MENGGALI POTENSI KECERDASAN ANAK MELALUI PENDEKATAN SPIRITUAL Nur Ahmad Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Abstract: Intellectual and spiritual intelligence are like a coin that cannot be separated beside emotional intelligence to determine one’s success. However, there is a trend that could determine the top, not only success but also happiness. It is spiritual intelligence that will raise our consciousness as the inheritors of the earth. Thus, we will be useful not only for ourselves but also for the sustainability of the people around us. Spiritual intelligence is not growing as an adult, but must be nurtured and raised and trained from an early age so that individuals would become superior. Therefore it is very regrettable for parents, because it represents happiness of our children in their life. When the spiritual intelligence is high then someone will easily achieve the happiness. But otherwise it will be difficult ito someone to feel it. How important it is for our next generation (children), because it is the heart or essence of a person’s life purpose human child. Keywords: Spiritual Intelligence, Intellectual, Character Kids Pendahuluan Saat mengetahui anaknya sangat lemah di bidang tertentu, kebanyakan orang tua akan melakukan penambahan waktu, tenaga, serta daya upaya untuk berkutat terus-menerus dalam bidang tersebut. Sebagai contoh, jika ada anak usia dini yang kurang dalam keterampilan membaca (Kecerdasan Verbal) maka orang tua berusaha untuk memberikan pelajaran tambahan atau les, dan sebagainya. Berfokus pada kelemahan anak dan cenderung terus berusaha memperbaikinya justru memperkuat kelemahan itu sendiri. Akhirnya anak justru merasa tersiksa secara mental. Jalan keluar
201
Nur Ahmad
ThufuLA
terbaik adalah orang tua tidak terus-menerus berkutat pada kelemahan anak. Akan lebih baik jika orang tua dapat bekerja sama dengan guru untuk mengatasi hal tersebut dengan menggali dan mengasah keunggulan yang dimiliki oleh anak. Lalu bagaimana mengoptimalkan kecerdasan anak? Bila seorang anak lemah dalam membaca, misalnya, tetapi ia suka menyanyi (kecerdasan musik), maka orang tua dan guru dapat mengembangkan kegemaran menyanyi anak untuk aktivitas membaca, yaitu membaca dengan cara menyanyi. Bila anak lemah dalam matematika, tetapi suka olahraga (kecerdasan tubuh), maka pengembangan kecerdasan matematika dapat dikembangkan melalui kegiatan atau soal-soal yang berkaitan dengan dunia olahraga. Bila anak belum bisa mengaji dengan benar tetapi anak mempunyai perilaku yang baik, santun dalam berbicara, sopan kepada orang tua maupun gurunya, hal ini kita mencoba mengajari anak mengaji dengan penuh kesabaran maka niscaya lambat laun pasti anak tersebut pandai dalam mengaji. Dan ini merupakan cikal bakal untuk menuju kecerdasan spiritual anak itu sendiri. Anak-anak akan belajar efektif apabila mereka merasa suka dan gembira. Jadi, daripada berkutat pada ketidakmampuan anak, yang biasanya diikuti rasa tidak suka, maka akan lebih baik memanfaatkan potensi anak untuk memperbaiki kelemahannya (Lestari, 2012: 41).
202
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Menurut Howard Garner dalam pembelajaran atraktif (Lestari2012:39) mengatakan, anak-anak yang berada dalam rentang usia antara 0-7 tahun adalah anak-anak usia dini yang berada dalam tahap eksplorasi. Masa usia dini tersebut adalah saat yang tepat untuk mengenali berbagai kecerdasan yang dimiliki seorang anak. Agar para orang tua atau guru dapat mengenali atau menggali potensi kecerdasan sang anak, sebaiknya anak dibebaskan untuk memilih jenis kegiatan yang disenangi. Dengan demikian, anak maupun orang tua dan guru dapat mengidentifikasi kombinasi antara kecerdasan anak yang cenderung menonjol atau kuat maupun jenis-jenis kecerdasan yang tampak kurang berkembang. Manfaat yang didapat dan dirasakan seorang anak yang mengetahui bahwa ia memiliki kelebihan atau kekurangan adalah anak merasakan percaya diri yang sehat. Dengan teridentifikasinya potensi kecerdasan yang dimiliki seorang anak, orang tua dan guru dapat bekerja sama untuk mengembangkan diri anak dengan lebih baik. Dalam tahap eksplorasi ini sebaiknya para orang tua atau guru menghindari vonis yang terlalu dini
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual kepada anak, misalnya, “Oh, anak saya pandai menggambar. Lebih baik saya melatih anak saya di bidang seni lukis supaya menjadi pelukis”. Sikap tersebut justru akan merugikan sang anak karena pilihan tersebut cenderung membatasi atau mempersempit talenta anak. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh para orang tua dan guru adalah menyediakan tempat yang kondusif agar semua kegiatan untuk menggali kecerdasan sang anak dapat bertumbuh secara optimal. Tahap selanjutnya disebut dengan tahap spesialisasi, yaitu ketika anak berada dalam rentang usia 7-14 tahun. Pada masa ini anak-anak dilatih untuk mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan tertentu yang diminatinya hingga menjadi kompeten atau ahli di bidangnya. Keahlian yang berhasil dicapai pada periode tahap spesialisasi akan membangkitkan rasa percaya diri yang sehat sehingga ia siap untuk memasuki masa perkembangan selanjutnya. Tahap sintesis merupakan periode masa ketiga perkembangan seorang anak. Pada masa ini anak-anak sudah memasuki usia remaja. Dalam tahapan ini mereka sudah siap mengaplikasikan keahlian dalam konteks dunia nyata. Ini adalah masa di mana seorang anak mulai belajar dan sudah dapat menerapkan kombinasi kecerdasannya dalam praktek hidup seharihari yang lebih kompleks. Mereka akan bertumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri, mampu mengatasi masalah hidup, serta dapat menerima serta mengembangkan dirinya sendiri. Menurut Dr. Damanhuri Rosadi dalam buku mencerdaskan spiritual anak (Lestari, 2012:40), mengatakan pengembangan kecerdasan anak yang utuh dimulai sejak anak dalam kandungan dan memasuki masa keemasan atau golden age pada usia 0-6 tahun. Masa keemasan ini ditandai oleh berkembangnya jumlah dan fungsi sel-sel saraf otak anak. Fungsionalisasi sel-sel saraf tersebut akan berjalan dengan optimal manakala ada upaya sinergi. Pada masa keemasan (golden age), terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya, tetapi sekaligus masa rapuh. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan intelektual, emosi, dan sosial anak di masa datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa keemasan ini sudah terlewati, maka tidak dapat tergantikan. Melihat tantangan ke depan yang semakin dahsyat. Melalui bantuan pendidikan bagi anak telah berkembang luas maka minat mengembangkan kecerdasan spiritualitas anak akan semakin mudah, sebenarnya bersumber dari lima macam pemikiran. Pertama, meningkatkan tuntunan baik terhadap pola pengasuhan anak dari para Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
203
ThufuLA
Nur Ahmad
204
ibu. Kedua, adanya perhatian khusus yang dikaitkan dengan pola asuh yang baik. Ketiga, pandangan bahwa pengasuhan anak sebagai sesuatu kekuatan utama guna membantu para ibu untuk meningkatkan kualitasnya, baik sebagai ibu maupun sebagai sumber daya manusia pada umumnya, sehingga dapat menggali kecerdasan spiritual anak. Keempat, adanya hasrat untuk meningkatkan kualitas anak cerdas spiritual. Kelima, program untuk mencerdaskan anak mempunyai dampak positif terhadap peningkatan kualitas perkembangan spiritualitas anak (Asmani, 2009:44). Mengoptimalkan Kecerdasan Intelektual Anak Ketika saat mengetahui anaknya sangat lemah di bidang tertentu, kebanyakan orang tua akan melakukan penambahan waktu, tenaga, serta daya upaya untuk berkutat terus-menerus dalam bidang tersebut. Sebagai contoh, jika ada anak usia dini yang kurang dalam keterampilan membaca (Kecerdasan Verbal) maka orang tua berusaha untuk memberikan pelajaran tambahan atau les, dan sebagainya. Berfokus pada kelemahan anak dan cenderung terus berusaha memperbaikinya justru memperkuat kelemahan itu sendiri. Akhirnya anak justru merasa tersiksa secara mental. Jalan keluar terbaik adalah orang tua tidak terus-menerus berkutat pada kelemahan anak. Akan lebih baik jika orang tua dapat bekerja sama dengan guru untuk mengatasi hal tersebut dengan menggali dan mengasah keunggulan yang dimiliki oleh anak. Bila seorang anak lemah dalam membaca, misalnya, tetapi ia suka menyanyi (kecerdasan musik), maka orang tua dan guru dapat mengembangkan kegemaran menyanyi anak untuk aktivitas membaca, yaitu membaca dengan cara menyanyi. Bila anak lemah dalam matematika, tetapi suka olahraga (kecerdasan tubuh), maka pengembangan kecerdasan matematika dapat dikembangkan melalui kegiatan atau soal-soal yang berkaitan dengan dunia olahraga. Anak-anak akan belajar efektif apabila mereka merasa suka dan gembira. Jadi, daripada berkutat pada ketidakmampuan anak, yang biasanya diikuti rasa tidak suka, maka akan lebih baik memanfaatkan potensi anak untuk memperbaiki kelemahannya (Lestari, 2012:41).
Membentuk Karakter Kecerdasan Spiritual Anak Sekolah yang pertama dan terpenting untuk pembentukan karakter adalah rumah tangga. Kehidupan rumah tangga adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Kesejahteraan masyarakat untuk sebagian besar
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual tergantung dari pendidikan yang diterima oleh anak-anak di rumah. Salah satu pendidik terbaik untuk pendidikan ialah “Tugas” dan “Pekerjaan” sehari-hari, yang mengajarkan penurutan, pengendalian diri, perhatian, pengabdian, ketekunan, keterampilan, dan kepandaian dalam jabatannya, serta kecakapan untuk mengatasi kesulitan dalam kehidupannya. Orang-orang yang berkarakter kuat menunjukkan sikap hormat. Ia menghormati paham religius, pemikiran-pemikiran yang bersih, dan pengajaran-pengajaran, juga menghormati orang-orang besar masa lampau dan masa kini. Tanpa penghormatan tidak akan ada kepercayaan kepada Tuhan atau manusia. Manusia yang berkarakter menempatkan kewajibankewajibannya di atas segala sesuatu. Kewajiban adalah fundamen yang memberikan kekuatan kepada semua kebajikan, akal budi, kebenaran, kebahagiaan, dan kasih agar berdiri teguh. Manusia yang melalaikan kewajibannya akan melihat segala sesuatu di sekelilingnya menjadi ambruk dan akhirnya ia berada di tengah keruntuhan kebahagiaan yang dulu dimilikinya. Tidak ada sesuatu yang dapat membebaskan manusia dari kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Antara berbagai elemen sangat dibutuhkan. Dari kerja sama inilah, ada proses saling melengkapi, memperbaiki, dan menyempurnakan satu dengan yang lain. peran berbagai elemen yang ada orang tua, lembaga pendidikan, dan lingkungan masyarakat menjadi prioritas yang tidak bisa dielakkan. Kita harus tahu bahwa kesiapan bersekolah pada anak tidak timbul dengan begitu saja. Selain dipengaruhi oleh kematangan, lingkungan tempat anak berkembang juga akan ikut membentuk kesiapan ini. Hal ini sejalan bahwa kemampuan sekolah anak juga ditentukan oleh faktor-faktor dari luar, seperti lingkungan dan keluarga. Di antara berbagai faktor lingkungan yang relevan untuk dibicarakan sehubungan dengan masalah kesiapan bersekolah adalah sekolah dan keluarga. Keduanya menjadi penting karena pada usia prasekolah, rangsangan yang diterima anak sangat menentukan perkembangan selanjutnya. Orang tua sebagai penanggung jawab utama pertumbuhan dan perkembangan anak jelas memegang kendali dari pendidikan anak usia dini ini, bahkan pada seluruh proses pendidikan anak pada semua jenjangnya. Pentingnya Membentuk Karakteristik Anak Bagaimanapun, keluarga adalah sumber kesuksesan dan juga kegagalan seorang anak. Keluarga menjadi media internalisasi nilai yang sangat kuat dan menjadi filter segala apa yang ada, internal maupun Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
205
Nur Ahmad eksternal. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam membentuk karakter anak yakni : a) Membentuk seseorang dalam pikiran atau pengetahuan dan tidak dalam moral serta karakternya adalah ancaman dalam komunitas b) Kemauan keras diperlakukan dalam membentuk karakter. Tidak mungkin ada pembentukan karakter tanpa kata kunci dan rahasia kemauan keras, yaitu “Harus”, “Bisa”, dan “Akan bisa”. c) Apakah yang dibutuhkan untuk memiliki kemauan keras dan pernyataan kemauan itu? Jawabannya: perasaan, pemikiran, dan keberanian (tekad). Jalan untuk mewujudkan kemauan akan ditemukan atau dibangun oleh kemauan keras itu sendiri. “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan!” d) Membangun karakter dimulai dari bayi dan berlanjut terus sampai kematian (Eleanor Roosevelt). e) Mengajarkan perilaku yang baik adalah benar, tetapi lebih benar lagi jika mengajar motivasi yang baik. Tindakan apa pun tidak bisa disebut baik kalau tidak bersumber dari motivasi yang baik. f) Membangun motivasi yang benar dalam diri anak ketika melakukan sesuatu bukan karena takut atau ingin mendapat ganjaran, tetapi tahu dan ingin melakukan yang benar. g) Karakter tidak dapat dikembangkan dalam suasana nyaman dan tenang. Hanya melalui pengalaman yang penuh dengan percobaan dan penderitaanlah jiwa dapat dikuatkan, ambisi digugah, dan sukses dicapai.
ThufuLA
baik!
206
Pembentukan karakter ialah menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang
Karakter akan menunjukkan siapa kita sebenarnya, dengan karakter yang terbentuk pada setiap orang, maka karakter itu akan menunjukkan siapa kita sebenarnya, apakah keputusan-keputusan yang kita buat baik atau tidak, merugikan atau menguntungkan orang lain, semua dipengaruhi oleh sikap dan karakter. Karakter juga menentukan sikap, perkataan, dan tindakan seseorang. Oleh karena itu, orang yang memiliki karakter baik, setiap tindakan dan perkataannya pun baik. Karakter yang baik memberikan integritas kepada seseorang. Setiap masalah dan kesuksesan berakar pada karakter. Sejarah mencatat orang-orang yang sukses memiliki karakter dan integritas baik, sedangkan orang-orang yang gagal kebanyakan memiliki karakter yang
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual jelek. Apa itu Karakter yang Baik? Karakter yang baik adalah motivasi dalam untuk melakukan apa yang benar dalam keadaan suka ataupun tidak suka sehingga setiap situasi harus bersumber dari dalam hati. Karakter yang baik juga tidak mengenal perbedaan usia, status, ras, pendidikan, jenis kelamin, kepribadian (Lestari, 2012:88).
Menggali Kecerdasan Spiritual Anak Melalui Sikap Disiplin Disiplin adalah mempertahankan setiap peraturan tata tertib (hukum) yang dibutuhkan untuk ketertiban dan kelancaran kehidupan bersama. Disiplin ada tiga macam, yaitu: Pertama, barang siapa menjamah besi yang sangat panas dengan tangan telanjang, ia akan segera mendapatkan sakit karena kurang berhati-hati. Inilah disiplin yang bersifat “Empirisotomatis”. Kedua, disiplin kedua adalah disiplin yang berasal dari masyarakat dan lingkungan. Inilah yang bersifat sosial. Ketiga, disiplin ketiga disiplin yang berasal dari diri sendiri (self-discipline) secara bebas dan sadar. “Aku harus berpikir, bicara, dan bertindak demikian. Jika berbuat demikian, maka aku akan maju dan pasti mendapat sukses.” Oleh karena itu, ambillah keputusan, “Sekarang aku akan hidup menurut peraturan”. Untuk meraih ini yang harus dimiliki adalah “Pengendalian diri sendiri” atau “Self-control”. Manusia yang ingin mendidik diri sendiri harus bisa memenuhi lima syarat: membaca dengan baik, bisa memperhatikan atau mengamati dengan baik, bisa mendengarkan dengan baik, bisa berbicara dengan baik, dan bisa mengingat dengan baik (Lestari, 2012:90). Adapun menurut Tony Buzan dalam buku bimbingan dan konseling di sekolah mengatakan, ciri-ciri anak yang mempunyai kecerdasan spiritual adalah anak suka berbuat baik, anak suka menolong orang lain, anak suka mencari tujuan hidup, berusaha untuk selalu mandiri, turut memikul sebuah misi luhur kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan tertentu dan masih banyak lagi (Azzet, 2010:49) Ada beberapa prinsip yang dapat digunakan membantu mencerdaskan spiritualitas anak tersebut adalah sebagai berikut: 1. Berorientasi pada Kebutuhan Anak Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan, baik perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio-emosional. 2. B elajar Melalui Bermain Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
207
Nur Ahmad
3. 4.
5.
6. 7.
ThufuLA
208
Bermain merupakan sarana belajar anak usia dini. Melalui bermain, anak diajak untuk bereksploitasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di sekitarnya. L ingkungan yang Kondusif Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain. M enggunakan Pembelajaran Terpadu Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat membangkitkan minat anak dan bersifat kontekstual. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi mudah dan bermakna bagi anak. Mengembangkan Berbagai Kecakapan Hidup Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki disiplin diri. M enggunakan Berbagai Media Edukatif dan Sumber Belajar Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik/ guru. D ilaksanakan secara Bertahap dan Berulang-ulang Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak, agar konsep dapat dikuasai dengan baik hendaknya guru menyajikan kegiatan-kegiatan yang berulang.
Tujuh prinsip pendidikan anak usia dini ini harus diperhatikan, karena sangat menentukan kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Jangan main paksa, instruksional, dan sejenisnya yang membuat kreativitas dan dinamika akal anak tidak berkembang secara eksploratif. Menurut Eli Tohonan Tua Pane, setiap orang tua sangat menginginkan anaknya lebih baik, lebih hebat dan lebih berhasil dari mereka. Sebaliknya, tidak ada orang tua di muka bumi ini yang menginginkan anak-anaknya lebih rendah kedudukan sosialnya, gagal dalam hidupnya, dan tidak memiliki
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual masa depan yang cerah. Anak adalah anugerah Yang Maha Kuasa, sehingga setiap orang yang dikaruniai seorang anak wajib untuk mengasihi, membimbing, memberikan pendidikan yang terbaik, serta mengupayakan kesejahteraannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki orang tua, karena anak adalah masa depan keluarga. Menurut Martin Luther (1483-1546), keluarga adalah pihak paling penting dalam pendidikan anak. Jika orang tua dapat memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya, maka sikap anak tidak jauh beda dari orang tuanya. Demikian sebaliknya, apabila orang tua tidak dapat memberikan contoh dan teladan yang baik, maka orang tua tidak bisa berharap banyak anak-anaknya akan menjadi lebih baik dan sesuai dengan keinginan orang tua. Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya? Khusus orang tua, ada beberapa kiat khusus yang harus diwujudkan untuk mewujudkan pendidikan dalam kecerdasan anak berkualitas. Mendidik anak membutuhkan tips yang akan mengantarkannya meraih kecerdasan. Di antara beberapa tips cerdas tersebut adalah sebagai berikut: 1. M emberikan Keteladanan Karena anak usia dini sangat sensitif terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku dan sepak terjang orang tua sangat berpengaruh terhadap anak. Cara orang tua dalam berbicara, berperilaku, dan bergaul dengan orang lain menjadi cermin bagi anak. Di sinilah orang tua memberikan teladan sempurna kepada anak-anaknya dalam bertutur sapa, berperilaku, dan bergaul. Perilaku seseorang biasanya terpengaruh dari faktor agama. Karena itu, orang tua harus memantapkan diri dalam hal agama dan menanamkan nilai-nilai agama yang suci dan luhur kepada anak-anaknya. Dari cahaya keimanan dan ketakwaan yang suci inilah keagungan moral dan ketinggian budi akan menyinari perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. 2. M enjadikan Rumah Sebagai Taman Ilmu Rumah adalah tempat lahir, tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Dari rumahlah pendidikan dimulai. Kalau rumah menjadi sumber ilmu, amal, dan perjuangan anak, maka anak akan tumbuh menjadi kader yang handal, mantap, dan penuh prestasi. Menjadikan rumah sebagai taman ilmu berarti merancang dan melaksanakan kegiatan yang serat ilmu di rumah, misalnya menyediakan ruang perpustakaan keluarga di rumah agar anak-anak Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
209
ThufuLA
Nur Ahmad
210
rajin membaca dengan sendirinya. Karena membaca adalah sumber ilmu, maka menyediakan bacaan yang berkualitas adalah kebutuhan utama. Apa yang dibaca anak akan berpengaruh terhadap cara pandang dan cita-cita besarnya di kemudian hari. Menyediakan komputer untuk menulis dan berkarya juga menjadi salah satu strategi jitu melatih anak melek teknologi mutakhir yang menjadi ciri khas era informasi global sekarang. Melibatkan anak dalam musyawarah atau diskusi menjadi media aktualisasi paling efektif dalam menggali kemampuan anak dan mengembangkannya secara maksimal. 3. Menyediakan Wahana Kreativitas Anak membawa ciri khasnya sendiri-sendiri. Ia memiliki kelebihan dan keunggulan yang khas yang tidak ada pada orang lain. Namun, banyak anak tidak menyadarinya, begitu juga orang tua. Mereka tidak menyadari bakat hebat yang ada pada anak. Padahal, jika terasah dengan baik akan menjadi faktor kesuksesan dan kegemilangannya di masa depan. Di sinilah pentingnya menyediakan wahana kreativitas anak. Anak diberi ruang penuh untuk menampakkan jati diri dan identitasnya. Anak dibiarkan bermain komputer, membaca buku, menulis, main catur, dan apapun. Anak harus dibimbing untuk menemukan bakat terbesar yang ada pada dirinya. Dari wahana kreativitas inilah, bakat terbesar anak akan tampak. Jika bakat terbesarnya sudah kelihatan, orang tua harus bergerak cepat membimbing dan memaksimalkan secara maksimal. Misalnya, dengan memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan sesuai bakat anak. Dalam hal ini, orang tua berperan sebagai motivator yang tidak bosan-bosan mendorong anak-anaknya menggali dan mengembangkan bakat. 4. H indari Emosi Negatif Emosi dalam arti marah, kecewa, dan tersinggung adalah hal-hal alami yang ada pada setiap manusia. Namun, jika tidak bisa mengendalikannya, apalagi mengekspresikan dalam bentuk yang negatif, maka sangat berbahaya, terlebih bila dilakukan di hadapan anak. Oleh sebab itu, dalam mendidik anak, khususnya usia dini, stabilitas ekonomi sangat penting. Kearifan, kebijaksanaan, kematangan, dan kecermatan di dapatkan dari stabilitas emosi ini. Oran tua harus berhati-hati. Masalah apapun yang dihadapi, jangan diselesaikan dengan emosi. Jika emosi yang dikedepankan, anak akan mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan dan bisa mengganggu pertumbuhan
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual dan perkembangannya. Lebih baik diam dari pada melampiaskan emosi. Diam bisa menetralkan tegangan otot yang terjadi. Diam juga menjadi wahana evaluasi efektif terhadap kekurangan dan kelebihan sikap dan strategi yang dipilih. 5. R ajin Berdoa Sehebat dan sesempurna apapun manusia, pasti banyak kekurangan. Manusia tidak boleh menggantungkan hasil hanya kepada kerja kerasnya. Semua persoalan sebaiknya juga diserahkan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu manusia harus menambah kedekatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam konteks ini, berdoa menjadi wahana untuk memohon pertolongan Tuhan. Berdoa dengan tulus dan konsisten membuat spiritualitas dan religiusitas manusia bertambah kuat (Asmani, 2009:75) Maka, rajin-rajinlah berdoa agar kasih sayang dan pertolongan Tuhan dekat dengan kita. berdoalah agar Tuhan menjadikan anak-anak kita menjadi kader masa depan bangsa yang bermoral, mempunyai kapasitas intelektual tinggi, dan mempunyai dedikasi sosial yang memadai.
Lembaga pendidikan merupakan media transfer of knowledge, science, value, and skills. Sementara, lingkungan sosial menjadi media aktualisasi potensi dalam menorehkan prestasi. Kerjasama lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat akan menghasilkan potensi yang hebat kepada anak usia dini, baik secara moral, intelektual, sosial, spiritual, dan profesional. Kerja sama sekolah, keluarga, dan masyarakat juga akan membentuk pendidikan terpadu yang berkualitas tinggi. Semua memegang peranan penting dalam proses pendidikan anak usia dini. Dalam konteks ini, lagi-lagi keteladanan menjadi kunci kesuksesan pendidikan anak usia dini. Keteladanan merupakan faktor penting dalam perilaku baik dan buruknya anak. Disadari maupun tidak disadari, anak akan mencontoh orang tua dengan menirukan perilaku, tata cara pergaulan, dan aktivitas sehari-harinya. Sebagaimana yang kita alami di rumah seharihari, sering orang tua berharap kepada anaknya untuk shalat, berperilaku baik, berkata baik, serta mempunyai perangai, sifat atau karakter yang menyenangkan. Namun sayang, orang tua tidak mencontohkannya di hadapan anak. Peniruan ini terjadi pada anak secara langsung tanpa harus disuruh Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
211
ThufuLA
Nur Ahmad
212
atau diajarkan untuk melakukannya. Jika anak melihat perbuatan dan mendengar perkataan yang memberikan kesan pada dirinya dan mendapat penerimaan lingkungannya, maka ia akan menirukannya. Peniruan ini biasanya disebut dengan imitasi untuk anak berusia di bawah 10 tahun, sebelum akhir balig. Jika peniruan terjadi pada anak yang telah memasuki akhir balig, maka peniruan ini disebut identifikasi. Imitasi adalah peniruan sesaat yang dilakukan anak setelah memperhatikan perilaku dan perkataan maupun sikap orang lain. peniruan akan terjadi apabila perilaku dan perkataan itu menarik, menyenangkan, dan mempunyai kesan tersendiri pada dirinya. Berlangsungnya imitasi ini sangat singkat dan sesaat. Peniruan yang lama akan hilang dan ditinggalkan apabila ia mendapat peniruan yang baru. Peniruan akan menetap sewaktu anak mendapat respons positif maupun respons negatif. Yang dimaksud respons positif adalah setiap peniruan yang mendapat tanggapan penerimaan dari lingkungannya. Adapun yang dimaksudkan dengan respons negatif adalah setiap peniruan yang mendapat tanggapan penolakan dari lingkungannya. Umumnya, anak di bawah usia 5 tahun menirukan kata-kata yang tidak baik atau kata-kata yang kotor, mungkin diawali dari teman sebayanya atau mungkin dari orang tuannya. Jika orang tua merespons positif dengan tertawa atau meminta mengulanginya karena perbuatan tersebut dianggap lucu, maka anak akan terus mengulanginya. Demikian juga jika orang tua merespons negatif, dengan melarang atau memarahinya, anak akan mengulangi kata-kata tersebut sewaktu orang tuanya tidak ada dan kemungkinan anak mengulangi di hadapan orang tuanya. Imitasi juga dilakukan anak pada mulanya hanya sebatas mencontoh saja, seperti dalam gaya berbicara. Oleh karena itu, sebagai orang tua, usahakan untuk tidak merespons tindakannya, baik positif maupun negatif. Abaikan saja, kemudian berikan contoh (teladan) dengan kata-kata yang baik untuk menghilangkan peniruan yang tidak baik itu. yang lebih penting adalah tidak mengomentari perkataan dan tingkah laku yang tidak baik kepada anak dengan paksaan dan tekanan sebagai larangan. Anak akan menerima bahwa perkataan dan tingkah laku tersebut tidak baik, jika mendapat informasi yang jelas, singkat, padat. Dan terarah. Misalnya, sewaktu anak melihat sesuatu yang membuat anak kagum, ia akan mengatakan “gila”, maka saat itu orang tua yang mendengar tidak perlu memarahi dan melarangnya atau mengomentari kata-kata tersebut, melainkan berikan teladan dengan mengucapkan “subhanallah”, dengan
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual intonasi yang lebih baik dan menarik buat anak. Dalam memberikan penjelasan, usahakan untuk tidak terjadi dialog, perdebatan atau pertentangan dalam kesalahpahaman. (Asmani, 2009:82) Terjadinya imitasi anak kepada orang tua atau orang-orang yang ada di sekitarnya, disebabkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut: 1. Menarik. Informasi yang menarik akan lebih cepat diperhatikan, dan anak akan berusaha untuk mencontohnya. Informasi yang menarik adalah informasi yang tidak membosankan, tidak menjenuhkan, dan tidak menjadi beban. 2. Baru. Yang baru, baik itu perilaku maupun perkataan, akan menimbulkan rasa keingintahuan ini, anak akan berusaha untuk mencoba. Apabila mendapat kesempatan dan mampu untuk melakukannya, maka ia akan mencobanya. Oleh karena itu, sebagai pendidik, usahakanlah untuk melakukan tingkah laku dan perkataan yang baik dengan memodifikasikan perkataan, sehingga perkataan dan tingkah laku tersebut terkesan baru. 3. Konsisten. Yaitu perilaku dan perkataan yang dilakukan terus menerus. Hal tersebut akan menjadi perhatian anak untuk dapat dicontohkannya. 4. Berkesan. Setiap perbuatan dan perkataan yang dilakukan di hadapan anak dengan menyenangkan dan tidak membosankan, maka hal itu akan berkesan pada diri anak. Sesuatu yang berkesan itulah yang akan di imitasi dengan perasaan senang. Kesan ini pula yang akan memberikan bekas kepadanya hingga ia kelak dewasa dengan mengabaikan suatu peniruan yang tidak baik dan diganti dengan bentuk peniruan yang lebih baik, dengan sendirinya kebiasaan anak untuk melakukan kebaikan akan tertanam, sehingga ia dapat menolak suatu perbuatan tidak baik yang dilihat dan didengarnya.
Selain imitasi, anak juga mengalami proses identifikasi, yaitu peniruan terhadap figur orang-orang yang dikagumi atas sifat-sifat atau karakternya. Identifikasi merupakan peniruan dengan mengambil totalitas dari hal-hal yang dilakukan orang tua maupun orang lain yang menjadi perhatian dan kesan yang tertanam pada anak. Identifikasi akan berhasil dilalui apabila ia telah benar-benar matang dalam proses perkembangannya dan telah mengenal dirinya dari suatu proses pendidikan yang didapatnya. Proses identifikasi diri merupakan kematangan anak dalam menilai perilaku dan kepribadian orang lain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginannya. Jadi, sebelum anak melakukan identifikasi, ia harus matang Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
213
ThufuLA
Nur Ahmad
214
terlebih dahulu, yaitu telah menyelesaikan masa perkembangannya sebelum ia akil balig. Kematangan terjadi dari pertumbuhan dan perkembangan yang berjalan dengan baik. Yaitu, bagaimana ia telah mengenal dan memahami siapa dirinya dan mengetahui potensi dan kemampuan dirinya. Dengan kematangan, ia akan mampu untuk mengikuti dan mencontoh secara identik (sama persis) pada orang lain yang disesuaikan dengan dirinya, kebutuhan, motif serta perkembangannya. Dengan pribadi yang matang, anak akan siap menerima segala sesuatu yang datang dari luar dirinya secara efektif. Ia akan melihat dan mempertimbangkan mana yang baik dan pantas untuk menjadi figur dirinya. Apabila figur yang dikagumi melakukan suatu yang tidak sesuai dengan dirinya, ia berani untuk menolak dan meninggalkan figur tersebut meskipun teman-teman sebayanya mengikuti figur yang menjadi idolanya. Anak-anak akan mengadakan identifikasi utama pada orang tuanya. Apabila dalam diri orang tuanya tidak sesuai dengan pola perkembangannya, maka anak akan mencari contoh atau teladan dari luar diri orang tuanya (orang lain). identifikasi sifatnya menetap dan akan terjadi jalinan dan hubungan batin yang kuat di antara orang yang diidentifikasi dan orang mengidentifikasi. Sehingga, anak yang benar-benar mengadakan identifikasi, akan sangat kuat untuk mencari figur yang dapat diterima dan sesuai dengan proses pembentukan dirinya. Adapun mereka yang telah terbebas dari beban dan tekanan diri dan lingkungannya akan dengan mudah menjalankan proses identifikasi yang sesuai dengan kemampuan dan potensi dirinya. Dari keterangan di atas dipahami bahwa pendidikan anak usia dini menjadi kesempatan emas membentuk karakter, moralitas, pengetahuan, keterampilan, dan life skill yang memadai bagi pertumbuhan dan perkembangan anak ke depan. Oleh sebab itu, kerja sama semua pihak dari keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi solusi terbaik demi suksesnya pendidikan anak usia dini ini. Khusus bagi keluarga, tugas dan tanggung jawabnya dalam menyukseskan pendidikan anak usia dini sangat besar, mengingat dari keluargalah seorang anak lahir dan berkembang. Warna dalam keluarga sangat menentukan pola pikir, kebiasaan dan pandangan dalam memotret kehidupan dunia yang penuh kompetisi, aktualisasi, dan dinamisasi. Kecerdasan Spiritualitas Anak Melalui Keharmonisan Keluarga Keharmonisan keluarga sangat erat kaitannya dengan perkembangan kecerdasan anak itu sendiri. Bila anak tumbuh dan berkembang dalam sebuah
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual keluarga yang harmonis, maka kecerdasannya pun juga ikut berkembang dengan baik pula. Namun bila anak dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis biasanya akan mengalami masalah yang dalam perkembangan kecerdasannya. Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang sangat didambakan oleh semua orang, akan tetapi untuk mewujudkan hal itu sangatlah tidak mudah. Keluarga harmonis tidak harus berasal dari keluarga kaya yang rumahnya bagus, punya mobil mewah dan pekerjaan dengan gaji besar. Keluarga harmonis bukan tidak mungkin terwujud dari keluarga yang hidupnya sederhana, bahkan rumah pun terkadang masih kontrak, tidak punya kendaraan pribadi dan penghasilannya pun juga kecil. Keluarga harmonis dibangun berdasarkan hubungan antar keluarga yang rukun, saling menyayangi, menghormati dan saling membutuhkan. Itulah sebenarnya sendi-sendi kehidupan dalam keluarga yang harus diciptakan dan dibina. Terkadang kita sering mendengar bahwa keluarga yang harmonis adalah identik dengan keluarga yang serba berkecukupan sandang, pangan dan papan atau rumah. Orang yang berkecukupan dijamin akan harmonis dalam keluarganya. Pendapat yang seperti ini belum selamanya benar, terkadang justru ada yang sebaliknya, sebab tidak sedikit pasangan suami istri yang kemesraannya renggang atau bahkan rusak justru setelah sang suami mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar. (Azzet, 2010:22). Sekali lagi yang membuat keluarga harmonis bukanlah masalah keluarga kaya atau miskin, melainkan bagaimana keluarga itu dibangun dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab dan rasa kasih sayang yang selalu dipancarkan dalam setiap nafas hidupnya. Sungguh membangun keluarga yang harmonis memang menjadi suatu keharusan,di samping itu kebahagiaan rumah tangga yang sudah merupakan tujuan utama dari setiap orang yang membangun kekeluargaan, dalam hal ini juga sangat penting untuk pertumbuhan kecerdasan emosional anak atau bahkan kecerdasan spiritualitas anak. Anak-anak yang dalam keluarga yang harmonis akan mempunyai ketenangan batin dan kegembiraan. Dua hal ini sangat penting perannya dalam menciptakan suasana agar proses mencerdaskan potensi spiritualitas anak akan semakin mudah. Anak-anak yang hatinya merasa tenang karena dalam keluarganya tidak ada masalah yang membuat hatinya risau akan jauh lebih mudah dalam berpikir dan memahami sesuatu. Dengan demikian anak-anak yang hatinya gembira karena orang tuanya tidak memberikan tekanan, seluruh anggota keluarga bisa menjadi sahabat yang menyenangkan, atau orang tuanya Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
215
Nur Ahmad
ThufuLA
selalu memberikan motivasi sudah barang tentu akan lebih bersemangat dalam belajar. Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam kondisi keluarga harmonis akan lebih mudah untuk mengambangkan kecerdasan spiritualitas karena di dorong oleh keluarga yang penuh dengan kehangatan dan keharmonisan. Didik dengan akhlak yang baik, didik dan diajari tata krama kepada orang tua bahkan sama bapak ibu gurunya ketika mereka sudah sekolah karena selalu mendapatkan asuhan dan nasihat yang benar sesuai tatanan agama. Di samping itu anak-anak bila anak dibesarkan dalam kondisi kegembiraan, kebahagiaan, maka akan lebih untuk mengambangkan kecerdasan intelektual bahkan agama. Hal ini bisa terjadi karena masingmasing anggota dari keluarga yang harmonis, terutama diajari dan dinasihati dan diberikan contoh oleh kedua orang tuanya. Sungguh dukungan yang penuh dari keluarga adalah moral yang sangat kuat penting dalam proses perkembangan kecerdasan anak. Demikian pula dengan kemauan bisa berbagi dari masing-masing anggota keluarga, sesungguhnya ini merupakan modal yang sangat penting agar anak-anak dapat mengembangkan kecerdasannya, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan bahkan kecerdasan dalam kearifan lokal.
216
Kesimpulan Kecerdasan spiritual ibarat mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan dengan kecerdasan emosional ataupun intelektual dimana kecerdasan spiritual itu memang menentukan keberhasilan seseorang. Akan tetapi ada kecenderungan tinggi yang bisa menentukan bukan saja kesuksesan semata melainkan juga kebahagiaan seseorang. Kecerdasan spiritual akan membangkitkan kesadaran kita sebagai khalifah di bumi. Dengan demikian, bukan saja kita akan berguna bagi diri kita melainkan juga bagi keberlangsungan orang-orang di sekeliling kita. Kecerdasan spiritual tidak tumbuh ketika dewasa, akan tetapi harus dipupuk dan dibangkitkan serta dilatih sejak dini agar kelak menjadi pribadi-pribadi yang unggul, santun dan berkarakter. Menurut Dr. Damanhuri Rosadi dalam buku mengembangkan kecerdasan spiritual anak (Muhammad Azzet), mengatakan pengembangan kecerdasan anak yang utuh dimulai sejak anak dalam kandungan dan memasuki masa keemasan atau golden age pada usia 0-6 tahun. Masa tersebut ditandai oleh berkembangnya jumlah dan fungsi sel-sel saraf otak anak. Fungsionalisasi sel-sel saraf tersebut akan berjalan dengan optimal
Menggali Potensi Kecerdasan Anak Melalui Pendekatan Spiritual manakala ada upaya yang sinergi antara emosi, psikis, intelegensi. Pada masa (golden age), terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan spiritualitas anak yang diimbangi dengan perkembangan intelektual dan sosial anak di masa datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa ini sudah terlewati, maka tidak dapat tergantikan melihat tantangan ke depan yang semakin dahsyat. Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam kondisi keluarga harmonis akan lebih mudah untuk mengambangkan kecerdasan spiritualitas karena di dorong oleh keluarga yang penuh dengan kehangatan dan keharmonisan.
217 Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
Nur Ahmad
Referensi
ThufuLA
Akhmad Muhammad Azzet, 2010, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak, Yogyakarta, KATAHATI Abdul Azis Ash-shani, 2010, Kiat Membiasakan Anak Salat, Bandung, Irsyad Baitus Salam Anisa Hidayati, 2003, Anak Saleh, Tanamkan Iman Sejak Dini, Yogyakarta, Mitra Pustaka Ahmad Tantowi, 2002, Pendidikan di Era Transformasi Global, Semarang, Pustaka Pelajar Jamal Ma’mur Asmani, 2009, Manajemen Strategi Pendidikan Anak, Yogyakarta, Diva Press ……………………….., 2010, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Yogyakarta, Diva Press. Igre Siswanto dan Sri Lestari, 2012, Panduan Bagi Guru dan Orang Tua Pembelajaran Alternatif, Yogyakarta, Andi Offset Muhammad Arifin Ilham, 2013, Keluarga Sakinah, Jakarta, Zikrul Hakim
218