MENCERMATI RUUSPN DIKAITKAN DENGAN MASA DEPAN PENDIDIKAN BANGSA Oleh Rochmat Wahab
PENGANTAR Krisis multi dimensi yang menimpa bangsa Indonesia hingga kini belum nampak reda secara meyakinkan,
bahkan semakin kompleks. Hal ini
merupakan salah konsekuensi dari perilaku para elit yang belum menunjukkan langkah kolektif yang solid sebagai wujud good will dalam mengentaskan krisis dan dampaknya. Kondisi yang demikian oleh banyak orang sering dikaitkan dengan kegagalan pendidikan dalam membangun individu yang bermoral dan kompeten. Pendidikan selama ini disinyalir menghasilkan sejumlah besar lulusan yang jauh dari produktif dan memiliki komitmen moral yang rendah pula, sehingga kebobrokan dalam berbagai hal masih mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Kegagalan yang kita rasakan, tentu saja tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya sistematis untuk mengatasinya. Untuk itulah ke depan, pendidikan sebagai institusi sosial diharapkan lebih mampu dalam membentuk individu dan masyarakat yang bermoral, di samping kompeten dan adaptif dalam menghadapi persoalan yang terus muncul dan
sangat menantang.
Dengan kata lain bahwa pendidikan nasional diharapkan mampu menghasilkan individu yang memiliki komitmen ke-hamba-an dan kekhalifahan secara produktif dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian pendidikan diharapkan mampu menjadi salah satu strategi yang efektif dalam menghadapi krisis, mewujudkan kehidupan yang demokratis, dan mendukung terwujudnya SDM yang handal dalam menghadapi tantangan dan persaingan global.
1
Untuk maksud tersebut, maka sangat diperlukan untuk mengkaji UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan merumuskan UUSPN baru, yang tidak hanya mampu mengatasi krisis, melainkan juga mampu merespon gerakan reformasi yang membawa misi demokratisasi dan otonomi dan menghadapi tantangan global. Bagaimana dengan Rancangan Undangundang Sistem Pendidikan Nasional (RUUSPN) yang sudah disiapkan Panja yang dalam minggu ini sedang dilanjutkan pembahasannya. Berdasarkan perkembangan terakhir di tengah-tengah masyarakat, kontroversi beberapa substansi RUUSPN belum juga reda, sehingga tetap relevan kalau pada kesempatan ini masih diperlukan pengkajian yang lebih mendalam, sehingga kehadirannya mampu memberikan pencerahan bangsa dan masyarakat Indonesia.
SUBSTANSI RUUSPN YANG MENJADI SOROTAN Pada dasarnya sebagian besar RUUSPN telah memuat substansi yang mampu memenuhi keinginan dan memberikan jawaban terhadap persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam menatap masa depan. Namun pada kenyataannya masih mengandung beberapa substansi yang kontroversi dan beberapa substansi lainnya yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati, walaupun telah dilakukan reviu yang intensif dari sejak tahun 2001. Pertama, pengertian Pendidikan nampak belum memberikan kejelasan. Kalau sekiranya pengertian pendidikan dalam pasal 1, poin 1, diharapkan dapat mencakup semua aktivitas pendidikan baik di jalur formal, non-formal, maupun informal, maka pengertian pendidikan menjadi kurang tepat, karena pendidikan jalur informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang tidak memiliki penjelasan sedikitpun, terutama yang menyangkut tentang usaha terencana. Sementara itu pendidikan informal seringkali terjadi tanpa rencana yang jelas. 2
Kedua, hak warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa (pasal 6 ayat (4). Pada ayat ini dijelaskan bahwa warga negara yang memiliki kesecradasan dan bakat istimewa berhak memperoleh program pendidikan secara khusus, sementara itu warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pelayanan pendidikan khusus. Padahal kedua kelompok warga negara ini membutuhkan prosedur layanan yang relatif sama, yang dimulai dari asesmen, penempatan, penyusunan program, proses pendidikan, sampai dengan evaluasi. Yang semuanya itu disesuaikan dengan potensi dan kondisi obyeketif mereka. Hal ini perlu diangkat, karena pasal ini sangat terkait dengan pasal 33, ayat (1) yang menyatakan bahwa pendidikan khusus hanya merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, karena kelainan fisik, emosional, metal, intelektual, dan atau sosial. Untuk membawa bangsa mampu mengatasi tantangan masa depan, maka secara demokratis warga negara yang memiliki keunggulan perlu mendapatkan pelayanan pendidikan yang sesuai, seperti juga berlaku bagi warga negara lainnya, terutama yang menyandang kelainan. Ketiga, pendidikan diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 5 ayat (2)). Artinya bahwa pendidikan dengan diselenggarakan pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry – multi exit system). Prinsip ini terasa sekali memang enak dan mudah diungkapkan, karena sangat demokratis dan berpihak kepada keunikan setiap warga negara yang memiliki hak untuk mengakses pendidikan. Namun implikasi luas prinsip ini menurut hemat saya memerlukan perubahan sikap dan tindakan yang sungguhsungguh, menyeluruh, dan bertanggung jawab dengan tetap berorientasi kepada pencapaian kualitas pendidikan.
3
Keempat, hak setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan dalam mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama (Pasal 13, ayat (1a)). Pasal ini hingga ini dianggap paling
kontroversi,
sehingga
banyak
mengundang
kelompok
masyarakat tertentu untuk andil dalam berbagai aksi demo, bahkan hingga kini semakin memuncak. Saya bisa memahami bahwa sebagian besar kelompok ormas sosial (LSM) atau agama tertentu yang sangat serius untuk menggagalkan RUUSPN, hanya terkait dengan pasal dan ayat ini, padahal kalau kita berpikir jujur dan jernih, justru sebaliknya pasal dan ayat ini merupakan cerminan gerakan reformasi, terutama demokratisasi di bidang pendidikan. Ada beberapa alasan esensial yang mendukung pasal ini dapat kita maklumi adanya, yaiitu (1) menjunjung tinggi hak azasi setiap warga negara, terutama anak didik untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan agama sesuai yang dianutnya (lihat lampiran tentang pasal-pasal dan ayat-ayat dari KONVENSI PBB), (2) konsistensi antar 3 level riset
(fondasi/filosofi pendidikan, sistem
pendidikan, dan praksis pendidikan) merupakan hal sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan, termasuk pendidikan agama, (3) pendidikan agama tidak hanya menjangkau tataran kognitif saja, melainkan yang lebih penting sampai kepada tataran afektif, bahkan yang lebih penting sampai pada tataran amaliah, sehingga diperlukan keteladanan dalam perilaku agama (lihat lampiran tentang kontroversi pendidikan agama di sekolah). Kelima,
rumusan pasal
pada
semua
jenjang
pendidikan
hanya
menggambarkan bentuk dan wujud pendidikannya saja (Bagian Kedua, Bagian Ketiga, dan Bagian Keempat). Nah bagaimana dengan merumuskan kurikulum yang tanpa ada landasan sebelumnya. Untuk itulah menurut hemat saya, pada setiap
jenjang
diperlukan
rumusan
tujuan
pendidikan
dengan
mempertimbangkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik, sehingga 4
dapat menjadi pijakan dalam merumuskan pasal-pasal selanjutnya, terutama yang terkait dengan perumusan dan ketenagaannya. Keenam, standar nasional pendidikan yang diharapkan dapat memacu mutu pendidikan menurut hemat saya bukanlah suatu jawaban yang strategis, karena dalam konteks pasar bebas di masa kini dan depan, yang lebih penting adalah standar mutu pendidikan sesuai dengan tuntutan internal (bangsa Indonesia) maupun eksternal (masyarakat internasional).
Untuk dapat
menjamin efektivitas standar mutu pendidikan, sangat diperlukan lembaga akreditasi yang bertanggung jawab. Ketujuh, pendanaan pendidikan yang dibuat ukuran secara fixed, yaitu minimal 20% menunjukkan goodwill yang menggembirakan. Namun kalau disinyalir, lebih banyak bernuansa politis, karena pada prakteknya untuk membangun pendidikan yang berkualitas yang menjadi ukuran bukanlah prosentasi dari APBN atau APBD, namun berapa unit cost setiap peserta didik untuk setiap satuan pendidikan dengan target mutu pendidikan tertentu. Semakin tinggi standar mutu pendidikan yang ditentukan, maka semakin tinggi pula unit cost setiap peserta didik. Karena itu biaya pendidikan pada prakteknya bisa cukup kurang dari 20% ata lebih. Kedelapan, ketentuan pidana telah berhasil merumuskan sejumlah sanksi kepada siapa pun baik sebagai individu maupun institusi yang melanggar ketentuan yang ada dalam RUUSPN, namun khusus yang terkait dengan pasal 13 ayat (1a) tidak ada sanksi apapun. Jika hal ini terjadi, maka upaya yang dilakukan baru setengah hati. Oleh karena itu menjamin untuk keberlangsungan pelaksanaan pendidikan agama, sangatlah diperlukan tindakan sanksi yang bersifat mendidik dan konstruktif.
5
PENUTUP Demikian beberapa poin penting yang diharapkan dapat menjadi pemicu (trigger) diskusi pada kesempatan ini, sehingga kita dapat menyikapi kehadiran RUUSPN lebih bijak dan produktif. Semoga.
6