kegiatan Pembelajaran di PAUD
Anak-anak yang memiliki kecerdasan dan memiliki karakter yang berbudi pekerti luhur
Gambar 1. Kerangka Pemikiran 7 Poe Atikan Purwakarta
D. KESIMPULAN Pendidikan pada hakekatnya adalah merupakan proses belajar manusia yang sedang mengalami perubahan untuk menjadi lebih maju dan berkembang menjadi pribadi yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang baik. Proses pembelajaran tersebut didapatkan dari lingkungan sekitarnya seperti lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Pendidikan haruslah tidak hanya memuat tentang kemampuan kognitif , afektif dan psikomotornya saja, namun pendidikan nilai haruslah diperhatikan dan diberdayakan dengan sungguh-sungguh.
Seperti nilai religious, nilai moral, dan nilai estetik. Semuanya dapat terlaksana bila adanya kerjasama dan keinginan yang kuat dari semua kompoten seperti keluarga, masyarakat, guru , sekolah dan dinas pemerintahan terkait untuk membentuk manusia Indonesia yang unggul. Kabupaten Purwakarta telah malaksanakan hal tersebut dengan dimasukkannya kebijakan Bupati yang lebih dikenal dengan 7 Peo Atikan Purwakarta dalam rangka pembentukan karakter di sekolah-sekolah. Diharapkan agar anakanak di Kabupaten Purwakarta tidak hanya 13
Kehidupan Sehari-Hari”. Diss. IAIN Raden Intan Lampung. Nuh, Mohammad. 2013. Menyemai Kreator Peradaban. Serambi Ilmu Semesta. Nuswantoro, Universitas Dian. 2015."Kebudayaan Dan Masyarakat." Peraturan Pemerintah (PP).1990. Nomor 27.” Pendidikan Anak Prasekolah”. Purwandari, Eny. 2008."Character Building: Pengaruh Pendidikan Nilai terhadap Kecerdasan Emosi Anak." Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN).1989.Nomor 2. Tridhonanto, Al. 2010.” Meraih Sukses Dengan Kecerdasa Emosional”. Elex Media Komputindo. Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2011. “Konsep dan Model Pendidikan Karakter”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
cerdas secara akademik, namun memiliki karakter yang berbudi luhur.
DAFTAR RUJUKAN Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. “Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah”. Jogjakarta: DIVA Press. Aunillah, Nurla Isna. 2011.”Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah”. Jogjakarta: Laksana. Gunarsa, Singgih D.2008. “Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja”. BPK Gunung Mulia. Handayani, Tri. 2017. “Efektivitas Layanan Konseling Kelompok Dengan Teknik Manajemen Diri Untuk Mengurangi Kecanduan Game Online Peserta Didik Kelas Viii Smp Negeri 11 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2016/2017”. Diss. IAIN Raden Intan Lampung. Holilah, Mina. 2016. "Kearifan Ekologis Budaya Lokal Masyarakat Adat Cigugur Sebagai Sumber Belajar Ips." Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial 24.2 : 163-178. Kamil, Muhammad Faris. 2017.“Pengaruh Gadget Berdampak Kepada Kurangnya Komunikasi Tatap Muka Dalam
RIWAYAT PENULIS Hayani Wulandari adalah Dosen Pengampu Mata Kuliah Seni Tari di UPI Kampus Purwakarta. Gelar Sarjana dan Magister Seni Diperolehnya dari UPI. Saat ini Ia sedang menyelesaikan Pendidikan S3 Seni di UPI. E-mail:
[email protected].
14
PENERAPAN METODE EKSPERIMEN TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP SISWA KELAS VPADA MATERI GAYA DAN PEMANFATANNYA Yuyu Hendawati1, Cici Kurniati2
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman konsep siswa mengenai materi gaya dalam pelajaran IPA. Hal ini dikarenakan metode pembelajaran yang digunakan kurang bervariasi dan tidak menggunakan media dalam pembelajaran. Siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru, akibatnya siswa kesulitan dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan sehingga pencapaian hasil belajar masih rendah. Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi gaya dan mengetahui aktivitas yang terjadi selama pembelajaran dengan menerapkan metode eksperimen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan mengadaptasi desain penelitian Kemmis dan Mc. Taggart. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap kegiatan yaitu, perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN Legokhuni dengan jumlah 30 orang. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tes dan observasi. Berdasarkan data hasil penelitian dengan menerapkan metode eksperimen diperoleh hasil yang cukup memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari persentase ketuntasan klasikal yang mengalami peningkatan. Pada siklus I sebesar 66,7% meningkat menjadi 86,7% pada siklus II. Selain itu aktivitas siswa dalam proses pembelajaran juga mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Dari data di atas, disimpulkan bahwa pembelajaran IPA di SD dengan menerapkan metode eksperimen dapat meningkatkan pemahaman konsep dan aktivitas belajar siswa. Kata Kunci: Metode Pemanfaatannya
Eksperimen,
A. PENDAHULUAN
Pemahaman
Konsep,
Gaya
dan
jumlah 30 orang, diperoleh nilai rata-rata 54. Nilai ini masih jauh dari yang diharapkan yaitu berdasarkan KKM yang ditetapkan sekolah sebesar 69, hanya 7 siswa (23,3%) yang tuntas dari jumlah keselurahan siswa kelas V sebanyak 30 0rang. Kondisi ini terjadi karena siswa kesulitan dalam memahami materi pelajaran. Pembelajaran yang biasa dilakukan masih belum dapat mengembangkan pemahaman konsep
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar. Mempelajari IPA tidak hanya sekedar menghafal, tetapi juga harus memahami konsep-konsep materi pelajaran. Berdasarkan hasil tes awal pemahaman konsep siswa pada pembelajaran IPA tentang gaya, yang dilakukan pada siswa kelas V dengan 15
siswa. Metode pembelajaran yang digunakan kurang bervariasi dan tidak menggunakan media pembelajaran. Siswa hanya duduk mendengarkan penjelasan dari guru, akibatnya siswa kurang dapat memahami materi pelajaran yang disampaikan dan perolehan nilai hasil belajar siswa pun rendah. Salah satu cara mengajar guru yang dapat membantu siswa memahami konsep dari materi yang diajarkan yaitu dengan belajar bermakna, artinya dengan cara mempraktekkan langsung materi yang diajarkan. Sesuai dengan sebuah pendapatyang menyatakan bahwa IPA membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis berdasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia (Samatowa, 2010, hlm. 03). Dengan kata lain, IPA tidak dapat dipisahkan dari percobaan dan pengamatan. Salah satu alternatif untuk membantu siswa memahami konsep materi IPA tentang gaya dan pemanfaatnannya adalah dengan menngunakan metode eksperimen dalam pembelajaran.
mengajarkan siswa dalam belajar suatu konsep materi yang dipelajari. Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran. Sehingga, siswa dapat menemukan sendiri tentang konsep yang sedang dipelajarinya sesuai dengan yang diperoleh dalam pembelajaran. B. KAJIAN TEORITIK 1. Metode Eksperimen Metode eksperimen menurut Sagala (2005, hlm. 220) adalah “Cara penyajian pelajaran yang mengarahkan siswa untuk melakukan percobaan dengan mengalami sendiri apa yang sedang dipelajarinya. Metode eksperimen mampu menciptakan kondisi belajar yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan kreativitas siswa secara optimal”. Sedangkan Djamarah dan Zain (2006, hlm. 84) mengungkapkan bahwa, metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran, dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Dalam proses pembelajaran dengan metode eksperimen ini, siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek, keadaan atau proses sesuatu. Dengan demikian, siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran, atau mencoba mencari suatu hukum atau dalil, dan menarik kesimpulan atas proses yang dialaminya itu. Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode eksperimen adalah metode belajar mengajar yang sesuai untuk pembelajaran IPA dengan memberikan kondisi belajar kepada siswa agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan kreativitas secara optimal.
Roestiyah (2008, hlm. 80) mengemukakan bahwa metode eksperimen ialah cara mengajar, di mana siswa melakukan percobaan tentang sesuatu hal, diamati prosesnya, laludituliskan hasil percobaan tersebut, kemudian hasilnya dipresentasikan di kelas dan dilakukan evaluasi oleh guru. Sehingga dengan melakukan eksperimen, siswa lebih mudah memahami konsep apa yang dipelajari karena mengalami sendiri sesuatu yang sedang dipelajarinya. Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan metode eksperimen menurut Palendeng (dalam Hamdayama, 2014, hlm. 126) sebagai berikut: 1) percobaan awal, 2) pengamatan, 3) hipotesis awal, 4) verifikasi/ melakukan percobaan, dan 5) evaluasi. Dengan menerapkan metode eksperimen akan melatih dan
Tujuan metode eksperimen yaitu agar siswa mampu mencari dan 16
menemukan sendiri berbagai jawaban atau persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan mengadakan percobaan sendiri. Juga siswa dapat terlatih dalam cara berfikir yang ilmiah. Dengan eksperimen siswa menemukan bukti kebenaran dari teori sesuatu yang sedang dipelajarinya. Langkah-langkah eksperimen yang
kehidupan manusia; (3) Hasil-hasil percobaan yang berharga dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran umat manusia.
dikemukakan Ramyulis (2005, hlm. 250)
(1) Metode ini lebih sesuai untuk bidangbidang sains dan teknologi; (2) Metode ini memerlukan berbagai fasilitas peralatan dan bahan yang tidak selalu mudah diperoleh dan mahal; (3) Metode ini menuntut ketelitian, keuletan, dan katabahan; (4) Setiap percobaan tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan karena mungkin ada faktor-faktor tertentu yang berada diluar jangkauan kemampuan atau pengendalian. 2. Pemahaman Konsep a. Pengertian Pemahaman Konsep Bloom (Widodo, 2006, hlm. 6) mengemukakan bahwa, ‘comprehension is understand the meaning, paraphrase a concept’. Siswa dapat memahami ketika mereka mampu membuat hubungan antara pengetahuan baru untuk ditambahkan dan pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan yang masuk didintegrasikan dengan model mental dan kerangka kognitif yang ada. Pengetahuan konseptual memberikan dasar untuk sebuah pemahaman. Berdasarkan taksonomi Bloom, pemahaman merupakan jenjang kognitif C2. b. Indikator Pemahaman Konsep.
sebagai berikut: 1) memberi penjelasan secukupnya tentang apa yang harus dilakukan dalam eksperimen; 2) menentukan langkahlangkah pokok dalam membantu siswa dengan eksperimen; 3) sebelum eksperimen di laksanakan terlebih dahulu guru harus menetapkan: alat-alat apa yang diperlukan, langkah-langkah apa yang harus ditempuh, hal-hal apa yang harus dicatat, dan variabel-variabel mana yang harus dikontrol; dan 4) setelah eksperimen dilakukan guru harus menentukan tindak lanjut eksperimen contohnya : mengumpulkan laporan mengenai eksperimen tersebut, mengadakan tanya jawab tentang proses, melaksanakan teks untuk menguji pengertian siswa. Menurut Winataputra (Tsuraya, 2013, hlm. 9) “Karakteristik metode eksperimen serta hubungannya dengan pengalaman belajar siswa, yaitu: 1) ada alat bantu yang digunakan; 2) ada tempat untuk melakukan metode eksperimen; 3) ada pedoman (petunjuk kerja) untuk siswa; 4) ada topik (materi pelajaran) yang dieksperimenkan; dan 5) ada temuantemuan”. Menurut Djamarah dan Zain (2006,
Sedangkan
kekurangan
dari
metode eksperimen menurut Djamarah dan Zain (2006, hlm. 84), yaitu:
Anderson dan Krathwohl (2010, hlm. 106) mengemukakan bahwa, “… dalam kategori memahami mencakup tujuh proses kognitif, meliputi: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi/ menyimpulkan (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining)”.
hlm. 84) kelebihan metode eksperimen adalah sebagai berikut: (1) Membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya; (2) Dapat membina siswa untuk membuat terobosan-terobosan baru dengan penemuan dari hasil percobaannya dan bermanfaat bagi 17
(1). Menafsirkan (interpreting), yaitu mengubah dari suatu bentuk informasi ke bentuk informasi lainnya, misalnya dari kata-kata ke grafik atau gambar, atau sebaliknya, dari kata-kata ke angka, atau sebaliknya, maupun dari kata-kata ke kata-kata, misalnya meringkas atau membuat paraphrase; 2) Memberikan contoh (exemplifying), yaitu memberikan contoh dari suatu konsep atau prinsip yang bersifat umum. Memberikan contoh menuntut kemampuan mengidentifikasi ciri khas suatu konsep dan selanjutnya menggunakan ciri tersebut untuk membuat contoh; 3) Mengklasifikasikan (classifying), yaitu mengenali bahwa sesuatu (benda atau fenomena) masuk dalam kategori tertentu; 4) Meringkas (summarizing), yaitu membuat suatu pernyataan yang mewakili seluruh informasi atau membuat suatu abstrak dari sebuah tulisan; 5) Menarik inferensi (inferring), yaitu menemukan suatu pola dari sederetan contoh atau fakta; 6) Membandingkan (comparing), yaitu mendeteksi persamaan dan perbedaan yang dimiliki dua objek, ide ataupun situasi; dan 7) Menjelaskan (explaining), yaitu mengkonstruk dan menggunakan model sebab-akibat dalam suatu sistem. c. Materi Gaya dan Pemanfaatannya Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 (KTSP 2006) dengan Standar Kompetensi (SK) Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan energi, serta fungsinya. Pada Kompetensi Dasar (KD) Mendeskripsikan hubungan antara gaya, gerak dan energi melalui percobaan pada kelas V SD.
refleksi. Keempat komponen tersebut dianggap sebagai satu siklus. Penelitian dilakukan di SDN Legokhuni, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Subjek penelitian yaitu siswa kelas V berjumlah 30 siswa dengan komposisi 13 siswa laki-laki dan 17 siswa perempuan. Penelitian ini, menggunakan dua jenis instrumen, yaitu instrumen pembelajaran dan instrumen pengumpul data. Instrumen pembelajaran terdiri dari RPP dan Lembar Kerja Kelompok (LKK). Sedangkan instrumen pengumpul data, terdiri dari lembar observasi dan juga lembar tes. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan tes.Observasi dilakukan saat berlangsungnya kegiatan pembelajaran untuk mengukur aktivitas belajar siswa dan kinerja guru ketika menggunakan metode eksperimen. Sedangkan, tes dilakukan sebanyak 2 kali dalam setiap siklus yaitu sebelum proses pembelajaran menggunakan metode eksperimen (pretes) dan evaluasi setelah proses pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen (postes). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengolah data yang berasal dari lembar observasi dan lembar tes. Langkah analisis data dilakukan sebagai berikut: 1. Data hasil observasi aktivitas siswa dan guru, didapat dengan pemberian skor pada lembar observasi. Skor yang digunakan adalah skala likert: 1 = tidak baik, 2 = kurang baik, 3 = cukup baik, 4 = kurang baik, dan 5 = sangat baik. (Sugiyono, 2009, hlm.137) Kemudian data skor yang diperoleh dihitung persentasenya dengan rumus berikut:
C. METODE Penelitian tindakan ini dikembangkan dengan menerapkan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Desain penelitian digunakan adalah desain penelitian yang dilakukan oleh Kemmis dan Mc. Taggart yang terdiri dari empat komponen, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan
𝑁=
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
Keterangan: 10% - 29% 18
𝑥 100% (Sudjana, 2006, hlm. 78) = Sangat kurang
30% - 49% 50% - 69% 70% - 89% 90% - 100%
= Kurang = Cukup = Baik = Baik sekal
dengan metode eksperimen dalam meningkatkan pemahaman konsep. Sebelum melakukan penelitian, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan wawancara dengan guru kelas V dan observasi untuk mengetahui data awal penelitian yang dilakukan pada tanggal 12 April 2016 di SDN Legokhuni. Pada data awal didapat hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa pembelajaran IPA tentang materi gaya di kelas V SDN Legokhuni belum menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi. Cara mengajar guru hanya dengan metode ceramah yang didominasi oleh guru, lalu diselingi dengan tanya jawab. Setelah itu, siswa mengerjakan soal latihan yang dibuat guru. Siswa belum terlibat aktif dalam pembelajaran, karena hanya duduk, dengar, catat, dan diam. Siswa cpat bosan dan kurang fokus pada pelajaran. Hal ini berakibat pada kurangnya pemahaman siswa pada pembelajaran IPA tentang konsep gaya. Hasil prestes pemahaman konsep gaya siswa kelas V SDN Legokhuni sebelum tindakan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Persentase Hasil Pretes Siswa No KK Juml Persent Persenta M ah ase se . Sisw Ketuntas a an 1. < 69 23 76,7 % 2. = 69 0 0% 23,3% 3. 69 7 23,3 % Jumlah 30 100 % Keterang Belum Tuntas an
Apabila persentase observasi telah mencapai 70% ke atas, maka tujuan pembelajaran telah berhasil dicapai. 2. Data hasil tes pemahaman konsep siswa, dihitung sebagai berikut. 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 =
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ × 100 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 (Aqib, dkk., 2010, hlm. 40)
Siswa dikatakan tuntas belajarnya apabila mencapai KKM yang ditentukan sekolah sebesar 69. Selain menghitung skor total, dihitung pula nilai rata-rata hasil tes siswa menggunakan rumus berikut: 𝑥
𝑋= (Aqib, dkk., 2010, hlm. 40) 𝑁 Keterangan: X = Nilai rata-rata x = jumlah nilai seluruh siswa N = Jumlah siswa Untuk menghitung ketuntasan belajar siswa secara klasikal dapat menggunakan cara sebagai berikut: 𝑃 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑗𝑎𝑟 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 × 100% =
(Aqib, dkk., 2010, hlm. 40) Ketuntasan belajar klasikal dinyatakan berhasil apabila persentase ketuntasan mencapai ≥ 85%.
Berdasarkan Tabel 1. Dapat diketahui bahwa sebelum dilakukan tindakan, dari 36 siswa kelas V SDN Legokhuni yang mempu mencapai KKM 69 hanya 7 siswa atau 23,3%. Sedangkan yang belum mencapai KKM sebanyak 23 siswa atau 76,7%.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan tindakan berupa implementasi tindakan-tindakan yang telah direncanakan sebelumnya berkaitan 19
akan dicapai hari itu yaitu memahami konsep tentang gaya gravitasi dan pemanfaatannya dalam kehidupan seharihari. 2) Kegiatan Inti a) Tahap pecobaan awal, guru melakukan demonstrasi untuk menampilkan masalah yang berkaitan dengan materi IPA yang akan dipelajari. b) Tahap pengamatan, siswa mengamati demonstrasi guru. c) Tahap hipotesis awal, yaitu siswa diharapkan merumuskan hipotesis awal dari masalah yang didemonstrasikan guru. d) Tahap verifikasi/ melakukan percobaan, pada tahap ini siswa bekerja dalam kelompoknya masing-masing untuk melakukan eksperimen dengan mengikuti langkah-langkah yang terdapat dalam LKK, mengamati percobaan yang dilakukan, menjawab pertanyaan arahan dalam LKK, dan membuat kesimpulan dari hasil percobaan yang dilakukan. Guru mengawasi dan membimbing siswa dalam melakukan eksperimen, sambil mengisi format penilaian observasi yang telah disiapkan. Setelah LKK selesai dikerjakan, guru memberikan kesempatan kepada setiap perwakilan kelompok untuk melaporkan hasil percobaannya. e) Tahap evaluasi, guru memberikan postes kepada setiap individu. Nilai tes tersebut nantinya dijadikan sebagai bahan untuk merefleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk perbaikan pada siklus berikutnya. 3) Kegiatan Akhir Guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan materi yang telah dipelajari, memberi penguatan positif, dan berdoa bersama untuk menutup pembelajaran.
B. Temuan Pelaksanaan Tindakan 1. Siklus I Pelaksanaan siklus I dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 18 April. Pokok bahasan gaya pada siklus I ini adalah tentang gaya gravitasi, dengan tahapan sebagai berikut: a. Tahap Perencanaan Sebelum diadakan pembelajaran terlebih dahulu dibuat perencanaan sebagai berikut: 1) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP dibuat berdasarkan silabus dengan mengacu kepada SK, KD, dan Indikator tentang gaya gravitasi. 2) Mempersiapkan instrumen penelitian yang akan digunakan, diantaranya: Lembar observasi aktivitas siswa maupun guru, lembar kerja kelompok yang digunakan pada saat siswa melakukan percobaan, dan lembar tes pemahaman berupa soal pilihan ganda yang dibuat sesuai indikator pemahaman konsep yang diukur dalam penelitian ini, yaitu menjelaskan, memberikan contoh, menafsirkan, membandingkan, dan menyimpulkan. 3) Mempersiapkan sumber, bahan ajar, dan media yang sesuai dengan pokok bahasan gaya gravitasi. b. Pelaksanaan Tindakan Siklus I Pelaksanaan penelitian tindakan kelas siklus I dilaksanakan hari Senin, 18 April 2016 dimulai pukul 07.20 s/d 08.30 WIB.Materi yang dibahas yaitu konsep gaya gravitasi dengan menerapkan metode eksperimen. 1) Kegiatan Awal Pada kegiatan awal, pembelajaran dibuka oleh guru dengan kegiatan berdo’a dan absensi.Kemudian siswa dikondisikan untuk memulai pembelajaran. Guru melakukan apersepsi untuk menggali pengetahuan awal siswa yang berkaitan dengan gaya gravitasi. Lalu guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang
c. Observasi Tindakan Siklus I 20
Berdasarkan observasi pada tindakan siklus I diperolah data aktivitas siswa dengan menerapkan metode eksperimen yaitu sebagai berikut: serius dalam mengikuti pembelajaran 70%, mengamati demonstrasi guru 70,7%, mengajukan pertanyaan 57,3%, mengutarakan jawaban, 59,3%, aktif berpartisipasi dalam kelompok 69,3%, melakukan eksperimen sesuai dengan langkah kerja 69,3%, menggunakan media pembelajaran 66%, mengamati percobaan yang dilakukan 65,3%, aktif berdiskusi dalam kelompok 66%, dan mengerjakan tes secara individu 74,7%. Berdasarkan data tersebut, nilai rata-rata keseluruhan aktivitas siswa dengan menerapkan metode eksperimen mencapai 66,8% artinya termasuk dalam kategori cukup. Sedangkan, nilai pemahaman konsep siswa setelah penerapan metode eksperimen pada siklus I diuraikan sebagai berikut: indikator pemahaman menjelaskan tercapai 70%, indikator mencontohkan tercapai 70%, indikator menafsirkan tercapai 58,3%, indikator membandingkan tercapai 73,3% dan indikator menyimpulkan tercapai 76,7%. Dari hasil postes pemahaman konsep pada siklus I sudah memperoleh hasil yang cukup baik, hanya masih ada satu indikator pemahaman yang pencapaiannya kurang dari 70%. Adapun nilai rata-rata hasil tes pemahaman konsep setelah menggunakan metode eksperimen pada siklus I adalah sebesar 68,3 dengan ketuntasan klasikal sebeesar 66,7%.Sementara itu, hasil pengamatan yang dilakukan untuk mengukur kinerja guru pada siklus I ini termasuk kategori cukup dengan persentase 69,3% sehingga masih perlu perbaikan pada siklus selanjutnya.
pembelajaran, beberapa siswa masih kesulitan dalam menyelesaikan soal tes pemahaman, dan siswa masih kurang dalam aspek mengajukan atau menjawab pertanyaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode eksperimen sudah terjadi peningkatan dibandingkan dengan sebelum adanya tindakan, akan tetapi nilai pencapaian aktivitas siswa dan guru serta hasil tes pemahaman konsep siswa belum mencapai target yang direncanakan sehingga masih perlu dilakukan perbaikan pada siklus II.
d. Refleksi Siklus I Berdasarkan hasil tes dan observasi pada siklus I, diperoleh hasil refleksi dan analisis sebagai berikut: siswa belum sepenuhnya berpartisipasi aktif di dalam
b. Pelaksanaan Tindakan Siklus II Penelitian siklus II dilaksanakan hari Rabu, 27 April 2016. Materi yang dibahas yaitu konsep gaya gesek dengan menerapkan metode eksperimen. Adapun
2. Siklus II Siklus II dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 27 April. Kegiatan pembelajaran pada siklus II merupakan upaya perbaikan dari siklus sebelumnya. Pokok bahasan gaya pada siklus ke-II ini adalah tentang gayagesek, dengan tahapan sebagai berikut: a. Tahap Perencanaan 1) Menyusun RPP perbaikan untuk pembelajaran pada siklus II. RPP dibuat berdasarkan silabus dengan mengacu kepada SK, KD, dan Indikator tentang gayagesek. 2) Mempersiapkan instrumen penelitian yang akan digunakan, diantaranya: Lembar observasi aktivitas siswa maupun guru, lembar kerja kelompok yang digunakan pada saat siswa melakukan percobaan, dan lembar tes pemahaman berupa soal pilihan ganda yang dibuat sesuai indikator pemahaman konsep yang diukur dalam penelitian ini, yaitu menjelaskan, memberikan contoh, menafsirkan, membandingkan, dan menyimpulkan. 3) Mempersiapkan sumber, bahan ajar, dan media yang sesuai dengan pokok bahasan gayagesek.
21
proses kegiatannya adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan Awal Kegiatan awal, pembelajaran dibuka oleh guru dengan kegiatan berdo’a dan absensi kehadiran siswa. Kemudian siswa dikondisikan untuk siap mengikuti pembelajaran. Guru melakukan apersepsi untuk menggali pengetahuan awal siswa yang berkaitan dengan gayagesek. Lalu menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai pada hari itu yaitu memahami konsep tentang gaya gesek dan pemanfaatannya dalam kehidupan seharihari. 2) Kegiatan Inti a) Tahap pecobaan awal, guru melakukan demonstrasi untuk menampilkan masalah yang berkaitan dengan materi IPA yang akan dipelajari. b) Tahap pengamatan, siswa mengamati demonstrasi guru. c) Tahap hipotesis awal, yaitu siswa diharapkan merumuskan hipotesis awal dari masalah yang didemonstrasikan guru. d) Tahap verifikasi/ melakukan percobaan, pada tahap ini siswa bekerja dalam kelompoknya masing-masing untuk melakukan eksperimen dengan mengikuti langkah-langkah yang terdapat dalam LKK, mengamati percobaan yang dilakukan, menjawab pertanyaan arahan dalam LKK, dan membuat kesimpulan dari hasil percobaan yang dilakukan. Guru mengawasi dan membimbing siswa dalam melakukan eksperimen, sambil mengisi format penilaian observasi yang telah disiapkan. Setelah LKK selesai dikerjakan, guru memberikan kesempatan kepada perwakilan kelompok untuk melaporkan hasil percobaannya. e) Tahap evaluasi, guru membagikan soal postes kepada setiap individu. Nilai tes tersebut dijadikan sebagai bahan untuk merefleksi
pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk perbaikan pada siklus berikutnya jika target penelitian belum tercapai. 3) Kegiatan Akhir Menyimpulkan materi pelajaran yang telah dipelajari, guru memberi penguatan positif, dan berdoa bersama untuk menutup pembelajaran. c. Observasi Tindakan Siklus II Berdasarkan observasi pada tindakan siklus II diperolah data aktivitas siswa dengan menerapkan metode eksperimen yaitu sebagai berikut: serius dalam mengikuti pembelajaran 77,3%, mengamati demonstrasi guru 73,3%, mengajukan pertanyaan 64%, mengutarakan jawaban 66%, aktif berpartisipasi dalam kelompok 72,7%, melakukan eksperimen sesuai dengan langkah kerja 70%, menggunakan media pembelajaran 73,3%, mengamati percobaan yang dilakukan 68%, aktif berdiskusi dalam kelompok 68,7%, dan mengerjakan tes secara individu 79,3%. Berdasarkan data tersebut, nilai rata-rata keseluruhan aktivitas siswa dengan menerapkan metode eksperimen mencapai 71,3% artinya sudah termasuk dalam kategori baik. Hasil nilai pemahaman konsep siswa setelah penerapan metode eksperimen pada siklus II diuraikan sebagai berikut: indikator pemahaman menjelaskan tercapai 78,9%, indikator mencontohkan tercapai 75%, indikator menafsirkan tercapai 71,7%, indikator membandingkan tercapai 75% dan indikator menyimpulkan tercapai 73,3%. Dari hasil postes pemahaman konsep pada siklus II sudah memperoleh hasil yang baik, semua indikator pemahaman tercapai ≥ 70%. Adapun nilai rata-rata hasil tes pemahaman konsep setelah menggunakan metode eksperimen pada siklus II adalah sebesar 75,3 dengan ketuntasan klasikal sebeesar 86,7%. Sementara itu, hasil pengamatan yang 22
dilakukan untuk mengukur kinerja guru pada siklus II ini sudah termasuk kategori baik dengan persentase 82,7%.
2. Pemahaman konsep siswa terhadap pembelajaran IPA materi gaya setelah menerapkan metode eksperimen mengalami peningkatan yang optimal daripada siklus sebelumnya. Berdasarkan hasil perbandingan nilai tes pemahaman konsep gaya pada siklus I dan siklus II. Hal ini dilihat dari adanya peningkatan nilai rata-rata siswa dan ketuntasan siswa secara klasikal. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
d. Refleksi Siklus II Berdasarkan hasil observasi setelah melakukan tindakan pada siklus II diketahui bahwa penerapan metode eksperimen untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa telah menunjukkan hasil yang signifikan. Secara keseluruhan terjadi peningkatan yang sangat baik dari siklus sebelumnya. Dalam melakukan percobaan siswa sudah mulai terbiasa dan tidak terlihat ragu-ragu lagi, sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal pemahaman dengan baik, siswa sudah mulai aktif dan berani dalam mengajukan dan menjawab pertanyaan, serta dilihat dari pencapaian secara klasikal sudah mencapai 86,7%. Dengan kata lain, penelitian dapat dikatakan telah berhasil mencapai tujuan yang diharapkan dan tidak dilanjutkan pada siklus selanjutnya.
Tabel 2 Rekapitulasi Hasil Tes Pemahaman Siklus I dan Siklus II Kriteria Siklus I Siklus II Nilai 20 40 Terendah Nilai 100 100 Tertinggi Nilai Rata68,3 75,3 rata Jumlah siswa tuntas 20 26 KKM Jumlah siswa belum 10 4 tuntas Persentase 66,7% 86,7% Ketuntasan
C. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Aktivitas siswa dalam pembelajaran IPA materi gaya dengan menerapkan metode eksperimen, berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, dapat dilihat adanya peningkatan nilai ratarata aktivitas, yaitu pada siklus I sebesar 66,8% dengan kategori Cukup, kemudian meningkat pada siklus ke II menjadi 71,3% artinya sudah termasuk dalam kriteris Baik. Peningkatan ini terjadi karena adanya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, siswa melakukan percobaan sendiri, mengamti prosesnya, dan menuliskan hasil dari percobaannya. Sejalan dengan pengertian metode eksperimen menurut Djamarah (2006, hlm. 84), “Metode eksperimen merupakan cara penyajian pelajaran, dengan cara siswa melakukan dan membuktikan sendiri apa yang dipelajari”.
Berdasarkan tabel 2. dapat dilihat terjadi peningkatkan dari siklus I ke siklus II, nilai rata-rata siswa meningkat sebeesar 7 poin dari siklus I 68,3 pada siklus II menjadi 75,3. Selain itu, persentase ketuntasan klasikalpun meningkat dengan signifikan. Pada siklus I hanya66,7% lalu meningkat sebesar 20% pada siklus II menjadi 86,7%. Sehingga dapat dikatakan tujuan pembelajaran telah tercapai karena telah mencapai target ketuntasan klasikal hasil tes pemahaman konsep siswa pada tahap perencanaan yaitu sebesar 85%. Peningkatan tidak hanya dilihat dari nilai rata-rata dan persentase ketuntasan klasikal siswa, namun dilihat juga dari persentase pencapaian siswa terhadap setiap indikator pemahaman konsep yang diukur dalam penelitian ini. Lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3. 23
Tabel 3. Rekapitulasi Nilai Hasil Tes Pemahaman pada Tiap Indikator Persentase Indikator Pemahaman Siklus I Siklus II 70% 78,9% Menjelaskan Mencontohkan
70%
75%
Menafsirkan
58,3%
71,7%
Membandingkan
73,3%
75%
Menyimpulkan
76,7%
73,3%
Rata-rata
69,6%
74,8%
1. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran IPA materi gaya dan pemanfaatannya dengan menerapkan metode eksperimen menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini terlihat dari aspek kemampuan merumuskan hipotesis, melakukan percobaan, mengamati percobaan, dan mengerjakan soal evaluasi yang telah telah meningkat dari siklus I ke ssiklus II. Pada siklus I rata-rata nilai persentase aktivitas siwa sebesar 66,8% yang artinya termasuk dalam kriteria Cukup, lalu pada siklus II meningkat menjadi 71,3% yang artinya sudah termasuk dalam kriteria Baik. 2. Pemahaman konsep siswa pada pembelajaran materi gaya dan pemanfaatannya setelah menerapkan metode eksperimen mengalami peningkatan yang signifikan. Dibuktikan dengan nilai rata-rata hasil postes dan persentase ketuntasan klasikal siswa yang diperoleh dalam setiap siklusnya yang meningkat. Pada siklus I nilai rata-rata siswa adalah 68,3 dengan persentase ketuntasan klasikal 66,7%. Pada siklus II nilai rata-rata meningkat menjadi 75,3 dengan persentase ketuntasan 86,7%. Hal ini mengindikasikan bahwa tujuan pembelajaran yang telah direncanakan telah tercapai yaitu mencapai ketuntasan klasikal ≥ 85%. Dengan demikian, dapat disimpulkan secara umum bahwa penerapan metode eksperimen dalam pembelajaran IPA materi gaya dan pemanfaatannya terbukti dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa.
Berdasarkan Tabel 3. menunjukan bahwa pada siklus pertama masih ada indikator yang pencapaiannya kurang dari 60%, sedangkan pada siklus kedua persentase pada setiap indikator pemahaman konsep sudah melebihi 60% semua, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan pemahaman konsep pada setiap indikator dengan menerapkan metode eksperimen ini telah berhasil. Peningkatan ini menjadi bukti bahwa metode eksperimen dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pembelajaran IPA mengenai materi gaya di SD. Hal ini dikarenakan dengan menggunakan metode eksperimen siswa dilatih melatih dan diajarkan untuk belajar konsep suatu materi yang sedang dipelajari dengan cara melakukan percobaan sendiri. Roestiyah (2008, hlm. 80) menegaskan bahwa “Metode eksperimen mempunyai tujuan supaya siswa dapat mencari dan menemukan bukti kebenaran dari teori tentang sesuatu yang sedang dipelajarinya”. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas pada proses pembelajaran dengan menerapkan metode eksperimen di kelas V SD Negeri Legokhuni untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran IPA materi gaya yang dilaksanakan sebanyak dua siklus, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
DAFTAR RUJUKAN Anderson, L., dan Krathwohl, D. (2010). Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan assesmen. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 24
Aqib, dkk. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya. Depdiknas. (2006). Model kurikulum tingkat satuan pendidikan SD dan MI. Solo: Tiga Serangkai. Djamarah, S, B., dan Zain, A. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hamdayama, J. (2014). Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter. Bogor: Ghalia Indonesia K. Roestiyah, N. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Ramyulis. (2005). Langkah-langkah metode eksperimen. Bandung: Angkasa Bandung. Sagala, S. (2005). Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: CV. Alfabeta. Samatowa, U. (2010). Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Indeks. Sudjana. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta. Tsuraya, N, M. (2013). Penerapan metode eksperimen untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Skripsi. Program Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Kampus Purwakarta. Widodo, A. (2006). Taksonomi Bloom dan Pengembangan Butir Soal. Buletin Puspendik, 3 (2), hlm.18-29.
25
PENERAPAN MODEL NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASARUNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS IV SDN DAWUAN TIMUR II Gina Sonia MJ1, Sofyan Iskandar2, Srie Mulyani3
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di SDN Dawuan Timur II yang bertujuan untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial IPS Siswa Sekolah Dasar dengan menerapkan Model Numbered Head Together (NHT). Latar belakang penelitian ini mengacu pada studi pendahuluan yang telah dilakukan bahwa keterampilan sosial siswa masih rendah, hal tersebut dapat dilihat dari perilaku siswa yang masih belum baik selama proses pembelajaran berlangsung, berdasarkan data lapangan yang sudah dilakukan, siswa memiliki sikap yang kurang baik seperti siswa tidak memperhatikan penjelasan guru pada saat pembelajaran berlangsung, tidak mendengarkan penjelasan guru dan siswa tidak menghargai temannya ketika ada yang sedang berbicara di depan kelas, kemudian siswa sering membuat keributan di dalam kelas dan tidak mau untuk mengerjakan tugas. Salah satu solusi yang dianggap tepat adalah dengan menerapkan Model Numbered Head Together (NHT) karena model ini dapat meningkatkan suatu interaksi dan komunikasi siswa satu dengan yang lainnya, selain itu juga model ini memiliki kelebihan yang lain yaitu dapat bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain, melatih siswa untuk bisa menjadi tutor sebaya, memupuk rasa kebersamaan, membuat siswa menjadi terbiasa dengan perbedaan. Dan model pembelajaran ini mengacu pada interaksi sosial sehingga pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan hubungan sosial antarsiswa. Sehingga aktivitas siswa dapat meningkat baik secara individu maupun kelompok. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dengan desain penelitian Kemmis dan Mc. Taggart yang terdiri dari empat tahapan yaitu, perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Instrumen yang digunakan yaitu Lembar observasi Aktivitas siswa dan lembar observasi keterampilan sosial siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa pada pembelajaran IPS. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan setiap siklusnya. Pada siklus 1 hasil keterampilan sosial siswa memperoleh persentase sebesar 42%, pada siklus 2 meningkat menjadi 62%, dan pada siklus ke 3 meningkat kembali sebesar 86%. Dengan demikian kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan model Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan keterampilan sosial IPS siswa Sekolah Dasar. Kata
Kunci:
Numbered
Head
Together
26
(NHT),
Keterampilan
Sosial.
A. PENDAHULUAN
langsung bahwa pembelajaran kooperatif tersebut dapat mengajarkan siswa dalam hal keterampilan sosial dan dengan model tersebutdapat meningkatkan keterampilan sosial siswa baik secara langsung dalam pembelajaran serta setelah pembelajaran. Dengan menggunakan model Numbered Head Together (NHT) ini memiliki suatu perbedaan dengan model yang lainnya, Sehingga model ini merupakan suatu model yang dapat meningkatkan suatu interaksi dan komunikasi siswa satu dengan yang lainnya, selain itu juga model ini memiliki kelebihan yang lain yaitu bisa membantu saling bertukar pikiran dan pendapat serta saling menghargai pendapat orang lain. Selain itu juga model pembelajaran ini mengacu pada interaksi sosial sehingga pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan hubungan sosial antarsiswa. Dengan kelebihan yang terdapat dalam model ini, sesuai dengan permasalahan yang terjadi di dalam kelas yang akan memperbaiki permasalahan tersebut. Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, peneliti akan mencoba memperbaiki pembelajaran IPS dengan menggunakan model Numbered Head Together (NHT). Penulis mengajukan penelitian yang berjudul Penerapan Model Numbered Head Together (NHT) dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.
Salah satu tujuan institusional pendidikan yakni mengharapkan peserta didik untuk memiliki dan dapat mengembangkan pribadi yang memiliki kesadaran terhadap nilainilai sosial dalam kehidupan seharihari, yang artinya peserta didik diharapkan memiliki keterampialn sosial dalam hidup bermasyarakat, baik itu keterampilan sosial yang harus ia tunjukan kepada keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekitarnya. Namun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran pengetahuan sosial khususnya dalam keterampialn sosial tersebut belum tercapai dengan baik. Sedangkan kondisi nyata yang ada di kelas IV SDN Dawuan Timur II dalam pembelajaran IPS khususnya untuk keterampilan sosial siswa ini masih kurang baik. Di karenakan berdasarkan data lapangan yang sudah dilakukan, siswa memiliki sikap yang kurang baik seperti siswa tidak mendengarkan guru, tidak mendengarkan penjelasan guru dan siswa tidak menghargai temannya ketika ada yang sedang berbicara di depan kelas, kemudian siswa sering membuat keributan di dalam kelas dan tidak mau untuk mengerjakan tugas. Mengenai masalah yang diuraikan di atas, maka dari itu peneliti akan memperbaiki proses pembelajaran dengan menggunakan model yang sesuai yaitu model kooperatif. Jadi, secara tidak B. KAJIAN PUSTAKA 1. Model Numbered Head Together (NHT) Hamdayama (2014, hlm. 175) memberikan pengertian Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) yaitu: Model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berfikir bersama merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spanser Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan 27
mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Dapat disimpulkan bahwa modelNumbered Head Together (NHT) Merupakan suatu model pembelajaran yang mengacu pada belajar kelompok siswa, masingmasing anggota memiliki bagian tugas pertanyaan dengan nomor yang berbeda - beda. dan model ini juga lebih mengacu pada interaksi sosial sehingga pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan hubungan sosial antar siswa.Denganbegitu model inidapatmembuatsiswamenjadilebiha ktiflagidansalingmrnghargaipendapat daritemannyasertabisameningkatkan kerjasamadalammenyelesaikanpers oalandengnacaraberdisukusi.
lain dalam bentuk tingkah laku, maupun dalam bentuk berkomunikasi dengan orang lain, sehingga bermanfaat baik bagi lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Pentingnya keterampilan sosial dimiliki oleh siswa akan menjadikannya individu yang dapat berprilaku sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, pada keterampilan sosial ini tidak datang dengan sendirinya perlu diajarkan atau dilatih melalui pendidikan IPS dan proses belajar dengan mengenalkan lingkungan sosialnya, yang dekat dengan siswa, status dan peranannya sebagai makhluk sosial, keterampilan bekerja sama dan gotong royong di masyarakat dan di rumah. Keterampilan sosial merupakan bagian dari psikomotor yang memiliki hubungan domain dengan kognitif dan afektif.indikator keterampilan sosial yang dikemukakan oleh Ulansari. I & Yonata.digunakan dalam penelitian ini yakni: “a) mendengarkan dengan aktif; b)mengajukan pertanyaan; c) menyampaikan pendapat; d)kerja sama diskusi kelompok”.
2. Langkah- LangkahNumbered Head Together (NHT) Ibrahim (dalam Hamdayama 2014, hlm. 176-177) mengurutkan Model Numbered Head Together (NHT)menjadi enam langkah sebagai berikut: a) langkah pertama persiapan; b)langkah kedua penomoran dan pembentukan kelompok; c)langkah ketiga setiap siswa harus memiliki buku paket atau buku panduan; d) langkah keempat diskusi masalah; e) memanggil nomor anggota dan pemberian jawaban; f) dan langkah keenam memberi kesimpulan.
4. Pembelajaran IPS Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang diajarkan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.dan merupakan bidang pengetahuan yang digali dari kehidupan seharihari masyarakat. Dengandemikiansiswadapatbelajarm engenaitentangkehidupansosial dimasyarakatsekitarnyadanmenyada riperanyasebagaiwarganegara yang baik. Dan tujuan dari IPS adalah mengembangkan siswa untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, sikap, kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi dimana konten mata pelajarannya digali dan
3. Keterampilan Sosial Mclntyre (dalam Kurniati 2016, hlm.9) menyebutkan bahwa, ‘keterampilan sosial anak meliputi hal-hal berikut ini: ‘a)Tingkah laku dan interaksi positif dengan teman lainnya; b) perilaku yang sesuai di dalam kelas; c) cara-cara mengatasi frustasi dan kemarahan; dan e) cara- cara untuk mengatasi konflik dengan yang lain’. Keterampilan sosial juga diartikan sebagai salah satu cara siswa untuk melakukan interaksi dengan orang 28
4. Instrumen Penelitian instumen-instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Lembar observasi, digunakan sebagai pengumpul data yang berhubungan dengan aktivitas siswa, keterampilan sosial dan guru dalam pembelajaran. b. Dokumentasi, digunakan untuk mengetahui gambar-gambar kegiatan belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
diseleksi berdasarkan sejarah dan ilmu sosial. C.METODE PENELITIAN 1. Jenis penelitian Penelitian yang dilaksanakan bersifat melakukan perbaikan pembelajaran. oleh karena itu, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), hal ini guru dapat meneliti sendiri terhadap pembelajaran yang ia lakukan di kelas sehingga guru dapat memperbaiki praktek-praktek pembelajaran menjadi lebih efektif. Dengandemikian guru akanmerefleksisendirikurangnyapem belajaran yang sudahdilakukandanmembuatperbaik anpembelajaranuntukkedepannyase hinggapengajaannya yang dilakukanakantermotivasimenjadilebi hbaiklagi.
5. Analisis Data a. Observasi Dataobservasiyang diperoleh diolah secarakualitatiflalu dipresentasekan hasilnya kemudiandigunakan sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki pembelajaran selanjutnya. Setiap aspek yang diobservasi mempunyai kriteria nilai 1 sampai 4, dengan kategori sebagai berikut:
2. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi Penelitian dilakukan di SD Negeri Dawuan Timur II Kecamatan Cikampek Kabupaten Karawang, Lebih tepatnya bertempat di tengahtengah perumahan Perum Griya Citra Persada. Subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 29 orang yang terdiri dari 20 siswa lakilaki dan 9 siswa perempuan.
Rata-rata Skala 1 - 4 yaitu: 3,01 - 4,00 = Sangat Baik 2,01 - 3,00 = Baik 1,0 - 2,00 = Cukup Baik Sumber: Arikunto (2013) Dan kriteria skala nilai dalam persentase berikut: Kriteria Skala Nilai Nilai Keterangan
3. Desain Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakanModel Spiral Desain Kemmis & McTaggart (Uno, dkk, 2012, hlm. 87) atau lebih dikenal dengan model Spiral. Dalam perencanaannya, kemmis menggunakan sistem spiral refleksi diri yang dimulai denganrencana, tindakan, observasidan refleksiperencanaan kembali yang merupakan suatucarauntuk memecahan permasalahan yang terjadi selama penelelitian berlangsung.
81 - 100%
Sangat baik
61 - 81%
Baik
41 - 60%
Cukup Baik
< - 21%
Kurang Baik
Nana Sudjana (2009) 4 = sangat baik 3 = cukup baik 2 = baik 1 = perlu bimbingan Untuk mendapatkan hasil nilai observasi, cukup dengan rumus: Tingkat keberhasilan =
29
b. Observasi Aktivitas Siswa Jumlah skor yang didapatX100% Jumlah skor tertinggi
Hasil Observasi Aktivitas Siswa SiklusPertama, Siklus Dua, dan Siklus keTiga
Setelah semua data skor siswa terkumpul kemudian dicari rataratanya keterampilan sosial seluruh siswa, yang bertujuan untuk mengetahui keterampilan sosial seluruh siswa. Adapunmencari rataratanyadapatdihitungmenggunakan:
Rekapitulasi Hasil Observasi Aktivitas Siswa 100% 80% 60%
Rata-rata siswa
=Jumlah
skor
seluruh
40%
Banyaknya siswa
20%
D.HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini terjadi sebanyak tiga siklus, selama tiga siklus adapeningkatan keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran IPS dengan penerapan model Numbered Head Together (NHT). a. Observasi Aktivitas Guru
0% 1
2
3
Gambar di atasadanya kenaikan aktivitas siswa. Hasil observasi pada siklus pertamaini diperoleh nilai 56% dengan kategori cukup baik, dan pada siklus keduadiperoleh nilai 68% dengan kategori baik, dan pada siklus ketiga diperoleh 86% dengan kategori sangat baik.
Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus Pertama, SikluskeDua, dan Siklus keTiga Rekapitulasi Hasil Pembelajaran Aktivitas Guru
c. Keterampilan sosial siswa
100,00%
Hasil Keterampilan Sosial Siswa Siklus pertama, Siklus kedua, dan Siklusketiga
80,00% 60,00%
Rekapitulasi Hasil Keterampilan Sosial Siswa
40,00% 20,00%
100% 0,00% 1
2
50%
3
0% 1
Gambar di atas adanya kanaikan aktivitas yang dilakukanoleh guru. Hasil observasi pada siklus pertama ini diperoleh nilai 60,7% dengan kategori cukup baik, dan pada siklus kedua diperoleh nilai 76,1% dengan kategori baik, dan pada siklus ketiga diperoleh 9,28% dengan kategori sangat baik.
2
3
SIKLUS 1 SIKLUS 3…
Gambar di atas adanyakenaikan keterampilan sosial siswa Hasil observasi pada siklus pertama ini didapat nilai 42% dengan kategori cukup baik, dan pada siklus kedua didapat nilai 62% dengan kategori
30
baik, dan pada siklus ketiga didapat 86% dengan kategori sangat baik.
dapat dilihat dari hasil rata-rata yang diperoleh siswa setiap siklusnya. Pada siklus pertama diperoleh persentase dengan kategori cukup baik, pada siklus kedua didapat persentase dengan kategori baik dan pada siklus ketigadengan mendapat persentase dengan kategori sangat baik. Artinya keterampilan sosial siswa pada setiap siklusnya mengalami peningkatan, dalam hal ini siswa dapat mendengarkan penjelasanguru,dapat mengajukan pertanyaan, dapat mengajukan pendapatnya serta kerjasama diskusi dengan baik. Berdasarkan hal tersebut,disimpulkanbahwa penerapan model Numbered Head Together (NHT) bisa digunakan untuk meningkatan keterampilan sosial IPS siswa kelas IV di SDN Dawuan Timur II.
E.KESIMPULAN Berdasarkan temuan dan pembahasan tentang pembelajaran IPS dengan model Numbered Head Together (NHT)untuk meningkatkan keterampilan sosial IPS siswasekolah dasar, maka diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Aktivitas Guru Aktivitas Guru dalam dalam proses pembelajaran dengan menerapkan model Numbered Head Together (NHT) mendapat respon baik, dilihat dari peningkatan aktivitas guru yang terjadi di setiap siklusnya. Pada siklus pertama didapat persentase aktivitas gurudengan kategori cukup baik, kemudian meningkat pada siklus kedua dengan kategori baik. Dan pada siklus ketiga, dengan kategori sangat baik. 2. Aktivitas Siswa Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dengan model Numbered Head Together (NHT)mendapat respon yang bagus, terlihatdari peningkatan aktivitas siswa yang terjadi pada setiap siklusnya. Setiap individu dapat mengikuti pembelajaran IPS dengan sangat antusias, Siswa mulai aktif dalam kelompok, sehingga setiap siswa yang ditunjuk nomornya untuk menyampaikan hasil diskusinya sudah siap. Pada siklus pertama didapat persentase aktivitas siswa dengan kategori cukup baik, kemudian meningkat pada siklus kedua dengan kategori baik. pada siklus ketiga, dengan kategori sangat baik. 3. Keterampilan Sosial Siswa Keterampilan Sosial Siswa melalui penerapan modelNumbered Head Together (NHT)dalampokok bahasan koperasi dan kesejahteraan rakyat telah mengalami peningkatan. Hal ini
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. PT Rineka Cipta Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Konsep Pengembangan Model Integrasi. Hamdayama, J. (2014). Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter. Jakarta: Ghlia Indonesia. Kurikulum Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta: Puskur Baltimbang. Depdiknas Kurniati, E. (2016). Permainan Tradisional dan Perannya dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak Jakarta: Prenadamedia Group. Sudjana, N. (2009). Dasar- Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Ulansari, & Yonata, (2012). Keterampilan Sosial Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Journal.
31
Uno, H.B, & Dkk. (2011). Menjadi Peneliti PTK Yang Profesional. Jakarta: PT Bumi Aksara. RIWAYAT PENULIS Gina Sonia MJ adalah Mahasiswa UPI Kampus Purwakarta yang sedang menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh sarjana Pendidikan pada Program Studi S1 PGSD.Sofyan Iskandar dan Srie Mulyani adalah dosen PSGD di Universitas Pendidikan Indonesia kampus Purwakarta Alamat yang dapat di hubungi Jl. Veteran 08 UPI Kampus Purwakarta.
32
PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI GERAK DALAM PEMBELAJARAN IPA SEKOLAH DASAR (Penelitian Tindakan Kelas Dilakukan Pada Siswa Kelas III SD Plus 2 AlMuhajirin Kecamatan Purwakarta Kabupaten Purwakarta)
Lia Yulindaria dan Isah Cahyani e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh proses pembelajaran IPA yang monoton, yaitu mengunakan metode ceramah sehingga kurang melibatkan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran yang mengakibatkan siswa jenuh dan kesulitan dalam memahami materi pelajaran sehingga hasil belajar siswa rendah. Penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dijadikan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. CTL mengutamakan pengalaman nyata, berfikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa aktif, kritis dan kreatif, pengetahuan bermakna, dan kegiatannya bukan mengajar tetapi belajar. Selain itu keunggulan lain yakni kegiatannya lebih kepada pendidikan bukan pembelajaran, sebagai pembentukan manusia, memecahkan masalah, siswa aktif guru mengarahkan, dan hasil belajar diukur dengan berbagai alat ukur tidak hanya tes saja. Adapun tujuan penelitian yaitu : untuk mengetahui aktifitas dan hasil belajar siswa kelas III SD Plus 2 Al-Muhajirin setelah menerapkan pendekatan CTL. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas, yaitu penelitian yang digunakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Penelitian ini terdiri dari deskripsi awal, siklus satu dan siklus dua. Masing-masing siklus meliputi beberapa tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Instrumen pengumpulan data menggunakan tes hasil belajar siswa, angket dan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada siklus I, siswa yang memdapatkan nilai sesuai KKM (75) sebanyak 21 siswa dari 33 siswa dengan nilai rata-rata 77.87 dan daya serap klasikal sebesar 63.63%. Sedangkan pada siklus II, siswa yang mendapat nilai sesuai KKM sebanyak 29 siswa dari 33 siswa dengan nilai ratarata 90.61 dan daya serap klasikal sebesar 93.94%. Aktivitas siswa meningkat dari 66.99% di siklus I, menjadi 87.77 di siklus II. Demikian pula dengan respon siswa terhadap pembelajaran mencapai 96.6% yang berarti dengan penerapan pendekatan CTL pun dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam pembelajaran IPA khususnya pada materi Energi Gerak. Kata kunci : Hasil belajar, Pendekatan CTL
A. PENDAHULUAN Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sience adalah ilmu yang mempelajari tentang alam semesta, yang mengungkapkan segala sesuatu
yang berkaitan dengan alam semesta. IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
33
beberapa temuan. Pertama siswa kurang terlibat aktif dalam belajar khususnya pelajaran IPA. Kedua pembelajaran IPA masih berpusat pada guru. Pembelajaran IPA masih menggunakan metode konvensional dimana guru sebagai pusat pembelajaran (Teacher Centered) dan siswa sebagai pendengar yang baik. Ketiga pada pelajaran IPA siswa hanya diberikan catatan dan hafalanhafalan materi saja, tanpa adanya penggunaan media pembelajaran yang membuat suasana menjadi jenuh dan monoton. Keempat hasil belajar belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimial (KKM) SD Plus 2 Al-Muhajirin Purwakarta sebesar 75 untuk mata pelajaran IPA. Kelima pembelajaran belum menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Sehingga pembelajaran pun menjadi tidak bermakna dan belum berkonteks, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap hasil belajar. Siswa menjadi tidak faham akan materi yang disampaikan guru karena dalam proses pembelajaran tidak dikaitkan dengan kehidupannya sehari-hari peserta didik. Untuk itu, agar dalam pembelajaran siswa dapat ikut berpartisipasi dan menjadikan pembelajaran lebih bermakna serta membuat mereka mau berfikir, maka saya akan mencoba mengubah pendekatan pembelajaran yang diberikan dengan menerapkan model Contextual Teaching and Learning (CTL).
yang berupa fakta-fakta, konsepkonsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan yang teruji kebenarannya melalui suatu metode ilmiah. Seperti yang dikemukakan oleh Nash dalam Samantowa (2006: 2) menyatakan bahwa IPA adalah “suatu cara atau metode untuk mengamati alam”. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Sesuai dengan pendapat Asy’ari (2007: 37) “dalam pembelajaran IPA ditekankan agar berorientasi pada siswa”. Untuk pembelajaran IPA sendiri menekankan adanya interaksi antara siswa dengan obyek atau alam secara langsung. Oleh karena itu guru sebagai fasilitator perlu menciptakan kondisi dan menyediakan sarana agar siswa dapat mengamati dan memahami obyek IPA. Hal ini sesuai dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006:111) menyatakan bahwa: “mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep ilmu pengetahuan alam (IPA) yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari”. Dalam mengelola kelas langkah awal yang perlu diketahui guru adalah dengan siapa atau siswa yang bagaimana yang akan dihadapi. Tanpa paham tentang siswa yang akan difasilitasi, mustahil guru dapat memilih strategi pembelajaran yang tepat dan materi pembelajaran yang sesuai. Dengan memberikan pengalaman secara langsung kepada siswa, siswa dapat mengembangkan kompetensi dan memperoleh pengetahuan yang bermakna, agar mampu memahami alam sekitar serta pengembangan yang lebih lanjut khususnya pada siswa Sekolah Dasar (SD). Kenyataannya berdasarkan observasi di lapangan, diperoleh
B. KAJIAN TEORITIK Konsep dasar Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari mereka, yaitu
34
dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan kebudayaan mereka (Johnson, 2010:67). Berdasarkan pernyataan tersebut, pembelajaran IPA di sekolah dasar dengan menggunakan Contextual Teaching and Learning (CTL) akan dapat terasa kebermaknaannya karena pembelajaran tersebut mampu mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan dapat mendorong membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran dapat berlangsung ilmiah dimana siswa mengalami, bukan hanya mentranfer pengetahuan dari guru. Pendekatan yang paling cocok dan paling efektif sesuai dengan kondisi karakteristik sikap budaya di Indonesia adalah pendekatan yang mencakup kesesuaian antara situasi dan belajar siswa dengan situasi kehidupan nyata di masyarakat. Dengan menggunakan ciri-ciri esensial dari situasi kehidupan yang berbedabeda akan meningkatkan kemampuan menalar, berprakarsa, dan berpikir kreatif pada anak didik. Sehingga model belajar yang cocok khususnya pada pembelajaran IPA tentang energi adalah belajar dengan pengamatan langsung (learning by doing) dengan pendekatan Contextual Teaching dan Learning (CTL). Keuntungan lain dari model pendekatan ini adalah memperkuat daya ingat siswa dan biayanya sangat murah karena menggunakan alat-alat dan media belajar yang ada di lingkungan peserta didik sendiri. Penelitian terdahulu yang relevan dilakukan oleh Ayu Larasati (2010) tentang meningkatkan hasil
belajar siswa pada konsep bangun ruang melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) menunjukkan hasil yang baik. Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan Yuliyanti (2013) terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas IV yang signifikan dalam pembelajaran IPA tentang materi perubahan lingkungan dan pengaruhnya terhadap lingkungan dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana telah diutarakan di atas, maka penulis memandang penting dan perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Energi Gerak dalam Pembelajaran IPA Sekolah Dasar.” C. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini adalah SD Plus 2 Al-Muhajirin yang beralamat Jln. Ipik Gandamanah nomor 33 Kampung Sukamulya Kelurahan Ciseureuh Kecamatan Purwakarta Kabupaten Purwakarta Untuk itu penelitian akan mencoba menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan hasil belajar siswa kelas III di SD Plus 2 AlMuhajirin pada mata pelajaran IPA. Subjek penelitian adalah kegiatan pembelajara IPA pada materi energi dengan melalui pendekatan CTL di kelas III Mina SD Plus 2 Al-Muhajirin yang berjumlah 33 orang, yang terdiri dari siswa laki-laki 18 orang dan siswa perempuan 15 orang. Objek penelitian ini adalah aktifitas dan hasil belajar siswa kelas III Mina SD Plus 2 AlMuhajirin Purwakarta pada materi energi, khususnya energi gerak
35
sebelum dan sesudah menggunakan pendekatan CTL. Penelitian ini dianggap berhasil jika terjadi peningkatan hasil belajar peserta didik setelah menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dibandingkan dengan proses belajar mengajar sebelumnya (pembelajaran tanpa menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning), dimana nilai KKM sebesar 75 dapat tercapai dengan nilai KKI 85%. Selain itu terjadi perubahan tingkah laku belajar siswa yang positif secara signifikan dimana respon dan motivasi belajar siswa meningkat. Hal ini dapat terlihat pada aspek kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik yang tinggi.
siswa yang mengobrol dengan temannya dan ada juga siswa yang bercanda. Sesekali guru mengingatkan siswa agar memperhatikan penjelasan guru dan siswa pun diam sejenak. Kemudian guru menugaskan siswa agar membaca buku IPA mengenai pokok bahasan energi. Setelah selesai guru menanyakan apakah siswa sudah mengerti atau belum dan siswa pun serempak menjawab sudah. Karena siswa sudah mengerti semua, guru pun mengadakan tanya jawab dengan siswa tentang materi yang sudah dibahas, ternyata hanya siswa yang pandai saja yang bisa menjawab dan siswa lain lebih banyak diam. Karena waktu hampir habis guru menyimpulkan materi yang sudah dibahas dengan menjelaskan kembali secara singkat kemudian mencatat di papan tulis dan siswa menyalin di buku catatannya. Pada kegiatan akhir, guru mengadakan evaluasi untuk mengetahui tingkat daya serap siswa terhadap materi yang sudah disampaikan, nilai rata-rata kelas yang diperoleh hanya mencapai nilai 67.58 dengan siswa yang tuntas belajar hanya 7 orang atau 21.21% dari jumlah siswa seluruhnya. Dengan adanya hasil evaluasi belajar siswa pada prasiklus tersebut, menunjukan perlu adanya sebuah perbaikan pembelajaran. Dengan demikian penulis mengadakan sebuah penelitian tindakan kelas demi perbaikan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL pada pembelajaran IPA pokok bahasan energi. 1. Pelaksanaan Tindakan Siklus I Siklus I dilakukan di SD Plus 2 Al-Muhajirin pada hari Kamis tanggal 18 Agustus 2014. Siklus I ini merupakan lanjutan dari prasiklus yang hasil kegiatan belajar mengajarnya masih rendah. Adapun kegiatan yang dilakukan pada siklus I dan siklus
D. PEMBAHASAN Objek penelitian yang dipilih adalah siswa kelas III Mina dengan jumlah siswa 33 orang, yang terdiri dari siswa laki-laki 18 orang dan siswa perempuan 15 orang. Objek merupakan kelas yang homogen dimana kemampuan akademisnya beragam. Kelas ini merupakan kelas teraktif dan sebagian guru merasa kerepotan untuk meng”handle”nya sehingga penulis merasa tertantang untuk mengetahui pembelajaran seperti apa yang efektif untuk kelas tersebut terutama pada mata pelajaran IPA. Sebelum memulai pada pelaksanaan tindakan, penulis menemukan masalah terhadap pembelajaraan pada saat melakukan kegiatan prasiklus, dengan pembelajaran yang hanya terpusat pada guru, siswa kurang fokus terhadap materi yang disampaikan oleh guru. Dalam keadaan seperti ini, sebagian siswa ada yang serius memperhatikan penjelasan guru, ada
36
berikutnya meliputi perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Penulis dan guru mitra mempersiapkan rencana pelaksaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Kegiatan belajar mengajar disajikan dalam waktu 2x35 menit. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang dan membagi LKS, alat dan bahan pada setiap kelompok untuk melakukan percobaan sumber energi angin yang mengakibatkan tisu, kertas dan kincir bergerak. Kemudian guru dan siswa melakukan percobaan membuat kincir angin, menjawab pertanyaan di LKS dan tanya jawab mengenai hasil percobaan. Melalui bimbingan guru, siswa membuat kesimpulan dari hasil diskusi kelompok. Guru dan siswa mengulas kembali kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan, serta membuat kesimpulan tentang materi pembelajaran. Terakhir mengerjakan soal tes yang telah disiapkan oleh guru. Nilai permbelajaran IPA siklus I yaitu nilai 40 tidak ada (0%), nilai 50 sebanyak 2 orang (6.06%), nilai 60 sebanyak 3 orang (9.09%), nilai 70 sebanyak 7 orang (21.21%), nilai 80 sebanyak 12 orang (36.36%), nilai 90 sebanyak 6 orang (18.18%), nilai 100 sebanyak 3 orang (9.09%). Hasil evaluasi pada tindakan siklus I, terlihat bahwa rata-rata perolehan skor hasil belajar siswa mencapai 77.87 dari 33 siswa yang mengikuti tes evaluasi tersebut. Skor hasil belajar siswa sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan yaitu 75. Namun siswa yang tuntas belajar hanya ada 21 orang siswa dari 33 siswa dengan persentase ketuntasan belajar hanya mencapai 63.63%. maka dari itu, perlu adanya tindakan perbaikan karena hasil belajar siswa secara klasikal masih rendah.
Tindakan yang ditempuh adalah tindakan perbaikan pada siklus II. Berdasarkan observasi (pengamatan) yang dilakukan ketika proses pembelajaran denagan pendekatan CTL rata-rata nilai aktivitas siswa yang dicapai adalah 66.99%, dengan rincian pada aspek konstruktivisme mencapai (85.61%), aspek bertanya (80.30%), menemukan (79.55), masyarakat bertanya (59.09%), pemodelan (55.30%), refleksi (54.55) dan penilaian autentik (54.55%). Setelah kegiatan pembelajaran, guru dan peneliti melakukan diskusi dan mengevaluasi hasil kegiatan pembelajaran. Adapun rata-rata hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan CTL sudah mengalami peningkatan dari 62.42 pada pra siklus menjadi 77.27 pada siklus I, meskipun dalam pelaksanaannya masih perlu perbaikan. Selain itu, dapat dilihat juga dari hasil penilaian observasi pada saat proses pembelajaran berlangsung misalnya, hasil observasi aktivitas siswa memperoleh rata-rata 66.81. hal tersebut menunjukan bahwa nilai ratarata pada proses pembelajaran dan hasil belajar siswa sudah cukup tetapi masih perlu ditingkatkan kembali. Untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang terdapat pada siklus I maka peneliti dan guru kelas berdiskusi mencari solusi pemecahannya, sehingga mendapatkan solusi sebagai berikut : 1) Melakukan perbaikan terhadap rencana pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan langkahlangkah CTL 2) Meningkatkan dan memvariasikan penggunaan alat peraga 3) Mengembangkan cara membangkitkan konsepsi awal siswa dengan lebih
37
mengkaitkan materi terhadap kehidupan nyata 4) Lebih meningkatkan keaktifan siswa
Guru mengulas kembali kegiatan pelajaran yang telah dilakukan, dengan meminta siswa untuk menyebutkan contoh energi yang pernah dijumpai di sekitar lingkungan dan cara menghemat energi tersebut. Siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan bergantian. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi yang diajarkan dan menjawab pertanyaan dari temannya. Kemudian guru dan siswa bersama-sama membuat kesimpulan tentang materi yang dipelajari dan siswa mengerjakan soal tes yang diberikan oleh guru. Nilai pembelajaran IPA siklus II yaitu nilai 50 tidak ada (0%), nilai 60 tidak ada (0%), nilai 70 sebanyak 2 orang (6.06%), nilai 80 sebanyak 6 orang (18.18%), nilai 90 sebanyak 13 orang (39.39%) dan nilai 100 sebanyak 12 orang (36.37%). Hasil evaluasi pada tindakan siklus II, terlihat bahwa rata-rata perolehan skor hasil belajar siswa mencapai 90.61 dari 33 siswa yang mengikuti tes evaluasi tersebut. Rata-rata skor hasil belajar siswa sudah memenuhi daya serap klasikal. Siswa yang tuntas belajar mencapai 31 orang siswa dari 33 siswa dengan presentase ketuntasan belajar klasikal mencapai 93.94%. maka dari itu, tindakan perbaikan dicukupkan sampai pada siklus II. Pada tahap ini, guru mitra bertindak sebagai observer mengamati pelaksanaan tindakan yang dilakukan peneliti dalam kegiatan pembelajaran yang dimana pada saat pelaksanaan peneliti berperan sebagai guru kelas selain itu guru kelas (observer) mencatat hal-hal yang belum sesuai dengan apa yang telah direncanakan dengan memberikan skor terhadap aktivitas siswa belajar dan mengajar guru yang kemudian akan diperoleh data yang nantinya akan diolah dan dianalisis oleh peneliti.
2.
Pelaksanaan Siklus II Siklus II dilaksanakan di SD Plus 2 Al-Muhajirin, pada hari Senin tanggal 1 September 2014. Siklus II ini merupakan lanjutan dari siklus I yang hasil kegiatan belajar mengajarnya masih memiliki kelemahan sehingga peneliti ingin benar-benar mengadakan perbaikan, sampai pemahaman siswa pada konsep energi dapat meningkat sesuai dengan yang diinginkan. Pada tahap ini peneliti sebagai guru melakukan tindakan kelas yang berdasarkan pada observasi dan refleksi pada siklus I serta sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Pelaksanaan tindakan pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 1 September 2014, peneliti dan guru mempersiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Kegiatan belajar mengajar disajikan dalam waktu 2x35 menit. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Siswa duduk sesuai kelompoknya masing-masing, kemudian guru menjelaskan salah satu penerapan energi seperti sumber dan macam energi gerak tadi melalui kegiatan demontrasi dengan cara memperagakan bermain bola. Di sini siswa yang dijadikan sebagai model, kemudian siswa dan guru melakukan tanya jawab mengenai kegiatan yang dilakukan. Guru membagi LKS, alat dan bahan pada setiap kelompok untuk melakukan percobaan sumber dan macam energi yang dihasilkan. Siswa melalui bimbingan guru kemudian melaporkan hasil percobaan dan masing-masing kelompok menyimpulkan hasil diskusi.
38
E. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan, penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran IPA tentang konsep energi di kelas III SD Plus 2 AlMuhajirin dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sebelum pelaksanaan tindakan, proses pelaksanaan pembelajaran IPA yang dilakukan dengan menggunakan metode ceramah, kemudian siswa melaksanakan post test untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran, keterlibatan siswa masih kurang, dan siswa belum mendapat kesempatan untuk mengembangkan dan melatih sikap ilmiahnya. Proses pembelajaran dinilai kurang menarik dan mengakibatkan proses pembelajaran serta hasil belajar siswa tidak dapat tercapai dengan baik. Hasil rata-rata nilai pembelajaran IPA siswa pada pra siklus adalah 67.58. Siswa yang mencapai daya serap siswa (KKM) atau sudah mencapai KKM individu berdasarkan hasil evaluasi adalah 7 orang atau 21.21% dari seluruh siswa sebanyak 33 orang. Dan yang belum mencapai KKM secara individu ada 26 siswa atau 78.79%. Berarti daya serap ideal /kelas (KKI) baru mencapai 21.21%. 2. Pada proses pembelajaran di siklus I melalui pendekatan CTL siswa mulai aktif dan tertarik terhadap pembelajaran, namun siklus kesatu masih banyak kekurangan. Berdasarkan hasil observasi pada siklus I dengan menerapkan pendekatan CTL dapat dilihat pada aspek konstruktivisme mencapai (85.61%), aspek bertanya
Berdasarkan observasi (pengamatan yang dilakukan ketika proses pembelajaran dengan pendekatan CTL), rata-rata nilai aktivitas siswa yang tercapai adalah 87.77%, dengan rincian pada aspek konstruktivisme mencapai 94.70%, aspek bertanya 93.18%, menemukan 94.42%, masyarakat belajar 91.67%, pemodelan 83.33%, refleksi 79.55%, dan penilaian autentik 79.55%. Setelah kegiatan pembelajaran dilaksanakan, guru mitra dan penulis melakukan diskusi dan mengevaluasi hasil kegiatan pembelajaran yang telah di lakukan dengan menganalisis terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL pada siklus II, ternyata hasil belajar siswa meningkat dibandingkan dengan siklus I, dengan nilai rata-rata mencapai 90.61. Hasil obsrvasi aktifitas siswa pada saat proses pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran CTL pun mengalami peningkatan menjadi 87.77. Hal ini dapat dilihat pada hasil observasi aktivitas siswa belajar dan kegiatan belajar mengajar guru hampir semua deskriptor tersebut muncul, dengan kata lain penulisi menganggap bahwa hasil observasi aktivitas siswa, kegiatan mengajar guru, dan hasil belajar siswa sangat memuaskan, sehingga penulis akan mengakhiri penelitian ini di siklus II. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan pendekatan CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada konsep energi gerak dan dapat di terapkan di Sekolah Dasar (SD). Respon siswa dan aktivitas guru pun terlihat sangat tinggi hal ini menunjukkan jika aktivitas mengajar guru sangat baik dan tepat dalam pemilihan model pembelajaran maka siswa akan menyukai dan kemudian memahami proses pembelajaran, begitu pula guru, materi, dan hasil belajarnya.
39
(80.30%), menemukan (79.55%), masyarakat belajar (59.09%), pemodelan (55.30%), refleksi (54.55), dan penilaian autentik (54.55%). Adapun persentase rata-rata aktivitas siswa pada kegiatan pembelajaran siklus kesatu yaitu 66.99% atau kategori cukup. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan masih kurangnya keaktifan siswa. Pada siklus kedua ada peningkatan yang sangat signifikan dalam aktifitas siswa yaitu aspek konstruktivisme mencapai (94.70%), aspek bertanya (93.18%), menemukan (92.42%), masyarakat belajar (91.67%), pemodelan (83.33%), refleksi (79.55%) dan penilain autetik (79.55%). Adapun persentase rata-rata aktivitas siswa kegiatan pembelajaran siklus kedua yaitu 87.77% atau kategori baik. 3.
siswa dilihat dari hasil tes sudah mencapai ketuntasan klasikal, karena ketuntasan belajar secara klasikal dapat dikatakan tercapai apabila KKI ≥ 85% (Depdiknas, 2006). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL dengan aktifitas guru yang optimal dapat meningkatkan respon siswa, aktifitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar. DAFTAR RUJUKAN Ahmadi, dkk. (2003). Psikologi Belajar. Solo: Rineka Cipta. Ali, M. (1993). Strategi Penelitian Pendidikan. Bandung: Angkasa. Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arikunto, S dkk. (2008). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi Aksara. Asy’ari. (2007). Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat. Jakarta: Depdiknas. Aqib, Z. (2009). Penelitian Tindakan Kelas untuk Guru SD, SLB, dan TK. Bandung: CV Yrama Widya. BSNP. (2007). Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: CV Karya Sarana Informasi Depdiknas. Kurikulum 2006 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Jakarta:BP. Dharma Bakti. Depdiknas.(2006). Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD dan MI. Solo: Tiga Serangkai Mandiri.
Setelah dilaksanakan penelitian tindakan kelas, hasil belajar siswa meningkat mulai dari nilai hasil tes akhir siswa pada pra siklus yaitu dengan nilai rata-rata siswa 67.58 dengan ketuntasan hasil siswa adalah 21.21 %. Setelah dilakukan siklus kesatu, nilai rata-rata hasil siswa 77.87 dan persentase ketuntasan hasil belajar siswa meningkat menjadi 63.63%. Pada siklus kedua, pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan pendekatan CTL dikatakan cukup memuaskan. Hal tersebut terus ditingkatkan dengan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada siklus kesatu, hasil yang diperoleh pada siklus kedua meningkat dengan nilai rata-rata kelas 90.61 dan ketuntasan hasil belajar siswa meningkat menjadi 93.94%. Siswa dikatakan tuntas belajarnya secara klasikal apabila KKI ≥ 85%. Berarti hasil belajar
40
Hamalik, 0.(2007). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hermawan, A dkk. (2007). Metode Penelitian Pendidikan sekolah dasar. Bandung: UPI Press Iskandar, S. (1996). Ilmu Pengetahuan Alam.Bandung: UPI Press. Johnson, E. B. (2010). Contextual Teaching and Learning menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Kaifa: Bandung. Kasbolah, K.(1999). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdikbud. Basyir, N. A. (2011). Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).[online]. Tersedia: http://www.nasrunabasyir.co.cc/ 2011/02/model-pembelajarancontextual-teaching.html.[29 April 2011] Muslikah. (2010). Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Interprebook. Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching And Learning/CTL).[Online]. Tersedia: http://www.infoskripsi.com/Artik el-Penelitian/PenerapanPendekatan-Kontekstual.html. [10 Januari 2010]. Nurhadi, dkk. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerpannya dalam KBK Malang: UM Press. Samantowa, U.(2006).Bagaimana Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas. Sanjaya, W.(2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Setiawan, R. (2005). Psikologi pendidikan. Bekasi: UNISMA.
Siregar, A.A. (2006). Deskripsi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Implementasinya Terhadap Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara. Sudjana, N. (2005). Tuntuntan Penyusunan Karya Ilmiah (Makalah-Skripsi-TesisDisertasi). Bandung: Sinar Baru Algensindo. Syamsuddin, A. (2003). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tim Bina Karya Guru. (2008). IPA SD untuk Sekolah dasar IV. Jakarta: Erlangga. TR, Burhanuddin. (2007). Pendekatan, Metode, dan Teknik Penelitian Pendidikan. Purwakarta: Program Pendidikan Guru Sekolah dasar Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Purwakarta.
RIWAYAT PENULIS Lia Yulindaria, lahir di Kuningan pada tanggal 25 Juli 1974. Berlatar pendidikan: Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Unpas Bandung tahun 2015 Program Akta IV Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Purwakarta tahun 2003 Sarjana Pertanian (S1) Program Studi Agronomi, Program Studi Kekhususan Perkebunan, Insitut Pertanian Bogor di Bogor tahun 1998 SMA Negeri 2 Cirebon Jurusan Biologi di Cirebon tahun 1990 – 1993 SMP Negeri 1 Cirebon di Cirebon tahun 1987 - 1990 Saat ini kuliah di Pascasarjana UPI Bandung dan bekerja sebagai Kepala Sekolah SD Plus 2 ALMuhajirin, E-mail yang dapat dihubungi
[email protected].
41
PENGARUH PENDEKATAN CONCRETE-PICTORIAL-ABSTRACT (CPA) TERHADAP PENCAPAIAN KEMAMPUAN SPATIAL SENSE (KSS) SISWA SD Hafiziani Eka Putri1, Ratna Julianti2, Nahrowie Adjie3, Nur Endah Suryani4 e-mail:
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pembelajaran dengan pendekatan CPA terhadap pencapaian kemampuan spatial sense siswa Sekolah Dasar (SD) jika ditinjau secara keseluruhan dan Kemampuan Awal Matematis (KAM). Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan desain kontrol pretes dan postes pada mata pelajaran Matematika dengan pokok bahasan bangun ruang terhadap 74 siswa sekolah dasar di Kecamatan Cikampek Kabupaten Karawang Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan dua kelompok belajar; kelompok yang menggunakan pendekatan CPA sebagai kelompok eksperimen, dan kelompok yang menggunakan pembelajaran konvensional sebagai kelompok kontrol. Analisis data baik secara deskriptif maupun inferensial menunjukkan bahwa pencapaian kemampuan spatial sense siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik dari siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional; baik ditinjau secara keseluruhan dan tiap kelompok KAM.Dengan demikian, pembelajaran CPA dapat mengembangkan kemampuan spatial sense siswa sekolah dasar. Kata kunci: Pembelajaran dengan Pendekatan CPA, Kemampuan Spatial Sense dan Siswa Sekolah Dasar.
1,3 2,4
Dosen Mahasiswa
42
A. PENDAHULUAN
spasial sense siswa harus dikembangkan dengan baik hal ini diharuskan karena KSS sangat berguna dalam memahamisifat-sifat dan relasi dalam geometri yang dapat dignakan untuk memecahkan masalah matematika serta masalahdalam keseharian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa KSSmerupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki siswa. Kenyataan mengenai pentingnya KSS berbanding terbalik dengan kemampuan siswa yang kurang dalam pemahaman materi geometri. Hal ini sejalan dengan analisisTrends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2015, dengan sasaran populasi siswa kelas 4 SD/MI, Indonesia berada pada peringkat ke-45 dari 50 negara peserta. Salah satu pokok bahasan yang sulit bagi siswa Indonesia adalah Geometri. Dari hal tersebut, terlihat jelas bahwa siswa Indonesia masih sangat kurang dalam kemammpuan menyelesaikan soalsoal geometri. Kurangnya kemampuan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal geometri dapat disebabkan karena kurangan KSS siswa SD di Indonesia. Kurangnya KSS ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Saptini (2016) yang menyatakan bahwa kemampuan siswa SD dalam mengerjakan permasalahan geometri masih rendah. Hal ini didasarkan atas studi pendahuluan yang telah dilakukan Saptini di salah satu sekolah dasar mengenai volume bangun ruang. Rendahnya KSS siswa membuat peneliti tertarik untuk melakukan kajian lebih jauh tentang pengaruh penerapan pendekatan CPA terhadap pencapaian KSS Siswa di SD. B. KAJIAN TEORI
Matematika adalah ilmu yang sangat berperanpenting dalam kemajuan peradaban manusia dewasa ini. Matematika juga memiliki banyak peran dalam kemajuan IPTEK melalui berbagai cabang ilmu yang dimiliki, salah satunya yaitu geometri. Oleh karena itu, matematika sangat penting untuk diperkenalkan dengan baik dariusia dini karena manfaatnya akan terus terasa seiring perkembangan zaman. Geometri memiliki kaitan yangsangat erat dengan bangun ruang dan benda-benda dalam keseharian. Geometri dan berbagai konsep di dalamnya menduduki posisi khusus di dalam kurikulum matematika. Geometri memiliki kaitan yang erat sekali dengan Kemampuan Spatial Sense (KSS). Gardner (2004) menyebutkan bahwa KSS merupakan salah satudari 8 kecerdasan majemuk (multiple intelligences)yang dimiliki manusia antara lain Linguistik, matematislogis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal, intrapersonal, interpersonal, dan naturalis. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000)menetapkan 5 standar isi dalam matematika, yang salah satunya yaitu geometri. Selain itu, terdapat unsur penggunaan visualisasi, penalaran spatial dan pemodelan. di dalam geometri. Hal ini menandakan bahwa KSS merupakan tuntutan kurikulum yang sangat perlu dikembangkan dengan sebaik-baiknya dalam pembelajaran. Dalam kurikulum nasional, dimulai tingkat SD hingga perguruan tinggi dituntut untuk menguasai materi geometri ruang dan geometri bidang yang berkaitan erat dengan kemampuan spatial sense. Hal ini sejalan dengan hal yang telah dikemukakan oleh NationalAcademy of Science (2006) bahwa kemampuan dan penginderaan
Dalam pembelajaran matematika, hambatan yang sering
43
terjadi di dalam kelasyaitu kurangnya alat peraga yang dignakann guru dalam pebelajaran matematika sehingga siswa sulit untuk memahami konsep pembelajaran yang abstrak. Sejalan dengan hal tersebut, Hasil survey Programme for International Student Assessment (PISA) 2000/2001 (dalam Suwaji, 2008) menunjukkan bahwa siswa lemah dalam geometri, khususnya dalam ;pemahaman ruang dan bentuk. Setelah dilakukan wawancara terhadap siswa, diketahui penyebab siswa tidak menyukai matematika karena pembelajarannnya tidak menarik dan kurang bergairah. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang konvensional sehingga lebih berpusat pada guru (Teacher centered) juga minimnya alat peraga yang digunakann dalam pembelajaran matematika di kelas. Dari permasalahan siswa yang dijelaskan di atas terdapat satu pendekatan yang dirasa cocok untuk meningkatkan kemampuan spatial sense siswa SD yaitu pendekatan Concrete-Pictorial-Abstract (CPA) atau Concrete-RepresentasiAbstract (CRA). Pendekatan CPA dipilih karena memiliki tahapan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa SD. Pendekatan CPA adalah pendekatan instruksional tiga langkah yang sangat efektif dalam mengajarkan konsep matematika. Langkah pertama disebut tahap konkret. Hal ini dikenal sebagai tahap "melakukan" dengan melibatkan objek berupa benda nyata (fisik) yang dimanipulasi untuk memecahkan masalah matematika. Pictorial (semi-konkret) adalah langkah berikutnya. Hal ini dikenal sebagai tahap "melihat" dengan melibatkan penggunaan gambar untuk mewakili objek dalam memecahkan masalah matematika. Langkah terakhir dalam pendekatan ini disebut tahap abstrak. Hal ini dikenal sebagai tahap "simbolis"
yang hanya melibatkan penggunaan angka dan simbol dalam memecahkan masalah matematika. Sejalan dengan hal tersebut Witzel (2005) mengemukakan bahwa CPA merupakan pendekatan tiga fase yang berawal dari penggunaan benda konkret yang dimanipulasi, setelah tahap tersebut dilanjutkan dengan gambar yang dimanipulasi yang mana benda tersebut masih memiliki keterkaitan dengan benda konkrit pada fas esebelumnya, fase terakhir yaitu pembelajaran dengan menggunakan notasi abstrak seperti simbol dan angka. Mengajar siswa melalui tiga tahap belajar ini telah terbukti bermanfaat bagi siswa yang memiliki kesulitan dalam pembelajaran matematika. Melalui penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa CPA merupakan pendekatan yang memiliki tahapantahapan yang cocok untuk meningkatkan kemampuan spatial sense. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Putri (2017)bahwa pendekatan CPA dapat menguntungkan semua siswa, karena telah terbukti sangat efektif dengan siswa yang memiliki kesulitan matematika. Mereka telah mengalami matematika dalam berbagai bentuk dari objek nyata, bergambar dan akhirnya ke simbol. Pendekatan CRA sangat bermanfaat bagi siswa sekolah menengah yang memiliki kesulitan dengan pelajaran matematika. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Witzel, Mercer, dan Miller (2003) berupa penggunaan pendekatan CRA untuk mengembangkan keterampilan dasar matematika siswa dengan kesulitanbelajar. Siswa diajarkan untuk memecahkan persamaan aljabar baik menggunakan pendekatan CRA atau pendekatan tradisional. Penelitian ini melibatkan 37 siswa dari masing-masing kelas. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kedua kelompok 44
menunjukkan peningkatan setelah diberikan perlakuan selama empat minggu, kelompok yang menerima pendekatan CRA secara signifikan mengungguli kelompok yang menerima pendekatan tradisional. Kemampuan spatial sense merupakan kemampuan yang sangat penting untuk dikembangkan siswa. Hal ini sudah ditekankan oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) di Amerika Serikat yang telah memasukkan KSSsebagai salah satu kompetensi penting untuk ditingkatkan serta dikembangkan dalam pelajaran geometri, termaktub dalam Precollege Mathematicss Educational Standards (NCTM, 2000). Gardner (Harmony dan Theis, 2012) mengemukakan bahwa kemampuan spasial adalah kemampuan keruangan yang dapat dikatakansebagai kemampuan untuk memvisualisasikan gambar dan kemampuan mengenalbenda serta bentuk dengan tepat,seseorang yang memiliki KSS dapat melihat dan mengenali perubahan suatu benda dalam pikirannya sertadapat menggambarkan suatu hal atau benda bentuk nyata dalam pikiran berdasarkan apa yang dilihatnya, memiliki kepekaan terhadap keseimbangan, garis, relasi, warna, ruang dan bentuk,serta dapat mengungkapkan data dalam suatu grafik. Indikator spatial senseyang digunaakan dalam penelitiann ini anatara lain: 1) mengidentifikasi dan mengklasifikasikan gambar geometri; 2) menginterpretasikan dan menggambarkan benda-benda tiga dimensi; dan 3) menerapkan pemahaman tentang keliling, luas, volume, dan ukuran sudut.
dari kelompok eksperimen dan 37 siswa dari kelompok kontrol. Para siswa dalam kelompok eksperimen menerima pembelajaran menggunakan pendekatan CPA, sedangkan siswa pada kelompok kontrol menerima pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Penelitian ini merupakan penelitianquasi eksperiment (penelitian semu) dengan desain kontrol pretest dan posttest pada mata pelajaran Matematika dengan pokok bahasan bangun ruang terhadap 74 siswa sekolah dasar di kecamatan Cikampek Kabupaten Karawang Jawa Barat. Pengumpulan data. Ada dua jenis data dalam penelitian ini, kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari skor tes Kemampuan Awal Matematis (KAM), skor tes KSSyang didapat dari hasil posttestKSS. Data kualitatif diperoleh dokumentasi proses pembelajaran dengan menerapkan pendekatan CPA. Skor pencapaian KSS dikategorikan berdasarkan kelompok KAM (tinggi, sedang, dan rendah). Kelompok KAM pada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) diukur berdasarkanhasil tes KAM yang dilakukan pada awal pertemuan sebelum diberikannya perlakuan. Analisis data. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara antara lain; analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif, menurut Sugiyono (2012), berfungsi untuk menjelaskan atau memberikan gambaran tentang subjek yang diteliti melalui data yang dikumpulkan dari sampel atau populasi. Analisis deskriptif pencapaianKSSsiswa didasarkan pada rata-rata dari skor posttest. Pencapaian KSS siswa ditentukan dalam tiga kriteria pencapaian yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan ketiga kriteria ini disusun dengan menggunakan aturan pengelompokan yang dikemukakan
C. METODE PENELITIAN Sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah 74 siswa; terdiri dari 37 siswa
45
oleh Arikunto (2012) yang tersaji dalam Tabel 1.
Penilaian Acuan Normatif (PAN) (Suherman dan Kusumah, 1990). Rekapitulasi hasil analisis skor posttest KSS siswa berdasarkan pembelajaran secara keseluruhan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 1. Kriteria Pencapaian Kemampuan Spatial Sense Interval Pencapaian 𝑥 ≥ 𝑥̅ + 𝑠𝑑. (0,7) 𝑥̅ − 𝑠𝑑. (0,7) ≤ 𝑥 < 𝑥̅ + 𝑠𝑑. (0,7) 𝑥 < 𝑥̅ + 𝑠𝑑. (0,7)
Kriteria Pencapaian Tinggi
Tabel 3. Rekapitulasi Skor Posttest KSS Siswa berdasarkan Pembelajaran
Sedang Rendah
Post KSS
(dimodifikasi dari Arikunto, 2012)
Keterangan: x : Skor yang diperoleh tiap siswa 𝑥̅ : Rata-rata skor siswa secara keseluruhan Sd : Standar deviasi (simpangan baku) Analisis inferensial data dalam penelitian ini dilakukan melalui uji statistik. Jika data terdistribusi berdistribusi normal dan homogen, uji statistik hipotesis akan dilakukan dengan menggunakan uji parametrik (t-test). Jika data berdistribusi normal, tetapi tidak homogen, t-test juga akan dilakukan; Namun, jika data tidak berdistribusi normal, pengukuran statistik akan dilakukan menggunakan uji nonparametrik (uji Mann-Whitney).
(𝒙 ̅)
Sd 2,30 2,94
Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa pencapaian KSS siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih tinggi dari siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Pencapaian KSS siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan CPA berada pada kriteria tinggi, sedangkan pencapaian KSS siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional berada pada kriteria sedang. Rekapitulasi hasil analisis skor posttest KSS berdasarkan pembelajaran ditinjau dari kelompok KAM dapat dilihat pada Tabel 4.
Pencapaian KSS siswa dilihat dari rata-rata skor posttest.
Tabel 4. Rekapitulasi Skor Posttest KSS Siswa berdasarkan Pembelajaran ditinjau dari Kelompok KAM
1. Hasil Penelitian Rekapitulasi hasil perhitungan untuk menentukan kriteria pencapaian KSS dapat dilihat pada Tabel 2.
Kelompok KAM Tinggi
Tabel 2. Kriteria Pencapaian KSS Siswa Kriteria Pencapaian Tinggi Sedang Rendah
Skor Ter Ter kecil besar 12 24
CPA 15,97 Konvens 7 18 11,32 ional (Keterangan: SMI = Skor Maksimum Ideal) SMI 24
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Interval Skor Pencapaian 𝑥̅ ≥ 15,46 10,19 < 𝑥̅ < 15,46 𝑥̅ ≤ 10,19 (SMI = Skor Maksimum Ideal)
Pembela jaran
Sedang
SMI Rendah
Posttest KSS (SMI=24) Skor Pembel Ter Ter ajaran kecil besar CPA 16 24 Konven 10 18 sional CPA 13 20 Konven 7 14 sional CPA 12 18 Konven 7 13 sional
̅ 𝒙
Sd
19,33 14,40
4,16 2,88
16,05 11,09
1,99 2,12
15,08 9,56
1,66 1,79
24
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa pencapaian KSS siswa untuk setiap kelompok KAM yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih tinggi dari
Pencapaian KSS siswa dikelompokkan dengan menggunakan kriteria gabungan Penilaian Acuan Patokan (PAP) dan
46
Rata-rata Pencapaian KSS Siswa
siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Pada kelompok KAM tinggi dan sedang, pencapaian KSS siswa untuk kelompok KAM tinggi yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan CPA berada pada kriteria tinggi, sedangkan untuk kelompok KAM tinggi yang mendapatkan pembelajaran konvensional berada pada kriteria sedang. Pada kelompok KAM rendah, pencapaian KSS siswa untuk kelompok KAM rendah yang mendapatkan pembelajaran CPA berada pada kriteria sedang. Sedangkan, kelompok KAM rendah yang mendapatkan pembelajran konvensional berada pada kriteria rendah. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa pada kedua kelompok pembelajaran (CPA dan konvensional) pencapaian KSS siswa kelompok KAM tinggi lebih tinggi dari kelompok KAM sedang dan KAM rendah. Begitupun pencapaian KSS siswa pada kelompok KAM sedang lebih tinggi dari kelompok KAM rendah. Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan CPA dapat lebih mengembangkan KSS siswa pada setiap kelompok KAM dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Berikut ini disajikan gambar untuk lebih memperjelas perbedaan pencapaian KSS siswa berdasarkan kelompok pembelajaran ditinjau dari kelompok KAM.
Untuk mendukung hasil analisis deskriptif, analisis inferensial dilakukan dengan menggunakan uji statistik. Hipotesis yang digunakan dalam uji inferensial perbedaan siswa dalam pecapaianKSS adalah sebagai berikut: H0:𝜇1 = 𝜇2 Tidak erdapat perbedaan pencapaianKemampua n Spatial Sense (KSS) siswa yang mendapat pembelajaran dengan penerapan pendekatan CPA dan siswayang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau secara keseluruhan. H1:𝜇1 > 𝜇2 Pencapaian Kemampuan Spatial Sense(KSS) siswa yang mendapat pembelajaran dengan penerapan pendekatan CPA lebih tinggi dari siswayang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau secara keseluruhan. Kriteria pengujian: Jika pvalue (sig. 1-arah) lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima, dan dalam hal lainnya H0 ditolak. Rekapitulasi hasil uji perbedaan rata-rata pencapaian KSS siswa berdasarkan pembelajaran ditinjau secara keseluruhan disajikan pada Tabel 5.
19,33 20
14,4
15
16,05
15,08
11,09
Tabel 5.Uji Mann-Whitney Pencapaian KSS Siswa berdasarkan Pembelajaran ditinjau secara Keseluruhan
9,56
10 5
Pembelaja ran
0 Tinggi
Sedang
Rendah
Kelompok KAM CPA
U MannWhitney
Z
p-value (sig)
Ket.
159,500
-5,707
0,000
Ada Perbedaan
CPA Konvensio nal
Konvensional
Gambar 1. Pencapaian KSS Siswa berdasarkan Pembelajaran ditinjau dari Kelompok KAM
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa untuk rata-rata
47
pencapaian KSS p-value(sig.1-arah) lebih kecil dari 0,05 maka H0 ditolak. Artinya jika ditinjau secara keseluruhan, pencapaian KSS siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Rekapitulasi hasil uji normalitas data pencapaian dan KSS siswa ditinjau dari kelompok KAM dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa untuk setiap kelompok KAM tinggi, sedang dan rendah untuk data pencapaian KSS siswa seluruhnya memiliki nilai p-value (sig.2-arah) lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima.Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa varians kedua populasi homogen. Selanjutnya, akan dilakukan uji perbedaan rata-rata dengan uji-t untuk keseluruhan kelompok KAM tersebut. Hipotesis yang digunakan untuk uji perbedaan rata-rata pencapaian dan KSS siswa ditinjau dari kelompok KAM (tinggi, sedang dan rendah) dijabarkan sebagai berikut. Hipotesis uji perbedaan rata-rata pencapaian KSS untuk kelompok KAM tinggi: H0:𝜇1𝑇 = 𝜇2𝑇 Tidak ada perbedaan pencapaian Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kelompok KAM tinggi. H1: 𝜇1𝑇 > 𝜇2𝑇 Pencapaian Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kelompok KAM tinggi. Hipotesis uji perbedaan rata-rata pencapaian KSS kelompok KAM sedang: H0: 𝜇1𝑆 = 𝜇2𝑆 Tidak ada perbedaan pencapaian Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa
Tabel 6. Uji Normalitas Data Pencapaian KSS Siswa ditinjau dari Kelompok KAM Shapiro-Wilk Kelompok KAM Tinggi Sedang Rendah
Pembelajaran CPA Konvensional CPA Konvensional CPA Konvensional
Statistik
df
0,923 0,861 0,929 0,953 0,967 0,918
3 10 21 11 13 16
p-value (sig.2arah) 0,463 0,078 0,130 0,683 0,860 0,157
Berdasarkan Tabel 6 nampak bahwa data pencapaian KSS pada kedua pembelajaran di setiap kelompok KAM memiliki p-value (sig.2-arah) lebih besar dari 0,05 sehingga H0 diterima, artinya data berdistibusi normal. Untuk itu perlu dilakukan uji homogenitas varians untuk data pencapaian dan KSS pada kedua pembelajaran untuk tiap kelompok KAM. Uji homogenitas varians pencapaian dan KSS dilakukan dengan uji Levene. Rekapitulasi hasil uji homogenitas varians pencapaian dan KSS siswa ditinjau dari kelompok KAM dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Uji Homogenitas Varians Pencapaian KSS Siswa ditinjau dari Kelompok KAM Kelompok KAM Tinggi Sedang Rendah
Pembelajaran
n
CPA Konvensional CPA Konvensional CPA Konvensional
3 10 21 11 13 16
Fhitung
p-value (sig.2arah)
0,537
0,479
0,061
0,852
0,331
0,586
48
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kelompok KAM sedang. H1:𝜇1𝑆 > 𝜇2𝑆 Pencapaian Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kelompok KAM sedang. Hipotesis uji perbedaan rata-rata pencapaian KSS kelompok KAM rendah: H0: 𝜇1𝑅 = 𝜇2𝑅 Tidak ada perbedaan pencapaian Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kelompok KAM rendah. H1: 𝜇1𝑅 > 𝜇2𝑅 Pencapaian Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kelompok KAM rendah. Kriteria pengujian: Jika pvalue (sig.1-arah) lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima, dan dalam hal lainnya H0 ditolak. Rekapitulasi hasil uji perbedaan rata-rata pencapaian
KSS siswa berdasarkan pembelajaran ditinjau dari kelompok KAM (tinggi, sedang, dan rendah) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Uji Perbedaan Rata-rata Pencapaian KSS Siswa ditinjau dari Kelompok KAM Kelom pok KAM Tinggi
Sedang
Rendah
Pembel ajaran
Ratarata
CPA
19,333
Konven sional
14,400
CPA
16,048
Konven sional
11,091
CPA
15,077
Konven sional
9,562
thitung
df
ttabel
p-value (sig.1arah)
Ket
2,380
11
2,201
0,0185
H0 ditolak
6,554
30
2,042
0,000
H0 ditolak
8,534
27
2,051
0,000
H0 ditolak
Berdasarkan datapada Tabel 8, dapat dilihat semuap-value (sig.1arah) untuk pencapaian KSS pada tiap kelompok KAM lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pencapaian KSS siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik secara signifikan dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pencapaian KSS siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik secara signifikan dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, jika dilihat secara keseluruhan dan kelompok KAM (tinggi, sedang, rendah). 2. Pembahasan Temuan menunjukkan bahwa pencapaian Kemampuan Spatial Sense (KSS)siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih tinggi secara signifikan dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, jika dilihat secara keseluruhan dan kelompok KAM (tinggi, sedang, rendah).Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Witzel (2005) yang menyimpulkan bahwa siswa yang belajar memecahkan transformasi
49
persamaan aljabar melalui pendekatan CPA memperoleh hasil lebih tinggi daripada siswa yang menerima pengajaran tradisional. Selanjutnya, hasil penelitian American Institutes for Research (dalam Yuliawaty, 2011) menyebutkan bahwa, siswa yang belajar dengan menggunakan benda konkret, representasi mentalnya berkembang lebih tepat dan lebih komprehensif; sering menunjukkan motivasi lebih dan prilaku mengerjakan tugas dengan baik; memahami ide-ide matematis, dan lebih baik dalam menerapkan ide-ide untuk situasi kehidupan. Temuan ini merujuk pada tahapan pendekatan CPA yangs sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa usia sekolah dasar. Polya (dalam Suwangsih dan Tiurlina, 2009) berpendapat bahwa strategi yang memanfaatkan bendabenda konkret, dan kemudian mengganti objek dengan model sederhana, seperti gambar, dapat mengembangkan keterampilan visualisasi siswa dalam belajar memecahkan masalah matematika. Strategi dan metode pengajaran yang sesuai dengan pendekatan CPA. Sebagaimana dinyatakan oleh Riccomini (2010), unsur-unsur penting dari belajar CPA terdiri dari tiga bagian: (1) belajar dengan memanipulasi benda konkrit, dengan menggunakan benda-benda konkrit yang sesuai; (2) belajar dari manipualsi gambar (berdasarkan benda konkrit sebelumnya), menggunakan gambar yang sesuai; dan (3) menggunakan pendekatan yang tepat untuk memfasilitasi siswa untuk tingkat pemahaman konsep abstrak, karena tidak mudah memahami perubahan dari gambar ke notasi abstrak (simbol/angka) tanpa arahan dari guru. Berdasarkan pembelajaran di kelas, siswa yang mendapatkan pembelajaran CPA lebih atusias salam menerima pelajaran
dibandingkan dengan siswa pada kelompok pembelajaran konvensional.Siswa yang mendapatkan pembelajaran CPA terlihat lebih leluasa dalam menggambar dibandingkan kelompok konvensional yang lebih terlihat kesulitan dalam menggambar berbagai bentuk bangun ruang. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi langsung dalam pertemuan pertama. Pada pertemuan pertama, siswa di kelas eksperimen pun terlihat kesulitan dalam memvisualisasikan berbagai bentuk bangun ruang. Akan tetapi pada setiap pertmuan semakin terlihat perkembangan kemampuan spatial sense siswa. Temuan ini sejalan dengan pendapat Riccomini (2010) yang mencatat bahwa jika seorang siswa belum menguasai konsep/ keterampilan dalam salah satu tahap (konkrit, pictorial, atau abstrak) pada pendekatan CPA, guru harus mengulang belajar pada tahap terakhir yang belum dipahami siswa. kesulitan siswa pada awal-awal pertemuan juga dapat diakibatkan karena siswa belum terbiasa dengan pendekatan baru yang diterapkan dalam pembelajaran, hal ini sejalan dengan Brunner (dalam Yumiati, 2015) menunjukkan bahwa dalam melaksanakan pengajaran baru / metode pembelajaran di kelas, guru akan menghadapi kesulitan karena siswa perlu waktu untuk beradaptasi dengan situasi baru yang mereka hadapi. Pencapaian KSS tertinggi dicapai oleh siswa dengan KAM tinggi; diikuti oleh siswa dengan KAM sedang dan KAM rendah. Hal ini tidak mengherankan karena dari hasil observasi dan dokumentasikegiatan belajar menggunakan CPA mengungkapkan bahwa siswa dengan KAM Tinggi lebih aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka dalam lembar kerja kelompok. Mereka sering memimpin 50
diskusi kelompok untuk menyelesaikan LKK. Dalam presentasi dan diskusi, para siswa KAM tinggi lebih aktif dalam memberikan pendapat mengenai solusi dari masalah matematika. Sejalan dengan situasi tersebut, Arends (dalam putri 2015) menyatakan, kemampuan siswa untuk belajar ide-ide baru tergantung pada pengetahuan awal mereka; untuk menguasai konsep matematika, siswa perlu menguasai konsep-konsep dasar matematika yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Dari pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa pendekatan CPA dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengembangkan Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa.
pendekatan pengajaran untuk mengembangkan Kemampuan Spatial Sense (KSS) siswa. Meskipun tidak ada satu pendekatan yang terbaik untuk digunakan dalam kelas heterogen, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pencapaian rasa spasial siswa yang menerima pelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik secara signifikan daripada siswa yang belajar dalam pendekatan konvensional. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2012). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Gardner, H. (2003). Kecerdasan Majemuk : Teori dalam Praktek. Alih bahasa : Arvin Saputra. Batam : Interaksara Harmony, J., & Theis,R. (2012). Pengaruh Kemampuan Spasial Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 9 Kota Jambi. Jurnal Edumatica. Vol.2, No. 1. Litbang Kemendikbud. 2015. Survei Internasional TIMSS http://litbang.kemendikbud.go.i d/index.php/surveiinternasional-timss/tentangtimss). National Academy of Science (2006). Learning to Think Spatially. Washington DC: The National Academics Press NCTM. (2000). Using the NCTM 2000 Principles and Standards with The Learning from Assessment materials. [Online]. Tersedia: http://www.wested.org/lfa/NCT M2000.PDF[25 Nopember 2016].
E. KESIMPULAN Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pencapaian KSS siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan CPA lebih baik secara signifikan dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, jika dilihat secara keseluruhan dan kelompok KAM (tinggi, sedang, rendah). Pada kelompok KAM tinggi dan sedang, pencapaian KSS siswa untuk kelompok KAM tinggi yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan CPA berada pada kriteria tinggi, sedangkan untuk kelompok KAM tinggi yang mendapatkan pembelajaran konvensional berada pada kriteria sedang. Pada kelompok KAM rendah, pencapaian KSS siswa untuk kelompok KAM rendah yang mendapatkan pembelajaran CPA berada pada kriteria sedang. Sedangkan, kelompok KAM rendah yang mendapatkan pembelajran konvensional berada pada kriteria rendah. Pendekatan CPA dapat digunakan sebagai alternatif dari
Riccomini, P. J. (2010). CRA Math Instruction: Systematically Connecting Concrete to Representation to Abstract. Prosiding Seminar pada MTSS
51
Symposium. MTSS.
terhadap Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis, Spatial Sense, dan Self-Efficacy Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada SPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Yuliawaty, L. (2011). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan CRA (ConcreteRepresentational-Abstract) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Yumiati. (2015).Meningkatkan Kemampuan Berpikir Aljabar, Berpikir Kritis Matematis, dan Self-Regulated Learning Siswa Melalui Pembelajaran CORE.(Disertasi). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Witzel, B. S., Mercer, C. D., & Miller, M. D. (2003). Teaching algebra to students with learning difficulties: An investigation of an explicit instruction model. Learning Disabilities: Research & Practice, 18 (2), 121–131. Witzel, W. S. (2005).Using CRA to Teach Algebra to Students with Math Difficulties in Inclusive Settings. A Contemporary Journal 3(2), 49–60, 2005. [Online]. Tersedia:https://ehisebscohostcom.ezp.lib.unimelb.edu.au/ed s/pdfviewer/pdfviewer?vid=7&s id=cd03d495-1f99-4ec2-90d585ac8c67257b%40sessionmgr 115&hid=116[20 November 2016]
Kansas:
Saptini, R. D. (2016). Penerapan Pendekatan ConcretePictorial-Abstract untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Skripsi UPI. Tidak diterbitkan. Sugiyono. (2011). Metode penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta Suherman, E. dan Kusumah, Y.S. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan EvaluasiPendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157. Suwaji, U.T. 2008. Permasalahan Pembelajaran Geometri Ruang SMP dan Alternatif Pemecahannya. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. Suwangsih, E. dan Tiurlina. (2009). Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI Press. Puspendik Kemendikbud. (2015). Hasil TIMSS 2015. [Online]. Tersedia:http://puspendik.kem endikbud.go.id/seminar/upoad/ RahmawatiSeminar%20Hasil%20TIMSS %202015.pdf[27 Maret 2017] Putri, H. E. (2017). Pendekatan Concrete-Pictorial-Abstract (CPA), Kemampuankemampuan Matematis dan Rancangan Pembelajarannya. Subang: Royyan Press. --------, H. E. (2015). Pengaruh Pendekatan ConcretePictorial-Abstract (CPA)
52
PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL IPS SISWA SEKOLAH DASAR Rina Siti Rohmah1, Suhaedah2, Srie Mulyani3, UniversitasPendidikan Indonesia KampusPurwakarta e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Keterampilan sosial merupakan salah satu hal yang harus dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran IPS. Berdasarkan data dan fakta yang terdapat di lapangan yaitu SDN Kertajaya 02, keterampilan sosial siswa sekolah dasar masih rendah, maka dari itu perlu adanya upaya dalam hal meningkatkan keterampilan sosial siswa sekolah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas belajar siswa dan peningkatan keterampilan sosial siswa sekolah dasar dalam pembelajaran IPS dengan menerapkan model cooperative learning tipe make a match yaitu model pembelajaran saling mencocokan soal dan jawaban dalam suasana yang menyenangkan. Metode yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodel penelitian tindakan kelas (PTK), yang terdiri dari proses perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Dari penelitian yang telah dilaksanakan, data menunjukan adanya peningkatan yang terjadi pada setiap siklusnya. Pada siklus I hasil pengamatan aktivitas siswa mencapai 53,5%, pada siklus II mengalami peningkatan menjadi 71,25%, dan pada siklus III mengalami peningkatan kembali menjadi 84,58%. Keterampilan sosial siswapun mengalami peningkatan, pada siklus I keterampilan sosial siswa mencapai 55,91%, pada siklus II mengalami peningkatan menjadi 67,61%, dan siklus III mengalami peningkatan kembali menjadi 84,43%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penerapan Model Cooperative Learning tipe Make A Match pada pembelajaran IPS dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa sekolah dasar. Kata kunci: Model Cooperative Learning Tipe Make A Match, Keterampilan Sosial. A. PENDAHULUAN Kualitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka dan demokratis. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan harus selalu di lakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pembaharuan pendidikan dilakukan agar fungsi serta tujuan dari pendidikan nasional tersebut dapat terwujud.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyatakan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
53
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat tingkat lokal, nasional, dan global. Salah satu tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial yang dikemukakan di atas adalah mengharapkan peserta didik menjadi seseorang yang memiliki kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari, itu berarti peserta didik diharapkan mempunyai keterampilan sosial dalam hidup bermasyarakat. Baik itu keterampilan sosial yang harus ia tunjukan terhadap keluarga, teman sebaya dan masyarakat disekitarnya. Arens (dalam Izzati, 2014, hlm 90) mengemukakan bahwa “keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku mendukung kesuksesan hubungan sosial dan memungkinkan individu untuk bekerja bersama orang lain secara efektif”. Hal tersebut menyatakan dengan jelas bahwa keterampilan sosial harus dimiliki oleh setiap individu untuk dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Kemudian pentingnya keterampilan sosial juga dikemukakan oleh Supriatna dkk. (2007, hlm. 46) yaitu ”keterampilan sosial perlu dikembangkan dalam pembelajaran karena banyaknya masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh para peserta didik dalam kehidupan sehari-hari”. Karena itu hendaknya keterampilan sosial terus diasah sehingga siswa dapat menyelesaikan masalahmasalah dalam kehidupan sehariharinya dengan benar. Namun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial khususnya dalam keterampilan sosial tersebut belum semuanya dapat tercapai. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, terdapat permasalahan-permasalahan dalam
Meningkatkan kualitas pendidikan nasional tentunya harus sejalan dengan peningkatan keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap individu. Salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional khususnya dalam salah satu keterampilan yang harus dimiliki setiap individu adalah pembelajaran IPS. Dalam pembelajaran IPS salah satu keterampilan yang dapat di tingkatkan adalah keterampilan sosial, mengingat bahwa keterampilan sosial sangat diperlukan dalam kehidupan seharihari seorang individu. Tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah agar peserta didik mampu mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat serta yang paling penting adalah setelah mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial peserta didik dapat hidup bermasyarakat dengan baik dan salah satu caranya yaitu dengan berinteraksi atau bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya. Depdiknas (2006) menyatakan bahwa pengetahuan sosial bertujuan untuk: 1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya, 2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial, 3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, 4) memiliki
54
pembelajaran Pengetahuan Sosial untuk mencapai peningkatan keterampilan sosial peserta didik, diantaranya peserta didik kurang aktif dalam mengemukakan pendapat, kurangnya keberanian peserta didik untuk mengajukan pertanyaan, tidak adanya interaksi yang dilakukan peserta didik dalam pembelajaran kelompok serta kurangnya sosialisasi peserta didik dengan teman sejawat. Hal tersebut terjadi karena terlihat bahwa guru masih menekankan pembelajaran yang bersifat teacher center, dimana guru menjadi pusat pembelajaran bukan siswa yang menjadi pusat dalam pembelajaran tersebut. Dilihat dari tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dan materi dalam pembelajaran IPS pada umumnya mempelajari tentang kehidupan bermasyarakat sehingga ia dapat bersosialisasi dalam kehidupannya di masyarakat. Dengan permasalahanpermasalahan yang ada di atas menjadikan suatu tujuan dari pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tersebut belum dapat terwujud, yang kemudian hal tersebut terlihat dalam pengisian angket yang diberikan peneliti kepada siswa. Dari permasalah yang disebutkan di atas terdapat permasalahan mengenai kurangnya sosialisasi peserta didik dalam pembelajaran dengan teman sejawat, hal tersebut menunjukan bahwa harus adanya keterampilan sosial yang dimiliki peserta didik. Nurlaela (2011) mendefinisikan “keterampilan sosial adalah perilaku yang ditunjukan individu dalam berinteraksi dengan orang lain sehingga dapat diterima secara positif di lingkungan sosialnya.” Artinya bahwa yang namanya keterampilan sosial tersebut sangat diperlukan dalam pembelajaran sehingga keterampilan tersebut dapat mengantarkan siswa kepada
kehidupan bermasyarakat yang dapat dinilai baik oleh masyarakat dilingkungannya. Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan, maka untuk memecahkan masalah tersebut peneliti memilih menggunakan model pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa Sekolah Dasar (SD). Menurut Suprijono (2009, hlm. 54) “pembelajaran kooperatif adalah falsafah mengenai tanggung jawab pribadi dan sikap menghormati sesama.” Jadi, secara tidak langsung bahwa pembelajaran yang kooperatif tersebut dapat mengajarkan siswa dalam hal keterampilan sosial dan dengan penerapan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa baik secara langsung dalam pembelajaran maupun setelah pembelajaran. Salah satu pembelajaran Cooperative Learning yang dapat digunakan adalah tipe Make A Match. Lie (2014, hlm. 55) “Cooperative learning tipe make a match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.” Dengan demikian pembelajaran cooperative learning tipe make a match adalah model pembelajaran yang penerapannya secara berkelompok sehingga pembelajaran di dalam kelas menjadi sangat menyenangkan agar siswa dapat memahami suatu permasalahan atau materi yang diberikan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka peneliti akan melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul Penerapan model Cooperative Learning tipe Make A Match untuk meningkatkan Keterampilan Sosial IPS Sekolah Dasar. B. KAJIAN PUSTAKA Definisi IPS diutarakan oleh Sardjyo (2009, hlm. 1.26) yang 55
menyatakan bahwa: “Pengertian IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau satu perpaduan”. Dengan pengertian IPS yang diuraikan diatas dapat dikatakan bahwa IPS merupakan wadah bagi siswa untuk mempelajari kehidupan sosial yang ia butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah tentunya harus dengan model pembelajaran yang relevan dalam pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang relevan dengan pembelajaran IPS pada materi pokok masalah sosial yang tepat adalah model cooperative learning tipe make a match, dimana dalam pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning tipe make a match siswa diajak belajar dengan suasana yang menyenangkan. Rusman (2014, hlm. 223) mengatakan bahwa “penerapan model Make A Match ini dimulai dengan teknik, yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan soal atau jawaban sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokan kartunya diberi poin”. Dengan mencocokan kartu siswa satu dengan lainnya dalam pembelajaran siswa dapat saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Dalam pembelajaran IPS, keterampilan sosial merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap siswa dimana keterampilan sosial sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat setiap siswa diluar kehidupan sekolahnya. Arens (dalam Izzati, 2014, hlm 90) mengemukakan bahwa “keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku mendukung kesuksesan hubungan sosial dan memungkinkan individu untuk
bekerja bersama orang lain secara efektif”. Sementara itu pentingnya keterampilan sosial juga dikemukakan oleh Supriatna dkk. (2007, hlm. 46) yaitu ”keterampilan sosial perlu dikembangkan dalam pembelajaran karena banyaknya masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh para peserta didik dalam kehidupan sehari-hari”. Karena itu hendaknya keterampilan sosial terus diasah sehingga siswa dapat menyelesaikan masalahmasalah dalam kehidupan sehariharinya dengan benar. Sedangkan indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator yang dikemukakan olehMaryani (2011, hlm.20) mengemukakan bahwa indikator keterampilan sosial meliputi: a) Keterampilan dasar berinteraksi: berusaha saling mengenal, ada kontak mata, berbagi informasi atau material; b) Keterampilan komunikasi: mendengar dan berbicara secara bergiliran, melembutkan suara (tidak membentak), meyakinkan orang untuk dapat mengemukakan pendapat, mendengarkan sampai orang tersebut menyelesaikan pembicaraanya; c)Keterampilan membangun tim/kelompok: bekerjasama, saling menolong, saling memperhatikan; d) Keterampilan menyelesaikan masalah: mengendalikan diri, memikirkan orang lain, taat terhadap kesepakatan, mencari jalan keluar dengan berdiskusi respek terhadap pendapat yang berbeda. C. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang berbentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK). 56
Desain penelitian yang digunakan adalah desain model Kemmis dan Mc Taggart (Mulyatiningsih, 2012, hlm. 70) yang memiliki tahapan perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Subjek penelitian terdiri dari 20 siswa kelas IV SDN Kertajaya 02 Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah Observasi dan Dokumentasi untuk mengetahui keterampilan sosial serta aktivitas siswa dengan menggunakan Model Cooperative Learning tipe Make A Match. Secara lebih rinci pelaksanaan penelitian tindakan kelas menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart adalah sebagai berikut:
peningkatan, baik itu dalam aktivitas belajarar siswa maupun keterampilan sosial siswa khususnya dalam pembelajaran IPS dengan materi masalah sosial. Penerapan model cooperative learning tipe make a match dapat menjadikan siswalebih aktif dalam pembelajaran, misalnya siswa mampu mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat, mendangarkan orang lain serta berdiskusi dalam kelompok. Data hasil penelitian pada siklus I sampai dengan siklus III mengalami peningkatan. Untuk lebih jelas data aktivitas siswa dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Aktivitas Siswa Tiap Siklus Pelaksanaan Aktivitas No Tindakan siswa 1 Siklus I 53,5% 2 Siklus II 71,25% 3 Siklus III 84,58% Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa aktivitas belajar dalam mata pelajaran IPS siswa dapat meningkat dengan penerapan model cooperative learning tipe make a match. Dalam penelitian pada siklus I aktivitas belajar siswa berada dalam persentase 53,5%, dalam persentase tersebut aktivitas belajar siswa masih rendah. Dalam siklus II aktivitas belajara siswa meningkat menjadi 71,25%. Kemudian pada siklus III aktivitas belajar siswa meningkat kembali yaitu menjadi 84,58%. 2. Keterampilan Sosial Siswa Setelah Penerapan Model Cooperative Learning Tipe Make A Matc Data hasil pengamatan atau observasi di dapat dalam siklus I sampai dengan siklus III mengalami peningkatan dalam keterampilan sosial siswa kelas IV SDN Kertajaya 02 dengan menerapkan model cooperative learning tipe make a match. Dimana dalam pembelajaran setelah menerapkan model cooperative learning tipe make a
Gambar 1. Desain penelitian model Kemmis dan Mc Taggart (Mulyatiningsih, 2012, hlm. 70) D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Aktivitas Belajar Siswa dengan Penerapan Model Cooperative Learning tipe Make A Match Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga sisklus, hal tersebut dikarenakan pencapaian keterampilan sosial siswa telah memenuhi syarat yang telah ditentukan begitupun dengan aktivitas belajar siswa. Hasil dari penelitian pada siklus I sampai dengan siklus II menunjukan adanya
57
match siswa menjadi lebih berani dalam mengajukan pertanyaan, siswa menjadi lebih percaya diri dalam mengemukakan pendapat, siswa dapat mendengarkan orang lain baik itu penjelasan materi dari guru maupun pendapat yang dikemukakan temannya dengan baik, serta siswa dapat bekerjasama dengan temannya dengan baik. Peningkatan keterampilan siswa dengan penerapan model cooperative learning tipe make a match dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.Keterampilan Sosial Siswa Tiap Siklus Pelaksanaan Keterampilan No Tindakan Sosial 1 Siklus I 55,91% 2 Siklus II 67,61% 3 Siklus III 84,43% Dalamtabel diatas diperoleh keterampilan sosial pada siklus I dengan persentase 55,91% dimana keterampilan sosial siswa masih kurang. Dalam siklus II keterampilan siswa meningkat menjadi 67,61% serta dalam siklus III menjadi lebih meningkat yaitu persentasenya menjadi 84,43%. Sehinggga dalam penelitian penerapan model cooperative learning tipe make a match telah terbukuti efekti meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas IV SDN Kertajaya 02.
dengan pemberian tindakan yang bertahap dapat meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dalam 3 siklus yang telah dilakukan oleh peneliti, dimana dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam satu siklus ke siklus lainnya mengalami peningkatan. Dalam setiap tindakan pembelajaran dengan penerapan model cooperative learning tipe make a match siswa dapat lebih saling menghargai dan berinteraksi dengan sangat baik, dimana dalam pembelajaran tidak lagi terlihat pembelajaran yang stu arah atau guru hanya mentrasfer ilmu terhadap siswa akan tetapi sudah terlihat pembelajaran yang dua arah dimana guru dan siswa saling berinteraksi. Dalam pembelajaran yang menggunakan model cooperative learning tipe make a match siswa dapat lebih berani dan percaya diri dalam pembelajaran misalnya dalam mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat, sehingga siswa dalam pembelajaran siswa dapat lebih aktif. 2. Peningkatan keterampilan sosial siswa setelah menggunakan model cooperative learning tipe make a match. Dalam pemberian tindakan yang bertahap keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran IPS dapat meningkat, hal tersebut terlihatdari siswa yang dapat berinteraksi dengan baik di dalam kelas. Pada saat pembelajaran berlangsung maupun setelah selesai pembelajaran siswa terlihat dapat dengan berani untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan yang ia belum ypahami, mengajukan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain dan juga dapat bekerjasama dengan temannya. Sehingga dalam pembelajaran yang dilaksanakan keterampilan sosial
E. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam tiga siklus dengan menggunakan penerapan model cooperative learning tipe make a match untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas IV di SDN Kertajaya 02 tahun ajaran 2016/2017 maka di dapat kesimpulan yang akan dihabarkan sebagai berikut: 1. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS dengan menerapkan model cooperative learning tipe make a match
58
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
siswa dapat meningkat dengan menerapkan model cooperative learning tipe make a match dibandingkan dengan sebelum menerapkan model cooperative learning tipe make a match. DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas. Izzati, N. (2014). Pengaruh Keterampilan Sosial terhadap Kemampuan Matematis Siswa. Jurnal Edueksos, 90. Lie, A. (2014). Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Maryani, E. (2011). Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Peningkatan Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta. Mulyatiningsih, E. (2012). Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Nurlaela. (2011). Efektivitas Bimbingan Kelompok Dengan Mneggunakan Teknik Bermain Peran Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Sekolah Dasar. Universitas Pendidikan Indonesia : Tidak diterbitkan Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Depok: RajaGrapindo Persada. Sardjyo, D. (2009). Pendidikan IPS di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Supriatna, N. dkk (2007). Pendidikan IPSdi SD. Bandung : UPI PRESS. Suprijono, A. (2009). Cooperative Learning. Teori dan aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.
59
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SD DALAM PEMBELAJARAN IPA Ani Rosani1, Idat Muqodas², Suci Utami Putri³ Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Purwakarta 1
[email protected] 2
[email protected] 3
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh temuan penelitian terdahulu yang menujukkan masih terindikasinya pembelajaran IPA yang tidak memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Pembelajaran IPA hanya sebatas menghafal teori, penyampaian materi dalam bentuk permasalahan jarang diberikan, dan siswa kurang terlibat dalam pembelajaran. Ini menyebabkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA masih rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran learning cycle 7e terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA materi cahaya dan sifatnya. Metode penelitian yang dipilih adalah kuasi eksperimen dengan the nonequivalent control group design. Sampel yang digunakan sejumlah 71 siswa yang terdiri dari siswa kelas VB dan VC di satu sekolah dasar negeri di Kecamatan Cikampek Karawang. Penelitian ini menggunakan instrumen tes berbentuk essay, lembar observasi aktivitas siswa dan guru. Hasil uji beda rata – rata skor pretest menunjukkan sig.(2-tailed) > α (0,05), artinya bahwa kelas eksperimen dan kontrol memilik kemampuan yang setara sebelum adanya perlakuan. Sedangkan hasil uji beda rata – rata skor posttest menunjukkan sig.(2-tailed) < α (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara siswa yang belajar IPA dengan menerapkan model learning cycle 7e dan siswa yang belajar IPA tanpa menerapkan model learning cycle 7e. N-gain kelas eksperimen menujukkan rata – rata peningkatan dengan kategori sedang. Sedangkan n-gain kelas kontrol menujukkan rata – rata peningkatan dengan kategori rendah. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran IPA dengan menerapkan model learning cycle 7e lebih efektif meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan pembelajaran IPA tanpa menerapkan model learning cycle 7e. Kata kunci : learning cycle 7e, kemampuan berpikir kritis, pembelajaran IPA A. PENDAHULUAN
pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis. Merujuk pada pernyataan tersebut, hendaknya proses pembelajaran IPA dapat memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis sehingga siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Berpikir kritis ini penting dimiliki oleh siswa, sebagaimana diungkap oleh Moore dan Parker (dalam Molan, 2014, hlm. 12) bahwa membangun sikap kritis
IPA merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris natural science yang berarti ilmu pengetahuan alam (IPA), sehingga IPA bisa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang alam. IPA secara formal mulai diajarkan sejak SD. Samatowa (2006 hlm. 3) berpendapat bahwa bila diajarkan dengan cara yang tepat, maka IPA merupakan salah satu mata 60
dimaksudkan untuk membantu orang lain dan diri kita sendiri untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang tepa. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pentingnya berpikir kritis bagi siswa adalah agar siswa memperoleh ilmu pengetahuan atau pemahaman yang sebenar – benarnya. Berdasarkan kajian penelitian terdahulu, masih banyak ditemukan pembelajaran IPA yang tidak mendukung berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa. Puspitasari (2016 hlm.3) menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa di salah satu sekolah dasar di Purwakarta masih rendah karena pembelajaran IPA diajarkan sebagai materi hafalan. Selain itu, penyajian materi dalam bentuk permasalahan jarang diberikan kepada siswa. Inilah yang mengakibatkan kemampuan berpikir kritis siswa rendah. Itawanti (2015 hlm. 2) mengungkapkan hasil temuannya bahwa dalam memecahkan suatu masalah atau menjawab pertanyaan yang diajukan, siswa belum mampu menjawab menggunakan pemikiran yang kritis. Lebih lanjut Itawanti menerangkan bahwa dalam pembelajaran IPA, siswa kurang aktif, kurang berpartisipasi, kurang termotivasi, dan kurang terlibat dalam pembelajaran. Kurangnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA diungkap pula oleh Juwita (2015 hlm. 3) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil tes pra siklus pencapaian berpikir kritis, sebagian besar siswa termasuk ke dalam kategori berpikir kritis rendah. Permasalahan – permasalahan yang diungkap di atas menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA masih rendah. Oleh sebab itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang mendukung berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA. Terdapat berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA, satu diantaranya adalah model pembelajaran learning cycle. Penelitian ini menyelidiki peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model learning cycle.
B. KAJIAN TEORITIK Model pembelajaran ini terus mengalami perkembangan dari 3 fase (3E) menjadi 5 fase (5E) hingga menjadi 7 fase (7E). 1. Model pembelajaran learning cycle 7E ini dikembangkan oleh Arthur Eisenkraft pada tahun 2003. Model pembelajaran ini meliputi fase elicit (menggali pengetahuan atau pemahaman awal siswa), engage (membangkitkan minat dan memfokuskan perhatian siswa), explore (penjelajahan atau penyelidikan), explain (menjelaskan), elaborate (menerapkan), evaluate (mengevaluasi atau menilai),dan extend (memperluas pengetahuan). Secara lebih rinci Sumiyati, Sujana dan Djuanda (2016 hlm. 43 – 44) menjabarkan tahapan - tahapan learning cycle 7e sebagai berikut: Fase elicit, pada kegiatan ini guru memberikan apersepsi dengan bertanya jawab terkait materi yang akan disampaikan 2. Fase engagment, pada fase ini guru mempertunangkan atau menyelaraskan persepsi siswa dengan konsep yang dibawa oleh guru. Kegiatan guru pada fase ini ialah memberikan penjelasan materi untuk mengklarifikasi persepsi siswa yang masih salah. Guru memberikan penjelasan tetapi tidak dibahas secara lengkap. Guru mengundang pengetahuan siswa dengan mempertunjukkan kegiatan yang menarik sehingga siswa memiliki rasa ingin tahu dan tertarik untuk mempelajari materi secara lebih lanjut 3. Fase exploration, pada kegiatan ini, siswa diarahkan untuk mengeksplorasi pengetahuannya, yakni melalui kegiatan percobaan, pengamatan, dan diskusi sehingga terjadi proses pebentukan pengetahuan 4. Fase explanation, kegiatan siswa pada fase ini ialah melaporkan hasil diskusi dan percobaannya dengan melakukan kegiatan persentasi. Siswa dapat menambah pegetahuan 61
konsepnya dari gagasan-gagasan atau temuan-temuan yang diperoleh dari teman-temannya melalui percobaan 5. Fase elaboration, pada kegiatan ini, guru memberikan tugas untuk melatih siswa dalam memecahakan permasalahan berdasarkan konsep yang siswa peroleh 6. Fase evaluation, pada kegiatan ini, guru mengevaluasi siswa atas pengalamanpengalaman dan latihannya. Guru menilai perubahanperubahan yang terjadi pada siswa atas pengetahuannya 7. Fase extend, pada kegiatan ini, guru memberikan penguatan konsep dengan memberikan contoh aplikasi dan keterkaitan konsep dengan konsep lain di dalam kehidupan sehari-hari Berpikir kritis dapat diartikan sebagai kecakapan untuk melakukan pemikiran secara mendalam mengenai sesuatu dengan merefleksi informasi – informasi dari sumber informasi yang terpercaya. Adapun kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini meliputi kemampuan menginterpretasi yakni kemampuan untuk mengkategorikan, kemampuan menganalisis yakni keampuan untuk mengidentifikasi, kemampuan mengevaluasi yakni kemampuan dalam mempertimbangkan, kemampuan menarik kesimpulan, kemampuan memberikan penjelasan yakni kemampuan menghadirkan argumen, dan kemandirian yakni kemampuan mengoreksi atau melakukan koreksi (Kowiyah, 2012, hlm.179).
Kecamatan Cikampek Kabupaten Karawang. Sampel yang digunakan terdiri dari 35 siswa kelas V B sebagai kelas eksperimen dan 36 siswa kelas V C sebagai kelas konstrol. Instrumen yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir kritis dan lembar observasi aktivitas siswa dan guru. Instrumen tes yang digunakan berbentuk soal uraian. Soal - soal tes disusun berdasarkan pokok bahasan cahaya dan sifat-sifatnya yang dikembangkan sedemikian rupa berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis. Lembar observasi digunakan untuk menjaring data mengenai aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran IPA dengan menerapkan model pembelajaran learning cycle 7E di kelas eksperimen. Lembar obervasi ini diisi oleh observer dengan mengamati aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Analisis data tes kemampuan berpikir kritis siswa dilakukan dengan mengolah data hasil pretest dan posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan melakukan uji statistik inferensial yakni uji normalitas, uji homogenitas dan uji beda rata – rata. Analisis dilakukan terhadap skor pretest dan posttest secara umum yang kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap skor pretest dan posttest pada setiap indikator berpikir kritis. Untuk melihat peningkatan kemampuan berpikir kritis dilakukan analisis terhadap n-gain kelas eksperimen dan kontrol. Perhitungan uji statistik ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 22. Analisis lembar observasi aktivitas siswa dan guru dilakukan dengan menghitung persentase keterlaksanaan model pembelajaran learning cycle 7e dengan menggunakan rumus: 𝑛 Persentase aktivitas (%) = x 100% 𝑁 Keterangan : n : skor perolehan N : skor maksimal
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen, karena penelitian ini bertujuan untuk mencari pengaruh penerapan model learning cycle 7E terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Adapun desain yang digunakan adalah nonequivalent control grup design, dimana penentuan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak secara random melainkan langsung dipilih oleh peneliti. Penelitian ini dilaksanakan di satu Sekolah Dasar Negeri yang ada di
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan penelitian ini dimulai tanggal 21 April 2017 hingga 09 Mei 2017. Hasil perolehan data dari penelitian
62
diolah menggunakan bantuan Software SPSS Versi 22. Analisis statistik deskriptif skor pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan bahwa skor rata – rata pretest kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen adalah sebesar 24,94. Sedangkan skor rata – rata pretest kemampuan berpikir kritis kelas kontrol sebesar 25,13. Hasil uji beda rata – rata skor pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan bahwa skor signifikansi yang diperoleh = 0,915 > α = 0,05. Artinya bahwa tidak ada perbedaan kemampuan awal antara kelas eksperimen dan kelas kontrol atau kemampuan awal kelas eskperimen maupun kelas kontrol dalam keadaan setara. Adapun uji statistik inferensial terhadap skor pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol pada setiap indikator kemampuan berpikir kritis. Hasil uji ini ditunjukkan oleh tabel berikut : Tabel 1. Hasil Uji Statistik Inferensial Pretest Setiap Indikator Berpikir Kritis
Indikator Uji Statistik Inferensial Kemandirian Mann Whitney U (α =0,05) Signifikansi 0,851 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan Berdasarkan tabel di atas, dapat diperoleh informasi bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada setiap indikator berpikir kritis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam keadaan setara. Rata – rata posttest kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen adalah 34,31. Sedangkan skor rata – rata posttest kemampuan berpikir kritis kelas kontrol sebesar 30,11. Hasil uji beda rata – rata skor posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol menujukkan bahwa skor signifikansi yang diperoleh = 0,017 < α = 0,05. Artinya bahwa ada perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah adanya pembelajaran IPA dengan model pembelajaran learning cycle 7E di kelas eksperimen dan pembelajaran IPA tanpa model pembelajaran learning cycle 7E di kelas kontrol. Untuk mengetahui pada indikator berpikir kritis manasajakah perbedaan signifikan itu terjadi, dilakukan analisis inferensial terhadap skor posttest yang diperoleh siswa pada tiap indikatornya. Hasil pengujian tersebut diperoleh data sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Uji Statistik Inferensial Posttest Setiap Indikator Berpikir Kritis
Indikator Uji Statistik Inferensial Menganalisis Mann Whitney U (α =0,05) Signifikansi 0,282 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan Menginter- Mann Whitney U (α =0,05) pretasi Signifikansi 0,497 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan Menarik Mann Whitney U (α =0,05) kesimpulan Signifikansi 0,836 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan Memberi Mann Whitney U (α =0,05) penjelasan Signifikansi 0,647 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan Mengevaluasi Mann Whitney U (α =0,05) Signifikansi 0,733 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan
Indikator Uji Statistik Inferensial Menganalisis Mann Whitney U (α =0,05) Signifikansi 0,367 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan Menginter- Mann Whitney U (α =0,05) pretasi Signifikansi 0,004 Terdapat Keterangan perbedaan signifikan Menarik Mann Whitney U (α =0,05) kesimpulan Signifikansi 0,967 Tidak terdapat Keterangan perbedaan 63
dan mengarahkan siswa untuk membuat hipotesis. Siswa kelas eksperimen antusias memperhatikan demonstrasi yang dilakukan guru dan membuat hipotesis atas pertanyaan yang diungkapkan guru berkaitan dengan apa yang didemonstrasikan. Ini didukung oleh pencapaian aktivitas siswa pada fase engage sebesar 85,71% dengan kategori sangat baik. Adapun pencapaian aktivitas guru pada fase ini adalah 91,67% dengan kategori sangat baik. Pada fase explore siswa kelas eksperimen melakukan percobaan atau pengamatan secara berkelompok. Setiap kelompok diberikan lembar kerja dan bekerjasama melakukan percobaan atau pengamatan sesuai dengan yang tertera dalam lembar kerja. Setelah itu mereka mencatat hasil percobaan atau pengamatannya dan berdiskusi untuk menjawab soal dalam lembar kerja. Siswa juga diarahkan untuk menarik kesimpulan dari hasil percobaan atau pengamatannya. Sumiyati, Sujana, dan Djuanda (2016 hlm. 44) mengungkapkan bahwa pada fase explore siswa diarahkan untuk mengeksplorasi pengetahuannya melalui kegiatan percobaan, pengamatan, dan diskusi sehingga terjadi proses pembentukkan pengetahuan. Adapun pembentukkan pengetahuan atau rekonstruksi pengetahuan merupakan suatu upaya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Susanto (2013 hlm.129) yang menerangkan bahwa upaya yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah dengan memberi kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuan oleh dirinya sendiri. Pada fase explore ini, siswa mampu bekerjasama dalam melakukan percobaan dan diskusi. Pencapaian aktivitas siswa pada fase ini adalah 78,41% dengan kategori baik. Sedangkan pencapaian aktivitas guru pada fase ini adalah 87,5% dengan kategori sangat baik. Indikator lain yang terdapat perbedaan signifikan ialah pada indikator memberi penjelasan. Perbedaan ini dikarenakan siswa kelas eksperimen diberikan kesempatan untuk mengungkapkan atau menjelaskan
Indikator
Uji Statistik Inferensial signifikan Memberi Mann Whitney U (α =0,05) penjelasan Signifikansi 0,046 Terdapat Keterangan perbedaan signifikan Mengevaluasi Mann Whitney U (α =0,05) Signifikansi 0,040 Terdapat Keterangan perbedaan signifikan Kemandirian Mann Whitney U (α =0,05) Signifikansi 0,884 Tidak terdapat Keterangan perbedaan signifikan Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah adanya perlakuan, terdapat perbedaan secara siginfikan antara kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perbedaan signifikan ini terjadi pada indikator menginterpretasi, memberi penjelasan dan mengevaluasi. Pada indikator menginterpretasi, terdapat perbedaan signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Ini didukung adanya fase engage dan explore di kelas eksperimen. Sumiyati, Sujana, dan Djuanda (2016 hlm. 44) mengungkapkan bahwa pada fase engage atau engagement dapat dilakukan dengan mengundang pengetahuan siswa melalui mempertunjukkan kegiatan yang menarik sehingga siswa memiliki rasa ingin tahu dan tertarik untuk mempelajari materi secara lebih lanjut. Sanrock (dalam Desmita, 2012, hlm. 160) mengungkapkan pula bahwa pedoman yang dapat dilakukan guru untuk membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya adalah dengan membangkitkan rasa ingin tahu intelektual siswa. Pada fase ini pembelajaran di kelas eksperimen menekankan pada memfokuskan perhatian dan membangkitkan minat siswa yakni dengan melakukan demonstrasi, menayangkan video, memberikan kesempatan siswa untuk bertanya mengenai apa yang didemonstrasikan, 64
pengetahuannya melalui fase elicit, explain, dan extend. Dalam pembelajaran di kelas eksperimen, fase elicit dilakukan dengan cara guru melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai kejadian sehari – hari yang berkaitan dengan materi yang dipelajari, dimana menurut Sanrock (dalam Desmita, 2012, hlm. 160) bahwa pedoman yang dapat dilakukan guru untuk membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis adalah dengan menggunakan pertanyaan berbasis pemikiran, pertanyaan berbasis pemikiran yang dimasukan dalam pengajaran akan membantu siswa mengkonstruksi pemahaman terhadap suatu topik secara lebih mendalam.Pencapaian aktivitas siswa pada fase ini adalah 87,61% dengan kategori sangat baik. Sedangkan pencapaian aktivitas guru pada fase ini adalah 83,3% dengan kategori sangat baik. Fase explain dalam pembelajaran, dilakukan dengan kegiatan dimana siswa menjelaskan hasil penmemuannya atau pengetahuan yang didapatnya pada fase explore. Pada fase ini siswa kelas eksperimen diminta untuk mengutarakan hasil percobaan atau pengamatannya pada guru atau kepada temannya. Pada fase ini siswa dapat menambah pengetahuannya dari penjelasan yang disampaikan temannya dan penjelasan yang disampaikan guru. Namun, penyampaian atau presentasi hanya dilakukan oleh perwakilan kelompok saja, dikarenakan keterbatasan waktu. Pada fase ini guru harus pandai mengelola kelas, karena pada fase ini suasana menjadi kurang kondusif ketika siswa mempresentasikan hasil percobaan atau pengamatannya di depan kelas. Data hasil observasi menujukkan pencapaian aktivitas siswa pada fase ini adalah 76,19% dengan kategori baik. Sedangkan pencapaian aktivitas guru pada fase ini adalah 79,16,5% dengan kategori baik. Pada fase extend guru memperluas dan mengembangkan pengetahuan siswa dengan melakukan tanya jawab di akhir pembelajaran, guru juga memberikan arahan untuk pembelajaran berikutnya. Siswa kelas eksperimen mampu merespon
pertanyaan yang diajukan guru dan antusias mendengarkan arahan guru untuk pembelajaran berikutnya. Ini didukung oleh pencapaian aktivitas siswa pada fase engage sebesar 89,04% dengan kategori sangat baik. Adapun pencapaian aktivitas guru pada fase ini adalah 87,5% dengan kategori sangat baik. Perbedaan yang signifikan terdapat pula pada indikator mengevaluasi. Ini didukung oleh siswa kelas eksperimen yang diberikan lebih banyak kesempatan untuk mengevaluasi pengetahuannya melalui fase elaborate dan evaluate. Pada fase elaborate guru menghadirkan persoalan baru dan siswa kelas eksperimen diarahkan untuk berdiskusi dan mengungkapkan argumennya terhadap persoalan tersebut. siswa juga diarahkan untuk menerima atau menyangkal argumen yang disampaikan teman. Pencapaian aktivitas siswa pada fase elaborate sebesar 78,09% dengan kategori baik dan pencapaian aktivitas guru pada fase ini adalah 88,89% dengan kategori sangat baik. Begitupula pada fase evaluate dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, dimana pada fase ini siswa kelas eksperimen diberikan kesempatan untuk mengevaluasi kembali pengetahuan yang telah diperolehnya dengan cara melakukan koreksi terhadap hipotesis yang telah dibuatnya pada fase engage, siswa kelas eksperimen juga diminta untuk mengisi soal – soal evaluasi, serta mengungkapkan kesulitannya pada saat pembelajaran. Namun masih terdapat siswa yang tidak mampu mengungkapkan kesulitannya saat pembelajaran. Pencapaian aktivitas siswa pada fase ini sebesar 76,82% dengan kategori baik dan pencapaian aktivitas guru pada fase ini adalah 89,58% dengan kategori sangat baik. Setelah adanya perlakuan, baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol mengalami peningkatan skor. Berdasarkan uji perbedaan rata – rata pada skor posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah adanya perlakuan. 65
Untuk memberikan gambaran perbedaan signifikan pada masing – masing kelas, dilakukan uji beda rata – rata skor pretest dan posttest sehingga diperoleh informasi bahwa skor signifikansi yang diperoleh kelas eksperimen = 0,000 < α = 0,05. Artinya bahwa ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen antara sebelum perlakuan (pretest) dan setelah perlakuan (posttest). Adapun skor signifikansi yang diperoleh kelas kontrol = 0,004 < α = 0,05. Artinya bahwa ada perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol antara sebelum perlakuan (pretest) dan setelah perlakuan (posttest). Untuk mengetahui kategori peningkatan pada kelas eksperimen dan kontrol maka dilakukan perhitungan gain ternormalisasi (N-gain) terhadap rata – rata skor pretest dan posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tabel 3. Hasil Pretest dan Postest Kelas Eksperimen dan Kontrol Rata – Jumlah Rata N- Kriteria Kelas N-Gain Gain Eksperimen 18,04 0,51 Sedang Kontrol 9,99 0,27 Rendah Data n-gain yang telah dipaparkan, mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Ini diperkuat dengan adanya hasil uji perbedaan rata – rata n-gain (uji nonparametrik) yang menunjukkan skor signifikansi yang diperoleh adalah 0,000 < α = 0,05. Artinya bahwa ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah adanya pembelajaran IPA dengan model pembelajaran learning cycle 7E di kelas eksperimen dan pembelajaran IPA tanpa model pembelajaran learning cycle 7E di kelas kontrol. Merujuk pada hasil perhitungan ngain, peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol. Ini disebabkan pembelajaran learning cycle 7e memberikan siswa kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Sumiyati,
Sujana, dan Djuanda (2016 hlm. 43) mengemukakan bahwa pembelajaran learning cycle 7e merupakan pembelajaran yang berbasis konstruktivisme, dimana siswa belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman eksplorasinya melalui kegiatan percobaan, pengamatan, diskusi, dan tugas - tugas atau pemecahan masalah. Sejalan dengan Susanto (2013 hlm.129) yang menerangkan bahwa upaya yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah dengan memberi kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuan oleh dirinya sendiri, tidak hanya menunggu transfer dari guru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi, Wibawa, dan Devi (2017 hlm.132) yang menujukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang dibelajarkan dengan model siklus belajar 7e (learning cycle 7e) berbasis kearifan lokal dengan siswa yang dibelajarkan dengan model konvensional. Dewi, Wibawa, dan Devi (2017 hlm.131) menunjukkan bahwa model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 7e membuat siswa membangun konsep secara konstruktif, yang akhirnya akan memberikan konstribusi pada peningkatan pemahaman konsep, selain itu model pembelajaran siklus belajar juga dapat memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan sikap ilmiah dan keterampilan proses. Kemampuan model pembelajaran learning cycle 7e dalam mengembangkan keterampilan proses dibuktikan oleh temuan penelitian Fazri, Suhartono, dan Joharman (2017, hlm.124) yang menunjukkan bahwa akibat penerapan model learning cycle 7e dengan metode eksperimen diperoleh hasil belajar kognitif dan keterampilan proses sains (mengamati, menginterpretasikan, melakukan percobaan, dan mengkomunikasikan) siswa yang mengalami peningkatan. Penelitian lainnya yang mengungkapkan keberhasilan model pembelajaran learning cycle diungkapkan oleh Santika, Gusrayani, dan Jayadinata (2016 hlm. 571) yang menyatakan bahwa 66
peningkatan keterampilan berpikir kreatif dengan perlakuan model pembelajaran learning cycle lebih baik secara signifikan daripada pembelajaran dengan perlakuan model konvensional. Begitupula dengan hasil penelitian Susilawati, Adnyana, dan Swasta (2014) yang menujukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemahaman konsep dan sikap ilmiah antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran learning cycle 7e dengan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran langsung, dimana dalam meningkatkan pemahaman konsep, model pembelajaran 7E memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran langsung. Keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan model learning cycle 7e juga dirunjang oleh penggunaan media pembelajaran yang efektif. Wiastuti, Suadyana, dan Kristintari (2014) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara siswa yang dibelajarkan dengan model learning cycle berbantuan media audio visual dan siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional.
signifikan. Perbedaan tersebut terdapat pada indikator menginterpretasi, memberi penjelasan, dan mengevaluasi. Terdapat perbedaan signifikan kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol antara sebelum dan sesudah adanya perlakuan, dengan peningkatan (n-gain) kelas eksperimen dalam kategori sedang dan peningkatan (n-gain) kelas kontrol dengan kategori rendah. Sehingga dapat dikatakan bahwa model pembelajaran learning cycle 7e lebih effektiv meningkatkan keampuan berpikir kritis. DAFTAR RUJUKAN Desmita. (2012). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Dewi, N. P. S. R., Wibawa, I. M. C., & Devi, N. L. P. L. (2017). Kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses dalam pembelajaran siklus belajar 7e berbasis kearifan lokal. Jurnal Pendidikan Indonesia, 6 (1), hlm. 125 – 133. Fazri, R. N., Suhartono, & Joharman. (2017). Penerapan model learning cycle 7e dengan metode eksperimen untuk meningkatkan pembelajaran IPA tentang gaya di kelas V SD. Kalam Cendekia, 5 (2.1), hlm. 120 – 125. Itawanti. (2015). Metode inkuiri untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas V pada materi gaya dan pemanfaatannya. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia. Juwita, W. (2015). Meningkatkan kemampuan berprikir kritis pada pembelajaran IPA SD melalui penerapan model pembelajaran berbasis maasalah. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia. [Online] tersedia di: http://repository.upi.edu/17905/dia kses tanggal 15 Desember 2016 Kowiyah. (2012). Kemampuan berpikir kritis. Jurnal Pendidikan Dasar, 3 (5), hlm. 175 – 179. Molan, B. (2014). Logika: Ilmu dan seni berpikir kritis. Jakarta: PT Indeks
E.KESIMPULAN Setelah melakukan penelitian, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan uji statistik perolehan skor pretest (sebelum adanya perlakuan) kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak menunjukkan adanya perbedaan kemampuan berpikir kritis. Ini diperkuat hasil uji beda pada setiap indikator yang menujukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan. Dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kontrol dalam keadaan setara. Pencapaian kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen setelah adanya pembelajaran IPA dengan menerapkan model learning cycle 7e lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol setelah adanya pembelajaran IPA tanpa menerapkan model learning cycle 7e. Berdasarkan uji statistik perolehan skor posttest (setelah adanya perlakuan) kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan adanya perbedaan kemampuan berpikir kritis secara 67
Puspitasari, Y. (2016). Penerapan model inkuiri untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia Samatowa, U. (2006). Bagaimana membelajarkan IPA di sekolah dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan Santika, A. M., Gusrayani, D., & Jayadinata, A. K. (2016). Penerapan model pembelajaran learning cycle terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa pada materi perubahan lingkungan. Jurnal Pena Ilmiah, 1 (1), hlm. 571 – 580 Sumiyati, Y., Sujana, A., & Djuanda, D. (2016). Penerapan model learning cycle 7e untuk meningkatkann hasil belajar siswa pada materi proses daur air. Jurnal Pena Ilmiah, 1 (1), hlm. 41 – 50 Susanto, A. (2016). Teori belajar dan pembelajaran di sekolah dasar. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP Susilawati, K., Adnyana, P. B., & Swasta, I. B. J. (2014). Pengaruh model siklus belajar 7e terhadap pemahaman konsep biologi dan sikap ilmiah siswa. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, 4.
68