Memproyeksi Pemilu 2009 “Daerah Pemilihan, Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem Kepartaian”1 Oleh: August Mellaz dan Pipit R. Kartawidjaya* Abstraksi “Proporsional tidaknya suatu pemilu terkait erat dengan besaran daerah pemilihan; penambahan kursi dalam setiap daerah pemilihan akan meningkatkan proporsionalitas, oleh karena tingkat deviasi (disproporsionalitas) semakin menurun. Namun, meningkatnya proporsionalitas sebagai akibat dari penambahan kursi di setiap daerah pemilihan, berbanding terbalik dengan tingkat fragmentasi sistem kepartaian. Dimana semakin meningkat jumlah kursi yang dialokasikan dalam setiap daerah pemilihan (proporsionalitas yang meningkat), maka fragmentasi sistem kepartaian juga semakin meluas”. Keywords: Daerah Pemilihan, Proporsionalitas, Fragmentasi Sistem Kepartaian. Pendahuluan Berangkat dari preposisi di atas maka perumusan formula undang-undang pemilu, seharusnya merupakan kaitan antara aspek besaran kursi daerah pemilihan yang memberi pengaruh langsung pada meningkat-menurunnya derajat proporsionalitas suatu pemilu. Kedua, semakin proporsional suatu pemilu (penambahan kursi pada setiap daerah pemilihan), maka fragmentasi politik sistem kepartaian juga akan semakin meningkat.2 Oleh karena itu, upaya perbaikan yang harus dipikirkan oleh para perumus undang-undang dan pembaharu pemilu adalah, mengkaitkan konsekuensi politis dari perumusan formula pemilu tersebut. Sehingga dapat dikalkulasi secara jelas, apakah proporsionalitas pemilu (pengurangan jumlah alokasi kursi daerah pemilihan), atau peningkatan fragmentasi sistem kepartaian (menambah alokasi kursi daerah pemilihan) yang akan menjadi korban. Tentu saja, ini bukan isu yang sederhana untuk dipilih dalam merekomendasikan formula kebijakan dalam perumusan undang-undang pemilu. Perumusan formula pemilu, seharusnya beranjak dari upaya untuk mengkombinasikan, antara; meningkatnya proporsionalitas dengan kadar keterwakilan lebih tinggi, sekaligus menjaga fragmentasi sistem kepartaian agar tidak meluas, sehingga sistem kepartaian sederhana dapat terbentuk. Lagi-lagi bukan perkara yang jawabannya mudah dicari. Ada semacam dalil umum, bahwa meski sistem proporsional dianggap lebih mewakili berbagai kelompok politik dibanding sistem lain. Namun, problem utama sistem proporsional dimanapun juga adalah fragmentasi politik, yang dianggap sebagai biang terhadap ketidakstabilan sistem
1
Tulisan ini sebagai bahan materi dan dimuat pada JENTERA JURNAL HUKUM, Edisi Khusus 2008 “Membaca Daniel S. Lev”. * August Mellaz, saat ini Penulis aktif di Sindikasi Pemilu & Demokrasi. Pipit R. Kartawidjaya, Watch Indonesia eV Berlin 2 Douglas W. Rae, “The Political Consequenses of Electoral Laws”. (New Haven and London, Yale University 1967), hlm 115-117.
1
politik dan kepartaian.3 Oleh karena itu bagaimana mendesain sistem pemilu yang hasilnya proporsional, sekaligus memberikan insentif bagi penguatan sistem kepartaian, baik melalui koalisi atau merger yang bersifat institusional dibandingkan psikologis, menjadi pemikiran dan diterapkan dalam pengembangan sistem ini.4 Setumpuk Masalah Pemilu 2004 Dalam konteks sistem kepartaian dan pelaksanaan pemilu di Indonesia, maka kajian ini beranjak pada mandat yang menjadi misi undang-undang itu sendiri, antara lain; menjaga proporsionalitas dan kadar keterwakilan lebih tinggi, mengakomodasi keterwakilan perempuan, mewujudkan pemerintahan yang kuat, pembentukan parlemen yang efektif, multikepartaian sederhana, sekaligus pembangunan sistem kepartaian. Pelaksanaan Pemilu 2004, menyisakan berbagai masalah yang tidak sederhana sekaligus pelanggaran terhadap undang-undang. Namun berbagai masalah tersebut, hingga saat ini justru kurang mendapatkan perhatian yang layak dari banyak kalangan untuk memperbaikinya. Bahkan dalam perumusan rancangan undang-undang pemilu mendatang, kemungkinan besar masalah tersebut justru akan terulang. Mulai dari pelanggaran kuota alokasi kursi dan batasan kursi di setiap daerah pemilihan, disproporsionalitas hasil pemilu, dan tidak kalah penting fragmentasi sistem kepartaian yang semakin meluas.5 Beberapa masalah tersebut, antara lain: 1. Pelanggaran Batasan Kursi Daerah Pemilihan Berangkat dari pengalaman pelaksanaan Pemilu 2004, berbagai problem muncul seiring dengan penentuan besaran kursi antara 3-12 kursi dalam setiap daerah pemilihan, baik untuk pemilihan anggota DPR RI, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setidaknya ada 24 daerah pemilihan pada pemilu 2004 melanggar ketentuan undang-undang dengan variasi antara 13-27 kursi. Tabel 1.1. Daerah Pemilihan Pada Pemilu 2004 Melebihi 12 Kursi 1 2 3 4 5 6
NO
PEMILU DPRD KAB DPRD Prov DPRD KOTA DPRD KOTA DPRD Prov DPRD KOTA
7 8
DPRD KOTA DPRD Prov
9
DPRD KOTA
KAB Maluku Tenggara SUMUT 1 (Kota Medan) Pekanbaru 3 Bengkulu 1 KEPRI 4 Cimahi 1 Cimahi 2 Magelang 1 Yogyakarta 2 Yogyakarta 4
DAPIL
KURSI 17 14 14 16 21 17 13 13 14 16
Mojokerto 2
14
3
Terutama dalam sistem multi partai, karena jumlah partai politik yang dapat berubah-ubah. Datang dan pergi, sedang yang lain berubah bentuk; sebagian merger, sebagian lain mengecil (splinter). Cairnya kondisi partai ini sering mengakibatkan munculnya insstabilitas sistem politik. Untuk lebih detail lihat, Balinsky-Young, Fair Representation, “Meeting the Ideal of One Man, One Vote”, (Brooking Institution Press, Washingthon DC, 2001), hlm 89. 4 Ibid 5 Lebih detail lihat, Pipit R. Kartawidjaya-Sidik Pramono “Akal-akalan Daerah Pemilihan”, (Perludem, 2005), hlm. 3-141.
2
10
DPRD Prov
11
DPRD KOTA
12
DPRD KOTA
13 14
DPRD KOTA DPRD KOTA
15 16
DPRD KOTA DPRD KOTA
17 18
DPRD KOTA DPRD Prov
19
DPRD Prov
20
DPRD Prov
Banten 1 Banten 3 Denpasaar 1 Denpasar 3 Mataram 3 (terdiri dari 3 kecamatan –berbeda dengan yang lain yang hanya terdiri dari 1 kecamatan)
15 27 20 13 13
Waringin Barat 2 Palangka Raya 1 (terdiri dari 3 kecamatan –berbeda dengan yang lain yang hanya terdiri dari 1 kecamatan) Balikpapan 4 Palopo 2 (terdiri dari 2 kecamatan –berbeda dengan yang lain yang hanya terdiri dari 1 kecamatan)
13 13
Sorong 2 Sultra 5 (terdiri dari 5 kabupaten –berbeda dengan yang lain yang hanya terdiri dari 1 kabupaten) Maluku 3 (terdiri dari 2 kabupaten –berbeda dengan yang lain yang hanya terdiri dari 1 kabupaten) NTB 4
17 13
13 13
(Tabel diolah dari Peta Daerah Pemilihan, http://www.kpu.go.id/peta/)
Beranjak dari data tentang pelanggaran alokasi kursi daerah pemilihan yang melebihi kuota seperti di atas, maka prolem serupa kelihatannya bakal terulang. Saat ini beberapa usulan tentang berapa alokasi kursi dalam setiap daerah pemilihan mulai muncul. Dengan alasan penyederhanaan sistem kepartaian, maka usulan untuk mengurangi jumlah alokasi kursi daerah pemilihan menjadi 3-7 kursi atau lebih kecil dibanding dengan pemilu lalu, kelihatannya mendapatkan momentumnya. Namun, benarkah isu besaran alokasi kursi antara 3-7 kursi per daerah pemilihan seperti yang berkembang saat ini dapat terpenuhi. Dengan kata lain daerah pemilihan yang merupakan wilayah administrasi pemerintahan (Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan) dapat terpenuhi tanpa melanggar undang-undang seperti tahun 2004. Jika alokasi kursi tahun 2004 antara 3-12 kursi saja tidak tercapai, apalagi dengan 3-7 kursi. Berangkat dari beberapa argumentasi: pertama, pertambahan dan mobilitas penduduk pada pemilu 2004 tentu akan berbeda dibanding 2009. Konsekuensinya akan ada daerah-daerah pemilihan yang akan mengalami peningkatan maupun penurunan jumlah penduduknya. Sehingga, bisa terjadi suatu daerah pemilihan yang berkursi kurang dari 3, ataupun berkursi lebih dari 7. Tentu saja pelanggaran undangundang akan terjadi lagi. Misalnya Kabupaten Sidoarjo yang sebagian penduduknya berpindah lokasi karena banjir lumpur, dimana ada pemilu 2004 gabungan Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah pemilihan untuk DPR RI dan DPRD Propinsi Jawa Timur. Dengan perpindahan penduduk Sidoarjo akibat banjir lumpur, berkonsekunsi pada alokasi kursi berdasarkan jumlah penduduknya bisa turun. Sedangkan wilayah sekitarnya bisa saja bertambah lebih dari 12. Kedua, jika besaran alokasi 3-7 kursi per daerah pemilihan akan dipaksakan, konsekuensi lain yang akan muncul adalah pemecahan wilayah administrasi. Misalnya Kabupaten/Kota ataupun Kecamatan yang harus dipecah menjadi beberapa bagian agar maksimal jumlah kursi menjadi 7 dapat terpenuhi. Persoalannya kita tidak mengenal pemecahan wilayah administrasi pemerintahan tersebut. Tidak saja karena faktor keberadaan penduduk/pemilih yang secara administratif tercatat dalam daerah tersebut, maupun faktor geografis yang melatarbelakanginya (keeratan, soliditas, etnis, dan sebagainya). Masalah lain yang akan muncul adalah, pemecahan terhadap struktur organisasi partai politik yang selama ini berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan (DPD atau DPW untuk Propinsi, DPC untuk Kabupaten/Kota, dan 3
14 14
Anak Cabang (PAC) untuk tingkat kecamatan), menjadi berdasarkan daerah pemilihan. Ambil contoh, daerah pemilihan untuk DPRD Propinsi Banten 3, yakni Kabupaten Tangerang yang berkursi 27 (melanggar batasan 12 kursi). Dengan kursi 3-7, apakah akan berarti akan dipecah menjadi 3 atau 4 daerah pemilihan, yang juga berarti struktur partai politik juga akan dipecah misalnya DPC 1, 2, 3, atau 4. Tentu jika struktur partai dipecah, maka menjadi pertanyaan apakah partai politik siap dengan pemecahan struktur ini dan juga akibatnya pada mekanisme internal dalam pengambilan keputusannya. Sebagai catatan tersendiri dari bagian ini dalam penentuan besaran daerah pemilihan 2004, adalah terjadinya tabrakan antara struktur organisasi partai politik dengan pembentukan daerah pemilihan. Masalah ini pada akhirnya menimbulkan problem internal partai yang sulit diatasi. Bahkan keputusan partai politik tingkat pusat juga tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme pemecahan masalah yang efektif. Problem ini muncul oleh karena UUD 1945 dan UU 12/2003 yang dasarnya memiliki penghormatan terhadap kehadiran, keberadaan, dan peranan partai politik. Sedangkan, pada pemilu 2004 mayoritas daerah pemilihan untuk tingkat propinsi merupakan gabungan dari 2-6 Kabupaten/Kota (56%), dan untuk daerah pemilihan Kabupaten/Kota merupakan gabungan dari 2-11 Kecamatan (84%). Masalah ini makin berlanjut dengan adanya instruksi DPP (Dewan Pimpinan Pusat) yang menyatakan bahwa setiap ketua PAC (Pimpinan Anak Cabang/Kecamatan) berhak untuk dicalonkan pada nomor urut satu.6 Berdasarkan argumentasi yang disebutkan di atas, maka mempertahankan alokasi 312 kursi untuk tiap daerah pemilihan dalam pemilu 2009 tidaklah masuk akal, apalagi jika saat ini justru menucul usulan alokasi 3-7 kursi saja. 2. Menjauhnya Proporsionalitas, Teraihnya Disproporsionalitas Problem lain dari pemilu 2004 lalu, adalah tidak tercapainya mandat undang-undang pemilu, penerapan sistem pemilu yang proporsional dengan kadar keterwakilan lebih tinggi. Sebagai indikator dalam mengukur tercapainya hasil yang proporsional dari suatu pemilu, maka kita dapat beranjak dari beberapa indikator di bawah; a. 1. Alokasi Kursi Propinsi. Misalnya daerah pemilihan DPR RI, dimana Jabar VI (6 kursi), sedangkan Jabar V (12 kursi). Untuk Jabar VI yang berkursi 6 maka ambang terselubung (1/12=8%), hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan satu kursi di daerah pemilihan berkursi 6, maka satu partai politik harus mampu meraih suara pemilih sebesar 8%. Sedangkan pada Jabar V ambang terselubung (1/24=4%), berarti bahwa partai politik harus mampu meraup perolehan suara sah sebesar 4%, agar mendapatkan satu kursi.7 Ini berarti harga kursi di daerah Jabar VI lebih mahal dibanding Jabar V. Pada banyak negara, besaran kursi yang senjangnya jauh semacam ini dimintakan uji pada Mahkamah Konstitusi.8 6
Lebih lanjut lihat Pipit R. Kartawidjaya, “Catatan Atas Pemilu Legislatif 2004”, (INSIDE-Watch Indonesia, 2004), hlm. 97 7 Lebih lanjut tentang threshold matematis dan cara perhitungan, lihat Pipit R. Kartawidjaya “Matematika Pemilu”, editor Sidik Pramono, (INSIDE, Januari 2004), hlm. 32. 8 Lihat, Keputusan Mahkamah Federal Nomor, 1P.267/2002/sth, Sidang 18 Desember 2002 di Kota Lausanne. Keputusan Mahkamah Federal Swiss (Bundesgricht) memenangkan gugatan Partai Hijau
4
2. Formasi Besaran Kursi Genap dan Ganjil Pada Daerah Pemilihan. Formasi kursi daerah pemilihan akan menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Jika kursi di daerah pemilihan tersebut ganjil (3,5,7, dst), maka parpol terkuat di daerah pemilihan tersebut akan diuntungkan. Sedangkan untuk daerah pemilihan berkursi genap (4,6,8, dst...), biasanya parpol kedua terkuat di daerah pemilihan tersebut yang akan diuntungkan. Efek ini akan sangat terasa pada daerah pemilihan 3-7 kursi dibandingkan daerah pemilihan 3-12.9 b. Senjang Prosentase Suara Dengan Kursi. Alat ukur lain dalam menghitung proporsional tidaknya hasil pemilu adalah dengan mengukur senjang prosentase perolehan suara partai politik. Berdasarkan dengan prosentase kursinya di parlemen, hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa disproporsionalitas terjadi, dan bukan konsentrasi yang tinggi. Apakah ini bukan berarti pencideraan mandat proporsionalitas dari suatu undang-undang, ataukah kita terima sebagai konsekuensi penerapan sistem belaka. Apakah hal ini berarti, kita perlu mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan proporsional dalam undang-undang kita. Proporsional tidaknya hasil pemilu, juga merupakan kombinasi antara besaran kursi daerah pemilihan, dan penggunaan metode penghitungan suara dalam mengkonversi kursi di parlemen. Ketentuan penghitungan habis kursi pada setiap daerah pemilihan dengan penggunaan metode Kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton-Largest Remainders (Kuota-LR), atau di Indonesia disebut Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dengan Sisa Suara Terbesar, justru menghasilkan disproporsionalitas. Tabel di bawah ini menunjukkan disproporsionalitas yang justru terjadi dalam sistem pemilu proporsional Indonesia: Tabel 2.1. Perolehan Kursi DPR RI Pemilu 2004
No. Urut
Partai Politik
Jumlah Suara
Jumlah Kursi
% Suara
% Kursi
20. GOLKAR
24.480.757
128
21,58%
23,27%
18. PDIP
21.026.629
109
18,53%
19,82%
15. PKB
11.989.564
52
10,57%
9,45%
5. PPP
9.248.764
58
8,15%
10,55%
9. DEMOKRAT
8.455.225
57
7,45%
10,36%
16. PKS
8.325.020
45
7,34%
8,18%
13. PAN
7.303.324
52
6,44%
9,45%
3. PBB
2.970.487
11
2,62%
2,00%
cabang Zurich yang menyatakan bahwa, “Besaran daerah pemilihan antara 1 sampai 19 kursi untuk pemilihan DPRD Kotamadya Zurich dalam Pemilu 3 Maret 2002, dianggap tidak proporsional dan bertentangan dengan Konstitusi”. Untuk lebih detail lihat, Opcit, Pipit R. Kartawidjaya, hlm 90. 9 Dieter Nohlen, ’Wahlrecht und Parteiensystem“, (Opladen 2000), hal 87-88. Bahwa jumlah kursi setiap daerah pemilihan dan formasi ganjil-genapnya, berpengaruh pada tingkat kesulitan parpol dalam memperoleh kursi beserta proporsionalitasnya.
5
17. PBR
2.764.998
13
2,44%
2,36%
19. PDS
2.414.254
12
2,13%
2,18%
14. PKPB
2.399.290
2
2,11%
0,36%
10. PKPI
1.424.240
1
1,26%
0,18%
6. PDK
1.313.654
5
1,16%
0,91%
8. PNBK
1.230.455
1
1,08%
0,18%
1.073.139
0
0,95%
0,00%
1. PNI
923.159
1
0,81%
0,18%
12. PNUI
895.610
0
0,79%
0,00%
24. PELOPOR
878.932
2
0,77%
0,36%
11. PPDI
855.811
1
0,75%
0,18%
842.541
0
0,74%
0,00%
22. PSI
679.296
0
0,60%
0,00%
7. PIB
672.952
0
0,59%
0,00%
23. PPD
657.916
0
0,58%
0,00%
636.397
0
0,56%
0,00%
113.462.414
550
100,00%
100,00%
21. PANCASILA
4. MERDEKA
2. PBSD JUMLAH
(diolah dari perolehan suara KPU)
Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa dalam sistem proporsional Indonesia, untuk daerah pemilihan berkursi 3-12, dikombinasikan dengan metode kuota varian Hamilton/Hare/Niemeyer-Largest Remainder (BPP dengan Sisa Suara Terbesar), justru menghasilkan disproporsionalitas. Sebagai contoh, fakta senjang perolehan suara PKB dengan PAN yang selisih lebih dari 4 juta suara. Ketika suara tersebut dikonversi dalam perhitungan kursi, memberikan kompensasi 10,57% perolehan suara sah PKB dengan 52 kursi, atau 9,45% total kursi DPR. Sedangkan untuk PAN yang perolehan suara nasionalnya sebesar 6,44%, justru dikompensasi dengan 53 kursi atau sebesar 9,64% total kursi di DPR. Demikian juga dengan partai Demokrat, dengan 8,4 juta suara atau sama dengan 7,45% suara sah nasional, dikompensasi dengan 57 kursi DPR atau sama dengan 10,36 % kursi di DPR. 3. Gagalnya Penyederhanaan Sistem Kepartaian Terdapat beberapa variabel yang biasanya digunakan dalam memproyeksi potensi penyederhanaan sistem kepartaian dibanyak negara. Variabel ini saling terkait satu dengan yang lain, antara lain; faktor keserentakan pelaksanaan pemilu, penetapan besaran ambang batas (electoral threshold), dan indeks jumlah efektif partai politik di parlemen. Berbagai cara untuk melakukan penyederhanaan kepartaian di parlemen. Langkah ini dapat ditempuh melalui koalisi atau gabungan parpol, threshold pada saat pemilu, besaran daerah pemilihan (jumlah kursi dalam satu daerah pemilihan) dan cara perhitungan (metoda kuota atau divisor). Cara lain adalah pemisahan pemilu DPR nasional dengan daerah. Partai politik kecil, dapat saja hanya mengikuti pemilu di daerah, jika suatu saat membesar ikut pemilu nasional. Beberapa referensi yang dapat kita tengok adalah sistem presidensialisme di Amerika Latin. Di sana penyelenggaraan pemilu DPR nasional dengan pemilihan presiden dilakukan secara
6
serentak – terpisah dari pemilu legislatif daerah dan pilkada. Penyederhanaan parpol di parlemen semakin dapat berfungsi, jika presiden terpilih dengan mayoritas sederhana (Misalnya, Argentina 45 persen atau Ekuador 40 persen).10 Fragmentasi menjadi luas, jika pemilu DPR Nasional terpisah dari pemilihan presiden. Oleh karena, setiap parpol berusaha meraup suara semaksimal mungkin, untuk menaikkan posisi tawarnya dalam koalisi pemilihan presiden. Dengan keserentakan, sejak awal parpol akan berusaha membentuk koalisi-koalisi.11 Begitu juga dengan penetapan besaran ambang batas atau threshold dan peruntukannya. Threshold biasanya digunakan dalam rangka keinginan untuk mewujudkan stabilitas sistem politik. Oleh karena itu per definisi konsep dan praktek pelaksanaannya “electoral threshold adalah batas minimum suara yang harus dicapai baik oleh partai politik atau kandidat pada pemilu, persyaratan ini digunakan sebagai pemenuhan proporsi minimal suara dalam rangka mendapatkan kursi perwakilan”.12 Oleh karena itu, ketentuan threshold yang berlaku di berbagai negara di dunia merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh parpol atau kandidat agar perolehan suaranya disertakan dalam penghitungan guna peroleh kursi. Jika perolehan suara partai atau kandidat tidak melampaui ambang yang ditetapkan, maka perolehan suara tersebut tidak disertakan dalam penghitungan kursi. Namun partai politik atau kandidat yang bersangkutan dapat terus mengikuti pemilu selanjutnya tanpa harus bergabung, ganti nama ataupun memenuhi persyaratan lain seperti yang diterapkan di Indonesia. Alat ukur lain dalam mengukur seberapa besar penyederhanaan sistem kepartaian dalam pemilu, adalah dengan menghitung jumlah efektif partai di parlemen. Sementara itu, Laakso dan Taagepera mematematiskan jumlah parpol itu dengan menerapkan definisi Jumlah Efektif Perolehan Suara Parpol. Dalilnya13: Nv: Effective Number of Parties Voters (ENPV), artinya parpol di luar parlemen disertakan vi: Perolehan suara setiap parpol peserta pemilu dalam persen.
Dalil ini, bermanfaat untuk menghitung jumlah efektif parpol peserta pemilu, baik di dalam maupun yang berada di luar parlemen.
10
J. Mark Payne, et all: "Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America", (The Inter-American Development Bank and the International Institue for Democracy and Electoral Assitance, The John Hopkins University Press, Washington D.C 2002), hlm.72-73 11 Opcit, J. Mark Payne, et all hlm. 65-72. 12 Margareth Healy, “Politics and Public Administration Group”, (An Electoral Threshold for the Senate. 30 March 1999), Research note 19 1998-99 http://www.aph.gov.au/library/publs/rn/199899/99rn19.htm 13 Lebih lanjut improvisasi Markku Laakso dan Rein Tagepera dalam menghitung jumlah efektif parpol, lihat Arend Lijphart “Electoral Systems And Party Systems: A Study Of Twenty-Seven Democracies, 1945-1990”. (Oxford University 1994) , hal. 68
7
Berpedoman pada Sartori, bahwa partai politik yang disertakan dalam penghitungan adalah yang berada dalam parlemen. Maka, jumlah efektif parpol berubah menjadi partai politik yang masuk ke parlemen, tidak tergantung pada besar kecilnya jumlah partai politik yang berkompetisi dalam pemilu. Besar tidaknya jumlah partai politik yang eksis dan ikut serta dalam pemilu tidak memberikan gambaran tentang karakter suatu sistem kepartaian 14. Karenanya dalil Laakso dan Taagepera dirubah menjadi “Jumlah Efektif Parpol Parlemen“ -- dari ENP (The Effective Number of Parties) menjadi ENPP (The Effective Number of Parliament Parties). Dalilnya sama, Suara Voice vi diganti dengan Kursi Seat sI (dalam %).
15
:
n
ENPP
=
1 / (∑ si) 2
=
1 / (s1+ s2+ s3+ s4+………… sn)
i=1
Tabel. 3.1. Hasil ENPP DPR 1999 dan 2004: Sistem Kepartaian Yang Terbangun DPR 1999 No.
Nama Partai
DPR 2004
Kursi
% Kursi
2
(si)
No.
Nama Partai
Kursi
% Kursi
(si)2
1.
PDIP
153
33,12%
0,109673
1. GOLKAR
128
23,27%
0,054149
2.
Golkar
120
25,97%
0,067465
2. PDIP
109
19,82%
0,039283
3.
PPP
58
12,55%
0,015761
3. PPP
58
10,55%
0,011130
4.
PKB
51
11,04%
0,012186
4. DEMOKRAT
57
10,36%
0,010733
5.
PAN
34
7,36%
0,005416
5. PAN
52
9,45%
0,008930
6.
PBB
13
2,81%
0,000792
6. PKB
52
9,45%
0,008930
7.
Partai Keadilan
7
1,52%
0,000230
7. PKS
45
8,18%
0,006691
8.
PKP
4
0,87%
0,000075
8. PBR
13
2,36%
0,000557
9.
PNU
5
1,08%
0,000117
9. PDS
12
2,18%
0,000475
10.
PDKB
5
1,08%
0,000117
10. PBB
11
2,00%
0,000400
11.
PBI
1
0,22%
0,000005
11. PDK
5
0,91%
0,000083
12.
PDI
2
0,43%
0,000019
12. PKPB
2
0,36%
0,000013
13.
PP
1
0,22%
0,000005
13. PELOPOR
2
0,36%
0,000013
14.
PDR
1
0,22%
0,000005
14. PNI
1
0,18%
0,000003
15.
PSII
1
0,22%
0,000005
15. PNBK
1
0,18%
0,000003
16.
PNI Front Marhaenis
1
0,22%
0,000005
16. PKPI
1
0,18%
0,000003
17.
PNI Massa Marhaen
1
0,22%
0,000005
17. PPDI
1
0,18%
0,000003
18.
IPKI
1
0,22%
0,000005
18. PBSD
14
Eckhard Jessee, ” Demokratie der Bundesrepublik Deutschland“, (Landeszentrale fuer politische Bildungsarbeit Berlin 1997), hlm. 188 15 Patrick Dumont — Jean-François Caulier, “The Effective Number Of Relevant Parties”, : How Voting Power Improves, (Laakso-Taagepera’s Index, December 11, 2003), hlm. 5; Hermann Schmitt, ”Multiple Parteienbindungen: Parteienbindungen der Schweizerinnen und Schweizer im internationalen Vergleich“, (Jahreskongress der SVPW in Balstahl, 2-3.11.2000), hlm. 12.
8
19.
PKU
1
0,22%
0,000005
19. MERDEKA
20.
Masyumi
1
0,22%
0,000005
20. PIB
21.
PKD
1
0,22%
0,000005
21. PNUI
22.
PNI Supeni
22. PANCASILA
23
Krisna
23. PSI
24.
Partai KAMI
24. PPD
25.
PUI
26.
PAY
27.
Partai Republik
28.
Partai MKGR
29.
PIB
30.
Partai SUNI
31.
PCD
32.
PSII 1905
33.
Masyumi Baru
34.
PNBI
35.
PUDI
36.
PBN
37.
PKM
38.
PND
39.
PADI
40.
PRD
41.
PPI
42.
PID
43.
Murba
44.
SPSI
45.
PUMI
46
PSP
47.
PARI
48.
PILAR Jumlah
462 100,00% ENPP
4 kursi masih porsi Timor-Timur http://www.kpu.go.id/Sejarah/pemilu1999.shtml
0,211896 4,71929
Jumlah
550 100,00% ENPP
0,141401 7,072067
http://www.kpu.go.id/suara/dprkursi.php
Berdasarkan hasil penghitungan di atas, maka sistem kepartaian Indonesia yang terbangun terbukti tidak dipengaruhi oleh berapa banyak jumlah partai yang berkompetisi. Terbukti pada pemilu 1999 dengan 48 partai politik yang bertarung, sistem kepartaian yang terbentuk adalah sistem 5 partai (4,7). Sebaliknya, dengan 24 partai politik yang berkompetisi pada pemilu 2004 justru menghasilkan sistem kepartaian 7 partai. Ini berarti bahwa sistem kepartaian pada tahun 1999 dengan 48 peserta ternyata lebih sederhana, dibandingkan dengan sistem kepartaian yang terbangun pada tahun 2004, meskipun jumlah kontestannya berkurang setengah dari pemilu sebelumnya. Angka ENPP ini oleh Eep Saefulloh Fattah disebut sebagai
9
indikator peningkatan kualitas demokrasi suatu negara, berdasarkan jumlah efektif partai politik.16 Fakta di atas menunjukkan, bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia ternyata gagal dalam upayanya untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Sekali lagi fakta-fakta yang dipaparkan diatas ingin menyatakan bahwa pembentukan pemerintahan yang kuat dan parlemen yang efektif, lebih potensial terwujud pada tahun 1999 dibanding 2004. Karena sistem kepartaian yang terbangun pada tahun 1999 lebih sederhana, dan oleh karenanya lebih mudah pembentukan koalisi parlemen yang mapan guna mendukung pemerintahan yang terpilih. Alternatif Menerobos Kebuntuan Pemilu 2009 Bagian ini berupaya mengajukan alternatif lain yang beranjak dari berbagai masalah yang menyeruak dalam pelaksanaan dan hasil pemilu 2004. Berangkat dari niat bahwa sistem pemilu yang akan dibangun untuk 2009 sedapat mungkin dipatuhi dan tidak dilanggar seperti sebelumnya. Oleh karena itu alternatif ini hanya mencoba untuk sedapat mungkin menerobos berbagai kebuntuan dalam perumusan formula bagi perbaikan kebijakan uu pemilu mendatang. Kedua, alternatif ini juga dimaksudkan sebagai upaya minimal yang dapat diajukan pada pembahasan RUU Pemilu yang saat ini sedang dalam pembahasan Panja DPR (Panitia Kerja) yang ditargetkan akan selesai pada akhir November 2007. Alternatif yang diajukan ini tidak hanya materi-materi yang diharapkan dapat operasional dalam perumusan legislasi, tetapi yang lebih penting adalah menggugah kita untuk sedikit memperhatikan teknologi pemilu 1999 yang pernah kita gunakan. Tentu saja beberapa argumentasi yang bisa kita ajukan antara lain; terpenuhinya proporsionalitas dengan kadar keterwakilan tinggi, prinsip pembentukan dan penetapan daerah pemilihan, dan pembangunan sistem kepartaian yang efektif. Dengan beberapa modifikasi dari prinsip pemilu 1999, beberapa mandat seperti yang disebutkan dapat diyakini akan terpenuhi. Pembagian dan Besaran Alokasi Kursi Daerah Pemilihan Pengalaman Pemilu 2004 dengan alokasi kursi antara 3-12, ternyata menghasilkan pelanggaran undang-undang, karena 24 daerah pemilihan kursinya kursinya antara 1327 kursi (lihat tabel Daerah Pemilihan Pada Pemilu 2004 Melebihi 12 Kursi). Dalam setiap daerah pemilihan, selalu mengandung threshold/ambang terselubung. Hal ini dikarenakan jumlah kursi yang disediakan dalam daerah pemilihan akan mempengaruhi besar-kecilnya threshold yang harus dilalui oleh partai politik untuk dapat meraih kursi. Dengan usulan 3-7 kursi, maka threshold akan semakin tinggi dibanding daerah pemilihan 3-12 kursi.
16
30 Pasal RUU Politik Bermasalah, Media Indonesia 23 Maret 2007. http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=128083
10
Proporsionalitas suatu pemilu memiliki kaitan positif dengan besaran kursi dalam setiap daerah pemilihan: semakin tinggi besaran daerah pemilihan (penambahan kursi legislatif dalam setiap daerah pemilihan), berarti semakin menaikkan tingkat proporsionalitas hasil pemilu. Semakin kecil jumlah alokasi kursi dalam daerah pemilihan, maka akan menurunkan proporsionalitas pemilu, dengan kata lain justru disproporsionalitas yang terjadi. .17 Oleh karena itu, sebagai suatu alternatif maka dapat diajukan suatu rekomendasi: Pertama, daerah pemilihan tidak lagi dipahami sebagai area bertarung bagi partai politik, tetapi sebagai wilayah bagi parpol untuk mencalonkan kandidatnya berdasarkan wilayah administratif (Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan). Kedua, guna meningkatkan derajat proporsional pemilu 2009, sekaligus berangkat dari pengalaman 2004. Maka penggunaan prinsip teknologi pemilu 1999, dimana proporsionalitas penghitungan suara dilakukan pada tingkat propinsi bisa digunakan. Apabila kita menggunakan teknologi ini, maka alokasi kursi di daerah pemilihan, bisa saja 3-7, atau seperti tahun 2004, dan bahkan bisa saja minimal 1 kursi dan maksimal tidak terbatas karena didasarkan pada jumlah penduduk. Hal ini tentu saja tidak melanggar undang-undang, karena daerah pemilihan hanya menjadi wilayah bagi partai politik untuk mencalonkan kandidatnya saja. Ketiga, dengan menarik suara dan menghitungnya pada tingkat propinsi (proporsional tingkat propinsi), maka disproporsionalitas akan dapat dikurangi. Penghitungan kursi yang dihabiskan pada setiap daerah pemilihan seperti yang terjadi pada pemilu 2004, justru menghasilkan disproporsionalitas. Hal ini muncul, antara lain karena; akibat nilai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) yang berbeda di antara satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lain. Dalam kasus 2004, disproporsionalitas justru muncul karena BPP yang berbeda harganya bahkan di dalam satu propinsi (Jabar V dan Jabar VI). Keempat, Oleh karena pelaksanaan pemilu pada dasarnya sebisa mungkin menjadi suatu kebiasaan, maka penggabungan dan penetapan wilayah administrasi pemerintahan (Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan) sebagai daerah pemilihan tetap saja seperti tahun 2004. Misalnya gabungan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo sebagai satu daerah pemilihan, maupun kecamatan-kecamatan yang pada tahun 2004 digabungkan sebagai satu daerah pemilihan untuk pemilihan DPRD Kabupaten/Kota. Hal ini dimaksudkan agar, baik konstituen (pemilih) maupun kontestan (partai politik) tetap terjaga keeratannya dalam suatu lingkup administrasi pemerintahan seperti pada pemilu 2004. Ketentuan dan Besaran Electoral Threshold (ET) Dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen, maka penentuan ET haruslah beranjak dari konsep dan praktek yang selama ini berlaku dan diterapkan oleh negara-negara di dunia. Yaitu, prosentase suara minimal harus diraih oleh parpol dalam pemilu untuk dapat mengirim wakilnya di parlemen. Namun ketentuan prosentase besaran ET, tidaklah melarang parpol yang tidak lolos untuk berkontestasi
17
Opcit, Douglas W. Rae, hlm 115-117.
11
dalam pemilu mendatang, seperti yang selama ini berlaku dalam pelaksanaan pemilu Indonesia. Namun penetapan threshold ini haruslah berlaku tidak seperti pada sistem pemilu di Indonesia, dimana partai yang perolehan suara atau kursinya tidak melampaui ambang threshold tetap dihitung suaranya guna mendapatkan kursi dan duduk di parlemen. Namun pada pemilu mendatang dilarang berkompetisi pada kecuali berganti nama, atau bergabung dengan parpol lain. Ambang batas ini berlaku hanya pada tidak diikutsertakannya perolehan suara partai politik yang tidak mencapai threshold dalam penghitungan suara untuk mendapatkan kursi. Sehingga partai politik yang tidak lolos threshold tidak dapat mengiriman wakilnya di parlemen, namun tetap dapat berkompetisi pada pemilu mendatang. Oleh karena dalam setiap daerah pemilihan selalu mengandung threshold matematis (terselubung), maka besaran ambang batas seharusnya disesuaikan dengan jumlah kursi maksimal yang akan dialokasikan pada setiap daerah pemilihan. Namun, dapat juga besaran ET berangkat dari ketentuan batasan maksimal kursi yang disediakan pada tahun 2004, dimana jumlah alokasi kursi untuk setiap daerah pemilihan antara 312. Jika kursi paling banyak dalam setiap daerah pemilihan adalah 12 kursi sesuai undang-undang (threshold matematisnya = 4%), hal ini berarti bahwa partai politik setuju dengan besaran tersebut. Oleh karenanya, besaran ambang batas atau threshold dapat dipasang 4%18 dan berlaku pada tingkat propinsi, karena maksud menjaga proporsionalitasnya. Kombinasi antara Pembagian dan Besaran Alokasi Kursi Daerah Pemilihan diatas dan besaran ET akan dapat menjadi mekanisme efektif untuk memproporsionalkan pemilu 2009, sekaligus dalam rangka meraih mekanisme penyederhanaan sistem kepartaian. Dengan penentuan pemberlakuan dan besaran ET ini, maka partisipasi rakyat dalam membentuk partai politik dan berkompetisi dalam pemilu mendatang, tidak akan terhambat.19 Metode Penghitungan Suara Dalam literatur pemilu dunia, cara penghitungan suara yang dikenal ada dua besar yaitu metode kuota dan divisor dengan berbagai variannya. Berdasarkan aspek proporsionalitas yang dihasilkannya, maka metode Kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton-Largest Remainders (Kuota-LR), seperti yang digunakan
18
Besaran ET di beberapa Negara berbeda-beda, misalnya 1% di Israel, Denmark 2%, 4% di Norwegia, Swedia untuk pemilu nasional, dan Belanda untuk pemilu parlemen eropa, 5% di Jerman untuk parlemen nasional dan pemilu Eropa, 5% Prancis untuk pemilu Eropa, dan Turki 10%. Meskipun besaran ini bervariasi antara satu Negara dengan Negara lain, namun pemberlakuan ET ini sama, yaitu sebagai batas prosentase minimum suara yang harus dipenuhi oleh partai politik atau kandidat agar perolehan suaranya disertakan dalam penghitungan kursi, guna meloloskan wakilnya di parlemen. Lebih detail lihat, Opcit, Arend Lijphart, hlm. 148 19 Bandingkan ketentuan ET di banyak Negara lain dibanding Indonesia, Partai Bintang Reformasi (PBR) misalnya, karena ketentuan ET Indonesia berlaku untuk dapat mengikuti pemilu selanjutnya dengan prosentase 3%, maka PBR yang meraih 2,36% suara dan memiliki 13 kursi di DPR, harus berubah nama atau bergabung dengan partai lain agar memenuhi ET 3% sehingga bias bertanding pada pemilu 2009. Lihat perolehan suara dan kursi PBR, table 2.1 Perolehan Suara dan Kursi DPR RI Pemilu 2004.
12
dalam sistem pemilu Indonesia (BPP dengan Sisa Suara Terbesar), dan metode Divisor varian Webster/Sainte-lague diakui sebagai metode yang paling proporsional. Namun dua metode di atas akan menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Dimana metode Kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton-Largest Remainders (Kuota-LR) seperti yang kita pakai, khususnya dalam daerah pemilihan berkursi 3-12. Menimbukan kecenderungan, bahwa perolehan kursi partai politik terkuat di daerah pemilihan tersebut, kerap dicuri oleh parpol kelas menengah. Dengan kata lain, metode ini lebih condong memberikan keuntungan bagi partai politik kelas menengah pada setiap daerah pemilihan. Oleh karena itu, meskipun cara ini dianggap sebagai salah satu metode penghitungan yang paling mendekati proporsional, namun disproporsionalitas kerap terjadi jika metode ini digunakan. Disproporsionalitas ini kerap muncul karena perolehan kursi partai jika tidak memenuhi kuota/BPP akan didasarkan pada sisa suara terbesar. Dalam penghitungan perolehan kursi partai politik pemilu 2004, antara partai politik yang perolehan suaranya 0,9 dengan partai lain yang hanya 0,3 sama-sama mendapatkan 1 kursi. Disproporsional yang kerap muncul akibat dari senjang sisa suara semacam ini (surplus kursi yang diterima partai menengah) membuat metode kuota Hare/Niemeyer-LR seringkali merugikan partai besar, dan menguntungkan partai menengah. Oleh karena metode ini kerap menimbulkan disproporsionalitas (bias), maka pemakaian metode ini telah ditinggalkan di Amerika Serikat tahun 1964.20 Sedangkan metode Divisor varian Webster/Sainte-lague, untuk DP berkursi 3-12 memiliki kecenderungan; perolehan suara partai politik kelas atas dalam penghitungan kursi dipaksa pada tingkat yang lebih netral, sedangkan perolehan kursi partai kelas menengah ditarik pada derajat yang lebih proporsional. Sehingga baik untuk parpol besar maupun menengah berdasarkan metode ini tidak ada yang diuntungkan. Karena masing-masing parpol mendapatkan proporsi kursi berdasarkan perolehan suaranya pada tingkat yang tidak bias, oleh karenanya metode ini tidak berat sebelah (netral). Lebih lanjut lihat grafik Prof Dr Pukelsheim, guru besar matematika Universitas Augsburg di bawah:21
20
Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Wesberry Vs Sanders tahun 1964, dilanjutkan pada 1969, dan diteruskan pada tahun 1973 menyatakan bahwa, penggunaan metode Hill (dikenal juga sebagai Kuota Hare/Niemeyer/Hill) yang pertama kali digunakan dalam sensus di 19 negara bagian terbukti bias. Karena lebih menguntungkan negara bagian yang lebih kecil dalam alokasi kursi, yakni sebesar 3,3%. Sedangkan metode Webster yang seringkali digunakan oleh Kongres, justru memperlihatkan bias yang lebih kecil, yaitu kurang dari 0,3%. Tingkat bias atau deviasi ini berdasarkan putusan pengadilan distrik Texas hanya dapat ditoleransi sebesar 2,4% saja. Lebih lanjut lihat Opcit, Balinsky-Young, hlm. 85-86 21 “The theoretical findings are confirmed via empirical data from the German State of Bavaria, the Swiss Canton, Solothurn, and the US House of Representatives”. Lihat Friedrich Pukelsheim, ”Mandatszuteilungen bei Verhaeltniswahlen: Idealansprueche der Parteien“, (Zeitschrift fuer Politik 47 tahun 2000), hlm. 252
13
Grafik Daerah Pemilihan 3 s/d 12 Kursi Cara Perhitungan Yang Proporsional dan Peluang Menciptakan Multikeparpolan Sederhana
DP 6-12 kursi: ENPP rendah, lebih menguntungkan bagi multikeparpolan sederhana, oleh karena surplus kursi diredam. Karena parpol kelas besar di tiap DP dipaksa berada pada posisi proporsional, sedangkan parpol menengah ditarik pada posisi netral.
DP 6-12 kursi
terjemahan: größte atow groesste Partei: partai Besar mittlere Partei: partai Menengah kleinste Partei: partai Kecil
DP 6-12 kursi: ENPP tinggi, sehingga multikeparpolan sederhana lebih sukar terwujud. Surplus kursi sering terjadi. Parpol kelas menengah sering diuntungkan, karena kerap mencuri kursi parpol terkuat di daerah pemilihan tersebut.
Berdasarkan penelitian Pukelsheim dalam menghitung daerah pemilihan berkursi antara 6-30 kursi. Dengan memperhatikan daerah pemilihan berkursi 6-12, kecenderungan berbeda dihasilkan karena penggunaan metode penghitungan yang berbeda. Pertama, grafik bawah merupakan metode penghitungan yang dipakai di Indonesia Hare/Niemeyer (Kuota-LR). Pada daerah pemilihan berkursi 6-12, terdapat kecenderungan bahwa parpol kelas menengah mendapatkan keuntungan karena surplus kursi akibat sisa suaranya kerap mencuri perolehan kursi partai besar. Konsekuensi kedua, dengan metode ini maka kecenderungan pembentukan sistem kepartaian sederhana lebih rumit, karena keuntungan yang diperoleh parpol kelas menengah dengan sendirinya menciptakan fragmentasi yang lebih meluas. Pada grafik atas (Metode Divisor varian Webster/Sainte Lague/Schepers), terdapat kecenderungan bahwa perolehan kursi partai kelas atas di stop pada posisi netral, sedangkan perolehan partai kelas menengah ditarik pada posisi yang lebih proporsional.
14
Rekomendasi: Berdasarkan konsep dan fakta empiris yang ada, maka metode penghitungan suara Divisor varian Webster/Sainte-lague/Schepers menjadi alternatif yang paling efektif dalam rekomendasi kebijakan (metode penghitungan suara partai menjadi kursi) bagi perubahan RUU pemilu 2009. Metode penghitungan ini selain dikenal sebagai cara penghitungan yang paling akurat dan netral, juga merupakan metode yang diakui anti terhadap berbagai bias yang biasanya muncul dalam perhitungan matematis mengenai alokasi kursi dan perolehan kursi partai politik.22 Metode divisor Webster/Sainte Lague juga dapat digunakan tidak saja dalam penghitungan konversi suara partai politik menjadi kursi, namun sekaligus dapat digunakan sebagai metode penghitungan alokasi kursi dalam tiap daerah pemilihan. Dimana dalam pemilu 2004, cara penghitungan alokasi kursi per daerah pemilihan tidak ditetapkan, yang ada hanya metode penghitungan kursi perolehan parpol (BPPSisa Suara Terbesar/Kuota-LR). Keserentakan Pelaksanaan Pemilu Keserentakan pelaksanaan pemilu nasional (pemilu DPR dan pemilihan presiden) dilakukan bersamaan pada hari yang sama, dan dipisah dengan jadwal pelaksanaan pemilu lokal (DPRD dan Pilkada), pada banyak negara terutama Amerika Latin menjadi suatu mekanisme yang mendapatkan porsi kajian tersendiri, oleh banyak pemerhati pemilu karena berbagai keuntungan yang dapat dihasilkan dalam pengembangan demokrasi dan sistem kepartaian.23 Berbagai faktor menjadi latar belakang, sekaligus keuntungan dari keserentakan pelaksanaan pemilu, pada banyak negara menghasilkan kecenderungan; Pertama besarnya kemungkinan presiden terpilih secara langsung pada putaran pertama (terutama pada sistem pluralitas). Kedua, presiden terpilih akan mendapatkan dukungan besar dari legislatif atau pemilih (terutama dalam sistem mayoritas). Ketiga, keserentakan pemilu nasional punya kecenderungan untuk mempersempit wilayah kompetisi dan jumlah partai politik dalam meraih kursi legislatif. Keempat, keserentakan pemilu juga memberikan insentif kepada partai politik, baik kecil ataupun menengah untuk beraliansi atau berkoalisi baik dalam meraih kursi legislatif maupun pemilihan presiden. 24 Oleh karena itu aspek keserentakan ini turut menjadi alternatif yang direkomendasikan bagi perbaikan sistem pemilu 2009.
22
Metode Divisor merupakan satu-satunya metode yang dapat menghindarkan Paradoks Populasi, Paradoks Alabama, dan Paradoks Wilayah Baru. Beberapa kasus tersebut muncul dalam kurun waktu 200 tahun dalam pemilu di Amerika Serikat. Lebih lanjut lihat, Opcit, Balinsky-Young , hlm. 67-70 23 18 negara di kawasan Amerika Latin melaksanakan pemilihan presiden dan legislatif nasional secara serentak, dan dipisah dengan pemilu lokal (Pilkada dan DPRD). 5 negara (Honduras, Mexico, Panama, Paraguay, dan Venezuela) menerapkan sistem pluralitas dalam pemilihan presiden. 9 negara menerapkan sistem majority runoff (Bolivia, Brazil, Chile, Colombia, El Salvador, Guatemala, Peru, Uruguay, dan Rep. Dominika). Sedangkan 4 negara (Argentina, Costa Rica, Nicaragua, dan Ecuador) memakai sistem runoff with reduced threshold dengan ketentuan seperti Argentina, presiden terpilih jika meraih 45% suara sah atau 40% suara sah dengan jarak 10% dari kandidat kedua. Lebih lanjut, Opcit, J. Mark Payne, hlm. 70-72 24 Opcit, J. Mark Payne, hlm. 68-69
15
Karena berbagai kelebihan yang dapat dihasilkan melalui keserentakan pelaksanaan pemilu di atas, maka beberapa argumentasi dapat mendukung rekomendasi ini bagi perbaikan formula pemilu Indonesia: Pertama, penguatan fokus terhadap isu. Jika pelaksanaan pemilu lokal dipisahkan, maka isu lokal menjadi fokus utama. Tidak ada lagi pencampuradukan antara isu nasional dengan isu lokal. Dengan kebijakan desentralisasi, penguatan isu nasional dan lokal akan mendapatkan porsi tersendiri, terutama dikaitkan dengan fokus dan lokasi isunya. Jika pada pemilu nasional, maka isu nasional (misalnya UU N0 32/2004; 1. urusan luar negeri, 2. fiskal, 3. agama, 4. pendidikan, dan 5. keamanan) akan menjadi perhatian utama dari partai untuk bahan kampanye tentang kebijakan nasional yang akan diambilnya, dan pemilih akan menentukan isu nasional ini sebagai preferensi dalam melakukan pemungutan suara. Sedangkan dalam pemilu lokal, meskipun struktur organisasi kepartaian bersifat nasional, namun partai pada tingkat lokal akan fokus dalam penentuan isu lokal, begitu juga preferensi pemilih. Kedua, pemisahan keserentakan pelaksanaan pemilu akan mendorong desentralisasi kewenangan yang akan menguatkan pelembagaan kepartaian. Bukan selalu berarti, desentralisasi kewenangan ini sama dengan perubahan pada struktur organisasi partai politik (nasional menjadi partai lokal, meskipun hal ini mungkin saja terjadi). Struktur organisasi partai politik dapat saja tetap bersifat nasional, tetapi fokus perhatian dan kewenangan kebijakan penentuan dan pengelolaan isu dapat terdesentralisasi pada struktur partai tingkat lokal. Ketiga, sebagai mekanisme evaluasi terhadap kebijakan nasional. Tidak selamanya kebijakan nasional yang selama ini menjadi otoritas pemerintahan pusat dapat diterima oleh daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu nasional yang terpisah (Pilpres-DPR bersamaan) dan pisah dengan pemilu lokal (Pilkada-DPRD), dengan sendirinya menjadi mekanisme efektif dalam evaluasi kebijakann nasional. Terdapat kecenderungan dalam pemisahan antara pemilu nasional dan lokal. Jika kebijakan nasional dianggap tidak bermanfat bagi daerah, biasanya partai pendukung presiden yang berada pada tingkat daerah menjadi tidak populer, sehingga kurang mendapat dukungan dalam pemilu lokal. Kecenderungan ini pada akhirnya menjadi mekanisme evaluasi terhadap pemerintahan pusat, artinya presiden dan partai pendukungnya sadar bahwa kebijakannya ternyata tidak didukung oleh daerah. Selain itu, partai politik atau kader yang sukses kepemimpinannya di tingkat lokal, akan punya peluang dalam meningkatkan kariernya pada level nasional. Karena, kepemimpinannya akan diuji pada derajat, dan dinamika politik yang lebih tinggi di tingkat lokal. Keempat, potensi penyederhaan sistem kepartaian melalui keserentakan pelaksanaan pemilu sekaligus mengurangi fragmentasi politik. Pelaksanaan pemilu nasional yang terpisah dengan pemilu lokal. Misalnya, pilpres dan DPR yang bersama-sama secara otomatis memberikan insentif bagi pembentukan koalisi antar partai. Banyak referensi dan pelaksanaan pemilu yang terpisah, terbukti efektif dalam pengembangan demokrasi dan sistem kepartaian di berbagai negara yang memiliki sistem politiknya dengan Indonesia. Tabel di bawah akan menjelaskan kecenderungan penyederhanaan (konsentrasi partai politik) jika pemilu dilaksanakan secara terpisah.25
25
Opcit, J. Mark Payne, et all. hlm. 70
16
Tabel Konsentrasi Parpol: Pemilu DPR Nasional Dilaksanakan Serentak dengan Pilpres (Concurent)
Tendency toward Concentration of the Party System according to Different Presidential Elections System Concurrent
Not concurrent
Plurality
1
3
Runoff with reduced threshold
2
4
Majority runoff
4
6
Note: A score of one means the most concentrated outcome, six the least concentrated
Penutup Pada akhirnya, dalam suatu perumusan formula perbaikan aturan pemilu, pengkombinasian antara; besaran kursi daerah pemilihan, prosentase electoral threshold (ET) dan peruntukannya, pemilihan metode penghitungan suara, dan keserentakan pemilu menjadi aspek penting bagi perubahan kebijakan dalam pelaksanaan pemilu 2009. Melalui kombinasi atas berbagai aspek yang menjadi rekomendasi di atas. Keyakinan bahwa proporsionalitas hasil pemilu dengan kadar keterwakilan lebih tinggi, pembentukan sistem kepartaian sederhana tanpa memberangus keberadaan partai politik baru atau ‘gurem”, dan konversi perolehan suara partai politik menjadi kursi secara akuntabel dapat tercapai pada pemilu 2009 mendatang.
17
Daftar Pustaka Buku Balinsky, Michael, & Young, Peyton, 2001, Fair Representation: Meeting the Ideal of One Man, One Vote, Brooking Institution Press, Washington DC. Dumont, Patrick - Caulier, Jean-Françoisr, 2003, The Effective Number Of Relevant Parties : How Voting Power Improves, Laakso-Taagepera’s Index. Kartawidjaya, Pipit, 2004, Catatan Atas Pemilu Legislatif 2004, INSIDE-Watch Indonesia. Kartawidjaya, Pipit, 2004, Matematika Pemilu, INSIDE. Kartawidjaya, Pipit & Pramono, Sidik, 2007, Akal-akalan Daerah Pemilihan, Perludem. Laakso, Markku, 1987, Thresholds for Proportional representations: Reanalyzed and Extended, Kluwer Academic Publishers Lijphart, Arend, 1994, Electoral Systems And Party Systems: A Study Of TwentySeven Democracies, 1945-1990. Oxford University. Nohlen, Dieter, 2000, Wahlrecht und Parteiensystem, Opladen. Payne, Mark, et all, 2002, Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America, The Inter-American Development Bank and the International Institute for Democracy and Electoral Assistance, The John Hopkins University Press, Washington D.C. Pukelsheim, Friedrich, 2000, Mandatszuteilungen Idealansprueche der Parteien, Zeitschrift fuer Politik.
bei
Verhaeltniswahlen:
Rae, Douglas, 1967, The Political Consequences of Electoral Laws, New Haven and London, Yale University. Schmitt, Hermann , 2000, ”Multiple Parteienbindungen: Parteienbindungen der Schweizerinnen und Schweizer im internationalen Vergleich, Jahreskongress der SVPW in Balstahl.
Artikel Healy, Margareth, 1999, Politics and Public Administration Group, (An Electoral Threshold for the Senate. 30 March 1999), Research note 19 1998-99 Jessee, Eckhard, 1997, Demokratie der Bundesrepublik Deutschland“, Landeszentrale fuer politische Bildungsarbeit Berlin.
18
Internet http://www.kpu.go.id/Sejarah/pemilu1999.shtml http://www.aph.gov.au/library/publs/rn/1998-99/99rn19.htm http://www.kpu.go.id/suara/dprkursi.php http://www.kpu.go.id/peta/ http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=128083
19