Suar Suroso:
MEMBANTAH FITNAH PEMALSU SEJARAH Bab II AKAR DAN DALANG PEMBANTAIAN MANUSIA TAK BERDOSA DAN PENGGULINGAN BUNG KARNO
BERLALU waktu setengah abad. Peristiwa 1965 di Indonesia masih diliputi kegelapan. Penyiksaan, pemenjaraan, pembuangan, perkosaan, pembunuhan telah menelan korban jutaan umat. Inilah halaman tergelap dalam sejarah Indonesia. Trauma yang mendalam tetap terpendam di hati para korban atau keluarga korban yang masih hidup. Berbagai visi bermunculan mengungkap kejadian yang menelan korban jutaan manusia itu. Pemalsuan sejarah berlangsung dahsyat dalam mengungkap peristiwa ini. Mulai dari Buku Putih Kopkamtib, disusul tulisan‐tulisan para pakar sejarah seperti Prof. Noegroho Notosoesanto, Victor Miroslav Fic, Jung Chang, C.J.A. Dake, semuanya “menghitamkan” PKI dan Bung Karno, menyatakan PKI atau Bung Karno adalah dalang G30S, yang menjadi awal malapetaka bangsa Indonesia. 1. Buku Putih Kopkamtib DALAM Kata Pengantar Buku Putih Kopkamtib, yang diterbitkan 20 Mei 1978, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Laksamana Sudomo, menyatakan bahwa “bangsa Indonesia sudah bertekad bulat untuk tidak memberi kesempatan hadirnya kembali paham komunis untuk selama‐lamanya di negara kita.” Sesudah lewat pembantaian manusia yang kejam tak ada taranya, rezim fasis Soeharto secara jasmaniah membasmi kaum komunis dan golongan kiri, menelanjangi dirinya sendiri sebagai pemalsu sejarah, penjunjung tinggi panji komunisto‐fobi yang anti‐demokrasi, anti‐Undang‐Undang Dasar 1945. Kalimat pertama Buku Putih menyatakan bahwa “Peristiwa Gerakan 30 September yang dilaksanakan dan didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan singkatan G.30.S/PKI pada tahun 1965, merupakan noda hitam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sebagai puncak daripada segala bentuk
1
penyimpangan hukum dan konstitusi yang hampir‐hampir menenggelamkan kita sebagai negara dan bangsa.”
menghancurkan
dan
Dengan tegas dinyatakan PKI mendalangi G30S. Dengan memaparkan sejarah PKI, Buku Putih Kopkamtib menghitamkan PKI dengan tuduhan‐tuduhan: “PKI membenalu tubuh Sarekat Islam.” Kenyataannya, bukan membenalu, tapi PKI (ISDV) membawa maju Sarekat Islam dari kegiatan usaha dagang menjadi satu gerakan menuju kemerdekaan. Selanjutnya,
yang
dinyatakan
Buku
Putih
adalah
fitnah,
bahwa:
“Dengan
Pemberontakan Nasional 1926, PKI melancarkan suatu petualangan yang akan membawa malapetaka bagi ribuan patriot Indonesia.” Pemberontakan Nasional 1926 bukanlah petualangan, tapi perlawanan bersenjata untuk kemerdekaan, yang menggoyahkan kekuasaan kolonial Belanda. Dalam pemberontakan ini, kaum komunis jadi pelopor, berguguran korban sampai ke tiang gantungan, ribuan ditangkap dan dipenjarakan Belanda, dibuang ke Boven Digul. Sejarah mencatat kepahlawanan Egom, Hassan, dan Dirdja, kader‐kader PKI yang gugur di tiang gantungan. Tidak ada masalah “menohok kawan seiring” seperti yang dituduhkan dalam Buku Putih: “Di daerah‐daerah tempat terjadinya kekalutan ini untuk kesekian kalinya PKI memperalat golongan lain dalam mencapai tujuannya, sesuai dengan bunyi pepatah ‘Menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan’ ... para pemimpin PKI telah mengorbankan ribuan pengikutnya.” Pemberontakan bersenjata tahun 1926 merupakan canang bagi rakyat Indonesia, bahwa kolonialisme Belanda bisa dilawan, kemerdekaan harus diperjuangkan. Inilah Sangkakala Revolusi Indonesia. Menurut Buku Putih, “Di zaman Jepang pun kaum komunis Indonesia tidak dapat berkutik.” Kebalikan dari yang ditulis dalam Buku Putih, yang sesungguhnya terjadi adalah: semenjak tahun 1936, dengan kedatangan Musso, terbentuklah CC PKI ilegal. Musso membawa garis front anti‐fasis dari Komintern. Secara rahasia, di bawah pimpinan PKI ilegal, kaum komunis tetap aktif, berorganisasi menggerakkan rakyat. Terbentuk dan bergeraklah organisasi Gerindo di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Tahun 1939, di Jakarta
2
terbentuk organisasi Gerakan Rakyat Anti‐Fasis (Geraf) dipimpin kader-kader PKI ilegal. Pembentukannya dihadiri antara lain Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Widarta, Armunanto, Dr. Liem Koen Hien. Di Jakarta, kader‐kader PKI seperti Wikana, D.N. Aidit, Hoetabarat, Soemarto, Ronosoedarmo, Pojas, dan lain‐lainnya, aktif ambil bagian dalam memimpin berbagai organisasi legal, semi‐ilegal, dan ilegal. Mereka menghimpun massa dan menggunakan organisasi‐organisasi itu untuk mendidik dan melatih massa melawan fasisme Jepang. Wikana menggunakan kesempatan politik Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk menarik pemuda‐pemuda dengan mendirikan “Asrama Indonesia Merdeka”, dalam kegiatan pendidikan dimasukkan pikiran‐pikiran anti‐fasis. D.N. Aidit juga menggunakan “Asrama Menteng 31” untuk mempropagandakan ide‐ide anti‐fasis. Pada akhir tahun 1944, D.N. Aidit bersama dengan M.H. Lukman, Sidik Kertapati, dll., mendirikan satu organisasi yang lebih tegas coraknya antifasis dan yang bertujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka, yaitu Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom). Di samping itu, Wikana, D.N. Aidit, dll., juga mempunyai hubungan dengan berbagai grup dan kelompok anti‐fasis di Jakarta. Kekuasaan fasis Jepang mencium kegiatan orang‐orang komunis, dan melakukan penangkapan‐penangkapan. Jepang menangkap Koesnandar, Soebijanto Koesoemo, Hardjo Soepingi. Juga Sudisman, Tjoegito, Sjaifoellah, Fatah Jasin. Di Semarang ditangkap Kasim dan Broto, di Nganjuk ditangkap Tarmoedji, di Tulung Agung ditangkap Soeparto, di Blitar ditangkap Noto. Tak lama kemudian ditangkap Azis di Sidoardjo. Pamoedji, Ketua CC PKI, juga ditangkap di Purworedjo. Menyusul ditangkap di Jakarta, Mr. Amir Sjarifuddin. Selanjutnya bukan hanya kader‐kader PKI, tokoh‐tokoh lainnya Dr. Kajadoe, Mr. Soemanang, Ki Mangoensarkoro, Dr A. Kapau Gani, juga ditangkap. Akibat siksaan, banyak di antara mereka yang meninggal dunia seperti Pamoedji, Sjaifoellah. Soekajat dan Azis serta Abdoerrahim dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal kepalanya di Kantor Kempeitai di Jalan Alun‐Alun Tjontong Surabaya. Mr. Amir Sjarifuddin dijatuhi hukuman mati, tapi berkat perjuangan kekuatan progresif, terutama berkat jaminan yang diberikan Bung Karno, hukuman itu diubah menjadi hukuman seumur hidup. Prof.Dr. Moechtar dan Dr. Kajadoe dibunuh dengan dipenggal lehernya di Jakarta. Di bawah pimpinan orang‐orang progresif atau yang berhubungan dengan kader‐kader PKI ilegal, terjadi “berbagai pemberontakan anti‐Jepang seperti di Pantjur Batu Deli Serdang (26 Juli 1942) terkenal dengan pemberontakan Aron (Uaron); 23 Oktober 1943, Pemberontakan Karangampel, Indramayu; November 1942, Pemberontakan Tani di Tjut Pilieng, Aceh; November—Desember 1943, Pemberontakan Tani Lohbener, Indramayu;
3
Februari 1944, Pemberontakan Tani Singaparna; November 1944, Pemberontakan Meureudu dan Beureum Aceh; Mei 1945, Pemberontakan suku Daya Tajan dan Ketapang Kalimantan. “Menjelang menyerah kalahnya Jepang, CC PKI mengadakan sidangnya di Pemalang, yang antara lain mengambil keputusan untuk menyerukan kepada semua kader PKI agar ambil bagian aktif merebut kekuasaan dari Jepang, termasuk merebut perusahaan dan pabrik‐pabrik serta melucuti senjata Jepang.” Buku Putih Kopkamtib yang menyatakan PKI tidak berkutik di bawah kekuasaan fasis Jepang adalah bertentangan dengan kenyataan. Ini adalah pemalsuan sejarah yang menyesatkan, adalah fitnah terhadap PKI yang berjuang melawan fasisme Jepang. Buku Putih menulis: “Karena mengikuti garis Dimitrov, maka kaum komunis sama sekali tidak memegang peranan yang mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.” Ini adalah pemalsuan sejarah yang sangat menyesatkan. Terpilihnya Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri pertama Republik Indonesia menunjukkan pengakuan akan peranan tokoh komunis dalam Revolusi Agustus 1945. Di Menteng 31, pusat kegiatan pemuda menjelang Proklamasi Kemerdekaan, terdapat dan aktif kader‐kader PKI ilegal, seperti Wikana, D.N. Aidit, dan M.H. Lukman. Sejarah mencatat peristiwa dilarikannya Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok sebelum berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan. Wikana, kader PKI ilegal memainkan peranan penting dalam peristiwa ini. Rengasdengklok, daerah pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih sebelum proklamasi diumumkan, adalah daerah historis, yang berada di bawah kekuasaan pasukan yang dipimpin perwira PETA Oemar Bachsan, seorang kader PKI ilegal. Dalam pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat, tokoh‐tokoh PKI aktif semenjak permulaannya. Dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya terdapat pasukan di bawah pimpinan Soemarsono, kader PKI. Maka tidaklah betul: “Komunis sama sekali tidak memegang peranan yang mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,” seperti yang ditulis Buku Putih. Menurut Buku Putih, tahun 1947, “dengan pembentukan Kominform, Gerakan Komunis Internasional berubah haluan dari menempuh garis Dimitrov, yaitu politik front persatuan anti‐fasisme, menjadi garis Zhdanov (bukan Zhadanov menurut Buku Putih!) yang mengangkat panji anti-imperialisme Amerika dan meninggalkan kerja sama dengan kaum sosial-demokrat”.
4
Sebenarnya, yang berubah haluan adalah pemerintah AS di bawah Presiden Truman, dari bersekutu dengan Uni Sovyet melawan fasisme jadi memusuhi Uni Sovyet. Seusai Perang Dunia kedua, yang terjadi adalah: dengan “telegram panjang”‐nya dari Moskow, George McKennan, Dubes AS untuk Uni Sovyet memprakarsai politik pembendungan komunisme sejagat, the policy of containment yang selanjutnya menjadi Doktrin Truman. Dengan realisasi Doktrin Truman, Amerika Serikat mengobarkan Perang Dingin demi membasmi Uni Sovyet dan partai‐partai komunis di dunia. Tentang meninggalkan kerja sama dengan kaum sosial demokrat, bukannya terjadi sesudah pembentukan Kominform, tapi semenjak terbentuknya Komintern tahun 1919, dengan salah satu dari 21 pasal syarat keanggotaan Komintern bagi partai‐partai komunis sedunia. Pasal itu menyatakan, harus menggunakan nama Partai Komunis, meninggalkan nama sosial‐demokrat dan memutuskan hubungan dengan partai sosial demokrat. Alasannya adalah: partai‐partai sosial demokrat telah mengkhianati ajaran diktatur proletariat Marx, dalam praktek telah menjadi musuh komunisme. Demikianlah kaum sosial‐demokrat, baik di Eropa, maupun di Indonesia. Buku Putih Kopkamtib menghubung‐hubungkan Kominform dan garis Zhdanov dengan Konferensi Pemuda Asia Tenggara yang diselenggarakan bulan Februari 1948 di Kalkuta, India. Konferensi ini berlangsung atas prakarsa Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (World Federation of Democratic Youth—WFDY) dan Persatuan Internasional Mahasiswa (International Union of Students—IUS) yang menurut Buku Putih mengikuti Kominform, menetapkan “garis Kalkuta”. Tidak ada hubungan antara Kominform dengan WFDY dan Konferensi Pemuda Asia Tenggara di Kalkuta. Kominform adalah badan kerja sama di bidang informasi antar Partai‐Partai Komunis Uni Sovyet dan negeri‐negeri sosialis dan Partai Komunis Perancis dan Italia. Kominform terkenal dengan publikasi berkalanya berjudul “For a Lasting peace, for a People’s Democracy!” dalam berbagai bahasa. Konferensi Kalkuta adalah konferensi pemuda Asia Tenggara yang dihadiri wakil‐wakil 39 organisasi beranggotakan tujuh juta pemuda dari India, Pakistan, Birma, Malaya, Indonesia, Vietnam, Ceylon, dan Tiongkok. Di samping itu terdapat peninjau dan delegasi persahabatan dari Nepal, Filipina, Mongolia, Korea Utara, Uni Sovyet terutama dari semua Republik Sovyet dari daerah Asia, dan dari Australia, Inggris, Perancis, serta Yugoslavia. Sebelum pembukaan konferensi, berlangsung demonstrasi yang diikuti kira‐kira 100.000 pemuda di jalan‐jalan Kalkuta. Ini mendemonstrasikan solidaritas pemuda demokratis sedunia berjuang melawan penghisapan imperialis.
5
Resolusi yang diputuskan konferensi menyatakan: “Perjuangan kita untuk kemerdekaan nasional dan demokrasi dan perjuangan pemuda sedunia untuk demokrasi dan perdamaian, menentang pecahnya perang dunia ketiga adalah sama dan satu, dan kedua ‐duanya ditujukan terhadap musuh yang sama....” Semboyan Konferensi yang dikumandangkan mengutuk musuh adalah: Jangan Jamah Asia! Mampuslah Imperialisme! Dan selanjutnya, resolusi konferensi menyatakan bahwa “Sekarang ini Amerika Serikat adalah kekuasaan imperialis yang paling agresif di dunia.” Dalam konferensi ini, Indonesia diwakili oleh utusan Badan Kongres Pemuda RI, terdiri dari O. Rondonuwu, Soepeno (yang kemudian jadi anggota DPR GR dan tokoh pimpinan Kantor Berita Antara), dan Francisca Fanggidey (kemudian jadi anggota DPP Pemuda Rakyat dan anggota DPRGR). Konferensi pemuda Kalkuta yang mengangkat tinggi semboyan anti imperialisme ini sering difitnah oleh pers Barat terutama Amerika Serikat sebagai konferensi komunis yang mengobarkan revolusi di Asia. Buku Putih juga secara mengada‐ada, menghubung‐hubungkan Persetujuan Renville dan jatuhnya kabinet Amir Sjarifuddin dengan garis Dimitrov, dan dinyatakan bahwa “Kabinet Republik Indonesia beralih dari tangan PKI Amir Sjarifuddin ke tangan Wakil Presiden Mohammad Hatta,yaitu setelah Persetujuan Renville yang bersifat kompromistis mengikuti garis Dimitrov itu ditolak oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).” Jatuhnya kabinet Amir tak ada hubungan dengan garis Dimitrov, tidak ada penolakan KNIP atas Persetujuan Renville, tapi adalah karena Masyumi yang menduduki lima portofolio dan mendukung Persetujuan Renville, dengan mendadak menentang Persetujuan Renville dan mengundurkan diri dari kabinet. Ini disusul oleh PNI. Amir Sjarifuddin meletakkan jabatan. Sesudah itu, Masyumi jadi pendukung utama kabinet Hatta yang menggantikan kabinet Amir. Dan kabinet ini justru menjadikan pelaksanaan Persetujuan Renville sebagai programnya. Latar belakangnya, bukanlah karena garis Dimitrov, tapi karena mulai dijalankannya “Red Drive Proposal” untuk penyingkiran kaum komunis dari pemerintah Indonesia. Buku Putih memaparkan bahwa, “Sementara itu meletuslah kerusuhankerusuhan di kota Surakarta. Terjadilah culik‐menculik dan insiden‐insiden bersenjata antar golongan yang saling bertentangan, yang kemudian hari terbukti memang sengaja diciptakan oleh PKI dalam rangka mengalihkan perhatian untuk menutupi persiapan pemberontakan Madiun.”
6
Jelas‐jemelas ini adalah fitnah. Tidak ada kenyataan yang membenarkannya. Mana bisa PKI sengaja menciptakan insiden‐insiden bersenjata? Memang terjadi penculikan‐ penculikan. Yang diculik adalah anggota‐anggota PKI. Dimasukkan rumah tahanan negara. Penculiknya adalah para aparat negara. Tentang Peristiwa Madiun, Buku Putih menulis: “18 September 1948, jam 03.00, di kota Madiun meletuslah tiga tembakan pistol sebagai tanda dimulainya pemberontakan Madiun yang dilakukan oleh PKI. Menurut sebuah dokumen yang ditemukan di rumah Amir Sjarifuddin di Yogyakarta ternyata pemberontakan itu telah dirancang sebelumnya. Kekuatan PKI dibawah pimpinan Soemarsono (Komandan Pesindo), Kolonel Djoko Sujono, Letnan Kolonel Dahlan, dan lain‐lain, merebut kekuasaan di Madiun.” Di samping itu, dengan semena‐mena, Buku Putih memfitnah PKI telah dua kali berkhianat terhadap negara RI. Dinyatakannya: “Telah merupakan kenyataan bahwa dalam sejarah kemerdekaan negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, PKI setidak‐tidaknya telah dua kali berkhianat terhadap negara Republik Indonesia dengan cara mengadakan pemberontakan. Pemberontakan yang pertama dilakukannyapada tahun 1948, dikenal sebagai Peristiwa Madiun.” Lagi‐lagi ini adalah fitnah. Tidak ada bukti tentang dokumen yang dimaksudkan di atas. Soemarsono dalam bukunya, Revolusi Agustus :Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, secara terperinci menyatakan bahwa Peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan, tapi adalah bela diri atas provokasi yang dilancarkan Pemerintah Hatta. Dan Suar Suroso dengan bukunya Peristiwa Madiun: Realisasi DoktrinTruman di Asia, terbitan Hasta Mitra, 2010, memaparkan latar belakang dan proses Peristiwa Madiun. Ditunjukkannya bahwa Peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan PKI, tapi adalah pelaksanaan Doktrin Truman, the policy of containment – politik pembendungan komunisme yang dilancarkan Amerika di Asia. Di samping itu, Departemen Agitprop CC PKI telah mengeluarkan Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun, dan D.N. Aidit menyampaikan pidato pembelaannya di depan Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari 1955 berjudul Menggugat Peristiwa Madiun. Dengan menghubung‐hubungkan pada Doktrin Zhdanov dan Doktrin Dimitrov, Buku Putih secara sembrono menyatakan: “Resolusi Jalan Baru Bagi Republik Indonesia yang diprakarsai Musso yang disahkan Politbiro CC PKI 1 September 1948 sebagai anggota Kominform adalah bersumber pada Doktrin Zhdanov yang menggantikan Doktrin Dimitrov, yang dalam realisasinya melahirkan pemberontakan Madiun oleh PKI pada tanggal 18 September 1948.” PKI bukanlah anggota Kominform. Anggota‐anggota Kominform hanyalah PKUS, Partai‐ 7
Partai Komunis semua negeri sosialis, dan Partai Komunis Perancis, serta Partai Komunis Italia. Resolusi Jalan Baru Bagi Republik Indonesia adalah self‐kritik pimpinan PKI berkenaan dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945. Resolusi ini mengkritik kesalahan kesalahan PKI di bidang organisasi, politik, dan ideologi, menunjukkan jalan keluar, yaitu pertama‐tama menyatukan semua partai yang berideologi Marxisme‐Leninisme menjadi satu partai, yaitu partai yang sudah mempunyai tradisi dalam perjuangan nasional, Partai Komunis Indonesia (PKI); mengoreksi kesalahan di bidang politik dan ideologi. Resolusi Jalan Baru, tidak ada hubungan dengan perencanaan Peristiwa Madiun. Justru demi mencegah pelaksanaan resolusi inilah, pemerintah Hatta dengan Amerika Serikat di belakang layar, memprovokasi pecahnya Peristiwa Madiun. Dengan demikian rencana kongres penyatuan partai-partai itu tidak terlaksana dan pimpinan‐pimpinan utama PKI termasuk Musso dan Amir Sjarifuddin terbunuh. Menurut Buku Putih: “dalam melaksanakan program perjuangannya, PKI menggunakan cara dan sikap yang arogan (angkuh), sehingga pemerintah kabinet Sukiman) pada tahun 1951 terpaksa memerintahkan penangkapan kader‐kader PKI. Tindakan ini secara populer terkenal sebagai Peristiwa Agustus 1951. ”Peristiwa ini adalah Razia Agustus Sukiman, yaitu penangkapan besar besaran atas kader‐kader PKI di banyak tempat. Sungguh tidak masuk akal, partai politik dinilai bersikap angkuh dalam melaksanakan programnya. Yang terjadi adalah waktu itu meningkatnya aksi‐aksi menentang politik pemerintah Sukiman yang membikin persetujuan kerja sama militer dengan Amerika Serikat, yaitu persetujuan tentang keamanan Mutual Security Act (MSA) yang secara rahasia ditandatangani Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo. Persetujuan ini adalah dalam rangka usaha Amerika menarik Indonesia masuk pakta militer SEATO. Aksi‐aksi rakyat di bawah pimpinan PKI menentang politik Masyumi inilah yang oleh Buku Putih dianggap PKI bersikap arogan (angkuh). Puncak pemalsuan dan fitnah Buku Putih terhadap PKI dirumuskan sebagai berikut: “Perebutan kekuasaan oleh PKI dengan Gerakan 30 September pada tahun 1965 itu bukanlah semata‐mata suatu kebetulan belaka dan bukan pula sebagai suatu reaksi terhadap situasi tertentu melainkan justru pelaksanaan prinsip kaum komunis yang bersumber pada Materialisme Dialektika Historis Karl Marx.” Materialisme Dialektis dan Historis tidaklah mengajarkan cara perebutan kekuasaan seperti yang ditempuh Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan politik menurut ajaran Marx haruslah ditempuh secara jalan revolusioner, yaitu dengan menggerakkan kekuatan massa rakyat yang sudah tidak mau dikuasai penguasa, dan menggulingkan
8
kekuasaan yang sudah tidak mampu lagi menguasai massa. Sedangkan Gerakan 30 September 1965 adalah suatu putch, suatu cara penggulingan dan perebutan kekuasaan yang terlepas dari massa. Cara demikian ditentang oleh ajaran Marx. Dan jelas‐jemelas, Gerakan 30 September bukanlah aksi yang dilakukan di bawah pimpinan PKI. Buku Putih Kopkamtib tidak hanya “menghitamkan” dan memfitnah PKI, tapi juga “menghitamkan” Bung Karno. Buku Putih menulis: “Dr.Ir. Soekarno sendiri sebagai bapak dari Marhaenisme akhirnya berubah menjadi seorang Marxis. ”Sesungguhnya, Bung Karno bukannya berubah jadi Marxis, tapi justru karena beliau adalah Marxis makanya bisa merumuskan Marhaenisme. Sebagai pengagum Marx, semenjak remaja Bung Karno sudah keranjingan Marxisme. Pada tahun 1926 telah tampil dengan gagasan persatuan antara tiga aliran Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Gagasan ini akhirnya menjadi gagasan Nasakom. Karena sangat gandrung akan persatuan bangsa,Bung Karno berusaha mewujudkan nasakomisasi di semua lapangan. Menurut Buku Putih, setelah usaha ke arah nasakomisasi ABRI itu gagal, maka “PKI menuntut supaya kaum buruh dan kaum tani, yakni dua golongan yang telah menjadi unsur‐unsur PKI, dipersenjatai. Latihan kemiliteran bagi unsur‐unsur PKI yang diselenggarakan oleh AURI di Lubang Buaya/Pondok Gede di lingkungan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah itu merupakan bagian dari persiapan G.30.S/PKI. Di sekitar daerah Lubang Buaya/Pondok Gede ini telah digali pula lubang lubang sebagai persiapan penguburan para korban kelak. Ini terdapat juga di berbagai tempat lain di seluruh Indonesia. Seperti diketahui, kenyataan ini memang sesuai dengan rencana PKI untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lawan politiknya manakala G.30.S/PKI itu dapat berhasil sepenuhnya.” Gagasan mempersenjatai buruh dan tani adalah realisasi pembentukan “Angkatan Kelima” di samping adanya Empat Angkatan: Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian. Gagasan Angkatan Kelima ini bukanlah datang dari PKI, tetapi adalah gagasan Bung Karno yang didukung oleh PKI. Latihan‐latihan yang diselenggarakan AURI di Lubang Buaya / Pondok Gede adalah dimaksudkan untuk mobilisasi dalam rangka politik Bung Karno: Ganyang Malaysia. Yang mengikuti latihan itu terdiri dari para pemuda‐pemudi dari kalangan berbagai organisasi yang berporos nasakom. Jelas‐jemelas, tidak ada hubungannya dengan persiapan G30S. Dan tidak ada penggalian lubang‐lubang di sekitar Lubang Buaya seperti yang ditulis Buku Putih. Apalagi penggalian lubang‐lubang di berbagai tempat lain di seluruh Indonesia. Ini adalah sungguh‐sungguh kebohongan di siang bolong, pemalsuan sejarah yang 9
memalukan. Buku Putih menilai ajaran Bung Karno tentang persatuan nasional berporoskan nasakom hanyalah menguntungkan PKI dan merugikan golongan lainnya. Justru dengan nasakom, tidak ada golongan yang ditinggalkan. “Nasakom adalah wadah yang diciptakan Bung Karno untuk mempersatukan kekuatan nasional melawan kolonialisme/imperialisme dan membangun tanah air. Nasakom disetujui oleh 10 partai politik yang ada di Indonesia dalam pertemuan di Istana Bogor pada tanggal 12 Desember 1964, antara lain: PNI, NU, PKI, Perti, Partindo, PSII, Murba, IPKI, Partai Kristen,dan Partai Katolik yang melahirkan Ikrar 4 Pasal sebagai berikut: 1. Mendukung politik konfrontasi dengan Malaysia, 2. Memelihara persatuan nasional yang progresif revolusioner berporoskan nasakom, 3. Menempuh musyawarah dalam menyelesaikan sengketa tanah, 4. Membantah isu bahwa Bung Karno akan meletakkan jabatan. Buku Putih menyalahkan gagasan nasakom dari Bung Karno dan menuduh PKI tak bermaksud membangun negara berdasarkan Pancasila. Dikemukakan dalam Buku Putih: “Dr.Ir. Soekarno sejak mudanya terkenal sebagai pejuang besar untuk kemerdekaan bangsanya serta sebagai seorang nasionalis, akan tetapi dengan pendekatan yang dilakukan PKI, sedikit demi sedikit sejak tahun 1959 ia telah mulai mengubah dasar dan arah pandangan politiknya sehingga akhirnya menjadi seorang Marxis yang kemudian menetapkan konsepsi politik nasakom (nasionalis‐agama‐komunis).” “Konsepsinya itu bertolak dari pemikiran bahwa kekuatan sosial politik Indonesia terletak dalam tangan golongan nasionalis, golongan agama, dan golongan komunis, dan bahwa ketiga golongan itu dapat bersatu padu, dibawah pimpinannya. Ia tidak mau mengakui dan seolah‐olah melupakan bahwa Konstitusi PKI menyatakan bahwa tujuan mereka bukanlah membina negara RI yang berdasarkan Pancasila, melainkan membentuk negara komunis. ”Adalah salah menyatakan PKI tidak bermaksud membina negara RI berdasarkan Pancasila. Sejarah sidang‐sidang Konstituante membuktikan, bahwa PKI bersama PNI adalah yang paling tangguh memperjuangkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Dan dalam Preambul Konstitusi PKI tercantum: ”PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam Pembukaan‐nya memuat Pantjasila sebagai dasar‐dasar negara dan bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia.” Buku Putih menuduh Bung Karno mengutamakan PKI, karena itu merugikan golongan
10
lainnya. Mengenai ini dinyatakan: “Menurut penilaian Soekarno, PKI perlu dibawa serta aktif dalam perjuangan bangsa. Soekarno pura‐pura tidak melihat adanya akibat buruk bagi golongan lain dalam kerjasama yang dipaksakan itu. Dengan konsepsinya itu, pada hakikatnya Soekarno melambungkan PKI ke tempat yang tinggi, yang tak mungkin tercapai oleh PKI dengan kekuatannya sendiri. Sebenarnya, hal ini sudah merugikan golongan lain itu. Dalam berbagai macam sikap dan tindakan serta ucapan pengakuannya sendiri pada beberapa kesempatan, diantaranya dalam pidato kenegaraannya di hadapan Sidang MPRS yang berjudul ‘Nawaksara’ pada tahun 1966, Soekarno hanya mengutamakan kaum komunis sambil merugikan golongan lainnya.” Ini adalah tuduhan yang tak beralasan dari Buku Putih terhadap Bung Karno. Ini adalah fitnah terang‐terangan di siang bolong. Dengan fitnah inilah, Bung Karno digulingkan oleh MPRS yang sudah dikebiri oleh rezim orba. Tidak betul pidato “Nawaksara” Bung Karno hanya mengutamakan kaum komunis sambil merugikan golongan lainnya. Pidato “Nawaksara” ini adalah pidato pertanggungjawaban Bung Karno sebagai Presiden, Pemimpin Besar Revolusi, yang memaparkan masalah‐masalah Ambeg Parama Arta dalam memimpin perkembangan situasi ketika itu. 2. Karya Victor Miroslav Fic: Kudeta 1 Oktober 1965 PEMALSUAN sejarah yang sangat serius dilakukan oleh Victor Miroslav Fic. Menurut Fic, “asal‐usul Gestapu 1965 justru terjadi di Zhongnanhai, Peking, Cina antara Aidit—Mao tanggal 5 Agustus, menyusul kabar kesehatan presiden yang memburuk: jatuh pingsan sebanyak 4 kali tanggal 4 Agustus dan muntah‐muntah sebanyak 11 kali akibat gangguan ginjal. Dan para dokter Cina yang merawatnya yakin bahwa satu serangan lagi, dapat saja membuat presiden meninggal atau lumpuh. Alhasil, suksesi menjadi persoalan mendesak yang tak terelakkan, karena pasti terjadi perebutan kekuasaan yang berdarah‐darah antara PKI dan Angkatan Darat yang selama ini berseteru. Nasihat Mao adalah: ‘Habisi para jenderal dan perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tak berkepala dan akan mengikutimu ....’ Dari Cina, Aidit begitu tiba di bandara, langsung menghadap presiden tanggal 7 dan 8 Agutus 1965. Apa isi perjanjian rahasia antara Soekarno-Aidit-Mao, yang salah satunya presiden akan beristirahat panjang dengan alasan kesehatan di sebuah tempat yang nyaman di Danau Angsa, Cina. Perjanjian rahasia presiden-Mao dibocorkan secara tertulis oleh Aidit dalam suratnya tanggal 10 November 1965 pada kader partai: Sosro dan Tjeweng, jelas tidak membuktikan 11
kesetiakawanan apalagi memenuhi janji yang telah ditetapkan ..... sebab dari sana semua persetujuan Sosro dengan tetangga akan digugat terus.... dalam memperjuangkan konsep partai kita tidak peduli akan korban, bila perlu Sosro jadi korban, bila dia tidak memenuhi semua perjanjian, .... tapi harus diingat kekuatan kita sekarang hanya satu; perjanjian politik Sosro dengan tetangga; bila Sosro meninggalkan kita, berarti hukum karma berlaku .... ‘mudah-mudahan Sosro dan Tjeweng tidak akan mengkhianati kita, ....bila nanti mereka berkhianat, maka dari negara tetangga perjanjian-perjanjian pasal yang telah kami sampaikan secara IR pada bulan Agustus yang lalu terpaksa diumumkan dan ini adalah berarti lonceng kematian dan kehancuran bagi Sosro/Tjeweng” Fic mendasarkan pendapatnya di atas pada surat D.N.Aidit, 10 November 1965. Pada surat tersebut terdapat kejanggalan-kejanggalan yang menunjukkan surat itu adalah palsu. 1. Kepala surat berjudul Central Comite Partai Komunis Indonesia. PKI tidak memakai istilah Central Comite, tapi Comite Central. 2. Kalimat pertama surat berbunyi: Kawan seperjuangan kaum Marxis/Leninis. Dalam berkorespondensi, CC PKI tidak biasa menggunakan kalimat ini. Dan PKI tidak biasa menuliskan istilah Marxis/Leninis, tetapi Marxis-Leninis. 3. Kalimat yang berbunyi “telah kami perhitungkan, namun jelas semua tindakan kaum reaksioner khususnya Dewan Jenderal dapat mengecilkan anggota Partai yang masih belum berpengalaman.” Kalimat ini tidak bisa dipahami isinya. Sesuatu yang tak mungkin ditulis oleh D.N.Aidit yang rapi bahasa Indonesianya. 4. Surat ini adalah surat pribadi D.N.Aidit, tapi menggunakan kalimat: “3. Karena itu sekali lagi CC Partai menandaskan, semua ....” Ini adalah janggal. 5. Kalimat: “bahwa 30 September adalah ‘En Rimpel in’t grote Ocean’” adalah bahasa Belanda yang salah ejaannya, memberi pengertian lain, satu kecerobohan tak mungkin atau sulit dilakukan oleh D.N.Aidit. 6. Kalimat: “Bila ketua berhijrah ke tetangga, maka....” Untuk kata pengganti dirinya, adalah janggal jika D.N.Aidit menggunakan istilah ketua. 7. Dalam suratnya ini D.N.Aidit menggunakan ejaan DJ sebagai singkatan Dewan Jenderal. Ini berarti D.N.Aidit sudah menggunakan Ejaan Baru Yang Disempurnakan oleh rezim orba. Pada tahun 1965, singkatan Dewan Djenderal mestinya adalah DD. Karena itu, dengan sekian banyak kejanggalan dan kesalahan, surat D.N.Aidit tanggal 10 November 1965 ini adalah palsu. Maka isinya tak mungkin bisa dipercaya kebenarannya. Pada hal isi surat itu adalah sangat penting menyangkut keterlibatan Bung Karno, Subandrio, dan Negara Tetangga..
12
Dokumen No.3. dengan kepala surat “KOMITE CENTRAL PARTAI KOMUNIS INDONESIA , KRAMAT RAYA 81 JAKARTA IV/4, Tel. 448227” juga ada kejanggalan-kejanggalan. Nomor telepon adalah salah. Istilah Komite Central, bukanlah ejaan yang biasa dipakai oleh PKI. Yang dipergunakan bagi kepala surat dan amplop resmi CC PKI adalah: COMITE CENTRAL PARTAI KOMUNIS INDONESIA Kramat Raja 81 – Djakarta IV/4 Telp. 4827 Gambir. Surat yang bertanggal 28 September ’65, jadi sebelum terjadinya peristiwa 30 September, tapi sudah memberi petunjuk untuk pembubaran partai, persembunyian senjata, cara-cara upacara pembubaran partai di hadapan instansi. Ini semua sungguh tidak masuk akal. Dan surat ini sudah menggunakan Ejaan Baru Yang Disempurnakan. Karena itu, surat ini adalah palsu. Victor M.Fic secara licik menggunakan metodologi eklektika dalam melakukan pemalsuan sejarah. Dipergunakannya sederetan fakta yang memang terjadi dalam kenyataan. Seperti 5 Agustus 1965, Aidit bertemu dengan Mao Zedong di Zhongnanhai. Tapi isi pembicaraannya dikarang sendiri oleh Fic, karena ini tak bisa dibuktikan kebenarannya. Lebih-lebih adalah tak masuk akal dalam pembicaraan itu, Mao Zedong menyuruh Aidit segera membunuh para jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat Indonesia. Adalah benar bahwa Aidit pulang ke Jakarta dan segera menemui Bung Karno melapor. Tapi isi laporannya dikarang sendiri oleh Fic, karena ini tak dapat dibuktikan kebenarannya. 3. Karya Jung Chang dan Jon Halliday: Mao: Kisah‐Kisah yang Tak Diketahui JUNG CHANG dalam bukunya berjudul Mao: Kisah‐Kisah yang Tak Diketahui menulis “kegagalan paling parah—dan paling tragis—terjadi di Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai komunis paling besar di kubu non‐komunis, dengan anggota sekitar 3,5 juta, dan mempunyai hubungan rahasia yang akrab dengan Peking seperti hubungan rahasia Komunis Cina dengan Stalin sebelum PKC menguasai Cina.” “Di bulan September 1963, Chou Enlai membawa Ketua PKI Aidit ke pertemuan puncak rahasia di Chonghua di Cina Selatan, bersama pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh, dan Ketua Partai Komunis Laos, untuk mengkoordinasikan strategi militer di Indonesia dengan perang di Indocina. Pertemuan puncak ini meletakkan Indonesia dalam kesejajaran strategis
13
dengan Indocina, dan menghubungkan perkembangan di Indonesia dengan konflik militer di Indocina yang telah berlangsung lebih dahulu. Tahun berikutnya (1964), orang Mao No.2, Liu Shao‐chi, pergi ke Vietnam untuk mencoba memperoleh dukungan Hanoi dalam rencana kudeta terhadap Presiden Soekarno. Ia menyatakan bahwa Soekarno lemah dan bahwa pihak kiri harus bertindak sebelum para perwira tinggi yang anti‐Komunis dan pro‐AS menggulingkannya. Ho Chi Minh menentang gagasan itu, dan berkata kepada Liu bahwa ia memutuskan untuk terus mendukung Soekarno.” Tidak ada buktinya dan sungguh tidak masuk akal, Liu Shao‐chi menemui Ho Chi Minh untuk mengajak bersatu buat menggulingkan Soekarno. “Ketua Partai Komunis Jepang di masa itu, Kenji Miyamoto, berceritera kepada kami bahwa Peking terus‐menerus berkata kepada PKI dan Partai Komunis Jepang: ’Kapan saja ada kesempatan untuk merebut kekuasaan kalian harus bangkit dan mengangkat senjata.’ Di tahun 1964, Miyamoto mendiskusikan hal itu dengan Aidit. Sementara Komunis Jepang bersikap hati-hati, Aidit yang amat percaya kepada Mao sangat bersemangat untuk segera beraksi. Setelah Konferensi di Aljazair dibatalkan, dengan hati panas Mao menggerakkan PKI untuk merebut kekuasaan. Rencananya adalah membunuh para jenderal Angkatan Darat yang anti-komunis, yang boleh dikatakan tidak dapat dipengaruhi oleh Presiden Soekarno yang pro-Peking. Peking telah menekan Soekarno untuk melakukan perombakan radikal di kalangan Angkatan Darat. PKI yakin bahkan terlalu optimis, bahwa secara rahasia ia dapat mengontrol lebih dari setengah Angkatan Darat, dua pertiga Angkatan Udara dan sepertiga Angkatan Laut. Menurut rencana itu, begitu para jenderal dibantai, komunis akan mampu menguasai Angkatan Darat, mungkin dengan Soekarno yang untuk sementara memainkan peran sebagai pemimpin boneka. Di awal bulan Agustus, Aidit datang ke Cina dan bertemu dengan Mao. Kemudian Aidit kembali ke Indonesia bersama tim dokter Cina yang beberapa hari kemudian melaporkan bahwa Presiden Soekarno (yang pro‐Peking), menderita sakit ginjal parah, dan diperkirakan hidupnya takkan lama lagi, karena itu, jika PKI ingin bertindak sekaranglah saatnya. Pada tanggal 30 September, sekelompok perwira menangkap dan membunuh Panglima Angkatan Darat Indonesia dan lima jenderal lain. Berbicara kepada Ketua Partai Komunis Jepang Miyamoto, tak lama setelah peristiwa itu, Mao menyebut kudeta itu sebagai ‘kebangkitan ... Partai Komunis Indonesia.’ Tetapi PKI gagal menangani kejadian tak terduga yang menghancurkan seluruh rencana mereka. Seorang informan telah 14
mengisiki seorang jenderal anti‐komunis bernama Soeharto yang di masa itu belum dikenal dan tidak termasuk dalam daftar jenderal yang akan dibunuh. Karena itu, Soeharto, yang sudah siap menunggu terjadinya penangkapan dan pembunuhan jenderal lain sampai selesai, segera menguasai Angkatan Darat dan melancarkan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang komunis dan simpatisan mereka – termasuk orang‐orang yang tidak bersalah. Hampir semua pemimpin PKI ditangkap dan dibunuh. Hanya satu anggota Politbiro yang selamat, yaitu Jusuf Adjitorop yang waktu itu sedang berada di Cina dan yang kami temui di sana – sebagai lelaki yang amat kecewa – tiga dekade kemudian.” Adalah tidak mungkin bahwa di tahun 1964 Miyamoto berdiskusi dengan D.N. Aidit mengenai sikap PKT yang mendesak‐desak PKD dan PKI untuk melakukan pemberontakan. Demikian pula tidak benar bahwa Miyamoto bertemu Mao Zedong tak lama sesudah Peristiwa 1965. Pada waktu itu, hubungan yang buruk antara PKD dan PKT menyebabkan tidak ada hubungan antara PKD dan PKT. Benar bahwa Jusuf Adjitorop adalah anggota Politbiro CC PKI yang tinggal berobat di Beijing. Tapi tidak benar jika dikatakan dia menjadi sangat kecewa, karena sampai akhir hayatnya dia mendukung Otokritik Politbiro CC PKI dan dengan aktif memimpin Delegasi CC PKI di luar negeri. Menurut buku Jung Chang, Presiden Soekarno segera dipaksa meletakkan jabatan. Jenderal Soeharto membangun pemerintahan diktator militer yang sangat anti‐Peking dan memusuhi komunitas etnis Cina yang amat besar di negeri itu. Mao menyalahkan PKI untuk kegagalan itu. “Partai Komunis Indonesia melakukan dua kesalahan,” katanya kepada Partai Komunis Jepang. Pertama, “mereka percaya sepenuhnya kepada Soekarno dan melebih‐lebihkan kekuatan PKI di dalam tubuh Angkatan Darat.” Kesalahan kedua, kata Mao, “PKI ‘menyerah tanpa berjuang’.” Sesungguhnya pembantaian yang dilancarkan Soeharto sangat kejam dan sangat mendadak hingga tak mungkin bagi PKI untuk membalas menyerang. Ditinjau dari sudut mana pun, sesungguhnya Mao lah yang harus disalahkan karena Mao lah yang memulai gerakan itu demi alasan-alasan yang berpusat pada dirinya sendiri. Ia tidak sabar, ingin segera memperoleh kemenangan setelah impiannya untuk menjadi pemimpin Asia—Afrika berantakan.” Jung Chang memfitnah Mao Zedong memulai gerakan Peristiwa 1965 di Indonesia, menyatakan bahwa Mao lah yang harus disalahkan. Jung Chang mendasarkan tulisannya pada keterangan dari Kenji Miyamoto, Ketua Partai Komunis Jepang, yang menyatakan Mao Zedong sering mendesak Partai Komunis Jepang dan Indonesia untuk melakukan 15
pemberontakan. Bukan kebetulan, Jung Chang menggunakan Kenji Miyamoto untuk mendukung pandangan‐pandangannya menyalahkan Mao Zedong dan D.N. Aidit. Kenji Miyamoto adalah Ketua Partai Komunis Jepang semenjak kongres nasionalnya tahun 1958. Di bawah pimpinannya, PKD meninggalkan garis Sanzo Nosaka, yang berpegang pada jalan revolusioner memenangkan sosialisme di Jepang. Sanzo Nosaka telah berjasa membangun persahabatan antara PKD dan PKT. Di bawah pimpinan Kenji Miyamoto, garis Sanzo Nosaka dicampakkan, hubungan PKD dan PKT jadi rusak. Demikian buruknya hubungan kedua partai, hingga di mata pimpinan PKT, Kenji Miyamoto adalah seorang revisionis, dan klik revisionis Kenji Miyamoto adalah pengkhianat Marxisme‐Leninisme yang memalukan. Oleh karena itu, adalah sulit mempercayai kebenaran ucapan Kenji Miyamoto mengenai tindak‐tanduk Mao Zedong, terutama mengenai pandangan Mao Zedong tentang Partai Komunis Jepang dan Indonesia. Tak bisa dibuktikan kebenarannya, bahwa Mao Zedong sering mendesak PKD dan PKI untuk melakukan pemberontakan. Dengan sikap‐sikap PKD dibawah pimpinan Kenji Miyamoto yang dengan tegas menegasi dan menentang ajaran diktatur proletariat dari Marx, mencampakkan Marxisme‐Leninisme, maka jelas‐jemelas Kenji Miyamoto mengambil sikap berlawanan dengan pandangan‐ pandangan Mao Zedong. Oleh karena itu, mudah dimengerti bahwa Kenji Miyamoto menggunakan kesempatan wawancara dengan Jung Chang untuk mendiskreditkan Mao Zedong dan D.N. Aidit yang tangguh membela pandangan‐pandangan PKT dan Mao Zedong. Dalam bukunya setebal 959 halaman edisi luks itu, Jung Chang tidak hanya mendiskreditkan Mao Zedong dalam hubungannya dengan D.N. Aidit dan PKI, tapi juga menyatakan bahwa Mao Zedong dan Stalin (hal.464—475), memicu pecahnya Perang Korea; bahwa Mao Zedong tak mau melancarkan perjuangan melawan agresi Jepang; dan Mao Zedong dituduh sebagai seorang pembunuh yang menyebarkan teror kejam (hal.306—326) hingga membunuh Liu Zhitan. Semuanya ini adalah pemalsuan sejarah yang terang benderang. Bagi mereka yang sedikit mendalam mempelajari sejarah, gampang mengetahui, bahwa Perang Korea adalah pelaksanaan Doktrin Truman, the policy of containment, untuk membendung komunisme di Asia Timur; bagaikan bersuluh matahari, sejak semula Mao Zedong menyerukan dan memimpin rakyat Tiongkok melawan agresi Jepang, perang anti‐Jepang menjadi politik besar PKT bersekutu dengan Kuomintang melancarkan perang anti‐Jepang sampai menang dan Jepang bertekuk lutut.
16
Tidak benar jika dikatakan Mao Zedong membunuh Liu Zhitan dalam revolusi Tiongkok. Adalah Mao Zedong dan Zhou Enlai yang membebaskan Liu Zhitan dari penjara tahanan kaum oportunis “kiri” yang dipimpin Wang Ming. Dan Liu Zhitan diangkat menjadi Panglima Gabungan Tentara XXVI dengan Song Renqiong sebagai komisaris politiknya. Dalam usia 33 tahun, Liu Zhitan gugur kena tembakan senapan mesin musuh dalam pertempuran di Desa San Jiao Zhen, Provinsi Shan Xi. Peristiwa ini disaksikan oleh pengawal pribadinya, Xie Wenxiang, dan Pei Zhouyu, anggota barisan pengawal khusus. Mao Zedong dan pemimpin‐pemimpin Tiongkok lainnya, Zhu De, Zhou Enlai, Ye Jianying, menulis sajak dan kaligrafi memuji kepahlawanan Liu Zhitan sebagai pahlawan nasional Tiongkok. 4. Prof. Nugroho Notosusanto: PKI Dalang G30S; Pancasila Bukan Hasil Galian Bung Karno PROF. Nugroho Notosusanto adalah pendukung tangguh rezim orde baru Soeharto. Dengan lantang dia membela pendirian, bahwa PKI adalah dalang G30S. Pandangannya dipaparkan bersama dengan Ismail Saleh dalam buku The Coup Attempt of the ʺSeptember 30 Movementʺ in Indonesia. Dalam buku ini dinyatakan, bahwa “karena alasan‐alasan ideologi, jelaslah kalangan agama dengan sendirinya dianggap musuh oleh PKI. Tetapi PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama, bukan saja karena tentara merupakan ancaman fisik terhadap partai, tetapi juga atas dasar ideologi. Komunisme adalah asing bagi ideologi negara, Pancasila. Komunisme berdiri atas dasar perjuangan klas dan bertujuan menggulingkan setiap pemerintah non‐komunis. Pancasila berpendirian untuk kerja sama yang saling menguntungkan dan toleransi. Dan satu dari lima prinsip Pancasila adalah percaya pada satu tuhan sedangkan komunisme berpendirian ateisme.” Tidaklah benar PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama. Bukannya musuh, tetapi PKI menilai tinggi ABRI. D.N. Aidit dalam kuliahnya di Seskoad menyatakan bahwa: “Angkatan bersenjata RI adalah antifasis, demokratis, anti‐imperialis, dan bercita‐cita Sosialisme Indonesia. Ia adalah alat untuk mengabdi Revolusi Indonesia, untuk mengubah masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis sebagai landasan untuk menuju ke sosialisme.” Nugroho mempertentangkan komunisme dengan ideologi negara Pancasila, padahal dalam Preambul Konstitusi PKI dinyatakan bahwa “PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam Pembukaan‐nya memuat Pantjasila sebagai dasar‐dasar negara dan bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia.”
17
Adalah benar bahwa PKI berjuang atas dasar perjuangan klas, tapi tujuannya bukan menggulingkan setiap pemerintah non‐komunis. Tujuan PKI dalam tingkat sekarang ialah mencapai sistem demokrasi rakyat di Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut ialah mewujudkan sosialisme dan kemudian komunisme di Indonesia.” Pendirian Nugroho yang mempertentangkan Pancasila dengan komunisme adalah salah, karena UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara justru menjamin semua golongan dan aliran serta kepercayaan dibawah naungan negara Republik Indonesia. Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa Pancasila bukanlah hasil galian Bung Karno, tapi galian Mr. Muh. Yamin, karena Yamin lah yang pertama berpidato dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan mengemukakan lima asas dan dasar negara kebangsaan Republik Indonesia. Ini adalah pemalsuan sejarah di siang bolong. Adalah Bung Karno yang pertama kali memaparkan dasar‐dasar negara nasional Indonesia, yang beliau beri nama Pancasila. Walaupun beberapa pembicarasebelumnya mengajukan pandangan mengenai dasar negara, tapi tak satupun mengajukan lima dasar negara dengan nama Pancasila, termasuk Muhammad Yamin dan Prof.Dr. Soepomo.
Kepustakaan: 1. D.N.Aidit: Angkatan Bersendjata dan Penjesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugas-Tugas Revolusi, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1964. 2. Lembaga Sejarah PKI: Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926), 3. Guy de Boyson, President de la F.M.J.D., Rapport Du Comite Executif De La F.M.J.D., 2me Congres De La Federation Mondiale De La Jeunesse Democratique, Budapest, Septembre 1949. 4. Soemarsono: Revolusi Agustus – Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Hasta Mitra,Jakarta 2010. 5. Suar Suroso: Peristiwa Madiun: Realisasi Doktrin Truman di Asia, Hasta Mitra, Jakarta, 2010. 6. D.N. Aidit: Menggugat Peristiwa Madiun, pidato pembelaan di depan Pengadilan Negeri Jakarta, 24 Februari 1955. 7. Departemen Agitprop CC PKI: Buku Putih Tentang Peristiwa Madiun, disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, cetakan kedua, 1954. 8. Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, cetakan kedua, Transmedia Pustaka, Jakarta 2008, hal. 164—165. 9. Jung Chang dan Jon Halliday, Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.650—652.
18
10. Hung Jen-ta, Kenji Miyamoto Revisionist Clique: Shameful Renegade to Marxism11. Novel Biografi: Liu Zhi Tan, Gong Ren Chuban She, 1979. 12. Nugroho Notosusanto & Ismail Saleh, The Coup Attempt of the "September 30 Movement" in Indonesia, PT Pembimbing Masa, Djakarta, August 1968. *****
19